seminar nasional manajemen agribisnis

150
SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS ”Membangun Sistem Pertanian Berkelanjutan Melalui Penguatan Kelembagaan Sosio-Bisnis” PROSIDING Editor : 1. Prof. Dr. Ir. Dwi Putra Putra Darmawan, MP. 2. Prof. Dr. Ir. Ketut Budi Susrusa, MS. 3. Dr. Ir. Ni Wayan Sri Astiti, MP. 4. Dr. Gede Mekse Korri Arisena. SP., M.Agb. 5. I Gede Bagus Dera Setiawan, SP., M.Agb. DENPASAR, 19 NOVEMBER 2016 PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

SEMINAR NASIONALMANAJEMEN AGRIBISNIS

”Membangun Sistem Pertanian Berkelanjutan MelaluiPenguatan Kelembagaan Sosio-Bisnis”

PROSIDINGEditor :

1. Prof. Dr. Ir. Dwi Putra Putra Darmawan, MP.2. Prof. Dr. Ir. Ketut Budi Susrusa, MS.3. Dr. Ir. Ni Wayan Sri Astiti, MP.4. Dr. Gede Mekse Korri Arisena. SP., M.Agb.5. I Gede Bagus Dera Setiawan, SP., M.Agb.

DENPASAR, 19 NOVEMBER 2016

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNISPROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

Page 2: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

ii

KATA PENGANTAR

Prosiding ini merupakan dokumentasi dari paparan dan gagasan dari pembicara kunci

(keynote speaker), pembicara tamu (invited speaker) dan karya ilmiah dari para peneliti dan

diskusi yang mengiringinya pada Seminar Nasional Manajemen Agribisnis dengan tema

“Membangun Sistem Pertanian Berkelanjutan Melalui Penguatan Kelembagaan Sosio-Bisnis”.

Pentingnya peningkatan daya saing pertanian pada era kompetisi global melalui

penerapan teknologi tepat guna, pengoptimalan peran penyuluh dan kelembagaan, serta strategi

pemasaran produk pertanian mendorong para peneliti, akademisi serta pemerhati ekonomi

pertanian mendiskusikan berbagai permasalahan tersebut dalam Seminar Nasional ini.

Seminar Nasional ini merupakan ajang tukar menukar informasi hasil penelitian serta

diseminasi informasi perihal perkembangan tentang penyuluhan dan pembangunan pertanian

serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ruang lingkup materi Seminar Nasional ini meliputi

aspek kelembagaan dan peran penyulubban problematika dan alternatif solusi, kelembagaan

permodalan dan pemasaran serta kelembagaan teknologi.

Penerbitan prosiding ini diharapkan bermanfaat dan dapat dijadikan acuan dalam

pengembangan penelitian terkait dengan kedaulatan pangan dan pertanian. Dewan editor

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat dalam

penyelesaian prosiding ini.

Denpasar, 23 Mei 2017

Editor

Page 3: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

iii

DAFTAR ISI

Keragaan Bantuan Modal/Kredit Pertanian Dan Biaya Transaksi UsahaTernak Sapi Di Provinsi Nusa Tenggara Timur ………………………………...Agustina Hewe dan Kristina Lako

1

Strategi Branding Dalam Promosi Penjualan Produk Pertanian Olahan Pt.Hatten Bali Untuk Pasar Pariwisata Indonesia …………………………………I Ketut Surya Diarta, Putu Widhianti Lestari, dan Ida Ayu Putu Citra Dewi

9

Keragaan Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Dan Ketahanan TerhadapOpt Utama Mendukung Keberlanjutan Pangan Di Bali ……………………….I.B.K. Suastika, Putu Suratmini dan Putu Sutami

27

Revitalisasi Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Di Indonesia ………………Kadhung Prayoga

37

Performa Kelembagaan Usahatani Di Kabupaten Kupang Dan TimorTengah Selatan, Provinsi NTT…………………………………………………………….Kristina Lako dan Agustina Hewe

53

Penerapan Tri Hita Karana (Thk) Pada Kegiatan Bisnis Di Kelompok TaniMekar Sari, Desa Tegal Badeng Timur, Kecamatan Negara, KabupatenJembrana …………………………………………………………………………..Putu Fajar Kartika Lestari

61

Usahatani Padi Dan Bawang Merah Mendukung Pendapatan Di Petani DiKalimantan Selatan ……………………………………………………………….Rismarini Zuraida

73

Analisis Persepsi Petani Cabai Terhadap Pembangunan Berkelanjutan……...I Nyoman Gede Ustriyana dan Ida Ayu Listia Dewi

81

Peluang Inovasi Teknologi Pengembangan Usaha PertanianDi DesaBunutan Melalui Pendekatan Pra(Kalender Musim) ......................................I Made Londra dan Putu Sutami

97

Partisipasi Perempuan Dalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian TanamanPangan Pada Subak Di Kabupaten Tabanan Bali………………………………Ni Wayan Sri Astiti

111

Page 4: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

iv

Alokasi Pembiayaan Dana Kredit LPD Pada Sektor Pertanian di KabupatenGianyar …………………………………………………………………………….Putu Udayani Wijayanti dan I Wayan Widyantara

126

Kemandirian Petani Perkotaan Dalam Mengembangkan Agribisnis Sayurandi Kota Denpasar ………………………………………………………………….Ni Luh Prima Kemala Dewi dan Ni Wayan Putu Artini

136

Page 5: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

1

KERAGAAN BANTUAN MODAL/KREDIT PERTANIAN DAN BIAYATRANSAKSI USAHA TERNAK SAPI DI PROVINSI NUSA TENGGARA

TIMUR

Agustina Hewe dan Kristina LakoBalai Pengkajian Teknologi Pertanian NTT

E-mail:[email protected]

ABSTRAK

Penelitian tentang keragaan bantuan modal/kredit pertanian dan biaya transaksi usaha ternaksapi telah dilakukan di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Penelitian dilakukan di Desa Ponain dan DesaTesabela di Kabupaten Kupang dan Desa Kualin dan Desa Nulle di Kabupaten TTS.Penentuan keempat desa secara purposivedengan pertimbangan sebagai sentra produksi sapidan penerima bantuan modal/kredit. Pengambilan data dilaksanakan pada Bulan Juni 2016,dengan metode survey wawancara terstruktur, metode FGD, dan observasi sertamenggunakan data sekunder dari desa dan kecamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwabantuan modal/kredit yang diberikan pada petani dapat membantu petani untuk usahataninyasehingga dapat meningkatkan produksi usahatani dan berdampak positif bagi pendapatanrumahtangga tani. Akses petani terhadap pasar sangat diperlukan untuk kelancaran usahatani.Petani menghadapi pasar tipe pasar persaingan tidak sempurna yang ditandai dengan adanyainformasi harga yang relatif tertutup dan adanya biaya transaksi. Besarnya biaya transaksitergantung jarak rumah dan pasar. Semakin jauh dari pasar, maka semakin besar biayatransaksi. Biaya transaksi dapat ditekan dengan memperbaiki sistem dan infrastrukurpemasaran, disamping penyediaan skim kredit inovatif dan pendampingan yang memadaiuntuk permodalan usaha.

Kata Kunci: bantuan/kredit, usahatani, akses pasar, biaya transaksi

PENDAHULUAN

Hal yang dilematis bagi masyarakat pedesaan untuk melaksanakan kegiatan usahatani

adalah permodalan yang lemah. Padahal permodalan merupakan unsur yang esensial dalam

mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat. Kekurangan modal ini

membatasi ruang gerak aktivitas usahanya yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kredit berperan dalam meningkatkan pendapatan

dan kesejahteraan petani terutama di negara-negara berkembang melalui perbaikan produksi

dan peningkatan konsumsi. Tujuan pemberian kredit produksi dan bantuan modal pertanian

hakekatnya adalah untuk meningkatkan produksi pertanian. Alokasi kredit untuk kegiatan

produksi pertanian ditujukkan untuk membeli input seperti benih, pupuk, pestisida dan obat-

obatan lainnya, membayar upah tenaga kerja, menyewa traktor, membeli kapital dan material

lainnya (Nuryartono et al. 2005; Adebayo et al. 2008; Nwaru et al. 2011; Saleem 2011;

Muayila 2012).

Page 6: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

2

Berbagai kebijakan pemerintah untuk menangulangi permasalahan permodalan, pada

awalnya melalui bentuk program yang terus dikembangkan untuk meningkatkan produksi

berbagai komoditas pertanian, yang diberikan secara masal. Akan tetapi dalam

perkembangannya dengan pemberian kredit masal dengan tingkat bunga bersubsidi,

menimbulkan polemik yang berkepanjangan karena berbagai penyimpangan dalam

penggunaan yang kurang tepat sasaran. Beberapa penelitian menemukan bahwa tidak semua

petani menggunakan kredit pertanian untuk membeli input produksi. Petani berlahan sempit

tidak membeli input atau teknologi lainnya terutama misalnya untuk menyewa traktor

(Olagunju 2007). Kenyataannya rumahtangga dalam memutuskan dan mengalokasikan

penggunaan modal tersebut selain untuk kegiatan produksi, juga digunakan untuk konsumsi

dan investasi (Nwaru et al. 2011;Yasmeen et al. 2011).

Pelajaran yang dapat dipetik didalam membangun pekreditan untuk membantu

permodalan adalah karena metode pendekatan yang “ top down” dengan pengelolaan serta

konsep dari “atas”, tanpa melihat situasi, kondisi, dan budaya dimana pola kredit

dilaksanakan. Pada keadaan ini sangat sulit mewujudkan kelembagaan perkerditan

dipedesaan, dan meyebabkan kurang efektifnya bantuan permodalan untuk membantu

meningkatkan usaha dan pendapatan masyarakat pedesaan.

Bukti empiris yang sangat pahit berkaitan dengan penyaluran kredit adalah terpuruknya

kegiatan KUD yang menyalurkan KUT, disamping melayani kebutuhan sarana produksi

pertanian mengalami kemacetan karena besarnya tunggakan kredit sehingga tidak memenuhi

syarat sebagai penyalur KUT. Kenyataan ini semakin parah dengan dihapuskannya KLBI

(Kredit Likuidasi Bank Indonesia) sebagai bantuan modal KUD dan kredit pola bergulir yang

diperkenalkan pemerintah tidak menjamin keberlangsungan kegiatan usaha pertanian.

Pada kondisi yang kurang kondusif tersebut, sebagian besar petani yang melakukan

kegiatan usahatani, dan yang belum memperoleh akses permodalan melalui program, akan

mencari alternatif untuk memanfaatkan ketersediaan lembaga pembiayaan formal dan non

formal.Secara umum petani memperoleh sumber pembiayaan usahatani dengan

memanfaatkan keberadaan pada sumber pebiayaan formal dan non formal dengan berbagai

konsekuensinya. Walaupun didalam mengakses pada sumber pembiayaan utamanya pada

sumber pembiayaan formal yang masih rendah, karena berbagai bentuk birokrasi dan

persayaratan yang konvensional yang selama ini menjadikan polemik tersendiri untuk

memperoleh sumber modal yang murah dan mudah. Oleh karena itu didalam membangun

pertanian khususnya peningkatan usahatani maupun usahaternak diperlukan kreasi

kelembagaan pembiayaan yang tepat melalui dukungan pemerintah guna menciptakan

Page 7: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

3

terbentuknya lembaga pembiayaan yang kuat dan sehat guna mendukung pengembangan

usaha pertanian di pedesaan.

Tujuan dari pada tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang keragaan

bantuan modal dan kredit pada rumahtangga petani yang mengakses sumber pembiayaan

untuk memperoleh modal didalam menjalankan kegiatan usahataninya.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS, Provinsi NTT.

Lokasi penelitian di Desa Ponain dan Tesabela di Kabupaten Kupang; Desa Kualin dan Desa

Nulle di Kabupaten TTS. Penentuan lokasi penelitian secara purposive dengan pertimbangan

sebagai sentra produksi ternak sapi dan desa yang mendapatkan bantuan modal/kredit.

Penelitian menggunakan metode survey dengan teknik wawancara struktural, focus

group discusion (FGD), dan observasi, serta menggunakan data sekunder dari desa dan

kecamatan. Responden yang diwawancarai dari keempat desa berjumlah 24 rumahtangga tani

yang menerima bantuan modal/kredit.

Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Aspek-

aspek yang dianalisis diantaranya adalah keragaan bantuan modal/kredit pada rumahtangga

tani dan akses/biaya transaksi pasar bagi rumahtangga tani.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rumahtangga tani di Provinsi NTT, khususnya di Kabupaten Kupang dan TTS

mendapatkan dukungan (supporting) modal untuk usaha produktif dan juga bantuan untuk

meningkatkan konsumsi. Bantuan tersebut diberikan dalam bentuk uang tunai (cash money)

ataupun dalam bentuk natura (in kind).

Disamping dalam bentuk bantuan juga rumahtangga tani dapat mengakses kredit baik

kredit formal maupun non formal. Tujuan rumahtangga mengakses kredit adalah untuk

menambah modal usaha atau juga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Dengan demikian

terdapat tiga kategori aliran dana/modal masuk (in flow) ke rumahtangga, yaitu: (1) bantuan

modal untuk usaha baik dari pemerintah, swasta, atau LSM, (2) kredit baik melalui lembaga

keuangan (bank) maupun lembaga keuangan bukan bank (koperasi), dan juga rentenir, (3)

bantuan sosial yang umumnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga.Keragaan

masing-masing aliran dana/ modal ke rumahtangga tani dijelaskan berikut.

Page 8: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

4

Keragaan Bantuan Modal/Kredit Pertanian pada Rumahtangga Tani

Bantuan modal untuk usaha, baik untuk usahatani maupun usaha non pertanian

bersumber dari pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten), swasta, dan LSM. Jenis bantuan

modal/kredit tersebut bersumber dari, PUAP, Anggur Merah, koperasi dan anggaran desa

(ADD) yang diberikan baik lewat desa maupun kelompoktani yang ada.

Tabel 1. Keragaan Bantuan Modal/KreditPertanian di KabupatenKupang dan TTS

Desa Jenis Bantuan Nilai (Rp) (%)Penerima Bantuan

(orang)(%)

Kualin Anggur Merah 4.000.000 46,51 1 33,33PUAP 1.000.000 11,63 1 33,33BLT 3.600.000 42 1 33,33

Jumlah 8.600.000 100 3 100Nule PUAP 3.000.000 20 1 20

ADD Desa 1.000.000 6,67 2 40ADD Desa 3.000.000 20,00 - -Dinas 5.000.000 33,33 1 20Anggur Merah 3.000.000 20,00 1 20

Jumlah 15.000.000 100 5 100Ponain Anggur Merah 3.000.000 42 3 75

Anggur Merah 3.000.000 42 - -Anggur Merah 4.800.000 40,68 - -ADD Desa 1.000.000 8,47 1 25

Jumlah 11.800.000 100 4 100Tesabela Anggur Merah 5.000.000 15,63 2 40

Anggur Merah 10.000.000 31,25 - -Dinas 1.000.000 3,13 1 20ADD Desa 1.000.000 3,13 1 20BRI 15.000.000 46,88 1 20

Jumlah 32.000.000 100 5 100Sumber: Data Primer, 2016Keterangan %: persentase terhadap jumlah di masing-masing desa

Keragaan bantuan modal bagi petani dengan kisaran nilai yang diberikan masing-masing

desa adalahDesa Kualin: Anggur Merah 46,51%, Desa Nule:Dinas Pertanian yaitu 33,33%;

Desa Ponain: Anggur Merah 42% dan Desa Tesabela: BRI 46,88%. Pemberian bantuan

modal ini tidak saja berupa uang tunai, tapi juga berupa bantuan benih, pupuk/pestisida, bibit

ternak, anakan jeruk.Bantuan modal usaha berupa uang tunai ini diberikan lewat desa,

maupun kelompoktani. Namun dari hasil survei yang diperoleh peberian bantuan modal ini

tidak semua petani mendapatkannya.

Menurut deRosari et al (2014a),pemberian kredit usahatani dengan kredit bunga yang

ringan perlu untuk memungkinkan petani melakukan inovasi-inovasi dalam usahataninya.

Beberapa sumber batuan/kredit yang diberikan pada petani dan dilihat dari segi kebutuhan

Page 9: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

5

dan manfaat kredit, keberadaan kredit sangat membantu bagi petani pengguna kredit, untuk

dipergunakan sebagai penambah modal usaha baik untuk usahatani maupun ternak.

Disamping itu juga ada petani yang tidak memanfaatkan bantuan modal yang ada, mereka

menggunakan modal sendiri yang diperoleh dari penjualan hasil, dimana sebagian hasil

penjualan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan sisanya untuk ditabung atau untuk

modal usaha. Besarnya bantuan yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan petani.

Rata-rata besarnya bantuan/kredit yang diberikan adalah dibawah Rp. 5.000.000, sehingga

petani masih bisa mengembalikannya.

Akses Pasar dan Biaya Transaksi

Akses pasar adalah kemampuan petani menjual produk pertanian ke pasar dengan

mendapatkan harga tertentu. Harga yang dimaksud adalah nilai produk pertanian yang

menimal mampu menutup biaya produksi (cost production) dan setidaknya memperolah

keuntungan (profit). Persoalan utama dalam pemasaran produk pertanian adalah pada akses

pasar (yaitu peluang dan informasi pasar) dan mata rantai pemasaran. Semakin jauh dan

panjang mata rantai pemasaran, semakin jauh harapan petani untuk mendapatkan harga yang

layak, karena setiap simpul rantai akan mencari laba.

Petani di keempat desa tersebut dalam memasarkan hasil usaha ternak sapi menghadapi

pasar dengan informasi pasar yang terbatas sehingga dikatakan petani berada dalam tipe pasar

tidak sempurna (imperfect market). Pada pasar yang tidak sempurna selalu muncul biaya

transaksi (transaction cost) yang menjadi beban biaya dalam pemasaran pertanian (Elly,

2009). Petani pada kondisi sosial ekonominya (farmer’s circumastane) membuat keputusan

menjual ternak sapi ketika membutuhkan uang tunai untuk membiayai kebutuhan misalnya

membangun rumah, biaya pendidikan dan kesehatan keluarga, atau kebutuhan lainnya

(deRosari et al, 2014b; Novindraet al,2015)

Pada keempat lokasi penelitian, terdapat 2 cara penjualan sapi, yaitu (1) menjual ternak

sapi di rumah dengan mendapatkan penawaran dan biaya transaksi dari pengumpul berupa

biaya transportasi. Peternak hanya membayar retribusi desa. (b) menjual ke pasar ternak

dengan konsekuensi membayar biaya transportasi dan pungutan di setiap pos pemeriksaan.

Page 10: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

6

Tabel 2. Jenis Biaya Transaksi Pemasaran Ternak Sapi di Kabupaten Kupang dan TTS

Desa Biaya Transaksi PembelianNilai(Rp x1000)

(%) Biaya Transaksi PenjualanNilai

(Rpx1000)%

Kualin - Mencari Informasi Pasar- Negosiasi/Perantara- Menggiring Ternak dari Pasar- Transportasi/Angkut- Retribusi

3015

200150

50

6,743,37

44,9433,7111,24

- Mencari Informasi Pasar- Negosiasi/Perantara- Pembuatan SJT dari desa- Menggiring Ternak ke Pasar- Transport Ternak ke Pasar- Retribusi ke Pasar- Retribusi di Pasar

600

950000

38,710

61,290000

Jumlah 445 155 100Nule - Mencari Informasi Pasar

- Negosiasi/Perantara- Menggiring Ternak dari Pasar- Transportasi/Angkut- Retribusi

2000

10500

75

25,480

1,2763,69

9,55

- Mencari Informasi Pasar- Negosiasi/Perantara- Pembuatan SJT dari desa- Menggiring Ternak ke Pasar- Transport Ternak ke Pasar- Retribusi ke Pasar- Retribusi di Pasar

100

160000

5,880

94,120000

Jumlah 785 170 100Ponain - Mencari Informasi Pasar

- Negosiasi/Perantara- Menggiring Ternak dari Pasar- Transportasi/Angkut- Retribusi

15000

17535

41,6700

48,619,72

- Mencari Informasi Pasar- Negosiasi/Perantara- Pembuatan SJT dari desa- Menggiring Ternak ke Pasar- Transport Ternak ke Pasar- Retribusi ke Pasar- Retribusi di Pasar

200

750

202010

13,790

51,720

13,7913,79

6,90Jumlah 360 145 100

Tesabela

- Mencari Informasi Pasar- Negosiasi/Perantara- Menggiring Ternak dari Pasar- Transportasi/Angkut- Retribusi

5000

55030

7,9400

87,304,76

- Mencari Informasi Pasar- Negosiasi/Perantara- Pembuatan SJT dari desa- Menggiring Ternak ke Pasar- Transport Ternak ke Pasar- Retribusi ke Pasar- Retribusi di Pasar

00

700000

00

1000000

Jumlah 630 70 100

Sumber: Data Primer, 2016Keterangan: SJT: Surat Jalan Ternak

% terhadap jumlah di masing-masing desa

Kedua cara penjualan memiliki kelebihan dan kelemahan. Pada cara pertama yaitu

menjual sapi di rumah, petani menghadapi tekanan harga oleh pengumpul, namun memiliki

kelebihan tidak mengeluarkan biaya transportasi dan resiko-resiko di perjalanan. Pada cara

kedua, yaitu menjual ternak di pasar, kelebihannya kemungkinan mendapatkan harga relatif

lebih baik karena menghadapi lebih banyak pembeli, kelemhannya mengeluarkan biaya

transportasi, pungutan di pos-pos pemeriksaan sebagai biaya transksi, apabila tidak laku

dijual maka biaya transportasi kembali ke rumah harus dikeluarkan. Pada titik ini peternak

kadang harus menjual sapinya karena pertimbangan biaya transportasi dan biaya yang sudah

dikeluarkan.

Page 11: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

7

Biaya transaksi pembelian peternak harus mencari ke luar desa atau kabupaten. Dari

empat desa pada Tabel 2, biaya transaksi pembelian transportasi/angkut ternak dari pasar ke

rumah lebih besar dibanding biaya-biaya transaksi pembelian yang lain. Desa Tesabela

87,30%, Desa Nule 63,69%, Desa Ponain 48,61% dan desa Kualin 44,94%, hal ini

disebabkan karena petani membeli ternak sapi harus ke pasar hewan Camplong yang

jaraknya jauh dari tempat tinggal petani, sehingga kadang untuk membeli ternak petani saling

memberi informasi ke teman petani yang lain supaya mereka bisa membeli ternak sapi secara

bersamaan agar dapat meringankan biaya transport dari pasar ke rumah. Biaya transport ini

akan ditanggung bersama.

Biaya transaksi penjualan yang dilakukan oleh petani ditentukan sendiri-sendiri oleh

petani, tergantung kesepakatan harga, setelah diperhitungan semua pengeluaran selama masa

pemeliharaan. Dari hasil wawancara yang diperoleh rata-rata pembeli mendatangi tempat

petani melakukan transaksi penjualan khususnya untuk penjualan ternak sapi. Petani merasa

lebih menguntungkan dibandingkan harus mengeluarkan biaya transport ke pasar. Terlihat

bahwa dari ke empat desa pada table diatas, biaya transaksi penjualan pembuatan surat jalan

ternak dari desa yang lebih tinggi, Desa Tesabela 100%, Desa Nule 94,12%, Desa Kualin

61,29 dan Desa Ponain 51,72%, sedangkan biaya transaksi penjualan yang lain tidak terlalu

mengeluarkan biaya, kebanyakan biaya-biaya transaksi penjualan di tanggung oleh pembeli

ternak sapi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Bantuan modal/kredit yang diberikan dapat membantu petani untuk usahataninya

secara optimal sehingga dapat meningkatkan produksi usahatani yang tentu saja akan

berdampak positif bagi pendapatan petani yang bersangkutan. Akses petani terhadap pasar

sangat diperlukan untuk kelancaran usahatani.,kebiasaan petani menanam dulu tanpa

melakukan penjajagan kebutuhan pasar secara cepat, membuat posisi petani selalu lemah,

baik dalam penentuan harga maupun kemampuan memenuhi pasokan sesuai komoditi yang

dihasilkan. Seringkali petani mendapatkan harga yang tidak layak karena masalah waktu jual

yang tidak tepat.

Biaya Transaksi pembelian khususnya ternak sapi sangat tinggi pada biaya

transportasi/angkut. Pengetahuan dan ketrampilan petani peternak tentang sistem

pemeliharaan ternak secara intensif masih rendah, sehingga produktivitas usaha ternak sapi

dapat meningkat.

Page 12: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

8

Disarankan perbaikan sistem dan infrastrukur pemasaran untuk menekan biaya

transaksi. Perbaikan infrastruktur pasar dimaksud juga dengan memperpendek jarak rumah

dan pasar ternak. Disamping itu meningkatkan permodalan petani melalui skim kredit yang

inovatif dengan tetap memperhatikan manajemen penggunaan dan pengawalan yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Adebayo O, RG. Adeola. 2008. Sources and uses of agricultural credit by small scalefarmers in Surulere local government area of Oyo State. The Anthropologist. 10 (4):313-314.

deRosari B.B., Bonar M. Sinaga, NunungKusnadi, and M.H. Sawit, 2014a.The Impact ofCredit and Capital Supports on Economic Behavior of Farm Households: AHouseholdEconomic Approach. International Journal ofFoodandAgriculturalEconomics, Vol. 2 (3): 81-90.

deRosari B.B., Bonar M. Sinaga, NunungKusnadi, and M.H. Sawit, 2014b. Input Demandand Cattle Production in East Nusa Tenggara Province, Indonesia. Global Journal ofCommerce & Management Perspective. Vol 3(4): 1-7.

Elly Femi Hadidjah. 2009. Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha TernakSapi-Kelapa dalam menghadapi Biaya Transaksi di Kabupaten Bolaang Mongondow.Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 12 (3): 210-219.

Mauyila HK. 2012. Assessing the impact of credit constrains on farm household economicwelfare in the hinterland of Kinshasa, Democratic Republic of Congo. AJFAND on lineScholarly Peer Revieved, 12(3), May. ISSN 1684 5374. Published by Asscat.

Novindra, B. deRosari, B.M. Sinaga, 2015. The Effect of Credit, Capital Support, Input Price,Output Price, and Technology Changes on Production, Income, and Farmer Welfare.Proceeding International Workshop “Agricultural Finance for Rural Development andSustainability, IPB Int. Conv. Centre, 20-21 November: 65-80.

Nuryartono N, Manfred Z, Stefan S. 2005. Credit rationing of farm households andagricultural production. empirical evidence in the rural areas of Central Sulawesi,Indonesia Tropentag Stuttgart-Hohenheim, Conference on International AgriculturalResearch for Development.

NwaruJ, C. Ubon Asuquo Essien, and Robert Enyeribe Onuoha. 2011. Determinants ofinformal credit demand and supply among food crop farmers in Akwa Ibom State, Nigeria.JRur Comn Devl.6 (1): 129–139. ISSN: 1712-8277 © JRCDwww.jrcd.ca.

Olagunju FI. 2007. Impact of credit use on resource productivity of sweet potatoes farmers inOsunstate Nigeria. JSosSci. 14(2):175-178.

SaleemMA. 2011. Sources and uses of agricultural credit by farmers in Dera Ismail Khan(District) Khyber Pakhtonkhawa Pakistan. Europ J.Buss Manj.. ISSN 2222-1905 (Paper)ISSN 2222-2839 (Online), 3(3):111-122www.iiste.org.

Yasmeen K, Shakeel S, Tanveer H. 2011. government policy regarding agricultural loans andits impact upon farmers’ standards of living in developing countries. J. Publ AdmGovn.ISSN 2161-7104 2011, 1(1):16-30.

Page 13: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

9

STRATEGI BRANDING DALAM PROMOSI PENJUALAN PRODUKPERTANIAN OLAHAN PT. HATTEN BALI UNTUK PASAR PARIWISATA

INDONESIA

I Ketut Surya Diarta, Putu Widhianti Lestari, dan Ida Ayu Putu Citra DewiPS. Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana

email: [email protected]

ABSTRAK

Branding menjadi keniscayaan dalam srategi promosi penjualan produk dan jasadi era global seperti sekarang. Namun, tantangan mem-branding produk pertanian jauhlebih sulit terkait standarisasi karena melibatkan proses biologis yang tidak dapatdikendalikan sekehendak hati. Terlebih, jika target pasar yang dituju bersifat spesifikuntuk konsumsi dunia pariwisata.

Tulisan ini mendiskusikan strategi branding yang dipergunakan oleh perusahaanagribisnis PT. Hatten Bali dalam mempromosikan anggur olahan “Hatten Wines” untukpasar pariwisata di Indonesia. Wawancara mendalam dan observasi dilakukan untukmengumpulkan data yang dianalisis dengan deskriptif kualitatif.

PT. Hatten Bali memb-randing produk wines-nya dengan tiga stategi brandingyaitu: (1) producer branding (Hatten Wines Aga White, Hatten Wines Aga Red, HattenWines Alexandria, Hatten Wines Rose, Hatten Wines Sparkling Tunjung, dan HattenWines Sparkling Jepun), (2) retail branding (Dragonfly Moscato dan Two Island), dan(3) geographical branding (Pino de Bali dan Dewi Sri). Ketiga strategi brandingtersebut memiliki perbedaan dalam bahan baku olahan, target pasar, dan tipologipenggunaan agar memenuhi target penjualan perusahaan.

Strategi branding terbukti aplikatif dan efektif dimanfaatkan dalam strategipromosi penjualan produk pertanian olahan dalam agribisnis sama seperti produkmanufaktur dan jasa lainnya. Pengusaha agribisnis sebaiknya mempertimbangkanpenggunaan branding dalam promosi penjualan produknya agar lebih mampu bersaingdengan kompetitor.

Kata kunci: Branding, Promosi, Pertanian, Wines, Pariwisata

ABSTRACT

Branding becomes inevitable in sales promotion strategy of products andservices in the era of globalization. However, the difficult challenge of agriculturalproducts branding related to standardization because it involves a biological process thatcan not be fully controlled. Moreover, if the intended target market is specific to thetourism market.

This paper discusses branding strategy used by agribusiness company PT. HattenBali in promoting wine processed "Hatten Wines" for the tourism market in Indonesia.Data were collected through in-depth interviews and observations technique and wereanalyzed by descriptive qualitative method.

PT. Hatten Bali uses three strategies of branding ot its wines pruducts, namely:(1) producer branding (Hatten Wines Aga White, Hatten Wines Aga Red, Hatten WinesAlexandria, Hatten Wines Rose, Hatten Wines Sparkling Tunjung, and Hatten Wines

Page 14: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

10

Sparkling Jepun), (2) retail branding (Dragonfly Moscato and Two Island), and (3)geographical branding (Pino de Bali and Dewi Sri). All three branding strategies havedifferences in agricultural raw material processed, the target market, and typology of usein order to meet the company's sales target.

Branding strategy proved to be applicable and effective used in processedagricultural products sales promotion strategies just like used in manufacturing productsand other services. Agribusiness entrepreneurs should consider the use of branding insales promotion to better compete with competitors.

Keywords: Branding, Promotion, Agriculture, Wines, Tourism

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hampir sebagian besar dari kita pernah mendengar, melihat, bahkan membeli

produk pertanian yang ditambahi embel-embel nama luar negeri seperti ‘Jeruk

Mandarin’, ‘Apel Washington’, ‘Pepaya Bangkok’, ‘Florida Orange’, dan seterusnya.

Atau, beberapa produk pertanian yang ditambahi embel-embel nama dalam negeri

seperti ‘Apel Malang’, ‘Salak Bali’, ‘Talas Bogor’, dan seterusnya. Apakah nama

tempat di belakang nama produk pertanian sebagai penunjuk asal produk? Jika

asumsinya benar, lalu bagaimana dengan ‘Cokelat Swiss’ seperti Sprungli, Lindt, dan

Teuscher?. Faktanya, Swiss sama sekali tidak membudidayakan tanaman kakao sebagai

bahan baku cokelat karena iklimnya dingin tidak sesuai bahkan untuk sekedar hidup

bagi tanaman kakao.

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa produk pertanian menggunakan branding

sebagai strategi promosi untuk pemasaran produknya. Menilik kasus di atas, ada dua hal

yang sekaligus bisa dijadikan branding yaitu produk pertaniannya (cokelat, jeruk, apel,

salak) dan tempat di mana dibudidayakan (Malang, Florida, Bali, Bogor) atau

diolah/dikemas (Swiss, Washington). Fenomena tersebut dengan jelas menunjukkan

bahwa branding menjadi suatu keniscayaan dalam strategi pemasaran bukan saja

terhadap produk manufaktur, jasa, dan pariwisata, tetapi juga produk pertanian.

Namun, produk pertanian memiliki karakteristik yang khas dengan sulitnya

menstandarisasi kualitas yang sama karena melibatkan proses biologis yang tidak dapat

dikendalikan sekehendak hati. Lain halnya seperti produk industri manufaktur seperti

sepeda motor, televisi, telepon seluler dan sejenisnya yang dapat di-branding

menyesuaikan keinginan pembuatnya. Terlebih, jika produk pertanian olahan khusus

Page 15: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

11

diperuntukkan bagi pasar pariwisata yang menuntut kualifikasi produk dengan standar

tinggi untuk pemenuhan kebutuhan wisatawan.

Men-branding produk pertanian olahan sebagai pendekatan pemasaran dalam

mendukung industri pariwisata (misalnya Bali) memerlukan strategi branding khusus

(Haimid, et al, 2012). Hal ini ditujukan disamping menarik minat wisatawan untuk

membeli produk pertanian olahan saat berwisata ke Bali juga diarahkan agar produk

pertanian olahan tersebut mampu bersaing dengan kompetitornya. Branding dalam

perspektif ini diarahkan untuk menumbuhkan hubungan emosional berupa loyalitas

wisatawan selaku konsumen dengan produk pertanian olahan (wine) serta memperkuat

penetrasi pasar sehingga usahatani dan pertanian juga dapat berkembang baik.

Salah satu perusahaan produk pertanian berupa anggur olahan yang menggunakan

strategi branding adalah PT Hatten Bali. Perusahaan ini merupakan salah satu produsen

wines terbesar yang berlokasi di Bali yang berdiri sejak tahun 1994. PT Hatten Bali

memiliki beragam merek wine, diantaranya Hatten Wines, Two Islands, Dragonfly

Moscato dan Dewi Sri. Produk PT Hatten Bali dapat ditemukan pada sebagian besar

wilayah Bali dan beberapa wilayah di Indonesia. Produk wines yang dihasilkan PT

Hatten Bali umumnya diperuntukkan bagi pemenuhan konsumsi pariwisata di Indonesia

walaupun pangsa pasar terbesarnya masih bagi konsumen pariwisata di Bali.

Memasarkan produk pertanian olahan seperti wines bagi pasar pariwisata di

Indonesia tidaklah mudah. Hal ini semakin sulit jika produk wines tersebut merupakan

pendatang baru di tengah kompetitor yang sudah terlebih dahulu ada. Kesuksesan PT

Hatten Bali dalam menggunakan strategi branding dalam memasarkan wines memiliki

justifikasi yang kuat dijadikan teladan dalam pemasaran produk pertanian olahan

lainnya agar dapat bersaing.

Tujuan Penulisan

Tulisan ini mendiskusikan strategi branding yang dipergunakan oleh perusahaan

agribisnis PT. Hatten Bali dalam mempromosikan anggur olahan “Hatten Wines” untuk

pasar pariwisata di Indonesia.

Page 16: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

12

PENDEKATAN BRANDING PRODUK PERTANIAN

Brand

Pengertian brand dalam pemasaran sangat beragam. Menurut Asosiasi

Pemasaran Amerika Serikat (The American Marketing Association) (dalam Kotler dan

Gertner, 2004; Touminen, 1999; Boomsma & Arnoldus, 2008), brand didefinisikan

sebagai,

…name, term, sign, symbol, or design, or a combination of them intendedto identify the goods and services of one seller or group of sellers and todifferentiate them from those of competitors.

Dilihat dari definisi di atas, brand dapat menyangkut satu atau gabungan dari beberapa

faktor (nama, istilah, tanda, simbol, atau desain) untuk mengidentifikasi suatu produk

atau pelayanan yang diberikan oleh penjual (gabungan penjual) yang membedakannya

dengan pesaingnya.

Lebih lanjut, Kotler dan Gertner (2004) menyatakan bahwa “brand dapat

membedakan satu produk dengan yang lainnya dan memberikan nilai tertentu terhadap

produk tersebut”. Brand dapat memperkuat rasa percaya seseorang akan produk

tertentu. Brand membangkitkan emosi tertentu, dan menjadi salah satu yang

berpengaruh atau mendorong seseorang untuk berperilaku tertentu, misalnya membeli

atau tidak membeli sesuatu.

Menurut Boomsma & Arnoldus (2008) brand diciptakan untuk meyakinkan calon

konsumen mengenai keunggulan standar kualitas, reliabilitas, status sosial, nilai, atau

keamanan sebuah produk. Brand mengindikasikan bahwa setiap produk yang

menyandang brand tertentu berasal dari produsen, distributor, atau asal yang sama.

Simmons (2007) menyatakan bahwa seorang yang menciptakan brand terhadap suatu

produk atau jasa haruslah berusaha membangun relasi kuat antara produk atau jasanya

dengan pelanggannya. Hal ini akan semakin memperkuat daya saing produk atau

jasanya tersebut ke depannya dan menjadikannya semakin sulit bagi pesaing untuk

menirunya.

Brand, oleh karenanya, “mampu membuat perusahaan membangun sebuah identitas

yang unik dan mendapatkan ceruk pasar yang semakin besar dibandingkan produk atau

jasa sejenis lainnya” (Ibeh et al, 2005 dalam Simmons, 2007). Brand

menggabungkan seperangkat fitur produk atau jasa yang berkaitan dengan nama brand

tersebut dan berfungsi mengidentifikasi produk atau jasa tersebut di pasar. Simmons

Page 17: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

13

(2007) menyimpulkan bahwa brand yang sukses melibatkan paling tidak tiga aspek

tambahan yaitu: (a) pemahaman akan konsumen, dimana sebuah brand produk atau jasa

sangat tergantung kepada persepsi konsumen, (b) komunikasi pemasaran dimana begitu

sebuah brand produk atau jasa terbentuk maka sangat penting dikomunikasikan dan

ditempatkan pada ceruk tertentu di pasar, dan (c) interaksi yang berlanjut dengan

konsumen dimana proses-proses organisasi harus diarahkan pada memelihara identitas

brand dengan tetap menjaga interaksi yang berkelanjutan dengan konsumen target, agar

produk atau jasa memiliki kelebihan kompetitif dengan pesaing.

Terdapat beberapa jenis brand di pasar (Iversen & Hem, 2006), diantaranya: (1)

umbrella brands (payung brand) dimana sebuah brand menjadi ‘payung’ dari beragam

produk yang kurang lebih berkaitan dalam aspek tertentu, misalnya “LG”, “Samsung”

dan sebagainya yang meng-cover beragam produk dari telepon selular, televisi, mesin

cuci, dan seterusnya, (2) manufacturer brands yaitu brand yang dimiliki oleh produsen

atau pabrik tertentu seperti “Nestle”, (3) distributor brands, yaitu brand yang dimiliki

oleh jaringan distributor seperti “Amazon”, “Alibaba”, “Olx”, “Lazada”, dan

sebagainya, (4) generic, regional atau place brands, yaitu brand yang diberikan kepada

sebuah produk berdasarkan identitas dan reputasi territorial atau berdasarkan atribut

karakteristik yang khas atau asli secara geografis.

Pentingnya sebuah brand terutama karena brand dapat mempengaruhi perilaku

pembelian konsumen, membantu produsen atau penjual mendapatkan harga lebih tinggi

atas produk yang dihasilkannya mengingat konsumen yang brand-minded akan bersedia

membayar dengan harga premium terhadap suatu produk jika berasal dari brand

tertentu. Brand juga menjamin produk lebih tahan terhadap goncangan harga mengingat

perubahan harga tidak berpengaruh besar bagi konsumen yang loyal terhadap brand

tertentu. Brand pada akhirnya akan mendorong peningkatan volume penjualan yang

berarti peningkatan pendapatan produsen (Boomsma & Arnoldus, 2008).

Branding

Layaknya brand, maka branding juga memiliki beberapa pengertian tergantung

sudut pandang penggunaannya. Secara awam, branding dipahami sebagai kegiatan

promosi, iklan, atau publisitas. Penggiat pemasaran umumnya mengartikan branding

sebagai cara sebuah produk atau jasa dirancang terlihat bagi konsumen apakah

menyangkut pengemasan, logo, atau tagline (Boomsma & Arnoldus, 2008).

Page 18: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

14

Sudut pandang akademisi memahami branding sebagai sebuah proses mendesain

sebuah brand termasuk di dalamnya nama, logo, identitas, membentuk brand awareness

dan menciptakan brand image dan attitude yang positif yang dapat dicapai melalui

beragam cara termasuk periklanan, pengemasan, dan desain produk (Boomsma &

Arnoldus, 2008).

Tantangan dalam Mem-branding Produk Pertanian

Branding merupakan salah satu elemen penting yang harus dipertimbangkan ketika

merencanakan strategi pemasaran suatu produk (Haimid et al, 2012). Branding dapat

dimanfaatkan untuk menciptakan image sebuah brand dari sebuah produk dalam benak

konsumen (Lavikka, 2007) sehingga diharapkan konsumen mengkonsumsi atau

membeli produk tersebut. Namun, efek branding kepada calon konsumen biasanya

kurang mendapat perhatian serius oleh petani ketika dikaitkan dengan produk pertanian

yang dihasilkannya. Hal ini tidak terlepas dari keraguan petani dalam memberikan nilai

tambah bagi produk pertaniannya.

Produk pertanian sangat unik. Produk pertanian memiliki tantangan dalam

pemasarannya karena melibatkan proses biologis yang tidak dapat dikendalikan sesuka

hati oleh petani. Menurut Haimid et al (2012), salah satu cara membedakan produk

pertanian dari satu produsen dengan yang lainnya adalah dengan mem-branding -nya

sehingga mampu menjembatani antara produsen dengan calon konsumennya.

Setiap produk, termasuk produk pertanian, memiliki beragam ciri, tanda, isyarat

atau sejenisnya yang dipakai oleh konsumen untuk menentukan produk pertanian yang

mana yang akan dibeli atau dikonsumsinya. Keputusan membeli atau tidak suatu produk

pertanian merupakan hasil mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menghubungkan

beragam karakteristik produk tersebut dengan kebutuhan konsumen. Semakin

memenuhi ekspektasi kebutuhannya maka semakin besar kemungkinan akan membeli

produk tersebut.

Ciri atau karakteristik sebuah produk pertanian umumnya dapat diklasifiaksi

menjadi dua yaitu ciri intrinsik (umumnya karena proses biologis yang secara alamiah

terkadung dalam produk pertanian seperti rasa, kandungan nutrisi, ukuran, bentuk, dan

warna) dan ciri ekstrinsik (umumnya bukan karena fisik alamiahnya tetapi ciri yang

sengaja ditambahkan seperti harga, label, iklan).

Kaitannya dengan mem-branding produk pertanian maka penambahan ciri

ekstrinsik (misalnya label) pada produk pertanian akan menjadi sangat penting ketika

Page 19: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

15

ciri intrinsiknya tidak diketahui. Misal, dengan melabeli sebuah salah dengan ‘Salak

Pondoh’ dan ‘Salak Bali’ maka konsumen sudah memiliki keputusan salak yang mana

yang akan dibelinya sesuai dengan keinginannya. Pelabelan produk akan memperbesar

peluang produk dapat dijual dengan harga lebih premium. Pelabelan berarti konsistensi

kualitas produk. Hal ini menjadi masalah besar bagi produk pertanian mengingat variasi

proses biologis yang dipengaruhi oleh iklim, lingkungan tumbuhnya, atau perlakuan

terhadap produk selama proses pertumbuhannya.

Strategi Branding dalam Pemasaran Produk Pertanian

White et al (1996) dan Docherty (2012) memberikan model kapan sebaiknya

produk pertanian di-branding berdasarkan karakteristik produk dan kemampuan

produsen (petani) dalam mengontrol variasi biologis sehingga mampu mengendalikan

atribut yang dikehendaki sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 1. Model ini dapat

dijadikan rujukan untuk mem-branding produk pertanian olahan seperti wines yang

dihasilkan oleh PT Hatten Bali. Berdasarkan model tersebut terdapat variasi cara

membranding produk pertanian yaitu:

a. Producer branding

Jika produsen mampu mengontrol variasi biologis dari atribut produk pertanian yang

diinginkan atau mampu mengelola secara konsisten grading untuk menjamin

konsistensi perbedaan kualitas atribut tertentu yang diinginkan maka branding

berbasis nama produsen dapat dipakai sebagai ciri khasnya (Jendela I).

Kemampuan produsen mengendalikanvariasi biologis terhadap produk

pertaniannya

Tinggi Rendah

Atribut ataukarakteristik

produkpertanian

Ciri intrinsiknyata

(I)ProducerBranding

(II)No

BrandingCiri intrinsiktersembunyi

(IV)Retail

Branding

(III)Geographical

Branding

Gambar 1.Model Pengembangan Branding Produk Pertanian

Page 20: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

16

Hal ini akan menggiring konsumen kepada citra bahwa produk yang dihasilkan oleh

produsen tertentu sangat unggul dibanding produsen lainnya. Producer branding ini

membedakan produk pertanian yang sama yang dihasilkan dari produsen lain dan

menambahkan nilai lebih, baik di tingkat eceran maupun penyalur. Jika branding

sudah kuat sebenarnya hal yang dilakukan produsen adalah kegiatan yang minimal

seperti menambahkan label sudah mampu menjual dengan harga premium.

b. No branding

Jika ciri intrinsik dapat diketahui dan produsen memiliki kemampuan terbatas

bahkan sama sekali tidak ada kemampuan mengontrol variasi biologis dari atribut

produk pertaniannya maka sebaiknya produk tersebut tidak usah dibranding dalam

pemasarannya (Jendela II). Dalam kasus ini semua produk dianggap tidak ada

bedanya karena konsumen bisa dengan jelas melihat, merasa, meraba sendiri untuk

memilih produk yang terbaik baginya. Usaha untuk membranding justru akan

menambah biaya pemasaran yang tidak akan berpengaruh signifikan terhadap

besarnya volume penjualan. Untuk membayangkannya maka kita bisa melihat

produk pertanian yang dijual di pasar tradisional sehari-hari.

c. Geographical branding

Jika ciri intrinsik tidak dapat diketahui dan produsen memiliki kemampuan terbatas

bahkan sama sekali tidak ada kemampuan mengontrol variasi biologis dari atribut

produk pertaniannya maka branding berdasarkan tempat asal produk, wilayah

regional, bahkan asal negara (faktor geografis) bisa dijadikan pijakan branding bagi

produk pertanian bersangkutan jika memang kondisi tempat geografis tersebut

secara konsisten mempengaruhi atribut khas produk pertanian tersebut (Jendela III)

(Iversen & Hem, 2006). Awal tulisan ini sudah dicontohkan seperti Apel Malang,

Jeruk Mandarin, dan Salak Bali.

d. Retail branding

Jika atribut intrinsik produk pertanian tidak diketahui atau tersembunyi tetapi

produsen memiliki kemampuan untuk mengontrol variasi biologis atribut produk

pertaniannya atau produsen mampu mengelola secara konsisten grading untuk

menjamin konsistensi perbedaan kualitas atribut tertentu yang diinginkan maka

retail branding bisa menjadi pilihan. Branding tipe ini hampir mirip dengan

producer branding tapi di pasar, branding bisa dibuat bervariasi dan branding yang

dibuat tersebut bukan menjadi milik produsennya. Biasanya variasi branding dibuat

di tingkat ritel sehingga bisa saja produk pertanian dari lahan yang sama diberi

Page 21: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

17

branding berbeda atau jenis produk pertanian dari spesies yang identik diberi

branding berbeda tergantung jaringan pemasaran dan segmen pasar yang ingin

dituju.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di PT Hatten Bali yang terletak di Jalan Bypass Ngurah

Rai No. 393, Denpasar Bali pada bulan September sampai Oktober 2016. Data

dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam terhadap informan kunci yaitu

manajer pemasaran, manajer akuntansi, manajer produksi, dan beberapa staff di masing-

masing divisi yang dianggap mampu memberikan informasi untuk menjawab tujuan

penelitian. Pengumpulan data dilengkapi dengan observasi lapangan dan studi pustaka.

Data yang terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif kemudian ditarik

kesimpulan dan rekomendasi.

PEMBAHASAN

Strategi branding dalam promosi penjualan produk wines yang dihasilkan oleh PT

Hatten Bali didasarkan pada karakteristik anggur yang menjadi bahan baku wines,

manfaat, dan target konsumen sasaran. Sebelumnya, perlu juga dibahas berbagai macam

produk wines yang diproduksi PT Hatten Bali dengan berbagai karakteristik dasarnya

yang juga menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan strategi branding.

Brand Wines PT Hatten Bali

PT Hatten Bali sudah menyadari pentingnya brand bagi produk wines yang

diproduksinya. Brand produk wines yang dihasilkan dipandang oleh PT Hatten Bali

sebagai identitas produk dan diferensiator dari produk wines pesaing. Brand wines yang

dihasilkan bagi PT Hatten Bali merupakan komitmen untuk secara konsisten menjamin

serangkaian ciri-ciri, kualitas, manfaat, dan jasa tertentu yang melekat pada brand

kepada para konsumen.

PT Hatten Bali memiliki empat brand produk wines dan juga brem (arak Bali)

diantaranya Hatten Wines, Dragonfly Moscato, Two Islands, dan Dewi Sri dengan

beragam desain dan tampilan kemasan.

(i) Hatten Wines

Brand Hatten Wines diperkenalkan sejak tahun 1994. Wines dengan brand ini

terdiri dari beberapa produk yang memiliki kekhasan cita rasa masing-masing yang

Page 22: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

18

dibuat dari anggur yang dibudidayakan di Bali. Brand Hatten Wines dipakai untuk

produk Rose, Aga White, Aga Red, Alexandria, Sparkling Tunjung, Sparkling

Jepun, dan Pino de Bali yang tersedia di seluruh Bali, Jakarta, dan kota-kota besar

di Jawa, Sumatera, Lombok, Manado, dan di seluruh Indonesia. Target konsumen

yang disasar adalah wisatawan baik domestik maupun mancanegara serta

masyarakat umum.

Gambar 2.Logo Brand Hatten Wines

Gambar 3.Beberapa Kemasan Produk Brand Hatten Wines

(ii) Dragonfly Moscato

Dibuat dari anggur yang diimpor dari Australia selatan dengan cita rasa anggur

yang manis dan seksi. Wines ini mengandung kadar alkohol 8% yang tergolong

rendah dan memungkinkan dinikmati tanpa konsekuensi negatif. Dragonfly

Moscato tersedia di Bali, Jakarta dan kota-kota besar di Jawa, Sumatera, Lombok,

dan di seluruh Indonesia. Target konsumen yang disasar adalah wisatawan baik

domestik maupun mancanegara serta masyarakat umum.

Gambar 4.Logo Brand Dragonfly Moscato

Page 23: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

19

Gambar 5.Kemasan Produk Wine Dragonfly Moscato

(iii) Two Islands

Dibuat dari buah anggur terbaik dari daerah ikonik Australia Selatan. Two Islands

dirancang untuk menawarkan karakteristik anggur Australia yang berbeda dan

sesuai dengan masakan lokal. Brand ini terdiri atas beberapa produk seperti

Sauvignon Blanc, Chardonnay, Shiraz, Cabernet Merlot, Riesling, Pinot Grigio.

Pinot Noir, dan seri Reserve. Two Islands tersedia di Bali, Jakarta dan kota-kota

besar di Jawa, Sumatera, Lombok, dan di seluruh Indonesia. Target konsumen yang

disasar adalah wisatawan baik domestik maupun mancanegara serta masyarakat

umum.

Gambar 6.Logo Brand Two Island

Gambar 7.Beberapa Kemasan Produk Wine Two Islands

Page 24: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

20

(iv) Dewi Sri

Brand ini dibeli dari Fa Udiyana oleh PT Hatten Bali, namun proses pembuatan

tetap dijalankan oleh pihak Fa Udiyana. Fa Udiyana, adalah produsen profesional

dari anggur beras dan ketan lokal Bali. Didirikan pada tahun 1968, Dewi Sri

memproduksi arak dan brem yang terbuat dari beras yang difermentasi.

Gambar 8.Logo Brand Dewi Sri

Gambar 9.Beberapa Kemasan Produk Dewi Sri

Strategi Branding Wines PT Hatten Bali

Adapun strategi branding yang dilakukan oleh PT Hatten Wine dalam memasarkan

produk wines produksinya yaitu:

1. Producer branding (Hatten Wines Aga White, Hatten Wines Aga Red, Hatten

Wines Alexandria, Hatten Wines Rose, Hatten Wines Sparkling Tunjung, dan

Hatten Wines Sparkling Jepun)

2. Retail branding (Dragonfly Moscato dan Two Island)

3. Geographical branding (Pino de Bali dan Dewi Sri).

Page 25: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

21

Ketiga strategi branding tersebut memiliki perbedaan dalam bahan baku olahan, target

pasar, dan tipologi penggunaan agar memenuhi target penjualan perusahaan

sebagaimana dapat dirangkum dalam Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 berikut.

Tabel 1.Strategi Producer Branding Produk Wines PT Hatten Bali

StrategiBranding Branding Brand

Bahan Baku Target Pasar(Konsumen)

Tipologi Penggunaan

ProducerBranding

HattenWines

HattenWinesRose

Anggur Alphonse-LavalléeWine dari BaliUtara dengan rasabuah tropis

Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum

Cocok disajikan bersama semuajenis makanan, ideal denganhidangan Bali dan makanan laut.

HattenWines

HattenWinesAga Red

Anggur Alphonse-LavalléeWine dari BaliUtara dengan rasabuah tropis

Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum

Direkomendasikan disajikansedikit dingin, sangat baik untukpanggang daging dan hidanganpedas. Disarankan juga denganhidangan India, Meksiko danIndonesia.

HattenWines

HattenWinesAgaWhite

Anggur Belgia,dari Bali UtaraWine dengan rasalemon jeruk

Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum

Cocok disajikan bersama ikan,seafood, daging dan makananpedas

HattenWines

HattenWinesAlexandria

Anggur Belgia,dari Bali Utaradengan rasa semi-manis, sangataromatik denganaftertaste segar

Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum

Cocok disajikan bersamamakanan kecil dan keju. Idealdengan makanan pedas dancocok untuk hidangan penutup.

HattenWines

HattenWinesRoseCask

Anggur Alphonse-LavalléeWine dari BaliUtara dengan rasabuah tropis

Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum

Cocok disajikan bersama semuajenis makanan, ideal denganhidangan Bali dan makanan laut.

HattenWines

HattenWinesAga RedCask

Anggur Alphonse-LavalléeWine dari BaliUtara dengan rasabuah tropis

Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum

Sangat baik untuk panggangdaging dan hidangan pedas.Disarankan juga denganhidangan India, Meksiko danIndonesia.

HattenWines

HattenWinesAgaWhiteCask

Jenis anggurBelgia, dari BaliUtaraWine dengan rasalemon jeruk

Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum

Cocok disajikan bersama ikan,seafood, daging dan makananpedas

HattenWines

HattenWinesJepun

Jenis anggurAlphonse-LavalléeSparkling Winesedikit manisdengan rasa buahtropis yang ringan.

Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum

Cocok disajikan bersamamakanan kecil, makananpenutup, makanan ringan - saladdan ikan

HattenWines

HattenWinesTunjung

Jenis anggur:Probolinggo Biru,tumbuh di BaliUtaraSparkling Winemenyegarkandengan aroma kulitjeruk dan bunga

Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum

Cocok disajikan bersamamakanan kecil, makananpenutup, makanan ringan

Page 26: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

22

Berdasarkan Tabel 1 di atas, PT Hatten Bali menggunakan strategi producer

branding. PT Hatten Bali memiliki 35 hektar kebun anggur siap panen di Bali Utara

(Buleleng) baik kebun milik sendiri maupun dengan pola kemitraan dengan petani lokal.

Kebun-kebun anggur PT Hatten Bali terletak di sepanjang pantai utara Bali, sebagian

besar antara kota Seririt dan Pemuteran. Daerah ini dipilih sebagai lokasi perkebunan

karena iklimnya cocok untuk usahatani anggur. Varietas yang ditanam di Bali utara

adalah Probolinggo Biru lokal, anggur hitam lokal Alphonse-Lavallée, French table

grapes dan anggur putih lokal Belgia. Iklim tropis membuat karakter cita rasa unik dari

anggur di Bali yang berbeda dengan anggur dari daerah lain atau anggur impor.

Memiliki kebun anggur sendiri berarti PT Hatten Bali mampu mengontrol variasi

biologis dari atribut produk anggur yang diinginkan atau mampu mengelola secara

konsisten grading bahan baku wines untuk menjamin konsistensi perbedaan kualitas

atribut tertentu yang diinginkan. Oleh karenanya, strategi producer branding paling

sesuai diterapkan. Hal ini akan menggiring konsumen kepada citra bahwa produk wine

yang dihasilkan sangat unggul dan khas dibanding kompetirtor lainnya. Producer

branding yang dilakukan oleh PT Hatten Bali secara operasional di lapangan

divariasikan dalam beragam variasi brand produk wine sebagaimana terlihat dalam

Tabel 1 di atas. Strategi ini sangat sukses mengingat serapan produk dengan strategi

branding ini sangat besar.

Tabel 2.Strategi Retail Branding Produk Wines PT Hatten Bali

StrategiBranding Branding Brand

Bahan Baku Target Pasar(Konsumen)

Tipologi Penggunaan

RetailBranding

TwoIslands

TwoIslandsChardonnay

Anggur impor dariAustralia Selatan,aroma varietaskhas dari ara danmelon, dengansedikitkompleksitas oak.

Utamanyawisatawanmancanegara, tetapitidak menutupkemungkinanwisatawan domestik

Cocok disajikan bersamamakanan dari unggas, seafoodatau masakan ringan dibumbuidan Asia.

TwoIslands

TwoIslandsShiraz

Anggur impor dariAustralia Selatan,aroma cherrypedas dan ladahitam ditingkatkandengan mocha danvanili aroma.

Utamanyawisatawanmancanegara, tetapitidak menutupkemungkinanwisatawan domestik

Cocok disajikan bersama daging,hidangan pedas dan sayuranpanggang merah.

TwoIslands

TwoIslandsCabernetMerlot

Anggur impor dariAustralia Selatan,aroma plummatang dengansentuhan varietasleafiness.

Utamanyawisatawanmancanegara, tetapitidak menutupkemungkinanwisatawan domestik

Cocok disajikan bersamahidangan daging serta dagingmerah dan keju keras.

Page 27: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

23

Tabel 2 (lanjutan)

StrategiBranding Branding Brand

Bahan Baku Target Pasar(Konsumen)

Tipologi Penggunaan

TwoIslands

TwoIslandsRiesling

Anggur impor dariAustralia Selatan,aroma bungamusim semi danpir.

Utamanyawisatawanmancanegara, tetapitidak menutupkemungkinanwisatawan domestik

Cocok disajikan bersamaseafood, hors d'oeuvres danhidangan keju.

TwoIslands

TwoIslandsPinotGrigio

Anggur impor dariAustralia Selatan,aroma penuhmanis rempah-rempah, pisang,karamel, peach danstroberi dan krim

Utamanyawisatawanmancanegara, tetapitidak menutupkemungkinanwisatawan domestik

Cocok disajikan bersama dagingbabi, seafood, salad kecualiuntuk makanan berlebihanberminyak.

TwoIslands

TwoIslandsSauvignonBlanc

Anggur impor dariAustralia Selatan,Sangat intens,seperti rumputyang barudipotong, lantanadan apel hijau.

Utamanyawisatawanmancanegara, tetapitidak menutupkemungkinanwisatawan domestik

Cocok disajikan bersama pastaringan, tapas dan nasi goreng

TwoIslands

TwoIslandsDragonflyMoscato

Anggur impor dariAustralia Selatan,aroma nanas,melon dan buahpersik kering.

Utamanyawisatawanmancanegara, tetapitidak menutupkemungkinanwisatawan domestik

Cocok disajikan bersamamakanan apa saja dan kapan sajakarena sifatnya ringan cocokuntuk wanita

Tabel 2 di atas menunjukkan strategi retail branding yang dijalankan oleh PT

Hatten Bali. Strategi ini diambil karena perusahaan tidak memiliki akses dalam

mengontrol langsung bahan baku wine yaitu anggur. Bahan baku anggur didatangkan

dari perkebunan anggur dari Australia Selatan. Walaupun tidak memiliki akses dalam

mengendalikan bahan baku tetapi perusahaan memiliki kemampuan mengelola secara

konsisten grading untuk menjamin konsistensi perbedaan kualitas atribut tertentu yang

diinginkan setelah menjadi wines.

Perusahaan memiliki kemampuan menciptakan produk wines berdasarkan

karakteristik khas bahan baku anggur impor sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 2.

Wine ini di-branding oleh perusahaan berdasarkan pertimbangan segmentasi konsumen

sasaran dan spesifikasi konsumsinya oleh konsumen. Misalnya, di tingkat retail wine

dengan segmentasi konsumen yang ringan dan wanita diberi branding Dragon Fly

Moscato, sedangkan yang lainnya bersifat lebih kuat cita rasa dan kandungan

alkoholnya ditujukan bagi konsumen umum. Jadi perbedaannya di tingkat eceran atau

retail.

Page 28: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

24

Tabel 3.Strategi Geographical Branding Produk Wine PT Hatten Bali

StrategiBranding Branding Brand

Bahan Baku Target Pasar(Konsumen)

Tipologi Penggunaan

GeographicalBranding

HattenWines

HattenWinesPino deBali

Jenis anggur lokalBali Alphonse-Lavallée danBelgia (MuscatkeluargaAlexandria), aromapuding, rempah-rempah, vanili danbuah-buahankering

Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum

Cocok disajikan sebagaiminuman, atau anggur penutup.Baik dengan cokelat pahit, kuecoklat atau kue tar, jugasensasional dengan buah mincepie atau dengan kenari, keju biru,pate dan antipasto.

Dewi Sri Dewi SriArakBali

Terbuat dari berasputih yangdifermentasi.

Masyarakat umum Sering digunakan untuk upacarasebagai bagian dari persembahanatau bagian dari perayaan upacarakeagamaan.

Dewi Sri Dewi SriBremBali

Terbuat dari ketanputih dan hitamyang difermentasi,rasa yang kaya danunik tapimenyenangkanaftertaste pahit.

Masyarakat umum Selain untuk konsumsi sehari-harijuga digunakan terutama dalamupacara keagamaan.Tersedia dalam kemasan 200 ml,630 ml dan jenis Liqueur.

Tabel 3 di atas menunjukkan strategi geographical branding yang diterapkan oleh

PT Hatten Bali terhadap produk wines-nya. Umumnya ciri-ciri geografis menjadi

patokan utama dalam mem-branding agar mampu menarik minat calon konsumen.

Misalnya, menggunakan nama geografis “Bali” atau bahasa dengan indikasi geografis

“Dewi Sri” yang merujuk pada interpretasi geografis tertentu. Pada kasus di atas, arak

Bali dibuat dari bahan baku beras yang sama sekali tidak dapat dikontrol dari mana asal

berasnya. Demikian juga dalam produksi brem Bali yang berbahan baku ketan putih dan

hitam yang tidak dapat dikontrol produksi bahan bakunya oleh perusahaan. Pada kondisi

tersebut, perusahaan menggunakan strategi geographical branding untuk menarik calon

konsumen terutama konsumen lokal.

Sebaliknya, perusahaan juga memiliki strategi geographical branding dengan

tujuan sebaliknya yaitu walaupun mengetahui bahan baku anggur berasal dari

perkebunan di Bali Utara dan dapat mengontrol ketersediaan dan karakteristik bahan

baku wines, tetapi tetap menggunakan identifikasi geografis seperti Hatten Wines Pino

de Bali untuk target konsumen non lokal tetapi wisatawan mancanegara dan domestik di

luar Bali. Hal ini bertujuan membangkitkan rasa penasaran wisatawan terhadap rasa

wines yang khas Bali. Kedua strategi geographical branding ini sangatlah luar biasa

dalam rangka menjangkau segmen pasar yang berbeda.

Page 29: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

25

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan strategi branding yang dilakukan oleh PT Hatten Bali terhadap produk

wines-nya dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

(1) Strategi branding sangat layak diterapkan terhadap produk-produk pertanian

sama seperti strategi branding produk-produk manufaktur dan jasa lainnya

dengan penyesuaian mengikuti karakteristik produk pertanian yang

bersangkutan.

(2) Strategi producer branding, retail branding, dan geographical branding sama-

sama dapat diimplementasikan pada produk sejenis. Dalam kasus di atas adalah

wines, yang berarti branding menjadi diferensiator produk, diferensiator target

pasar, dan diferensiator consumer experience. Tegasnya, tiap strategi branding

memiliki karakteristik berbeda.

Saran

Petani, pengusaha agribisnis, dan pemasar produk pertanian sebaiknya mulai

memakai pendekatan branding dalam memasarkan produk pertaniannya baik dalam

pemasaran produk pertanian olahan maupun non olahan. Branding sejatinya merupakan

strategi pemasaran (promosi) yang mampu meningkatkan nilai tambah produk pertanian

dengan signifikan. Sebutir pisang yang dijual begitu saja dibandingkan pisang yang

sama dijual dalam kemasan dengan di-branding secara benar akan mampu

meningkatkan harga jual.

DAFTAR PUSTAKA

Boomsma, Marije and Michiel Arnoldus. 2008. Branding for Development. KITWorking Papers Series C2. Amsterdam: KIT

Docherty, Chris. 2012. Branding Agricultural Commodities: The Development Casefor Adding Value Through Branding. International Institute forEnvironment and Development/Sustainable Food Lab.

Haimid, Tarmizi., Dwi Rizky and Rozhan Abu Dardak. 2012. Branding as a Strategyfor Marketing Agriculture and Agro-Based Industry Products. Economicand Technology Management Review, Vol.7: 37-48

http://www.hattenwines.com/

Page 30: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

26

http://twoislands.co.id/

http://dewisri.biz/

Iversen, Nina M. & Leif E. Hem. 2006. Provenance Association as Core Values of PlaceUmbrella Brands: A Framework of Characteristics. European Journal ofMarketing. Vol. 42 No.5/6: 603-625

Kotler, Philip dan David Gertner. 2004. Country as Brand, Product and Beyond: a PlaceMarketing and Brand Management Perspective in Morgan, Nigel., AnnettrPritchard dan Roger Pride. 2004. Destination Brand ing: Creating theUnique Destination Proposition. New York: Elsevier

Lavikka, Tiina. 2007. Evaluating Differences in Desired Brand Image in Two Markets-Case: Vaio Lactose Free Products in Finland and Sweden. DissertationSummary. School of Business International Marketing LappeenrantaUniversity of Technology.

Simmons, Geoffrey J. 2007. i-Branding : Deeloping the Internet as a Branding Tool.Marketing Intellegence & Planning, Vol.25 (6) , pp.544-562

Touminem, Pekka. 1999. Managing Brand Equity. LTA, Vol 1 (99), pp. 65-100

White, M. R., C. Pray & A.C Zwart. 1996. The Role and Impottance of Branding inAgricultural Marketing. Departement of Economics and Marketing, LincolnUniversity, Canterbury, New Zealand.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada PT Hatten Bali terutamapada bagian SDM, Pemasaran, dan Produksi yang memberikan akses sangat luasterhadap data dan dengan kesabaran menjelaskan berbagai hal mengenai produksi winesselama penelitian ini dilaksanakan.

Page 31: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

27

KERAGAAN BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU PADI DANKETAHANAN TERHADAP OPT UTAMA MENDUKUNG

KEBERLANJUTAN PANGAN DI BALI

I.B.K. Suastika, Putu Suratmini dan Putu SutamiBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali

Jl. By Pass Ngurah Rai Denpasar BaliE-mail : [email protected]

Abstrak

Terobosan teknologi budidaya melalui penggunaan varietas unggul baru (VUB) merupakan salah satustrategi dalam upaya pencapaian produktivitas dan produksi padi. Secara umum kendala dalammengembangkan VUB adalah adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Untuk mendukungpercepatan adopsi VUB tahan OPT telah dilakukan kajian terhadap beberapa VUB Inpari di Subak DlodSema, Desa Sading, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali pada MK tahun 2016. Kajian bertujuanuntuk mengetahui keragaan pertumbuhan dan produktivitas beberapa VUB padi yang tahan terhadap OPTutama spesifik lokasi. Kajian mennggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan empat perlakuandan sepuluh kali ulangan. Perlakuan yang dimaksud adalah Inpari 16 Pasundan, Inpari 19, Inpari 30Ciherang Sub-1 serta varietas Ciherang sebagai pembanding. Data dianalisis dengan sidik ragam dandilajutkan dengan uji BNT pada taraf 5%. Hasil kajian menunjukkan bahwa varietas Inpari 19, Inpari 30Ciherang Sub-1 dan Inpari 16 Pasundan memberikan keragaan pertumbuhan yang berbeda nyata denganCiherang. Namun dari segi hasil gabah kering panen (GKP), varietas Inpari 19 (6,52 ton GKP/ha) dan Inpari30 Ciherang Sub-1 (6,6 ton GKP/ha) tidak berbeda nyata dengan Ciherang (6,14 ton GKP/ha), kecualiInpari 16 Pasundan (3,3 ton GKP/ha) karena terserang OPT hama penggerek batang serta penyakit hawardaun bakteri (HDB) dan blas dengan tingkat serangan masing-masing 30%, 50% dan 30%. Inpari 19 danInpari 30 Ciherang Sub-1 tahan dan agak tahan terhadap OPT hama penggerek batang, penyakit HDB danblas kecuali Inpari 30 Ciherang Sub-1 rentan terhadap penyakit HDB. Oleh karena itu VUB Inpari 19 danInpari 30 Ciherang sub-1 berpotensi untuk dikembangkan sebagai pengganti varietas Ciherang.Kata Kunci: varietas unggu baru (VUB) Inpari, Tahan OPT

Abstract

The technological breakthrough cultivation through the use of new varieties (VUB) is one strategy inachieving productivity and production of rice. In general constraints in developing VUB is the attack ofplant pests (OPT). To support accelerated adoption of VUB resistant to pest has done several studies onInpari VUB on Subak Dlod Sema, Village Sading, Mengwi, Badung, Bali on Drought 2016. Study aims todetermine the performance of growth and productivity VUB some major pests that are resistant to a specificlocation. The study using a randomized block design (RAK) with four treatments and ten replications. Thetreatment in question is Inpari 16 Pasundan, Inpari 19, Inpari 30 Ciherang Sub-1 and Ciherang as acomparison. Data were analyzed by analysis of variance followed by LSD at 5% level. The results showedthat Inpari 19 Inpari 30 Ciherang Sub-1 and Inpari 16 Pasundan provide different growth performance ofreal Ciherang. But in terms of grain yield harvested dry (GKP), Inpari 19 (6.52 ton GKP / ha) and Inpari30 Ciherang Sub-1 (6.6 ton GKP / ha) was not significantly different with Ciherang (6.14 ton GKP / ha),except Inpari 16 Pasundan (3.3 ton GKP / ha) due to a stem borer pest and bacterial leaf blight (BLB) andblast with each attack rate of 30%, 50% and 30%. Inpari 19 and Inpari 30 Ciherang Sub-1 shows the reactionresistant and somewhat resistant to stem borer, HDB and blast disease unless Inpari 30 Ciherang Sub-1 aresusceptible to disease HDB. Therefore VUB Inpari 19 and Inpari 30 Ciherang sub-1 has the potential to bedeveloped as a replacement Ciherang.Keywords: new varieties (VUB) Inpari, resistant to pest

PENDAHULUAN

Padi merupakan komoditas strategis yang menyangkut hajat hidup dan kebutuhan

mendasar bagi hampir sebagian besar penduduk Indonesia. Oleh karena itu, tekad meraih kembali

swasembada beras nasional menjadi suatu keharusan. Kebutuhan beras setiap tahun semakin

meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk. Rata-rata laju pertambahan penduduk

Indonesia sekitar 1,27 – 1,29% pertahun, dengan laju pertambahan tersebut pada tahun 2025

jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 296 juta jiwa dengan kebutuhan beras sekitar

41,5 juta ton atau setara dengan 78,3 juta ton gabah kering giling (Las et al. 2008). Setelah

swasembada beras nasional tercapai kembali pada tahun 2008 salah satu tantangan yang dihadapi

Page 32: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

28

dalam rangka ketahanan pangan adalah bagaimana mempertahankan swasembada beras tersebut

untuk mengimbangi kebutuhan akan beras yang terus bertambah. Kementerian pertanian telah

menetapkan target 10 juta ton beras pada tahun 2014 dan swswembada pangan berkelanjutan

melalui program peningkatan produksi beras nasional (P2BN). Gerakan P2BN merupakan upaya

yang terkoordinasi untuk memasyarakatkan teknologi dan inovasi baru melalui pendekatan

pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) padi sawah.

Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan penyakit serta cekaman

lingkungan merupakan salah satu komponen teknologi yang berperan penting di dalam

meningkatkan produktivitas padi (Suwarno et al., 2004). Budidaya varietas unggul padi dengan

teknik yang tepat telah memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan produksi. Namun

dalam dua dasa warsa terakhir telah terjadi pelandaian produktivitas dan produksi VUB padi

seperti IR64 (Abdillah et al., 2008). Nur et al., (2003) melaporkan bahwa, laju peningkatan

produktivitas padi sawah di Indonesia cnederung melandai sehingga diindikasikan bahwa sistem

intensifiaksi padi sawah yang selama ini diterapkan belum mampu meningkatkan produksi dan

produktivitas padi sawah. Peningkatan produktivitas memerlukan dukungan inovasi teknologi

seperti peningkatan indeks panen, varietas unggul, penggunaan benih bermutu dan berlabel,

pengendalian OPT, pengelolaan hara, pengaturan populasi tanaman melalui penerapan sistem

tanam (Badan Litbang Pertanian 2014). Sistem produksi padi di Indonesia sering dianggap kurang

efisien karena biaya produksi (upah tenaga kerja dan sarana produksi) dinilai terlalu tinggi, dan

komponen biaya tenaga kerja mencapai 64% dari total biaya produksi (Sumarno dan Kartasasmita,

2002).

Menurut Fagi et al., (2004), salah satu penyebab terjadinya pelandaian produksi padi

nasional dalam dekade terakhir ini adalah belum optimalnya pemanfaatan potensi genetik varietas

unggul. Varietas unggul yang ditanam terus menerus kemungkinan akan mengalami perubahan

antara lain kemurnian varietas dan ketahanannya terhadap hama dan penyakit tertentu semakin

menurun, oleh karena itu diperlukan VUB untuk menggantikan varietas unggul tersebut.

Pembentukan VUB terus berlangsung untuk menghasilkan varietas dengan keunggulan yang

semakin beragam atau makin spesifik lokasi sesuai dengan potensi agroekosistem, kendala, dan

preferensi konsumen atau pengguna (Kustianto, 2004). Padi termasuk tanaman yang mempunyai

spektrum ekologi yang relatif luas dan dibudidayaan di berbagai tipe agroekosistem. Setiap tipe

agroekosistem mempunyai kendala yang berbeda seperti kekeringan, rawan hama dan penyakit,

keracunan kimia (Suhartini dkk. 2004). Oleh karena itu, diperlukan varietas-varietas unggul baru

yang berdaya hasil tinggi.

Dalam kondisi agroekologi yang beragam atau terlalu umum, sangat sulit untuk

mendapatkan suatu varietas unggul yang sesuai untuk seluruh kondisi agroekologi sehingga perlu

dikembangkan varietas spesifik lokasi yang memiliki kriteria sebagai varietas unggul antara lain

berpotensi hasil tinggi, umur genjah hingga sedang, mutu rasa dan beras baik, toleran terhadap

lingkungan abiotik serta tahan terhadap hama dan penyakit utama (Harahap dan Silitonga, 1989).

Pada kondisi agroekologi yang lebih spesifik, varietas-varietas beradaptasi spesifik lebih mudah

diperoleh.

Upaya untuk dapat meningkatkan produktivitas padi tidak terlepas dari ketersediaan dan

adopsi teknologi seperti benih, varietas, budidaya, pengendalian hama dan penyakit utama yang

efektf, ketersediaan air dan lainnya (Ruskandar et al. 2008). Penggunaan benih yang bermutu akan

Page 33: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

29

menghasilkan pertanaman yang cepat dan serempak, sehingga bibit yang dihasilkan lebih seragam.

Demikian juga dengan teknologi budidaya, penerapan sistem tanam berbeda dengan kebiasaan

petani seperti penerapan sistem tanam legowo 2:1 dapat meningkatkan produktivitas padi. Hasil

penelitian sistem tanam legowo 2:1 memberikan hasil gabah tertinggi sebesar 6,25 ton per hektar,

meningkat 18,1% bila dibandingkan dengan sistem tanam cara petani (20 cm x 20 cm). Triny at

al. (2004) melaporkan bahwa variasi peningkatan produktivitas padi pada sistem tanam yang

berbeda tergantung pada varietas padi yang ditanam. Oleh karena itu varietas unggul merupakan

salah satu teknologi inovatif yang handal untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi melalui

peningkatan potensi daya hasil tanaman, maupun melalui peningkatan toleransi dan ketahanannya

terhadap berbagai cekaman lingkungan biotik maupun abiotik (Kustianto, 2004).

Sejak dilepas tahun 2000 varietas Ciherang masih mendominasi areal pertanaman di Bali,

karena daya hasilnya tinggi, rasa nasi enak, kualitas beras baik dan harganya tinggi. Penggunaan

varietas secara terus-menerus dari musim ke musim dalam satu hamparan yang luas akan

berdampak negatif yaitu produktivitas padi cendrung menurun (Ardjasa et al. 2004). Oleh karena

itu, perlu dilakukan pergiliran varietas dengan penggunaan varietas lainnya.

Akhir-akhir ini Badan Litbang pertanian telah mlepas varietas unggul baru seperti Inpari

(inhibrida padi irigasi), dimana hingga tahun 2015 telah dilepas sebanyak 35 varietas Inpari

masing-masing dengan keunggulan yang spesifik (Badan Litbang Pertanian, 2015). Di Bali

varietas Inpari yang pernah dikembangkan secara terbatas dari tahun 2010 hingga tahun 2015

adalah Inpari 1, Inpari 6, Inpari 7, Inpari 13, Inpari 14 Pakuan, Inpari 16 Pasundan, Inpari 18,

Inpari 19, Inpari 20, Inpari 24 Gabusan, Inpari 28 Kerinci, dan Inpari 30 Ciherang Sub-1.

Tujuan dari kajian ini adalah mengetahui tampilan dan potensi hasil dari beberapa VUB

Inpari dan tahan terhadap OPT.

BAHAN DAN METODA PENELITIAN

Rancangan Percobaan

Kajian menggunakan rancangan dasar, rancangan acak kelompok (RAK), empat perlakuan

diulang sepuluh kali. Perlakuan yang dimaksud adalah : varietas unggul baru (VUB) Inpari 16

Pasundan, Inpari 19, Inpari 30 dan varietas Ciherang sebagai pembanding. Pengkajian

dilaksanakan di lahan sawah milik petani seluas 4 ha dengan cara tanam legowo 2:1 dengan jarak

tanam (50 cm x 25 cm x 12,5 cm). Luas petak per varietas disesuaikan dengan luas alami petakan

petani. Pupuk yang digunakan adalah 2 t/ha pupuk organik, 200 kg/ha urea, 200 kg phonska

diberikan 3 kali yaitu 1/3 dari 200 kg/ha pada umur 7-10 hari setelah tanam (HST), 20-25 HST,

dan 35-40 HST. Sedangkan pupuk organik di sebar pada saat pengolahan tanah.

Lokasi dan Waktu Kegiatan

Kajian ini dilaksanakan di lahan sawah subak Dlod Sema, Desa Sading, Kecamatan

Mengwi, Kabupaten Badung. Lahan sawah yang terpilih mempunyai agroekosistem dataran

rendah beriklim basah, dimana tanam dimulai pada bulan Juni 2016.

Bahan dan Alat

Bahan yang dipergunakan dalam kajian ini adalah pupuk organik, beberapa VUB Inpari

yaitu Inpari 16 Pasundan, Inpari 19, Inpari 30 Ciherang Sub-1 dan varietas Ciherang sebagai

pembanding yang berasal dari Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi. Selain itu bahan yang

Page 34: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

30

digunakan adalah pupuk urea, pupuk phonska, dan pupuk organik. Sedangkan alat yang digunakan

adalah alat bercocok tanam, meteran, timbangan dan alat-alat pertanian lainnya.

Pendekatan

Kegiatan pengkajian ini berdasarkan jenisnya termasuk kajian adaptasi. Oleh karena itu,

untuk mensukseskan kegiatan ini dierlukan kerjasama antar instansi terkait di daerah serta

partisifatif aktif dari anggota kelompok tani untuk mengembangkan dan menerapkan model kajian

adaptasi ini.

Pengumpulan dan Analisis Data

Parameter yang diamati meliputi : (1) komponen pertumbuhan tanaman yaitu tinggi

tanaman, jumlah anakan per rumpun, (2) komponen hasil dan hasil padi yaitu panjang malai,

jumlah gabah isi dan hampa per malai dan hasil GKP/ha. Pengamatan dan penentuan ketahanan

VUB terhadap penyaki HDB dilakukan pada saat menjelang panen dengan skoring ketahanan

tanaman terhadap Xoo berdasarkan Standar Evaluasib System for Rice (IRRI, 2002) yang telah

dimodifikasi sebagaimana ditampilkan pada Table 1 berikut ini (Badan Litbang Pertanian, 2012).

Tabel 1. Pedoman skoring ketahanan terhadap Xoo

Skala Ratio panjang gejala dan panjang daun Kriteria

1 1-5 T (Tahan)

3 >5-12 AT (Agak Taha)

5 >12-25 AR (Agak Rentan)

7 >25-30 R (Rentan)

9 >50-100 SR (Sangat Rentan)

Pengamatan dan penentuan ketahanan VUB terhadap penyakit blas terutama blas leher

malai dilakukan 7 hari sebelum panen dengan penilaian ketahanan tanaman berdasarkan sistem

standar penilaian padi (IRRI, 2004). Berdasarkan jumlah malai dengan masing-masing skala,

tingkat kerusakan blas dihitung sebagai berikut:

(10 x N1) + (20 x N3) + (40x N5) + (70 x N7) + (100 x N9)Tingkat kerusakan Blas = -------------------------------------------------------------------------------

Jumlah Malai yang diamati

Dimana N1-N9 adalah jumlah malai dengan nilai 1-9. Tingkat kerusakan blas diukur pada skala

0-100. 0-10% = tahan (T); 11-25 = Agak tahan (AT); 26-100 = Peka (P).

Serangan hama penggerek batang yang berupa sundep yang dilakukan pada umur tanaman

3 minggu setelah tanam pada masing-masing tanaman menggunakan formula berikut (Usyati at al.

2009).

Jumlah Sundep pada varietas yang diamatiSerangan sundep = ------------------------------------------------------------ x 100%

Jumlah anakan dari varietas yang sama

Persentase sundep tersebut dikonversi ke dalam nilai D sebagai berikut:

% sundep dari varietas yang diujiD = --------------------------------------------------------- x 100%

% sundep dari varietas pembanding rentan

Selanjutnya, skoring ketahanan tanaman terhadap serangan terhadap hama penggerek

batang dilihat dari nilai D. Skor 0 apabila nilai D =0%, skor 1 apabila nilai D =1-20%, skor 3

Page 35: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

31

apabila Nilai D =20-40%, skor 5 apabila nilai D =41-60%, skor 7 apabila nilai D =61-80%, skor 9

apabila nilai D =81-100%. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan ANOVA dan

perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji BNT pada taraf 5% dengan mengunakan program

SPSS 11,5.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis statistik terhadap keragaan komponen pertumbuhan tanaman seperti tinggi

tanaman, jumlah anakan serta panjang malai disajikan pada Tabel 2. Tinggi tanaman varietas padi

Inparin yang diuji relatif bervariasi yaitu berkisar anatara 100,7 – 118,4 cm (Tabel 2). Tanaman

padi tertinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari Inpari 19 dengan tinggi 118,4 cm dan tanaman padi

terpendek ditunjukkan oleh varietas Inpari 30 Ciherang Sub-1 dengan tinggi tanaman 100,7 cm

dan berbeda nyata dengan varietas pembanding Ciherang yaitu 95,0 cm. Dari Tabel 2 terlihat

bahwa varietas Inpari 19 memiliki postur tanaman yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding

dengan varietas lainnya yaitu Inppari 16 Pasundan, dan Inpari 30 Ciherang Sub-1 serta varietas

pembanding Ciherang yaitu 118,4 cm dibanding dengan 104,6 cm, dan 100,7 cm serta 95,0 cm.

Perbedaan ini erat kaitannya dengan sifat genetik tanaman dan lingkungan. Pada lingkungan yang

sama perbedaan tersebut dominan dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman (Balitpa, 2000).

Sedangkan Arifin et al. (1999) melaporkan bahwa komponen pertumbuhan tanaman (tinggi

tanaman) erat kaitannya dengan sifat masing-masing varietas dan lingkungan dimana tanaman

tumbuh. Kondisi ketinggian lokasi dimana varietas padi ditanam sangat berpengaruh terhadap

postur tinggi tanaman. Simanulang dkk. (1995) melaporkan, bahwa tanaman akan lebih pendek

pada lokasi yang lebih tinggi dari permukaan laut. Berdasarkan Standar Evaluation System for

Rice (IRRI, 1996) standar tinggi tanaman yang terbaik adalah dibawah 90 cm dan yang sedang 90-

125 cm. Tinggi tanaman dari semua varietas Inpari yang diuji pada umumnya tergolong sedang,

yaitu Inpari 30 Ciherang Sb-1, Inpari 16 Pasundan dan Inpari 19 masing-masing 100,7 cm, 104,6

cm dan 118,4 cm. Di tingkat lapangan, tinggi tanaman sangat menentukan terhadap penerimaan

petani terhadap suatu varietas padi. Petani kurang menyukai varietas yang berpostur tinggi karena

umumnya sangat rentan, demikian juga petani tidak menyukai varietas yang tanamannya berpostur

pendek karena relatif menyulitkan pada pelaksanaan panen.

Tinggi tanaman merupakan salah satu kriteria seleksi pada tanaman padi, akan tetapi postur

padi yang tinggi belum menjamin terhadap tingkat produksinya. Dalam hal ini ditunjukkan oleh

varietas Inpari Inpari 19 dengan postur tanaman paling tinggi (118,4 cm) menghasilkan GKP tidak

berbeda nyata dibanding dengan varietas Inpari 30 Ciherqng Sub-1 serta varietas pembnding

Ciherang yaitu dengan hasil GKP 6,52 ton/ha dibanding dengan 6,6 ton/ha serta 6,14 ton/ha (Tabel

3). Sutaryo et al. (1988) melaporkan bahwa tinggi tanaman mempunyai pengaruh yang besar

terhadap hubungan antara panjang malai dengan hasil. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa

panjang malai varietas Inpari yang diuji tidak berbeda nyata dibanding dengan varietas Ciherang.

Jadi dalam hal ini menunjukkan bahwa postur tanaman yang tinggi dan panjang malai yang lebih

panjang seperti Inpari 19 belum menjamin terhadap hasil GKP-nya lebih tinggi. Diduga kondisi

ini erat kaitannya dengan sifat genetik tanaman dan lingkungan (Balitpa, 2000, Suastika dkk.,

2015).

Page 36: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

32

Tabel 2. Keragaan komponen tanaman beberapa VUB padi yang diuji di Subak Dlod Sema, DesaSading, Kec. Mengwi, Kabupaten Badung tahun 2016.

No. Varietas Tinggi tanaman(cm)

Jumlah anakan/rumpun Panjang Malai(cm)

1. Inpari 16 Pasundan 104,6 c 21,3 a 24,08 a

2. Inpari 19 118,4 d 21,7 a 26,5 b

3. Inpari 30 Ciherang Sub-1 100,7 b 21,2 a 23,78 a

4. Ciherang (pembanding) 95,0 a 20,5 a 22,29 a

BNT 5% 18,0 0.5 5,0

Angka- angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berdeda nyata padataraf BNT 5%

Dari hasil pengkajian ditemukan bahwa varietas yang diuji yaitu Inpari 16 Pasundan, Inpari

19 dan Inpari 30 Ciherang Sub-1 dengan jumlah anakan produktif per rumpun termasuk katogori

banyak dan tidak berbeda nyata dibanding dengan varietas Ciherang yaitu 21,3, 21,7 dan 21,2

batang/rumpu dibanding dengan 20,5 batang/rumpun.. Jadi, diduga bahwa ketiga varietas tersebut

(Inpari 16 Pasundan, Inpari 19, Inpari 30 Ciherang Sub-1) berpotensi untuk dikembangkan sebagai

pengganti varietas Ciherang didaerah tanpa serangan OPT hama penggerek batang, penyakit HDB,

dan Blas. Dua dari tiga varietas Inpari yang diuju yaitu Inpari 19 dan Inpari 30 Ciherang Sub-1

dengan hasil GKP tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding Ciherang yaitu 6,52 t/ha dan

6,6 t/ha dibanding dengan 6,14 t/ha (Tabel 2). . Sedangkan varietas Inpari 16 Pasundan dengan

hasil GKP 3,3 t/ha lebih kecil dan berbeda nyata dengan pembaning Ciherang yaitu 6,14 t/ha

karena tanaman terserang hama penggerek batang pada fase vegetatif umur 2-3 mingggu setelah

tanam dan terserang penyakit HDB dan dan Blas pada fase generatif (umur 7-8 minggu setelah

tanam).

Dilihat dari gabah isi per malai, varietas dengan jumlah gabah isi per malai terbanyak

ditunjukkan oleh varietas Inpari 19 kemudian disusul dengan varietas Inpari 30 Ciherang Sub-1

dan Inpari 16 Pasundan dan berbeda nyata dibanding dengan varietas pembandig Ciherang dengan

jumlah gabah isi per malai 172,3 butir, 127,9 butir dan 112,3 butir dibanding dengan 90,9 butir

(Tabel 3). Hal ini didukung oleh berat 1000 butir gabah yang berbeda nyata dengan varietas

pembanding Ciherang yaitu 28,0 gram dibanding 26,0 gram. Jadi, varietas Inpari 19 dan Inpari 30

Cihereng Sub-1 berpotensi untuk dikembangkan dan telah dikembangkan di Kabupaten/kota di

Bali secara luas dan disukai oleh petani karena berasnya bertektur pulen.

Tabel 3. Keragaan Komponen hasil tanaman beberapa VUB padi yang diuji di Subak Dlod Sema,Desa Sading, Kec. Mengwi, Kabupaten Badung tahun 2016.

No. Varietas JumlahGabah

isi/malai

JumlahGabahhampa/Malai

JumlahGabah/Malai

Berat1.000Butir(gr)

ProduksiGKP perHektar(ton)

1. Inpari 16 Pasundan 112,3 ab 19,9 a 132,8 a 28,0 c 3,3 a

2. Inpari 19 172,3 c 35,4 b 207,7 b 24,52 a 6,52 b

3. Inpari 30 Ciherang Sub-1 127,9 b 10,5 a 138,4 a 28,0 c 6,6 b

4. Ciherang (pembanding) 90,9 a 19,7 a 110,6 a 26,0 b 6,14 b

BNT 5 % 60,0 10,5 69,0 4,0 3,0

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berdeda nyata pada tarafBNT 5%

Page 37: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

33

Dari hasil pengkajian menunjukkan bahwa OPT yang menyerang pertanaman padi varietas

Inpari yang diamati pada saat tanaman padi berumur 3 minggu seteah tanam adalah hama

penggerek batang dengan tingkat serangan bervariasi, sedangkan penyakit yang ditemukan

menyerang pertanaman padi pada saat menjelang panen adalah hawar daun bakteri (HDB) dan

Blas dengan tingkat serangan bervariasi disajikan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 menunjukkan bawah

VUB Inpari 19 bereaksi tahan dengan tingkat serangan OPT hama penggerek batang, penyekit

HDB dan Blas yang rendah dengan skala 1,0%. Berikutnya Inpari 30 Ciherang Sub-1 bereakasi

agak tahan terhadap OPT hama pengerek batang dan Blas dengan tingkat serangan tidak berbeda

nyata dibanding dengan varietas pembanding Ciherang yaitu 10,0% dan 5,0% dibanding dengan

10,0% dan 3,67%, kecuali terhadap penyakit HDB Inpari 30 Ciherang Sub-1 bereaksi rentan

dengan tingkat serangan 50,0%. Sedangkan varietas Inpari 16 Pasundan bereaksi rentan terhadap

OPT hama penggerek batang, penyakit HDB dan Blas masing-masing dengan tingkat serangan

30,0%; 50,0%; dan 30,0% dibanding varietas pembanding Ciherang yaitu 10,05; 4,0%; dan 3,67%.

Hal ini menunjukkan bahwa Inpari 19 dan Inpai 30 Ciherang Sub-1 berpeluang untuk

dikembangkan dan ditanam pada wilayah terkena serangan OPT hama pengerek batang, penyakit

HDB dan Blas mengantikan varietas Ciherang walaupun Inpari 30 Ciherang Sub-1 terserang

penyakit HDB, tatapi masih mampu mangimbangi kerusakan akibat serangan HDB dan mampu

menghasilkan hasil GPK rata-rata cukup tinggi yaitu 6,52 t/ha; 6,6 t/ha dan tidak berbeda nyata

dengan varietas Ciherang yaitu 6,14 t/ha. Sedangkan varietas Inpari 16 Pasundan tidak dapat

direkomendasikan untuk dikembangkan dan ditanam menggantikan varietas Ciherang pada

wilayah dengan serangan OPT hama penggerek batang, penyakit HDB dan Blas karena hanya

mampu menghasilkan GKP 3,3 t/ha. Sedangkan rata-rata hasil GKG Inpari 16 Pasundan

berdasarkan deskripsi mencapai 6,3 t/ha. Jadi kerugian hasil rata-rata petani akibat

mengembangkan dan menanam padi varietas Inpari 16 Pasundan pada areal terserang OPT hama

penggerek batang berupa sundep 3,0 t/ha. Kalau harga hasil GKP/kg dihargakan Rp. 5000,-/kg

maka kerugian petani mencapai Rp. 15.000.000/ha.

Tabel 4.Tingkat serangan beberapa OPT terhadap beberapa VUB Inpari di Subak Dlod Sema, DesaSading, Kecamatan Mngwi, Kabupaten Badung tahun 2016.

No. Varietas Tingkat Serangan OPT (%)

Pengerek Batang HDB Blas

1 Inpari 16 Pakuan 30,0 c 50,0 b 30,0 c

2. Inpari 19 1,0 a 1,0 a 1,0 a

3. Inpari 30 Ciherang Sub-1 10 b 50,0 b 5,0 b

4. Ciherang (pembanding) 10,0 b 4,0 a 3,67 b

BNT 5% 20,0 40,0 25,0

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berdeda nyata pada tarafBNT 5%

Dari hasil analisis usahatani padi keuntungan yang diterima petani dari beberapa varietas,

menunjukkan bahwa varietas Inpari 30 Ciherang Sub-1 yang paling besar yaitu sebesar Rp

21.190.000 per hektar dengan nilai B/C ratio sebesar 1,79. Sebaliknya keuntungan yang terkecil

dari keempat varietas yang diujikan diperoleh dari Inpari 16 Pasundan yaitu sebesar Rp. 6.670.000

dengan nilai B/C ratio sebesar 0,69. Dilihat dari tingkat kelayakannya keempat varietas ini

memiliki nilai B/C ratio diatas 0. Ini berarti semua varietas menguntungkan dan layak untuk

dikembangkan.

Page 38: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

34

Sesuai penggunaan sarana produksi yang umum diberlakukan, perhitungan usahatani VUB

padi ini diperoleh dari penggunaan pupuk urea dan phonska dosis masing-masing 200kg/ha, Urea

seharga Rp.2500/kg, Phonska seharga Rp.3500/kg. Untuk biaya tenaga kerja dihitung sebagai

berikut : biaya pengolahan =Rp.20.000/100m2, biaya tanam =Rp.20.000/ 100 m2, dan biaya

panen yang dikerjakan secara borongan Rp. 600.000/1.000 kg.

Tabel 5. Hasil analisis usahatani beberapa VUB padi (ha) di Subak Dlod Sema, Desa Sading,Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung tahun 2016.

No. Inpari16Pasunan

Inpari 19 Inpari 30CiherangSub-1

Ciherang

1. Bahan/sarana 2.550.000 2.550.000 2.550.000 2.550.000- Pupuk urea +

phonsak1.250.000 1.250.000 1.250.000 1.250.000

- Pestisida 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000- Benih 300.000 300.000 300.000 300.000

2. Biaya Tenaga Kerja 7.280.000 9.212.000 9.260.000 8.984.000- Pengolahan lahan 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000- Tanam 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000- Pemupukan 300.000 300.000 300.000 300.000- Penyiangan 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000- Panen 1.980.000 3.912.000 3.960.000 3.684.000

3. Total Biaya (1 + 2) 9.830.000 11.762.000 11.810.000 11.534.0004 . Hasil (kg) 3.300 6.520 6.600 6.1405. Harga (Rp.) 5.000 5.000 5.000 5.0006 Penerimaan (4 x 5) 16.500.000 32.600.000 33.000.000 30.700.0007. Keuntungan (6 – 3) 6.670.000 20.838.000 21.190.000 19.166.0008. R/C (6 : 3) 1,68 2,77 2,79 2,669. B/C (7 : 3) 0,68 1,77 1,79 1,66

Keterangan: diolah dari data primer, 2016.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil kajian yag dilakukan dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan

dan saran diantaranya:

1. Tampilan VUB Inpari 19 dan Inpari 30 Ciherang Sub-1 berpengaruh nyata terhadap tinggi

tanaman, panjang malai, gabah isi per malai, berat 1000 butir serta hasil GKP.

2. Hasil rata-rata GKP padi Inpari 19 dan Inpari 30 Ciherang Sub-1 tidak berbeda nyata dengan

varietas Ciherang yaitu 6,52 t/ha dan 6,6 t/ha dibanding dengan 6,14 t/ha.

3. Inpari 19 dan Inpari 30 Ciherang Sub-1 bereaksi tahan dan agak tahan terhadap OPT hama

penggerek batang serta penyakit HDB dan Balas, kecuali Inpari 30 Ciherang Sub-1 rentan

terhadap penyakit HDB sehingga berpotensi untuk dikembangkan menggantikan varietas

Ciherang.

4. Varietas Inpari 16 Pasundan dengan serangan sundep skala 3, menghasil rata-rata produksi

GKP 3,3 ton/ha. Dengan rata-rata hasil Inpari 16 Pasundan berdasarkan deskripsi 6,3 ton/ha

jadi kerugian petani akibat serangan sundep 3,0 ton/ha. Kalau harga hasil GKP/kg dihargakan

Rp. 5000, maka kerugian petani mencapai Rp. 15.000.000/ha.

4. Untuk melihat kestabilan hasil dan ketahanan padi masing-masing VUB terhadap OPT hama

penggerek batang, penyakit HDB dan penyakit Blas, kajian serupa perlu dilakukan di

agroekosistem lahan sawah yang lain di musim tanam yang sama atau musim tanam yang

berbeda

Page 39: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

35

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, B., Tjokrowijoyo, dan Sularjo, 2008. Perkembangan dan prospek perakitan padi tipebaru di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 2(1).

Ardjasa, W.S., Suprapto, dan B. Sudaryanto. 2004. Komponen teknologi unggulan usahatani padisawah di Lampung. Buku III. Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi.Puslitbangtan. Bogor (III):653-666.

Arifin, Z., Suwono, S. Roesmarkam, Suliyanto dan Satino. 1999. Uji adaptasi varietas/galurharapan padi sawah berumur genjah dan berumur sedang. Dalam: Roesmiyanto (ed).Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso. Badan LitbangPertanian Malang. p. 8-13

Balai Penelitian Padi. 2000. Petunjuk Teknis Pengkajian dan Pengembangan Intensifikasi PadiLahan Irigasi Berdasarkan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu. Balai PenelitianPadi. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta.

Badan Litbang Pertanian, 2012. Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengujian KetahananGalur/Varietas Padi terhadap Hawar Daun Bakteri (HDB), Xanthomonas oryzae pv oryzae(Xoo).

Badan Litbang Pertanian, 2014. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)Padi Sawah Irigasi. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. 46 hal.

Badan Litbang Pertanian, 2015. Deskripsi varietas unggul baru padi. Badan Libang Pertanian.Departemen Pertanian.

Fagi, A.M., Irsal Las, M. Syam, A.K. Makarim dan A. Hasanuddin, 2004. Penelitian padi menujurevolusi hijau lestari. Balitpa. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian.

Harahap , Z. dan T.S. Silitonga, 1989. Perbaikan varietas padi. P. 335-361. Dalam: Ismunadji etal. Buku 2. Puslibangtan Bogor.

IRRI. 1996. Standard Evaluation System for Rice. Los Banos. Philippine.

IRRI. 2002. Standard evaluation system for rice (SES). P. 56.

IRRI, 2004. Standard Evaluation System for Rice. Los Banos. Philippine.

Kustianto, B. 2004. Kriteria seleksi untuk sifat toleran cekaman lingkungan biotik dan abiotik.Makalah Pelatihan dan Koordinasi Program pemuliaan Partisipatif (Shuttle Breeding) danuji Multilokasi, Sukamandi 9-14 April 2004. 19 hal.

Las, I., H. Syahbuddin , E. Surmaini, dan A.M. Fagi. Iklim dan tanaman padi. Tantangan danPeluang. Dalam: Suyamto et al (eds) Buku Padi. Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan.Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. hal 151-189.

Nur, M., H.M. Marwan, dan A.B. Basri. Pengelolaan Tanaman Terpadu Nangroe AcehDarussalam. Prosiding Lokakarya Pelaksanaan Program peningkatan Produktivitas PadiTerpadu (P3T) tahun 2003. Puslitbangtan Bogo. Hal. 49-68.

Ruskandar A., Sri Wahyuni, Sri Hari Mulya, dan Tita Rustiati. 2008. Respon petani di Pulau Jawaterhadap benih bersertifikat. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi MenunjangP2BN. Buku 2. Penyunting Bambang Suprihatno, Aan A. Dradjat, Hendarsih Suharto,Husni M. Toha, Agus Setyono, Suprihanto, Agus S. Yahya. Balai Besar PenelitianTanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 881-888.

Suastika, I.B.K., A.A.N.B. Kamandalu dan S.A.N. Aryawati, 2015. Karakter Agronomi danKetahanan Beberapa Varietas Unggul Baru Padi terhadap Hawar Daun Bakteri. PosidingSeminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi, Penyunting MuhammadYasin, Aidi Noor, Rosita Galib, Suryana, Eni Siti Rohaeni dan Agus Hasbianto. Balai BesarPengkajian dan Pengembagan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian Bekerjasamadengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat,6-7 Agustus 2014. Hal 143-152.

Simanulang, Z.A. T. Tjubarjat dan E Sumadi. 1995. Pemaduan beberapa sifat baik IR 64 dan IR1961. Dalam: Prosiding Seminar A. 1995. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balai PenelitianTanaman Padi Sukamandi.

Page 40: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

36

Suhartini, T., I. Hanarida, Sutrisno, S. Rianawati, Sustipryanto, dan Kurniawan, 2004. Pewarisansifat toleran keracunan besi pada beberapa varietas padi. Penelitian Pertanian 16 (1):26-32.

Sumarno dan U.G. Kartasasmita. 2002. Biaya produksi dan Indeks kekuatan tawar usahatani padisawah. Berita Puslitbangtan no. 25.

Sutaryo, B. B. Suprihatno dan Z. Harahap. 1988. Analisis koefisien lintasan dari komponenperbanyakan benih padi hibrida. Penelitian Pertanian Vol.8(1):48-64.

Suwarno, E. Lubis, Alidawati, I.H. Somantri, Minantyorini, dan M. Bustaman, 2004. Perbaikanvarietas padi melalui markah molekuler dan kultur antera. Prosiding Hasil PenelitianRintisan dan Bioteknologi Tanaman. p. 53-62.

Triny, S.K. 2004. Pemantauan reaksi galur isogenik IRBN-IRRI terhadap Xanthomonascampestris pv oryzae di beberapa daerah endemis hawar daun bekteri. Laporan HasilPenelitian Tahun 200. Balai Peneltian Tanaman Padi. 11 hal.

Usyati N., D. Buchori, S. Manuwoto, P. Hidayat, dan I.H. Slamet-Loedin. 2009. Keefektivan paditransgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas (Walker)(Lepidotera: Crambidae). Jurnal Entology Indonesia 6(1), 30-41.

Page 41: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

37

REVITALISASI KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DIINDONESIA

Kadhung Prayoga1

1Program Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana,Universitas Gadjah Mada

Email: [email protected]

ABSTRAKDewasa ini, penyuluhan pertanian menghadapi problem yang serius karena sudah mulai tidak

mendapat tempat lagi di sektor pertanian. Berbagai masalah kelembagaan seperti: (1) Tidak ada kordinasiantar lembaga terkait, (2) Kurangnya dukungan lembaga penyuluhan terhadap penyuluh, (3) Lembagapenyuluhan menjalankan tugas yang bias kepentingan, dan (5) Kabupaten/kota masih banyak yang belummembentuk kelembagaan penyuluhan dan rendahnya dana otonom dalam menjalankan fungsinya.Mendasarkan pada permasalahan ini, maka dibutuhkan suatu revitalisasi kelembagaan penyuluhan sebagaiupaya untuk memfungsikan kembali lembaga penyuluhan sesuai dengan perannya. Karena alasan inilah,maka penulisan paper ini bertujuan untuk mereview bagaimana seharusnya revitalisasi kelembagaanpenyuluhan dilakukan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakanmetode deskriptif dan analisis wacana. Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan lewatmetode studi pustaka. Dari pembahasan diketahui bahwa revitalisasi penyuluhan hendaknya dilakukan baikdari segi internal kelembagaan maupun dari eksternalnya. Hal-hal yang harus dilakukan adalah: (1)Menyusun kembali nilai, fungsi, teknologi, (2) Meningkatkan kualitas sumber daya modal, fisik, danmanusianya, (3) Adanya pola kepemimpinan yang luwes dan penghargaan terhadap staff, serta (4)Memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan lembaga itu sendiri lewat penyusunan peraturandan perbaikan sub sistem. Semua ini dilakukan untuk meningkatkan kapasitas lembaga penyuluhan agarmampu memenuhi peran dan fungsinya.

Keyword: lembaga, penyuluhan, revitalisasi, indonesia

ABSTRACT

Today, the agricultural extension face a serious problem, it began didn't have a place anymore inthe agricultural sector. Various institutional problems such as: (1) No coordination between the institutions,(2) Lack of support from institutional extension to extension activity, (3) Organization counseling stintsbiased interests, and (5) Many regencies/cities are not yet established an institutional extension and lack offunds. Based on this problem, we need an institutional revitalization counseling as an attempt to restoreboth the extension services in accordance with the role. For this reason, the writing of this paper aims atreviewing how institutional revitalization counseling should be done. The approach used is a qualitativeapproach with descriptive method and discourse analysis. The data used are secondary data collectedthrough literature study method. From the discussion it is known that the revitalization of counseling shouldbe done in terms of both internal and from external institutions. The things to do are: (1) Reconstitute value,function, technology, (2) improve the quality of capital resources, physical and human, (3) The existenceof a pattern of leadership that is flexible and respect for staff, as well as (4) obtain support and completenesswithin the institution itself through the drafting of regulations and improvement of sub-systems. All this isdone to increase the capacity of extension services to be able to fulfill its role and functions.

Keyword: intitution, extension, revitalization, Indonesia

Page 42: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

38

PENDAHULUAN

Dewasa ini, penyuluhan pertanian telah menghadapi problem yang serius karena sudah mulai

tidak mendapat tempat lagi di sektor pertanian. Petani lambat laun hanya menjadikan penyuluhan

sebagai suatu hal yang instrumental dan bukan menjadi kebutuhan. Rendahnya kepercayaan petani

kepada penyuluh juga memicu mandeknya kegiatan penyuluhan di tengah-tengah masyarakat.

Penyuluhan seakan mati suri setelah revolusi hijau berakhir (Subejo, 2013). Lebih dari satu dekade

semenjak krisis 1998, penyuluhan tidak lagi menjadi perhatian dalam kegiatan pembangunan

pertanian di Indonesia. Padahal jika menilik ke belakang, salah satu faktor kunci suksesnya

swasembada beras di Indonesia terjadi karena massifnya kegiatan penyuluhan.

Dalam studi yang dilakukan Sucihatinngsih dan Waridin (2010) juga disebutkan ragam

masalah yang muncul di kelembagaan penyuluhan, yaitu: (1) Fungsi penyuluhan di provinsi belum

berjalan optimal, (2) Mandat untuk melaksanakan penyuluhan pertanian tidak jelas, (3) Bentuk

tupoksi dan eselonering kelembagaan penyuluhan beragam, (4) Belum semua kabupaten memiliki

BPP, (5) Jika ada kabupaten yang sudah memiliki BPP, terkadang tidak berjalan sesuai fungsinya,

dan (6) Rendahnya sarana prasarana untuk kegiatan penyuluhan.

Mendasarkan pada permasalahan dan orientasi pembangunan pertanian, maka dibutuhkan

suatu revitalisasi kelembagaan penyuluhan untuk menumbuhkan lagi kegiatan penyuluhan di

Indonesia. Revitalisasi bisa diartikan sebagai suatu perubahan, pertumbuhan, dan pengembangan

dari struktur dan fungsi kelembagaan yang ada. Revitalisasi menjadi upaya untuk menata kembali

dan memfungsikan lembaga penyuluhan sesuai dengan perannya agar tercipta suatu kesatuan

dalam menentukan arah kebijakan penyuluhan. Tujuannya sendiri adalah dalam rangka

membangun kelembagaan yang kokoh dan didalamnya terdapat sumber daya manusia yang

profesional untuk mengelolanya. Semua ini ditujukan demi tercapainya tujuan yang telah

dicanangkan oleh lembaga penyuluhan.

Kelembagaan penyuluhan dianggap penting untuk direvitalisasi karena selama ini lembaga

penyuluhan yang sistemnya buruk justru akan menghambat jalannya pembangunan. Soekartawi

(2002) pernah menyebutkan bahwa suatu lembaga baik yang bersifat formal maupun non formal

justru bisa menjadi aspek yang menonjol dalam menghambat laju pertumbuhan pembangunan

pertanian karena tidak optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Untuk mewujudkan

lembaga penyuluhan yang seperti itu, tentu juga dibutuhkan aparat pertanian yang tangguh,

Page 43: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

39

profesional, mandiri, inovatif, kreatif, dan berwawasan global, sehingga didapatkan agen

penyuluhan yang berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan regulator (Susmiyati et. al., 2010).

Semua hal tersebut di atas dapat terjadi jika sistem kelembagaan jelas dan pelaksanaannya

di dukung oleh tenaga penyuluh yang berkompeten. Karena berbagai alasan inilah, maka penulisan

paper ini bertujuan untuk mereview bagaimana seharusnya revitalisasi kelembagaan penyuluhan

dilakukan dan langkah seperti apa yang seharusnya diambil agar kelembagaan penyuluhan bisa

menghasilkan kebijakan, program, dan tenaga penyuluh yang bisa menjadi katalisator

pembangunan pertanian di Indonesia.

METODE

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah pendekatan kualitatif.

Sedangkan, metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan analisis wacana. Penulisan paper

ini berusaha untuk menjelaskan revitalisasi kelembagaan penyuluhan di Indonesia. Teknik

pengumpulan datanya sendiri menggunakan metode studi pustaka untuk mendapatkan data-data

sekunder. Data sekunder dalam penulisan paper ini berupa bahan-bahan tertulis yang berasal dari

penelitian terdahulu, jurnal, buku, tesis, disertasi, dan berbagai informasi digital yang ada di

internet. Analisis menggunakan interpretasi peneliti dengan mengacu pada berbagai literatur atau

referensi yang relevan dengan objek kajian dalam penulisan paper ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berbagai perubahan yang di alami petani telah mendesak kelembagaan penyuluhan untuk

terus berbenah. Tak hanya terbatas pada revitalisasi di sektor sumber daya manusia yang harus

mengikuti globalisasi informasi, namun kelembagaan penyuluhan juga harus ikut menyesuaikan

diri dengan iklim baru yang kompetitif. Kelembagaan penyuluhan menurut Van Den Ban dan

Hawkins (1998) harus mengubah struktur dan kebudayaannya agar bisa beradaptasi dengan

perubahan zaman yang terjadi sangat massif. Dengan begitu, kelembagaan penyuluhan akan bisa

beradaptasi untuk menghadapi perubahan jaman dan bisa memenuhi kebutuhan petani sebagai

seorang klien.

Sebelum berbicara tentang apa saja perubahan yang harus dilakukan, maka kita juga harus

mengetahui berbagai masalah yang muncul di ranah kelembagaan. Sehingga kita bisa mengetahui

apa saja yang perlu diselesaikan dalam waktu singkat, hal ini agar kelembagaan penyuluhan bisa

Page 44: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

40

berjalan dengan efektif dan efisien. Masalah yang lazim ditemui dan perlu segera ditangani

berdasarkan dari penelitian Van Den Ban dan Hawkins (1998), Sucihatiningsih dan Waridin

(2010), Huda (2010), Anantanyu (2011), Marius (2007), Bestina (2005), Suhanda (2008),

Indraningsih et. al. (2011), dan Marliati (2008) adalah sebagai berikut:

1. Belum terbentuknya kelembagaan penyuluhan yang integral dan masih terpisah-pisah dengan

lembaga lain. Masing-masing instansi masih bersifat egosektoral dan kurang melakukan

koordinasi dengan lembaga terkait. Rendahnya jejaring kerja sama ini menyebabkan semakin

banyaknya program penyuluhan yang tumpang tindih dengan program lembaga lain, sehingga

manfaat penyuluhan menjadi tidak dirasakan oleh petani. Tidak sinergitasnya pemerintah

pusat, provinsi, dan kabupaten juga menyebabkan pengalokasian dana untuk kegiatan

penyuluhan menjadi tidak jelas.

2. Penyuluh menuntut adanya dukungan dari lembaga penyuluhan terkait dengan peningkatan

pengetahuan dan keterampilan penyuluh. Lembaga penyuluhan didorong untuk memberikan

dukungan dalam memberikan ijin belajar, memfasilitasi proses pembelajaran, dan penyediaan

informasi yang diperlukan penyuluh agar kinerja penyuluh bisa lebih optimal. Namun, disini

penyuluh jarang memberikan kesempatan kepada penyuluh untuk mengikuti pelatihan karena

alasan biaya operasional yang tinggi.

3. Lembaga penyuluhan sebenarnya berada pada kondisi yang dilematis karena adanya bias

kepentingan. Hal ini terjadi karena selama ini manajemen yang dilakukan oleh lembaga

penyuluhan adalah manajemen yang sudah terpola dari pusat. Akibatnya penyuluh harus

mengikuti manajemen yang sudah ditentukan dan terjebak oleh perencanaan, pelaksanaan, dan

evaluasi kegiatan penyuluhan yang seragam, terstruktur, dan dipertanggungjawabkan sesuai

ketentuan pusat yang belum berorientasi kepada petani. Disini, kreativitas dan inovasi

penyuluh menjadi dibatasi karena mereka tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang ada.

Terkadang instruksi yang diberikan dari pusat tidak bisa ditolak oleh penyuluh meskipun

kondisi di lapang ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Sehingga, dalam melakukan

tugasnya, penyuluh lebih berorientasi pada kepentingan institusi dibanding kepentingan petani.

4. Kabupaten/kota masih banyak yang belum membentuk kelembagaan penyuluhan sesuai

dengan amanat UU No. 16 Tahun 2006. Sehingga banyak lembaga penyuluhan yang tidak

mendapatkan biaya pengembangan dan dana dekonsentrasi. Hal ini menghambat kinerja

Page 45: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

41

penyuluh karena tidak ada dana untuk pengembangan perangkat media informasi, penyebaran

informasi, pengembangan bali penyuluhan, dan pendampingan kepada petani.

5. Lembaga penyuluhan memandang tidak penting kegiatan-kegiatan seperti pengembangan

profesionalitas penyuluh, penyusunan materi penyuluhan, kegiatan evaluasi dan pelaporan

hasil penyuluhan, serta pemilihan metode penyuluhan sehingga kepercayaan petani terhadap

penyuluh menjadi semakin kecil. Tiga hal ini harus mendapat perhatian khusus dari lembaga

penyuluhan jika ingin integritasnya kembali dihargai oleh masyarakat.

6. Dari sektor internal lembaga penyuluhan masih banyak mempekerjakan staff yang berumur di

atas 51 tahun. Sedikit sekali staff yang berada di lembaga penyuluhan berusia muda dan berada

di rentang usia produktif. Hal ini menyebabkan kurangnya kreatifitas dalam menyusun

program dan rendahnya kesadaran terkait dengan pengembangan skill dan profesionalisme.

Selai itu, banyak pula penyuluh yang dipekerjakan tidak sesuai dengan daerah asalnya dan

sering dirubah wilayah kerjanya karena kepentingan politis.

7. Balai Informasi Penyuluhan (BIP) sebagai basiskegiatan penyuluh, lebih merupakan

kepanjangan tangan dari Kantor Informasi Pertanian (KIP) di tingkat kabupaten. Akibatnya

adalah BIP tidak diberi dana otonom untuk menyelenggarakan kegiatan penyuluhan di wilayah

kerjanya.

8. Penyuluh yang memiliki pendidikan tinggi lebih tertarik menempati jabatan struktural dan

tidak lagi mengembangkan kompetensinya. Sedangkan penyuluh yang berpendidikan relatif

rendah juga cenderung tidak lagi termotivasi untuk mengembangkan diri karena tidak ada

dukungan dari lembaga penyuluhan. Perluasan keahlian sudah dirasa tidak penting, akibatnya

tidak ada kemajuan yang berarti dalam kegiatan penyuluhan.

9. Diklat penyuluhan belum mampu menyediakan kurikulum yang dibutuhkan penyuluh.

Penyelenggaran diklat hanya sebagai kegiatan rutin tahunan dan dikemas dalam bentuk

kewajiban semata untuk memperoleh nilai kredit dalam proses kenaikan jabatan. Belum

adanya paradigma dari lembaga penyuluhan bahwa diklat ini adalah sesuatu yang dibutuhkan.

10. Lembaga penyuluhan memberikan porsi tugas yang terlalu banyak, bahkan terkadang

penyuluh harus bekerja tidak sesuai dengan kewajibannya. Beban keja diluar tugas pokok dan

fungsi inilah yang berakibat pada tidak adanya waktu bagi penyuluh untuk mengembangkan

kompetensinya. Manajemen organisasi yang tidak fleksibel juga menyebabkan penyuluh

Page 46: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

42

bekerja dalam kondisi yang tidak bebas. Penyuluh lebih banyak bekerja lewat arahan yang

instruktif bukan dari ide dari penyuluh itu sendiri.

11. Lembaga penyuluhan belum menyediakan sarana prasarana dan perlengkapan kerja yang

memadai dalam menunjang kinerja staffnya, baik penyuluh yang berada di kantor maupun

yang bertugas di lapang. Buruknya dukungan institusi inilah yang menghambat tugas

penyuluh.

12. Masalah lain yang dihadapi lembaga penyuluhan adalah terkait dengan anggaran. Lembaga

penyuluhan tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan fungsinya. Sistem dana

anggaran yang sebelumnya dikelola pusat kemudian diserahkan kepada kebijakan daerah

masing-masing, hal ini menyebabkan sulitnya akses dana bagi lemabaga penyuluahan.

Pengelolaan dana oleh dinas juga kerap menimbulkan masalah yaitu akan banyak intervensi

kepala dinas dalam pembuatan program dan perumusan kebijakan.

13. Rekruitmen dan penempatan penyuluh yang ditentukan oleh Badan Kepegawaian Daerah

(BKD) seringkali tidak tepat. Banyak penyuluh yang ditempatkan sebagai tenaga struktural

dan dinas teknis. Hal ini sudah jelas sangat tidak sesuai dengan kompetensi kerjanya.

14. Lembaga penyuluhan belum mengatur sistem pemberian insentif dan disintensif bagi staff

yang berada di bawah naungannya. Selama ini semua insentif hanya diatur pusat lewat

penentuan angka kredit. Tidak ada penghargaan khusus bagi tenaga kerja penyuluhan dalam

rangka meningkatkan motivasi kerjanya.

Hingga kemudian muncul berbagai ide dan gagasan untuk melakukan revitalisasi di sektor

kelembagaan penyuluhan. Revitalisasi dipandang sebagai hal yang penting dan harus dilakukan

karena dewasa ini kinerja penyuluh mulai dipertanyakan. Petani juga tidak lagi menaruh banyak

harapan kepada penyuluh. Kepercayaan petani terhadap penyuluh semakin melemah mengingat

kurang berfungsinya penyuluh. Menurut Anantanyu (2011), Bestina (2005), Marliati et. al. (2008),

Indraningsih et. al. (2013), Indraningsih et. al. (2011), dan Marius (2007), setidaknya ada beberapa

hal yang harus segera dilakukan agar revitalisasi lembaga penyuluhan bisa berjalan, yaitu:

1. Adanya pemimpin yang mampu merumuskan program dan arah kebijakan dari lembaga

tersebut. Seorang pemimpin disini harus bisa menciptakan kerja sama antar anggota,

menciptkan iklim kerja yang kondusif, serta adanya pembagian tugas dan peran dari masing-

masing anggota dengan jelas.

Page 47: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

43

2. Adanya spesifikasi nilai, tujuan, dan metode operasional yang digunakan sebagai acuan dalam

bertindak oleh anggotanya. Suatu lembaga harus memiliki tujuan yang jelas dan sesuai dengan

kebutuhan anggota.

3. Adanya program yang jelas dan terstruktur, menunjuk pada tindakan tertentu yang

berhubungan dengan pelaksanaan dari fungsi-fungsi dan jasa-jasa yang merupakan keluaran

dari lembaga tersebut. Lembaga penyuluhan juga diharapkan untuk membuat pedoman yang

pasti dalam penyusunan rencana kerja penyuluh yang berorientasi pada kepentingan petani.

4. Tersedianya sumberdaya yang berkualitas, baik itu sumber daya manusia, fisik, teknologi, dan

modal. Lembaga penyuluhan dituntut untuk bisa memperoleh, mengatur, memlihara, dan

mengerahkan sumber daya yang dimilikinya. Hal ini bisa didukung dengan meningkatkan

kegiatan pelatihan untuk pengembangan diri penyuluh.

5. Terbentuknya struktur intern, yaitu struktur dan proses-proses yang diadakan untuk bekerjanya

lembaga tersebut dan bagi pemeliharaannya. Selain itu, lembaga penyuluhan juga harus bisa

bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain yang terkait agar program yang dibuat bisa multi

sektor dan berkelanjutan.

6. Lembaga penyuluhan harus membekali penyuluh dengan pengetahuan dan kemampuan terkait

kegiatan off farm karena selama ini penyuluh hanya mengetahui kegiatan on farmnya saja.

Bidang keahlian penyuluh harus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan petani yang sifatnya

beragam. Dengan begitu akan muncul penghargaan dan apresiasi dari masyarakat kepada

penyuluh dan akan muncul kembali kepercayaan masyarakat karena menempatkan penyuluh

sebagai figur yang terbuka terhadap ide dan gagasan serta selalu berinteraksi dengan petani.

7. Lembaga penyuluhan harus merubah paradigma penyuluh untuk bisa menjadi seorang

konsultan dengan cara mengikutsertakan penyuluh dalam menyusun program. Sehingga,

penyuluh merasa dituntut untuk menjadi seorang spesialis yang harus mampu mengidentifikasi

dan menganalisis kebutuhan petani dan memberikan layanan yang memuaskan bagi petani.

8. Lembaga penyuluhan dalam menyelenggarakan kegiatan penyuluhan perlu memperhatikan

materi dan program penyuluhan, infrastruktur pendukung, faktor intensif dan disintensif

penyuluh, serta keterlibatan masyarakat.

9. Dari aspek ketenagakerjaan, lembaga penyuluhan harus melakukan koordinasi dan kerja sama

antara penyuluh pemerintah, penyuluh swadaya, dan penyuluh swasta dalam rangka untuk

mencapai tujuan bersama dan tidak ada tumpang tindih kepentingan.

Page 48: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

44

10. Revitalisasi lembaga penyuluhan harus bersifat sistemik, diawali dengan perbaikan visi dan

misi, lalu menyiapkan sumber daya tenaga kerja yang berkompetensi baik secara perorangan

maupun berkelompok. Tidak berhenti disitu, pranata, infrastruktur, dan sistem penunjang

penyuluhan juga harus diformat ulang dan disesuaikan dengan pembangunan yang hendak

dicapai serta perkembangan jaman yang harus diikuti. Selama ini, perkembangan dukungan

fasilitas dan prasarana kerja dari lembaga penyuluhan untuk penyuluh mengalami penurunan

kualitas dan kuantitas yang sangat signifikan.

11. Diperlukan pula penataan kembali kelembagaan penyuluhan mulai dari pusat sampai tingkat

desa sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2006. Lembaga penyuluhan di tingkat pusat berbentuk

badan yang menangani penyuluhan. Di tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinator

Penyuluhan (Bakorluh), pada tingkat kabupaten berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan

(Bapeluh), dan di tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan. Lembaga penyuluhan pusat

bertugas melaksanakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan optimalisasi kinerja

penyuluhan, sedangkan Bakorluh berfungsi melakukan koordinasi dengan instansi lain yang

belum ada. Di tingkat kabupaten, Bapeluh diharapkan bisa bekerja sama dengan dinas teknis

sesuai dengan program dengan mengikutsertakan Balai Penyuluhan yang ada di Kecamatan.

Balai Penyuluhan juga bertugas nantinya untuk mendampingi petani di lapang.

12. Operasionalisasi penyuluhan seharusnya dipegang pusat, termasuk kebijakan penyuluhan

karena di era desentralisasi ini kepala daerah juga diberi wewenang untuk melakukan kendali.

Sehingga, agar tidak terjadi kebingungan dan salah dalam menafsirkan kebijakan maka

seharusnya kendali secara umum tetap berada di pusat.

13. Kebijakan Menteri Pertanian terkait dengan kinerja penyuluh harus tegas termasuk teknis

pelaksanaan penyuluhan dengan sistem otonomi daerah. Menteri Pertanian juga harus menjaga

komitmen masing-masing dinas yang berada di bawah kendalinya untuk bisa dikoordinasikan.

14. Terkait dana anggaran kelembagaan, seharusnya pihak pusat masih memberikan dana

operasional dan tidak sepenuhnya memberatkan kepada daerah. Karena tidak semua daerah

memperhatikan kegiatan penyuluhan. Ada daerah yang memandang tidak penting kegiatan

penyuluhan karena tidak secara langsung memberikan sumbangan dalam peningkatan

pendapatan asli daerah sehingga dana yang dikucurkan juga rendah.

Page 49: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

45

Lebih lanjut Van Den Ban dan Hawkins (1998) menjelaskan beberapa prasyarat agar

lembaga penyuluhan bisa memiliki struktur organisasi yang bak agar bisa menjalankan fungsinya,

yaitu sebagai berikut:

1. Komunikasi yang baik

Organisasi penyuluhan membantu petani melalui proses komunikasi yang efektif dan

efisien. Lewat proses komunikasi itulah oraganisasi penyuluhan akan memberikan panduan

kepada petani terkait dengan pengambilan keputusan dalam berusaha tani. Dengan demikian,

penyuluh harus memahami proses pembentukan pendapat dan pengambilan keputusan, terutama

mampu mengidentifikasi masalah yang di hadapi petani. Berbagai informasi dari bawah ini akan

didapatkan oleh penyuluh lapang untuk kemudian disebarluaskan kepada para pengambil

keputusan organisasi, seperti manajer senior dan penyuluh pertanian spesialis.

2. Informasi

Dibutuhkan seorang spesialis dari berbagai disiplin ilmu sebagai sumber informasi.

Tantangan ke depan berbagai informasi dibutuhkan oleh petani, tidak hanya menyangkut budi daya

namun sudah merambah sampai kepada penggunaan komputer dan teknologi informasi di sektor

pertanian. Penyuluh tentu tidak bisa mengakomodir semua informasi tersebut sehingga di

butuhkan seseorang yang ahli di bidangnya untuk membantu kinerja penyuluh. Agen penyuluhan

dituntut dengan cepat, tepat, dan akurat untuk dapat menerima informasi dan menyebarluaskannya.

Agen penyuluhan memiliki peran lain untuk dapat menerjemahkan informasi dari hasil penelitian

akademisi dan penentu kebijakan ke dalam bahasa-bahasa yang mudah di pahami oleh petani.

3. Penyesuaian dengan lingkungan yang berubah

Lingkungan terus-menerus kan berubah dan dalam perkembangannya lembaga penyuluhan

harus mampu untuk menyesuaikan diri, bahkan diharapkan bisa mempengaruhi perubahan

tersebut. Manajemen sebagai pengambil kebijakan haruslah responsif dalam melihat perubahan

yang terjadi, namun tanggung jawab itu sebenarnya bisa didelegasikan kepada anggota staffnya.

Informasi yang sifatnya penting harus dikomunikasikan kepada staff yang memerlukan guna

pengambilan keputusan yang hendak dilakukan.

4. Motivasi staff

Untuk mencapai tujuan, lembaga penyuluhan harus bisa memotivasi staff untuk bekerja

dengan baik. Agen penyuluhan yang bertugas di berbagai tempat dengan berbagai macam tujuan

hendaklah di awasi dan diberi motivasi. Pemberian motivasi ini bertujuan untuk meyakinkan staff

Page 50: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

46

agar bisa menjalankan tugas dengan baik dan percaya terhadap yang dilakukan adalah untuk

meyakinkan petani, bukan bekerja karena gaji semata. Agen penyuluhan harus memiliki kesadaran

bahwa tugas yang mereka lakukan sangat penting bagi petani dan realistis bagi dirinya. Organisasi

penyuluhan diharapkan bisa membicarakan berbagai isu yang ada secara terbuka bersama staffnya

untuk semua tingkat. Hal ini tidak lepas karena adanya alasan bahwa agen penyuluhan mempunyai

pendapat sendiri mengenai arah pengembangan pertanian di wilayah kerjanya dan dengan kuat

termotivasi untuk membantu perkembangan ini jika program penyuluhan searah dengan

pendapatnya.

5. Fleksibilitas

Organisasi penyuluhan harus mengembangkan budaya belajar sehingga seluruh anggota

staff akan memberikan sumbangan bagi proses untuk menemukan cara agar organisasinya dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sedang berubah, berkenaan pula dengan munculnya

berbagai peluang yang baru. Organisasi penyuluhan harus memiliki beragam cara untuk mencapai

tujuan dan berpacu dengan pengembangan baru di bidang pertanian.

Strategi kunci lainnya untuk menciptakan kelembagaan penyuluhan yang lebih baik adalah

lewat kepemimpinan. Kepemimpinan dalam lembaga penyuluhan harus bisa mengakomodir

semua kebutuhan dan tujuan staffnya. Agen penyuluhan harus memiliki kebebasan untuk

memutuskan apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya. Dengan begitu, diharapkan

staff akan memberikan sumbangsih sebanyak mungkin demi tercapainya tujuan organisasi.

Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1998), dibutuhkan gaya kepemimpinan partisipatif

dalam kelembagaan penyuluhan agar semua kepentingan bisa ternaungi. Mereka berdua juga

menjelaskan bahwa setidaknya ada 6 faktor yang harus diperhatikan terkait gaya kepemimpinan

seseorang dalam suatu lembaga penyuluhan, yaitu: (1) Manajemen dapat menentukan kepada

setiap agen penyuluhan apa yang harus dilakukan sesuai dengan tempat dimana mereka bertugas

dan memberi kebebasan untuk menentukan langkah jika ternyata terjadi banyak perubahan dari

segi sosial, ekonomi, dan budaya, (2) Harus dipilih seseorang yang profesional dan terspesialisasi

untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam lembaga pnyuluhan, (3) Lembaga penyuluhan

menuntut gaya kepemimpinan yang demokratis, dimana agen penyuluhan bersama dengan

masyarakat dipacu untuk bersikap kritis dan bisa menemukan jalan keluar dari masalah yang

sedang dihadapi, (4) Pemimpin mempunyai kewenangan untuk memberikan reward dan

punishment bagi agen penyuluhan. Mengingat selama ini, agen penyuluhan dengan statusnya

Page 51: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

47

sebagai seorang pegawai negeri sipil sulit dipecat jika kinerjanya rendah dan sulit mendapatkan

promosi meskipun kinerjanya bagus, (5) Pemimpin harus memiliki pertimbangan dari berbagai

aspek agar keputusan yang diambil tidak tergesa-gesa dan mampu menyelesaikan masalah dengan

cepat namun akurat, dan (6) Pemimpin harus mengalokasikan tenaga staffnya untuk memnuhi

kepentingan umum terlebih dahulu.

Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Kusnandar (2013), bahwa

kepemimpinan sesorang sangat mempengaruhi lembaga yang dipimpinnya. Kepemimpinan

menjadi satu dari lima dimensi penting dalam pengembangan kapasitas kelembagaan penyuluhan.

Selain kepemimpinan, yang harus mendapatkan perhatian adalah perencanaan program,

manajemen pelaksanaan, alokasi sumber daya, dan hubungan dengan pihak luar.

Revitalisasi tidak hanya berhenti dari segi kepemimpinan atasan yang ada dalam

kelembagaan penyuluhan, namun juga sampai kepada pengembangan staff yang ada. Staff dalam

lembaga penyuluhan harus memiliki mutu yang baik agar bisa berkontribusi dalam pembangunan

lembaga penyuluhan. Staff diharapkan agar bisa bersikap kritis dan tidak begitu saja menerima

arahan atasan. Agen penyuluhan sebagai seorang staff juga harus bertindak secara partisipatif dan

memahami kondisi petani serta lembaga yang menaunginya.

Penyuluh yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik perlu mendapatkan imbalan

sebagai suatu penghargaan atas dedikasi dan kerja kerasnya. Penghargaan disini bisa berupa

promosi kenaikan jabatan ataupun dalam bentuk yang lain. Secara tidak langsung diharapkan

sistem seperti ini bisa menjadi pemicu agar penyuluh lain bisa termotivasi untuk mengikuti jejak

temannya yang telah sukses. Sehingga, terjadi suatu kompetisi yang sehat antar agen penyuluhan.

Motivasi penyuluh bisa ditumbuhkan dengan sistem seperti ini, pimpinan dari lembaga

penyuluhan harus memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi penyuluh untuk berkreasi dan

maju. Dengan begitu, penyuluh akan lebih semangat dalam bekerja dan memecahkan masalah

petani.

Dengan sistem reward seperti ini, penyuluh diharapkan juga bisa mengevaluasi kinerjanya

dengan jalan melihat hasil kerja penyuluh lain. Pembandingan ini dilakukan untuk melihat apakah

kinerjanya sudah bagus atau perlu ditingkatkan. Penyuluh juga bisa belajar dari penyuluh lain

terkait program yang berhasil dilaksanakan. Jika sudah mengetahui kekurangannya dibandingkan

dengan penyuluh lain maka penyuluh tersebut juga harus aktif uuntuk meningkatkan

kemampuannya lewat jalan menikuti berbagai pelatihan yang ada.

Page 52: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

48

Disini lembaga penyuluhan berkewajiban untuk mengadakan suatu pelatihan dan

menyediakan sumber-sumber informasi terbaru guna memudahkan penyuluh dalam

memperbaharui informasi yang dibutuhkan. Penyuluh tentu memerlukan informasi yang up to date

agar bisa memberikan infromasi terbaru kepada petani. Dengan begitu diharapkan keterampilan

petani juga akan meningkat. Tidak hanya informasi, namun penyuluh juga harus bisa

mendemonstrasikan informasi tersebut kepada petani untuk mendapatkan kepercayaan petani. Tak

hanya informasi dari buku dan internet, namun penyuluh juga ahrus senantiasa membekali dirinya

dengan latihan secara langsung di lapang untuk melihat hasil implementasi nyata dari informasi

yang didapatkan secara text book.

Dalam bukunya, Subejo (2013) dan Hariadi (2009) mengungkapkan bahwa tantangan masa

depan penyuluh adalah harus bisa menguasai tema-tema penyuluhan yang sifatnya generalis mulai

dari pemasaran, pengolahan, permodalan, dan sebagainya. Penyuluh tidak hanya mengetahui

masalah produksi karena perkembangan pertanian telah jauh mengalami pergeseran dalam

memaknai kompetisi global. Perubahan orientasi pembangunan akan menyebabkan perubahan

materi penyuluhan yang harus dikuasai penyuluh. Penyuluh dituntut tidak hanya menjadi agen

transfer teknologi, tapi juga menjadi fasilitator dan penasihat bagi petani. Disini lembaga

penyuluhan perlu untuk melakukan kerja sama dengan lembaga lain dalam hal mengelola beragam

informasi terkait pertanian untuk mendukung aplikasi inovasi pertanian.

Van Den Ban dan Hawkins (1998) juga menjelaskan bahwa sebenarnya kelembagaan

penyuluhan perlu mempekerjakan penyuluh yang sifatnya generalis dan spesialis. Penyuluh

generalis diharapkan bisa memecahkan masalah petani yang sifatnya umun, sedangkan spesialis

lebih untuk memahami masalah spesifik yang dihadapi petani. Spesialis diharapkan bisa

memegang sub sektor tertentu dan fokus pada kajian tersebut. Kelembagaan penyuluhan yang baik

hendaknya mengkolaborasikan penyuluh generalis dan spesialis. Spesialis bisa mendukung

generalis jika terjadi kesulitan dalam memecahkan masalah, sedangkan generalis bisa memberikan

rekomendasi praktis dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh spesialis.

Tak hanya penyuluh yang spesialis dalam satu bidang namun tantangan ke depan

mengharuskan kelembagaan penyuluhan untuk mempiliki seseorang yang spesialis dalam

mempersiapkan bahan informasi. Disini diperlukan kerja sama antara penyuluh spesialis dengan

spesialis informasi. Penyuluh spesialis bisa menyediakan bahan-bahan informasi yang dibutuhkan,

Page 53: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

49

sedangkan spesialis informasi akan menyajikan bahan-bahan informasi tersebut mudah dipahami

dan menarik kepada petani.

Sementara itu, Esman (1986) dalam Anantanyu (2011) memandang revitalisasi suatu

lembaga, dalam konteksnya adalah dengan: (1) Menyusun kembali nilai, fungsi, teknologi, (2)

Melindungi hubungan normatif dan mencoba membuat pola-pola tindakan yang baru, serta (3)

Memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan lembaga itu sendiri. Semua ini

dilakukan untuk meningkatkan kapasitas lembaga penyuluhan agar mampu memenuhi kebutuhan

anggotanya dan kebutuhan petani pada khususnya.

Lebih lanjut, Andriani et. al. (2015) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa penyuluhan

sebagai suatu sistem agar dapat berjalan dengan efektif maka subsitemnya perlu dikembangkan

dan diperbaiki, peraturan yang diperlukan harus segera dibuat, dan perlu adanya penyamaan

persepsi diantara para pihak pada masing-masing subsitem agar terjadi hubungan fungsional antar

subsistem tersebut.

Jadi, inti dari revitalisasi pada kelembagaan penyuluhan adalah memupuk kesadaran

kembali dan membangun komitmen tentang arti penting sekto pertanian, khususnya adalah

penyuluhan. Revitalisasi harus dilakukan secara proporsional dan kontekstual sambil

memberdayakan sumber daya yang terlibat beserta meningkatkan kinerja dan kerja sama dengan

sektor lain (Iqbal, 2008). Hal ini dianggap penting karena dalam studi Anantanyu (2011), ia

melihat kelembagaan penyuluhan sebagai suatu syarat kecukupan yang harus dipenuhi agar

pembangunan pertanian bisa berjalan sesuai dengan yang dikehendaki.

PENUTUP

Revitalisasi lembaga penyuluhan berarti pembaharuan dan perubahan di berbagai segi dalam

hal ini ditujukan untuk menjadikan lembaga efektif bisa bekerja sesuai dengan peran dan

fungsinya. Berbagai masalah yang perlu dibenahi adalah terkait dengan: (1) Lembaga penyuluh

belum terintegrasi dengan lembaga lain karena adanya sifat egosektoral, (2) Kurangnya dukungan

dari lembaga penyuluhan terkait pengembangan kompetensi penyuluh, (3) Lembaga penyuluhan

menjalankan tugas yang bias kepentingan karena manajemen yang terpola dari pusat, (4)

Kabupaten/kota masih banyak yang belum membentuk kelembagaan penyuluhan sesuai dengan

amanat UU No. 16 Tahun 2006, (5) Rendahnya kreatifitas dalam menyusun program karena

lembaga penyuluhan banyak mempekerjakan staff yang tidak berada di umur produktif, (6)

Page 54: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

50

Lembaga penyuluhan tidak memiliki dana otonom untuk menyelenggarakan kegiatan penyuluhan

di wilayah kerjanya, (7) Staff penyuluh lebih tertarik mengisi jabatan struktural, (8) Diklat

penyuluhan belum mampu menyediakan kurikulum yang dibutuhkan penyuluh dan hanya sebagai

penggugur kewajiban angka kredit, (9) Lembaga penyuluhan memberikan porsi tugas diluar tugas

pokok dan fungsi penyuluh, (10) Kurangnya sarana prasarana dan perlengkapan kerja yang

memadai dalam menunjang kinerja staff, dan (11) Lembaga penyuluhan belum mengatur sistem

pemberian insentif dan disintensif bagi staff yang berada di bawah naungannya.

Hingga kemudian muncul berbagai ide dan gagasan untuk melakukan revitalisasi di sektor

kelembagaan penyuluhan. Beberapa hal yang harus segera dilakukan agar revitalisasi lembaga

penyuluhan bisa berjalan, yaitu: (1) Adanya pemimpin yang mampu merumuskan program dan

arah kebijakan, (2) Adanya spesifikasi nilai, tujuan, dan metode operasional yang digunakan

sebagai acuan dalam bertindak oleh anggotanya, (3) Adanya program yang jelas dan terstruktur,

(4) Tersedianya sumberdaya yang berkualitas, baik itu sumber daya manusia, fisik, teknologi, dan

modal, (5) Koordinasi antara lembaga penyuluhan dengan dinas terkait, (6) Lebih banyak

melakukan kegiatan pelatihan, (7) Mengkutsertakan semua staff dalam menyusun program kerja,

(8) Pembaharuan materi dan program penyuluhan, infrastruktur pendukung, faktor intensif dan

disintensif penyuluh, (9) Melakukan koordinasi dan kerja sama antara penyuluh pemerintah,

penyuluh swadaya, dan penyuluh swasta, (10) Perbaikan visi dan misi dan menyiapkan sumber

daya tenaga kerja yang berkompetensi, (11) Penataan kembali kelembagaan penyuluhan mulai dari

pusat sampai tingkat desa sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2006, (12) Operasionalisasi penyuluhan

seharusnya dipegang pusat, (12) Terkait dana anggaran kelembagaan, seharusnya pihak pusat

masih memberikan dana operasional dan tidak sepenuhnya memberatkan kepada daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Anantanyu, S. 2009. Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan KelompokPetani (Kasus di Provinsi Jawa Tengah). Disertasi pada Institut Pertanian Bogor.

Anantanyu, Sapja. 2011. Kelembagaan Petani: Peran dan Strategi Pengembangan Kapasitasnya.Jurnal SEPA. Volume 7 Nomor 2. p.102 – 109.

Andriani, Yulia, Kausar, Cepriadi. 2015. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau.Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE). Volume 6 Nomor 2. p.147-157.

Page 55: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

51

Bestina, Supriyatno, Slamet Hartono, dan Amiruddin Syam. 2005. Kinerja Penyuluh Pertaniandalam Pengembangan Agribisnis Nenas di Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar. JurnalPengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Volume 8, Nomor 2. p.218-231.

Hariadi, Sunarru Samsi. 2009. Penyuluhan Dialogis untuk Menjadikan Petani dan PenyuluhMandiri. Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Pertanian, UniversitasGadjah Mada. p.1-27.

Huda, Nurul dan Ludivica Endang Setijorini. 2010. Kompetensi Penyuluh dalam MengaksesInformasi Pertanian (Kasus Alumni UT di Wilayah Serang). Jurnal Matematika, Sains, danTeknologi. Volume 10 Nomor 1. p.65-77.

Indraningsih, K.S., T. Pranadji, G.S. Budhi, Sunarsih, E.L. Hastuti, K. Suradisastra, R.N. Suhaeti.2011. Revitalisasi Sistem Penyuluhan untuk Mendukung Daya Saing Industri PertanianPerdesaan. Pusat Sosial Ekomoni dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Indraningsih, Kurnia Suci, Tri Pranadji, dan Sunarsih. 2013. Revitalisasi Sistem PenyuluhanPertanian dalam Perspektif Membangun Industrialisasi Pertanian Perdesaan. Jurnal ForumPenelitian Agro Ekonomi. Volume 31 Nomor 2. p.89-110.

Iqbal, Muhammad. 2008. Konstelasi Institusi Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakatdalam Program PIDRA. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 9 Nomor 1. p.28-45.

Kusnandar et. al. 2013. Rancang Bangun Model Kelembagaan Agribisnis Padi Organik dalamMendukung Ketahanan Pangan. Jurnal Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 14 Nomor 1.p.92-101.

Marius, Jelamu Ardu, Sumardjo, Margono Slamet, dan Pang S.Asngari. 2007. Pengaruh FaktorInternal dan Eksternal Penyuluh terhadap Kompetensi Penyuluh di Nusa Tenggara Timur.Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian Bogor. Volume 3 Nomor 2. p.78-89.

Marliati, Sumardjo, Pang S. Asngari, Prabowo Tjitropranoto dan Asep Saefuddin. 2008. Faktor-Faktor Penentu Peningkatan Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani(Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau). Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian Bogor.Volume 4 Nomor 2. p.92-99.

Soekartawi. 2002. Prinsip Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Subejo. 2013. Bunga Rampai Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. UI Press. Jakarta. p.169-172.

Sucihatingsih, DWP dan Waridin. 2010. Model Penguatan Kapasitas Kelembagaan PenyuluhPertanian dalam Meningkatkan Kinerja Usahatani Melalui Transaction Cost (Studi Empirisdi Provinsi Jawa Tengah). Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 11 Nomor 1. p.13-29.

Suhanda, Nani Sufiani, Amri Jahi, Basita Ginting Sugihen dan Djoko Susanto. 2008. KinerjaPenyuluh Pertanian di Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian Bogor. Volume 4Nomor 2. p.100-108.

Page 56: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

52

Susmiyati, Ait Maryani, dan Dedy Kusnadi. 2010. Kinerja Penyuluhan Pertanian PNS dalamMelaksanakan Tupoksi di Kabupaten Bogor (Kasus di BP3K Cibungbulang). JurnalPenyuluhan Pertanian. Volume 5 Nomor 1. p.87-103.

Van Den Ban, A.W., dan H.S. Hawkins. 1998. Penyuluhan Pertanian. Penerbit Kanisius.Yogyakarta. p.277-292.

Page 57: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

53

PERFORMA KELEMBAGAAN USAHATANI DI KABUPATEN KUPANGDAN TIMOR TENGAH SELATAN, PROVINSI NTT

Kristina Lako dan Agustina HeweBalai Pengkajian Teknologi Pertanian NTTJl. Timor Raya Km 32 Naibonat, Kupang

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian performa kelembagaan usahatani adalah untuk mengetahui sejauh manaperan dan fungsi kelembagaan usahatani di Kabupaten Kupang dan TTS. Penelitianmenggunakan metode survey. Pengambilan data dilakukan pada Bulan Juni 2016.Teknikpengumpulan data dengan metode wawancara struktural, Focus Group Discusion (FGD), danobservasi serta menggunakan data sekunder. Penentuan desa secara purposive, yaitu desa sentraproduksi sapi dan mendapatkan bantuan modal/kredit dari berbagai sumber. Data dianalisissecara statistik deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwakelembagaan usahatani yang ada adalah kelembagaan sarana produksi, kelembagaankelompoktani, kelembagaan pemasaran, dan kelembagaan permodalan. Peran kelembagaansaprodi dan kemitraan masih terkategori sedang. Kelembagaan kelompoktani relatif baik,kelembagaan pemasaran perlu ditingkatkan terutama penentuan harga dan biaya-biayapemasaran, kelembagaan permodalan belum baik karena petani belum mengakses kredit secarabaik dan lembaga permodalanpun belum optimal melayani kebutuhan petani.

Kata kunci : kelembagaan, saprodi, kelompoktani, pemasaran, permodalan

PENDAHULUAN

Sistem pertanian di Indonesia mengalami perubahan dari sistem pertanian tradisional yang

bersifat subsistensi mejadi sistem pertanian agribisnis yang bersifat komersial, yakni yang benar-

benar telah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi antara lain usaha dengan tujuan untuk

memperoleh keuntungan (Prawirokusumo, 2009). Hal ini disebabkan pembangunan pertanian

merupakan bagian terpenting dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan yang dilaksanakan

secara terencana.

Kelembagaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan agribisnis.

Defenisi kelembagaan adalah organisasi yang mampu menghasilkan produk yang mampu

mengembangkan keunggulan komparatif atau kompetitif.

Soekartawi (2001) dan Saleh (2007) mengatakan bahwa kelembagaan merupakan faktor

penting dalam mengatur hubungan antar individu untuk penguasaan faktor produksi yang langka.

Kelembagaan mempunyai peran strategis. Aspek kelembagaan, baik formal maupun informal

merupakan aspek yang menonjol yang dapat memperlancar pembangunan pertanian di negara-

negara berkembang.

Page 58: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

54

Hatii (2004) selanjutnya menyebutkan terdapat sekurang-kurangya lima kelembagaan di

pertanian Asia, yakni (1) lembaga air dan irigasi, (2) manajemen lahan industri, (3) lembaga

ekonomi, (4) interaksi teknologi, (5) lembaga sosial politik.

Pelaksanaan rencana pembangunan ekonomi pertanian perlu perangkat kelembagaan agar

proses pembangunan ekonomi mengarah pada sasaran yang telah ditetapkan. Kelembagaan

pembangunan pertanian yang kuat sangat diperlukan agar tercipta iklim yang mampu mendorong

terpenuhinya syarat mutlak dan syarat lancarnya pembangunan pertanian.

Defenisi lembaga cukup banyak dan beragam. Djogo, et al (2003) mengutip dari beberapa

defenisi kelembagaan, sebagai berikut:

Ruttan dan Hayami, 1984: Lembaga adalah aturan dalam satu kelompok masyarakat atau

organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan

harapan dimana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lainnya utuk

mencapai tujuan bersama yang diinginkan.

Ostorn, 1985-1986: Lembaga adalah aturan dan rambu – rambu sebagai panduan yang dipakai

oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat

atau saling bergantung satu sama lain.

Uphoof, 1986: Lembaga adalah suatu himpunan atau tatanan norma – norma dan tingkah laku

yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan

menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma- norma perilaku, nilai budaya dan adat

istiadat.

Nabli dan Nugent, 1989: Kelembagaan merupakan suatu himpunan individu yang sepakat untuk

menetapkan dan mencapai tujuan bersama, kelembagaan didominasi oleh unsur – usur aturan,

tingkah laku atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat lainnya antar anggota yang

membuat orang saling mendukung.

Mosher 1986: Kelembagaan pertanian meliputi kelembagaan pemasaran, kelembagaan penelitian

dan pengujian, kelembagaan penyuluhan, kelembagaan penyedia sarana produksi, kelembagaan

pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dan kelembagaan transportasi.

Tujuan dari tulisan ini adalah mau memberikan gambaran mengenai keberadaan dan peran

kelembagaan dan kemitraan saprodi uasahatani di tingkat petani dalam mengembangkan

usahataninya.

Page 59: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

55

METODOLOGI

Metode dan Waktu Pengumpulan Data

Penelitian menggunakan metode survey. Pengumpulan data dengan teknik wawancara pada

responden rumahtangga petani dengan menggunakan kuesioner. Pengumpulan data dilaksanakan

pada bulan Juni 2016. Jenis data yang dikumpulkan adalah data cross secsion dan data time

series, dari sumber data primer dan data sekunder.

Penentuan Lokasi dan Sampel

Kabupaten Kupang dan TTS dipilih sebagai kabupaten lokasi penelitian dengan

pertimbangan, (a) jumlah populasi sapi di NTT tahun 2011 sebanyak 778.633 ekor, terbanyak

berada di Kabupaten TTS dan Kabupaten Kupang, (b) jumlah rumahtangga di NTT tahun 2011

sebanyak 1.351. 880 rumahtangga, dari jumlah tersebut rumahtangga yang bekerja sebagai petani

terbanyak berada di Kabupaten TTS dan Kupang, (c) dalam pengembangan NTT sebagai

provinsi ternak, Pemerintah Provinsi NTT membangun pusat pembibitan sapi bali di Besipae

Kabupaten TTS, pusat pelayanan IB sapi dan pengembangan hijauan makanan ternak (HMT) di

Kabupaten Kupang. Sampel kecamatan dan desa/kelurahan ditentukan secara purposive yakni

berdasarkan sentra populasi sapi. Desa/kelurahan terpilih adalah Desa Ponain dan Tesabela di

Kabupaten Kupang; Desa Kualin dan Desa Nulle di Kabupaten TTS.

Data dan Analisis Data

Jenis data yang dikumpulkan, (a) Jenis kelembagaan yang menyediakan dan menyalurkan

sarana input bagi petani, (b) Jenis kelembagaan yang bermitra dengan petani dalam kegiatan

pengelolaan usahataninya, (c) Jenis kelembagaan yang bermitra dalam pemasaran hasil usahatani.

Data dianalisis secara statistik deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Unsur-unsur kelembagaan usahatani yang mendukung pembangunan pertanian Kabupaten

Kupang dan TTS adalah sebagai berikut:

1. Kelembagaan Sarana Produksi

Hasibuan (1999) mendefenisikan kelembagaan sarana produksi merupakan kelembagaan

ekonomi yang bergerak dibidang produksi, penyediaan dan penyaluran sarana produksi seperti:

distributor, pedagang/pengecer, kios/toko pertanian dan usaha perdagangan swasta lainnya.

Kelembagaan ini pada umumnya melakukan usaha dalam produksi, perdagangan, pemasaran

Page 60: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

56

sarana produksi seperti pupuk, pestisida dan benih/bibit tanaman yang diperlukan petani. Dengan

semakin berkembangnya dan semakin majunya sistem pertanian di Nusa Tenggara Timur

kombinasi yang tepat dari penggunaan sarana produksi pertanian khususnya pupuk dan pestisida

pertanian (saprotan) yang terus meningkat dapat di penuhi dengan terpenuhinya enam tepat,

yaitu tepat jumlah/dosis, tepat harga, tepat mutu/kualitas, tepat waktu aplikasinya, dan tepat

tempatnya ( pupuk tersedia di kios saprotan).

Penelitian di empat desa di Kabupaten Kupang dan TTS, menunjukkan kelembagaan yang

ada dan tersebar di empat desa tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Jenis dan Jumlah Kebutuhan Saprodi di Kabupaten Kupang dan TTSDesa Jenis Jumlah Jenis Saprodi Sistem Penjualan

Kualin Kios pengecer 1 pupuk : Urea, NPK dan ZA tunaiNule Kios pengecer 1 pupuk : Urea, NPK dan ZA tunai

Toko Tani 1 Benih, Pestisida dan obat –obatan (ternak dan Tanaman)

tunai

Ponain Kios pengecer 2 pupuk : Urea, NPK dan ZA tunai

Tesabela Kios Pengecer 1 pupuk : Urea, NPK dan ZA tunaiSumber : Data primer, 2016

Hasil penelitian menunjukan bahwa kelembagaan sarana produksi yang ada di keempat desa

belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan produsen. Hal ini karena di beberapa daerah

belum memiliki toko/kios pertanian yang menjual saprodi pertanian secara lengkap, hanya

menjual beberapa jenis saprodi tertentu saja yakni obat-obatan tertentu. Produksi hasil pertanian

masih rendah merupakan salah satu akibat dari hal tersebut. Kehadiran kelembagaan sarana

produksi yang memadai akan menjamin keberlanjutan dan kesuksesan sebuah usahatani di

tingkat produsen.

2. Kelembagaan Kelompoktani

Hasibuan (1999) mengemukakan bahwa kelembagaan yang bergerak dibidang usahatani

meliputi: (1) rumahtangga petani sebagai unit usaha terkecil, (2) kelembagaan tani dalam bentuk

kelompoktani, dan (3) kelembagaan usaha dalam bentuk perusahaan budidaya tanaman pangan

dan hortikultura.

Lembaga memainkan peran penting dalam membentuk dan mengatur aktivitas manusia

untuk mengoptimalkan produksi dan untuk meminimalkan risiko yang terkait dengan sistem

produksi (Hatti et al, 2004). Unit usahatani dalam bentuk rumahtangga petani maupun

kelompoktani, merupakan kelembagaan non-formal yang melaksanakan fungsi agribisnis di

Page 61: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

57

pedesaan. Musa (1999) menyebutkan bahwa kelompoktani sebagai bentuk kelembagaan yang

lebih maju dan terorganisir, berfungsi sebagai: (1) wadah berproduksi, (2) wahana kerjasama

antar anggota kelompoktani, dan (3) kelas belajar diantara petani/anggota kelompoktani.

Selanjutnya, beberapa kelompoktani yang mempunyai usahatani serupa diupayakan membentuk

koperasi. Melalui koperasi, akses petani terhadap fasilitas kredit dan fasilitas lainnya dapat

ditingkatkan, sehingga permodalan mereka akan semakin kuat (Winarno, 1999).

Di Kabupaten TTS dan Kabupaten Kupang telah terbentuk kelompoktani dan Gapoktan. Ini

berkat kerja keras para penyuluh lapangan. Bansir (2008) menganalisis factor-faktor yang

mempengaruhi kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur

menyebutkan bahwa respon petani terhadap kinerja penyuluh adalah positif terhadap faktor

diseminasi, produktivitas dan pendapatan petani.

Aye and Mungatana (2010) menyebutkan bahwa penyuluh bersama variabel lainnya seperti

umur KK, keanggotaan dalam kelompoktani, akses kredit, jarak ke pasar, ukuran rumahtangga

berdampak positif pada efisiensi teknis usahatani.

Ogunyika dan Igbekele (2004) menyebutkan frekwensi kunjungan penyuluh dan tingkat

pendidikan lanjut signifikan mempengaruhi efisiensi teknis dengan nilai marginal effect

pendidikan sebesar 0,0206 dan tingkat pendidikan lanjut bernilai –0,0872. Sehingga dukungan

kegiatan pendampingan dan pembinaan petani bisa berjalan secara kontinu dan terkoordinasi

dengan sangat baik. Lembaga-lembaga tersebut bersinergi untuk menghasilkan dan menjamin

produk dari subsistem usahatani agar memiliki kualitas yang baik (Masyuri, 2016).

Hal ini sangat membantu pemerintah dalam menyalurkan bantuan kepada masyarakat

sehingga bantuan yang diberikan bisa tepat pada sasaran yang membutuhkan yakni para petani

miskin. Jumlah kelompoktani dan Gapoktan yang tersebar pada keempat desa di wilayah

Kabupaten TTS dan Kabupaten Kupang pada Tabel 2.

Tabel 2. Sebaran Kelembagaan Kelompoktani di Kabupaten TTS dan KupangDesa Jenis Kelembagaan Jumlah

KelembagaanKelompoktani Gapoktan PPLKualin 18 1 1 3Nule 14 1 1 3Ponain 13 1 1 3Tesabela 5 1 1 3

Sumber : Data Primer 2016.

Page 62: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

58

Tabel 2 menggambarkan bahwa kelembagaan pertanian/on farm sebenarnya sudah baik dan

legkap. Sehingga fungsi pembinaan dalam kelembagaan on farm pasti bisa berjalan dengan baik.

khusus di Desa Tesabela sendiri yang belum memenuhi syarat jumlah kelompoktani di sebuah

wilayah binaan peyuluh, yang seharusnya maksimal 8 kelompoktani setiap desa. Namun dari

hasil survey bahwa kehadiran penyuluh pertanian sudah kontinu dalam melakukan

pendampingan dan pembinaan petani.

3. Kelembagaan Pemasaran

Kegiatan pemasaran pada dasarnya merupakan salah satu kegiatan agribisnis (Davids, dan

Golberg, 1957; Gaspersz, 2002). Kelembagaan pemasaran memiliki posisi yang sangat penting,

karena melalui kelembagaan ini arus komoditi atau barang berupa hasil pertanian dari produsen

disampaikan kepada konsumen.

Sen (2011) mengkaji peran system bagi hasil (sharecropping) pada kondisi pasar persaingan

tidak sempurna (imperfect market). Bagaimana perilaku harga produk pertanian pada kondisi

pasar demikian, dimana yang terjadi adalah adanya variasi harga musiman dan dimanfaatkan

oleh pemilik tanah dengan menjual hasilnya, dengan harga yang tinggi, sedangkan penyewa

menerima dengan harga rendah.

Kelembagaan pemasaran meliputi kelembagaan yang terkait dalam sistem tataniaga hasil

pertanian dari produsen sampai konsumen. Dalam Kelembagaan pemasaran terdapat beberapa

unsur penting yang terkait. Lembaga yang melakukan aktivitas/kegiatan tataniaga di tingkat desa

adalah para pedagang pengumpul (papalele). Dalam aktivitasnya papalele tidak hanya membeli

satu jenis komoditas saja tetapi beberapa komoditas yang dihasilkan oleh produsen (Tabel 3).

Tabel 3. Sebaran Jenis Kelembagaan Pemasaran di Kabupaten Kupang dan TTSDesa Jenis

KelembagaanJumlah (orag) Jenis Komoditas

Yang dibeliSistem

PembelianKualin pengecer 4 4 TunaiNule pegecer 2 4 TunaiPonain pengecer 3 4 TunaiTesabela pengecer 6 4 TunaiSumber : Data Primer 2016

Dari Tabel 3 tercatat bahwa pengecer memiliki peranan penting dalam lembaga pemasaran

dan sangat membantu para petani dalam melancarkan proses penjualan hasil kepada konsumen,

tanpa kehadiran pengecer maka petani kesulitan untuk memasarkan hasil produksinya. Harga

Page 63: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

59

ditentukan bersama, merupakan kesepakatan kedua pihak (petani dan pengecer), dan cara

pembayaran umumnya tunai.

4. Kelembagaan Permodalan

Kelembagaan permodalan membantu menyediakan modal bagi sektor agribisnis baik

berbasis komersial murni maupun menyalurkan kredit program dari pemerintah. Kelembagaan

permodalan yang ada misalnya BUMN, koperasi, perbankan, berbagai program dari pemerintah

misalnya Program PUAP dari Kementerian Pertanian, program dari Pemda NTT yaitu Anggur

Merah, ADD dan lain- lain. Beberapa lembaga permodalan yang membantu masyarakat petani di

keempat desa yang menjadi lokasi survey disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Lembaga Permodalan di Kabupaten Kupang dan TTSDesa Jenis Kelembagaan Jumlah

Kualin PUAP, Anggur Merah, BLT 3Nule PUAP, Anggur Merah, ADD, Dinas 4Ponain Anggur Merah, ADD 2Tesabela Anggur Merah, Dinas, ADD, BRI (KUR) 4

Sumber : Data primer 2016

Penyebaran kelembagaan permodalan yang selama ini membantu para petani di pedesaan

relatif cukup baik, sehingga petani merasa terbantu dalam mengembangkan usahataninya.

Namun modal usahatani yang disiapkan pemerintah untuk membantu para petani dalam

mengembangkan usahataninya baru segelintir petani yang memanfaatkannya, contohnya ada

dana KUR yang disalurkan melalui perbankan tapi tidak di manfaatkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Peran kelembagaan pertanian sangat menentukan keberhasilan suatu kegiatan usahatani.

Kelembagaan pertanian merupakan unsur yang penting dalam pembangunan sektor pertanian di

masa sekarang dan dimasa yang akan datang, demi tercapainya ketahanan pangan untuk

kesejahteraan petani. Apabila kelembagaan pertanian tidak memadai maka terjadi kepincangan

dalam kegiatan usahatani, dan para pelaku usahatani akan mendapatkan kesulitan

Sistem kelembagaan di sektor pertanian di Provinsi NTT masih sangat membutuhkan

dukungan dari pemerintah daerah agar lebih memadai untuk memfasilitasi kegiatan usahatani

yang lebih baik dan optimal.

Page 64: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

60

DAFTAR PUSTAKA

Aye, G.C. and E.D. Mungatana 2010, Technical Efficiensy of Traditional and Hybrid MaizeFarmers in Nigeria : Comparison of Alternative Approaches.

Bansir M, 2008. Analisis Pengaruh Faktor – faktor yang mempegaruhi Kinerja PenyuluhanPertanian di Kab. Bulungan, Kalimantan Timur. MB IPB, Pasca Sarjana IPB.

Davis, J. and R. Golberg, 1957. A. Conseption Of Agribusiness. Harvard University Press,Boston, Massachusetts.

Djogo Tony, Sunaryo, Didik S. dan Martua Sirait, 2003, Kelembagaan dan Kebijakan dalamPengembangan Agroforestri. World Agroforestry Center (ICRAF).

Fatah L., 2006. Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Gaspersz, V., 2002 Membangun Sistem Agribisnis Peternakan Berkualitas Internasional.Makalah Disampaikan Dalam Seminar Nasional Fakultas Peternakan UNDANA Kupang,Oktober 2002.

Hatii Neelambar, and R.S Despande, 2004. Institutions and Agricultural Development. A Review.Panel No. 8. 18th European Conference On Modern South Asian Studies.

Hasibuan Nasrun, 1999, Kelembagaan Pendukung Bagi Pengembangan Agribisnis Di BidangTanaman Pangan Dan Hortikultura.

Masyuri, 2016 Model Kelembagaan Pada Agribisnis Padi Organik Kabupaten Tasikmalaya.Journal Of Agribusiness and Rural Development Research Vol. 2 N0 1.

Musa Sjarifudin, 1999 Mencari Kembali Swasembada Yang Hilang

Ongunyinka E.O., and Igbekele A.A., 2004. Determinant of Technical Inefficiency on FarmProduction: Tobit analisys Approach to the NDE Farmers in Ondo state, Nigeria.International Journal of Agr & Biology Vol 6, No 2.

Prawirokusumo, 2009, Buku Ilmu Usahatani Edisi 2 Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Saleh, 2016 Journal Of Agribusiness and Rural Development Research Vol. 2 N0 1. AfricanJurnal of Agricultural Reseach Vol.5 (21), pp. 2909-2917.

Sen Debapriya, 2011. A Theory of Sharecropping: The Role Of Price Behavior

Soekartawi 2001, Journal of Agribusiness and Rural Development Research Vol. 2 no. 1.

Winarno, M., 1999, Hortikultura: Masa Depan Enam Sendi Pengembangan.

Page 65: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

61

PENERAPAN TRI HITA KARANA (THK) PADA KEGIATAN BISNIS DIKELOMPOK TANI MEKAR SARI, DESA TEGAL BADENG TIMUR,

KECAMATAN NEGARA, KABUPATEN JEMBRANA

Putu Fajar Kartika LestariProgram Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Mahasaraswati Denpasar

Email : [email protected]

ABSTRAKKesinambungan hidup suatu usaha/bisnis, sangat diperlukan keseimbangan. Untuk

mencapai kesinambungan hidup usaha/bisnis tersebut maka perlu diterapkan prinsip keserasiandan keseimbangan hubungan yang harmonis yang dikenal dengan nama Tri Hita Karana. KonsepTHK saat ini menjadi konsep yang ditanamkan pada kegiatan usaha atau bisnis, guna menjagaeksistensi bisnisnya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui penerapan THK pada kegiatanbisnis di Kelompok Tani Mekar Sari, Desa Tegal Badeng Timur, Kecamatan Negara. Analisisyang dipergunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

Hasil analisis matriks invers hubungan antara semua sub sistem dari sistem teknologi dansemua sub sistem dari sistem kebudayaan dapat menggambarkan penerapan konsep THK diKelompok Tani Mekar Sari. Hasil analisis matriks inverse menggambarkan kemampuanpenerapan THK di Kelompok Tani Mekar Sari sebesar 91,96 % yang termasuk dalam kategorisangat baik dengan kata lain bahwa operasional pelaksanaan kegiatan bisnis yang dilaksanakanpada Kelompok Tani Mekar Sari akan berlanjut, sepanjang tidak ada kendala yang berarti.

Diharapkan konsep THK yang mengutamakan harmoni dan kebersamaan agar diterapkanke seluruh komponen subak. Penerapan konsep THK pada Kelompok Tani Mekar Sari agar tetapdipertahankan dengan tujuan demi keberlanjutan kegiatan bisnis yang telah dijalankan.

Kata Kunci : Bisnis, THK, Keberlanjutan

ABSTRACTThe life continuity of a venture or business definitely needs balance. To achieve that life

continuity of the venture or business, it is important to apply harmony principle and harmoniousrelationship stability which known as Tri Hita Karana (hereafter, THK). The concept of THK gotinvolved within the venture or business activity in the attempt to preserve the existence of it. Thepurpose of this study was to identify the implementation of THK in the business activity of MekarSari Farmer Group, East Tegal Badeng Village, Negara District. The used analysis was qualitativeand quantitative descriptive analysis.

The analysis result showed that the inverse matrix of the relationship between allsubsystems of the technology system and all subsystems of the culture system could describe theimplementation of THK concept in the Mekar Sari Farmer Group. The analysis result of the inversematrix showed the ability of THK implementation in Mekar Sari Farmer Group depicted a figure

Page 66: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

62

of 91,96 % which categorized “very good”, in other words, the operational implementation ofbusiness activity done by the Mekar Sari Farmer Group will be continued as long as there is nosignificant obstacle.

It is hoped that the concept of THK which prioritizes harmony and togetherness will beimplemented to all Subak components. The implementation of THK concept in Mekar Sari FarmerGroup should be maintained in the attempt to keep the sustainability of the business activity thathas been run.

Key words: business, THK, sustainability.

PENDAHULUAN

Berkembangnya perekonomian dalam suatu negara sangat ditunjang oleh kemajuan yang

dialami oleh suatu usaha/bisnis yang ada di negara tersebut, oleh karena itu organisasi dalam

sebuah usaha/bisnis merupakan komponen yang sangat menunjang untuk tercapainya visi dan misi

perusahaan dalam menghadapi dan mengantisipasi berbagai persaingan, baik ditingkat lokal

maupun global. Berkembangnya berbagai usaha/bisnis tersebut berdasarkan kepada konsep

ekonomi yaitu mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran yang

serendah-rendahnya. Dimana pada umumnya, bisnis digerakkan menurut konsep yang

menekankan efisiensi, produktivitas, dan profit. Sejak lama dunia usaha percaya bahwa satu-

satunya tanggung jawab mereka adalah membuat keuntungan bagi pemodalnya, banyak anggota

masyarakat ataupun pemerintah yang mendirikan usaha/bisnis hanya mengejar target mencari

keuntungan, dan mengabaikan aspek-aspek lain yang sebenarnya sangat vital bagi usaha/bisnis

terkadang diabaikan, misalnya hak-hak karyawan perusahaan, upah karyawan yang murah

dijadikan alasan untuk mendirikan usaha/bisnis, sumber daya alam yang melimpah diolah tanpa

memperhatikan aspek-aspek lingkungan hidup. Dengan mengabaikan berbagai aspek tersebut

perusahaan bisa meraih keuntungan yang maksimal, artinya tanggung jawab ekonomi dari

usaha/bisnis tersebut dapat dikatakan berhasil.

Untuk menjaga kesinambungan hidup suatu usaha/bisnis, sangat diperlukan keseimbangan

antara efisiensi dan efektivitas, produktivitas dan kontinyuitas (ketersediaan sumber daya), serta

antara profit dan benefit (bagi masyarakat sekitar lokal bisnis). Untuk mencapai kesinambungan

hidup usaha/bisnis tersebut maka perlu diterapkan prinsip filosofis pola keserasian dan

keseimbangan hubungan yang harmonis yang dikenal dengan nama Tri Hita Karana (Tiga hal

untuk mencapai kesejahteraan hidup). Tri Hita Karana merupakan suatu konsep hubungan yang

Page 67: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

63

harmonis yang ada dalam ajaran agama Hindu. Konsep ini sudah terbukti sebagai konsep yang

sangat penting dalam suatu kegiatan apapun dan bersifat sangat universal. Konsep ini juga

merupakan keseimbangan yang mampu menjaga sebagai stabilitator dari goncangan dan gangguan

yang mencoba mengganggu eksistensinya. Konsep Tri Hita Karana saat ini menjadi konsep yang

ditanamkan pada kegiatan usaha atau bisnis, guna menjaga eksistensi bisnisnya. Dengan kata lain,

Tri Hita Karana menjadi pondasi dari usaha-usaha bisnis, terutama di Bali. Tri Hita Karana berasal

dari kata Tri yang berarti tiga, Hita berarti kemakmuran, dan Karana berarti penyebab. Jadi, Tri

Hita Karana berarti tiga penyebab kemakmuran.

Konsep Tri Hita Karana mengandung nilai-nilai universal yang mengekspresikan pola-pola

hubungan seimbang dan harmonis. Unsur-unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana yang

berintikan unsur-unsur nilai keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan (unsur

Parahyangan). Parhyangan merupakan hubungan yang bersifat vertikal, atau hubungan antara

manusia dengan Tuhan sebagai sang pencipta. Hubungan ini merupakan wujud rasa syukur

terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena kesadaran kita semua bahwa segala sesuatunya berasal

dari Nya. Hubungan antara manusia dengan sesama (unsur Pawongan). Pawongan merupakan

hubungan yang baik antara manusia dengan manusia. Hubungan sosial yang baik akan

menciptakan keharmonisan. Dalam usaha atau bisnis, hubungan ini merupakan modal dasar dalam

membangun dan pengembangan usaha. Suatu usaha yang baik haruslah memiliki relasi yang baik,

sehingga bisa melancarkan semua kegiatan usaha yang dilakukan. Dan hubungan antara manusia

dengan alam lingkungannya (unsur Palemahan). Palemahan merupakan hubungan antara manusia

dengan alam. Hubungan ini merupakan suatu tanggung jawab sosial untuk menjaga lingkungan

sebagai ciptaan Tuhan yang sangat agung. Dalam suatu usaha, konsep palemahan sangat penting

dilakukan untuk menjaga keharmonisan, sebab apabila lingkungan sampai tereksploitasi, maka

akan berakibat buruk bagi kelangsungan usaha itu.

METODELOGI PENELITIAN

2.1 Penetuan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lokasi kegiatan Kelompok Tani Mekar Sari, Desa Tegalbadeng

Timur, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Pemilihan lokasi penelitian ini

dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu penentuan lokasi secara sengaja dengan

pertimbangan bahwa Kelompok Tani Mekar Sari, Desa Tegalbadeng Timur, Kecamatan Negara,

Page 68: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

64

Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali merupakan salah satu kelompok tani yang sudah maju dan

berkembang.

2.2 Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini menggunakan jenis dan sumber data sebagai berikut.

2.2.1 Jenis data

Berdasarkan jenisnya, penelitian ini menggunakan data kualitatif dan data kuantitatif.

Dimana:

1. Data kualitatif dalam penelitian ini adalah data mengenai gambaran umum Kelompok Tani

Mekar Sari dan gambaran umum mengenai jenis kegiatan bisnis yang dilaksanakan di

Kelompok Tani Mekar Sari .

2. Data kuantitatif dalam penelitian ini adalah nilai elemen matriks yang dilakukan diskritisasi

sistem kebudayaan dan sistem teknologi dari sistem bisnis tersebut. Dimana setiap elemen

matriks yang ada diberi skor dengan rentang 1 sampai 5 untuk mendapatkan nilai peluang

transformasi.

2.3 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut.

1. Library research, dengan melakukan riset kepustakaan terkait dengan penelitian seperti

membaca buku-buku yang terkait dengan penelitian, browsing internet, membaca hasil-

hasil penelitian yang sebelumnya yang terkait, serta studi dokumentasi yaitu dengan

mengumpulkan data dari dokumen-dokumen yang terkait penelitian.

2. Field research, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara langsung ke

lapangan atau lokasi penelitian.

2.3 Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian di lapangan dianalisis dengan menggunakan metode

analisis kuantitatif dan analisis deskriptif.

1. Metode Analisis Kuantitatif

Penerapan Tri Hita Karana (THK) pada kegiatan bisnis di Kelompok Mekar Sari dianalisis

dengan matriks hubungan antara semua subsistem dari sistem teknologi dan semua subsistem dari

sistem kebudayaan. Dimana teknologi sebagai suatu sistem memiliki lima subsistem yaknis:

software (konsep/pola pikir), hardware (kebendaan), humanware (tenaga kerja yang berkait

kemampuannya dengan teknologi tersebut), organoware (organisasi/manajemen), dan infoware

Page 69: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

65

(informasi yang berkait dengan teknologi tersebut). Sementara itu, sistem kebudayaan memiliki

tiga subsistem yaitu pola pikir/konsep, sosial, dan artefak/kebendaan. Dimana matriks hubungan

antara semua subsistem dari sistem teknologi dan semua subsistem dari sistem kebudayaan

tersebut akan dibahas, yakni sebagai berikut. Matriks hubungan antara semua subsistem dari

sistem teknologi dan semua subsistem dari sistem kebudayaan:

a. Bentuk matriks dari hubungan antar elemen sistem bisnis yang berlandaskan Tri Hita Karana

Agar hubungan fungsional elemen-elemen sistem bisnis itu dapat dicirikan perilakunya, maka

dalam kajian metodologis ini dilakukan penyederhanaan (simplifikasi), yakni dengan

melakukan diskritisasi.

3534333231

2524232221

1514131211

aaaaa

aaaaa

aaaaa

aA ij

Keterangan:

A = sistem bisnis yang berlandaskan Tri Hita Karana

aij = elemen-elemen dari hubungan semua subsistem dari sistem kebudayaan dengan semua

subsistem dari sistem teknologi.

i = sistem kebudayaan (1= budaya/pola pikir; 2= sosial; 3= kebendaan/artefak).

j = sistem teknologi (1= software; 2= hardware; 3= humanware; 4= organoware; 5=

infoware).

b. Kinerja sistem bisnis ideal

Kinerja sistem bisnis ideal yang dinyatakan dengan A (aij) akan serupa bila persyaratan

elemen aij terpenuhi, meskipun berada dalam lingkungan yang berbeda. Selanjutnya, kalau

dilakukan perbaikan pada elemen aij maka ada peluang kinerja sistem bisnis tersebut mencapai

kinerja ideal. Andaikan kinerja matriks sistem bisnis ideal dinyatakan dengan matriks H (hij),

maka diperoleh hubungan sebagai berikut.

A . X = H ........................................................................................... (1)

Karena berbagai elemen sistem bisnis berbentuk matriks, maka matriks tersebut bisa memiliki

bentuk transformasi (Chapra & Canale, 1985; Supranto, 1992; Suwondo, 1993). Nilai

transformasinya dapat diketahui dengan melihat nilai matriks X , yang diperoleh dengan

menghitung hasil kali inverse matriks A , sebagai berikut.

Page 70: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

66

X =1

A H .......................................................................................... (2)

Keterangan:

A = matriks sistem bisnis (yang senyatanya/saat penelitian) (n x n).

H = matriks sistem bisnis (ideal) (n x n).

X = matriks sistem bisnis (transformasi) (n x n).

1A = inverse A (n x n).

Matriks X dalam persamaan (1) dapat dikatakan sebagai model/bentuk matriks transformasi,

karena mentransformasikan sistem bisnis dengan ciri kinerja tertentu ke bentuk bisnis dengan

kinerja ideal, sesuai dengan landasan Tri Hita Karana. Perbedaan matriks A dan X dinyatakan

dengan nilai determinannya (D).

c. Nilai peluang transformasi sistem bisnis

Beda absolut antara D matriks sistem bisnis senyatanya dengan D matriks bisnis transformasi,

merupakan nilai peluang transformasi sistem bisnis yang bersangkutan.

Z = (D – D*)/D x 100% ......................................................................... (3)

Keterangan:

Z = koefisien peluang transformasi.

D = determinan matriks A .

D* = determinan matriks X .

Tabel 2.1 Matriks hubungan antara semua subsistem dari sistem teknologi dan semuasubsistem dari sistem kebudayaan

Subsistem PolaPikir

Subsistem Sosial SubsistemArtefak/

Kebendaan

Subsistem Software (Pola Pikir)

Subsistem Hardware (Artefak)

Subsistem Humanware (Sosial)SubsistemOrganowareSubsistemInfoware

Page 71: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

67

d. Analisis inverse

Analisis inverse dilakukan karena hasil inverse yang mempunyai nilai sama dengan satu dari

matriks hubungan hubungan gatra teknologi dan gatra kebudayaan sistem bisnis yang akan

ditransformasi. Dalam melakukan matriks inverse ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, kalau matriksnya belum merupakan matriks kuadrat, maka untuk menjadikannya

matriks kuadrat, persamaan matriks (1) harus dikalikan dulu dengan matriks transpose dari

matriks yang akan diinverse (Jhonston, 1984), sehingga rumusnya menjadi:

A . X = H

TA A . X = H

( TA A ) X = H

X = ( TA A )-1 H ................................................................................. (4)

Kedua, kalau determinannya sama dengan nol, maka matriks itu tidak akan dapat berproses

atau tidak memiliki solusi. Ini berarti bahwa matriks transformasinya adalah sama dengan nol,

atau tidak ada matriks transformasi. Namun Nurrochman (1998) memberikan solusi

matematis terhadap matriks yang memiliki determinan sama dengan nol, yakni dengan cara

memanipulasi matriks tersebut. Cara memanipulasi matriks sebagai berikut.

i. Ambillah atau buang salah satu kolom dari matriks X sehingga matriks X akan

menjadi matriks *X .

ii. Ambillah atau buang salah satu baris dari matriks A yang sesuai dengan butir i di atas,

sehingga matriks A menjadi matriks *A .

Selanjutnya seperti terlihat pada persamaan (3), yakni setelah matriks X dapat dihitung, dan

matriks A diketahui, maka kedua matriks itu dapat dibedakan dengan menghitung

determinan (D).

Nilai Z pada persamaan (3) menunjukkan nilai peluang perusahaan (bisnis) sampel untuk

ditransformasi. Sistem bisnis dapat ditransformasikan (diketahui kemampuan penerapan

THK-nya), ditentukan oleh nilai absolut prbedaan determinan D dan D*, dan atau nilai D*

adalah nol, maka bisnis tersebut tidak dapat ditransformasikan (tidak

mentransformasikan/menerapkan Tri Hita Karana). Suatu sistem bisnis dapat

ditransformasikan (memiliki nilai penerapan Tri Hita Karana) bila nilai D>D*>0.

Makin besar nilai Z, maka makin besar kemampuan bisnis itu melakukan penerapan Tri Hita

Karana. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut.

Page 72: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

68

i. Bilai nilai Z, 0<Z<33% dapat diartikan kurang baik penerapan Tri Hita Karana-nya.

ii. Bilai nilai Z, 33%≤Z<67% dapat diartikan cukup baik penerapan Tri Hita Karana-nya.

iii. Bilai nilai Z, 67%≤Z<100% dapat diartikan baik penerapan Tri Hita Karana-nya.

2. Analisis Deskriptif

Jenis kegiatan bisnis yang dilaksanakan di Kelompok Mekar Sari digunakan analisis

deskriptif. Metode analisis deskriptif merupakan metode penyajian analisis penafsiran data dengan

mendeskripsikan suatu fenomena sosial dan lingkungan dengan menginterpretasikan terhadap

fakta-fakta yang ada di lapangan.

3.1 Analisis Deskriptif

Berdasarkan hasil wawancara maka diketahui matrik harapan ideal dan keadaan aktual

yang dapat dilihat pada Tabel 3.2 dan Tabel 3.3 sebagai berikut.

Tabel 3.1 Matrik Keadaan Harapan Ideal (H)SubsistemPola Pikir

SubsistemSosial

SubsistemArtefak/

KebendaanSubsistem Software (Pola Pikir) 5,00 5,00Subsistem Hardware (Artefak) 5,00 5,00Subsistem Humanware (Sosial) 4,25 5,00Subsistem Organoware 5,00 5,00 5,00

Subsistem Infoware 5,00 5,00 5,00

Page 73: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

69

Tabel 3.2 Matrik Keadaan Aktual (A)

SubsistemPola Pikir

SubsistemSosial

SubsistemArtefak/

KebendaanSubsistem Software (PolaPikir)

4,67 4,20

Subsistem Hardware(Artefak)

5,00 4,83

Subsistem Humanware(Sosial)

3,50 4,80

Subsistem Organoware 4,50 4,45 4,67

Subsistem Infoware 3,75 5,00 4,67

3.2 Analisis Determinan Matriks

Penerapan THK pada kelompok tani mekar sari dapat kita lihat dengan memperhatikan

hasil perhitungan dari kedua matriks yaitu matriks harapan ideal dengan matriks keadaan aktual.

Dengan perhitungan sebagai berikut :

0,00 4,67 4,20 0,00 5,00 5,005,00 4,83 0,00 5,00 5,00 0,003,50 0,00 4,80 4,25 0,00 5,004,50 4,45 4,67 5,00 5,00 5,003,75 5,00 4,67 5,00 5,00 5,00

A HHasil Penormalan Matrik A

0,000 4,934 0,8751,000 0,966 0,0000,700 0,000 1,0000,900 0,890 0,9730,750 1,000 0,973

Transpose Matrik A0.000 1,000 0,700 0,900 0,7500,934 0,966 0,000 0,890 1,0000,875 0,000 1,000 0,973 0,973

Page 74: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

70

Hasil Perkalian A.AT

1,638 0,902 0,8750,902 1,933 0,7000,875 0,700 1,490

Matriks Invers A.AT

1,027 -0,314 -0,455-0,314 0,720 -0,153-0,455 -0,153 1,011

Determinan Matrik A: 2,328

Hasil Penormalan Matrik H

0,000 1,000 1,0001,000 1,000 0,0000,850 0,000 1,0001,000 1,000 1,0001,000 1,000 1,000

Hasil Perkalian H.AT

1,809 0,966 1,0000,934 1,966 0,7000,875 0,850 1,595

Matriks Invers A.AT. H.AT= X

1,166 -0,013 0,081-0,031 0,981 -0,055-0,083 -0,118 1,049

Matrik Invers X

0,854 0,019 -0,0650,031 1,014 0,0510,064 -0,112 0,942

Deteminan Matrik X: 1,213

Page 75: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

71

Nilai penerapan THK yaitu 91,96152% yang termasuk dalam kategori sangat baik, dimana

kegiatan bisnis pada kelompok tani mekar sari telah beroperasi dengan baik dan berlanjut. Hal ini

tampaknya mengindikasikan bahwa nilai penerapan THK sebesar 91,96152% sudah cukup untuk

menilai bahwa operasional pelaksanaan kegiatan bisnis yang dilaksanakan pada kelompok tani

akan berlanjut, sepanjang tidak ada kendala yang berarti.

5.4 Jenis Kegiatan Bisnis yang Dilaksanakan Di SIMANTRI 096

Jenis kegiatan bisnis yang dilaksanakan oleh kelompok adalah produksi pupuk organik

yaitu pupuk kompos dan pupuk cair (biourine). Kotoran ternak padat maupun cair diolah menjadi

pupuk organik berkualitas. Kotoran ternak padat dimanfaatkan oleh kelompok untuk diolah atau

difermentasi menggunakan fermentor di tempat pengolah kompos dan sebagian kotoran ternak

dimanfaatkan sebagai bahan isian biogas. Kotoran ternak sebelum diolah atau difermentasi

menggunakan fermentor dikeringkan selama ± 2 - 3 hari kemudian setelah setengah kering maka

kotoran ternak tersebut diolah.

Jumlah pupuk kompos yang diproduksi oleh kelompok dari Tahun 2013 hingga Tahun

2016 sebesar 9.438.615 kg. Harga pupuk kompos yang dipasarkan per kg yaitu Rp 1.000,00. Total

pendapatan yang telah diperoleh kelompok dari hasil penjualan pupuk kompos dari Tahun 2013

hingga Tahun 2016 sebesar Rp 9.438.615.000,00.

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan seperti disajikan pada bab sebelumnya, maka

dapat disimpulkan penerapan Tri Hita Karana pada kegiatan bisnis di Kelompok Tani Mekar Sari

sebagai berikut.

1. Nilai penerapan THK pada Kelompok Tani Mekar Sari yaitu 91,96152 % yang termasuk

dalam kategori sangat baik. Nilai penerapan THK sebesar 91,96152 % sudah cukup untuk

menilai bahwa operasional pelaksanaan kegiatan bisnis yang dilaksanakan pada Kelompok

Tani Mekar Sari akan berlanjut, sepanjang tidak ada kendala yang berarti.

2. Jenis kegiatan bisnis yang dilaksanakan di Kelompok Tani Mekar Sari adalah pengolahan

limbah ternak padat menjadi pupuk kompos, pengolahan limbah cair menjadi pupuk cair

(biourine), dan memproduksi beras sehat.

Page 76: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

72

4.2 Saran

Berdasarkan hasil penilaian terhadap penerapan Tri Hita Karana pada kegiatan bisnis di

Kelompok Tani Mekar Sari maka dapat diberikan saran sebagai berikut.

1. Penerapan Tri Hita Karana pada kegiatan bisnis di Kelompok Tani Mekar Sari agar tetap

dipertahankan dengan tujuan demi keberlanjutan kegiatan bisnis yang telah dijalankan.

2. Kegiatan bisnis baik di sektor pertanian, sektor perkebunan, sektor peternakan, sektor

pariwisata, sektor ekonomi dan sektor lainnya agar menerapkan Tri Hita Karana pada kegiatan

bisnis yang dijalankan dengan tujuan untuk keberlanjutan dari bisnis tersebut.

3. Pemerintah sebagai pemberi ijin agar menghimbau kepada pelaku bisnis mengenai pentingnya

penerapan Tri Hita Karana (THK) demi menciptakan keharmonisan antara manusia dengan

Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Aspek Sosial dan Ekonomi. http:id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_sosial

Antara, M. 2006. Bahan Ajar Mata Kuliah Metode Penelitian Agribisnis. Fakultas Pertanian,Univesitas Udayana. Denpasar.

Departemen Pertanian RI. 1980. Petani, Kelompok Tani, Pedoman Teknis Optimasi Lahan.Jakarta. http://www.antaranews.com/berita.

Hakim, A. 2004. Statistik Deskriptif untuk Ekonomi dan Bisnis. Ekonosia.Jakarta.

Hernanto, F. 1989. Ilmu -ilmu Usahatani. Peneber Swadaya, Jakarta.

Herry. 2010. Pengertian Aspek Sosial Ekonomi Dunia. Jakarta. http://www.aspeksosial&ekonomi.com.

Nurgiyantoro, B. 1998. Penelitian Dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta : BPME,UGM.

Sano Maulana, R. 2010. Indeks dan Model Ketahanan Pangan Di Tingkat Rumah Tangga PadaSubak Anggabaya di Kota Denpasar. Skripsi tidak dipublikasikan. Program studiAgribisnis. FP UNUD Denpasar

Soekartawati. 1995. Ilmu Usaha Tani. PT. Raja Grafindo, Jakarta.

Sukanto, 1986. Pengertian Gapoktan Gabungan Kelompok Tani.http://www.PENYULUHTHL.WORDPRESS.com Jakarta.

Page 77: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

73

Windia, W. 2005. Bahan Perkuliahan Sistem Irigasi Subak di Bali. Fakultas Pertanian,Universitas Udayana. Denpasar.

Page 78: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

73

USAHATANI PADI DAN BAWANG MERAH MENDUKUNGPENDAPATAN DI PETANI DI KALIMANTAN SELATAN

Oleh : Rismarini ZuraidaE-mail : rismarini [email protected]

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan SelatanJln. Panglima Batur Barat No : 4 Banjarbaru Kalimantan Selatan

Telp :0511-4772346 Fax :0511-781810

ABSTRAK

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penunjang yang sangat penting daripembangunan ekonomi di Indonesia. Komoditas hortikultura telah mendapatkan perhatian disamping tanaman pangan. Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikulturaterutama untuk daerah Kalimantan yang secara nasional diprioritaskan pengembangannya.Kabupaten Tapin merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Propinsi KalimantanSelatan yang memulai untuk mengembangkan bawang merah. Melihat laju pertumbuhanpenduduk yang begitu cepat, kebutuhan pasar yang meningkat dan harga jual yang tinggimerupakan faktor yang dapat merangsang petani untuk dapat meningkatkan produksi bawangmerah dari segi kuantitas maupun kualitas yang akhirnya meningkatkan pendapatan petani.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pendapatan usahatani padi dan bawang merahmenunjang pendapatan petani. Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan cara sengaja(purposive) yaitu bertempat di Desa shabah Kecamatan Bungur Kabupaten Tapin padaDesember 2015. Penelitian di laksanakan dengan observasi lapangan yang difokuskan padapermasalahan dan peluang pengembangan usahatani padi dan bawang merah. Sedangkandata yang di ambil pada penelitian ini yaitu data primer yang di ambil dari petani dan dataskunder adalah data penunjang yang diambil dari Instansi terkait. Metode pengumpulan datayaitu dengan wawancara secara kelompok (Fokos Group Discoution). Data dianalisis secaradeskreftif dan analisis Finansial. Hasil kajian menunjukan bahwa menanam bawang merahdengan luas pengusahaan sekitar 0,5 Hektar produktivitas bawang merah 6 ton denganpenerimaan sebesar Rp 60.000.000,- dengan biaya produksi sebesar Rp 35.000.000,- (R/Cratio : 1,71) dan Komoditas Padi hanya cukup di komsumsi dalam dalam setahun biasanyajuga ditanam 0,5 Ha dengan tingkat produksi 4 ton dengan penerimaan sebesar Rp24.000.000,- dan biaya produksi sebesar Rp 15.000.000,- ( nilai R/C Ratio : 1,6 )Jadi dengan mengusahakan padi dan bawang merah memang sudah menguntungkanditunjukan R/C Ratio > 1. tapi perlu perbaikan teknologi dan pengelolaan lahan yang baikuntuk pengembangan selanjutnya karena berpeluang di kembangkan.

Kata kunci : Pendapatan,padi, Bawang Merah

Page 79: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

74

PENDAHULUAN

Sektor pertanian merupakan sektor yang memegang peran strategis dalam pembangunan

nasional karena diantaranya sebagai sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, kontributor

terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto, sumber devisa, bahan baku

industri, sumber bahan pangan dan gizi, serta pendorong bergeraknya sektor-sektor riil

lainnya. Oleh sebab itu, sektor pertanian masih merupakan prioritas pembangunan secara

nasional maupun regional. Menonjolnya sektor pertanian terutama ditunjang oleh

ketersediaan lahan yang cukup dan subur, serta iklim tropis yang cocok untuk kegiatan

pertanian. Dengan alasan ini maka peningkatan kapasitas produksi pertanian merupakan

salah satu jalan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.

Meskipun demikian, sektor pertanian umumnya masih dihadapkan pada beberapa

permasalahan seperti, keterbatasan modal yang dimiliki petani dan pelaku usaha pertanian

lainnya. Kebutuhan modal yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun beriringan dengan

semakin melonjaknya harga input pertanian, seperti pupuk, pestisida maupun upah tenaga

kerja. Dengan kecenderungan seperti ini, maka pembiayaan yang selama ini mengandalkan

subsidi pemerintah semakin tidak memadai serta bukan pilihan yang bijaksana mengingat

semakin besarnya beban anggaran yang harus ditanggung oleh pemerintah untuk membiayai

pembangunan secara keseluruhan.

Disamping itu pula, peningkatan kebutuhan komoditi pertanian dalam negeri maupun

luar negeri seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, mendorong usaha untuk

meningkatkan produksi pertanian merupakan langkah yang strategis. Dalam kondisi yang

demikian, maka usahatani dilakukan harus dengan pertimbangan produksi yang efisien secara

teknis maupun finansial. Usahatani komoditi pertanian diarahkan untuk terciptanya usahatani

yang memiliki daya saing dan kemampuan produksinya yang dapat memenuhi permintaan

pasar guna mencapai keuntungan maksimum bagi petani dan pelaku usaha pertanian lainnya.

Kondisi inilah yang pada akhirnya memberikan harapan jaminan meningkatnya kesejahteraan

para pelaku usahatani.

Tanaman holtikultura seperti bawang merah merupakan jenis komoditi pertanian

tanaman pangan yang mampu mempunyai kedudukan sangat penting dalam kehidupan

ekonomi masyarakat maupun dalam perekonomian nasional. Selain sebagai komoditas yang

secara luas dan umum dikembangkan oleh masyarakat, bawang merah mempunyai nilai

ekonomi yang tinggi karena memiliki peluang pasar domestik dan luar negeri yang cukup

Page 80: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

75

baik guna meningkatkan pendapatan petani maupun devisa Negara yaitu dari komoditi non

migas.

Dalam agribisnis hortikultura ada beberapa ciri khas khusus yang dimiliki antara lain :

1. Usahatani yang dilakukan lebih berorentasi

2. Bersifat padat modal

3. Resiko harga relative tinggi karena cepat rusak

4. Harga sangat berfluktutif,

Jadi posisi tawar petani sangat lemah karena petani sayuran ( bawang merah dan

cabai) biasanya panen raya yang bersamaan waktu sejalan dengan penelitian ( Hadi et

al, 2000)

Di Kabupaten Tapin khusus desa Shabah usahatani bawang merah dan cabai memiliki

perkembangan produksi yang cukup baik. Hal ini seperti ditunjukkan dengan jumlah

produksi yang meningkat dari tahun ke tahun yang di dukung oleh pemerintah daerahnya .

Dari yang mulai kategore Inisiasi dan saat ini terus berkembang.

Bawang merah dan cabai sebagai salah satu jenis tanaman holtikultura umumnya

mempunyai sifat-sifat seperti diproduksi musiman, selalu segar, jumlahnya banyak tapi

nilainya relative kecil, tanaman lokal yang spesifik dimana tidak dapat diproduksi disetiap

tempat. Dengan sifat-sifatnya ini, maka sangat berpengaruh pada mekanisme produksi

sehingga sering terjadi harga produksi komoditi bawang merah di pasar berfluktuasi tajam.

Apabila hasil produksi pertanian berfluktuasi maka yang sering dirugikan adalah pihak petani

atau produsen (Soekartawi, 2005).

Dengan disadarinya potensi produksi komoditi bawang merah dan cabai di Kabupaten

Tapini, maka penting dalam proses pembangunan melalui sektor pertanian untuk

mempertimbangkan pengembangan produksi komoditi bawang merah dan cabai . Akan

tetapi, masalah alokasi modal untuk pembiayaan input produksi yang menjadi kendala dalam

usahatani merupakan hal yang membutuhkan perencanaan dengan tepat dan penggunaannya

saprodi yang efisien. Oleh karena itu, maka dapat melahirkan program-program

pengembangan produksi komoditi bawang merah dan cabai yang bersifat antisipatif dan

memberikan jaminan tercapainya tujuan meningkatknya produksi untuk memaksimumkan

keuntungan petani dan daerah.

Page 81: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

76

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan Desa Shabah Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan,

dilaksanakan yaitu bulan Mei 201. Tujuan penelitian ini yaitu melihat kelayakan usahatani

padi dan bawang merah sebagai komoditas yang dominan di lahan Tadah Hujan dengan

permasalahannya. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode survey melalui pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal), PRA adalah

metode penelitian partisipatif dengan melibatkan masyarakat dalam penelitian untuk menilai

potensi dan masalah di pedesaan. Metode partisipatif ini berorientasi pada proses

pembelajaran dan melibatkan sebanyak mungkin berbagai kalangan masyarakat (Chambers,

1996). Data skunder diperoleh dari kepustakaan dan Instansi terkait di Kalimantan Selatan,

data yang dikumpulkan dianalisis secara diskreptif dan analisis kelayakan Finansial (analisis

biaya dan pendapatan).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknologi Budidaya Bawang Merah dan cabai di Lahan Petani

1. Teknologi Budidaya Padi

2. Teknologi Budidaya Bawang Merah

Pengolahan Tanah

Setelah lahan dibersihkan dari gulma dan tumbuhan liar lainnya, maka sebaiknya

pada permukaan tanah disebar pupuk kandang dengan dosis 0,5-1 ton/ 1000 m2.

Tanah yang sudah ditamburi pupuk kandang kemudian diluku dan digaru dan kondisi

ini biarkan selama waktu kurang lebih 1 minggu. Hal lainnya yang harus dilakukan

adalah membuat bedengan dengan lebar 120 -180 cm. Perlu diperhatikan bahwa

diantara bedengan pertanaman dibuat saluran air (canal) dengan lebar 40-50 cm dan

kedalaman 50 cm. Bila pH tanah kurang dari 5,6, maka sebaiknya diberi Dolomit

dosis + 1,5 ton/ha disebarkan di atas bedengan dan diaduk rata dengan tanah lalu

biarkan 2 minggu. .

Pupuk

Pupuk yang di pergunakan di petani (80%) memakai pupuk majemuk, pupuk kandang

dan kapur dolomite) sebagai pupuk dasar Pupuk secara merata diatas bedengan dan

diaduk rata dengan tanah sebagai pupuk dasar. Pupuk buatan ( pupuk Phonska)

Page 82: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

77

diberikan 3 kali pemberian yang pertama (I) diberikan 30 Kg/Ha sebelum ditanam (0

hari). Pupuk II 30 Kg pada saat tanaman umur 15 hari dan pemupukan III diberikan

pada tanaman umur 30 hari yaitu 30 kg/Ha

Pemilihan Bibit

Petani dalam hal memilih bibit tidak bisa memilih bibit yang memenuhi syarat di

karenakan bibit yang ada tidak banyak tersedia di tempat. Ukuran umbi bibit yang

optimal adalah 3-4 gram/umbi. Sementara umbi bibit yang baik adalah umbi yang

telah disimpan 2-3 bulan dan umbi masih dalam ikatan (umbi masih ada daunnya).

Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah umbi bibit harus sehat, ditandai dengan

bentuk umbi yang kompak (tidak keropos), kulit umbi tidak luka (tidak terkelupas

atau berkilau).

Jarak Tanam

Jarak tanam yang digunakan petani kebanyakan pada adalah 15 x 15 cm dengan

jenis tanaman adalah varietas Bima, sementara untuk musim penghujan jarak

tanaman adalah berukuran 20 x 15 cm. Juga tergantung pada tujuan penanamannya

baik untuk bibit kembali atau untuk konsumsi.

Penyiangan dan Pembumbunan

Penyiangan pertama dilakukan umur 7-10 HST dan dilakukan secara manual untuk

membuang gulma atau tumbuhan liar. Dilakukan pendangiran, yaitu tanah di sekitar

tanaman didangir dan dibumbun agar perakaran bawang merah selalu tertutup tanah.

Selain itu bedengan yang rusak atau longsor perlu dirapikan kembali dengan cara

memperkuat tepi-tepi selokan dengan lumpur dari dasar saluran.

Pengairan

Pada awal pertumbuhan dilakukan penyiraman dua kali, yaitu pagi dan sore hari.

Penyiraman pagi hari usahakan sepagi mungkin di saat daun bawang masih

kelihatan basah untuk mengurangi serangan penyakit. Penyiraman sore hari

dihentikan jika persentase tanaman tumbuh telah mencapai lebih 90 %.

Pengamatan Hama dan Penyakit

Hama Ulat bawang, S. litura dan S. exigua Thrips, mulai menyerang tanaman pada

umur 30 hari setelah tanam. Hal ini disebabkan karena kelembaban di sekitar

Page 83: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

78

tanaman relatif tinggi dengan suhu rata-rata diatas normal. Daun bawang yang

terserang warnanya putih berkilat seperti perak. Serangan berat terjadi pada suhu

udara diatas normal dengan kelembaban diatas 70%. Jika ditemukan serangan,

penyiraman dilakukan pada siang hari, amati predator kumbang macan. Populasi

diatas ambang ekonomi kendalikan dengan BVR atau PESTONA.

Panen dan Pasca Panen

Petani melihat daunnya bila 60-90 % daun telah rebah panen siap di panen, dataran

rendah pemanenan pada umur 55-70 hari. Panen dilakukan pada pagi hari.

Pemanenan dengan pencabutan batang dan daun-daunnya. Selanjutnya 5-10 rumpun

diikat menjadi satu ikatan. Penjemuran pertama selama 5-7 hari dengan bagian

daun menghadap ke atas, tujuannya mengeringkan daun. Penjemuran kedua

selama2-3 hari dengan umbi menghadap ke atas, tujuannya untuk mengeringkan

bagian umbi dan sekaligus dilakukan pembersihan umbi dari sisa kotoran atau kulit

terkelupas dan tanah yang terbawa dari lapangan.

Page 84: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

79

ANALISIS FINANSIAL USAHATANI PADI DAN BAWANG MERAH

Tabel 1. Analisis Finansial Usahatani Padi dan Bawang merah Per Hektar Di Desa ShabahKabupaten Tapin Di Lahan Tadah Hujan Kalimantan Selatan tahun 2016

U r a i a n Padi Bawang MerahFisik Nilai (Rp) Fisik Nilai (Rp)

a. Penerimaan 6 60.000.000b. Saprodi :

Benih 550 27.500.000Urea (kg)Ponska (Kg) 500 1.500.000

Pupuk Kandang 4 1 .000.000

Kapur/dolomit 1 500.000Polybag -Tonggak/batang -Obat-obatan (padat,cair) 1 300.000

c. Tenaga kerja :Pengolahan lahan 20 1.000.000Penanaman 20 1000.000Pemupukan 6 300.000Pemeliharaan/peniangan 16 800.000

Penen & Pasca Panen 20 1.000.000d. Total biaya 34.900.000e. Pendapatan 25.100.000f. R/C Rasio 1,71

Pada Tabel 1 diatas menunjukan bahwa usahatani cabai dan bawang merah layak diusahakan

ini terlihat dari pendapatannya cabai mencapai Rp 27.950.000,- dan bawang merah Rp

25.100.000,- dengan total biaya (saprodi dan tenaga kerja) masing-masing untuk cabai

sebesar Rp 23.050.000,- ( R/C Ratio > 2,16). dan untuk bawang merah sebesar Rp

34.900.000,- ( R/C Ratio > 1,71). (Soekartawi. 1995). Melihat itu semua cabai dan bawang

merah di desa ini mempunyai peluang untuk ditingkatkan dilihat dari tekhnologi cabai dan

bawang merah yang masih sederhana.

PELUANG PENGEMBANGAN

Melihat dari produktivitas dan pendapatan serta R/C Ratio yang di peroleh maka

berpeluang besar untuk dikembangkan, dengan memperhatikan beberapa factor diantaranya :

Page 85: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

80

(1) Penggunaan varietas unggul spesifik lokasi. (2) Efisiensi pemupukan. (3) Pengendalian

gulma secara langsung atau secara tidak langsung. (4) Pengendalian hama penyakit tanaman.

Penggunaan Varietas unggul spesifik lokasi, harus dilihat beberapa varietas yang benar-benar

adaftif di lokasi/lahan tersebut sehingga mendapat produktivitas yang optimal. Efisiensi

pemupukan kita harus sesuai dengan rekomendasi yang sesuai dengan lokasi tersebut

sehingga hemat biaya dan tenaga. Untuk pengendalian hama dan penyakit kita harus

monitoring secara terus menerus jadi seandainya ada terdapat gejala kita cepat antisipasi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Usahatani Bawang merah dan cabai yang diusahakan sangat menguntungkan petani

ini terlihat dari pendapatan yang mencapai untuk bawang merah Rp 25.100.000,- dan untuk

cabai Rp 27.950.000 . Ini terlihat dari R/C Ratio 2,16 untuk bawang merah dan R/C Ratio

1.71 untuk cabai (R/C Ratio > 1) layak diusahakan dalam upaya peningkatan pendapatan

dengan keadaan ini berarti mempunyai prospek untuk ditingkatkan lagi melalui (1) Inovasi

teknologi dan (2) Pengendalian hama dan penyakit dengan memperhatikan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Chambers, R. 1996. PRA (Participatory Rural Appraisal) Memahami Desa SecaraPartisipatif. Kanisius. Yogyakarta.

Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia. Jakarta. Hadi et al, 2000)

Page 86: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

81

ANALISIS PERSEPSI PETANI CABAITERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

I Nyoman Gede Ustriyana1), Ida Ayu Listia Dewi1)

1)Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas UdayanaE-mail : [email protected]

ABSTRAK

Indonesia sebagai negara agraris berupaya merespon tentang pentingnya pembangunanberkelanjutan melalui berbagai program maupun kegiatan, dan petani sebagai ujungtombak pelaksana pertanian berkelanjutan perlu dimintakan pendapatnya. Tujuanpenelitian ini 1) melihat karakteristik petani melalui analisis deskriptif, 2) melihat tingkatpersepsi petani terhadap pertanian berkelanjutan dan 3) melihat hubungan karakteristikpetani dengan kemungkinan implementasi melalui pendekatan korelasi Rank Spearmandan Chi- square. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan tergolongtinggi, sebanyak 43,33 persen masuk kategori tamat SMA dan hanya 1,67 persen tidakmenamatkan SD. Pengetahuan petani tentang konsep pertanian berkelanjutan tergolongbaik, 66,67 persen responden menjawab benar tentang definisi pertanianberkelanjutan.Persepsi responden terhadap konsep pertanian berkelanjutan menunjukkanhasil yang cukup baik. Hanya variabel pendidikan dan pengetahuan pertanianberkelanjutan yang memiliki hubungan nyata dengan persepsi pertanian berkelanjutan.Analisis hubungan antara persepsi pertanian berkelanjutan dengan keputusan implementasipertanian berkelanjutan, tidak ada hubungan yang nyata, kecuali hubungan antara dimensilingkungan dengan variabel alasan mengusahakan cabai. Akses ke penyuluh berhubungannyata dengan sumber informasi yang mempengaruhi usahatani cabai, dan pengetahuanpertanian berkelanjutan berhubungan nyata dengan sumber informasi yang mempengaruhiusahatani cabai dan menanam kembali cabai di kemudiaan hari dengan konsep pertanianberkelanjutan.

Kata kunci: pertanian berkelanjutan, persepsi petani, analisisrank spearman, chi square

PENDAHULUAN

Pentingnya pembangunan pertanian berkelanjutan telah dirasakan oleh

pemimpin dunia. Berbagai forum diskusi resmi maupun melalui langkah

konkritintroduksi program oleh lembaga internasional di berbagai negara

menunjukkan keseriusan para pemimpin dunia akan pentingnya pembangunan

pertanian berkelanjutan. Indonesia sebagai negara agraris telah berupaya merespon

tentang pentingnya pembangunan berkelanjutan melalui berbagai bentuk program

maupun kegiatan.Begitu juga untuk usahatani cabai di Kabupaten Bangli telah

diupayakan untuk menerapkan usahatani cabai berkelanjutan yang diprakarsai

Dinas Pertanian Tanaman Pangan.Implementasi penerapan pertanian berkelanjutan

oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bangli diwujudkan dalam bentuk program

peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas dan mutu produk tanaman

Page 87: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

82

sayuran dan tanaman obat berkelanjutan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan

Kabupaten Bangli 2014).

Petani sebagai ujung tombak pelaku pembangunan pertanian berkelanjutan

perlu diminta pendapatnya, yaitu dengan cara mengkaji persepsi mereka terhadap

pembangunan pertanian berkelanjutan. Apabila petani memiliki persepsi baik

terhadap pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pada akhirnya akan

membantu pemerintah untuk mengimplementasikannya di tingkat lapang.

Penelitian tentang persepsi masyarakat terkait dengan pembangunan

berkelanjutan telah banyak dilakukan. Nugraha et al. (2008) misalnya menemukan

adanya hubungan positif antara persepsi dengan partisipasi masyarakat terhadap

pengembangan kota yang berwawasan lingkungan. Sebaliknya Baba et al. (2011)

yang mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi peternak sapi

perah dalam penyuluhan di kabupaten Enrekang dengan pendekatan

StructuralEquation Modelling (SEM), diperoleh kesimpulan adanya pengaruh

negatif

karakteristik peternak dengan persepsi, demikian juga terlihat adanya pengaruh

negative karakteristik peternak terhadap partisipasi penyuluh baik langsung

maupun tidak langsung. Hubungan negatif juga terjadi antara persepsi dengan

partisipasi peternak.Penelitian Tathdil et al. (2009) tentang persepsi petani terhadap

pertanian berkelanjutan dan faktor-faktor penentunya di Turkey

menyimpulkansemakin tinggi status ekonomi (sering kontak dengan penyuluh,

pendidikan tinggi, kepemilikan lahan dan lainnya) dan semakin besar akses

informasi maka semakin positif dalam mengambil keputusan untuk mempraktekan

pertanian berkelanjutan.

Hasil studi ini juga menyimpulkan, jika para pembuat kebijakan dan

organisasi penyuluhan fokus pada faktor-faktor tersebut, maka tingkat keberhasilan

petani ke arah pertanian berkelanjutan lebih mudah tercapai.

TUJUAN

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui karakteristik petani cabai dan persepsi petani terhadap

pembangunan pertanian berkelanjutan;

Page 88: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

83

2. Mengetahui hubungan antara karakteristik petani cabai dengan persepsi

pembangunan pertanian berkelanjutan;

3. Menganalisis hubungan persepsi pembangunan pertanian berkelanjutan dari

petani cabai dengan keputusan untuk menerapkan pertanian berkelanjutan.

METODOLOGI

Data yang digunakan untuk analisis persepsi pembangunan pertanian

berkelanjutan adalah data primer yang diperoleh melalui wawancara dengan

bantuan kuesioner terstruktur kepada 60 responden.Responden adalah petani yang

telah dipilih secara acak (simple random sampling) dari satu kecamatan di

Kabupaten Bangli, yaitu Kecamatan Kintamani, yang merupakan sentra

pengembangan cabai.

Kuesioner berisi tiga substansi, yaitu: 1) konsep pembangunan pertanian

berkelanjutan yang mencakup tiga dimensi yaitu dimensi ekonomi, sosial dan

lingkungan, masing-masing berisi 10 variabel keberlanjutan, 2) karakteristik

responden dan 3) keputusan implementasi pertanian berkelanjutan. Survei

direncanakan dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2016.

Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan terdiri tiga dimensi yaitu ekonomi,

sosial dan lingkungan.Variabel dimensi keberlanjutan dipilih berdasarkan beberapa

referensi hasil penelitian.Hayati et al. (2011) menggunakan variabel keberlanjutan

yang diambil dari survei wawancara kepada petani responden.Pada saat survei,

responden diminta untuk menjawab pernyataan keberlanjutan dari masing-masing

dimensi.

Dari setiap dimensi dibuat 10 variabel, sehingga untuk tiga dimensi

ekonomi, sosial dan lingkungan diwakili 30 variabel yang diukur dengan skala

likert dengan rentang nilai antara 1 sampai 5. Skala nilai 1 menunjukkan petani

sangat tidak setuju ‘STS’ terhadap pernyataan yang diajukan, skala 2 tidak setuju

‘TS’, skala 3 ragu-ragu ‘R’, skala 4 setuju ‘S’ dan skala 5 sangat setuju ‘SS’.

Selain cakupan variabel yang mencerminkan dimensi keberlanjutan, maka

pada saat survei ini juga dikumpulkan variabel lain yang mencakup karakteristik

responden, pengetahuan tentang pertanian berkelanjutan dan keputusan petani

untuk mengimplementasikan pertanian berkelanjutan.

Page 89: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

84

Analisis persepsi petani pada penelitian ini dilakukan untuk menjawab tiga

tujuan, yaitu: 1) melihat karakteristik individu petani dan persepsi petani tentang

pertanian berkelanjutan, 2) melihat hubungan antara karakteristik individu petani

dengan persepsi petani tentang pertanian berkelanjutan dan 3) melihat hubungan

antara persepsi petani dan pengambilan keputusan dalam hal kemungkinan

mengimplementasikannya. Diagram analisis persepsi petani tentang pembangunan

pertanian berkelanjutan dalam pengambilan keputusan untuk

mengimplementasikan konsep keberlanjutan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram analisis persepsi petani tentang pembangunanberkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Petani dan Persepsi Petani Terhadap Pembangunan

Pertanian Berkelanjutan

5.1.1 Karakteristik Petani Responden

Secara umum responden masuk dalam kategori petani usia produktif,

dimana rata-rata usia petani adalah 38,38 tahun, usia termuda 20 tahun dan usia

tertua 68 tahun. Hasil analisis diskriptif karakteristik petani lainnya seperti jenis

kelamin, tingkat pendidikan, keanggotaan kelompok tani dan akses ke penyuluh

pertanian disajikan pada Tabel 5.1.

Karakteristikpetani· Umur· Jeniskelamin· Pendidikan· Frekuensibertemupenyuluh· Pengetahuanpertanianberkelanjutan· Sumberinformasipertanianberkelanjutan

Persepsi keberlanjutan

Dimensi ekonomi (10) Dimensi sosial (10) Dimensi lingkungan (10)

Keputusan implementasi

Alasan Sumber informasi yang

mempengaruhi Penerapan usahatani

berkelanjutan

Page 90: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

85

Berdasarkan Tabel 5.1 dapat dijelaskan beberapa hal di antaranya: seluruh

responden pada penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 60 orang.

Dilihat dari karakteristik pendidikan, memperlihatkan sebagian besar responden

mempunyai tingkat pendidikan cukup tinggi.Responden yang hanya menamatkan

pendidikan Sekolah Dasar (SD) sebesar 35 persen, hanya 1,67 persen tidak tamat

SD dan yang menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 16,67

persen. Sisanya sebesar 46,66 persen merupakan responden yang menamatkan

pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Program Diploma.Dua hal lainnya

yang mencerminkan karakteristik petani yaitu keanggotaan kelompok tani dan

akses petani ke penyuluh pertanian.Hasil analisis diskriptif menunjukkan pola yang

searah. Petani yang aktif dalam wadahkelompok tani cukup tinggi mencapai 51,67

persen, dengan akses ke penyuluh pertanian sebesar 75 persen.

Tabel 1 Karakteristik Responden Penelitian Petani CabaiKarakteristik responden Jumlah %Jenis Kelamin :- Laki-laki- Perempuan 600 1000Pendidikan- Tidak tamat SD- Tamat SD- Tamat SMP- Tamat SMA- Tamat D 1- Tamat S1121102620

1,6735,0016,6743,333,330Keanggotaan Kelompok Tani- Ya- Tidak 3129 51,6748,33Akses ke penyuluh pertanian- Ya- Tidak 4515 7525Sumber informasi pertama tentang pengetahuanpertanian berkelanjutan- Petani lain- Keluarga/saudara- Penyuluh Pertanian Lapang (PPL)- Dinas Pertanian melalui pelatihan- Lainnya1324401

21,673,3373,3301,67Jumlah responden 60

Page 91: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

86

Walaupun ada petani yang masih memiliki pendidikan rendah, namun hasil analisis

diskriptif terhadap pengetahuan petani tentang pengetahuan pertanian

berkelanjutan menunjukkan hasil yang baik (Tabel 2).Dari enam pernyataan

definisi tentang pertanian berkelanjutan, sebagaian besar petani atau lebih dari

66,67 persen responden menjawab benar tentang pernyataan tersebut. Nilai

tertinggi adalah pada penyataan “pertanian berkelanjutan bukan hanya menjadi

kewajiban pemerintah semata, namun perlu peran pihak swasta dan petani ”, yang

dijawab dengan benar oleh 53 responden atau 88,33 persen. Hal ini dapat diartikan

bahwa tanggungjawab semua pihak diharapkan dalam mewujudkan pertanian

berkelanjutan.

Tabel 2. Pengetahuan responden penelitian di Kabupaten Bangli terhadapkonsep/definisi pertanian berkelanjutan

Pernyataan tentang pengetahuan/definisipertanian berkelanjutan

JawabanBenar

%

Pertanian berkelanjutan adalah pengelolaansumberdaya pertanian untuk memenuhi kebutuhanmanusia dan pelestarian lingkungan

42 70

Pertanian berkelanjutan sebagai upaya pengelolaansumber daya dengan teknologi dan kelembagaansecara berkesinambungan

41 68,33

Pertanian berkelanjutan bukan diartikanmenggunakan input produksi serendah-rendahnya 36 60Pertanian berkelanjutan merupakan strategipendekatan ekonomi pertanian yangmengkoordinasikan pengembangan populasi,sumber daya alam dan lingkungan

36 60

Pertanian berkelanjutan bukan hanya menjadikewajiban pemerintah semata, namun perlu peranpihak swasta dan petani

53 88,33

Upaya konkrit menerapkan pertanian berkelanjutanseperti penyeimbangan siklus nutrisi, penguranganinput yang merugikan lingkungan dan lainnya

32 53,33

Jumlah responden 60

Analisis diskriptif lainnya terkait dengan orang atau lembaga pemberi informasi

pertama dalam mengenalkan definisi pertanian berkelanjutan. Sumber informasi

pertama yang mengenalkan konsep pertanian berkelanjutan adalahPenyuluh

Pertanian Lapang/PPL yaitu sebesar 73,33 persen.Penyuluh Pertanian Lapang/PPL

sangat dominan sebagai pemberi informasi, hanya 21,67 persen petani yang

menjawab petani lain sebagai sumber informasi utama.Sisanya adalah informasi

Page 92: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

87

dari keluarga/saudara sebesar 3,33 persen.Peran Dinas Pertanian dalam hal

mengenalkankonsep pertanian berkelanjutan belum nampak/tidak ada, dan malah

1,67 persen petani responden mendapatkan informasi dari lainnya (Tabel 1).

Selain karakteristik responden dan pengetahuan pertanian berkelanjutan,

analisis diskriptif lainnya yang sangat penting adalah indikator implementasi

usahatani cabai berkelanjutan yang terdiri tiga variabel.Hasil analisis diskriptif

disajikan pada Tabel 5.3. Dari tabel tersebut dapat dijelaskan tiga hal terkait

implementasi, yaitu: 1) alasan petani untuk mengimplementasikan usahatani cabai

berkelanjutan, 2) sumber informasi yang mempengaruhi petani untuk melakukan

usahatani dan 3) keputusan implementasi usahatani mengacu 30 butir keberlanjutan

di masa mendatang.

Tabel 3. . Keputusan implementasi usahatani Cabai di Kabupaten Bangli

Keputusan implementasi usahatani Jumlah(Orang)

%

1. Alasan implementasi- Usahatani cabai menguntungkan

- Sudah menjadi kebiasaan turun temurun dari orang tua- Sesuai kondisi lahan di wilayah Kabupaten Bangli- Didukung oleh kelembagaan pertanian yang baik

471030

78,3316,67

50

2. Sumber informasi yang mempengaruhimelakukan usahatani

- Petani lain- Keluarga/saudara- Penyuluh Pertanian Lapang (PPL)- Dinas Pertanian Daerah melalui Pelatihan - Radio- Televisi- Koran/Majalah/Leaflet dll- Lainnya

401350002

66,6721,678,33

000

3,333. Keputusan implementasi melakukan usahatani

mengacu 30 butir keberlanjutan di masamendatang

- Ya- Tidak

555

91,678,33

Jumlah responden 60

Tabel 3 memperlihatkan alasan petani untuk mengimplementasikan usahatani cabai

secara berkelanjutan. Beberapa alasan yang dikemukakan petani antara lain: a)

usahatani cabai menguntungkan, b) sudah menjadi kebiasaan turun temurun dari

orang tua , c) sesuai kondisi lahan di wilayah Kabupaten Bangli, dan d) didukung

Page 93: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

88

oleh kelembagaan pertanian yang baik. Responden yang menyatakan alasan

mengimplementasikan usahatani cabai karena menguntungkan sebesar 78,33

persen, selanjutnya diikuti oleh alasan sudah merupakan kegiatan usahatani turun

temurun dari orang tua sebesar 16,67 persen dan berikutnya karena alasan sesuai

dengan kondisi lahan sebesar 5 persen. Tidak ada responden menjawab bahwa

implementasi usahatani cabai berkelanjutan didukung oleh kelembagaan pertanian

yang baik.Hal ini membuktikan bahwa peran kelembagaan pertanian belum

berfungsi secara optimal.

Persepsi petani terhadap pertanian berkelanjutan

Analisis selanjutnya adalah melihat tingkat persepsi petani terhadap

pertanian berkelanjutan. Cakupan analisis persepsi meliputi tiga dimensi yaitu

dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan yang masing-masing berisi 10 variabel

seperti terlihat pada Tabel 4. Pendekatan analisis menggunakan metode deskriptif

berdasarkan nilai modus. Skala 1.00 dikategorikan sangat tidak penting (STP),

skala 2.00 dikategorikan tidak penting (TP), skala 3.00 dikategorikan Sedang (S),

skala 4.00 dikategorikan penting (P) dan skala 5.00 dikategorikan sangat penting

(SP).

Tabel 4 Analisis Persepsi Petani terhadap Pertanian BerkelanjutanDimensi/Variabel Modus Kategori

Dimensi Ekonomi Aktif memperluas usahatani cabai 4 P Selalu merawat akses jalan produksi 2 TP Menggunakan bibit cabai bermutu 1 STP Selalu mengusahakan cabai agar tetap untung 5 SP Selalu mencari informasi teknologi usahatani

cabai 4 P Melakukan tindakan pasca panen dengan baik 3 S Mengusahakan tanah 'bera' 5 SP Kemudahan akses ke Bank/lembaga keuangan 3 S Aktif memasarkan cabai ke pasar 4 P Tetap mencari pendapatan lain di luar usahatani 5 SP

Dimensi Sosial Kesejahteran petani dan keluarga merupakan tujuan

akhir 4 P Keberadaan kelembagaan petani sangat membantu 4 P Tersedia tenaga kerja untuk usahatani 2 TP Curahan waktu maksimal menjadi kunci keberhasilan 5 SP

Page 94: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

89

usahatani Dukungan keluarga sangat diperlukan 2 TP Selalu meningkatkan pengetahuan usahatani 2 TP Aktif dalam keanggotaan kelompok tani 4 P Kesehatan petani yang prima sangat penting 3 S Kemudahan akses ke penyuluh sangat diperlukan 2 TP Pendidikan petani menjadi 89aktor kunci keberhasilan

usahatani 3 SDimensi Lingkungan

Menggunakan air irigasi secara tepat 4 P Menggunakan traktor yang tidak merusak tanah 4 P Melakukan tindakan menekan pertumbuhan gulma 2 TP Melakukan penilaian kesesuaian lahan 5 SP Melakukan rotasi dengan tanaman lain 2 TP Menggunakan pestisida tepat anjuran 2 TP Menjaga predator hama tetap ada 4 P Menggunakan pupuk organik/kotoran hewan 3 S Menggunakan pupuk kimia tepat anjuran 2 TP Menghindari pembakaran sisa tanaman 3 S

Keterangan : n = 60 orang, STP = Sangat Tidak Penting, TP = Tidak Penting,S = Sedang, P = Penting dan SP = Sangat Penting

Hubungan Antara Karakteristik Responden Dengan Persepsi Petani

terhadap Konsep Keberlanjutan

Karakteristik responden yang diukur hubungannya dengan persepsi pertanian

berkelanjutan disajikan pada Tabel 5. Variabel karakteristik responden tersebut

meliputi: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, keanggotaan kelompok tani,

akses ke penyuluh pertanian, pengetahuan pertanian berkelanjutan dan sumber

informasi pertanian berkelanjutan. Hubungan antara umur dengan persepsi

keberlanjutan diukur menggunakan korelasi Rank Spearmen, sedangkan jenis

kelamin, tingkat pendidikan, keanggotaan kelompok tani, akses ke penyuluh

pertanian, pengetahuan pertanian berkelanjutan dan sumber informasi pertanian

berkelanjutan diukur dengan menggunakan ChiSquare. Dari Tabel 5 dapat

dijelaskan untuk karakteristik petani seperti tingkat umur, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, keanggotaan kelompok tani dan akses ke penyuluh ternyata tidak

memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi pertanian berkelanjutan, kecuali

untuk karakteristik tingkat pendidikan memiliki hubungan yang nyata dengan

dimensi sosial.

Page 95: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

90

Tabel 5 Hasil analisis hubungan antara karakteristik petani dengan persepsipertanian berkelanjutan

Karakteristik PetaniPersepsi pertanian

berkelanjutanEkonomi Sosial Lingkungan

Umur (Pearson) -0,157 0,039 0,045Jenis kelamin - - -Pendidikan (χ2) 0,795 0,001* 0,183Kelompok tani (χ2) 0,514 0,363 0,124Pengetahuan pertanian berkelanjutan (χ2) 0,012* 0,838 0,016*Sumber informasi pertanian berkelanjutan(χ2) 0,903 0,605 0,427

Keterangan: * Berhubungan nyata (P < 0,05)

Hubungan antara Persepsi Pertanian Berkelanjutan dengan KeputusanPetani dalam Usahatani Cabai Berkelanjutan

Untuk mengukur hubungan antara persepsi dengan keputusan implementasi

tersebut digunakan metode analisis chi square.

Tabel 6. Hasil analisis hubungan antara persepsi pertanian berkelanjutan dengankeputusan implementasi pertanian berkelanjutan

Persepsi pertanianberkelanjutan

Keputusan implementasi pertanian berkelanjutanAlasan Sumber informasi

yang mempengaruhiusahatani cabai

Mengusahakancabai

berberkelanjutanEkonomi (χ2) 0,559 0,713 0,561Sosial (χ2) 0.216 0,618 0,809Lingkungan (χ2) 0,017* 0,154 0,420

Keterangan : * Berhubungan nyata ( p < 0.05)

Hasil perhitungan chi square Tabel 6 memperlihatkan persepsi petani terhadap

pertanian berkelanjutan berhubungan nyata (p<0.05) dengan variabel alasan

keputusan implementasi pertanian berkelanjutan. Namun demikian ada dua pola

hubungan yang tidak nyata, yaitu hubungan antara persepsi pertanian berkelanjutan

dimensi ekonomi dan sosial tidak berhubungan nyata dengan variabel alasan

melakukan usahatani. Semakin baik persepsi yang diterima petani terhadap kosep

pertanian berkelanjutan mendorong motivasi petani untuk kembali melakukan

usahatani cabai berkelanjutan akan semakin besar. Petani yang memiliki persepsi

positif terhadap pertanian berkelanjutan adalah petani yang aktif dalam melakukan

usahatani dan mendapatkan informasi yang positif dalam melakukan usahatani dari

sumber informasi yang tepat. Hal ini dapat dilihat dari nilai chi square yang

Page 96: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

91

berbeda nyata pada α 5 persen untuk hubungan antara persepsi pertanian

berkelanjutan dengan variabel alasan petani.

Hubungan antara Karakteristik Responden dengan Keputusan Petani dalamUsahatani Cabai Berkelanjutan

Karakteristik petani yang diukur hubungannya dengan keputusan petani untuk

kembali melakukan usahatani cabai dengan menerapkan konsep pertanian

berkelanjutan meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, kelompok tani, akses ke

penyuluh dan pengetahuan pertanian berkelanjutan Hubungan antara karakteristik

petani dengan keputusan melakukan usahatani cabai berkelanjutan ini diukur

dengan menggunakan metode chi square. Hasil analisis selengkapnya disajikan

pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil analisis hubungan antara karakteristik petani dengan keputusanimplementasi pertanian berkelanjutan

Karakteristik petani

Keputusan implementasi pertanian berkelanjutanAlasan Sumber informasi

yang mempengaruhiusahatani cabai

Mengusahakancabai

berberkelanjutanUmur (χ2) 0,687 0,978 0,398Pendidikan (χ2) 0,235 0,333 0,088Kelompok tani (χ2) 0,753 0,328 0,489Akses ke Penyuluh (χ2) 0,233 0,018* 0,071Pengetahuan pertanianberkelanjutan (χ2) 0,785 0,002* 0,050*

Keterangan : * Berhubungan nyata ( p < 0.05)

Berdasarkan analisis seperti terlihat pada Tabel 7, umur petani mempunyai

hubungan yang tidak nyata dengan variabel alasan petani melakukan usahatani,

ditunjukkan dari nilai p < 0.05. Tetapi hal ini dapat diartikan semakin tua umur

petani maka secara nyata akan menguatkan alasan petani untuk melakukan

usahatani. Hasil analisis tersebut memperkuat hasil analisis diskriptif pada Tabel 2

yang memperlihatkan sebanyak 72.63 persen beralasan menanam cabai merupakan

kebiasaan turun temurun dan ada sebanyak 63.13 persen responden yang

memberikan alasan mengusahakan cabai karena sesuai kondisi wilayah Kintamani.

Dua variabel ini mencerminkan karakteristik petani terutama terkait dengan umur.

Perlu diketahui bahwa petani sejak dari kecil sudah tinggal di wilayah penelitian

Page 97: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

92

sehingga mengenal tentang usaha cabai dari orang tua atau kebiasaan petani

sebelumnya. Oleh karena itu sangat relevan jika semakin tua umur petani maka

akan semakin tertanam di benak petani tentang bagaimana mengusahakan cabai.

Hasil analisis chi square Tabel 7 juga memberikan informasi kaitan peran

kelembagaan penyuluh yang berfungsi sebagai sumber informasi dalam

mentransfer pengetahuan pada petani. Hasil analisis chi square memperlihatkan

adanya hubungan yang nyata dari karakteristik petani yaitu variabel akses ke

penyuluh dengan sumber informasi yang dicirikan dari nilai p < 0.05. Dua variabel

tersebut menunjukkan peran penyuluh sangat diharapkan membantu peani dalam

mendapatkan informasi untuk melakukan usahatani.

Variabel lainnya yaitu pengetahuan petani tentang pertanian berkelanjutan

juga menunjukkan hubungan yang nyata dengan variabel sumber informasi dan

variabel mengusahakan kembali usahatani cabai berkelanjutan. Hal ini

memperlihatkan semakin baik pengetahuan petani terhadap konsep pertanian

berkelanjutan dengan dukungan informasi yang semakin baik pula, secara nyata

akan mendorong petani untuk kembali melakukan usahatani cabai dengan

menerapkan konsep pertanian berkelanjutan.

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

1. Kerakteristik responden dilihat dari latar belakang pendidikan tergolong tinggi,

sebanyak 43,33 persen masuk kategori tamat SMA dan hanya 1,67 persen tidak

menamatkan SD. Pengetahuan petani tentang konsep pertanian berkelanjutan

tergolong baik yakni 66,67 persen responden menjawab benar tentang definisi

pertanian berkelanjutan. Pemahaman ini diperoleh dari sumber informasi utama

adalah Penyuluh Pertanian Lapang/PPL yaitu sebesar 73,33 persen dan petani

lain sebesar 21,67 persen. Dinas Pertanian Kabupaten tidak memiliki kontribusi

dalam memberikan informasi tentang pertanian berkelanjutan.

2. Persepsi responden terhadap konsep pertanian berkelanjutan menunjukkan hasil

yang cukup baik. Untuk dimensi ekonomi dari 10 variabel yang ditanyakan 3

Page 98: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

93

pernyataan dipersepsikan masuk kategori sangat penting (SP), 3 masuk kategori

penting (P), 2 masuk kategori sedang (S), dan masing-masing 1 masuk kategori

tidak penting (TP) dan sangat tidak penting (STP); sedangkan untuk dimensi

sosial dari 10 variabel ada sebanyak 1 variabel yang dipersepsikan sangat penting

(SP), 3 variabel dipersepsikan penting (P), 2 variabel dipersepsikan sedang (S),

dan 4 variabel dipersepsikan tidak penting (TP). Untuk dimensi lingkungan dari

10 variabel ada sebanyak ada sebanyak 1 variabel yang dipersepsikan sangat

penting (SP), 3 variabel dipersepsikan penting (P), 2 variabel dipersepsikan

sedang (S), dan 4 variabel dipersepsikan tidak penting (TP).

3. Analisis hubungan antara persepsi pertanian berkelanjutan dengan keputusan

implementasi pertanian berkelanjutan dan analisis hubungan antara karakteristik

responden dengan keputusan implementasi pertanian berkelanjutan dapat

disimpulkan sebagai berikut:

a. Hanya variabel pendidikan dan pengetahuan pertanian berkelanjutan yang

memiliki hubungan nyata dengan persepsi pertanian berkelanjutan, khususnya

dengan dimensi sosial untuk variabel pendidikan, sedangkan dimensi ekonomi

dan lingkungan berhubungan nyata dengan pengetaahuan pertanian

berkelanjutan.

b. Analisis hubungan antara persepsi pertanian berkelanjutan dengan keputusan

implementasi pertanian berkelanjutan, sebagian besar menunjukkan tidak ada

hubunganyang nyata, kecuali hubungan antara dimensi lingkungan dengan

variabel alasan mengusahakan cabai ada hubungan yang nyata.

c.Analisis hubungan antara karakteristik responden dengan keputusan

implementasi pertanian berkelanjutan diperoleh hasil sebagai berikut: akses ke

penyuluh berhubungan nyata dengan sumber informasi yang mempengaruhi

usahatani cabai, dan pengetahuan pertanian berkelanjutan berhubungan nyata

dengan sumber informasi yang mempengaruhi usahatani cabai dan menanam

kembali cabai di kemudiaan hari dengan menerapkan konsep pertanian

berkelanjutan.

Page 99: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

94

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian di atas, dimana didapatkan bahwa karakteristik

responden, seperti umur, jenis kelamin, pendidikan tidak menunjukkan adanya

kontribusi yang nyata dalam memahami maupun mempersepsikan pertanian

berkelanjutan, maka pengetahuan praktis yang didapatkan dari sumber informasi

petani lain dan keluarga perlu ditingkatkan. Peran PPL teelihat belum optimal, oleh

karena itu disarankan perlunya revitalisasi PPL dan mempertahankan kinerja

Kelompok Tani agar dapat berperan aktif dalam mewujudkan pertanian

berkelanjutan.

Peran Dinas Pertanian Kabupaten Bangli diharapkan lebih aktif dalam membuat

rencana strategis untuk mewujudkan pertanian cabai berkelanjutan. Hal ini sangat

penting, karena berdasarkan analisis bahwa petani sudah siap dengan melakukan

implementasikan pertanian, namun tetap diperlukan pembaharuan pengetahuan

pertanian berkelanjutan dan menjadi tanggung jawab pemerintah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini merupakan penelitian hibah unggulan program studi pada

Fakultas Pertanian Universitas Udayana tahun 2016. Pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana yang telah

memberikan kesempatan dan bantuan dana melalui Kontrak Nomor :

1247/UN14.1.23/PL/2016.

DAFTAR PUSTAKA

Baba S, Isbandi, T Mardikanto, Waridin. 2011. Faktor-Faktor yang MempengaruhiTingkat Partisipasi Peternak Sapi Perah Dalam Penyuluhan Di KabupatenEnrekang. JITP Vol 1 No 3 (2011): 193-208.

Badan Pusat Statistik. 2014. Kintamani dalam Angka. Bali

Dinas Pertanian Kabupaten Bangli. 2009. Rencana Strategis PembangunanPertanian Kabupaten Bangli Tahun 2010-2015. Dinas Pertanian KabupatenBangli. Bali

Darmanto, Swastika DKS. 2011. Penguatan kelompok tani: langkah awaalpeningkatan kesejahteraan petani. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 9 No.

Page 100: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

95

, Desember 2011: 371-390. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianBadan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian.

Eric GD, Lagat JK, Ithinji GK, Mutai BK, Kenneth SW, Joseph MK. 2013. MaizeFarmer Perceptions Towards Organic Soil Management Practices InBungoma Bounty, Kenya.Research Journal of Environmental and EarthScience 5(2): 41-48, 2013.

Gangnibo CN, Chang S, Hung L, Sambou A. 2010. Agriculture in Benin: strategiesfor applaying the Chines agriculture model. Journal of SustainableDevelopment, Vol 3 No 1, 2010.

Hayati D, Zahra R, Aezatollah K. 2011. Measuring agricultural sustainability[Internet]. [diunduh 2013 Feb 20]; Springer Publication.http://www.springer.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/9789048195121-c2.pdf?SGWID=0-0-45-1121047-p174009162.

Hiranandani V. 2010. Sustainable agriculture in Canada and Cuba: a comparison.Environmental Development Sustainability (2010) 12: 763-775. Springer.

[IISD] International Institute For Sustainable Development. 1995. Agriculture andsustainable development: policy analysis on the great plains. IISD. Canada.

Kasryno F. 1998.Pemikiran peningkatan daya saing komoditas pertanian melaluipemanfaatan mekanisasi pertanian yang ramah lingkungan, dalamprosiding perspektif pemanfaatan mekanisasi pertanian dalam peningkatandaya saing komoditas.Pusat Studi Ekonomi-Badan Litbang Pertanian.Departemen Pertanian. Bogor.

Nugraha KH, Soedodo, Rory AH. 2008. Hubungan antara persepsi masyarakattentang ruang terbuka hijau dan etika lingkungan dengan partisipasimasyarakat dalam pengembangan kota yang berwawasan lingkungan[Interne]. [diunduh 2013 Juli 10]; http://www.pasca-unpak.ac.id/ejournal/index.php/PLH/article/view/3.

Prahalad, C.K. 2005. The Fortune at The Buttom of Pyramid. Eradicating PovertyThrough Profits. Wharton School Publishing, USA.

Reijntjes C, Haverkort B, Water Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantaruntuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Diterjemahkanoleh Sukoco Y. (Editor: Van de Fliertt dan Hidayat B). Kanisius. 269 hal.

Robins S. 1996. Perilaku Organisasi. PT Prenhalindi. Jakarta.

Saptorini. 2003. Persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan konservasihutan mangrove di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak [tesis].Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.

Suwandi. 2005. Keberlanjutan usahatani padi sawah-sapi potong terpadu diKabupaten Sragen: pendekatan RAP-CLS [desertasi]. SekolahPascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Page 101: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

96

Tathdil FF, Ismet B, Hasan T. 2009. Farmer’s perception of sustainable agricultureand its determinants: a case Study in Kharamanmaras Province of Turkey.Environ Dev Sustain (2009) 11: 1091-1106.

Page 102: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

98

PELUANG INOVASI TEKNOLOGI PENGEMBANGAN USAHAPERTANIAN DI DESA BUNUTAN MELALUI PENDEKATAN PRA

( KALENDER MUSIM)

I Made Londra dan Putu SutamiBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali

Jl. By Pass Ngurah Rai Denpasar Balie-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penggalian informasi untuk menentukan peluang inovasi teknologi pertanian di Dusun Sega, DesaBunutan, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem Bali, dilaksanakan pada bulan Juni 2015,melalui pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) dengan teknik kalender musim. PRA inimerupakan bagian dari kegiatan Pendampingan Pengembangan Kawasan Komoditas Sapi Potong.Lokasi ini termasuk agroekosistem lahan kering dataran tinggi beriklim kering. PRA dilaksanakandi kelompok tani Sega Mandiri, dengan melibatkan masyarakat tani Desa Bunutan, staf DesaBunutan staf Kecamatan Abang, Dinas Pertanian dan Peternakan Karangasem serta instansi,terkait lainnya dengan jumlah peserta keseluruhan sebanyak 50 orang. Hasil PRA menunjukkan,musim hujan berlangsung selama 6 bulan yaitu antara bulan November sampai Maret denganpuncak hujan pada bulan Bulan Januari sampai pebruari . Kepemilikan ternak sapi di lokasi inisebanyak 3 ekor, biasanya mengalami kesulitan pakan pada bulan Mei sampai Oktober denganpuncak kesulitan pakan terjadi bulan Juli dan Agustus. Pada bulan-bulan sulit pakan tersebut,hanya tersedia hijauan Daun Nangka sedangkan hijauan lainya hampir tidak berproduksi. Untukmenangani permasalahan tersebut ada peluang untuk memanfaatkan dedak padi dan limbahpertanian yang difermentasi. Tanaman pangan yang diusahakan diantaranya jagung, kacang-kacangan dan ketela rambat sedangakan tanaman tahunan yaitu jati dan cengkeh. Denganterintroduksinya teknologi diharapkan bisa menutupi pakan di musim kemarau.

Kata kunci : Peluang inovasi teknologi, Usaha pertanian dan lahan kering

ABSTRACTExtracting information to determine the chances of agricultural technology innovation in, BunutanVillage, Abang District, Karangasem Bali, conducted in June 2015, through Participatory RuralAppraisal (PRA) techniques season calendar. PRA is part of the activities of RegionalDevelopment Assistance Commodity Beef Cattle. These locations include upland plateauagroekosistem dry climates. PRA was conducted in farmer groups Sega Mandiri, involving thefarm community Bunutan Village, the Village staff Bunutan Abang District staff, Department ofAgriculture and Livestock Karangasem and institutions, related to the total number of participantsas many as 50 people. PRA results show, the rainy season lasts for six months, ie betweenNovember to March with peak rainfall in January to of February. Owners of cattle in this locationas much as three tails, typically have difficulty feeding from May to October with peak feedingdifficulties occurred in July and August. In the months when the feed is only available forageleaves Nangka while the other forages almost no production. To address these problems there areopportunities to utilize rice bran and agricultural waste is fermented. Cultivated food crops such ascorn, beans and sweet potatoes while the annual crop is teak and clove.With technology terintroduksinya expected to cover fodder in the dry season.

Keywords: Opportunity technological innovation, agricultural businesses and dryland

Page 103: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

99

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian selama ini telah menunjukkan kinerja yang cukup baik

yang diindikasikan oleh tercukupinya kebutuhan pangan masyarakat khususnya di provinsi

Bali. Namun dibalik keberhasilan ini, kewajiban untuk tetap mempertahankan kecukupan

pangan tersebut tetap terus dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat tani serta terus

memacu tingkat perolehan sector pertanian yang jauh lebih tajam khususnya dalam

menghadapi tantangan pembangunan pertanian dalam era lingkungan strategis, tuntutan

global maupun peningkatan nilai tambah. Dengan demikian maka dituntut adanya

perubahan-perubahan yang mengait pada aspek perencanaan, penajaman teknis. Esensi

pembangunan pertanian yang berorientasi agribisnis terpadu tersebut adalah pendekatan

sistem yang memadukan seluruh susbsistem dalam agribisnis dan keterpaduan dalam

berbagai dimensi seperti dalam perencanaan, komoditas, maupun wilayah. Selama ini

program pembangunan masyarakat lebih banyak direncanakan oleh lembaga

penyelenggara program tanpa melibatkan warga masyarakat sasaran secara langsung.

Program biasanya bersifat diturunkan dari pemimpin lembaga kepada pelaksana dan

masyarakat. Walaupun program semacam ini didasarkan pada proses penjajagan

kebutuhan (need assesment) masyarakat, namun hal ini dilaksanakan hanya berdasarkan

suatu survey atau penelitian akademis yang tidak melibatkan masyarakat secara berarti

(Anonimous, 1996). Program yang bersifat “top down “ ini sering mengalami

ketidakcocokan antara peneliti / para pemrakarsa dan pelaksana program. Demikian juga

halnya pada bidang penelitian ; penelitian yang terlalu akademis biasanya terlampau

dipengaruhi oleh wawasan pikiran dan pandangan penelitinya sendiri, sehingga nilai

terapannya pun sangat kurang sehingga dengan sendirinya program yang disusun tidak

menyentuh kebutuhan masyarakat.

Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan salah satu metode pengkajian

daerah pedesaan dengan ciri utama melibatkan partisipasi masyarakat lokal dalam

pengkajian tersebut. Informasi yang diperoleh dari hasil PRA selanjutnya dipergunakan

untuk berbagai tujuan seperti pemberdayaan masyarakat perempuan (gender), perencanaan

program pembangunan pedesaan, pengembangan sarana pedesaan, dan program-program

yang lain tergantung metode yang digunakan.

Salah satu tujuan PRA ini adalah untuk mengetahui kebutuhan inovasi teknologi pada

tanaman pangan dan ternak sapi di lahan kering Kecamatan Abang, Karangasem, Bali.

Nantinya informasi ini digunakan untuk mengidentifikasi berbagai alternatif kegiatan

Page 104: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

100

inovasi khususnya dalam bidang peternakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi

petani dalam berusaha ternak sapi (Anonimous, 1996).

METODOLOGI

PRA dilaksanakan di Balai Kelompok tani ternak Sega Mandiri Desa Bunutan,

Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem pada bulan Juni 2015. Kegiatan ini

melibatkan seluruh anggota kelompok Tani Ternak Sega Mandiri, PRA ini juga

melibatkan Distanak Karangasem, , BPP Kec. Abang, PPL Kec. Abang, Camat Abang, ,

Kades Bunutan, BPD (Badan Perwakilan Desa) Bunutan dan Kepala Dusun Sega. Pada

kegiatan ini, BPTP Bali selaku fasilitator. Jumlah peserta PRA keseluruhan sebanyak 50

orang.

Untuk menggali informasi dalam bidang Pertanian, diterapkan metode kalender musim.

Kalender musiman adalah bagan / diagram yang memperlihatkan kegiatan-kegiatan dan

keadaan usaha pertanian (perkebunan, peternakan atau lainnya) yang terjadi secara

berulang-ulang dalam kurun waktu tertentu (musiman/tahunan) di desa dalam suatu

wilayah /kawasan. Tujuan membuat kalender musiman adalah untuk mengetahui kondisi,

kegiatan dan peristiwa usahatani masyarakat yang terjadi dalam kurun waktu tertentu

(Anonimous, 2003).

Manfaat dan kegunaan membuat kalender musiman adalah untuk dapat

menganalisis tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha masyarakat, waktu-waktu

kritis dalam usahatani, misalnya serangan penyakit, paceklik, panen dan lainnya. Hasil

analisis keadaan ini akan sangat berguna sebagai bahan masukan dalam menyusun rencana

pengembangan usaha agribisnis petani, rencana pengadaan dan penyediaan sarana

produksi, rencana pemasaran pada khususnya dan rencana pengembangan pada umumnya

(Anonimous, 2003). Mengetahui pola aktivitas petani dan pola musim sangat penting

untuk perencanaan suatu kegiatan/program (kapan melakukan apa), sehingga program

yang akan dilaksanakan dapat dirancang sesuai dengan keadaan di lapangan.

Page 105: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

101

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peluang Inovasi Teknologi Berdasarkan Kalender Musiman Usahatani TanamanPangan

Tanaman pangan yang diusahakan di Desa Bunutan diantaranya jagng kacang-

kacangan, ketela pohon dan ketela rambat. Tanaman jagung biasanya di tanam pada bulan

Nopember dan biasanya dipanet pada bulan oktober dan desember. Ketela rambat ditanam

pada bulan maret dan panen pada bulan juni. Inovasi teknologi yang perlu diintroduksikan

yaitu budidaya tanamam pangan dan pasca panen. Inovasi Teknologi yang

meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dan sumberdaya lainnya merupakan perangkat

(tools) yang paling berharga sama halnya seperti mengelola keseimbangan antara

kesejahteraan manusia dan memelihara ekosistem global (Burgess and Morris , 2009)

Ketela rambat atau ubi jalar merupakan komoditas lokal yang dapat dimanfaatkan

oleh masyarakat sebagai sumber karbohidrat. Produktivitas ubi jalar di Indonesia rata-rata

10 ton per hektar lahan, sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil ubi

jalar terbesar kedua di dunia. Besarnya potensi ubi jalar sebagai komoditas lokal dapat

digunakan untuk bahan baku tepung lokal yang tidak kalah dengan tepung terigu. Ketela

rambat merupakan salah satu komoditas pertanian yang sangat penting di Indonesia

dimana sebagian besar produksinya (89%) digunakan sebagai bahan pangan (Faostat,

2004). Selama tahun 2005 sampai 2009, rata-rata produksi ubi jalar mencapai 1.901 juta

ton/tahun (BPSI, 2009). Ubi jalar memiliki kandungan nutrisi yang tinggi seperti

karbohidrat (pati dan serat pangan), vitamin, dan mineral (kalium dan fosfor). Disamping

itu, khusus ubi jalar orange mengandung senyawa β-karoten dan ubi jalar ungu

mengandung senyawa antosianin yang dapat berfungsi sebagai antioksidan.

Page 106: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

102

Tabel.1. Kalender Musim Usahatani Tanaman Pangan di Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali

NO URAIANBULAN

JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGUST SEPT OKT NOV DESTANAMANa. Jagung/Kacang-kacangan/Ketela Pohon

Tanam xPupukPanen x x x

b. Ketela RambatTanam xPanen x

Keterangan :- Jumlah x menentukan kwantitas / kualitas / harga- Pembelian bibit : tergantung kebutuhan- Penjualan : tergantung kebutuhan

Page 107: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

103

Peluang Inovasi Teknologi Berdasarkan Kalender Musiman Usahatani TernakSapi

Permasalahan yang dihadapi petani setempat dalam budidaya ternak sapi

dikaitkan dengan kalender musim antara lain :

a. Ketersediaan pakan, permasalahan dan peluang pemecahannya

Sapi di Desa Bunutan, Kecamatan Abang adalah sapi Bali, dengan

kepemilikan 3-4 per petani (Londra, dkk 2015). Hasil PRA (Tabel 2) menunjukkan,

musim hujan di wilayah Abang berlangsung singkat (sekitar enam bulan) yaitu dari

akhir bulan Nopember sampai awal bulan April dengan puncak hujan terjadi pada

bulan januari danFebruari. Kondisi ini mempengaruhi ketersediaan pakan ternak di

lokasi ini. Rumput lapangan maupun rumput raja yang dimiliki petani, hanya mampu

berproduksi selama delapan bulan ; dengan produksi tertinggi terjadi pada akhir

musim penghujan yaitu pada bulan Maret. Hampir sama halnya dengan tanaman

rerumputan, tanaman penaung seperti tamanan Gamal dan Lamtoro (Leucaena

leucocephala) produksi tertinggi terjadi pada bulan Maret. Berbeda halnya dengan

lamtoro, tanaman gamal hanya mampu berproduksi sampai bulan Agustus,

sedangkan lamtoro sampai bulan September. Dengan demikian, pada bulan Agustus,

September, Oktober dan Nopember, otomatis ternak-ternak yang ada di lokasi

diberikan pakan kering berupa jerami jagung dan jerami tanaman pangan lainnya

yang telah disiapkan sebelumnya. Beberapa petani melaporkan bahwa mereka

kadang-kadang sampai mendatangkan jerami padi dari daerah persawahan di daerah

lain dengan menyewa truk.

Page 108: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

104

Hasil ini merupakan permasalahan dan sekaligus peluang untuk penanganan

kekurangan hijauan pakan ternak di Desa Bunutan khususnya. Permasalahan yang

muncul dalam kaitannya dengan pakan ini, yaitu tidak tersedianya pakan yang

kontinyu baik dari segi kualitas maupun kwantitas sepanjang tahun, mengakibatkan

pengembangan sapi penggemukan belum bisa dilakukan sepanjang tahun. Kondisi ini

mengakibatkan pengembangan sapi penggemukan belum bisa dilakukan sepanjang

tahun. Kalau penggemukan sapi dipaksakan, maka pemeliharaan harus telah mulai

dilakukan pada bulan Desember, supaya dapat dipanen pada bulan Juni atau Juli

tahun berikutnya. Untuk meningkatkan mutu pakan kering (jerami jagung dan

jerami palawija lain) yang diberikan pada bulan Agustus sampai Nopember,

sebaiknya dilakukan fermentasi sebelum disimpan untuk meningkatkan kandungan

gizi dan untuk mengurangi kandungan serat dari jerami tersebut. Pemberian

probiotik seperti Bio Cas sangat sesuai pada kondisi tersebut, untuk membantu

pencernaan pakan. Menurut Yasa, dkk (2004) probiotik Bio Cas sebanyak 5

ml/ekor/hari, dapat meningkatkan kandungan eritrosit, Hb, leukosit protein total dan

nilai hematokrit darah induk sapi Bali

Dalam penyimpanan pakan awetan, petani setempat menyimpannya dalam

bentuk kering utuh, jadi volume limbah jerami yang dapat disimpan untuk stok pakan

sangat terbatas. Oleh karena itu untuk memperbaiki kondisi ini sebaiknya dilakukan

penggilingan, sehingga volume yang dapat disimpan di tempat penyimpanan awetan

pakan dapat diperbanyak. Selain itu, di Desa Bunutan, masih banyak petani

menyimpan pakan kering tersebut di atas pohon, ada juga di tempat pengawetan

namun jerami langsung ditumpuk di atas tanah, sehingga banyak yang menjadi rusak

akibat terserang jamur dan kotoran lainnya. Oleh karena itu perbaikan tempat awetan

pakan ternak merupakan suatu kebutuhan. Tempat pakan awetan mestinya berupa

kandang panggung.

Hasil PRA ini menunjukkan tanaman lamtoro lebih tahan kekeringan

dibandingkan tanaman gamal. Oleh karena itu, populasi tanaman lamtoro perlu

ditingkatkan terutama tanaman lamtoro yang mampu berproduksi tinggi, tahan

kering dan tahan kutu loncat untuk dikembangkan di Kecamatan Abang untuk

penyediaan pakan bermutu. Menurut Wargadipura dan Johan (1997) lamtoro

mengandung protein kasar sekitar 25,9 % sedangkan Heliati (1999) melaporkan

Page 109: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

105

antara 14,44 % pada tanah di Grati dengan pH 8,4; 17,50 % pada tanah di Kupang

pada tanah dengan pH 7,8 dan 26,75 % pada tanah di Ciawi dengan pH 5,0.

Menurut Pratomo, dkk (2004) pertumbuhan awal tanaman lamtoro relatif

lebih baik dibandingkan tanaman legum lainnya seperti Flemingia, Kaliandra dan

Glisidia (gamal). Selain itu, produksi tanaman rumput gajah yang ditanam pada

tampingan teras di bawah tanaman lamtoro pun lebih banyak yaitu 4,1 kg/5m,

dibandingkan tanaman Flengia yakni 4,0 kg, Glirisidia 3,9 dan dibawah Kaliandra

yakni 4,0 kg .

Lamtoro selain baik untuk pakan ternak karena mengandung protein yang

cukup tinggi, juga cocok dikembangkan untuk perbaikan dan konservasi tanah.

Lamtoro dapat digunakan sebagai sumber pupuk hijau karena adanya bakteri

pengikat nitrogen pada akarnya yang mampu mengikat nitrogen dari udara. Untuk

mencegah erosi, lamtoro sebaiknya ditanam secara ”terasering tak langsung” yaitu

penanaman lamtoro sebagai pagar kayu hidup secara melintang pada tanah miring.

Pagar hidup ini akan menahan tanah yang dibawa erosi karena perakarannya yang

baik (panjang) sehingga memudahkan pembentukan teras-teras (Metzner, 1987).

Selain itu, dilaporkan pula bahwa akar lamtoro mampu menerobos lapisan tanah

yang keras misalnya tanah liat.

Pengembangan usaha konservasi tidak akan dapat berkembang tanpa adanya

ternak (Abdurahman, dkk, 1998). Oleh karena itu kegiatan terintegrasi merupakan

suatu keharusan di lahan kering.

Page 110: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

106

Tabel.2. Kalender Musim Usahatani Ternak Sapi di Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali

NO URAIANBULAN

JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGUST SEPT OKT NOV DES1 Musim Hujan xx xx x x x x2 Musim Kemarau x x x xx xx xx3 Ternak

a. Pakan TernakRumput Gajah x x x x x xLemtoro x x x x x xGamal x x x x x x xGamelina x x x x x x x xDaun Pisang x x x x x x x x x x x xSono Keling x x x x x xDaun Singkong xDaun Nangka x x x x x x xAlang-alang x x x x xLimbah Jagung x xKetela Rambat x xJerami x x x xDaun waru x x xDaun Mahoni x x xDaun Kacang-

kacangan x x xB. Penjualan x x x x x x xx xx x x x xC. Penyakit (BEF, BaliZiekta) x x xD. Birahi x x x

Page 111: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

107

Keterangan :- Jumlah x menentukan kwantitas / kualitas / harga- Pembelian bibit : tergantung kebutuhan- Penjualan : tergantung kebutuhan

b. Perkawinan dan melahirkan

Hasil PRA (Tabel 2) menunjukkan, sapi-sapi di Abang secara umum

melakukan perkawinan mulai bulan Juni, dan puncaknya antara bulan Juni sampai

Agustus, Dengan demikian sapi-sapi di daerah Abang secara umum berahi pada

musim-musim kering, bunting selama pakan melimpah dan melahirkan pada saat

persediaan pakan di lapangan menipis ; sehingga menjelang anaknya mulai belajar

makan dengan umur sekitar 4 bulan ketersediaan pakan mulai ada karena mulainya

musim hujan.

Bulan-bulan berahi pada PRA ini terjadi pada awal musim kemarau. Ini

berarti pada bulan-bulan ini kondisi ternak sudah baik karena telah mendapatkan

pakan yang melimpah pada bulan-bulan sebelumnya. Menurut Markusfeld, dkk

(1997) dalam Widnyana (2002), kondisi tubuh merupakan faktor yang paling

dominan mempengaruhi timbulnya berahi atau berahi pertama setelah beranak.

Kondisi tubuh yang rendah (sangat kurus) pada saat beranak akan menurunkan

fertilitas sapi melalui penundaan aktivitas ovarium. Skor kondisi tubuh merupakan

cara untuk menilai jumlah cadangan energi yang tersimpan dalam lemak dan otot

pada sapi yang sedang laktasi dan masa kering. Skor kondisi sapi dinilai dalam lima

skala penilaian antara lain skala satu untuk sapi yang sangat kurus dan skala lima

untuk sapi yang terlalu gemuk (Edmonson, dkk., 1989). Menurut Domecq dkk.,

(1997) penurunan skor kondisi tubuh pada 30 hari pertama setelah beranak akan

menyebabkan kegagalan konsepsi pada perkawinan pertama setelah beranak.

Periode kebuntingan dimulai dari pembuahan dan berakhir pada saat

kelahiran anak. Lama bunting pada sapi sekitar 280 hari (Jainudeen dan Hafez,

1987). Pertumbuhan makhluk baru sebagai hasil dari pembuahan ovum dengan

spermatozoa dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode ovum, periode embrio dan

periode fetus (Partodihardjo, 1992). Periode ovum yaitu jarak waktu dari terjadinya

pembuahan atau konsepsi sampai dimulainya plasentasi. Periode ini berlangsung

sekitar 22 hari. Selanjutnya yaitu periode embrio yang berlangsung sampai hari ke-

Page 112: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

108

45, dan terakhir yaitu periode fetus yaitu jarak waktu dari hari ke-45 setelah

pembuahan sampai kelahiran (Abeygunawardena, 1999). Periode ovum sampai

periode embrio yang berlangsung sekitar 45 hari merupakan periode yang sangat

rawan bagi sapi bunting. Oleh karena itu, induk harus dihindarkan dari kondisi stress

seperti terlalu lama dipekerjakan, kekurangan gizi atau lainnya untuk mengurangi

hal-hal yang tidak diinginkan, seperti keguguran.

Ternak di lahan marginal, oleh petani digunakan sebagai ternak kerja selain

untuk menghasilkan anak. Oleh karena itu, peningkatan pengetahuan petani melalui

penyuluhan perlu dilakukan.

Selain itu, untuk membuat sapi di Desa Abang kawin dan beranak sepanjang tahun,

ketersediaan pakan sepanjang tahun perlu diantisipasi melalui penghijauan dan

penyediaan pakan awetan yang cukup untuk bulan-bulan kering.

c. Penyakit

Timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh banyak faktor dan ini merupakan

masalah yang sangat kompleks. Dari sekian faktor tersebut, secara umum paling

tidak ada tiga faktor yang saling kait mengkait untuk terjadinya suatu penyakit yaitu :

faktor agen penyakit, faktor hospes (ternak itu sendiri) dan faktor lingkungan

(Dharma dan Putra, 1997).

Penyakit yang umum di derita oleh sapi-sapi di lokasi tersebut antara lain :,

Bovine Ephemeral Fever (BEF) , dan Bali Ziekta (BZ).

Penyakit BEF (Bovine Ephemeral Fever) atau penyakit demam tiga hari

(Three Day Sicknes) (Kahrs, 1981) merupakan penyakit dengan masa inkubasi dan

lama sakit yang singkat yang disebabkan oleh vurus RNA (Ribo Nucleic Acid),

termasuk dalam famili Rhabdoviridae (Walker dan Cybinski, 1989 dalam Darminto,

dkk 2003). Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 7-10 hari. Gejala yang

nampak pada sapi penderita BEF adalah demam tinggi yang mencapai 41 0C selama

3 hari, depresi, lesu, nafsu makan menurun, saat demam terjadi konstipasi kemudian

berlanjut dengan diare, persendian kaki membengkak disertai dengan kekakuan otot

anggota gerak sehingga penderita menjadi pincang, kemudian jatuh / berbaring.

Ternak biasanya sembuh dalam waktu 5-7 hari sejak munculnya gejala klinis.

(Dharma dan Putra, 1997). Tingkat morbiditas penyakit ini dapat mencapai 40 %

namun tingkat mortalitasnya (angka kematiannya) rendah. Ternak yang terinfeksi

Page 113: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

109

BEF secara alami maupun buatan memiliki kekebalan sehingga tahan terhadap

infeksi BEF untuk jangka waktu lama (Uren, 1989).

Penyakit ini ditularkan melalui vektor lalat Culicoides spp dan nyamuk Culex

spp. Kejadian penyakit ini seirama dengan meningkatnya jumlah / populasi vektor

(Dharma dan Putra, 1997). Dengan demikian tingginya kejadian BEF di Desa

Bunutan wajar terjadi pada bulan Desember sampai April sesuai dengan populasi

lalat dan nyamuk pada bulan-bulan basah tersebut.

Penyakit Bali Ziekta (BZ). Hasil PRA menunjukkan penyakit ini sering

ditemukan pada bulan Januari sampai Februari. Penyakit ini diduga disebabkan oleh

termakannya tanaman / hijauan yang mengandung Lantadine yang umumnya

terkandung pada tanaman Lantana Camara atau di Bali sering disebut tanaman

”Krasi”. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Bali. Sapi yang terserang biasanya

mengalami perlukaan (erosi) di beberapa bagian tubuh, yang umumnya bersifat

simetris, namun pada umumnya tidak menyebabkan kematian, bahkan terkadang dapt

sembuh dengan sendirinya (Abidin, 2002). Oleh karena itu pelatihan tentang

tanaman-tanaman yang tidak baik diberikan untuk ternak perlu dilakukan kepada

peternak melalui sekolah lapang.

KESIMPULAN DAN SARAN

- Musim hujan di daerah Abang berlangsung selama 6 bulan yaitu dari akhir bulan

Nopember sampai awal bulam April tahun berikutnya dengan puncak hujan

dibulan januari dan pebruari. Musim hujan ini mempengaruhi pola tanaman

pangan dan ketersediaan pakan ternak ; selanjutnya ketersediaan pakan ini

mempengaruhi pola reproduksi (musim kawin dan beranak) sapi-sapi di Abang.

Memperhatikan permasalahan tersebut, pakan merupakan permasalahan kunci,

sehingga perlu pelaksanaan kegiatan penyediaan pakan ternak melalui

penanaman HMT tahan kering dan pengawetan limbah tanaman pangan /palawija

melalui model integrasi.. Selain itu, perbaikan sarana pendukung lainnya seperti

tempat penyimpanan pakan, perkandangan dan lainnya perlu dilakukan.

Page 114: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

110

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, A., B.R. Prawiradiputra, T. Prasetyo, H.M. Toha dan H. Nataatmaja.1993. Laporan Akhir UACP-FSR. P3HTA. Badan Penelitian danPemgembangan Pertanian. Salatiga.

Abeygunawardena, H. 1999. Reproductive Physiology of Cattle and Buffaloes, inReproduction and Obstetrics in Farm Animal. Department of VeterinaryClinical Studies, Faculty of Veterinary Medicine and Animal Science,Peradeniya University. Srilangka. 1-13

Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi potong (Kiat Mengatasi PermasalahanPraktis). Penerbit : Agro Media Pustaka. Tangerang.

Anonimous. 2003. Modul Pengembangan Kawasan Agropolitan. PusatPengembangan Kewirausahaan Agribisnis, 2005. Jakarta

Anonimous, 1996. Berbuat Bersama Berperan Setara. Penerbit : Studio DriyaMedia, Bandung.

Darminto., Suhardono., Beriajaya dan A. Wiyono. Teknologi Bidang Veterineruntuk Mendukung Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit. ProsidingLokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Pusat Penelitiandan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal : 220-232

Domecq, J.J., A.L. Skidmore., J.W. Llyod and J.B. Kaneene. 1997. Relationshipbetween body condition score and conception at first artificial inseminationin a large dairy herd of high yielding holstein cows. J. Dairy Sci. 80: 113-120.

Edmonson, A.J., L.J. Lean., L.D. Weaver., T.Farver and G. Webster. 1989. ABody condition scoring chart for holstein dairy cows. J. Dairy Sci. 72 : 68-78

Heliati, I. 1999. Kandungan Protein dan Fosfor pada Spesies Leguminosa (Kacang-kacangan) yang Ditanam pada Tanah Ciawi, Kupang dan Grati. ProsidingLokakarya Fungsional Non Peneliti. Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor. Hal : 62-65.

Jainudeen, MR and E.S.E. Hafez. 1987. Cattle and Water Buffaloes in :Reproduction in Farm Animals. 5th.Ed. Lea Febiger Philadelphia. pp : 315-320.

Londra I Made, Adijaya.N, Raiyasa.M dan I Wayan Sudarma, 2015, Laporan AkhirPendampingan Pengembangan Kawasan Komoditas Sapi Potong diPropinsi Bali, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar.

Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit : Mutiara, Jakarta.

Metzner, J. 1987. Pelestarian Lingkungan Hidup dan Kemungkinan untukMeningkatkan Penggunaan Lahan dengan Bantuan Lamtoro di KabupatenSikka Flores ; dalam Ekofarming (Bertani Selaras Alam). Penyunting : J.Metzner dan N. Daildjoeni. Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Hal: 293-315.

Page 115: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

111

Pratomo, Al. G., M.A. Yusron., G. Kartono., M. Sugiyarto., R. Hardianto danMartono. 2004. Pengkajian Pemanfaatan Lahan Berteras untuk PenataanHijauan Mendukung Konservasi Tanah dan Ketersediaan Pakan. BulletinTeknologi dan Informasi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi PertanianJawa Timur. Vol.7, hal : 34-39.

Suprapto; I G.A.K. Sudaratmaja dan Maria Sumartini. 2000. Laporan AkhirPengkajian Sistem Usahatani Tanaman Pangan di Lahan Marginal. InstalasiPenelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar, Badan Litbang,Deptan.

Suratmini, N.P., N. Adijaya., I.M.R. Yasa., dan M. Sumartini. 2004. Laporan AkhirSistem Usahatani Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi di Lahan Marginal.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar.

Uren, MF. 1989. Bovine Ephemeral Fever. Aust. Vet.J. 66 : 233-236.

Wargadipura, S.R. dan E. Johan. 1997. Pemberdayaan Lamtoro Tahan Kutu(Hantu) utuk Pakan Ternak. Prosiding Seminar Nasional Peternakan danVeteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal ;975-979.

Widnyana, I G, P. 2002. Pengaruh Implan Progesteron Intravagina danGonadotropin Releasing Hormon Terhadap Induksi Birahi dan AngkaKonsepsi Sapi Perah Pascaberanak. Tesis. Program Studi Sain VeterinerJurusan Ilmu-Ilmu Pertanian Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta.

Yasa, I.M.R dan Suprapto. 2001. Pengkajian Integrasi Tanaman dan Ternak padaLahan Kering Kabupaten Buleleng. Prosiding Seminar NasionalPengembangan Teknologi Pertanian dalam Upaya Optimalisasi PotensiWilayah Mendukung Otonomi Daerah. Pusat Penelitian danPengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hal : 172-176

Yasa, I M. R., S. Guntoro dan I.N. Adijaya. 2004. Pengaruh Pemberian ProbiotikBiocas Terhadap Profil darah Induk Sapi Bali di Lahan Kering AbangBuleleng Bali. Prosiding Seminar Nasional Klinik Teknologi Pertaniansebagai Basis Pertumbuhan Usaha Agribisnis. Menado. Hal : 981-989.

Yasa, I.M.R., I.G.K Sudaratmaja., I.N. Adijaya., I.K. Mahaputra., M. Sumartini., N.W. Trisnawati., J., Renaldi., P. Sugiarta dan A. Rachim. 2005. LaporanParticipatory Rural Appraisal (PRA) Prima Tani Renovasi di Lahan KeringDataran Rendah Beriklim Kering Desa Bunutan Kecamatan Abang,Kabupaten Buleleng, Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.Departemen Pertanian.

Page 116: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

111

PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM KEGIATAN PENYULUHANPERTANIAN TANAMAN PANGAN PADA SUBAK DI KABUPATEN

TABANAN BALI

Ni Wayan Sri AstitiProgram Studi Magister Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Udayana,

Bali Indonesia.Email : [email protected]

ABSTRAK

Partisipasi perempuan dalam kegiatan penyuluhan pertanian sangat penting untukmeningkatkan kualitas perempuan dalam kegiatan usahatani sehingga mampu untukmeningkatkan produksi, pendapatan, dan perbaikan kesejahteraan keluarga dan masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat partisipasi perempuan dalamkegiatan penyuluan pertanian tanaman pangan di Subak Guama dan juga untuk mengetahuifactor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat partsipasi perempuan dalam kegiatanpenyuluhan pertanian tanaman pangan di Subak Guama, Kecamatan Marga KabupatenTabanan.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kegiatan penyuluhan yang pernah diikutimeliputi teknik pembuatan bronis dari ketela ungu, teknik pembuatan VCO. Dalam hal ini,VCO adalah pembuatan minyak kelapa murni. Sedangkan partisipasi perempuan dalamkegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan TanamanTerpadu (SLPTT) hanya 17,46%.

Tingkat partisipasi perempuan dalam kegiatan penyuluhan tergolong “sedang” denganrata-rata persentase 62.16.%. Tingkat partisipasi perempuan dalam tahap perencanaankegiatan penyuluhan “sangat rendah” dengan persentase 35,97%. Tingkat partisipasiperempuan dalam tahap pelaksanaan kegiatan penyuluhan tergolong “tinggi.” denganpersentase 70,03%. Tingkat partisipasi perempuan dalam tahap evaluasi kegiatan penyuluhantergolong “tinggi” dengan persentase 80,50%..

Faktor-faktor yang berperan dalam meningkatkan partisipasi wanita pada kegiatanpenyuluhan pertanian terdiri atas dua faktor yaitu faktor internal yang terdiri atas:pengetahuan, sikap, pendidikan, umur, materi penyuluhan, sedangkan faktor eksternal terdiriatas: metode penyuluhan, kegiatan sosial, kegiatan ritual, suasana kelompok.

Kata Kunci : partisipasi, penyuluhan, tanaman pangan, subak.

ABSTRACT

Women's participation in agricultural extension activities is very important toimprove the quality of women in cultivation activities so as to be able to increase production,income, and improving the welfare of their families and communities.

This study aims to determine the level of women's participation in the activities ofplant food agriculture in Subak Guama and also to recognize the factors that influence thelevel of women's participation in extension activities of food crop agriculture inSubakGuama, Marga Sub-district of Tabanan Regency.

The results showed that the extension activities that have been followed include thetechnique of bronis making from purple, the technique of making VCO. In this case, VCO isthe manufacture of pure coconut oil. While the participation of women in integrated FieldSchool of Integrated Crop Management (SLPTT) only 17,46%.

Page 117: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

112

The participation rate of women in extension activities is "moderate" with an averagepercentage of 62.16%. The participation rate of women in the planning stage of extensionactivities is "very low" with a percentage of 35.97%. The participation rate of women in theimplementation phase of extension activities is "high." With 70.03% percentage. Theparticipation rate of women in the evaluation phase of extension activities is "high" with thepercentage of 80.50%.

Factors that play a role in increasing women participation in agricultural extensionactivity consist of two factors: internal factors consist of: knowledge, attitude, education, age,extension material, while external factors consist of: counseling method, social activity, ritualactivity, Group atmosphere.

Key Word: participation, counseling, food crops, subak.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang MasalahKeterbatasan tenaga kerja di sektor petanian di Bali digantikan oleh tenaga kerja dari luar

pertanian baik tenaga kerja laki-laki maupun perempuan. Peran perempuan dalammenunjang sektor pertanian sangatlah besar ini dilihat dari keterlibatan perempuan dalamkegiatan usahatani tanaman pangan khususnya di subak. Peran perempuan dalam kegiatanusahatani padi relative tinggi terutama dalam penanaman hingga mencapai 92,24%, dalampemanenan hasil mencapai 86,67%, hanya dalam pengolahan lahan saja yang dilakukan olehlaki-laki (Priyadi, 2005). Dipertegas oleh Moore (1998) bahwa kaum perempuan di seluruhdunia terlibat dalam pekerjaan produktif, baik di dalam rumah ataupun di luar rumah. DiBali keterlibatan perempuan dalam kegiatan uahatani relative berimbang dengan petanilaki-laki, terutama dalam pemelihatraan tanaman dan juga dalam perencanaan dalampenentuan komoditas yang akan diusahakan. Namun, akses perempuan terhadap informasimaupun inovasi pertanian sangat terbatas (Astiti, 2012).

Kualitas sumberdaya perempuan sebagai petani sangat menentukan terhadap hasilproduksi yang dicapainya dalam kegiatan usahataninya. Oleh karena itu peningkatankualitas sumberdaya perempuan dalam kegiatan usahatani menjadi sangat penting supayaketrampilan dalam kegiatan usahataninya. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkanpendididikan baik itu pendidikkan formal maupun informal. Peningkatan kualitasperempuan dalam kegiatan usahatanianya dapat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan.Disisi petani permepuan Bali memiliki berbagai kegiatan dalam rumahtangganya baik itukegiatan menurus rumahtangga, kegiatan adat budaya dan kegiatan domestic lainnya sertakegiatannya sebagai petani. Oleh karena itu perlu adanya suatu strategi yang tepat untukmenigkatkan partisipasi petani perempuan dalam kegiatan penyuluhan pertanian tanamanpangan di Subak Guama, sehingga nantinya mampu untuk mengadopsi inovasi yangditawarkan oleh pemerintah maupun dari pihak lain.

1.2 Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Mengidentifikasi tingkat partisipasi Perempuan dalam kegiatan penyuluhan pertaniantanamanan pangan di Subak Guamam,

(2) Mengidentifikasi factor internal dan ekternal dari petani perempuan dalam partisipasinyapada kegiatan penyuluhan pertanian tanaman pangan di Subak Guama, KabupatenTabanan

Page 118: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

113

METODE PENELITIAN

2.1. Lokasi penelitianLokasi penelitian adalah Subak Guama di Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan.

Penetapan lokasi penelitian secara sengaja (purposive) dengan berbagai pertimbangan.Pertimbangan pemilihan lokasi penelitian adalah; (1) subak-subak tersebut telah mengalamimodernisasi yaitu subak yang telah melakukan pengembangan unit ekonomi; (2) subaktersebut telah memiliki badan hukum dan mendapat Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat(BPLM).

2.2. Populasi dan Sampel PenelitianObyek penelitian adalah petani perempuan yang ada di Subak Guama, Kecamatan Marga

Tabanan. Populasi Penelitian adalah jumlah petani perempuan di Subak Guama, KabupatenTabanan. Sampel penelitian berjumlah 50 orang petani perempuan ditetapkan secaraporpusive sampling dengan pertimbangan petani yang mata pencahariannya sebagai petani.Dalam penelitian ini mempergunakan informan kunci berjumlah 10 orang yang terdiri atas,penyuluh, Pekaseh Subak Guama, prajuru Subak Guama, Pemuka Desa, manajer KUATGuama dan pihak lain yang terkait dengan penelitian ini.

2.3. Analisis DataAnalisis data untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi perempuan dalam kegiatan

penyuluhuan pertanian tanaman pangan digunakan analisis deskkriptif kualitatif.Pengukuruan indikator penelitian dengan mempergunakan Skala Likert berjenjang 5. Kriteriajawaban yang paling diinginkan akan diberikan skor 5 sedangkan kreteria jawaban yangpaling tidak diinginkan akan diberi skor 1, sehingga nilai sekor tertinggi sampai denganteredah adalah 1 sampai dengan 5. Kemudian akan dibuat kterteria tingkat partisipasiperempuan dalam mengikuti kegiatan penyuluhan menjadi 5 kreteria yaitu, Partisipasi sangattinggi, partisipasinya tinggi, partisipasi sedang, partisipasinya rendah dan sangat rendah.Kategori partisipai perempuan dalam kegiatan penyuluhan tanaman pangan pada SubakGuama Kabupaten Tabanan Bali pada Tabel 1.

Tabel 1. Kategori Partisipasi Perempuan

No Persentase Pencapaian Skor Kategori1 >84-100 Sangat Tinggi2 >68-84 Tinggi3 >52-68 Sedang4 >36-52 Rendah5 >20-36 Sangat rendah

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik RespondenKarakteristik responden yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi, sebaran tingkat

pendidikan, umur, pengalaman kerja, jumlah anggota rumah tangga berdasarkan jeniskelamin dan mata pencaharian.

Page 119: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

114

1. Tingkat Pendidikan PetaniTinggi rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja akan berpengaruh terhadap

produktivitas kerjanya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesempatan dalammenangkap peluang kerja lebih besar sehingga pendapatan yang akan dihasilkan jugasemakin besar. Hasil penelitian menunjukan distribusi petani di Subak Guama KabupatenTabanan berdasarkan tingkat pendidikkan seperti tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan pada Subak GuamaKabupaten Tabanan Tahun 2015

No Tingkat PendidikanJumlah

(Orang) (%)12345678

Sekolah Rakyat (SR)Tidak Tamat SD

Tamat SDTamat SMPTamat SMA

AkademiDiploma I

Kuliah

861346111

20,0015,0032.5010,0015,002,502,502,50

Total 40 100Sumber : Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2016

Pada Table 2 nampak bahwa tingkat pendidikkan responden tergolong rendah. Hal iniditunjukkan oleh sebagian besar (67,50%) responden memliki pendidikan sederajat SekolahDasar, dan bahkan ada yang tidak tamat SD. Tingkat pendidikan akan sangat berpengaruhterhadap tingkat adopsi suatu inovasi, semakin tinggi tingak pendidikkan maka tingkat adopsiterhadap inovasi akan semakin tinggi. Petani yang memiliki pendidikkan lebih tinggi makaakan berpengaruh terhadap produktivitas usahatani yang semakin tinggi pula.

2. Umur RespondenUmur merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas tenaga kerja

dalam batas umur produktif tertentu. Semakin bertambah umur seseorang maka tenaga kerjayang dimiliki akan semakin produktif. Setelah umur tertentu atau semakin berlanjut umurseseorang produktivitas tersebut semakin menurun. Hasil penelitian menunjukan rata-rataumur responden adalah 58,18 tahun dengan kisaran 36 s.d 70 tahun. Hal ini menunjukkanbahwa hamper sebagian responden dalam pengelolaan usahatani di Subak Guama beradapadausia produktif dan juga non produktif. Menurut Mantra (1985) penduduk yang tergolongusia kerja atau produktif adalah kelompok umur 15 s.d 64 tahun dan di luar range initergolong usia tidak produktif. Distribusi responden menurut kelompok umur dalampengelolaan usahatani di Subak Guama Kabupaten Tabanan dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 120: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

115

Tabel 3. Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur di Subak Guama KabupatenTabanan Tahun 2016

NO Kelompok Umur(Tahun)

Jumlah(Orang) (%)

123

> 1516 -64< 64

01822

04555

Total 40 100Sumber : Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2016

Pada Tabel 3 nampak kelompok umur responden dalam pengelolaan kredit usahamandiri di Subak Guama banyak yang tergolong dalam usia muda dari umur 33 tahun,terbanyak berada pada tingkat umur antara 39 tahun s.d 43 tahun sebesar 38 %. Respondenyang berada pada usia non produktif (> 64 tahun) adalah sebanyak 0 %, sisanya termasukdalam usia kerja atau produktif.

3.2 Partisipsi Perempuan dalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian di Subak GuamaDalam kegiatan penyuluhan di Subak Guama nampak terjadi subordinasi terhadap

perempuan, baik dalam perencanaan ataupun dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhanpertanian yang diselenggarakan di Subak Guama. Perencanaan dalam kegiatan penyuluhanpertanian adalah proses pengambilan keputusan yang berdasarkan keadaan, terutamamengenai kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan yang diharapkan ataudikehendaki (Mardikanto, 2009:235).

Penyuluh Petani Lapangan (PPL) dalam melakukan kegiatan penyuluhan selalumempergunakan subak sebagai media, terutama saat subak malakukan kegiatan. Hal ini jugaberlaku di Subak Guama. Sebelum PPL melakukan penyuluhan, mereka berkoordinasidengan pengurus subak untuk menentukan materi yang akan disampaikan, termasuk waktu,dan tempat kegiatan penyuluhan dan sasaran penyuluhan, karena segala perencanaankegiatan penyuluhan pertanian dilakukan di subak. Berkaitan dengan perencanaan kegiatanpenyuluhan di Subak Guama dikatakan oleh Wakil Pekaseh Subak Guama, Drs. WayanAstawa, seperti berikut :”Kegiatan penyuluhan di Subak Guama akan dikoordinasikan oleh kelihan subak denganPPL. Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) akan menghubungi Pekaseh Subak Guama danmerencanakan pelaksanaan kegiatan penyuluhan tersebut. Dalam perencanaan kegiatanpenyuluhan akan diputuskan hal-hal yang berkaitan dengan; topik yang akan disuluhkan,penetapan waktu penyuluhan, peserta kegiatan penyuluhan, sarana dan prasarana yangdipergunakan dalam kegiatan penyuluhan. Perencanaan kegiatan penyuluhan sepenuhnyadilakukan oleh pengelola subak dan PPL yang dalam hal ini adalah laki-laki. Sehingga seringperempuan terlupakan sebagai sasaran peserta penyuluhan. Dengan demikian, partisipasiperempuan dalam penyuluhan menjadi sangat kecil (wawancara pada Desember 2010).

Dari ungkapan di atas dapat diketahui bahwa yang merencanakan kegiatan penyuluhanadalah pengurus subak dan PPL, dalam hal ini adalah laki-laki. Perempuan tidak dilibatkandalam perencanaan kegiatan penyuluhan. Peserta penyuluhan ditunjuk atau diundang olehpekaseh, yang diundang adalah petani maju, yaitu petani yang memiliki wawasan luastentang pertanian dan cukup responsif terhadap inovasi pertanian. Walaupun sampai saat, diwilayah Subak Guama belum ada perempuan sebagai petani maju, hendaknya perempuantetap diberikan kesempatan sebagai peserta dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Perempuanbelum diberikan kesempatan untuk ikut dalam kegiatan penyuluhan. Selama ini perempuan

Page 121: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

116

dianggap sebagai pelengkap dalam kegiatan usaha tani sehingga dianggap tidak memerlukaninovasi. Sehingga tidak perlu aktif dalam kegiatan penyuluhan. Berkaitan dengan hal iniperempuan mengalami subordinasi karena yang diprioritaskan adalah laki-laki.

Fenomena ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sugihastuti dkk. (2007:155)bahwa, posisi jenis kelamin yang melahirkan prasangka gender berdampak pada polahubungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi superordinat dalam berbagaiaspek kehidupan. Hubungannya dengan perempuan, dijalankan berdasarkan pemahamanmengenai superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan. Laki-laki memposisikan diri lebihunggul dari perempuan sehingga memposisikan perempuan sebagai inferioritas. Laki-lakimenciptakan legitimasi yang terbentuk melalui bingkai partriarkhi guna melanggengkanhegemoni terhadap kedudukan perempuan.

Dalam hal ini perempuan mengalami subordinasi dalam kegiatan penyuluhan karenahanya memprioritaskan laki-laki. Keadaan ini sangat sesuai dengan apa yang dikatakan olehNugroho (2008:11), bahwa dalam kehidupan masyarakat yang patriarkhis perempuan selaludiletakkan pada posisi nomor dua atau subordinasi karena selalu memprioritaskan laki-laki.

Berkaitan dengan kegiatan penyuluhan di Subak Guama dipertegas lagi oleh PekakLilik (60 th) :“Saya sangat jarang mengikuti penyuluhan karena peserta dalam kegiatan penyuluhanditunjuk langsung oleh subak. Biasanya yang ditunjuk adalah petani yang pintar dan petaniyang maju, siapa yang ditunjuk itu saja yang datang dalam kegiatan penyuluhan. Ibu-ibunyasangat jarang juga ikut penyuluhan karena tidak pernah ditunjuk, kalau ibu-ibunya ditunjukkemungkinan mau datang karena ibu-ibunya yang sangat aktif melakukan kegiatan usaha tanidi sawah” (wawancara pada Januari 2011).

Ungkapan Pekak Lilik di atas dapat diketahui bahwa, dalam merencanakan kegiatanpenyuluhan yang akan diselenggarakan oleh Subak Guama, peserta kegiatan penyuluhanditetapkan berdasarkan kemampuan petani. Dalam hal ini, petani yang mampu/pintar sajadiikutkan dalam kegiatan penyuluhan. Petani perempuan tidak pernah ditunjuk dalamkegiatan penyuluhan pertanian sehingga tidak pernah berpartisipasi dalam kegiatanpenyuluhan. Hal ini terjadi karena perempuan dianggap tidak penting mengikuti penyuluhan.Petani perempuan tidak memiliki kemampuan untuk ikut kegiatan penyuluhan. Perempuantidak memiliki kemampuan sehingga tidak dilibatkan dalam peneyuluhan karena dianggaptidak mampu menerima inovasi yang diberikan (Nugroho, 2008:11).

Walaupun perempuan diberikan kesempatan untuk mengikuti penyuluhan, tetapikadang-kadang perempuan tidak bisa memanfaatkan kesempatan tersebut karema adanyaperan ganda dari perempuan. Selain petani perempuan berperan sebagai petani, juga berperansebagai ibu rumah tangga yang kegiatannya di ranah domestik. Di samping itu perempuanjuga melakukan kegiatan sosial di masyarakat yang dikenal dengan kegiatan adat ataukegiatan menyamabraya.

Penyuluhan secara rutin dilakukan menjelang tanam untuk menentukan cara pengolahanlahan, penetapan varietas yang akan ditanam dan juga membibing petani dalam menerapkanteknologi yang akan digunakan. Metode penyuluhan yang dipergunakan oleh PPL adalahmetode anjang sana yaitu metode penyuluhan dengan melakukan keunjungan ke tempatpetani atau disebut juga metode sistem laku atau latihan dan kunjungan. Dalam hal ini, PPLmelakukan tugasnya secara rutin mengujungi kelompok tani setiap satu minggu satu kali.Petugas Penyuluh Lapangan Subak Guama yang bernama Pt. Lina Kantun memiliki enamkelompok tani binaan yang termasuk Subak Guama. Berkaitan dengan kegiatan penyuluhandi Subak Guama Pt. Lina Kantun PPL Subak Gauma, mengatakan seperti berikut.“Kegiatan penyuluhan yang berkaitan dengan teknologi pertanian yang dilakukan di SubakGuama sangat jarang melibatkan petani perempuan dan bahkan tidak ikut berpartisipasi baikdalam perencanaan ataupun dalam kegiatan penyuluhan yang berkaitan dengan teknologi

Page 122: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

117

pertanian. Apabila saya akan memberikan penyuluhan di Subak Guama maka saya akanberkoordinasi dengan Pekaseh Subak Guama. Kemudian Pekaseh Subak Guama menetapkansiapa yang menjadi perserta dari kegiatan penyuluhan tersebut. Apabila datang petaniperempuan saya juga sangat senang. Tapi petani perempuan sangat jarang diikutkan dalamkegiatan penyluhan. Petani perempuan dianggap tidak perlu ikut penyuluhan, karena kegiatanpenyuluhan adalah urusan laki-laki. Perempuan hanya dipandang sebagai pelengkap dalamkegiatan usaha tani” (wawancara pada Oktober 2010)

Melalui ungkapan Pt. Lina Kantun di atas dapat diketahui bahwa keterlibatan perempuansangat kecil dan bahkan sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan penyuluhan. Perempuantidak diprioritaskan dalam kegiatan penyuluhan di Subak Guama. Kegiatan penyuluhan yangberkaitan dengan teknologi pertanian hanya diprioritaskan pada petani laki-laki. Perempuanbelum diperhitungkan dalam kegiatan penyuluhan yang berkaitan dengan teknologi pertanian.Dalam hal ini perempuan tersubordinasi dalam kegiatan penyuluhan karena mereka dianggaptidak penting.

Kegiatan penyuluhan adalah pendidikan nonformal yang diberikan kepada petani besertakeluarganya. Artinya, dalam kegiatan penyuluhan anggota rumah tangga petani, termasukistri juga diharapkan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Terlibatnya perempuan dalamkegiatan penyuluhan diharapkan dapat mengubah pengetahuan petani. Kemudian,pengetahuan tersebut akan diterapkan berupa keterampilan yang sesuai dengan pengetahuanyang diperoleh dan cocok dengan situasi tertentu (Leeuwis, 2010: 157). Apabila pengetahuanyang diperoleh tentang manajemen usaha tani, maka perempuan akan mampu membuatperencanaan yang lebih baik dalam melakukan kegiatan usaha tani.

Penyuluhan juga sering dilakukan oleh instansi terkait misalnya penyuluhan yangdilakukan oleh Dinas Pertanian Kabupaten ataupun dari Dinas Tanaman Pangan Provinsi, disamping penyuluhan yang diberikan oleh BPTP Bali. Dalam realisasi program PrimaTaniyang dilakukan oleh BPTP Bali secara rutin memberikan pembinaan dan sosialisasi tentangteknologi atau inovasi yang berkaitan dengan Prima Tani. Teknologi yang disosialisasikanadalah teknologi yang berkaitan pengolahan pascapanen seperti teknik pembuatan bronis dariketela ungu, teknik pembuatan VCO. Dalam hal ini, VCO adalah pembuatan minyak kelapamurni. Apabila penyuluhan ini diadakan, maka pesertanya akan didominasi oleh petaniperempuan. Kegiatan penyuluhan tentang teknologi penanganan pascapanen akan dilakukanpada kelompok wanita yang disebut Kelompok Wanita Tani Sumber Makmur yangmerupakan bagian dari Subak Guama.

Keterlibatan perempuan dalam sosialisasi Prima Tani (Program Rintisan dan AkselerasiPemasyarakatan Inovasi) relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan laki-laki, terutama padapenyuluhan yang berkaitan dengan teknologi pertanian. Salah satu program Prima Tani yangberkaitan dengan teknologi pertanian adalah SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan TanamanTerpadu). Dalam SLPTT ini diimplementasikan latihan-latihan yang berkaitan denganpengelolaan tenaman terpadu, termasuk di dalamnya tentang pengendalian hama danpenyakit tanaman, teknik budi daya tanaman, seperti cara pengolahan lahan ataupun carasemai dan teknik penanam bitbit.

Partisipasi perempuan dalam Kegiatan pelatihan SLPTT yang berkaitan dengan tanamanpadi sawah yang diselenggrakan pada tahun 2015 di Tempek Kekeran dan Tempek Pekilen.Dalam hal ini, keterlibatan perempuan sangat kecil, yaitu hanya 17,46% sedangkan laki-lakisebesar 82,54%. Kondisi ini menunjukan bahwa perempuan sangat kecil kehadirannya dalamkegiatan penyuluhan. Hal ini sebagai akibat pola pengambilan keputusan dalam rumah tanggayang didominasi oleh laki-laki, sehingga perempuan tidak berani mengambil keputusansendiri pada saat mengikuti penyuluhan. Berkaitan dengan kegiatan penyuluhan di SubakGuama, I Wayan Witi (57 tahun) menyatakan sebagai berikut.

Page 123: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

118

“Saya ingin mengikuti penyuluhan di subak, tapi saya tidak pernah ditunjuk dan diundangdalam kegiatan penyuluhan tersebut. Saya ingin tahu tentang teknik budi daya tanaman,terutama cara tanam yang berbeda seperti tanam caplak yang pakai ukuran tertentu. Apabilasaya akan menanam padi dengan sistem caplak maka akan dibuatkan garis caplaknya olehsuami saya kemudian baru saya memula bibit padi tersebut (wawancara pada Pebruari 2015)

Dari ungkapan di atas dapat diketahui bahwa petani perempuan berkeinginanberpartisipasi dalam kegiatan penyuluhan. Petani perempuan juga ingin meningkatkanketerampilannya dalam teknik budi daya dan usaha tani terutama dalam teknik penanamanpadi baru. Namun, perempuan tersubordinasi dalam kegiatan penyuluhan, di samping adanyapelabelan yang negatif terhadap perempuan. Oleh karena perempuan dianggap tidakmemunyai kemampuan menerima inovasi yang diberikan saat mengikuti kegiatanpenyuluhan. Dalam hal ini, dari empat puluh orang informan yang diwawancari, menyatakan32,50% menyatakan bahwa ingin mengikuti penyuluhan pertanian dengan berbagai alasan.Salah satu alasan yang dikemukakanan adalah ingin mendapatkan pengetahuan tentang caramenanam bulih (bibit padi) secara tabela, tanam cara legowo, dan cara mengolah hasilpertanian seperti membuat kerajinan rumah tangga.

Ketidakhadiran perempuan dalam kegiatan penyuluhan juga disebabkan olehkesibukannya sendiri. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh perempuan sehinggatidak mengikuti penyuluhan, yaitu mereka merasa sibuk dengan urusan rumah tangganya, disamping sibuk melakukan kegiatan sosial yang disebut dengan menyamabraya. Berkaitandengan ketidakhadiran perempuan dalam kegiatan penyuluhan dikatakan oleh Wayan Retiyang hanya berpendidikan Seolah Dasar (tidak tamat) sebagai berikut.“Yang mengikuti penyuluhan adalah laki-laki, penyuluhan adalah tugas laki-laki, bukantugas perempuan. Oleh karena itu saya tidak perlu ikut penyuluhan pertanian, di samping itusaya tidak mempunyai kemampuan untuk mengikuti kegiatan penyuluhan karena saya sangatsulit mengertikan apa yang dijelaskan oleh penyuluh. Saya tidak tamat sekolah SD sayahanya bisa menulis sedikit sedikit saja” (wawancara dengan Wayan Riti, pada Pebruari2015).

Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa hambatan perempuan mengikutipenyuluhan bersumber dari dirinya sendiri. Perempuan merasa tidak memiliki kemampuanuntuk bisa mengikuti alih teknologi melalui kegiatan penyuluhan. Hal ini sebagai akibat darirendahnya pendidikkan perempuan sehingga tidak memupunyai kesempatan untukmeningkatkan kualitas dirinya. Hal ini berdampak terhadap peningkatan kualitas sumber dayaperempuan yang mengakibatkan keterpurukan terhadap perempuan itu sendiri.

3.3 Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Kegiatan Penyuluhan di Subak GuamaPartisipasi perempuan pada kegiatan penyuluhan mulai dari tahap perencanaan sampai

pada tahap evaluasi. Berdasarkan hasil penelitian tingkat partisipasi perempuan pada kegiatanpenyuluhan “tergolong sangat rendah” dengan pencapaian skor 35,97%, hal tersebutmengartikan bahwa perempuan kurang memilikki peluang untuk merencanakan kegiatanpenyuluhan. Perempuan ahnya mengkiuti saja apa direncanakan oleh pihak laki-laki selakupelaksana penyuluhan. Tingkat partisipasi perempuan pada masing-masing tahap kegiatanpenyuluhan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 124: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

119

Tabel 4. Rata-rata Persentase Skor Penilaian Tingkat Partisipasi Perempuan dalamKegiatan Penyuluhan pada Tahap Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi di Subak

Guama, Tahun 2016.

NoTahap Kegiatan

PenyuluhanSkor Penilaian

% Kategori

1 Perencanaan 35,97 Sangat rendah2 Pelaksanaan 70,03%. Tinggi3 Evaluasi 80,50 Tinggi

Rata-rata 62.167 Sedang

3.3.1 Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Tahap Perencanaan KegiatanPenyuluhanBerdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa tingkat partisipasi perempuan

dalam tahap perencanaan kegiatan penyuluhan termasuk kategori “sangat rendah” denganskor sebesar 35,90%. Hal ini menunjukan bahwa keterlibatan perempuan dalam tahapperencanaan kegiatan penyuluhan sangat rendah. Perempuan sangat kecil perannya dalamperencaan kegiatan penyuluhan yang berkaitan dengan waktu dan tempat pelaksanaan,materi, narasumber, fasilitas, biaya, metode, dan tujuan dari kegiatan penyuluhan tersebut.Data selengkapnya disajikan di dalam Tabel 5.

Tabel 5. Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Tahap PerencanaanKegiatan Penyuluhan, Tahun 2016

NoKriteria Persentase

skor (%)Kategori

Perencanaan

1Peserta penyuluhan menentukan Waktu dantempat pelaksanaan kegiatan penyuluhan

30,65sangatrendah

2Peserta penyuluhan menentukan materi yangakan diberikan 35,67

sangatrendah

3Peserta penyuluhan menentukan fasilitas yangdiperlukan dalam kegiatan penyuluhan 35,60

sangatrendah

4Peserta penyuluhan membicarakan biaya yangdihabiskan dalam kegiatan penyuluhan padasaat perencanaan

27,50sangatrendah

5Peserta penyuluhan menentukan metodepenyuluhan saat perencanaan 36,50

sangatrendah

6Peserta penyuluhan membicarakan tujuan yangingin dicapai dalam mengikuti kegiatanpenyuluhan

49,48 rendah

Rata-rata 35.90sangatrendah

Page 125: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

120

Melalui Tabel 5 dapat diketahui bahwa peserta penyuluhan tidak dilibatkan dalammenentukan perencanaan waktu dan tempat penyuluhan. Karena penyuluh mengikutikegiatan penyuluhan yang telah ditetapkan oleh subak dan kegiatan penyuluhan biasanyadilakukan di balai subak, biasanya waktu penuluhan ditetapkan pada saat kegiatan rutinpertemuan subak. Sehingga dalam penetapan waktu dan tempat tidak ada pilihan lain selainmengikuti pertemuan yang dilakukan subak. Begitupula halnya dalam hal penetapan materipenyuluhan, metode penyuluhan, fasilitas penyuluhan dan biaya yang diperlukan dalamperencanaan perempuan atau peserta penyuluhan keterlibatanya sangat rendah. Begitu pulahalnya partisipasi perempuan dalam penetapan tujuan kegiatan penyuluhan tergolong rendah.Hal ini memberikan gambaran bahwa perempuan sangat jarang diajak berembug dalamtujuan dari kegiatan penyuluhan tersebut.

3.3.2 Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Tahap Pelaksanaan Kegiatan PenyuluhanDalam hal pelaksanaan kegiatan penyuluhan tanaman pangan yang dilakukan, hasil

penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi perempuan dalam tahap pelaksanaankegiatan penyuluhan termasuk kategori “Tinggi” dengan skor sebesar 70,03%. Hal inimenunjukan perempuan telah memiliki peran yang tidak jauh berbeda dengan laki-lakidalam pelaksanaan kgiatan penyuluhan pertanian. Dalam konteks ini yaitu dalam bidangpertanian. Kegiatan penyuluhan diberikan kepada perempuan agar dapat mengolah hasilpertanian dan mempunyai nilai jual yang tinggi. Partisipasi perempuan dalam tahappelaksanaan kegiatan penyuluhan meliputi: ketepatan waktu, metode, pengaturan tempat,partisipasi partisipan, dan kompetensi penyuluh dengan masing-masing perolehan skorseperti yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Tahap Pelaksanaan KegiatanPenyuluhan

No Indicator PartisipasiPersentaseskor (%)

Kategori

1Kegiatan penyuluhan dimulai tepat waktu

68,75 tinggi

2Peserta penyuluhan memahamimetode/teknik yang digunakan 65,50 sedang

3Peserta penyuluhan ikut pengaturan tempatposisi duduk 69,80 tinggi

4Peserta penyuluhan aktif bertanya danmember ide dalam kegiatan penyuluhan 70,5 tinggi

5Peserta penyuluhan sangat memahamimateri penyuluhan yang diberikan 75,60 tinggi

Rata-rata 70,03 tinggi

Pada Tabel 6 nampak pencapaian skor pada kriteria peserta penyuluhan mengikutisetiap tahap kegiatan penyuluhan mencapai skor 70.03.%, yang tergolong tinggi. Hal inimengindikasikan bahwa perempuan mengikuti kegiatan penyuluhan dengan tepat waktu, iniberarti bahwa sebagian besar peserta hadir tepat saat kegiatan penyuluhan. Selanjutnyaperempuan juga cukup mengerti dengan metode yang dipergunakan dalam kegiatanpenyuluhan tersebut dengan pencapaian skor 65,0% yang tergolong sedang. Hal inimengindikasikan bahwa perempuan sebagai peserta dalam kegiatan penyuluhan sebagian

Page 126: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

121

dapat memahami dan sebagian tidak memahami metode yang dipergunakan dalam kegiatanpenyuluhan tersebut. Dapat dikatakan pula bahwa peserta penyuluhan masih ragu-ragudalam memahami metode penyuluhan yang dipergunakan.

Pada Tabel 6 nampak pula bahwa peserta penyuluhan ikut menata posisi duduk saatkegiatan penyuluhan berlangsung mencapai skor 69,80% dengan kreteria tinggi. Ini berartipeserta penyuluhan ikut mengatur posisi duduk dalam kegiatan penyuluhan supaya merasanyaman dalam mengikuti kegiatan penyuluhan terseut. Pada saat mengikuti kegiatanpenyuluhan perempuan aktif dalam bertanya dan mengemukakan ide-ide dengan pencapaianskor 70,50 yang tergplong tinggi. Hal ini berarti pula bahwa peserta penyuluhan mampumenjawab pertanyaan yang diberikan penyuluh. Selanjunya peserta penyuluhan sangatmemahami materi penyuluhan yang diberikan dan mencapai skor 75,60.% yang tergolongtinggi (Tabel 6).

3.3.3 Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Tahap Evaluasi Kegiatan Penyuluhan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa tingkat partisipasi perempuandalam tahap evaluasi kegiatan penyuluhan termasuk kategori “tinggi” dengan skor sebesar80,50%. Tingkat partispasi perempuan terhadap kegiatan evaluasi kegiatan penyuluhansedang karena pada tahap evaluasi akan lebih menambah pengetahuan dan akan lebih pahamterhadap materi yang telah disampaikan. Data selengkapnya disajikan di dalam Tabel 7.

Tabel 7. Tingkat Partispasi Perempuan dalam Tahap Evaluasi Kegiatan Penyuluhan

No

KriteriaPersentaseskor (%)

KategoriEvaluasi

1 Penyuluh menyertakan peserta penyuluhandalam evaluasi

79.50 Tinggi

2 Peserta penyuluhan selalu mengikuti tahapevaluasi 80.67 Tinggi

3 Peserta penyuluhan selalu mengadakanevaluasi setelah kegiatan penyuluhanberlangsung

81.33 Tinggi

Rataan skor 80.50 Tinggi

Tujuan dari kegiatan evaluasi ini, yaitu untuk menentukan arah penyempuranaankegiatan penyuluhan, untuk memberikan gambaran kemajuan pencapaian tujuan, untukperbaikan program dan rencana kerja, dan untuk mengukur efektifitas metode penyuluhanyang digunakan. Pada tahap evaluasi hal pertama yang dilakukan, yaitu pengumpulan dataatau informasi pada saat proses kegiatan sedang berlangsung, dan menggunakan informasi itusebagai cara untuk mengetahui kemajuan pelaksanaannya serta memastikan bahwa kemajuantelah dicapai sesuai jadwal waktu. Ini dimaksudkan untuk memantau sejauh mana suatuproses pendidikan telah berjalan sebagaimana yang direncanakan. Selanjutnya mengukursecara keseluruhan hasil perubahan yang terjadi sebagai akibat dilancarkannya suatu kegiatanpenyuluhan. Hal ini dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana perilaku peserta didik telahberpindah ke perilaku baru yang diharapkan terbentuk.

Page 127: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

122

3.4 Faktor-faktor yang Berperan dalam Partisipasi Perempuan Dalam KegiatanPenyuluhan Pertanian

Beberapa faktor yang berperan dalam tingkat partisipasi perempuan terbagi atas duafaktor besar yaitu Faktor internal yang terdiri dari faktor pengetahuan, sikap, pendidikan danumur. Sementara Faktor ekstenal terdiri dari faktor materi penyuluhan, metode penyuluhan,kegiatan sosial, kegiatan ritual dan suasana kelompok. Hasil keseluruhan, faktor internalmemperoleh hasil skor rata-rata sebesar 76% dan faktor eksternal memperoleh skor rata-ratasebesar 80% dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian sehinggadapat dikatakan bahwa faktor internal dan faktor eksternal sama-sama memiliki peranan yangsangat tinggi.

3.4.1 Faktor Internal1. Faktor Pengetahuan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor pengetahuan memilikiperanan yang sangat tinggi dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatan penyuluhanpertanian, hal ini ditunjukkan oleh skor yang diperoleh 85%. Partisipasi perempuan dalammengikuti kegiatan penyuluhan pertanian dilakukan dengan alasan untuk meningkatkanpengetahuan dengan skor 90%, disamping itu pada saat mengikuti penyuluhan respondenmenganggap penting untuk mengikuti kegiatan penyuluhan guna menambah pengetahuandengan skor 89% dan setelah responden mengikuti kegiatan penyuluhan pengetahuanresponden menjadi meningkat, diperoleh skor 76%.

2. Faktor SikapBerdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor sikap memiliki peranan

yang sangat tinggi dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian,hal ini ditunjukkan oleh skor yang diperoleh 87%. Dimana responden menganggappenyuluhan yang diberikan menyenangkan diperoleh skor 85%, responden setuju terhadapkegiatan penyuluhan yang diberikan dengan skor 85% dan responden menerima kegiatanpenyuluhan yang diadakan dengan skor 87%.

3. Faktor PendidikanBerdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor pendidikan memiliki

peranan yang tinggi dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian,hal ini ditunjukkan oleh skor yang diperoleh 83%. Dimana pendidikan formal yang dimilikioleh responden berperan dalam meningkatkan partisipasi dalam kegiatan penyuluhanditunjukkan dengan skor 85% , 80% responden dapat memahami materi penyuluhan yangdiberikan, dan pendidikan non-formal yang dimiliki oleh responden berperan dalammemahami materi penyuluhan yang diberikan dengan skor 84%.

4. Faktor UmurSecara umum 89% responden setuju bahwa faktor umur memiliki peranan yang

sangat tinggi dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian. Dimanaumur responden berperan di dalam mengikuti kegiatan penyuluhan ditunjukkan dengan skor85%, disamping itu umur responden tidak menjadi halangan di dalam mengikuti kegiatanKWT dengan skor 95% dan 87% responden setuju bahwa umur responden berperan dalammeningkatkan partisipasi.

3.4.2 Faktor Ekternal1. Faktor Materi Penyuluhan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor materi penyuluhanmemiliki peranan yang tinggi dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatan penyuluhanpertanian yang ditunjukkan oleh skor sebesar 81%. Sementara alasan partisipasi perempuan

Page 128: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

123

di Kelompok Wanita Tani Suka Makmur mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian adalahmateri penyuluhan sesuai dengan kebutuhan responden memperoleh skor 83%, 81% materipenyuluhan dapat diterapkan dalam kegiatan kelompok dan materi penyuluhan dapat diterima(diadopsi) oleh anggota kelompok mendapat skor 80%.

2. Faktor Metode PenyuluhanBerdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor metode penyuluhan

berperan tinggi dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatan penyuluhan pertaniandengan skor 80%. Hal ini dapat dilihat dari cara menyampaikan penyuluhan menarikdiperoleh skor 85%, disamping itu dapat dilihat juga cara menyampaikan penyuluhan mudahuntuk dipahami dengan skor 75% dan cara menyampaikan penyuluhan bervariasi (tidakmonoton) ditunjukkan oleh skor 81%.

3. Faktor Kegiatan sosialBerdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor kegiatan sosial tidak

menganggu partisipasi perempuan dalam kegiatan penyuluhan pertanian memiliki perananyang sangat tinggi ditunjukkan dengan perolehan skor sebesar 99%. Hal ini dapat dilihatbahwa kegiatan sosial seperti “mapitulung” tidak menganggu untuk mengikuti penyuluhandengan skor 99%, 97% responden menganggap kegiatan PKK tidak menganggu untukmengikuti penyuluhan dan 100% responden berpendapat kegiatan pesantian dan kesenianlainnya tidak menganggu untuk mengikuti penyuluhan.

4. Faktor Kegiatan ritualBerdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor kegiatan ritual memiliki

peranan yang sangat tinggi untuk tidak menganggu partisipasi wanita dalam kegiatanpenyuluhan pertanian yang ditunjukkan dengan skor 99%. Dimana hal tersebut ditunjukkanoleh kegiatan pelaksanaan upacara adat secara pribadi pada tingkat rumah tangga tidakmenganggu untuk mengikuti kegiatan penyuluhan yang mendapat skor 99%, 99% respondenjuga berpendapat kegiatan lainnya yakni kegiatan pelaksanaan upacara adat pada tingkatdadia/pemaksan tidak menganggu untuk mengikuti kegiatan penyuluhan dan untuk kegiatanpelaksanaan upacara adat secara kolektif pada tingkat Banjar/Desa tidak menganggu untukmengikuti kegiatan penyuluhan memperoleh skor 98%.

5. Faktor Suasana kelompokBerdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa 93% faktor suasana kelompok

memiliki peranan yang sangat tinggi dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatanpenyuluhan pertanian. Partisipasi perempuan dalam kegiatan penyuluhan pertanian itu91% didukung oleh suasana kelompok yang kondusif, selain itu 95% responden setujukekompakan dalam kelompok berperan di dalam mengikuti kegiatan penyuluhan sebesardan alasan lainnya kerjasama yang baik antar anggota KWT berperan 94% dalampartisipasi di kegiatan penyuluhan.

SIMPULAN DAN SARAN

4.1 SimpulanBerdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Tingkat partisipasi perempuan dalam kegiatan penyuluhan tergolong “Sedang” denganrata-rata persentase 62,16.%. Tingkat partisipasi perempuan dalam tahap perencanaankegiatan penyuluhan sangat rendah dengan persentase 35,97%. Tingkat partisipasiperempuan dalam tahap pelaksanaan kegiatan penyuluhan tergolong “tinggi” denganpersentase 70,03%. Tingkat partisipasi perempuan dalam tahap evaluasi kegatanpenyuluhan tergolong tinggi dengan persentase 80,50%. %.

Page 129: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

124

2. Faktor yang berperan dalam tingkat partisipasi perempuan terbagi atas dua faktor besaryaitu Faktor internal yang terdiri dari faktor pengetahuan, sikap, pendidikan dan umur.Sementara Faktor ekstenal terdiri dari faktor materi penyuluhan, metode penyuluhan,kegiatan sosial, kegiatan ritual dan suasana kelompok.

4.2 SaranBerdasarkan hasil penelitian dapat disarankan sebagai berikut.

1. Kegiatan penyuluhan perlu dilaksanakan secara lebih intensif diadakan terutama padapenyuluhan industri rumah tangga, karena kegiatan ini dapat dilaksanakan dirumahmasing-masing dan tidak mengganggu kewajiban perempuan, yaitu sebagai ibu rumahtangga.

2. Petani perempuan perlu lebih aktif lagi dalam mengikuti kegiatan penyuluhn danbekerjasama dengan pihak-pihak terkait sehingga diharapkan dapat meningkatkankemampuan dan pengetahuan anggota kelompok.

DAFTAR PUSTAKA

Astiti, Sri, Ni Wayan 1997. Peran Subak Gede Dalam Pelaksanaan Program Supra Insus diKabupaten Tabanan. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada,Yogyakarta.

Astiti, Sri, Ni Wayan 2012. Ketimpangan Gender dalam Pengelolaan Subak Guama,Kecamatan Marga, Tabanan Bali. Disertasi Program Pascasarjana, UniversitasUdayana.

Astiti, Sri, Ni Wayan 2013. Peran Gender Dalam Kegiatan Usahatani Padi Sawah, KasusSubak Guama, Kabupaten Tabanan Bali

Badan Pusat Statistik Propinsi Bali. 2012. Bali Dalam Angka tahun 2012. BPS Propinsi Bali.Chamber, Robert. 1999. PRA, Participatory Rural Appraisal, Memamahami Desa Secara

Partisipatif. Kanisius, Yogyakarta.Diniari F. Soe’oed. 2000. Perempuan dan Pekerjaan. Penyunting Sita Van Bemmelen,

Atashendartini H. Lugina Setyawati. Dalam Benih Bertumbuh. Kumpulan Karanganuntuk T.Omas Ihroni. Panitia Peringatan Ultah Ibu Ihroni ke 70 tahun. Bekerjasamadengan kedutaan besar Belanda.

Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender Transformasi Sosial. Insist Press. Yogyakarta.Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya di Indonesia. Pustaka

pelajar. Yogyakarta.Mikkelsen, Britha. 2001. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Uapaya Pemberdayaan,

Sebuah buku Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan. Yayasan Obor Indonesia.Rangkuti, Fredyy. 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Cetakan ke-6.

Jakarta PT Sun.Sugihastuti, Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan. Praktik Kritik

Sastra Feminis. Pustaka Pelajar.Sutawan, N. 2008.Organisasi Dan Manajemen Subak Di Bali. Pustaka Bali Post.Usman, Sunyoto. 2004. Kemitrasejajaran Wanita-Pria. Dalam Pembangunan dan

Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.Vitalaya, Aida, S.Hubeis. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. IPBWindia, I Wayan. 2006. Tranpormasi Sistem Irigasi Subak yang berlandaskan Konsep Tri

Hita Karana. Balipost Press. Denpasar.Windia, I Wayan. 2008. Menuju Sistem Irigasi Subak yang Berkelanjutan di Bali. Pidato

Orasi Ilmiah Guru Besar, Sabtu, 29 Maret 2008. Universitas Udayana.

Page 130: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

125

Windia, I Wayan.2009. Konsep Pengelolaan Kawasan Subak (perspektif Rencana WarisanBudaya Dunis dalam Kategaori Lanskap Budaya). Makalah disampaikan dalam acaraSosialisasi Pengelolaan Warisan Budaya Dunia. 16-17 Desember 2009. FakultasPertanian Universitas Udayana.

Page 131: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

126

ALOKASI PEMBIAYAAN DANA KREDIT LPD PADA SEKTORPERTANIAN DI KABUPATEN GIANYAR

Putu Udayani Wijayanti, I Wayan WidyantaraProdi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana

Jln, PB Sudirman Denpasar BaliEmail: [email protected]

ABSTRACK

Local Bali Government Level I pass trough Decree of the Governor of Bali Number 972Year 1984 said to develop Village Credit Institution (LPD) in Bali Province, with the aim offurther simplifying rural communities in seeking business capital and to exploit the potential ofvillage communities in economic development and support the development of ruralcommunities. The presence of Village Credit Institution is one of strategic policy to increaserural communities prosperity.

The specific purpose of this study is to know the allocation of credit issued for various ruraleconomic activities and know the credit funds obtained by creditors, used for anything inagricultural activity.

Object of this research are two LPD which is purposively choosen with consideration ofthose LPD gives credit to the farmer (creditors). One of them are taken in sub urban area nearurban areas that is Traditional Village LPD of Blega in Blahbatuh sub-district and the other oneare taken in rural area that is Traditional Village LPD of Taro Kaja in Tegalalang sub-district.Related to the two research location because of allocated time and fund for the research.

The populations in this research are all of the creditors who borrowed credit fund from LPDand the samples taken by purposive random sampling from each LPD, where for the allocation ofcredit in the agricultural sector obtained each of 4 people as a sample. Data analysis that used aredescriptive qualitative to describe allocated fund credit used that the samples get at agriculturalsector.

The result of the research are credit distribution to the agricultural sector from LPD Blegaand LPD Taro Kaja as much as 7,49% from total credits, meanwhile total credit used by farmersin crop farming branch for both LPD are Rp. 18.500.000,-. Obtained data in the field, the creditfund obtained is greater for outside agricultural sector that is yadnya and build a house.Key Word : Allocation, Credit, Agricultural Sector

Page 132: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

127

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suatu jaringan keuangan yang aktif dan sehat di pedesaan akan menunjang pertumbuhan

industri padat karya di pedesaan dan meningkatkan nilai tambah usaha kecil. Pada masa lalu

kendala utama dalam kebijaksanaan keuangan adalah masalah keseimbangan antara orientasi

pasar dan intervensi pemerintah, tetapi terdapat juga alasan-alasan khusus mengapa

demikian. Banyak negara yang sedang berkembang gagal menyelenggarakan sistem

keuangan di pedesaan yang baik dan mampu bertahan, walaupun bantuan keuangan untuk

orang-orang miskin di pedesaan merupakan agenda politik dan ekonomi yang utama di

negara-negara tersebut (Martokoesoemo, (1995) dalam Wirawati (2006))

Tujuan pembangunan pertanian adalah meningkatkan produksi pertanian, peningkatan

dan pemerataan pendapatan petani serta menciptakan kesempatan kerja di sektor pertanian.

Dalam hal ini pemerintah menyediakan sarana produksi pertanian seperti pupuk, obat-obatan,

bibit dan sejenisnya dengan harga yang terjangkau petani. Pemerintah juga menyediakan

kredit dengan harga yang rendah. Untuk tujuan tersebut Pemerintah Daerah Tingkat I Bali

melalui Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 972 Tahun 1984,

mengembangkan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Provinsi Bali, dengan tujuan untuk

lebih mempermudah masyarakat pedesaan di dalam mencari modal usaha dan memanfaatkan

potensi masyarakat desa dalam pembangunan ekonomi serta menunjang pembangunan

masyarakat pedesaan. Kehadiran Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan salah satu

kebijakan strategis untuk dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok masyarakat pedesaan

Keberadaan LPD sebagai kekayaan dan usaha ekonomi desa memiliki posisi strategis.

Manfaat langsung yang diterima krama desa adalah untuk kegiatan produksi atau sebatas

konsumsi. Idealnya masyarakat desa pekraman mampu memperoleh manfaat ekonomis dari

keikutsertaannya sebagai krama desa. Masyarakat desa adat/pakraman mempunyai

kesempatan yang lebih besar dalam memperoleh modal usaha LPD juga menjadi sarana

pembangunan fasilitas fisik desa, serta memberikan bantuan sosial masyarakat desa

adat/pakraman.

Page 133: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

128

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Alokasi

Defenisi alokasi adalah penentuan banyaknya uang (biaya) yang disediakan untuk suatu

keperluan. Alokasi juga berarti pembagian biaya barang, jasa; pembagian jumlah segolongan

biaya kepada sejumlah rekening dengan tujuan mengidentifikasi biaya dengan produk yang

dihasilkan oleh barang atau jasa itu (http://www.artikata.com)

2.2 Pengertian dan Landasan Hukum Lembaga Perkreditan Desa

Lembaga Perkreditan Desa yang lebih popular dengan sebutan LPD adalah Lembaga

Keuangan yang dimiliki oleh Desa Pekraman dan dikelola oleh Desa Pekraman atau Desa Adat.

Fungsi dari LPD adalah sebagai wadah kekayaan desa yang berupa uang atau surat berharga

lainnya (Antara, 2009)

Status dari LPD merupakan Badan Usaha Milik Desa (BUMD). Jenis usaha yang

dijalankan LPD adalah jasa yang terdiri dari tabungan, deposito, dan kredit.

2.3 Defenisi, Prinsip, dan Fungsi Kredit

Undang-undang Perbankan No 7 Tahun 1992 mengungkapkan Pengertian Kredit merupakan

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam

untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bungan imbalan atau

pembagian hasil keuntungan.

2.4 Macam Kredit Berdasarkan Sektor Perekonomiannya

1. Kredit Pertanian, adalah kredit untuk perkebunan, peternakan dan perikanan

2. Kredit Pertambangan, ialah kredit untuk beraneka macam pertambangan

3. Kredit Ekspor-Impor, yaitu kredit untuk eksportir dan importir macam-macam barang.

4. Kredit Koperasi, adalah kredit untuk jenis-jenis koperasi

5. Kredit Profesi, adalah kredit untuk macam-macam profesi, misalnya dokter dan guru.

6. Kredit Perindustrian, adalah kredit untuk macam-macam industri kecil, menengah dan

besar.

Page 134: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

129

2.5 Pengertian Usahatani

Menurut Soekartawi (1995), usahatani merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana

seorang petani mengalokasikan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien untuk

memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Usahatani juga merupakan kegiatan

usaha manusia untuk mengusahakan tanahnya. Pada akhirnya memperoleh hasil tanaman atau

hewan tanpa mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah yang bersangkutan untuk

memperoleh hasil selanjutnya.

2.6 Kontribusi dari Penelitian

Diharapkan dari penelitian ini diketahui alokasi kredit yang dikeluarkan untuk berbagai

kegiatan ekonomi pedesaan, serta mengetahui dana kredit yang diperoleh kreditor, digunakan

untuk apa saja dalam kegiatan pertanian.

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Khusus Penelitian

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahui alokasi kredit yang dikeluarkan untuk berbagai kegiatan ekonomi pedesaan

b. Mengetahui dana kredit yang diperoleh kreditor, digunakan untuk apa saja dalam kegiatan

pertanian

3.2 Manfaat

Adapun urgensi dari penelitian ini adalah desa merupakan daerah penyokong dari suatu

wilayah Negara sehingga pembangunannya haruslah memegang peranan yang penting. Dalam

membangun sebuah desa harus ada lembaga penunjuang, salah satu lembaga penunjang yang

sangat penting di Bali adalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD), yaitu untuk memberikan

pinjaman modal bagi masyarakat guna melakukan usaha.

Page 135: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

130

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di daerah Kabupaten Gianyar. Penentuan lokasi dilakukan

secara sengaja (purposive) berdasarkan atas pertimbangan daerah Kabupaten Gianyar

terdapat banyak lahan pertanian dan obyek pariwisata. Dimana hasil pertanian terserap

di sektor pariwisata, dan untuk meningkatkan hasil pertaniannya banyak petani yang

meminjam kredit ke LPD. Waktu penelitian dari bulan Maret-Oktober 2016.

4.2 Data Penelitian

Data penelitian dapat dijabarkan menjadi tiga antara lain: berdasarkan jenis data,

sumber data, dan metode pengumpulan data yang diuraikan sebagai berikut.

4.2.1. Jenis data

Jenis data yang dicari dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan data

kualitatif. Data kuantitatif adalah data yg dipaparkan dalam bentuk angka-angka.

Misalnya adalah luas sawah, jumlah kredit, dan proporsi kredit. Data kualitatif adalah

jenis data yang tidak berbentuk dalam angka tetapi merupakan uraian atau penjelasan

yang sifatnya menunjang. Misalnya adalah gambaran lokasi tempat penelitian dan

kehidupan petani di daerah tersebut.

4.2.2 Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah primer dan data

sekunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya melalui

metode wawancara dan observasi langsung seperti luas sawah, jumlah kredit, dan

proporsi kredit.

2. Data sekunder yaitu daya yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya

yang mampu memberikan informasi yang terikat dalam penelitian, seperti data

karakteristik sampel dan data tingkat pendidikan petani yang didapat dari data

Kepala Dusun setempat, profil Desa, serta data dari Biro Pusat Statistik

Denpasar.

4.2.3. Metode pengumpulan data

Page 136: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

131

Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut.

Metode observasi

Metode ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung ke lokasi

penelitian

Wawancara

Peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah dirancang sebelumnya di

dalam kuesioner. Wawancara merupakan pengumpulan data yang diperoleh

dengan mewawancarai setiap responden yang telah ditentukan untuk

mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian

Studi dokumentasi

Adalah metode yang digunakan dengan cara mencatat semua dokumen dan

literatur yang ada demi kebutuhan penelitian

4.3 Variabel dan Pengukuran

Berdasarkan pada pokok permasalahan yang telah dirumuskan maka variabel

akan diukur dengan menggunakan frekwensi secara statistik, dimana akan dilihat berapa

alokasi masing-masing dana kredit yang diperoleh sampel untuk pertanian dalam arti

luas.

4.4 Populasi dan Sampel

Populasi merupakan kumpulan individu yang memiliki kualitas dan ciri-ciri yang

telah ditetapkan, sedangkan sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik

yang dimiliki populasi (Antara, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah dua LPD di

Kabupaten Gianyar.

Adapun dua LPD yang diambil sebagai lokasi penelitian dipilih secara purposive

(sengaja) dengan pertimbangan bahwa LPD tersebut memberikan kredit kepada

kreditor. Satu LPD diambil sebagai sampel terletak di daerah sub urban dekat dengan

perkotaan yaitu di Kecamatan Blahbatuh, dan satu di daerah pedesaan LPD Desa Taro

Kaja yaitu di Kecamatan Tegalalang. Terkait dengan jumlah LPD yaitu dua karena

pertimbangan waktu dan dana yang dialokasikan dalam penelitian ini.

Populasi dalam penelitian adalah semua kreditor yang meminjam dana kredit dari

LPD , terkait dengan jumlah sampel diambil secara proporsional random sampling

Page 137: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

132

setiap LPD, dimana untuk alokasi kredit di sektor pertanian diperoleh masing-masing 4

orang sebagai sampel.

4.5 Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif

kualitatif, untuk mendeskripsikan alokasi penggunaan dana kredit yang diperoleh

sampel ke pertanian.

PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Sampel

Tingkat umur akan berpengaruh terhadap kemampuan seseorang untuk bekerja.

Semakin bertambah usia seseorang maka kemampuannya untuk bekerja semakin

menurun. Hal ini menandakan bahwa umur sangat berpengaruh terhadap produktivitas

kerja seseorang. Kisaran umur sampel di LPD Blega dan LPD Taro Kaja adalah 40

tahun – 70 tahun. Terdapat tujuh orang sampel yang berada pada rentang usia produktif,

dan satu orang di luar usia produktif.

Dilihat dari pemilikan dan penguasaan lahan, terdapat enam orang sampel yang

merupakan pemilik dari lahan garapan, dan dua orang berstatus menyakap. Untuk LPD

Blega variasi luas garapan 25-150 are dengan rata-rata adalah 75 are, status petani

adalah 75% adalah petani pemilik penggarap dan petani penyakap adalah 25%. LPD

Taro Kaja , variasi luas garapannya adalah 6-50 are dengan rata-rata 22 are. Status luas

garapannya adalah petani pemilik penggarap sebesar 75% dan petani penyakap adalah

25%. Untuk kedua LPD luas garapan milik sendiri berkisar antara 8-25 are, sedangkan

yang berstatus menyakap adalah kisaran 50-125 are.

5.2 Peranan LPD Desa Adat terhadap Masyarakat

Peranan LPD tidak terlepas dari tujuan utama LPD tersebut antara lain yaitu

mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui kegiatan menghimpun dana

seperti tabungan, deposito dan menyalurkan dana pinjaman kepada masyarakat desa

berupa kredit, menghapus gadai gelap dan sejenisnya, menciptakan pemerataan

kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja bagi krama desa, meningkatkan

Page 138: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

133

daya beli masyarakat dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan peredaran uang di

desa.

5.3 Distribusi Kredit ke Beberapa Cabang Ekonomi

Adapun distribusi kredit ke berbagai cabang ekonomi yang disalurkan oleh LPD

Desa Adat Blega dan LPD Desa Adat Taro Kaja adalah 7,49% ke sektor pertanian,

2,57% ke sektor peternakan, 85,86% ke sektor perdagangan, ke sektor perindustrian

sebesar 2,79%, jasa sebesar 0,005%, dan lainnya 0,0001%.

5.4 Penggunaan Kredit oleh Petani pada Berbagai Cabang Usahatani

Dari 100% nilai kredit yang dikeluarkan oleh LPD Desa Adat Blega dan LPD

Desa Adat Taro Kaja kepada sampel, penggunaan kredit untuk tanaman pangan adalah

14, 91% (Rp. 18.500.000), peternakan 25,78% (Rp. 32.000.000), peralatan pertanian

14,50% (Rp. 18.000.000), dan sisa dari kredit sebesar Rp. 55.000.000 atau 44,72%

dialokasikan untuk luar usahatani.

Sisa kredit tersebut, dialokasikan untuk yadnya 36,04% dan untuk renovasi

rumah 63,96%. Sesuai dengan data di lapangan, bahwa kredit yang diberikan oleh LPD

kepada sampel, yang seharusnya diperuntukkan untuk pertanian tapi diperuntukkan

untuk luar sektor pertanian yaitu yadnya dan membangun rumah.

5.5 Penggunaan Kredit pada Usahatani Padi

Untuk LPD Desa Adat Blega, penggunaan kreditnya 21,43% (3 orang) digunakan

untuk sewa traktor, selanjutnya 28,57% (4 orang) menggunakan untuk membeli bibit,

21,43% (3 orang) untuk membeli obat-obatan, dan 28,57% (4 orang) untuk membeli

pupuk.

Penggunaan kredit pada usaha tani di LPD Desa Adat Taro Kaja adalah 30,77%

(4 orang) digunakan untuk membeli pupuk, persentase dan jumlah sampel yang sama

juga mengalokasikan kredit yang diberikan untuk menyewa traktor dan membeli bibit,

dan 7,69% (1 orang) menggunakan untuk membeli obat-obatan.

Page 139: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

134

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Sesuai dengan data di lapangan, diperoleh hasil;

1. Distribusi kredit ke berbagai cabang ekonomi yang disalurkan oleh LPD Desa

Adat Blega dan LPD Desa Adat Taro Kaja adalah 7,49% ke sektor pertanian,

2,57% ke sektor peternakan, 85,86% ke sektor perdagangan, ke sektor

perindustrian sebesar 2,79%, jasa sebesar 0,005%, dan lainnya 0,0001%.

2. Dari 100% nilai kredit yang dikeluarkan oleh LPD Desa Adat Blega dan LPD

Desa Adat Taro Kaja kepada sampel, penggunaan kredit untuk tanaman

pangan adalah 14, 91% (Rp. 18.500.000), peternakan 25,78% (Rp.

32.000.000), peralatan pertanian 14,50% (Rp. 18.000.000), dan sisa dari kredit

sebesar Rp. 55.000.000 atau 44,72% dialokasikan untuk luar usahatani.

3. Sisa kredit dialokasikan untuk yadnya 36,04% dan untuk renovasi rumah

63,96%.

4. Pada LPD Desa Adat Blega, penggunaan kreditnya 21,43% (3 orang)

digunakan untuk sewa traktor, selanjutnya 28,57% (4 orang) menggunakan

untuk membeli bibit, 21,43% (3 orang) untuk membeli obat-obatan, dan

28,57% (4 orang) untuk membeli pupuk.

5. Penggunaan kredit pada usaha tani di LPD Desa Adat Taro Kaja adalah

30,77% (4 orang) digunakan untuk membeli pupuk, persentase dan jumlah

sampel yang sama juga mengalokasikan kredit yang diberikan untuk menyewa

traktor dan membeli bibit, dan 7,69% (1 orang) menggunakan untuk membeli

obat-obatan.

6.2 Saran

1. Sesuai dengan data di lapangan, bahwa kredit yang diberikan oleh LPD

kepada sampel, yang seharusnya diperuntukkan untuk pertanian tapi

diperuntukkan untuk luar sektor pertanian yaitu yadnya dan membangun

rumah, maka dapat disarankan kepada LPD tersebut untuk mengalokasikan

dana kredit lebih besar ke sektor pertanian

Page 140: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

135

2. Bagi kreditor petani yang memperoleh kredit agar mengalokasikan dana yang

diperoleh ke sektor pertanian, dan tidak dipakai untuk diluar sektor pertanian

DAFTAR PUSTAKA

Antara, I Made. 2010. Bahan Ajar Mata Kuliah Metodelogi Sosek. Program StudiAgribisnis, Fakultas Pertanian, Unud.

Antara, I Putu Eka Budi Antara. 2015. Profil Lembaga Perkreditan Desa (LPD)Desa Pekraman Belega, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.Skripsi tidak dipublikasikan. Program Ekstensi, Fakultas Pertanian,Unud.

Anonim. 2016. Pengertian Kredit. http://www.artikelsiana.com./2015/07/kredit-pengertian-fungsi-unsur-macam-prinsip.html. Diunduh tanggal 9 Maret2016

Anonim. 2016. Pengertian Alokasi. http://www.artikata.com/arti-318525-alokasi.html

Dwisaputra, Kadek Agus. 2015. Kemampuan Petani dalam MengalokasikanBiaya pada Usahatani Jahe di Desa Taro, Kecamatan Tegalalang,Kabupaten Gianyar. Skripsi tidak dipublikasikan. Program StudiAgribisnis, Fakultas Pertanian, Unud.

Kasmir. 2002. Dasar-dasar Perbankan. Jakarta: PT RajaGrafindo PersadaPutra, IB. Bima Pratama. 2014. Pengelolaan Resiko pada Organisasi Lembaga

Perkreditan Desa (LPD) (Studi Kasus: LPD Desa Ketewel, KecamatanSukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.)

Rismawati, Ni Wayan. 2014. Tugas Bank.http://rismameiky.blogspot.co.id/2014/05/tugas-bank-lembaga-keuangan.html

Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. JakartaSuarmanayasa, I Nengah dan I Wayan Suwendra, Gede Putu Agus Jana Susila. 2014.

Analisis Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pemberian Kredit oleh LPD diKabupaten Bangli. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 3 No.1 April2014 ISSN 2303-2898

Wirawati, I Gusti Ayu Agung Sri. 2006. Evaluasi Kinerja Finansial LPD DesaAdat Lipah. Kecamatan Petang, Kabupaten Badung (Pendekatan RasioKeuangan). Skripsi tidak dipublikasikan. Jurusan Sosial EkonomiPertanian, Fakultas Pertanian, Unud.

Page 141: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

136

KEMANDIRIAN PETANI PERKOTAAN DALAMMENGEMBANGKAN AGRIBISNIS SAYURAN DI KOTA

DENPASAR

Ni Luh Prima Kemala Dewi1), Ni Wayan Putu Artini 2)

E-mail: [email protected]) 2)Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana

ABSTRACT

In the face of the difficulty of farming in urban areas, it takes independenceon every individual farmer. Independece of vegetable farmers means their ability toexploit their inner potential to fulfill their needs and be able to cooperate with others.This research aim are to find out how far the level of independence of vegetablefarmers in urban areas in managing vegetable agribusiness and to examine the factorsthat influence the independence.

Population for this research are all of vegetable farmers in Denpasar. Thenumber of samples taken as many as 35 farmers using the Snowball SamplingMethods, that is sampling based on previous sample searches. Information sourcescomes from first farmer to the second farmers, form the second farmer to the thirdand so on. Analysis used in this research are descriptive qualitative methods based onpermormance of farming, factors that influence to farmers independence, farmersindependence level viewed from capital, production and marketing aspect, and buildfamers indepence in urban area.

The result of the research indicates that vegetables farming system inDenpasar can be classified as a traditional and simple farming system. In general,variants of vegetables which can be cultivated are : watercress, ground kale, longbeans, red spinach, green spinach, white spinach, green vegetables, purple eggplant,pare, round eggplant, spinach cut and basil. The management of vegetables farmingdone by farmers in Denpasar city is still traditional, capital management/finance isstill not done well, the level of independence of vegetable farmers in thedevelopment of vegetable agribusiness is also low.

To improve the bargaining position of vegetables farming, the localgovernment need to intervene through the extension worker which help farmers tohave more significant role in farmers group to strengthen their position against thebuyer. The farmers have to increase the market share in local level, both inside andoutside Denpasar City. Need to diversify vegetable farming from traditional systemsthat rely on nature to a more controlled system, because with this system the qualityof vegetables can be better, so the vegetables have a high selling price in the market.

Key Word : Independence, Farmers, Vegetables, Urban

Page 142: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

137

PENDAHULUAN

Latar BelakangUsaha agribisnis sayuran merupakan sumber pendapatan tunai bagi petani

sebagai sumber pendapatan keluarga oleh karena ditunjang oleh potensi lahan daniklim, potensi sumber daya manusia serta peluang pasar domestik dan internasionalyang sangat besar. Selain sebagai komoditas unggulan, komoditas sayuran jugaberperan sebagai sumber gizi masyarakat, penghasil devisa negara, penunjangkegiatan agrowisata dan agroindustri. Provinsi Bali yang berkembang sebagai daerahtujuan pariwisata utama di Indonesia, seiring dengan pesatnya kemajuan Provinsibali di bidang pariwisata, mendorong banyak berdirinya hotel, restoran dan rumahmakan yang membutuhkan berbagai macam sayuran segar.

Tingginya permintaan akan sayuran di kota Denpasar tidak diiringi olehproduksi sayuran yang dihasilkan oleh petani di Kota Denpasar. Kota denpasar padatahun 2014 hanya mampu memproduksi 1.712 Ton sayuran jauh dari total sayuranyang dibutuhkan oleh Kota Denpasar (BPS, 2015). Tantangan yang dihadapi untukpengembangan pertanian di wilayah perkotaan antara lain keterbatasan lahan,keterbatasan pengetahuan dan teknologi, keterbatasan waktu yang bisa dicurahkan,dan yang tidak kalah pentingnya adalah keterbatasan media tanam.

Pertanian perkotaan merupakan sebuah upaya pemanfaatan ruang minimalisyang terdapat di perkotaan supaya dapat menghasilkan produksi yang diinginkan.Produksi ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan, kenyamanan hidupditengah polusi udara perkotaan dan menghadirkan nuansa estetika dirumah kota.Keterbatasan lahan, jarak perkotaan yang jauh dari sumber produksi panganbukanlah hal yang menjadi hambatan untuk mengaktualkan potensi nilai ekonomiyang dimiliki lahan perkotaan (Yenisbar dan Rawiniwati; 2012).

Dalam menghadapi sulitnya berusahatani di daerah perkotaan, diperlukankemandirian pada setiap individu petani. Kemandirian petani sayuran dalam hal iniadalah kemampuan mereka untuk memanfaatkan potensi dirinya sendiri dalammemenuhi kebutuhan hidupnya dan mampu bekerjasama dengan orang lain.Kemandirian petani sayuran dalam mengelola usahanya dapat dicirikan olehkemampuan mereka untuk menentukan pilihan dalam mengelola usahanya, sehinggamereka memperoleh keuntungan atas hasil kerja kerasnya. Aspek-aspek tersebutadalah: (1) permodalan dan keuangan, (2) produksi dan (3) pemasaran. Sejauh manatingkat kemandirian petani sayuran di daerah perkotaan dalam mengusahakanusahataninya dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemandirian tersebutsangat penting untuk dikaji, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai upaya untukmeningkatkan pengembangan agribisnis sayuran di daerah perkotaan, yang nantinyabermanfaat bagi pembentukan petani yang tangguh dan mandiri. Berdasarkanpermasalahan yang telah diuraikan sangat menarik untuk dikaji tentang upayamemandirikan petani sayuran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana tingkat kemandirian petani sayuran di daerah perkotaan dalam mengelolaagribisnis sayuran dan mengkaji faktor-faktor apa saja yang mempengaruhikemandirian tersebut.

Page 143: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

138

KAJIAN PUSTAKA

Konsep Kemandirian

Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007:148) menyatakan bahwa pemberdayaanmasyarakat dengan sendirinya berpusat pada bidang ekonomi karena sasaranutamanya adalah kemandirian masyarakat. Orang yang telah mencapai tujuankolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan keharusan untuklebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan,keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpabergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.

Menurut Basri dalam Rukhil Isnaini (2004) menyatakan bahwa dalam artipsikologi, kemandirian mempunyai pengertian sebagai keadaan seseorang dalamkehidupannya yang mampu memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuanorang lain. Kemampuan tersebut hanya akan diperoleh jika seseorang mampu untukmemikirkan secara seksama tentang sesuatu yang dikerjakannya dan diputuskannya,baik dari segi manfaat atau kerugian yang akan dialaminya.

Sistem AgribisnisAgribisnis merupakan Sistem usaha pertanian dalam arti luas tidak

dilaksanakan secara sektoral tetapi secara intersektoral atau dilaksanakan tidak hanyasecara subsistem melainkan dalam satu sistem (Saragih, 2001). Agribisnis adalahsuatu usaha tani yang berorientasi komersial atau usaha bisnis pertanian denganorientasi keuntungan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh agar dapatmeningkatkan pendapatan usahatani adalah dengan penerapan konsep pengembangansistem agribisnis terpadu, yaitu apabila sistem agribisnis yang terdiri dari subsistemsarana produksi, subsistem budidaya, subsistem pengolahan dan pemasarandikembangkan melalui manajemen agribisnis yang baik dan dalam satu sistem yangutuh dan terkait (Said et al., 2001). Sistem Agribisnis mencakup 4 (empat) hal,Pertama, industry pertanian hulu yang disebut juga agribisnis hulu atau up streamagribinis,yakni industri–industri yang menghasilkan sarana produksi (input)pertanianseperti industri agro-kimia (pupuk, pestisida dan obat- obatan hewan),industryagro-otomotif (alat dan mesin pertanian, alat dan mesin pengolahan hasilpertanian) dan industri pembibitan/perbenihan tanaman/hewan. Kedua,pertaniandalam arti luas yang disebut juga on farm agribisnis yaitu usaha taniyang meliputibudidaya pertaniaan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,peternakan dankehutanan.Ketiga, industri hilir pertanian yang disebut juga agribisnis hilir atau downstream agribusiness, yakni kegiatan industri yang mengolah hasil pertanian hasilpertanian menjadi produk olahan baik produk antara maupun produk akhir.Keempat,jasa penunjang agribisnis yakni perdagangan, perbankan, pendidikan, pendampingandari petugas ataupun tenga ahli serta adanya regulasi pemerintah yang mendukungpetani.dan lain sebagainya.

Page 144: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

139

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis keragaan pengelolaan usahatani sayuran yang dilakukan oleh petanidi Kota Denpasar.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian petani sayurandalam menjalankan usaha agribisnisnya, meliputi factor internal dan eksternal.

3. Menganalisis tingkat kemandirian petani sayuran di Kota Denpasar dalammengelola usaha agribisnisnya, meliputi aspek modal, produksi dan pemasaran.

4. Membangun model kemandirian petani di daerah perkotaan dalammengembangkan usaha agribisnis.

Manfaat Penelitian

Kemandirian petani menjadi sangat penting di era global ini karenaterbukanya pengaruh luar yang sangat besar terhadap produk usahatani. Merekadapat lebih mandiri dalam melaksanakan usahataninya, yang dicirikan olehkemampuannya dalam mengambil keputusan berusahatani secara kritis,meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki, dan meningkatkanproduktivitas kerjanya.

Urgensi dari penelitian ini adalah keberhasilan dalam mengelola usahatanisayuran, tidak hanya tergantung pada keterampilan petani dalam membudidayakan,tetapi juga aspek produksi, pemasaran dan permodalan memegang peran sangatpenting. Dalam hal ini petani sayuran di daerah perkotaan masih memilikiketerbatasan dalam produksi, permodalan dan pemasaran.Potensi hasil yang bisadidapat hingga akhir masa penelitian adalah agar mereka menjadi petani yangtangguh dan mandiri dalam mengelola agribisnis sayuran di tengah pesatnyapembangunan di daerah perkotaan.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan selama 10 bulan yaitu dari Maret – Oktober 2016.Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Denpasar, Kota Denpasar dipilih sebagailokasi penelitian karena Kota Denpasar merupakan ibu kota Provinsi Bali, banyakdijumpai petani yang masih memanfaatkan lahan tidur yang sempit untukberusahatani sayuran.

Data, Sampel, dan Analisis DataData primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya

melalui metode wawancara dan observasi langsung seperti luas sawah. Datasekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya yangmampu memberikan informasi yang terikat dalam penelitian, seperti datakarakteristik sampel dan data tingkat pendidikan petani yang didapat dari dataKepala Dusun setempat, profil Desa, serta data dari Biro Pusat Statistik Denpasar.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani sayuran di Kota Denpasar.Jumlah sampel yang diambil sebanyak 35 petani. Menurut Roscoe dalam Sugiono

Page 145: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

140

(2011:90) ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 sampaidengan 500.

Teknik pengumpulan data di gunakan metode Snowball Sampling, metode inidigunakan karena jumlah petani sayuran di kota denpasar tidak diketahui. MetodeSnowball Sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan penelusuran sampelsebelumnya. Sumber informasi petani pertama, mengarah kepada informasi petanikedua, lalu informasi ke petani tiga dan seterusnya.

Metode analisis yang digunakan adalah deskriptive kualitatif mengenaikeragaan usahatani, faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian petani, tingkatkemandirian petani yang dilihat dari aspek modal, produksi dan pemasaran , danmembangun kemandirian petani di perkotaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Pengelolaan Usahatani Sayuran yang dilakukan oleh Petani di KotaDenpasar

Sistem usahatani sayuran di Kota Denpasar dapat digolongkan sebagai suatusistem usahatani yang masih tradisional dan sederhana. Secara umum jenis sayuranyang dibudidayakan meliputi: kangkung air, kangkung darat, kacang panjang, bayammerah, bayam hijau, bayam putih, sayur hijau, terong ungu, pare, terong bulat,bayam potong dan kemangi. Pemilihan jenis tanaman dilakukan petani dengan alasansayuran tersebut mudah terjual, proses budidaya mudah dilakukan, harga yangprospektif, tingginya permintaan pasar, waktu pemanenan cepat, pemeliharaan yangmudah, harga stabil dan lain sebagainya.

Harga jual sayuran yang dibudidayakan berbeda – beda tergantung jenissayur dan kondisi cuaca. Kisaran harga untuk kangkung Rp 500,00 – Rp 1.000,00 perikat. Apabila cuaca sedang tidak mendukung maka jumlah dalam satu ikat lebihsedikit dari biasanya. Begitu pula untuk jenis sayur lainnya. Dalam satu hari petanidapat menjual Rp 50.000,00 – Rp 100,000,00 sayur, namun jumlah ini tidak menentusetiap harinya. Sistem pembayaran ada yang dilakukan langsung saat pemasaran(saat jual beli langsung di lahan), keesokan harinya setelah barang habis dan ada pulayang dibayar dua hari kemudian.

Saluran pemasaran dalam penelitian ini terbatas pada pemasaran yangdilakukan oleh petani responden. Saluran pemasaran pertama, petani menjuallangsung ke pedagang pengumpul di pasar, warung dan rumah makan di sekitarlahan. Resiko yang ditanggung petani, seperti mengeluarkan biaya transportasi,hambatan diperjalanan, dan kerusakan barang. Keuntungan dari pengiriman langsungke pedagang adalah jumlah barang yang terjual dan harga yang diterima petani sesuaidengan kondisi pasar serta dapat menjangkau lebih banyak pelanggan. Saluranpemasaran kedua, pedagang pengumpul atau pembeli membeli saluran secaralangsung di lahan.Petani sedikit mengeluarkan biaya pemasaran tetapi terjadipenawaran jumlah sayur dan harga yang tidak sesuai kondisi pasar.

Pupuk digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas sayuranyang dibudidayakan. Jenis pupuk yang digunakan beraga yaitu pupuk urea, TSP,grandtonik (pupuk daun), NPK, KCL, phonska dan pupuk kandang. Aksesmemperoleh pupuk dinilai mudah dengan membeli di gapoktan (subak) dan kiospertanian di sekitar lahan.Begitu pula akses untuk memperoleh benih dan obat-obatan.

Page 146: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

141

Dalam menjalankan kegiatan usahatani, petani menggunakan peralatanpertanian yang akan memperlancar dan membantu aktivitas petani. Peralatanusahatani yang digunakan masih sederhana yaitu cangkul, sabit, ember, sprayer,pisau, bambu penyangga, gunting dan mesin pompa air.Keberadaan peralatan iniharus dimiliki petani. Akses untuk memperoleh peralatan pertanian cukup mudahdengan membeli di gapoktan (subak) dan kios pertanian di sekitar lahan.

Sebaik apapupun pemeliharaan yang dilakukan, proses budidaya dataranrendah memiliki beberapa kendala yang dihadapi petani.Budidaya sayuran selaludilakukan sepanjang musim baik musim kemarau maupun musim hujan karenakonsumen menyukai produk segar. Musim hujan memudahkan petani memperolehair tetapi kendala perubahan fisik sayur muncul mengancam menurunnya mutuproduk seperti percepatan perkembangan pathogen baik jamur maupun bakteri,terganggunya keseimbangan nutrisi, kerusakan fisik dan robohnya tanaman. Musimkemarau ketersediaan air pada dataran rendah terbatas. Debit air yang berkurangmenjadi permasalahan bagi pertanian perkotaan. Terbaginya air untuk berbagaikebutuhan umum dan tertutupnya saluran irigasi selalu menjadi permasalahan yangbelum terselesaikan.Pilihan untuk berhenti menanam sayur kerap dilakukan petani.Selain itu, intesitas serangan hama dan penyakit pada dataran rendah lebih tinggidaripada di dataran tinggi. Adapun serangan hama dan penyakit yaitu jenis wereng,ulat, kutu, dan belalang. Sehingga penggunaan pestisida menjadi suatu kebutuhanuntuk mencegah gagal panen.Menganalisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Petani Sayurandalam Menjalankan Usaha Agribisnisnya1. Faktor Internal

Faktor internal petani sayuran yang dilihat dalam penelitian ini adalah sebagaiberikut:a. Usia: Petani yang menjadi responden berusia antara 26-76 tahun, namun

sebagian besar responden berada pada usia 36-45tahun (37,14%) yaitu masadewasa akhir atau dalam usia produktif.

b. Pengalaman usaha: mayoritas petani responden memiliki pengalamanberusahatani 0–7 tahun atau sebesar 40%. Hal ini menunjukkan perkembanganpetani sayur di Kota Denpasar tergolong baru.Sumber informasi yang diterimasebatas dari lingkungan sekitar yang saling bertukar informasi.

c. Pendidikan : tingkat pendidikan petani responden cukup bervariasi denganresponden terbanyak menempuh tamat SD (42,86%).

d. Status kepemilikan lahan : mayoritas petani sayur menyewa lahan usahatani.Petani sayur yang berusahatani di Kota Denpasar dominan berasal dari luarKota Denpasar yang mencari penghasilan dengan memanfaatkan lahan-lahansempit yang masih bisa dimanfaatkan. Sistem pembayaran sewa bergantungkesepakatan antara pemilik lahan dan penyakap. Kesepakatan sistempembayaran yaitu membayar biaya sewa Rp 10.000,00 /are/bulan ; Rp40.000,00 /are/3 bulan ; Rp 11.000,00 /are/bulan ; Rp 15.000,00 /are/bulan ;Rp 50.000,00/are/4 bulan ; Rp 50.000,00/are/ 6 bulan ; Rp 250.000,00/are/ 15bulan ; Rp 800.000,00/15 are/4 bulan ; satu kali panen padi membayar Rp1.000.000,00 ; sistem bagi hasil 1:1 / 3 bulan ; dan sistem bagi hasil 2:1 sesuaidengan harga padi yang sedang berlaku.

e. Luas lahan Garapan : Luas lahan garapan petani responden berkisar antara0,015 hingga0,35 hektar. Luas garapan petani responden relatif kecil yaitu

Page 147: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

142

34,29 persen memiliki lahan garapan dengan luas antara 0,015 – 0,05hektar.Usahatani sayuran yang dilakukan di Kota Denpasar belum menjadiprioritas utama, usahatani inidilakukan sebagai penambahan income dalamwaktu yang lebih cepat dan pemanfaatan lahan. Namun tidak dipungkiriketersediaan lahan dan ketersediaan tenaga kerja menjadi kendala peningkatanluas area budidaya.

f. dan jenis sayur yang dibudidayakan: Dari 35 petani responden di KotaDenpasar diperoleh 12 jenis sayuran yang diusahakan. Distribusi jenissayuran. Bayam cabut hijau dan kangkung darat paling banyak diusahakanyakni sebesar 19,44%. Alasan dari pemilihan jenis ini karena prosespenanaman yang mudah, tanaman ini memerlukan perawatan yang dianggapmudah, waktu panen yang cepat untuk sayur kangkung darat dan bayam cabuthijau memerlukan waktu 30 – 45 hari dalam satu musim tanam.Selain ituakses dan permintaan pasar mendukung usahatani kangkung darat dan bayamvabut hijau.

2. Faktor EksternalFaktor Eksternal petani sayuran yang dilihat dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut.a. Ketersediaan media massa: Ketersediaan media massa pada petani responden

di daerah penelitian secara total tergolong pada kategori rendah.Tingkatanyang rendah ini dapat menggambarkan bahwa budaya membaca padamasyarakat desa masih sangat rendah, dan sebaliknya budaya lisan masihmelekat kuat dalam masyarakat.

b. Sumber informasi : Petani responden lebih suka mencari informasi ke pihakyang paling dekat dan telah berhasil dalam usahataninya, sepertipada teman(petani sayur lainnya), pedagang sarana-prasarana pertanian, danpihak-pihakdalam jalur pemasaran (supplier, pedagang lokal) dibandingkan mencariinformasi pada media massa, buku atau penyuluh pertanian.

c. Kemitraan : Kemitraan petani dengan pihak pemasaran masih termasukdalam kategori sederhana, lokasi pemasaran untuk memenuhi kebutuhan localdaerah-daerah sekitar.

Menganalisis Tingkat Kemandirian Petani Sayuran di Kota Denpasar dalamMengelola Usaha Agribisningnya, Meliputi Aspek Modal, Produksi danPemasaran1. Aspek Modal

Secara umum petani sayuran di Kota Denpasar sudah dapat dikatakan mandiriapabila di lihat dari aspek modal, hal ini terlihat dari seluruh responden hanya satupetani yang meminjam modal dari LPD. Tetapi kemandirian petani sayuran di KotaDenpasar apabila dilihat dari aspek yang lebih besar yaitu permodalan dan keuanganpada umumnya masih tergolong rendah. Pengelolaan keuangan usaha yang masihbelum dilakukan dengan baik, misalnya tidak ada pencatatan tentang jumlah biayayang dikeluarkan atau jumlah penerimaan hasil produksi.Jumlah modal yangdigunakan dalam satu siklus produksi tidak diperhitungkan secara pasti hanyadiperkirakan secara umum.Namun demikian, untuk aspek sumber modal sebagianbesar responden memiliki skor kemandirian yang tinggi, yaitu modal yang digunakanadalah berasal dari milik sendiri.

Page 148: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

143

2. Aspek ProduksiTingkat kemandirian aspek produksi petani di Kota Denpasar cenderung

tergolong rendah. Parameter aspek produksi ini terdiri dari: sumber benih, peralatan,kecukupan air, pemupukan dan harga pupuk. Pengetahuan responden terhadappemilihan benih yang bermutu pada umumnya sudah sangat baik, yaitu denganmendapatkan benih dari toko pertanian dan Gapoktan.

Kemandirian responden dalam pemilikan peralatan dilihat dari kecukupanalat yang digunakan untuk usahatani sayuran.Rata-rata mereka menyatakan bahwaperalatan yang dimiliki sudah cukup, tetapi harga dari peralatan tersebut masihrelative mahal, meskipun peralatan tersebut bukan dari jenis elektronik, seperticangkul, sabit, alat siram, selang dan mesin pompa air.

Kemampuan petani sayuran dalam menyediakan air secara teratur dalamusahatani sayuran juga berperan dalam menentukan kemandirian responden untukaspek produksi. Irigasi sawah yang menjadi sumber pengairan, selalu menyediakanair secara penuh baik di musim hujan maupun kemarau selama tidak ada perbaikanirigasi.

Kemandirian responden dalam menyediakan pupuk kimia maupun organik,terlihat dari kemampuan mereka membeli pupuk tersebut.Sebesar 42,85% petaniresponden keberatan dengan harga pupuk, 17,14% sangat keberatan dan 40% tidakkeberatan dengan harga pupuk saait ini. Pupuk yang digunakan antara lain urea,ponska, NPK, pupuk daun dan pupuk kandang.3. Aspek Pemasaran

Kemandirian petani sayuran dalam aspek pemasaran di Kota Denpasartergolong rendah.Menurut hasil survey, petani responden (88,57%) menyatakanbahwa mereka akan menanam sayuran sebanyak-banyaknya meskipun harga jualnyarendah, dengan alasan karena harga jual sayuran rendah, maka agar dapatmenghasilkan penerimaan yang besar harus menghasilkan jumlah sayuran yangsebanyak-banyaknya. Padahal dengan anggapan demikian akan mengakibatkanketersediaan (supply) sayur menjadi tinggi, sedangkan permintaan (demand) tetap.Berdasarkan penawaran-permintaan, yaitu jika penawaran meningkat sedangkanpermintaan tetap, maka akan mengakibatkan harga turun (Mubyarto, 1986).

Model Kemandirian Petani Sayuran di Daerah Perkotaan DalamMengembangkan Usaha Agribisnis

Guna meningkatkan posisi tawar petani sayuran terhadap hasil produksinya,perlu upaya membantu mengaktifkan kembali kelompok tani yang sudah adasekaligus membinanya, karena melalui kelompok tani, petani sayuran dapat bersatuuntuk memperkuat posisinya terhadap pembeli.Selain itu mengembangkanpenyuluhan agribisnis sayuran, baik oleh instansi pemerintah daerah, perguruantinggi, maupun instansi swasta yang tidak hanya dengan pemberian materi padaaspek produksi melainkan juga aspek pengelolaan modal dan keuangan, serta aspekpemasaran.

Kerjasama vertical maupun horizontal juga perlu dijalin oleh petani sayuran diKota Denpasar.Menjalin kerjasama antara pihak-pihak terkait (stake holder) dalamagribisnis sayuran, seperti petani sayuran, supplier, agen, eksportir, maupun instansiPemerintah Daerah Kota Denpasar (Kantor Dinas Pertanian) dan Pemerintah Pusat(Kementerian Pertanian).

Page 149: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

144

Perlu diversifikasi usahatani sayuran dari sistem tradisional yangmengandalkan pada alam ke sistem yang lebih terkontrol, karena dengan sistem inikualitas sayuran dapat menjadi lebih baik , sehingga sayuran tersebut memiliki hargajual tinggi di pasar. Untuk itu, perlu bantuan dan pembinaan bagi petani agar merekamemiliki kemampuan dan kemandirian dalam pengadaan modal, mengelolakeuangan, keterampilan berproduksi, kemampuan menganalisa pasar, dan memilikiposisi tawar yang tinggi terhadap pembeli.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian dan hasil analisis yang telah dilakukan dapatdisimpulkan berbagai simpulan yaitu sebagai berikut.Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh beberapakesimpulan sebagai berikut:1. Pengelolaan usahatani sayuran yang dilakukan petani di Kota Denpasar

umumnya masih bersifat tradisional dan belum dilakukan secara tepat sesuaidengan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik, seperti terlihat darikeragaan usahanya yang masih menggantungkan pada kondisi alamdibandingkan dengan pengendalian dari manusia.

2. Pengelolaan modal/keuangan maupun pemasaran yang dilakukan oleh petanisayuran di Kota Denpasar umumnya juga masih belum dilakukan secara baik,misalnya tidak ada perencanaan alokasi penggunaan modal usaha atau mencatatpenerimaan dan pengeluaran keuangan. Dalam hal pemasaran kurangmenyesuaikan jenis, ukuran, dan jumlah produksi dengan tingkat permintaanpasar

3. Tingkat kemandirian petani sayuran dalam pengembangan agribisnis sayurantergolong rendah. Tingkatan yang cenderung rendah ini dipengaruhi olehketerbatasan kemampuan petani dalam mengelola usahanya, seperti modal, inputproduksi, maupun keterbatasan informasi pasar, sehingga berakibat pada posisitawar (bargainingposition) petani yang rendah.

Berdasarkan penelitian dan hasil analisis tersebut, akan direkomendasikanbeberapa saran yaitu.1. Guna meningkatkan posisi tawar petani sayuran terhadap hasil produksinya,

perlu upaya membantu mengaktifkan kembali kelompok tani yang sudah adasekaligus membinanya, karena melalui kelompok tani, petani sayuran dapatbersatu untuk memperkuat posisinya terhadap pembeli. Dalam hal inipelaksanaan di lapangan dapat dilakukan oleh penyuluh lapangan (PPL) dibawah koordinasi Balai Informasi Penyuluh Pertanian (BIPP) bekerjasamadengan Kantor Dinas Pertanian Kota Denpasar.

2. Mengembangkan penyuluhan agribisnis sayuran, baik oleh instansi pemerintahdaerah, perguruan tinggi, maupun instansi swasta yang tidak hanya denganpemberian materi pada aspek produksi melainkan juga aspek pengelolaan modaldan keuangan, serta aspek pemasaran.

3. Menjalin kerjasama antara pihak-pihak terkait (stake holder) dalam agribisnissayuran, seperti petani sayur, supplier, agen, eksportir, maupun instansiPemerintah Daerah Kota Denpasar (Kantor Dinas Pertanian) dan PemerintahPusat (Kementerian Pertanian).

Page 150: SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN AGRIBISNIS

145

4. Meningkatkan pangsa pasar sayuran di tingkat lokal baik di wilayah kotaDenpasar maupun luar kota Denpasar

5. Perlu diversifikasi usahatani sayuran dari sistem tradisional yang mengandalkanpada alam ke sistem yang lebih terkontrol, karena dengan sistem ini kualitassayuran dapat menjadi lebih baik, sehingga sayuran tersebut memiliki harga jualtinggi di pasar.

UCAPAN TERIMA KASIH

Melalui e-jurnal ini saya mengucapkan terima kasih kepada Petani sayur diKota Denpasar telah diberikan izin untuk penelitian di tempat ini, sehingga sayadapat menyelesaikan e-jurnal ini dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2015. Denpasar Dalam Angka. Kota DenpasarYenisbar & Rawiniwati.2012.Pertanian Perkotaan Dengan Sistem Vertikultur.Wrihatnolo, Randy dan Riant Nugroho Dwidjowijoto. 2007. Manajemen

Pemberdayaan, Sebuah Pengantar dan Panduan untuk pemberdayaanMasyarakat. PT Gramedia. Jakarta.

Rukhil Isnaini. 2004. Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Layanan PembelajaranTerhadap Motivasi Belajar di Kelas II SLTP Negeri 1 Doro Pekalongan TahunPelajaran 2003/2004 .Universitas Negeri Semarang. Semarang

Saragih, Bungaran. 2001. Suara Dari Bogor Membangun Sistim Agribisnis.PenerbitYayasan USESE bekerjasam dengan Sucofindo.

Said, E. G., dan A. H. Intan. 2001. Manajemen Agribisnis. Kerjasama PT GhaliaIndonesia dengan MAA-IPB.

Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung:Alfabeta.