seminar hasil penelitian rumah ibadah bersejarah di

13
Seminar Hasil Penelitian Rumah Ibadah Bersejarah di Propinsi Kalimantan Timur (Selasa s.d Kamis, 25 s.d 27 Juni 2013, di Hotel Harris, Jl.Peta 241, Pasar Koja, Bandung, diselenggarakan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI) Prof DR Budi Sulistiono, M.Hum (Narasumber) Peradaban Islam yang dibangun selama 1400 tahun lebih setidaknya telah melahirkan arsitektur yang khas, dan menjadi ciri dari arsitektur Islam itu sendiri. Banyak warisan arsitektur peradaban Islam yang menyejarah, yang diwariskan dari arsitek-arsitek Muslim terdahulu yang hingga kini berdiri dengan megahnya. Di samping istana, dermaga, tataruang kota, terdapat juga bangunan-bangunan lainnya, seperti masjid yang merupakan tempat ibadah umat Islam, hingga kini masih bisa disaksikan, dan mempunyai nilai sejarah yang panjang. Masjid adalah bangunan suci agama Islam. Dimana semua umat yang beragama Islam beribadah disana. Rasulullah bersabda “tempat-tempat yang paling dicintai ALLAH ialah Masjid”, karena sebagaimana termaktub dalam alQur’an “ di dalamnya terdapat orang-orang yang mensucikan diri dan ALLAH menyukai orang-orang yang bersih” (Q.S.Attaubah: 108). Secara etimologi istilah masjid berasal dari lafadz ‘sajada - yasjudu’ yang berarti bersujud / menyembah Allah. Rosullullah SAW bersabda “seluruh permukaan bumi adalah masjid”. Masjid pertama yang didirikan di Indonesia dan masih segar nan tegar hingga sekarang adalah masjid Demak. Seni arsitekturnya menggambarkan seni arsitektur masjid Melayu-Nusantara yang awal dan menjadi bentuk seni arsitektur masjid yang unggul. Bentuk masjid makin sedemikian tersebar ke seluruh Nusantara terutama ke daerah yang penduduknya tetap mayoritas masyarakat Islam. Pengaruh seni arsitektur Arab, Turki, Persia, Moghul, dan barat kemudian menyerap masuk sehingga menghasilkan pelbagai rupa bentuk masjid besar dan kecil ke seluruh pelosok Nusantara. Pada awalnya bentuk masjid bukanlah bangunan yang megah perkasa seperti masjid- masjid yang tampil di masa kejayaan yang penuh keindahan dengan ciri-ciri keagungan arsitektural pada penampilan fisiknya. Dari bangunan Masjid Nabawi yang sederhana, gambaran umum arsitektur sebuah masjid terdiri dari tiga hal, yaitu beranda atau pelataran, atap, dan mimbar. Perkembangan arsitektur Islam sangat erat hubungannya dengan perkembangan Arsitektur masjid, karena masjid itu sendiri merupakan titik tumpuan dari ungkapan kebudayaan Islam. Beberapa kajian awal yang pernah dilakukan terhadap rumah ibadah kuno di Indonesia khususnya di Jawa, antara lain adalah kajian tentang masjid pada Menara Masjid Kudus, yang dilakukan oleh N.J. Krom pada tahun 1920. Ia memperkirakan bahwa Menara Masjid Kudus berasal dari abad ke 16 Masehi, dan dianggap merupakan gaya bangunan peralihan dari gaya bangunan rumah ibadah agama Hindu Majapahit yang berbentuk Candi. Pada tahun 1922 penelitian dilanjutkan oleh J.E.Jasper, yang mengkhususkan pada seni ukir dan seni bangunan. Ia berpendapat bahwa seni ukir dan seni bangunan di Kudus merupakan seni bangunan Jawa Hindu Majapahit. Kemudian pada Tahun 1934, Steinman melakukan

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Seminar Hasil Penelitian Rumah Ibadah Bersejarah di Propinsi

Kalimantan Timur (Selasa s.d Kamis, 25 s.d 27 Juni 2013, di Hotel Harris, Jl.Peta 241, Pasar Koja, Bandung,

diselenggarakan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI)

Prof DR Budi Sulistiono, M.Hum

(Narasumber)

Peradaban Islam yang dibangun selama 1400 tahun lebih setidaknya telah melahirkan

arsitektur yang khas, dan menjadi ciri dari arsitektur Islam itu sendiri. Banyak warisan

arsitektur peradaban Islam yang menyejarah, yang diwariskan dari arsitek-arsitek Muslim

terdahulu yang hingga kini berdiri dengan megahnya. Di samping istana, dermaga, tataruang

kota, terdapat juga bangunan-bangunan lainnya, seperti masjid yang merupakan tempat

ibadah umat Islam, hingga kini masih bisa disaksikan, dan mempunyai nilai sejarah yang

panjang.

Masjid adalah bangunan suci agama Islam. Dimana semua umat yang beragama Islam

beribadah disana. Rasulullah bersabda “tempat-tempat yang paling dicintai ALLAH ialah

Masjid”, karena sebagaimana termaktub dalam alQur’an “ di dalamnya terdapat orang-orang

yang mensucikan diri dan ALLAH menyukai orang-orang yang bersih” (Q.S.Attaubah: 108).

Secara etimologi istilah masjid berasal dari lafadz ‘sajada - yasjudu’ yang berarti bersujud /

menyembah Allah. Rosullullah SAW bersabda “seluruh permukaan bumi adalah masjid”.

Masjid pertama yang didirikan di Indonesia dan masih segar nan tegar hingga

sekarang adalah masjid Demak. Seni arsitekturnya menggambarkan seni arsitektur masjid

Melayu-Nusantara yang awal dan menjadi bentuk seni arsitektur masjid yang unggul. Bentuk

masjid makin sedemikian tersebar ke seluruh Nusantara terutama ke daerah yang

penduduknya tetap mayoritas masyarakat Islam. Pengaruh seni arsitektur Arab, Turki, Persia,

Moghul, dan barat kemudian menyerap masuk sehingga menghasilkan pelbagai rupa bentuk

masjid besar dan kecil ke seluruh pelosok Nusantara.

Pada awalnya bentuk masjid bukanlah bangunan yang megah perkasa seperti masjid-

masjid yang tampil di masa kejayaan yang penuh keindahan dengan ciri-ciri keagungan

arsitektural pada penampilan fisiknya. Dari bangunan Masjid Nabawi yang sederhana,

gambaran umum arsitektur sebuah masjid terdiri dari tiga hal, yaitu beranda atau pelataran,

atap, dan mimbar.

Perkembangan arsitektur Islam sangat erat hubungannya dengan perkembangan

Arsitektur masjid, karena masjid itu sendiri merupakan titik tumpuan dari ungkapan

kebudayaan Islam. Beberapa kajian awal yang pernah dilakukan terhadap rumah ibadah kuno

di Indonesia khususnya di Jawa, antara lain adalah kajian tentang masjid pada Menara Masjid

Kudus, yang dilakukan oleh N.J. Krom pada tahun 1920. Ia memperkirakan bahwa Menara

Masjid Kudus berasal dari abad ke 16 Masehi, dan dianggap merupakan gaya bangunan

peralihan dari gaya bangunan rumah ibadah agama Hindu Majapahit yang berbentuk Candi.

Pada tahun 1922 penelitian dilanjutkan oleh J.E.Jasper, yang mengkhususkan pada seni ukir

dan seni bangunan. Ia berpendapat bahwa seni ukir dan seni bangunan di Kudus merupakan

seni bangunan Jawa Hindu Majapahit. Kemudian pada Tahun 1934, Steinman melakukan

kajian terhadap ornament yang terdapat pada masjid Mantingan dan makam Ratu Kainyamat,

serta melakukan kajian perbandingan dengan ornamen yang terdapat di candi-candi.

Penelitian tentang menara dan masjid kuno di Indonesia selanjutnya dilakukan oleh G.F.

Pijper pada tahun 1947 yang menyimpulkan bahwa masjid kuno di Indonesia pada umumnya

tidak mempunyai menara, seperti menara di Masjid Kudus bukan menara aslinya, melainkan

bangunan dari zaman Hindu sebelum Islam.1

Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

pada tahun 1998, tahun 1999, hingga kini telah melakukan penelitian yang berjudul Sejarah

Masjid-Masjid Kuno di Indonesia, fokus penelitian tentang masjid kuno2 di berbagai Provinsi

di Indonesia. Informasi yang diangkat dalam penelitian masjid kuno tersebut antara lain: a)

Struktur organisasi masjid dan semua perangkat di dalam; b) Sejarah berdirinya masjid,

terkait dengan asal-usul nama masjid, tahun berdiri dan ulama pendiri sera dikaitkan dengan

kondisi pemerintahan saat itu; 2) Tinjauan Arsitektur masjid, meliputi tata letak dan tata

ruang, bahan dan bentuk bangunan, lantai dan hiasan dinding; 3) Kegiatan sosial dan

keagamaan masjid, antara lain penyelenggaraan shalat jama’ah, pengajian, dan

penyelenggaraan pendidikan; 4) Prasasti terkait dengan tulisan-tulisan pada dinding masjid

dan perangkat masjid; 5) Makam yang ada di sekitar masjid. Segala upaya melalui penelitian

ini layak untuk ditindaklanjuti. Bentangan wilayah Indonesia sangat luas. Tapi, masih sedikit

pengetahuan kita tentang sejarah dan peran-peran masjid dalam bentangan sejarah Indonesia.

Pada kesempatan yang penuh bahagia ini, di ruangan yang penuh ramah ini, adalah

saat yang tepat untuk sharing sebagai wujud partisipasi dalam rangka “Seminar hasil

penelitian Rumah Ibadah Bersejarah tentang Masjid Jami’ Aji Amir Hasanuddin (MJAAH)

di Propinsi Kalimantan Timur”. Melalui teks yang dikirim masih dijumpai beberapa istilah

beserta pengertiannya yang dianggap penting dan relevan untuk didiskusikan. Mengingat

cakupan penelitian Studi Sejarah Rumah Ibadah Kuno luas cakupannya, agar studi yang

dilakukan dapat lebih fokus dan efektif maka perlu uraian lebih lanjut, tidak terkecuali

istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini, antara lain :

Nama & Letak Lokasi

Selama ini kita dikecohkan dengan nama Kerajaan Kutai, kemudian berubah namanya

menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara. Nama “Kutai” berasal dari bahasa Cina “Kho Thay”

yang berarti “negara yang besar”, sedangkan Kartanegara berarti “mempunyai peraturan”.

Jadi, arti nama Kutai Kartanegara adalah “negara besar yang mempunyai peraturan”. Sebagai

Pusat Pemerintahan, apakah memang masih tetap di tempat yang sama. Atau memang

berbeda ? Andai saja berbeda dimana letak Ibukota Kerajaan Kutai, dan dimana letak Ibukota

Kerajaan Kutai Kartanegara ? Kerajaan Kutai berlokasi di tepi sungai Mahakam, tepatnya di

Muara Kaman, sedangkan Kerajaan Kutai Kartanegara berada lebih ke muara atau kini

dikenal dengan nama Kutai Lama. Kutai Lama merupakan sebuah daerah yang dekat dengan

kota Samarinda sekarang.

1 Irmawati, M. Djohan, Peran Arkeologi dalam Kajian Nusantara, dalam Jurnal Lektur Keagamaan,

Puslitbang Lektur Keagamaan, Badang Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, Vol. 7, Nomor 1, Tahun 2009, halaman 138-139.

2 Kuno atau Klasik, adalah benda-benda peninggalan sejarah yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang.

Direktorat Keb. Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan: Studi Penyelamatan Kekayaan Budaya, Jakart: Bappenas, 2006, halaman 5

Masjid, adalah kata benda yang menunjukan tempat (isim makan), bersujud. Sedang kata

sujud sendiri kata masdar, yang berasal dari kata kerja sa-ja-da, yang berarti meletakkan jidat

di atas tanah dengan penuh pengabdian. Dengan demikian masjid dapat diartikan sebagai

tempat atau bangunan yang khusus diperuntukan bersujud .3 Arsitektur masjid di Indonesia

beragam, tidak ada suatu rancangan atau pola tertentu yang mengikat. Menurut G.F. Pijper

(1992) Indonesia memiliki arsitektur masjid kuno yang khas dan berbeda dengan masjid di

negara lain. Tipe masjid Indonesia berasal dari pulau Jawa, sehingga disebut masjid tipe Jawa

dengan ciri berupa :

1. Pondasi bangunan berbentuk persegi dan pejal (massive) yang agak tinggi

2. Masjid tidak berdiri diatas tiang seperti rumah di Indonesia model kuno dan langgar

tetapi diatas dasar yang padat

3. Mempunyai atap yang meruncing ke atas, terdiri dari 2 sampai 5 tingkat, semakin

keatas atap semakin kecil

4. Mempunyai tambahan ruangan disebelah barat atau barat laut yang dipakai untuk

mihrab

5. Mempunyai serambi di depan atau di kedua sisinya

6. Halaman di sekelilingnya dibatasi oleh tembok dengan satu pintu masuk di depan

yang disebut gapura

7. Denahnya berbentuk segi empat

8. Dibangun di sebelah barat alun-alun

9. Arah mihrab tidak tepat ke kiblat

10. Dibangun dari bahan yang mudah rusak

11. Terdapat parit di sekelilingnya atau di depan masjid

12. Dahulu dibangun tanpa serambi (intinya saja)

Tipe yang dipaparkan di atas adalah yang berlaku di Pulau Jawa. Bagaimana dengan temuan

penelitian di Masjid Jami’ Aji Amir Hasanuddin (MJAAH) di Propinsi Kalimantan Timur.

Adakah masjid ini memiliki pembagian ruang sebagai bangunan inti masjid atau liwan ?

Kalau ada, berapa luasnya ? Bagaimana tataruang di dalamnya ? Andai ada tataruang inti dan

bukan inti, bagaimana kondisi skat : permanen atau tidak permanen ? Melalui pertanyaan ini

setidaknya untuk meyakinkan keberadaan SOKO GURU (tiang utama) dan kualitasnya.

Soko guru merupakan penopang utama yang terletak di tengah dari suatu bangunan, secara

estetika juga menunjukan bahwa tempat tersebut sebagai titik center. Dalam tradisi bangunan

masjid di Jawa, bangunan tiang utama dibuatkan semacam landasan, seringkali disebut

dengan “umpak”. Kalau memang ada, berapa jumlahnya, adakah ragam hiasnya4 ?

3 Pada awalnya kata masjid juga diartikan sebagai tempat yang khusus dipergunakan sebagai

tempat ibadah dari agama-agama lain, selain agama Islam. Seperti untuk penyebutan Gereja

Abyssinia, pagoda Yahudi. Bahkan Ibnu Khaldun masih menggunakan kata masjid untuk menyebut

semua jenis tempat ibadah. Lihat H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam., E.J.

Brill, Leiden, 1974, halaman 330. 4 Ragam hias adalah bentuk dasar hiasan yang biasanya akan menjadi pola yang diulang-ulang

dalam suatu karya kerajinan atau seni.

Mengacu pada dinding masjid Demak, banyak tertempel keramik. Menurut banyak cerita,

Kerajaan Kutai sangat makmur dan rakyatnya sejahtera. Ribuan artefak atau peninggalan

terdapat di sejumlah lokasi di Muara Kaman.

Atap

Bangunan utama masjid di tutup dengan atap limas bersusun. Atap limas bersusun atau

berundak, susunan atap seperti ini selain merupakan ciri khas bangunan di Tanah Jawa yang

menggunakan atap joglo tapi juga merupakan bentuk atap yang banyak dipakai pada

bangunan klenteng yang biasa menggunakan atap bersusun. Atap berbentuk kerucut yang

cukup tinggi, yang dirancang untuk meminimalisir hawa panas yang masuk ke dalam ruang. Melalui celah yang dibuat diantara bagian bawah atap dan tembok penyangga, angin mampu

menerobos ke dalam masjid. Hembusan angin ini yang membuat suasana Masjid terasa adem. Cahaya matahari dimanfaatkan sebagai penerang di siang hari melalui bagian atas jendela

yang didesain berlubang-lubang.

Selain itu, atap bersusun menurut tradisi masyarakat, memiliki makna. Konon semua itu

mempunyai makna tertentu sebagai berikut:Tingkat pertama mengandung makna Syariat.

Tingkat kedua mengandung makna Thariqat.Tingkat ketiga mengandung makna Hakikat.

Masjid Ba’angkat di Banjarmasin, Kalsel

Ruang Utama sebagai tempat sholat, terdapat di dalamnya mihrab dan mimbar.

Ruang Utama Masjid Demak

Mihrab, ruang tempat berdiri imam ( pemimpin sholat berjamaah ) yang berbentuk ceruk

atau relung di dinding sisi Kiblat. Mihrab adalah bagian masjid yang menjadi penunjuk arah

shalat menjadi bagian utama dalam seni arsitektur masjid. Mihrab dipandang sebagai standar

umum untuk menentukan kualitas seni lukis Islam yang terus mengalami perkembangan.

Mihrab pada masjid Umayyah untuk pertama kalinya berbentuk setengah lingkaran dan

bentuk pintu seperti tapal kuda. Bagaimana mihrab di Masjid Jami’ Aji Amir Hasanuddin

(MJAAH) ?

Mimbar, kursi atau singgasana atau tahta tempat para pemimpin memberikan atau

menyampaikan masalah-masalah kepada umat atau rakyat. Menurut kisah, batang kurma

diletakkan di atas tanah yang kemudian digunakan oleh Nabi Muhammad saw, sebagai

mimbar. Pada awalnya, mimbar merupakan tempat duduk yang ditinggikan atau singgasana

yang digunakan oleh penguasa dan tidak terkait dengan peribadatan. Namun, dalam

perkembangan arsitektur Islam, khususnya masjid, mimbar dijadikan sebagai tempat untuk

menyampaikan khutbah dan hal tersebut dimulai dari Masjid Nabawi.Keberadaan minbar

tidak harus diberdebatkan apalagi divonis “bid’ah”. Masjid alAzhar, masjid alAqsha juga

menggunakan minbar.

Minbar dan Mihrab Masjid alAqsha Maksurah, bilik berbentuk kotak, berdindingkan pagar atau terali sehingga tembus pandang

yang diperuntukan khusus untuk pemimpin pada waktu sholat.

Maksuroh Masjid Demak

Kasus temuan maksurah di Indonesia, antara lain dapat disaksikan di Masjid Demak, Jawa

Tengah; Masjid Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat. Maksuroh di Masjid Agung Darul

Muttaqien, Purworejo merupakan bangunan berbentuk bilik yang digunakan sebagai tempat

shalat Jumat Bupati KRA. Cokronagoro. Bangunan ini sederhana tanpa ada ukiran,

melambangkan kesederhanaan. Setiap Bupati Purworejo yang memerintah sebelum

kemerdekaan selalu mempergunakan maksuroh ini, namun setelah Proklamasi Kemerdekaan

maksuroh ini tidak digunakan lagi. Sekarang dipakai untuk adzan setiap akan masuk waktu

shalat.

Halaman Terbuka, bagian dari masjid yang berupa lapangan terbuka biasanya dibangun

taman dan sebuah kolam atau pancuran air sebagai tempat bersuci. Sebuah parit yang

mengelilingi masjid akan dijumpai sebelum memasuki bangunan inti masjid Kotagede. Parit

itu di masa lalu digunakan sebagai saluran drainase setelah air digunakan wudlu di sebelah

utara masjid. Kini, warga setempat memperbaiki parit dengan memasang porselen di bagian

dasar parit dan menggunakannya sebagai tempat memelihara ikan. Untuk memudahkan

warga yang ingin beribadah, dibuat sebuah jembatan kecil yang terbuat dari kayu-kayu yang

disusun berderet.

Halaman Terbuka Masjid Kauman Surakarta

Serambi, selasar atau koridor yang mengelilingi ruang utama, biasanya tidak berdinding

penuh atau hanya dibatasi tiang saja.

Serambi masjid Demak, Jawa Tengah

Menara (minaret), bangunan tinggi tempat muazin mengumandangkan azan.

Tempat bersuci, tempat mengambil wudhu sebelum masuk ke dalam Masjid berupa kolam,

pancuran dan kamar mandi.

tempat wudhu di Masjid Cipaganti, Bandung

Di bagian belakang dan samping masjid kuno di Indonesia biasanya terdapat pula makam

raja-raja atau sultan-sultan, anggota keluarga raja dan orang-orang yang dianggap keramat,

H.A.R Gibb dan Kramer menjelaskan mengutip dari Masjid makam ini digolongkan sebagai

masyhad, contohnya masjid Demak, masjid Kadilangu, masjid Ampel, masjid Kotagede,

Masjid Banten dan sebagainya. Ada hal yang sulit dilupakan bahwa makam atau kuburan para raja/ sultan Islam, tokoh penyebar Islam memperoleh perlakuan tertentu dari sebagian masyarakat. Sehingga sebagian makam atau kompleks makam seperti berada dalam konteks sistem perilaku, yakni sebagai obyek peziarahan (pilgrimage). Dampaknya antara lain adanya sejumlah makam yang dikramatkan dan secara keliru sebagai media/ tempat meminta sesuatu.

Saran

1. BATASAN DAN RUANG LINGKUP PENELITIAN Penelitian ini disarankan untuk dibatasi hanya pembahasan mengenai estetika bentuk yang terdapat pada Masjid Jami’ Aji Amir Hasanuddin (MJAAH)

2. METODE PENELITIAN

Berdasarkan tinjauan yang akan dicapai, maka disarankan dipilih pendekatan dengan

memadukan metode historis dan metode deskriptif. Metode historis digunakan untuk mencari

jawaban atas masalah dengan menelusuri sejarahnya. Pendekatan ini dilakukan dengan

mengadakan: a. Survey kepustakaan. b. Wawancara dengan informan. Metode historis ini

penting, karena informasi terkait keberadaan Kalimantan Timur kurang semarak dikenali

masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi terkait dengan daerah ini mempunyai

beberapa aliran sungai dan delta yang tersebar di hampir semua kabupaten dan kota dengan

sungai terpanjang Sungai Mahakam. Kondisi semacam ini akan mudah untuk ditelusuri

peran-peran aktif keberadaan alur sungai dan suasana interaktif masyarakat di hulu sungai

hingga daerah hilirnya. Untuk di Kalimantan, hampir pasti kondisi seperti ini masih aktif

semaraknya. Hasil konkrit yang bisa kita cermati adalah aktifitas masyarakat Kalimantan

Timur yang tak kenal lelah dalam bentangan perjalanan sejarahnya. Karenanya, taklah sulit

menyatakan bahwa Kalimantan Timur mempunyai sejarah yang berbeda dengan propinsi

lainnya di Negara Republik Indonesia. Balai Arkeologi Banjarmasin sudah merintis

penelitian tentang peninggalan lukisan gua – Masa Prasejarah5, di Kalimantan. Salah satu gua

yang menjadi kajian adalah Gua Babi, dimana di dalamnya ditemukan sisa-sisa aktivitas

hunian manusia. Penelitian terhadap gua-gua yang ada lukisannya baru dilakukan pada tahun

1996. Gua tersebut berada di kawasan Tanjung Mangkalihat, Kecamatan Sangkulirang,

kabupaten Kutai Timur (Kalimantan Timur). Dari beberapa gua yang ada di kawasan

tersebut, delapan gua ternyata memiliki lukisan yang bervariasi, yaitu Gua Mardua, payau,

Liang Sara, Masri, Ilas Keceng, Tewet, Tamrin, dan Ham.

Lukisan cap tangan pada dinding Gua Tewe, Kutai Timur, Kalimantan Timur

Apa yang digambarkan dalam lukisan gua pada masa prasejarah merupakan sebuah bentuk

refleksi dari kehidupan yang dijalani pada masanya. Kehidupan mereka selalu tergantung

pada alam dan alam merupakan tempat bagi mereka untuk menggantungkan hidupnya. Gua

sebagai tempat mereka berteduh dan beristirahat atau sebagai tempat tinggal dijadikan

sebagai salah satu tempat untuk mengekpresikan perjalanan hidup. Lukisan ini merupakan

sebuah perwakilan kata-kata manusia pada masa prasejarah yang ingin disampaikan kepada

segenap masyarakatnya dan akhirnya menjadi bukti bagi manusia sekarang untuk

mempelajarinya sekaligus.

5 Masa atau zaman Prasejarah adalah zaman dimana bermula terbentuknya alam semesta, namun

umumnya digunakan untuk mengacu kepada masa dimana terdapat kehidupan di muka Bumi dimana

manusia mulai hidup. Batas antara zaman prasejarah dengan zaman sejarah adalah mulai adanya

tulisan. Hal ini menimbulkan suatu pengertian bahwa prasejarah adalah zaman sebelum ditemukannya

tulisan, sedangkan sejarah adalah zaman setelah adanya tulisan. Berakhirnya zaman prasejarah atau

dimulainya zaman sejarah untuk setiap bangsa di dunia tidak sama tergantung dari peradaban bangsa

tersebut.

Zaman prasejarah di Indonesia diperkirakan berakhir pada masa berdirinya Kerajaan Kutai,

sekitar abad ke-5; dibuktikan dengan adanya prasasti ditulis diatas yupa (tugu batu),

berjumlah 7 buah, ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa.

Prasasti Yupa

Prasasti yang ditemukan di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur merupakan sumber data

tekstual tertua yang pernah ditemukan. Keberadaan Kerajaan Kutai yang terletak di

Kecamatan Muara Kaman6 dengan rajanya Mulawarman Nala Dewa, adalah Kerajaan yang

tertua. Turunan Raja Mulawarman dapat berlanjut sampai dengan Raja ke – 25 yang bernama

Maharaja Derma Setia pada abad ke - XII dengan nama Kerajaan Kutai Ing Martadipura.

Pada awal abad ke-13, berdirilah sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama yang

bernama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa

Sakti (1300-1325). Dan Pada abad ke-17 agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan

Kutai Kartanegara. Selanjutnya banyak nama-nama Islami yang akhirnya digunakan pada

nama-nama raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan raja pun diganti dengan

sebutan Sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji

Muhammad Idris (1735-1778). Melalui sejumlah temuan bukti-bukti bekas aktivitas manusia

sejak masa prasejarah, setidaknya Kalimantan Timur merupakan pelopor peradaban di

6 Kampung Muara Kaman terletak di pertemuan Sungai Mahakam, dengan salah satu anak

sungainya, yakni Sungai Kedang Rantau.

Indonesia. Kondisi ini didukung oleh posisi/letak geografisnya. Wilayah Kalimantan Timur

dengan luas mencapai 20.865.774 Ha atau satu setengah kali pulau Jawa dan Madura,

sebagian besar merupakan daratan yakni 19.844.117 Ha. (95,1%), sedangkan lautan (4-12

Mil) hanya 1.021.657 Ha. (4,9%). Batas wilayah provinsi yang menjadi pintu gerbang utama

pembangunan Indonesia di bagian timur ini adalah :

a. Utara berbatasan dengan Negara Bagian Sabah (Malaysia Timur).

b. Timur berbatasan dengan Selat Makasar, Laut Sulawesi dan Selat Sulawesi.

c. Selatan berbatasan dengan Kalimantan Selatan.

d. Barat berbatasan dengan Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Negara Bagian

Serawak (Malaysia Timur).

Metode deskriptif eksistensi bangunan Masjid dilakukan untuk mencari jawaban

dengan cara menguraikan dan menjelaskan perihal serta fenomena yang ditemukan di

lapangan pengamatan. Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengadakan survey lapangan

dengan cara:

a. Mengadakan pengamatan langsung

b. Mengadakan pengamatan dengan sketsa dan foto

Setidaknya melalui metode ini akan terungkap, minimal informasi keletakan masjid,

misalnya : Bangunan masjid Masjid Jami’ Aji Amir Hasanuddin (MJAAH) terletak di tepi

jalan, tepatnya di sudut perempatan jalan. Tidak jauh dari masjid ini berdiri Istana Sultan.

Denah masjid tua Masjid Jami’ Aji Amir Hasanuddin (MJAAH) berbentuk bujur sangkar.

Ukurannya yaitu 15 × 15 m, sedang ketebalan dinding mencapai 90,2 cm dan tinggi dinding 3

m dari permukaan tanah. Ukuran ketinggian seluruhnya dari permukaan tanah sampai ke

puncak atap mencapai 10,80 m. Masjid menghadap ke timur, pintu masuk diapit oleh enam

buah jendela dengan ukuran lebar 85 cm dan tinggi 117 cm. Setiap pintu pada bagian atasnya

agak melengkung (setengah lingkaran) dan pada puncaknya di sebelah kanan dan kiri

terdapat tonjolan dengan motif daun, sehingga bentuknya seperti pintu bersayap serta dihiasi

dengan huruf Arab; dan selanjutnya.

Aktivitas Sosial

Sebaggaimana diungkapkan di atas Masjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim.

Masjid artinya tempat sujud, dan masjid berukuran kecil juga disebut musholla, langgar atau

surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas Muslim.

Kegiatan - kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al

Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang

peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.

Kepustakaan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1998). Khasanah Budaya Nusantara IX. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Melalatoa, J. (1995). Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A-K. Jakarta. Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Kosasih, S.A. (1983). Lukisan Gua di Indonesia sebagai Data Sumber Penelitian

arkeologi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi III. Jakarta, hal 158-175,

Linda, (2005). Tata Letak Lukisan Dinding Gua di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi

Selatan. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya UGM

Poesponegro, Marwati Djoened. (2008). Sejarah Nasional Indonesia I “Zaman Prasejarah di

Indonesia“. Jakarta: Balai Pustaka

Restiyadi, Andri. (2007). “Diskursus Cap Tangan Negatif Interpretasi Terhadap Makna dan

Latar Belakang Penggambarannya di Kabupaten Maros dan Pangkep Sulawesi Selatan”

dalam Artefak Edisi XXVIII. Yogyakarta : Hima UGM

Rochym, Abdul, 1983. Sejarah Arsitektur Islam. Bandung : Penerbit Angkasa

Rochym, Abdul, 1983. Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung :

Penerbit Angkasa

Samidi, (1985). Laporan Hasil Survey Konservasi Lukisan Gua Sumpang Bita dan

Pelaksanaan Konservasi Lukisan Gua Pettae Kerre. Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan

Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan Samidi, (1986). Laporan Konservasi

Lukisan Perahu/ Sampan si Gua Sumpang Bita (Tahap Awal) dan Konservasi Lukisan Babi

Rusa di Gua Pettae Kerre (Penyelesaian). Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan

Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan.