seminar 201 20sks 20bismillah
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbatasan langsung dengan
Samudra Hindia dan Samudra Pasifik yang merupakan jalur migrasi tuna. Selain itu,
posisi Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa menyebabkan massa air barat dan
timur membawa partikel yang kaya akan makanan biota laut, sehingga perairannya
cenderung subur.
Tuna merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis penting
dan bernilai jual tinggi yang berhabitat di wilayah perairan Indonesia (jalur migrasi).
Tuna merupakan salah satu primadona komoditas ekspor dan menjadi komoditas ekspor
perikanan Indonesia terbesar setelah udang.
Total tangkapan tuna dunia mengalami peningkatan dari 2,5 juta ton pada
tahun 1986 menjadi 3,7 juta ton pada tahun 2003. 89% dari jumlah tangkapan berasal
dari perairan laut sekitar Coral triangle di Samudra Pasifik (Indonesia, Philipina,
Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon). Kemudian 23%
hasil tangkapan berasal dari Samudera Hindia. Penangkapan tuna juga semakin
meningkat dengan armada penangkapan yang semakin modern dan bertambah banyak
dari tahun ke tahun. Namun demikian pertumbuhan industri perikanan tangkap tersebut
telah mulai diikuti dengan penurunan hasil tangkapan yang merupakan salah satu
indikasi jumlah tangkapan yang telah melewati batas MSY, sehingga mengakibatkan
berkurangnya stok tuna (Habibi, 2011). Karena itu, pemanfaatan secara berkelanjutan
sangat diperlukan dalam upaya pengendalian dan pengawasan perikanan tuna.
Tuna yang hidup di perairan laut Indonesia dikelompokkan menjadi dua jenis,
yakni tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar meliputi madidihang (yellowfin tuna),
albakora (albacore),tuna mata besar (big eye tuna), dan tuna sirip biru selatan (southern
bluefin tuna). Ikan madidihang dan mata besar terdapat di seluruh wilayah perairan laut
Indonesia. Sedangkan, albakora hidup di perairan sebelah Barat Sumatera, Selatan Bali
sampai dengan Nusa Tenggara Timur. Tuna sirip biru selatan hanya hidup di perairan
sebelah Selatan Jawa sampai ke perairan Samudra Hindia bagian Selatan yang bersuhu
dingin. Sementara itu, tuna kecil terdiri dari cakalang (skipjack tuna), tongkol
(eutynnus affinis), tongkol kecil (auxis thazard) dan ikan abu-abu (thunnus tonggol).
1
Ikan cakalang dapat dijumpai di seluruh perairan laut Indonesia, kecuali di Paparan
Sunda bagian Selatan, Selat Malaka, Selat Karimata, dan Laut Jawa. Tuna mempunyai
daerah penyebaran yang sangat luas atau hampir di semua daerah tropis maupun
subtropis (Rahajeng, 2012).
Tabel 1.1 Jenis-Jenis Tuna di Indonesia
Nama Indonesia Jenis Ikan Nama InternasionalLisong Auxis rochei Bullet Tuna
Tongkol Pisang / Krai Auxis thazard Frigated tunaTongkol Komo Eutynnus affinis Eastern Little Tuna
Cakalang Katsuwonus pelamis Skipjack tunaTongkol Abu-Abu Thunnus tonggol Longtail Tuna
Madidihang Thunnus albacores Yellowfin tunaAlbakora Thunnus alalunga Albacore
Tuna Mata Besar Thunnus obetus Bigeye TunaTuna Sirip Biru Selatan Thunnus maccoyii Southern Bluefin Tuna
Sumber : Rahajeng, 2012
Tuna sirip biru selatan merupakan spesies yang telah dikategorikan sebagai
spesies yang terancam (punah) oleh komisi konservasi dunia (IUCN) sehingga
berdirilah beberapa organisasi yang turut serta dalam pengelolaannya, salah satunya
adalah Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). CCSBT
merupakan organisasi antar-pemerintahan yang bertujuan untuk mengelola tuna sirip
biru selatan termasuk distribusinya.Terdaftarnya Indonesia sebagai anggota CCSBT
pada tahun 2008 memberikan banyak peluang kepada Indonesia untuk memanfaatkan
dan memajukan perikanan tuna sirip biru selatan di Samudera Hindia. Sebagai anggota
CCSBT, negara anggota diwajibkan untuk melaporkan hasil tangkapan tuna sirip biru
selatan, sehingga dari data tangkapan seluruh tuna sirip biru selatan di Samudera Hindia
dapat disimpulkan kondisi perikanan tuna secara global. Makalah ini bertujuan untuk
mengetahui trend produksi, effort, dan CPUE tuna sirip biru selatan di Samudra Hindia
melalui analisis data penangkapan yang dilaporkan CCSBT dalam kurun waktu 1991-
2011.
2
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui alat tangkap yang
dipergunakan untuk menangkap tuna sirip biru selatan di Samudra Hindia, mengetahui
trend produksi, upaya, dan CPUE tuna sirip biru selatan di Samudra Hindia, dan
mengetahui pengelolaan sumberdaya tuna sirip biru selatan yang dilakukan oleh The
Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT).
C. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai bahan pertimbangan
kepada pembuat kebijakan dalam rangka penentuan pengelolaan penangkapan tuna sirip
biru selatan secara menyeluruh.
3
II. PEMBAHASAN
A. Deskripsi Tuna Sirip Biru Selatan (Thunnus maccoyii)
Tuna sirip biru merupakan ikan pelagis besar yang dapat berenang pada
kedalaman 50-2743 m. Temperatur optimal antara 5-20oC dan di koordinat 8°LS -
60°LS, 180°BB - 180°BT. Panjang matang gonad maksimum adalah 119 cm dengan
kisaran antara 120-130 cm. Panjang maksimal dapat mencapai 245 cm (Anonim, 2013).
Sedangkan menurut Anonim (2013), tuna sirip biru selatan berenang dengan kecepatan
rata-rata 2-3 km/jam. Ikan ini dapat hidup selama 40 tahun mencapai berat 200 kg dan
panjang lebih dari 2 meter. Tidak ada angka pasti kapan ikan ini melakukan pemijahan
namun menurut data komisi CCSBT mengatakan pemijahan dilakukan pada umur lebih
dari 8 tahun dengan panjang 1,5 meter. Wilayah pemijahan adalah perairan Samudra
Hindia bagian selatan perairan Jawa, Indonesia. Pemijahan dilakukan pada kisaran
bulan September hingga April, selanjutnya juvenil akan bermigrasi ke arah barat
Australia. Daerah penyebaran tuna sirip biru selatan di Samudera Hindia dapat dilihat di
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Daerah Penyebaran Tuna Sirip Biru Selatan
Sumber : fishbase.org
Nama Indonesia : Sirip Biru Selatan
Nama latin : Thunnus maccoyii
Nama inggris : Southern Bluefin Tuna
Ukuran panjang layak tangkap (Fork Length) : 140 cm (Habibi, 2012)
Ikan ini merupakan famili Scombridae dan genus Thunnus. Badan
memanjang, seperti torpedo, bulat (penampangnya). Tergolong tuna besar. Tapisan
4
insang pada busur insang pertama 19-26. Kepala besar, demikian pula matanya. Sirip
punggung pertama berjari-jari 12-13, dan 14 jari-jari lemah pada sirip punggung kedua,
diikuti 9 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-jari lemah 14, diikuti 18 jari-jari
sirip tambahan. Terdapat 2 lidah/cuping diantara sirip perutnya. Sisik kecil menutupi
badannya, sisik pada korselet agak besar, tetapi tidak selalu nyata. Satu lunas kaut pada
batang ekor, diapit oleh dua lunas kecil pada ujung belakangnya. Tanpa gelembung
udara. Hidup diperairan pantai, tetapi selalu menghindari muara-muara sungai yang
berkadar garam rendah. Termasuk ikan buas, makanannya ikan kecil, cumi-cumi,
udang. Mempunyai warna biru kehijauan pada bagian atas, putih perak pada bagian
bawah; terdapat totol-totol warna putih pada bagian perutnya; ujung sirip punggung
sirip kedua, dubur, kekuningan, jari-jari sirip tambahan kuning dengan ujung keabuan.
Ukuran yang sering didapatkan di perairan Indonesia mencapai panjang 105 cm,
umumnya 40-70 cm (Anonim, 2012).
Pasar utama tuna sirip biru selatan adalah produk sashimi Jepang. Warna
daging tuna jenis ini adalah merah. Cita rasa yang dihasilkan cukup ringan dan daging
yang memiliki kadar lemak tinggi sehingga sesuai untuk olahan produk sashimi yang
dapat bersaing di pasar Jepang (Anonim, 2013).
B. Alat Tangkap Tuna Sirip Biru Selatan di Samudera Hindia
Menurut Anonim (2012), alat tangkap yang digunakan untuk menangkap tuna
sirip biru selatan di Indonesia adalah jaring insang hanyut (drift gill nets), pancing ulur
(hand lines), pancing tegak (vertical long line), rawai tuna (tuna long line), pancing
tonda (troll line), dan pukat cincin (purse seine). Ikan ini didaratkan di 5 pelabuhan,
yaitu PPS Kendari, PPS Cilacap, PPN Ambon, PPN Pelabuhan Ratu, dan PPS Jakarta.
Alat tangkap yang umum digunakan oleh negara-negara anggota CCSBT adalah
longline, tetapi khusus untuk Australia umumnya menggunakan purse seine (Anonim,
2013). Data alat tangkap yang digunakan untuk menangkap tuna sirip biru selatan di
Samudera Hindia ditampilkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Data Alat Tangkap Tuna Sirip Biru Selatan
TahunJumlah
TripLL Surf PS BB GILL TROL
1991 226 204 0 2 19 1 01992 242 222 1 2 16 1 0
5
1993 289 263 1 9 16 0 01994 298 283 1 5 9 0 01995 302 288 1 5 8 0 01996 315 300 1 7 7 0 01997 293 278 1 6 8 0 01998 328 319 1 5 3 0 01999 324 317 1 4 2 0 02000 293 288 1 4 0 0 02001 284 279 1 4 0 0 02002 264 258 1 4 2 0 12003 186 177 1 4 1 0 32004 269 261 1 4 0 0 32005 239 228 1 5 0 0 52006 251 238 1 5 2 0 52007 223 210 1 6 1 0 52008 204 195 1 6 0 0 22009 216 206 1 7 1 0 12010 219 214 1 3 0 0 12011 185 174 1 7 0 0 3
Sumber :Data CCSBT Tahun 1991-2011
Keterangan :
LL = Longline
PS = Purse seine
BB = Bait Boat
GILL = Gillnet
TROL = Troll line
SURF = Alat tangkap lain yang tidak dapat diidentifikasi
Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap tuna sirip biru selatan menurut
data CCSBT adalah long line, bait boat (pole and line), gillnet, purse seine, troll line,
dan alat tangkap lain yang tidak dapat diidentifikasi. Alat tangkap yang paling sering
ditemukan setiap tahunnya dengan jumlah penangkapan yang tinggi adalah long
line.Persentase alat tangkap yang sering ditemukan untuk menangkap tuna sirip biru
selatan di Samudera Hindia ditampilkan di Gambar 2.2.
6
95%
0% 2%2% 0%
1%
Persentase Alat Tangkap
LL (longline)SURF (tidak dapat teridentifikasi)PS (purse seine)BB (Bait Boat)GILL (Gillnet)TROL (troll line)
Gambar 2.2 Persentase Alat Tangkap yang Digunakan
Alat tangkap yang selalu ditemukan setiap tahunnya adalah longline (5202
trip). Alat tangkap selain longline mengalami perkembangan secara berfluktuasi dengan
jumlah trip yang sedikit, yaitu purse seine ditemukan dengan 104 trip, bait boat pada
tahun 1999-2011 sudah tidak ditemukan dengan 95 trip, gillnet pada tahun 1993-2011
sudah tidak ditemukan dengan 2 trip, sedangkan troll lineditemukan pada tahun 2002-
2011 dengan 29 trip. Perkembangan alat tangkap tuna sirip biru selatan di Samudera
Hindia dapat dilihat di Gambar 2.3.
19911992
19931994
19951996
19971998
19992000
20012002
20032004
20052006
20072008
20092010
20110
50100150200250300350
Perkembangan Alat Tangkap Tahun 1991-2011
LL(longline) SURF(tidak dapat diidentifikasi)PS(purse seine) BB(bait boat)GILL(gillnet) TROL(trol line)
Gambar 2.3 Perkembangan Alat Tangkap Tahun 1991-2011
7
C. Produksi dan Upaya Penangkapan Tuna Sirip Biru Selatan di Samudera Hindia
Pendugaan potensi sumberdaya tuna dilakukan dengan menggunakan data
CCSBT yaitu produksi dan upaya penangkapan yang menggunakan alat tangkap long
line, purse seine, bait boat, gillnet, troll line, dan tangkap lain yang tidak dapat
diidentifikasi. Produksi tuna sirip biru selatan di Samudera Hindia selalu berfluktuasi
setiap tahunnya, hal ini dapat dilihat dari Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Data Produksi dan Upaya Penangkapan
Tahun Effort (trip) Produksi (ton) CPUE (ton/trip) Residual 1991 226 14843 65.68 01992 242 13690 56.57 -9.111993 289 16388 56.71 0.141994 298 24808 83.25 26.541995 302 20290 67.19 -16.061996 315 25639 81.39 14.21997 293 28446 97.09 15.71998 328 25017 76.27 -20.821999 324 25421 78.46 2.192000 293 21659 73.92 -4.542001 284 24272 85.46 11.542002 264 21216 80.36 -5.12003 186 16762 90.12 9.762004 269 17561 65.28 -24.842005 239 20276 84.84 19.562006 251 11856 47.24 -37.62007 223 10525 47.2 -0.042008 204 10266 50.32 3.122009 216 10190 47.18 -3.142010 219 8894 40.61 -6.572011 185 8536 46.14 5.53
Rata-rata 259.52 17931.19 67.68 -0.93max 328 28446 97.09min 185 8536 40.61Sd 44.65 6369.12 17.04
Sumber :Data CCSBT Tahun 1991-2011
8
Pada Tabel 2.2 terlihat bahwa produksi dan upaya penangkapan tuna sirip biru
selatan cenderung berfluktuasi. Rata-rata produksi tahunan didapatkan 17.931,19 ton
dengan nilai maksimal adalah 28.446 ton pada tahun 1997 dan nilai minimal 8.536 ton
pada tahun 2011. Rata-rata upaya penangkapan tahunan adalah 259,52 trip dengan nilai
maksimal 328 trip pada tahun 1998 dan nilai minimal 185 pada tahun 2011. Standar
deviasi menunjukkan variasi data. Nilai maksimal produksi dan effort memperlihatkan
adanya pengaruh pemanfaatan yang dilakukan, yaitu pada tahun 1997 nilai produksi
yang tinggi pada tahun selanjutnya diikuti dengan pertambahan effort, namun pada
tahun 1998 ternyata penambahan effort tidak menyebabkan bertambahnya produksi.
Semakin menjauhi angka nol menunjukkan bahwa penyebaran data adalah beragam
(bervariasi). Standar deviasi untuk produksi adalah 6369,12 dan upaya penangkapannya
44, 65 memperlihatkan variasi data yang sangat beragam.
Rata-rata CPUE adalah 67,68 ton/trip dengan nilai maksimal adalah 97,09
ton/trip pada tahun 1997 dan nilai minimal 40,61 ton/trip pada tahun 2010. Standar
deviasi CPUE adalah 17,042 ton/trip. Residual didapatkan dari selisih CPUE dari tahun
kedua dengan tahun sebelumnya. Dari nilai residual dapat dilihat adanya pertumbuhan
atau perubahan CPUE dari tahun ke tahun sebelumnya. Rata-rata residual adalah -0,93
ton/trip memperlihatkan adanya pertumbuhan yang bernilai negatif dari hasil
penangkapan per unit upayanya dengan rata-rata penurunan sebesar 93%.
Dari tabel di atas, terlihat bahwa effort dan produksi yang meningkat
berbanding terbalik dengan menurunnya CPUE dan sebaliknya. Sehingga apabila upaya
selalu meningkat akan menyebabkan jumlah ikan dalam setiap unit upaya akan
menurun. Fluktuasi produksi dan effort tahunan dapat dilihat pada Gambar 2.4 dan
Gambar 2.5.
9
1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 20110
5000
10000
15000
20000
25000
30000
f(x) = − 124.77868584468 x² + 498769.59165948 x − 498401463.6009R² = 0.766168528012358
Grafik Produksi Tahunan
Tahun
Prod
uksi
(ton
)
Gambar 2.4 Grafik Produksi Tahun 1991-2011
1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 20110
50100150200250300350
f(x) = − 0.6660970608335 x² + 2661.3684894037 x − 2658061.102254R² = 0.615484151349553
Grafik Effort Tahunan
Tahun
Effor
t (Tr
ip)
Gambar 2.5 Grafik Effort Tahun 1991-2011
Gambar 2.4 menunjukkan fluktuasi produksi tuna sirip biru tahunan dari tahun
1991-2011 sedangkan Gambar 2.5 menunjukkan fluktuasi effort (upaya penangkapan)
tahunan dari tahun 1991-2011. Grafik tersebut menunjukkan tingkat produksi dan
fluktuasi yang cenderung berubah. Penangkapan tertinggi terjadi antara tahun1995-2000
yang diikuti dengan kenaikan upaya penangkapan. Tahun-tahun selanjutnya produksi
dan effort yang cenderung menurun. R2 merupakan koefisien determinasi yang
menunjukkan seberapa kuatnya variabel terikat dipengaruhi oleh variabel bebas. R2
pada grafik produksi tahunan adalah 0,7662 dan pada grafik effort tahunan adalah
0,6155. Nilai R2 yang mendekati 1 menunjukkan bahwa pengaruh variabel bebas
(tahun) sangat kuat terhadap variabel terikat (produksi dan effort). Gambar 2.4 dan
10
Gambar 2.5 menunjukkan trendline (kecenderungan) produksi dan effort tuna sirip biru
selatan yang menurun.
Hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) adalah jumlah hasil tangkapan yang
diambil per unit alat tangkap, misalnya jumlah ikan per matapancing per bulan. CPUE
dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi ekonomi dari suatu jenis alat tangkap, tetapi
biasanya CPUE digunakan sebagai suatu indeks kelimpahan (abundance), yakni bila
perubahan dalam CPUE secara proporsional mewakili perubahan dalam kelimpahan
namun demikian diketahui bahwa terdapat sejumlah faktor (termasuk ekonomi,
distribusi geografis) yang dapat mempengaruhi CPUE tetapi tidak mewakili perubahan-
perubahan dalam kelimpahan (Widodo dan Suadi, 2008).
Grafik perkembangan hubungan CPUE dan effort dapat dilihat pada Gambar
2.6.Secara umum dapat dikatakan bahwa trendline perkembangan antara CPUE dan
effort adalah meningkat.
180 210 240 270 300 3300
20
40
60
80
100
120
f(x) = 0.193191872618465 x + 17.5421092490175R² = 0.256154806906368
Grafik CPUE vs Effort
Effort (trip)
CPUE
(ton
/trip
)
Gambar 2.6. Grafik Hubungan CPUE dan Effort
R2 grafik di atas adalah 0,2562 menunjukkan bahwa effort tidak begitu kuat
dalam mempengaruhi CPUE. Di atas telah dijelaskan bahwa trendline (kecenderungan)
CPUE dari Gambar 2.6 adalah meningkat, hal ini dapat dikatakan bahwa upaya
penangkapan dan produksi tangkapan tuna sirip biru selatan menurun sehingga jumlah
ikan per unit upaya akan cenderung meningkat. Kecenderungan ini dapat digunakan
sebagai identifikasi stok. Menurut Widodo dan Suadi (2008), berbagai kecenderungan
11
dapat membantu di dalam melakukan identifikasi stok. Kecenderungan kelimpahan
relatif selang beberapa tahun sering dapat diukur dengan menggunakan data hasil
tangkapan per unit upaya (CPUE). Hal ini disebabkan karena laju penangkapan (catch
rate) pada umumnya proporsional terhadap densitas ikan dalam suatu area. Semakin
banyak ikan semakin banyak suatu unit alat tangkap dapat menangkap per-trip-nya.
Apabila cpue dianggap sebagai indeks kelimpahan, pada jangka panjang, trend tahunan
dari cpue dalam suatu area dari suatu stok seharusnya berkaitan dengan trend dari cpue
di setiap area lain yang dihuni oleh stok yang sama.
D. Pengelolaan Tuna Sirip Biru Selatan oleh CCSBT
The Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)
merupakan organisasi antar-pemerintahan yang bertujuan untuk mengelola tuna sirip
biru selatan termasuk distribusinya. CCSBT memastikan manajemen yang tepat, upaya
konservasi, dan pemanfaatan secara optimal dari tuna sirip biru selatan (Anonim, 2013).
Tabel 2.3 Sejarah Perkembangan CCSBT
1960 Tuna sirip biru selatan mengalami penangkapan besar-besaran yang rata-rata tangkapan tahunan mencapai 80.000 ton. Penangkapan berlebih ini mengakibatkan adanya kemunduran matang gonad ikan dan tingkat penangkapan yang semakin turun.
Pertengahan 1980
Menjadi tolak ukur dimana pengelolaan dan konservasi tuna sirip biru selatan dibutuhkan, dimana stok tuna sirip biru selatan sudah semakin berkurang. Australia, Jepang, dan New Zealand memulai untuk menerapkan sistemkuota bagi armada penangkapan.
1985 Australia, Jepang, dan New Zealand memulai manajemen dan konservasi untuk memastikan pembangunan kembali penangkapan tuna sirip biru selatan.
20 Mei 1994 Ketiga negara tersebut melakukan pertemuan Convention fot the Conservation of Southern Bluefin Tuna yang kemudian berubah menjadi Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) yang bermarkas di Canberra, Australia.
17 Okt 2001 Republik Korea bergabung CCSBT30 Agust 2002 Taiwan bergabung CCSBT8 April 2008 Indonesia bergabung CCSBTOktober 2003 Disetujui adanya anggota tidak tetap yang berpartisipasi dalam
perikanan tuna sirip biru selatan tetapi tidak dapat mengambil suara.2 Agust 2004 Filipina bergabung menjadi Non-Anggota Mitra CCSBT24 Agust 2006 Afrika Selatan bergabung menjadi Non-Anggota Mitra CCSBT13 Okt 2006 Uni Eropa bergabung menjadi Non-Anggota Mitra CCSBT
Sumber : Anonim(2013)
12
Anggota CCSBT adalah Australia, Taiwan, Indonesia, Jepang, Korea, dan
New Zealand. Sedangkan anggota tidak tetapadalah Filipina, Afrika Selatan, dan Uni
Eropa. Nilai produksi masing-masing negara anggota CCSBT tahun 1991-2011 dapat
dilihat di Tabel 2.4.
Tabel 2.4Total Produksi Negara Anggota CCSBT di Samudera Hindia Tahun 1991-2011
Negara Produksi (ton)Australia 99.153Japan 74.547New Zealand 0Korea 13.042Taiwan 22.490Filipina 676Indonesia 24.590Afrika Selatan 218Uni Eropa 83Lain-lain 2.751
Sumber : CCSBT 1991-2011
Proporsi produksi tangkapan tuna sirip biru selatan oleh negara Anggota
CCSBT ditampilkan di Gambar 2.7.
Total Produksi Negara CCSBTAustraliaJepangNewZealandKoreaTaiwanFilipinaIndonesiaAfrikaSelatanUniEropaLain-lain
Gambar 2.7 Proporsi Produksi Negara CCSBT di Samudera Hindia Tahun 1991-2011
Penangkapan tuna sirip biru selatan sudah ditentukan jumlah produksinya
masing-masing negara anggota CCSBT. Negara yang paling tinggi tingkat penangkapan
13
tuna sirip biru selatan di Samudera Hindia dari tahun 1991-2011 adalah Australia,
kemudian Jepang, Indonesia, Taiwan, Korea, Filipina, dan Afrika Selatan, sedangkan
New Zealand tidak melakukan penangkapan di Samudera Hindia.
CCSBT menyetujui adanya Management Procedure (MP) untuk digunakan
sebagai panduan penentuan TAC (Total Allowable Catch) secara global.TAC
merupakan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Penentuan TAC diperoleh dari
monitoring data yang selalu diperbarui. Penentuan TAC untuk komoditas tuna,
cakalang, ikan demersal, ikan pelagis kecil masing-masing ditetapkan maksimum
sebesar 80% dari Maximum Sustainable Yield (MSY) (Widodo, 2001).
Management procedure dikenal dengan “Bali Procedure” yang
direkomendasikan oleh Scientific Committee CCSBT menyepakati kenaikan kuota
tangkapan tuna sirip biru selatan pada Bulan Oktober 2011. Bali Procedure berisi
mengenai :
1. Minimal perubahan TAC (meningkat atau menurun) adalah 100 ton;
2. Maksimum perubahan TAC (meningkat atau menurun) adalah 3000 ton;
3. TAC akan diperbarui setiap 3 tahun periode;
4. Alokasi TAC pada tahun selanjutnya akan dibagi secara adil sesuai dengan
panduan TAC Global tuna sirip biru selatan.
TAC pada periode pertama (2012-2014) dapat dilihat di Tabel 2.5. Sedangkan
untuk alokasi produksi masing-masing anggota CCSBT dapat dilihat di Tabel 2.6.
Tabel 2.5 Pembagian TAC Tahun 2012-2014
2012 10.499 ton2013 10.949 ton2014 12.449 ton
atau akan mengikuti data 2015-2017Sumber :Data CCSBT (2013)
Tabel 7. Alokasi Penangkapan Anggota CCSBT
Negara 2012 (ton) 2013 (ton) 2014 (ton)Jepang 2.519 2.703 3.361
Australia 4.528 4.713 5.151Republik Korea 911 948 1.036
Taiwan 911 948 1.036
14
New Zealand 800 833 910Indonesia 685 709 750Filipina 45 45 45
Afrika Selatan 40 40 40Uni Eropa 10 10 10
Sumber :Data CCSBT (2013)
Menurut Widodo (2001), tujuan pengelolaan secara luas meliputi konservasi
sumberdaya perikanan dan lingkungannya, maksimalisasi perolehan ekonomi (economic
returns) dari perikanan, serta pembayaran fee kepada masyarakat dari keuntungan yang
diperoleh dari kegiatan eksploitasi atas suatu sumberdaya umum. Beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk menunjang pengelolaan perikanan antara lain adalah :
1. Penelitian dan pengkajian stok dapat digunakan untuk memberi saran kepada para
pengelola perikanan dalam bentuk berbagai kemungkinan hasil biologi, ekonomi,
dan lingkungan.
2. Memaksimumkan hasil tangkapan lestari (MSY) karena nilai estimasi dapat
digunakan sebagai batas maksimum hasil tangkapan yang dapat dipanen dari suatu
stok. Kecuali bila sifat stokastik dari hasil tangkapan diperhitungkan, penangkapan
pada suatu tingkat yang tetap dari MSY dapat mengarah kepada tingkat stok di
bawah dari yang diperlukan untuk menjaga rekruitmen.
3. Memaksimumkan hasil ekonomi lestari (MEY) dirasa kurang memadai karena
sangatlah jarang pengelolaan perikanan hanya didasarkan pada faktor ekonomi.
4. Mengacu pada sejumlah referensi biologi, misalnya tingkat mortalitas. Tingkat
mortalitas penangkapan diperlukan untuk memperoleh hasil tangkapan maksimum
dan sifat konservatifnya yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi dan suatu
penyangga terhadap penangkapan berlebih yang berpengaruh terhadap rekruitmen.
5. Mempertahankan ukuran stok minimum dapat meningkatkan stabilitas hasil
tangkapan dari tahun ke tahun dan meminimumkan fluktuasi dalam hasil tangkapan
yang disebabkan oleh variasi rekruitmen.
6. Mempertahankan stok yang sedang memijah sehingga tidak melakukan
penangkapan pada masa ikan waktu matang gonad.
7. Regulasi perikanan untuk mendukung strategi pengelolaan yang telah dirumuskan,
diperlukan adanya kebijakan yang digunakan untuk menurunkan atau menahan
upaya penangkapan (input control) dan membatasi hasil tangkapan (output control).
15
Input control antara lain pembatasan jumlah unit penangkapan, pembatasan
efisiensi atau tipe alat penangkapan, penutupan (closure), dan ukuran mata jaring
minimum. Sedangkan output control antara lain kuota hasil tangkapan (catch
quota) dan penegakan regulasi (enforcement of regulation).
16
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan makalah ini dapat disimpulkan yaitu :
1. Alat tangkap yang dipergunakan untuk menangkap tuna sirip biru selatan di
Samudera Hindia menurut data CCSBT adalah long line, bait boat (pole and line),
gillnet, purse seine, troll line, dan alat tangkap lain yang tidak dapat diidentifikasi.
Alat tangkap yang paling dominan ditemukan adalah longline.
2. Trend produksi dan upaya penangkapan tuna sirip biru selatan cenderung menurun,
sedangkan CPUE cenderung meningkat.
3. Pengelolaan tuna sirip biru selatan, salah satunya dilakukan oleh CCSBT (The
Commision for the Conservation of Southern Bluefin Tuna), dengan memberlakukan
kuota jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau TAC (Total Allowable Catch) bagi
masing-masing anggotanya.
B. Saran
Saran dari penulis terkait dengan pengelolaan tuna sirip biru selatan, khususnya
untuk Indonesia adalah perairan selatan Jawa yang digunakan sebagai satu-satunya
habitat pemijahan tuna sirip biru selatan perlu dijaga dan diawasi dengan ketat agar
habitat ini tidak rusak dan tuna sirip biru selatan dapat tetap lestari.Selain itu Indonesia
diharapkan tetap aktif dalam upaya melestarikan tuna sirip biru selatan dengan menjaga
kuota tangkapan dan meminimalkan tindakan IUU.
17
DAFTAR PUSTAKA
CCSBT. 2013. Management Procedure. http://ccsbt.org. Diakses 7 November 2013.
Anonim. 2013. Thunnus maccoyii. http://ccsbt.org. Diakses 7 November 2013.
Anonim.2013. Thunnus maccoyii. http://fishbase.org.Diakses 7 November 2013.
Anonim. 2013. Total Allowable Catch. http://ccsbt.org.Diakses 7 November 2013.
Anonim. 2012. Tuna sirip biru selatan. http://pipp. kkp. go.id . Diakses 7 November 2013.
Habibi, A., D. Ariyogagautama, Sugiyanta. 2011. Panduan Penangkapan dan Penanganan Perikanan Tuna.WWF-Indonesia. Jakarta.
Rahajeng, M. 2012. Warta Ekspor.Tuna Indonesia.Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. Jakarta.
Widodo, J. 2001. Strategi Pengelolaan Perikanan. Semiloka Nasional Fish Stock Assessment. Universitas Brawijaya. Malang.
Widodo, J. and Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
18