sekilas konservasi lukisan - primastoria studio | … wra (wax resin adhesive) adalah salah satu...

26
www.primastoria.net Puji Yosep Subagiyo disusun oleh Sekilas Konservasi Lukisan Primastoria Studio Taman Alamanda Blok BB2 No. 55-59, Bekasi 17510 April 2016

Upload: dophuc

Post on 03-May-2018

276 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

ww

w.pr

imas

toria

.net

Puji Yosep Subagiyodisusun oleh

[01]

Sekilas Konservasi Lukisan

Primastoria StudioTaman Alamanda Blok BB2 No. 55-59, Bekasi 17510

April 2016

Page 2: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[02]

Kata PengantarPekerjaan konservasi dapat dilakukan apabila tenaga konservasi telah mengenal bahan

pembentuk benda yang akan ditangani; dan jenis kerusakan yang sedang dihadapi. Hampir semua bahan - khususnya benda organik - sangat peka terhadap kondisi lingkungan, seperti kelembaban, suhu udara, dan radiasi cahaya. Kerusakan dapat juga terjadi karena kesalahan penggunaan bahan atau cara penanganannya. Dalam kasus semacam ini, konservator harus dapat memilah atau menggolongkan benda koleksi menurut jenis bahan pembentuknya, serta mengidenti�kasi dan klasi�kasi berbagai jenis bahan, berikut sifat-sifatnya (�sik dan kimiawi).

Konservator adalah orang yang mampu melakukan pengamatan (kajian), berpikir analitik, dan melaksanakan konservasi karya seni, artefak, relik, dan benda lain dengan menggunakan metode atau teknik yang benar. Sehingga seorang konservator harus memiliki pengetahuan cukup tentang metode dan teknik konservasi; serta dapat memilih dan menerapkan bahan (materials) atau alat dalam proses konservasi dengan baik. Nantinya, mereka dapat pula mengkhususkan diri pada satu atau lebih bidang konservasi, seperti: batu, logam, kayu, tekstil, lukisan, karya seni bermedia kertas, buku, (pita) �lm, pita perekam suara, foto, atau benda lain bermedia komplek (campuran).

Konservasi adalah suatu tindakan yang bersifat kuratif – restoratif (penghentian proses kerusakan dan perbaikannya) dan tindakan yang bersifat preventif (penghambatan dari kemungkinan proses kerusakan). Konservasi benda koleksi museum menurut American Association of Museums (AAM 1984:11) dirujuk kedalam 4 tingkatan. Pertama adalah perlakuan secara menyeluruh untuk memelihara koleksi dari kemungkinan suatu

kondisi yang tidak berubah; misalnya dengan kontrol lingkungan dan penyimpanan benda yang memadai, didalam fasilitas penyimpanan atau displai;

Kedua adalah pengawetan benda, yang memiliki sasaran primer suatu pengawetan dan penghambatan suatu proses kerusakan pada benda;

Ketiga adalah konservasi restorasi secara aktual, perlakuan yang diambil untuk mengembalikan artifak rusak atau 'deteriorated artifact' mendekati bentuk, desain, warna dan fungsi aslinya. Tetapi proses ini mungkin merubah tampilan luar benda; dan

Keempat adalah riset ilmiah secara mendalam dan pengamatan benda secara teknis. Dengan “Sekilas Konservasi Lukisan” ini (melalui infogra�s, gambar atau ilustrasi berwarna,

tabel, dll.), kita akan mendapatkan pengetahuan terapan dan teknis konservasi koleksi di museum atau galeri secara utuh, sistematis dan terarah. Khususnya dalam rangka penyusunan instrumen pengumpulan dan pengolahan data, analisis data serta identi�kasi masalah kondisi koleksi benda bernilai budaya sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku untuk mengetahui pemecahannya.

Bekasi, April 2016

Puji Yosep Subagiyo

Page 3: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[01]

5.000 μm = 5 mm = 0,5 cm

1. Kanvas asli lukisan (kiri)Perb. 30X

2. Kanvas dobelan lukisan (kanan).

Perb. 30X

764 5

Gambar 5 ini menunjukkan close-up pada semua sisi lukisan. Bagian ini menunjukkan paku berkarat dan perbedaan kanvas asli dan kanvas dobelan.

paku berkarat

1.000 μm

1 2Ilustrasi Pengamatan Teknis Lukisan

Penanganan konservasi dan restorasi setelah proses pengamatan.

Pengamatan retakan dan konstruksi pendobelan kanvas dengan perekat.

Varnis lama harus diangkat untuk mengetahui warna & tekstur cat asli

{Kanvas 1

Priming

{Kanvas 2

perekat kanvas 1 + 2

cat/ priming yang terangkat harus diratakan

pendobelan kanvas seharusnya dilakukan setelah mengatasi retakan dan pengangkatan cat.Cat

3Gambar 4 menunjukkan close-up, yang mana pada sisi bawah lukisan telah termakan bubuk. DETAIL

illus

trate

d by

Prim

asto

ria 2

016

RismoyoYosep

Page 4: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[02]

Ilustrasi Inpainting (tusir-warna)Inpainting atau tusir warna adalah proses pemberian warna pada bagian cat yang terkelupas, atau tergores dengan mempertimbangkan warna dan bentuk aslinya (sapuan kuas, atau bentuk teknis lain). Luas tusiran harus sama persis seukuran cat yang terkelupas dan tidak boleh lebih.

Sebelum Pembersihan, dan Tusir Warna.

Sesudah Pembersihan, dan Tusir Warna.

SAMPLE

for academic useOmar Yahya

Page 5: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[03]

Ilustrasi Inpainting (tusir-warna)

Sesudah Pembersihan,dan Tusir Warna.

Sebelum Pembersihan,dan Tusir Warna.

Sebelum Pembersihan,dan Tusir Warna.

Sesudah Pembersihan,dan Tusir Warna.

Inpainting atau tusir warna adalah proses pemberian warna pada bagian cat yang terkelupas, atau tergores dengan mempertimbangkan warna dan bentuk aslinya (sapuan kuas, atau bentuk teknis lain). Luas tusiran harus sama persis seukuran cat yang terkelupas dan tidak boleh lebih.

ada bayangan

ada garis-garis

ada garis-garis

SAMPLE

Harijadi S.

SAMPLE

for academic use

for academic use

Harijadi S.

Page 6: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[04]

illus

trate

d by

Prim

asto

ria 2

016

Ilustrasi Striping (mengangkat) OverpaintStriping adalah proses mengangkat atau melunturkan cat, yang biasanya ditujukan untuk mengangkat cat pelapis (overpainting) yang bukan aslinya, cat tusiran warna yang tidak pas (warna atau bentuknya). Setelah proses striping adakalanya dilanjuti dengan proses repainting (melukis ulang).

Kondisi awal lukisan

Cat Setelah Striping [Asli]

Cat

Aw

al [

bu

kan

asl

i]

Kondisi lukisan dalam proses striping. Striping dilakukan setelah memahami struktur cat, karakter dan gaya melukis seniman, serta dibantu dengan penyinaran ultra-violet.

Kondisi akhir lukisan

Kondisi asli lukisan setelah proses striping dan sebelum repainting. Harus ada kajian mendalam untuk proses striping (memutuskan apakah ada kesalahan overpainting).

Harijadi S.

1 4

2 3

SAMPLE

for academic use

SAMPLE

for academic use

Page 7: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[05]

Detail

Detail Sesudah Pembersihan,Sesudah Penguatan Cat

Sesudah Penguatan Cat,Sesudah Pembersihan,

Detail Sebelum Pembersihan,Sebelum Penguatan Cat

KontrasSesudah Penguatan Cat,

Sebelum Pembersihan,

Seb

elu

m P

emb

ersi

han

,Se

bel

um

Pen

gu

atan

Cat

illus

trate

d by

Puj

i Y. S

ubag

iyo

2016

* WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem) dengan cara dipanaskan (diseterika) ini dapat dibuka kembali dengan cara yang sama (pemanasan lagi). Sifatnya yang reversibel ini sesuai dengan prinsip konservasi (Mayer: 242, 502-505; Organ (1968: 454-455); Plenderleith (1969: 167-169).

Ilustrasi Penguatan Cat dengan WRA 559*

SAMPLE

for academic use

SAMPLE

for academic useTarmizi?, 1968

Foto PenuhSebelum Pembersihan,Sebelum Penguatan Cat

Page 8: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[06]

1

2

3

4

1

2 3

4

Ilustrasi Teknis Penguatan Cat dan TusirPenguatan cat dilakukan dengan WRA (Wax Resin Adhesive), yang adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermosetting. Penggunaan perekat (lem) dengan cara dipanaskan (diseterika) ini dapat dibuka kembali dengan cara yang sama (pemanasan lagi). Sifatnya yang reversibel ini sesuai dengan prinsip konservasi (Mayer: 242, 502-505; Organ (1968: 454-455); Plenderleith (1969: 167-169).Inpainting atau tusir warna adalah proses pemberian warna pada bagian cat yang terkelupas, atau tergores dengan mempertimbangkan warna dan bentuk aslinya (sapuan kuas, atau bentuk teknis lain). Luas tusiran harus sama persis seukuran cat yang terkelupas dan tidak boleh lebih.

Kondisi lukisan sebelum proses penguatan cat dan tusir warna.

Kondisi lukisan sesudah proses penguatan cat dan tusir warna.

SAMPLE

for academic use

Srihadi S.

SAMPLE

for academic use

Page 9: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[07]

Ilustrasi Teknis Restorasi Lukisan

Melamin Board

glass fabric

painting

Seb

elu

m P

emb

ersi

han

Sesu

dah

Pem

ber

sih

an,

Seb

elu

m P

eng

uat

an C

at

Kanvas

Cat

{Priming

GAMBAR ANATOMI LUKISAN

Rongga bawah retakan terisi varnis/ linseed oil

Sesudah Pembersihan,Sebelum Penguatan Cat

Sesudah Pembersihan,Sesudah Penguatan Cat,

Sesudah Relaksasi Cat & Kanvas

Varnis/ linseed oil begitu tebal & mengkilap

122

4

5FINISHING TREATMENTS:Priming, Tusir warna (inpainting),

Retouching & protecting varnish.

Detail

illus

trate

d by

Prim

asto

ria 2

016

for academic use

3SUPPORTS:Back-up lukisan denganmelamin board yangdilindungi dengan kain organdi

Jeihan

Page 10: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

Jamur

Jamura

c

Serat lapuk

Spora jamur

b

Gambar 3. a. Jamur tumbuh hampir pada seluruh permukaan lukisan;b. Pengamatan dengan Mikroskop Skening Elektron untuk mengetahui tingkat kerusakan kanvas/ kain;c. Pengamatan dengan Mikroskop Skening Elektron untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dan jenis jamur.

[08]

Detail Sesudah Pembersihan,Sesudah Penguatan CatDetailSebelum Pembersihan,

Sebelum Penguatan Cat

Gambar 2. DETAIL KERUSAKAN LUKISAN

cat terkelupas

cat terangkat

a b

cat terkelupas

a. Seluruh permukaan kotor, warna tidak keluar dan sebagian cat terkelupas.b. Setelah pembersihan kotoran dan varnis lama, priming (pendempulan), tusir warna

(inpainting) dan varnis.

Gambar 1.

illus

trate

d by

Prim

asto

ria 2

016

Li Shuji

Le Mayeur

Tarmizi?, 1968

Page 11: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

}

}}

KANV

ASGE

SSO

CA

TPR

IMIN

GVA

RNIS

SERAT

Cat Dasaran

reta

kan

rongga

reta

kan

Gesso Sottile

Gesso Grosso

FE

D

B

G

A

12

A =

Subs

trat (

Kayu

, Trip

leks,

Hard

boar

d, K

anva

s);

B =

Prim

ing; C

= G

ESSO

; D =

Das

ar C

at; E

= C

at

Lukis

an; F

= V

arni

s; G

= K

otor

an, D

ebu,

dll.

C

[09]

1. Alan Phenix and Sue Ann Chui (2009): FACING THE CHALLENGES OF PANEL PAINTINGS CONSERVATION: TRENDS, Treatments, and Training, Los Angeles, The Getty Conservation Institute, 234 pages.

2. Arie Wallert, Erma Hermens, and Marja Peek. (1995): HISTORICAL PAINTING TECHNIQUES, MATERIALS, AND STUDIO PRACTICE; (Art History Institute of the University of Leiden, Central Research Laboratory for Objects of Art and Science, Amsterdam), Los Angeles, The Getty Conservation Institute, 241 pages.

3. Francesca Caterina Izzo (2009-2010): 20TH CENTURY ARTISTS’ OIL PAINTS: A CHEMICAL-PHYSICAL SURVEY, Università Ca’ Foscari Venezia, 234 pages.

4. Kathleen Dardes and Andrea Rothe (1995): THE STRUCTURAL CONSERVATION OF PANEL PAINTINGs, Los Angeles, The Getty Conservation Institute, 582 pages.

5. Marion F. Mecklenburg, A. Elena Charola, and Robert J. Koestler (2013): NEW INSIGHTS INTO THE CLEANING OF PAINTINGS, Washington D.C., Smithsonian Institution, 256 pages.

6. Patricia Sherwin Garland (1983): JOSEF ALBERS: HIS PAINTINGS, THEIR MATERIALS, TECHNIQUE, AND TREATMENT, JAIC 1983, Volume 22, Number 2, Article 2 (pp. 62 to 67).

7. Sheldon Keck (1984): SOME PICTURE CLEANING CONTROVERSIES: PAST AND PRESENT, JAIC 1984, Volume 23, Number 2, Article 1 (pp. 73 to 87).

Referensi :

ANATOMI LUKISAN

a. Support (Bahan pelindung bagian belakang kanvas, untuk kategori lukisan jagrag atau panel).Bahan: kayu jati, hard board.

b. Kanvas (barang-tenunan yang dilapisi zat, semacam kanji yang lebih dikenal dengan sebutan “priming”. Priming digunakan untuk menjaga supaya kanvas tidak menjadi kusut dan licin, serta mudah untuk dilukisi).Bahan: kain benang linen, kain benang kapas, dll.

c. Priming (lihat de�nisi butir b diatas)Bahan: campuran white-lead (bubuk timbal putih, Pigment White 1.) dalam minyak biji rami (linseed-oil) dengan minyak turpentine, dengan perbandingan 450 gram white-lead dengan 85 gram minyak terpentin. Bahan untuk priming ini dapat dibeli di toko gra�k-art dengan nama White-lead. White lead ini harus dibedakan dengan Flake-white walaupun sama-sama berbahan utama timbal karbonat dasar. Yang pertama lebih banyak mengandung minyak, dan yang kedua berupa pasta yang banyak digunakan untuk “cat minyak”.

d. Dasar Lukisan (�rst coating of ground, bahan penghalus priming yang dimaksudkan sebagai dasar cat minyak. Bahan jenis ini lebih dikenal dengan sebutan GESSO GROSSO). Bahan: Acrylic-polymer yang berkarakter hydrophobic (kedap air).

e. Gesso (second coating of ground, bahan dasar cat-minyak dan membuat permukaan kanvas sedikit agak menyerap cat. Bahan ini dikenal dengan sebutan GESSO SOTTILE).Bahan: gypsum (calcium sulfate, CaSO4.2H2O) dan air. Pembuatan gesso dari gypsum yang mirip dengan plaster of Paris ini adalah sebagai berikut: (1). gypsum dipanggang atau dioven pada suhu antara 100 ~ 190oC., untuk menguapkan 3/4 kandungan air kristalisasinya dan menjadi CaSO4.1/2H2O; (2). campurkan 1,5 bagian air, dan diamkan sampai membentuk padatan; (3). rendam dalam air untuk membentuk pasta.

f. Cat (de�nisi: campuran antara pigmen dengan binder atau bahan perekat). Adapun kemungkinan susunan/ lapisan cat adalah sebagai berikut:1. Underpainting (lapisan cat bawah);2. Overpainting (lapisan cat yang menindih cat bawah);3. Glazes atau Scumblings (lapisan seperti �lm yang transparan);4. Isolating varnishes atau veils. (lihat butir g dibawah).

g. Varnish (Picture Varnish sebagai pelindung; Retouch Varnish sebagai pelindung dan penimbul efek tertentu, seperti efek lembab/ basah; Mixing Varnish sebagai bahan campuran pada tabung cat-minyak yang digunakan dalam aneka teknik lukis cat-minyak; dan Isolating Varnish yang digunakan sebagai pelindung pigmen/ cat asli lukisan dalam proses tusir-warna, tetapi biasanya setelah pelapisan dengan Retouch Varnish). Bahan-bahan: 1. Picture Varnish = campuran damar resin dan turpentine, polycyclo-hexanone. Picture Varnish yang terbuat

dari damar berkomposisikan damar dan minyak terpentin (kualitas bagus/ bening) dengan perbandingan (konsentrasi) 1.812 gram dalam 4 liter minyak terpentin.

2. Retouch Varnish = damar atau resin sintetis. Picture Varnish yang terbuat dari damar berkomposisikan damar dan minyak terpentin (kualitas bagus/ bening) dengan perbandingan (konsentrasi) 2.265 gram (5 pound) dalam 4 liter (1 galon) minyak terpentin.

3. Mixing Varnish = damar atau resin, yang dicampur dengan linseed oil (sebagai binder) dan cat minyak. Perbandingan antara minyak binder, resin dan cat-minyak = 50:15:35.

4. Isolating Varnish = resin sintetis atau polyvinyl.

Keterangan Gambar :

Oils

on B

oard

Oils

on C

anva

s

Page 12: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[10]

Perbandingan Jumlah Kerusakan Lukisan terhadap Teknik Lukisan.

Gambar 2.

Ruang ATemperatur (°C)

Min. Ave. Max. 26 28 29

Kelembaban (%) Min. Ave. Max.44 50 59

Ruang B.Temperatur (°C)

Min. Ave. Max. 27 28 28,5

Kelembaban (%) Min. Ave. Max.60 66 75

Ruang C.Temperatur (°C)

Min. Ave. Max. 22 24 26,5

Kelembaban (%) Min. Ave. Max.60 66 99

Ruang D.Temperatur (°C)

Min. Ave. Max. 28,5 29 29,5

Kelembaban (%) Min. Ave. Max.72 74 76

Ruang E.Temperatur (°C)

Min. Ave. Max. 26 27 28

Kelembaban (%) Min. Ave. Max.76 78 99

Ideal ~Cukup

Beresiko ~Bahaya

Cukup ~Beresiko

1

3

2

Data Iklim Mikro Lukisan

Keterangan :

Gambar 1. Perbandingan Jumlah Kerusakan Lukisanterhadap Lokasi dan Kondisi [Total: 1.694]

0

200

400

600

800

1000

PastelCat minyakCat airBatikAkrilik

Jum

lah

Teknik dan Jumlah Per Jenis Lukisan133 74 1.153254 36

115

(86%

)7

(5%

)11

(8%

)

66 (8

9%)

2 (3

%)

6 (8

%)

227

(89%

)4

(2%

)23

(9%

)

48 (4

%)

2 (6

%)

2 (6

%)

32 (8

9%)

21

1 (1

8%

)

894

(78%

) BaikSedangRusak

Kondisi dan Lokasi

0

100

200

300

400

500

600

Jum

lah

(Per

seba

ran/

Pre

sent

asi &

Kon

disi)

A B C D E

408

(84%

)6

(1,2

%)

12 (5

%) 70

(32%

)

9 (2

%)

12 (8

%)

16 (1

1%)

Jumlah

BaikSedangRusak

Per Ruang& Persebaran

Kon

disi

389

(23%

)33

3 (8

6%)

123

(81%

)

151

(9%

)

47 (1

2%)

139

(62%

)221

(13%

)

371

(82%

)

52 (1

2%)

25 (6

%)71

(15%

)

485

(29%

)

448

(26%

)

Page 13: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[11]

Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A.), pujangga besar Indonesia, adalah salah seorang yang diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa Penggerak Hidup ini untuk berjumpa langsung dan bercengkrama dengan Mas Pirnggadie di masa tuanya. Hasil pencengkramaan intens itu menjadi tulisan panjang dan bersambung sampai tiga kali dalam tahun-tahun yang berbeda sebagai artikel di majalah Poedjangga Baroe tentang tokoh kita Mas Pirngadie ini. Catatan-catatan S.T.A. ini sangatlah penting. Melewati tulisan-tulisan S.T.A. inilah yang mampu menjadi 'jembatan' komprehensif dalam menggapai serta mengenal lebih dekat sosok dan kiprah Mas Pirngadie.

Dalam salah satu artikelnya tentang Mas Pirngadie di majalah Poedjangga Baroe tersebut S.T.A. menulis demikian:"Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di

berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja

memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoen-an bangsa Indonesia sekarang ini". (S.T.A. 1934)

Demikian petikan dari salah satu catatan S.T.A. tentang Mas Pirngadie ini. Dari ketiga artikel S.T.A. di Majalah Poedjangga Baroe (S.T.A. 1934, 1935, 1936) sangat terasa kuat pergumulan S.T.A. dengan Mas Pirngadie. Sebagai budayawan, S.T.A. tampil memberikan kesaksian lengkap serta jujur atas sosok dan kiprah Mas Pirngadie, 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang' ini. Tentu sebuah langkah hebat dan berani untuk menimbang kembali peran Mas Pirngadie dalam ranah kebudayaan negeri. Selain riwayat hidup Mas Pirngadie, S.T.A. mengungkapkan kekuatan, keindahan dan kedalaman karya-karya Mas Pirngadie, ahli gambar yang tetap hidup sederhana dan rendah hati.

Catatan-catatan S.T.A. itu adalah hasil wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan-tulisan koran atau majalah-majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. Dituliskan pula oleh S.T.A. bahwa tak ada satu pun media terbitan bumi putera yang pernah memberitakan atau mengulas tentang Mas Pirngadie ini. Jika pun ada, kata S.T.A., itu hanyalah kopian dari terbitan-terbitan berbahasa Belanda. Rasanya kenyataan ini memedihkan. Mengisyaratkan keberadaan Mas Pirngadie seperti sudah lama dalam posisi yang 'tak diperhitungkan' di kalangan para bumi putera sendiri. Meskipun kenyataannya, Mas Pirngadie telah menghasilkan ratusan karya lukis yang berbobot. Belum lagi dalam posisinya atas hasil karya luar biasa berupa lima jilid buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.

Lalu bagaimana jejak-jejak Mas Pirngadie di masa kini?Menapaki jejak-jejak Mas Pirngadie untuk menggapai sosok dan kiprahnya secara utuh memang bukanlah sesuatu

yang mudah. Rasanya nama Mas Pirngadie hanya bisa dijumpai secara fragmentaris saja. Memang, ia terasa lebih dikenal bagi kalangan dunia antropologi atau etnografi. Itu pun pasti para ahli tertentu saja yang mau bertekun pada litaratur-litaratur budaya sehingga hanya mereka itu yang bisa menjumpai kumpulan karya buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie ini. Sementara di kalangan praktisi atau pecinta seni kerajinan tangan Nusantara itu pun lebih terfragmentaris lagi; yang tertarik di bidang seni anyaman membaca buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie yang jilid I yaitu seni anyaman; yang tertarik dunia tenun mengenal namanya dari buku jilid II nya tentang seni tenun; begitu juga yang tertarik batik, seni keris dan logam, membaca dari jilid-jilid lainnya sesuai masing-masing subyek itu.

Dunia lukisan Indonesia -- marilah kita sebut saja sejarah seni lukis Indonesia -- sebenarnya mengenal namanya. Meski agak samar-samar. Oleh karena dunia/sejarah lukis Indonesia rasanya terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan genre, aliran-aliran, periodisasi-periodisasi karya, 'mooi indie' dan 'bukan mooi indie', 'yang ini' dan 'yang itu' dan sebagainya yang semua itu seringkali berkaitan pada 'politisasi seni'.

Terasa sekali saat ini bila kita mencari nama Mas Pirngadie di antara tumpukan nama-nama pelukis besar Indonesia, proporsi namanya hanya kecil saja di tengah himpitan para pelukis besar Indonesia lainnya yang biografi dan karyanya bisa dituliskan dengan panjang lebar itu. Untuk melihat bukti ini kita bisa saja secara 'iseng-iseng' lewat internet di Google, ketik nama 'Mas Pirngadie' atau sekalian tambahi kata bantuan 'pelukis' di depan atau di belakang namanya. Maka pasti yang mucul kebanyakan bukan yang hendak kita cari. Yang kita dapati kebanyakan justeru riwayat para pelukis lainnya yang beberapa di antaranya memang pernah berguru pada Mas Pirngadie ini. Terasa kita kesulitan mendapati informasi, biografi dan karya-karya lukis Mas Pirngadie. Padahal bukankah di tanah air ini dan untuk tanah air ini seorang Sutan Takdir Alisyahbana sudah pernah menuliskannya secara panjang lebar lewat artikel-artikelnya di Poedjangga Baroe? Jangan-jangan memang kita sudah kesulitan untuk bisa mendapatkan tulisan-tulisan S.T.A. atau majalah-majalah Poedjangga Baroe itu, seperti halnya yang saya alami ketika mencoba mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nomor-nomor majalah itu sudah tidak ada lagi. Tidak terarsipkan dengan baik. Untungnya saya bisa mendapatinya kembali dari arsip di Belanda melewati ke-baikan hati antropolog Sandra Niessen.

Sesuai info dari tulisan S.T.A. dan dari beberapa sumber informasi lainnya menjadi petunjuk penting bagi saya di suatu hari untuk lari ke Museum Nasional dengan harapan bisa mendapatkan jejak-jejak Mas Pirngadie. Oleh karena gedung ini -- yang di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen -- adalah tempat terakhir Mas Pirngadie bekerja. Dan ketika saya sampai di museum ini tak banyak yang bisa saya dapati tentang Mas Pirngadie. Jejak-jejaknya seperti diterbangkan oleh angin zaman, meskipun memang tidak semuanya. Selalu saya bayangkan bagaimana ia telah menyusun daftar-daftar informasi tentang benda-benda di museum ini yang masing-masing pada kartu kertas itu ia gambari juga dengan tangannya. Juga saya bayangkan

berhari-hari lamanya selama beberapa tahun Mas Pirngadie melukis 78 orang dari semua etnis yang ada di Nusantara ini yang ia gambar dari potret-potret yang semula hitam putih menjadi lukisan berwarna lengkap dengan pakaian adatnya masing-masing dengan detil-detil perhiasan asesorisnya dan 78 orang itu mengelilingi peta besar negeri ini yang juga digambar dengan tangan oleh Mas Pirngadie ini.

Lukisan-lukisan 78 kepala etnis dengan peta besar negeri Nusantara ini pulalah yang akhirnya mendapat kehormatan secara internasional untuk dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris 1931. Meski

sayang buah pekerjaan yang memakan waktu lama dari Mas Pirngadie itu pun musnah terbakar api bersama dengan buah seni Indonesia lainnya di pameran itu. Tapi gilanya, sekali lagi gilanya Mas Pirngadie tetap menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu. Sehingga sejak 1935 di museum tempat Mas Pirngadie bekerja ini orang-orang Indonesia, seperti halnya S.T.A., masih bisa menyaksikan lukisan-lukisan ulang ini. Ketika saya kembali ke Museum Nasional untuk bisa menyaksikan satu set lukisan tersebut, memang saya masih bisa mendapati gambar 78 suku bangsa negeri ini dalam satu ruang tersendiri. Yaitu berupa foto-foto yang merepro lukisan-lukisan Mas Pirngadie. Di lain hari saya mendapati kabar bahwa lukisan-lukisan aslinya sedang dirawat, direnovasi oleh museum ini. Dari foto-foto yang merepro satu set lukisan Mas Pirngadie, setidaknya masih bisa membuat saya merasakan jejak-jejak ketelatenannya yang luar biasa. Meskipun kebanyakan pengunjung yang masuk ruang ini tak kan pernah tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan lukisan-lukisan aslinya. Tak ada tertera nama Mas Pirngadie secuil pun di ruang ini.

Akhirnya saya keluar dari ruangan ini dengan perasaan sunyi. Sesunyi Mas Pirngadie yang khusyuk bertahun-tahun mengerjakan segala macam pekerjaan di masa silam. Mengabdikan diri sepenuhnya pada museum ini. Bekerja tiap hari dari pagi sampai sore hari sampai yang benar-benar terakhir dari hidupnya di Sabtu 4 April 1936. Pada hari itu, tiada seperti biasanya Mas Pirngadie meninggalkan pekerjaan, pulang ke rumah karena sakit. Tiada lama kemudian beliaupun meninggalkan dunia, menuju Sang Pencipta.

"Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi!" (S.T.A. 1936).

Semoga demikianlah anak-anak bangsa negeri ini tiada melupakan lagi Mas Pirngadie, tokoh besar negeri ini.

Catatan:1. Pembersihan ringan = pembersihan ringan dengan kwas/ penyedot debu; 2. Chemical cleaning = pembersihan kotoran yang sudah berkerak, mengangkat varnis lama yang sudah menguning/ teroksidasi dengan bahan pelarut, seperti: white spirits, turpentine, dietoxy-ethanol, diacetone alcohol, MEK (methyl-ethyl-ketone), dll.; 3. Framing/ reframing = bongkar/ pasang kanvas dari spanram (dan pigura) karena kanvas kendor, mengganti paku yang berkarat, dll.; 4. Restretching = mengencangkan kanvas yang kendor atau reshaping kanvas yang bergelombang; 5. Inpainting = tusir warna bagian cat yang terkelupas; 6. Repainting = lukis ulang pada bagian cat yang hilang karena cleaning atau inpainting yang salah; 7. Retouching = pembuatan efek khusus dengan cat/ varnis; 8. Varnishing = vanish for retouching or protection; 9. Penguatan cat dengan perekat thermosetting atau lainnya; 10. Fumigasi dengan thymol, dll.

Pembersihan ringanChemical cleaningFraming/ reframingRestretchingInpaintingRepaintingRetouchingVarnishingPenguatan catFumigasi

XX

XX

XXX MEK

X

Rekomendasi Konservasi :

Lain-lainsambung sobekan, dobel kanvas tanpa lem

X

sobekLiquin

LocTiteGel Glue4 gram

2

pict

ure

clea

ner

whi

te s

pirit

s

turp

entin

e

tolu

ene

& a

ceto

ne

2-ac

eton

alc

ohol

2-et

hoxy

eth

anol

Proses Konservasi Lukisan

Kotor debuKanvas kendorVarnis menguningVarnis cacatCat rapuh/ keringCat kelupasJamur

Lain-lainKondisi :

Hendra Gunawan [Pahlawan Teuku Umar, 98 x 145,5 cm, Oils on Canvas, 1956]

XX

XX parah

sobekan di 3 tempat

A.

B.

kanv

as

span

ram

1

Luk

isa

n

airwhite-spiritturpentinair sabun (amonia)2-ethoxy ethanol

2-aceton alcohol

5. 6. 7. 8.

1. 2. 3. 4.

tolueneacetone

X

X

pig

ura

X

Crea

ted b

y Puj

i Y. S

ubag

iyo 20

16

Page 14: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[12]

Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A.), pujangga besar Indonesia, adalah salah seorang yang diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa Penggerak Hidup ini untuk berjumpa langsung dan bercengkrama dengan Mas Pirnggadie di masa tuanya. Hasil pencengkramaan intens itu menjadi tulisan panjang dan bersambung sampai tiga kali dalam tahun-tahun yang berbeda sebagai artikel di majalah Poedjangga Baroe tentang tokoh kita Mas Pirngadie ini. Catatan-catatan S.T.A. ini sangatlah penting. Melewati tulisan-tulisan S.T.A. inilah yang mampu menjadi 'jembatan' komprehensif dalam menggapai serta mengenal lebih dekat sosok dan kiprah Mas Pirngadie.

Dalam salah satu artikelnya tentang Mas Pirngadie di majalah Poedjangga Baroe tersebut S.T.A. menulis demikian:"Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di

berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja

memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoen-an bangsa Indonesia sekarang ini". (S.T.A. 1934)

Demikian petikan dari salah satu catatan S.T.A. tentang Mas Pirngadie ini. Dari ketiga artikel S.T.A. di Majalah Poedjangga Baroe (S.T.A. 1934, 1935, 1936) sangat terasa kuat pergumulan S.T.A. dengan Mas Pirngadie. Sebagai budayawan, S.T.A. tampil memberikan kesaksian lengkap serta jujur atas sosok dan kiprah Mas Pirngadie, 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang' ini. Tentu sebuah langkah hebat dan berani untuk menimbang kembali peran Mas Pirngadie dalam ranah kebudayaan negeri. Selain riwayat hidup Mas Pirngadie, S.T.A. mengungkapkan kekuatan, keindahan dan kedalaman karya-karya Mas Pirngadie, ahli gambar yang tetap hidup sederhana dan rendah hati.

Catatan-catatan S.T.A. itu adalah hasil wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan-tulisan koran atau majalah-majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. Dituliskan pula oleh S.T.A. bahwa tak ada satu pun media terbitan bumi putera yang pernah memberitakan atau mengulas tentang Mas Pirngadie ini. Jika pun ada, kata S.T.A., itu hanyalah kopian dari terbitan-terbitan berbahasa Belanda. Rasanya kenyataan ini memedihkan. Mengisyaratkan keberadaan Mas Pirngadie seperti sudah lama dalam posisi yang 'tak diperhitungkan' di kalangan para bumi putera sendiri. Meskipun kenyataannya, Mas Pirngadie telah menghasilkan ratusan karya lukis yang berbobot. Belum lagi dalam posisinya atas hasil karya luar biasa berupa lima jilid buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.

Lalu bagaimana jejak-jejak Mas Pirngadie di masa kini?Menapaki jejak-jejak Mas Pirngadie untuk menggapai sosok dan kiprahnya secara utuh memang bukanlah sesuatu

yang mudah. Rasanya nama Mas Pirngadie hanya bisa dijumpai secara fragmentaris saja. Memang, ia terasa lebih dikenal bagi kalangan dunia antropologi atau etnografi. Itu pun pasti para ahli tertentu saja yang mau bertekun pada litaratur-litaratur budaya sehingga hanya mereka itu yang bisa menjumpai kumpulan karya buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie ini. Sementara di kalangan praktisi atau pecinta seni kerajinan tangan Nusantara itu pun lebih terfragmentaris lagi; yang tertarik di bidang seni anyaman membaca buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie yang jilid I yaitu seni anyaman; yang tertarik dunia tenun mengenal namanya dari buku jilid II nya tentang seni tenun; begitu juga yang tertarik batik, seni keris dan logam, membaca dari jilid-jilid lainnya sesuai masing-masing subyek itu.

Dunia lukisan Indonesia -- marilah kita sebut saja sejarah seni lukis Indonesia -- sebenarnya mengenal namanya. Meski agak samar-samar. Oleh karena dunia/sejarah lukis Indonesia rasanya terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan genre, aliran-aliran, periodisasi-periodisasi karya, 'mooi indie' dan 'bukan mooi indie', 'yang ini' dan 'yang itu' dan sebagainya yang semua itu seringkali berkaitan pada 'politisasi seni'.

Terasa sekali saat ini bila kita mencari nama Mas Pirngadie di antara tumpukan nama-nama pelukis besar Indonesia, proporsi namanya hanya kecil saja di tengah himpitan para pelukis besar Indonesia lainnya yang biografi dan karyanya bisa dituliskan dengan panjang lebar itu. Untuk melihat bukti ini kita bisa saja secara 'iseng-iseng' lewat internet di Google, ketik nama 'Mas Pirngadie' atau sekalian tambahi kata bantuan 'pelukis' di depan atau di belakang namanya. Maka pasti yang mucul kebanyakan bukan yang hendak kita cari. Yang kita dapati kebanyakan justeru riwayat para pelukis lainnya yang beberapa di antaranya memang pernah berguru pada Mas Pirngadie ini. Terasa kita kesulitan mendapati informasi, biografi dan karya-karya lukis Mas Pirngadie. Padahal bukankah di tanah air ini dan untuk tanah air ini seorang Sutan Takdir Alisyahbana sudah pernah menuliskannya secara panjang lebar lewat artikel-artikelnya di Poedjangga Baroe? Jangan-jangan memang kita sudah kesulitan untuk bisa mendapatkan tulisan-tulisan S.T.A. atau majalah-majalah Poedjangga Baroe itu, seperti halnya yang saya alami ketika mencoba mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nomor-nomor majalah itu sudah tidak ada lagi. Tidak terarsipkan dengan baik. Untungnya saya bisa mendapatinya kembali dari arsip di Belanda melewati ke-baikan hati antropolog Sandra Niessen.

Sesuai info dari tulisan S.T.A. dan dari beberapa sumber informasi lainnya menjadi petunjuk penting bagi saya di suatu hari untuk lari ke Museum Nasional dengan harapan bisa mendapatkan jejak-jejak Mas Pirngadie. Oleh karena gedung ini -- yang di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen -- adalah tempat terakhir Mas Pirngadie bekerja. Dan ketika saya sampai di museum ini tak banyak yang bisa saya dapati tentang Mas Pirngadie. Jejak-jejaknya seperti diterbangkan oleh angin zaman, meskipun memang tidak semuanya. Selalu saya bayangkan bagaimana ia telah menyusun daftar-daftar informasi tentang benda-benda di museum ini yang masing-masing pada kartu kertas itu ia gambari juga dengan tangannya. Juga saya bayangkan

berhari-hari lamanya selama beberapa tahun Mas Pirngadie melukis 78 orang dari semua etnis yang ada di Nusantara ini yang ia gambar dari potret-potret yang semula hitam putih menjadi lukisan berwarna lengkap dengan pakaian adatnya masing-masing dengan detil-detil perhiasan asesorisnya dan 78 orang itu mengelilingi peta besar negeri ini yang juga digambar dengan tangan oleh Mas Pirngadie ini.

Lukisan-lukisan 78 kepala etnis dengan peta besar negeri Nusantara ini pulalah yang akhirnya mendapat kehormatan secara internasional untuk dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris 1931. Meski

sayang buah pekerjaan yang memakan waktu lama dari Mas Pirngadie itu pun musnah terbakar api bersama dengan buah seni Indonesia lainnya di pameran itu. Tapi gilanya, sekali lagi gilanya Mas Pirngadie tetap menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu. Sehingga sejak 1935 di museum tempat Mas Pirngadie bekerja ini orang-orang Indonesia, seperti halnya S.T.A., masih bisa menyaksikan lukisan-lukisan ulang ini. Ketika saya kembali ke Museum Nasional untuk bisa menyaksikan satu set lukisan tersebut, memang saya masih bisa mendapati gambar 78 suku bangsa negeri ini dalam satu ruang tersendiri. Yaitu berupa foto-foto yang merepro lukisan-lukisan Mas Pirngadie. Di lain hari saya mendapati kabar bahwa lukisan-lukisan aslinya sedang dirawat, direnovasi oleh museum ini. Dari foto-foto yang merepro satu set lukisan Mas Pirngadie, setidaknya masih bisa membuat saya merasakan jejak-jejak ketelatenannya yang luar biasa. Meskipun kebanyakan pengunjung yang masuk ruang ini tak kan pernah tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan lukisan-lukisan aslinya. Tak ada tertera nama Mas Pirngadie secuil pun di ruang ini.

Akhirnya saya keluar dari ruangan ini dengan perasaan sunyi. Sesunyi Mas Pirngadie yang khusyuk bertahun-tahun mengerjakan segala macam pekerjaan di masa silam. Mengabdikan diri sepenuhnya pada museum ini. Bekerja tiap hari dari pagi sampai sore hari sampai yang benar-benar terakhir dari hidupnya di Sabtu 4 April 1936. Pada hari itu, tiada seperti biasanya Mas Pirngadie meninggalkan pekerjaan, pulang ke rumah karena sakit. Tiada lama kemudian beliaupun meninggalkan dunia, menuju Sang Pencipta.

"Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi!" (S.T.A. 1936).

Semoga demikianlah anak-anak bangsa negeri ini tiada melupakan lagi Mas Pirngadie, tokoh besar negeri ini.

Ambron, EmilioCovarrubias, Miguel Dooijeward, Willem (1892-1990)Friend, DonaldIsrael, IsaacMooijen, P. A. J. Meier, Theo (1908-1982)Smit, Arie Sonnega, Auke C.Sten, John

Pelukis Asing(di Bali, dari 1904 - 1967)

1904 > W. O. J. Nieuwenkamp

1938 > Willem & Maria Hofker

1927 > Walter Spies

1941 > Lee Man-fong (1913-1988)

1935 > Adrien Jean Le Mayeur de Merpres (1880 - 1958) 1928 > Rudolf Bonnet (1895-1978)

1922 > Rolland Strasser (1895-?)1915 > Carel Lodewijk Dake Jr. (1886-1946)

1952 > Antonia Blanco (1912 - 1999)

1990

1980

1970

1960

1950

1940194119421943194419451946194719481949

195119521953195419551956195719581959

196119621963196419651966196719681969

197119721973197419751976197719781979

198119821983198419851986198719881989

1900

1800

1904

PERKEMBANGAN SENIRUPA INDONESIA

Masa Pendudukan Jepang (1942 - 1945)

Masa Raden Saleh (1814 - 1880)

Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI), 1938 - 1942:Agus Djaya, S. Sudjojono, Emiria Sunassa, Sukirno, Otto Djaya

Poesat Tenaga Rakyat (POETERA), 1942 - 1944:Affandi, K. Yudhokusumo, Ny. Ngendon, Basuki Abdullah

W. Spies & Gde A. Sukowati PITA MAHA (1935)

Keimin Bunka Shidoso (1944)Otto Djaya, Henk Ngantung, Dullah, Hendra Gunawan.

Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) Yogya, 1945:Djajengasmoro, Sindusisworo, Indrosughondo, Prawito.

Angkatan Seni Rupa Indonesia (ASRI) Medan, 1945:Ismail Daulay, Nasjah Djamin, Hasan Djafar, Husein.

Dr. Moerdowo Himpunan Budaya Surakarta (1945)

Pelukis Rakyat (1947)Sudjojono, Affandi, Hendra, Soedarso,Sudiardjo, Trubus, Sasongko, Kusnadi, Sudjono Kerton, Rustamadji, Sumitro,

Sajono, Saptoto, C.J. Ali, Juski, Permadi.

Seniman Indonesia Muda (SIM),1946di Yogyakarta: Affandi, Hendra, Trubus, Dullah, Soedarso, Suromo, Surono, Kartono Yudhokusumo, Basuki Resobowo,

Rusli, Harijadi S., Abdul Salam, D. Joes, Zaini.SIM pindah dari Yogya ke Solo (1948), anggota tambah

Trisno Sumarjo, Oesman Effendi, Sasongko, Suparto, Mardian, Wakijan, Srihadi S.

Gabungan Pelukis Indonesia (1948):Affandi, Sutiksna, Nasyah Djamin, Handriyo, Zaini,

Sjahri, Nashar, Oesman Effendi, Trisno Sumardjo.

Sularko Pelangi di Surakarta (1947 - 1949)

Seniman Muda Indonesia (SEMI), 1946:di Bukittinggi: Zetka, A.A. Navis, Zanain.

Masa Terisolir dari Negara Luar:Kanvas dibuat dari blaco/ kertas dan satu tube cat

minyak harus bergantian dengan seniman lain

Masa Abdullah Sr. (1878 - 1914)Wakidi (1889 - 1979), M. Pirngadie (1875 - 1936)

1

2

3

4

Akademi Senirupa Indonesia di Yogya (1950)G. Sidharta, Widayat, Edi Sunarso, Rulijati, Muljadi W., Sjahwil,

Sunarto Pr., Wardojo, Danarto, Arief Sudarsono

Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), 1950-1965mempolitikkan kesenian

Pameran ASRI - ITB (>1950)

Alibasyah, G. Sidharta, Edhi Sunarso, But Muchtar, Pirous, Sunarso,Yusuf Affendi, Muljadi, Arief Sudarsono, Mudjita, Irsam, Danarto,

Aming Prayitno, Budiani, Bagong Kussudiardjo, Amri Yahya, Harijadi, Sutanto, Adi Munardi.

REVOLUSI FISIK (1945 - 1949) Pelukis AsingAmato, L.Dezentje, Ernest Giovanetti, G.Imandt, Wilhelmus Jean Frederic Kinsen, Mori Kichigoro (1888-1959)Koenig, Arthur Johann Li Shuji (1943 - ?)Makovsky, Konstantin E. (1839-1915)Renato, CristianoSimonettiSnel, Han (1925 - 1998)Talwinski, Igor (1907-1983)

(Lukisan Ada Di Indonesia)

AliminHenk Ngantung (1921 - 1990)Ida Bagus Made NaderaI Gusti Putu GedeI Gusti Ketut KobotLim Wasim (1929 - 2004)Mahjuddin S.Nashar (1928 -1994)Sobrat, A. A. Gede SumardiThamdjidin, M.Wayan Sudana

7

6

Pelukis Koleksi Istana, dll. 5

Fadjar Sidik, Widayat, A. Sadali, Srihadi S., Popo Iskandar, Abas

Lukisan Dinding Guadi Maros - Sulawesiberusia 40.000 tahun

Created by Puji Y. Subagiyo 2016

Page 15: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[13]

Mas Pirngadie - Jejak-Jejak yang Berkelana dari Masa Silam ke Masa Kini

Sebagai pelukis, boleh jadi namanya tidak banyak dikenal. Namun melewati De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie -- 5 jilid buku tentang segala seni kerajinan tangan Nusantara -- membuktikan bahwa dialah ahli gambar etnografis terhebat yang dimiliki negeri ini. Hasil berkelananya mengelilingi segenap pelosok Nusantara (1904-1913) bersama Johan Ernst Jasper, seorang ambtenaar (pegawai negeri sipil) pemerintah Hindia Belanda yang juga adalah penulis kumpulan buku ini, mengisyaratkan sebuah kenyataan: ia telah melakukan pekerjaan yang luar biasa dan menjadi karya besar bagi negeri yang dicintainya ini.

Mas Pirngadie lahir Desember 1875 di desa Pakirangan Purbalingga Jawa Tengah, yang menjadi salah satu lukisan cat minyaknya tentang pemandangan berbukit dengan hamparan padi menguning dialiri anak sungai yang deras berbatu-batu. Darah seni mengalir dari ayahnya Mas Mertojoedo, seorang petani biasa yang juga adalah seorang ahli ukir serta pandai emas dan perak. Namun beliau tak sempat secara lansung mengajarkan seni kerajinan tangan itu pada puteranya ini. Beliau meninggal dunia ketika Pirngadie masih berusia lima tahun. Sejak itu Pirngadie kecil memulai takdirnya sebagai 'pengembara'. Berpindah-pindah dari satu orang ke orang lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya.

Oleh MJA Nashir, 2 Agustus 2012

Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A.), pujangga besar Indonesia, adalah salah seorang yang diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa Penggerak Hidup ini untuk berjumpa langsung dan bercengkrama dengan Mas Pirnggadie di masa tuanya. Hasil pencengkramaan intens itu menjadi tulisan panjang dan bersambung sampai tiga kali dalam tahun-tahun yang berbeda sebagai artikel di majalah Poedjangga Baroe tentang tokoh kita Mas Pirngadie ini. Catatan-catatan S.T.A. ini sangatlah penting. Melewati tulisan-tulisan S.T.A. inilah yang mampu menjadi 'jembatan' komprehensif dalam menggapai serta mengenal lebih dekat sosok dan kiprah Mas Pirngadie.

Dalam salah satu artikelnya tentang Mas Pirngadie di majalah Poedjangga Baroe tersebut S.T.A. menulis demikian:"Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di

berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja

memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoen-an bangsa Indonesia sekarang ini". (S.T.A. 1934)

Demikian petikan dari salah satu catatan S.T.A. tentang Mas Pirngadie ini. Dari ketiga artikel S.T.A. di Majalah Poedjangga Baroe (S.T.A. 1934, 1935, 1936) sangat terasa kuat pergumulan S.T.A. dengan Mas Pirngadie. Sebagai budayawan, S.T.A. tampil memberikan kesaksian lengkap serta jujur atas sosok dan kiprah Mas Pirngadie, 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang' ini. Tentu sebuah langkah hebat dan berani untuk menimbang kembali peran Mas Pirngadie dalam ranah kebudayaan negeri. Selain riwayat hidup Mas Pirngadie, S.T.A. mengungkapkan kekuatan, keindahan dan kedalaman karya-karya Mas Pirngadie, ahli gambar yang tetap hidup sederhana dan rendah hati.

Catatan-catatan S.T.A. itu adalah hasil wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan-tulisan koran atau majalah-majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. Dituliskan pula oleh S.T.A. bahwa tak ada satu pun media terbitan bumi putera yang pernah memberitakan atau mengulas tentang Mas Pirngadie ini. Jika pun ada, kata S.T.A., itu hanyalah kopian dari terbitan-terbitan berbahasa Belanda. Rasanya kenyataan ini memedihkan. Mengisyaratkan keberadaan Mas Pirngadie seperti sudah lama dalam posisi yang 'tak diperhitungkan' di kalangan para bumi putera sendiri. Meskipun kenyataannya, Mas Pirngadie telah menghasilkan ratusan karya lukis yang berbobot. Belum lagi dalam posisinya atas hasil karya luar biasa berupa lima jilid buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.

Lalu bagaimana jejak-jejak Mas Pirngadie di masa kini?Menapaki jejak-jejak Mas Pirngadie untuk menggapai sosok dan kiprahnya secara utuh memang bukanlah sesuatu

yang mudah. Rasanya nama Mas Pirngadie hanya bisa dijumpai secara fragmentaris saja. Memang, ia terasa lebih dikenal bagi kalangan dunia antropologi atau etnografi. Itu pun pasti para ahli tertentu saja yang mau bertekun pada litaratur-litaratur budaya sehingga hanya mereka itu yang bisa menjumpai kumpulan karya buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie ini. Sementara di kalangan praktisi atau pecinta seni kerajinan tangan Nusantara itu pun lebih terfragmentaris lagi; yang tertarik di bidang seni anyaman membaca buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie yang jilid I yaitu seni anyaman; yang tertarik dunia tenun mengenal namanya dari buku jilid II nya tentang seni tenun; begitu juga yang tertarik batik, seni keris dan logam, membaca dari jilid-jilid lainnya sesuai masing-masing subyek itu.

Dunia lukisan Indonesia -- marilah kita sebut saja sejarah seni lukis Indonesia -- sebenarnya mengenal namanya. Meski agak samar-samar. Oleh karena dunia/sejarah lukis Indonesia rasanya terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan genre, aliran-aliran, periodisasi-periodisasi karya, 'mooi indie' dan 'bukan mooi indie', 'yang ini' dan 'yang itu' dan sebagainya yang semua itu seringkali berkaitan pada 'politisasi seni'.

Terasa sekali saat ini bila kita mencari nama Mas Pirngadie di antara tumpukan nama-nama pelukis besar Indonesia, proporsi namanya hanya kecil saja di tengah himpitan para pelukis besar Indonesia lainnya yang biografi dan karyanya bisa dituliskan dengan panjang lebar itu. Untuk melihat bukti ini kita bisa saja secara 'iseng-iseng' lewat internet di Google, ketik nama 'Mas Pirngadie' atau sekalian tambahi kata bantuan 'pelukis' di depan atau di belakang namanya. Maka pasti yang mucul kebanyakan bukan yang hendak kita cari. Yang kita dapati kebanyakan justeru riwayat para pelukis lainnya yang beberapa di antaranya memang pernah berguru pada Mas Pirngadie ini. Terasa kita kesulitan mendapati informasi, biografi dan karya-karya lukis Mas Pirngadie. Padahal bukankah di tanah air ini dan untuk tanah air ini seorang Sutan Takdir Alisyahbana sudah pernah menuliskannya secara panjang lebar lewat artikel-artikelnya di Poedjangga Baroe? Jangan-jangan memang kita sudah kesulitan untuk bisa mendapatkan tulisan-tulisan S.T.A. atau majalah-majalah Poedjangga Baroe itu, seperti halnya yang saya alami ketika mencoba mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nomor-nomor majalah itu sudah tidak ada lagi. Tidak terarsipkan dengan baik. Untungnya saya bisa mendapatinya kembali dari arsip di Belanda melewati ke-baikan hati antropolog Sandra Niessen.

Sesuai info dari tulisan S.T.A. dan dari beberapa sumber informasi lainnya menjadi petunjuk penting bagi saya di suatu hari untuk lari ke Museum Nasional dengan harapan bisa mendapatkan jejak-jejak Mas Pirngadie. Oleh karena gedung ini -- yang di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen -- adalah tempat terakhir Mas Pirngadie bekerja. Dan ketika saya sampai di museum ini tak banyak yang bisa saya dapati tentang Mas Pirngadie. Jejak-jejaknya seperti diterbangkan oleh angin zaman, meskipun memang tidak semuanya. Selalu saya bayangkan bagaimana ia telah menyusun daftar-daftar informasi tentang benda-benda di museum ini yang masing-masing pada kartu kertas itu ia gambari juga dengan tangannya. Juga saya bayangkan

berhari-hari lamanya selama beberapa tahun Mas Pirngadie melukis 78 orang dari semua etnis yang ada di Nusantara ini yang ia gambar dari potret-potret yang semula hitam putih menjadi lukisan berwarna lengkap dengan pakaian adatnya masing-masing dengan detil-detil perhiasan asesorisnya dan 78 orang itu mengelilingi peta besar negeri ini yang juga digambar dengan tangan oleh Mas Pirngadie ini.

Lukisan-lukisan 78 kepala etnis dengan peta besar negeri Nusantara ini pulalah yang akhirnya mendapat kehormatan secara internasional untuk dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris 1931. Meski

sayang buah pekerjaan yang memakan waktu lama dari Mas Pirngadie itu pun musnah terbakar api bersama dengan buah seni Indonesia lainnya di pameran itu. Tapi gilanya, sekali lagi gilanya Mas Pirngadie tetap menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu. Sehingga sejak 1935 di museum tempat Mas Pirngadie bekerja ini orang-orang Indonesia, seperti halnya S.T.A., masih bisa menyaksikan lukisan-lukisan ulang ini. Ketika saya kembali ke Museum Nasional untuk bisa menyaksikan satu set lukisan tersebut, memang saya masih bisa mendapati gambar 78 suku bangsa negeri ini dalam satu ruang tersendiri. Yaitu berupa foto-foto yang merepro lukisan-lukisan Mas Pirngadie. Di lain hari saya mendapati kabar bahwa lukisan-lukisan aslinya sedang dirawat, direnovasi oleh museum ini. Dari foto-foto yang merepro satu set lukisan Mas Pirngadie, setidaknya masih bisa membuat saya merasakan jejak-jejak ketelatenannya yang luar biasa. Meskipun kebanyakan pengunjung yang masuk ruang ini tak kan pernah tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan lukisan-lukisan aslinya. Tak ada tertera nama Mas Pirngadie secuil pun di ruang ini.

Akhirnya saya keluar dari ruangan ini dengan perasaan sunyi. Sesunyi Mas Pirngadie yang khusyuk bertahun-tahun mengerjakan segala macam pekerjaan di masa silam. Mengabdikan diri sepenuhnya pada museum ini. Bekerja tiap hari dari pagi sampai sore hari sampai yang benar-benar terakhir dari hidupnya di Sabtu 4 April 1936. Pada hari itu, tiada seperti biasanya Mas Pirngadie meninggalkan pekerjaan, pulang ke rumah karena sakit. Tiada lama kemudian beliaupun meninggalkan dunia, menuju Sang Pencipta.

"Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi!" (S.T.A. 1936).

Semoga demikianlah anak-anak bangsa negeri ini tiada melupakan lagi Mas Pirngadie, tokoh besar negeri ini.

Sejak ayahnya meninggal ia diasuh oleh adik dari ibunya, Haji Mochammad Tahir. Paman ini seorang santri ta'at yang berprofesi sebagai penghulu di desa Pakirangan. Pirngadi pun didiknya ilmu agama dan mengaji agar kelak bisa menggantikannya. Namun dalam usianya yang tujuh tahun, setelah tamat belajar mengaji, Pirngadie diambil oleh sepupunya (putra kakak ayahnya), Mas Joedodimedjo, untuk dibawa ke Bukateja. Di daerah inilah Mas Joedodimedjo mulai mendidik Pirngadie dengan harapan agar Pirngadie bisa masuk ke dunia pekerjaan seperti dirinya, pegawai kadaster. Oleh kakak sepupu ini Pirngadie di sekolahkan di sekolah district. Ketika kakak sepupunya pindah tugas ke beberapa kota lain Pirngadie pun turut serta. Dari Bukateja pindah ke Magelang, lalu ke Sukabumi dan selanjutnya ke Bandung. Di Bandung Pirngadie masuk Externenschool dan sore hari belajar bahasa Belanda pada H. Falk.

Pada 1889, di usia 12 tahun Pirngadie diterima magang pada jabatan kadaster (pegawai urusan persil tanah). Inilah tahun dimana Mas Pirngadie memulai profesinya di dunia kadaster atau pertanahan. Pekerjaan yang berurusan dengan sistem administrasi informasi persil tanah, mengurus kepentingan-kepentingan atas tanah; yaitu hak, batasan dan tanggung jawab dalam bentuk uraian geometrik atau peta sebagai dasar pengelolaan hak atas tanah, nilai tanah, dan pemanfaatan tanah. Dengan demikian Pirngadie mulai terlibat pekerjaan membuat peta-peta tanah. Maka ia pun mulai berkenalan dengan pinsil gambar. Pekerjaan di kadaster secara langsung membekali dirinya akan kemampuan pada hal-hal yang sifatnya detil, rumit, bahkan matematis karena tuntutan ketepatan. Kelak itu semua menjadi kekuatan bagi karya-karya gambarnya. Begitu juga menurut H. van Meurs dalam tulisannya tentang Mas Pirngadie, "A Javanese Artist Painter" di majalah Sluyters' Monthly :

"Ketika Pirngadie berusia 12 tahun dia telah mulai bekerja di kantor kadaster, dan saat mendesain peta di sini dia mengalami pertama kalinya pegang cat dan kuas. Seandainya dia mengambil pekerjaan lainnya selain ini maka bakatnya sebagai pelukis mungkin tak kan pernah mempunyai latar belakang. Maka inilah sisi penting dari pekerjaan kadasternya; meskipun secara alamiah bukanlah sesuatu yang penting bahwa sebagai dasar pertama dia banyak belajar tentang menggambar dan melukis secara mekanis. Tentu saja dengan pekerjaan yang selalu menekankan ketepatan matematis ini tiada ruang bagi inspirasi artistik."

Page 16: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[14]

Sebagai pegawai kadaster ia ditugaskan di Cicalengka Jawa Barat kemudian pindah tugas ke Pasuruan Jawa Timur. Bertahun-tahun sebagai pegawai Kadaster ia selalu berhubungan dengan gambar menggambar peta-peta tanah. Menjadi rutinitas sehari-hari baginya. Bisa saja hal ini menjadi sesuatu yang membosankan sehingga untuk dirinya sendiri ia perlu suatu imbangan di kala senggang. Apalagi rasa akan seni dalam jiwanya semakin mengembang. Maka waktu-waktu senggang ia manfaatkan perangkat penggambar petanya untuk meniru-niru gambar dan membesar- besarkan potret teman-temannya.

Sekitar tahun 1900 Mas Pirngadie bertemu dengan Freiherr Otto Carl von Juncker Bigatto. Pelukis berkebangsaan Jerman ini memberinya beberapa petunjuk tentang seni menggambar dengan cat. Membuat Pirngadie mulai menggambar alam dengan cat air. Sejak itu dalam melukis ia makin merasakan nikmat dan makin menyadari bakat. Kemauan mengembangkan bakat juga makin kuat. Meskipun untuk ke arah itu harus ia jalani secara perlahan. Apalagi alat menggambar harganya mahal, sedangkan gaji pekerjaannya sangatlah kecil. Namun semuanya itu tak membuatnya surut dalam kegiatannya melukis. Ini terbukti dari keberaniannya di Agustus 1901, ia mengirimkan lukisan-lukisan cat airnya ke pameran.

Tentang gambar-gambar cat airnya yang dipamerkan itu koran berbahasa Belanda menulisnya demikian :"Lain dari pada itoe dipertontonkan djoega beberapa aquarel bangsa boemipoetera Pirngadie, eleve-mantri pada

kadaster di Pasoeroean, jang tiada pernah mendapat pimpinan, tetapi semata-mata menoeroet desakan hatinja sendiri memboeat gambar tjat air alam. Misalnja pemandangan pada danau Gratie itoe mengandoeng perasaan jang amat loear biasa. Alangkah baiknja, apabila pemoeda Djawa jang pasti besar ketjakapannja oentoek seni schilderen ini, mendapat pimpinan goeroe-goeroe jang baik. Siapa tahoe ia kelak akan menjamai, djika tidak melebihi Raden Saleh". (Terjemahan Sutan Takdir Alisjahbana).

Perjalanan hidup seseorang seringkali mempunyai misterinya sendiri. Seringkali mengandung keajaiban dan hal yang tak terduga yang tak bisa direncana sebelumnya, hanya baru bisa dicerna sesudahnya. Demikianlah ketika merunut kembali jejak Mas Pirngadie sampai pada tahap perjalanan hidupnya ini. Keasyikan Mas Pirngadie dalam menggambar dan melukis di tiap waktu senggang akhirnya 'tercium' juga oleh Von Juncker Bigatto. Peristiwa ini berbuntut takdir amat penting bagi kehidupan Mas Pirngadie sebagai ahli gambar, yaitu takdir yang membawanya pada pertemuan dengan J.E. Jasper yang kelak hari membawanya mengembara keliling Nusantara.

Ya, Von Juncker Bigatto pada suatu hari di sekitar tahun 1902 melihat sendiri sebuah album hasil gambar muridnya ini. Hatinya gembira bukan main ketika membalik-balikkan album itu. Pirngadie menggambar sesuatu yang ternyata lain dari yang ia ajarkan. Melewati kecakapakannya menggambar, Mas Pirngadie justeru menggali kembali kekuatan tradisi seni nenek moyangnya sendiri, yaitu seni batik. Dalam album itu gambar-gambar Mas Pirngadie adalah patron/ motif-motif batik. Hal ini membuat Von Juncker Bigatto berkeinginan kuat untuk memberitahukan kepada J.E. Jasper, seorang pegawai pemerintahan Hindia Belanda di Jombang Jawa Timur yang juga adalah ahli tentang seni anak negeri. J.E. Jasper ini pun sangat senang melihat album batik yang indah karya Mas Pirngadie. Ia berjanji akan berusaha menjualkannya dengan harga yang baik. Dalam waktu sebulan janjinya itupun berhasil ditepati.

Dalam sebuah artikel J.E. Jasper menulis tentang album ini demikian : "Jarang saya melihat reproduksi motif-motif Batik Jawa asli yang lebih baik dari yang ada di album Mas Pirngadie. Warna soga tua itu, seperti yang dipakai di Yogya oleh pembatik, yang tercipta dari ramuan-ramuan berbahan alami

memakai resep yang rumit, begitu juga biru indigo yang diterakan di kain, hasil kerja berbulan-bulan, keindahan dan kecemerlangannya bisa terlihat dari gambar-gambar Mas Pirngadie". (Jasper 1909).

Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A.), pujangga besar Indonesia, adalah salah seorang yang diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa Penggerak Hidup ini untuk berjumpa langsung dan bercengkrama dengan Mas Pirnggadie di masa tuanya. Hasil pencengkramaan intens itu menjadi tulisan panjang dan bersambung sampai tiga kali dalam tahun-tahun yang berbeda sebagai artikel di majalah Poedjangga Baroe tentang tokoh kita Mas Pirngadie ini. Catatan-catatan S.T.A. ini sangatlah penting. Melewati tulisan-tulisan S.T.A. inilah yang mampu menjadi 'jembatan' komprehensif dalam menggapai serta mengenal lebih dekat sosok dan kiprah Mas Pirngadie.

Dalam salah satu artikelnya tentang Mas Pirngadie di majalah Poedjangga Baroe tersebut S.T.A. menulis demikian:"Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di

berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja

memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoen-an bangsa Indonesia sekarang ini". (S.T.A. 1934)

Demikian petikan dari salah satu catatan S.T.A. tentang Mas Pirngadie ini. Dari ketiga artikel S.T.A. di Majalah Poedjangga Baroe (S.T.A. 1934, 1935, 1936) sangat terasa kuat pergumulan S.T.A. dengan Mas Pirngadie. Sebagai budayawan, S.T.A. tampil memberikan kesaksian lengkap serta jujur atas sosok dan kiprah Mas Pirngadie, 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang' ini. Tentu sebuah langkah hebat dan berani untuk menimbang kembali peran Mas Pirngadie dalam ranah kebudayaan negeri. Selain riwayat hidup Mas Pirngadie, S.T.A. mengungkapkan kekuatan, keindahan dan kedalaman karya-karya Mas Pirngadie, ahli gambar yang tetap hidup sederhana dan rendah hati.

Catatan-catatan S.T.A. itu adalah hasil wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan-tulisan koran atau majalah-majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. Dituliskan pula oleh S.T.A. bahwa tak ada satu pun media terbitan bumi putera yang pernah memberitakan atau mengulas tentang Mas Pirngadie ini. Jika pun ada, kata S.T.A., itu hanyalah kopian dari terbitan-terbitan berbahasa Belanda. Rasanya kenyataan ini memedihkan. Mengisyaratkan keberadaan Mas Pirngadie seperti sudah lama dalam posisi yang 'tak diperhitungkan' di kalangan para bumi putera sendiri. Meskipun kenyataannya, Mas Pirngadie telah menghasilkan ratusan karya lukis yang berbobot. Belum lagi dalam posisinya atas hasil karya luar biasa berupa lima jilid buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.

Lalu bagaimana jejak-jejak Mas Pirngadie di masa kini?Menapaki jejak-jejak Mas Pirngadie untuk menggapai sosok dan kiprahnya secara utuh memang bukanlah sesuatu

yang mudah. Rasanya nama Mas Pirngadie hanya bisa dijumpai secara fragmentaris saja. Memang, ia terasa lebih dikenal bagi kalangan dunia antropologi atau etnografi. Itu pun pasti para ahli tertentu saja yang mau bertekun pada litaratur-litaratur budaya sehingga hanya mereka itu yang bisa menjumpai kumpulan karya buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie ini. Sementara di kalangan praktisi atau pecinta seni kerajinan tangan Nusantara itu pun lebih terfragmentaris lagi; yang tertarik di bidang seni anyaman membaca buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie yang jilid I yaitu seni anyaman; yang tertarik dunia tenun mengenal namanya dari buku jilid II nya tentang seni tenun; begitu juga yang tertarik batik, seni keris dan logam, membaca dari jilid-jilid lainnya sesuai masing-masing subyek itu.

Dunia lukisan Indonesia -- marilah kita sebut saja sejarah seni lukis Indonesia -- sebenarnya mengenal namanya. Meski agak samar-samar. Oleh karena dunia/sejarah lukis Indonesia rasanya terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan genre, aliran-aliran, periodisasi-periodisasi karya, 'mooi indie' dan 'bukan mooi indie', 'yang ini' dan 'yang itu' dan sebagainya yang semua itu seringkali berkaitan pada 'politisasi seni'.

Terasa sekali saat ini bila kita mencari nama Mas Pirngadie di antara tumpukan nama-nama pelukis besar Indonesia, proporsi namanya hanya kecil saja di tengah himpitan para pelukis besar Indonesia lainnya yang biografi dan karyanya bisa dituliskan dengan panjang lebar itu. Untuk melihat bukti ini kita bisa saja secara 'iseng-iseng' lewat internet di Google, ketik nama 'Mas Pirngadie' atau sekalian tambahi kata bantuan 'pelukis' di depan atau di belakang namanya. Maka pasti yang mucul kebanyakan bukan yang hendak kita cari. Yang kita dapati kebanyakan justeru riwayat para pelukis lainnya yang beberapa di antaranya memang pernah berguru pada Mas Pirngadie ini. Terasa kita kesulitan mendapati informasi, biografi dan karya-karya lukis Mas Pirngadie. Padahal bukankah di tanah air ini dan untuk tanah air ini seorang Sutan Takdir Alisyahbana sudah pernah menuliskannya secara panjang lebar lewat artikel-artikelnya di Poedjangga Baroe? Jangan-jangan memang kita sudah kesulitan untuk bisa mendapatkan tulisan-tulisan S.T.A. atau majalah-majalah Poedjangga Baroe itu, seperti halnya yang saya alami ketika mencoba mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nomor-nomor majalah itu sudah tidak ada lagi. Tidak terarsipkan dengan baik. Untungnya saya bisa mendapatinya kembali dari arsip di Belanda melewati ke-baikan hati antropolog Sandra Niessen.

Sesuai info dari tulisan S.T.A. dan dari beberapa sumber informasi lainnya menjadi petunjuk penting bagi saya di suatu hari untuk lari ke Museum Nasional dengan harapan bisa mendapatkan jejak-jejak Mas Pirngadie. Oleh karena gedung ini -- yang di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen -- adalah tempat terakhir Mas Pirngadie bekerja. Dan ketika saya sampai di museum ini tak banyak yang bisa saya dapati tentang Mas Pirngadie. Jejak-jejaknya seperti diterbangkan oleh angin zaman, meskipun memang tidak semuanya. Selalu saya bayangkan bagaimana ia telah menyusun daftar-daftar informasi tentang benda-benda di museum ini yang masing-masing pada kartu kertas itu ia gambari juga dengan tangannya. Juga saya bayangkan

berhari-hari lamanya selama beberapa tahun Mas Pirngadie melukis 78 orang dari semua etnis yang ada di Nusantara ini yang ia gambar dari potret-potret yang semula hitam putih menjadi lukisan berwarna lengkap dengan pakaian adatnya masing-masing dengan detil-detil perhiasan asesorisnya dan 78 orang itu mengelilingi peta besar negeri ini yang juga digambar dengan tangan oleh Mas Pirngadie ini.

Lukisan-lukisan 78 kepala etnis dengan peta besar negeri Nusantara ini pulalah yang akhirnya mendapat kehormatan secara internasional untuk dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris 1931. Meski

sayang buah pekerjaan yang memakan waktu lama dari Mas Pirngadie itu pun musnah terbakar api bersama dengan buah seni Indonesia lainnya di pameran itu. Tapi gilanya, sekali lagi gilanya Mas Pirngadie tetap menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu. Sehingga sejak 1935 di museum tempat Mas Pirngadie bekerja ini orang-orang Indonesia, seperti halnya S.T.A., masih bisa menyaksikan lukisan-lukisan ulang ini. Ketika saya kembali ke Museum Nasional untuk bisa menyaksikan satu set lukisan tersebut, memang saya masih bisa mendapati gambar 78 suku bangsa negeri ini dalam satu ruang tersendiri. Yaitu berupa foto-foto yang merepro lukisan-lukisan Mas Pirngadie. Di lain hari saya mendapati kabar bahwa lukisan-lukisan aslinya sedang dirawat, direnovasi oleh museum ini. Dari foto-foto yang merepro satu set lukisan Mas Pirngadie, setidaknya masih bisa membuat saya merasakan jejak-jejak ketelatenannya yang luar biasa. Meskipun kebanyakan pengunjung yang masuk ruang ini tak kan pernah tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan lukisan-lukisan aslinya. Tak ada tertera nama Mas Pirngadie secuil pun di ruang ini.

Akhirnya saya keluar dari ruangan ini dengan perasaan sunyi. Sesunyi Mas Pirngadie yang khusyuk bertahun-tahun mengerjakan segala macam pekerjaan di masa silam. Mengabdikan diri sepenuhnya pada museum ini. Bekerja tiap hari dari pagi sampai sore hari sampai yang benar-benar terakhir dari hidupnya di Sabtu 4 April 1936. Pada hari itu, tiada seperti biasanya Mas Pirngadie meninggalkan pekerjaan, pulang ke rumah karena sakit. Tiada lama kemudian beliaupun meninggalkan dunia, menuju Sang Pencipta.

"Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi!" (S.T.A. 1936).

Semoga demikianlah anak-anak bangsa negeri ini tiada melupakan lagi Mas Pirngadie, tokoh besar negeri ini.

Page 17: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[15]

Tak lama sesudah pertemuan pertama dengan Johan Ernst Jasper, Mas Pirngadie akhirnya ditugaskan untuk membantu J. E. Jasper yang diperintahkan Pemerintah Hindia Belanda untuk mengumpulkan keterangan selengkap- lengkapnya tentang seni kerajinan tangan di seluruh kepulauan Nusantara ini. Maka dari tahun 1904-1913 kedua orang ini mengelilingi Nusantara. Beredar dari satu pedalaman ke pedalaman lain di seluruh pelosok negeri ini. Hal ini membuat Mas Pirngadie tidak hanya mengenal segala seni kerajinan tangan yang ada di Pulau Jawa saja namun juga seni kerajinan tangan di semua daerah luar Pulau Jawa; dari seni anyaman, seni tenun, seni batik, seni logam dan lain-lainnya yang semuanya itu ia dokumentasikan secara sempurna dan detil melewati kemampuan menggambar dengan tangannya. Hal ini bisa dirasakan langsung dengan menikmati lembar demi lembar dari kelima jilid buku, De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie, buah manis perjalanan pengembaraannya bersama J.E Jasper itu. Sampai-sampai Jasper yang memang ahlinya seni anak negeri menyatakan secara jujur tentang keajaiban Mas Pirngadie, partner sinerginya ini:

"Tak ada yang bisa menggambarkan perhiasan motif timur lebih baik dari Mas Pirngadie. Dia yang terbaik di negerinya. Kalau ada masalah-masalah yang terjadi pada warna atau gambar karena pemakaian proses yang tak biasa dia selalu bisa mendapatkan pemecahannya. Kesabarannya hebat dan mengagumkan". (Jasper 1909).

Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A.), pujangga besar Indonesia, adalah salah seorang yang diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa Penggerak Hidup ini untuk berjumpa langsung dan bercengkrama dengan Mas Pirnggadie di masa tuanya. Hasil pencengkramaan intens itu menjadi tulisan panjang dan bersambung sampai tiga kali dalam tahun-tahun yang berbeda sebagai artikel di majalah Poedjangga Baroe tentang tokoh kita Mas Pirngadie ini. Catatan-catatan S.T.A. ini sangatlah penting. Melewati tulisan-tulisan S.T.A. inilah yang mampu menjadi 'jembatan' komprehensif dalam menggapai serta mengenal lebih dekat sosok dan kiprah Mas Pirngadie.

Dalam salah satu artikelnya tentang Mas Pirngadie di majalah Poedjangga Baroe tersebut S.T.A. menulis demikian:"Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di

berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja

memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoen-an bangsa Indonesia sekarang ini". (S.T.A. 1934)

Demikian petikan dari salah satu catatan S.T.A. tentang Mas Pirngadie ini. Dari ketiga artikel S.T.A. di Majalah Poedjangga Baroe (S.T.A. 1934, 1935, 1936) sangat terasa kuat pergumulan S.T.A. dengan Mas Pirngadie. Sebagai budayawan, S.T.A. tampil memberikan kesaksian lengkap serta jujur atas sosok dan kiprah Mas Pirngadie, 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang' ini. Tentu sebuah langkah hebat dan berani untuk menimbang kembali peran Mas Pirngadie dalam ranah kebudayaan negeri. Selain riwayat hidup Mas Pirngadie, S.T.A. mengungkapkan kekuatan, keindahan dan kedalaman karya-karya Mas Pirngadie, ahli gambar yang tetap hidup sederhana dan rendah hati.

Catatan-catatan S.T.A. itu adalah hasil wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan-tulisan koran atau majalah-majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. Dituliskan pula oleh S.T.A. bahwa tak ada satu pun media terbitan bumi putera yang pernah memberitakan atau mengulas tentang Mas Pirngadie ini. Jika pun ada, kata S.T.A., itu hanyalah kopian dari terbitan-terbitan berbahasa Belanda. Rasanya kenyataan ini memedihkan. Mengisyaratkan keberadaan Mas Pirngadie seperti sudah lama dalam posisi yang 'tak diperhitungkan' di kalangan para bumi putera sendiri. Meskipun kenyataannya, Mas Pirngadie telah menghasilkan ratusan karya lukis yang berbobot. Belum lagi dalam posisinya atas hasil karya luar biasa berupa lima jilid buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.

Lalu bagaimana jejak-jejak Mas Pirngadie di masa kini?Menapaki jejak-jejak Mas Pirngadie untuk menggapai sosok dan kiprahnya secara utuh memang bukanlah sesuatu

yang mudah. Rasanya nama Mas Pirngadie hanya bisa dijumpai secara fragmentaris saja. Memang, ia terasa lebih dikenal bagi kalangan dunia antropologi atau etnografi. Itu pun pasti para ahli tertentu saja yang mau bertekun pada litaratur-litaratur budaya sehingga hanya mereka itu yang bisa menjumpai kumpulan karya buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie ini. Sementara di kalangan praktisi atau pecinta seni kerajinan tangan Nusantara itu pun lebih terfragmentaris lagi; yang tertarik di bidang seni anyaman membaca buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie yang jilid I yaitu seni anyaman; yang tertarik dunia tenun mengenal namanya dari buku jilid II nya tentang seni tenun; begitu juga yang tertarik batik, seni keris dan logam, membaca dari jilid-jilid lainnya sesuai masing-masing subyek itu.

Dunia lukisan Indonesia -- marilah kita sebut saja sejarah seni lukis Indonesia -- sebenarnya mengenal namanya. Meski agak samar-samar. Oleh karena dunia/sejarah lukis Indonesia rasanya terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan genre, aliran-aliran, periodisasi-periodisasi karya, 'mooi indie' dan 'bukan mooi indie', 'yang ini' dan 'yang itu' dan sebagainya yang semua itu seringkali berkaitan pada 'politisasi seni'.

Terasa sekali saat ini bila kita mencari nama Mas Pirngadie di antara tumpukan nama-nama pelukis besar Indonesia, proporsi namanya hanya kecil saja di tengah himpitan para pelukis besar Indonesia lainnya yang biografi dan karyanya bisa dituliskan dengan panjang lebar itu. Untuk melihat bukti ini kita bisa saja secara 'iseng-iseng' lewat internet di Google, ketik nama 'Mas Pirngadie' atau sekalian tambahi kata bantuan 'pelukis' di depan atau di belakang namanya. Maka pasti yang mucul kebanyakan bukan yang hendak kita cari. Yang kita dapati kebanyakan justeru riwayat para pelukis lainnya yang beberapa di antaranya memang pernah berguru pada Mas Pirngadie ini. Terasa kita kesulitan mendapati informasi, biografi dan karya-karya lukis Mas Pirngadie. Padahal bukankah di tanah air ini dan untuk tanah air ini seorang Sutan Takdir Alisyahbana sudah pernah menuliskannya secara panjang lebar lewat artikel-artikelnya di Poedjangga Baroe? Jangan-jangan memang kita sudah kesulitan untuk bisa mendapatkan tulisan-tulisan S.T.A. atau majalah-majalah Poedjangga Baroe itu, seperti halnya yang saya alami ketika mencoba mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nomor-nomor majalah itu sudah tidak ada lagi. Tidak terarsipkan dengan baik. Untungnya saya bisa mendapatinya kembali dari arsip di Belanda melewati ke-baikan hati antropolog Sandra Niessen.

Sesuai info dari tulisan S.T.A. dan dari beberapa sumber informasi lainnya menjadi petunjuk penting bagi saya di suatu hari untuk lari ke Museum Nasional dengan harapan bisa mendapatkan jejak-jejak Mas Pirngadie. Oleh karena gedung ini -- yang di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen -- adalah tempat terakhir Mas Pirngadie bekerja. Dan ketika saya sampai di museum ini tak banyak yang bisa saya dapati tentang Mas Pirngadie. Jejak-jejaknya seperti diterbangkan oleh angin zaman, meskipun memang tidak semuanya. Selalu saya bayangkan bagaimana ia telah menyusun daftar-daftar informasi tentang benda-benda di museum ini yang masing-masing pada kartu kertas itu ia gambari juga dengan tangannya. Juga saya bayangkan

berhari-hari lamanya selama beberapa tahun Mas Pirngadie melukis 78 orang dari semua etnis yang ada di Nusantara ini yang ia gambar dari potret-potret yang semula hitam putih menjadi lukisan berwarna lengkap dengan pakaian adatnya masing-masing dengan detil-detil perhiasan asesorisnya dan 78 orang itu mengelilingi peta besar negeri ini yang juga digambar dengan tangan oleh Mas Pirngadie ini.

Lukisan-lukisan 78 kepala etnis dengan peta besar negeri Nusantara ini pulalah yang akhirnya mendapat kehormatan secara internasional untuk dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris 1931. Meski

sayang buah pekerjaan yang memakan waktu lama dari Mas Pirngadie itu pun musnah terbakar api bersama dengan buah seni Indonesia lainnya di pameran itu. Tapi gilanya, sekali lagi gilanya Mas Pirngadie tetap menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu. Sehingga sejak 1935 di museum tempat Mas Pirngadie bekerja ini orang-orang Indonesia, seperti halnya S.T.A., masih bisa menyaksikan lukisan-lukisan ulang ini. Ketika saya kembali ke Museum Nasional untuk bisa menyaksikan satu set lukisan tersebut, memang saya masih bisa mendapati gambar 78 suku bangsa negeri ini dalam satu ruang tersendiri. Yaitu berupa foto-foto yang merepro lukisan-lukisan Mas Pirngadie. Di lain hari saya mendapati kabar bahwa lukisan-lukisan aslinya sedang dirawat, direnovasi oleh museum ini. Dari foto-foto yang merepro satu set lukisan Mas Pirngadie, setidaknya masih bisa membuat saya merasakan jejak-jejak ketelatenannya yang luar biasa. Meskipun kebanyakan pengunjung yang masuk ruang ini tak kan pernah tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan lukisan-lukisan aslinya. Tak ada tertera nama Mas Pirngadie secuil pun di ruang ini.

Akhirnya saya keluar dari ruangan ini dengan perasaan sunyi. Sesunyi Mas Pirngadie yang khusyuk bertahun-tahun mengerjakan segala macam pekerjaan di masa silam. Mengabdikan diri sepenuhnya pada museum ini. Bekerja tiap hari dari pagi sampai sore hari sampai yang benar-benar terakhir dari hidupnya di Sabtu 4 April 1936. Pada hari itu, tiada seperti biasanya Mas Pirngadie meninggalkan pekerjaan, pulang ke rumah karena sakit. Tiada lama kemudian beliaupun meninggalkan dunia, menuju Sang Pencipta.

"Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi!" (S.T.A. 1936).

Semoga demikianlah anak-anak bangsa negeri ini tiada melupakan lagi Mas Pirngadie, tokoh besar negeri ini.

Page 18: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[16]

Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A.), pujangga besar Indonesia, adalah salah seorang yang diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa Penggerak Hidup ini untuk berjumpa langsung dan bercengkrama dengan Mas Pirnggadie di masa tuanya. Hasil pencengkramaan intens itu menjadi tulisan panjang dan bersambung sampai tiga kali dalam tahun-tahun yang berbeda sebagai artikel di majalah Poedjangga Baroe tentang tokoh kita Mas Pirngadie ini. Catatan-catatan S.T.A. ini sangatlah penting. Melewati tulisan-tulisan S.T.A. inilah yang mampu menjadi 'jembatan' komprehensif dalam menggapai serta mengenal lebih dekat sosok dan kiprah Mas Pirngadie.

Dalam salah satu artikelnya tentang Mas Pirngadie di majalah Poedjangga Baroe tersebut S.T.A. menulis demikian:"Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di

berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja

memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoen-an bangsa Indonesia sekarang ini". (S.T.A. 1934)

Demikian petikan dari salah satu catatan S.T.A. tentang Mas Pirngadie ini. Dari ketiga artikel S.T.A. di Majalah Poedjangga Baroe (S.T.A. 1934, 1935, 1936) sangat terasa kuat pergumulan S.T.A. dengan Mas Pirngadie. Sebagai budayawan, S.T.A. tampil memberikan kesaksian lengkap serta jujur atas sosok dan kiprah Mas Pirngadie, 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang' ini. Tentu sebuah langkah hebat dan berani untuk menimbang kembali peran Mas Pirngadie dalam ranah kebudayaan negeri. Selain riwayat hidup Mas Pirngadie, S.T.A. mengungkapkan kekuatan, keindahan dan kedalaman karya-karya Mas Pirngadie, ahli gambar yang tetap hidup sederhana dan rendah hati.

Catatan-catatan S.T.A. itu adalah hasil wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan-tulisan koran atau majalah-majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. Dituliskan pula oleh S.T.A. bahwa tak ada satu pun media terbitan bumi putera yang pernah memberitakan atau mengulas tentang Mas Pirngadie ini. Jika pun ada, kata S.T.A., itu hanyalah kopian dari terbitan-terbitan berbahasa Belanda. Rasanya kenyataan ini memedihkan. Mengisyaratkan keberadaan Mas Pirngadie seperti sudah lama dalam posisi yang 'tak diperhitungkan' di kalangan para bumi putera sendiri. Meskipun kenyataannya, Mas Pirngadie telah menghasilkan ratusan karya lukis yang berbobot. Belum lagi dalam posisinya atas hasil karya luar biasa berupa lima jilid buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.

Lalu bagaimana jejak-jejak Mas Pirngadie di masa kini?Menapaki jejak-jejak Mas Pirngadie untuk menggapai sosok dan kiprahnya secara utuh memang bukanlah sesuatu

yang mudah. Rasanya nama Mas Pirngadie hanya bisa dijumpai secara fragmentaris saja. Memang, ia terasa lebih dikenal bagi kalangan dunia antropologi atau etnografi. Itu pun pasti para ahli tertentu saja yang mau bertekun pada litaratur-litaratur budaya sehingga hanya mereka itu yang bisa menjumpai kumpulan karya buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie ini. Sementara di kalangan praktisi atau pecinta seni kerajinan tangan Nusantara itu pun lebih terfragmentaris lagi; yang tertarik di bidang seni anyaman membaca buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie yang jilid I yaitu seni anyaman; yang tertarik dunia tenun mengenal namanya dari buku jilid II nya tentang seni tenun; begitu juga yang tertarik batik, seni keris dan logam, membaca dari jilid-jilid lainnya sesuai masing-masing subyek itu.

Dunia lukisan Indonesia -- marilah kita sebut saja sejarah seni lukis Indonesia -- sebenarnya mengenal namanya. Meski agak samar-samar. Oleh karena dunia/sejarah lukis Indonesia rasanya terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan genre, aliran-aliran, periodisasi-periodisasi karya, 'mooi indie' dan 'bukan mooi indie', 'yang ini' dan 'yang itu' dan sebagainya yang semua itu seringkali berkaitan pada 'politisasi seni'.

Terasa sekali saat ini bila kita mencari nama Mas Pirngadie di antara tumpukan nama-nama pelukis besar Indonesia, proporsi namanya hanya kecil saja di tengah himpitan para pelukis besar Indonesia lainnya yang biografi dan karyanya bisa dituliskan dengan panjang lebar itu. Untuk melihat bukti ini kita bisa saja secara 'iseng-iseng' lewat internet di Google, ketik nama 'Mas Pirngadie' atau sekalian tambahi kata bantuan 'pelukis' di depan atau di belakang namanya. Maka pasti yang mucul kebanyakan bukan yang hendak kita cari. Yang kita dapati kebanyakan justeru riwayat para pelukis lainnya yang beberapa di antaranya memang pernah berguru pada Mas Pirngadie ini. Terasa kita kesulitan mendapati informasi, biografi dan karya-karya lukis Mas Pirngadie. Padahal bukankah di tanah air ini dan untuk tanah air ini seorang Sutan Takdir Alisyahbana sudah pernah menuliskannya secara panjang lebar lewat artikel-artikelnya di Poedjangga Baroe? Jangan-jangan memang kita sudah kesulitan untuk bisa mendapatkan tulisan-tulisan S.T.A. atau majalah-majalah Poedjangga Baroe itu, seperti halnya yang saya alami ketika mencoba mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nomor-nomor majalah itu sudah tidak ada lagi. Tidak terarsipkan dengan baik. Untungnya saya bisa mendapatinya kembali dari arsip di Belanda melewati ke-baikan hati antropolog Sandra Niessen.

Sesuai info dari tulisan S.T.A. dan dari beberapa sumber informasi lainnya menjadi petunjuk penting bagi saya di suatu hari untuk lari ke Museum Nasional dengan harapan bisa mendapatkan jejak-jejak Mas Pirngadie. Oleh karena gedung ini -- yang di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen -- adalah tempat terakhir Mas Pirngadie bekerja. Dan ketika saya sampai di museum ini tak banyak yang bisa saya dapati tentang Mas Pirngadie. Jejak-jejaknya seperti diterbangkan oleh angin zaman, meskipun memang tidak semuanya. Selalu saya bayangkan bagaimana ia telah menyusun daftar-daftar informasi tentang benda-benda di museum ini yang masing-masing pada kartu kertas itu ia gambari juga dengan tangannya. Juga saya bayangkan

berhari-hari lamanya selama beberapa tahun Mas Pirngadie melukis 78 orang dari semua etnis yang ada di Nusantara ini yang ia gambar dari potret-potret yang semula hitam putih menjadi lukisan berwarna lengkap dengan pakaian adatnya masing-masing dengan detil-detil perhiasan asesorisnya dan 78 orang itu mengelilingi peta besar negeri ini yang juga digambar dengan tangan oleh Mas Pirngadie ini.

Lukisan-lukisan 78 kepala etnis dengan peta besar negeri Nusantara ini pulalah yang akhirnya mendapat kehormatan secara internasional untuk dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris 1931. Meski

sayang buah pekerjaan yang memakan waktu lama dari Mas Pirngadie itu pun musnah terbakar api bersama dengan buah seni Indonesia lainnya di pameran itu. Tapi gilanya, sekali lagi gilanya Mas Pirngadie tetap menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu. Sehingga sejak 1935 di museum tempat Mas Pirngadie bekerja ini orang-orang Indonesia, seperti halnya S.T.A., masih bisa menyaksikan lukisan-lukisan ulang ini. Ketika saya kembali ke Museum Nasional untuk bisa menyaksikan satu set lukisan tersebut, memang saya masih bisa mendapati gambar 78 suku bangsa negeri ini dalam satu ruang tersendiri. Yaitu berupa foto-foto yang merepro lukisan-lukisan Mas Pirngadie. Di lain hari saya mendapati kabar bahwa lukisan-lukisan aslinya sedang dirawat, direnovasi oleh museum ini. Dari foto-foto yang merepro satu set lukisan Mas Pirngadie, setidaknya masih bisa membuat saya merasakan jejak-jejak ketelatenannya yang luar biasa. Meskipun kebanyakan pengunjung yang masuk ruang ini tak kan pernah tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan lukisan-lukisan aslinya. Tak ada tertera nama Mas Pirngadie secuil pun di ruang ini.

Akhirnya saya keluar dari ruangan ini dengan perasaan sunyi. Sesunyi Mas Pirngadie yang khusyuk bertahun-tahun mengerjakan segala macam pekerjaan di masa silam. Mengabdikan diri sepenuhnya pada museum ini. Bekerja tiap hari dari pagi sampai sore hari sampai yang benar-benar terakhir dari hidupnya di Sabtu 4 April 1936. Pada hari itu, tiada seperti biasanya Mas Pirngadie meninggalkan pekerjaan, pulang ke rumah karena sakit. Tiada lama kemudian beliaupun meninggalkan dunia, menuju Sang Pencipta.

"Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi!" (S.T.A. 1936).

Semoga demikianlah anak-anak bangsa negeri ini tiada melupakan lagi Mas Pirngadie, tokoh besar negeri ini.

Page 19: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[17]

Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A.), pujangga besar Indonesia, adalah salah seorang yang diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa Penggerak Hidup ini untuk berjumpa langsung dan bercengkrama dengan Mas Pirnggadie di masa tuanya. Hasil pencengkramaan intens itu menjadi tulisan panjang dan bersambung sampai tiga kali dalam tahun-tahun yang berbeda sebagai artikel di majalah Poedjangga Baroe tentang tokoh kita Mas Pirngadie ini. Catatan-catatan S.T.A. ini sangatlah penting. Melewati tulisan-tulisan S.T.A. inilah yang mampu menjadi 'jembatan' komprehensif dalam menggapai serta mengenal lebih dekat sosok dan kiprah Mas Pirngadie.

Dalam salah satu artikelnya tentang Mas Pirngadie di majalah Poedjangga Baroe tersebut S.T.A. menulis demikian:"Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di

berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja

memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoen-an bangsa Indonesia sekarang ini". (S.T.A. 1934)

Demikian petikan dari salah satu catatan S.T.A. tentang Mas Pirngadie ini. Dari ketiga artikel S.T.A. di Majalah Poedjangga Baroe (S.T.A. 1934, 1935, 1936) sangat terasa kuat pergumulan S.T.A. dengan Mas Pirngadie. Sebagai budayawan, S.T.A. tampil memberikan kesaksian lengkap serta jujur atas sosok dan kiprah Mas Pirngadie, 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang' ini. Tentu sebuah langkah hebat dan berani untuk menimbang kembali peran Mas Pirngadie dalam ranah kebudayaan negeri. Selain riwayat hidup Mas Pirngadie, S.T.A. mengungkapkan kekuatan, keindahan dan kedalaman karya-karya Mas Pirngadie, ahli gambar yang tetap hidup sederhana dan rendah hati.

Catatan-catatan S.T.A. itu adalah hasil wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan-tulisan koran atau majalah-majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. Dituliskan pula oleh S.T.A. bahwa tak ada satu pun media terbitan bumi putera yang pernah memberitakan atau mengulas tentang Mas Pirngadie ini. Jika pun ada, kata S.T.A., itu hanyalah kopian dari terbitan-terbitan berbahasa Belanda. Rasanya kenyataan ini memedihkan. Mengisyaratkan keberadaan Mas Pirngadie seperti sudah lama dalam posisi yang 'tak diperhitungkan' di kalangan para bumi putera sendiri. Meskipun kenyataannya, Mas Pirngadie telah menghasilkan ratusan karya lukis yang berbobot. Belum lagi dalam posisinya atas hasil karya luar biasa berupa lima jilid buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.

Lalu bagaimana jejak-jejak Mas Pirngadie di masa kini?Menapaki jejak-jejak Mas Pirngadie untuk menggapai sosok dan kiprahnya secara utuh memang bukanlah sesuatu

yang mudah. Rasanya nama Mas Pirngadie hanya bisa dijumpai secara fragmentaris saja. Memang, ia terasa lebih dikenal bagi kalangan dunia antropologi atau etnografi. Itu pun pasti para ahli tertentu saja yang mau bertekun pada litaratur-litaratur budaya sehingga hanya mereka itu yang bisa menjumpai kumpulan karya buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie ini. Sementara di kalangan praktisi atau pecinta seni kerajinan tangan Nusantara itu pun lebih terfragmentaris lagi; yang tertarik di bidang seni anyaman membaca buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie yang jilid I yaitu seni anyaman; yang tertarik dunia tenun mengenal namanya dari buku jilid II nya tentang seni tenun; begitu juga yang tertarik batik, seni keris dan logam, membaca dari jilid-jilid lainnya sesuai masing-masing subyek itu.

Dunia lukisan Indonesia -- marilah kita sebut saja sejarah seni lukis Indonesia -- sebenarnya mengenal namanya. Meski agak samar-samar. Oleh karena dunia/sejarah lukis Indonesia rasanya terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan genre, aliran-aliran, periodisasi-periodisasi karya, 'mooi indie' dan 'bukan mooi indie', 'yang ini' dan 'yang itu' dan sebagainya yang semua itu seringkali berkaitan pada 'politisasi seni'.

Terasa sekali saat ini bila kita mencari nama Mas Pirngadie di antara tumpukan nama-nama pelukis besar Indonesia, proporsi namanya hanya kecil saja di tengah himpitan para pelukis besar Indonesia lainnya yang biografi dan karyanya bisa dituliskan dengan panjang lebar itu. Untuk melihat bukti ini kita bisa saja secara 'iseng-iseng' lewat internet di Google, ketik nama 'Mas Pirngadie' atau sekalian tambahi kata bantuan 'pelukis' di depan atau di belakang namanya. Maka pasti yang mucul kebanyakan bukan yang hendak kita cari. Yang kita dapati kebanyakan justeru riwayat para pelukis lainnya yang beberapa di antaranya memang pernah berguru pada Mas Pirngadie ini. Terasa kita kesulitan mendapati informasi, biografi dan karya-karya lukis Mas Pirngadie. Padahal bukankah di tanah air ini dan untuk tanah air ini seorang Sutan Takdir Alisyahbana sudah pernah menuliskannya secara panjang lebar lewat artikel-artikelnya di Poedjangga Baroe? Jangan-jangan memang kita sudah kesulitan untuk bisa mendapatkan tulisan-tulisan S.T.A. atau majalah-majalah Poedjangga Baroe itu, seperti halnya yang saya alami ketika mencoba mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nomor-nomor majalah itu sudah tidak ada lagi. Tidak terarsipkan dengan baik. Untungnya saya bisa mendapatinya kembali dari arsip di Belanda melewati ke-baikan hati antropolog Sandra Niessen.

Sesuai info dari tulisan S.T.A. dan dari beberapa sumber informasi lainnya menjadi petunjuk penting bagi saya di suatu hari untuk lari ke Museum Nasional dengan harapan bisa mendapatkan jejak-jejak Mas Pirngadie. Oleh karena gedung ini -- yang di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen -- adalah tempat terakhir Mas Pirngadie bekerja. Dan ketika saya sampai di museum ini tak banyak yang bisa saya dapati tentang Mas Pirngadie. Jejak-jejaknya seperti diterbangkan oleh angin zaman, meskipun memang tidak semuanya. Selalu saya bayangkan bagaimana ia telah menyusun daftar-daftar informasi tentang benda-benda di museum ini yang masing-masing pada kartu kertas itu ia gambari juga dengan tangannya. Juga saya bayangkan

berhari-hari lamanya selama beberapa tahun Mas Pirngadie melukis 78 orang dari semua etnis yang ada di Nusantara ini yang ia gambar dari potret-potret yang semula hitam putih menjadi lukisan berwarna lengkap dengan pakaian adatnya masing-masing dengan detil-detil perhiasan asesorisnya dan 78 orang itu mengelilingi peta besar negeri ini yang juga digambar dengan tangan oleh Mas Pirngadie ini.

Lukisan-lukisan 78 kepala etnis dengan peta besar negeri Nusantara ini pulalah yang akhirnya mendapat kehormatan secara internasional untuk dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris 1931. Meski

sayang buah pekerjaan yang memakan waktu lama dari Mas Pirngadie itu pun musnah terbakar api bersama dengan buah seni Indonesia lainnya di pameran itu. Tapi gilanya, sekali lagi gilanya Mas Pirngadie tetap menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu. Sehingga sejak 1935 di museum tempat Mas Pirngadie bekerja ini orang-orang Indonesia, seperti halnya S.T.A., masih bisa menyaksikan lukisan-lukisan ulang ini. Ketika saya kembali ke Museum Nasional untuk bisa menyaksikan satu set lukisan tersebut, memang saya masih bisa mendapati gambar 78 suku bangsa negeri ini dalam satu ruang tersendiri. Yaitu berupa foto-foto yang merepro lukisan-lukisan Mas Pirngadie. Di lain hari saya mendapati kabar bahwa lukisan-lukisan aslinya sedang dirawat, direnovasi oleh museum ini. Dari foto-foto yang merepro satu set lukisan Mas Pirngadie, setidaknya masih bisa membuat saya merasakan jejak-jejak ketelatenannya yang luar biasa. Meskipun kebanyakan pengunjung yang masuk ruang ini tak kan pernah tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan lukisan-lukisan aslinya. Tak ada tertera nama Mas Pirngadie secuil pun di ruang ini.

Akhirnya saya keluar dari ruangan ini dengan perasaan sunyi. Sesunyi Mas Pirngadie yang khusyuk bertahun-tahun mengerjakan segala macam pekerjaan di masa silam. Mengabdikan diri sepenuhnya pada museum ini. Bekerja tiap hari dari pagi sampai sore hari sampai yang benar-benar terakhir dari hidupnya di Sabtu 4 April 1936. Pada hari itu, tiada seperti biasanya Mas Pirngadie meninggalkan pekerjaan, pulang ke rumah karena sakit. Tiada lama kemudian beliaupun meninggalkan dunia, menuju Sang Pencipta.

"Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi!" (S.T.A. 1936).

Semoga demikianlah anak-anak bangsa negeri ini tiada melupakan lagi Mas Pirngadie, tokoh besar negeri ini.Tulisan MJA Nashir, dari salah satu tulisan di dalam buku Katalog Pameran "100 th De Weefkunst (Seni Tenun) karya J.E. Jasper & Mas Pirngadie"Penerbit: Bergoord Publishing, Oosterbeek dan Museum Tekstil, JakartaISBN : 978-90-817886-0-1Teks katalog dan kurator pameran: Sandra Niessen, MJA Nashir

Page 20: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[18]

Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A.), pujangga besar Indonesia, adalah salah seorang yang diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa Penggerak Hidup ini untuk berjumpa langsung dan bercengkrama dengan Mas Pirnggadie di masa tuanya. Hasil pencengkramaan intens itu menjadi tulisan panjang dan bersambung sampai tiga kali dalam tahun-tahun yang berbeda sebagai artikel di majalah Poedjangga Baroe tentang tokoh kita Mas Pirngadie ini. Catatan-catatan S.T.A. ini sangatlah penting. Melewati tulisan-tulisan S.T.A. inilah yang mampu menjadi 'jembatan' komprehensif dalam menggapai serta mengenal lebih dekat sosok dan kiprah Mas Pirngadie.

Dalam salah satu artikelnya tentang Mas Pirngadie di majalah Poedjangga Baroe tersebut S.T.A. menulis demikian:"Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di

berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja

memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoen-an bangsa Indonesia sekarang ini". (S.T.A. 1934)

Demikian petikan dari salah satu catatan S.T.A. tentang Mas Pirngadie ini. Dari ketiga artikel S.T.A. di Majalah Poedjangga Baroe (S.T.A. 1934, 1935, 1936) sangat terasa kuat pergumulan S.T.A. dengan Mas Pirngadie. Sebagai budayawan, S.T.A. tampil memberikan kesaksian lengkap serta jujur atas sosok dan kiprah Mas Pirngadie, 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang' ini. Tentu sebuah langkah hebat dan berani untuk menimbang kembali peran Mas Pirngadie dalam ranah kebudayaan negeri. Selain riwayat hidup Mas Pirngadie, S.T.A. mengungkapkan kekuatan, keindahan dan kedalaman karya-karya Mas Pirngadie, ahli gambar yang tetap hidup sederhana dan rendah hati.

Catatan-catatan S.T.A. itu adalah hasil wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan-tulisan koran atau majalah-majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. Dituliskan pula oleh S.T.A. bahwa tak ada satu pun media terbitan bumi putera yang pernah memberitakan atau mengulas tentang Mas Pirngadie ini. Jika pun ada, kata S.T.A., itu hanyalah kopian dari terbitan-terbitan berbahasa Belanda. Rasanya kenyataan ini memedihkan. Mengisyaratkan keberadaan Mas Pirngadie seperti sudah lama dalam posisi yang 'tak diperhitungkan' di kalangan para bumi putera sendiri. Meskipun kenyataannya, Mas Pirngadie telah menghasilkan ratusan karya lukis yang berbobot. Belum lagi dalam posisinya atas hasil karya luar biasa berupa lima jilid buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.

Lalu bagaimana jejak-jejak Mas Pirngadie di masa kini?Menapaki jejak-jejak Mas Pirngadie untuk menggapai sosok dan kiprahnya secara utuh memang bukanlah sesuatu

yang mudah. Rasanya nama Mas Pirngadie hanya bisa dijumpai secara fragmentaris saja. Memang, ia terasa lebih dikenal bagi kalangan dunia antropologi atau etnografi. Itu pun pasti para ahli tertentu saja yang mau bertekun pada litaratur-litaratur budaya sehingga hanya mereka itu yang bisa menjumpai kumpulan karya buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie ini. Sementara di kalangan praktisi atau pecinta seni kerajinan tangan Nusantara itu pun lebih terfragmentaris lagi; yang tertarik di bidang seni anyaman membaca buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie yang jilid I yaitu seni anyaman; yang tertarik dunia tenun mengenal namanya dari buku jilid II nya tentang seni tenun; begitu juga yang tertarik batik, seni keris dan logam, membaca dari jilid-jilid lainnya sesuai masing-masing subyek itu.

Dunia lukisan Indonesia -- marilah kita sebut saja sejarah seni lukis Indonesia -- sebenarnya mengenal namanya. Meski agak samar-samar. Oleh karena dunia/sejarah lukis Indonesia rasanya terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan genre, aliran-aliran, periodisasi-periodisasi karya, 'mooi indie' dan 'bukan mooi indie', 'yang ini' dan 'yang itu' dan sebagainya yang semua itu seringkali berkaitan pada 'politisasi seni'.

Terasa sekali saat ini bila kita mencari nama Mas Pirngadie di antara tumpukan nama-nama pelukis besar Indonesia, proporsi namanya hanya kecil saja di tengah himpitan para pelukis besar Indonesia lainnya yang biografi dan karyanya bisa dituliskan dengan panjang lebar itu. Untuk melihat bukti ini kita bisa saja secara 'iseng-iseng' lewat internet di Google, ketik nama 'Mas Pirngadie' atau sekalian tambahi kata bantuan 'pelukis' di depan atau di belakang namanya. Maka pasti yang mucul kebanyakan bukan yang hendak kita cari. Yang kita dapati kebanyakan justeru riwayat para pelukis lainnya yang beberapa di antaranya memang pernah berguru pada Mas Pirngadie ini. Terasa kita kesulitan mendapati informasi, biografi dan karya-karya lukis Mas Pirngadie. Padahal bukankah di tanah air ini dan untuk tanah air ini seorang Sutan Takdir Alisyahbana sudah pernah menuliskannya secara panjang lebar lewat artikel-artikelnya di Poedjangga Baroe? Jangan-jangan memang kita sudah kesulitan untuk bisa mendapatkan tulisan-tulisan S.T.A. atau majalah-majalah Poedjangga Baroe itu, seperti halnya yang saya alami ketika mencoba mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nomor-nomor majalah itu sudah tidak ada lagi. Tidak terarsipkan dengan baik. Untungnya saya bisa mendapatinya kembali dari arsip di Belanda melewati ke-baikan hati antropolog Sandra Niessen.

Sesuai info dari tulisan S.T.A. dan dari beberapa sumber informasi lainnya menjadi petunjuk penting bagi saya di suatu hari untuk lari ke Museum Nasional dengan harapan bisa mendapatkan jejak-jejak Mas Pirngadie. Oleh karena gedung ini -- yang di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen -- adalah tempat terakhir Mas Pirngadie bekerja. Dan ketika saya sampai di museum ini tak banyak yang bisa saya dapati tentang Mas Pirngadie. Jejak-jejaknya seperti diterbangkan oleh angin zaman, meskipun memang tidak semuanya. Selalu saya bayangkan bagaimana ia telah menyusun daftar-daftar informasi tentang benda-benda di museum ini yang masing-masing pada kartu kertas itu ia gambari juga dengan tangannya. Juga saya bayangkan

berhari-hari lamanya selama beberapa tahun Mas Pirngadie melukis 78 orang dari semua etnis yang ada di Nusantara ini yang ia gambar dari potret-potret yang semula hitam putih menjadi lukisan berwarna lengkap dengan pakaian adatnya masing-masing dengan detil-detil perhiasan asesorisnya dan 78 orang itu mengelilingi peta besar negeri ini yang juga digambar dengan tangan oleh Mas Pirngadie ini.

Lukisan-lukisan 78 kepala etnis dengan peta besar negeri Nusantara ini pulalah yang akhirnya mendapat kehormatan secara internasional untuk dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris 1931. Meski

sayang buah pekerjaan yang memakan waktu lama dari Mas Pirngadie itu pun musnah terbakar api bersama dengan buah seni Indonesia lainnya di pameran itu. Tapi gilanya, sekali lagi gilanya Mas Pirngadie tetap menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu. Sehingga sejak 1935 di museum tempat Mas Pirngadie bekerja ini orang-orang Indonesia, seperti halnya S.T.A., masih bisa menyaksikan lukisan-lukisan ulang ini. Ketika saya kembali ke Museum Nasional untuk bisa menyaksikan satu set lukisan tersebut, memang saya masih bisa mendapati gambar 78 suku bangsa negeri ini dalam satu ruang tersendiri. Yaitu berupa foto-foto yang merepro lukisan-lukisan Mas Pirngadie. Di lain hari saya mendapati kabar bahwa lukisan-lukisan aslinya sedang dirawat, direnovasi oleh museum ini. Dari foto-foto yang merepro satu set lukisan Mas Pirngadie, setidaknya masih bisa membuat saya merasakan jejak-jejak ketelatenannya yang luar biasa. Meskipun kebanyakan pengunjung yang masuk ruang ini tak kan pernah tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan lukisan-lukisan aslinya. Tak ada tertera nama Mas Pirngadie secuil pun di ruang ini.

Akhirnya saya keluar dari ruangan ini dengan perasaan sunyi. Sesunyi Mas Pirngadie yang khusyuk bertahun-tahun mengerjakan segala macam pekerjaan di masa silam. Mengabdikan diri sepenuhnya pada museum ini. Bekerja tiap hari dari pagi sampai sore hari sampai yang benar-benar terakhir dari hidupnya di Sabtu 4 April 1936. Pada hari itu, tiada seperti biasanya Mas Pirngadie meninggalkan pekerjaan, pulang ke rumah karena sakit. Tiada lama kemudian beliaupun meninggalkan dunia, menuju Sang Pencipta.

"Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi!" (S.T.A. 1936).

Semoga demikianlah anak-anak bangsa negeri ini tiada melupakan lagi Mas Pirngadie, tokoh besar negeri ini.

Pelukis berbakat ini memang tidak terlalu banyak dikenal. Ia lahir tahun 1875 di Desa Pakirangan, Purbalingga, Jawa Tengah. Pada usia 12 tahun, Mas Pirngadie mulai magang di sebuah kantor pertanahan (kadaster). Di kantor ini Pirngadie bertugas membuat peta-peta tanah dan saat itu lah ia mulai berkenalan dengan pensil gambar, cat, dan kuas.

Mas Pirngadie lalu bertemu Johan Ernst Jasper, seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda yang ahli tentang seni Nusantara. Jasper begitu mengagumi album gambar motif-motif batik karyanya. Ia berkomentar dalam satu artikel yang ditulisnya, “Jarang saya melihat reproduksi motif-motif Batik Jawa asli yang lebih baik dari yang ada di album Mas Pirngadie.”

Pada akhirnya Mas Pirngadi bekerja di Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Ia ditugaskan membuat lukisan 78 wajah dari semua suku bangsa yang mengelilingi peta besar Nusantara yang juga digambar olehnya. Lukisan suku bangsa dan peta besar Nusantara ini akhirnya mendapat kehormatan untuk dipamerkan secara internasional dalam Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris tahun 1931.

Sayangnya, buah karya Mas Pirngadie pun musnah terbakar oleh api bersama hasil seni Indonesia lainnya di pameran itu. Mas Pirngadi kemudian melukis ulang gambar wajah suku bangsa beserta peta suku bangsa tersebut. Pada tahun 1935, karyanya dipamerkan di museum.

Mas Pirngadie meninggal dunia karena sakit pada 4 April 1936. Namun, lukisan wajah suku bangsa dan peta suku bangsa karya Mas Pirngadie masih dapat kita nikmati saat memasuki Ruang Etnografi Museum Nasional.

Raden Mas Pirngadie atau lebih dikenal sebagai RM Pirngadie (1875- 1936), kelahiran Banyumas, Jawa Tengah adalah satu dari tiga pelukis pelanjut tradisi berkesenian Raden Saleh yang dibesarkan pada mazhab Hindia Molek atau Mooi Indie.

Dua pelukis lainnya, yaitu Abdullah berkiprah di Bandung sementara Wakidi di Padang. Meskipun satu dengan lainnya tinggal dan menetap saling berjauhan, masing-masing tetap berkarya. Pirngadie sendiri tinggal dan menetap di Jakarta. Karya lukis mereka cenderung natural dengan objek lukisan berupa pemandangan alam.

Dalam perkembangannya, khususnya dalam melukis pemandangan alam, Pirngadie memang tidak seproduktif Abdullah dan Wakidi. Hal ini karena Pirngadie tengah memusatkan perhatiannya pada bidang yang membutuhkan tingkat teknik tersendiri. Sebagai seorang penggambar draf atau ilustrator, Pirngadie memiliki kemampuan teknik yang tinggi, benar-benar terampil dan akurat.

Itu diakui oleh koleganya, J. E. Jasper, yang mengungkapkan bahwa Pirngadie dapat menunjukkan warna yang tegas untuk menggambarkan langit Indonesia yang biru, tembus cahaya dan kaya dengan mega-mega yang lembut. Di samping itu dalam karya-karya aquarel-nya sering ada kesan sesuatu yang halus dengan kesan imajinasi yang kuat seperti dalam mimpi. Dari ilustrasi tentang dataran yang sepi, gunung-gunung yang diam, dapat mengungkapkan perasaannya yang dalam.

Pirngadie menguasai teknik-teknik melukis Barat. Ia memproduksi pemandangan-pemandangan alam serta membuat lukisan-lukisan tentang kehidupan rakyat. Teknik dan keterampilan Pirngadie yang keturunan bangsawan ini diperoleh karena pengetahuan, wawasan, dan pengalaman bergaul dengan kalangan bangsawan, dan orang-orang Belanda yang berada di Indonesia. Di antara mereka adalah pelukis Du Chattel yang melatih pemuda Indonesia muda ini melukis dengan cat air. Kesamaan karyanya sering mengingatkan pada karya gurunya.

Sebagai penggambar draf atau ilustrator, Pirngadie bekerja cukup lama pada The Royal Batavian Society for Arts dan Dinas Arkeologi untuk membuat gambar-gambar rekonstruksi yang tepat dari reruntuhan monumen-monumen. Bersama J.E. Jasper seorang peneliti bangsa Belanda, berkeliling ke pelosok daerah di Indonesia, mencatat tentang seni kerajinan rakyat yang ada pada waktu itu dan membuatkan ilustrasi.

Hasil dari itu semua berupa monograf besar tentang seni rupa dan kriya Indonesia yang disusun dalam lima jilid, berjudul De Inlandsche Kunst Nijverheid In Ned. Indie’s’ Graven Hage. Jilid pertama tentang anyaman (1912). Jilid kedua tentang tenunan (1912). Jilid ketiga tentang batik (1916). Jilid keempat tentang emas dan perak (1927). Jilid kelima tentang logam lain selain emas dan perak (1930).

Upaya meneruskan tradisi berkeseniannya, Pirngadie sempat melatih beberapa pelukis muda Indonesia, di antaranya adalah Sudjojono dan Suromo.

Istilah Mooi Indie berasal dari bahasa Belanda. Dalam bahasa Indonesia, "moii" berati cantik atau molek atau jelita. Sedangkan Indie berarti Hindia atau wilayah Nusantara yang kini disebut Indonesia.

Istilah ini pada mulanya dikenal dari dunia seni lukis. Adalah pelukis Sudjojono yang mempopulerkan istilah ini pada 1930. Pada saat itu ia memakai istilah "moii indie" untuk menyebut karya lukis yang menggambarkan pemandangan-pemandangan di Hindia atau Indonesia yang serba indah, damai, dan tenteram.

Meski istilah ini baru populer pada 1930-an, lukisan jenis naturalistik "moii indie" ini sebenarnya sudah dilakukan oleh pelukis Raden Saleh yang mengenalkan gaya naturalistik di lukisannya pada abad 19. Namun sejak Raden Saleh meninggal pada 1877 gaya naturalistik ini jarang yang mengikutinya.

Oleh pemerintah Belanda gaya naturalistik ini diteruskan pada awal abad 20. Pemerintah mensponsori para pelukis Belanda--seperti Du Chattel--maupun bumiputera untuk membuat lukisan "moii indi". Mereka "diminta" menggambarkan suasana alam Indonesia yang cantik, damai, dan tenteram. Lukisan tersebut kemudian dipamerkan di Eropa. Dengan menggambarkan Hindia yang cantik jelita, pemerintah Hindia Belanda bertujuan menarik para wisatawan Eropa datang ke Indonesia.Pelukis-Pelukis Mooi Indie

Beberapa pelukis aliran moii indie yang terkenal adalah R. Abdullah Suryosubroto (1878-1914). Pelukis kelahiran Semarang ini merupakan putra dari dr Wahidin Sudirohusodo, tokoh pergerakan nasional Indonesia. Ia adalah pelukis yang melanjutkan gaya naturalistik Raden Saleh. Gaya naturalistik ini kemudian dilanjutkan lagi oleh anak dari Abdullah Suryosubroto yakni Basoeki Abdullah (1915-1993).

Pelukis moii indie lainnya adalah Wakidi (1889-1979). Pelukis keturunan Jawa tapi dilahirkan di Plaju, Sumatra Barat ini pada tahun 1889, juga melukis gambaran keindahan alam di Sumatera Barat. Pekerjaan utama Wakidi adalah guru seni lukis di sekolah INS Kayu Tanam yang didirikan Moh Syafei.

Selain Wakidi, ada Mas Pringadi (1875-1936). Mas Pringadi lahir di keluarga ningrat Jawa asal Banyumas, yang merupakan hasil pendidikan politik etis Belanda. Ia murid dari pelukis belanda Du Chattel. Ia juga dikenal sebagai ilustrator di museum antropologi Batavia (Jakarta).Ciri-ciri Lukisan Mooi Idie

Ciri khas lukisan moii indie dapat diketahui dari obyek lukisan. Obyek lukisan itu umumnya berupa lanskap pemandangan alam seperti sungai, gunung, hutan, suasana pedesaan, sawah yang indah di Hindia Blanda. Selain pemandangan alam, pelukis moii indie juga menggambarkan wanita-wanita di Hindia Belanda yang juga eksotik. Umumnya wanita Timur ini digambarkan sedang menari atau melakukan aktivitas sehari-hari. Umumnya tampilan lukisan moii indie menggunakan pilihan warna yang teduh, terang, dan damai.

Sekilas tentang Mas Pirngadie

R. M. Pirngadie

Page 21: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[19]

Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A.), pujangga besar Indonesia, adalah salah seorang yang diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa Penggerak Hidup ini untuk berjumpa langsung dan bercengkrama dengan Mas Pirnggadie di masa tuanya. Hasil pencengkramaan intens itu menjadi tulisan panjang dan bersambung sampai tiga kali dalam tahun-tahun yang berbeda sebagai artikel di majalah Poedjangga Baroe tentang tokoh kita Mas Pirngadie ini. Catatan-catatan S.T.A. ini sangatlah penting. Melewati tulisan-tulisan S.T.A. inilah yang mampu menjadi 'jembatan' komprehensif dalam menggapai serta mengenal lebih dekat sosok dan kiprah Mas Pirngadie.

Dalam salah satu artikelnya tentang Mas Pirngadie di majalah Poedjangga Baroe tersebut S.T.A. menulis demikian:"Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di

berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja

memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoen-an bangsa Indonesia sekarang ini". (S.T.A. 1934)

Demikian petikan dari salah satu catatan S.T.A. tentang Mas Pirngadie ini. Dari ketiga artikel S.T.A. di Majalah Poedjangga Baroe (S.T.A. 1934, 1935, 1936) sangat terasa kuat pergumulan S.T.A. dengan Mas Pirngadie. Sebagai budayawan, S.T.A. tampil memberikan kesaksian lengkap serta jujur atas sosok dan kiprah Mas Pirngadie, 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang' ini. Tentu sebuah langkah hebat dan berani untuk menimbang kembali peran Mas Pirngadie dalam ranah kebudayaan negeri. Selain riwayat hidup Mas Pirngadie, S.T.A. mengungkapkan kekuatan, keindahan dan kedalaman karya-karya Mas Pirngadie, ahli gambar yang tetap hidup sederhana dan rendah hati.

Catatan-catatan S.T.A. itu adalah hasil wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan-tulisan koran atau majalah-majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. Dituliskan pula oleh S.T.A. bahwa tak ada satu pun media terbitan bumi putera yang pernah memberitakan atau mengulas tentang Mas Pirngadie ini. Jika pun ada, kata S.T.A., itu hanyalah kopian dari terbitan-terbitan berbahasa Belanda. Rasanya kenyataan ini memedihkan. Mengisyaratkan keberadaan Mas Pirngadie seperti sudah lama dalam posisi yang 'tak diperhitungkan' di kalangan para bumi putera sendiri. Meskipun kenyataannya, Mas Pirngadie telah menghasilkan ratusan karya lukis yang berbobot. Belum lagi dalam posisinya atas hasil karya luar biasa berupa lima jilid buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.

Lalu bagaimana jejak-jejak Mas Pirngadie di masa kini?Menapaki jejak-jejak Mas Pirngadie untuk menggapai sosok dan kiprahnya secara utuh memang bukanlah sesuatu

yang mudah. Rasanya nama Mas Pirngadie hanya bisa dijumpai secara fragmentaris saja. Memang, ia terasa lebih dikenal bagi kalangan dunia antropologi atau etnografi. Itu pun pasti para ahli tertentu saja yang mau bertekun pada litaratur-litaratur budaya sehingga hanya mereka itu yang bisa menjumpai kumpulan karya buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie ini. Sementara di kalangan praktisi atau pecinta seni kerajinan tangan Nusantara itu pun lebih terfragmentaris lagi; yang tertarik di bidang seni anyaman membaca buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie yang jilid I yaitu seni anyaman; yang tertarik dunia tenun mengenal namanya dari buku jilid II nya tentang seni tenun; begitu juga yang tertarik batik, seni keris dan logam, membaca dari jilid-jilid lainnya sesuai masing-masing subyek itu.

Dunia lukisan Indonesia -- marilah kita sebut saja sejarah seni lukis Indonesia -- sebenarnya mengenal namanya. Meski agak samar-samar. Oleh karena dunia/sejarah lukis Indonesia rasanya terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan genre, aliran-aliran, periodisasi-periodisasi karya, 'mooi indie' dan 'bukan mooi indie', 'yang ini' dan 'yang itu' dan sebagainya yang semua itu seringkali berkaitan pada 'politisasi seni'.

Terasa sekali saat ini bila kita mencari nama Mas Pirngadie di antara tumpukan nama-nama pelukis besar Indonesia, proporsi namanya hanya kecil saja di tengah himpitan para pelukis besar Indonesia lainnya yang biografi dan karyanya bisa dituliskan dengan panjang lebar itu. Untuk melihat bukti ini kita bisa saja secara 'iseng-iseng' lewat internet di Google, ketik nama 'Mas Pirngadie' atau sekalian tambahi kata bantuan 'pelukis' di depan atau di belakang namanya. Maka pasti yang mucul kebanyakan bukan yang hendak kita cari. Yang kita dapati kebanyakan justeru riwayat para pelukis lainnya yang beberapa di antaranya memang pernah berguru pada Mas Pirngadie ini. Terasa kita kesulitan mendapati informasi, biografi dan karya-karya lukis Mas Pirngadie. Padahal bukankah di tanah air ini dan untuk tanah air ini seorang Sutan Takdir Alisyahbana sudah pernah menuliskannya secara panjang lebar lewat artikel-artikelnya di Poedjangga Baroe? Jangan-jangan memang kita sudah kesulitan untuk bisa mendapatkan tulisan-tulisan S.T.A. atau majalah-majalah Poedjangga Baroe itu, seperti halnya yang saya alami ketika mencoba mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nomor-nomor majalah itu sudah tidak ada lagi. Tidak terarsipkan dengan baik. Untungnya saya bisa mendapatinya kembali dari arsip di Belanda melewati ke-baikan hati antropolog Sandra Niessen.

Sesuai info dari tulisan S.T.A. dan dari beberapa sumber informasi lainnya menjadi petunjuk penting bagi saya di suatu hari untuk lari ke Museum Nasional dengan harapan bisa mendapatkan jejak-jejak Mas Pirngadie. Oleh karena gedung ini -- yang di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen -- adalah tempat terakhir Mas Pirngadie bekerja. Dan ketika saya sampai di museum ini tak banyak yang bisa saya dapati tentang Mas Pirngadie. Jejak-jejaknya seperti diterbangkan oleh angin zaman, meskipun memang tidak semuanya. Selalu saya bayangkan bagaimana ia telah menyusun daftar-daftar informasi tentang benda-benda di museum ini yang masing-masing pada kartu kertas itu ia gambari juga dengan tangannya. Juga saya bayangkan

berhari-hari lamanya selama beberapa tahun Mas Pirngadie melukis 78 orang dari semua etnis yang ada di Nusantara ini yang ia gambar dari potret-potret yang semula hitam putih menjadi lukisan berwarna lengkap dengan pakaian adatnya masing-masing dengan detil-detil perhiasan asesorisnya dan 78 orang itu mengelilingi peta besar negeri ini yang juga digambar dengan tangan oleh Mas Pirngadie ini.

Lukisan-lukisan 78 kepala etnis dengan peta besar negeri Nusantara ini pulalah yang akhirnya mendapat kehormatan secara internasional untuk dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris 1931. Meski

sayang buah pekerjaan yang memakan waktu lama dari Mas Pirngadie itu pun musnah terbakar api bersama dengan buah seni Indonesia lainnya di pameran itu. Tapi gilanya, sekali lagi gilanya Mas Pirngadie tetap menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu. Sehingga sejak 1935 di museum tempat Mas Pirngadie bekerja ini orang-orang Indonesia, seperti halnya S.T.A., masih bisa menyaksikan lukisan-lukisan ulang ini. Ketika saya kembali ke Museum Nasional untuk bisa menyaksikan satu set lukisan tersebut, memang saya masih bisa mendapati gambar 78 suku bangsa negeri ini dalam satu ruang tersendiri. Yaitu berupa foto-foto yang merepro lukisan-lukisan Mas Pirngadie. Di lain hari saya mendapati kabar bahwa lukisan-lukisan aslinya sedang dirawat, direnovasi oleh museum ini. Dari foto-foto yang merepro satu set lukisan Mas Pirngadie, setidaknya masih bisa membuat saya merasakan jejak-jejak ketelatenannya yang luar biasa. Meskipun kebanyakan pengunjung yang masuk ruang ini tak kan pernah tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan lukisan-lukisan aslinya. Tak ada tertera nama Mas Pirngadie secuil pun di ruang ini.

Akhirnya saya keluar dari ruangan ini dengan perasaan sunyi. Sesunyi Mas Pirngadie yang khusyuk bertahun-tahun mengerjakan segala macam pekerjaan di masa silam. Mengabdikan diri sepenuhnya pada museum ini. Bekerja tiap hari dari pagi sampai sore hari sampai yang benar-benar terakhir dari hidupnya di Sabtu 4 April 1936. Pada hari itu, tiada seperti biasanya Mas Pirngadie meninggalkan pekerjaan, pulang ke rumah karena sakit. Tiada lama kemudian beliaupun meninggalkan dunia, menuju Sang Pencipta.

"Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi!" (S.T.A. 1936).

Semoga demikianlah anak-anak bangsa negeri ini tiada melupakan lagi Mas Pirngadie, tokoh besar negeri ini.

View of a Javanese Kampong, 1919Indonesian coastal landscape, 1930

Pelukis berbakat ini memang tidak terlalu banyak dikenal. Ia lahir tahun 1875 di Desa Pakirangan, Purbalingga, Jawa Tengah. Pada usia 12 tahun, Mas Pirngadie mulai magang di sebuah kantor pertanahan (kadaster). Di kantor ini Pirngadie bertugas membuat peta-peta tanah dan saat itu lah ia mulai berkenalan dengan pensil gambar, cat, dan kuas.

Mas Pirngadie lalu bertemu Johan Ernst Jasper, seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda yang ahli tentang seni Nusantara. Jasper begitu mengagumi album gambar motif-motif batik karyanya. Ia berkomentar dalam satu artikel yang ditulisnya, “Jarang saya melihat reproduksi motif-motif Batik Jawa asli yang lebih baik dari yang ada di album Mas Pirngadie.”

Pada akhirnya Mas Pirngadi bekerja di Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Ia ditugaskan membuat lukisan 78 wajah dari semua suku bangsa yang mengelilingi peta besar Nusantara yang juga digambar olehnya. Lukisan suku bangsa dan peta besar Nusantara ini akhirnya mendapat kehormatan untuk dipamerkan secara internasional dalam Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris tahun 1931.

Sayangnya, buah karya Mas Pirngadie pun musnah terbakar oleh api bersama hasil seni Indonesia lainnya di pameran itu. Mas Pirngadi kemudian melukis ulang gambar wajah suku bangsa beserta peta suku bangsa tersebut. Pada tahun 1935, karyanya dipamerkan di museum.

Mas Pirngadie meninggal dunia karena sakit pada 4 April 1936. Namun, lukisan wajah suku bangsa dan peta suku bangsa karya Mas Pirngadie masih dapat kita nikmati saat memasuki Ruang Etnografi Museum Nasional.

Raden Mas Pirngadie atau lebih dikenal sebagai RM Pirngadie (1875- 1936), kelahiran Banyumas, Jawa Tengah adalah satu dari tiga pelukis pelanjut tradisi berkesenian Raden Saleh yang dibesarkan pada mazhab Hindia Molek atau Mooi Indie.

Dua pelukis lainnya, yaitu Abdullah berkiprah di Bandung sementara Wakidi di Padang. Meskipun satu dengan lainnya tinggal dan menetap saling berjauhan, masing-masing tetap berkarya. Pirngadie sendiri tinggal dan menetap di Jakarta. Karya lukis mereka cenderung natural dengan objek lukisan berupa pemandangan alam.

Dalam perkembangannya, khususnya dalam melukis pemandangan alam, Pirngadie memang tidak seproduktif Abdullah dan Wakidi. Hal ini karena Pirngadie tengah memusatkan perhatiannya pada bidang yang membutuhkan tingkat teknik tersendiri. Sebagai seorang penggambar draf atau ilustrator, Pirngadie memiliki kemampuan teknik yang tinggi, benar-benar terampil dan akurat.

Itu diakui oleh koleganya, J. E. Jasper, yang mengungkapkan bahwa Pirngadie dapat menunjukkan warna yang tegas untuk menggambarkan langit Indonesia yang biru, tembus cahaya dan kaya dengan mega-mega yang lembut. Di samping itu dalam karya-karya aquarel-nya sering ada kesan sesuatu yang halus dengan kesan imajinasi yang kuat seperti dalam mimpi. Dari ilustrasi tentang dataran yang sepi, gunung-gunung yang diam, dapat mengungkapkan perasaannya yang dalam.

Pirngadie menguasai teknik-teknik melukis Barat. Ia memproduksi pemandangan-pemandangan alam serta membuat lukisan-lukisan tentang kehidupan rakyat. Teknik dan keterampilan Pirngadie yang keturunan bangsawan ini diperoleh karena pengetahuan, wawasan, dan pengalaman bergaul dengan kalangan bangsawan, dan orang-orang Belanda yang berada di Indonesia. Di antara mereka adalah pelukis Du Chattel yang melatih pemuda Indonesia muda ini melukis dengan cat air. Kesamaan karyanya sering mengingatkan pada karya gurunya.

Sebagai penggambar draf atau ilustrator, Pirngadie bekerja cukup lama pada The Royal Batavian Society for Arts dan Dinas Arkeologi untuk membuat gambar-gambar rekonstruksi yang tepat dari reruntuhan monumen-monumen. Bersama J.E. Jasper seorang peneliti bangsa Belanda, berkeliling ke pelosok daerah di Indonesia, mencatat tentang seni kerajinan rakyat yang ada pada waktu itu dan membuatkan ilustrasi.

Hasil dari itu semua berupa monograf besar tentang seni rupa dan kriya Indonesia yang disusun dalam lima jilid, berjudul De Inlandsche Kunst Nijverheid In Ned. Indie’s’ Graven Hage. Jilid pertama tentang anyaman (1912). Jilid kedua tentang tenunan (1912). Jilid ketiga tentang batik (1916). Jilid keempat tentang emas dan perak (1927). Jilid kelima tentang logam lain selain emas dan perak (1930).

Upaya meneruskan tradisi berkeseniannya, Pirngadie sempat melatih beberapa pelukis muda Indonesia, di antaranya adalah Sudjojono dan Suromo.

Istilah Mooi Indie berasal dari bahasa Belanda. Dalam bahasa Indonesia, "moii" berati cantik atau molek atau jelita. Sedangkan Indie berarti Hindia atau wilayah Nusantara yang kini disebut Indonesia.

Istilah ini pada mulanya dikenal dari dunia seni lukis. Adalah pelukis Sudjojono yang mempopulerkan istilah ini pada 1930. Pada saat itu ia memakai istilah "moii indie" untuk menyebut karya lukis yang menggambarkan pemandangan-pemandangan di Hindia atau Indonesia yang serba indah, damai, dan tenteram.

Meski istilah ini baru populer pada 1930-an, lukisan jenis naturalistik "moii indie" ini sebenarnya sudah dilakukan oleh pelukis Raden Saleh yang mengenalkan gaya naturalistik di lukisannya pada abad 19. Namun sejak Raden Saleh meninggal pada 1877 gaya naturalistik ini jarang yang mengikutinya.

Oleh pemerintah Belanda gaya naturalistik ini diteruskan pada awal abad 20. Pemerintah mensponsori para pelukis Belanda--seperti Du Chattel--maupun bumiputera untuk membuat lukisan "moii indi". Mereka "diminta" menggambarkan suasana alam Indonesia yang cantik, damai, dan tenteram. Lukisan tersebut kemudian dipamerkan di Eropa. Dengan menggambarkan Hindia yang cantik jelita, pemerintah Hindia Belanda bertujuan menarik para wisatawan Eropa datang ke Indonesia.Pelukis-Pelukis Mooi Indie

Beberapa pelukis aliran moii indie yang terkenal adalah R. Abdullah Suryosubroto (1878-1914). Pelukis kelahiran Semarang ini merupakan putra dari dr Wahidin Sudirohusodo, tokoh pergerakan nasional Indonesia. Ia adalah pelukis yang melanjutkan gaya naturalistik Raden Saleh. Gaya naturalistik ini kemudian dilanjutkan lagi oleh anak dari Abdullah Suryosubroto yakni Basoeki Abdullah (1915-1993).

Pelukis moii indie lainnya adalah Wakidi (1889-1979). Pelukis keturunan Jawa tapi dilahirkan di Plaju, Sumatra Barat ini pada tahun 1889, juga melukis gambaran keindahan alam di Sumatera Barat. Pekerjaan utama Wakidi adalah guru seni lukis di sekolah INS Kayu Tanam yang didirikan Moh Syafei.

Selain Wakidi, ada Mas Pringadi (1875-1936). Mas Pringadi lahir di keluarga ningrat Jawa asal Banyumas, yang merupakan hasil pendidikan politik etis Belanda. Ia murid dari pelukis belanda Du Chattel. Ia juga dikenal sebagai ilustrator di museum antropologi Batavia (Jakarta).Ciri-ciri Lukisan Mooi Idie

Ciri khas lukisan moii indie dapat diketahui dari obyek lukisan. Obyek lukisan itu umumnya berupa lanskap pemandangan alam seperti sungai, gunung, hutan, suasana pedesaan, sawah yang indah di Hindia Blanda. Selain pemandangan alam, pelukis moii indie juga menggambarkan wanita-wanita di Hindia Belanda yang juga eksotik. Umumnya wanita Timur ini digambarkan sedang menari atau melakukan aktivitas sehari-hari. Umumnya tampilan lukisan moii indie menggunakan pilihan warna yang teduh, terang, dan damai.

Penghargaan yang pernah diperoleh adalah:1. Piagam penghargaan lukisan terbaik pada pameran di Annual Fair Surabaya(1905)2. Penghargaan II pada pameran lukisan cat air, Surabaya (1907)3. Dua medali pada pameran lukisan, Surabaya (1912)4. Hadiah untuk lukisan pemandangan Indonesia terbaik pada The Gent Exposition (1913)5. Hadiah pertama untuk lukisan cat air terbaik pada Pameran Kolonial, Semarang (1914)6. Hadiah pertama dan kedua pada perlombaan membuat sampul buku terindah (1919)7. Anugerah Tanda Kehormatan Kelas Satyalancana Kebudayaan dari Kementerian Kebudayan dan Pariwisata

(2014)

Page 22: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[20]

Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A.), pujangga besar Indonesia, adalah salah seorang yang diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa Penggerak Hidup ini untuk berjumpa langsung dan bercengkrama dengan Mas Pirnggadie di masa tuanya. Hasil pencengkramaan intens itu menjadi tulisan panjang dan bersambung sampai tiga kali dalam tahun-tahun yang berbeda sebagai artikel di majalah Poedjangga Baroe tentang tokoh kita Mas Pirngadie ini. Catatan-catatan S.T.A. ini sangatlah penting. Melewati tulisan-tulisan S.T.A. inilah yang mampu menjadi 'jembatan' komprehensif dalam menggapai serta mengenal lebih dekat sosok dan kiprah Mas Pirngadie.

Dalam salah satu artikelnya tentang Mas Pirngadie di majalah Poedjangga Baroe tersebut S.T.A. menulis demikian:"Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di

berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja

memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoen-an bangsa Indonesia sekarang ini". (S.T.A. 1934)

Demikian petikan dari salah satu catatan S.T.A. tentang Mas Pirngadie ini. Dari ketiga artikel S.T.A. di Majalah Poedjangga Baroe (S.T.A. 1934, 1935, 1936) sangat terasa kuat pergumulan S.T.A. dengan Mas Pirngadie. Sebagai budayawan, S.T.A. tampil memberikan kesaksian lengkap serta jujur atas sosok dan kiprah Mas Pirngadie, 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang' ini. Tentu sebuah langkah hebat dan berani untuk menimbang kembali peran Mas Pirngadie dalam ranah kebudayaan negeri. Selain riwayat hidup Mas Pirngadie, S.T.A. mengungkapkan kekuatan, keindahan dan kedalaman karya-karya Mas Pirngadie, ahli gambar yang tetap hidup sederhana dan rendah hati.

Catatan-catatan S.T.A. itu adalah hasil wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan-tulisan koran atau majalah-majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. Dituliskan pula oleh S.T.A. bahwa tak ada satu pun media terbitan bumi putera yang pernah memberitakan atau mengulas tentang Mas Pirngadie ini. Jika pun ada, kata S.T.A., itu hanyalah kopian dari terbitan-terbitan berbahasa Belanda. Rasanya kenyataan ini memedihkan. Mengisyaratkan keberadaan Mas Pirngadie seperti sudah lama dalam posisi yang 'tak diperhitungkan' di kalangan para bumi putera sendiri. Meskipun kenyataannya, Mas Pirngadie telah menghasilkan ratusan karya lukis yang berbobot. Belum lagi dalam posisinya atas hasil karya luar biasa berupa lima jilid buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.

Lalu bagaimana jejak-jejak Mas Pirngadie di masa kini?Menapaki jejak-jejak Mas Pirngadie untuk menggapai sosok dan kiprahnya secara utuh memang bukanlah sesuatu

yang mudah. Rasanya nama Mas Pirngadie hanya bisa dijumpai secara fragmentaris saja. Memang, ia terasa lebih dikenal bagi kalangan dunia antropologi atau etnografi. Itu pun pasti para ahli tertentu saja yang mau bertekun pada litaratur-litaratur budaya sehingga hanya mereka itu yang bisa menjumpai kumpulan karya buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie ini. Sementara di kalangan praktisi atau pecinta seni kerajinan tangan Nusantara itu pun lebih terfragmentaris lagi; yang tertarik di bidang seni anyaman membaca buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie yang jilid I yaitu seni anyaman; yang tertarik dunia tenun mengenal namanya dari buku jilid II nya tentang seni tenun; begitu juga yang tertarik batik, seni keris dan logam, membaca dari jilid-jilid lainnya sesuai masing-masing subyek itu.

Dunia lukisan Indonesia -- marilah kita sebut saja sejarah seni lukis Indonesia -- sebenarnya mengenal namanya. Meski agak samar-samar. Oleh karena dunia/sejarah lukis Indonesia rasanya terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan genre, aliran-aliran, periodisasi-periodisasi karya, 'mooi indie' dan 'bukan mooi indie', 'yang ini' dan 'yang itu' dan sebagainya yang semua itu seringkali berkaitan pada 'politisasi seni'.

Terasa sekali saat ini bila kita mencari nama Mas Pirngadie di antara tumpukan nama-nama pelukis besar Indonesia, proporsi namanya hanya kecil saja di tengah himpitan para pelukis besar Indonesia lainnya yang biografi dan karyanya bisa dituliskan dengan panjang lebar itu. Untuk melihat bukti ini kita bisa saja secara 'iseng-iseng' lewat internet di Google, ketik nama 'Mas Pirngadie' atau sekalian tambahi kata bantuan 'pelukis' di depan atau di belakang namanya. Maka pasti yang mucul kebanyakan bukan yang hendak kita cari. Yang kita dapati kebanyakan justeru riwayat para pelukis lainnya yang beberapa di antaranya memang pernah berguru pada Mas Pirngadie ini. Terasa kita kesulitan mendapati informasi, biografi dan karya-karya lukis Mas Pirngadie. Padahal bukankah di tanah air ini dan untuk tanah air ini seorang Sutan Takdir Alisyahbana sudah pernah menuliskannya secara panjang lebar lewat artikel-artikelnya di Poedjangga Baroe? Jangan-jangan memang kita sudah kesulitan untuk bisa mendapatkan tulisan-tulisan S.T.A. atau majalah-majalah Poedjangga Baroe itu, seperti halnya yang saya alami ketika mencoba mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nomor-nomor majalah itu sudah tidak ada lagi. Tidak terarsipkan dengan baik. Untungnya saya bisa mendapatinya kembali dari arsip di Belanda melewati ke-baikan hati antropolog Sandra Niessen.

Sesuai info dari tulisan S.T.A. dan dari beberapa sumber informasi lainnya menjadi petunjuk penting bagi saya di suatu hari untuk lari ke Museum Nasional dengan harapan bisa mendapatkan jejak-jejak Mas Pirngadie. Oleh karena gedung ini -- yang di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen -- adalah tempat terakhir Mas Pirngadie bekerja. Dan ketika saya sampai di museum ini tak banyak yang bisa saya dapati tentang Mas Pirngadie. Jejak-jejaknya seperti diterbangkan oleh angin zaman, meskipun memang tidak semuanya. Selalu saya bayangkan bagaimana ia telah menyusun daftar-daftar informasi tentang benda-benda di museum ini yang masing-masing pada kartu kertas itu ia gambari juga dengan tangannya. Juga saya bayangkan

berhari-hari lamanya selama beberapa tahun Mas Pirngadie melukis 78 orang dari semua etnis yang ada di Nusantara ini yang ia gambar dari potret-potret yang semula hitam putih menjadi lukisan berwarna lengkap dengan pakaian adatnya masing-masing dengan detil-detil perhiasan asesorisnya dan 78 orang itu mengelilingi peta besar negeri ini yang juga digambar dengan tangan oleh Mas Pirngadie ini.

Lukisan-lukisan 78 kepala etnis dengan peta besar negeri Nusantara ini pulalah yang akhirnya mendapat kehormatan secara internasional untuk dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris 1931. Meski

sayang buah pekerjaan yang memakan waktu lama dari Mas Pirngadie itu pun musnah terbakar api bersama dengan buah seni Indonesia lainnya di pameran itu. Tapi gilanya, sekali lagi gilanya Mas Pirngadie tetap menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu. Sehingga sejak 1935 di museum tempat Mas Pirngadie bekerja ini orang-orang Indonesia, seperti halnya S.T.A., masih bisa menyaksikan lukisan-lukisan ulang ini. Ketika saya kembali ke Museum Nasional untuk bisa menyaksikan satu set lukisan tersebut, memang saya masih bisa mendapati gambar 78 suku bangsa negeri ini dalam satu ruang tersendiri. Yaitu berupa foto-foto yang merepro lukisan-lukisan Mas Pirngadie. Di lain hari saya mendapati kabar bahwa lukisan-lukisan aslinya sedang dirawat, direnovasi oleh museum ini. Dari foto-foto yang merepro satu set lukisan Mas Pirngadie, setidaknya masih bisa membuat saya merasakan jejak-jejak ketelatenannya yang luar biasa. Meskipun kebanyakan pengunjung yang masuk ruang ini tak kan pernah tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan lukisan-lukisan aslinya. Tak ada tertera nama Mas Pirngadie secuil pun di ruang ini.

Akhirnya saya keluar dari ruangan ini dengan perasaan sunyi. Sesunyi Mas Pirngadie yang khusyuk bertahun-tahun mengerjakan segala macam pekerjaan di masa silam. Mengabdikan diri sepenuhnya pada museum ini. Bekerja tiap hari dari pagi sampai sore hari sampai yang benar-benar terakhir dari hidupnya di Sabtu 4 April 1936. Pada hari itu, tiada seperti biasanya Mas Pirngadie meninggalkan pekerjaan, pulang ke rumah karena sakit. Tiada lama kemudian beliaupun meninggalkan dunia, menuju Sang Pencipta.

"Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi!" (S.T.A. 1936).

Semoga demikianlah anak-anak bangsa negeri ini tiada melupakan lagi Mas Pirngadie, tokoh besar negeri ini.

Affandi lahir di Cirebon, Jawa Barat, pada tahun 1907. Tanggal dan bulan kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Ayahnya yang bernama R. Koesoema adalah seorang mantri ukur pada pabrik gula di Ciledug. Affandi menempuh pendidikan terakhir AMS-B di Jakarta. Pada umur 26 tahun, tepatnya pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika.

Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerjasama saling membantu sesama pelukis.

Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai --yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur-- memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.

Sebelum dan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta, Affandi aktif membuat poster-poster perjuangan untuk membangkitkan semangat perjuangan rakyat Indonesia terhadap kaum kolonialisme Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Kegiatan ini dilakukan bersama-sama dengan pelukis dan seniman lain yang tergabung dalam Seksi Kebudayaan Poetera, antara lain: S. Soedjojono, Dullah, Trubus, dan Chairil Anwar. Selanjutnya, Affandi memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta dan mendirikan perkumpulan "Seniman Masyarakat" 1945. Perkumpulan ini akhirnya menjadi "Seniman Indonesia Muda" setelah S. Soedjojono juga pindah ke Yogyakarta. Pada tahun 1947, Affandi mendirikan "Pelukis Rakyat" bersama Hendra Gunawan dan Kusnadi, untuk memberikan kesempatan belajar kepada angkatan muda yang haus mendapatkan pendidikan dan praktek seni lukis. Lalu pada tahun 1948, Affandi pindah kembali ke Jakarta dan turut mendirikan perkumpulan "Gabungan Pelukis Indonesia".

Tidak lama setelah itu, yaitu pada tahun 1949, Affandi mendapat Grant dari pemerintah India dan tinggal selama 2 tahun di India. Di sana, Affandi melakukan aktivitas melukisnya dan juga mengadakan pameran di kota-kota besar hingga tahun 1951 di India. Selanjutnya, Affandi mengadakan pameran keliling di negara-negara Eropa, diantaranya London, Amsterdam, Brussel, Paris dan Roma. Affandi juga ditunjuk oleh pemerintah Indonesia untuk mewakili Indonesia dalam pameran Internasional (Biennale Exhibition) tiga kali berturut-turut, yaitu di Brasil (1952), di Venice (Italia - 1954), dan di Sao Paulo (1956). Di Venice, Italia, Affandi berhasil memenangkan hadiah.

Lukisan Affandi yang menampilkan sosok pengemis ini merupakan manifestasi pencapaian gaya pribadinya yang kuat. Lewat ekpresionisme, ia luluh dengan objek-objeknya bersama dengan empati yang tumbuh lewat proses pengamatan dan pendalaman. Setelah empati itu menjadi energi yang masak, maka terjadilah proses penuangan dalam lukisan seperti luapan gunung menuntaskan gejolak lavanya. Dalam setiap ekspresi, selain garis-garis lukisanya memunculkan energi yang meluap juga merekam penghayatan keharuan dunia bathinnya. Dalam lukisan ini terlihat sesosok tubuh renta pengemis yang duduk menunggu pemberian santunan dari orang yang lewat. Penggambaran tubuh renta lewat sulur-sulur garis yang mengalir, menekankan ekspresi penderitaan pengemis itu. Warna coklat hitam yang membangun sosok tubuh, serta aksentuasi warna-warna kuning kehijauan sebagai latar belakang, semakin mempertajam suasana muram yang terbangun dalam ekspresi keseluruhan.

Namun dibalik kemuraman itu, vitalitas hidup yang kuat tetap dapat dibaca lewat goresan-goresan yang menggambarkan gerak sebagian figur lain. Dalam konfigurasi objek-objek ini, komposisi yang dinamis. Dinamika itu juga diperkaya dengan goresan spontan dan efek-efek tekstural yang kasar dari plototan tube cat yang menghasilkan kekuatan ekspresi.

Pilihan sosok pengemis sebagai objek-objek dalam lukisan tidak lepas dari empatinya pada kehidupan masyarakat bawah. Affandi adalah penghayat yang mudah terharu, sekaligus petualang hidup yang penuh vitalitas.Objek-objek rongsok dan jelata selalu menggugah empatinya. Oleh karenanya, ia sering disebut sebagai seorang humanis dalam karya seninya. Dalam berbagai pernyataan dan lukisannya, ia sering menggungkapkan bahwa matahari, tangan dan kaki merupakan simbol kehidupannya. Matahari merupakan manifestasi dari semangat hidup. Tangan menunjukkan sikap yang keras dalam berkarya dan merealisir segala idenya. Kaki merupakan ungkapan simbolik dari motivasi untuk terus melangkah maju dalam menjalani kehidupan. Simbol-simbol itu memang merupakan kristalisasi pengalaman dan sikap hidup Affandi, maupun proses perjalanan keseniannya yang keras dan panjang. Lewat sosok pengemis dalam lukisan ini, kristalisasi pengalaman hidup yang keras dan empati terhadap penderitaan itu dapat terbaca.

A�andi (1907 - 1990)

Page 23: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[21]

.....................................................................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................................................

2. Kelompok Koleksi:

4. Nama Pembuat/ Seniman:

a. Bentuk/ Tema (Karya):

c. Ukuran (Lukisan):

d. Bahan:e. Warna:

b. Aliran Seniman (Lukisan):

f. Teknik Pembuatan:g. Lain-lain:

b. Asal (Benda/Pembuat/Seniman):c. Riwayat (Benda/Pembuat/Seniman):

a. Tahun Pembuatan:

d. Tahun Perolehan:

BeliTemuan

Hadiah/ HibahTransaksi lain

e. Cara Perolehan:

Periode Pembuatan:

9. Kondisi:

10. Keterangan:

Mata biasaKaca pembesarMikroskopLain-lain

11. Teknik Pengamatan: Tanggal Pengamatan:

Tanda tanganKurator:

Nama Kurator:

5. Tempat Penyimpanan:

1. Nomor Inv.:Nomor Reg.:

(lama) (baru)

X

7. Visualisasi Benda:Foto DigitalFoto CetakSlideVideo

3. Nama/ Judul:

6. Deskripsi Benda:

8. Riwayat Benda:

Baik (kondisi fisik kuat, utuh, tanpa/ sedikit kerusakan).Cukup (kondisi fisik cukup kuat/ sedikit utuh, sedikit/ tanpa kerusakan).Rusak (kondisi fisik tidak kuat/ rapuh, sedikit/ tidak utuh, banyak kerusakan).Lain-lain

Lain-lain

(Pigura):

............................................................

..................................................................................

...................................

.............................................................................................

..................................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................................................

........................................................................................................................................................................................

.................................................................................................................................................................

.............................................................................................................................................................................................................

............................................. ....................................................

..................................................................................................................

LEMBAR INVENTARIS KOLEKSI

.....................................................................................................................................................................................

.............................................................................

..................................................................................................

..................................................................................................

......................................................................

.................................................................

...........................................................................

....................................................................

............................................................................................

................................

.................................. ..................................

...............................................................................

...............................................................................

...............................................................................................................

................................................

............................................................

..................................

.....................................

.........................................................................................................................

Lukisan Keramik Patung LainSub Kelompok Koleksi: ..........................................................................

0020

Hutan Wataturi Irian

Hubungan Manusia Dengan Alam Sekitar

Srihadi Soedarsono

1975

0020

Bagian atas noda ada goresan

92 x 142 cm

2 Januari 2007

Puji Yosep Subagiyo

X

Cat-minyak, kanvas.

X

X

Naturalisme

Cat-minyak dengan sapuan kuas.

Hijau, biru, coklat, hitam, krem (putih).

ATAS

Prof. KRHT H. Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo, MA. lahir di Surakarta (Jawa Tengah) pada 4 Desember 1931. Pada tahun 1952 ia mulai memasuki pendidikan seni di Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung (sekarang Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung). Pada tahun 1955, ia juga menciptakan logo Keluarga Mahasiswa Seni Rupa (KMSR). Logo berbentuk sebuah palette dengan kata-kata "SENI RUPA BANDUNG" dengan lambang Universitas Indonesia. Setelah Maret 1959, bentuk Ganesha menggantikan logo UI di palette tersebut.

Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia.

X

Page 24: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[22]

Penguatan dan Konsolidasipenguatan cat dengan ............................penguatan kanvas/ substrat ...................perbaikan kanvas/ substrat.perbaikan/ konsolidasi cat, dll.

LEMBAR KONDISI LUKISANisidnoKNama SenimanJudul Karya.vnI .oNNo. Ukuran dan Tahun

BAHANPEMBENTUKBENDA

Lokasi: Prioritas Tindakan : A . Segera C. RendahB. Sedang

C.minyakCat airTintaAkrilikPastelKrayonOther...

KanvasKertasKayuKacaLogamOther...

C.minyakAquarelPastelGuaseTemperaLitografiBatik

Lain-lain

Lain-lain

Lain-lain

JENIS CAT

JENIS MEDIA(SUBSTRAT)

TEKNIK

KotorLemakDepositRapuhPatahRetakDistorsi

GelombangGoresSobekKelupasLubangBasahKering

JamurSerangga

BusukOther...

KaratKristalOksidasiPudar

LapukBauNodaOther...

FISIK:

BIOTIS:

LAIN:

KIMIAWI:

No Foto :

Lain-lain

Lain-lain

Lain-lain

BaikCukupRusak

Other...

KONDISI SPANRAM:

BaikCukupRusak

KONDISI PIGURA:

Pembersihan ringan (kwas, vacuum, dll.)

airwhite-spiritturpentinair sabun (amonia)

2-ethoxy ethanol

2-aceton alcohol

Penyempurnaan (finishing treatment)isolating (varnish)inpainting (+mixing varnish)dressing/ retouching (varnish)(re)varnishing

Perlakuan biotis (fumigasi, dsb.) Perlakuan lain.

CATATAN:

REKOMENDASI PERAWATAN DAN PENGAWETAN :

Pembersihan lemak, varnis, dsb.dengan pelarut:

I.

IV.

......................................................................................................................................................

V. USULAN UJI BAHAN (LAB) DAN TAMBAHAN :...........................................................................................................................................................................

VI. TEKNIK PENGAMATANA. Mata biasa (tanpa-alat)B. Kaca PembesarC. Mikroskop. ................ XD. .......................................E. .......................................F. ........................................

VII. TANGGAL PENGAMATAN

TandatanganObservator,

Konservator,dll.

Nama : ..............................................

(DD/MM/YYYY) ............................................

A.

B.

C.

C.

B.

A. D.

E.

F.

G.

5. 6. 7. 8.

II. KONDISI SAAT PENGAMATAN : Baik Cukup Rusak

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

8. 9.

10. 11. 12. 13. 14.

1. 2.

3. 4.

1. 2. 3. 4.

5. 6. 7. 8.

1. 2. 3.

1. 2. 3.

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

1. 2. 3. 4. 5. 6.

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

A. B.

C.

D. E. F.

G.

1. 2. 3. 4.

1. 2. 3. 4.

1. 2. 3. 4.

.....................

III. LINGKUNGAN MIKRO DAN LAINNYA :A. Intensitas Cahaya (Lux)B. Radiasi UV (μW/cm2) ---C. Suhu Udara (0C) --------D. Suhu Permukaan (0C) --E. Kelembaban Udara (%)

F. Kandungan Air (%) --G. Keasaman (pH) ------H. ORP (mili Volts) ------

= ........ (.......)= ........ (.......)= ........ (.......)= ........ (.......)= ........ (.......)

= ........ (.......)= ........ (.......)= ........ (.......)

J. Polusi Udara ---------- = ........ (.......)Catatan : ORP = Potensial Redoks.

tolueneacetone

Catatan :

....................................

98 x 145,5 cm, 1956

X

X

X

X

X

X

XX

X X

X

X

X

bongkar pasang spanram danmengencangkankanvas

X

MEK

Pahlawan Teuku Umar Hendra Gunawan

Oils on Canvas laid on Canvas (No Adhesive).

X

X

X

10 April 2016

Puji Yosep Subagiyo

X

X

X XX

X

parah

sobekan di 3 tempat

sambung sobekan, dobel kanvas tanpa lem

kendor

Lampu Ultra Violet

002

ATAS

500,420

50dianjurkan

I. Tekanan Udara (mb) = ........ (.......)

Page 25: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[23]

Bagus Cukup Rusak Lain-lain8. Kondisi:

0020

C.minyakCat air

TintaAkrilik

PastelKrayon

Lain-lain

KanvasKertas

HardboardTripleks

KayuKaca

LogamLain-lain

C.minyakAquarelPastel

TemperaLitografiBatik

KolaseLain-lain

A. KETERANGAN POKOK

LEMBAR PENGAMATAN LUKISANB. SAMPLING

1. Nomor Inv.:

D. KETERANGAN TEKNIS (Media Kanvas)

2. Judul :

3. Seniman:

4. Tahun:

5. Bahan:

6. Teknik:

7. Ukuran:

Tema:

Aliran Seniman:

Hutan Wataturi Irian

1. Jenis Tenunan : Tabby 2/2

2. Kerapatan Tenunan: Agak longgar, regular

3. Jumlah Benang: 28/24

4. Arah Pilinan: Z

5. Kuat Pilinan:

6. Jenis Serat:

7. Keterangan Kanvas:

per 1 cm2

Srihadi Soedarsono

1975

Cat

Media

C. FOTO

No. Sample: 008

Tempat Sampel

No. Foto: 0020

E. KETERANGAN TAMBAHAN1. Catatan Pengamatan Visual:

2. Catatan Pengamatan Teknis:

Bagian atas noda ada goresan

Periode/ Angkatan:

92 x 142 cm

DET

AIL

MED

IAFO

TO D

EPA

ND

etai

l Oby

ek /

Luki

san

Bel

akan

g

[Hasil Identifikasi XRF: SiO2 (5%); S (4%); K2O (7%); CaO (4%); Fe2O3 (1%): ZnO (44%); SrO (1%); BaO (30%); PbO (3%)]

Regular

a. Kanvas lukisan ini kemungkinan telah dipriming CaSO4.1/2H2O (Kalsium Sulfat, dikenal sebagai Gesso Sottile), Barium Sulphate, dan diberi dasaran cat warna putih dengan nama Zinc White (Pigment White 4).

b. Silicon Dioxide (SiO2), Strontium White, dan Flake White (Pigment White 1) juga teridenti�kasi, walaupun persentasenya kecil. Flake White dikenal juga sebagai White Lead [basic lead carbonate, 2PbCO3. Pb(OH)2]. Perlu diketahui pula bahwa beberapa logam, seperti Timbal, Mangan, dan Kobal dalam bentuk garam logam difungsikan sebagai bahan pengering pada cat dan varnis (Mayer: 244-245). Pigmen jenis ini pula yang banyak dianggap sebagai penyebab keretakan lapisan cat.

c. Sebagai rujukan, perlu dipahami pula beberapa bahan lain yang berfungsi sebagai bahan pengisi cat (inert �ller for paints), seperti Whiting, Gypsum, China Clay dan Silica. Whiting adalah bahan campuran terdiri dari Calcium Carbonate (98%) dengan Magnesium Carbonate (0,1%), Silica (1%), Alumina (0,4%) dan Iron Oxide (Nil). Gypsum atau Hydrated Calcium Sulphate yang biasanya adalah bahan campuran antara Calcium Oxide (32 ~ 60%), Sulphur Trioxide (46 ~ 50%) dan Air (20 ~ 90%). China Clay atau Kaolin kualitas baik adalah dalam bentuk Hydrated Silicate of Alumina (Al2O3.2SiO2.2H2O). Silica atau Kuarsa biasa terbentuk dari Silicon antara 46 ~ 47% dan Oxygen antara 53 ~ 33% (Remington & Francis, op. cit.: 63-71; Mayer, op. cit.: 142-144). Disini Barium terdeteksi 16% dan Belerang (S) terdeteksi 13%. Secara teori, komposisi Barium Sulfat adalah Barium Oxide (BaO) antara 65 sampai 70% dan Sulphur Trioxide (SO3) antara 34 sampai 30%. Barites kualitas baik hanya terdapat 99% Barium Sulphate dan sisanya campuran bahan seperti Silica, Iron Oxide dan Alumina (Remington & Francis, op. cit.: 58-62).

2 Januari 2007Tgl. Pengamatan:

Tanda tanganKonservator

Konservator:

Penjelasan :

Puji Yosep Subagiyo

[substrat]

Hubungan Manusia Dengan Alam Sekitar

Naturalisme

[Lokasi Sampel]

Page 26: Sekilas Konservasi Lukisan - Primastoria Studio | … WRA (Wax Resin Adhesive) adalah salah satu bahan yang biasa dipakai untuk perekatan thermo- setting. Penggunaan perekat (lem)

[24]

Spes

ialisa

si &

Kom

pete

nsi

Pres

tasi

dan P

engh

arga

an1.

Pem

egan

g U

nesc

o Fe

llow

ship

Aw

ard

dari

tahu

n 19

89 sa

mpa

i 199

2.2.

Pen

ulis

an a

rtik

el te

ntan

g te

kstil

, kon

serv

asi d

an m

anaj

emen

kol

eksi

mus

eum

(199

3 - 1

995,

M

ajal

ah M

useo

gra�

dan

Maj

alah

Keb

uday

aan,

Dep

dikb

ud -

Jaka

rta)

.3.

Seb

agai

Edi

tor

dan

Anot

ator

unt

uk t

erje

mah

an B

uku

Seni

Bat

ik d

ari B

ahas

a Be

land

a ke

Ba

hasa

Indo

nesi

a (1

994-

5, IS

I Yog

ya -

Yaya

san

Toyo

ta).

4. P

embi

cara

Sem

inar

Inte

rnas

iona

l ten

tang

Tek

stil

Trad

isio

nal

tahu

n 19

94 (J

akar

ta),

1996

(J

ambi

), 19

99 (D

enpa

sar)

dan

200

0 (T

okyo

Uni

vers

ity -

Toyo

ta F

ound

atio

n).

Cata

tan:

Mak

alah

ber

judu

l “T

he C

lass

i�ca

tion

of In

done

sian

Text

iles B

ased

on

Stru

ctur

al, M

ater

ial a

nd T

echn

ical

An

alys

es (

1994

)” m

enja

di r

ujuk

an P

rof.

Basa

vara

j S.

Ana

mi

dan

Prof

. Mah

ante

sh C

. Ele

mm

i da

lam

In

tern

atio

nal

Jour

nal

of S

igna

l Pr

oces

sing

, Im

age

Proc

essi

ng a

nd P

atte

rn R

ecog

nitio

n (Ju

dul

Tulis

an: “

A Ru

le B

ased

App

roac

h fo

r Cla

ssi�

catio

n of

Shad

es o

f Bas

ic C

olor

s of

Fabr

ic Im

ages

” ), V

ol. 8

, No.

2

(201

5), p

p. 3

89-4

00.

5. S

ebag

ai n

ara

sum

ber B

imte

k Pe

rmus

eum

an -

Kons

erva

si (1

996,

Din

as M

useu

m d

an S

ejar

ah

DKI

Ja

kart

a);

Bim

tek

Kons

erva

si

Teks

til

(200

0,

Mus

eum

Te

kstil

Ja

kart

a);

Bim

tek

Perm

useu

man

- K

onse

rvas

i (

2002

, As

dep

Kese

nian

- K

embu

dpar

); su

rvai

kon

disi

luk

isan

, ra

ncan

g-ba

ngun

dat

abas

e da

n pe

nyus

unan

renc

ana

indu

k pr

eser

vasi

(200

2 - 2

003,

Ista

na

Kepr

esid

enan

di J

akar

ta -

Bogo

r - C

ipan

as -

Yogy

a - B

ali).

6. P

embi

cara

Sem

inar

Nas

iona

l ten

tang

War

na A

lam

i (19

99, Y

ogya

kart

a) d

an K

onse

rvas

i Lu

kisa

n (2

002,

Jaka

rta)

.7.

Seb

agai

nar

a su

mbe

r kaj

ian

Batik

Pan

tai U

tara

Jaw

a da

n M

adur

a (1

994,

ISI Y

ogya

- U

niv.

To

kyo

- Yay

asan

Toy

ota)

dan

kaj

ian

kanv

as lu

kisa

n (2

006,

Pen

caria

n Pe

nyeb

ab K

erus

akan

da

n Id

entit

as L

ukis

an, B

alai

Kon

serv

asi -

Jaka

rta)

.8.

Ran

cang

-ban

gun

data

base

kol

eksi

mus

eum

(201

2, M

useu

m N

asio

nal -

Jaka

rta)

.9.

Men

yusu

n ko

mpi

lasi

nask

ah ya

ng b

erhu

bung

an d

enga

n te

kstil

, kon

serv

asi d

an

anal

isis b

ahan

(Prim

asto

ria S

tudi

o, 2

013)

.10

. M

enyu

sun

lapo

ran

hasi

l Obs

erva

si T

ekst

il di

Mus

eum

Nas

iona

l (P

rim

asto

ria

Stud

io, 2

014-

15).

11. S

ebag

ai N

aras

umbe

r Kon

serv

asi T

ekst

il pa

da W

orks

hop

Kons

erva

si di

Bo

robu

dur -

Mag

elan

g, B

ogor

- Ja

wa

Bara

t dan

TM

II Ja

kart

a (2

015)

.

1. P

eren

cana

an d

an p

elak

sana

an p

eker

jaan

kon

serv

asi t

ekst

il da

n lu

kisa

n :

* Su

rvai

kon

disi

(iden

ti�ka

si ba

han

dan

keru

saka

n, m

embu

at u

sula

n tin

daka

n ko

nser

vasi,

pem

buat

an d

okum

enta

si, k

alku

lasi

wak

tu d

an b

iaya

).* P

elak

sana

an p

eker

jaan

kon

serv

asi.

2. Pe

ngua

saan

sain

s kom

pute

r (ka

lkul

asi m

atem

atis,

pem

rogr

aman

data

base

, 3D

mod

ellin

g, ill

ustra

tion,

dsb

.) un

tuk

aplik

asi s

istem

per

enca

naan

dan

pen

gem

bang

an k

onse

rvas

i yan

g be

rbas

is sa

ins k

onse

rvas

i (p

ener

apan

sifa

t �sik

- ki

mia

wi b

ahan

, pen

garu

h ja

sad

hidu

p/ b

iotis

, fak

tor i

klim

, dan

inte

rpre

tasi

alat

uku

r dig

ital/

man

ual):

* Ra

ncan

g-ba

ngun

dat

abas

e un

tuk

surv

ai k

ondi

si ke

tera

wat

an d

an k

ondi

si kl

imat

olog

i unt

uk

eval

uasi

tekn

is ko

nser

vasi

dan

uji k

ompe

tens

i ten

aga

kons

erva

si.*

Ranc

ang-

bang

un s

istem

/ mod

el u

ntuk

sim

ulas

i tat

a le

tak

(map

ping

) ged

ung,

ruan

g, le

mar

i, ko

leks

i be

rikut

kal

kula

si uk

uran

dim

ensi

(obj

ek)

dan

kalk

ulas

i ke

butu

han

sert

a ef

ek a

lat

penu

njan

g di

spla

i-sto

rage

-kon

serv

asi

(kon

sum

si da

ya l

istrik

, ko

nver

si en

ergi

sem

ua j

enis

lam

pu, h

ubun

gan

�ukt

uasi

- tek

anan

bar

omet

rik, k

ebut

uhan

ala

t-ba

han-

biay

a, d

sb.),

ser

ta

aplik

asi c

ompu

teriz

ed-o

ptic

al-m

icro

scop

e un

tuk

men

guku

r ob

jek

skal

a m

ikro

met

er, a

plik

asi

wea

ther

pro

be (s

tatio

n), R

FID

(Rad

io Fr

eque

ncy I

dent

i�cat

ion)

, dsb

. [1

mik

ro =

1 p

er se

juta

].* P

embu

atan

pak

et p

elat

ihan

ele

ktro

nis (

e-Le

arni

ng P

ack)

unt

uk k

onse

rvas

i & k

uras

i.3.

Pen

guas

aan

sain

s kom

pute

r unt

uk m

emba

ntu

pere

ncan

aan

dan

peng

emba

ngan

kur

asi,

regi

stra

si,

doku

men

tasi,

serta

pem

anta

uan

dan

eval

uasi

kine

rja p

egaw

ai [K

ey P

erfo

rman

ce In

dica

tors

(KPI

)] :

* Ra

ncan

g-ba

ngun

dat

abas

e ko

leks

i mus

eum

dan

gal

eri y

ang

mem

iliki

�tu

r un

tuk

mem

udah

kan

penc

aria

n, v

alid

asi t

ata-

letak

, val

idas

i sya

rat m

inim

um e

ntri

data

, map

-trac

king

asa

l kol

eksi/

seni

man

, pe

nang

gala

n re

latif

, cod

ing

tingk

at ke

rusa

kan

- jen

is ba

han

(kon

versi

dat

a te

ks ke

num

erik)

, dsb

.4.

Kaj

ian

tekn

is da

n ba

han

kole

ksi u

ntuk

dok

umen

tasi,

kons

erva

si, ku

rasi,

regi

stra

si da

n ka

jian

tingk

at la

njut

.

Pem

egan

g Un

esco

Fel

low

ship

Aw

ard

dari

tahu

n 19

89 s

ampa

i 19

92 i

ni m

enda

patk

an

pend

idik

an s

ains

kon

serv

asi d

i Tok

yo N

atio

nal R

esea

rch

Inst

itute

for C

ultu

ral P

rope

rtie

s (T

NRI

CP),

Jepa

ng d

ari

1989

-199

0; p

erna

h m

engi

kuti

kurs

us “

spot

ting”

di

Inte

rnat

iona

l Fa

bric

are

Inst

itute

(IF

I) di

Mar

ylan

d -

Amer

ika

Serik

at; s

erta

men

giku

ti be

rbag

ai k

ursu

s an

alisi

s kon

serv

asi d

i Mus

eum

Con

serv

atio

n In

stitu

te (M

CI) o

f the

Sm

ithso

nian

Inst

itutio

n di

W

ashi

ngto

n D

.C., A

mer

ika

Serik

at (1

991-

1992

). Se

lam

a pe

riode

mag

ang

di S

mith

soni

an I

nstit

utio

n, S

ubag

iyo

tela

h m

enga

daka

n ku

njun

gan

obse

rvas

i di la

bora

toriu

m-la

bora

toriu

m m

useu

m d

an le

mba

ga p

enel

itian

di k

ota

New

Yor

k, H

arris

burg

, dan

Was

hing

ton

D.C

. Ia

pern

ah a

mbi

l bag

ian

dala

m p

enga

mat

an

keru

saka

n pa

kaia

n as

trono

ut d

i Nat

iona

l Air

and

Spac

e M

useu

m (N

ASA)

di

Was

hing

ton

D.C

. dan

dem

o pe

ncel

upan

war

na d

i Car

negi

e M

ello

n Co

llege

, Mar

ylan

d. P

ada

akhi

r ta

hun

2013

, Sub

agiy

o m

elak

ukan

ku

njun

gan

obse

rvas

i di M

useu

m N

asio

nal T

okyo

dan

Mus

eum

Jo

shib

i Uni

vers

ity o

f Art

and

Des

ign,

Kan

agaw

a - J

epan

g.Pu

ji Yo

sep

Suba

giyo

lahi

r di

Pur

wor

ejo,

Jaw

a Te

ngah

. Ia

adal

ah s

eora

ng k

onse

rvat

or s

enio

r be

rser

ti�ka

si in

tern

asio

nal,

dari

tahu

n 19

86 s

ampa

i 20

16 b

eker

ja d

i M

useu

m N

asio

nal,

Kem

ente

rian

Pend

idik

an d

an K

ebud

ayaa

n. S

ubag

iyo

yang

te

lah

mem

iliki

pen

didi

kan

lebi

h da

ri 4.

500

jam

dan

25

tahu

n be

rpen

gala

man

di

bida

ng k

onse

rvas

i, ba

nyak

mel

akuk

an p

enel

itian

an

eka

baha

n - t

ekni

k pe

mbu

atan

teks

til tr

adisi

onal

dan

luki

san,

pen

ulisa

n, ra

ncan

g-ba

ngun

da

taba

se k

onse

rvas

i dan

kur

asi,

men

giku

ti da

n pe

mbi

cara

pad

a be

rbag

ai

sem

inar

int

erna

siona

l. D

i St

udio

Prim

asto

ria,

ia j

uga

mel

ayan

i ja

sa

kons

ulta

si da

n ko

nser

vasi

teks

til,

luki

san,

log

am,

dan

anek

a be

nda

etno

gra�

.

Pro�

l dan

Riwa

yat K

onse

rvat

or

Prim

asto

ria

Stud

io :

Tam

an A

lam

anda

Blok

BB2 N

o. 55

-59,

Beka

si 17

510,

Indo

nesia

Web

: prim

asto

ria.n

et

Em

ail: m

asyo

sep6

6@gm

ail.c

omPh

one :

(021

) 221

0 29

13

Mob

ile: 0

812

8360

495

S TOR

iAPR

iMA

R

Pro�

l dan

Sekil

as Pe

ngala

man

Prima

storia

Studio

Mus

eum

Act

ion

Plan

[MAP

] 201

6