seminar nasional manajemen agribisnis
TRANSCRIPT
SEMINAR NASIONALMANAJEMEN AGRIBISNIS
”Membangun Sistem Pertanian Berkelanjutan MelaluiPenguatan Kelembagaan Sosio-Bisnis”
PROSIDINGEditor :
1. Prof. Dr. Ir. Dwi Putra Putra Darmawan, MP.2. Prof. Dr. Ir. Ketut Budi Susrusa, MS.3. Dr. Ir. Ni Wayan Sri Astiti, MP.4. Dr. Gede Mekse Korri Arisena. SP., M.Agb.5. I Gede Bagus Dera Setiawan, SP., M.Agb.
DENPASAR, 19 NOVEMBER 2016
PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNISPROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
KATA PENGANTAR
Prosiding ini merupakan dokumentasi dari paparan dan gagasan dari pembicara kunci
(keynote speaker), pembicara tamu (invited speaker) dan karya ilmiah dari para peneliti dan
diskusi yang mengiringinya pada Seminar Nasional Manajemen Agribisnis dengan tema
“Membangun Sistem Pertanian Berkelanjutan Melalui Penguatan Kelembagaan Sosio-Bisnis”.
Pentingnya peningkatan daya saing pertanian pada era kompetisi global melalui
penerapan teknologi tepat guna, pengoptimalan peran penyuluh dan kelembagaan, serta strategi
pemasaran produk pertanian mendorong para peneliti, akademisi serta pemerhati ekonomi
pertanian mendiskusikan berbagai permasalahan tersebut dalam Seminar Nasional ini.
Seminar Nasional ini merupakan ajang tukar menukar informasi hasil penelitian serta
diseminasi informasi perihal perkembangan tentang penyuluhan dan pembangunan pertanian
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ruang lingkup materi Seminar Nasional ini meliputi
aspek kelembagaan dan peran penyulubban problematika dan alternatif solusi, kelembagaan
permodalan dan pemasaran serta kelembagaan teknologi.
Penerbitan prosiding ini diharapkan bermanfaat dan dapat dijadikan acuan dalam
pengembangan penelitian terkait dengan kedaulatan pangan dan pertanian. Dewan editor
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat dalam
penyelesaian prosiding ini.
Denpasar, 23 Mei 2017
Editor
iii
DAFTAR ISI
Keragaan Bantuan Modal/Kredit Pertanian Dan Biaya Transaksi UsahaTernak Sapi Di Provinsi Nusa Tenggara Timur ………………………………...Agustina Hewe dan Kristina Lako
1
Strategi Branding Dalam Promosi Penjualan Produk Pertanian Olahan Pt.Hatten Bali Untuk Pasar Pariwisata Indonesia …………………………………I Ketut Surya Diarta, Putu Widhianti Lestari, dan Ida Ayu Putu Citra Dewi
9
Keragaan Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Dan Ketahanan TerhadapOpt Utama Mendukung Keberlanjutan Pangan Di Bali ……………………….I.B.K. Suastika, Putu Suratmini dan Putu Sutami
27
Revitalisasi Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Di Indonesia ………………Kadhung Prayoga
37
Performa Kelembagaan Usahatani Di Kabupaten Kupang Dan TimorTengah Selatan, Provinsi NTT…………………………………………………………….Kristina Lako dan Agustina Hewe
53
Penerapan Tri Hita Karana (Thk) Pada Kegiatan Bisnis Di Kelompok TaniMekar Sari, Desa Tegal Badeng Timur, Kecamatan Negara, KabupatenJembrana …………………………………………………………………………..Putu Fajar Kartika Lestari
61
Usahatani Padi Dan Bawang Merah Mendukung Pendapatan Di Petani DiKalimantan Selatan ……………………………………………………………….Rismarini Zuraida
73
Analisis Persepsi Petani Cabai Terhadap Pembangunan Berkelanjutan……...I Nyoman Gede Ustriyana dan Ida Ayu Listia Dewi
81
Peluang Inovasi Teknologi Pengembangan Usaha PertanianDi DesaBunutan Melalui Pendekatan Pra(Kalender Musim) ......................................I Made Londra dan Putu Sutami
97
Partisipasi Perempuan Dalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian TanamanPangan Pada Subak Di Kabupaten Tabanan Bali………………………………Ni Wayan Sri Astiti
111
iv
Alokasi Pembiayaan Dana Kredit LPD Pada Sektor Pertanian di KabupatenGianyar …………………………………………………………………………….Putu Udayani Wijayanti dan I Wayan Widyantara
126
Kemandirian Petani Perkotaan Dalam Mengembangkan Agribisnis Sayurandi Kota Denpasar ………………………………………………………………….Ni Luh Prima Kemala Dewi dan Ni Wayan Putu Artini
136
1
KERAGAAN BANTUAN MODAL/KREDIT PERTANIAN DAN BIAYATRANSAKSI USAHA TERNAK SAPI DI PROVINSI NUSA TENGGARA
TIMUR
Agustina Hewe dan Kristina LakoBalai Pengkajian Teknologi Pertanian NTT
E-mail:[email protected]
ABSTRAK
Penelitian tentang keragaan bantuan modal/kredit pertanian dan biaya transaksi usaha ternaksapi telah dilakukan di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Penelitian dilakukan di Desa Ponain dan DesaTesabela di Kabupaten Kupang dan Desa Kualin dan Desa Nulle di Kabupaten TTS.Penentuan keempat desa secara purposivedengan pertimbangan sebagai sentra produksi sapidan penerima bantuan modal/kredit. Pengambilan data dilaksanakan pada Bulan Juni 2016,dengan metode survey wawancara terstruktur, metode FGD, dan observasi sertamenggunakan data sekunder dari desa dan kecamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwabantuan modal/kredit yang diberikan pada petani dapat membantu petani untuk usahataninyasehingga dapat meningkatkan produksi usahatani dan berdampak positif bagi pendapatanrumahtangga tani. Akses petani terhadap pasar sangat diperlukan untuk kelancaran usahatani.Petani menghadapi pasar tipe pasar persaingan tidak sempurna yang ditandai dengan adanyainformasi harga yang relatif tertutup dan adanya biaya transaksi. Besarnya biaya transaksitergantung jarak rumah dan pasar. Semakin jauh dari pasar, maka semakin besar biayatransaksi. Biaya transaksi dapat ditekan dengan memperbaiki sistem dan infrastrukurpemasaran, disamping penyediaan skim kredit inovatif dan pendampingan yang memadaiuntuk permodalan usaha.
Kata Kunci: bantuan/kredit, usahatani, akses pasar, biaya transaksi
PENDAHULUAN
Hal yang dilematis bagi masyarakat pedesaan untuk melaksanakan kegiatan usahatani
adalah permodalan yang lemah. Padahal permodalan merupakan unsur yang esensial dalam
mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat. Kekurangan modal ini
membatasi ruang gerak aktivitas usahanya yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kredit berperan dalam meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan petani terutama di negara-negara berkembang melalui perbaikan produksi
dan peningkatan konsumsi. Tujuan pemberian kredit produksi dan bantuan modal pertanian
hakekatnya adalah untuk meningkatkan produksi pertanian. Alokasi kredit untuk kegiatan
produksi pertanian ditujukkan untuk membeli input seperti benih, pupuk, pestisida dan obat-
obatan lainnya, membayar upah tenaga kerja, menyewa traktor, membeli kapital dan material
lainnya (Nuryartono et al. 2005; Adebayo et al. 2008; Nwaru et al. 2011; Saleem 2011;
Muayila 2012).
2
Berbagai kebijakan pemerintah untuk menangulangi permasalahan permodalan, pada
awalnya melalui bentuk program yang terus dikembangkan untuk meningkatkan produksi
berbagai komoditas pertanian, yang diberikan secara masal. Akan tetapi dalam
perkembangannya dengan pemberian kredit masal dengan tingkat bunga bersubsidi,
menimbulkan polemik yang berkepanjangan karena berbagai penyimpangan dalam
penggunaan yang kurang tepat sasaran. Beberapa penelitian menemukan bahwa tidak semua
petani menggunakan kredit pertanian untuk membeli input produksi. Petani berlahan sempit
tidak membeli input atau teknologi lainnya terutama misalnya untuk menyewa traktor
(Olagunju 2007). Kenyataannya rumahtangga dalam memutuskan dan mengalokasikan
penggunaan modal tersebut selain untuk kegiatan produksi, juga digunakan untuk konsumsi
dan investasi (Nwaru et al. 2011;Yasmeen et al. 2011).
Pelajaran yang dapat dipetik didalam membangun pekreditan untuk membantu
permodalan adalah karena metode pendekatan yang “ top down” dengan pengelolaan serta
konsep dari “atas”, tanpa melihat situasi, kondisi, dan budaya dimana pola kredit
dilaksanakan. Pada keadaan ini sangat sulit mewujudkan kelembagaan perkerditan
dipedesaan, dan meyebabkan kurang efektifnya bantuan permodalan untuk membantu
meningkatkan usaha dan pendapatan masyarakat pedesaan.
Bukti empiris yang sangat pahit berkaitan dengan penyaluran kredit adalah terpuruknya
kegiatan KUD yang menyalurkan KUT, disamping melayani kebutuhan sarana produksi
pertanian mengalami kemacetan karena besarnya tunggakan kredit sehingga tidak memenuhi
syarat sebagai penyalur KUT. Kenyataan ini semakin parah dengan dihapuskannya KLBI
(Kredit Likuidasi Bank Indonesia) sebagai bantuan modal KUD dan kredit pola bergulir yang
diperkenalkan pemerintah tidak menjamin keberlangsungan kegiatan usaha pertanian.
Pada kondisi yang kurang kondusif tersebut, sebagian besar petani yang melakukan
kegiatan usahatani, dan yang belum memperoleh akses permodalan melalui program, akan
mencari alternatif untuk memanfaatkan ketersediaan lembaga pembiayaan formal dan non
formal.Secara umum petani memperoleh sumber pembiayaan usahatani dengan
memanfaatkan keberadaan pada sumber pebiayaan formal dan non formal dengan berbagai
konsekuensinya. Walaupun didalam mengakses pada sumber pembiayaan utamanya pada
sumber pembiayaan formal yang masih rendah, karena berbagai bentuk birokrasi dan
persayaratan yang konvensional yang selama ini menjadikan polemik tersendiri untuk
memperoleh sumber modal yang murah dan mudah. Oleh karena itu didalam membangun
pertanian khususnya peningkatan usahatani maupun usahaternak diperlukan kreasi
kelembagaan pembiayaan yang tepat melalui dukungan pemerintah guna menciptakan
3
terbentuknya lembaga pembiayaan yang kuat dan sehat guna mendukung pengembangan
usaha pertanian di pedesaan.
Tujuan dari pada tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang keragaan
bantuan modal dan kredit pada rumahtangga petani yang mengakses sumber pembiayaan
untuk memperoleh modal didalam menjalankan kegiatan usahataninya.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS, Provinsi NTT.
Lokasi penelitian di Desa Ponain dan Tesabela di Kabupaten Kupang; Desa Kualin dan Desa
Nulle di Kabupaten TTS. Penentuan lokasi penelitian secara purposive dengan pertimbangan
sebagai sentra produksi ternak sapi dan desa yang mendapatkan bantuan modal/kredit.
Penelitian menggunakan metode survey dengan teknik wawancara struktural, focus
group discusion (FGD), dan observasi, serta menggunakan data sekunder dari desa dan
kecamatan. Responden yang diwawancarai dari keempat desa berjumlah 24 rumahtangga tani
yang menerima bantuan modal/kredit.
Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Aspek-
aspek yang dianalisis diantaranya adalah keragaan bantuan modal/kredit pada rumahtangga
tani dan akses/biaya transaksi pasar bagi rumahtangga tani.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rumahtangga tani di Provinsi NTT, khususnya di Kabupaten Kupang dan TTS
mendapatkan dukungan (supporting) modal untuk usaha produktif dan juga bantuan untuk
meningkatkan konsumsi. Bantuan tersebut diberikan dalam bentuk uang tunai (cash money)
ataupun dalam bentuk natura (in kind).
Disamping dalam bentuk bantuan juga rumahtangga tani dapat mengakses kredit baik
kredit formal maupun non formal. Tujuan rumahtangga mengakses kredit adalah untuk
menambah modal usaha atau juga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Dengan demikian
terdapat tiga kategori aliran dana/modal masuk (in flow) ke rumahtangga, yaitu: (1) bantuan
modal untuk usaha baik dari pemerintah, swasta, atau LSM, (2) kredit baik melalui lembaga
keuangan (bank) maupun lembaga keuangan bukan bank (koperasi), dan juga rentenir, (3)
bantuan sosial yang umumnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga.Keragaan
masing-masing aliran dana/ modal ke rumahtangga tani dijelaskan berikut.
4
Keragaan Bantuan Modal/Kredit Pertanian pada Rumahtangga Tani
Bantuan modal untuk usaha, baik untuk usahatani maupun usaha non pertanian
bersumber dari pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten), swasta, dan LSM. Jenis bantuan
modal/kredit tersebut bersumber dari, PUAP, Anggur Merah, koperasi dan anggaran desa
(ADD) yang diberikan baik lewat desa maupun kelompoktani yang ada.
Tabel 1. Keragaan Bantuan Modal/KreditPertanian di KabupatenKupang dan TTS
Desa Jenis Bantuan Nilai (Rp) (%)Penerima Bantuan
(orang)(%)
Kualin Anggur Merah 4.000.000 46,51 1 33,33PUAP 1.000.000 11,63 1 33,33BLT 3.600.000 42 1 33,33
Jumlah 8.600.000 100 3 100Nule PUAP 3.000.000 20 1 20
ADD Desa 1.000.000 6,67 2 40ADD Desa 3.000.000 20,00 - -Dinas 5.000.000 33,33 1 20Anggur Merah 3.000.000 20,00 1 20
Jumlah 15.000.000 100 5 100Ponain Anggur Merah 3.000.000 42 3 75
Anggur Merah 3.000.000 42 - -Anggur Merah 4.800.000 40,68 - -ADD Desa 1.000.000 8,47 1 25
Jumlah 11.800.000 100 4 100Tesabela Anggur Merah 5.000.000 15,63 2 40
Anggur Merah 10.000.000 31,25 - -Dinas 1.000.000 3,13 1 20ADD Desa 1.000.000 3,13 1 20BRI 15.000.000 46,88 1 20
Jumlah 32.000.000 100 5 100Sumber: Data Primer, 2016Keterangan %: persentase terhadap jumlah di masing-masing desa
Keragaan bantuan modal bagi petani dengan kisaran nilai yang diberikan masing-masing
desa adalahDesa Kualin: Anggur Merah 46,51%, Desa Nule:Dinas Pertanian yaitu 33,33%;
Desa Ponain: Anggur Merah 42% dan Desa Tesabela: BRI 46,88%. Pemberian bantuan
modal ini tidak saja berupa uang tunai, tapi juga berupa bantuan benih, pupuk/pestisida, bibit
ternak, anakan jeruk.Bantuan modal usaha berupa uang tunai ini diberikan lewat desa,
maupun kelompoktani. Namun dari hasil survei yang diperoleh peberian bantuan modal ini
tidak semua petani mendapatkannya.
Menurut deRosari et al (2014a),pemberian kredit usahatani dengan kredit bunga yang
ringan perlu untuk memungkinkan petani melakukan inovasi-inovasi dalam usahataninya.
Beberapa sumber batuan/kredit yang diberikan pada petani dan dilihat dari segi kebutuhan
5
dan manfaat kredit, keberadaan kredit sangat membantu bagi petani pengguna kredit, untuk
dipergunakan sebagai penambah modal usaha baik untuk usahatani maupun ternak.
Disamping itu juga ada petani yang tidak memanfaatkan bantuan modal yang ada, mereka
menggunakan modal sendiri yang diperoleh dari penjualan hasil, dimana sebagian hasil
penjualan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan sisanya untuk ditabung atau untuk
modal usaha. Besarnya bantuan yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan petani.
Rata-rata besarnya bantuan/kredit yang diberikan adalah dibawah Rp. 5.000.000, sehingga
petani masih bisa mengembalikannya.
Akses Pasar dan Biaya Transaksi
Akses pasar adalah kemampuan petani menjual produk pertanian ke pasar dengan
mendapatkan harga tertentu. Harga yang dimaksud adalah nilai produk pertanian yang
menimal mampu menutup biaya produksi (cost production) dan setidaknya memperolah
keuntungan (profit). Persoalan utama dalam pemasaran produk pertanian adalah pada akses
pasar (yaitu peluang dan informasi pasar) dan mata rantai pemasaran. Semakin jauh dan
panjang mata rantai pemasaran, semakin jauh harapan petani untuk mendapatkan harga yang
layak, karena setiap simpul rantai akan mencari laba.
Petani di keempat desa tersebut dalam memasarkan hasil usaha ternak sapi menghadapi
pasar dengan informasi pasar yang terbatas sehingga dikatakan petani berada dalam tipe pasar
tidak sempurna (imperfect market). Pada pasar yang tidak sempurna selalu muncul biaya
transaksi (transaction cost) yang menjadi beban biaya dalam pemasaran pertanian (Elly,
2009). Petani pada kondisi sosial ekonominya (farmer’s circumastane) membuat keputusan
menjual ternak sapi ketika membutuhkan uang tunai untuk membiayai kebutuhan misalnya
membangun rumah, biaya pendidikan dan kesehatan keluarga, atau kebutuhan lainnya
(deRosari et al, 2014b; Novindraet al,2015)
Pada keempat lokasi penelitian, terdapat 2 cara penjualan sapi, yaitu (1) menjual ternak
sapi di rumah dengan mendapatkan penawaran dan biaya transaksi dari pengumpul berupa
biaya transportasi. Peternak hanya membayar retribusi desa. (b) menjual ke pasar ternak
dengan konsekuensi membayar biaya transportasi dan pungutan di setiap pos pemeriksaan.
6
Tabel 2. Jenis Biaya Transaksi Pemasaran Ternak Sapi di Kabupaten Kupang dan TTS
Desa Biaya Transaksi PembelianNilai(Rp x1000)
(%) Biaya Transaksi PenjualanNilai
(Rpx1000)%
Kualin - Mencari Informasi Pasar- Negosiasi/Perantara- Menggiring Ternak dari Pasar- Transportasi/Angkut- Retribusi
3015
200150
50
6,743,37
44,9433,7111,24
- Mencari Informasi Pasar- Negosiasi/Perantara- Pembuatan SJT dari desa- Menggiring Ternak ke Pasar- Transport Ternak ke Pasar- Retribusi ke Pasar- Retribusi di Pasar
600
950000
38,710
61,290000
Jumlah 445 155 100Nule - Mencari Informasi Pasar
- Negosiasi/Perantara- Menggiring Ternak dari Pasar- Transportasi/Angkut- Retribusi
2000
10500
75
25,480
1,2763,69
9,55
- Mencari Informasi Pasar- Negosiasi/Perantara- Pembuatan SJT dari desa- Menggiring Ternak ke Pasar- Transport Ternak ke Pasar- Retribusi ke Pasar- Retribusi di Pasar
100
160000
5,880
94,120000
Jumlah 785 170 100Ponain - Mencari Informasi Pasar
- Negosiasi/Perantara- Menggiring Ternak dari Pasar- Transportasi/Angkut- Retribusi
15000
17535
41,6700
48,619,72
- Mencari Informasi Pasar- Negosiasi/Perantara- Pembuatan SJT dari desa- Menggiring Ternak ke Pasar- Transport Ternak ke Pasar- Retribusi ke Pasar- Retribusi di Pasar
200
750
202010
13,790
51,720
13,7913,79
6,90Jumlah 360 145 100
Tesabela
- Mencari Informasi Pasar- Negosiasi/Perantara- Menggiring Ternak dari Pasar- Transportasi/Angkut- Retribusi
5000
55030
7,9400
87,304,76
- Mencari Informasi Pasar- Negosiasi/Perantara- Pembuatan SJT dari desa- Menggiring Ternak ke Pasar- Transport Ternak ke Pasar- Retribusi ke Pasar- Retribusi di Pasar
00
700000
00
1000000
Jumlah 630 70 100
Sumber: Data Primer, 2016Keterangan: SJT: Surat Jalan Ternak
% terhadap jumlah di masing-masing desa
Kedua cara penjualan memiliki kelebihan dan kelemahan. Pada cara pertama yaitu
menjual sapi di rumah, petani menghadapi tekanan harga oleh pengumpul, namun memiliki
kelebihan tidak mengeluarkan biaya transportasi dan resiko-resiko di perjalanan. Pada cara
kedua, yaitu menjual ternak di pasar, kelebihannya kemungkinan mendapatkan harga relatif
lebih baik karena menghadapi lebih banyak pembeli, kelemhannya mengeluarkan biaya
transportasi, pungutan di pos-pos pemeriksaan sebagai biaya transksi, apabila tidak laku
dijual maka biaya transportasi kembali ke rumah harus dikeluarkan. Pada titik ini peternak
kadang harus menjual sapinya karena pertimbangan biaya transportasi dan biaya yang sudah
dikeluarkan.
7
Biaya transaksi pembelian peternak harus mencari ke luar desa atau kabupaten. Dari
empat desa pada Tabel 2, biaya transaksi pembelian transportasi/angkut ternak dari pasar ke
rumah lebih besar dibanding biaya-biaya transaksi pembelian yang lain. Desa Tesabela
87,30%, Desa Nule 63,69%, Desa Ponain 48,61% dan desa Kualin 44,94%, hal ini
disebabkan karena petani membeli ternak sapi harus ke pasar hewan Camplong yang
jaraknya jauh dari tempat tinggal petani, sehingga kadang untuk membeli ternak petani saling
memberi informasi ke teman petani yang lain supaya mereka bisa membeli ternak sapi secara
bersamaan agar dapat meringankan biaya transport dari pasar ke rumah. Biaya transport ini
akan ditanggung bersama.
Biaya transaksi penjualan yang dilakukan oleh petani ditentukan sendiri-sendiri oleh
petani, tergantung kesepakatan harga, setelah diperhitungan semua pengeluaran selama masa
pemeliharaan. Dari hasil wawancara yang diperoleh rata-rata pembeli mendatangi tempat
petani melakukan transaksi penjualan khususnya untuk penjualan ternak sapi. Petani merasa
lebih menguntungkan dibandingkan harus mengeluarkan biaya transport ke pasar. Terlihat
bahwa dari ke empat desa pada table diatas, biaya transaksi penjualan pembuatan surat jalan
ternak dari desa yang lebih tinggi, Desa Tesabela 100%, Desa Nule 94,12%, Desa Kualin
61,29 dan Desa Ponain 51,72%, sedangkan biaya transaksi penjualan yang lain tidak terlalu
mengeluarkan biaya, kebanyakan biaya-biaya transaksi penjualan di tanggung oleh pembeli
ternak sapi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Bantuan modal/kredit yang diberikan dapat membantu petani untuk usahataninya
secara optimal sehingga dapat meningkatkan produksi usahatani yang tentu saja akan
berdampak positif bagi pendapatan petani yang bersangkutan. Akses petani terhadap pasar
sangat diperlukan untuk kelancaran usahatani.,kebiasaan petani menanam dulu tanpa
melakukan penjajagan kebutuhan pasar secara cepat, membuat posisi petani selalu lemah,
baik dalam penentuan harga maupun kemampuan memenuhi pasokan sesuai komoditi yang
dihasilkan. Seringkali petani mendapatkan harga yang tidak layak karena masalah waktu jual
yang tidak tepat.
Biaya Transaksi pembelian khususnya ternak sapi sangat tinggi pada biaya
transportasi/angkut. Pengetahuan dan ketrampilan petani peternak tentang sistem
pemeliharaan ternak secara intensif masih rendah, sehingga produktivitas usaha ternak sapi
dapat meningkat.
8
Disarankan perbaikan sistem dan infrastrukur pemasaran untuk menekan biaya
transaksi. Perbaikan infrastruktur pasar dimaksud juga dengan memperpendek jarak rumah
dan pasar ternak. Disamping itu meningkatkan permodalan petani melalui skim kredit yang
inovatif dengan tetap memperhatikan manajemen penggunaan dan pengawalan yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Adebayo O, RG. Adeola. 2008. Sources and uses of agricultural credit by small scalefarmers in Surulere local government area of Oyo State. The Anthropologist. 10 (4):313-314.
deRosari B.B., Bonar M. Sinaga, NunungKusnadi, and M.H. Sawit, 2014a.The Impact ofCredit and Capital Supports on Economic Behavior of Farm Households: AHouseholdEconomic Approach. International Journal ofFoodandAgriculturalEconomics, Vol. 2 (3): 81-90.
deRosari B.B., Bonar M. Sinaga, NunungKusnadi, and M.H. Sawit, 2014b. Input Demandand Cattle Production in East Nusa Tenggara Province, Indonesia. Global Journal ofCommerce & Management Perspective. Vol 3(4): 1-7.
Elly Femi Hadidjah. 2009. Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha TernakSapi-Kelapa dalam menghadapi Biaya Transaksi di Kabupaten Bolaang Mongondow.Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 12 (3): 210-219.
Mauyila HK. 2012. Assessing the impact of credit constrains on farm household economicwelfare in the hinterland of Kinshasa, Democratic Republic of Congo. AJFAND on lineScholarly Peer Revieved, 12(3), May. ISSN 1684 5374. Published by Asscat.
Novindra, B. deRosari, B.M. Sinaga, 2015. The Effect of Credit, Capital Support, Input Price,Output Price, and Technology Changes on Production, Income, and Farmer Welfare.Proceeding International Workshop “Agricultural Finance for Rural Development andSustainability, IPB Int. Conv. Centre, 20-21 November: 65-80.
Nuryartono N, Manfred Z, Stefan S. 2005. Credit rationing of farm households andagricultural production. empirical evidence in the rural areas of Central Sulawesi,Indonesia Tropentag Stuttgart-Hohenheim, Conference on International AgriculturalResearch for Development.
NwaruJ, C. Ubon Asuquo Essien, and Robert Enyeribe Onuoha. 2011. Determinants ofinformal credit demand and supply among food crop farmers in Akwa Ibom State, Nigeria.JRur Comn Devl.6 (1): 129–139. ISSN: 1712-8277 © JRCDwww.jrcd.ca.
Olagunju FI. 2007. Impact of credit use on resource productivity of sweet potatoes farmers inOsunstate Nigeria. JSosSci. 14(2):175-178.
SaleemMA. 2011. Sources and uses of agricultural credit by farmers in Dera Ismail Khan(District) Khyber Pakhtonkhawa Pakistan. Europ J.Buss Manj.. ISSN 2222-1905 (Paper)ISSN 2222-2839 (Online), 3(3):111-122www.iiste.org.
Yasmeen K, Shakeel S, Tanveer H. 2011. government policy regarding agricultural loans andits impact upon farmers’ standards of living in developing countries. J. Publ AdmGovn.ISSN 2161-7104 2011, 1(1):16-30.
9
STRATEGI BRANDING DALAM PROMOSI PENJUALAN PRODUKPERTANIAN OLAHAN PT. HATTEN BALI UNTUK PASAR PARIWISATA
INDONESIA
I Ketut Surya Diarta, Putu Widhianti Lestari, dan Ida Ayu Putu Citra DewiPS. Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana
email: [email protected]
ABSTRAK
Branding menjadi keniscayaan dalam srategi promosi penjualan produk dan jasadi era global seperti sekarang. Namun, tantangan mem-branding produk pertanian jauhlebih sulit terkait standarisasi karena melibatkan proses biologis yang tidak dapatdikendalikan sekehendak hati. Terlebih, jika target pasar yang dituju bersifat spesifikuntuk konsumsi dunia pariwisata.
Tulisan ini mendiskusikan strategi branding yang dipergunakan oleh perusahaanagribisnis PT. Hatten Bali dalam mempromosikan anggur olahan “Hatten Wines” untukpasar pariwisata di Indonesia. Wawancara mendalam dan observasi dilakukan untukmengumpulkan data yang dianalisis dengan deskriptif kualitatif.
PT. Hatten Bali memb-randing produk wines-nya dengan tiga stategi brandingyaitu: (1) producer branding (Hatten Wines Aga White, Hatten Wines Aga Red, HattenWines Alexandria, Hatten Wines Rose, Hatten Wines Sparkling Tunjung, dan HattenWines Sparkling Jepun), (2) retail branding (Dragonfly Moscato dan Two Island), dan(3) geographical branding (Pino de Bali dan Dewi Sri). Ketiga strategi brandingtersebut memiliki perbedaan dalam bahan baku olahan, target pasar, dan tipologipenggunaan agar memenuhi target penjualan perusahaan.
Strategi branding terbukti aplikatif dan efektif dimanfaatkan dalam strategipromosi penjualan produk pertanian olahan dalam agribisnis sama seperti produkmanufaktur dan jasa lainnya. Pengusaha agribisnis sebaiknya mempertimbangkanpenggunaan branding dalam promosi penjualan produknya agar lebih mampu bersaingdengan kompetitor.
Kata kunci: Branding, Promosi, Pertanian, Wines, Pariwisata
ABSTRACT
Branding becomes inevitable in sales promotion strategy of products andservices in the era of globalization. However, the difficult challenge of agriculturalproducts branding related to standardization because it involves a biological process thatcan not be fully controlled. Moreover, if the intended target market is specific to thetourism market.
This paper discusses branding strategy used by agribusiness company PT. HattenBali in promoting wine processed "Hatten Wines" for the tourism market in Indonesia.Data were collected through in-depth interviews and observations technique and wereanalyzed by descriptive qualitative method.
PT. Hatten Bali uses three strategies of branding ot its wines pruducts, namely:(1) producer branding (Hatten Wines Aga White, Hatten Wines Aga Red, Hatten WinesAlexandria, Hatten Wines Rose, Hatten Wines Sparkling Tunjung, and Hatten Wines
10
Sparkling Jepun), (2) retail branding (Dragonfly Moscato and Two Island), and (3)geographical branding (Pino de Bali and Dewi Sri). All three branding strategies havedifferences in agricultural raw material processed, the target market, and typology of usein order to meet the company's sales target.
Branding strategy proved to be applicable and effective used in processedagricultural products sales promotion strategies just like used in manufacturing productsand other services. Agribusiness entrepreneurs should consider the use of branding insales promotion to better compete with competitors.
Keywords: Branding, Promotion, Agriculture, Wines, Tourism
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hampir sebagian besar dari kita pernah mendengar, melihat, bahkan membeli
produk pertanian yang ditambahi embel-embel nama luar negeri seperti ‘Jeruk
Mandarin’, ‘Apel Washington’, ‘Pepaya Bangkok’, ‘Florida Orange’, dan seterusnya.
Atau, beberapa produk pertanian yang ditambahi embel-embel nama dalam negeri
seperti ‘Apel Malang’, ‘Salak Bali’, ‘Talas Bogor’, dan seterusnya. Apakah nama
tempat di belakang nama produk pertanian sebagai penunjuk asal produk? Jika
asumsinya benar, lalu bagaimana dengan ‘Cokelat Swiss’ seperti Sprungli, Lindt, dan
Teuscher?. Faktanya, Swiss sama sekali tidak membudidayakan tanaman kakao sebagai
bahan baku cokelat karena iklimnya dingin tidak sesuai bahkan untuk sekedar hidup
bagi tanaman kakao.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa produk pertanian menggunakan branding
sebagai strategi promosi untuk pemasaran produknya. Menilik kasus di atas, ada dua hal
yang sekaligus bisa dijadikan branding yaitu produk pertaniannya (cokelat, jeruk, apel,
salak) dan tempat di mana dibudidayakan (Malang, Florida, Bali, Bogor) atau
diolah/dikemas (Swiss, Washington). Fenomena tersebut dengan jelas menunjukkan
bahwa branding menjadi suatu keniscayaan dalam strategi pemasaran bukan saja
terhadap produk manufaktur, jasa, dan pariwisata, tetapi juga produk pertanian.
Namun, produk pertanian memiliki karakteristik yang khas dengan sulitnya
menstandarisasi kualitas yang sama karena melibatkan proses biologis yang tidak dapat
dikendalikan sekehendak hati. Lain halnya seperti produk industri manufaktur seperti
sepeda motor, televisi, telepon seluler dan sejenisnya yang dapat di-branding
menyesuaikan keinginan pembuatnya. Terlebih, jika produk pertanian olahan khusus
11
diperuntukkan bagi pasar pariwisata yang menuntut kualifikasi produk dengan standar
tinggi untuk pemenuhan kebutuhan wisatawan.
Men-branding produk pertanian olahan sebagai pendekatan pemasaran dalam
mendukung industri pariwisata (misalnya Bali) memerlukan strategi branding khusus
(Haimid, et al, 2012). Hal ini ditujukan disamping menarik minat wisatawan untuk
membeli produk pertanian olahan saat berwisata ke Bali juga diarahkan agar produk
pertanian olahan tersebut mampu bersaing dengan kompetitornya. Branding dalam
perspektif ini diarahkan untuk menumbuhkan hubungan emosional berupa loyalitas
wisatawan selaku konsumen dengan produk pertanian olahan (wine) serta memperkuat
penetrasi pasar sehingga usahatani dan pertanian juga dapat berkembang baik.
Salah satu perusahaan produk pertanian berupa anggur olahan yang menggunakan
strategi branding adalah PT Hatten Bali. Perusahaan ini merupakan salah satu produsen
wines terbesar yang berlokasi di Bali yang berdiri sejak tahun 1994. PT Hatten Bali
memiliki beragam merek wine, diantaranya Hatten Wines, Two Islands, Dragonfly
Moscato dan Dewi Sri. Produk PT Hatten Bali dapat ditemukan pada sebagian besar
wilayah Bali dan beberapa wilayah di Indonesia. Produk wines yang dihasilkan PT
Hatten Bali umumnya diperuntukkan bagi pemenuhan konsumsi pariwisata di Indonesia
walaupun pangsa pasar terbesarnya masih bagi konsumen pariwisata di Bali.
Memasarkan produk pertanian olahan seperti wines bagi pasar pariwisata di
Indonesia tidaklah mudah. Hal ini semakin sulit jika produk wines tersebut merupakan
pendatang baru di tengah kompetitor yang sudah terlebih dahulu ada. Kesuksesan PT
Hatten Bali dalam menggunakan strategi branding dalam memasarkan wines memiliki
justifikasi yang kuat dijadikan teladan dalam pemasaran produk pertanian olahan
lainnya agar dapat bersaing.
Tujuan Penulisan
Tulisan ini mendiskusikan strategi branding yang dipergunakan oleh perusahaan
agribisnis PT. Hatten Bali dalam mempromosikan anggur olahan “Hatten Wines” untuk
pasar pariwisata di Indonesia.
12
PENDEKATAN BRANDING PRODUK PERTANIAN
Brand
Pengertian brand dalam pemasaran sangat beragam. Menurut Asosiasi
Pemasaran Amerika Serikat (The American Marketing Association) (dalam Kotler dan
Gertner, 2004; Touminen, 1999; Boomsma & Arnoldus, 2008), brand didefinisikan
sebagai,
…name, term, sign, symbol, or design, or a combination of them intendedto identify the goods and services of one seller or group of sellers and todifferentiate them from those of competitors.
Dilihat dari definisi di atas, brand dapat menyangkut satu atau gabungan dari beberapa
faktor (nama, istilah, tanda, simbol, atau desain) untuk mengidentifikasi suatu produk
atau pelayanan yang diberikan oleh penjual (gabungan penjual) yang membedakannya
dengan pesaingnya.
Lebih lanjut, Kotler dan Gertner (2004) menyatakan bahwa “brand dapat
membedakan satu produk dengan yang lainnya dan memberikan nilai tertentu terhadap
produk tersebut”. Brand dapat memperkuat rasa percaya seseorang akan produk
tertentu. Brand membangkitkan emosi tertentu, dan menjadi salah satu yang
berpengaruh atau mendorong seseorang untuk berperilaku tertentu, misalnya membeli
atau tidak membeli sesuatu.
Menurut Boomsma & Arnoldus (2008) brand diciptakan untuk meyakinkan calon
konsumen mengenai keunggulan standar kualitas, reliabilitas, status sosial, nilai, atau
keamanan sebuah produk. Brand mengindikasikan bahwa setiap produk yang
menyandang brand tertentu berasal dari produsen, distributor, atau asal yang sama.
Simmons (2007) menyatakan bahwa seorang yang menciptakan brand terhadap suatu
produk atau jasa haruslah berusaha membangun relasi kuat antara produk atau jasanya
dengan pelanggannya. Hal ini akan semakin memperkuat daya saing produk atau
jasanya tersebut ke depannya dan menjadikannya semakin sulit bagi pesaing untuk
menirunya.
Brand, oleh karenanya, “mampu membuat perusahaan membangun sebuah identitas
yang unik dan mendapatkan ceruk pasar yang semakin besar dibandingkan produk atau
jasa sejenis lainnya” (Ibeh et al, 2005 dalam Simmons, 2007). Brand
menggabungkan seperangkat fitur produk atau jasa yang berkaitan dengan nama brand
tersebut dan berfungsi mengidentifikasi produk atau jasa tersebut di pasar. Simmons
13
(2007) menyimpulkan bahwa brand yang sukses melibatkan paling tidak tiga aspek
tambahan yaitu: (a) pemahaman akan konsumen, dimana sebuah brand produk atau jasa
sangat tergantung kepada persepsi konsumen, (b) komunikasi pemasaran dimana begitu
sebuah brand produk atau jasa terbentuk maka sangat penting dikomunikasikan dan
ditempatkan pada ceruk tertentu di pasar, dan (c) interaksi yang berlanjut dengan
konsumen dimana proses-proses organisasi harus diarahkan pada memelihara identitas
brand dengan tetap menjaga interaksi yang berkelanjutan dengan konsumen target, agar
produk atau jasa memiliki kelebihan kompetitif dengan pesaing.
Terdapat beberapa jenis brand di pasar (Iversen & Hem, 2006), diantaranya: (1)
umbrella brands (payung brand) dimana sebuah brand menjadi ‘payung’ dari beragam
produk yang kurang lebih berkaitan dalam aspek tertentu, misalnya “LG”, “Samsung”
dan sebagainya yang meng-cover beragam produk dari telepon selular, televisi, mesin
cuci, dan seterusnya, (2) manufacturer brands yaitu brand yang dimiliki oleh produsen
atau pabrik tertentu seperti “Nestle”, (3) distributor brands, yaitu brand yang dimiliki
oleh jaringan distributor seperti “Amazon”, “Alibaba”, “Olx”, “Lazada”, dan
sebagainya, (4) generic, regional atau place brands, yaitu brand yang diberikan kepada
sebuah produk berdasarkan identitas dan reputasi territorial atau berdasarkan atribut
karakteristik yang khas atau asli secara geografis.
Pentingnya sebuah brand terutama karena brand dapat mempengaruhi perilaku
pembelian konsumen, membantu produsen atau penjual mendapatkan harga lebih tinggi
atas produk yang dihasilkannya mengingat konsumen yang brand-minded akan bersedia
membayar dengan harga premium terhadap suatu produk jika berasal dari brand
tertentu. Brand juga menjamin produk lebih tahan terhadap goncangan harga mengingat
perubahan harga tidak berpengaruh besar bagi konsumen yang loyal terhadap brand
tertentu. Brand pada akhirnya akan mendorong peningkatan volume penjualan yang
berarti peningkatan pendapatan produsen (Boomsma & Arnoldus, 2008).
Branding
Layaknya brand, maka branding juga memiliki beberapa pengertian tergantung
sudut pandang penggunaannya. Secara awam, branding dipahami sebagai kegiatan
promosi, iklan, atau publisitas. Penggiat pemasaran umumnya mengartikan branding
sebagai cara sebuah produk atau jasa dirancang terlihat bagi konsumen apakah
menyangkut pengemasan, logo, atau tagline (Boomsma & Arnoldus, 2008).
14
Sudut pandang akademisi memahami branding sebagai sebuah proses mendesain
sebuah brand termasuk di dalamnya nama, logo, identitas, membentuk brand awareness
dan menciptakan brand image dan attitude yang positif yang dapat dicapai melalui
beragam cara termasuk periklanan, pengemasan, dan desain produk (Boomsma &
Arnoldus, 2008).
Tantangan dalam Mem-branding Produk Pertanian
Branding merupakan salah satu elemen penting yang harus dipertimbangkan ketika
merencanakan strategi pemasaran suatu produk (Haimid et al, 2012). Branding dapat
dimanfaatkan untuk menciptakan image sebuah brand dari sebuah produk dalam benak
konsumen (Lavikka, 2007) sehingga diharapkan konsumen mengkonsumsi atau
membeli produk tersebut. Namun, efek branding kepada calon konsumen biasanya
kurang mendapat perhatian serius oleh petani ketika dikaitkan dengan produk pertanian
yang dihasilkannya. Hal ini tidak terlepas dari keraguan petani dalam memberikan nilai
tambah bagi produk pertaniannya.
Produk pertanian sangat unik. Produk pertanian memiliki tantangan dalam
pemasarannya karena melibatkan proses biologis yang tidak dapat dikendalikan sesuka
hati oleh petani. Menurut Haimid et al (2012), salah satu cara membedakan produk
pertanian dari satu produsen dengan yang lainnya adalah dengan mem-branding -nya
sehingga mampu menjembatani antara produsen dengan calon konsumennya.
Setiap produk, termasuk produk pertanian, memiliki beragam ciri, tanda, isyarat
atau sejenisnya yang dipakai oleh konsumen untuk menentukan produk pertanian yang
mana yang akan dibeli atau dikonsumsinya. Keputusan membeli atau tidak suatu produk
pertanian merupakan hasil mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menghubungkan
beragam karakteristik produk tersebut dengan kebutuhan konsumen. Semakin
memenuhi ekspektasi kebutuhannya maka semakin besar kemungkinan akan membeli
produk tersebut.
Ciri atau karakteristik sebuah produk pertanian umumnya dapat diklasifiaksi
menjadi dua yaitu ciri intrinsik (umumnya karena proses biologis yang secara alamiah
terkadung dalam produk pertanian seperti rasa, kandungan nutrisi, ukuran, bentuk, dan
warna) dan ciri ekstrinsik (umumnya bukan karena fisik alamiahnya tetapi ciri yang
sengaja ditambahkan seperti harga, label, iklan).
Kaitannya dengan mem-branding produk pertanian maka penambahan ciri
ekstrinsik (misalnya label) pada produk pertanian akan menjadi sangat penting ketika
15
ciri intrinsiknya tidak diketahui. Misal, dengan melabeli sebuah salah dengan ‘Salak
Pondoh’ dan ‘Salak Bali’ maka konsumen sudah memiliki keputusan salak yang mana
yang akan dibelinya sesuai dengan keinginannya. Pelabelan produk akan memperbesar
peluang produk dapat dijual dengan harga lebih premium. Pelabelan berarti konsistensi
kualitas produk. Hal ini menjadi masalah besar bagi produk pertanian mengingat variasi
proses biologis yang dipengaruhi oleh iklim, lingkungan tumbuhnya, atau perlakuan
terhadap produk selama proses pertumbuhannya.
Strategi Branding dalam Pemasaran Produk Pertanian
White et al (1996) dan Docherty (2012) memberikan model kapan sebaiknya
produk pertanian di-branding berdasarkan karakteristik produk dan kemampuan
produsen (petani) dalam mengontrol variasi biologis sehingga mampu mengendalikan
atribut yang dikehendaki sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 1. Model ini dapat
dijadikan rujukan untuk mem-branding produk pertanian olahan seperti wines yang
dihasilkan oleh PT Hatten Bali. Berdasarkan model tersebut terdapat variasi cara
membranding produk pertanian yaitu:
a. Producer branding
Jika produsen mampu mengontrol variasi biologis dari atribut produk pertanian yang
diinginkan atau mampu mengelola secara konsisten grading untuk menjamin
konsistensi perbedaan kualitas atribut tertentu yang diinginkan maka branding
berbasis nama produsen dapat dipakai sebagai ciri khasnya (Jendela I).
Kemampuan produsen mengendalikanvariasi biologis terhadap produk
pertaniannya
Tinggi Rendah
Atribut ataukarakteristik
produkpertanian
Ciri intrinsiknyata
(I)ProducerBranding
(II)No
BrandingCiri intrinsiktersembunyi
(IV)Retail
Branding
(III)Geographical
Branding
Gambar 1.Model Pengembangan Branding Produk Pertanian
16
Hal ini akan menggiring konsumen kepada citra bahwa produk yang dihasilkan oleh
produsen tertentu sangat unggul dibanding produsen lainnya. Producer branding ini
membedakan produk pertanian yang sama yang dihasilkan dari produsen lain dan
menambahkan nilai lebih, baik di tingkat eceran maupun penyalur. Jika branding
sudah kuat sebenarnya hal yang dilakukan produsen adalah kegiatan yang minimal
seperti menambahkan label sudah mampu menjual dengan harga premium.
b. No branding
Jika ciri intrinsik dapat diketahui dan produsen memiliki kemampuan terbatas
bahkan sama sekali tidak ada kemampuan mengontrol variasi biologis dari atribut
produk pertaniannya maka sebaiknya produk tersebut tidak usah dibranding dalam
pemasarannya (Jendela II). Dalam kasus ini semua produk dianggap tidak ada
bedanya karena konsumen bisa dengan jelas melihat, merasa, meraba sendiri untuk
memilih produk yang terbaik baginya. Usaha untuk membranding justru akan
menambah biaya pemasaran yang tidak akan berpengaruh signifikan terhadap
besarnya volume penjualan. Untuk membayangkannya maka kita bisa melihat
produk pertanian yang dijual di pasar tradisional sehari-hari.
c. Geographical branding
Jika ciri intrinsik tidak dapat diketahui dan produsen memiliki kemampuan terbatas
bahkan sama sekali tidak ada kemampuan mengontrol variasi biologis dari atribut
produk pertaniannya maka branding berdasarkan tempat asal produk, wilayah
regional, bahkan asal negara (faktor geografis) bisa dijadikan pijakan branding bagi
produk pertanian bersangkutan jika memang kondisi tempat geografis tersebut
secara konsisten mempengaruhi atribut khas produk pertanian tersebut (Jendela III)
(Iversen & Hem, 2006). Awal tulisan ini sudah dicontohkan seperti Apel Malang,
Jeruk Mandarin, dan Salak Bali.
d. Retail branding
Jika atribut intrinsik produk pertanian tidak diketahui atau tersembunyi tetapi
produsen memiliki kemampuan untuk mengontrol variasi biologis atribut produk
pertaniannya atau produsen mampu mengelola secara konsisten grading untuk
menjamin konsistensi perbedaan kualitas atribut tertentu yang diinginkan maka
retail branding bisa menjadi pilihan. Branding tipe ini hampir mirip dengan
producer branding tapi di pasar, branding bisa dibuat bervariasi dan branding yang
dibuat tersebut bukan menjadi milik produsennya. Biasanya variasi branding dibuat
di tingkat ritel sehingga bisa saja produk pertanian dari lahan yang sama diberi
17
branding berbeda atau jenis produk pertanian dari spesies yang identik diberi
branding berbeda tergantung jaringan pemasaran dan segmen pasar yang ingin
dituju.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di PT Hatten Bali yang terletak di Jalan Bypass Ngurah
Rai No. 393, Denpasar Bali pada bulan September sampai Oktober 2016. Data
dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam terhadap informan kunci yaitu
manajer pemasaran, manajer akuntansi, manajer produksi, dan beberapa staff di masing-
masing divisi yang dianggap mampu memberikan informasi untuk menjawab tujuan
penelitian. Pengumpulan data dilengkapi dengan observasi lapangan dan studi pustaka.
Data yang terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif kemudian ditarik
kesimpulan dan rekomendasi.
PEMBAHASAN
Strategi branding dalam promosi penjualan produk wines yang dihasilkan oleh PT
Hatten Bali didasarkan pada karakteristik anggur yang menjadi bahan baku wines,
manfaat, dan target konsumen sasaran. Sebelumnya, perlu juga dibahas berbagai macam
produk wines yang diproduksi PT Hatten Bali dengan berbagai karakteristik dasarnya
yang juga menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan strategi branding.
Brand Wines PT Hatten Bali
PT Hatten Bali sudah menyadari pentingnya brand bagi produk wines yang
diproduksinya. Brand produk wines yang dihasilkan dipandang oleh PT Hatten Bali
sebagai identitas produk dan diferensiator dari produk wines pesaing. Brand wines yang
dihasilkan bagi PT Hatten Bali merupakan komitmen untuk secara konsisten menjamin
serangkaian ciri-ciri, kualitas, manfaat, dan jasa tertentu yang melekat pada brand
kepada para konsumen.
PT Hatten Bali memiliki empat brand produk wines dan juga brem (arak Bali)
diantaranya Hatten Wines, Dragonfly Moscato, Two Islands, dan Dewi Sri dengan
beragam desain dan tampilan kemasan.
(i) Hatten Wines
Brand Hatten Wines diperkenalkan sejak tahun 1994. Wines dengan brand ini
terdiri dari beberapa produk yang memiliki kekhasan cita rasa masing-masing yang
18
dibuat dari anggur yang dibudidayakan di Bali. Brand Hatten Wines dipakai untuk
produk Rose, Aga White, Aga Red, Alexandria, Sparkling Tunjung, Sparkling
Jepun, dan Pino de Bali yang tersedia di seluruh Bali, Jakarta, dan kota-kota besar
di Jawa, Sumatera, Lombok, Manado, dan di seluruh Indonesia. Target konsumen
yang disasar adalah wisatawan baik domestik maupun mancanegara serta
masyarakat umum.
Gambar 2.Logo Brand Hatten Wines
Gambar 3.Beberapa Kemasan Produk Brand Hatten Wines
(ii) Dragonfly Moscato
Dibuat dari anggur yang diimpor dari Australia selatan dengan cita rasa anggur
yang manis dan seksi. Wines ini mengandung kadar alkohol 8% yang tergolong
rendah dan memungkinkan dinikmati tanpa konsekuensi negatif. Dragonfly
Moscato tersedia di Bali, Jakarta dan kota-kota besar di Jawa, Sumatera, Lombok,
dan di seluruh Indonesia. Target konsumen yang disasar adalah wisatawan baik
domestik maupun mancanegara serta masyarakat umum.
Gambar 4.Logo Brand Dragonfly Moscato
19
Gambar 5.Kemasan Produk Wine Dragonfly Moscato
(iii) Two Islands
Dibuat dari buah anggur terbaik dari daerah ikonik Australia Selatan. Two Islands
dirancang untuk menawarkan karakteristik anggur Australia yang berbeda dan
sesuai dengan masakan lokal. Brand ini terdiri atas beberapa produk seperti
Sauvignon Blanc, Chardonnay, Shiraz, Cabernet Merlot, Riesling, Pinot Grigio.
Pinot Noir, dan seri Reserve. Two Islands tersedia di Bali, Jakarta dan kota-kota
besar di Jawa, Sumatera, Lombok, dan di seluruh Indonesia. Target konsumen yang
disasar adalah wisatawan baik domestik maupun mancanegara serta masyarakat
umum.
Gambar 6.Logo Brand Two Island
Gambar 7.Beberapa Kemasan Produk Wine Two Islands
20
(iv) Dewi Sri
Brand ini dibeli dari Fa Udiyana oleh PT Hatten Bali, namun proses pembuatan
tetap dijalankan oleh pihak Fa Udiyana. Fa Udiyana, adalah produsen profesional
dari anggur beras dan ketan lokal Bali. Didirikan pada tahun 1968, Dewi Sri
memproduksi arak dan brem yang terbuat dari beras yang difermentasi.
Gambar 8.Logo Brand Dewi Sri
Gambar 9.Beberapa Kemasan Produk Dewi Sri
Strategi Branding Wines PT Hatten Bali
Adapun strategi branding yang dilakukan oleh PT Hatten Wine dalam memasarkan
produk wines produksinya yaitu:
1. Producer branding (Hatten Wines Aga White, Hatten Wines Aga Red, Hatten
Wines Alexandria, Hatten Wines Rose, Hatten Wines Sparkling Tunjung, dan
Hatten Wines Sparkling Jepun)
2. Retail branding (Dragonfly Moscato dan Two Island)
3. Geographical branding (Pino de Bali dan Dewi Sri).
21
Ketiga strategi branding tersebut memiliki perbedaan dalam bahan baku olahan, target
pasar, dan tipologi penggunaan agar memenuhi target penjualan perusahaan
sebagaimana dapat dirangkum dalam Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 berikut.
Tabel 1.Strategi Producer Branding Produk Wines PT Hatten Bali
StrategiBranding Branding Brand
Bahan Baku Target Pasar(Konsumen)
Tipologi Penggunaan
ProducerBranding
HattenWines
HattenWinesRose
Anggur Alphonse-LavalléeWine dari BaliUtara dengan rasabuah tropis
Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum
Cocok disajikan bersama semuajenis makanan, ideal denganhidangan Bali dan makanan laut.
HattenWines
HattenWinesAga Red
Anggur Alphonse-LavalléeWine dari BaliUtara dengan rasabuah tropis
Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum
Direkomendasikan disajikansedikit dingin, sangat baik untukpanggang daging dan hidanganpedas. Disarankan juga denganhidangan India, Meksiko danIndonesia.
HattenWines
HattenWinesAgaWhite
Anggur Belgia,dari Bali UtaraWine dengan rasalemon jeruk
Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum
Cocok disajikan bersama ikan,seafood, daging dan makananpedas
HattenWines
HattenWinesAlexandria
Anggur Belgia,dari Bali Utaradengan rasa semi-manis, sangataromatik denganaftertaste segar
Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum
Cocok disajikan bersamamakanan kecil dan keju. Idealdengan makanan pedas dancocok untuk hidangan penutup.
HattenWines
HattenWinesRoseCask
Anggur Alphonse-LavalléeWine dari BaliUtara dengan rasabuah tropis
Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum
Cocok disajikan bersama semuajenis makanan, ideal denganhidangan Bali dan makanan laut.
HattenWines
HattenWinesAga RedCask
Anggur Alphonse-LavalléeWine dari BaliUtara dengan rasabuah tropis
Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum
Sangat baik untuk panggangdaging dan hidangan pedas.Disarankan juga denganhidangan India, Meksiko danIndonesia.
HattenWines
HattenWinesAgaWhiteCask
Jenis anggurBelgia, dari BaliUtaraWine dengan rasalemon jeruk
Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum
Cocok disajikan bersama ikan,seafood, daging dan makananpedas
HattenWines
HattenWinesJepun
Jenis anggurAlphonse-LavalléeSparkling Winesedikit manisdengan rasa buahtropis yang ringan.
Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum
Cocok disajikan bersamamakanan kecil, makananpenutup, makanan ringan - saladdan ikan
HattenWines
HattenWinesTunjung
Jenis anggur:Probolinggo Biru,tumbuh di BaliUtaraSparkling Winemenyegarkandengan aroma kulitjeruk dan bunga
Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum
Cocok disajikan bersamamakanan kecil, makananpenutup, makanan ringan
22
Berdasarkan Tabel 1 di atas, PT Hatten Bali menggunakan strategi producer
branding. PT Hatten Bali memiliki 35 hektar kebun anggur siap panen di Bali Utara
(Buleleng) baik kebun milik sendiri maupun dengan pola kemitraan dengan petani lokal.
Kebun-kebun anggur PT Hatten Bali terletak di sepanjang pantai utara Bali, sebagian
besar antara kota Seririt dan Pemuteran. Daerah ini dipilih sebagai lokasi perkebunan
karena iklimnya cocok untuk usahatani anggur. Varietas yang ditanam di Bali utara
adalah Probolinggo Biru lokal, anggur hitam lokal Alphonse-Lavallée, French table
grapes dan anggur putih lokal Belgia. Iklim tropis membuat karakter cita rasa unik dari
anggur di Bali yang berbeda dengan anggur dari daerah lain atau anggur impor.
Memiliki kebun anggur sendiri berarti PT Hatten Bali mampu mengontrol variasi
biologis dari atribut produk anggur yang diinginkan atau mampu mengelola secara
konsisten grading bahan baku wines untuk menjamin konsistensi perbedaan kualitas
atribut tertentu yang diinginkan. Oleh karenanya, strategi producer branding paling
sesuai diterapkan. Hal ini akan menggiring konsumen kepada citra bahwa produk wine
yang dihasilkan sangat unggul dan khas dibanding kompetirtor lainnya. Producer
branding yang dilakukan oleh PT Hatten Bali secara operasional di lapangan
divariasikan dalam beragam variasi brand produk wine sebagaimana terlihat dalam
Tabel 1 di atas. Strategi ini sangat sukses mengingat serapan produk dengan strategi
branding ini sangat besar.
Tabel 2.Strategi Retail Branding Produk Wines PT Hatten Bali
StrategiBranding Branding Brand
Bahan Baku Target Pasar(Konsumen)
Tipologi Penggunaan
RetailBranding
TwoIslands
TwoIslandsChardonnay
Anggur impor dariAustralia Selatan,aroma varietaskhas dari ara danmelon, dengansedikitkompleksitas oak.
Utamanyawisatawanmancanegara, tetapitidak menutupkemungkinanwisatawan domestik
Cocok disajikan bersamamakanan dari unggas, seafoodatau masakan ringan dibumbuidan Asia.
TwoIslands
TwoIslandsShiraz
Anggur impor dariAustralia Selatan,aroma cherrypedas dan ladahitam ditingkatkandengan mocha danvanili aroma.
Utamanyawisatawanmancanegara, tetapitidak menutupkemungkinanwisatawan domestik
Cocok disajikan bersama daging,hidangan pedas dan sayuranpanggang merah.
TwoIslands
TwoIslandsCabernetMerlot
Anggur impor dariAustralia Selatan,aroma plummatang dengansentuhan varietasleafiness.
Utamanyawisatawanmancanegara, tetapitidak menutupkemungkinanwisatawan domestik
Cocok disajikan bersamahidangan daging serta dagingmerah dan keju keras.
23
Tabel 2 (lanjutan)
StrategiBranding Branding Brand
Bahan Baku Target Pasar(Konsumen)
Tipologi Penggunaan
TwoIslands
TwoIslandsRiesling
Anggur impor dariAustralia Selatan,aroma bungamusim semi danpir.
Utamanyawisatawanmancanegara, tetapitidak menutupkemungkinanwisatawan domestik
Cocok disajikan bersamaseafood, hors d'oeuvres danhidangan keju.
TwoIslands
TwoIslandsPinotGrigio
Anggur impor dariAustralia Selatan,aroma penuhmanis rempah-rempah, pisang,karamel, peach danstroberi dan krim
Utamanyawisatawanmancanegara, tetapitidak menutupkemungkinanwisatawan domestik
Cocok disajikan bersama dagingbabi, seafood, salad kecualiuntuk makanan berlebihanberminyak.
TwoIslands
TwoIslandsSauvignonBlanc
Anggur impor dariAustralia Selatan,Sangat intens,seperti rumputyang barudipotong, lantanadan apel hijau.
Utamanyawisatawanmancanegara, tetapitidak menutupkemungkinanwisatawan domestik
Cocok disajikan bersama pastaringan, tapas dan nasi goreng
TwoIslands
TwoIslandsDragonflyMoscato
Anggur impor dariAustralia Selatan,aroma nanas,melon dan buahpersik kering.
Utamanyawisatawanmancanegara, tetapitidak menutupkemungkinanwisatawan domestik
Cocok disajikan bersamamakanan apa saja dan kapan sajakarena sifatnya ringan cocokuntuk wanita
Tabel 2 di atas menunjukkan strategi retail branding yang dijalankan oleh PT
Hatten Bali. Strategi ini diambil karena perusahaan tidak memiliki akses dalam
mengontrol langsung bahan baku wine yaitu anggur. Bahan baku anggur didatangkan
dari perkebunan anggur dari Australia Selatan. Walaupun tidak memiliki akses dalam
mengendalikan bahan baku tetapi perusahaan memiliki kemampuan mengelola secara
konsisten grading untuk menjamin konsistensi perbedaan kualitas atribut tertentu yang
diinginkan setelah menjadi wines.
Perusahaan memiliki kemampuan menciptakan produk wines berdasarkan
karakteristik khas bahan baku anggur impor sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 2.
Wine ini di-branding oleh perusahaan berdasarkan pertimbangan segmentasi konsumen
sasaran dan spesifikasi konsumsinya oleh konsumen. Misalnya, di tingkat retail wine
dengan segmentasi konsumen yang ringan dan wanita diberi branding Dragon Fly
Moscato, sedangkan yang lainnya bersifat lebih kuat cita rasa dan kandungan
alkoholnya ditujukan bagi konsumen umum. Jadi perbedaannya di tingkat eceran atau
retail.
24
Tabel 3.Strategi Geographical Branding Produk Wine PT Hatten Bali
StrategiBranding Branding Brand
Bahan Baku Target Pasar(Konsumen)
Tipologi Penggunaan
GeographicalBranding
HattenWines
HattenWinesPino deBali
Jenis anggur lokalBali Alphonse-Lavallée danBelgia (MuscatkeluargaAlexandria), aromapuding, rempah-rempah, vanili danbuah-buahankering
Wisatawandomestik,wisatawanmancanegara danmasyarakat umum
Cocok disajikan sebagaiminuman, atau anggur penutup.Baik dengan cokelat pahit, kuecoklat atau kue tar, jugasensasional dengan buah mincepie atau dengan kenari, keju biru,pate dan antipasto.
Dewi Sri Dewi SriArakBali
Terbuat dari berasputih yangdifermentasi.
Masyarakat umum Sering digunakan untuk upacarasebagai bagian dari persembahanatau bagian dari perayaan upacarakeagamaan.
Dewi Sri Dewi SriBremBali
Terbuat dari ketanputih dan hitamyang difermentasi,rasa yang kaya danunik tapimenyenangkanaftertaste pahit.
Masyarakat umum Selain untuk konsumsi sehari-harijuga digunakan terutama dalamupacara keagamaan.Tersedia dalam kemasan 200 ml,630 ml dan jenis Liqueur.
Tabel 3 di atas menunjukkan strategi geographical branding yang diterapkan oleh
PT Hatten Bali terhadap produk wines-nya. Umumnya ciri-ciri geografis menjadi
patokan utama dalam mem-branding agar mampu menarik minat calon konsumen.
Misalnya, menggunakan nama geografis “Bali” atau bahasa dengan indikasi geografis
“Dewi Sri” yang merujuk pada interpretasi geografis tertentu. Pada kasus di atas, arak
Bali dibuat dari bahan baku beras yang sama sekali tidak dapat dikontrol dari mana asal
berasnya. Demikian juga dalam produksi brem Bali yang berbahan baku ketan putih dan
hitam yang tidak dapat dikontrol produksi bahan bakunya oleh perusahaan. Pada kondisi
tersebut, perusahaan menggunakan strategi geographical branding untuk menarik calon
konsumen terutama konsumen lokal.
Sebaliknya, perusahaan juga memiliki strategi geographical branding dengan
tujuan sebaliknya yaitu walaupun mengetahui bahan baku anggur berasal dari
perkebunan di Bali Utara dan dapat mengontrol ketersediaan dan karakteristik bahan
baku wines, tetapi tetap menggunakan identifikasi geografis seperti Hatten Wines Pino
de Bali untuk target konsumen non lokal tetapi wisatawan mancanegara dan domestik di
luar Bali. Hal ini bertujuan membangkitkan rasa penasaran wisatawan terhadap rasa
wines yang khas Bali. Kedua strategi geographical branding ini sangatlah luar biasa
dalam rangka menjangkau segmen pasar yang berbeda.
25
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan strategi branding yang dilakukan oleh PT Hatten Bali terhadap produk
wines-nya dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
(1) Strategi branding sangat layak diterapkan terhadap produk-produk pertanian
sama seperti strategi branding produk-produk manufaktur dan jasa lainnya
dengan penyesuaian mengikuti karakteristik produk pertanian yang
bersangkutan.
(2) Strategi producer branding, retail branding, dan geographical branding sama-
sama dapat diimplementasikan pada produk sejenis. Dalam kasus di atas adalah
wines, yang berarti branding menjadi diferensiator produk, diferensiator target
pasar, dan diferensiator consumer experience. Tegasnya, tiap strategi branding
memiliki karakteristik berbeda.
Saran
Petani, pengusaha agribisnis, dan pemasar produk pertanian sebaiknya mulai
memakai pendekatan branding dalam memasarkan produk pertaniannya baik dalam
pemasaran produk pertanian olahan maupun non olahan. Branding sejatinya merupakan
strategi pemasaran (promosi) yang mampu meningkatkan nilai tambah produk pertanian
dengan signifikan. Sebutir pisang yang dijual begitu saja dibandingkan pisang yang
sama dijual dalam kemasan dengan di-branding secara benar akan mampu
meningkatkan harga jual.
DAFTAR PUSTAKA
Boomsma, Marije and Michiel Arnoldus. 2008. Branding for Development. KITWorking Papers Series C2. Amsterdam: KIT
Docherty, Chris. 2012. Branding Agricultural Commodities: The Development Casefor Adding Value Through Branding. International Institute forEnvironment and Development/Sustainable Food Lab.
Haimid, Tarmizi., Dwi Rizky and Rozhan Abu Dardak. 2012. Branding as a Strategyfor Marketing Agriculture and Agro-Based Industry Products. Economicand Technology Management Review, Vol.7: 37-48
http://www.hattenwines.com/
26
http://twoislands.co.id/
http://dewisri.biz/
Iversen, Nina M. & Leif E. Hem. 2006. Provenance Association as Core Values of PlaceUmbrella Brands: A Framework of Characteristics. European Journal ofMarketing. Vol. 42 No.5/6: 603-625
Kotler, Philip dan David Gertner. 2004. Country as Brand, Product and Beyond: a PlaceMarketing and Brand Management Perspective in Morgan, Nigel., AnnettrPritchard dan Roger Pride. 2004. Destination Brand ing: Creating theUnique Destination Proposition. New York: Elsevier
Lavikka, Tiina. 2007. Evaluating Differences in Desired Brand Image in Two Markets-Case: Vaio Lactose Free Products in Finland and Sweden. DissertationSummary. School of Business International Marketing LappeenrantaUniversity of Technology.
Simmons, Geoffrey J. 2007. i-Branding : Deeloping the Internet as a Branding Tool.Marketing Intellegence & Planning, Vol.25 (6) , pp.544-562
Touminem, Pekka. 1999. Managing Brand Equity. LTA, Vol 1 (99), pp. 65-100
White, M. R., C. Pray & A.C Zwart. 1996. The Role and Impottance of Branding inAgricultural Marketing. Departement of Economics and Marketing, LincolnUniversity, Canterbury, New Zealand.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada PT Hatten Bali terutamapada bagian SDM, Pemasaran, dan Produksi yang memberikan akses sangat luasterhadap data dan dengan kesabaran menjelaskan berbagai hal mengenai produksi winesselama penelitian ini dilaksanakan.
27
KERAGAAN BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU PADI DANKETAHANAN TERHADAP OPT UTAMA MENDUKUNG
KEBERLANJUTAN PANGAN DI BALI
I.B.K. Suastika, Putu Suratmini dan Putu SutamiBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
Jl. By Pass Ngurah Rai Denpasar BaliE-mail : [email protected]
Abstrak
Terobosan teknologi budidaya melalui penggunaan varietas unggul baru (VUB) merupakan salah satustrategi dalam upaya pencapaian produktivitas dan produksi padi. Secara umum kendala dalammengembangkan VUB adalah adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Untuk mendukungpercepatan adopsi VUB tahan OPT telah dilakukan kajian terhadap beberapa VUB Inpari di Subak DlodSema, Desa Sading, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali pada MK tahun 2016. Kajian bertujuanuntuk mengetahui keragaan pertumbuhan dan produktivitas beberapa VUB padi yang tahan terhadap OPTutama spesifik lokasi. Kajian mennggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan empat perlakuandan sepuluh kali ulangan. Perlakuan yang dimaksud adalah Inpari 16 Pasundan, Inpari 19, Inpari 30Ciherang Sub-1 serta varietas Ciherang sebagai pembanding. Data dianalisis dengan sidik ragam dandilajutkan dengan uji BNT pada taraf 5%. Hasil kajian menunjukkan bahwa varietas Inpari 19, Inpari 30Ciherang Sub-1 dan Inpari 16 Pasundan memberikan keragaan pertumbuhan yang berbeda nyata denganCiherang. Namun dari segi hasil gabah kering panen (GKP), varietas Inpari 19 (6,52 ton GKP/ha) dan Inpari30 Ciherang Sub-1 (6,6 ton GKP/ha) tidak berbeda nyata dengan Ciherang (6,14 ton GKP/ha), kecualiInpari 16 Pasundan (3,3 ton GKP/ha) karena terserang OPT hama penggerek batang serta penyakit hawardaun bakteri (HDB) dan blas dengan tingkat serangan masing-masing 30%, 50% dan 30%. Inpari 19 danInpari 30 Ciherang Sub-1 tahan dan agak tahan terhadap OPT hama penggerek batang, penyakit HDB danblas kecuali Inpari 30 Ciherang Sub-1 rentan terhadap penyakit HDB. Oleh karena itu VUB Inpari 19 danInpari 30 Ciherang sub-1 berpotensi untuk dikembangkan sebagai pengganti varietas Ciherang.Kata Kunci: varietas unggu baru (VUB) Inpari, Tahan OPT
Abstract
The technological breakthrough cultivation through the use of new varieties (VUB) is one strategy inachieving productivity and production of rice. In general constraints in developing VUB is the attack ofplant pests (OPT). To support accelerated adoption of VUB resistant to pest has done several studies onInpari VUB on Subak Dlod Sema, Village Sading, Mengwi, Badung, Bali on Drought 2016. Study aims todetermine the performance of growth and productivity VUB some major pests that are resistant to a specificlocation. The study using a randomized block design (RAK) with four treatments and ten replications. Thetreatment in question is Inpari 16 Pasundan, Inpari 19, Inpari 30 Ciherang Sub-1 and Ciherang as acomparison. Data were analyzed by analysis of variance followed by LSD at 5% level. The results showedthat Inpari 19 Inpari 30 Ciherang Sub-1 and Inpari 16 Pasundan provide different growth performance ofreal Ciherang. But in terms of grain yield harvested dry (GKP), Inpari 19 (6.52 ton GKP / ha) and Inpari30 Ciherang Sub-1 (6.6 ton GKP / ha) was not significantly different with Ciherang (6.14 ton GKP / ha),except Inpari 16 Pasundan (3.3 ton GKP / ha) due to a stem borer pest and bacterial leaf blight (BLB) andblast with each attack rate of 30%, 50% and 30%. Inpari 19 and Inpari 30 Ciherang Sub-1 shows the reactionresistant and somewhat resistant to stem borer, HDB and blast disease unless Inpari 30 Ciherang Sub-1 aresusceptible to disease HDB. Therefore VUB Inpari 19 and Inpari 30 Ciherang sub-1 has the potential to bedeveloped as a replacement Ciherang.Keywords: new varieties (VUB) Inpari, resistant to pest
PENDAHULUAN
Padi merupakan komoditas strategis yang menyangkut hajat hidup dan kebutuhan
mendasar bagi hampir sebagian besar penduduk Indonesia. Oleh karena itu, tekad meraih kembali
swasembada beras nasional menjadi suatu keharusan. Kebutuhan beras setiap tahun semakin
meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk. Rata-rata laju pertambahan penduduk
Indonesia sekitar 1,27 – 1,29% pertahun, dengan laju pertambahan tersebut pada tahun 2025
jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 296 juta jiwa dengan kebutuhan beras sekitar
41,5 juta ton atau setara dengan 78,3 juta ton gabah kering giling (Las et al. 2008). Setelah
swasembada beras nasional tercapai kembali pada tahun 2008 salah satu tantangan yang dihadapi
28
dalam rangka ketahanan pangan adalah bagaimana mempertahankan swasembada beras tersebut
untuk mengimbangi kebutuhan akan beras yang terus bertambah. Kementerian pertanian telah
menetapkan target 10 juta ton beras pada tahun 2014 dan swswembada pangan berkelanjutan
melalui program peningkatan produksi beras nasional (P2BN). Gerakan P2BN merupakan upaya
yang terkoordinasi untuk memasyarakatkan teknologi dan inovasi baru melalui pendekatan
pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) padi sawah.
Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan penyakit serta cekaman
lingkungan merupakan salah satu komponen teknologi yang berperan penting di dalam
meningkatkan produktivitas padi (Suwarno et al., 2004). Budidaya varietas unggul padi dengan
teknik yang tepat telah memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan produksi. Namun
dalam dua dasa warsa terakhir telah terjadi pelandaian produktivitas dan produksi VUB padi
seperti IR64 (Abdillah et al., 2008). Nur et al., (2003) melaporkan bahwa, laju peningkatan
produktivitas padi sawah di Indonesia cnederung melandai sehingga diindikasikan bahwa sistem
intensifiaksi padi sawah yang selama ini diterapkan belum mampu meningkatkan produksi dan
produktivitas padi sawah. Peningkatan produktivitas memerlukan dukungan inovasi teknologi
seperti peningkatan indeks panen, varietas unggul, penggunaan benih bermutu dan berlabel,
pengendalian OPT, pengelolaan hara, pengaturan populasi tanaman melalui penerapan sistem
tanam (Badan Litbang Pertanian 2014). Sistem produksi padi di Indonesia sering dianggap kurang
efisien karena biaya produksi (upah tenaga kerja dan sarana produksi) dinilai terlalu tinggi, dan
komponen biaya tenaga kerja mencapai 64% dari total biaya produksi (Sumarno dan Kartasasmita,
2002).
Menurut Fagi et al., (2004), salah satu penyebab terjadinya pelandaian produksi padi
nasional dalam dekade terakhir ini adalah belum optimalnya pemanfaatan potensi genetik varietas
unggul. Varietas unggul yang ditanam terus menerus kemungkinan akan mengalami perubahan
antara lain kemurnian varietas dan ketahanannya terhadap hama dan penyakit tertentu semakin
menurun, oleh karena itu diperlukan VUB untuk menggantikan varietas unggul tersebut.
Pembentukan VUB terus berlangsung untuk menghasilkan varietas dengan keunggulan yang
semakin beragam atau makin spesifik lokasi sesuai dengan potensi agroekosistem, kendala, dan
preferensi konsumen atau pengguna (Kustianto, 2004). Padi termasuk tanaman yang mempunyai
spektrum ekologi yang relatif luas dan dibudidayaan di berbagai tipe agroekosistem. Setiap tipe
agroekosistem mempunyai kendala yang berbeda seperti kekeringan, rawan hama dan penyakit,
keracunan kimia (Suhartini dkk. 2004). Oleh karena itu, diperlukan varietas-varietas unggul baru
yang berdaya hasil tinggi.
Dalam kondisi agroekologi yang beragam atau terlalu umum, sangat sulit untuk
mendapatkan suatu varietas unggul yang sesuai untuk seluruh kondisi agroekologi sehingga perlu
dikembangkan varietas spesifik lokasi yang memiliki kriteria sebagai varietas unggul antara lain
berpotensi hasil tinggi, umur genjah hingga sedang, mutu rasa dan beras baik, toleran terhadap
lingkungan abiotik serta tahan terhadap hama dan penyakit utama (Harahap dan Silitonga, 1989).
Pada kondisi agroekologi yang lebih spesifik, varietas-varietas beradaptasi spesifik lebih mudah
diperoleh.
Upaya untuk dapat meningkatkan produktivitas padi tidak terlepas dari ketersediaan dan
adopsi teknologi seperti benih, varietas, budidaya, pengendalian hama dan penyakit utama yang
efektf, ketersediaan air dan lainnya (Ruskandar et al. 2008). Penggunaan benih yang bermutu akan
29
menghasilkan pertanaman yang cepat dan serempak, sehingga bibit yang dihasilkan lebih seragam.
Demikian juga dengan teknologi budidaya, penerapan sistem tanam berbeda dengan kebiasaan
petani seperti penerapan sistem tanam legowo 2:1 dapat meningkatkan produktivitas padi. Hasil
penelitian sistem tanam legowo 2:1 memberikan hasil gabah tertinggi sebesar 6,25 ton per hektar,
meningkat 18,1% bila dibandingkan dengan sistem tanam cara petani (20 cm x 20 cm). Triny at
al. (2004) melaporkan bahwa variasi peningkatan produktivitas padi pada sistem tanam yang
berbeda tergantung pada varietas padi yang ditanam. Oleh karena itu varietas unggul merupakan
salah satu teknologi inovatif yang handal untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi melalui
peningkatan potensi daya hasil tanaman, maupun melalui peningkatan toleransi dan ketahanannya
terhadap berbagai cekaman lingkungan biotik maupun abiotik (Kustianto, 2004).
Sejak dilepas tahun 2000 varietas Ciherang masih mendominasi areal pertanaman di Bali,
karena daya hasilnya tinggi, rasa nasi enak, kualitas beras baik dan harganya tinggi. Penggunaan
varietas secara terus-menerus dari musim ke musim dalam satu hamparan yang luas akan
berdampak negatif yaitu produktivitas padi cendrung menurun (Ardjasa et al. 2004). Oleh karena
itu, perlu dilakukan pergiliran varietas dengan penggunaan varietas lainnya.
Akhir-akhir ini Badan Litbang pertanian telah mlepas varietas unggul baru seperti Inpari
(inhibrida padi irigasi), dimana hingga tahun 2015 telah dilepas sebanyak 35 varietas Inpari
masing-masing dengan keunggulan yang spesifik (Badan Litbang Pertanian, 2015). Di Bali
varietas Inpari yang pernah dikembangkan secara terbatas dari tahun 2010 hingga tahun 2015
adalah Inpari 1, Inpari 6, Inpari 7, Inpari 13, Inpari 14 Pakuan, Inpari 16 Pasundan, Inpari 18,
Inpari 19, Inpari 20, Inpari 24 Gabusan, Inpari 28 Kerinci, dan Inpari 30 Ciherang Sub-1.
Tujuan dari kajian ini adalah mengetahui tampilan dan potensi hasil dari beberapa VUB
Inpari dan tahan terhadap OPT.
BAHAN DAN METODA PENELITIAN
Rancangan Percobaan
Kajian menggunakan rancangan dasar, rancangan acak kelompok (RAK), empat perlakuan
diulang sepuluh kali. Perlakuan yang dimaksud adalah : varietas unggul baru (VUB) Inpari 16
Pasundan, Inpari 19, Inpari 30 dan varietas Ciherang sebagai pembanding. Pengkajian
dilaksanakan di lahan sawah milik petani seluas 4 ha dengan cara tanam legowo 2:1 dengan jarak
tanam (50 cm x 25 cm x 12,5 cm). Luas petak per varietas disesuaikan dengan luas alami petakan
petani. Pupuk yang digunakan adalah 2 t/ha pupuk organik, 200 kg/ha urea, 200 kg phonska
diberikan 3 kali yaitu 1/3 dari 200 kg/ha pada umur 7-10 hari setelah tanam (HST), 20-25 HST,
dan 35-40 HST. Sedangkan pupuk organik di sebar pada saat pengolahan tanah.
Lokasi dan Waktu Kegiatan
Kajian ini dilaksanakan di lahan sawah subak Dlod Sema, Desa Sading, Kecamatan
Mengwi, Kabupaten Badung. Lahan sawah yang terpilih mempunyai agroekosistem dataran
rendah beriklim basah, dimana tanam dimulai pada bulan Juni 2016.
Bahan dan Alat
Bahan yang dipergunakan dalam kajian ini adalah pupuk organik, beberapa VUB Inpari
yaitu Inpari 16 Pasundan, Inpari 19, Inpari 30 Ciherang Sub-1 dan varietas Ciherang sebagai
pembanding yang berasal dari Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi. Selain itu bahan yang
30
digunakan adalah pupuk urea, pupuk phonska, dan pupuk organik. Sedangkan alat yang digunakan
adalah alat bercocok tanam, meteran, timbangan dan alat-alat pertanian lainnya.
Pendekatan
Kegiatan pengkajian ini berdasarkan jenisnya termasuk kajian adaptasi. Oleh karena itu,
untuk mensukseskan kegiatan ini dierlukan kerjasama antar instansi terkait di daerah serta
partisifatif aktif dari anggota kelompok tani untuk mengembangkan dan menerapkan model kajian
adaptasi ini.
Pengumpulan dan Analisis Data
Parameter yang diamati meliputi : (1) komponen pertumbuhan tanaman yaitu tinggi
tanaman, jumlah anakan per rumpun, (2) komponen hasil dan hasil padi yaitu panjang malai,
jumlah gabah isi dan hampa per malai dan hasil GKP/ha. Pengamatan dan penentuan ketahanan
VUB terhadap penyaki HDB dilakukan pada saat menjelang panen dengan skoring ketahanan
tanaman terhadap Xoo berdasarkan Standar Evaluasib System for Rice (IRRI, 2002) yang telah
dimodifikasi sebagaimana ditampilkan pada Table 1 berikut ini (Badan Litbang Pertanian, 2012).
Tabel 1. Pedoman skoring ketahanan terhadap Xoo
Skala Ratio panjang gejala dan panjang daun Kriteria
1 1-5 T (Tahan)
3 >5-12 AT (Agak Taha)
5 >12-25 AR (Agak Rentan)
7 >25-30 R (Rentan)
9 >50-100 SR (Sangat Rentan)
Pengamatan dan penentuan ketahanan VUB terhadap penyakit blas terutama blas leher
malai dilakukan 7 hari sebelum panen dengan penilaian ketahanan tanaman berdasarkan sistem
standar penilaian padi (IRRI, 2004). Berdasarkan jumlah malai dengan masing-masing skala,
tingkat kerusakan blas dihitung sebagai berikut:
(10 x N1) + (20 x N3) + (40x N5) + (70 x N7) + (100 x N9)Tingkat kerusakan Blas = -------------------------------------------------------------------------------
Jumlah Malai yang diamati
Dimana N1-N9 adalah jumlah malai dengan nilai 1-9. Tingkat kerusakan blas diukur pada skala
0-100. 0-10% = tahan (T); 11-25 = Agak tahan (AT); 26-100 = Peka (P).
Serangan hama penggerek batang yang berupa sundep yang dilakukan pada umur tanaman
3 minggu setelah tanam pada masing-masing tanaman menggunakan formula berikut (Usyati at al.
2009).
Jumlah Sundep pada varietas yang diamatiSerangan sundep = ------------------------------------------------------------ x 100%
Jumlah anakan dari varietas yang sama
Persentase sundep tersebut dikonversi ke dalam nilai D sebagai berikut:
% sundep dari varietas yang diujiD = --------------------------------------------------------- x 100%
% sundep dari varietas pembanding rentan
Selanjutnya, skoring ketahanan tanaman terhadap serangan terhadap hama penggerek
batang dilihat dari nilai D. Skor 0 apabila nilai D =0%, skor 1 apabila nilai D =1-20%, skor 3
31
apabila Nilai D =20-40%, skor 5 apabila nilai D =41-60%, skor 7 apabila nilai D =61-80%, skor 9
apabila nilai D =81-100%. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan ANOVA dan
perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji BNT pada taraf 5% dengan mengunakan program
SPSS 11,5.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis statistik terhadap keragaan komponen pertumbuhan tanaman seperti tinggi
tanaman, jumlah anakan serta panjang malai disajikan pada Tabel 2. Tinggi tanaman varietas padi
Inparin yang diuji relatif bervariasi yaitu berkisar anatara 100,7 – 118,4 cm (Tabel 2). Tanaman
padi tertinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari Inpari 19 dengan tinggi 118,4 cm dan tanaman padi
terpendek ditunjukkan oleh varietas Inpari 30 Ciherang Sub-1 dengan tinggi tanaman 100,7 cm
dan berbeda nyata dengan varietas pembanding Ciherang yaitu 95,0 cm. Dari Tabel 2 terlihat
bahwa varietas Inpari 19 memiliki postur tanaman yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding
dengan varietas lainnya yaitu Inppari 16 Pasundan, dan Inpari 30 Ciherang Sub-1 serta varietas
pembanding Ciherang yaitu 118,4 cm dibanding dengan 104,6 cm, dan 100,7 cm serta 95,0 cm.
Perbedaan ini erat kaitannya dengan sifat genetik tanaman dan lingkungan. Pada lingkungan yang
sama perbedaan tersebut dominan dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman (Balitpa, 2000).
Sedangkan Arifin et al. (1999) melaporkan bahwa komponen pertumbuhan tanaman (tinggi
tanaman) erat kaitannya dengan sifat masing-masing varietas dan lingkungan dimana tanaman
tumbuh. Kondisi ketinggian lokasi dimana varietas padi ditanam sangat berpengaruh terhadap
postur tinggi tanaman. Simanulang dkk. (1995) melaporkan, bahwa tanaman akan lebih pendek
pada lokasi yang lebih tinggi dari permukaan laut. Berdasarkan Standar Evaluation System for
Rice (IRRI, 1996) standar tinggi tanaman yang terbaik adalah dibawah 90 cm dan yang sedang 90-
125 cm. Tinggi tanaman dari semua varietas Inpari yang diuji pada umumnya tergolong sedang,
yaitu Inpari 30 Ciherang Sb-1, Inpari 16 Pasundan dan Inpari 19 masing-masing 100,7 cm, 104,6
cm dan 118,4 cm. Di tingkat lapangan, tinggi tanaman sangat menentukan terhadap penerimaan
petani terhadap suatu varietas padi. Petani kurang menyukai varietas yang berpostur tinggi karena
umumnya sangat rentan, demikian juga petani tidak menyukai varietas yang tanamannya berpostur
pendek karena relatif menyulitkan pada pelaksanaan panen.
Tinggi tanaman merupakan salah satu kriteria seleksi pada tanaman padi, akan tetapi postur
padi yang tinggi belum menjamin terhadap tingkat produksinya. Dalam hal ini ditunjukkan oleh
varietas Inpari Inpari 19 dengan postur tanaman paling tinggi (118,4 cm) menghasilkan GKP tidak
berbeda nyata dibanding dengan varietas Inpari 30 Ciherqng Sub-1 serta varietas pembnding
Ciherang yaitu dengan hasil GKP 6,52 ton/ha dibanding dengan 6,6 ton/ha serta 6,14 ton/ha (Tabel
3). Sutaryo et al. (1988) melaporkan bahwa tinggi tanaman mempunyai pengaruh yang besar
terhadap hubungan antara panjang malai dengan hasil. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
panjang malai varietas Inpari yang diuji tidak berbeda nyata dibanding dengan varietas Ciherang.
Jadi dalam hal ini menunjukkan bahwa postur tanaman yang tinggi dan panjang malai yang lebih
panjang seperti Inpari 19 belum menjamin terhadap hasil GKP-nya lebih tinggi. Diduga kondisi
ini erat kaitannya dengan sifat genetik tanaman dan lingkungan (Balitpa, 2000, Suastika dkk.,
2015).
32
Tabel 2. Keragaan komponen tanaman beberapa VUB padi yang diuji di Subak Dlod Sema, DesaSading, Kec. Mengwi, Kabupaten Badung tahun 2016.
No. Varietas Tinggi tanaman(cm)
Jumlah anakan/rumpun Panjang Malai(cm)
1. Inpari 16 Pasundan 104,6 c 21,3 a 24,08 a
2. Inpari 19 118,4 d 21,7 a 26,5 b
3. Inpari 30 Ciherang Sub-1 100,7 b 21,2 a 23,78 a
4. Ciherang (pembanding) 95,0 a 20,5 a 22,29 a
BNT 5% 18,0 0.5 5,0
Angka- angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berdeda nyata padataraf BNT 5%
Dari hasil pengkajian ditemukan bahwa varietas yang diuji yaitu Inpari 16 Pasundan, Inpari
19 dan Inpari 30 Ciherang Sub-1 dengan jumlah anakan produktif per rumpun termasuk katogori
banyak dan tidak berbeda nyata dibanding dengan varietas Ciherang yaitu 21,3, 21,7 dan 21,2
batang/rumpu dibanding dengan 20,5 batang/rumpun.. Jadi, diduga bahwa ketiga varietas tersebut
(Inpari 16 Pasundan, Inpari 19, Inpari 30 Ciherang Sub-1) berpotensi untuk dikembangkan sebagai
pengganti varietas Ciherang didaerah tanpa serangan OPT hama penggerek batang, penyakit HDB,
dan Blas. Dua dari tiga varietas Inpari yang diuju yaitu Inpari 19 dan Inpari 30 Ciherang Sub-1
dengan hasil GKP tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding Ciherang yaitu 6,52 t/ha dan
6,6 t/ha dibanding dengan 6,14 t/ha (Tabel 2). . Sedangkan varietas Inpari 16 Pasundan dengan
hasil GKP 3,3 t/ha lebih kecil dan berbeda nyata dengan pembaning Ciherang yaitu 6,14 t/ha
karena tanaman terserang hama penggerek batang pada fase vegetatif umur 2-3 mingggu setelah
tanam dan terserang penyakit HDB dan dan Blas pada fase generatif (umur 7-8 minggu setelah
tanam).
Dilihat dari gabah isi per malai, varietas dengan jumlah gabah isi per malai terbanyak
ditunjukkan oleh varietas Inpari 19 kemudian disusul dengan varietas Inpari 30 Ciherang Sub-1
dan Inpari 16 Pasundan dan berbeda nyata dibanding dengan varietas pembandig Ciherang dengan
jumlah gabah isi per malai 172,3 butir, 127,9 butir dan 112,3 butir dibanding dengan 90,9 butir
(Tabel 3). Hal ini didukung oleh berat 1000 butir gabah yang berbeda nyata dengan varietas
pembanding Ciherang yaitu 28,0 gram dibanding 26,0 gram. Jadi, varietas Inpari 19 dan Inpari 30
Cihereng Sub-1 berpotensi untuk dikembangkan dan telah dikembangkan di Kabupaten/kota di
Bali secara luas dan disukai oleh petani karena berasnya bertektur pulen.
Tabel 3. Keragaan Komponen hasil tanaman beberapa VUB padi yang diuji di Subak Dlod Sema,Desa Sading, Kec. Mengwi, Kabupaten Badung tahun 2016.
No. Varietas JumlahGabah
isi/malai
JumlahGabahhampa/Malai
JumlahGabah/Malai
Berat1.000Butir(gr)
ProduksiGKP perHektar(ton)
1. Inpari 16 Pasundan 112,3 ab 19,9 a 132,8 a 28,0 c 3,3 a
2. Inpari 19 172,3 c 35,4 b 207,7 b 24,52 a 6,52 b
3. Inpari 30 Ciherang Sub-1 127,9 b 10,5 a 138,4 a 28,0 c 6,6 b
4. Ciherang (pembanding) 90,9 a 19,7 a 110,6 a 26,0 b 6,14 b
BNT 5 % 60,0 10,5 69,0 4,0 3,0
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berdeda nyata pada tarafBNT 5%
33
Dari hasil pengkajian menunjukkan bahwa OPT yang menyerang pertanaman padi varietas
Inpari yang diamati pada saat tanaman padi berumur 3 minggu seteah tanam adalah hama
penggerek batang dengan tingkat serangan bervariasi, sedangkan penyakit yang ditemukan
menyerang pertanaman padi pada saat menjelang panen adalah hawar daun bakteri (HDB) dan
Blas dengan tingkat serangan bervariasi disajikan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 menunjukkan bawah
VUB Inpari 19 bereaksi tahan dengan tingkat serangan OPT hama penggerek batang, penyekit
HDB dan Blas yang rendah dengan skala 1,0%. Berikutnya Inpari 30 Ciherang Sub-1 bereakasi
agak tahan terhadap OPT hama pengerek batang dan Blas dengan tingkat serangan tidak berbeda
nyata dibanding dengan varietas pembanding Ciherang yaitu 10,0% dan 5,0% dibanding dengan
10,0% dan 3,67%, kecuali terhadap penyakit HDB Inpari 30 Ciherang Sub-1 bereaksi rentan
dengan tingkat serangan 50,0%. Sedangkan varietas Inpari 16 Pasundan bereaksi rentan terhadap
OPT hama penggerek batang, penyakit HDB dan Blas masing-masing dengan tingkat serangan
30,0%; 50,0%; dan 30,0% dibanding varietas pembanding Ciherang yaitu 10,05; 4,0%; dan 3,67%.
Hal ini menunjukkan bahwa Inpari 19 dan Inpai 30 Ciherang Sub-1 berpeluang untuk
dikembangkan dan ditanam pada wilayah terkena serangan OPT hama pengerek batang, penyakit
HDB dan Blas mengantikan varietas Ciherang walaupun Inpari 30 Ciherang Sub-1 terserang
penyakit HDB, tatapi masih mampu mangimbangi kerusakan akibat serangan HDB dan mampu
menghasilkan hasil GPK rata-rata cukup tinggi yaitu 6,52 t/ha; 6,6 t/ha dan tidak berbeda nyata
dengan varietas Ciherang yaitu 6,14 t/ha. Sedangkan varietas Inpari 16 Pasundan tidak dapat
direkomendasikan untuk dikembangkan dan ditanam menggantikan varietas Ciherang pada
wilayah dengan serangan OPT hama penggerek batang, penyakit HDB dan Blas karena hanya
mampu menghasilkan GKP 3,3 t/ha. Sedangkan rata-rata hasil GKG Inpari 16 Pasundan
berdasarkan deskripsi mencapai 6,3 t/ha. Jadi kerugian hasil rata-rata petani akibat
mengembangkan dan menanam padi varietas Inpari 16 Pasundan pada areal terserang OPT hama
penggerek batang berupa sundep 3,0 t/ha. Kalau harga hasil GKP/kg dihargakan Rp. 5000,-/kg
maka kerugian petani mencapai Rp. 15.000.000/ha.
Tabel 4.Tingkat serangan beberapa OPT terhadap beberapa VUB Inpari di Subak Dlod Sema, DesaSading, Kecamatan Mngwi, Kabupaten Badung tahun 2016.
No. Varietas Tingkat Serangan OPT (%)
Pengerek Batang HDB Blas
1 Inpari 16 Pakuan 30,0 c 50,0 b 30,0 c
2. Inpari 19 1,0 a 1,0 a 1,0 a
3. Inpari 30 Ciherang Sub-1 10 b 50,0 b 5,0 b
4. Ciherang (pembanding) 10,0 b 4,0 a 3,67 b
BNT 5% 20,0 40,0 25,0
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berdeda nyata pada tarafBNT 5%
Dari hasil analisis usahatani padi keuntungan yang diterima petani dari beberapa varietas,
menunjukkan bahwa varietas Inpari 30 Ciherang Sub-1 yang paling besar yaitu sebesar Rp
21.190.000 per hektar dengan nilai B/C ratio sebesar 1,79. Sebaliknya keuntungan yang terkecil
dari keempat varietas yang diujikan diperoleh dari Inpari 16 Pasundan yaitu sebesar Rp. 6.670.000
dengan nilai B/C ratio sebesar 0,69. Dilihat dari tingkat kelayakannya keempat varietas ini
memiliki nilai B/C ratio diatas 0. Ini berarti semua varietas menguntungkan dan layak untuk
dikembangkan.
34
Sesuai penggunaan sarana produksi yang umum diberlakukan, perhitungan usahatani VUB
padi ini diperoleh dari penggunaan pupuk urea dan phonska dosis masing-masing 200kg/ha, Urea
seharga Rp.2500/kg, Phonska seharga Rp.3500/kg. Untuk biaya tenaga kerja dihitung sebagai
berikut : biaya pengolahan =Rp.20.000/100m2, biaya tanam =Rp.20.000/ 100 m2, dan biaya
panen yang dikerjakan secara borongan Rp. 600.000/1.000 kg.
Tabel 5. Hasil analisis usahatani beberapa VUB padi (ha) di Subak Dlod Sema, Desa Sading,Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung tahun 2016.
No. Inpari16Pasunan
Inpari 19 Inpari 30CiherangSub-1
Ciherang
1. Bahan/sarana 2.550.000 2.550.000 2.550.000 2.550.000- Pupuk urea +
phonsak1.250.000 1.250.000 1.250.000 1.250.000
- Pestisida 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000- Benih 300.000 300.000 300.000 300.000
2. Biaya Tenaga Kerja 7.280.000 9.212.000 9.260.000 8.984.000- Pengolahan lahan 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000- Tanam 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000- Pemupukan 300.000 300.000 300.000 300.000- Penyiangan 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000- Panen 1.980.000 3.912.000 3.960.000 3.684.000
3. Total Biaya (1 + 2) 9.830.000 11.762.000 11.810.000 11.534.0004 . Hasil (kg) 3.300 6.520 6.600 6.1405. Harga (Rp.) 5.000 5.000 5.000 5.0006 Penerimaan (4 x 5) 16.500.000 32.600.000 33.000.000 30.700.0007. Keuntungan (6 – 3) 6.670.000 20.838.000 21.190.000 19.166.0008. R/C (6 : 3) 1,68 2,77 2,79 2,669. B/C (7 : 3) 0,68 1,77 1,79 1,66
Keterangan: diolah dari data primer, 2016.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil kajian yag dilakukan dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
dan saran diantaranya:
1. Tampilan VUB Inpari 19 dan Inpari 30 Ciherang Sub-1 berpengaruh nyata terhadap tinggi
tanaman, panjang malai, gabah isi per malai, berat 1000 butir serta hasil GKP.
2. Hasil rata-rata GKP padi Inpari 19 dan Inpari 30 Ciherang Sub-1 tidak berbeda nyata dengan
varietas Ciherang yaitu 6,52 t/ha dan 6,6 t/ha dibanding dengan 6,14 t/ha.
3. Inpari 19 dan Inpari 30 Ciherang Sub-1 bereaksi tahan dan agak tahan terhadap OPT hama
penggerek batang serta penyakit HDB dan Balas, kecuali Inpari 30 Ciherang Sub-1 rentan
terhadap penyakit HDB sehingga berpotensi untuk dikembangkan menggantikan varietas
Ciherang.
4. Varietas Inpari 16 Pasundan dengan serangan sundep skala 3, menghasil rata-rata produksi
GKP 3,3 ton/ha. Dengan rata-rata hasil Inpari 16 Pasundan berdasarkan deskripsi 6,3 ton/ha
jadi kerugian petani akibat serangan sundep 3,0 ton/ha. Kalau harga hasil GKP/kg dihargakan
Rp. 5000, maka kerugian petani mencapai Rp. 15.000.000/ha.
4. Untuk melihat kestabilan hasil dan ketahanan padi masing-masing VUB terhadap OPT hama
penggerek batang, penyakit HDB dan penyakit Blas, kajian serupa perlu dilakukan di
agroekosistem lahan sawah yang lain di musim tanam yang sama atau musim tanam yang
berbeda
35
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, B., Tjokrowijoyo, dan Sularjo, 2008. Perkembangan dan prospek perakitan padi tipebaru di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 2(1).
Ardjasa, W.S., Suprapto, dan B. Sudaryanto. 2004. Komponen teknologi unggulan usahatani padisawah di Lampung. Buku III. Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi.Puslitbangtan. Bogor (III):653-666.
Arifin, Z., Suwono, S. Roesmarkam, Suliyanto dan Satino. 1999. Uji adaptasi varietas/galurharapan padi sawah berumur genjah dan berumur sedang. Dalam: Roesmiyanto (ed).Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso. Badan LitbangPertanian Malang. p. 8-13
Balai Penelitian Padi. 2000. Petunjuk Teknis Pengkajian dan Pengembangan Intensifikasi PadiLahan Irigasi Berdasarkan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu. Balai PenelitianPadi. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta.
Badan Litbang Pertanian, 2012. Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengujian KetahananGalur/Varietas Padi terhadap Hawar Daun Bakteri (HDB), Xanthomonas oryzae pv oryzae(Xoo).
Badan Litbang Pertanian, 2014. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)Padi Sawah Irigasi. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. 46 hal.
Badan Litbang Pertanian, 2015. Deskripsi varietas unggul baru padi. Badan Libang Pertanian.Departemen Pertanian.
Fagi, A.M., Irsal Las, M. Syam, A.K. Makarim dan A. Hasanuddin, 2004. Penelitian padi menujurevolusi hijau lestari. Balitpa. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian.
Harahap , Z. dan T.S. Silitonga, 1989. Perbaikan varietas padi. P. 335-361. Dalam: Ismunadji etal. Buku 2. Puslibangtan Bogor.
IRRI. 1996. Standard Evaluation System for Rice. Los Banos. Philippine.
IRRI. 2002. Standard evaluation system for rice (SES). P. 56.
IRRI, 2004. Standard Evaluation System for Rice. Los Banos. Philippine.
Kustianto, B. 2004. Kriteria seleksi untuk sifat toleran cekaman lingkungan biotik dan abiotik.Makalah Pelatihan dan Koordinasi Program pemuliaan Partisipatif (Shuttle Breeding) danuji Multilokasi, Sukamandi 9-14 April 2004. 19 hal.
Las, I., H. Syahbuddin , E. Surmaini, dan A.M. Fagi. Iklim dan tanaman padi. Tantangan danPeluang. Dalam: Suyamto et al (eds) Buku Padi. Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan.Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. hal 151-189.
Nur, M., H.M. Marwan, dan A.B. Basri. Pengelolaan Tanaman Terpadu Nangroe AcehDarussalam. Prosiding Lokakarya Pelaksanaan Program peningkatan Produktivitas PadiTerpadu (P3T) tahun 2003. Puslitbangtan Bogo. Hal. 49-68.
Ruskandar A., Sri Wahyuni, Sri Hari Mulya, dan Tita Rustiati. 2008. Respon petani di Pulau Jawaterhadap benih bersertifikat. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi MenunjangP2BN. Buku 2. Penyunting Bambang Suprihatno, Aan A. Dradjat, Hendarsih Suharto,Husni M. Toha, Agus Setyono, Suprihanto, Agus S. Yahya. Balai Besar PenelitianTanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 881-888.
Suastika, I.B.K., A.A.N.B. Kamandalu dan S.A.N. Aryawati, 2015. Karakter Agronomi danKetahanan Beberapa Varietas Unggul Baru Padi terhadap Hawar Daun Bakteri. PosidingSeminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi, Penyunting MuhammadYasin, Aidi Noor, Rosita Galib, Suryana, Eni Siti Rohaeni dan Agus Hasbianto. Balai BesarPengkajian dan Pengembagan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian Bekerjasamadengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat,6-7 Agustus 2014. Hal 143-152.
Simanulang, Z.A. T. Tjubarjat dan E Sumadi. 1995. Pemaduan beberapa sifat baik IR 64 dan IR1961. Dalam: Prosiding Seminar A. 1995. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balai PenelitianTanaman Padi Sukamandi.
36
Suhartini, T., I. Hanarida, Sutrisno, S. Rianawati, Sustipryanto, dan Kurniawan, 2004. Pewarisansifat toleran keracunan besi pada beberapa varietas padi. Penelitian Pertanian 16 (1):26-32.
Sumarno dan U.G. Kartasasmita. 2002. Biaya produksi dan Indeks kekuatan tawar usahatani padisawah. Berita Puslitbangtan no. 25.
Sutaryo, B. B. Suprihatno dan Z. Harahap. 1988. Analisis koefisien lintasan dari komponenperbanyakan benih padi hibrida. Penelitian Pertanian Vol.8(1):48-64.
Suwarno, E. Lubis, Alidawati, I.H. Somantri, Minantyorini, dan M. Bustaman, 2004. Perbaikanvarietas padi melalui markah molekuler dan kultur antera. Prosiding Hasil PenelitianRintisan dan Bioteknologi Tanaman. p. 53-62.
Triny, S.K. 2004. Pemantauan reaksi galur isogenik IRBN-IRRI terhadap Xanthomonascampestris pv oryzae di beberapa daerah endemis hawar daun bekteri. Laporan HasilPenelitian Tahun 200. Balai Peneltian Tanaman Padi. 11 hal.
Usyati N., D. Buchori, S. Manuwoto, P. Hidayat, dan I.H. Slamet-Loedin. 2009. Keefektivan paditransgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas (Walker)(Lepidotera: Crambidae). Jurnal Entology Indonesia 6(1), 30-41.
37
REVITALISASI KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DIINDONESIA
Kadhung Prayoga1
1Program Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana,Universitas Gadjah Mada
Email: [email protected]
ABSTRAKDewasa ini, penyuluhan pertanian menghadapi problem yang serius karena sudah mulai tidak
mendapat tempat lagi di sektor pertanian. Berbagai masalah kelembagaan seperti: (1) Tidak ada kordinasiantar lembaga terkait, (2) Kurangnya dukungan lembaga penyuluhan terhadap penyuluh, (3) Lembagapenyuluhan menjalankan tugas yang bias kepentingan, dan (5) Kabupaten/kota masih banyak yang belummembentuk kelembagaan penyuluhan dan rendahnya dana otonom dalam menjalankan fungsinya.Mendasarkan pada permasalahan ini, maka dibutuhkan suatu revitalisasi kelembagaan penyuluhan sebagaiupaya untuk memfungsikan kembali lembaga penyuluhan sesuai dengan perannya. Karena alasan inilah,maka penulisan paper ini bertujuan untuk mereview bagaimana seharusnya revitalisasi kelembagaanpenyuluhan dilakukan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakanmetode deskriptif dan analisis wacana. Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan lewatmetode studi pustaka. Dari pembahasan diketahui bahwa revitalisasi penyuluhan hendaknya dilakukan baikdari segi internal kelembagaan maupun dari eksternalnya. Hal-hal yang harus dilakukan adalah: (1)Menyusun kembali nilai, fungsi, teknologi, (2) Meningkatkan kualitas sumber daya modal, fisik, danmanusianya, (3) Adanya pola kepemimpinan yang luwes dan penghargaan terhadap staff, serta (4)Memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan lembaga itu sendiri lewat penyusunan peraturandan perbaikan sub sistem. Semua ini dilakukan untuk meningkatkan kapasitas lembaga penyuluhan agarmampu memenuhi peran dan fungsinya.
Keyword: lembaga, penyuluhan, revitalisasi, indonesia
ABSTRACT
Today, the agricultural extension face a serious problem, it began didn't have a place anymore inthe agricultural sector. Various institutional problems such as: (1) No coordination between the institutions,(2) Lack of support from institutional extension to extension activity, (3) Organization counseling stintsbiased interests, and (5) Many regencies/cities are not yet established an institutional extension and lack offunds. Based on this problem, we need an institutional revitalization counseling as an attempt to restoreboth the extension services in accordance with the role. For this reason, the writing of this paper aims atreviewing how institutional revitalization counseling should be done. The approach used is a qualitativeapproach with descriptive method and discourse analysis. The data used are secondary data collectedthrough literature study method. From the discussion it is known that the revitalization of counseling shouldbe done in terms of both internal and from external institutions. The things to do are: (1) Reconstitute value,function, technology, (2) improve the quality of capital resources, physical and human, (3) The existenceof a pattern of leadership that is flexible and respect for staff, as well as (4) obtain support and completenesswithin the institution itself through the drafting of regulations and improvement of sub-systems. All this isdone to increase the capacity of extension services to be able to fulfill its role and functions.
Keyword: intitution, extension, revitalization, Indonesia
38
PENDAHULUAN
Dewasa ini, penyuluhan pertanian telah menghadapi problem yang serius karena sudah mulai
tidak mendapat tempat lagi di sektor pertanian. Petani lambat laun hanya menjadikan penyuluhan
sebagai suatu hal yang instrumental dan bukan menjadi kebutuhan. Rendahnya kepercayaan petani
kepada penyuluh juga memicu mandeknya kegiatan penyuluhan di tengah-tengah masyarakat.
Penyuluhan seakan mati suri setelah revolusi hijau berakhir (Subejo, 2013). Lebih dari satu dekade
semenjak krisis 1998, penyuluhan tidak lagi menjadi perhatian dalam kegiatan pembangunan
pertanian di Indonesia. Padahal jika menilik ke belakang, salah satu faktor kunci suksesnya
swasembada beras di Indonesia terjadi karena massifnya kegiatan penyuluhan.
Dalam studi yang dilakukan Sucihatinngsih dan Waridin (2010) juga disebutkan ragam
masalah yang muncul di kelembagaan penyuluhan, yaitu: (1) Fungsi penyuluhan di provinsi belum
berjalan optimal, (2) Mandat untuk melaksanakan penyuluhan pertanian tidak jelas, (3) Bentuk
tupoksi dan eselonering kelembagaan penyuluhan beragam, (4) Belum semua kabupaten memiliki
BPP, (5) Jika ada kabupaten yang sudah memiliki BPP, terkadang tidak berjalan sesuai fungsinya,
dan (6) Rendahnya sarana prasarana untuk kegiatan penyuluhan.
Mendasarkan pada permasalahan dan orientasi pembangunan pertanian, maka dibutuhkan
suatu revitalisasi kelembagaan penyuluhan untuk menumbuhkan lagi kegiatan penyuluhan di
Indonesia. Revitalisasi bisa diartikan sebagai suatu perubahan, pertumbuhan, dan pengembangan
dari struktur dan fungsi kelembagaan yang ada. Revitalisasi menjadi upaya untuk menata kembali
dan memfungsikan lembaga penyuluhan sesuai dengan perannya agar tercipta suatu kesatuan
dalam menentukan arah kebijakan penyuluhan. Tujuannya sendiri adalah dalam rangka
membangun kelembagaan yang kokoh dan didalamnya terdapat sumber daya manusia yang
profesional untuk mengelolanya. Semua ini ditujukan demi tercapainya tujuan yang telah
dicanangkan oleh lembaga penyuluhan.
Kelembagaan penyuluhan dianggap penting untuk direvitalisasi karena selama ini lembaga
penyuluhan yang sistemnya buruk justru akan menghambat jalannya pembangunan. Soekartawi
(2002) pernah menyebutkan bahwa suatu lembaga baik yang bersifat formal maupun non formal
justru bisa menjadi aspek yang menonjol dalam menghambat laju pertumbuhan pembangunan
pertanian karena tidak optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Untuk mewujudkan
lembaga penyuluhan yang seperti itu, tentu juga dibutuhkan aparat pertanian yang tangguh,
39
profesional, mandiri, inovatif, kreatif, dan berwawasan global, sehingga didapatkan agen
penyuluhan yang berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan regulator (Susmiyati et. al., 2010).
Semua hal tersebut di atas dapat terjadi jika sistem kelembagaan jelas dan pelaksanaannya
di dukung oleh tenaga penyuluh yang berkompeten. Karena berbagai alasan inilah, maka penulisan
paper ini bertujuan untuk mereview bagaimana seharusnya revitalisasi kelembagaan penyuluhan
dilakukan dan langkah seperti apa yang seharusnya diambil agar kelembagaan penyuluhan bisa
menghasilkan kebijakan, program, dan tenaga penyuluh yang bisa menjadi katalisator
pembangunan pertanian di Indonesia.
METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah pendekatan kualitatif.
Sedangkan, metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan analisis wacana. Penulisan paper
ini berusaha untuk menjelaskan revitalisasi kelembagaan penyuluhan di Indonesia. Teknik
pengumpulan datanya sendiri menggunakan metode studi pustaka untuk mendapatkan data-data
sekunder. Data sekunder dalam penulisan paper ini berupa bahan-bahan tertulis yang berasal dari
penelitian terdahulu, jurnal, buku, tesis, disertasi, dan berbagai informasi digital yang ada di
internet. Analisis menggunakan interpretasi peneliti dengan mengacu pada berbagai literatur atau
referensi yang relevan dengan objek kajian dalam penulisan paper ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berbagai perubahan yang di alami petani telah mendesak kelembagaan penyuluhan untuk
terus berbenah. Tak hanya terbatas pada revitalisasi di sektor sumber daya manusia yang harus
mengikuti globalisasi informasi, namun kelembagaan penyuluhan juga harus ikut menyesuaikan
diri dengan iklim baru yang kompetitif. Kelembagaan penyuluhan menurut Van Den Ban dan
Hawkins (1998) harus mengubah struktur dan kebudayaannya agar bisa beradaptasi dengan
perubahan zaman yang terjadi sangat massif. Dengan begitu, kelembagaan penyuluhan akan bisa
beradaptasi untuk menghadapi perubahan jaman dan bisa memenuhi kebutuhan petani sebagai
seorang klien.
Sebelum berbicara tentang apa saja perubahan yang harus dilakukan, maka kita juga harus
mengetahui berbagai masalah yang muncul di ranah kelembagaan. Sehingga kita bisa mengetahui
apa saja yang perlu diselesaikan dalam waktu singkat, hal ini agar kelembagaan penyuluhan bisa
40
berjalan dengan efektif dan efisien. Masalah yang lazim ditemui dan perlu segera ditangani
berdasarkan dari penelitian Van Den Ban dan Hawkins (1998), Sucihatiningsih dan Waridin
(2010), Huda (2010), Anantanyu (2011), Marius (2007), Bestina (2005), Suhanda (2008),
Indraningsih et. al. (2011), dan Marliati (2008) adalah sebagai berikut:
1. Belum terbentuknya kelembagaan penyuluhan yang integral dan masih terpisah-pisah dengan
lembaga lain. Masing-masing instansi masih bersifat egosektoral dan kurang melakukan
koordinasi dengan lembaga terkait. Rendahnya jejaring kerja sama ini menyebabkan semakin
banyaknya program penyuluhan yang tumpang tindih dengan program lembaga lain, sehingga
manfaat penyuluhan menjadi tidak dirasakan oleh petani. Tidak sinergitasnya pemerintah
pusat, provinsi, dan kabupaten juga menyebabkan pengalokasian dana untuk kegiatan
penyuluhan menjadi tidak jelas.
2. Penyuluh menuntut adanya dukungan dari lembaga penyuluhan terkait dengan peningkatan
pengetahuan dan keterampilan penyuluh. Lembaga penyuluhan didorong untuk memberikan
dukungan dalam memberikan ijin belajar, memfasilitasi proses pembelajaran, dan penyediaan
informasi yang diperlukan penyuluh agar kinerja penyuluh bisa lebih optimal. Namun, disini
penyuluh jarang memberikan kesempatan kepada penyuluh untuk mengikuti pelatihan karena
alasan biaya operasional yang tinggi.
3. Lembaga penyuluhan sebenarnya berada pada kondisi yang dilematis karena adanya bias
kepentingan. Hal ini terjadi karena selama ini manajemen yang dilakukan oleh lembaga
penyuluhan adalah manajemen yang sudah terpola dari pusat. Akibatnya penyuluh harus
mengikuti manajemen yang sudah ditentukan dan terjebak oleh perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi kegiatan penyuluhan yang seragam, terstruktur, dan dipertanggungjawabkan sesuai
ketentuan pusat yang belum berorientasi kepada petani. Disini, kreativitas dan inovasi
penyuluh menjadi dibatasi karena mereka tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang ada.
Terkadang instruksi yang diberikan dari pusat tidak bisa ditolak oleh penyuluh meskipun
kondisi di lapang ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Sehingga, dalam melakukan
tugasnya, penyuluh lebih berorientasi pada kepentingan institusi dibanding kepentingan petani.
4. Kabupaten/kota masih banyak yang belum membentuk kelembagaan penyuluhan sesuai
dengan amanat UU No. 16 Tahun 2006. Sehingga banyak lembaga penyuluhan yang tidak
mendapatkan biaya pengembangan dan dana dekonsentrasi. Hal ini menghambat kinerja
41
penyuluh karena tidak ada dana untuk pengembangan perangkat media informasi, penyebaran
informasi, pengembangan bali penyuluhan, dan pendampingan kepada petani.
5. Lembaga penyuluhan memandang tidak penting kegiatan-kegiatan seperti pengembangan
profesionalitas penyuluh, penyusunan materi penyuluhan, kegiatan evaluasi dan pelaporan
hasil penyuluhan, serta pemilihan metode penyuluhan sehingga kepercayaan petani terhadap
penyuluh menjadi semakin kecil. Tiga hal ini harus mendapat perhatian khusus dari lembaga
penyuluhan jika ingin integritasnya kembali dihargai oleh masyarakat.
6. Dari sektor internal lembaga penyuluhan masih banyak mempekerjakan staff yang berumur di
atas 51 tahun. Sedikit sekali staff yang berada di lembaga penyuluhan berusia muda dan berada
di rentang usia produktif. Hal ini menyebabkan kurangnya kreatifitas dalam menyusun
program dan rendahnya kesadaran terkait dengan pengembangan skill dan profesionalisme.
Selai itu, banyak pula penyuluh yang dipekerjakan tidak sesuai dengan daerah asalnya dan
sering dirubah wilayah kerjanya karena kepentingan politis.
7. Balai Informasi Penyuluhan (BIP) sebagai basiskegiatan penyuluh, lebih merupakan
kepanjangan tangan dari Kantor Informasi Pertanian (KIP) di tingkat kabupaten. Akibatnya
adalah BIP tidak diberi dana otonom untuk menyelenggarakan kegiatan penyuluhan di wilayah
kerjanya.
8. Penyuluh yang memiliki pendidikan tinggi lebih tertarik menempati jabatan struktural dan
tidak lagi mengembangkan kompetensinya. Sedangkan penyuluh yang berpendidikan relatif
rendah juga cenderung tidak lagi termotivasi untuk mengembangkan diri karena tidak ada
dukungan dari lembaga penyuluhan. Perluasan keahlian sudah dirasa tidak penting, akibatnya
tidak ada kemajuan yang berarti dalam kegiatan penyuluhan.
9. Diklat penyuluhan belum mampu menyediakan kurikulum yang dibutuhkan penyuluh.
Penyelenggaran diklat hanya sebagai kegiatan rutin tahunan dan dikemas dalam bentuk
kewajiban semata untuk memperoleh nilai kredit dalam proses kenaikan jabatan. Belum
adanya paradigma dari lembaga penyuluhan bahwa diklat ini adalah sesuatu yang dibutuhkan.
10. Lembaga penyuluhan memberikan porsi tugas yang terlalu banyak, bahkan terkadang
penyuluh harus bekerja tidak sesuai dengan kewajibannya. Beban keja diluar tugas pokok dan
fungsi inilah yang berakibat pada tidak adanya waktu bagi penyuluh untuk mengembangkan
kompetensinya. Manajemen organisasi yang tidak fleksibel juga menyebabkan penyuluh
42
bekerja dalam kondisi yang tidak bebas. Penyuluh lebih banyak bekerja lewat arahan yang
instruktif bukan dari ide dari penyuluh itu sendiri.
11. Lembaga penyuluhan belum menyediakan sarana prasarana dan perlengkapan kerja yang
memadai dalam menunjang kinerja staffnya, baik penyuluh yang berada di kantor maupun
yang bertugas di lapang. Buruknya dukungan institusi inilah yang menghambat tugas
penyuluh.
12. Masalah lain yang dihadapi lembaga penyuluhan adalah terkait dengan anggaran. Lembaga
penyuluhan tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan fungsinya. Sistem dana
anggaran yang sebelumnya dikelola pusat kemudian diserahkan kepada kebijakan daerah
masing-masing, hal ini menyebabkan sulitnya akses dana bagi lemabaga penyuluahan.
Pengelolaan dana oleh dinas juga kerap menimbulkan masalah yaitu akan banyak intervensi
kepala dinas dalam pembuatan program dan perumusan kebijakan.
13. Rekruitmen dan penempatan penyuluh yang ditentukan oleh Badan Kepegawaian Daerah
(BKD) seringkali tidak tepat. Banyak penyuluh yang ditempatkan sebagai tenaga struktural
dan dinas teknis. Hal ini sudah jelas sangat tidak sesuai dengan kompetensi kerjanya.
14. Lembaga penyuluhan belum mengatur sistem pemberian insentif dan disintensif bagi staff
yang berada di bawah naungannya. Selama ini semua insentif hanya diatur pusat lewat
penentuan angka kredit. Tidak ada penghargaan khusus bagi tenaga kerja penyuluhan dalam
rangka meningkatkan motivasi kerjanya.
Hingga kemudian muncul berbagai ide dan gagasan untuk melakukan revitalisasi di sektor
kelembagaan penyuluhan. Revitalisasi dipandang sebagai hal yang penting dan harus dilakukan
karena dewasa ini kinerja penyuluh mulai dipertanyakan. Petani juga tidak lagi menaruh banyak
harapan kepada penyuluh. Kepercayaan petani terhadap penyuluh semakin melemah mengingat
kurang berfungsinya penyuluh. Menurut Anantanyu (2011), Bestina (2005), Marliati et. al. (2008),
Indraningsih et. al. (2013), Indraningsih et. al. (2011), dan Marius (2007), setidaknya ada beberapa
hal yang harus segera dilakukan agar revitalisasi lembaga penyuluhan bisa berjalan, yaitu:
1. Adanya pemimpin yang mampu merumuskan program dan arah kebijakan dari lembaga
tersebut. Seorang pemimpin disini harus bisa menciptakan kerja sama antar anggota,
menciptkan iklim kerja yang kondusif, serta adanya pembagian tugas dan peran dari masing-
masing anggota dengan jelas.
43
2. Adanya spesifikasi nilai, tujuan, dan metode operasional yang digunakan sebagai acuan dalam
bertindak oleh anggotanya. Suatu lembaga harus memiliki tujuan yang jelas dan sesuai dengan
kebutuhan anggota.
3. Adanya program yang jelas dan terstruktur, menunjuk pada tindakan tertentu yang
berhubungan dengan pelaksanaan dari fungsi-fungsi dan jasa-jasa yang merupakan keluaran
dari lembaga tersebut. Lembaga penyuluhan juga diharapkan untuk membuat pedoman yang
pasti dalam penyusunan rencana kerja penyuluh yang berorientasi pada kepentingan petani.
4. Tersedianya sumberdaya yang berkualitas, baik itu sumber daya manusia, fisik, teknologi, dan
modal. Lembaga penyuluhan dituntut untuk bisa memperoleh, mengatur, memlihara, dan
mengerahkan sumber daya yang dimilikinya. Hal ini bisa didukung dengan meningkatkan
kegiatan pelatihan untuk pengembangan diri penyuluh.
5. Terbentuknya struktur intern, yaitu struktur dan proses-proses yang diadakan untuk bekerjanya
lembaga tersebut dan bagi pemeliharaannya. Selain itu, lembaga penyuluhan juga harus bisa
bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain yang terkait agar program yang dibuat bisa multi
sektor dan berkelanjutan.
6. Lembaga penyuluhan harus membekali penyuluh dengan pengetahuan dan kemampuan terkait
kegiatan off farm karena selama ini penyuluh hanya mengetahui kegiatan on farmnya saja.
Bidang keahlian penyuluh harus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan petani yang sifatnya
beragam. Dengan begitu akan muncul penghargaan dan apresiasi dari masyarakat kepada
penyuluh dan akan muncul kembali kepercayaan masyarakat karena menempatkan penyuluh
sebagai figur yang terbuka terhadap ide dan gagasan serta selalu berinteraksi dengan petani.
7. Lembaga penyuluhan harus merubah paradigma penyuluh untuk bisa menjadi seorang
konsultan dengan cara mengikutsertakan penyuluh dalam menyusun program. Sehingga,
penyuluh merasa dituntut untuk menjadi seorang spesialis yang harus mampu mengidentifikasi
dan menganalisis kebutuhan petani dan memberikan layanan yang memuaskan bagi petani.
8. Lembaga penyuluhan dalam menyelenggarakan kegiatan penyuluhan perlu memperhatikan
materi dan program penyuluhan, infrastruktur pendukung, faktor intensif dan disintensif
penyuluh, serta keterlibatan masyarakat.
9. Dari aspek ketenagakerjaan, lembaga penyuluhan harus melakukan koordinasi dan kerja sama
antara penyuluh pemerintah, penyuluh swadaya, dan penyuluh swasta dalam rangka untuk
mencapai tujuan bersama dan tidak ada tumpang tindih kepentingan.
44
10. Revitalisasi lembaga penyuluhan harus bersifat sistemik, diawali dengan perbaikan visi dan
misi, lalu menyiapkan sumber daya tenaga kerja yang berkompetensi baik secara perorangan
maupun berkelompok. Tidak berhenti disitu, pranata, infrastruktur, dan sistem penunjang
penyuluhan juga harus diformat ulang dan disesuaikan dengan pembangunan yang hendak
dicapai serta perkembangan jaman yang harus diikuti. Selama ini, perkembangan dukungan
fasilitas dan prasarana kerja dari lembaga penyuluhan untuk penyuluh mengalami penurunan
kualitas dan kuantitas yang sangat signifikan.
11. Diperlukan pula penataan kembali kelembagaan penyuluhan mulai dari pusat sampai tingkat
desa sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2006. Lembaga penyuluhan di tingkat pusat berbentuk
badan yang menangani penyuluhan. Di tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinator
Penyuluhan (Bakorluh), pada tingkat kabupaten berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan
(Bapeluh), dan di tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan. Lembaga penyuluhan pusat
bertugas melaksanakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan optimalisasi kinerja
penyuluhan, sedangkan Bakorluh berfungsi melakukan koordinasi dengan instansi lain yang
belum ada. Di tingkat kabupaten, Bapeluh diharapkan bisa bekerja sama dengan dinas teknis
sesuai dengan program dengan mengikutsertakan Balai Penyuluhan yang ada di Kecamatan.
Balai Penyuluhan juga bertugas nantinya untuk mendampingi petani di lapang.
12. Operasionalisasi penyuluhan seharusnya dipegang pusat, termasuk kebijakan penyuluhan
karena di era desentralisasi ini kepala daerah juga diberi wewenang untuk melakukan kendali.
Sehingga, agar tidak terjadi kebingungan dan salah dalam menafsirkan kebijakan maka
seharusnya kendali secara umum tetap berada di pusat.
13. Kebijakan Menteri Pertanian terkait dengan kinerja penyuluh harus tegas termasuk teknis
pelaksanaan penyuluhan dengan sistem otonomi daerah. Menteri Pertanian juga harus menjaga
komitmen masing-masing dinas yang berada di bawah kendalinya untuk bisa dikoordinasikan.
14. Terkait dana anggaran kelembagaan, seharusnya pihak pusat masih memberikan dana
operasional dan tidak sepenuhnya memberatkan kepada daerah. Karena tidak semua daerah
memperhatikan kegiatan penyuluhan. Ada daerah yang memandang tidak penting kegiatan
penyuluhan karena tidak secara langsung memberikan sumbangan dalam peningkatan
pendapatan asli daerah sehingga dana yang dikucurkan juga rendah.
45
Lebih lanjut Van Den Ban dan Hawkins (1998) menjelaskan beberapa prasyarat agar
lembaga penyuluhan bisa memiliki struktur organisasi yang bak agar bisa menjalankan fungsinya,
yaitu sebagai berikut:
1. Komunikasi yang baik
Organisasi penyuluhan membantu petani melalui proses komunikasi yang efektif dan
efisien. Lewat proses komunikasi itulah oraganisasi penyuluhan akan memberikan panduan
kepada petani terkait dengan pengambilan keputusan dalam berusaha tani. Dengan demikian,
penyuluh harus memahami proses pembentukan pendapat dan pengambilan keputusan, terutama
mampu mengidentifikasi masalah yang di hadapi petani. Berbagai informasi dari bawah ini akan
didapatkan oleh penyuluh lapang untuk kemudian disebarluaskan kepada para pengambil
keputusan organisasi, seperti manajer senior dan penyuluh pertanian spesialis.
2. Informasi
Dibutuhkan seorang spesialis dari berbagai disiplin ilmu sebagai sumber informasi.
Tantangan ke depan berbagai informasi dibutuhkan oleh petani, tidak hanya menyangkut budi daya
namun sudah merambah sampai kepada penggunaan komputer dan teknologi informasi di sektor
pertanian. Penyuluh tentu tidak bisa mengakomodir semua informasi tersebut sehingga di
butuhkan seseorang yang ahli di bidangnya untuk membantu kinerja penyuluh. Agen penyuluhan
dituntut dengan cepat, tepat, dan akurat untuk dapat menerima informasi dan menyebarluaskannya.
Agen penyuluhan memiliki peran lain untuk dapat menerjemahkan informasi dari hasil penelitian
akademisi dan penentu kebijakan ke dalam bahasa-bahasa yang mudah di pahami oleh petani.
3. Penyesuaian dengan lingkungan yang berubah
Lingkungan terus-menerus kan berubah dan dalam perkembangannya lembaga penyuluhan
harus mampu untuk menyesuaikan diri, bahkan diharapkan bisa mempengaruhi perubahan
tersebut. Manajemen sebagai pengambil kebijakan haruslah responsif dalam melihat perubahan
yang terjadi, namun tanggung jawab itu sebenarnya bisa didelegasikan kepada anggota staffnya.
Informasi yang sifatnya penting harus dikomunikasikan kepada staff yang memerlukan guna
pengambilan keputusan yang hendak dilakukan.
4. Motivasi staff
Untuk mencapai tujuan, lembaga penyuluhan harus bisa memotivasi staff untuk bekerja
dengan baik. Agen penyuluhan yang bertugas di berbagai tempat dengan berbagai macam tujuan
hendaklah di awasi dan diberi motivasi. Pemberian motivasi ini bertujuan untuk meyakinkan staff
46
agar bisa menjalankan tugas dengan baik dan percaya terhadap yang dilakukan adalah untuk
meyakinkan petani, bukan bekerja karena gaji semata. Agen penyuluhan harus memiliki kesadaran
bahwa tugas yang mereka lakukan sangat penting bagi petani dan realistis bagi dirinya. Organisasi
penyuluhan diharapkan bisa membicarakan berbagai isu yang ada secara terbuka bersama staffnya
untuk semua tingkat. Hal ini tidak lepas karena adanya alasan bahwa agen penyuluhan mempunyai
pendapat sendiri mengenai arah pengembangan pertanian di wilayah kerjanya dan dengan kuat
termotivasi untuk membantu perkembangan ini jika program penyuluhan searah dengan
pendapatnya.
5. Fleksibilitas
Organisasi penyuluhan harus mengembangkan budaya belajar sehingga seluruh anggota
staff akan memberikan sumbangan bagi proses untuk menemukan cara agar organisasinya dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sedang berubah, berkenaan pula dengan munculnya
berbagai peluang yang baru. Organisasi penyuluhan harus memiliki beragam cara untuk mencapai
tujuan dan berpacu dengan pengembangan baru di bidang pertanian.
Strategi kunci lainnya untuk menciptakan kelembagaan penyuluhan yang lebih baik adalah
lewat kepemimpinan. Kepemimpinan dalam lembaga penyuluhan harus bisa mengakomodir
semua kebutuhan dan tujuan staffnya. Agen penyuluhan harus memiliki kebebasan untuk
memutuskan apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya. Dengan begitu, diharapkan
staff akan memberikan sumbangsih sebanyak mungkin demi tercapainya tujuan organisasi.
Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1998), dibutuhkan gaya kepemimpinan partisipatif
dalam kelembagaan penyuluhan agar semua kepentingan bisa ternaungi. Mereka berdua juga
menjelaskan bahwa setidaknya ada 6 faktor yang harus diperhatikan terkait gaya kepemimpinan
seseorang dalam suatu lembaga penyuluhan, yaitu: (1) Manajemen dapat menentukan kepada
setiap agen penyuluhan apa yang harus dilakukan sesuai dengan tempat dimana mereka bertugas
dan memberi kebebasan untuk menentukan langkah jika ternyata terjadi banyak perubahan dari
segi sosial, ekonomi, dan budaya, (2) Harus dipilih seseorang yang profesional dan terspesialisasi
untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam lembaga pnyuluhan, (3) Lembaga penyuluhan
menuntut gaya kepemimpinan yang demokratis, dimana agen penyuluhan bersama dengan
masyarakat dipacu untuk bersikap kritis dan bisa menemukan jalan keluar dari masalah yang
sedang dihadapi, (4) Pemimpin mempunyai kewenangan untuk memberikan reward dan
punishment bagi agen penyuluhan. Mengingat selama ini, agen penyuluhan dengan statusnya
47
sebagai seorang pegawai negeri sipil sulit dipecat jika kinerjanya rendah dan sulit mendapatkan
promosi meskipun kinerjanya bagus, (5) Pemimpin harus memiliki pertimbangan dari berbagai
aspek agar keputusan yang diambil tidak tergesa-gesa dan mampu menyelesaikan masalah dengan
cepat namun akurat, dan (6) Pemimpin harus mengalokasikan tenaga staffnya untuk memnuhi
kepentingan umum terlebih dahulu.
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Kusnandar (2013), bahwa
kepemimpinan sesorang sangat mempengaruhi lembaga yang dipimpinnya. Kepemimpinan
menjadi satu dari lima dimensi penting dalam pengembangan kapasitas kelembagaan penyuluhan.
Selain kepemimpinan, yang harus mendapatkan perhatian adalah perencanaan program,
manajemen pelaksanaan, alokasi sumber daya, dan hubungan dengan pihak luar.
Revitalisasi tidak hanya berhenti dari segi kepemimpinan atasan yang ada dalam
kelembagaan penyuluhan, namun juga sampai kepada pengembangan staff yang ada. Staff dalam
lembaga penyuluhan harus memiliki mutu yang baik agar bisa berkontribusi dalam pembangunan
lembaga penyuluhan. Staff diharapkan agar bisa bersikap kritis dan tidak begitu saja menerima
arahan atasan. Agen penyuluhan sebagai seorang staff juga harus bertindak secara partisipatif dan
memahami kondisi petani serta lembaga yang menaunginya.
Penyuluh yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik perlu mendapatkan imbalan
sebagai suatu penghargaan atas dedikasi dan kerja kerasnya. Penghargaan disini bisa berupa
promosi kenaikan jabatan ataupun dalam bentuk yang lain. Secara tidak langsung diharapkan
sistem seperti ini bisa menjadi pemicu agar penyuluh lain bisa termotivasi untuk mengikuti jejak
temannya yang telah sukses. Sehingga, terjadi suatu kompetisi yang sehat antar agen penyuluhan.
Motivasi penyuluh bisa ditumbuhkan dengan sistem seperti ini, pimpinan dari lembaga
penyuluhan harus memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi penyuluh untuk berkreasi dan
maju. Dengan begitu, penyuluh akan lebih semangat dalam bekerja dan memecahkan masalah
petani.
Dengan sistem reward seperti ini, penyuluh diharapkan juga bisa mengevaluasi kinerjanya
dengan jalan melihat hasil kerja penyuluh lain. Pembandingan ini dilakukan untuk melihat apakah
kinerjanya sudah bagus atau perlu ditingkatkan. Penyuluh juga bisa belajar dari penyuluh lain
terkait program yang berhasil dilaksanakan. Jika sudah mengetahui kekurangannya dibandingkan
dengan penyuluh lain maka penyuluh tersebut juga harus aktif uuntuk meningkatkan
kemampuannya lewat jalan menikuti berbagai pelatihan yang ada.
48
Disini lembaga penyuluhan berkewajiban untuk mengadakan suatu pelatihan dan
menyediakan sumber-sumber informasi terbaru guna memudahkan penyuluh dalam
memperbaharui informasi yang dibutuhkan. Penyuluh tentu memerlukan informasi yang up to date
agar bisa memberikan infromasi terbaru kepada petani. Dengan begitu diharapkan keterampilan
petani juga akan meningkat. Tidak hanya informasi, namun penyuluh juga harus bisa
mendemonstrasikan informasi tersebut kepada petani untuk mendapatkan kepercayaan petani. Tak
hanya informasi dari buku dan internet, namun penyuluh juga ahrus senantiasa membekali dirinya
dengan latihan secara langsung di lapang untuk melihat hasil implementasi nyata dari informasi
yang didapatkan secara text book.
Dalam bukunya, Subejo (2013) dan Hariadi (2009) mengungkapkan bahwa tantangan masa
depan penyuluh adalah harus bisa menguasai tema-tema penyuluhan yang sifatnya generalis mulai
dari pemasaran, pengolahan, permodalan, dan sebagainya. Penyuluh tidak hanya mengetahui
masalah produksi karena perkembangan pertanian telah jauh mengalami pergeseran dalam
memaknai kompetisi global. Perubahan orientasi pembangunan akan menyebabkan perubahan
materi penyuluhan yang harus dikuasai penyuluh. Penyuluh dituntut tidak hanya menjadi agen
transfer teknologi, tapi juga menjadi fasilitator dan penasihat bagi petani. Disini lembaga
penyuluhan perlu untuk melakukan kerja sama dengan lembaga lain dalam hal mengelola beragam
informasi terkait pertanian untuk mendukung aplikasi inovasi pertanian.
Van Den Ban dan Hawkins (1998) juga menjelaskan bahwa sebenarnya kelembagaan
penyuluhan perlu mempekerjakan penyuluh yang sifatnya generalis dan spesialis. Penyuluh
generalis diharapkan bisa memecahkan masalah petani yang sifatnya umun, sedangkan spesialis
lebih untuk memahami masalah spesifik yang dihadapi petani. Spesialis diharapkan bisa
memegang sub sektor tertentu dan fokus pada kajian tersebut. Kelembagaan penyuluhan yang baik
hendaknya mengkolaborasikan penyuluh generalis dan spesialis. Spesialis bisa mendukung
generalis jika terjadi kesulitan dalam memecahkan masalah, sedangkan generalis bisa memberikan
rekomendasi praktis dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh spesialis.
Tak hanya penyuluh yang spesialis dalam satu bidang namun tantangan ke depan
mengharuskan kelembagaan penyuluhan untuk mempiliki seseorang yang spesialis dalam
mempersiapkan bahan informasi. Disini diperlukan kerja sama antara penyuluh spesialis dengan
spesialis informasi. Penyuluh spesialis bisa menyediakan bahan-bahan informasi yang dibutuhkan,
49
sedangkan spesialis informasi akan menyajikan bahan-bahan informasi tersebut mudah dipahami
dan menarik kepada petani.
Sementara itu, Esman (1986) dalam Anantanyu (2011) memandang revitalisasi suatu
lembaga, dalam konteksnya adalah dengan: (1) Menyusun kembali nilai, fungsi, teknologi, (2)
Melindungi hubungan normatif dan mencoba membuat pola-pola tindakan yang baru, serta (3)
Memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan lembaga itu sendiri. Semua ini
dilakukan untuk meningkatkan kapasitas lembaga penyuluhan agar mampu memenuhi kebutuhan
anggotanya dan kebutuhan petani pada khususnya.
Lebih lanjut, Andriani et. al. (2015) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa penyuluhan
sebagai suatu sistem agar dapat berjalan dengan efektif maka subsitemnya perlu dikembangkan
dan diperbaiki, peraturan yang diperlukan harus segera dibuat, dan perlu adanya penyamaan
persepsi diantara para pihak pada masing-masing subsitem agar terjadi hubungan fungsional antar
subsistem tersebut.
Jadi, inti dari revitalisasi pada kelembagaan penyuluhan adalah memupuk kesadaran
kembali dan membangun komitmen tentang arti penting sekto pertanian, khususnya adalah
penyuluhan. Revitalisasi harus dilakukan secara proporsional dan kontekstual sambil
memberdayakan sumber daya yang terlibat beserta meningkatkan kinerja dan kerja sama dengan
sektor lain (Iqbal, 2008). Hal ini dianggap penting karena dalam studi Anantanyu (2011), ia
melihat kelembagaan penyuluhan sebagai suatu syarat kecukupan yang harus dipenuhi agar
pembangunan pertanian bisa berjalan sesuai dengan yang dikehendaki.
PENUTUP
Revitalisasi lembaga penyuluhan berarti pembaharuan dan perubahan di berbagai segi dalam
hal ini ditujukan untuk menjadikan lembaga efektif bisa bekerja sesuai dengan peran dan
fungsinya. Berbagai masalah yang perlu dibenahi adalah terkait dengan: (1) Lembaga penyuluh
belum terintegrasi dengan lembaga lain karena adanya sifat egosektoral, (2) Kurangnya dukungan
dari lembaga penyuluhan terkait pengembangan kompetensi penyuluh, (3) Lembaga penyuluhan
menjalankan tugas yang bias kepentingan karena manajemen yang terpola dari pusat, (4)
Kabupaten/kota masih banyak yang belum membentuk kelembagaan penyuluhan sesuai dengan
amanat UU No. 16 Tahun 2006, (5) Rendahnya kreatifitas dalam menyusun program karena
lembaga penyuluhan banyak mempekerjakan staff yang tidak berada di umur produktif, (6)
50
Lembaga penyuluhan tidak memiliki dana otonom untuk menyelenggarakan kegiatan penyuluhan
di wilayah kerjanya, (7) Staff penyuluh lebih tertarik mengisi jabatan struktural, (8) Diklat
penyuluhan belum mampu menyediakan kurikulum yang dibutuhkan penyuluh dan hanya sebagai
penggugur kewajiban angka kredit, (9) Lembaga penyuluhan memberikan porsi tugas diluar tugas
pokok dan fungsi penyuluh, (10) Kurangnya sarana prasarana dan perlengkapan kerja yang
memadai dalam menunjang kinerja staff, dan (11) Lembaga penyuluhan belum mengatur sistem
pemberian insentif dan disintensif bagi staff yang berada di bawah naungannya.
Hingga kemudian muncul berbagai ide dan gagasan untuk melakukan revitalisasi di sektor
kelembagaan penyuluhan. Beberapa hal yang harus segera dilakukan agar revitalisasi lembaga
penyuluhan bisa berjalan, yaitu: (1) Adanya pemimpin yang mampu merumuskan program dan
arah kebijakan, (2) Adanya spesifikasi nilai, tujuan, dan metode operasional yang digunakan
sebagai acuan dalam bertindak oleh anggotanya, (3) Adanya program yang jelas dan terstruktur,
(4) Tersedianya sumberdaya yang berkualitas, baik itu sumber daya manusia, fisik, teknologi, dan
modal, (5) Koordinasi antara lembaga penyuluhan dengan dinas terkait, (6) Lebih banyak
melakukan kegiatan pelatihan, (7) Mengkutsertakan semua staff dalam menyusun program kerja,
(8) Pembaharuan materi dan program penyuluhan, infrastruktur pendukung, faktor intensif dan
disintensif penyuluh, (9) Melakukan koordinasi dan kerja sama antara penyuluh pemerintah,
penyuluh swadaya, dan penyuluh swasta, (10) Perbaikan visi dan misi dan menyiapkan sumber
daya tenaga kerja yang berkompetensi, (11) Penataan kembali kelembagaan penyuluhan mulai dari
pusat sampai tingkat desa sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2006, (12) Operasionalisasi penyuluhan
seharusnya dipegang pusat, (12) Terkait dana anggaran kelembagaan, seharusnya pihak pusat
masih memberikan dana operasional dan tidak sepenuhnya memberatkan kepada daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anantanyu, S. 2009. Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan KelompokPetani (Kasus di Provinsi Jawa Tengah). Disertasi pada Institut Pertanian Bogor.
Anantanyu, Sapja. 2011. Kelembagaan Petani: Peran dan Strategi Pengembangan Kapasitasnya.Jurnal SEPA. Volume 7 Nomor 2. p.102 – 109.
Andriani, Yulia, Kausar, Cepriadi. 2015. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau.Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE). Volume 6 Nomor 2. p.147-157.
51
Bestina, Supriyatno, Slamet Hartono, dan Amiruddin Syam. 2005. Kinerja Penyuluh Pertaniandalam Pengembangan Agribisnis Nenas di Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar. JurnalPengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Volume 8, Nomor 2. p.218-231.
Hariadi, Sunarru Samsi. 2009. Penyuluhan Dialogis untuk Menjadikan Petani dan PenyuluhMandiri. Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Pertanian, UniversitasGadjah Mada. p.1-27.
Huda, Nurul dan Ludivica Endang Setijorini. 2010. Kompetensi Penyuluh dalam MengaksesInformasi Pertanian (Kasus Alumni UT di Wilayah Serang). Jurnal Matematika, Sains, danTeknologi. Volume 10 Nomor 1. p.65-77.
Indraningsih, K.S., T. Pranadji, G.S. Budhi, Sunarsih, E.L. Hastuti, K. Suradisastra, R.N. Suhaeti.2011. Revitalisasi Sistem Penyuluhan untuk Mendukung Daya Saing Industri PertanianPerdesaan. Pusat Sosial Ekomoni dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Indraningsih, Kurnia Suci, Tri Pranadji, dan Sunarsih. 2013. Revitalisasi Sistem PenyuluhanPertanian dalam Perspektif Membangun Industrialisasi Pertanian Perdesaan. Jurnal ForumPenelitian Agro Ekonomi. Volume 31 Nomor 2. p.89-110.
Iqbal, Muhammad. 2008. Konstelasi Institusi Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakatdalam Program PIDRA. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 9 Nomor 1. p.28-45.
Kusnandar et. al. 2013. Rancang Bangun Model Kelembagaan Agribisnis Padi Organik dalamMendukung Ketahanan Pangan. Jurnal Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 14 Nomor 1.p.92-101.
Marius, Jelamu Ardu, Sumardjo, Margono Slamet, dan Pang S.Asngari. 2007. Pengaruh FaktorInternal dan Eksternal Penyuluh terhadap Kompetensi Penyuluh di Nusa Tenggara Timur.Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian Bogor. Volume 3 Nomor 2. p.78-89.
Marliati, Sumardjo, Pang S. Asngari, Prabowo Tjitropranoto dan Asep Saefuddin. 2008. Faktor-Faktor Penentu Peningkatan Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani(Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau). Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian Bogor.Volume 4 Nomor 2. p.92-99.
Soekartawi. 2002. Prinsip Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Subejo. 2013. Bunga Rampai Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. UI Press. Jakarta. p.169-172.
Sucihatingsih, DWP dan Waridin. 2010. Model Penguatan Kapasitas Kelembagaan PenyuluhPertanian dalam Meningkatkan Kinerja Usahatani Melalui Transaction Cost (Studi Empirisdi Provinsi Jawa Tengah). Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 11 Nomor 1. p.13-29.
Suhanda, Nani Sufiani, Amri Jahi, Basita Ginting Sugihen dan Djoko Susanto. 2008. KinerjaPenyuluh Pertanian di Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian Bogor. Volume 4Nomor 2. p.100-108.
52
Susmiyati, Ait Maryani, dan Dedy Kusnadi. 2010. Kinerja Penyuluhan Pertanian PNS dalamMelaksanakan Tupoksi di Kabupaten Bogor (Kasus di BP3K Cibungbulang). JurnalPenyuluhan Pertanian. Volume 5 Nomor 1. p.87-103.
Van Den Ban, A.W., dan H.S. Hawkins. 1998. Penyuluhan Pertanian. Penerbit Kanisius.Yogyakarta. p.277-292.
53
PERFORMA KELEMBAGAAN USAHATANI DI KABUPATEN KUPANGDAN TIMOR TENGAH SELATAN, PROVINSI NTT
Kristina Lako dan Agustina HeweBalai Pengkajian Teknologi Pertanian NTTJl. Timor Raya Km 32 Naibonat, Kupang
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian performa kelembagaan usahatani adalah untuk mengetahui sejauh manaperan dan fungsi kelembagaan usahatani di Kabupaten Kupang dan TTS. Penelitianmenggunakan metode survey. Pengambilan data dilakukan pada Bulan Juni 2016.Teknikpengumpulan data dengan metode wawancara struktural, Focus Group Discusion (FGD), danobservasi serta menggunakan data sekunder. Penentuan desa secara purposive, yaitu desa sentraproduksi sapi dan mendapatkan bantuan modal/kredit dari berbagai sumber. Data dianalisissecara statistik deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwakelembagaan usahatani yang ada adalah kelembagaan sarana produksi, kelembagaankelompoktani, kelembagaan pemasaran, dan kelembagaan permodalan. Peran kelembagaansaprodi dan kemitraan masih terkategori sedang. Kelembagaan kelompoktani relatif baik,kelembagaan pemasaran perlu ditingkatkan terutama penentuan harga dan biaya-biayapemasaran, kelembagaan permodalan belum baik karena petani belum mengakses kredit secarabaik dan lembaga permodalanpun belum optimal melayani kebutuhan petani.
Kata kunci : kelembagaan, saprodi, kelompoktani, pemasaran, permodalan
PENDAHULUAN
Sistem pertanian di Indonesia mengalami perubahan dari sistem pertanian tradisional yang
bersifat subsistensi mejadi sistem pertanian agribisnis yang bersifat komersial, yakni yang benar-
benar telah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi antara lain usaha dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan (Prawirokusumo, 2009). Hal ini disebabkan pembangunan pertanian
merupakan bagian terpenting dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan yang dilaksanakan
secara terencana.
Kelembagaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan agribisnis.
Defenisi kelembagaan adalah organisasi yang mampu menghasilkan produk yang mampu
mengembangkan keunggulan komparatif atau kompetitif.
Soekartawi (2001) dan Saleh (2007) mengatakan bahwa kelembagaan merupakan faktor
penting dalam mengatur hubungan antar individu untuk penguasaan faktor produksi yang langka.
Kelembagaan mempunyai peran strategis. Aspek kelembagaan, baik formal maupun informal
merupakan aspek yang menonjol yang dapat memperlancar pembangunan pertanian di negara-
negara berkembang.
54
Hatii (2004) selanjutnya menyebutkan terdapat sekurang-kurangya lima kelembagaan di
pertanian Asia, yakni (1) lembaga air dan irigasi, (2) manajemen lahan industri, (3) lembaga
ekonomi, (4) interaksi teknologi, (5) lembaga sosial politik.
Pelaksanaan rencana pembangunan ekonomi pertanian perlu perangkat kelembagaan agar
proses pembangunan ekonomi mengarah pada sasaran yang telah ditetapkan. Kelembagaan
pembangunan pertanian yang kuat sangat diperlukan agar tercipta iklim yang mampu mendorong
terpenuhinya syarat mutlak dan syarat lancarnya pembangunan pertanian.
Defenisi lembaga cukup banyak dan beragam. Djogo, et al (2003) mengutip dari beberapa
defenisi kelembagaan, sebagai berikut:
Ruttan dan Hayami, 1984: Lembaga adalah aturan dalam satu kelompok masyarakat atau
organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan
harapan dimana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lainnya utuk
mencapai tujuan bersama yang diinginkan.
Ostorn, 1985-1986: Lembaga adalah aturan dan rambu – rambu sebagai panduan yang dipakai
oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat
atau saling bergantung satu sama lain.
Uphoof, 1986: Lembaga adalah suatu himpunan atau tatanan norma – norma dan tingkah laku
yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan
menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma- norma perilaku, nilai budaya dan adat
istiadat.
Nabli dan Nugent, 1989: Kelembagaan merupakan suatu himpunan individu yang sepakat untuk
menetapkan dan mencapai tujuan bersama, kelembagaan didominasi oleh unsur – usur aturan,
tingkah laku atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat lainnya antar anggota yang
membuat orang saling mendukung.
Mosher 1986: Kelembagaan pertanian meliputi kelembagaan pemasaran, kelembagaan penelitian
dan pengujian, kelembagaan penyuluhan, kelembagaan penyedia sarana produksi, kelembagaan
pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dan kelembagaan transportasi.
Tujuan dari tulisan ini adalah mau memberikan gambaran mengenai keberadaan dan peran
kelembagaan dan kemitraan saprodi uasahatani di tingkat petani dalam mengembangkan
usahataninya.
55
METODOLOGI
Metode dan Waktu Pengumpulan Data
Penelitian menggunakan metode survey. Pengumpulan data dengan teknik wawancara pada
responden rumahtangga petani dengan menggunakan kuesioner. Pengumpulan data dilaksanakan
pada bulan Juni 2016. Jenis data yang dikumpulkan adalah data cross secsion dan data time
series, dari sumber data primer dan data sekunder.
Penentuan Lokasi dan Sampel
Kabupaten Kupang dan TTS dipilih sebagai kabupaten lokasi penelitian dengan
pertimbangan, (a) jumlah populasi sapi di NTT tahun 2011 sebanyak 778.633 ekor, terbanyak
berada di Kabupaten TTS dan Kabupaten Kupang, (b) jumlah rumahtangga di NTT tahun 2011
sebanyak 1.351. 880 rumahtangga, dari jumlah tersebut rumahtangga yang bekerja sebagai petani
terbanyak berada di Kabupaten TTS dan Kupang, (c) dalam pengembangan NTT sebagai
provinsi ternak, Pemerintah Provinsi NTT membangun pusat pembibitan sapi bali di Besipae
Kabupaten TTS, pusat pelayanan IB sapi dan pengembangan hijauan makanan ternak (HMT) di
Kabupaten Kupang. Sampel kecamatan dan desa/kelurahan ditentukan secara purposive yakni
berdasarkan sentra populasi sapi. Desa/kelurahan terpilih adalah Desa Ponain dan Tesabela di
Kabupaten Kupang; Desa Kualin dan Desa Nulle di Kabupaten TTS.
Data dan Analisis Data
Jenis data yang dikumpulkan, (a) Jenis kelembagaan yang menyediakan dan menyalurkan
sarana input bagi petani, (b) Jenis kelembagaan yang bermitra dengan petani dalam kegiatan
pengelolaan usahataninya, (c) Jenis kelembagaan yang bermitra dalam pemasaran hasil usahatani.
Data dianalisis secara statistik deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Unsur-unsur kelembagaan usahatani yang mendukung pembangunan pertanian Kabupaten
Kupang dan TTS adalah sebagai berikut:
1. Kelembagaan Sarana Produksi
Hasibuan (1999) mendefenisikan kelembagaan sarana produksi merupakan kelembagaan
ekonomi yang bergerak dibidang produksi, penyediaan dan penyaluran sarana produksi seperti:
distributor, pedagang/pengecer, kios/toko pertanian dan usaha perdagangan swasta lainnya.
Kelembagaan ini pada umumnya melakukan usaha dalam produksi, perdagangan, pemasaran
56
sarana produksi seperti pupuk, pestisida dan benih/bibit tanaman yang diperlukan petani. Dengan
semakin berkembangnya dan semakin majunya sistem pertanian di Nusa Tenggara Timur
kombinasi yang tepat dari penggunaan sarana produksi pertanian khususnya pupuk dan pestisida
pertanian (saprotan) yang terus meningkat dapat di penuhi dengan terpenuhinya enam tepat,
yaitu tepat jumlah/dosis, tepat harga, tepat mutu/kualitas, tepat waktu aplikasinya, dan tepat
tempatnya ( pupuk tersedia di kios saprotan).
Penelitian di empat desa di Kabupaten Kupang dan TTS, menunjukkan kelembagaan yang
ada dan tersebar di empat desa tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Jenis dan Jumlah Kebutuhan Saprodi di Kabupaten Kupang dan TTSDesa Jenis Jumlah Jenis Saprodi Sistem Penjualan
Kualin Kios pengecer 1 pupuk : Urea, NPK dan ZA tunaiNule Kios pengecer 1 pupuk : Urea, NPK dan ZA tunai
Toko Tani 1 Benih, Pestisida dan obat –obatan (ternak dan Tanaman)
tunai
Ponain Kios pengecer 2 pupuk : Urea, NPK dan ZA tunai
Tesabela Kios Pengecer 1 pupuk : Urea, NPK dan ZA tunaiSumber : Data primer, 2016
Hasil penelitian menunjukan bahwa kelembagaan sarana produksi yang ada di keempat desa
belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan produsen. Hal ini karena di beberapa daerah
belum memiliki toko/kios pertanian yang menjual saprodi pertanian secara lengkap, hanya
menjual beberapa jenis saprodi tertentu saja yakni obat-obatan tertentu. Produksi hasil pertanian
masih rendah merupakan salah satu akibat dari hal tersebut. Kehadiran kelembagaan sarana
produksi yang memadai akan menjamin keberlanjutan dan kesuksesan sebuah usahatani di
tingkat produsen.
2. Kelembagaan Kelompoktani
Hasibuan (1999) mengemukakan bahwa kelembagaan yang bergerak dibidang usahatani
meliputi: (1) rumahtangga petani sebagai unit usaha terkecil, (2) kelembagaan tani dalam bentuk
kelompoktani, dan (3) kelembagaan usaha dalam bentuk perusahaan budidaya tanaman pangan
dan hortikultura.
Lembaga memainkan peran penting dalam membentuk dan mengatur aktivitas manusia
untuk mengoptimalkan produksi dan untuk meminimalkan risiko yang terkait dengan sistem
produksi (Hatti et al, 2004). Unit usahatani dalam bentuk rumahtangga petani maupun
kelompoktani, merupakan kelembagaan non-formal yang melaksanakan fungsi agribisnis di
57
pedesaan. Musa (1999) menyebutkan bahwa kelompoktani sebagai bentuk kelembagaan yang
lebih maju dan terorganisir, berfungsi sebagai: (1) wadah berproduksi, (2) wahana kerjasama
antar anggota kelompoktani, dan (3) kelas belajar diantara petani/anggota kelompoktani.
Selanjutnya, beberapa kelompoktani yang mempunyai usahatani serupa diupayakan membentuk
koperasi. Melalui koperasi, akses petani terhadap fasilitas kredit dan fasilitas lainnya dapat
ditingkatkan, sehingga permodalan mereka akan semakin kuat (Winarno, 1999).
Di Kabupaten TTS dan Kabupaten Kupang telah terbentuk kelompoktani dan Gapoktan. Ini
berkat kerja keras para penyuluh lapangan. Bansir (2008) menganalisis factor-faktor yang
mempengaruhi kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur
menyebutkan bahwa respon petani terhadap kinerja penyuluh adalah positif terhadap faktor
diseminasi, produktivitas dan pendapatan petani.
Aye and Mungatana (2010) menyebutkan bahwa penyuluh bersama variabel lainnya seperti
umur KK, keanggotaan dalam kelompoktani, akses kredit, jarak ke pasar, ukuran rumahtangga
berdampak positif pada efisiensi teknis usahatani.
Ogunyika dan Igbekele (2004) menyebutkan frekwensi kunjungan penyuluh dan tingkat
pendidikan lanjut signifikan mempengaruhi efisiensi teknis dengan nilai marginal effect
pendidikan sebesar 0,0206 dan tingkat pendidikan lanjut bernilai –0,0872. Sehingga dukungan
kegiatan pendampingan dan pembinaan petani bisa berjalan secara kontinu dan terkoordinasi
dengan sangat baik. Lembaga-lembaga tersebut bersinergi untuk menghasilkan dan menjamin
produk dari subsistem usahatani agar memiliki kualitas yang baik (Masyuri, 2016).
Hal ini sangat membantu pemerintah dalam menyalurkan bantuan kepada masyarakat
sehingga bantuan yang diberikan bisa tepat pada sasaran yang membutuhkan yakni para petani
miskin. Jumlah kelompoktani dan Gapoktan yang tersebar pada keempat desa di wilayah
Kabupaten TTS dan Kabupaten Kupang pada Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran Kelembagaan Kelompoktani di Kabupaten TTS dan KupangDesa Jenis Kelembagaan Jumlah
KelembagaanKelompoktani Gapoktan PPLKualin 18 1 1 3Nule 14 1 1 3Ponain 13 1 1 3Tesabela 5 1 1 3
Sumber : Data Primer 2016.
58
Tabel 2 menggambarkan bahwa kelembagaan pertanian/on farm sebenarnya sudah baik dan
legkap. Sehingga fungsi pembinaan dalam kelembagaan on farm pasti bisa berjalan dengan baik.
khusus di Desa Tesabela sendiri yang belum memenuhi syarat jumlah kelompoktani di sebuah
wilayah binaan peyuluh, yang seharusnya maksimal 8 kelompoktani setiap desa. Namun dari
hasil survey bahwa kehadiran penyuluh pertanian sudah kontinu dalam melakukan
pendampingan dan pembinaan petani.
3. Kelembagaan Pemasaran
Kegiatan pemasaran pada dasarnya merupakan salah satu kegiatan agribisnis (Davids, dan
Golberg, 1957; Gaspersz, 2002). Kelembagaan pemasaran memiliki posisi yang sangat penting,
karena melalui kelembagaan ini arus komoditi atau barang berupa hasil pertanian dari produsen
disampaikan kepada konsumen.
Sen (2011) mengkaji peran system bagi hasil (sharecropping) pada kondisi pasar persaingan
tidak sempurna (imperfect market). Bagaimana perilaku harga produk pertanian pada kondisi
pasar demikian, dimana yang terjadi adalah adanya variasi harga musiman dan dimanfaatkan
oleh pemilik tanah dengan menjual hasilnya, dengan harga yang tinggi, sedangkan penyewa
menerima dengan harga rendah.
Kelembagaan pemasaran meliputi kelembagaan yang terkait dalam sistem tataniaga hasil
pertanian dari produsen sampai konsumen. Dalam Kelembagaan pemasaran terdapat beberapa
unsur penting yang terkait. Lembaga yang melakukan aktivitas/kegiatan tataniaga di tingkat desa
adalah para pedagang pengumpul (papalele). Dalam aktivitasnya papalele tidak hanya membeli
satu jenis komoditas saja tetapi beberapa komoditas yang dihasilkan oleh produsen (Tabel 3).
Tabel 3. Sebaran Jenis Kelembagaan Pemasaran di Kabupaten Kupang dan TTSDesa Jenis
KelembagaanJumlah (orag) Jenis Komoditas
Yang dibeliSistem
PembelianKualin pengecer 4 4 TunaiNule pegecer 2 4 TunaiPonain pengecer 3 4 TunaiTesabela pengecer 6 4 TunaiSumber : Data Primer 2016
Dari Tabel 3 tercatat bahwa pengecer memiliki peranan penting dalam lembaga pemasaran
dan sangat membantu para petani dalam melancarkan proses penjualan hasil kepada konsumen,
tanpa kehadiran pengecer maka petani kesulitan untuk memasarkan hasil produksinya. Harga
59
ditentukan bersama, merupakan kesepakatan kedua pihak (petani dan pengecer), dan cara
pembayaran umumnya tunai.
4. Kelembagaan Permodalan
Kelembagaan permodalan membantu menyediakan modal bagi sektor agribisnis baik
berbasis komersial murni maupun menyalurkan kredit program dari pemerintah. Kelembagaan
permodalan yang ada misalnya BUMN, koperasi, perbankan, berbagai program dari pemerintah
misalnya Program PUAP dari Kementerian Pertanian, program dari Pemda NTT yaitu Anggur
Merah, ADD dan lain- lain. Beberapa lembaga permodalan yang membantu masyarakat petani di
keempat desa yang menjadi lokasi survey disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Lembaga Permodalan di Kabupaten Kupang dan TTSDesa Jenis Kelembagaan Jumlah
Kualin PUAP, Anggur Merah, BLT 3Nule PUAP, Anggur Merah, ADD, Dinas 4Ponain Anggur Merah, ADD 2Tesabela Anggur Merah, Dinas, ADD, BRI (KUR) 4
Sumber : Data primer 2016
Penyebaran kelembagaan permodalan yang selama ini membantu para petani di pedesaan
relatif cukup baik, sehingga petani merasa terbantu dalam mengembangkan usahataninya.
Namun modal usahatani yang disiapkan pemerintah untuk membantu para petani dalam
mengembangkan usahataninya baru segelintir petani yang memanfaatkannya, contohnya ada
dana KUR yang disalurkan melalui perbankan tapi tidak di manfaatkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Peran kelembagaan pertanian sangat menentukan keberhasilan suatu kegiatan usahatani.
Kelembagaan pertanian merupakan unsur yang penting dalam pembangunan sektor pertanian di
masa sekarang dan dimasa yang akan datang, demi tercapainya ketahanan pangan untuk
kesejahteraan petani. Apabila kelembagaan pertanian tidak memadai maka terjadi kepincangan
dalam kegiatan usahatani, dan para pelaku usahatani akan mendapatkan kesulitan
Sistem kelembagaan di sektor pertanian di Provinsi NTT masih sangat membutuhkan
dukungan dari pemerintah daerah agar lebih memadai untuk memfasilitasi kegiatan usahatani
yang lebih baik dan optimal.
60
DAFTAR PUSTAKA
Aye, G.C. and E.D. Mungatana 2010, Technical Efficiensy of Traditional and Hybrid MaizeFarmers in Nigeria : Comparison of Alternative Approaches.
Bansir M, 2008. Analisis Pengaruh Faktor – faktor yang mempegaruhi Kinerja PenyuluhanPertanian di Kab. Bulungan, Kalimantan Timur. MB IPB, Pasca Sarjana IPB.
Davis, J. and R. Golberg, 1957. A. Conseption Of Agribusiness. Harvard University Press,Boston, Massachusetts.
Djogo Tony, Sunaryo, Didik S. dan Martua Sirait, 2003, Kelembagaan dan Kebijakan dalamPengembangan Agroforestri. World Agroforestry Center (ICRAF).
Fatah L., 2006. Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Gaspersz, V., 2002 Membangun Sistem Agribisnis Peternakan Berkualitas Internasional.Makalah Disampaikan Dalam Seminar Nasional Fakultas Peternakan UNDANA Kupang,Oktober 2002.
Hatii Neelambar, and R.S Despande, 2004. Institutions and Agricultural Development. A Review.Panel No. 8. 18th European Conference On Modern South Asian Studies.
Hasibuan Nasrun, 1999, Kelembagaan Pendukung Bagi Pengembangan Agribisnis Di BidangTanaman Pangan Dan Hortikultura.
Masyuri, 2016 Model Kelembagaan Pada Agribisnis Padi Organik Kabupaten Tasikmalaya.Journal Of Agribusiness and Rural Development Research Vol. 2 N0 1.
Musa Sjarifudin, 1999 Mencari Kembali Swasembada Yang Hilang
Ongunyinka E.O., and Igbekele A.A., 2004. Determinant of Technical Inefficiency on FarmProduction: Tobit analisys Approach to the NDE Farmers in Ondo state, Nigeria.International Journal of Agr & Biology Vol 6, No 2.
Prawirokusumo, 2009, Buku Ilmu Usahatani Edisi 2 Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Saleh, 2016 Journal Of Agribusiness and Rural Development Research Vol. 2 N0 1. AfricanJurnal of Agricultural Reseach Vol.5 (21), pp. 2909-2917.
Sen Debapriya, 2011. A Theory of Sharecropping: The Role Of Price Behavior
Soekartawi 2001, Journal of Agribusiness and Rural Development Research Vol. 2 no. 1.
Winarno, M., 1999, Hortikultura: Masa Depan Enam Sendi Pengembangan.
61
PENERAPAN TRI HITA KARANA (THK) PADA KEGIATAN BISNIS DIKELOMPOK TANI MEKAR SARI, DESA TEGAL BADENG TIMUR,
KECAMATAN NEGARA, KABUPATEN JEMBRANA
Putu Fajar Kartika LestariProgram Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Mahasaraswati Denpasar
Email : [email protected]
ABSTRAKKesinambungan hidup suatu usaha/bisnis, sangat diperlukan keseimbangan. Untuk
mencapai kesinambungan hidup usaha/bisnis tersebut maka perlu diterapkan prinsip keserasiandan keseimbangan hubungan yang harmonis yang dikenal dengan nama Tri Hita Karana. KonsepTHK saat ini menjadi konsep yang ditanamkan pada kegiatan usaha atau bisnis, guna menjagaeksistensi bisnisnya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui penerapan THK pada kegiatanbisnis di Kelompok Tani Mekar Sari, Desa Tegal Badeng Timur, Kecamatan Negara. Analisisyang dipergunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
Hasil analisis matriks invers hubungan antara semua sub sistem dari sistem teknologi dansemua sub sistem dari sistem kebudayaan dapat menggambarkan penerapan konsep THK diKelompok Tani Mekar Sari. Hasil analisis matriks inverse menggambarkan kemampuanpenerapan THK di Kelompok Tani Mekar Sari sebesar 91,96 % yang termasuk dalam kategorisangat baik dengan kata lain bahwa operasional pelaksanaan kegiatan bisnis yang dilaksanakanpada Kelompok Tani Mekar Sari akan berlanjut, sepanjang tidak ada kendala yang berarti.
Diharapkan konsep THK yang mengutamakan harmoni dan kebersamaan agar diterapkanke seluruh komponen subak. Penerapan konsep THK pada Kelompok Tani Mekar Sari agar tetapdipertahankan dengan tujuan demi keberlanjutan kegiatan bisnis yang telah dijalankan.
Kata Kunci : Bisnis, THK, Keberlanjutan
ABSTRACTThe life continuity of a venture or business definitely needs balance. To achieve that life
continuity of the venture or business, it is important to apply harmony principle and harmoniousrelationship stability which known as Tri Hita Karana (hereafter, THK). The concept of THK gotinvolved within the venture or business activity in the attempt to preserve the existence of it. Thepurpose of this study was to identify the implementation of THK in the business activity of MekarSari Farmer Group, East Tegal Badeng Village, Negara District. The used analysis was qualitativeand quantitative descriptive analysis.
The analysis result showed that the inverse matrix of the relationship between allsubsystems of the technology system and all subsystems of the culture system could describe theimplementation of THK concept in the Mekar Sari Farmer Group. The analysis result of the inversematrix showed the ability of THK implementation in Mekar Sari Farmer Group depicted a figure
62
of 91,96 % which categorized “very good”, in other words, the operational implementation ofbusiness activity done by the Mekar Sari Farmer Group will be continued as long as there is nosignificant obstacle.
It is hoped that the concept of THK which prioritizes harmony and togetherness will beimplemented to all Subak components. The implementation of THK concept in Mekar Sari FarmerGroup should be maintained in the attempt to keep the sustainability of the business activity thathas been run.
Key words: business, THK, sustainability.
PENDAHULUAN
Berkembangnya perekonomian dalam suatu negara sangat ditunjang oleh kemajuan yang
dialami oleh suatu usaha/bisnis yang ada di negara tersebut, oleh karena itu organisasi dalam
sebuah usaha/bisnis merupakan komponen yang sangat menunjang untuk tercapainya visi dan misi
perusahaan dalam menghadapi dan mengantisipasi berbagai persaingan, baik ditingkat lokal
maupun global. Berkembangnya berbagai usaha/bisnis tersebut berdasarkan kepada konsep
ekonomi yaitu mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran yang
serendah-rendahnya. Dimana pada umumnya, bisnis digerakkan menurut konsep yang
menekankan efisiensi, produktivitas, dan profit. Sejak lama dunia usaha percaya bahwa satu-
satunya tanggung jawab mereka adalah membuat keuntungan bagi pemodalnya, banyak anggota
masyarakat ataupun pemerintah yang mendirikan usaha/bisnis hanya mengejar target mencari
keuntungan, dan mengabaikan aspek-aspek lain yang sebenarnya sangat vital bagi usaha/bisnis
terkadang diabaikan, misalnya hak-hak karyawan perusahaan, upah karyawan yang murah
dijadikan alasan untuk mendirikan usaha/bisnis, sumber daya alam yang melimpah diolah tanpa
memperhatikan aspek-aspek lingkungan hidup. Dengan mengabaikan berbagai aspek tersebut
perusahaan bisa meraih keuntungan yang maksimal, artinya tanggung jawab ekonomi dari
usaha/bisnis tersebut dapat dikatakan berhasil.
Untuk menjaga kesinambungan hidup suatu usaha/bisnis, sangat diperlukan keseimbangan
antara efisiensi dan efektivitas, produktivitas dan kontinyuitas (ketersediaan sumber daya), serta
antara profit dan benefit (bagi masyarakat sekitar lokal bisnis). Untuk mencapai kesinambungan
hidup usaha/bisnis tersebut maka perlu diterapkan prinsip filosofis pola keserasian dan
keseimbangan hubungan yang harmonis yang dikenal dengan nama Tri Hita Karana (Tiga hal
untuk mencapai kesejahteraan hidup). Tri Hita Karana merupakan suatu konsep hubungan yang
63
harmonis yang ada dalam ajaran agama Hindu. Konsep ini sudah terbukti sebagai konsep yang
sangat penting dalam suatu kegiatan apapun dan bersifat sangat universal. Konsep ini juga
merupakan keseimbangan yang mampu menjaga sebagai stabilitator dari goncangan dan gangguan
yang mencoba mengganggu eksistensinya. Konsep Tri Hita Karana saat ini menjadi konsep yang
ditanamkan pada kegiatan usaha atau bisnis, guna menjaga eksistensi bisnisnya. Dengan kata lain,
Tri Hita Karana menjadi pondasi dari usaha-usaha bisnis, terutama di Bali. Tri Hita Karana berasal
dari kata Tri yang berarti tiga, Hita berarti kemakmuran, dan Karana berarti penyebab. Jadi, Tri
Hita Karana berarti tiga penyebab kemakmuran.
Konsep Tri Hita Karana mengandung nilai-nilai universal yang mengekspresikan pola-pola
hubungan seimbang dan harmonis. Unsur-unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana yang
berintikan unsur-unsur nilai keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan (unsur
Parahyangan). Parhyangan merupakan hubungan yang bersifat vertikal, atau hubungan antara
manusia dengan Tuhan sebagai sang pencipta. Hubungan ini merupakan wujud rasa syukur
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena kesadaran kita semua bahwa segala sesuatunya berasal
dari Nya. Hubungan antara manusia dengan sesama (unsur Pawongan). Pawongan merupakan
hubungan yang baik antara manusia dengan manusia. Hubungan sosial yang baik akan
menciptakan keharmonisan. Dalam usaha atau bisnis, hubungan ini merupakan modal dasar dalam
membangun dan pengembangan usaha. Suatu usaha yang baik haruslah memiliki relasi yang baik,
sehingga bisa melancarkan semua kegiatan usaha yang dilakukan. Dan hubungan antara manusia
dengan alam lingkungannya (unsur Palemahan). Palemahan merupakan hubungan antara manusia
dengan alam. Hubungan ini merupakan suatu tanggung jawab sosial untuk menjaga lingkungan
sebagai ciptaan Tuhan yang sangat agung. Dalam suatu usaha, konsep palemahan sangat penting
dilakukan untuk menjaga keharmonisan, sebab apabila lingkungan sampai tereksploitasi, maka
akan berakibat buruk bagi kelangsungan usaha itu.
METODELOGI PENELITIAN
2.1 Penetuan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lokasi kegiatan Kelompok Tani Mekar Sari, Desa Tegalbadeng
Timur, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Pemilihan lokasi penelitian ini
dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu penentuan lokasi secara sengaja dengan
pertimbangan bahwa Kelompok Tani Mekar Sari, Desa Tegalbadeng Timur, Kecamatan Negara,
64
Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali merupakan salah satu kelompok tani yang sudah maju dan
berkembang.
2.2 Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini menggunakan jenis dan sumber data sebagai berikut.
2.2.1 Jenis data
Berdasarkan jenisnya, penelitian ini menggunakan data kualitatif dan data kuantitatif.
Dimana:
1. Data kualitatif dalam penelitian ini adalah data mengenai gambaran umum Kelompok Tani
Mekar Sari dan gambaran umum mengenai jenis kegiatan bisnis yang dilaksanakan di
Kelompok Tani Mekar Sari .
2. Data kuantitatif dalam penelitian ini adalah nilai elemen matriks yang dilakukan diskritisasi
sistem kebudayaan dan sistem teknologi dari sistem bisnis tersebut. Dimana setiap elemen
matriks yang ada diberi skor dengan rentang 1 sampai 5 untuk mendapatkan nilai peluang
transformasi.
2.3 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut.
1. Library research, dengan melakukan riset kepustakaan terkait dengan penelitian seperti
membaca buku-buku yang terkait dengan penelitian, browsing internet, membaca hasil-
hasil penelitian yang sebelumnya yang terkait, serta studi dokumentasi yaitu dengan
mengumpulkan data dari dokumen-dokumen yang terkait penelitian.
2. Field research, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara langsung ke
lapangan atau lokasi penelitian.
2.3 Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian di lapangan dianalisis dengan menggunakan metode
analisis kuantitatif dan analisis deskriptif.
1. Metode Analisis Kuantitatif
Penerapan Tri Hita Karana (THK) pada kegiatan bisnis di Kelompok Mekar Sari dianalisis
dengan matriks hubungan antara semua subsistem dari sistem teknologi dan semua subsistem dari
sistem kebudayaan. Dimana teknologi sebagai suatu sistem memiliki lima subsistem yaknis:
software (konsep/pola pikir), hardware (kebendaan), humanware (tenaga kerja yang berkait
kemampuannya dengan teknologi tersebut), organoware (organisasi/manajemen), dan infoware
65
(informasi yang berkait dengan teknologi tersebut). Sementara itu, sistem kebudayaan memiliki
tiga subsistem yaitu pola pikir/konsep, sosial, dan artefak/kebendaan. Dimana matriks hubungan
antara semua subsistem dari sistem teknologi dan semua subsistem dari sistem kebudayaan
tersebut akan dibahas, yakni sebagai berikut. Matriks hubungan antara semua subsistem dari
sistem teknologi dan semua subsistem dari sistem kebudayaan:
a. Bentuk matriks dari hubungan antar elemen sistem bisnis yang berlandaskan Tri Hita Karana
Agar hubungan fungsional elemen-elemen sistem bisnis itu dapat dicirikan perilakunya, maka
dalam kajian metodologis ini dilakukan penyederhanaan (simplifikasi), yakni dengan
melakukan diskritisasi.
3534333231
2524232221
1514131211
aaaaa
aaaaa
aaaaa
aA ij
Keterangan:
A = sistem bisnis yang berlandaskan Tri Hita Karana
aij = elemen-elemen dari hubungan semua subsistem dari sistem kebudayaan dengan semua
subsistem dari sistem teknologi.
i = sistem kebudayaan (1= budaya/pola pikir; 2= sosial; 3= kebendaan/artefak).
j = sistem teknologi (1= software; 2= hardware; 3= humanware; 4= organoware; 5=
infoware).
b. Kinerja sistem bisnis ideal
Kinerja sistem bisnis ideal yang dinyatakan dengan A (aij) akan serupa bila persyaratan
elemen aij terpenuhi, meskipun berada dalam lingkungan yang berbeda. Selanjutnya, kalau
dilakukan perbaikan pada elemen aij maka ada peluang kinerja sistem bisnis tersebut mencapai
kinerja ideal. Andaikan kinerja matriks sistem bisnis ideal dinyatakan dengan matriks H (hij),
maka diperoleh hubungan sebagai berikut.
A . X = H ........................................................................................... (1)
Karena berbagai elemen sistem bisnis berbentuk matriks, maka matriks tersebut bisa memiliki
bentuk transformasi (Chapra & Canale, 1985; Supranto, 1992; Suwondo, 1993). Nilai
transformasinya dapat diketahui dengan melihat nilai matriks X , yang diperoleh dengan
menghitung hasil kali inverse matriks A , sebagai berikut.
66
X =1
A H .......................................................................................... (2)
Keterangan:
A = matriks sistem bisnis (yang senyatanya/saat penelitian) (n x n).
H = matriks sistem bisnis (ideal) (n x n).
X = matriks sistem bisnis (transformasi) (n x n).
1A = inverse A (n x n).
Matriks X dalam persamaan (1) dapat dikatakan sebagai model/bentuk matriks transformasi,
karena mentransformasikan sistem bisnis dengan ciri kinerja tertentu ke bentuk bisnis dengan
kinerja ideal, sesuai dengan landasan Tri Hita Karana. Perbedaan matriks A dan X dinyatakan
dengan nilai determinannya (D).
c. Nilai peluang transformasi sistem bisnis
Beda absolut antara D matriks sistem bisnis senyatanya dengan D matriks bisnis transformasi,
merupakan nilai peluang transformasi sistem bisnis yang bersangkutan.
Z = (D – D*)/D x 100% ......................................................................... (3)
Keterangan:
Z = koefisien peluang transformasi.
D = determinan matriks A .
D* = determinan matriks X .
Tabel 2.1 Matriks hubungan antara semua subsistem dari sistem teknologi dan semuasubsistem dari sistem kebudayaan
Subsistem PolaPikir
Subsistem Sosial SubsistemArtefak/
Kebendaan
Subsistem Software (Pola Pikir)
Subsistem Hardware (Artefak)
Subsistem Humanware (Sosial)SubsistemOrganowareSubsistemInfoware
67
d. Analisis inverse
Analisis inverse dilakukan karena hasil inverse yang mempunyai nilai sama dengan satu dari
matriks hubungan hubungan gatra teknologi dan gatra kebudayaan sistem bisnis yang akan
ditransformasi. Dalam melakukan matriks inverse ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, kalau matriksnya belum merupakan matriks kuadrat, maka untuk menjadikannya
matriks kuadrat, persamaan matriks (1) harus dikalikan dulu dengan matriks transpose dari
matriks yang akan diinverse (Jhonston, 1984), sehingga rumusnya menjadi:
A . X = H
TA A . X = H
( TA A ) X = H
X = ( TA A )-1 H ................................................................................. (4)
Kedua, kalau determinannya sama dengan nol, maka matriks itu tidak akan dapat berproses
atau tidak memiliki solusi. Ini berarti bahwa matriks transformasinya adalah sama dengan nol,
atau tidak ada matriks transformasi. Namun Nurrochman (1998) memberikan solusi
matematis terhadap matriks yang memiliki determinan sama dengan nol, yakni dengan cara
memanipulasi matriks tersebut. Cara memanipulasi matriks sebagai berikut.
i. Ambillah atau buang salah satu kolom dari matriks X sehingga matriks X akan
menjadi matriks *X .
ii. Ambillah atau buang salah satu baris dari matriks A yang sesuai dengan butir i di atas,
sehingga matriks A menjadi matriks *A .
Selanjutnya seperti terlihat pada persamaan (3), yakni setelah matriks X dapat dihitung, dan
matriks A diketahui, maka kedua matriks itu dapat dibedakan dengan menghitung
determinan (D).
Nilai Z pada persamaan (3) menunjukkan nilai peluang perusahaan (bisnis) sampel untuk
ditransformasi. Sistem bisnis dapat ditransformasikan (diketahui kemampuan penerapan
THK-nya), ditentukan oleh nilai absolut prbedaan determinan D dan D*, dan atau nilai D*
adalah nol, maka bisnis tersebut tidak dapat ditransformasikan (tidak
mentransformasikan/menerapkan Tri Hita Karana). Suatu sistem bisnis dapat
ditransformasikan (memiliki nilai penerapan Tri Hita Karana) bila nilai D>D*>0.
Makin besar nilai Z, maka makin besar kemampuan bisnis itu melakukan penerapan Tri Hita
Karana. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut.
68
i. Bilai nilai Z, 0<Z<33% dapat diartikan kurang baik penerapan Tri Hita Karana-nya.
ii. Bilai nilai Z, 33%≤Z<67% dapat diartikan cukup baik penerapan Tri Hita Karana-nya.
iii. Bilai nilai Z, 67%≤Z<100% dapat diartikan baik penerapan Tri Hita Karana-nya.
2. Analisis Deskriptif
Jenis kegiatan bisnis yang dilaksanakan di Kelompok Mekar Sari digunakan analisis
deskriptif. Metode analisis deskriptif merupakan metode penyajian analisis penafsiran data dengan
mendeskripsikan suatu fenomena sosial dan lingkungan dengan menginterpretasikan terhadap
fakta-fakta yang ada di lapangan.
3.1 Analisis Deskriptif
Berdasarkan hasil wawancara maka diketahui matrik harapan ideal dan keadaan aktual
yang dapat dilihat pada Tabel 3.2 dan Tabel 3.3 sebagai berikut.
Tabel 3.1 Matrik Keadaan Harapan Ideal (H)SubsistemPola Pikir
SubsistemSosial
SubsistemArtefak/
KebendaanSubsistem Software (Pola Pikir) 5,00 5,00Subsistem Hardware (Artefak) 5,00 5,00Subsistem Humanware (Sosial) 4,25 5,00Subsistem Organoware 5,00 5,00 5,00
Subsistem Infoware 5,00 5,00 5,00
69
Tabel 3.2 Matrik Keadaan Aktual (A)
SubsistemPola Pikir
SubsistemSosial
SubsistemArtefak/
KebendaanSubsistem Software (PolaPikir)
4,67 4,20
Subsistem Hardware(Artefak)
5,00 4,83
Subsistem Humanware(Sosial)
3,50 4,80
Subsistem Organoware 4,50 4,45 4,67
Subsistem Infoware 3,75 5,00 4,67
3.2 Analisis Determinan Matriks
Penerapan THK pada kelompok tani mekar sari dapat kita lihat dengan memperhatikan
hasil perhitungan dari kedua matriks yaitu matriks harapan ideal dengan matriks keadaan aktual.
Dengan perhitungan sebagai berikut :
0,00 4,67 4,20 0,00 5,00 5,005,00 4,83 0,00 5,00 5,00 0,003,50 0,00 4,80 4,25 0,00 5,004,50 4,45 4,67 5,00 5,00 5,003,75 5,00 4,67 5,00 5,00 5,00
A HHasil Penormalan Matrik A
0,000 4,934 0,8751,000 0,966 0,0000,700 0,000 1,0000,900 0,890 0,9730,750 1,000 0,973
Transpose Matrik A0.000 1,000 0,700 0,900 0,7500,934 0,966 0,000 0,890 1,0000,875 0,000 1,000 0,973 0,973
70
Hasil Perkalian A.AT
1,638 0,902 0,8750,902 1,933 0,7000,875 0,700 1,490
Matriks Invers A.AT
1,027 -0,314 -0,455-0,314 0,720 -0,153-0,455 -0,153 1,011
Determinan Matrik A: 2,328
Hasil Penormalan Matrik H
0,000 1,000 1,0001,000 1,000 0,0000,850 0,000 1,0001,000 1,000 1,0001,000 1,000 1,000
Hasil Perkalian H.AT
1,809 0,966 1,0000,934 1,966 0,7000,875 0,850 1,595
Matriks Invers A.AT. H.AT= X
1,166 -0,013 0,081-0,031 0,981 -0,055-0,083 -0,118 1,049
Matrik Invers X
0,854 0,019 -0,0650,031 1,014 0,0510,064 -0,112 0,942
Deteminan Matrik X: 1,213
71
Nilai penerapan THK yaitu 91,96152% yang termasuk dalam kategori sangat baik, dimana
kegiatan bisnis pada kelompok tani mekar sari telah beroperasi dengan baik dan berlanjut. Hal ini
tampaknya mengindikasikan bahwa nilai penerapan THK sebesar 91,96152% sudah cukup untuk
menilai bahwa operasional pelaksanaan kegiatan bisnis yang dilaksanakan pada kelompok tani
akan berlanjut, sepanjang tidak ada kendala yang berarti.
5.4 Jenis Kegiatan Bisnis yang Dilaksanakan Di SIMANTRI 096
Jenis kegiatan bisnis yang dilaksanakan oleh kelompok adalah produksi pupuk organik
yaitu pupuk kompos dan pupuk cair (biourine). Kotoran ternak padat maupun cair diolah menjadi
pupuk organik berkualitas. Kotoran ternak padat dimanfaatkan oleh kelompok untuk diolah atau
difermentasi menggunakan fermentor di tempat pengolah kompos dan sebagian kotoran ternak
dimanfaatkan sebagai bahan isian biogas. Kotoran ternak sebelum diolah atau difermentasi
menggunakan fermentor dikeringkan selama ± 2 - 3 hari kemudian setelah setengah kering maka
kotoran ternak tersebut diolah.
Jumlah pupuk kompos yang diproduksi oleh kelompok dari Tahun 2013 hingga Tahun
2016 sebesar 9.438.615 kg. Harga pupuk kompos yang dipasarkan per kg yaitu Rp 1.000,00. Total
pendapatan yang telah diperoleh kelompok dari hasil penjualan pupuk kompos dari Tahun 2013
hingga Tahun 2016 sebesar Rp 9.438.615.000,00.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan seperti disajikan pada bab sebelumnya, maka
dapat disimpulkan penerapan Tri Hita Karana pada kegiatan bisnis di Kelompok Tani Mekar Sari
sebagai berikut.
1. Nilai penerapan THK pada Kelompok Tani Mekar Sari yaitu 91,96152 % yang termasuk
dalam kategori sangat baik. Nilai penerapan THK sebesar 91,96152 % sudah cukup untuk
menilai bahwa operasional pelaksanaan kegiatan bisnis yang dilaksanakan pada Kelompok
Tani Mekar Sari akan berlanjut, sepanjang tidak ada kendala yang berarti.
2. Jenis kegiatan bisnis yang dilaksanakan di Kelompok Tani Mekar Sari adalah pengolahan
limbah ternak padat menjadi pupuk kompos, pengolahan limbah cair menjadi pupuk cair
(biourine), dan memproduksi beras sehat.
72
4.2 Saran
Berdasarkan hasil penilaian terhadap penerapan Tri Hita Karana pada kegiatan bisnis di
Kelompok Tani Mekar Sari maka dapat diberikan saran sebagai berikut.
1. Penerapan Tri Hita Karana pada kegiatan bisnis di Kelompok Tani Mekar Sari agar tetap
dipertahankan dengan tujuan demi keberlanjutan kegiatan bisnis yang telah dijalankan.
2. Kegiatan bisnis baik di sektor pertanian, sektor perkebunan, sektor peternakan, sektor
pariwisata, sektor ekonomi dan sektor lainnya agar menerapkan Tri Hita Karana pada kegiatan
bisnis yang dijalankan dengan tujuan untuk keberlanjutan dari bisnis tersebut.
3. Pemerintah sebagai pemberi ijin agar menghimbau kepada pelaku bisnis mengenai pentingnya
penerapan Tri Hita Karana (THK) demi menciptakan keharmonisan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Aspek Sosial dan Ekonomi. http:id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_sosial
Antara, M. 2006. Bahan Ajar Mata Kuliah Metode Penelitian Agribisnis. Fakultas Pertanian,Univesitas Udayana. Denpasar.
Departemen Pertanian RI. 1980. Petani, Kelompok Tani, Pedoman Teknis Optimasi Lahan.Jakarta. http://www.antaranews.com/berita.
Hakim, A. 2004. Statistik Deskriptif untuk Ekonomi dan Bisnis. Ekonosia.Jakarta.
Hernanto, F. 1989. Ilmu -ilmu Usahatani. Peneber Swadaya, Jakarta.
Herry. 2010. Pengertian Aspek Sosial Ekonomi Dunia. Jakarta. http://www.aspeksosial&ekonomi.com.
Nurgiyantoro, B. 1998. Penelitian Dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta : BPME,UGM.
Sano Maulana, R. 2010. Indeks dan Model Ketahanan Pangan Di Tingkat Rumah Tangga PadaSubak Anggabaya di Kota Denpasar. Skripsi tidak dipublikasikan. Program studiAgribisnis. FP UNUD Denpasar
Soekartawati. 1995. Ilmu Usaha Tani. PT. Raja Grafindo, Jakarta.
Sukanto, 1986. Pengertian Gapoktan Gabungan Kelompok Tani.http://www.PENYULUHTHL.WORDPRESS.com Jakarta.
73
Windia, W. 2005. Bahan Perkuliahan Sistem Irigasi Subak di Bali. Fakultas Pertanian,Universitas Udayana. Denpasar.
73
USAHATANI PADI DAN BAWANG MERAH MENDUKUNGPENDAPATAN DI PETANI DI KALIMANTAN SELATAN
Oleh : Rismarini ZuraidaE-mail : rismarini [email protected]
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan SelatanJln. Panglima Batur Barat No : 4 Banjarbaru Kalimantan Selatan
Telp :0511-4772346 Fax :0511-781810
ABSTRAK
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penunjang yang sangat penting daripembangunan ekonomi di Indonesia. Komoditas hortikultura telah mendapatkan perhatian disamping tanaman pangan. Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikulturaterutama untuk daerah Kalimantan yang secara nasional diprioritaskan pengembangannya.Kabupaten Tapin merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Propinsi KalimantanSelatan yang memulai untuk mengembangkan bawang merah. Melihat laju pertumbuhanpenduduk yang begitu cepat, kebutuhan pasar yang meningkat dan harga jual yang tinggimerupakan faktor yang dapat merangsang petani untuk dapat meningkatkan produksi bawangmerah dari segi kuantitas maupun kualitas yang akhirnya meningkatkan pendapatan petani.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pendapatan usahatani padi dan bawang merahmenunjang pendapatan petani. Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan cara sengaja(purposive) yaitu bertempat di Desa shabah Kecamatan Bungur Kabupaten Tapin padaDesember 2015. Penelitian di laksanakan dengan observasi lapangan yang difokuskan padapermasalahan dan peluang pengembangan usahatani padi dan bawang merah. Sedangkandata yang di ambil pada penelitian ini yaitu data primer yang di ambil dari petani dan dataskunder adalah data penunjang yang diambil dari Instansi terkait. Metode pengumpulan datayaitu dengan wawancara secara kelompok (Fokos Group Discoution). Data dianalisis secaradeskreftif dan analisis Finansial. Hasil kajian menunjukan bahwa menanam bawang merahdengan luas pengusahaan sekitar 0,5 Hektar produktivitas bawang merah 6 ton denganpenerimaan sebesar Rp 60.000.000,- dengan biaya produksi sebesar Rp 35.000.000,- (R/Cratio : 1,71) dan Komoditas Padi hanya cukup di komsumsi dalam dalam setahun biasanyajuga ditanam 0,5 Ha dengan tingkat produksi 4 ton dengan penerimaan sebesar Rp24.000.000,- dan biaya produksi sebesar Rp 15.000.000,- ( nilai R/C Ratio : 1,6 )Jadi dengan mengusahakan padi dan bawang merah memang sudah menguntungkanditunjukan R/C Ratio > 1. tapi perlu perbaikan teknologi dan pengelolaan lahan yang baikuntuk pengembangan selanjutnya karena berpeluang di kembangkan.
Kata kunci : Pendapatan,padi, Bawang Merah
74
PENDAHULUAN
Sektor pertanian merupakan sektor yang memegang peran strategis dalam pembangunan
nasional karena diantaranya sebagai sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, kontributor
terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto, sumber devisa, bahan baku
industri, sumber bahan pangan dan gizi, serta pendorong bergeraknya sektor-sektor riil
lainnya. Oleh sebab itu, sektor pertanian masih merupakan prioritas pembangunan secara
nasional maupun regional. Menonjolnya sektor pertanian terutama ditunjang oleh
ketersediaan lahan yang cukup dan subur, serta iklim tropis yang cocok untuk kegiatan
pertanian. Dengan alasan ini maka peningkatan kapasitas produksi pertanian merupakan
salah satu jalan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
Meskipun demikian, sektor pertanian umumnya masih dihadapkan pada beberapa
permasalahan seperti, keterbatasan modal yang dimiliki petani dan pelaku usaha pertanian
lainnya. Kebutuhan modal yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun beriringan dengan
semakin melonjaknya harga input pertanian, seperti pupuk, pestisida maupun upah tenaga
kerja. Dengan kecenderungan seperti ini, maka pembiayaan yang selama ini mengandalkan
subsidi pemerintah semakin tidak memadai serta bukan pilihan yang bijaksana mengingat
semakin besarnya beban anggaran yang harus ditanggung oleh pemerintah untuk membiayai
pembangunan secara keseluruhan.
Disamping itu pula, peningkatan kebutuhan komoditi pertanian dalam negeri maupun
luar negeri seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, mendorong usaha untuk
meningkatkan produksi pertanian merupakan langkah yang strategis. Dalam kondisi yang
demikian, maka usahatani dilakukan harus dengan pertimbangan produksi yang efisien secara
teknis maupun finansial. Usahatani komoditi pertanian diarahkan untuk terciptanya usahatani
yang memiliki daya saing dan kemampuan produksinya yang dapat memenuhi permintaan
pasar guna mencapai keuntungan maksimum bagi petani dan pelaku usaha pertanian lainnya.
Kondisi inilah yang pada akhirnya memberikan harapan jaminan meningkatnya kesejahteraan
para pelaku usahatani.
Tanaman holtikultura seperti bawang merah merupakan jenis komoditi pertanian
tanaman pangan yang mampu mempunyai kedudukan sangat penting dalam kehidupan
ekonomi masyarakat maupun dalam perekonomian nasional. Selain sebagai komoditas yang
secara luas dan umum dikembangkan oleh masyarakat, bawang merah mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi karena memiliki peluang pasar domestik dan luar negeri yang cukup
75
baik guna meningkatkan pendapatan petani maupun devisa Negara yaitu dari komoditi non
migas.
Dalam agribisnis hortikultura ada beberapa ciri khas khusus yang dimiliki antara lain :
1. Usahatani yang dilakukan lebih berorentasi
2. Bersifat padat modal
3. Resiko harga relative tinggi karena cepat rusak
4. Harga sangat berfluktutif,
Jadi posisi tawar petani sangat lemah karena petani sayuran ( bawang merah dan
cabai) biasanya panen raya yang bersamaan waktu sejalan dengan penelitian ( Hadi et
al, 2000)
Di Kabupaten Tapin khusus desa Shabah usahatani bawang merah dan cabai memiliki
perkembangan produksi yang cukup baik. Hal ini seperti ditunjukkan dengan jumlah
produksi yang meningkat dari tahun ke tahun yang di dukung oleh pemerintah daerahnya .
Dari yang mulai kategore Inisiasi dan saat ini terus berkembang.
Bawang merah dan cabai sebagai salah satu jenis tanaman holtikultura umumnya
mempunyai sifat-sifat seperti diproduksi musiman, selalu segar, jumlahnya banyak tapi
nilainya relative kecil, tanaman lokal yang spesifik dimana tidak dapat diproduksi disetiap
tempat. Dengan sifat-sifatnya ini, maka sangat berpengaruh pada mekanisme produksi
sehingga sering terjadi harga produksi komoditi bawang merah di pasar berfluktuasi tajam.
Apabila hasil produksi pertanian berfluktuasi maka yang sering dirugikan adalah pihak petani
atau produsen (Soekartawi, 2005).
Dengan disadarinya potensi produksi komoditi bawang merah dan cabai di Kabupaten
Tapini, maka penting dalam proses pembangunan melalui sektor pertanian untuk
mempertimbangkan pengembangan produksi komoditi bawang merah dan cabai . Akan
tetapi, masalah alokasi modal untuk pembiayaan input produksi yang menjadi kendala dalam
usahatani merupakan hal yang membutuhkan perencanaan dengan tepat dan penggunaannya
saprodi yang efisien. Oleh karena itu, maka dapat melahirkan program-program
pengembangan produksi komoditi bawang merah dan cabai yang bersifat antisipatif dan
memberikan jaminan tercapainya tujuan meningkatknya produksi untuk memaksimumkan
keuntungan petani dan daerah.
76
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan Desa Shabah Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan,
dilaksanakan yaitu bulan Mei 201. Tujuan penelitian ini yaitu melihat kelayakan usahatani
padi dan bawang merah sebagai komoditas yang dominan di lahan Tadah Hujan dengan
permasalahannya. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode survey melalui pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal), PRA adalah
metode penelitian partisipatif dengan melibatkan masyarakat dalam penelitian untuk menilai
potensi dan masalah di pedesaan. Metode partisipatif ini berorientasi pada proses
pembelajaran dan melibatkan sebanyak mungkin berbagai kalangan masyarakat (Chambers,
1996). Data skunder diperoleh dari kepustakaan dan Instansi terkait di Kalimantan Selatan,
data yang dikumpulkan dianalisis secara diskreptif dan analisis kelayakan Finansial (analisis
biaya dan pendapatan).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Teknologi Budidaya Bawang Merah dan cabai di Lahan Petani
1. Teknologi Budidaya Padi
2. Teknologi Budidaya Bawang Merah
Pengolahan Tanah
Setelah lahan dibersihkan dari gulma dan tumbuhan liar lainnya, maka sebaiknya
pada permukaan tanah disebar pupuk kandang dengan dosis 0,5-1 ton/ 1000 m2.
Tanah yang sudah ditamburi pupuk kandang kemudian diluku dan digaru dan kondisi
ini biarkan selama waktu kurang lebih 1 minggu. Hal lainnya yang harus dilakukan
adalah membuat bedengan dengan lebar 120 -180 cm. Perlu diperhatikan bahwa
diantara bedengan pertanaman dibuat saluran air (canal) dengan lebar 40-50 cm dan
kedalaman 50 cm. Bila pH tanah kurang dari 5,6, maka sebaiknya diberi Dolomit
dosis + 1,5 ton/ha disebarkan di atas bedengan dan diaduk rata dengan tanah lalu
biarkan 2 minggu. .
Pupuk
Pupuk yang di pergunakan di petani (80%) memakai pupuk majemuk, pupuk kandang
dan kapur dolomite) sebagai pupuk dasar Pupuk secara merata diatas bedengan dan
diaduk rata dengan tanah sebagai pupuk dasar. Pupuk buatan ( pupuk Phonska)
77
diberikan 3 kali pemberian yang pertama (I) diberikan 30 Kg/Ha sebelum ditanam (0
hari). Pupuk II 30 Kg pada saat tanaman umur 15 hari dan pemupukan III diberikan
pada tanaman umur 30 hari yaitu 30 kg/Ha
Pemilihan Bibit
Petani dalam hal memilih bibit tidak bisa memilih bibit yang memenuhi syarat di
karenakan bibit yang ada tidak banyak tersedia di tempat. Ukuran umbi bibit yang
optimal adalah 3-4 gram/umbi. Sementara umbi bibit yang baik adalah umbi yang
telah disimpan 2-3 bulan dan umbi masih dalam ikatan (umbi masih ada daunnya).
Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah umbi bibit harus sehat, ditandai dengan
bentuk umbi yang kompak (tidak keropos), kulit umbi tidak luka (tidak terkelupas
atau berkilau).
Jarak Tanam
Jarak tanam yang digunakan petani kebanyakan pada adalah 15 x 15 cm dengan
jenis tanaman adalah varietas Bima, sementara untuk musim penghujan jarak
tanaman adalah berukuran 20 x 15 cm. Juga tergantung pada tujuan penanamannya
baik untuk bibit kembali atau untuk konsumsi.
Penyiangan dan Pembumbunan
Penyiangan pertama dilakukan umur 7-10 HST dan dilakukan secara manual untuk
membuang gulma atau tumbuhan liar. Dilakukan pendangiran, yaitu tanah di sekitar
tanaman didangir dan dibumbun agar perakaran bawang merah selalu tertutup tanah.
Selain itu bedengan yang rusak atau longsor perlu dirapikan kembali dengan cara
memperkuat tepi-tepi selokan dengan lumpur dari dasar saluran.
Pengairan
Pada awal pertumbuhan dilakukan penyiraman dua kali, yaitu pagi dan sore hari.
Penyiraman pagi hari usahakan sepagi mungkin di saat daun bawang masih
kelihatan basah untuk mengurangi serangan penyakit. Penyiraman sore hari
dihentikan jika persentase tanaman tumbuh telah mencapai lebih 90 %.
Pengamatan Hama dan Penyakit
Hama Ulat bawang, S. litura dan S. exigua Thrips, mulai menyerang tanaman pada
umur 30 hari setelah tanam. Hal ini disebabkan karena kelembaban di sekitar
78
tanaman relatif tinggi dengan suhu rata-rata diatas normal. Daun bawang yang
terserang warnanya putih berkilat seperti perak. Serangan berat terjadi pada suhu
udara diatas normal dengan kelembaban diatas 70%. Jika ditemukan serangan,
penyiraman dilakukan pada siang hari, amati predator kumbang macan. Populasi
diatas ambang ekonomi kendalikan dengan BVR atau PESTONA.
Panen dan Pasca Panen
Petani melihat daunnya bila 60-90 % daun telah rebah panen siap di panen, dataran
rendah pemanenan pada umur 55-70 hari. Panen dilakukan pada pagi hari.
Pemanenan dengan pencabutan batang dan daun-daunnya. Selanjutnya 5-10 rumpun
diikat menjadi satu ikatan. Penjemuran pertama selama 5-7 hari dengan bagian
daun menghadap ke atas, tujuannya mengeringkan daun. Penjemuran kedua
selama2-3 hari dengan umbi menghadap ke atas, tujuannya untuk mengeringkan
bagian umbi dan sekaligus dilakukan pembersihan umbi dari sisa kotoran atau kulit
terkelupas dan tanah yang terbawa dari lapangan.
79
ANALISIS FINANSIAL USAHATANI PADI DAN BAWANG MERAH
Tabel 1. Analisis Finansial Usahatani Padi dan Bawang merah Per Hektar Di Desa ShabahKabupaten Tapin Di Lahan Tadah Hujan Kalimantan Selatan tahun 2016
U r a i a n Padi Bawang MerahFisik Nilai (Rp) Fisik Nilai (Rp)
a. Penerimaan 6 60.000.000b. Saprodi :
Benih 550 27.500.000Urea (kg)Ponska (Kg) 500 1.500.000
Pupuk Kandang 4 1 .000.000
Kapur/dolomit 1 500.000Polybag -Tonggak/batang -Obat-obatan (padat,cair) 1 300.000
c. Tenaga kerja :Pengolahan lahan 20 1.000.000Penanaman 20 1000.000Pemupukan 6 300.000Pemeliharaan/peniangan 16 800.000
Penen & Pasca Panen 20 1.000.000d. Total biaya 34.900.000e. Pendapatan 25.100.000f. R/C Rasio 1,71
Pada Tabel 1 diatas menunjukan bahwa usahatani cabai dan bawang merah layak diusahakan
ini terlihat dari pendapatannya cabai mencapai Rp 27.950.000,- dan bawang merah Rp
25.100.000,- dengan total biaya (saprodi dan tenaga kerja) masing-masing untuk cabai
sebesar Rp 23.050.000,- ( R/C Ratio > 2,16). dan untuk bawang merah sebesar Rp
34.900.000,- ( R/C Ratio > 1,71). (Soekartawi. 1995). Melihat itu semua cabai dan bawang
merah di desa ini mempunyai peluang untuk ditingkatkan dilihat dari tekhnologi cabai dan
bawang merah yang masih sederhana.
PELUANG PENGEMBANGAN
Melihat dari produktivitas dan pendapatan serta R/C Ratio yang di peroleh maka
berpeluang besar untuk dikembangkan, dengan memperhatikan beberapa factor diantaranya :
80
(1) Penggunaan varietas unggul spesifik lokasi. (2) Efisiensi pemupukan. (3) Pengendalian
gulma secara langsung atau secara tidak langsung. (4) Pengendalian hama penyakit tanaman.
Penggunaan Varietas unggul spesifik lokasi, harus dilihat beberapa varietas yang benar-benar
adaftif di lokasi/lahan tersebut sehingga mendapat produktivitas yang optimal. Efisiensi
pemupukan kita harus sesuai dengan rekomendasi yang sesuai dengan lokasi tersebut
sehingga hemat biaya dan tenaga. Untuk pengendalian hama dan penyakit kita harus
monitoring secara terus menerus jadi seandainya ada terdapat gejala kita cepat antisipasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Usahatani Bawang merah dan cabai yang diusahakan sangat menguntungkan petani
ini terlihat dari pendapatan yang mencapai untuk bawang merah Rp 25.100.000,- dan untuk
cabai Rp 27.950.000 . Ini terlihat dari R/C Ratio 2,16 untuk bawang merah dan R/C Ratio
1.71 untuk cabai (R/C Ratio > 1) layak diusahakan dalam upaya peningkatan pendapatan
dengan keadaan ini berarti mempunyai prospek untuk ditingkatkan lagi melalui (1) Inovasi
teknologi dan (2) Pengendalian hama dan penyakit dengan memperhatikan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Chambers, R. 1996. PRA (Participatory Rural Appraisal) Memahami Desa SecaraPartisipatif. Kanisius. Yogyakarta.
Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia. Jakarta. Hadi et al, 2000)
81
ANALISIS PERSEPSI PETANI CABAITERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
I Nyoman Gede Ustriyana1), Ida Ayu Listia Dewi1)
1)Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas UdayanaE-mail : [email protected]
ABSTRAK
Indonesia sebagai negara agraris berupaya merespon tentang pentingnya pembangunanberkelanjutan melalui berbagai program maupun kegiatan, dan petani sebagai ujungtombak pelaksana pertanian berkelanjutan perlu dimintakan pendapatnya. Tujuanpenelitian ini 1) melihat karakteristik petani melalui analisis deskriptif, 2) melihat tingkatpersepsi petani terhadap pertanian berkelanjutan dan 3) melihat hubungan karakteristikpetani dengan kemungkinan implementasi melalui pendekatan korelasi Rank Spearmandan Chi- square. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan tergolongtinggi, sebanyak 43,33 persen masuk kategori tamat SMA dan hanya 1,67 persen tidakmenamatkan SD. Pengetahuan petani tentang konsep pertanian berkelanjutan tergolongbaik, 66,67 persen responden menjawab benar tentang definisi pertanianberkelanjutan.Persepsi responden terhadap konsep pertanian berkelanjutan menunjukkanhasil yang cukup baik. Hanya variabel pendidikan dan pengetahuan pertanianberkelanjutan yang memiliki hubungan nyata dengan persepsi pertanian berkelanjutan.Analisis hubungan antara persepsi pertanian berkelanjutan dengan keputusan implementasipertanian berkelanjutan, tidak ada hubungan yang nyata, kecuali hubungan antara dimensilingkungan dengan variabel alasan mengusahakan cabai. Akses ke penyuluh berhubungannyata dengan sumber informasi yang mempengaruhi usahatani cabai, dan pengetahuanpertanian berkelanjutan berhubungan nyata dengan sumber informasi yang mempengaruhiusahatani cabai dan menanam kembali cabai di kemudiaan hari dengan konsep pertanianberkelanjutan.
Kata kunci: pertanian berkelanjutan, persepsi petani, analisisrank spearman, chi square
PENDAHULUAN
Pentingnya pembangunan pertanian berkelanjutan telah dirasakan oleh
pemimpin dunia. Berbagai forum diskusi resmi maupun melalui langkah
konkritintroduksi program oleh lembaga internasional di berbagai negara
menunjukkan keseriusan para pemimpin dunia akan pentingnya pembangunan
pertanian berkelanjutan. Indonesia sebagai negara agraris telah berupaya merespon
tentang pentingnya pembangunan berkelanjutan melalui berbagai bentuk program
maupun kegiatan.Begitu juga untuk usahatani cabai di Kabupaten Bangli telah
diupayakan untuk menerapkan usahatani cabai berkelanjutan yang diprakarsai
Dinas Pertanian Tanaman Pangan.Implementasi penerapan pertanian berkelanjutan
oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bangli diwujudkan dalam bentuk program
peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas dan mutu produk tanaman
82
sayuran dan tanaman obat berkelanjutan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Kabupaten Bangli 2014).
Petani sebagai ujung tombak pelaku pembangunan pertanian berkelanjutan
perlu diminta pendapatnya, yaitu dengan cara mengkaji persepsi mereka terhadap
pembangunan pertanian berkelanjutan. Apabila petani memiliki persepsi baik
terhadap pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pada akhirnya akan
membantu pemerintah untuk mengimplementasikannya di tingkat lapang.
Penelitian tentang persepsi masyarakat terkait dengan pembangunan
berkelanjutan telah banyak dilakukan. Nugraha et al. (2008) misalnya menemukan
adanya hubungan positif antara persepsi dengan partisipasi masyarakat terhadap
pengembangan kota yang berwawasan lingkungan. Sebaliknya Baba et al. (2011)
yang mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi peternak sapi
perah dalam penyuluhan di kabupaten Enrekang dengan pendekatan
StructuralEquation Modelling (SEM), diperoleh kesimpulan adanya pengaruh
negatif
karakteristik peternak dengan persepsi, demikian juga terlihat adanya pengaruh
negative karakteristik peternak terhadap partisipasi penyuluh baik langsung
maupun tidak langsung. Hubungan negatif juga terjadi antara persepsi dengan
partisipasi peternak.Penelitian Tathdil et al. (2009) tentang persepsi petani terhadap
pertanian berkelanjutan dan faktor-faktor penentunya di Turkey
menyimpulkansemakin tinggi status ekonomi (sering kontak dengan penyuluh,
pendidikan tinggi, kepemilikan lahan dan lainnya) dan semakin besar akses
informasi maka semakin positif dalam mengambil keputusan untuk mempraktekan
pertanian berkelanjutan.
Hasil studi ini juga menyimpulkan, jika para pembuat kebijakan dan
organisasi penyuluhan fokus pada faktor-faktor tersebut, maka tingkat keberhasilan
petani ke arah pertanian berkelanjutan lebih mudah tercapai.
TUJUAN
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui karakteristik petani cabai dan persepsi petani terhadap
pembangunan pertanian berkelanjutan;
83
2. Mengetahui hubungan antara karakteristik petani cabai dengan persepsi
pembangunan pertanian berkelanjutan;
3. Menganalisis hubungan persepsi pembangunan pertanian berkelanjutan dari
petani cabai dengan keputusan untuk menerapkan pertanian berkelanjutan.
METODOLOGI
Data yang digunakan untuk analisis persepsi pembangunan pertanian
berkelanjutan adalah data primer yang diperoleh melalui wawancara dengan
bantuan kuesioner terstruktur kepada 60 responden.Responden adalah petani yang
telah dipilih secara acak (simple random sampling) dari satu kecamatan di
Kabupaten Bangli, yaitu Kecamatan Kintamani, yang merupakan sentra
pengembangan cabai.
Kuesioner berisi tiga substansi, yaitu: 1) konsep pembangunan pertanian
berkelanjutan yang mencakup tiga dimensi yaitu dimensi ekonomi, sosial dan
lingkungan, masing-masing berisi 10 variabel keberlanjutan, 2) karakteristik
responden dan 3) keputusan implementasi pertanian berkelanjutan. Survei
direncanakan dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2016.
Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan terdiri tiga dimensi yaitu ekonomi,
sosial dan lingkungan.Variabel dimensi keberlanjutan dipilih berdasarkan beberapa
referensi hasil penelitian.Hayati et al. (2011) menggunakan variabel keberlanjutan
yang diambil dari survei wawancara kepada petani responden.Pada saat survei,
responden diminta untuk menjawab pernyataan keberlanjutan dari masing-masing
dimensi.
Dari setiap dimensi dibuat 10 variabel, sehingga untuk tiga dimensi
ekonomi, sosial dan lingkungan diwakili 30 variabel yang diukur dengan skala
likert dengan rentang nilai antara 1 sampai 5. Skala nilai 1 menunjukkan petani
sangat tidak setuju ‘STS’ terhadap pernyataan yang diajukan, skala 2 tidak setuju
‘TS’, skala 3 ragu-ragu ‘R’, skala 4 setuju ‘S’ dan skala 5 sangat setuju ‘SS’.
Selain cakupan variabel yang mencerminkan dimensi keberlanjutan, maka
pada saat survei ini juga dikumpulkan variabel lain yang mencakup karakteristik
responden, pengetahuan tentang pertanian berkelanjutan dan keputusan petani
untuk mengimplementasikan pertanian berkelanjutan.
84
Analisis persepsi petani pada penelitian ini dilakukan untuk menjawab tiga
tujuan, yaitu: 1) melihat karakteristik individu petani dan persepsi petani tentang
pertanian berkelanjutan, 2) melihat hubungan antara karakteristik individu petani
dengan persepsi petani tentang pertanian berkelanjutan dan 3) melihat hubungan
antara persepsi petani dan pengambilan keputusan dalam hal kemungkinan
mengimplementasikannya. Diagram analisis persepsi petani tentang pembangunan
pertanian berkelanjutan dalam pengambilan keputusan untuk
mengimplementasikan konsep keberlanjutan disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram analisis persepsi petani tentang pembangunanberkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Petani dan Persepsi Petani Terhadap Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan
5.1.1 Karakteristik Petani Responden
Secara umum responden masuk dalam kategori petani usia produktif,
dimana rata-rata usia petani adalah 38,38 tahun, usia termuda 20 tahun dan usia
tertua 68 tahun. Hasil analisis diskriptif karakteristik petani lainnya seperti jenis
kelamin, tingkat pendidikan, keanggotaan kelompok tani dan akses ke penyuluh
pertanian disajikan pada Tabel 5.1.
Karakteristikpetani· Umur· Jeniskelamin· Pendidikan· Frekuensibertemupenyuluh· Pengetahuanpertanianberkelanjutan· Sumberinformasipertanianberkelanjutan
Persepsi keberlanjutan
Dimensi ekonomi (10) Dimensi sosial (10) Dimensi lingkungan (10)
Keputusan implementasi
Alasan Sumber informasi yang
mempengaruhi Penerapan usahatani
berkelanjutan
85
Berdasarkan Tabel 5.1 dapat dijelaskan beberapa hal di antaranya: seluruh
responden pada penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 60 orang.
Dilihat dari karakteristik pendidikan, memperlihatkan sebagian besar responden
mempunyai tingkat pendidikan cukup tinggi.Responden yang hanya menamatkan
pendidikan Sekolah Dasar (SD) sebesar 35 persen, hanya 1,67 persen tidak tamat
SD dan yang menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 16,67
persen. Sisanya sebesar 46,66 persen merupakan responden yang menamatkan
pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Program Diploma.Dua hal lainnya
yang mencerminkan karakteristik petani yaitu keanggotaan kelompok tani dan
akses petani ke penyuluh pertanian.Hasil analisis diskriptif menunjukkan pola yang
searah. Petani yang aktif dalam wadahkelompok tani cukup tinggi mencapai 51,67
persen, dengan akses ke penyuluh pertanian sebesar 75 persen.
Tabel 1 Karakteristik Responden Penelitian Petani CabaiKarakteristik responden Jumlah %Jenis Kelamin :- Laki-laki- Perempuan 600 1000Pendidikan- Tidak tamat SD- Tamat SD- Tamat SMP- Tamat SMA- Tamat D 1- Tamat S1121102620
1,6735,0016,6743,333,330Keanggotaan Kelompok Tani- Ya- Tidak 3129 51,6748,33Akses ke penyuluh pertanian- Ya- Tidak 4515 7525Sumber informasi pertama tentang pengetahuanpertanian berkelanjutan- Petani lain- Keluarga/saudara- Penyuluh Pertanian Lapang (PPL)- Dinas Pertanian melalui pelatihan- Lainnya1324401
21,673,3373,3301,67Jumlah responden 60
86
Walaupun ada petani yang masih memiliki pendidikan rendah, namun hasil analisis
diskriptif terhadap pengetahuan petani tentang pengetahuan pertanian
berkelanjutan menunjukkan hasil yang baik (Tabel 2).Dari enam pernyataan
definisi tentang pertanian berkelanjutan, sebagaian besar petani atau lebih dari
66,67 persen responden menjawab benar tentang pernyataan tersebut. Nilai
tertinggi adalah pada penyataan “pertanian berkelanjutan bukan hanya menjadi
kewajiban pemerintah semata, namun perlu peran pihak swasta dan petani ”, yang
dijawab dengan benar oleh 53 responden atau 88,33 persen. Hal ini dapat diartikan
bahwa tanggungjawab semua pihak diharapkan dalam mewujudkan pertanian
berkelanjutan.
Tabel 2. Pengetahuan responden penelitian di Kabupaten Bangli terhadapkonsep/definisi pertanian berkelanjutan
Pernyataan tentang pengetahuan/definisipertanian berkelanjutan
JawabanBenar
%
Pertanian berkelanjutan adalah pengelolaansumberdaya pertanian untuk memenuhi kebutuhanmanusia dan pelestarian lingkungan
42 70
Pertanian berkelanjutan sebagai upaya pengelolaansumber daya dengan teknologi dan kelembagaansecara berkesinambungan
41 68,33
Pertanian berkelanjutan bukan diartikanmenggunakan input produksi serendah-rendahnya 36 60Pertanian berkelanjutan merupakan strategipendekatan ekonomi pertanian yangmengkoordinasikan pengembangan populasi,sumber daya alam dan lingkungan
36 60
Pertanian berkelanjutan bukan hanya menjadikewajiban pemerintah semata, namun perlu peranpihak swasta dan petani
53 88,33
Upaya konkrit menerapkan pertanian berkelanjutanseperti penyeimbangan siklus nutrisi, penguranganinput yang merugikan lingkungan dan lainnya
32 53,33
Jumlah responden 60
Analisis diskriptif lainnya terkait dengan orang atau lembaga pemberi informasi
pertama dalam mengenalkan definisi pertanian berkelanjutan. Sumber informasi
pertama yang mengenalkan konsep pertanian berkelanjutan adalahPenyuluh
Pertanian Lapang/PPL yaitu sebesar 73,33 persen.Penyuluh Pertanian Lapang/PPL
sangat dominan sebagai pemberi informasi, hanya 21,67 persen petani yang
menjawab petani lain sebagai sumber informasi utama.Sisanya adalah informasi
87
dari keluarga/saudara sebesar 3,33 persen.Peran Dinas Pertanian dalam hal
mengenalkankonsep pertanian berkelanjutan belum nampak/tidak ada, dan malah
1,67 persen petani responden mendapatkan informasi dari lainnya (Tabel 1).
Selain karakteristik responden dan pengetahuan pertanian berkelanjutan,
analisis diskriptif lainnya yang sangat penting adalah indikator implementasi
usahatani cabai berkelanjutan yang terdiri tiga variabel.Hasil analisis diskriptif
disajikan pada Tabel 5.3. Dari tabel tersebut dapat dijelaskan tiga hal terkait
implementasi, yaitu: 1) alasan petani untuk mengimplementasikan usahatani cabai
berkelanjutan, 2) sumber informasi yang mempengaruhi petani untuk melakukan
usahatani dan 3) keputusan implementasi usahatani mengacu 30 butir keberlanjutan
di masa mendatang.
Tabel 3. . Keputusan implementasi usahatani Cabai di Kabupaten Bangli
Keputusan implementasi usahatani Jumlah(Orang)
%
1. Alasan implementasi- Usahatani cabai menguntungkan
- Sudah menjadi kebiasaan turun temurun dari orang tua- Sesuai kondisi lahan di wilayah Kabupaten Bangli- Didukung oleh kelembagaan pertanian yang baik
471030
78,3316,67
50
2. Sumber informasi yang mempengaruhimelakukan usahatani
- Petani lain- Keluarga/saudara- Penyuluh Pertanian Lapang (PPL)- Dinas Pertanian Daerah melalui Pelatihan - Radio- Televisi- Koran/Majalah/Leaflet dll- Lainnya
401350002
66,6721,678,33
000
3,333. Keputusan implementasi melakukan usahatani
mengacu 30 butir keberlanjutan di masamendatang
- Ya- Tidak
555
91,678,33
Jumlah responden 60
Tabel 3 memperlihatkan alasan petani untuk mengimplementasikan usahatani cabai
secara berkelanjutan. Beberapa alasan yang dikemukakan petani antara lain: a)
usahatani cabai menguntungkan, b) sudah menjadi kebiasaan turun temurun dari
orang tua , c) sesuai kondisi lahan di wilayah Kabupaten Bangli, dan d) didukung
88
oleh kelembagaan pertanian yang baik. Responden yang menyatakan alasan
mengimplementasikan usahatani cabai karena menguntungkan sebesar 78,33
persen, selanjutnya diikuti oleh alasan sudah merupakan kegiatan usahatani turun
temurun dari orang tua sebesar 16,67 persen dan berikutnya karena alasan sesuai
dengan kondisi lahan sebesar 5 persen. Tidak ada responden menjawab bahwa
implementasi usahatani cabai berkelanjutan didukung oleh kelembagaan pertanian
yang baik.Hal ini membuktikan bahwa peran kelembagaan pertanian belum
berfungsi secara optimal.
Persepsi petani terhadap pertanian berkelanjutan
Analisis selanjutnya adalah melihat tingkat persepsi petani terhadap
pertanian berkelanjutan. Cakupan analisis persepsi meliputi tiga dimensi yaitu
dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan yang masing-masing berisi 10 variabel
seperti terlihat pada Tabel 4. Pendekatan analisis menggunakan metode deskriptif
berdasarkan nilai modus. Skala 1.00 dikategorikan sangat tidak penting (STP),
skala 2.00 dikategorikan tidak penting (TP), skala 3.00 dikategorikan Sedang (S),
skala 4.00 dikategorikan penting (P) dan skala 5.00 dikategorikan sangat penting
(SP).
Tabel 4 Analisis Persepsi Petani terhadap Pertanian BerkelanjutanDimensi/Variabel Modus Kategori
Dimensi Ekonomi Aktif memperluas usahatani cabai 4 P Selalu merawat akses jalan produksi 2 TP Menggunakan bibit cabai bermutu 1 STP Selalu mengusahakan cabai agar tetap untung 5 SP Selalu mencari informasi teknologi usahatani
cabai 4 P Melakukan tindakan pasca panen dengan baik 3 S Mengusahakan tanah 'bera' 5 SP Kemudahan akses ke Bank/lembaga keuangan 3 S Aktif memasarkan cabai ke pasar 4 P Tetap mencari pendapatan lain di luar usahatani 5 SP
Dimensi Sosial Kesejahteran petani dan keluarga merupakan tujuan
akhir 4 P Keberadaan kelembagaan petani sangat membantu 4 P Tersedia tenaga kerja untuk usahatani 2 TP Curahan waktu maksimal menjadi kunci keberhasilan 5 SP
89
usahatani Dukungan keluarga sangat diperlukan 2 TP Selalu meningkatkan pengetahuan usahatani 2 TP Aktif dalam keanggotaan kelompok tani 4 P Kesehatan petani yang prima sangat penting 3 S Kemudahan akses ke penyuluh sangat diperlukan 2 TP Pendidikan petani menjadi 89aktor kunci keberhasilan
usahatani 3 SDimensi Lingkungan
Menggunakan air irigasi secara tepat 4 P Menggunakan traktor yang tidak merusak tanah 4 P Melakukan tindakan menekan pertumbuhan gulma 2 TP Melakukan penilaian kesesuaian lahan 5 SP Melakukan rotasi dengan tanaman lain 2 TP Menggunakan pestisida tepat anjuran 2 TP Menjaga predator hama tetap ada 4 P Menggunakan pupuk organik/kotoran hewan 3 S Menggunakan pupuk kimia tepat anjuran 2 TP Menghindari pembakaran sisa tanaman 3 S
Keterangan : n = 60 orang, STP = Sangat Tidak Penting, TP = Tidak Penting,S = Sedang, P = Penting dan SP = Sangat Penting
Hubungan Antara Karakteristik Responden Dengan Persepsi Petani
terhadap Konsep Keberlanjutan
Karakteristik responden yang diukur hubungannya dengan persepsi pertanian
berkelanjutan disajikan pada Tabel 5. Variabel karakteristik responden tersebut
meliputi: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, keanggotaan kelompok tani,
akses ke penyuluh pertanian, pengetahuan pertanian berkelanjutan dan sumber
informasi pertanian berkelanjutan. Hubungan antara umur dengan persepsi
keberlanjutan diukur menggunakan korelasi Rank Spearmen, sedangkan jenis
kelamin, tingkat pendidikan, keanggotaan kelompok tani, akses ke penyuluh
pertanian, pengetahuan pertanian berkelanjutan dan sumber informasi pertanian
berkelanjutan diukur dengan menggunakan ChiSquare. Dari Tabel 5 dapat
dijelaskan untuk karakteristik petani seperti tingkat umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, keanggotaan kelompok tani dan akses ke penyuluh ternyata tidak
memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi pertanian berkelanjutan, kecuali
untuk karakteristik tingkat pendidikan memiliki hubungan yang nyata dengan
dimensi sosial.
90
Tabel 5 Hasil analisis hubungan antara karakteristik petani dengan persepsipertanian berkelanjutan
Karakteristik PetaniPersepsi pertanian
berkelanjutanEkonomi Sosial Lingkungan
Umur (Pearson) -0,157 0,039 0,045Jenis kelamin - - -Pendidikan (χ2) 0,795 0,001* 0,183Kelompok tani (χ2) 0,514 0,363 0,124Pengetahuan pertanian berkelanjutan (χ2) 0,012* 0,838 0,016*Sumber informasi pertanian berkelanjutan(χ2) 0,903 0,605 0,427
Keterangan: * Berhubungan nyata (P < 0,05)
Hubungan antara Persepsi Pertanian Berkelanjutan dengan KeputusanPetani dalam Usahatani Cabai Berkelanjutan
Untuk mengukur hubungan antara persepsi dengan keputusan implementasi
tersebut digunakan metode analisis chi square.
Tabel 6. Hasil analisis hubungan antara persepsi pertanian berkelanjutan dengankeputusan implementasi pertanian berkelanjutan
Persepsi pertanianberkelanjutan
Keputusan implementasi pertanian berkelanjutanAlasan Sumber informasi
yang mempengaruhiusahatani cabai
Mengusahakancabai
berberkelanjutanEkonomi (χ2) 0,559 0,713 0,561Sosial (χ2) 0.216 0,618 0,809Lingkungan (χ2) 0,017* 0,154 0,420
Keterangan : * Berhubungan nyata ( p < 0.05)
Hasil perhitungan chi square Tabel 6 memperlihatkan persepsi petani terhadap
pertanian berkelanjutan berhubungan nyata (p<0.05) dengan variabel alasan
keputusan implementasi pertanian berkelanjutan. Namun demikian ada dua pola
hubungan yang tidak nyata, yaitu hubungan antara persepsi pertanian berkelanjutan
dimensi ekonomi dan sosial tidak berhubungan nyata dengan variabel alasan
melakukan usahatani. Semakin baik persepsi yang diterima petani terhadap kosep
pertanian berkelanjutan mendorong motivasi petani untuk kembali melakukan
usahatani cabai berkelanjutan akan semakin besar. Petani yang memiliki persepsi
positif terhadap pertanian berkelanjutan adalah petani yang aktif dalam melakukan
usahatani dan mendapatkan informasi yang positif dalam melakukan usahatani dari
sumber informasi yang tepat. Hal ini dapat dilihat dari nilai chi square yang
91
berbeda nyata pada α 5 persen untuk hubungan antara persepsi pertanian
berkelanjutan dengan variabel alasan petani.
Hubungan antara Karakteristik Responden dengan Keputusan Petani dalamUsahatani Cabai Berkelanjutan
Karakteristik petani yang diukur hubungannya dengan keputusan petani untuk
kembali melakukan usahatani cabai dengan menerapkan konsep pertanian
berkelanjutan meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, kelompok tani, akses ke
penyuluh dan pengetahuan pertanian berkelanjutan Hubungan antara karakteristik
petani dengan keputusan melakukan usahatani cabai berkelanjutan ini diukur
dengan menggunakan metode chi square. Hasil analisis selengkapnya disajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil analisis hubungan antara karakteristik petani dengan keputusanimplementasi pertanian berkelanjutan
Karakteristik petani
Keputusan implementasi pertanian berkelanjutanAlasan Sumber informasi
yang mempengaruhiusahatani cabai
Mengusahakancabai
berberkelanjutanUmur (χ2) 0,687 0,978 0,398Pendidikan (χ2) 0,235 0,333 0,088Kelompok tani (χ2) 0,753 0,328 0,489Akses ke Penyuluh (χ2) 0,233 0,018* 0,071Pengetahuan pertanianberkelanjutan (χ2) 0,785 0,002* 0,050*
Keterangan : * Berhubungan nyata ( p < 0.05)
Berdasarkan analisis seperti terlihat pada Tabel 7, umur petani mempunyai
hubungan yang tidak nyata dengan variabel alasan petani melakukan usahatani,
ditunjukkan dari nilai p < 0.05. Tetapi hal ini dapat diartikan semakin tua umur
petani maka secara nyata akan menguatkan alasan petani untuk melakukan
usahatani. Hasil analisis tersebut memperkuat hasil analisis diskriptif pada Tabel 2
yang memperlihatkan sebanyak 72.63 persen beralasan menanam cabai merupakan
kebiasaan turun temurun dan ada sebanyak 63.13 persen responden yang
memberikan alasan mengusahakan cabai karena sesuai kondisi wilayah Kintamani.
Dua variabel ini mencerminkan karakteristik petani terutama terkait dengan umur.
Perlu diketahui bahwa petani sejak dari kecil sudah tinggal di wilayah penelitian
92
sehingga mengenal tentang usaha cabai dari orang tua atau kebiasaan petani
sebelumnya. Oleh karena itu sangat relevan jika semakin tua umur petani maka
akan semakin tertanam di benak petani tentang bagaimana mengusahakan cabai.
Hasil analisis chi square Tabel 7 juga memberikan informasi kaitan peran
kelembagaan penyuluh yang berfungsi sebagai sumber informasi dalam
mentransfer pengetahuan pada petani. Hasil analisis chi square memperlihatkan
adanya hubungan yang nyata dari karakteristik petani yaitu variabel akses ke
penyuluh dengan sumber informasi yang dicirikan dari nilai p < 0.05. Dua variabel
tersebut menunjukkan peran penyuluh sangat diharapkan membantu peani dalam
mendapatkan informasi untuk melakukan usahatani.
Variabel lainnya yaitu pengetahuan petani tentang pertanian berkelanjutan
juga menunjukkan hubungan yang nyata dengan variabel sumber informasi dan
variabel mengusahakan kembali usahatani cabai berkelanjutan. Hal ini
memperlihatkan semakin baik pengetahuan petani terhadap konsep pertanian
berkelanjutan dengan dukungan informasi yang semakin baik pula, secara nyata
akan mendorong petani untuk kembali melakukan usahatani cabai dengan
menerapkan konsep pertanian berkelanjutan.
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
1. Kerakteristik responden dilihat dari latar belakang pendidikan tergolong tinggi,
sebanyak 43,33 persen masuk kategori tamat SMA dan hanya 1,67 persen tidak
menamatkan SD. Pengetahuan petani tentang konsep pertanian berkelanjutan
tergolong baik yakni 66,67 persen responden menjawab benar tentang definisi
pertanian berkelanjutan. Pemahaman ini diperoleh dari sumber informasi utama
adalah Penyuluh Pertanian Lapang/PPL yaitu sebesar 73,33 persen dan petani
lain sebesar 21,67 persen. Dinas Pertanian Kabupaten tidak memiliki kontribusi
dalam memberikan informasi tentang pertanian berkelanjutan.
2. Persepsi responden terhadap konsep pertanian berkelanjutan menunjukkan hasil
yang cukup baik. Untuk dimensi ekonomi dari 10 variabel yang ditanyakan 3
93
pernyataan dipersepsikan masuk kategori sangat penting (SP), 3 masuk kategori
penting (P), 2 masuk kategori sedang (S), dan masing-masing 1 masuk kategori
tidak penting (TP) dan sangat tidak penting (STP); sedangkan untuk dimensi
sosial dari 10 variabel ada sebanyak 1 variabel yang dipersepsikan sangat penting
(SP), 3 variabel dipersepsikan penting (P), 2 variabel dipersepsikan sedang (S),
dan 4 variabel dipersepsikan tidak penting (TP). Untuk dimensi lingkungan dari
10 variabel ada sebanyak ada sebanyak 1 variabel yang dipersepsikan sangat
penting (SP), 3 variabel dipersepsikan penting (P), 2 variabel dipersepsikan
sedang (S), dan 4 variabel dipersepsikan tidak penting (TP).
3. Analisis hubungan antara persepsi pertanian berkelanjutan dengan keputusan
implementasi pertanian berkelanjutan dan analisis hubungan antara karakteristik
responden dengan keputusan implementasi pertanian berkelanjutan dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Hanya variabel pendidikan dan pengetahuan pertanian berkelanjutan yang
memiliki hubungan nyata dengan persepsi pertanian berkelanjutan, khususnya
dengan dimensi sosial untuk variabel pendidikan, sedangkan dimensi ekonomi
dan lingkungan berhubungan nyata dengan pengetaahuan pertanian
berkelanjutan.
b. Analisis hubungan antara persepsi pertanian berkelanjutan dengan keputusan
implementasi pertanian berkelanjutan, sebagian besar menunjukkan tidak ada
hubunganyang nyata, kecuali hubungan antara dimensi lingkungan dengan
variabel alasan mengusahakan cabai ada hubungan yang nyata.
c.Analisis hubungan antara karakteristik responden dengan keputusan
implementasi pertanian berkelanjutan diperoleh hasil sebagai berikut: akses ke
penyuluh berhubungan nyata dengan sumber informasi yang mempengaruhi
usahatani cabai, dan pengetahuan pertanian berkelanjutan berhubungan nyata
dengan sumber informasi yang mempengaruhi usahatani cabai dan menanam
kembali cabai di kemudiaan hari dengan menerapkan konsep pertanian
berkelanjutan.
94
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas, dimana didapatkan bahwa karakteristik
responden, seperti umur, jenis kelamin, pendidikan tidak menunjukkan adanya
kontribusi yang nyata dalam memahami maupun mempersepsikan pertanian
berkelanjutan, maka pengetahuan praktis yang didapatkan dari sumber informasi
petani lain dan keluarga perlu ditingkatkan. Peran PPL teelihat belum optimal, oleh
karena itu disarankan perlunya revitalisasi PPL dan mempertahankan kinerja
Kelompok Tani agar dapat berperan aktif dalam mewujudkan pertanian
berkelanjutan.
Peran Dinas Pertanian Kabupaten Bangli diharapkan lebih aktif dalam membuat
rencana strategis untuk mewujudkan pertanian cabai berkelanjutan. Hal ini sangat
penting, karena berdasarkan analisis bahwa petani sudah siap dengan melakukan
implementasikan pertanian, namun tetap diperlukan pembaharuan pengetahuan
pertanian berkelanjutan dan menjadi tanggung jawab pemerintah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan penelitian hibah unggulan program studi pada
Fakultas Pertanian Universitas Udayana tahun 2016. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana yang telah
memberikan kesempatan dan bantuan dana melalui Kontrak Nomor :
1247/UN14.1.23/PL/2016.
DAFTAR PUSTAKA
Baba S, Isbandi, T Mardikanto, Waridin. 2011. Faktor-Faktor yang MempengaruhiTingkat Partisipasi Peternak Sapi Perah Dalam Penyuluhan Di KabupatenEnrekang. JITP Vol 1 No 3 (2011): 193-208.
Badan Pusat Statistik. 2014. Kintamani dalam Angka. Bali
Dinas Pertanian Kabupaten Bangli. 2009. Rencana Strategis PembangunanPertanian Kabupaten Bangli Tahun 2010-2015. Dinas Pertanian KabupatenBangli. Bali
Darmanto, Swastika DKS. 2011. Penguatan kelompok tani: langkah awaalpeningkatan kesejahteraan petani. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 9 No.
95
, Desember 2011: 371-390. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianBadan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian.
Eric GD, Lagat JK, Ithinji GK, Mutai BK, Kenneth SW, Joseph MK. 2013. MaizeFarmer Perceptions Towards Organic Soil Management Practices InBungoma Bounty, Kenya.Research Journal of Environmental and EarthScience 5(2): 41-48, 2013.
Gangnibo CN, Chang S, Hung L, Sambou A. 2010. Agriculture in Benin: strategiesfor applaying the Chines agriculture model. Journal of SustainableDevelopment, Vol 3 No 1, 2010.
Hayati D, Zahra R, Aezatollah K. 2011. Measuring agricultural sustainability[Internet]. [diunduh 2013 Feb 20]; Springer Publication.http://www.springer.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/9789048195121-c2.pdf?SGWID=0-0-45-1121047-p174009162.
Hiranandani V. 2010. Sustainable agriculture in Canada and Cuba: a comparison.Environmental Development Sustainability (2010) 12: 763-775. Springer.
[IISD] International Institute For Sustainable Development. 1995. Agriculture andsustainable development: policy analysis on the great plains. IISD. Canada.
Kasryno F. 1998.Pemikiran peningkatan daya saing komoditas pertanian melaluipemanfaatan mekanisasi pertanian yang ramah lingkungan, dalamprosiding perspektif pemanfaatan mekanisasi pertanian dalam peningkatandaya saing komoditas.Pusat Studi Ekonomi-Badan Litbang Pertanian.Departemen Pertanian. Bogor.
Nugraha KH, Soedodo, Rory AH. 2008. Hubungan antara persepsi masyarakattentang ruang terbuka hijau dan etika lingkungan dengan partisipasimasyarakat dalam pengembangan kota yang berwawasan lingkungan[Interne]. [diunduh 2013 Juli 10]; http://www.pasca-unpak.ac.id/ejournal/index.php/PLH/article/view/3.
Prahalad, C.K. 2005. The Fortune at The Buttom of Pyramid. Eradicating PovertyThrough Profits. Wharton School Publishing, USA.
Reijntjes C, Haverkort B, Water Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantaruntuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Diterjemahkanoleh Sukoco Y. (Editor: Van de Fliertt dan Hidayat B). Kanisius. 269 hal.
Robins S. 1996. Perilaku Organisasi. PT Prenhalindi. Jakarta.
Saptorini. 2003. Persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan konservasihutan mangrove di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak [tesis].Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
Suwandi. 2005. Keberlanjutan usahatani padi sawah-sapi potong terpadu diKabupaten Sragen: pendekatan RAP-CLS [desertasi]. SekolahPascasarjana Institut Pertanian Bogor.
96
Tathdil FF, Ismet B, Hasan T. 2009. Farmer’s perception of sustainable agricultureand its determinants: a case Study in Kharamanmaras Province of Turkey.Environ Dev Sustain (2009) 11: 1091-1106.
98
PELUANG INOVASI TEKNOLOGI PENGEMBANGAN USAHAPERTANIAN DI DESA BUNUTAN MELALUI PENDEKATAN PRA
( KALENDER MUSIM)
I Made Londra dan Putu SutamiBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
Jl. By Pass Ngurah Rai Denpasar Balie-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penggalian informasi untuk menentukan peluang inovasi teknologi pertanian di Dusun Sega, DesaBunutan, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem Bali, dilaksanakan pada bulan Juni 2015,melalui pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) dengan teknik kalender musim. PRA inimerupakan bagian dari kegiatan Pendampingan Pengembangan Kawasan Komoditas Sapi Potong.Lokasi ini termasuk agroekosistem lahan kering dataran tinggi beriklim kering. PRA dilaksanakandi kelompok tani Sega Mandiri, dengan melibatkan masyarakat tani Desa Bunutan, staf DesaBunutan staf Kecamatan Abang, Dinas Pertanian dan Peternakan Karangasem serta instansi,terkait lainnya dengan jumlah peserta keseluruhan sebanyak 50 orang. Hasil PRA menunjukkan,musim hujan berlangsung selama 6 bulan yaitu antara bulan November sampai Maret denganpuncak hujan pada bulan Bulan Januari sampai pebruari . Kepemilikan ternak sapi di lokasi inisebanyak 3 ekor, biasanya mengalami kesulitan pakan pada bulan Mei sampai Oktober denganpuncak kesulitan pakan terjadi bulan Juli dan Agustus. Pada bulan-bulan sulit pakan tersebut,hanya tersedia hijauan Daun Nangka sedangkan hijauan lainya hampir tidak berproduksi. Untukmenangani permasalahan tersebut ada peluang untuk memanfaatkan dedak padi dan limbahpertanian yang difermentasi. Tanaman pangan yang diusahakan diantaranya jagung, kacang-kacangan dan ketela rambat sedangakan tanaman tahunan yaitu jati dan cengkeh. Denganterintroduksinya teknologi diharapkan bisa menutupi pakan di musim kemarau.
Kata kunci : Peluang inovasi teknologi, Usaha pertanian dan lahan kering
ABSTRACTExtracting information to determine the chances of agricultural technology innovation in, BunutanVillage, Abang District, Karangasem Bali, conducted in June 2015, through Participatory RuralAppraisal (PRA) techniques season calendar. PRA is part of the activities of RegionalDevelopment Assistance Commodity Beef Cattle. These locations include upland plateauagroekosistem dry climates. PRA was conducted in farmer groups Sega Mandiri, involving thefarm community Bunutan Village, the Village staff Bunutan Abang District staff, Department ofAgriculture and Livestock Karangasem and institutions, related to the total number of participantsas many as 50 people. PRA results show, the rainy season lasts for six months, ie betweenNovember to March with peak rainfall in January to of February. Owners of cattle in this locationas much as three tails, typically have difficulty feeding from May to October with peak feedingdifficulties occurred in July and August. In the months when the feed is only available forageleaves Nangka while the other forages almost no production. To address these problems there areopportunities to utilize rice bran and agricultural waste is fermented. Cultivated food crops such ascorn, beans and sweet potatoes while the annual crop is teak and clove.With technology terintroduksinya expected to cover fodder in the dry season.
Keywords: Opportunity technological innovation, agricultural businesses and dryland
99
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian selama ini telah menunjukkan kinerja yang cukup baik
yang diindikasikan oleh tercukupinya kebutuhan pangan masyarakat khususnya di provinsi
Bali. Namun dibalik keberhasilan ini, kewajiban untuk tetap mempertahankan kecukupan
pangan tersebut tetap terus dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat tani serta terus
memacu tingkat perolehan sector pertanian yang jauh lebih tajam khususnya dalam
menghadapi tantangan pembangunan pertanian dalam era lingkungan strategis, tuntutan
global maupun peningkatan nilai tambah. Dengan demikian maka dituntut adanya
perubahan-perubahan yang mengait pada aspek perencanaan, penajaman teknis. Esensi
pembangunan pertanian yang berorientasi agribisnis terpadu tersebut adalah pendekatan
sistem yang memadukan seluruh susbsistem dalam agribisnis dan keterpaduan dalam
berbagai dimensi seperti dalam perencanaan, komoditas, maupun wilayah. Selama ini
program pembangunan masyarakat lebih banyak direncanakan oleh lembaga
penyelenggara program tanpa melibatkan warga masyarakat sasaran secara langsung.
Program biasanya bersifat diturunkan dari pemimpin lembaga kepada pelaksana dan
masyarakat. Walaupun program semacam ini didasarkan pada proses penjajagan
kebutuhan (need assesment) masyarakat, namun hal ini dilaksanakan hanya berdasarkan
suatu survey atau penelitian akademis yang tidak melibatkan masyarakat secara berarti
(Anonimous, 1996). Program yang bersifat “top down “ ini sering mengalami
ketidakcocokan antara peneliti / para pemrakarsa dan pelaksana program. Demikian juga
halnya pada bidang penelitian ; penelitian yang terlalu akademis biasanya terlampau
dipengaruhi oleh wawasan pikiran dan pandangan penelitinya sendiri, sehingga nilai
terapannya pun sangat kurang sehingga dengan sendirinya program yang disusun tidak
menyentuh kebutuhan masyarakat.
Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan salah satu metode pengkajian
daerah pedesaan dengan ciri utama melibatkan partisipasi masyarakat lokal dalam
pengkajian tersebut. Informasi yang diperoleh dari hasil PRA selanjutnya dipergunakan
untuk berbagai tujuan seperti pemberdayaan masyarakat perempuan (gender), perencanaan
program pembangunan pedesaan, pengembangan sarana pedesaan, dan program-program
yang lain tergantung metode yang digunakan.
Salah satu tujuan PRA ini adalah untuk mengetahui kebutuhan inovasi teknologi pada
tanaman pangan dan ternak sapi di lahan kering Kecamatan Abang, Karangasem, Bali.
Nantinya informasi ini digunakan untuk mengidentifikasi berbagai alternatif kegiatan
100
inovasi khususnya dalam bidang peternakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi
petani dalam berusaha ternak sapi (Anonimous, 1996).
METODOLOGI
PRA dilaksanakan di Balai Kelompok tani ternak Sega Mandiri Desa Bunutan,
Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem pada bulan Juni 2015. Kegiatan ini
melibatkan seluruh anggota kelompok Tani Ternak Sega Mandiri, PRA ini juga
melibatkan Distanak Karangasem, , BPP Kec. Abang, PPL Kec. Abang, Camat Abang, ,
Kades Bunutan, BPD (Badan Perwakilan Desa) Bunutan dan Kepala Dusun Sega. Pada
kegiatan ini, BPTP Bali selaku fasilitator. Jumlah peserta PRA keseluruhan sebanyak 50
orang.
Untuk menggali informasi dalam bidang Pertanian, diterapkan metode kalender musim.
Kalender musiman adalah bagan / diagram yang memperlihatkan kegiatan-kegiatan dan
keadaan usaha pertanian (perkebunan, peternakan atau lainnya) yang terjadi secara
berulang-ulang dalam kurun waktu tertentu (musiman/tahunan) di desa dalam suatu
wilayah /kawasan. Tujuan membuat kalender musiman adalah untuk mengetahui kondisi,
kegiatan dan peristiwa usahatani masyarakat yang terjadi dalam kurun waktu tertentu
(Anonimous, 2003).
Manfaat dan kegunaan membuat kalender musiman adalah untuk dapat
menganalisis tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha masyarakat, waktu-waktu
kritis dalam usahatani, misalnya serangan penyakit, paceklik, panen dan lainnya. Hasil
analisis keadaan ini akan sangat berguna sebagai bahan masukan dalam menyusun rencana
pengembangan usaha agribisnis petani, rencana pengadaan dan penyediaan sarana
produksi, rencana pemasaran pada khususnya dan rencana pengembangan pada umumnya
(Anonimous, 2003). Mengetahui pola aktivitas petani dan pola musim sangat penting
untuk perencanaan suatu kegiatan/program (kapan melakukan apa), sehingga program
yang akan dilaksanakan dapat dirancang sesuai dengan keadaan di lapangan.
101
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peluang Inovasi Teknologi Berdasarkan Kalender Musiman Usahatani TanamanPangan
Tanaman pangan yang diusahakan di Desa Bunutan diantaranya jagng kacang-
kacangan, ketela pohon dan ketela rambat. Tanaman jagung biasanya di tanam pada bulan
Nopember dan biasanya dipanet pada bulan oktober dan desember. Ketela rambat ditanam
pada bulan maret dan panen pada bulan juni. Inovasi teknologi yang perlu diintroduksikan
yaitu budidaya tanamam pangan dan pasca panen. Inovasi Teknologi yang
meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dan sumberdaya lainnya merupakan perangkat
(tools) yang paling berharga sama halnya seperti mengelola keseimbangan antara
kesejahteraan manusia dan memelihara ekosistem global (Burgess and Morris , 2009)
Ketela rambat atau ubi jalar merupakan komoditas lokal yang dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat sebagai sumber karbohidrat. Produktivitas ubi jalar di Indonesia rata-rata
10 ton per hektar lahan, sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil ubi
jalar terbesar kedua di dunia. Besarnya potensi ubi jalar sebagai komoditas lokal dapat
digunakan untuk bahan baku tepung lokal yang tidak kalah dengan tepung terigu. Ketela
rambat merupakan salah satu komoditas pertanian yang sangat penting di Indonesia
dimana sebagian besar produksinya (89%) digunakan sebagai bahan pangan (Faostat,
2004). Selama tahun 2005 sampai 2009, rata-rata produksi ubi jalar mencapai 1.901 juta
ton/tahun (BPSI, 2009). Ubi jalar memiliki kandungan nutrisi yang tinggi seperti
karbohidrat (pati dan serat pangan), vitamin, dan mineral (kalium dan fosfor). Disamping
itu, khusus ubi jalar orange mengandung senyawa β-karoten dan ubi jalar ungu
mengandung senyawa antosianin yang dapat berfungsi sebagai antioksidan.
102
Tabel.1. Kalender Musim Usahatani Tanaman Pangan di Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali
NO URAIANBULAN
JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGUST SEPT OKT NOV DESTANAMANa. Jagung/Kacang-kacangan/Ketela Pohon
Tanam xPupukPanen x x x
b. Ketela RambatTanam xPanen x
Keterangan :- Jumlah x menentukan kwantitas / kualitas / harga- Pembelian bibit : tergantung kebutuhan- Penjualan : tergantung kebutuhan
103
Peluang Inovasi Teknologi Berdasarkan Kalender Musiman Usahatani TernakSapi
Permasalahan yang dihadapi petani setempat dalam budidaya ternak sapi
dikaitkan dengan kalender musim antara lain :
a. Ketersediaan pakan, permasalahan dan peluang pemecahannya
Sapi di Desa Bunutan, Kecamatan Abang adalah sapi Bali, dengan
kepemilikan 3-4 per petani (Londra, dkk 2015). Hasil PRA (Tabel 2) menunjukkan,
musim hujan di wilayah Abang berlangsung singkat (sekitar enam bulan) yaitu dari
akhir bulan Nopember sampai awal bulan April dengan puncak hujan terjadi pada
bulan januari danFebruari. Kondisi ini mempengaruhi ketersediaan pakan ternak di
lokasi ini. Rumput lapangan maupun rumput raja yang dimiliki petani, hanya mampu
berproduksi selama delapan bulan ; dengan produksi tertinggi terjadi pada akhir
musim penghujan yaitu pada bulan Maret. Hampir sama halnya dengan tanaman
rerumputan, tanaman penaung seperti tamanan Gamal dan Lamtoro (Leucaena
leucocephala) produksi tertinggi terjadi pada bulan Maret. Berbeda halnya dengan
lamtoro, tanaman gamal hanya mampu berproduksi sampai bulan Agustus,
sedangkan lamtoro sampai bulan September. Dengan demikian, pada bulan Agustus,
September, Oktober dan Nopember, otomatis ternak-ternak yang ada di lokasi
diberikan pakan kering berupa jerami jagung dan jerami tanaman pangan lainnya
yang telah disiapkan sebelumnya. Beberapa petani melaporkan bahwa mereka
kadang-kadang sampai mendatangkan jerami padi dari daerah persawahan di daerah
lain dengan menyewa truk.
104
Hasil ini merupakan permasalahan dan sekaligus peluang untuk penanganan
kekurangan hijauan pakan ternak di Desa Bunutan khususnya. Permasalahan yang
muncul dalam kaitannya dengan pakan ini, yaitu tidak tersedianya pakan yang
kontinyu baik dari segi kualitas maupun kwantitas sepanjang tahun, mengakibatkan
pengembangan sapi penggemukan belum bisa dilakukan sepanjang tahun. Kondisi ini
mengakibatkan pengembangan sapi penggemukan belum bisa dilakukan sepanjang
tahun. Kalau penggemukan sapi dipaksakan, maka pemeliharaan harus telah mulai
dilakukan pada bulan Desember, supaya dapat dipanen pada bulan Juni atau Juli
tahun berikutnya. Untuk meningkatkan mutu pakan kering (jerami jagung dan
jerami palawija lain) yang diberikan pada bulan Agustus sampai Nopember,
sebaiknya dilakukan fermentasi sebelum disimpan untuk meningkatkan kandungan
gizi dan untuk mengurangi kandungan serat dari jerami tersebut. Pemberian
probiotik seperti Bio Cas sangat sesuai pada kondisi tersebut, untuk membantu
pencernaan pakan. Menurut Yasa, dkk (2004) probiotik Bio Cas sebanyak 5
ml/ekor/hari, dapat meningkatkan kandungan eritrosit, Hb, leukosit protein total dan
nilai hematokrit darah induk sapi Bali
Dalam penyimpanan pakan awetan, petani setempat menyimpannya dalam
bentuk kering utuh, jadi volume limbah jerami yang dapat disimpan untuk stok pakan
sangat terbatas. Oleh karena itu untuk memperbaiki kondisi ini sebaiknya dilakukan
penggilingan, sehingga volume yang dapat disimpan di tempat penyimpanan awetan
pakan dapat diperbanyak. Selain itu, di Desa Bunutan, masih banyak petani
menyimpan pakan kering tersebut di atas pohon, ada juga di tempat pengawetan
namun jerami langsung ditumpuk di atas tanah, sehingga banyak yang menjadi rusak
akibat terserang jamur dan kotoran lainnya. Oleh karena itu perbaikan tempat awetan
pakan ternak merupakan suatu kebutuhan. Tempat pakan awetan mestinya berupa
kandang panggung.
Hasil PRA ini menunjukkan tanaman lamtoro lebih tahan kekeringan
dibandingkan tanaman gamal. Oleh karena itu, populasi tanaman lamtoro perlu
ditingkatkan terutama tanaman lamtoro yang mampu berproduksi tinggi, tahan
kering dan tahan kutu loncat untuk dikembangkan di Kecamatan Abang untuk
penyediaan pakan bermutu. Menurut Wargadipura dan Johan (1997) lamtoro
mengandung protein kasar sekitar 25,9 % sedangkan Heliati (1999) melaporkan
105
antara 14,44 % pada tanah di Grati dengan pH 8,4; 17,50 % pada tanah di Kupang
pada tanah dengan pH 7,8 dan 26,75 % pada tanah di Ciawi dengan pH 5,0.
Menurut Pratomo, dkk (2004) pertumbuhan awal tanaman lamtoro relatif
lebih baik dibandingkan tanaman legum lainnya seperti Flemingia, Kaliandra dan
Glisidia (gamal). Selain itu, produksi tanaman rumput gajah yang ditanam pada
tampingan teras di bawah tanaman lamtoro pun lebih banyak yaitu 4,1 kg/5m,
dibandingkan tanaman Flengia yakni 4,0 kg, Glirisidia 3,9 dan dibawah Kaliandra
yakni 4,0 kg .
Lamtoro selain baik untuk pakan ternak karena mengandung protein yang
cukup tinggi, juga cocok dikembangkan untuk perbaikan dan konservasi tanah.
Lamtoro dapat digunakan sebagai sumber pupuk hijau karena adanya bakteri
pengikat nitrogen pada akarnya yang mampu mengikat nitrogen dari udara. Untuk
mencegah erosi, lamtoro sebaiknya ditanam secara ”terasering tak langsung” yaitu
penanaman lamtoro sebagai pagar kayu hidup secara melintang pada tanah miring.
Pagar hidup ini akan menahan tanah yang dibawa erosi karena perakarannya yang
baik (panjang) sehingga memudahkan pembentukan teras-teras (Metzner, 1987).
Selain itu, dilaporkan pula bahwa akar lamtoro mampu menerobos lapisan tanah
yang keras misalnya tanah liat.
Pengembangan usaha konservasi tidak akan dapat berkembang tanpa adanya
ternak (Abdurahman, dkk, 1998). Oleh karena itu kegiatan terintegrasi merupakan
suatu keharusan di lahan kering.
106
Tabel.2. Kalender Musim Usahatani Ternak Sapi di Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali
NO URAIANBULAN
JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGUST SEPT OKT NOV DES1 Musim Hujan xx xx x x x x2 Musim Kemarau x x x xx xx xx3 Ternak
a. Pakan TernakRumput Gajah x x x x x xLemtoro x x x x x xGamal x x x x x x xGamelina x x x x x x x xDaun Pisang x x x x x x x x x x x xSono Keling x x x x x xDaun Singkong xDaun Nangka x x x x x x xAlang-alang x x x x xLimbah Jagung x xKetela Rambat x xJerami x x x xDaun waru x x xDaun Mahoni x x xDaun Kacang-
kacangan x x xB. Penjualan x x x x x x xx xx x x x xC. Penyakit (BEF, BaliZiekta) x x xD. Birahi x x x
107
Keterangan :- Jumlah x menentukan kwantitas / kualitas / harga- Pembelian bibit : tergantung kebutuhan- Penjualan : tergantung kebutuhan
b. Perkawinan dan melahirkan
Hasil PRA (Tabel 2) menunjukkan, sapi-sapi di Abang secara umum
melakukan perkawinan mulai bulan Juni, dan puncaknya antara bulan Juni sampai
Agustus, Dengan demikian sapi-sapi di daerah Abang secara umum berahi pada
musim-musim kering, bunting selama pakan melimpah dan melahirkan pada saat
persediaan pakan di lapangan menipis ; sehingga menjelang anaknya mulai belajar
makan dengan umur sekitar 4 bulan ketersediaan pakan mulai ada karena mulainya
musim hujan.
Bulan-bulan berahi pada PRA ini terjadi pada awal musim kemarau. Ini
berarti pada bulan-bulan ini kondisi ternak sudah baik karena telah mendapatkan
pakan yang melimpah pada bulan-bulan sebelumnya. Menurut Markusfeld, dkk
(1997) dalam Widnyana (2002), kondisi tubuh merupakan faktor yang paling
dominan mempengaruhi timbulnya berahi atau berahi pertama setelah beranak.
Kondisi tubuh yang rendah (sangat kurus) pada saat beranak akan menurunkan
fertilitas sapi melalui penundaan aktivitas ovarium. Skor kondisi tubuh merupakan
cara untuk menilai jumlah cadangan energi yang tersimpan dalam lemak dan otot
pada sapi yang sedang laktasi dan masa kering. Skor kondisi sapi dinilai dalam lima
skala penilaian antara lain skala satu untuk sapi yang sangat kurus dan skala lima
untuk sapi yang terlalu gemuk (Edmonson, dkk., 1989). Menurut Domecq dkk.,
(1997) penurunan skor kondisi tubuh pada 30 hari pertama setelah beranak akan
menyebabkan kegagalan konsepsi pada perkawinan pertama setelah beranak.
Periode kebuntingan dimulai dari pembuahan dan berakhir pada saat
kelahiran anak. Lama bunting pada sapi sekitar 280 hari (Jainudeen dan Hafez,
1987). Pertumbuhan makhluk baru sebagai hasil dari pembuahan ovum dengan
spermatozoa dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode ovum, periode embrio dan
periode fetus (Partodihardjo, 1992). Periode ovum yaitu jarak waktu dari terjadinya
pembuahan atau konsepsi sampai dimulainya plasentasi. Periode ini berlangsung
sekitar 22 hari. Selanjutnya yaitu periode embrio yang berlangsung sampai hari ke-
108
45, dan terakhir yaitu periode fetus yaitu jarak waktu dari hari ke-45 setelah
pembuahan sampai kelahiran (Abeygunawardena, 1999). Periode ovum sampai
periode embrio yang berlangsung sekitar 45 hari merupakan periode yang sangat
rawan bagi sapi bunting. Oleh karena itu, induk harus dihindarkan dari kondisi stress
seperti terlalu lama dipekerjakan, kekurangan gizi atau lainnya untuk mengurangi
hal-hal yang tidak diinginkan, seperti keguguran.
Ternak di lahan marginal, oleh petani digunakan sebagai ternak kerja selain
untuk menghasilkan anak. Oleh karena itu, peningkatan pengetahuan petani melalui
penyuluhan perlu dilakukan.
Selain itu, untuk membuat sapi di Desa Abang kawin dan beranak sepanjang tahun,
ketersediaan pakan sepanjang tahun perlu diantisipasi melalui penghijauan dan
penyediaan pakan awetan yang cukup untuk bulan-bulan kering.
c. Penyakit
Timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh banyak faktor dan ini merupakan
masalah yang sangat kompleks. Dari sekian faktor tersebut, secara umum paling
tidak ada tiga faktor yang saling kait mengkait untuk terjadinya suatu penyakit yaitu :
faktor agen penyakit, faktor hospes (ternak itu sendiri) dan faktor lingkungan
(Dharma dan Putra, 1997).
Penyakit yang umum di derita oleh sapi-sapi di lokasi tersebut antara lain :,
Bovine Ephemeral Fever (BEF) , dan Bali Ziekta (BZ).
Penyakit BEF (Bovine Ephemeral Fever) atau penyakit demam tiga hari
(Three Day Sicknes) (Kahrs, 1981) merupakan penyakit dengan masa inkubasi dan
lama sakit yang singkat yang disebabkan oleh vurus RNA (Ribo Nucleic Acid),
termasuk dalam famili Rhabdoviridae (Walker dan Cybinski, 1989 dalam Darminto,
dkk 2003). Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 7-10 hari. Gejala yang
nampak pada sapi penderita BEF adalah demam tinggi yang mencapai 41 0C selama
3 hari, depresi, lesu, nafsu makan menurun, saat demam terjadi konstipasi kemudian
berlanjut dengan diare, persendian kaki membengkak disertai dengan kekakuan otot
anggota gerak sehingga penderita menjadi pincang, kemudian jatuh / berbaring.
Ternak biasanya sembuh dalam waktu 5-7 hari sejak munculnya gejala klinis.
(Dharma dan Putra, 1997). Tingkat morbiditas penyakit ini dapat mencapai 40 %
namun tingkat mortalitasnya (angka kematiannya) rendah. Ternak yang terinfeksi
109
BEF secara alami maupun buatan memiliki kekebalan sehingga tahan terhadap
infeksi BEF untuk jangka waktu lama (Uren, 1989).
Penyakit ini ditularkan melalui vektor lalat Culicoides spp dan nyamuk Culex
spp. Kejadian penyakit ini seirama dengan meningkatnya jumlah / populasi vektor
(Dharma dan Putra, 1997). Dengan demikian tingginya kejadian BEF di Desa
Bunutan wajar terjadi pada bulan Desember sampai April sesuai dengan populasi
lalat dan nyamuk pada bulan-bulan basah tersebut.
Penyakit Bali Ziekta (BZ). Hasil PRA menunjukkan penyakit ini sering
ditemukan pada bulan Januari sampai Februari. Penyakit ini diduga disebabkan oleh
termakannya tanaman / hijauan yang mengandung Lantadine yang umumnya
terkandung pada tanaman Lantana Camara atau di Bali sering disebut tanaman
”Krasi”. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Bali. Sapi yang terserang biasanya
mengalami perlukaan (erosi) di beberapa bagian tubuh, yang umumnya bersifat
simetris, namun pada umumnya tidak menyebabkan kematian, bahkan terkadang dapt
sembuh dengan sendirinya (Abidin, 2002). Oleh karena itu pelatihan tentang
tanaman-tanaman yang tidak baik diberikan untuk ternak perlu dilakukan kepada
peternak melalui sekolah lapang.
KESIMPULAN DAN SARAN
- Musim hujan di daerah Abang berlangsung selama 6 bulan yaitu dari akhir bulan
Nopember sampai awal bulam April tahun berikutnya dengan puncak hujan
dibulan januari dan pebruari. Musim hujan ini mempengaruhi pola tanaman
pangan dan ketersediaan pakan ternak ; selanjutnya ketersediaan pakan ini
mempengaruhi pola reproduksi (musim kawin dan beranak) sapi-sapi di Abang.
Memperhatikan permasalahan tersebut, pakan merupakan permasalahan kunci,
sehingga perlu pelaksanaan kegiatan penyediaan pakan ternak melalui
penanaman HMT tahan kering dan pengawetan limbah tanaman pangan /palawija
melalui model integrasi.. Selain itu, perbaikan sarana pendukung lainnya seperti
tempat penyimpanan pakan, perkandangan dan lainnya perlu dilakukan.
110
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, A., B.R. Prawiradiputra, T. Prasetyo, H.M. Toha dan H. Nataatmaja.1993. Laporan Akhir UACP-FSR. P3HTA. Badan Penelitian danPemgembangan Pertanian. Salatiga.
Abeygunawardena, H. 1999. Reproductive Physiology of Cattle and Buffaloes, inReproduction and Obstetrics in Farm Animal. Department of VeterinaryClinical Studies, Faculty of Veterinary Medicine and Animal Science,Peradeniya University. Srilangka. 1-13
Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi potong (Kiat Mengatasi PermasalahanPraktis). Penerbit : Agro Media Pustaka. Tangerang.
Anonimous. 2003. Modul Pengembangan Kawasan Agropolitan. PusatPengembangan Kewirausahaan Agribisnis, 2005. Jakarta
Anonimous, 1996. Berbuat Bersama Berperan Setara. Penerbit : Studio DriyaMedia, Bandung.
Darminto., Suhardono., Beriajaya dan A. Wiyono. Teknologi Bidang Veterineruntuk Mendukung Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit. ProsidingLokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Pusat Penelitiandan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal : 220-232
Domecq, J.J., A.L. Skidmore., J.W. Llyod and J.B. Kaneene. 1997. Relationshipbetween body condition score and conception at first artificial inseminationin a large dairy herd of high yielding holstein cows. J. Dairy Sci. 80: 113-120.
Edmonson, A.J., L.J. Lean., L.D. Weaver., T.Farver and G. Webster. 1989. ABody condition scoring chart for holstein dairy cows. J. Dairy Sci. 72 : 68-78
Heliati, I. 1999. Kandungan Protein dan Fosfor pada Spesies Leguminosa (Kacang-kacangan) yang Ditanam pada Tanah Ciawi, Kupang dan Grati. ProsidingLokakarya Fungsional Non Peneliti. Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor. Hal : 62-65.
Jainudeen, MR and E.S.E. Hafez. 1987. Cattle and Water Buffaloes in :Reproduction in Farm Animals. 5th.Ed. Lea Febiger Philadelphia. pp : 315-320.
Londra I Made, Adijaya.N, Raiyasa.M dan I Wayan Sudarma, 2015, Laporan AkhirPendampingan Pengembangan Kawasan Komoditas Sapi Potong diPropinsi Bali, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar.
Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit : Mutiara, Jakarta.
Metzner, J. 1987. Pelestarian Lingkungan Hidup dan Kemungkinan untukMeningkatkan Penggunaan Lahan dengan Bantuan Lamtoro di KabupatenSikka Flores ; dalam Ekofarming (Bertani Selaras Alam). Penyunting : J.Metzner dan N. Daildjoeni. Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Hal: 293-315.
111
Pratomo, Al. G., M.A. Yusron., G. Kartono., M. Sugiyarto., R. Hardianto danMartono. 2004. Pengkajian Pemanfaatan Lahan Berteras untuk PenataanHijauan Mendukung Konservasi Tanah dan Ketersediaan Pakan. BulletinTeknologi dan Informasi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi PertanianJawa Timur. Vol.7, hal : 34-39.
Suprapto; I G.A.K. Sudaratmaja dan Maria Sumartini. 2000. Laporan AkhirPengkajian Sistem Usahatani Tanaman Pangan di Lahan Marginal. InstalasiPenelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar, Badan Litbang,Deptan.
Suratmini, N.P., N. Adijaya., I.M.R. Yasa., dan M. Sumartini. 2004. Laporan AkhirSistem Usahatani Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi di Lahan Marginal.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar.
Uren, MF. 1989. Bovine Ephemeral Fever. Aust. Vet.J. 66 : 233-236.
Wargadipura, S.R. dan E. Johan. 1997. Pemberdayaan Lamtoro Tahan Kutu(Hantu) utuk Pakan Ternak. Prosiding Seminar Nasional Peternakan danVeteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal ;975-979.
Widnyana, I G, P. 2002. Pengaruh Implan Progesteron Intravagina danGonadotropin Releasing Hormon Terhadap Induksi Birahi dan AngkaKonsepsi Sapi Perah Pascaberanak. Tesis. Program Studi Sain VeterinerJurusan Ilmu-Ilmu Pertanian Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta.
Yasa, I.M.R dan Suprapto. 2001. Pengkajian Integrasi Tanaman dan Ternak padaLahan Kering Kabupaten Buleleng. Prosiding Seminar NasionalPengembangan Teknologi Pertanian dalam Upaya Optimalisasi PotensiWilayah Mendukung Otonomi Daerah. Pusat Penelitian danPengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hal : 172-176
Yasa, I M. R., S. Guntoro dan I.N. Adijaya. 2004. Pengaruh Pemberian ProbiotikBiocas Terhadap Profil darah Induk Sapi Bali di Lahan Kering AbangBuleleng Bali. Prosiding Seminar Nasional Klinik Teknologi Pertaniansebagai Basis Pertumbuhan Usaha Agribisnis. Menado. Hal : 981-989.
Yasa, I.M.R., I.G.K Sudaratmaja., I.N. Adijaya., I.K. Mahaputra., M. Sumartini., N.W. Trisnawati., J., Renaldi., P. Sugiarta dan A. Rachim. 2005. LaporanParticipatory Rural Appraisal (PRA) Prima Tani Renovasi di Lahan KeringDataran Rendah Beriklim Kering Desa Bunutan Kecamatan Abang,Kabupaten Buleleng, Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.Departemen Pertanian.
111
PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM KEGIATAN PENYULUHANPERTANIAN TANAMAN PANGAN PADA SUBAK DI KABUPATEN
TABANAN BALI
Ni Wayan Sri AstitiProgram Studi Magister Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Udayana,
Bali Indonesia.Email : [email protected]
ABSTRAK
Partisipasi perempuan dalam kegiatan penyuluhan pertanian sangat penting untukmeningkatkan kualitas perempuan dalam kegiatan usahatani sehingga mampu untukmeningkatkan produksi, pendapatan, dan perbaikan kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat partisipasi perempuan dalamkegiatan penyuluan pertanian tanaman pangan di Subak Guama dan juga untuk mengetahuifactor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat partsipasi perempuan dalam kegiatanpenyuluhan pertanian tanaman pangan di Subak Guama, Kecamatan Marga KabupatenTabanan.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kegiatan penyuluhan yang pernah diikutimeliputi teknik pembuatan bronis dari ketela ungu, teknik pembuatan VCO. Dalam hal ini,VCO adalah pembuatan minyak kelapa murni. Sedangkan partisipasi perempuan dalamkegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan TanamanTerpadu (SLPTT) hanya 17,46%.
Tingkat partisipasi perempuan dalam kegiatan penyuluhan tergolong “sedang” denganrata-rata persentase 62.16.%. Tingkat partisipasi perempuan dalam tahap perencanaankegiatan penyuluhan “sangat rendah” dengan persentase 35,97%. Tingkat partisipasiperempuan dalam tahap pelaksanaan kegiatan penyuluhan tergolong “tinggi.” denganpersentase 70,03%. Tingkat partisipasi perempuan dalam tahap evaluasi kegiatan penyuluhantergolong “tinggi” dengan persentase 80,50%..
Faktor-faktor yang berperan dalam meningkatkan partisipasi wanita pada kegiatanpenyuluhan pertanian terdiri atas dua faktor yaitu faktor internal yang terdiri atas:pengetahuan, sikap, pendidikan, umur, materi penyuluhan, sedangkan faktor eksternal terdiriatas: metode penyuluhan, kegiatan sosial, kegiatan ritual, suasana kelompok.
Kata Kunci : partisipasi, penyuluhan, tanaman pangan, subak.
ABSTRACT
Women's participation in agricultural extension activities is very important toimprove the quality of women in cultivation activities so as to be able to increase production,income, and improving the welfare of their families and communities.
This study aims to determine the level of women's participation in the activities ofplant food agriculture in Subak Guama and also to recognize the factors that influence thelevel of women's participation in extension activities of food crop agriculture inSubakGuama, Marga Sub-district of Tabanan Regency.
The results showed that the extension activities that have been followed include thetechnique of bronis making from purple, the technique of making VCO. In this case, VCO isthe manufacture of pure coconut oil. While the participation of women in integrated FieldSchool of Integrated Crop Management (SLPTT) only 17,46%.
112
The participation rate of women in extension activities is "moderate" with an averagepercentage of 62.16%. The participation rate of women in the planning stage of extensionactivities is "very low" with a percentage of 35.97%. The participation rate of women in theimplementation phase of extension activities is "high." With 70.03% percentage. Theparticipation rate of women in the evaluation phase of extension activities is "high" with thepercentage of 80.50%.
Factors that play a role in increasing women participation in agricultural extensionactivity consist of two factors: internal factors consist of: knowledge, attitude, education, age,extension material, while external factors consist of: counseling method, social activity, ritualactivity, Group atmosphere.
Key Word: participation, counseling, food crops, subak.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang MasalahKeterbatasan tenaga kerja di sektor petanian di Bali digantikan oleh tenaga kerja dari luar
pertanian baik tenaga kerja laki-laki maupun perempuan. Peran perempuan dalammenunjang sektor pertanian sangatlah besar ini dilihat dari keterlibatan perempuan dalamkegiatan usahatani tanaman pangan khususnya di subak. Peran perempuan dalam kegiatanusahatani padi relative tinggi terutama dalam penanaman hingga mencapai 92,24%, dalampemanenan hasil mencapai 86,67%, hanya dalam pengolahan lahan saja yang dilakukan olehlaki-laki (Priyadi, 2005). Dipertegas oleh Moore (1998) bahwa kaum perempuan di seluruhdunia terlibat dalam pekerjaan produktif, baik di dalam rumah ataupun di luar rumah. DiBali keterlibatan perempuan dalam kegiatan uahatani relative berimbang dengan petanilaki-laki, terutama dalam pemelihatraan tanaman dan juga dalam perencanaan dalampenentuan komoditas yang akan diusahakan. Namun, akses perempuan terhadap informasimaupun inovasi pertanian sangat terbatas (Astiti, 2012).
Kualitas sumberdaya perempuan sebagai petani sangat menentukan terhadap hasilproduksi yang dicapainya dalam kegiatan usahataninya. Oleh karena itu peningkatankualitas sumberdaya perempuan dalam kegiatan usahatani menjadi sangat penting supayaketrampilan dalam kegiatan usahataninya. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkanpendididikan baik itu pendidikkan formal maupun informal. Peningkatan kualitasperempuan dalam kegiatan usahatanianya dapat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan.Disisi petani permepuan Bali memiliki berbagai kegiatan dalam rumahtangganya baik itukegiatan menurus rumahtangga, kegiatan adat budaya dan kegiatan domestic lainnya sertakegiatannya sebagai petani. Oleh karena itu perlu adanya suatu strategi yang tepat untukmenigkatkan partisipasi petani perempuan dalam kegiatan penyuluhan pertanian tanamanpangan di Subak Guama, sehingga nantinya mampu untuk mengadopsi inovasi yangditawarkan oleh pemerintah maupun dari pihak lain.
1.2 Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Mengidentifikasi tingkat partisipasi Perempuan dalam kegiatan penyuluhan pertaniantanamanan pangan di Subak Guamam,
(2) Mengidentifikasi factor internal dan ekternal dari petani perempuan dalam partisipasinyapada kegiatan penyuluhan pertanian tanaman pangan di Subak Guama, KabupatenTabanan
113
METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi penelitianLokasi penelitian adalah Subak Guama di Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan.
Penetapan lokasi penelitian secara sengaja (purposive) dengan berbagai pertimbangan.Pertimbangan pemilihan lokasi penelitian adalah; (1) subak-subak tersebut telah mengalamimodernisasi yaitu subak yang telah melakukan pengembangan unit ekonomi; (2) subaktersebut telah memiliki badan hukum dan mendapat Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat(BPLM).
2.2. Populasi dan Sampel PenelitianObyek penelitian adalah petani perempuan yang ada di Subak Guama, Kecamatan Marga
Tabanan. Populasi Penelitian adalah jumlah petani perempuan di Subak Guama, KabupatenTabanan. Sampel penelitian berjumlah 50 orang petani perempuan ditetapkan secaraporpusive sampling dengan pertimbangan petani yang mata pencahariannya sebagai petani.Dalam penelitian ini mempergunakan informan kunci berjumlah 10 orang yang terdiri atas,penyuluh, Pekaseh Subak Guama, prajuru Subak Guama, Pemuka Desa, manajer KUATGuama dan pihak lain yang terkait dengan penelitian ini.
2.3. Analisis DataAnalisis data untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi perempuan dalam kegiatan
penyuluhuan pertanian tanaman pangan digunakan analisis deskkriptif kualitatif.Pengukuruan indikator penelitian dengan mempergunakan Skala Likert berjenjang 5. Kriteriajawaban yang paling diinginkan akan diberikan skor 5 sedangkan kreteria jawaban yangpaling tidak diinginkan akan diberi skor 1, sehingga nilai sekor tertinggi sampai denganteredah adalah 1 sampai dengan 5. Kemudian akan dibuat kterteria tingkat partisipasiperempuan dalam mengikuti kegiatan penyuluhan menjadi 5 kreteria yaitu, Partisipasi sangattinggi, partisipasinya tinggi, partisipasi sedang, partisipasinya rendah dan sangat rendah.Kategori partisipai perempuan dalam kegiatan penyuluhan tanaman pangan pada SubakGuama Kabupaten Tabanan Bali pada Tabel 1.
Tabel 1. Kategori Partisipasi Perempuan
No Persentase Pencapaian Skor Kategori1 >84-100 Sangat Tinggi2 >68-84 Tinggi3 >52-68 Sedang4 >36-52 Rendah5 >20-36 Sangat rendah
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik RespondenKarakteristik responden yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi, sebaran tingkat
pendidikan, umur, pengalaman kerja, jumlah anggota rumah tangga berdasarkan jeniskelamin dan mata pencaharian.
114
1. Tingkat Pendidikan PetaniTinggi rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja akan berpengaruh terhadap
produktivitas kerjanya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesempatan dalammenangkap peluang kerja lebih besar sehingga pendapatan yang akan dihasilkan jugasemakin besar. Hasil penelitian menunjukan distribusi petani di Subak Guama KabupatenTabanan berdasarkan tingkat pendidikkan seperti tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan pada Subak GuamaKabupaten Tabanan Tahun 2015
No Tingkat PendidikanJumlah
(Orang) (%)12345678
Sekolah Rakyat (SR)Tidak Tamat SD
Tamat SDTamat SMPTamat SMA
AkademiDiploma I
Kuliah
861346111
20,0015,0032.5010,0015,002,502,502,50
Total 40 100Sumber : Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2016
Pada Table 2 nampak bahwa tingkat pendidikkan responden tergolong rendah. Hal iniditunjukkan oleh sebagian besar (67,50%) responden memliki pendidikan sederajat SekolahDasar, dan bahkan ada yang tidak tamat SD. Tingkat pendidikan akan sangat berpengaruhterhadap tingkat adopsi suatu inovasi, semakin tinggi tingak pendidikkan maka tingkat adopsiterhadap inovasi akan semakin tinggi. Petani yang memiliki pendidikkan lebih tinggi makaakan berpengaruh terhadap produktivitas usahatani yang semakin tinggi pula.
2. Umur RespondenUmur merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas tenaga kerja
dalam batas umur produktif tertentu. Semakin bertambah umur seseorang maka tenaga kerjayang dimiliki akan semakin produktif. Setelah umur tertentu atau semakin berlanjut umurseseorang produktivitas tersebut semakin menurun. Hasil penelitian menunjukan rata-rataumur responden adalah 58,18 tahun dengan kisaran 36 s.d 70 tahun. Hal ini menunjukkanbahwa hamper sebagian responden dalam pengelolaan usahatani di Subak Guama beradapadausia produktif dan juga non produktif. Menurut Mantra (1985) penduduk yang tergolongusia kerja atau produktif adalah kelompok umur 15 s.d 64 tahun dan di luar range initergolong usia tidak produktif. Distribusi responden menurut kelompok umur dalampengelolaan usahatani di Subak Guama Kabupaten Tabanan dapat dilihat pada Tabel 3.
115
Tabel 3. Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur di Subak Guama KabupatenTabanan Tahun 2016
NO Kelompok Umur(Tahun)
Jumlah(Orang) (%)
123
> 1516 -64< 64
01822
04555
Total 40 100Sumber : Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2016
Pada Tabel 3 nampak kelompok umur responden dalam pengelolaan kredit usahamandiri di Subak Guama banyak yang tergolong dalam usia muda dari umur 33 tahun,terbanyak berada pada tingkat umur antara 39 tahun s.d 43 tahun sebesar 38 %. Respondenyang berada pada usia non produktif (> 64 tahun) adalah sebanyak 0 %, sisanya termasukdalam usia kerja atau produktif.
3.2 Partisipsi Perempuan dalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian di Subak GuamaDalam kegiatan penyuluhan di Subak Guama nampak terjadi subordinasi terhadap
perempuan, baik dalam perencanaan ataupun dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhanpertanian yang diselenggarakan di Subak Guama. Perencanaan dalam kegiatan penyuluhanpertanian adalah proses pengambilan keputusan yang berdasarkan keadaan, terutamamengenai kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan yang diharapkan ataudikehendaki (Mardikanto, 2009:235).
Penyuluh Petani Lapangan (PPL) dalam melakukan kegiatan penyuluhan selalumempergunakan subak sebagai media, terutama saat subak malakukan kegiatan. Hal ini jugaberlaku di Subak Guama. Sebelum PPL melakukan penyuluhan, mereka berkoordinasidengan pengurus subak untuk menentukan materi yang akan disampaikan, termasuk waktu,dan tempat kegiatan penyuluhan dan sasaran penyuluhan, karena segala perencanaankegiatan penyuluhan pertanian dilakukan di subak. Berkaitan dengan perencanaan kegiatanpenyuluhan di Subak Guama dikatakan oleh Wakil Pekaseh Subak Guama, Drs. WayanAstawa, seperti berikut :”Kegiatan penyuluhan di Subak Guama akan dikoordinasikan oleh kelihan subak denganPPL. Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) akan menghubungi Pekaseh Subak Guama danmerencanakan pelaksanaan kegiatan penyuluhan tersebut. Dalam perencanaan kegiatanpenyuluhan akan diputuskan hal-hal yang berkaitan dengan; topik yang akan disuluhkan,penetapan waktu penyuluhan, peserta kegiatan penyuluhan, sarana dan prasarana yangdipergunakan dalam kegiatan penyuluhan. Perencanaan kegiatan penyuluhan sepenuhnyadilakukan oleh pengelola subak dan PPL yang dalam hal ini adalah laki-laki. Sehingga seringperempuan terlupakan sebagai sasaran peserta penyuluhan. Dengan demikian, partisipasiperempuan dalam penyuluhan menjadi sangat kecil (wawancara pada Desember 2010).
Dari ungkapan di atas dapat diketahui bahwa yang merencanakan kegiatan penyuluhanadalah pengurus subak dan PPL, dalam hal ini adalah laki-laki. Perempuan tidak dilibatkandalam perencanaan kegiatan penyuluhan. Peserta penyuluhan ditunjuk atau diundang olehpekaseh, yang diundang adalah petani maju, yaitu petani yang memiliki wawasan luastentang pertanian dan cukup responsif terhadap inovasi pertanian. Walaupun sampai saat, diwilayah Subak Guama belum ada perempuan sebagai petani maju, hendaknya perempuantetap diberikan kesempatan sebagai peserta dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Perempuanbelum diberikan kesempatan untuk ikut dalam kegiatan penyuluhan. Selama ini perempuan
116
dianggap sebagai pelengkap dalam kegiatan usaha tani sehingga dianggap tidak memerlukaninovasi. Sehingga tidak perlu aktif dalam kegiatan penyuluhan. Berkaitan dengan hal iniperempuan mengalami subordinasi karena yang diprioritaskan adalah laki-laki.
Fenomena ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sugihastuti dkk. (2007:155)bahwa, posisi jenis kelamin yang melahirkan prasangka gender berdampak pada polahubungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi superordinat dalam berbagaiaspek kehidupan. Hubungannya dengan perempuan, dijalankan berdasarkan pemahamanmengenai superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan. Laki-laki memposisikan diri lebihunggul dari perempuan sehingga memposisikan perempuan sebagai inferioritas. Laki-lakimenciptakan legitimasi yang terbentuk melalui bingkai partriarkhi guna melanggengkanhegemoni terhadap kedudukan perempuan.
Dalam hal ini perempuan mengalami subordinasi dalam kegiatan penyuluhan karenahanya memprioritaskan laki-laki. Keadaan ini sangat sesuai dengan apa yang dikatakan olehNugroho (2008:11), bahwa dalam kehidupan masyarakat yang patriarkhis perempuan selaludiletakkan pada posisi nomor dua atau subordinasi karena selalu memprioritaskan laki-laki.
Berkaitan dengan kegiatan penyuluhan di Subak Guama dipertegas lagi oleh PekakLilik (60 th) :“Saya sangat jarang mengikuti penyuluhan karena peserta dalam kegiatan penyuluhanditunjuk langsung oleh subak. Biasanya yang ditunjuk adalah petani yang pintar dan petaniyang maju, siapa yang ditunjuk itu saja yang datang dalam kegiatan penyuluhan. Ibu-ibunyasangat jarang juga ikut penyuluhan karena tidak pernah ditunjuk, kalau ibu-ibunya ditunjukkemungkinan mau datang karena ibu-ibunya yang sangat aktif melakukan kegiatan usaha tanidi sawah” (wawancara pada Januari 2011).
Ungkapan Pekak Lilik di atas dapat diketahui bahwa, dalam merencanakan kegiatanpenyuluhan yang akan diselenggarakan oleh Subak Guama, peserta kegiatan penyuluhanditetapkan berdasarkan kemampuan petani. Dalam hal ini, petani yang mampu/pintar sajadiikutkan dalam kegiatan penyuluhan. Petani perempuan tidak pernah ditunjuk dalamkegiatan penyuluhan pertanian sehingga tidak pernah berpartisipasi dalam kegiatanpenyuluhan. Hal ini terjadi karena perempuan dianggap tidak penting mengikuti penyuluhan.Petani perempuan tidak memiliki kemampuan untuk ikut kegiatan penyuluhan. Perempuantidak memiliki kemampuan sehingga tidak dilibatkan dalam peneyuluhan karena dianggaptidak mampu menerima inovasi yang diberikan (Nugroho, 2008:11).
Walaupun perempuan diberikan kesempatan untuk mengikuti penyuluhan, tetapikadang-kadang perempuan tidak bisa memanfaatkan kesempatan tersebut karema adanyaperan ganda dari perempuan. Selain petani perempuan berperan sebagai petani, juga berperansebagai ibu rumah tangga yang kegiatannya di ranah domestik. Di samping itu perempuanjuga melakukan kegiatan sosial di masyarakat yang dikenal dengan kegiatan adat ataukegiatan menyamabraya.
Penyuluhan secara rutin dilakukan menjelang tanam untuk menentukan cara pengolahanlahan, penetapan varietas yang akan ditanam dan juga membibing petani dalam menerapkanteknologi yang akan digunakan. Metode penyuluhan yang dipergunakan oleh PPL adalahmetode anjang sana yaitu metode penyuluhan dengan melakukan keunjungan ke tempatpetani atau disebut juga metode sistem laku atau latihan dan kunjungan. Dalam hal ini, PPLmelakukan tugasnya secara rutin mengujungi kelompok tani setiap satu minggu satu kali.Petugas Penyuluh Lapangan Subak Guama yang bernama Pt. Lina Kantun memiliki enamkelompok tani binaan yang termasuk Subak Guama. Berkaitan dengan kegiatan penyuluhandi Subak Guama Pt. Lina Kantun PPL Subak Gauma, mengatakan seperti berikut.“Kegiatan penyuluhan yang berkaitan dengan teknologi pertanian yang dilakukan di SubakGuama sangat jarang melibatkan petani perempuan dan bahkan tidak ikut berpartisipasi baikdalam perencanaan ataupun dalam kegiatan penyuluhan yang berkaitan dengan teknologi
117
pertanian. Apabila saya akan memberikan penyuluhan di Subak Guama maka saya akanberkoordinasi dengan Pekaseh Subak Guama. Kemudian Pekaseh Subak Guama menetapkansiapa yang menjadi perserta dari kegiatan penyuluhan tersebut. Apabila datang petaniperempuan saya juga sangat senang. Tapi petani perempuan sangat jarang diikutkan dalamkegiatan penyluhan. Petani perempuan dianggap tidak perlu ikut penyuluhan, karena kegiatanpenyuluhan adalah urusan laki-laki. Perempuan hanya dipandang sebagai pelengkap dalamkegiatan usaha tani” (wawancara pada Oktober 2010)
Melalui ungkapan Pt. Lina Kantun di atas dapat diketahui bahwa keterlibatan perempuansangat kecil dan bahkan sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan penyuluhan. Perempuantidak diprioritaskan dalam kegiatan penyuluhan di Subak Guama. Kegiatan penyuluhan yangberkaitan dengan teknologi pertanian hanya diprioritaskan pada petani laki-laki. Perempuanbelum diperhitungkan dalam kegiatan penyuluhan yang berkaitan dengan teknologi pertanian.Dalam hal ini perempuan tersubordinasi dalam kegiatan penyuluhan karena mereka dianggaptidak penting.
Kegiatan penyuluhan adalah pendidikan nonformal yang diberikan kepada petani besertakeluarganya. Artinya, dalam kegiatan penyuluhan anggota rumah tangga petani, termasukistri juga diharapkan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Terlibatnya perempuan dalamkegiatan penyuluhan diharapkan dapat mengubah pengetahuan petani. Kemudian,pengetahuan tersebut akan diterapkan berupa keterampilan yang sesuai dengan pengetahuanyang diperoleh dan cocok dengan situasi tertentu (Leeuwis, 2010: 157). Apabila pengetahuanyang diperoleh tentang manajemen usaha tani, maka perempuan akan mampu membuatperencanaan yang lebih baik dalam melakukan kegiatan usaha tani.
Penyuluhan juga sering dilakukan oleh instansi terkait misalnya penyuluhan yangdilakukan oleh Dinas Pertanian Kabupaten ataupun dari Dinas Tanaman Pangan Provinsi, disamping penyuluhan yang diberikan oleh BPTP Bali. Dalam realisasi program PrimaTaniyang dilakukan oleh BPTP Bali secara rutin memberikan pembinaan dan sosialisasi tentangteknologi atau inovasi yang berkaitan dengan Prima Tani. Teknologi yang disosialisasikanadalah teknologi yang berkaitan pengolahan pascapanen seperti teknik pembuatan bronis dariketela ungu, teknik pembuatan VCO. Dalam hal ini, VCO adalah pembuatan minyak kelapamurni. Apabila penyuluhan ini diadakan, maka pesertanya akan didominasi oleh petaniperempuan. Kegiatan penyuluhan tentang teknologi penanganan pascapanen akan dilakukanpada kelompok wanita yang disebut Kelompok Wanita Tani Sumber Makmur yangmerupakan bagian dari Subak Guama.
Keterlibatan perempuan dalam sosialisasi Prima Tani (Program Rintisan dan AkselerasiPemasyarakatan Inovasi) relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan laki-laki, terutama padapenyuluhan yang berkaitan dengan teknologi pertanian. Salah satu program Prima Tani yangberkaitan dengan teknologi pertanian adalah SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan TanamanTerpadu). Dalam SLPTT ini diimplementasikan latihan-latihan yang berkaitan denganpengelolaan tenaman terpadu, termasuk di dalamnya tentang pengendalian hama danpenyakit tanaman, teknik budi daya tanaman, seperti cara pengolahan lahan ataupun carasemai dan teknik penanam bitbit.
Partisipasi perempuan dalam Kegiatan pelatihan SLPTT yang berkaitan dengan tanamanpadi sawah yang diselenggrakan pada tahun 2015 di Tempek Kekeran dan Tempek Pekilen.Dalam hal ini, keterlibatan perempuan sangat kecil, yaitu hanya 17,46% sedangkan laki-lakisebesar 82,54%. Kondisi ini menunjukan bahwa perempuan sangat kecil kehadirannya dalamkegiatan penyuluhan. Hal ini sebagai akibat pola pengambilan keputusan dalam rumah tanggayang didominasi oleh laki-laki, sehingga perempuan tidak berani mengambil keputusansendiri pada saat mengikuti penyuluhan. Berkaitan dengan kegiatan penyuluhan di SubakGuama, I Wayan Witi (57 tahun) menyatakan sebagai berikut.
118
“Saya ingin mengikuti penyuluhan di subak, tapi saya tidak pernah ditunjuk dan diundangdalam kegiatan penyuluhan tersebut. Saya ingin tahu tentang teknik budi daya tanaman,terutama cara tanam yang berbeda seperti tanam caplak yang pakai ukuran tertentu. Apabilasaya akan menanam padi dengan sistem caplak maka akan dibuatkan garis caplaknya olehsuami saya kemudian baru saya memula bibit padi tersebut (wawancara pada Pebruari 2015)
Dari ungkapan di atas dapat diketahui bahwa petani perempuan berkeinginanberpartisipasi dalam kegiatan penyuluhan. Petani perempuan juga ingin meningkatkanketerampilannya dalam teknik budi daya dan usaha tani terutama dalam teknik penanamanpadi baru. Namun, perempuan tersubordinasi dalam kegiatan penyuluhan, di samping adanyapelabelan yang negatif terhadap perempuan. Oleh karena perempuan dianggap tidakmemunyai kemampuan menerima inovasi yang diberikan saat mengikuti kegiatanpenyuluhan. Dalam hal ini, dari empat puluh orang informan yang diwawancari, menyatakan32,50% menyatakan bahwa ingin mengikuti penyuluhan pertanian dengan berbagai alasan.Salah satu alasan yang dikemukakanan adalah ingin mendapatkan pengetahuan tentang caramenanam bulih (bibit padi) secara tabela, tanam cara legowo, dan cara mengolah hasilpertanian seperti membuat kerajinan rumah tangga.
Ketidakhadiran perempuan dalam kegiatan penyuluhan juga disebabkan olehkesibukannya sendiri. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh perempuan sehinggatidak mengikuti penyuluhan, yaitu mereka merasa sibuk dengan urusan rumah tangganya, disamping sibuk melakukan kegiatan sosial yang disebut dengan menyamabraya. Berkaitandengan ketidakhadiran perempuan dalam kegiatan penyuluhan dikatakan oleh Wayan Retiyang hanya berpendidikan Seolah Dasar (tidak tamat) sebagai berikut.“Yang mengikuti penyuluhan adalah laki-laki, penyuluhan adalah tugas laki-laki, bukantugas perempuan. Oleh karena itu saya tidak perlu ikut penyuluhan pertanian, di samping itusaya tidak mempunyai kemampuan untuk mengikuti kegiatan penyuluhan karena saya sangatsulit mengertikan apa yang dijelaskan oleh penyuluh. Saya tidak tamat sekolah SD sayahanya bisa menulis sedikit sedikit saja” (wawancara dengan Wayan Riti, pada Pebruari2015).
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa hambatan perempuan mengikutipenyuluhan bersumber dari dirinya sendiri. Perempuan merasa tidak memiliki kemampuanuntuk bisa mengikuti alih teknologi melalui kegiatan penyuluhan. Hal ini sebagai akibat darirendahnya pendidikkan perempuan sehingga tidak memupunyai kesempatan untukmeningkatkan kualitas dirinya. Hal ini berdampak terhadap peningkatan kualitas sumber dayaperempuan yang mengakibatkan keterpurukan terhadap perempuan itu sendiri.
3.3 Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Kegiatan Penyuluhan di Subak GuamaPartisipasi perempuan pada kegiatan penyuluhan mulai dari tahap perencanaan sampai
pada tahap evaluasi. Berdasarkan hasil penelitian tingkat partisipasi perempuan pada kegiatanpenyuluhan “tergolong sangat rendah” dengan pencapaian skor 35,97%, hal tersebutmengartikan bahwa perempuan kurang memilikki peluang untuk merencanakan kegiatanpenyuluhan. Perempuan ahnya mengkiuti saja apa direncanakan oleh pihak laki-laki selakupelaksana penyuluhan. Tingkat partisipasi perempuan pada masing-masing tahap kegiatanpenyuluhan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.
119
Tabel 4. Rata-rata Persentase Skor Penilaian Tingkat Partisipasi Perempuan dalamKegiatan Penyuluhan pada Tahap Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi di Subak
Guama, Tahun 2016.
NoTahap Kegiatan
PenyuluhanSkor Penilaian
% Kategori
1 Perencanaan 35,97 Sangat rendah2 Pelaksanaan 70,03%. Tinggi3 Evaluasi 80,50 Tinggi
Rata-rata 62.167 Sedang
3.3.1 Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Tahap Perencanaan KegiatanPenyuluhanBerdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa tingkat partisipasi perempuan
dalam tahap perencanaan kegiatan penyuluhan termasuk kategori “sangat rendah” denganskor sebesar 35,90%. Hal ini menunjukan bahwa keterlibatan perempuan dalam tahapperencanaan kegiatan penyuluhan sangat rendah. Perempuan sangat kecil perannya dalamperencaan kegiatan penyuluhan yang berkaitan dengan waktu dan tempat pelaksanaan,materi, narasumber, fasilitas, biaya, metode, dan tujuan dari kegiatan penyuluhan tersebut.Data selengkapnya disajikan di dalam Tabel 5.
Tabel 5. Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Tahap PerencanaanKegiatan Penyuluhan, Tahun 2016
NoKriteria Persentase
skor (%)Kategori
Perencanaan
1Peserta penyuluhan menentukan Waktu dantempat pelaksanaan kegiatan penyuluhan
30,65sangatrendah
2Peserta penyuluhan menentukan materi yangakan diberikan 35,67
sangatrendah
3Peserta penyuluhan menentukan fasilitas yangdiperlukan dalam kegiatan penyuluhan 35,60
sangatrendah
4Peserta penyuluhan membicarakan biaya yangdihabiskan dalam kegiatan penyuluhan padasaat perencanaan
27,50sangatrendah
5Peserta penyuluhan menentukan metodepenyuluhan saat perencanaan 36,50
sangatrendah
6Peserta penyuluhan membicarakan tujuan yangingin dicapai dalam mengikuti kegiatanpenyuluhan
49,48 rendah
Rata-rata 35.90sangatrendah
120
Melalui Tabel 5 dapat diketahui bahwa peserta penyuluhan tidak dilibatkan dalammenentukan perencanaan waktu dan tempat penyuluhan. Karena penyuluh mengikutikegiatan penyuluhan yang telah ditetapkan oleh subak dan kegiatan penyuluhan biasanyadilakukan di balai subak, biasanya waktu penuluhan ditetapkan pada saat kegiatan rutinpertemuan subak. Sehingga dalam penetapan waktu dan tempat tidak ada pilihan lain selainmengikuti pertemuan yang dilakukan subak. Begitupula halnya dalam hal penetapan materipenyuluhan, metode penyuluhan, fasilitas penyuluhan dan biaya yang diperlukan dalamperencanaan perempuan atau peserta penyuluhan keterlibatanya sangat rendah. Begitu pulahalnya partisipasi perempuan dalam penetapan tujuan kegiatan penyuluhan tergolong rendah.Hal ini memberikan gambaran bahwa perempuan sangat jarang diajak berembug dalamtujuan dari kegiatan penyuluhan tersebut.
3.3.2 Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Tahap Pelaksanaan Kegiatan PenyuluhanDalam hal pelaksanaan kegiatan penyuluhan tanaman pangan yang dilakukan, hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi perempuan dalam tahap pelaksanaankegiatan penyuluhan termasuk kategori “Tinggi” dengan skor sebesar 70,03%. Hal inimenunjukan perempuan telah memiliki peran yang tidak jauh berbeda dengan laki-lakidalam pelaksanaan kgiatan penyuluhan pertanian. Dalam konteks ini yaitu dalam bidangpertanian. Kegiatan penyuluhan diberikan kepada perempuan agar dapat mengolah hasilpertanian dan mempunyai nilai jual yang tinggi. Partisipasi perempuan dalam tahappelaksanaan kegiatan penyuluhan meliputi: ketepatan waktu, metode, pengaturan tempat,partisipasi partisipan, dan kompetensi penyuluh dengan masing-masing perolehan skorseperti yang disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Tahap Pelaksanaan KegiatanPenyuluhan
No Indicator PartisipasiPersentaseskor (%)
Kategori
1Kegiatan penyuluhan dimulai tepat waktu
68,75 tinggi
2Peserta penyuluhan memahamimetode/teknik yang digunakan 65,50 sedang
3Peserta penyuluhan ikut pengaturan tempatposisi duduk 69,80 tinggi
4Peserta penyuluhan aktif bertanya danmember ide dalam kegiatan penyuluhan 70,5 tinggi
5Peserta penyuluhan sangat memahamimateri penyuluhan yang diberikan 75,60 tinggi
Rata-rata 70,03 tinggi
Pada Tabel 6 nampak pencapaian skor pada kriteria peserta penyuluhan mengikutisetiap tahap kegiatan penyuluhan mencapai skor 70.03.%, yang tergolong tinggi. Hal inimengindikasikan bahwa perempuan mengikuti kegiatan penyuluhan dengan tepat waktu, iniberarti bahwa sebagian besar peserta hadir tepat saat kegiatan penyuluhan. Selanjutnyaperempuan juga cukup mengerti dengan metode yang dipergunakan dalam kegiatanpenyuluhan tersebut dengan pencapaian skor 65,0% yang tergolong sedang. Hal inimengindikasikan bahwa perempuan sebagai peserta dalam kegiatan penyuluhan sebagian
121
dapat memahami dan sebagian tidak memahami metode yang dipergunakan dalam kegiatanpenyuluhan tersebut. Dapat dikatakan pula bahwa peserta penyuluhan masih ragu-ragudalam memahami metode penyuluhan yang dipergunakan.
Pada Tabel 6 nampak pula bahwa peserta penyuluhan ikut menata posisi duduk saatkegiatan penyuluhan berlangsung mencapai skor 69,80% dengan kreteria tinggi. Ini berartipeserta penyuluhan ikut mengatur posisi duduk dalam kegiatan penyuluhan supaya merasanyaman dalam mengikuti kegiatan penyuluhan terseut. Pada saat mengikuti kegiatanpenyuluhan perempuan aktif dalam bertanya dan mengemukakan ide-ide dengan pencapaianskor 70,50 yang tergplong tinggi. Hal ini berarti pula bahwa peserta penyuluhan mampumenjawab pertanyaan yang diberikan penyuluh. Selanjunya peserta penyuluhan sangatmemahami materi penyuluhan yang diberikan dan mencapai skor 75,60.% yang tergolongtinggi (Tabel 6).
3.3.3 Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Tahap Evaluasi Kegiatan Penyuluhan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa tingkat partisipasi perempuandalam tahap evaluasi kegiatan penyuluhan termasuk kategori “tinggi” dengan skor sebesar80,50%. Tingkat partispasi perempuan terhadap kegiatan evaluasi kegiatan penyuluhansedang karena pada tahap evaluasi akan lebih menambah pengetahuan dan akan lebih pahamterhadap materi yang telah disampaikan. Data selengkapnya disajikan di dalam Tabel 7.
Tabel 7. Tingkat Partispasi Perempuan dalam Tahap Evaluasi Kegiatan Penyuluhan
No
KriteriaPersentaseskor (%)
KategoriEvaluasi
1 Penyuluh menyertakan peserta penyuluhandalam evaluasi
79.50 Tinggi
2 Peserta penyuluhan selalu mengikuti tahapevaluasi 80.67 Tinggi
3 Peserta penyuluhan selalu mengadakanevaluasi setelah kegiatan penyuluhanberlangsung
81.33 Tinggi
Rataan skor 80.50 Tinggi
Tujuan dari kegiatan evaluasi ini, yaitu untuk menentukan arah penyempuranaankegiatan penyuluhan, untuk memberikan gambaran kemajuan pencapaian tujuan, untukperbaikan program dan rencana kerja, dan untuk mengukur efektifitas metode penyuluhanyang digunakan. Pada tahap evaluasi hal pertama yang dilakukan, yaitu pengumpulan dataatau informasi pada saat proses kegiatan sedang berlangsung, dan menggunakan informasi itusebagai cara untuk mengetahui kemajuan pelaksanaannya serta memastikan bahwa kemajuantelah dicapai sesuai jadwal waktu. Ini dimaksudkan untuk memantau sejauh mana suatuproses pendidikan telah berjalan sebagaimana yang direncanakan. Selanjutnya mengukursecara keseluruhan hasil perubahan yang terjadi sebagai akibat dilancarkannya suatu kegiatanpenyuluhan. Hal ini dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana perilaku peserta didik telahberpindah ke perilaku baru yang diharapkan terbentuk.
122
3.4 Faktor-faktor yang Berperan dalam Partisipasi Perempuan Dalam KegiatanPenyuluhan Pertanian
Beberapa faktor yang berperan dalam tingkat partisipasi perempuan terbagi atas duafaktor besar yaitu Faktor internal yang terdiri dari faktor pengetahuan, sikap, pendidikan danumur. Sementara Faktor ekstenal terdiri dari faktor materi penyuluhan, metode penyuluhan,kegiatan sosial, kegiatan ritual dan suasana kelompok. Hasil keseluruhan, faktor internalmemperoleh hasil skor rata-rata sebesar 76% dan faktor eksternal memperoleh skor rata-ratasebesar 80% dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian sehinggadapat dikatakan bahwa faktor internal dan faktor eksternal sama-sama memiliki peranan yangsangat tinggi.
3.4.1 Faktor Internal1. Faktor Pengetahuan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor pengetahuan memilikiperanan yang sangat tinggi dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatan penyuluhanpertanian, hal ini ditunjukkan oleh skor yang diperoleh 85%. Partisipasi perempuan dalammengikuti kegiatan penyuluhan pertanian dilakukan dengan alasan untuk meningkatkanpengetahuan dengan skor 90%, disamping itu pada saat mengikuti penyuluhan respondenmenganggap penting untuk mengikuti kegiatan penyuluhan guna menambah pengetahuandengan skor 89% dan setelah responden mengikuti kegiatan penyuluhan pengetahuanresponden menjadi meningkat, diperoleh skor 76%.
2. Faktor SikapBerdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor sikap memiliki peranan
yang sangat tinggi dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian,hal ini ditunjukkan oleh skor yang diperoleh 87%. Dimana responden menganggappenyuluhan yang diberikan menyenangkan diperoleh skor 85%, responden setuju terhadapkegiatan penyuluhan yang diberikan dengan skor 85% dan responden menerima kegiatanpenyuluhan yang diadakan dengan skor 87%.
3. Faktor PendidikanBerdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor pendidikan memiliki
peranan yang tinggi dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian,hal ini ditunjukkan oleh skor yang diperoleh 83%. Dimana pendidikan formal yang dimilikioleh responden berperan dalam meningkatkan partisipasi dalam kegiatan penyuluhanditunjukkan dengan skor 85% , 80% responden dapat memahami materi penyuluhan yangdiberikan, dan pendidikan non-formal yang dimiliki oleh responden berperan dalammemahami materi penyuluhan yang diberikan dengan skor 84%.
4. Faktor UmurSecara umum 89% responden setuju bahwa faktor umur memiliki peranan yang
sangat tinggi dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian. Dimanaumur responden berperan di dalam mengikuti kegiatan penyuluhan ditunjukkan dengan skor85%, disamping itu umur responden tidak menjadi halangan di dalam mengikuti kegiatanKWT dengan skor 95% dan 87% responden setuju bahwa umur responden berperan dalammeningkatkan partisipasi.
3.4.2 Faktor Ekternal1. Faktor Materi Penyuluhan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor materi penyuluhanmemiliki peranan yang tinggi dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatan penyuluhanpertanian yang ditunjukkan oleh skor sebesar 81%. Sementara alasan partisipasi perempuan
123
di Kelompok Wanita Tani Suka Makmur mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian adalahmateri penyuluhan sesuai dengan kebutuhan responden memperoleh skor 83%, 81% materipenyuluhan dapat diterapkan dalam kegiatan kelompok dan materi penyuluhan dapat diterima(diadopsi) oleh anggota kelompok mendapat skor 80%.
2. Faktor Metode PenyuluhanBerdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor metode penyuluhan
berperan tinggi dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatan penyuluhan pertaniandengan skor 80%. Hal ini dapat dilihat dari cara menyampaikan penyuluhan menarikdiperoleh skor 85%, disamping itu dapat dilihat juga cara menyampaikan penyuluhan mudahuntuk dipahami dengan skor 75% dan cara menyampaikan penyuluhan bervariasi (tidakmonoton) ditunjukkan oleh skor 81%.
3. Faktor Kegiatan sosialBerdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor kegiatan sosial tidak
menganggu partisipasi perempuan dalam kegiatan penyuluhan pertanian memiliki perananyang sangat tinggi ditunjukkan dengan perolehan skor sebesar 99%. Hal ini dapat dilihatbahwa kegiatan sosial seperti “mapitulung” tidak menganggu untuk mengikuti penyuluhandengan skor 99%, 97% responden menganggap kegiatan PKK tidak menganggu untukmengikuti penyuluhan dan 100% responden berpendapat kegiatan pesantian dan kesenianlainnya tidak menganggu untuk mengikuti penyuluhan.
4. Faktor Kegiatan ritualBerdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor kegiatan ritual memiliki
peranan yang sangat tinggi untuk tidak menganggu partisipasi wanita dalam kegiatanpenyuluhan pertanian yang ditunjukkan dengan skor 99%. Dimana hal tersebut ditunjukkanoleh kegiatan pelaksanaan upacara adat secara pribadi pada tingkat rumah tangga tidakmenganggu untuk mengikuti kegiatan penyuluhan yang mendapat skor 99%, 99% respondenjuga berpendapat kegiatan lainnya yakni kegiatan pelaksanaan upacara adat pada tingkatdadia/pemaksan tidak menganggu untuk mengikuti kegiatan penyuluhan dan untuk kegiatanpelaksanaan upacara adat secara kolektif pada tingkat Banjar/Desa tidak menganggu untukmengikuti kegiatan penyuluhan memperoleh skor 98%.
5. Faktor Suasana kelompokBerdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa 93% faktor suasana kelompok
memiliki peranan yang sangat tinggi dalam partisipasi perempuan mengikuti kegiatanpenyuluhan pertanian. Partisipasi perempuan dalam kegiatan penyuluhan pertanian itu91% didukung oleh suasana kelompok yang kondusif, selain itu 95% responden setujukekompakan dalam kelompok berperan di dalam mengikuti kegiatan penyuluhan sebesardan alasan lainnya kerjasama yang baik antar anggota KWT berperan 94% dalampartisipasi di kegiatan penyuluhan.
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 SimpulanBerdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1. Tingkat partisipasi perempuan dalam kegiatan penyuluhan tergolong “Sedang” denganrata-rata persentase 62,16.%. Tingkat partisipasi perempuan dalam tahap perencanaankegiatan penyuluhan sangat rendah dengan persentase 35,97%. Tingkat partisipasiperempuan dalam tahap pelaksanaan kegiatan penyuluhan tergolong “tinggi” denganpersentase 70,03%. Tingkat partisipasi perempuan dalam tahap evaluasi kegatanpenyuluhan tergolong tinggi dengan persentase 80,50%. %.
124
2. Faktor yang berperan dalam tingkat partisipasi perempuan terbagi atas dua faktor besaryaitu Faktor internal yang terdiri dari faktor pengetahuan, sikap, pendidikan dan umur.Sementara Faktor ekstenal terdiri dari faktor materi penyuluhan, metode penyuluhan,kegiatan sosial, kegiatan ritual dan suasana kelompok.
4.2 SaranBerdasarkan hasil penelitian dapat disarankan sebagai berikut.
1. Kegiatan penyuluhan perlu dilaksanakan secara lebih intensif diadakan terutama padapenyuluhan industri rumah tangga, karena kegiatan ini dapat dilaksanakan dirumahmasing-masing dan tidak mengganggu kewajiban perempuan, yaitu sebagai ibu rumahtangga.
2. Petani perempuan perlu lebih aktif lagi dalam mengikuti kegiatan penyuluhn danbekerjasama dengan pihak-pihak terkait sehingga diharapkan dapat meningkatkankemampuan dan pengetahuan anggota kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Astiti, Sri, Ni Wayan 1997. Peran Subak Gede Dalam Pelaksanaan Program Supra Insus diKabupaten Tabanan. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada,Yogyakarta.
Astiti, Sri, Ni Wayan 2012. Ketimpangan Gender dalam Pengelolaan Subak Guama,Kecamatan Marga, Tabanan Bali. Disertasi Program Pascasarjana, UniversitasUdayana.
Astiti, Sri, Ni Wayan 2013. Peran Gender Dalam Kegiatan Usahatani Padi Sawah, KasusSubak Guama, Kabupaten Tabanan Bali
Badan Pusat Statistik Propinsi Bali. 2012. Bali Dalam Angka tahun 2012. BPS Propinsi Bali.Chamber, Robert. 1999. PRA, Participatory Rural Appraisal, Memamahami Desa Secara
Partisipatif. Kanisius, Yogyakarta.Diniari F. Soe’oed. 2000. Perempuan dan Pekerjaan. Penyunting Sita Van Bemmelen,
Atashendartini H. Lugina Setyawati. Dalam Benih Bertumbuh. Kumpulan Karanganuntuk T.Omas Ihroni. Panitia Peringatan Ultah Ibu Ihroni ke 70 tahun. Bekerjasamadengan kedutaan besar Belanda.
Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender Transformasi Sosial. Insist Press. Yogyakarta.Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya di Indonesia. Pustaka
pelajar. Yogyakarta.Mikkelsen, Britha. 2001. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Uapaya Pemberdayaan,
Sebuah buku Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan. Yayasan Obor Indonesia.Rangkuti, Fredyy. 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Cetakan ke-6.
Jakarta PT Sun.Sugihastuti, Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan. Praktik Kritik
Sastra Feminis. Pustaka Pelajar.Sutawan, N. 2008.Organisasi Dan Manajemen Subak Di Bali. Pustaka Bali Post.Usman, Sunyoto. 2004. Kemitrasejajaran Wanita-Pria. Dalam Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.Vitalaya, Aida, S.Hubeis. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. IPBWindia, I Wayan. 2006. Tranpormasi Sistem Irigasi Subak yang berlandaskan Konsep Tri
Hita Karana. Balipost Press. Denpasar.Windia, I Wayan. 2008. Menuju Sistem Irigasi Subak yang Berkelanjutan di Bali. Pidato
Orasi Ilmiah Guru Besar, Sabtu, 29 Maret 2008. Universitas Udayana.
125
Windia, I Wayan.2009. Konsep Pengelolaan Kawasan Subak (perspektif Rencana WarisanBudaya Dunis dalam Kategaori Lanskap Budaya). Makalah disampaikan dalam acaraSosialisasi Pengelolaan Warisan Budaya Dunia. 16-17 Desember 2009. FakultasPertanian Universitas Udayana.
126
ALOKASI PEMBIAYAAN DANA KREDIT LPD PADA SEKTORPERTANIAN DI KABUPATEN GIANYAR
Putu Udayani Wijayanti, I Wayan WidyantaraProdi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana
Jln, PB Sudirman Denpasar BaliEmail: [email protected]
ABSTRACK
Local Bali Government Level I pass trough Decree of the Governor of Bali Number 972Year 1984 said to develop Village Credit Institution (LPD) in Bali Province, with the aim offurther simplifying rural communities in seeking business capital and to exploit the potential ofvillage communities in economic development and support the development of ruralcommunities. The presence of Village Credit Institution is one of strategic policy to increaserural communities prosperity.
The specific purpose of this study is to know the allocation of credit issued for various ruraleconomic activities and know the credit funds obtained by creditors, used for anything inagricultural activity.
Object of this research are two LPD which is purposively choosen with consideration ofthose LPD gives credit to the farmer (creditors). One of them are taken in sub urban area nearurban areas that is Traditional Village LPD of Blega in Blahbatuh sub-district and the other oneare taken in rural area that is Traditional Village LPD of Taro Kaja in Tegalalang sub-district.Related to the two research location because of allocated time and fund for the research.
The populations in this research are all of the creditors who borrowed credit fund from LPDand the samples taken by purposive random sampling from each LPD, where for the allocation ofcredit in the agricultural sector obtained each of 4 people as a sample. Data analysis that used aredescriptive qualitative to describe allocated fund credit used that the samples get at agriculturalsector.
The result of the research are credit distribution to the agricultural sector from LPD Blegaand LPD Taro Kaja as much as 7,49% from total credits, meanwhile total credit used by farmersin crop farming branch for both LPD are Rp. 18.500.000,-. Obtained data in the field, the creditfund obtained is greater for outside agricultural sector that is yadnya and build a house.Key Word : Allocation, Credit, Agricultural Sector
127
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu jaringan keuangan yang aktif dan sehat di pedesaan akan menunjang pertumbuhan
industri padat karya di pedesaan dan meningkatkan nilai tambah usaha kecil. Pada masa lalu
kendala utama dalam kebijaksanaan keuangan adalah masalah keseimbangan antara orientasi
pasar dan intervensi pemerintah, tetapi terdapat juga alasan-alasan khusus mengapa
demikian. Banyak negara yang sedang berkembang gagal menyelenggarakan sistem
keuangan di pedesaan yang baik dan mampu bertahan, walaupun bantuan keuangan untuk
orang-orang miskin di pedesaan merupakan agenda politik dan ekonomi yang utama di
negara-negara tersebut (Martokoesoemo, (1995) dalam Wirawati (2006))
Tujuan pembangunan pertanian adalah meningkatkan produksi pertanian, peningkatan
dan pemerataan pendapatan petani serta menciptakan kesempatan kerja di sektor pertanian.
Dalam hal ini pemerintah menyediakan sarana produksi pertanian seperti pupuk, obat-obatan,
bibit dan sejenisnya dengan harga yang terjangkau petani. Pemerintah juga menyediakan
kredit dengan harga yang rendah. Untuk tujuan tersebut Pemerintah Daerah Tingkat I Bali
melalui Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 972 Tahun 1984,
mengembangkan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Provinsi Bali, dengan tujuan untuk
lebih mempermudah masyarakat pedesaan di dalam mencari modal usaha dan memanfaatkan
potensi masyarakat desa dalam pembangunan ekonomi serta menunjang pembangunan
masyarakat pedesaan. Kehadiran Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan salah satu
kebijakan strategis untuk dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok masyarakat pedesaan
Keberadaan LPD sebagai kekayaan dan usaha ekonomi desa memiliki posisi strategis.
Manfaat langsung yang diterima krama desa adalah untuk kegiatan produksi atau sebatas
konsumsi. Idealnya masyarakat desa pekraman mampu memperoleh manfaat ekonomis dari
keikutsertaannya sebagai krama desa. Masyarakat desa adat/pakraman mempunyai
kesempatan yang lebih besar dalam memperoleh modal usaha LPD juga menjadi sarana
pembangunan fasilitas fisik desa, serta memberikan bantuan sosial masyarakat desa
adat/pakraman.
128
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Alokasi
Defenisi alokasi adalah penentuan banyaknya uang (biaya) yang disediakan untuk suatu
keperluan. Alokasi juga berarti pembagian biaya barang, jasa; pembagian jumlah segolongan
biaya kepada sejumlah rekening dengan tujuan mengidentifikasi biaya dengan produk yang
dihasilkan oleh barang atau jasa itu (http://www.artikata.com)
2.2 Pengertian dan Landasan Hukum Lembaga Perkreditan Desa
Lembaga Perkreditan Desa yang lebih popular dengan sebutan LPD adalah Lembaga
Keuangan yang dimiliki oleh Desa Pekraman dan dikelola oleh Desa Pekraman atau Desa Adat.
Fungsi dari LPD adalah sebagai wadah kekayaan desa yang berupa uang atau surat berharga
lainnya (Antara, 2009)
Status dari LPD merupakan Badan Usaha Milik Desa (BUMD). Jenis usaha yang
dijalankan LPD adalah jasa yang terdiri dari tabungan, deposito, dan kredit.
2.3 Defenisi, Prinsip, dan Fungsi Kredit
Undang-undang Perbankan No 7 Tahun 1992 mengungkapkan Pengertian Kredit merupakan
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bungan imbalan atau
pembagian hasil keuntungan.
2.4 Macam Kredit Berdasarkan Sektor Perekonomiannya
1. Kredit Pertanian, adalah kredit untuk perkebunan, peternakan dan perikanan
2. Kredit Pertambangan, ialah kredit untuk beraneka macam pertambangan
3. Kredit Ekspor-Impor, yaitu kredit untuk eksportir dan importir macam-macam barang.
4. Kredit Koperasi, adalah kredit untuk jenis-jenis koperasi
5. Kredit Profesi, adalah kredit untuk macam-macam profesi, misalnya dokter dan guru.
6. Kredit Perindustrian, adalah kredit untuk macam-macam industri kecil, menengah dan
besar.
129
2.5 Pengertian Usahatani
Menurut Soekartawi (1995), usahatani merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana
seorang petani mengalokasikan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien untuk
memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Usahatani juga merupakan kegiatan
usaha manusia untuk mengusahakan tanahnya. Pada akhirnya memperoleh hasil tanaman atau
hewan tanpa mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah yang bersangkutan untuk
memperoleh hasil selanjutnya.
2.6 Kontribusi dari Penelitian
Diharapkan dari penelitian ini diketahui alokasi kredit yang dikeluarkan untuk berbagai
kegiatan ekonomi pedesaan, serta mengetahui dana kredit yang diperoleh kreditor, digunakan
untuk apa saja dalam kegiatan pertanian.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Khusus Penelitian
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:
a. Mengetahui alokasi kredit yang dikeluarkan untuk berbagai kegiatan ekonomi pedesaan
b. Mengetahui dana kredit yang diperoleh kreditor, digunakan untuk apa saja dalam kegiatan
pertanian
3.2 Manfaat
Adapun urgensi dari penelitian ini adalah desa merupakan daerah penyokong dari suatu
wilayah Negara sehingga pembangunannya haruslah memegang peranan yang penting. Dalam
membangun sebuah desa harus ada lembaga penunjuang, salah satu lembaga penunjang yang
sangat penting di Bali adalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD), yaitu untuk memberikan
pinjaman modal bagi masyarakat guna melakukan usaha.
130
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di daerah Kabupaten Gianyar. Penentuan lokasi dilakukan
secara sengaja (purposive) berdasarkan atas pertimbangan daerah Kabupaten Gianyar
terdapat banyak lahan pertanian dan obyek pariwisata. Dimana hasil pertanian terserap
di sektor pariwisata, dan untuk meningkatkan hasil pertaniannya banyak petani yang
meminjam kredit ke LPD. Waktu penelitian dari bulan Maret-Oktober 2016.
4.2 Data Penelitian
Data penelitian dapat dijabarkan menjadi tiga antara lain: berdasarkan jenis data,
sumber data, dan metode pengumpulan data yang diuraikan sebagai berikut.
4.2.1. Jenis data
Jenis data yang dicari dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan data
kualitatif. Data kuantitatif adalah data yg dipaparkan dalam bentuk angka-angka.
Misalnya adalah luas sawah, jumlah kredit, dan proporsi kredit. Data kualitatif adalah
jenis data yang tidak berbentuk dalam angka tetapi merupakan uraian atau penjelasan
yang sifatnya menunjang. Misalnya adalah gambaran lokasi tempat penelitian dan
kehidupan petani di daerah tersebut.
4.2.2 Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah primer dan data
sekunder.
1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya melalui
metode wawancara dan observasi langsung seperti luas sawah, jumlah kredit, dan
proporsi kredit.
2. Data sekunder yaitu daya yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya
yang mampu memberikan informasi yang terikat dalam penelitian, seperti data
karakteristik sampel dan data tingkat pendidikan petani yang didapat dari data
Kepala Dusun setempat, profil Desa, serta data dari Biro Pusat Statistik
Denpasar.
4.2.3. Metode pengumpulan data
131
Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
Metode observasi
Metode ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung ke lokasi
penelitian
Wawancara
Peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah dirancang sebelumnya di
dalam kuesioner. Wawancara merupakan pengumpulan data yang diperoleh
dengan mewawancarai setiap responden yang telah ditentukan untuk
mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian
Studi dokumentasi
Adalah metode yang digunakan dengan cara mencatat semua dokumen dan
literatur yang ada demi kebutuhan penelitian
4.3 Variabel dan Pengukuran
Berdasarkan pada pokok permasalahan yang telah dirumuskan maka variabel
akan diukur dengan menggunakan frekwensi secara statistik, dimana akan dilihat berapa
alokasi masing-masing dana kredit yang diperoleh sampel untuk pertanian dalam arti
luas.
4.4 Populasi dan Sampel
Populasi merupakan kumpulan individu yang memiliki kualitas dan ciri-ciri yang
telah ditetapkan, sedangkan sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik
yang dimiliki populasi (Antara, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah dua LPD di
Kabupaten Gianyar.
Adapun dua LPD yang diambil sebagai lokasi penelitian dipilih secara purposive
(sengaja) dengan pertimbangan bahwa LPD tersebut memberikan kredit kepada
kreditor. Satu LPD diambil sebagai sampel terletak di daerah sub urban dekat dengan
perkotaan yaitu di Kecamatan Blahbatuh, dan satu di daerah pedesaan LPD Desa Taro
Kaja yaitu di Kecamatan Tegalalang. Terkait dengan jumlah LPD yaitu dua karena
pertimbangan waktu dan dana yang dialokasikan dalam penelitian ini.
Populasi dalam penelitian adalah semua kreditor yang meminjam dana kredit dari
LPD , terkait dengan jumlah sampel diambil secara proporsional random sampling
132
setiap LPD, dimana untuk alokasi kredit di sektor pertanian diperoleh masing-masing 4
orang sebagai sampel.
4.5 Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif
kualitatif, untuk mendeskripsikan alokasi penggunaan dana kredit yang diperoleh
sampel ke pertanian.
PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Sampel
Tingkat umur akan berpengaruh terhadap kemampuan seseorang untuk bekerja.
Semakin bertambah usia seseorang maka kemampuannya untuk bekerja semakin
menurun. Hal ini menandakan bahwa umur sangat berpengaruh terhadap produktivitas
kerja seseorang. Kisaran umur sampel di LPD Blega dan LPD Taro Kaja adalah 40
tahun – 70 tahun. Terdapat tujuh orang sampel yang berada pada rentang usia produktif,
dan satu orang di luar usia produktif.
Dilihat dari pemilikan dan penguasaan lahan, terdapat enam orang sampel yang
merupakan pemilik dari lahan garapan, dan dua orang berstatus menyakap. Untuk LPD
Blega variasi luas garapan 25-150 are dengan rata-rata adalah 75 are, status petani
adalah 75% adalah petani pemilik penggarap dan petani penyakap adalah 25%. LPD
Taro Kaja , variasi luas garapannya adalah 6-50 are dengan rata-rata 22 are. Status luas
garapannya adalah petani pemilik penggarap sebesar 75% dan petani penyakap adalah
25%. Untuk kedua LPD luas garapan milik sendiri berkisar antara 8-25 are, sedangkan
yang berstatus menyakap adalah kisaran 50-125 are.
5.2 Peranan LPD Desa Adat terhadap Masyarakat
Peranan LPD tidak terlepas dari tujuan utama LPD tersebut antara lain yaitu
mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui kegiatan menghimpun dana
seperti tabungan, deposito dan menyalurkan dana pinjaman kepada masyarakat desa
berupa kredit, menghapus gadai gelap dan sejenisnya, menciptakan pemerataan
kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja bagi krama desa, meningkatkan
133
daya beli masyarakat dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan peredaran uang di
desa.
5.3 Distribusi Kredit ke Beberapa Cabang Ekonomi
Adapun distribusi kredit ke berbagai cabang ekonomi yang disalurkan oleh LPD
Desa Adat Blega dan LPD Desa Adat Taro Kaja adalah 7,49% ke sektor pertanian,
2,57% ke sektor peternakan, 85,86% ke sektor perdagangan, ke sektor perindustrian
sebesar 2,79%, jasa sebesar 0,005%, dan lainnya 0,0001%.
5.4 Penggunaan Kredit oleh Petani pada Berbagai Cabang Usahatani
Dari 100% nilai kredit yang dikeluarkan oleh LPD Desa Adat Blega dan LPD
Desa Adat Taro Kaja kepada sampel, penggunaan kredit untuk tanaman pangan adalah
14, 91% (Rp. 18.500.000), peternakan 25,78% (Rp. 32.000.000), peralatan pertanian
14,50% (Rp. 18.000.000), dan sisa dari kredit sebesar Rp. 55.000.000 atau 44,72%
dialokasikan untuk luar usahatani.
Sisa kredit tersebut, dialokasikan untuk yadnya 36,04% dan untuk renovasi
rumah 63,96%. Sesuai dengan data di lapangan, bahwa kredit yang diberikan oleh LPD
kepada sampel, yang seharusnya diperuntukkan untuk pertanian tapi diperuntukkan
untuk luar sektor pertanian yaitu yadnya dan membangun rumah.
5.5 Penggunaan Kredit pada Usahatani Padi
Untuk LPD Desa Adat Blega, penggunaan kreditnya 21,43% (3 orang) digunakan
untuk sewa traktor, selanjutnya 28,57% (4 orang) menggunakan untuk membeli bibit,
21,43% (3 orang) untuk membeli obat-obatan, dan 28,57% (4 orang) untuk membeli
pupuk.
Penggunaan kredit pada usaha tani di LPD Desa Adat Taro Kaja adalah 30,77%
(4 orang) digunakan untuk membeli pupuk, persentase dan jumlah sampel yang sama
juga mengalokasikan kredit yang diberikan untuk menyewa traktor dan membeli bibit,
dan 7,69% (1 orang) menggunakan untuk membeli obat-obatan.
134
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Sesuai dengan data di lapangan, diperoleh hasil;
1. Distribusi kredit ke berbagai cabang ekonomi yang disalurkan oleh LPD Desa
Adat Blega dan LPD Desa Adat Taro Kaja adalah 7,49% ke sektor pertanian,
2,57% ke sektor peternakan, 85,86% ke sektor perdagangan, ke sektor
perindustrian sebesar 2,79%, jasa sebesar 0,005%, dan lainnya 0,0001%.
2. Dari 100% nilai kredit yang dikeluarkan oleh LPD Desa Adat Blega dan LPD
Desa Adat Taro Kaja kepada sampel, penggunaan kredit untuk tanaman
pangan adalah 14, 91% (Rp. 18.500.000), peternakan 25,78% (Rp.
32.000.000), peralatan pertanian 14,50% (Rp. 18.000.000), dan sisa dari kredit
sebesar Rp. 55.000.000 atau 44,72% dialokasikan untuk luar usahatani.
3. Sisa kredit dialokasikan untuk yadnya 36,04% dan untuk renovasi rumah
63,96%.
4. Pada LPD Desa Adat Blega, penggunaan kreditnya 21,43% (3 orang)
digunakan untuk sewa traktor, selanjutnya 28,57% (4 orang) menggunakan
untuk membeli bibit, 21,43% (3 orang) untuk membeli obat-obatan, dan
28,57% (4 orang) untuk membeli pupuk.
5. Penggunaan kredit pada usaha tani di LPD Desa Adat Taro Kaja adalah
30,77% (4 orang) digunakan untuk membeli pupuk, persentase dan jumlah
sampel yang sama juga mengalokasikan kredit yang diberikan untuk menyewa
traktor dan membeli bibit, dan 7,69% (1 orang) menggunakan untuk membeli
obat-obatan.
6.2 Saran
1. Sesuai dengan data di lapangan, bahwa kredit yang diberikan oleh LPD
kepada sampel, yang seharusnya diperuntukkan untuk pertanian tapi
diperuntukkan untuk luar sektor pertanian yaitu yadnya dan membangun
rumah, maka dapat disarankan kepada LPD tersebut untuk mengalokasikan
dana kredit lebih besar ke sektor pertanian
135
2. Bagi kreditor petani yang memperoleh kredit agar mengalokasikan dana yang
diperoleh ke sektor pertanian, dan tidak dipakai untuk diluar sektor pertanian
DAFTAR PUSTAKA
Antara, I Made. 2010. Bahan Ajar Mata Kuliah Metodelogi Sosek. Program StudiAgribisnis, Fakultas Pertanian, Unud.
Antara, I Putu Eka Budi Antara. 2015. Profil Lembaga Perkreditan Desa (LPD)Desa Pekraman Belega, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.Skripsi tidak dipublikasikan. Program Ekstensi, Fakultas Pertanian,Unud.
Anonim. 2016. Pengertian Kredit. http://www.artikelsiana.com./2015/07/kredit-pengertian-fungsi-unsur-macam-prinsip.html. Diunduh tanggal 9 Maret2016
Anonim. 2016. Pengertian Alokasi. http://www.artikata.com/arti-318525-alokasi.html
Dwisaputra, Kadek Agus. 2015. Kemampuan Petani dalam MengalokasikanBiaya pada Usahatani Jahe di Desa Taro, Kecamatan Tegalalang,Kabupaten Gianyar. Skripsi tidak dipublikasikan. Program StudiAgribisnis, Fakultas Pertanian, Unud.
Kasmir. 2002. Dasar-dasar Perbankan. Jakarta: PT RajaGrafindo PersadaPutra, IB. Bima Pratama. 2014. Pengelolaan Resiko pada Organisasi Lembaga
Perkreditan Desa (LPD) (Studi Kasus: LPD Desa Ketewel, KecamatanSukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.)
Rismawati, Ni Wayan. 2014. Tugas Bank.http://rismameiky.blogspot.co.id/2014/05/tugas-bank-lembaga-keuangan.html
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. JakartaSuarmanayasa, I Nengah dan I Wayan Suwendra, Gede Putu Agus Jana Susila. 2014.
Analisis Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pemberian Kredit oleh LPD diKabupaten Bangli. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 3 No.1 April2014 ISSN 2303-2898
Wirawati, I Gusti Ayu Agung Sri. 2006. Evaluasi Kinerja Finansial LPD DesaAdat Lipah. Kecamatan Petang, Kabupaten Badung (Pendekatan RasioKeuangan). Skripsi tidak dipublikasikan. Jurusan Sosial EkonomiPertanian, Fakultas Pertanian, Unud.
136
KEMANDIRIAN PETANI PERKOTAAN DALAMMENGEMBANGKAN AGRIBISNIS SAYURAN DI KOTA
DENPASAR
Ni Luh Prima Kemala Dewi1), Ni Wayan Putu Artini 2)
E-mail: [email protected]) 2)Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana
ABSTRACT
In the face of the difficulty of farming in urban areas, it takes independenceon every individual farmer. Independece of vegetable farmers means their ability toexploit their inner potential to fulfill their needs and be able to cooperate with others.This research aim are to find out how far the level of independence of vegetablefarmers in urban areas in managing vegetable agribusiness and to examine the factorsthat influence the independence.
Population for this research are all of vegetable farmers in Denpasar. Thenumber of samples taken as many as 35 farmers using the Snowball SamplingMethods, that is sampling based on previous sample searches. Information sourcescomes from first farmer to the second farmers, form the second farmer to the thirdand so on. Analysis used in this research are descriptive qualitative methods based onpermormance of farming, factors that influence to farmers independence, farmersindependence level viewed from capital, production and marketing aspect, and buildfamers indepence in urban area.
The result of the research indicates that vegetables farming system inDenpasar can be classified as a traditional and simple farming system. In general,variants of vegetables which can be cultivated are : watercress, ground kale, longbeans, red spinach, green spinach, white spinach, green vegetables, purple eggplant,pare, round eggplant, spinach cut and basil. The management of vegetables farmingdone by farmers in Denpasar city is still traditional, capital management/finance isstill not done well, the level of independence of vegetable farmers in thedevelopment of vegetable agribusiness is also low.
To improve the bargaining position of vegetables farming, the localgovernment need to intervene through the extension worker which help farmers tohave more significant role in farmers group to strengthen their position against thebuyer. The farmers have to increase the market share in local level, both inside andoutside Denpasar City. Need to diversify vegetable farming from traditional systemsthat rely on nature to a more controlled system, because with this system the qualityof vegetables can be better, so the vegetables have a high selling price in the market.
Key Word : Independence, Farmers, Vegetables, Urban
137
PENDAHULUAN
Latar BelakangUsaha agribisnis sayuran merupakan sumber pendapatan tunai bagi petani
sebagai sumber pendapatan keluarga oleh karena ditunjang oleh potensi lahan daniklim, potensi sumber daya manusia serta peluang pasar domestik dan internasionalyang sangat besar. Selain sebagai komoditas unggulan, komoditas sayuran jugaberperan sebagai sumber gizi masyarakat, penghasil devisa negara, penunjangkegiatan agrowisata dan agroindustri. Provinsi Bali yang berkembang sebagai daerahtujuan pariwisata utama di Indonesia, seiring dengan pesatnya kemajuan Provinsibali di bidang pariwisata, mendorong banyak berdirinya hotel, restoran dan rumahmakan yang membutuhkan berbagai macam sayuran segar.
Tingginya permintaan akan sayuran di kota Denpasar tidak diiringi olehproduksi sayuran yang dihasilkan oleh petani di Kota Denpasar. Kota denpasar padatahun 2014 hanya mampu memproduksi 1.712 Ton sayuran jauh dari total sayuranyang dibutuhkan oleh Kota Denpasar (BPS, 2015). Tantangan yang dihadapi untukpengembangan pertanian di wilayah perkotaan antara lain keterbatasan lahan,keterbatasan pengetahuan dan teknologi, keterbatasan waktu yang bisa dicurahkan,dan yang tidak kalah pentingnya adalah keterbatasan media tanam.
Pertanian perkotaan merupakan sebuah upaya pemanfaatan ruang minimalisyang terdapat di perkotaan supaya dapat menghasilkan produksi yang diinginkan.Produksi ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan, kenyamanan hidupditengah polusi udara perkotaan dan menghadirkan nuansa estetika dirumah kota.Keterbatasan lahan, jarak perkotaan yang jauh dari sumber produksi panganbukanlah hal yang menjadi hambatan untuk mengaktualkan potensi nilai ekonomiyang dimiliki lahan perkotaan (Yenisbar dan Rawiniwati; 2012).
Dalam menghadapi sulitnya berusahatani di daerah perkotaan, diperlukankemandirian pada setiap individu petani. Kemandirian petani sayuran dalam hal iniadalah kemampuan mereka untuk memanfaatkan potensi dirinya sendiri dalammemenuhi kebutuhan hidupnya dan mampu bekerjasama dengan orang lain.Kemandirian petani sayuran dalam mengelola usahanya dapat dicirikan olehkemampuan mereka untuk menentukan pilihan dalam mengelola usahanya, sehinggamereka memperoleh keuntungan atas hasil kerja kerasnya. Aspek-aspek tersebutadalah: (1) permodalan dan keuangan, (2) produksi dan (3) pemasaran. Sejauh manatingkat kemandirian petani sayuran di daerah perkotaan dalam mengusahakanusahataninya dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemandirian tersebutsangat penting untuk dikaji, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai upaya untukmeningkatkan pengembangan agribisnis sayuran di daerah perkotaan, yang nantinyabermanfaat bagi pembentukan petani yang tangguh dan mandiri. Berdasarkanpermasalahan yang telah diuraikan sangat menarik untuk dikaji tentang upayamemandirikan petani sayuran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana tingkat kemandirian petani sayuran di daerah perkotaan dalam mengelolaagribisnis sayuran dan mengkaji faktor-faktor apa saja yang mempengaruhikemandirian tersebut.
138
KAJIAN PUSTAKA
Konsep Kemandirian
Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007:148) menyatakan bahwa pemberdayaanmasyarakat dengan sendirinya berpusat pada bidang ekonomi karena sasaranutamanya adalah kemandirian masyarakat. Orang yang telah mencapai tujuankolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan keharusan untuklebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan,keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpabergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.
Menurut Basri dalam Rukhil Isnaini (2004) menyatakan bahwa dalam artipsikologi, kemandirian mempunyai pengertian sebagai keadaan seseorang dalamkehidupannya yang mampu memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuanorang lain. Kemampuan tersebut hanya akan diperoleh jika seseorang mampu untukmemikirkan secara seksama tentang sesuatu yang dikerjakannya dan diputuskannya,baik dari segi manfaat atau kerugian yang akan dialaminya.
Sistem AgribisnisAgribisnis merupakan Sistem usaha pertanian dalam arti luas tidak
dilaksanakan secara sektoral tetapi secara intersektoral atau dilaksanakan tidak hanyasecara subsistem melainkan dalam satu sistem (Saragih, 2001). Agribisnis adalahsuatu usaha tani yang berorientasi komersial atau usaha bisnis pertanian denganorientasi keuntungan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh agar dapatmeningkatkan pendapatan usahatani adalah dengan penerapan konsep pengembangansistem agribisnis terpadu, yaitu apabila sistem agribisnis yang terdiri dari subsistemsarana produksi, subsistem budidaya, subsistem pengolahan dan pemasarandikembangkan melalui manajemen agribisnis yang baik dan dalam satu sistem yangutuh dan terkait (Said et al., 2001). Sistem Agribisnis mencakup 4 (empat) hal,Pertama, industry pertanian hulu yang disebut juga agribisnis hulu atau up streamagribinis,yakni industri–industri yang menghasilkan sarana produksi (input)pertanianseperti industri agro-kimia (pupuk, pestisida dan obat- obatan hewan),industryagro-otomotif (alat dan mesin pertanian, alat dan mesin pengolahan hasilpertanian) dan industri pembibitan/perbenihan tanaman/hewan. Kedua,pertaniandalam arti luas yang disebut juga on farm agribisnis yaitu usaha taniyang meliputibudidaya pertaniaan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,peternakan dankehutanan.Ketiga, industri hilir pertanian yang disebut juga agribisnis hilir atau downstream agribusiness, yakni kegiatan industri yang mengolah hasil pertanian hasilpertanian menjadi produk olahan baik produk antara maupun produk akhir.Keempat,jasa penunjang agribisnis yakni perdagangan, perbankan, pendidikan, pendampingandari petugas ataupun tenga ahli serta adanya regulasi pemerintah yang mendukungpetani.dan lain sebagainya.
139
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis keragaan pengelolaan usahatani sayuran yang dilakukan oleh petanidi Kota Denpasar.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian petani sayurandalam menjalankan usaha agribisnisnya, meliputi factor internal dan eksternal.
3. Menganalisis tingkat kemandirian petani sayuran di Kota Denpasar dalammengelola usaha agribisnisnya, meliputi aspek modal, produksi dan pemasaran.
4. Membangun model kemandirian petani di daerah perkotaan dalammengembangkan usaha agribisnis.
Manfaat Penelitian
Kemandirian petani menjadi sangat penting di era global ini karenaterbukanya pengaruh luar yang sangat besar terhadap produk usahatani. Merekadapat lebih mandiri dalam melaksanakan usahataninya, yang dicirikan olehkemampuannya dalam mengambil keputusan berusahatani secara kritis,meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki, dan meningkatkanproduktivitas kerjanya.
Urgensi dari penelitian ini adalah keberhasilan dalam mengelola usahatanisayuran, tidak hanya tergantung pada keterampilan petani dalam membudidayakan,tetapi juga aspek produksi, pemasaran dan permodalan memegang peran sangatpenting. Dalam hal ini petani sayuran di daerah perkotaan masih memilikiketerbatasan dalam produksi, permodalan dan pemasaran.Potensi hasil yang bisadidapat hingga akhir masa penelitian adalah agar mereka menjadi petani yangtangguh dan mandiri dalam mengelola agribisnis sayuran di tengah pesatnyapembangunan di daerah perkotaan.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini direncanakan selama 10 bulan yaitu dari Maret – Oktober 2016.Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Denpasar, Kota Denpasar dipilih sebagailokasi penelitian karena Kota Denpasar merupakan ibu kota Provinsi Bali, banyakdijumpai petani yang masih memanfaatkan lahan tidur yang sempit untukberusahatani sayuran.
Data, Sampel, dan Analisis DataData primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya
melalui metode wawancara dan observasi langsung seperti luas sawah. Datasekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya yangmampu memberikan informasi yang terikat dalam penelitian, seperti datakarakteristik sampel dan data tingkat pendidikan petani yang didapat dari dataKepala Dusun setempat, profil Desa, serta data dari Biro Pusat Statistik Denpasar.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani sayuran di Kota Denpasar.Jumlah sampel yang diambil sebanyak 35 petani. Menurut Roscoe dalam Sugiono
140
(2011:90) ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 sampaidengan 500.
Teknik pengumpulan data di gunakan metode Snowball Sampling, metode inidigunakan karena jumlah petani sayuran di kota denpasar tidak diketahui. MetodeSnowball Sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan penelusuran sampelsebelumnya. Sumber informasi petani pertama, mengarah kepada informasi petanikedua, lalu informasi ke petani tiga dan seterusnya.
Metode analisis yang digunakan adalah deskriptive kualitatif mengenaikeragaan usahatani, faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian petani, tingkatkemandirian petani yang dilihat dari aspek modal, produksi dan pemasaran , danmembangun kemandirian petani di perkotaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Pengelolaan Usahatani Sayuran yang dilakukan oleh Petani di KotaDenpasar
Sistem usahatani sayuran di Kota Denpasar dapat digolongkan sebagai suatusistem usahatani yang masih tradisional dan sederhana. Secara umum jenis sayuranyang dibudidayakan meliputi: kangkung air, kangkung darat, kacang panjang, bayammerah, bayam hijau, bayam putih, sayur hijau, terong ungu, pare, terong bulat,bayam potong dan kemangi. Pemilihan jenis tanaman dilakukan petani dengan alasansayuran tersebut mudah terjual, proses budidaya mudah dilakukan, harga yangprospektif, tingginya permintaan pasar, waktu pemanenan cepat, pemeliharaan yangmudah, harga stabil dan lain sebagainya.
Harga jual sayuran yang dibudidayakan berbeda – beda tergantung jenissayur dan kondisi cuaca. Kisaran harga untuk kangkung Rp 500,00 – Rp 1.000,00 perikat. Apabila cuaca sedang tidak mendukung maka jumlah dalam satu ikat lebihsedikit dari biasanya. Begitu pula untuk jenis sayur lainnya. Dalam satu hari petanidapat menjual Rp 50.000,00 – Rp 100,000,00 sayur, namun jumlah ini tidak menentusetiap harinya. Sistem pembayaran ada yang dilakukan langsung saat pemasaran(saat jual beli langsung di lahan), keesokan harinya setelah barang habis dan ada pulayang dibayar dua hari kemudian.
Saluran pemasaran dalam penelitian ini terbatas pada pemasaran yangdilakukan oleh petani responden. Saluran pemasaran pertama, petani menjuallangsung ke pedagang pengumpul di pasar, warung dan rumah makan di sekitarlahan. Resiko yang ditanggung petani, seperti mengeluarkan biaya transportasi,hambatan diperjalanan, dan kerusakan barang. Keuntungan dari pengiriman langsungke pedagang adalah jumlah barang yang terjual dan harga yang diterima petani sesuaidengan kondisi pasar serta dapat menjangkau lebih banyak pelanggan. Saluranpemasaran kedua, pedagang pengumpul atau pembeli membeli saluran secaralangsung di lahan.Petani sedikit mengeluarkan biaya pemasaran tetapi terjadipenawaran jumlah sayur dan harga yang tidak sesuai kondisi pasar.
Pupuk digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas sayuranyang dibudidayakan. Jenis pupuk yang digunakan beraga yaitu pupuk urea, TSP,grandtonik (pupuk daun), NPK, KCL, phonska dan pupuk kandang. Aksesmemperoleh pupuk dinilai mudah dengan membeli di gapoktan (subak) dan kiospertanian di sekitar lahan.Begitu pula akses untuk memperoleh benih dan obat-obatan.
141
Dalam menjalankan kegiatan usahatani, petani menggunakan peralatanpertanian yang akan memperlancar dan membantu aktivitas petani. Peralatanusahatani yang digunakan masih sederhana yaitu cangkul, sabit, ember, sprayer,pisau, bambu penyangga, gunting dan mesin pompa air.Keberadaan peralatan iniharus dimiliki petani. Akses untuk memperoleh peralatan pertanian cukup mudahdengan membeli di gapoktan (subak) dan kios pertanian di sekitar lahan.
Sebaik apapupun pemeliharaan yang dilakukan, proses budidaya dataranrendah memiliki beberapa kendala yang dihadapi petani.Budidaya sayuran selaludilakukan sepanjang musim baik musim kemarau maupun musim hujan karenakonsumen menyukai produk segar. Musim hujan memudahkan petani memperolehair tetapi kendala perubahan fisik sayur muncul mengancam menurunnya mutuproduk seperti percepatan perkembangan pathogen baik jamur maupun bakteri,terganggunya keseimbangan nutrisi, kerusakan fisik dan robohnya tanaman. Musimkemarau ketersediaan air pada dataran rendah terbatas. Debit air yang berkurangmenjadi permasalahan bagi pertanian perkotaan. Terbaginya air untuk berbagaikebutuhan umum dan tertutupnya saluran irigasi selalu menjadi permasalahan yangbelum terselesaikan.Pilihan untuk berhenti menanam sayur kerap dilakukan petani.Selain itu, intesitas serangan hama dan penyakit pada dataran rendah lebih tinggidaripada di dataran tinggi. Adapun serangan hama dan penyakit yaitu jenis wereng,ulat, kutu, dan belalang. Sehingga penggunaan pestisida menjadi suatu kebutuhanuntuk mencegah gagal panen.Menganalisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Petani Sayurandalam Menjalankan Usaha Agribisnisnya1. Faktor Internal
Faktor internal petani sayuran yang dilihat dalam penelitian ini adalah sebagaiberikut:a. Usia: Petani yang menjadi responden berusia antara 26-76 tahun, namun
sebagian besar responden berada pada usia 36-45tahun (37,14%) yaitu masadewasa akhir atau dalam usia produktif.
b. Pengalaman usaha: mayoritas petani responden memiliki pengalamanberusahatani 0–7 tahun atau sebesar 40%. Hal ini menunjukkan perkembanganpetani sayur di Kota Denpasar tergolong baru.Sumber informasi yang diterimasebatas dari lingkungan sekitar yang saling bertukar informasi.
c. Pendidikan : tingkat pendidikan petani responden cukup bervariasi denganresponden terbanyak menempuh tamat SD (42,86%).
d. Status kepemilikan lahan : mayoritas petani sayur menyewa lahan usahatani.Petani sayur yang berusahatani di Kota Denpasar dominan berasal dari luarKota Denpasar yang mencari penghasilan dengan memanfaatkan lahan-lahansempit yang masih bisa dimanfaatkan. Sistem pembayaran sewa bergantungkesepakatan antara pemilik lahan dan penyakap. Kesepakatan sistempembayaran yaitu membayar biaya sewa Rp 10.000,00 /are/bulan ; Rp40.000,00 /are/3 bulan ; Rp 11.000,00 /are/bulan ; Rp 15.000,00 /are/bulan ;Rp 50.000,00/are/4 bulan ; Rp 50.000,00/are/ 6 bulan ; Rp 250.000,00/are/ 15bulan ; Rp 800.000,00/15 are/4 bulan ; satu kali panen padi membayar Rp1.000.000,00 ; sistem bagi hasil 1:1 / 3 bulan ; dan sistem bagi hasil 2:1 sesuaidengan harga padi yang sedang berlaku.
e. Luas lahan Garapan : Luas lahan garapan petani responden berkisar antara0,015 hingga0,35 hektar. Luas garapan petani responden relatif kecil yaitu
142
34,29 persen memiliki lahan garapan dengan luas antara 0,015 – 0,05hektar.Usahatani sayuran yang dilakukan di Kota Denpasar belum menjadiprioritas utama, usahatani inidilakukan sebagai penambahan income dalamwaktu yang lebih cepat dan pemanfaatan lahan. Namun tidak dipungkiriketersediaan lahan dan ketersediaan tenaga kerja menjadi kendala peningkatanluas area budidaya.
f. dan jenis sayur yang dibudidayakan: Dari 35 petani responden di KotaDenpasar diperoleh 12 jenis sayuran yang diusahakan. Distribusi jenissayuran. Bayam cabut hijau dan kangkung darat paling banyak diusahakanyakni sebesar 19,44%. Alasan dari pemilihan jenis ini karena prosespenanaman yang mudah, tanaman ini memerlukan perawatan yang dianggapmudah, waktu panen yang cepat untuk sayur kangkung darat dan bayam cabuthijau memerlukan waktu 30 – 45 hari dalam satu musim tanam.Selain ituakses dan permintaan pasar mendukung usahatani kangkung darat dan bayamvabut hijau.
2. Faktor EksternalFaktor Eksternal petani sayuran yang dilihat dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.a. Ketersediaan media massa: Ketersediaan media massa pada petani responden
di daerah penelitian secara total tergolong pada kategori rendah.Tingkatanyang rendah ini dapat menggambarkan bahwa budaya membaca padamasyarakat desa masih sangat rendah, dan sebaliknya budaya lisan masihmelekat kuat dalam masyarakat.
b. Sumber informasi : Petani responden lebih suka mencari informasi ke pihakyang paling dekat dan telah berhasil dalam usahataninya, sepertipada teman(petani sayur lainnya), pedagang sarana-prasarana pertanian, danpihak-pihakdalam jalur pemasaran (supplier, pedagang lokal) dibandingkan mencariinformasi pada media massa, buku atau penyuluh pertanian.
c. Kemitraan : Kemitraan petani dengan pihak pemasaran masih termasukdalam kategori sederhana, lokasi pemasaran untuk memenuhi kebutuhan localdaerah-daerah sekitar.
Menganalisis Tingkat Kemandirian Petani Sayuran di Kota Denpasar dalamMengelola Usaha Agribisningnya, Meliputi Aspek Modal, Produksi danPemasaran1. Aspek Modal
Secara umum petani sayuran di Kota Denpasar sudah dapat dikatakan mandiriapabila di lihat dari aspek modal, hal ini terlihat dari seluruh responden hanya satupetani yang meminjam modal dari LPD. Tetapi kemandirian petani sayuran di KotaDenpasar apabila dilihat dari aspek yang lebih besar yaitu permodalan dan keuanganpada umumnya masih tergolong rendah. Pengelolaan keuangan usaha yang masihbelum dilakukan dengan baik, misalnya tidak ada pencatatan tentang jumlah biayayang dikeluarkan atau jumlah penerimaan hasil produksi.Jumlah modal yangdigunakan dalam satu siklus produksi tidak diperhitungkan secara pasti hanyadiperkirakan secara umum.Namun demikian, untuk aspek sumber modal sebagianbesar responden memiliki skor kemandirian yang tinggi, yaitu modal yang digunakanadalah berasal dari milik sendiri.
143
2. Aspek ProduksiTingkat kemandirian aspek produksi petani di Kota Denpasar cenderung
tergolong rendah. Parameter aspek produksi ini terdiri dari: sumber benih, peralatan,kecukupan air, pemupukan dan harga pupuk. Pengetahuan responden terhadappemilihan benih yang bermutu pada umumnya sudah sangat baik, yaitu denganmendapatkan benih dari toko pertanian dan Gapoktan.
Kemandirian responden dalam pemilikan peralatan dilihat dari kecukupanalat yang digunakan untuk usahatani sayuran.Rata-rata mereka menyatakan bahwaperalatan yang dimiliki sudah cukup, tetapi harga dari peralatan tersebut masihrelative mahal, meskipun peralatan tersebut bukan dari jenis elektronik, seperticangkul, sabit, alat siram, selang dan mesin pompa air.
Kemampuan petani sayuran dalam menyediakan air secara teratur dalamusahatani sayuran juga berperan dalam menentukan kemandirian responden untukaspek produksi. Irigasi sawah yang menjadi sumber pengairan, selalu menyediakanair secara penuh baik di musim hujan maupun kemarau selama tidak ada perbaikanirigasi.
Kemandirian responden dalam menyediakan pupuk kimia maupun organik,terlihat dari kemampuan mereka membeli pupuk tersebut.Sebesar 42,85% petaniresponden keberatan dengan harga pupuk, 17,14% sangat keberatan dan 40% tidakkeberatan dengan harga pupuk saait ini. Pupuk yang digunakan antara lain urea,ponska, NPK, pupuk daun dan pupuk kandang.3. Aspek Pemasaran
Kemandirian petani sayuran dalam aspek pemasaran di Kota Denpasartergolong rendah.Menurut hasil survey, petani responden (88,57%) menyatakanbahwa mereka akan menanam sayuran sebanyak-banyaknya meskipun harga jualnyarendah, dengan alasan karena harga jual sayuran rendah, maka agar dapatmenghasilkan penerimaan yang besar harus menghasilkan jumlah sayuran yangsebanyak-banyaknya. Padahal dengan anggapan demikian akan mengakibatkanketersediaan (supply) sayur menjadi tinggi, sedangkan permintaan (demand) tetap.Berdasarkan penawaran-permintaan, yaitu jika penawaran meningkat sedangkanpermintaan tetap, maka akan mengakibatkan harga turun (Mubyarto, 1986).
Model Kemandirian Petani Sayuran di Daerah Perkotaan DalamMengembangkan Usaha Agribisnis
Guna meningkatkan posisi tawar petani sayuran terhadap hasil produksinya,perlu upaya membantu mengaktifkan kembali kelompok tani yang sudah adasekaligus membinanya, karena melalui kelompok tani, petani sayuran dapat bersatuuntuk memperkuat posisinya terhadap pembeli.Selain itu mengembangkanpenyuluhan agribisnis sayuran, baik oleh instansi pemerintah daerah, perguruantinggi, maupun instansi swasta yang tidak hanya dengan pemberian materi padaaspek produksi melainkan juga aspek pengelolaan modal dan keuangan, serta aspekpemasaran.
Kerjasama vertical maupun horizontal juga perlu dijalin oleh petani sayuran diKota Denpasar.Menjalin kerjasama antara pihak-pihak terkait (stake holder) dalamagribisnis sayuran, seperti petani sayuran, supplier, agen, eksportir, maupun instansiPemerintah Daerah Kota Denpasar (Kantor Dinas Pertanian) dan Pemerintah Pusat(Kementerian Pertanian).
144
Perlu diversifikasi usahatani sayuran dari sistem tradisional yangmengandalkan pada alam ke sistem yang lebih terkontrol, karena dengan sistem inikualitas sayuran dapat menjadi lebih baik , sehingga sayuran tersebut memiliki hargajual tinggi di pasar. Untuk itu, perlu bantuan dan pembinaan bagi petani agar merekamemiliki kemampuan dan kemandirian dalam pengadaan modal, mengelolakeuangan, keterampilan berproduksi, kemampuan menganalisa pasar, dan memilikiposisi tawar yang tinggi terhadap pembeli.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian dan hasil analisis yang telah dilakukan dapatdisimpulkan berbagai simpulan yaitu sebagai berikut.Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh beberapakesimpulan sebagai berikut:1. Pengelolaan usahatani sayuran yang dilakukan petani di Kota Denpasar
umumnya masih bersifat tradisional dan belum dilakukan secara tepat sesuaidengan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik, seperti terlihat darikeragaan usahanya yang masih menggantungkan pada kondisi alamdibandingkan dengan pengendalian dari manusia.
2. Pengelolaan modal/keuangan maupun pemasaran yang dilakukan oleh petanisayuran di Kota Denpasar umumnya juga masih belum dilakukan secara baik,misalnya tidak ada perencanaan alokasi penggunaan modal usaha atau mencatatpenerimaan dan pengeluaran keuangan. Dalam hal pemasaran kurangmenyesuaikan jenis, ukuran, dan jumlah produksi dengan tingkat permintaanpasar
3. Tingkat kemandirian petani sayuran dalam pengembangan agribisnis sayurantergolong rendah. Tingkatan yang cenderung rendah ini dipengaruhi olehketerbatasan kemampuan petani dalam mengelola usahanya, seperti modal, inputproduksi, maupun keterbatasan informasi pasar, sehingga berakibat pada posisitawar (bargainingposition) petani yang rendah.
Berdasarkan penelitian dan hasil analisis tersebut, akan direkomendasikanbeberapa saran yaitu.1. Guna meningkatkan posisi tawar petani sayuran terhadap hasil produksinya,
perlu upaya membantu mengaktifkan kembali kelompok tani yang sudah adasekaligus membinanya, karena melalui kelompok tani, petani sayuran dapatbersatu untuk memperkuat posisinya terhadap pembeli. Dalam hal inipelaksanaan di lapangan dapat dilakukan oleh penyuluh lapangan (PPL) dibawah koordinasi Balai Informasi Penyuluh Pertanian (BIPP) bekerjasamadengan Kantor Dinas Pertanian Kota Denpasar.
2. Mengembangkan penyuluhan agribisnis sayuran, baik oleh instansi pemerintahdaerah, perguruan tinggi, maupun instansi swasta yang tidak hanya denganpemberian materi pada aspek produksi melainkan juga aspek pengelolaan modaldan keuangan, serta aspek pemasaran.
3. Menjalin kerjasama antara pihak-pihak terkait (stake holder) dalam agribisnissayuran, seperti petani sayur, supplier, agen, eksportir, maupun instansiPemerintah Daerah Kota Denpasar (Kantor Dinas Pertanian) dan PemerintahPusat (Kementerian Pertanian).
145
4. Meningkatkan pangsa pasar sayuran di tingkat lokal baik di wilayah kotaDenpasar maupun luar kota Denpasar
5. Perlu diversifikasi usahatani sayuran dari sistem tradisional yang mengandalkanpada alam ke sistem yang lebih terkontrol, karena dengan sistem ini kualitassayuran dapat menjadi lebih baik, sehingga sayuran tersebut memiliki harga jualtinggi di pasar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Melalui e-jurnal ini saya mengucapkan terima kasih kepada Petani sayur diKota Denpasar telah diberikan izin untuk penelitian di tempat ini, sehingga sayadapat menyelesaikan e-jurnal ini dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2015. Denpasar Dalam Angka. Kota DenpasarYenisbar & Rawiniwati.2012.Pertanian Perkotaan Dengan Sistem Vertikultur.Wrihatnolo, Randy dan Riant Nugroho Dwidjowijoto. 2007. Manajemen
Pemberdayaan, Sebuah Pengantar dan Panduan untuk pemberdayaanMasyarakat. PT Gramedia. Jakarta.
Rukhil Isnaini. 2004. Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Layanan PembelajaranTerhadap Motivasi Belajar di Kelas II SLTP Negeri 1 Doro Pekalongan TahunPelajaran 2003/2004 .Universitas Negeri Semarang. Semarang
Saragih, Bungaran. 2001. Suara Dari Bogor Membangun Sistim Agribisnis.PenerbitYayasan USESE bekerjasam dengan Sucofindo.
Said, E. G., dan A. H. Intan. 2001. Manajemen Agribisnis. Kerjasama PT GhaliaIndonesia dengan MAA-IPB.
Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung:Alfabeta.