senin, 24 oktober 2011 revitalisasi pendidikan pancasila m filehilangkan kata ‘pancasila’?...

1
EBET M ENGAITKAN Pancasila dengan pendidikan, apa- lagi di era refor- masi, rasanya begitu aneh. Du- nia pendidikan negeri ini ‘me- lupakan’ pendidikan Pancasila. Institusi beserta pemangku kepentingan pendidikan lebih gandrung dengan wacana kapi- talisasi dan liberalisasi pendi- dikan, akademis, serta study ori- ented. Pendidikan Pancasila tak lagi menjadi perbincangan seksi seperti tahun sebelumnya. Merosotnya wacana pendi- dikan Pancasila tak dilepaskan dari bias politik pasca-Orde Baru tumbang dari kekuasaan. Ketika rezim Orba di bawah kepemim- pinan Soeharto (alm) jatuh pada 21 Mei 1998, kelompok oposisi yang tak ingin Pancasila dijadi- kan asas tunggal, yang berisi ajaran indoktrinasi sebagaimana dilakukan Pak Harto, menggu- gat konstitusi. Walhasil, Keteta- pan MPR RI No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dicabut dalam Sidang Istimewa MPR 1998. Pascapencabutan P4 dari teks konstitusi, gaung praksis wacana pendidikan Pancasila sudah tak terdengar lagi bahkan kian meredup, termasuk dalam dunia pendidikan—hingga saat ini. Jika sebelumnya pen- didikan Pancasila dijadikan materi pokok (baca: PMP) da- lam penataran di sekolah dan perguruan tinggi dengan tujuan membentuk karakter dan etis- moral pelajar, mahasiswa, guru, dan dosen, tetapi kini justru sebaliknya. Kondisi diperparah, ketika kita menerima kenyataan pelik hasil amendemen Undang-Un- dang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tak lagi menyebutkan secara eksplisit pelajaran pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) secara formal diganti menjadi pendidikan kewar- ganegaraan (PKn). Dengan begitu, pendidikan Pancasila bukan lagi pelajaran pokok yang wajib diajarkan dalam jenjang pendidikan formal dari tingkat paling dasar hingga perguruan tinggi. Apa motif penguasa atau stakeholders pendidikan meng- hilangkan kata ‘Pancasila’? Adakah tujuan itu lumrah ada- nya? Atau sebaliknya, ada ke- hendak dari pihak tertentu un- tuk menjauhkan Pancasila dari kehidupan mereka, termasuk dalam lembaga pendidikan di negeri 240 juta jiwa? Penghapusan kata ‘Pancasi- la’ dari teks Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional jelas memiliki tujuan tertentu. Tafsir itu tak dapat ditepis ka- rena penghilangan kata terse- but pastilah memiliki tendensi politik tertentu. Apalagi jika kita mengingat kata Erich Fromm. Menurut Fromm, bahasa bukan sekadar kumpulan kata- kata. Bahasa dapat berubah menjadi kekuasaan. Dalam hal itu, kekuasaan tak berarti jabat- an politik, tapi bisa saja berupa pemikiran dan sikap. Itu arti- nya, bahasa memiliki power kuat memengaruhi pemikiran dan bahkan perilaku khalayak luas. Harold Dwight Lasswell pun menegaskan kata atau bahasa tak sekadar peristiwa linguistik belaka, tapi merupakan artefak adanya pergumulan interes. De- ngan bahasa lain, teks merupa- kan tempat menyembunyikan berbagai interes politik. Jadi, bahasa sebenarnya mampu merepresentasikan pergumulan kuasa, baik pada level individu maupun struktur. Dengan begitu, menjadi wa- jar jika ada sekelompok orang merawa khawatir tentang hi- langnya kata dan teks tentang Pancasila dari kosakata anak- anak di sekolah (Dr Munawar Ahmad, 2010). Dengan demikian, pemba- caan adanya tendensi (politik) dari penghilangan kata ‘Pan- casila’ dari teks konstitusi UU Sisdiknas tak dapat dielakkan karena bahasa, menurut Fromm maupun Lasswell, bukan seka- dar kata-kata atau peristiwa linguistik. Bahasa mempunyai kekuasaan politik dalam me- mengaruhi pikiran dan sikap seseorang. Paradoks pendidikan Pancasila Dewasa ini begitu banyak kegelisahan bahkan problema- tik dunia pen- didikan Tanah Air dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (PT). Terutama kaitannya dengan pendidikan Pancasila yang tak lagi menjadi pedoman berpikir, bersikap, dan juga bertindak para (calon) ilmuwan kita. Tan- pa menakan prestasi lembaga pendidikan negeri ini, khalayak tak dapat menutup mata dan telinga gambaran memilukan terjadi dalam dunia pendidik- an yang menjadi saka guru bangsa. Baru-baru ini publik dikejut- kan aksi kekerasan dan arogan pelajar SMA Jakarta terhadap wartawan. Masih di Ibu Kota, sikap arogan juga ditunjukkan Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri memberikan gelar kehormatan akademik honoris causa pada Raja Arab Saudi Ab- dullah bin Abdul Azis al-Saud dengan ‘mengabaikan’ suara mayoritas sivitas akademika di ‘Kampus Kuning’ itu. Di Riau seorang profesor melakukan ketidakjujuran in- telektual dengan mempla- giat karya orang lain. Ini kita belum berbicara soal kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan semakin marak di bangsa ini, eksistensi lembaga pendidikan yang kini dominan berada di menara gading-- ’menarik’ jarak dari realitas sosial, maraknya intelektual menjadi koruptor, dan masih banyak lagi. Potret menyedihkan dunia pendidikan itu tak bisa dilepas- kan dari paradoks pendidikan Pancasila. Pendidikan Pancasila tak mengajarkan kekerasan, ketidakjujuran, arogansi, dan nilai buruk lain. Sebagai pan- dangan hidup, weltanschauung, pendidikan Pancasila, menurut Muchson AR (2010), memuat nilai etis-moral. Dalam ranah akademis, pendidikan Pancasila bersumber pada ajaran luhur bangsa bersifat kultur lokal- historis, yakni berasal dari buku Negarakertagama karya Empu Prapanca di masa Majapahit. Karya itu berisi p r i n s i p moral dise- but pancasyiila (lima peraturan tingkah laku yang baik) atau pancasyila atau lima landasan, dasar. Ajaran local wisdom itu ke- mudian menjadi nilai esensi yang syarat nilai dan bersi- fat universal dari pendidikan Pancasila, seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, ke- rakyatan, dan juga keadilan sosial. Sayangnya, nilai luhur pendidikan Pancasila digali dari kultul lokal tak mampu diinter- nalisasikan secara nyata dalam pola pikir dan bahkan perilaku para ilmuwan bangsa ini. Akibatnya, dunia pendidik- an Indonesia semakin terpu- ruk. Bukan saja soal arogansi, ketidakjujuran, dan kekerasan yang menjadi masalah serius dalam pendidikan kontem- porer, masalah kualitas ilmu pengetahuan kita juga kian merosot tajam. Menurut Terry Mart (2011) dalam tulisannya di media nasional (24/9), hasil riset terbaru terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di 10 negara anggota ASEAN, Indonesia ber- ada pada peringkat menyedih- kan. Peringkat Indonesia berada pada posisi keempat di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Padahal, Malaysia pada 1970-an pernah memin- ta tenaga pengajar Indonesia untuk mengembangkan pendi- dikan di negeri jiran itu. Ironi, bukan? Revitalisasi pendidikan Pancasila Di tengah kemunduran du- nia pendidikan kita, hemat penulis menghidupkan kembali roh pendidikan Pancasila (revitalisasi) merupakan suatu keharus- an. Namun, yang dimaksud bukan pendidikan Pancasila yang berisi indoktrinasi-formal- itas, melainkan ajaran pendi- dikan Pancasila yang bersifat terbuka dengan nilai-nilai dasar yang inheren di dalamnya. Pendidikan Pancasila ber- makna ideologi terbuka. Bukan makna Pancasila dimonopoli dan didenisi secara politik, me- lainkan pendidikan Pancasila ditafsirkan secara akademik. Muchson AR mengatakan jika Pancasila dikaji dalam ruang akademis, ada dua fokus. Per- tama, Pancasila sebagai objek kajian (genetivus objecktivus). Kedua, Pancasila sebagai subjek kajian (genetivus subjecktivus). Sebagai objek kajian, Pancasila dapat ditelaah melalui berbagai disiplin ilmu untuk memperoleh pembenaran ilmiah. Tujuannya agar eksistensi Pancasila se- makin kukuh. Sebagai subjek kajian, Pancasila menjadi re- ferensi dalam pengembangan berbagai disiplin ilmu: politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan lainnya. Ini bertujuan fungsi atau aktualisasi Pancasila dapat menjadi landasan losodalam berbagai disiplin ilmu tersebut. Menghidupkan kembali pen- didikan Pancasila dalam ranah akademis semakin mengukuh- kan warisan founding fathers itu di institusi pendidikan. Pendi- dikan yang tidak hanya menon- jolkan intelektual-akademis, tapi pendidikan Pancasila yang me- muat ajaran moral-etis, karakter, dan kepribadian bangsa--dalam arti sesungguhnya. Mengem- balikan pendidikan Pancasila ke lingkungan sekolah sama artinya dengan menghidupkan kembali nilai-nilai budaya bang- sa yang selama ini seperti hilang dari ingatan kolektif bangsa. Jika ditambah dengan berubahnya kembali nomen- klatur Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) men- jadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), semoga itu menandai adanya perubahan paradigma dalam dunia pendidikan kita yang seakan kehilangan rohnya di tengah-tengah era reformasi yang tak jelas arahnya. Menga- jarkan Pancasila sebagai agenda memperkenalkan kembali ke- budayaan Indonesia dengan cara yang terbuka sama arti- nya dengan menggali kembali nilai-nilai dasar atau citra diri bangsa Indonesia yang sangat beragam, tetapi tetap dalam balutan NKRI. M ELUPAKAN se- jarah merupakan pekerjaan orang bodoh, dan tak mengambil pelajaran dari masa lalu sungguh lebih bodoh lagi. Karena itu jika kesadaran kita tentang hal-hal baik kembali lagi, itu pertanda kita mulai siuman dari tidur panjang de- ngan mimpi buruk yang tiada akhir. Kembalinya nomenkla- tur ‘kebudayaan’ ke dalam kementerian pendidikan patut disambut baik dan semoga itu pertanda baik dari strategi pendidikan dan kebudayaan kita ke depan. Tantangan terbesar pengem- bangan terma kebudayaan ke dalam proses belajar-mengajar tentu saja tidaklah mudah. Sa- ngat umum diketahui bahwa para guru di ruang kelas kerap memaknai budaya sebagai se- suatu yang given dan das sein sehingga bentuk implementa- sinya hanya sebatas mengenal- kan keragaman budaya seba- gai sesuatu yang harus dihar- gai dan dikonservasi,sesuatu yang sakral dan tidak dapat diubah. Pada akhirnya tafsir soal bu- daya jatuh ke dalam dan hanya sebuah bentuk penghargaan seni dan budaya, apakah itu tari, lagu, dan pernak-pernik peninggalan bersejarah lain- nya. Kurikulum kita perlu lebih siap secara konsepsional me- nerjemahkan budaya sebagai sesuatu yang progresif, dengan seluruh bangunan kebudayaan Nusantara merupakan pendo- rong untuk meraih sekaligus mengubah masa depan Indo- nesia yang lebih baik (culture as achievement ). Menghargai budaya sebagai sesuatu yang das sollen harus diperkenalkan dan diajarkan sehingga pema- haman siswa tentang budaya tidak direduksi semata produk dan komuditas yang harus di- jual dan dipertontonkan. Jika para siswa diajarkan tentang makna budaya dalam pendekatan yang holistik-- meminjam dan sambil meng- ingat Soedjatmoko, di masa depan siswa akan memiliki karakter seorang budayawan yang peduli dengan apa yang terjadi di masyarakatnya. Se- seorang yang secara personal memiliki pengalaman dan pan- dangan yang cermat soal bu- daya dipastikan akan memiliki kesadaran dan pengetahuan yang mampu mengubah dunia demi memperbaiki kehidup- an manusia. Jika kebudayaan diajarkan secara progresif da- lam makna yang luas, artinya kita sedang mempersiapkan anak-anak kita untuk menjadi pemikir yang peduli dengan masyarakat mereka. Mungkin ada baiknya jika seluruh buku teks untuk semua mata ajar yang akan diajarkan dan digunakan sekolah me- masukkan skema pengelanan budaya dalam spektrum yang lebih luas. Van Puersen dalam uraiannya tentang strategi ke- budayaan dengan baik mem- berikan penahapan budaya yang sangat baik jika dipahami dalam konteks kekinian kare- na ingin membeberkan suatu gambar atau bentuk skematis sederhana mengenai perkem- bangan kebudayaan. Dalam skema Van Peursen, penahapan kebudayaan itu ter- diri dari mitis, ontologis, dan fungsional. Di tahap mitis, ma- nusia dipandang masih terbe- nam dalam dunia sekitarnya; tahap ontologis, bilamana manusia telah mengambil jarak terhadap alam raya dan terhadap dirinya sendiri; dan tahap fungsional bila manusia mulai menyadari relasi-relasi kemudian mendekati tema- tema tradisional, yang oleh van Peursen disebutkan alam, Tuhan, sesama, identitas diri sendiri, dengan cara yang baru. Tahapan itu tidak menun- jukkan kualitas tingkatan, tetapi setiap tahapan memiliki kekhasan positif dan nega- tifnya sendiri-sendiri. Jika ke- budayaan dikenalkan kepada para siswa di sekolah dalam sebuah rangkaian yang berja- lin berkelindan seperti ini, da- pat dipastikan para siswa akan memahami dan memaknai budaya dalam spektrum yang luas dan berkesinambungan karena relevan dengan semua mata ajar yang mereka peroleh di sekolah. Itu artinya pemahaman ten- tang budaya dalam wajahnya yang luas dan hampir tak terbatas akan membawa siswa ke arah pemahaman yang be- nar tentang wujud perbedaan dalam beragam simpul budaya dan tradisi sehingga siswa ter- tuntun dan terbiasa untuk me- nyikapi sesuatu dengan cara yang berbeda. Pemahaman makna kebudayaan secara luas juga akan memberikan siswa dan guru serta sekolah sekaligus kemampuan untuk menghargai perbedaan dan kemajemukan sebagai sebuah batu uji untuk meraih cita- cita. Karena itu menjadi pen- ting sosialisasi tentang ke- budayaan secara benar ter- hadap siswa dan guru sehing- ga sekolah ikut bertanggung jawab dalam memperkenalkan kemajemukan budaya. Grobler (2006) dalam Creating a School Environment for the Effective Management of Cultural Di- versity memiliki pandangan cerdas tentang bagaimana seharusnya sekolah memiliki pandangan yang menghargai kemajemukan. Menurutnya, salah satu aspek penting dalam mengelola kemajemukan ialah ‘... concerned with the creation of a school environment where diversity is both understood, and celebrated’. Memahami dan merayakan perbedaan adalah lanskap hukum alam yang memang sebaiknya tidak bisa dilanggar siapa pun, apalagi di dunia pendidikan. Jika saat ini masih ada sekolah yang memiliki pemikiran untuk menghindari adanya perbedaan, jelas ber- tentangan dengan kehendak Yang Maha Esa. Karena itu, menjadi jelas bahwa mengelola kemajemu- kan merupakan tugas utama sekolah dan seluruh aspek kepemimpinannya ( leader- ship ), baik level individual siswa, guru, dan orangtua (interpersonal), tetapi juga ha- rus menyatu dalam kerangka kebijakan sekolah secara ke- seluruhan. Selain itu, mengelola kema- jemukan juga bukan semata dan seperti membuat regulasi sebagai alat untuk memberi ke- sempatan setiap orang merasa memperoleh kesempatan dan kesamaan. Tetapi, lebih dari itu, manajemen sekolah harus melihat faktor manajemen sebagai alat untuk menumbuh- kan rekognisi sosial di sekolah sebagai sebuah fakta kemaje- mukan yang tidak boleh di- hindari dan dihilangkan. Di sinilah makna penting kebu- dayaan yang harus dipahami otoritas pendidikan kita. Sela- mat datang, kebudayaan. CALAK EDU DOK PRIBADI Ahmad Baedowi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP). PARTISIPASI OPINI Andi Andrianto Pemerhati masalah pendidikan dan politik di Yogyakarta p 26 SENIN, 24 OKTOBER 2011 P ENDIDIK AN Menjadi penting sosialisasi tentang kebudayaan secara benar terhadap siswa dan guru sehingga sekolah ikut bertanggung jawab dalam memperkenalkan kemajemukan budaya.” Revitalisasi Pendidikan Pancasila Selamat Datang (kembali) Kebudayaan Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Tele- pon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirku- lasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Percetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Rekening Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Sudirman: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: [email protected], Per- cetakan: Media Indonesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Web- site: www.mediaindonesia.com, DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WAR- TAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU ME- MINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm) Direktur Utama: Rahni Lowhur-Schad Direktur Pemberitaan: Saur M. Hutabarat Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus Dewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudra- djat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryo- pratomo, Toeti Adhitama Redaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hu- tabarat Deputi Direktur Pemberitaan: Usman Kansong Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden Suban Kepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius Suhardi Deputi Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar Sekretaris Redaksi: Teguh Nirwahyudi Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Ade Alawi, Fitriana Siregar, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.Sihombing Asisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kustedja, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S. Brahmana, Mo- chamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, Soelistijono Staf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy, Aries Wijaksena, Aryo Bhawono, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Christina Natalia S, Cornelius Eko, David Tobing, Denny Parsaulian Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mutiah, Dwi Tupani Gunarwati, Edwin Tirani, Edy Asrina Putra, Emir Chairul- lah, Eni Kartinah, Eri Anugerah, Fardiansah Noor, Fidel Ali Permana, Gino F. Hadi, Heru Prihmantoro, Heryadi, Ignatius Santirta, Iis Zat- nika, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Iwan Kurniawan, Jajang Su- mantri, Jerome Eugene W, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnubroto, M. Soleh, Mirza Andreas, Mohamad Irfan, Muhamad Fauzi, Nurulia Juwita, Panca Syurkani, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sidik Pramono, Siswantini Sury- andari, Sitriah Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumar- yanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalatie Yani, Tutus Subronto, Usman Iskandar, Wendy Mehari, Windy Dyah Indriantari, Zubaedah Hanum Biro Redaksi: Dede Susianti (Bogor) Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman (Palembang); Parulian Manulang (Pa- dang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya) MICOM Asisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. Nababan Redaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, Widhoroso Staf Redaksi: Heni Rahayu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Rita Ayuningtyas, Yulia Permata Sari, Wisnu Arto Subari Staf: Abadi Surono, Abdul Salam, Budi Haryanto, Charles Silaban, M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian, Vicky Gus- tiawan, Widjokongko DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING) Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica Huwae Redaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe, Regina Panon- tongan Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian, Nia Novelia, Rahma Wulandari CONTENT ENRICHMENT Asisten Kepala Divisi: Yohanes S. Widada Periset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Aam Firdaus, Adang Is- kandar, Mahmudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto ARTISTIK Redaktur: Annette Natalia, Donatus Ola Pereda, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata Areadi Staf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Aria Mada, Bayu Wicaksono, Budi Setyo Widodo, Dharma Soleh, En- dang Mawardi, Fredy Wijaya, Gugun Permana, Hari Syahriar, Haris Imron Armani, Haryadi, Lisa Saputra, Marionsandez G, M. Rusli, Mu- hamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nur- kania Ismono, Permana, Putra Adji, Tutik Sunarsih, Warta Santosi Olah Foto: Saut Budiman Marpaung, Sutarman. PENGEMBANGAN BISNIS Kepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful Bachri Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Su- jiyono Asisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Perwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: Jo- seph (061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi Yudhanto (0274) 523167; Palembang: Andi Hendriansyah, Ferry Mussanto (0711) 317526, Pekanbaru: Bambang Irianto 081351738384.

Upload: lamthuy

Post on 03-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SENIN, 24 OKTOBER 2011 Revitalisasi Pendidikan Pancasila M filehilangkan kata ‘Pancasila’? Adakah tujuan itu lumrah ada-nya? Atau sebaliknya, ada ke-hendak dari pihak tertentu

EBET

ME N G A I T K A N Pancasila dengan pendidikan, apa-lagi di era refor-

masi, rasanya begitu aneh. Du-nia pendidikan negeri ini ‘me-lupakan’ pendidikan Pancasila. Institusi beserta pemangku kepentingan pendidikan lebih gandrung dengan wacana kapi-talisasi dan liberalisasi pendi-dikan, akademis, serta study ori-ented. Pendidikan Pancasila tak lagi menjadi perbincangan seksi seperti tahun sebelumnya.

Merosotnya wacana pendi-dikan Pancasila tak dilepaskan dari bias politik pasca-Orde Baru tumbang dari kekuasaan. Ketika rezim Orba di bawah kepemim-pinan Soeharto (alm) jatuh pada 21 Mei 1998, kelompok oposisi yang tak ingin Pancasila dijadi-kan asas tunggal, yang berisi ajaran indoktrinasi sebagaimana dilakukan Pak Harto, menggu-gat konstitusi. Walhasil, Keteta-pan MPR RI No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dicabut dalam Sidang Istimewa MPR 1998.

Pascapencabutan P4 dari teks konstitusi, gaung praksis wacana pendidikan Pancasila sudah tak terdengar lagi bahkan kian meredup, termasuk dalam dunia pendidikan—hingga saat ini. Jika sebelumnya pen-didikan Pancasila dijadikan materi pokok (baca: PMP) da-lam penataran di sekolah dan perguruan tinggi dengan tujuan membentuk karakter dan etis-moral pelajar, mahasiswa, guru, dan dosen, tetapi kini justru sebaliknya.

Kondisi diperparah, ketika kita menerima kenyataan pelik hasil amendemen Undang-Un-dang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tak lagi menyebutkan secara eksplisit pelajaran pendidikan

Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) secara formal diganti menjadi pendidikan kewar-ganegaraan (PKn). Dengan begitu, pendidikan Pancasila bukan lagi pelajaran pokok yang wajib diajarkan dalam jenjang pendidikan formal dari tingkat paling dasar hingga perguruan tinggi.

Apa motif penguasa atau stakeholders pendidikan meng-hilangkan kata ‘Pancasila’? Adakah tujuan itu lumrah ada-nya? Atau sebaliknya, ada ke-hendak dari pihak tertentu un-tuk menjauhkan Pancasila dari kehidupan mereka, termasuk dalam lembaga pendidikan di negeri 240 juta jiwa?

Penghapusan kata ‘Pancasi-la’ dari teks Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional jelas memiliki tujuan tertentu. Tafsir itu tak dapat ditepis ka-rena penghilangan kata terse-but pastilah memiliki tendensi politik tertentu. Apalagi jika kita mengingat kata Erich Fromm.

Menurut Fromm, bahasa bukan sekadar kumpulan kata-kata. Bahasa dapat berubah menjadi kekuasaan. Dalam hal itu, kekuasaan tak berarti jabat-an politik, tapi bisa saja berupa pemikiran dan sikap. Itu arti-nya, bahasa memiliki power kuat memengaruhi pemikiran dan bahkan perilaku khalayak luas.

Harold Dwight Lasswell pun menegaskan kata atau bahasa tak sekadar peristiwa linguistik belaka, tapi merupakan artefak adanya pergumulan interes. De-ngan bahasa lain, teks merupa-kan tempat menyembunyikan berbagai interes politik. Jadi, bahasa sebenarnya mampu merepresentasikan pergumulan kuasa, baik pada level individu maupun struktur.

Dengan begitu, menjadi wa-jar jika ada sekelompok orang merawa khawatir tentang hi-

langnya kata dan teks tentang Pancasila dari kosakata anak-anak di sekolah (Dr Munawar Ahmad, 2010).

Dengan demikian, pemba-caan adanya tendensi (politik) dari penghilangan kata ‘Pan-casila’ dari teks konstitusi UU Sisdiknas tak dapat dielakkan karena bahasa, menurut Fromm maupun Lasswell, bukan seka-dar kata-kata atau peristiwa linguistik. Bahasa mempunyai kekuasaan politik dalam me-mengaruhi pikiran dan sikap seseorang.

Paradoks pendidikan PancasilaDewasa ini begitu banyak

kegelisahan bahkan problema-tik dunia pen-didikan

Tanah Air dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (PT). Terutama kaitannya dengan pendidikan Pancasila yang tak lagi menjadi pedoman berpikir, bersikap, dan juga bertindak para (calon) ilmuwan kita. Tan-pa menafi kan prestasi lembaga pendidikan negeri ini, khalayak tak dapat menutup mata dan telinga gambaran memilukan

terjadi dalam dunia pendidik-an yang menjadi saka guru bangsa.

Baru-baru ini publik dikejut-kan aksi kekerasan dan arogan pelajar SMA Jakarta terhadap wartawan. Masih di Ibu Kota, sikap arogan juga ditunjukkan Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri memberikan gelar kehormatan akademik honoris causa pada Raja Arab Saudi Ab-dullah bin Abdul Azis al-Saud dengan ‘mengabaikan’ suara mayoritas sivitas akademika di ‘Kampus Kuning’ itu.

Di Riau seorang profesor melakukan ketidakjujuran in-telektual dengan mempla-giat karya orang

lain. Ini kita belum berbicara soal kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan semakin marak di bangsa ini, eksistensi lembaga pendidikan yang kini dominan berada di menara gading--’menarik’ jarak dari realitas sosial, maraknya intelektual menjadi koruptor, dan masih banyak lagi.

Potret menyedihkan dunia

pendidikan itu tak bisa dilepas-kan dari paradoks pendidikan Pancasila. Pendidikan Pancasila tak mengajarkan kekerasan, ketidakjujuran, arogansi, dan nilai buruk lain. Sebagai pan-dangan hidup, weltanschauung, pendidikan Pancasila, menurut Muchson AR (2010), memuat nilai etis-moral. Dalam ranah akademis, pendidikan Pancasila bersumber pada ajaran luhur bangsa bersifat kultur lokal-historis, yakni berasal dari buku Negarakertagama karya Empu Prapanca di masa Majapahit. Karya itu berisi p r i n s i p

m o r a l d i s e -

b u t

pancasyiila (lima peraturan tingkah laku yang

baik) atau pancasyila atau lima landasan, dasar.

Ajaran local wisdom itu ke-mudian menjadi nilai esensi yang syarat nilai dan bersi-fat universal dari pendidikan Pancasila, seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, ke-rakyatan, dan juga keadilan sosial. Sayangnya, nilai luhur pendidikan Pancasila digali dari kultul lokal tak mampu diinter-

nalisasikan secara nyata dalam pola pikir dan bahkan perilaku para ilmuwan bangsa ini.

Akibatnya, dunia pendidik-an Indonesia semakin terpu-ruk. Bukan saja soal arogansi, ketidakjujuran, dan kekerasan yang menjadi masalah serius dalam pendidikan kontem-porer, masalah kualitas ilmu pengetahuan kita juga kian merosot tajam. Menurut Terry Mart (2011) dalam tulisannya di media nasional (24/9), hasil riset terbaru terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di 10 negara anggota ASEAN, Indonesia ber-ada pada peringkat menyedih-kan. Peringkat Indonesia berada pada posisi keempat di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Padahal, Malaysia pada 1970-an pernah memin-ta tenaga pengajar Indonesia untuk mengembangkan pendi-dikan di negeri jiran itu. Ironi, bukan?

Revitalisasi pendidikan Pancasila

Di tengah kemunduran du-nia pendidikan kita, hemat

penulis menghidupkan kembali roh pendidikan Pancasila (revitalisasi) merupakan suatu keharus-

an. Namun, yang dimaksud bukan pendidikan Pancasila

yang berisi indoktrinasi-formal-itas, melainkan ajaran pendi-dikan Pancasila yang bersifat terbuka dengan nilai-nilai dasar yang inheren di dalamnya.

Pendidikan Pancasila ber-makna ideologi terbuka. Bukan makna Pancasila dimonopoli dan didefi nisi secara politik, me-lainkan pendidikan Pancasila ditafsirkan secara akademik. Muchson AR mengatakan jika Pancasila dikaji dalam ruang akademis, ada dua fokus. Per-tama, Pancasila sebagai objek kajian (genetivus objecktivus).

Kedua, Pancasila sebagai subjek kajian (genetivus subjecktivus).

Sebagai objek kajian, Pancasila dapat ditelaah melalui berbagai disiplin ilmu untuk memperoleh pembenaran ilmiah. Tujuannya agar eksistensi Pancasila se-makin kukuh. Sebagai subjek kajian, Pancasila menjadi re-ferensi dalam pengembangan berbagai disiplin ilmu: politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan lainnya. Ini bertujuan fungsi atau aktualisasi Pancasila dapat menjadi landasan fi losofi dalam berbagai disiplin ilmu tersebut.

Menghidupkan kembali pen-didikan Pancasila dalam ranah akademis semakin mengukuh-kan warisan founding fathers itu di institusi pendidikan. Pendi-dikan yang tidak hanya menon-jolkan intelektual-akademis, tapi pendidikan Pancasila yang me-muat ajaran moral-etis, karakter, dan kepribadian bangsa--dalam arti sesungguhnya. Mengem-balikan pendidikan Pancasila ke lingkungan sekolah sama artinya dengan menghidupkan kembali nilai-nilai budaya bang-sa yang selama ini seperti hilang dari ingatan kolektif bangsa.

J ika d i tambah dengan berubahnya kembali nomen-klatur Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) men-jadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), semoga itu menandai adanya perubahan paradigma dalam dunia pendidikan kita yang seakan kehilangan rohnya di tengah-tengah era reformasi yang tak jelas arahnya. Menga-jarkan Pancasila sebagai agenda memperkenalkan kembali ke-budayaan Indonesia dengan cara yang terbuka sama arti-nya dengan menggali kembali nilai-nilai dasar atau citra diri bangsa Indonesia yang sangat beragam, tetapi tetap dalam balutan NKRI.

MELUPAKAN se-jarah merupakan pekerjaan orang bodoh, dan tak

mengambil pelajaran dari masa lalu sungguh lebih bodoh lagi. Karena itu jika kesadaran kita tentang hal-hal baik kembali lagi, itu pertanda kita mulai siuman dari tidur panjang de-ngan mimpi buruk yang tiada akhir. Kembalinya nomenkla-tur ‘kebudayaan’ ke dalam kementerian pendidikan patut disambut baik dan semoga itu pertanda baik dari strategi pendidikan dan kebudayaan kita ke depan.

Tantangan terbesar pengem-bangan terma kebudayaan ke dalam proses belajar-mengajar tentu saja tidaklah mudah. Sa-ngat umum diketahui bahwa para guru di ruang kelas kerap memaknai budaya sebagai se-suatu yang given dan das sein sehingga bentuk implementa-sinya hanya sebatas mengenal-kan keragaman budaya seba-gai sesuatu yang harus dihar-gai dan dikonservasi,sesuatu yang sakral dan tidak dapat diubah.

Pada akhirnya tafsir soal bu-daya jatuh ke dalam dan hanya

sebuah bentuk penghargaan seni dan budaya, apakah itu tari, lagu, dan pernak-pernik peninggalan bersejarah lain-nya.

Kurikulum kita perlu lebih siap secara konsepsional me-nerjemahkan budaya sebagai sesuatu yang progresif, dengan seluruh bangunan kebudayaan Nusantara merupakan pendo-rong untuk meraih sekaligus mengubah masa depan Indo-nesia yang lebih baik (culture as achievement). Menghargai budaya sebagai sesuatu yang das sollen harus diperkenalkan dan diajarkan sehingga pema-haman siswa tentang budaya tidak direduksi semata produk dan komuditas yang harus di-jual dan dipertontonkan.

Jika para siswa diajarkan tentang makna budaya dalam pendekatan yang holistik--meminjam dan sambil meng-ingat Soedjatmoko, di masa depan siswa akan memiliki karakter seorang budayawan yang peduli dengan apa yang terjadi di masyarakatnya. Se-seorang yang secara personal memiliki pengalaman dan pan-dangan yang cermat soal bu-daya dipastikan akan memiliki

kesadaran dan pengetahuan yang mampu mengubah dunia demi memperbaiki kehidup-an manusia. Jika kebudayaan diajarkan secara progresif da-lam makna yang luas, artinya kita sedang mempersiapkan anak-anak kita untuk menjadi pemikir yang peduli dengan masyarakat mereka.

Mungkin ada baiknya jika seluruh buku teks untuk semua mata ajar yang akan diajarkan dan digunakan sekolah me-masukkan skema pengelanan budaya dalam spektrum yang lebih luas. Van Puersen dalam uraiannya tentang strategi ke-budayaan dengan baik mem-berikan penahapan budaya yang sangat baik jika dipahami dalam konteks kekinian kare-na ingin membeberkan suatu gambar atau bentuk skematis sederhana mengenai perkem-bangan kebudayaan.

Dalam skema Van Peursen, penahapan kebudayaan itu ter-diri dari mitis, ontologis, dan fungsional. Di tahap mitis, ma-nusia dipandang masih terbe-nam dalam dunia sekitarnya; tahap ontologis, bilamana manusia telah mengambil jarak terhadap alam raya dan

terhadap dirinya sendiri; dan tahap fungsional bila manusia mulai menyadari relasi-relasi kemudian mendekati tema-tema tradisional, yang oleh van Peursen disebutkan alam, Tuhan, sesama, identitas diri sendiri, dengan cara yang baru.

Tahapan itu tidak menun-jukkan kualitas tingkatan, tetapi setiap tahapan memiliki kekhasan positif dan nega-tifnya sendiri-sendiri. Jika ke-budayaan dikenalkan kepada para siswa di sekolah dalam sebuah rangkaian yang berja-lin berkelindan seperti ini, da-pat dipastikan para siswa akan memahami dan memaknai budaya dalam spektrum yang luas dan berkesinambungan karena relevan dengan semua mata ajar yang mereka peroleh di sekolah.

Itu artinya pemahaman ten-tang budaya dalam wajahnya yang luas dan hampir tak terbatas akan membawa siswa ke arah pemahaman yang be-nar tentang wujud perbedaan dalam beragam simpul budaya dan tradisi sehingga siswa ter-tuntun dan terbiasa untuk me-nyikapi sesuatu dengan cara

yang berbeda. Pemahaman makna kebudayaan secara luas juga akan memberikan siswa dan guru serta sekolah sekaligus kemampuan untuk menghargai perbedaan dan kemajemukan sebagai sebuah batu uji untuk meraih cita-cita.

Karena itu menjadi pen-ting sosialisasi tentang ke-budayaan secara benar ter-hadap siswa dan guru sehing-ga sekolah ikut bertanggung jawab dalam memperkenalkan kemajemuk an budaya. Grobler (2006) dalam Creating a School Environment for the Effective Management of Cultural Di-versity memiliki pandangan cerdas tentang bagaimana seharusnya sekolah memiliki pandangan yang menghargai kemajemuk an. Menurutnya, salah satu aspek penting dalam me ngelola kemajemukan ialah ‘...concerned with the creation of a school environment where diversity is both understood, and celebrated’.

Memahami dan merayakan perbedaan adalah lanskap hukum alam yang memang sebaiknya tidak bisa dilanggar siapa pun, apalagi di dunia

pendidikan. Jika saat ini masih ada sekolah yang memiliki pemikiran untuk menghindari adanya perbedaan, jelas ber-tentangan dengan kehendak Yang Maha Esa.

Karena itu, menjadi jelas bahwa me ngelola kemajemu-kan merupakan tugas utama sekolah dan seluruh aspek kepemimpinannya (leader-ship), baik level individual siswa, guru, dan orangtua (interpersonal), tetapi juga ha-rus menyatu dalam kerangka kebijakan sekolah secara ke-seluruhan.

Selain itu, mengelola kema-jemukan juga bukan semata dan seperti membuat regulasi sebagai alat untuk memberi ke-sempatan setiap orang merasa memperoleh kesempatan dan kesamaan. Tetapi, lebih dari itu, manajemen sekolah harus melihat faktor manajemen sebagai alat untuk menumbuh-kan rekognisi sosial di sekolah sebagai sebuah fakta kemaje-mukan yang tidak boleh di-hindari dan dihilangkan. Di sinilah makna penting kebu-dayaan yang harus dipahami otoritas pendidikan kita. Sela-mat datang, kebudayaan.

CALAK EDU

DOK PRIBADI

Ahmad BaedowiDirektur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta

Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP).PARTISIPASI OPINI

Andi AndriantoPemerhati masalah pendidikan dan politik di Yogyakarta

p

26 SENIN, 24 OKTOBER 2011PENDIDIKAN

Menjadi penting sosialisasi

tentang kebudayaan secara benar terhadap siswa dan guru sehingga sekolah ikut bertanggung jawab dalam memperkenalkan kemajemuk an budaya.”

Revitalisasi Pendidikan Pancasila

Selamat Datang (kembali) Kebudayaan

Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Tele-pon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirku-lasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Per cetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Reke ning Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Su dir man: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Pur nama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Se latan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: [email protected], Per-cetakan: Media In do nesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Web-site: www.mediaindo nesia.com,

DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WAR-TAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DI PERKENANKAN MENERIMA ATAU ME-MINTA IMBALAN DE NGAN ALASAN APA PUN

Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm)Direktur Utama: Rahni Lowhur-SchadDirektur Pemberitaan: Saur M. HutabaratDirektur Pengembangan Bisnis: Alexander StefanusDewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudra-djat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryo-pratomo, Toeti AdhitamaRedaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hu-tabaratDeputi Direktur Pemberitaan: Usman KansongKepala Divisi Pemberitaan: Kleden SubanKepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius SuhardiDeputi Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul KoharSekretaris Redaksi: Teguh NirwahyudiAsisten Kepala Divisi Pemberitaan: Ade Alawi, Fitriana Siregar, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.SihombingAsisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto

Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kuste dja, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S. Brahmana, Mo-chamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, SoelistijonoStaf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy, Aries Wijaksena, Aryo Bhawono, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Christina Natalia S, Cornelius Eko, Da vid To bing, Denny Parsaulian Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mu tiah, Dwi Tu pa ni Gunarwati, Edwin Tirani, Edy Asrina Putra, Emir Chairul-lah, Eni Kartinah, Eri Anuge rah, Fardi an sah Noor, Fidel Ali Permana, Gino F. Hadi, Heru Prih mantoro, Heryadi, Ignatius Santirta, Iis Zat-nika, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Iwan Kurniawan, Jajang Su-mantri, Jerome Eugene W, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnubroto, M. Soleh, Mirza Andreas, Mo hamad Irfan, Muhamad Fauzi, Nurulia Juwita, Panca Syurkani, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sidik Pra mo no, Siswantini Sury-andari, Sitriah Hamid, Su geng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumar-yanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Tha latie Yani, Tutus Subronto, Usman Iskandar, Wendy Mehari, Windy Dyah Indriantari, Zu baedah Hanum

Biro Redaksi: Dede Susianti (Bogor) Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf

Riaman (NTB); Baharman (Palembang); Parulian Manulang (Pa-dang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya)

MICOMAsisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. NababanRedaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, WidhorosoStaf Redaksi: Heni Raha yu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Rita Ayuningtyas, Yulia Permata Sari, Wisnu Arto SubariStaf: Abadi Surono, Abdul Salam, Budi Haryanto, Charles Silaban, M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian, Vicky Gus-tiawan, Widjokongko

DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING)Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica HuwaeRedaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe, Regina Panon-tongan Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian, Nia No velia, Rahma Wulandari

CONTENT ENRICHMENTAsisten Kepala Divisi: Yohanes S. WidadaPeriset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S

Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Aam Firdaus, Adang Is-kandar, Mahmudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto

ARTISTIKRedaktur: Annette Natalia, Donatus Ola Pereda, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata AreadiStaf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Aria Mada, Bayu Wicaksono, Budi Setyo Widodo, Dharma Soleh, En-dang Mawardi, Fredy Wijaya, Gugun Permana, Hari Syahriar, Haris Imron Armani, Haryadi, Lisa Saputra, Marionsandez G, M. Rusli, Mu-hamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Su tisna, Novi Hernando, Nur-kania Ismono, Permana, Putra Adji, Tutik Sunarsih, Warta Santosi

Olah Foto: Saut Budiman Marpaung, Sutarman.

PENGEMBANGAN BISNISKepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful BachriKepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Su-jiyonoAsisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Perwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: Jo-seph (061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi Yu dhanto (0274) 523167; Palembang: Andi Hendriansyah, Ferry Mussanto (0711) 317526, Pekanbaru: Bambang Irianto 081351738384.