seminar 201 20sks 20bismillah

25
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik yang merupakan jalur migrasi tuna. Selain itu, posisi Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa menyebabkan massa air barat dan timur membawa partikel yang kaya akan makanan biota laut, sehingga perairannya cenderung subur. Tuna merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis penting dan bernilai jual tinggi yang berhabitat di wilayah perairan Indonesia (jalur migrasi). Tuna merupakan salah satu primadona komoditas ekspor dan menjadi komoditas ekspor perikanan Indonesia terbesar setelah udang. Total tangkapan tuna dunia mengalami peningkatan dari 2,5 juta ton pada tahun 1986 menjadi 3,7 juta ton pada tahun 2003. 89% dari jumlah tangkapan berasal dari perairan laut sekitar Coral triangle di Samudra Pasifik (Indonesia, Philipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon). Kemudian 23% hasil tangkapan berasal dari Samudera Hindia. Penangkapan tuna juga semakin meningkat dengan armada penangkapan yang semakin modern dan bertambah banyak dari tahun ke tahun. Namun demikian pertumbuhan industri perikanan tangkap tersebut telah mulai diikuti dengan penurunan hasil tangkapan yang merupakan salah satu indikasi jumlah tangkapan yang telah melewati 1

Upload: ferri-setiawan

Post on 01-Jan-2016

47 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Seminar 201 20sks 20bismillah

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbatasan langsung dengan

Samudra Hindia dan Samudra Pasifik yang merupakan jalur migrasi tuna. Selain itu,

posisi Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa menyebabkan massa air barat dan

timur membawa partikel yang kaya akan makanan biota laut, sehingga perairannya

cenderung subur.

Tuna merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis penting

dan bernilai jual tinggi yang berhabitat di wilayah perairan Indonesia (jalur migrasi).

Tuna merupakan salah satu primadona komoditas ekspor dan menjadi komoditas ekspor

perikanan Indonesia terbesar setelah udang.

Total tangkapan tuna dunia mengalami peningkatan dari 2,5 juta ton pada

tahun 1986 menjadi 3,7 juta ton pada tahun 2003. 89% dari jumlah tangkapan berasal

dari perairan laut sekitar Coral triangle di Samudra Pasifik (Indonesia, Philipina,

Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon). Kemudian 23%

hasil tangkapan berasal dari Samudera Hindia. Penangkapan tuna juga semakin

meningkat dengan armada penangkapan yang semakin modern dan bertambah banyak

dari tahun ke tahun. Namun demikian pertumbuhan industri perikanan tangkap tersebut

telah mulai diikuti dengan penurunan hasil tangkapan yang merupakan salah satu

indikasi jumlah tangkapan yang telah melewati batas MSY, sehingga mengakibatkan

berkurangnya stok tuna (Habibi, 2011). Karena itu, pemanfaatan secara berkelanjutan

sangat diperlukan dalam upaya pengendalian dan pengawasan perikanan tuna.

Tuna yang hidup di perairan laut Indonesia dikelompokkan menjadi dua jenis,

yakni tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar meliputi madidihang (yellowfin tuna),

albakora (albacore),tuna mata besar (big eye tuna), dan tuna sirip biru selatan (southern

bluefin tuna). Ikan madidihang dan mata besar terdapat di seluruh wilayah perairan laut

Indonesia. Sedangkan, albakora hidup di perairan sebelah Barat Sumatera, Selatan Bali

sampai dengan Nusa Tenggara Timur. Tuna sirip biru selatan hanya hidup di  perairan

sebelah Selatan Jawa sampai ke perairan Samudra Hindia bagian Selatan yang bersuhu

dingin. Sementara itu, tuna kecil terdiri dari cakalang (skipjack tuna), tongkol

(eutynnus affinis), tongkol kecil (auxis thazard) dan ikan abu-abu (thunnus tonggol).

1

Page 2: Seminar 201 20sks 20bismillah

Ikan cakalang dapat dijumpai di seluruh perairan laut Indonesia, kecuali di Paparan

Sunda bagian Selatan, Selat Malaka, Selat Karimata, dan Laut Jawa. Tuna mempunyai

daerah penyebaran yang sangat luas atau hampir di semua daerah tropis maupun

subtropis (Rahajeng, 2012).

Tabel 1.1 Jenis-Jenis Tuna di Indonesia

Nama Indonesia Jenis Ikan Nama InternasionalLisong Auxis rochei Bullet Tuna

Tongkol Pisang / Krai Auxis thazard Frigated tunaTongkol Komo Eutynnus affinis Eastern Little Tuna

Cakalang Katsuwonus pelamis Skipjack tunaTongkol Abu-Abu Thunnus tonggol Longtail Tuna

Madidihang Thunnus albacores Yellowfin tunaAlbakora Thunnus alalunga Albacore

Tuna Mata Besar Thunnus obetus Bigeye TunaTuna Sirip Biru Selatan Thunnus maccoyii Southern Bluefin Tuna

Sumber : Rahajeng, 2012

Tuna sirip biru selatan merupakan spesies yang telah dikategorikan sebagai

spesies yang terancam (punah) oleh komisi konservasi dunia (IUCN) sehingga

berdirilah beberapa organisasi yang turut serta dalam pengelolaannya, salah satunya

adalah Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). CCSBT

merupakan organisasi antar-pemerintahan yang bertujuan untuk mengelola tuna sirip

biru selatan termasuk distribusinya.Terdaftarnya Indonesia sebagai anggota CCSBT

pada tahun 2008 memberikan banyak peluang kepada Indonesia untuk memanfaatkan

dan memajukan perikanan tuna sirip biru selatan di Samudera Hindia. Sebagai anggota

CCSBT, negara anggota diwajibkan untuk melaporkan hasil tangkapan tuna sirip biru

selatan, sehingga dari data tangkapan seluruh tuna sirip biru selatan di Samudera Hindia

dapat disimpulkan kondisi perikanan tuna secara global. Makalah ini bertujuan untuk

mengetahui trend produksi, effort, dan CPUE tuna sirip biru selatan di Samudra Hindia

melalui analisis data penangkapan yang dilaporkan CCSBT dalam kurun waktu 1991-

2011.

2

Page 3: Seminar 201 20sks 20bismillah

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui alat tangkap yang

dipergunakan untuk menangkap tuna sirip biru selatan di Samudra Hindia, mengetahui

trend produksi, upaya, dan CPUE tuna sirip biru selatan di Samudra Hindia, dan

mengetahui pengelolaan sumberdaya tuna sirip biru selatan yang dilakukan oleh The

Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT).

C. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai bahan pertimbangan

kepada pembuat kebijakan dalam rangka penentuan pengelolaan penangkapan tuna sirip

biru selatan secara menyeluruh.

3

Page 4: Seminar 201 20sks 20bismillah

II. PEMBAHASAN

A. Deskripsi Tuna Sirip Biru Selatan (Thunnus maccoyii)

Tuna sirip biru merupakan ikan pelagis besar yang dapat berenang pada

kedalaman 50-2743 m. Temperatur optimal antara 5-20oC dan di koordinat 8°LS -

60°LS, 180°BB - 180°BT. Panjang matang gonad maksimum adalah 119 cm dengan

kisaran antara 120-130 cm. Panjang maksimal dapat mencapai 245 cm (Anonim, 2013).

Sedangkan menurut Anonim (2013), tuna sirip biru selatan berenang dengan kecepatan

rata-rata 2-3 km/jam. Ikan ini dapat hidup selama 40 tahun mencapai berat 200 kg dan

panjang lebih dari 2 meter. Tidak ada angka pasti kapan ikan ini melakukan pemijahan

namun menurut data komisi CCSBT mengatakan pemijahan dilakukan pada umur lebih

dari 8 tahun dengan panjang 1,5 meter. Wilayah pemijahan adalah perairan Samudra

Hindia bagian selatan perairan Jawa, Indonesia. Pemijahan dilakukan pada kisaran

bulan September hingga April, selanjutnya juvenil akan bermigrasi ke arah barat

Australia. Daerah penyebaran tuna sirip biru selatan di Samudera Hindia dapat dilihat di

Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Daerah Penyebaran Tuna Sirip Biru Selatan

Sumber : fishbase.org

Nama Indonesia : Sirip Biru Selatan

Nama latin : Thunnus maccoyii

Nama inggris : Southern Bluefin Tuna

Ukuran panjang layak tangkap (Fork Length) : 140 cm (Habibi, 2012)

Ikan ini merupakan famili Scombridae dan genus Thunnus. Badan

memanjang, seperti torpedo, bulat (penampangnya). Tergolong tuna besar. Tapisan

4

Page 5: Seminar 201 20sks 20bismillah

insang pada busur insang pertama 19-26. Kepala besar, demikian pula matanya. Sirip

punggung pertama berjari-jari 12-13, dan 14 jari-jari lemah pada sirip punggung kedua,

diikuti 9 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-jari lemah 14, diikuti 18 jari-jari

sirip tambahan. Terdapat 2 lidah/cuping diantara sirip perutnya. Sisik kecil menutupi

badannya, sisik pada korselet agak besar, tetapi tidak selalu nyata. Satu lunas kaut pada

batang ekor, diapit oleh dua lunas kecil pada ujung belakangnya. Tanpa gelembung

udara. Hidup diperairan pantai, tetapi selalu menghindari muara-muara sungai yang

berkadar garam rendah. Termasuk ikan buas, makanannya ikan kecil, cumi-cumi,

udang. Mempunyai warna biru kehijauan pada bagian atas, putih perak pada bagian

bawah; terdapat totol-totol warna putih pada bagian perutnya; ujung sirip punggung

sirip kedua, dubur, kekuningan, jari-jari sirip tambahan kuning dengan ujung keabuan.

Ukuran yang sering didapatkan di perairan Indonesia mencapai panjang 105 cm,

umumnya 40-70 cm (Anonim, 2012).

Pasar utama tuna sirip biru selatan adalah produk sashimi Jepang. Warna

daging tuna jenis ini adalah merah. Cita rasa yang dihasilkan cukup ringan dan daging

yang memiliki kadar lemak tinggi sehingga sesuai untuk olahan produk sashimi yang

dapat bersaing di pasar Jepang (Anonim, 2013).

B. Alat Tangkap Tuna Sirip Biru Selatan di Samudera Hindia

Menurut Anonim (2012), alat tangkap yang digunakan untuk menangkap tuna

sirip biru selatan di Indonesia adalah jaring insang hanyut (drift gill nets), pancing ulur

(hand lines), pancing tegak (vertical long line), rawai tuna (tuna long line), pancing

tonda (troll line), dan pukat cincin (purse seine). Ikan ini didaratkan di 5 pelabuhan,

yaitu PPS Kendari, PPS Cilacap, PPN Ambon, PPN Pelabuhan Ratu, dan PPS Jakarta.

Alat tangkap yang umum digunakan oleh negara-negara anggota CCSBT adalah

longline, tetapi khusus untuk Australia umumnya menggunakan purse seine (Anonim,

2013). Data alat tangkap yang digunakan untuk menangkap tuna sirip biru selatan di

Samudera Hindia ditampilkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Data Alat Tangkap Tuna Sirip Biru Selatan

TahunJumlah

TripLL Surf PS BB GILL TROL

1991 226 204 0 2 19 1 01992 242 222 1 2 16 1 0

5

Page 6: Seminar 201 20sks 20bismillah

1993 289 263 1 9 16 0 01994 298 283 1 5 9 0 01995 302 288 1 5 8 0 01996 315 300 1 7 7 0 01997 293 278 1 6 8 0 01998 328 319 1 5 3 0 01999 324 317 1 4 2 0 02000 293 288 1 4 0 0 02001 284 279 1 4 0 0 02002 264 258 1 4 2 0 12003 186 177 1 4 1 0 32004 269 261 1 4 0 0 32005 239 228 1 5 0 0 52006 251 238 1 5 2 0 52007 223 210 1 6 1 0 52008 204 195 1 6 0 0 22009 216 206 1 7 1 0 12010 219 214 1 3 0 0 12011 185 174 1 7 0 0 3

Sumber :Data CCSBT Tahun 1991-2011

Keterangan :

LL = Longline

PS = Purse seine

BB = Bait Boat

GILL = Gillnet

TROL = Troll line

SURF = Alat tangkap lain yang tidak dapat diidentifikasi

Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap tuna sirip biru selatan menurut

data CCSBT adalah long line, bait boat (pole and line), gillnet, purse seine, troll line,

dan alat tangkap lain yang tidak dapat diidentifikasi. Alat tangkap yang paling sering

ditemukan setiap tahunnya dengan jumlah penangkapan yang tinggi adalah long

line.Persentase alat tangkap yang sering ditemukan untuk menangkap tuna sirip biru

selatan di Samudera Hindia ditampilkan di Gambar 2.2.

6

Page 7: Seminar 201 20sks 20bismillah

95%

0% 2%2% 0%

1%

Persentase Alat Tangkap

LL (longline)SURF (tidak dapat teridentifikasi)PS (purse seine)BB (Bait Boat)GILL (Gillnet)TROL (troll line)

Gambar 2.2 Persentase Alat Tangkap yang Digunakan

Alat tangkap yang selalu ditemukan setiap tahunnya adalah longline (5202

trip). Alat tangkap selain longline mengalami perkembangan secara berfluktuasi dengan

jumlah trip yang sedikit, yaitu purse seine ditemukan dengan 104 trip, bait boat pada

tahun 1999-2011 sudah tidak ditemukan dengan 95 trip, gillnet pada tahun 1993-2011

sudah tidak ditemukan dengan 2 trip, sedangkan troll lineditemukan pada tahun 2002-

2011 dengan 29 trip. Perkembangan alat tangkap tuna sirip biru selatan di Samudera

Hindia dapat dilihat di Gambar 2.3.

19911992

19931994

19951996

19971998

19992000

20012002

20032004

20052006

20072008

20092010

20110

50100150200250300350

Perkembangan Alat Tangkap Tahun 1991-2011

LL(longline) SURF(tidak dapat diidentifikasi)PS(purse seine) BB(bait boat)GILL(gillnet) TROL(trol line)

Gambar 2.3 Perkembangan Alat Tangkap Tahun 1991-2011

7

Page 8: Seminar 201 20sks 20bismillah

C. Produksi dan Upaya Penangkapan Tuna Sirip Biru Selatan di Samudera Hindia

Pendugaan potensi sumberdaya tuna dilakukan dengan menggunakan data

CCSBT yaitu produksi dan upaya penangkapan yang menggunakan alat tangkap long

line, purse seine, bait boat, gillnet, troll line, dan tangkap lain yang tidak dapat

diidentifikasi. Produksi tuna sirip biru selatan di Samudera Hindia selalu berfluktuasi

setiap tahunnya, hal ini dapat dilihat dari Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Data Produksi dan Upaya Penangkapan

Tahun Effort (trip) Produksi (ton) CPUE (ton/trip) Residual 1991 226 14843 65.68 01992 242 13690 56.57 -9.111993 289 16388 56.71 0.141994 298 24808 83.25 26.541995 302 20290 67.19 -16.061996 315 25639 81.39 14.21997 293 28446 97.09 15.71998 328 25017 76.27 -20.821999 324 25421 78.46 2.192000 293 21659 73.92 -4.542001 284 24272 85.46 11.542002 264 21216 80.36 -5.12003 186 16762 90.12 9.762004 269 17561 65.28 -24.842005 239 20276 84.84 19.562006 251 11856 47.24 -37.62007 223 10525 47.2 -0.042008 204 10266 50.32 3.122009 216 10190 47.18 -3.142010 219 8894 40.61 -6.572011 185 8536 46.14 5.53

Rata-rata 259.52 17931.19 67.68 -0.93max 328 28446 97.09min 185 8536 40.61Sd 44.65 6369.12 17.04

Sumber :Data CCSBT Tahun 1991-2011

8

Page 9: Seminar 201 20sks 20bismillah

Pada Tabel 2.2 terlihat bahwa produksi dan upaya penangkapan tuna sirip biru

selatan cenderung berfluktuasi. Rata-rata produksi tahunan didapatkan 17.931,19 ton

dengan nilai maksimal adalah 28.446 ton pada tahun 1997 dan nilai minimal 8.536 ton

pada tahun 2011. Rata-rata upaya penangkapan tahunan adalah 259,52 trip dengan nilai

maksimal 328 trip pada tahun 1998 dan nilai minimal 185 pada tahun 2011. Standar

deviasi menunjukkan variasi data. Nilai maksimal produksi dan effort memperlihatkan

adanya pengaruh pemanfaatan yang dilakukan, yaitu pada tahun 1997 nilai produksi

yang tinggi pada tahun selanjutnya diikuti dengan pertambahan effort, namun pada

tahun 1998 ternyata penambahan effort tidak menyebabkan bertambahnya produksi.

Semakin menjauhi angka nol menunjukkan bahwa penyebaran data adalah beragam

(bervariasi). Standar deviasi untuk produksi adalah 6369,12 dan upaya penangkapannya

44, 65 memperlihatkan variasi data yang sangat beragam.

Rata-rata CPUE adalah 67,68 ton/trip dengan nilai maksimal adalah 97,09

ton/trip pada tahun 1997 dan nilai minimal 40,61 ton/trip pada tahun 2010. Standar

deviasi CPUE adalah 17,042 ton/trip. Residual didapatkan dari selisih CPUE dari tahun

kedua dengan tahun sebelumnya. Dari nilai residual dapat dilihat adanya pertumbuhan

atau perubahan CPUE dari tahun ke tahun sebelumnya. Rata-rata residual adalah -0,93

ton/trip memperlihatkan adanya pertumbuhan yang bernilai negatif dari hasil

penangkapan per unit upayanya dengan rata-rata penurunan sebesar 93%.

Dari tabel di atas, terlihat bahwa effort dan produksi yang meningkat

berbanding terbalik dengan menurunnya CPUE dan sebaliknya. Sehingga apabila upaya

selalu meningkat akan menyebabkan jumlah ikan dalam setiap unit upaya akan

menurun. Fluktuasi produksi dan effort tahunan dapat dilihat pada Gambar 2.4 dan

Gambar 2.5.

9

Page 10: Seminar 201 20sks 20bismillah

1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 20110

5000

10000

15000

20000

25000

30000

f(x) = − 124.77868584468 x² + 498769.59165948 x − 498401463.6009R² = 0.766168528012358

Grafik Produksi Tahunan

Tahun

Prod

uksi

(ton

)

Gambar 2.4 Grafik Produksi Tahun 1991-2011

1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 20110

50100150200250300350

f(x) = − 0.6660970608335 x² + 2661.3684894037 x − 2658061.102254R² = 0.615484151349553

Grafik Effort Tahunan

Tahun

Effor

t (Tr

ip)

Gambar 2.5 Grafik Effort Tahun 1991-2011

Gambar 2.4 menunjukkan fluktuasi produksi tuna sirip biru tahunan dari tahun

1991-2011 sedangkan Gambar 2.5 menunjukkan fluktuasi effort (upaya penangkapan)

tahunan dari tahun 1991-2011. Grafik tersebut menunjukkan tingkat produksi dan

fluktuasi yang cenderung berubah. Penangkapan tertinggi terjadi antara tahun1995-2000

yang diikuti dengan kenaikan upaya penangkapan. Tahun-tahun selanjutnya produksi

dan effort yang cenderung menurun. R2 merupakan koefisien determinasi yang

menunjukkan seberapa kuatnya variabel terikat dipengaruhi oleh variabel bebas. R2

pada grafik produksi tahunan adalah 0,7662 dan pada grafik effort tahunan adalah

0,6155. Nilai R2 yang mendekati 1 menunjukkan bahwa pengaruh variabel bebas

(tahun) sangat kuat terhadap variabel terikat (produksi dan effort). Gambar 2.4 dan

10

Page 11: Seminar 201 20sks 20bismillah

Gambar 2.5 menunjukkan trendline (kecenderungan) produksi dan effort tuna sirip biru

selatan yang menurun.

Hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) adalah jumlah hasil tangkapan yang

diambil per unit alat tangkap, misalnya jumlah ikan per matapancing per bulan. CPUE

dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi ekonomi dari suatu jenis alat tangkap, tetapi

biasanya CPUE digunakan sebagai suatu indeks kelimpahan (abundance), yakni bila

perubahan dalam CPUE secara proporsional mewakili perubahan dalam kelimpahan

namun demikian diketahui bahwa terdapat sejumlah faktor (termasuk ekonomi,

distribusi geografis) yang dapat mempengaruhi CPUE tetapi tidak mewakili perubahan-

perubahan dalam kelimpahan (Widodo dan Suadi, 2008).

Grafik perkembangan hubungan CPUE dan effort dapat dilihat pada Gambar

2.6.Secara umum dapat dikatakan bahwa trendline perkembangan antara CPUE dan

effort adalah meningkat.

180 210 240 270 300 3300

20

40

60

80

100

120

f(x) = 0.193191872618465 x + 17.5421092490175R² = 0.256154806906368

Grafik CPUE vs Effort

Effort (trip)

CPUE

(ton

/trip

)

Gambar 2.6. Grafik Hubungan CPUE dan Effort

R2 grafik di atas adalah 0,2562 menunjukkan bahwa effort tidak begitu kuat

dalam mempengaruhi CPUE. Di atas telah dijelaskan bahwa trendline (kecenderungan)

CPUE dari Gambar 2.6 adalah meningkat, hal ini dapat dikatakan bahwa upaya

penangkapan dan produksi tangkapan tuna sirip biru selatan menurun sehingga jumlah

ikan per unit upaya akan cenderung meningkat. Kecenderungan ini dapat digunakan

sebagai identifikasi stok. Menurut Widodo dan Suadi (2008), berbagai kecenderungan

11

Page 12: Seminar 201 20sks 20bismillah

dapat membantu di dalam melakukan identifikasi stok. Kecenderungan kelimpahan

relatif selang beberapa tahun sering dapat diukur dengan menggunakan data hasil

tangkapan per unit upaya (CPUE). Hal ini disebabkan karena laju penangkapan (catch

rate) pada umumnya proporsional terhadap densitas ikan dalam suatu area. Semakin

banyak ikan semakin banyak suatu unit alat tangkap dapat menangkap per-trip-nya.

Apabila cpue dianggap sebagai indeks kelimpahan, pada jangka panjang, trend tahunan

dari cpue dalam suatu area dari suatu stok seharusnya berkaitan dengan trend dari cpue

di setiap area lain yang dihuni oleh stok yang sama.

D. Pengelolaan Tuna Sirip Biru Selatan oleh CCSBT

The Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)

merupakan organisasi antar-pemerintahan yang bertujuan untuk mengelola tuna sirip

biru selatan termasuk distribusinya. CCSBT memastikan manajemen yang tepat, upaya

konservasi, dan pemanfaatan secara optimal dari tuna sirip biru selatan (Anonim, 2013).

Tabel 2.3 Sejarah Perkembangan CCSBT

1960 Tuna sirip biru selatan mengalami penangkapan besar-besaran yang rata-rata tangkapan tahunan mencapai 80.000 ton. Penangkapan berlebih ini mengakibatkan adanya kemunduran matang gonad ikan dan tingkat penangkapan yang semakin turun.

Pertengahan 1980

Menjadi tolak ukur dimana pengelolaan dan konservasi tuna sirip biru selatan dibutuhkan, dimana stok tuna sirip biru selatan sudah semakin berkurang. Australia, Jepang, dan New Zealand memulai untuk menerapkan sistemkuota bagi armada penangkapan.

1985 Australia, Jepang, dan New Zealand memulai manajemen dan konservasi untuk memastikan pembangunan kembali penangkapan tuna sirip biru selatan.

20 Mei 1994 Ketiga negara tersebut melakukan pertemuan Convention fot the Conservation of Southern Bluefin Tuna yang kemudian berubah menjadi Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) yang bermarkas di Canberra, Australia.

17 Okt 2001 Republik Korea bergabung CCSBT30 Agust 2002 Taiwan bergabung CCSBT8 April 2008 Indonesia bergabung CCSBTOktober 2003 Disetujui adanya anggota tidak tetap yang berpartisipasi dalam

perikanan tuna sirip biru selatan tetapi tidak dapat mengambil suara.2 Agust 2004 Filipina bergabung menjadi Non-Anggota Mitra CCSBT24 Agust 2006 Afrika Selatan bergabung menjadi Non-Anggota Mitra CCSBT13 Okt 2006 Uni Eropa bergabung menjadi Non-Anggota Mitra CCSBT

Sumber : Anonim(2013)

12

Page 13: Seminar 201 20sks 20bismillah

Anggota CCSBT adalah Australia, Taiwan, Indonesia, Jepang, Korea, dan

New Zealand. Sedangkan anggota tidak tetapadalah Filipina, Afrika Selatan, dan Uni

Eropa. Nilai produksi masing-masing negara anggota CCSBT tahun 1991-2011 dapat

dilihat di Tabel 2.4.

Tabel 2.4Total Produksi Negara Anggota CCSBT di Samudera Hindia Tahun 1991-2011

Negara Produksi (ton)Australia 99.153Japan 74.547New Zealand 0Korea 13.042Taiwan 22.490Filipina 676Indonesia 24.590Afrika Selatan 218Uni Eropa 83Lain-lain 2.751

Sumber : CCSBT 1991-2011

Proporsi produksi tangkapan tuna sirip biru selatan oleh negara Anggota

CCSBT ditampilkan di Gambar 2.7.

Total Produksi Negara CCSBTAustraliaJepangNewZealandKoreaTaiwanFilipinaIndonesiaAfrikaSelatanUniEropaLain-lain

Gambar 2.7 Proporsi Produksi Negara CCSBT di Samudera Hindia Tahun 1991-2011

Penangkapan tuna sirip biru selatan sudah ditentukan jumlah produksinya

masing-masing negara anggota CCSBT. Negara yang paling tinggi tingkat penangkapan

13

Page 14: Seminar 201 20sks 20bismillah

tuna sirip biru selatan di Samudera Hindia dari tahun 1991-2011 adalah Australia,

kemudian Jepang, Indonesia, Taiwan, Korea, Filipina, dan Afrika Selatan, sedangkan

New Zealand tidak melakukan penangkapan di Samudera Hindia.

CCSBT menyetujui adanya Management Procedure (MP) untuk digunakan

sebagai panduan penentuan TAC (Total Allowable Catch) secara global.TAC

merupakan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Penentuan TAC diperoleh dari

monitoring data yang selalu diperbarui. Penentuan TAC untuk komoditas tuna,

cakalang, ikan demersal, ikan pelagis kecil masing-masing ditetapkan maksimum

sebesar 80% dari Maximum Sustainable Yield (MSY) (Widodo, 2001).

Management procedure dikenal dengan “Bali Procedure” yang

direkomendasikan oleh Scientific Committee CCSBT menyepakati kenaikan kuota

tangkapan tuna sirip biru selatan pada Bulan Oktober 2011. Bali Procedure berisi

mengenai :

1. Minimal perubahan TAC (meningkat atau menurun) adalah 100 ton;

2. Maksimum perubahan TAC (meningkat atau menurun) adalah 3000 ton;

3. TAC akan diperbarui setiap 3 tahun periode;

4. Alokasi TAC pada tahun selanjutnya akan dibagi secara adil sesuai dengan

panduan TAC Global tuna sirip biru selatan.

TAC pada periode pertama (2012-2014) dapat dilihat di Tabel 2.5. Sedangkan

untuk alokasi produksi masing-masing anggota CCSBT dapat dilihat di Tabel 2.6.

Tabel 2.5 Pembagian TAC Tahun 2012-2014

2012 10.499 ton2013 10.949 ton2014 12.449 ton

atau akan mengikuti data 2015-2017Sumber :Data CCSBT (2013)

Tabel 7. Alokasi Penangkapan Anggota CCSBT

Negara 2012 (ton) 2013 (ton) 2014 (ton)Jepang 2.519 2.703 3.361

Australia 4.528 4.713 5.151Republik Korea 911 948 1.036

Taiwan 911 948 1.036

14

Page 15: Seminar 201 20sks 20bismillah

New Zealand 800 833 910Indonesia 685 709 750Filipina 45 45 45

Afrika Selatan 40 40 40Uni Eropa 10 10 10

Sumber :Data CCSBT (2013)

Menurut Widodo (2001), tujuan pengelolaan secara luas meliputi konservasi

sumberdaya perikanan dan lingkungannya, maksimalisasi perolehan ekonomi (economic

returns) dari perikanan, serta pembayaran fee kepada masyarakat dari keuntungan yang

diperoleh dari kegiatan eksploitasi atas suatu sumberdaya umum. Beberapa hal yang

dapat dilakukan untuk menunjang pengelolaan perikanan antara lain adalah :

1. Penelitian dan pengkajian stok dapat digunakan untuk memberi saran kepada para

pengelola perikanan dalam bentuk berbagai kemungkinan hasil biologi, ekonomi,

dan lingkungan.

2. Memaksimumkan hasil tangkapan lestari (MSY) karena nilai estimasi dapat

digunakan sebagai batas maksimum hasil tangkapan yang dapat dipanen dari suatu

stok. Kecuali bila sifat stokastik dari hasil tangkapan diperhitungkan, penangkapan

pada suatu tingkat yang tetap dari MSY dapat mengarah kepada tingkat stok di

bawah dari yang diperlukan untuk menjaga rekruitmen.

3. Memaksimumkan hasil ekonomi lestari (MEY) dirasa kurang memadai karena

sangatlah jarang pengelolaan perikanan hanya didasarkan pada faktor ekonomi.

4. Mengacu pada sejumlah referensi biologi, misalnya tingkat mortalitas. Tingkat

mortalitas penangkapan diperlukan untuk memperoleh hasil tangkapan maksimum

dan sifat konservatifnya yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi dan suatu

penyangga terhadap penangkapan berlebih yang berpengaruh terhadap rekruitmen.

5. Mempertahankan ukuran stok minimum dapat meningkatkan stabilitas hasil

tangkapan dari tahun ke tahun dan meminimumkan fluktuasi dalam hasil tangkapan

yang disebabkan oleh variasi rekruitmen.

6. Mempertahankan stok yang sedang memijah sehingga tidak melakukan

penangkapan pada masa ikan waktu matang gonad.

7. Regulasi perikanan untuk mendukung strategi pengelolaan yang telah dirumuskan,

diperlukan adanya kebijakan yang digunakan untuk menurunkan atau menahan

upaya penangkapan (input control) dan membatasi hasil tangkapan (output control).

15

Page 16: Seminar 201 20sks 20bismillah

Input control antara lain pembatasan jumlah unit penangkapan, pembatasan

efisiensi atau tipe alat penangkapan, penutupan (closure), dan ukuran mata jaring

minimum. Sedangkan output control antara lain kuota hasil tangkapan (catch

quota) dan penegakan regulasi (enforcement of regulation).

16

Page 17: Seminar 201 20sks 20bismillah

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembahasan makalah ini dapat disimpulkan yaitu :

1. Alat tangkap yang dipergunakan untuk menangkap tuna sirip biru selatan di

Samudera Hindia menurut data CCSBT adalah long line, bait boat (pole and line),

gillnet, purse seine, troll line, dan alat tangkap lain yang tidak dapat diidentifikasi.

Alat tangkap yang paling dominan ditemukan adalah longline.

2. Trend produksi dan upaya penangkapan tuna sirip biru selatan cenderung menurun,

sedangkan CPUE cenderung meningkat.

3. Pengelolaan tuna sirip biru selatan, salah satunya dilakukan oleh CCSBT (The

Commision for the Conservation of Southern Bluefin Tuna), dengan memberlakukan

kuota jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau TAC (Total Allowable Catch) bagi

masing-masing anggotanya.

B. Saran

Saran dari penulis terkait dengan pengelolaan tuna sirip biru selatan, khususnya

untuk Indonesia adalah perairan selatan Jawa yang digunakan sebagai satu-satunya

habitat pemijahan tuna sirip biru selatan perlu dijaga dan diawasi dengan ketat agar

habitat ini tidak rusak dan tuna sirip biru selatan dapat tetap lestari.Selain itu Indonesia

diharapkan tetap aktif dalam upaya melestarikan tuna sirip biru selatan dengan menjaga

kuota tangkapan dan meminimalkan tindakan IUU.

17

Page 18: Seminar 201 20sks 20bismillah

DAFTAR PUSTAKA

CCSBT. 2013. Management Procedure. http://ccsbt.org. Diakses 7 November 2013.

Anonim. 2013. Thunnus maccoyii. http://ccsbt.org. Diakses 7 November 2013.

Anonim.2013. Thunnus maccoyii. http://fishbase.org.Diakses 7 November 2013.

Anonim. 2013. Total Allowable Catch. http://ccsbt.org.Diakses 7 November 2013.

Anonim. 2012. Tuna sirip biru selatan. http://pipp. kkp. go.id . Diakses 7 November 2013.

Habibi, A., D. Ariyogagautama, Sugiyanta. 2011. Panduan Penangkapan dan Penanganan Perikanan Tuna.WWF-Indonesia. Jakarta.

Rahajeng, M. 2012. Warta Ekspor.Tuna Indonesia.Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. Jakarta.

Widodo, J. 2001. Strategi Pengelolaan Perikanan. Semiloka Nasional Fish Stock Assessment. Universitas Brawijaya. Malang.

Widodo, J. and Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

18