sejarah singkat peraturan perundang – undangan tentang penyelesaian perselisihan hubungan...
DESCRIPTION
paperTRANSCRIPT
1
BAB 2
SEJARAH SINGKAT PERATURAN PERUNDANG –
UNDANGAN TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
(Dari buku “Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial” : Ugo. Pujiyo. 2011)
Oleh :
Nama : Dwi Prasetyo
NPM : 1216051034
2
BAB 2
SEJARAH SINGKAT PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN
TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Sejarah peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial atau sengketa perburuhan ,dapat dibagi menjadi
3 ( Tiga ) bagian atau 3 (tiga) zaman , yaitu zaman sebelum reformasi. Pembagian
ini sekedar untuk memudahkan pemahaman, sehingga didapat penjelasan yang
lebih jelas.
A. Zaman Sebelum Kemerdekaan
Prof. Iman Soepomo, S.H., dalam bukunya Hukum perburuhan Bidang
Hubungan Kerja mengemukakan bahwa berkenaan dengan perselisihan
kepentingan, mula – mula sebagai akibat dari pemogokan buruh kereta api, hanya
diadakan Dewan Perdamaian ( Verzoeningsraad ) untuk kereta api dan trem di
jawa dan madura yang diatur dalam Peraturan tentang Dewan Perdamaian bagi
kereta api dan Trem di jawa dan madura ( Regeling van de Verzoeningsraad Voor
de Spoor en tramwegen op java en Madoera, regeringsbesluit tanggal 26 Februari
1923,Stbl.1923 No.80, yang kemudian diganti dengan Stbl. 1926 No.224 ).
Pada tahun 1937, Peraturan tersebut dicabut kembali dan diganti dengan
peraturan yang berlaku untuk seluruh Indonesia, yaitu Peraturan tentang Dewan
Perdamaian bagi Kereta Api dan Trem di Indonesia ( Regeling van de
Verzoeningsraad Voor de Spoor-en tramwegen in indonesia, regeringsbesluit
tanggal 24 November 1937,Stbl.1937 No.31,Stbl.1937 No.624 ).
Dewan Pendamai untuk Kereta Api dan terem ini terdiri atas :
1. Seorang Ketua
2. Seorang atau beberapa orang wakil ketua yang diangkat oleh Gubernur
Jenderal dari Kalangan di luar Perusahaan kereta Api dan Trem.
3
3. 6 Anggota yang ditunjuk oleh Kepala Jawatan Kereta Api.
4. 6 Anggota yang ditunjuk oleh Dewan Pengurus dari Persatuan Perusahaan
Kereta Api dan Trem di Indonesia ( Bestuursercommisie van de
Vereniging van Nederlands – Indische Spoor-en Tramweg
maattschappijen )
5. 2 orang anggota yang ditunjuk oleh Persatuan pegawai Sarjana pada
Jawatan Kereta Api di Indonesia ( Federatie van gegradueerde
ambtenaren bij de staatsspoorwegen in Nederlands-Indie )
6. 6 Orang anggota yang ditunjuk oleh Spoorbond.
7. 2 Orang anggota yang ditunjuk oleh Roomsch Katholieke Bond Van
Spoor-en Tramweg Personeel in Nederlands-Indie”st. Raphael “.
8. Seorang anggota yang ditunjuk oleh Vereniging van het Europeesch
Personel der Delispoorweg.
9. 2 Orang yang ditunjuk oleh Persatuan Pegawai Spoor dan Trem.
10. Seorang yang ditunjuk oleh BumiPutera Statsspoor, Tramwegen,
Ombilinmijnen en Landsautomobielddiensten op Sumatera.
Tugas Dewan Pendamai ini ialah memberi perantaraan jika di perusahaan
kereta api dan trem timbul atau akan timbul perselisihan perburuhan yang akan
atau telah mengakibatkan pemogokan atau dengan jalan lain dapat merugikan
kepentingan umum.
Kemudian pada tahun 1939, ditetapkan aturan tentang mengadakan
penyelidikan pada perselisihan perburuhan yang membahayakan ( Voorschriften
nopens het instellen van een onderzoek bij ernstige arbeidsgeschillen,
regeringsbesluit, tanggal 20 juli 1939 No.26, Stbl.1939 No.407 ) di perusahaan
swasta di luar perusahaan Kereta Api dan Trem, yang mengatur sebagai berikut :
Jika Telah atau akan timbul perselisihan perburuhan yang kan menyangkut
kepentingan umum, maka diadakan penyelidikan dan diusahakan pendamaian
oleh seorang atau beberapa orang pegawai atau panitia yang ditunjukkan oleh
direktur Justisi. Dalam laporan hasil penyelidikan itu sedapat – dapatnya dimuat
anjuran – anjuran bagi pihak – pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
Perselisihan mereka menurut ketentuan tertentu.
4
B. Zaman Sesudah Kemerdekaan
Pada Zaman sesudah Kemerdekaan 17 Agustus 1945, negara kita
Indonesia telah beberapa kali membuat peraturan perundang –undangan yang
mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial ( Sengketa
Perburuhan ), hal mana juga telah dikemukakan oleh Prof.Iman Supomo, yaitu
sebagai berikut.
1. Instruksi Menteri Perburuhan Tanggal 20 Oktober 1950 No. P.B.U. 1022-
45/U 4091
Sesudah Negara Indoesia menjadi sebuah Negara yang merdeka, maka
pada Tahun 1950 lahirlah Instruksi Menteri Perburuhan tanggal 20 Oktober 1950
No.P.B.U. 1022-45/U 4091 tentang cara penyelesaian perselisihan perburuhan
secara aktif yang bersifat perantaraan ( Mediation ) atau perdamaian (
Conciliation ) dan jika dikehendaki oleh pihak – pihak yang berselisih,
mengadakan pemisahan ( arbitrase,arbitration ).
2. Peraturan Kekuasaan Militer Tanggal 13 Februari 1951 No.1
Dengan adanya pemogokan yang terus – menerus,keamanan dan
ketertiban sangat terganggu. Karena itu dan supaya ada pimpinan sentral, oleh
kekuasaan militer pusat dengan
persetujuan Dewan Menteri, ditetapkan Peraturan Penyelesaian Pertikaian
Perburuhan ( Peraturan Kekuasaan Militer tanggal 13 Februari 1951 No.1 ).
Peraturan ini dengan mengadakan larangan mogok di perusahaan jawatan
dan Badan yang vital, menetapkan aturan supaya pertikaian antara buruh dan
pengusaha perusahaan, jawatan dan badan lainnya dapat diselesaikan sedemikian
rupa,sehingga keamanan dan ketertiban tidak terganggu.
Perselisihan di perusahaan vital, yang ditunjuk dengan keputusan
kekuasaan militer pusat tanggal 13 Februari 1951 No.1, diputuskan secara
mengikat oleh Panitia Penyelesaian Pertikaian Perburuhan yang terdiri atas
menteri perburuhan sebagai ketua dan sebagai anggota Menteri perhubungan,
5
Menteri Perdagangan dan Perindustrian, Menteri Keuangan dan Menteri
Pekerjaan Umum.
Perselisihan di perusahaan yang tidak vital, diselesaikan secara
mendamaikan
( Conciliator ) oleh instansi Penyelesaian pertikaian perburuhan didaerah yang
terdiri atas wakil Kementerian Perburuhan sebagai ketua dan sebagai anggota
wakil kementeri dalam negeri, Wakil Kementerian Keuangan, Wakil Kementerian
Pekerjaan Umum dan wakil Kementerian Perhubungan. Jika usaha instansi ini
tidak berhasil, persoalannya harus diajukan kepada panitia penyelesaian pertikaian
perburuhan yang memberi anjuran terakhir.
3. Undang – undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tanggal 17 September
1951.
Pada tahun 1951 itu juga, sebagai pengganti Peraturan Kekuasaan Militer
Pusat tentang penyelesaian pertikaian perburuhan ditetapkan Undang – Undang
Darurat tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan ( Undang – Undang
Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tanggal 17 September 1951 ), yang menurut
penjelasannya “meskipun belum sempurna,tetapi sesudah merupakan perbaikan
yang banyak, jika dibandingkan dengan peraturan kekuasaan militer itu”.
Menurut undang – undang darurat ini perselisihan perburuhan adalah
pertentangan antara majikan atau perserikatan majikan dengan perserikatan buruh
atau sejumlah buruh berhubungan dengan tidak adanya persesuaian paham
mengenai hubungan kerja dan/atau keadaan perburuhan. Pertentangan
berhubungan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja
atau perjanjian perburuhan, dengan perkataan lain adalah perselisihan hak, yang
menurut Reglement op de Rechterlijke organisatie en het beleid der justitie jo.
Undang – Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara
untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pengadilan
sipil,masuk wewenang Pengadilan Negeri.
Oleh karena itu, pertentangan soal perjanjian kerja dan perjanjian
perburuhan, majikan atau serikat buruh dapat memajukannya pula kepada
6
Pengadilan Negeri, di samping perkaranya diurus panitia yang diadakan oleh
Undang – Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tersebut. Buruh perseorangan
sebaliknya hanya dapat mengajukan perkara mengenai soal perjanjian kerja dan
perjanjian perburuhan itu kepada pengadilan negeri,tidak dapat diajukan kepada
panitia penyelesaian perselisihan perburuhan.
Keistimewaan dari Undang – Undang darurat ini ialah bahwa jika majikan
dan serikat buruh tidak mengadakan pemisahan secara sukarela,yaitu
menyerahkan perkaranya kepada seorang juru pemisah atau sebuah dewan
pemisah untuk diselesaikan ( Voluntary arbitration ) perselisihannya akan
diselesaikan oleh instansi tersebut dalam undang – undang darurat itu (
Compulsory arbitration ). Demikian itu bila pihak – pihak yang berselisih atau
salah satu dari mereka itu memberitahukannya kepada pegawai perantara.
Keharusan untuk memberitahukan itu, tidak ada sanksinya. Keistimewaan lainnya
ialah bahwa tidak tunduk kepada putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat yang sifatnya mengikat, diancam dengan pidana kurungan
selama – lamanya tiga bulan atau denda sebanyak – banyaknya sepuluh ribu
rupiah ( Pasl 18 angka 3 )
Undang – Undang darurat tersebut acapkali mendapat kecaman dari pihak
serikat buruh karena dipandangnya sebagai peraturan pengekangan hak mogok,
karena :
a. Pihak yang hendak melakukan tindakan terhadap pihak lainnya, harus
memberitahukan maksudnya itu dengan surat kepada Panitia daerah.
Tindakan itu baru boleh dilakukan secepat – cepatnya tiga minggu sesudah
pemberitahuan itu diterima oleh Panitia Daerah. Pelanggaran atas
ketentuan ini diancam dengan Pidana.
b. Putusan Panitia Pusat yang sifatnya mengikat,harus ditaati. Pelanggaran
atas ketentuan ini juga diancam dengan pidana.
Rangkaian kedua ketentuan ini tidak memungkinkan serikat buruh untuk
menekankan atau memaksakan kehendaknya kepada pihak majikan dengan jalan
mengadakan pemogokan tanpa ancaman pidana.
7
Kecaman – kecaman itulah yang terutama mendorong dicabutnya Undang –
Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 dan digantinya dengan Undang – Undang
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan ( Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1957 tanggal 8 April 1957 LN 1957 No.42 ).
4. Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang – Undang Nomor
12 Tahun 1964
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan itu mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 1958. Yang sangat penting
dalam undang – undang ini ialah perubahan susunan panitia penyelesaian yang
dipusat tidak lagi terdiri atas materi – materi dan di daerah tidak lagi terdiri atas
semata – mata pegawai – pegawai wakil kementerian, tetapi sekarang terdiri atas :
a. Lima orang wakil Kementerian, yaitu seorang Wakil Kementerian
perburuhan sebagai ketua, wakil – wakil darI kementerian Perindustrian,
Kementerian Keuangan , Kementerian Pertanian dan Kementerian
Perhubungan atau Kementerian Pelayaran.
b. Lima Orang dari kalangan Buruh.
c. Lima Orang dari kalangan majikan.
Dengan adanya badan tripartit ini diharapkan bahwa dalam penyelesaian
perselisihan perburuhan akan lebih dapat dipertimbangkan dan diperimbangkan
kepentingan buruh, kepentingan majikan dan kepentingan umum sebagai
kepentingan bersama, terutama bila perselisihan itu mengenai syarat kerja
dan/atau keadaan perburuhan ( perselisihan kepentingan.
C. Zaman Reformasi ( Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004 )
Setelah kurang lebih 46 Tahun lamanya Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1957 dan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1964 berlaku, baru pada
tahun 2004 ( zaman reformasi ) diganti Undang – Undang Nomor 2 Tahum 2004
8
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang efektif mulai berlaku
pada tahun 2006 dengan adanya Perpu No.1 Tahun 2005 ( untuk selanjutnya
disingkat UUPPHI ).
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
I. UMUM
Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat,
bahkan perselisihan antara kedua belah pihak.
Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat
terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan
ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan.
Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan
hubungan kerja. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang selama ini
diatur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah
serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan kerja. Hal ini disebabkan
karena hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang
didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu
hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat
dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap
mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan
keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk
penyelesaian, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam
Undang-undang ini akan dapat menyelesaikan kasus-kasus pemutusan hubungan
kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak.
9
Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi dalam dunia industri
yang diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/buruh,
maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan tidak dapat dibatasi.
Persaingan diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan ini dapat
mengakibatkan perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh yang pada
umumnya berkaitan dengan masalah keanggotaan dan keterwakilan di dalam
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan
penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai
dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial dirasa tidak dapat lagi
mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadi, karena hak-hak
pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam
perselisihan hubungan industrial.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai
dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya mengatur
penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif,
sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh secara
perseorangan belum terakomodasi.
Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan
Panitia PenyelesaianPerselisihan Perburuhan Pusat (P4P) sebagai objek sengketa
Tata Usaha Negara, sebagaimana diaturdalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan adanya ketentuan ini, maka
jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak pekerja/buruh maupun oleh pengusaha
untuk mencari keadilan menjadi semakin panjang.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para
pihak yang berselisih sehingga 34 / 53 dapat diperoleh hasil yang menguntungkan
kedua belah pihak. Penyelesaian bipartit ini dilakukan melalui musyawarah
mufakat oleh para pihak tanpa dicampuri oleh pihak manapun.
Namun demikian, pemerintah dalam upayanya untuk memberikan
pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan
10
pengusaha, berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan
industrial tersebut. Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga
mediator yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak
yang berselisih.
Dengan adanya era demokratisasi di segala bidang, maka perlu
diakomodasi keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial melalui konsiliasi atau arbitrase.
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di
dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena
itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam undang-undang ini merupakan
pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial.
UUPPHI ini terbentuk di antaranya disebabkan oleh :
1. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang selama ini diatur
didalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif lagi untuk
mencegah serta menanggulangi kasus – kasus pemutusan hubungan kerja.
2. Sejalan dengan Era keterbukaan dan demokratisasi dalam dunia industri
yang diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi
pekerja/buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh di satu
perusahaan tidak dapat dibatasi.
3. Undang Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian Perselisihan
Perburuhan selama ini digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian
hubungan industrial dirsa tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan
– perkembangan yang terjado, karena hak – hak pekerja/buruh
perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan
hubungan industrial.
4. Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan yang selama ini digunakan sebagai dasar hukum
penyelesaian hubungan industrial hanya mengatur penyelesaian
perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif, sedangkan
11
penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh secara
perseorangan belum terakomodasi.
5. Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat ( P4P ) sebagai objek
sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan
adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak
pekerja/buruh maupun oleh pengusaha untuk mencari keadilan menjadi
semakin panjang.
UUPPHI mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
disebabkan oleh :
a. Perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan
yang belum diatur dalam perjanjian kerja,peraturan perusahaan,perjanjian
kerja bersama, atau peraturan perundang – undangan.
b. Kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam
melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang
– undangan.
c. Pengakhiran Hubungan Kerja.
d. Perbedaan pendapat antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.
Dengan cakupan materi perselisihan hubungan industrial sebagaimana
dimaksud diatas, maka UUPPHI memuat pokok – pokok sebagai berikut.
Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi
baik di perusahaan swasta maupun perusahaan dilingkungan Badan Usaha
Milik Negara.
Pihak yang berpekara adalah pekerja/ buruh secara perseorangan maupun
organisasi serikat pekerja/ serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi
pengusaha. Pihak yang berpekara dapat juga terjadi antara serikat
12
pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam
perusahaan.
Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih ( bipartit )
Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih ( bipartit ) gagal,
maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat.
Perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hungan kerja atau
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat
diselesaikan melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak,
sedangkan penyelesaian melalui arbitrase atas kesepakatan kedua belah
pihak hanya perselisihan kepentingan dan perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh. Apabila tidak ada kesepakatan kedua belah pihak
untuk menyelesaikan perselisihannya melalui konsiliasi atau arbitrase,
maka sebelum diajukan ke pengadilan hubungan industrial terlebih dahulu
melalui mediasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya
perkara perselisihan hubungan industrial di pengadilan.
Perselisihan hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan tidak dapt diselesaikan melalui konsiliasi atau
arbitrase namun sebelum diajukan ke pengadilan hubungan industrial
terlebih dahulu melalui mediasi.
Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang
dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase dilakukan
berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke
pengadilan hubungan industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan
tetap, kecuali dalam hal – hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke
Mahkamah Agung.
13
Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum
dan dibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah
Agung.
Untuk menjamin penyelesaian yang cepat tepat, adil dan murah,
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan
Hubungan Industrial yang berada pada lingkungan peradilan umum
dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk
mengajukan upaya banding ke pengadilan tinggi. Putusan pengadilan
hubungan industrial pada pengadilan negeri yang menyangkut perselisihan
hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung
dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Sedangkan putusan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut
perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan
terakhri yang tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili
perselisihan Hubungan industrial dilaksanakan oleh majelis Hakim yang
beranggotakan 3 (tiga ) orang, yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri
dan 2 orang harim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh
organisasi pengusaha dan organisasi buruh.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi
kepada mahkamah agung.
Untuk menegakkan hukum ditetapkan sanksi, sehingga dapat merupakan
alat paksa yang lebih kuat agar ketentuan undang – undang ini ditaati.
Namun demikian, UUPPHI ini bukan berarti tanpa kelemahan- kelamahan
tersebut antara lain adalah ternyata UUPPHI belum mengatur secara
menyeluruh/tuntas tentang hukum acara/tata cara berpekara pada pengadilan
hubungan industrial. Hukum acara pada pengadilan hubungan industrial masih
tetap menggunakan hukum acara yang berlaku pada peradilan umum. Hal ini akan
14
menimbulkan masalah tersendiri, karena hampir semua pekerja dapat dikata tidak
menegerti tentang tata cara bersidang di pengadilan.
Untuk itu perlu dipikirkan kembali untuk membuat hukum acara peradilan
hubungan industrial yang benar – benar diperuntukkan bagi masalah
ketenagakerjaan, yang benar – benar mudah untuk dapat digunakan khususnya
bagi kalangan pekerja buruh.
Contoh Kasus Perselisihan Buruh dengan Manajemen Perusahaan
Ratusan buruh PT Megariamas Sentosa yang berlokasi di Jl Jembatan III
Ruko 36 Q, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, datang sekitar pukul 12.00 WIB.
Sebelum ditemui Kasudin Nakertrans Jakarta Utara, mereka menggelar orasi yang
diwarnai aneka macam poster yang mengecam usaha perusahaan menahan THR
mereka. Padahal THR merupakan kewajiban perusahaan sesuai dengan ketentuan
yang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1994 tentang
THR.
Sekitar 500 buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Garmen Tekstil
dan Sepatu-Gabungan Serikat Buruh Independen (SBGTS-GSBI) PT Megariamas
Sentosa, Selasa siang „menyerbu‟ Kantor Sudin Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Nakertrans) Jakarta Utara di Jl Plumpang Raya, Kelurahan Semper Timur,
Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Mereka menuntut pemerintah mengambil
tindakan tegas terhadap perusahaan yang mempekerjakan mereka karena mangkir
memberikan tunjangan hari raya (THR).
Demonstrasi ke Kantor Nakertrans bukan yang pertama, sebelumnya
ratusan buruh ini juga mengadukan nasibnya karena perusahan bertindak
sewenang-wenang pada karyawan. Bahkan ada beberapa buruh yang
diberhentikan pihak perusahaan karena dinilai terlalu vokal. Akibatnya, kasus
konflik antar buruh dan manajemen dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan
Industrial. Karena itu, pihak manajemen mengancam tidak akan memberikan
THR kepada pekerjanya. Dalam demo tersebut para buruh menuntut perusahaan
untuk mendapatkan THR sesuai dengan peraturan yang berlaku. Para demonstras
15
mengatakan “ jangan dikarenakan ada konflik internal kami tidak mendapatkan
THR, karena setahu mereka perusahaan garmen tersebut tidak merugi, bahkan
sebaliknya”. Sekedar diketahui ratusan buruh perusahaan garmen dengan
memproduksi pakaian dalam merek Sorella, Pieree Cardine, Felahcy, dan Young
Heart untuk ekspor itu telah berdiri sejak 1989 ini mempekerjakan sekitar 800
orang yang banyak diantaranya di dominasi oleh kaum perempuan sebagai tenaga
kerja nya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ugo. Pujiyo. 2011. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. Jakarta: Sinar Grafika