seni arsitektur makam pada masjid-masjid...
TRANSCRIPT
SENI ARSITEKTUR MAKAM PADA MASJID-MASJID KUNO
JAKARTA: PENDEKATAN ARKEOLOGI
Parlindungan Siregar
Prodi SKI Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jalan Ir. H. juanda No. 95 Ciputat Timur Tangerang Selatan
Telp. (021) 7443329 / HP. 0813 8523 4485
ABSTRACT
Tomb architecture in ancient mosques in Jakarta is a reflection of the mixture of art
architectures from various ethnicities and nations living in Jakarta (Batavia) in that
era; local people, Chinese, Arabian, Indian, and European. Acculturation theories
state that the process of culture shows transformation and adaptation processes of
cultures in certain societies or individuals with other cultures of other societies or
individuals. Those processes are called as acculturation which sometimes runs
peacefully or by force. In the case of culture acculturation in Jakarta reflected in
tomb architectures, the acculturation process is more conciliatory.
Research on tombstone, cupola tomb, and sepulchre in partial has been done by
scholars from many universities in Indonesia. However, research on ancient tomb
architectures in Jakarta has not been done yet by anyone, whereas this type of
research is very important to reconstruct past history of Islam in Jakarta.
This research employed archaeological approach which followed these steps: data
collection, both field data by surveying to some ancient mosques which have
ancient tombs; Jakarta and Central Java (as a comparison), and library sources. The
data gathered then analysed and described by using morphological analysis,
technological analysis, and statistical analysis. In addition, the data then were
interpreted and analysed by synthesis method, historical analogy, ethnographic
analogy, and experimental analogy which led to reconstruction of cultural history
as stated in the first paragraph.
Keywords: acculturation, cupola, sepulchre, and tomb
ABSTARK
Seni arsitektur makam yang terdapat pada masjid-masjid kuno Jakarta merupakan
refleksi percampuran seni arsitektur dari berbagai etnis dan bangsa yang menetap
di Jakarta (Batavia) saat itu; Penduduk Lokal/Asli Nusantara, Cina, Arab, India,
dan Eropa. Teori-teori akulturasi menyebutkan bahwa proses budaya menunjukkan
adanya proses transformasi dan adaptasi suatu kelompok masyarakat atau individu
yang memiliki budaya dengan budaya masyarakat atau individu lain yang memiliki
budayanya sendiri. Proses-proses ini disebut sebagai akulturasi yang terkadang
berjalan dengan damai tapi bisa juga dengan paksaan. Untuk kasus akulturasi
budaya masyarakat Jakarta yang tercermin dalam arsitektur makam-makam, proses
akultrasinya lebih bersifat jalan damai.
2
Penelitian tentang nisan, cungkup makam, dan jirat secara parsial sudah dilakukan
oleh para sarjana dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Akan tetapi
penelitian mengenai seni arsitektur makam-makam kuno di Jakarta belum ada yang
melakukannya padahal penelitian semacam ini sangat penting untuk
merekonstruksi sejarah masa lalu Islam di Jakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan arkeologi yang langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut; Pengumpulan data, baik data lapangan dengan survei ke berbagai
tempat yang disana terdapat masjid-masjid kuno yang memiliki makam-makam
kuno; Jakarta dan Jawa Tengah (sebagai perbandingan), serta pengumpulan data
perpustakaan. Setelah data-data lapangan terkumpul langkah berikutnya adalah
pengolahan data. Kemudian langkah berikutnya adalah mendeskripsikan data-data
yang kemudian menganalisis data-data dimaksud dengan analisis morpologi,
analisis teknologi, analisis stilistik. Langkah- langkah ini belum memadai
berikutnya adalah menafsirkan dan menganalisis dengan metode sintesis, analogi-
historis, analogi etnografi, analogi eksperimental yang bermuara pada rekonstruksi
sejarah kebudayaan sebagaimana tersimpul pada paragraf pertama.
Kata Kunci: Akulturasi, Cungkup, Jirat/Kijing, dan Nisan
PENDAHULUAN
Sejak kejatuhan Sunda Kelapa ke tangan Falatehan (Fatahillah) yang
kemudian mengganti namanya menjadi Jayakarta pada tahun 1527 (Siregar,
2012:47), muncul pemakaman Islam yang beragam seni arsitekturnya. Keragaman
seni arsitektur makam lebih disebabkan Islam tidak memberikan pedoman
bagaimana seni arsitektur sebuah makam, umat Islam diberi kebebasan
mengekspresikan potensi seninya untuk diaktualisasikan dalam sebuah bangunan
makam. Oleh karenanya, unsur-unsur bangunan makam; liang lahat, nisan dan jirat
atau kijing, cungkup, tembok keliling dan gafura, tulisan dan angka, ragam hias
dan ornamen dengan ragam hias floralisik, anthropomorphique, geometris, dan
sebagainya antara satu makam dengan lainnya berbeda-beda.
Islam hanya mempersyaratkan tata letak hadap sebuah makam, yakni
kepala menghadap ke bagian utara dari sebuah mata angin, sedang kaki di bagian
selatannya. Sementara itu, makam dapat diletakkan di atas sebuah bukit, di lokasi
yang tanahnya datar, di area khusus seperti komplek lingkungan istana dan masjid
(Majelis, 2011:232-234).
Keberadaan makam di dalam lingkungan masjid dijumpai, di antaranya,
pada masjid-masjid kuno di Jakarta: masjid Angke, masjid Tambora, masjid al-
Mansyur, Masjid Luar Batang, dan masjid Jatinegara Kaum. Umumnya tokoh yang
3
dimakamkan di sekitar area masjid adalah para sultan dan kerabatnya, tokoh
penting dan pejuang atau ulama dan penyebar Islam yang dihormati (Atthiyat,
1995:70).
Penelitian terhadap makam-makam kuno di Jakarta perlu dilakukan baik
pada tingkat dasar maupun tingkat lanjut. Penyelidikan makam di tingkat dasar
lebih kepada mengungkapkan tokoh Islam yang dimakamkan, sejarah dan
berkembannya Islam, teknologi bangunan makam, seni ornament dan kaligrafi,
serta pengaruh budaya yang ada baik dari masa pra Islam/lokal maupun asing.
Sedang pada tingkat lanjut penyelidikan lebih komprehensif dan teoritis,
menggunakan teori-teori sosial seperti konsep gender, kekuasaan, agensi, habitus,
dan sebagainya.
Hingga saat ini studi tentang makam sebagai cultural heritage sudah
dilakukan oleh beberapa arkeolog yang mengkaji makam dari berbagai aspeknya
mereka adalah Hasan Muarif Ambary (1983), Uka Tjandrasasmita (2009), Daniel
Perret dan Kamaruddin Razak (1999), Claude Guillot dan Ludvik Kalus (2007),
Claire Holt (1967), dan Tubagus Najib (2008). Akan tetapi, kajian-kajian mereka
selalu menyinggung makam tua dan penting di luar Jakarta. Sementara studi
tentang makam-makam kuno di Jakarta yang juga memiliki nilai dan arti sejarah
masih kurang, belum dilakukan secara komprehensif. Dengan demikian penelitian
ini sangat penting untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan di bidang
arsitektur makam khususnya di Jakarta.
METODE PENELITIAN
Pengumpulan Data
Pada dasarnya data-data baik primer maupun sekunder didapatkan melalui
pengumpulan data perpustakaan serta data lapangan. Dalam kaitan teknik
pengumpulan dan pengolahan data harus dilakukan tahapan-tahapan heuristik,
kritik sumber, dan interpretasi (Abdurrahman, 1999:91).
Jika demikian, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini
dimulai dari pengumpulan data. Data perpustakaan sangat dibutuhkan dalam
penelitian ini baik yang bersifat primer maupun sekunder. Data primer berupa
tulisan, gambar, foto, peta lokasi, dan manuskrip. Sementara data-data sekunder
4
adalah tulisan-tulisan berupa buku-buku, majalah, surat kabar-surat kabar yang
terbit masa itu atau saat ini yang mengkaji atau menelaah makam-makam kuno di
Jakarta. Selain itu, data kepustakaan diperlukan untuk mengetahui hal-hal yang
berhubungan dengan latar belakang sejarah perkembangan Islam di Jakarta mulai
dari awal masuk dan berkembangnya hingga akhir abad kesembilan belas.
Setelah mengumpulkan data dari perpustakaan, peneliti mencari data-data
lapangan. Data lapangan diperoleh melalui pengamatan, penjajagan, pencatatan,
pemotretan, penggambaran, pengukuran, dan survei. Data Lapangan berupa
bangunan-bangunan makam yang masih berdiri kokoh. terdiri dari: makam pada
Masjid Jatinegara Kaum; makam pada Masjid Angke, makam pada Masjid
Tambora; dan makam pada Masjid Luar Batang. Tiga komponen masing-masing
makam; cungkup, jirat, dan nisan difoto dengan menggunakan kamera digital
merek Sony dan kamera tablet Samsung. Pengamatan juga ditujukan pada bidang-
bidang muka, bawah, atas sehingga tampak bagian atas, depan, dan samping
makam beserta komponen lainnya Data-data lapangan disamping didapat dengan
observasi langsung didukung juga melalui wawancara dengan pengurus
(Meleong,2006:186).
Analisis Data
Secara umum metode analisis yang digunakan dalam studi makam di dalam
ilmu arkeologi adalah metode analisis arsitektur. Dalam kasus bangunan makam,
teknik analisis yang digunakan terdiri dari empat teknik analisis yaitu analisis
morfologi, analisis teknologi, analisis stilistik, dan analisis kontekstual (Pusat,
2008:97).
PEMBAHASAN DAN HASIL
Kata makam dan kuburan berasal dari kata Arab; maqàm dan qabrun (Wer,
1971:800). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia makam memiliki banyak
pengertian, yaitu kubur, tempat tinggal, kediaman. Sementara kata kuburan berarti
lubang dalam tanah tempat menyimpan mayat, liang lahat, tempat pemakaman
jenazah, makam, tanah tempat menguburkan mayat (Kebudayaan,2002:606 dan
700)).
5
Arsitektur makam berkaitan dengan konsep masyarakat tentang kematian.
Keindahan seni arsitektur makam dengan demikian bergantung pada bagaimana
konsep mereka tentang kematian. Disamping itu, arsitektur makam juga
merupakan indikator tingkat kemajuan suatu masyarakat dimana makam tersebut
ditemukan. Neo Sei Hwa menyebutkan, “The architecture of Tomb become the
culuture’s visible embracement of life (Hwa,1993:38). Sementara Vefik menyebut
architecture as cultural symbol (Alp,1979:54).
Dengan demikian makam memiliki kedudukan yang tinggi dalam sistem
arsitektur. Pertama, makam dilihat dari aspek pelindung si mayit dari pengaruh
luar. Kedua, seiring dengan kepercayaan masyarakat dan berkembangnya tradisi
atau adat-istiadatnya menjadi suatu keharusan pula bagi arsitektur makam
menyediakan ruang-ruang bagi keperluan penyelenggaraan tradisi-tradisi
dimaksud. Ketiga, sudah menjadi sebuah paradigma masyarakat bahwa makam
melambangkan status. Keempat, pada masyarakat tertentu ada keyakinan bahwa
kehidupan dalam alam akhirat sangat ditentukan oleh apa yang dia bawa ke dalam
makam.
Klasifikasi ruang pada makam-makam keramat atau orang terpandang
terdiri dari: Pertama, cungkup. Makam-makam di masjid-masjid kuno Jakarta
yang memiliki cungkup adalah makam-makam di Masjid Angke, Masjid Tambora,
Masjid Luar Batang, dan Masjid As-Salafiyah Jatinegara Kaum,. Di bagian dalam
cungkup terdapat jirat makam dan batu nisan, terdapat juga ruang untuk peziarah.
Kedua, Sebagian makam-makam di atas juga memiliki fasilitas pendukung primer
berupa sumber air untuk digunakan bersuci saat akan melakukan shalat. Ketiga
fasilitas pendukung sekunder berupa ruang atau tempat peristirahatan penziarah
atau bahkan tempat untuk bermalam.
Berkembangnya seni arsitektur makam sangat terkait dengan peran dan
fungsi makam itu sendiri, yakni pertama sarana dan prasana penghubung antara
orang yang meninggal dan yang masih hidup. Kedua, seorang pemimpin atau
orang terpandang di tengah-tengah masyarakat akan menjadikan makam sebagai
masih besarnya perhatiannya terhadap rakyatnya. Ketiga, makam merupakan ruang
bagi manusia untuk merenung dan berkontemplasi sebelum ia meninggal.
Keempat, fungsi makam adalah untuk menandai dunia yang hidup dan dunia yang
6
mati. Kelima, makam adalah pembatas yang berbentuk bangunan yang dapat
melindungi jenazah dari pengaruh luar; berupa berbagai gangguan alam, hewan,
bahkan manusia. Keenam, tak dapat disangkal bahwa bagi masyarakat Indonesia
makam dijadikan sebagai simbol- simbol status, budaya, dan keagungan seseorang
yang meninggal maupun keluarganya yang masih hidup. Oleh karenanya makam
yang terdiri dari cungkup, kijing/jirat, dan nisan dibuat sedemikian berkualitas
terbuat dari bahan-bahan marmer, granit, ubin dan sebagainya (Yasmini, 1977:7).
Disamping itu yang paling utama dari pembuatan makam sedemikian tinggi
seni arsitekturnya adalah pemikiran manusia tentang Tuhan dan Alam atau berupa
pandangan kosmologi suatu masyarakat terhadap alam semesta yang pusatnya
adalah Tuhan. “The main purpose and burden of sacred architecture – and all
architecture, temple, tomb or place, was sacred in the early days – is thus
inextricably bound up with people’s thoughts about God and Universe.” Demikian
W.R. Lethaby mengemukakan dalam karyanya Architecture, Mysticism, and Myth
(Yasmini, 1977:8).
Deskripsi Makam
Masjid-masjid kuno Jakarta yang memiliki makam-makam keramat/kuno
dan telah terdaftar sebagai benda cagar budaya (BCB) Berdasar Undang-undang
N0. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya serta Keputusan Gubernur DKI
Jakarta nomor 475/1993 tanggal 29 Maret 1993 adalah Masjid As-Salafiyah
Jatinegara Kaum, Masjid Angke, Masjid Tambora, dan Masjid Luar Batang
(Heuken,2003).
Pertama, pada Masjid As-Salafiyah Jatinegara Kaum terdapat makam
Pangeran Jayakarta dan keluarganya (Siregar, 2012:108). Bangunan cungkup
berbentuk bujur sangkar di sebelah barat masjid dengan posisi serong di kiri depan
masjid. Jarak cungkup dengan masjid sekitar 10 meter, luas bangunan cungkup
100 m2,
dinding tembok setinggi 50 cm. Atap berbentuk limasan dengan empat
bubungan yang di puncaknya terdapat mustaka, Awalnya atap cungkup
bertumpang dua, tetapi saat ini sudah tidak bertumpang. Bangunan cungkup
ditopang 12 buah tiang bundar berdiameter 30 cm. yang membentuk relung di
atasnya dan di bagian atas dan bawah tiang dihias dengan pelipit miring. Pada
7
semua badan tiang terdapat galur-galur masing-masing berjumlah 20 buah yang
menjulur dari pelipit di bagian atas dan dasar tiang (Direktorat, 1999:146). Tiang
berada di sudut-sudut dalam tembok bukan menempel pada tembok. Di bagian
timur bangunan cungkup terdapat pintu masuk tanpa daun pintu menghadap ke
timur. Bangunan cungkup; tinggi 10 m lebar 10 m. dan panjang 10 m. Langit-
langit cungkup berwarna coklat terbuat dari kaso disusun secara merata menutupi
atap yang terbuat dari genting.
Masing-masing makam di dalam cungkup berbentuk empat persegi panjang
berukuran panjang 2 m. x 1 m. lebar. Tinggi jirat makam Pangeran Ahmad Jacetra
60 cm. sedang jirat makam-makam lainnya masing-masing 50 cm. Bahan jirat
berasal dari batu bata yang dilapisi marmer berwarna putih polos tanpa hiasan. Jirat
dibuat dari batu bata yang disusun dengan spesi menggunakan semen dan pasir,
kemudian dilapisi dengan marmer dengan spesi. Jirat terdiri dari dua tingkatan atas
dan bawah. Bagian atas menggunakan marmer 40 x 40 cm., sedang bagian bawah
menggunakan marmer yang dipotong menjadi ukuran 40 x 20 cm. untuk makam
Ahmad Jacetra dan 40 x 10 cm. untuk jirat-jirat yang lain. Letak jirat makam
Ahmad Jacetra di bagian paling barat, sedang makam-makam lainnya berada di sisi
utara.
Nisan berbentuk pipih berukir dengan hiasan kurawal dan berupa lekukan
dengan hiasan sulur bunga dan daun. Lima makam dalam cungkup hanya Pangeran
Ahmad Jacetra yang memiliki nisan di bagian kepala dan kaki jirat, sedang empat
makam lainnya nisan hanya terdapat pada bagian kepala jirat makam.
Pada umumnya tiap-tiap nisan dapat dibagi menjadi beberapa bagian;
dasar, badan bagian bawah, badan bagian atas, bahu, kepala, dan puncak (Perret,
1999:88). Nisan Ahmad Jacetra yang terdapat di bagian kepala jirat terdiri dari;
kaki nisan di bagian dasar berbentuk persegi panjang (19 cm x 15 cm) ketinggian 8
cm. depan badan bagian bawah dan bagian atas terdapat ukiran pahat (panjang 6
cm.).
Kedua, makam keramat Al-Habib Pangeran Syarif Hamid bin Sultan Syarif
Abd Rahman Al-Kadrie berada di Masjid Angke. Bangunan cungkup berada di
depan Masjid Angke berjarak sekitar 25 meter yang dipisahkan oleh sebuah jalan
kecil yang disebut Gang Masjid. Cungkup berbentuk bujur sangkar, terbuka dan
8
berteras memiliki panjang dan lebar yang sama yaitu masing-masing 467 cm.,
tinggi 420 cm. Lebar teras sisi selatan 60 cm. panjang 727 cm. lebar teras sisi barat
cungkup 120 cm dan panjang 520 cm. Cungkup tidak dilengkapi jendela, tidak
dilengkapi ventilasi, atap benbentuk kampong, serta berlantai. Dinding terbuat dari
teralis besi setinggi 100 cm. Bahan cungkup terbuat dari kayu dan atap genting.
Balok-balok kayu penopang atap bersambung dengan spesi. Tidak terdapat ragam
hias maupun ragam hias pola pada cungkup. Cungkup ditopang 4 buah tiang
dengan ketinggian 300 cm. yang menahan kaso-kaso tanpa menggunakan paku.
Komponen utama konstruksi atap yang menopang atap di atasnya, yaitu
balok jurai limasan, bantalan/balok pangkal kasau, bantalan ujung kasau, bantalan
tengah kasau yang dilengkapi dengan tiang penopang gantung yaitu tiang
penopang yang tidak langsung meneruskan berat beban yang diperolehnya ke
tanah/bumi, tetapi beban tersebut diteruskan ke tanah/bumi melalui bidang atau
titik penopangnya dalam hal ini tiang utama cungkup, balok loteng dan bangsal
yang berfungsi melekatkan langit-langit atap agar dapat menutupi bagian dalam
sistem konstruksi yang kurang bagus dilihat.
Jirat makam berbentuk empat persegi panjang. Tinggi jirat 80 cm. yang
konstruksinya terbagi dua; bagian atas dan bawah. Bagian bawah 25 cm. sedang
bagian atas 55 cm. lebar bagian bawah 133 cm. bagian atas 76,5 cm. panjang
bagian bawah 240 cm. bagian atas 207 cm. Bahan jirat berasal dari batu marmer
berwarna putih dihias dengan flora berupa 2 pucuk daun kelapa dan kaligrafi
berbahasa Arab. Badan bagian bawah jirat dilapisi marmer putih ditumpuk dengan
spesi, sedang badan bagian atas ditumpuk tanpa spesi.
Kaki nisan makam bertbentuk empat persegi panjang, sedang badan nisan
bulat lonjong. Bahu berbentuk lingkaran, puncak berbentuk bawang. Batu nisan
tidak memiliki ragam hias dan dipotong pemotongan searah. Tinggi nisan 65 cm.
bagian dasar 5 cm
Ketiga, Cungkup makam Masjid Tambora berada di tanah datar di sebelah
Timur masjid dengan jarak 6 m. dari dinding Masjid Tambora saat ini dan 14,10 m.
dari dinding asli masjid. Cungkup berbentuk empat persegi panjang. Panjang 310
cm., lebar 180 cm., dan tinggi 307 cm. denah cungkup berbentuk trapezium dengan
ukuran 192 cm. x 535 cm. x 820 cm. x 600 cm. Cungkup tertutup yang dinding
9
dasar setinggi 40 cm. di atasnya besi teralis berfungsi sebagai dinding. Pintu
cungkup untuk masuk ke dalam terbuat dari besi terali menghadap kearah utara
(persisi dibagian kepala makam). Atap kampung terbuat dari genting ditopang
kayu kaso yang langsung bertumpu pada dinding bagian atas.
Cungkup ditopang 5 buah tiang, 2 disisi timur dan 3 disisi barat. Masing-
masing tiang tinggi 227 cm. serta memiliki ragam hias berupa keramik bermotif
warna biru. Disamping itu tiang berdiri di atas pelipit miring. Di masing-masing
tiang terdapat kaso penopang ujung genting yang berukuran 65, 5 cm. dan 68,5 cm.
Di lingkungan Masjid Tambora dan di dalam cungkup hanya terdapat dua
buah makam, yakni Kyai Haji Moestodjib di seleh Barat dan makam Ki Daeng
disisi Timurnya. Sisi Timur cungkup berbatasan langsung dengan Jalan Tambora
Masjid yang berjarak 400 cm. Disisi selatan terdapat tempat berwudhu dan
langsung berbatasan dengan tembok rumah warga. Disisi utara cungkup (sisi timur
masjid) terdapat teras masjid.
Jirat berbentuk empat persegi panjang, tidak memiliki ragam hias, panjang
masing-masing 206 cm, lebar 45 cm, dan tinggi 22 cm. Jirat terbuat dari keramik
berwarna biru ukuran 20 cm. Jirat dibuat dengan spesi.
Nisan berada di bagian kepala dan kaki. Nisan bagian kepala terbagi
menjadi 4 bagian; bagian dasar (kaki), bagian badan bagian bawah dan badan
bagian atas , bahu, puncak. Bagian dasar berbentuk empat persegi panjang, badan
bagian bawah berbentuk empat persegi panjang, mengikuti pola bagian dasar,
badan bagian atas berbentuk selinder, bahu berbentuk selinder, dan puncak
berbentuk runcing bawang. Nisan bagian kaki makam Kyai Haji Moestodjib
berbentuk bunga nanas.
Tinggi atau panjang nisan 43 cm. garis tengah 21 cm. terbuat dari batu serta
dipotong searah. Nisan bagian atas tidak memiliki ragam hias sedang di bagian
kaki ragam hias nisan adalah flora.
Keempat, Makam Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus merupakan salah
satu makam keramat tertua yang berada di Jakarta. Kini makam terdapat di dalam
masjid di sebelah kiri pintu masuk masjid. Cungkup (masyarakat menyebutnya
tabut) ditutup dengan alasan tertentu, sehingga pada makam tersebut tidak terlihat
batu nisan dan kijing. Bentuk dari tabut menyerupai bangunan rumah, yang
10
dimaksudkan sebagai tempat peristirahatan terakhir Habib Husein. Pada tabut
terlihat ukiran dan hiasan yang identik dengan Islam. Pada tabut tersebut terdapat 6
buah jendela dan 2 pintu yang berukuran kecil. Cungkup pada makam lebih
dikenal dengan istilah Tabut, terbuat dari kayu jati yang berasal dari Jepara. Di
dalam makam yang tertutup tersebut, ada 3 buah kelambu untuk menjaga makam
tersebut agar tetap terjaga utuh. Dibagian penutup makam ada kain yang berwarna
hijau dimana digunakan untuk menutup semua bagian makam serta tabutnya, kain
tersebut bertulisakan Arab yang tetap sama menggunakan Khot Tsulus. Di ruang
makam tersebut juga terdapat 4 tiang sebagai penyangga atap dimana tiang tersebut
terbuat dari kayu jati yang kokoh.
Analisis Arsitektur Makam
Peletakan makam pada masjid-masjid kuno di Jakarta tidak berdasar
pedoman atau ketentuan yang permanen yang ada pada tradisi masyarakat Jakarta
atau berdasar ajaran Islam. Sebagian makam berada disisi barat masjid sejajar
dengan mihrab dan sebagian tidak sejajar dengan mihrab sedang makam lainnya
berada disisi timur masjid.
Beberapa kasus makam di Jawa Timur dan Jawa Tengah makam persis di
depan mihrab yang mengesankan ketika seseorang sujud seolah sujud juga kepada
orang dalam makam. Bagi Islam Jawa peghormatan terhadap makam memiliki arti
yang lebih jauh, yakni termasuk di dalamnya mencari barkah (ngalap berkah).
Muslim Jakarta sangat mungkin menghindari hal-hal yang berbau syirik itu,
sehingga mereka tidak menempatkan persis di depan mihrab tetapi pada posisi
serong di kiri atau di kanan mihrab.
Makam-makam di masjid-masjid kuno Jakarta hanya makam Masjid
Tambora dan makam masjid Luar Batang yang bersifat tertutup oleh karena bagian
dalam keduanya tertutup oleh dinding sehingga hanya bagian luar saja yang dapat
difungsikan untuk berziarah, sedang makam-makam yang lain sifatnya terbuka
yang bagian dalam dan bagian luarnya diganakan untuk berziarah dan ritual-ritual
yang lain.
Bentuk cungkup makam yang memiliki komponen-komponen utama; atap,
tiang, pintu, dinding, teras, ragam hias, fondasi, ventilasi, dan jendela merupakan
penyerapan unsur-unsur seni arsitektur budaya asli nusantara, Arab, Cina, India,
11
Eropa. Ia sangat kentara melekat pada bentuk komponen-komponen bangunan dan
ragam hias cungkup.
Bentuk jirat makam pada masjid-masjid kuno di Jakarta, umumnya, persegi
panjang dengan ukuran lebar, tinggi dan panjang yang berbeda-beda. Jirat
bertingkat dua; tingkat dasar dan tingkat bagian atas yang menjorok sedikit ke
dalam. Bentuk jirat antara makam tokoh ulama dan penyebar Islam dengan
masyarakat biasa tidak terdapat perbedaan, dengan demikian dari sudut strata
sosial mereka tidak dibedakan dalam bentuk makam. Berbeda dari makam-makam
para wali dan penyebar Islam di kawasan pantai utara pulau Jawa (Johan,
2007:242) yang makamnya berada pada posisi tertinggi pada sebuah komplek
pemakaman dan memiliki bentuk kijing yang bertingkat-tingkat.
Batu nisan di atas setiap kuburan pada umumnya dua buah, satu di bagian
kepala dan satu lagi di bagian kaki. Sebagian nisan itu memiliki bentuk dan ukuran
yang berbeda-beda. Daniel Perret dan Kamarudin Ab. Razak membagi setiap batu
nisan menjadi enam bahagian, yaitu bahagian dasar (BD); badan bahagian bawah
(BBB); badan bahagia atas (BAB); bahu-bahu (BAH); kepala (KP); dan puncak
(PC). Bagian dasar batu nisan bagian yang tertanam sulit untuk diteliti, sedang
bagian-bagian lainnya yang berada di permukaan jirat/kijing kuburan tampak ke
permukaan dan dapat diteliti dari berbagai aspeknya. Bagian-bagian yang tampak
ini berbeda-beda bentuk, ukuran dan ragam hiasnya antara satu nisan dengan nisan
lainnya, namun tak jarang memiliki persamaan (Perret, 1999:26).
Makam-Makam pada masjid-masjid kuno Jakarta hanya makam pada
cungkup Masjid Jatinegara Kaum yang memiliki bentuk nisan tipe Aceh ini. Ini
artinya bahwa hubungan Aceh dengan Batavia sudah terjalin pada masa ini.
Sedang nisan pada makam Masjid Tubagus Angke memiliki tipe Banten. Nisan
pada makam masjid Tambora, makam masjid al-Mansur, dan makam masjid Luar
Batang memiliki tipe Jawa.
Tampaknya, kecuali nisan makam Masjid Tubagus Angke yang terbuat dari
kayu, nisan-nisan pada makam lain terbuat dari batu andesit yang dipahat.
Tekonologi pembuatan batu nisan Pangeran Ahmad Jacetra dan keluarganya
berasal dari Aceh, sedang batu nisan lainnya lebih bercorak batu nisan Banten dan
berasal dari teknologi Banten. Batu nisan berteknologi Banten ini sangat mungkin
12
diambil dari batu-batu yang bagus dari Kali Maja sebuah sungai yang sangat
terkenal di Provinsi Banten saat ini. Batu-batu dali Kali Maja ini dipahat dan
memiliki tingkat kekerasan yang sangat tinggi. Oleh karena itu makam-makam di
sepanjang Kali maja juga menggunakan batu dari kali ini.
Berbagai ragam hias dapat kita amati melekat pada bangunan sebuah
makam, namun ia bukan merupakan sebuah simbol seperti simbolisasi yang
dilakukan pada makam-makam para wali dan pembesar kerajaan di Jawa. Hiasan
nisan mencakup beberapa gaya di antaranya motif sulur-suluran, motif segitiga
berjajar, motif inskripsi, motif pahatan berpola garis tegak lurus, motif sulur
gulung dan pahatan tegak lurus. Ragam hias pada nisan yang paling lengkap adalah
nisan makam Masjid Jatinegara Kaum dan makam Masjid Angke. Ragam hias
pada nisan Pangeran Ahmad Jacetra berada pada semua bagian-bagian tubuh nisan
yang puncaknya berbentuk trapezium, demikian juga nisan Alhabib Pangeran
Syarif Hamid yang puncaknya berbentuk bawang dan bagian tubuh lainnya berupa
ukiran-ukiran pahatan. Nisan-nisan pada makam Tambora, al-Mansur, dan masjid
Luar Batang hanya terdapat pada puncaknya berupa bentuk setengah oval puncak
nisan K.H. Moestodjib, dan bentuk trapezium puncak nisan KH. Mansur, demikian
juga nisan Habib Husen yang menurut pengurus sama persis dengan nisan KH.
Mansur.
Berdasar penelaahan peneliti, masyarakat Jakarta pada waktu itu tidak
terlalu mempersoalkan batu nisan sebagai lambang kebesaran atau ketinggian
martabat seseorang, mereka meletakkan batu nisan itu hanyalah sekedar pertanda
yang sama dengan masyarakat biasa yang nisannya juga hampir sama.
Ragam hias pada bangunan cungkup meliputi mustaka di puncak atap
terdapat pada cungkup makam Jatinnegara Kaum juga pada puncak cungkup
Makam Masjid Luar Batang. Tiang pada makam Jatinegara Kaum dan cungkup
pada Makam Masjid Tambaora dihiasi dengan pelipit miring di bagian tengah tiang
dan di atasnya dibentuk relung bergaya Eropa. Tampaknya bangunan cungkup ini
sudah mendapat pengaruh gaya bngunan dan ragam hias yang berasal dari Eropa.
Ini berarti bahwa betapa msyarakat Islam Jakarta pada waktu itu tidak
mempersoalkan asal-usul produk benda-benda yang merreka pakai yang terpenting
adalah adanya keindahan dan tidak menyalahi aturan-aturan agama dalam
13
perspektif mereka. Dengan kata lain proses akulturasi budaya antara berabagai
bangsa di Jakarta (Batavia) di bawah penjajahan kaum kolonial berjalan dengan
baik. Bahkan menurut Hasan Muuarif Ambary istilah Betawi sendiri muncul
sekitar abad ketujuh belas setelah berjalannya proses akulturasi dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat Jakarta (Ambary, 2005:79).
Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab kajian teori bahwa budaya
merupakan sebuah proses percampuran antara satu hasil cipta, karya, dan rasa
sekelompok orang atau seseorang yang berinterakasi dengan sekelompok orang
atau seseorang lainnya baik dengan jalan damai atau intervensi (pemaksaan). Hasil
dari interaksi ini melahirkan budaya baru dan proses ini sering disebut sebagai
akulturasi budaya. Kaitannya dengan arsitektur makam-makam pada masjid-masjid
kuno di Jakarta, manakah di antaranya yang paling besar proses akulturasinya jika
dilihat dari aspek seni arsitektur di dalamnya? Makam yang memiliki tingkat
akulturasi lebih kompleks adalah makam massjid Tambora. Dalam lampiran
makalah ini dibuatkan tabel perbandingannya.
KESIMPULAN
Sejak penguasaan Sunda Kelapa yang kemudian diganti namanya menjadi
Jayakarta oleh Falatehan (Fadlilah Khan) pada tahun 1527, Jayakarta telah menjadi
wilayah kekuatan Islam di belahan barat pulau Jawa bersamaan dengan Banten.
Selama kurun waktu antara tahun 1527 sampai tahun 1619 Jayakarta di bawah
panji-panji Islam mencapai berbagai kemajuan khususnya di bidang agama dan
perdagangan sehingga menjadikan pelabuhan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan
terbuka dan pelabuhan internasional. Berbagai suku bangsa dan budayanya masuk
ke Jayakarta yang menjadikannya sebagai wilayah multi-kultur. Dalam proses
budaya ini terjadi akulturasi budaya, yakni percampuran dan pengadopsian
berbagai budaya oleh budaya lainnya.
Terjadinya proses akulturasi budaya berjalan hingga datangnya bangsa-bangsa
Eropa, India, Arab, Cina. dan lain-lain. Pada zaman VOC proses akuturasi budaya
bertambah kompleks dan ditandai oleh peninggalan-peninggalan material dari
masa ini di antaranya bangunan-bangunan masjid (sekarang disebut masjid-masjid
kuno). Di sekitar masjid-masjid kuno dimakamkan para penyebar Islam dan ulama
serta tokoh-tokoh terkemuka lainnya. Pembangunan makam mereka melibatkan
14
banyak orang dan budaya, sehingga kita dapat melihat sebuah gaya arsitektur
makam yang berasal dari sebuah akulturasi budaya. Seperti masjid Tambora yang
unsur-unsur seni arsitekturnya berasal dari Eropa, Cina, dan Timur Tengah.
DAFTAR PUSTAKA
Alp, Ahmet Vefik. 1979. “Aesthetic Response To Geometry in Architecture”.
Thesis Doctor of Architecture, Rice University, Houston,
Ambary, Hasan Muarif. 2003 “Makam-makam Kesultanan dan Para Wali
Penyebar Islam di Pulau Jawa.” Dalam Aspek-aspek Arkeologi. Nomor 12.
Jakarta:Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Ambary, Hasan Muarif dan Parlindungan Siregar. 2005. “Sejarah Perkembangan
Kota Jakarta Sejak Awal Berdirinya Hingga Abad XIX Masehi”. Laporan
Penelitian Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta
Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta.
Jakarta:Dinas Museum DKI Jakarta
DIREKTORAT PERLINDUNGAN DAN PEMBINAAN PENINGGALAN
SEJARAH DAN PURBAKALA. 1999. Masjid Kuno Indonesia.
Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Guillot, Claude dan Ludvik Kalus. 2007. Batu Nisan Hamzah Fansuri.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Heuken SJ, A.. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta. Jakarta:Yayasan Cipta Loka
Caraka.
Hwa, Neo Sei. 1993. “Death Structures” Raw. Singapore Publication of The
Architecture Society National University of Singapore.
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Edisi Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka
Majelis Tarjih PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH. 2011. Himpunan
Putusan Tarjih. Yogyakarta:Suara Muhammadiyah
Najib, Tubagus. 2008. “Unsur-unsur Religi Pada Kubur-Kubur Islam Di Tuban.”
Amerta. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Vol. 26, Nomor 1.
Nasution, Isman Pratama. 2009. “Studi Arkeologi tentang Makam.” Makalah
disampaikan pada Diklat Arkeologi Keagamaan PUSDIKLAT TENAGA
TEKNIS KEAGAMAAN BADAN LITABANG DAN DIKLAT
KEMENAG RI. Ciputat.
Perret, Daniel dan Kamaruddin AB Razak. 1999. Batu Aceh Warisan Sejarah
Johor. Johor Baru dan Ecole francaise d”Extreme-Orient.
15
Siregar, Pralindungan dan Saidun Derani. 2012. Kesultanan Jayakarta:Islam di
Bandar Sunda Kelapa. Jakarta:Adabiya Press. ISBN:978-602-19751-1-4
Tjandrasasmita, Uka.2009.Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:Gramedia
Wer, Hans. 1971. A Dictionary Of Modern Written Arabic. Cet. III.
London:Wiesbaden: Otto Harrassowitz.
Yasmini, Santi. 1997. “Arsitektur Makam:Keserupaan Tata Ruang Antara
Kompleks Makam Kesultan Agungan Di Imogiri dan Kraton Yogyakarta.
Skripsi. Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Indonesia.