senin, 27 maret 2017 utama persoalan daftar pemilih · pdf filedan contoh data pemilih yang...

1
[JAKARTA] Penyusunan Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pilgub DKI Jakarta putaran kedua yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI, masih menyisakan sejumlah persoalan. Tak sedi- kit warga, terutama yang tinggal di apartemen, yang namanya tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) putaran pertama justru tidak masuk dalam DPS putaran kedua. Padahal, dasar penyu- sunan DPS putaran kedua adalah DPT putaran pertama. Selain itu, terdapat warga yang pada putaran kedua nanti harus mencoblos di TPS yang lebih jauh dari tempat tinggal- nya dibanding saat hari pen- coblosan putaran pertama. Berbagai persoalan ini menun- jukkan lemahnya kinerja KPU DKI dan jajarannya dalam menjamin hak pilih warga. Presidium Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Jojo Rohi menyatakan, persoalan DPT merupakan acuan dari kinerja KPU dan jajarannya. “Persoalan DPT atau pelayanan terhadap hak pilih warga negara menjadi acuan kinerja KPU dan jajar- annya,” kata Jojo, Senin (27/3). Tak hanya KPU, Jojo menilai, lembaga pengawas pemilu juga memiliki andil terhadap berbagai persoalan penyusunan DPS. Pengawas pemilu seharusnya lebih pro- aktif mengawal dengan ketat proses pengolahan dan penyi- siran calon pemilih. Dia mengakui, warga yang namanya tidak tercantum dalam DPT, masih bisa menggunakan hak pilih dengan menggunakan e-KTP atau surat keterangan (Suket) kependudukan. Namun, penerbitan Suket dinilai rawan penyimpangan. Sebab, berkaca pada putar- an pertama, Suket yang dike- luarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta mengaku hanya mengeluarkan 84.000 Suket. Pada kenyataannya, KPU DKI menyebut pemilih yang meng- gunakan Suket sebanyak 173.000 orangh. Dengan demikian, terdapat selisih 89.000 pemilih pengguna Suket yang tidak jelas. “KIPP Jakarta mengingat- kan, data 89.000 pemilih pengguna Suket yang tidak dikeluarkan Disdukcapil DKI adalah bentuk maladministra- si,” tegas Direktur Eksekutif KIPP Jakarta, Rindang Adrai. Untuk itu, KIPP Jakarta meminta Ombudsman Republik Indonesia dan Ombudsman DKI Jakarta untuk memeriksa adanya potensi maladministra- si dalam penerbitan Suket saat pemungutan suara 15 Februari silam. Selain itu, KIPP Jakarta juga meminta Polda Metro Jaya untuk mengungkap adanya dugaan pemalsuan Suket yang digunakan pemilih pada putar- an pertama. Jangan sampai kejahatan penerbitan Suket dilakukan untuk diberikan kepada para pemilih yang tidak mengikuti prosedur pemilihan dan pemungutan suara, serta bukan warga yang berhak. DPT putaran pertama Pilkada DKI sebanyak 7.108.589 pemilih, dengan pemilih yang masuk dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) sebanyak 237.003 orang. Dengan demikian, total pemilih pada putaran pertama mencapai 7.345.592 pemilih. Sementara setelah diselek- si melalui aplikasi data pemilih KPU DKI, DPS putaran kedua yang sudah direkapitulasi KPU dan jajarannya sebanyak 7.264.749. Namun, dengan menggunakan Sistem Analisis Data Pemilih (SADAP), Bawaslu DKI menyebut banyak data pemilih yang invalid. Rindang menyatakan, KPU dan Bawaslu DKI wajib men- jelaskan makna, kategori, jenis dan contoh data pemilih yang invalid tersebut. Dengan demi- kian, penyelenggara pemilu dapat menyelesaikan persoal- an pemilih invalid yang disebut Bawaslu. Jangan sampai, pernyataan pemilih invalid ini hanya menjadi alat pemuas nafsu Bawaslu untuk menye- rang KPU DKI. “KIPP Jakarta meminta Bawaslu DKI segera mempertanggungjawabkan amanah menyelenggarakan pemilu sesuai tugas, pokok, dan fungsinya. KIPP Jakarta juga meminta hasil kerja peng- awasan partisipatif dan mem- buka laporan keuangan secara detil karena transparansi Bawaslu masih di bawah KPU DKI,” tegasnya. Rawan Kecurangan Secara terpisah, Direktur Monitoring KIPP Uthe Pelu menilai SK KPU DKI Jakarta Nomor 57/2017 tentang Perubahan Atas Keputusan KPU DKI Jakarta Nomor 49/2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 Putaran Kedua, membuka peluang terjadinya kecurangan. Pasalnya, SK 57 tersebut membolehkan pemilih yang tidak tercantum dalam DPT untuk menggunakan hak pilih- nya dengan membawa e-KPT atau Suket tanpa membawa Kartu Keluarga (KK). “Ini membuka peluang terjadinya kecurangan. Hal ini terjadi karena tidak ada yang dapat memastikan pengguna e-KTP dan Suket itu asli atau palsu,” ujarnya. Uthe menjelaskan, dalam UU 10/2016 tentang Pilkada hanya diatur bahwa pemilih yang tidak tercantum dalam DPT dan nantinya masuk dalam DPTb boleh membawa e-KTP atau Suket serta tidak menye- but memperlihatkan KK. Namun, pada pemungutan suara putaran pertama yang lalu KPU DKI membolehkan pemilih non-DPT menunjukan KK untuk memverifikasi dokumen kependudukan yang digunakannya. “Jika KPU tetap membi- arkan pemilih DPTb tidak menunjukan KK, kecurangan tidak dapat dielakkan. Karena, di samping ditengarai adanya e-KTP atau Suket palsu, bisa juga terjadi penggandaan e-KTP dan Suket oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Hal ini karena tidak ada alat pembanding untuk memban- dingkan apakah nama dan alamat yang bersangkutan sesuai dan benar-benar warga DKI yang berhak. KK sejatinya bisa menjadi dokumen pem- banding,” jelas dia. Menurut Uthe, jika alasan KPU DKI meniadakan syarat KK untuk meningkatkan par- tisipasi pemilih, hal tersebut salah kaprah. Pasalnya, KPU hanya mengejar aspek kuanti- tatif, tapi mengabaikan kualitas kinerjanya. “Di samping itu, dikhawa- tirkan meningkatnya angka pemilih siluman yang sulit diidentifikasi saat berada di TPS, dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan kekisruhan yang justru lebih parah dari putaran pertama,” tandasnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya menilai, sistem administrasi kependudukan yang belum berjalan baik, menimbulkan persoalan dalam penyusunan DPS hingga men- jadi DPT. Hal ini lantaran visi pemerintah agar setiap warga negara mempunyai nomor identitas tunggal (single iden- tity number) tak terealisasi hingga sekarang. “Selama sistem adminis- trasi kependudukan kita belum berjalan dengan baik, sampai kapan pun DPT kita akan terus bermasalah,” tuurnya. Ia menambahkan, perma- salahan sering berlanjut ketika surat undangan memilih untuk warga diberikan secara manu- al. Hal itu bergantung pada aparat RT/RW yang seringka- li belum tentu netral. “Sehingga kita tahu sering kali C-6 ditahan, C-6 tidak diberikan. Ini yang memperparah hak pemilih seringkali dianggap akhirnya seperti dirampas atau dihilang- kan,” tukasnya. [F-5/YUS/C-6] 3 Suara Pembaruan Senin, 27 Maret 2017 Utama Persoalan Daftar Pemilih Cermin Kinerja KPU Bawaslu DKI Sebut Banyak Data Pemilih Invalid

Upload: buithu

Post on 05-Feb-2018

228 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Senin, 27 Maret 2017 Utama Persoalan Daftar Pemilih · PDF filedan contoh data pemilih yang invalid tersebut. Dengan demi- ... hanya menjadi alat pemuas nafsu Bawaslu untuk menye-rang

[JAKARTA] Penyusunan Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pilgub DKI Jakarta putaran kedua yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI, masih menyisakan sejumlah persoalan. Tak sedi-kit warga, terutama yang tinggal di apartemen, yang namanya tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) putaran pertama justru tidak masuk dalam DPS putaran kedua. Padahal, dasar penyu-sunan DPS putaran kedua adalah DPT putaran pertama.

Selain itu, terdapat warga yang pada putaran kedua nanti harus mencoblos di TPS yang lebih jauh dari tempat tinggal-nya dibanding saat hari pen-coblosan putaran pertama. Berbagai persoalan ini menun-jukkan lemahnya kinerja KPU DKI dan jajarannya dalam menjamin hak pilih warga.

P r e s i d i u m K o m i t e Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Jojo Rohi menyatakan, persoalan DPT merupakan acuan dari kinerja KPU dan jajarannya. “Persoalan DPT atau pelayanan terhadap hak pilih warga negara menjadi acuan kinerja KPU dan jajar-annya,” kata Jojo, Senin (27/3).

Tak hanya KPU, Jojo menilai, lembaga pengawas pemilu juga memiliki andil terhadap berbagai persoalan penyusunan DPS. Pengawas pemilu seharusnya lebih pro-aktif mengawal dengan ketat proses pengolahan dan penyi-siran calon pemilih.

Dia mengakui, warga yang namanya tidak tercantum dalam DPT, masih bisa menggunakan hak pilih dengan menggunakan e-KTP atau surat keterangan (Suket) kependudukan. Namun, penerbitan Suket dinilai rawan penyimpangan.

Sebab, berkaca pada putar-an pertama, Suket yang dike-

luarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta mengaku hanya mengeluarkan 84.000 Suket. Pada kenyataannya, KPU DKI menyebut pemilih yang meng-gunakan Suket sebanyak 173.000 orangh. Dengan demikian, terdapat selisih 89.000 pemilih pengguna Suket yang tidak jelas.

“KIPP Jakarta mengingat-kan, data 89.000 pemilih pengguna Suket yang tidak dikeluarkan Disdukcapil DKI adalah bentuk maladministra-si,” tegas Direktur Eksekutif KIPP Jakarta, Rindang Adrai.

Untuk itu, KIPP Jakarta meminta Ombudsman Republik Indonesia dan Ombudsman DKI Jakarta untuk memeriksa adanya potensi maladministra-si dalam penerbitan Suket saat pemungutan suara 15 Februari silam.

Selain itu, KIPP Jakarta juga meminta Polda Metro Jaya untuk mengungkap adanya dugaan pemalsuan Suket yang digunakan pemilih pada putar-an pertama. Jangan sampai kejahatan penerbitan Suket dilakukan untuk diberikan kepada para pemilih yang tidak mengikuti prosedur pemilihan dan pemungutan suara, serta bukan warga yang berhak.

DPT putaran pertama Pilkada DKI sebanyak 7.108.589 pemilih, dengan pemilih yang masuk dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) sebanyak 237.003 orang. Dengan demikian, total pemilih pada putaran pertama mencapai 7.345.592 pemilih.

Sementara setelah diselek-si melalui aplikasi data pemilih KPU DKI, DPS putaran kedua yang sudah direkapitulasi KPU dan jajarannya sebanyak 7.264.749. Namun, dengan menggunakan Sistem Analisis Data Pemilih (SADAP),

Bawaslu DKI menyebut banyak data pemilih yang invalid.

Rindang menyatakan, KPU dan Bawaslu DKI wajib men-jelaskan makna, kategori, jenis dan contoh data pemilih yang invalid tersebut. Dengan demi-kian, penyelenggara pemilu dapat menyelesaikan persoal-an pemilih invalid yang disebut Bawaslu. Jangan sampai, pernyataan pemilih invalid ini hanya menjadi alat pemuas nafsu Bawaslu untuk menye-rang KPU DKI. “KIPP Jakarta meminta Bawaslu DKI segera mempertanggungjawabkan amanah menyelenggarakan pemilu sesuai tugas, pokok, dan fungsinya. KIPP Jakarta juga meminta hasil kerja peng-awasan partisipatif dan mem-buka laporan keuangan secara detil karena transparansi Bawaslu masih di bawah KPU DKI,” tegasnya.

Rawan KecuranganSecara terpisah, Direktur

Monitoring KIPP Uthe Pelu menilai SK KPU DKI Jakarta Nomor 57/2017 tentang Perubahan Atas Keputusan KPU DKI Jakarta Nomor 49/2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 Putaran Kedua, membuka peluang terjadinya kecurangan. Pasalnya, SK 57 tersebut membolehkan pemilih yang tidak tercantum dalam DPT untuk menggunakan hak pilih-nya dengan membawa e-KPT atau Suket tanpa membawa Kartu Keluarga (KK).

“Ini membuka peluang terjadinya kecurangan. Hal ini terjadi karena tidak ada yang dapat memastikan pengguna e-KTP dan Suket itu asli atau palsu,” ujarnya.

Uthe menjelaskan, dalam UU 10/2016 tentang Pilkada

hanya diatur bahwa pemilih yang tidak tercantum dalam DPT dan nantinya masuk dalam DPTb boleh membawa e-KTP atau Suket serta tidak menye-but memperlihatkan KK. Namun, pada pemungutan

suara putaran pertama yang lalu KPU DKI membolehkan pemilih non-DPT menunjukan KK untuk memverifikasi dokumen kependudukan yang digunakannya.

“Jika KPU tetap membi-arkan pemilih DPTb tidak menunjukan KK, kecurangan tidak dapat dielakkan. Karena, di samping ditengarai adanya e-KTP atau Suket palsu, bisa juga terjadi penggandaan e-KTP dan Suket oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Hal ini karena tidak ada alat pembanding untuk memban-dingkan apakah nama dan alamat yang bersangkutan sesuai dan benar-benar warga DKI yang berhak. KK sejatinya bisa menjadi dokumen pem-banding,” jelas dia.

Menurut Uthe, jika alasan KPU DKI meniadakan syarat KK untuk meningkatkan par-tisipasi pemilih, hal tersebut salah kaprah. Pasalnya, KPU hanya mengejar aspek kuanti-tatif, tapi mengabaikan kualitas kinerjanya.

“Di samping itu, dikhawa-t i r k a n m e n i n g k a t n y a angka pemilih siluman yang sulit diidentifikasi saat berada di TPS, dan tidak menutup

kemungkinan menimbulkan kekisruhan yang justru lebih parah dari putaran pertama,” tandasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya menilai, sistem administrasi kependudukan yang belum berjalan baik, menimbulkan persoalan dalam penyusunan DPS hingga men-jadi DPT. Hal ini lantaran visi pemerintah agar setiap warga negara mempunyai nomor identitas tunggal (single iden-tity number) tak terealisasi hingga sekarang.

“Selama sistem adminis-trasi kependudukan kita belum berjalan dengan baik, sampai kapan pun DPT kita akan terus bermasalah,” tuurnya.

Ia menambahkan, perma-salahan sering berlanjut ketika surat undangan memilih untuk warga diberikan secara manu-al. Hal itu bergantung pada aparat RT/RW yang seringka-li belum tentu netral. “Sehingga kita tahu sering kali C-6 ditahan, C-6 tidak diberikan. Ini yang memperparah hak pemilih seringkali dianggap akhirnya seperti dirampas atau dihilang-kan,” tukasnya. [F-5/YUS/C-6]

3Sua ra Pem ba ru an Senin, 27 Maret 2017 Utama

Persoalan Daftar Pemilih Cermin Kinerja KPUBawaslu DKI Sebut Banyak Data Pemilih Invalid