sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

40
Pengantar Studi Hadits BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hadis telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Sesungguhnya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau, terutama yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah. Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tanggal, teman) maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud secara kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Nabi memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hak itu untuk lebih mendalami ajaran Islam. Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat. Sahabat yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah, sedangkan sahabat Nabi Page | 1

Upload: musyfiah-musyfiah

Post on 22-Nov-2014

15.581 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hadis telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak

dapat diragukan lagi. Sesungguhnya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum

muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh

beliau, terutama yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka

menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan

pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali

perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul

Allah.

Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya

dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah

tanggal, teman) maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Beliau

sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud secara

kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Nabi

memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media, dan para sahabat juga

memanfaatkan hak itu untuk lebih mendalami ajaran Islam.

Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang

dicatat. Sahabat yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah, sedangkan

sahabat Nabi yang membuat catatan hadis diantaranya ; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib,

Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas.

Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis

disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : Pertama, Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-

Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh

orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka.

Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang

berpengetahuan. Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh

pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabi sendiri.

Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada

mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih

Page | 1

Page 2: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah

mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan :

Bagaimana sejarah hadis pra kodifikasi ketika periode Rasulullah SAW?

Bagaimana sejarah hadis pra kodifikasi ketika periode sahabat dan tabi’in?

Bagaimana terjadinya pembukuan hadis abad II, III, IV H?

Bagaimana terjadinya pembukuan hadis abad V H hingga sekarang?

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah, sebagai berikut :

Mengetahui sejarah hadis (pertumbuhan dan perkembangannya) pra kodifikasi periode

Rasulullah SAW

Mengetahui sejarah hadis (pertumbuhan dan perkembangannya) pra kodifikasi periode

sahabat dan tabi’in

Mengetahui sejarah hadis (pertumbuhan dan perkembangannya) kodifikasi

pembukuan hadis abad II, III, IV H

Mengetahui sejarah hadis (pertumbuhan dan perkembangannya) kodifikasi

pembukuan hadis abad V H hingga sekarang

Page | 2

Page 3: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pra Kodifikasi

Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis bertujuan unuk mengangkat

fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW kemudian secara periodik pada

masa masa sahabat dan tabi’in serta masa masa berikutnya .

Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat

menggambarkan sikap dan tindakan umat Islam. Khususnya para ulama ahli hadis terhadap

hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap tiap periodenya hingga

terwujudnya kitab kitab hasil tadwin secara sempurna. Karena perjalanan hadis pada tiap tiap

periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang tidak sama,maka dalam

pengungkapan sejarah perjalanannya perlu dikemukakan ciri ciri khusus.

Di antara para ulama terdapat perbedaan dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan

perkembangan hadis ini. Ada yang membaginya dalam tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah

SAW, sahabat dan tabi’in , masa pen-tadwin-an dan masa setelah tadwin. Namun, ada yang

membaginya dalam periodesasi lain atau yang lebih terperinci, yaitu lima hingga tujuh periode

dengan spesifikasi yang lebih jelas.

2.1.1 Periode Rasulullah SAW

Yang perlu diuraikan secara khusus pada bahasan ini ialah masa Rasulullah SAW, masa

sahabat masa tabi’in , masa pen-tadwin-an atau pembukuan dan masa seleksi atau penyaringan

hadis serta masa sesudahnya.

Apabila membicarakan hadis pada masa Rasulullah SAW berarti membicarakan hadis pada

awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan berkaitan langsung dengan pribadi

Rasulullah SAW sebagai narasumber hadis. Rasulullah SAW telah membina umatnya selama

23tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus di-wurud-kannya hadis.

Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati hatian para sahabat sebagai ahli waris

pertama ajaran Islam.

Wahyu yang diturunkannya Allah SWT kepada Rasulullah SAW dijelaskannya melalui

perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan taqrir nya, sehingga apa yang didengar, dilihat dan

Page | 3

Page 4: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

disaksikan oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman bagi amaliah dan ubudiyah mereka. Pada

masa ini Rasulullah SAW merupakan contoh satu satunya bagi para sahabat,karena ia memiliki

sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku utusan Allah SWT yang berbeda dengan manusia

lainnya.

CARA RASUL MENYAMPAIKAN HADIS

Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya yaitu

umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah SAW sebagai sumber

hadis. Pada masa ini tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit

pertemuan mereka.

Tempat tempat pertemuan kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam berbagai

kesempatan,misalnya masjid, rumah beliau sendiri, pasar, ketika beliau dalam perjalanan

(safar), dan ketika beliau muqim (berada di rumah). Melalui tempat tempat tersebut,

Rasulullah SAW menyampaikan hadis, melalui sabdanya yang didengar langsung oleh para

sahabat (melalui musyafahah) dan terkadang melalui perbuatan serta taqrir-nya yang

disaksikan oleh mereka (melalui musyafahah).

Dalam riwayat bukhari, disebutkan Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW

menyampaikan hadisnya denan berbagai cara, sehingga para sahabat ingin mengikuti

pengajiannya dan tidak mengalami kejenuhan.

Ada beberapa cara yang digunakan Rasulullah SAW dalam menyampaikan hadis kepada

para sahabat, yaitu:

Pertama, melalui para jamaah yang berada di pusat pembinaan atau majlis al ilmi. Melalui

majlis ini, para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka

berusaha untuk selalu mengonsentrasikan dirinya guna mengikuti kegiatan tersebut . para

sahabat begitu antusias untuk tetap bisa mengikuti kegiatan di majlis ini.terkadang diantara

mereka bergantian hadir, seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab yang bergantian hadir

dengan Ibnu Zaid dari Bani Umayah untuk menghadiri majlis ini. Ia berkata, “Kalau hari ini

aku yang pergi, pada hari lainnya ia yang pergi. Terkadang kepala kepala suku yang jauh dari

Madinah mengirim utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku

mereka sekembalinya dari sini.”

Kedua, dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW juga menyampaikan hadisnya melalui

para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikan kepada orang lain. Hal ini terjadi

ketika beliau mewurudkan hadis, hanya beberapa sahabat yang hadir, baik karena disengaja

oleh Rasulullah SAW atau memang kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang

saja, bahkan hanya satu orang,seperti hadis hadis yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Al

As. Untuk hal hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan

Page | 4

Page 5: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

biologis (terutama menyangkut hubungan suami istri), beliau menyampaikannya melalui istri

istrinya. Begitu juga dengan para sahabat, jika mereka segan bertanya kepada Rasulullah

SAW, dalam hal hal yang berkaitan dengan soal di atas , mereka seringkali bertanya kepada

istri istri beliau.

Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasulullah SAW adalah melalui ceramah dan pidato

ditempat terbuka seperti ketika haji wada’ dan Futuh Mekah.

PERBEDAAN PARA SAHABAT DALAM MENGUASAI HADIS

Para sahabat tidak memiliki kadar perolehan dan penguasaan hadis yang sama antara satu

dan lain. Hal ini bergantung pada beberapa hal berikut ini :

1) Perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW

2) Perbedaan dalam soal kesanggupan untuk selalu bersama Rasulullah SAW

3) Perbedaan mereka dalam soal kekuatan hafalan dan kesungguhan bertanya kepada

sahabat lain

4) Perbedaan mereka dalam waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal mereka dari

Majlis Rasulullah SAW

Ada beberapa sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasulullah SAW dengan beberapa

penyebab. Mereka adalah antara lain :

1) Para sahabat yang tergolong kelompok As Sabiqun Al Awwalun (yang mula mula masuk

Islam), seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan

Ibnu Mas’ud. Mereka banyak menerima hadis dari Rasulullah SAW karena lebih awal

masuk Islam dari sahabat sahabat lainnya.

2) Ummahat Al Mu’minin (istri istri Rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu

Salamah. Mereka lebih dekat dengan Rasulullah SAW dari pada sahabat lain. Hadis

hadis yang diterimanya,seperti telah dikatakan, banyak yang berkaitan dengan soal soal

keluarga dan pergaulan suami istri.

3) Para sahabat yang selalu dekat dengan Rasulullah SAW dan juga menuliskan hadis

hadis yang diterimanya, seperti Abdullah bin Al As.

4) Sahabat yang tidak lama Rasulullah SAW tetapi banyak bertanya kepada para sahabat

lain dengan sungguh sungguh, seperti Abu Hurairah.

5) Para sahabat yang secara sungguh sungguh mengikuti majlis Rasulullah SAW dan

banyak bertanya kepada sahabat lain dan dari sudut usia, mereka hidup lebih lama dari

wafatnya Rasulullah SAW seperti Abdullah bin Amr, Anas bi Malik dan Abdullah bin

Abbas.

Page | 5

Page 6: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

MENGHAFAL DAN MENULIS HADIS

a. Menghafal Hadis

Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al-Quran dan hadis

sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasulullah SAW menggunakan jalan yang berbeda.

Terhadap Al-Quran beliau menginstruksikan kepada sahabatnya supaya menulis dan

menghafalnya. Sedangkan terhadap hadis, beliau menyuruh mereka menghafal dan

melarang menulisnya secara resmi. Dalam hal ini beliau bersabda :

“Apa saja yang kalian tulis apa saja dariku selain Al-Quran, hendaklah dihapus.

Ceritakan saja yang diterima dariku. Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan

sengaja, hendaknya mereka menempati tempat duduk di neraka.” (HR. Muslim dan

Abu Said Al Khuzri)

Maka para sahabat berusaha menghafal hadis yang diterima dari Rasulullah SAW

dengan sungguh sungguh. Mereka sangat takut dengan ancaman Rasulullah SAW

sehingga berusaha agar tidak melakukan kekeliruan terhadap yang diterimanya.

Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam

kegiatan menghafal hadis ini, yaitu :

1) Kegiatan menghafal merupaka budaya bangsa Arab yang telah diwarisi sejak

masa pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya.

2) Rasulullah SAW telah banyak memberikan spirit melalui doa doanya.

3) Seringkali beliau menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafal

hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.

b. Menulis Hadis

Sekalipun ada larangan Rasulullah SAW untuk menulis hadis seperti disebutkan

dalam hadis Abu Said Al Khuzri di atas, ternyata ada sejumlah sahabat yang memiliki

catatan catatan hadis. Di antara mereka adalah:

1) Abdullah bin Amr bin Al As. Ia memilii catan hadis yang menurut pengakuannya

dibenarkan Rasulullah SAW sehingga dinamakan As Sahihah As Sadiqah .

Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa orang orang Quraisy mengeritik sikap

Abdullah bin Amr yang selalu menulis apa apa yang datang dari Rasulullah SAW.

Mereka berkata : “Engkau menuliskan apa saja yang dating dari Rasulullah SAW,

padahal Rasulullah SAW itu manusia yang bisa saja bicara dalam keadaan

marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Rasulullah SAW , maka Rasulullah

SAW bersabda:

حق اال منه خرج ما بيده نفسى اللذى فو    اكتب

Page | 6

Page 7: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

“ Tulislah! Demi Dzat yang diriku berada ditanganNya tidak ada yang keluar

darinya, kecuali benar.” ( HR. Bukhari)

Hadis hadis yang terhimpun dalam catatannya berkisar sekitar seribu hadis yang

menurut pengakuannya diterima langsung dari Rasulullah SAW yaitu ketika ia berada di

sisi beliau SAW tanpa orang lain yang menemaninya.

2) Jabir bin Abdillah bin Amr Al Anshari (w 78H). Ia memiliki catatan hadis dari

Rasulullah SAW tentang manasik haji. Hadis hadisnya kemudian diriwayatkan

oleh Muslim. Catatan ini dikenal dengan Sahifah Jabir.

3) Abu Hurairah Ad Dausi (w 58H). Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan

As Sahifah As Sahihah. Hasil karyanya ini diwariskan kepada putranya yang

bernama Hamman.

4) Abu Syah ( Umar bin Saad Al Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta

kepada Rasulullah SAW agar dicatatkan hadis yang disampaikan beliau ketika

pidato pada peristiwa Futuh Mekah (penaklukan kota Mekah) sehubungan dengan

terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh Bani Khuza’ah terhadap salah

seorang penduduk Bani Lais. Rasulullah SAW kemudian bersabda :

( داود وابو البخارى شاة (رواه بى أل  اكتبوا

“Kalian tuliskan untuk Abu Syah.”

Di samping nama nama diatas, masih banyak lagi nama sahabat lainnya yang memiliki

catatan hadis dan dibenarkan Rasulullah SAW seperti Rafi’ bin Khadij, Amr bin Hazm,

Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud.

      Diantara Hadits yang melarang penulisan sunah, seperti periwayatan Abi Sa’id Al-

Khudri ra. Bahwa Rasulullah Saw bersabda:

فليمحه القران غير كتبعنى عنىومن تكتبوا مسلم    ال رواه

Artinya: “Janganlah engkau tulis dari padaku, barang siapa menulis dari padaku

selain Al-Qur’an, maka hapuslah.” (HR Muslim)

c. Para Ulama Men-taufiq-kan Dua Kelompok Hadis yang Kelihatannya Kontradiksi

Ketika melihat adanya kontradiksi pada dua buah hadis seperti pada hadis Abu Said

Al-Huzni dan hadis dari Abdullah bin Amr bin Al As yang masing masing didukung oleh

hadis hadis lainnya, para ulama terdorong untuk menemukan penyelesaiannnya. Di antara

mereka, ada yang mencoba dengan menggugurkan salah satunya, seperti dengan jalan

Page | 7

Page 8: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

nasikh dan mansukh dan ada yang berusaha mentaufiqkan atau mengompromikannya

sehingga keduanya tetap digunakan (ma’mul).

Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, larangan Rasulullah SAW untuk menuliskan hadis

adalah khusu ketika Al-Quran turun. Ini karena adanya kekhawatiran tercampurnya ayat

Al-Quran dan hadis . larangan ini dimaksudkan juga untuk tidak menuliskan Al-Quran dan

hadis dalam satu suhuf. Ini artinya bahwa ketika Al-Quran tidak turun dan tidak dituliskan

pada satu suhuf , maka dibolehkan untuk mencatat wahyu. An Nawawi dan As Suyuti

memandang bahwa larangan tersebut dimaksudkan bagi orang yang kuat hafalannya,

sehingga tidak adakekhawatiran terjadinya kekeliruan. Akan tetapi, bagi orang yang

khawatir lupa atau kurang kuat hafalannya, dibolehkan mencatatkannya.

2.1.2 Periode Sahabat dan Tabi’in

Pro dan kontra tentang penulisan sunah masih terasa pada masa sahabat (Al-Khulafa

Al-Rasyidun), karena keinginan mereka untuk menyelamatkan Al-Qur’an dan sunah.

Diantara mereka ada yang benci menulis sunah, karena Al-Qur’an belum

dikodifikasikan dan dikhawatirkan perhatian mereka tersita atau berpaling dari Al-

Qur’an. Seperti periwayatan:

“Urwah Ibn Al-Zubayr, bahwa Umar Ibn Al-Khathab bersama para sahabat setelah

bermusyawarah dan disepakati beliau istikharah kepada Allah selama satu bulan,

kemudian berkata: sesungguhnya aku ingin menulis sunah dan aku telah menyebutkan

suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk

dengannya dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan

mencampurkan kitab Allah dengan sesuatu selamanya.”

Pada masa Abu Bakar dan Umar disebut masa pembatasan/penyederhanaan

periwayatan (taqlil al-riwayah), penyampaian periwayatan dilakukan dengan lisan dan

hanya jika benar-benar diperlukan saja yaitu jika umat Islam menghadapi suatu masalah

saja yang memerlukan penjelasan hukum. Kedua khalifah diatas menerima hadits orang

perorangan jika disertai dengan saksi yang menguatkan. Bahkan Ali menerimanya jika

juga disertai dengan sumpah.

Demikian juga para sahabat lain yang semula melarang menulis sunah akhirnya

memperbolehkannya bahkan menganjurkannya setelah tidak ada kekhawatiran

pemeliharaan Al-Qur’an seperti Abdullah Bin Mas’ud, Ali Bin Abi Thalib, Hasan Bin

Ali, Muawiyah, Abdullah Bin Abbas, Abdullah Bin Umar, Anas Bin Malik, dan lain-

lain.

Page | 8

Page 9: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

Isu yang ditebarkan para pengingkar sunah bahwa Umar Ibn Al-Khathab pernah

memenjara sebagian sahabat yang meriwayatkan hadits diantaranya Ibn Mas’ud, Abu

Al-Darda, dan Abu Dzarr. Menurut Mustafa Al-A’zhami setelah mengadakan penelitian

diberbagai buku yang dapat dijadikan pedoman (mu’tabar) tidak terbukti, karena tidak

ada periwayatan yang menyatakan hal tersebut. Jika terdapat periwayatan sebagaimana

isu diatas berarti jelas kepalsuannya. Ibn Mas’ud tergolong sahabat senior dan

pendahulu Islam yang dihormati Umar, ia diutus ke Irak untuk mengajarkan agama dan

hukum-hukum Islam. Sedangkan Abu Al-Darda dan Abu Dzarr tidak tergolong sahabat

yang banyak meriwayatkan hadits, mereka juga pengajar penduduk syam sebagaimana

Ibn Mas’ud menjadi guru di Irak. Ibn Hazm juga menjelaskan bahwa riwayat Umar

memenjarakan tiga orang sahabat diatas adalah dusta, tidak benar.

Hukum penetapan penulisan hadits terjadi secara berangsur-angsur (Al-Tadarruj).

Pada saat wahyu turun, umat Islam menghabiskan waktunya untuk menghapal dan

menulis Al-Qur’an. Sunah hanya disimpan dalam dada mereka, disampaikan dari lisan

ke lisan dan dipraktekkan dalam kehidupan mereka sesuai dengan apa yang mereka lihat

dan apa yang mereka dengar dari panutan yang mulia yaitu Nabi Saw. Kemudian setelah

Al-Qur’an terpelihara dengan baik, mereka telah mampu membedakannya dengan

catatan sunah, dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan Al-Qur’an, para ulama sepakat

bolehnya penulisan dan pengkodifikasian sunnah.

Pada masa Ali ra, timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat konflik politik

antara pendukung ‘Ali dan Mu’awiyah. Umat Islam terpecah menjadi tiga golongan:

Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian dua kelimpok

yang bertikai.

Syi’ah sangat fanatik dan mengkultuskan ‘Ali

Jumhur umat Islam yang tidak termasuk golongan pertama dan kedua diatas. Diantara

mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali,ada yang mendukung pemerintahan

Mu’awiyah, dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah

konflik.

Akibat perpecahan ini mereka tidak segan-segan membuat Hadis palsu (mawdhu’)

untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan atau partai-partai

diatas untuk mencari dukungan dari umat Islam. Pada masa inilah awal terjadinya Hadis

mawdhu’ dalam sejarah yang merupakan dampak konflik politik secara internal yang

kemudian diboncengi faktor-faktor lain dalam perkembangan berikutnya yang nanti

akan dibahas pada bab Hadis mawdhu’. Ulama di kalangan sahabat tidak tinggal diam

dalam menghadapi pemalsuan hadis ini. Mereka berusaha menjaga kemurnian Hadis

Page | 9

Page 10: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

dengan serius dan sungguh-sungguh, diantaranya mengadakan perlawatan ke berbagai

daerah Islam untuk mengecek kebenaran Hadis yang telah sampai kepada mereka baik

dari segi matan ataupun sanad. Hasil perlawatan itu disampaikan kepada umat Islam

secara transparan.

Masa 41 akhir abad 1 H. Masa ini awal berkembangnya periwayatan dan perlawatan

ke kota-kota besar untuk mencari hadits dari para sahabat dan tabi’in senior yang telah

pindah ke kota-kota lain atau daerah-daerah lain setelah masa perluasan ekspansi

wilayah Islam. Masa ini disebut masa rihlah ilmiyah. Setelah ekspansi Islam semakin

luas, yakni sejak masa Utsman, Ali, dan sampai akhir abad pertama hijriah, para sahabat

senior banyak yang hidup di berbagai negeri yang terpisah untuk mengajarkan Al-

Qur’an dan hadis di berbagai wilayah yang telah dikuasai Islam. Diantara daerah yang

telah dikuasai Islam adalah Syam dan Irak (17 H), Mesir (20 H), Persia (21 H),

Samarkand (56 H), dan Spanyol (93 H).

Para sahabat yunior banyak yang mengadakan perjalanan jauh (rihlah ilmiyah) untuk

menghimpun atau mengecek kebenaran hadis dari sesamanya atau dari sahabat yang

lebih senior. Misalnya yang dilakukan Jabir bin Abdullah yang pernah melakukan rihlah

ke Syam dalam waktu satu bulan dengan menjual seekor unta untuk ongkos perjalanan

hanya ingin mendapatkan satu hadits yang belum pernah ia dengar.

Dari Abdullah bin Unays tentang Hadis

بهما عزال عراة الناس البيحاقى    يخشر االطبرانى احمد البخارى رواه    

“ Manusia digiring pada hari kiamat telanjang tidak berpakaian, berwarna hitam”

(HR Bukhari, Ahmad, at-Thabrani, al-bayhaqi)

Demikian juga Abu Ayyub al-Anshari yang tinggal di Madinah pergi ke Mesir untuk

menemui ‘Uqbah bin Amir al-Juhari untuk menanyakan sebuah hadis yang belum

pernah ia dengar, yaitu sabda Nabi:

القيامة يوم سترالله كربته على الدنيا فى مؤمنا ستر قى   من البيحا رواه

“ Barang siapa yang menutupi kesukaran-kesukaran orang mukmin di dunia, maka

Allah akan menutupinya pada hari kiamat” (HR Al-Bayhaqi)

Ada 6 orang diantara sahabat yang banyak meriwyatkan hadits ialah:

1.      Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadis dan ia mengambilnya lebih dari 300

orang diantara sahabat.

2.      Abdullah bin Umar bin Al-Khathab sebanyak 2.635 buah hadis

3.      Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadis

4.      ‘Aisyah Ummi Al-Mukminin sebanyak 2.210 buah hadis

Page | 10

Page 11: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

5.      Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis

6.      Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis

Para sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadis ada beberapa alasan,

diantaranya lebih dahulu bersahabat dengan Nabi seperti Abdullah bin Mas’ud, atau

karena banyak berkhidmah dengan beliau seperti Anas bin Malik, atau karena banyak

menyaksikan internal dalam rumah tangga beliau seoerti ‘Aisyah, dan atau karena

ketekunannya dalam hadis seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr, dan Abu

Hurairah.

Di antara kota-kota yang menjadi pusat kegiatan periwayatan hadis ialah sebagai

berikut:

1.      Madinah

Diantara tokoh hadis dari kalangan sahabat yang tinggal di Madinah adalah Abu

Bakar, Umar, Ali (sebelum pindah ke Kufah),Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar, Abu Said

Al-Khudri, dan Zaid bin Tsabit. Diantara tabi’in yang belajar kepada mereka adalah:

Sa’id, Urwah, Al-Zuhri, Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, Salim bin

Abdullah bin Umar, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, Nafi’, Abi Bakar bin

Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, dan Abu Al-Zinad.

2.      Makkah

Diantara tokoh hadis dari kalangan sahabat yang tinggal di Makkah adalah

Mu’adz bin Jabal dan Ibn Abbas. Sedangkan para Tabi’in yang belajar kepada mereka

adalah: Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Atha’ bin Abi Rabah, dan Abu Al-Zubair Muhammad bin

Muslim.

3.      Kufah

Diantara pemimpin besar hadits di Kufah adalah ‘Abdullah bin Mas’ud yang

belajar dari padanya antara lain Masruq,Ubaydah,Al-Aswad,Syuraih,Ibrahim,Said bin

Jubair, Amir bin Syurahil, dan Al-Sya’bi.

4.      Bashrah

Di antara tokoh hadis di kota ini dari kalangan sahabat adalah Anas bin Malik,

‘Utbah, ‘Imran bin Hushain, Abu Barzah, Ma’qil bin Yasar, Abu Bakrah, ‘Abdurrahman

bin Samurah, dan lain-lain. Sedangkan tabi’in yang belajar kepada mereka antara lain:

Abu al-Aliyah, Rafi’ bin Mihram, Al-Hasan al-Bishri, Muhammad bin Sirin, Abu

Sya’tsa, Jabir bin Zayd, Qatadah, Mutharraf bin Abdullah bin Syikhkhir, dan Abu

Burdah bin Abu Musa.

Page | 11

Page 12: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

5.      Syam

Di Antara sahabat yang mengembangkan hadits di Syam adalah Mu’adz bin

jabal, ‘Ubadah bin al-Shamit, dan Abu al-Darda. Sedang dikalangan tabi’in adalah Abu

idris al-Khawlani, Qabishah bin Dzua’ib, Makhul, dan Raja’ bin Haywah.

6.      Mesir

Di antara para sahabat di Mesir adalah Abdullah bin ‘Amr, ‘Uqbah bin ‘Amir

Kharijah bin Hudzaifah, Abdullah bin Sa’ad, Mahmiyah bin Juz, Abdullah bin Harits,

dan lain-lain kurang lebih ada 40 orang sahabat sedang di kalangan tabi’in antara lain

Abu al-Khayr Martsad al-Yazini dan Yazid bin Abi Habib.

2.2 Kodifikasi

Hadis merupakan sumber hukum utama sesudah Al-Quran. Keberadaan Hadis merupakan

realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul

adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah

yakni Al-Quran. Sedangkan Hadis, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari

ajaran Al-Quran itu sendiri.

Kendati demikian, keberadaan Hadis dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan

Al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah SAW.

maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan Al-Quran telah secara resmi

dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman

bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.

Yang dimaksud dengan kodifikasi hadis atau tadwin hadis pada periode ini adalah

kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan beberapa

sahabat yang ahli di bidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan

atau untuk kepentingan pribadi, sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.

Usaha ini di mulai ketika pemerintahan Islam di pimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul

Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan bani Umayah), melalui instruksinya kepada

pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Ia

menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn Amar ibn Hazm (Gubernur

Madinah), seperti dibawah ini:

“Perhatikan atau periksalah hadis hadis Rasulullah SAW kemudian tuliskanlah! Aku

khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama (para ahlinya). Dan

janganlah kamu terima , kecuali hadis Rasulullah SAW… “

Sementara itu, perhatian terhadap Hadis tidaklah demikian. Upaya kodifikasi Hadis secara

resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz khalifah Bani Umayyah

yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah SAW.

Page | 12

Page 13: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

Kodifikasi Hadis Secara Resmi

Kodifikasi hadis secara resmi dipelopori Khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah

kedelapan pada masa Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 H. Dia menginstruksikan

kepada para Gubernur di semua wilayah Islam untuk menghimpun dan menulis hadis-hadis

Nabi. Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Hazm agar mengumpulkan hadis

hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman Al Anshari (murid kepercayaan Siti Aisyah)

dan Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar. Instruksi yang sama ia juga berikan kepada

Muhammad bin Syihab Az Zuhri yang dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak

mengetahui hadis daripada yang lainnya.

Semboyan al-Zuhri yang terkenal al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a

maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah

siapa saja tentang apa saja).

Menurut para ulama, hadis hadis yang dihimpun oleh Abu Bakar ibn Hazm masih kurang

lengkap, sedangkana hadis hadis yang dihimpun ibn Syihab Az Zuhri lebih lengkap, akan

tetapi, sayang sekali karena karya kedua tabiin ini lenyap sehinggga tidak sampai kepada

generasi sekarang.

Motif Umar bin Abdul Aziz

1.       Kekhawatiran akan hilang Hadis dari perbendaharaan masyarakat, sebab belum

dibukukan.

2.       Untuk membersihkan dan memelihara Hadis dari Hadis-hadis maudhu' (palsu) yang

dibuat orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongan dan mazhab.

3.       Tidak adanya kekhawatiran lagi akan tercampurnya Al-Qur’an dan hadis,  keduanya

sudah bisa dibedakan. Al-Qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata

diseluruh umat Islam.

4.       Ada kekhawatiran akan hilangnya hadis karena banyak ulama Hadis yang gugur dalam

medan perang.

2.2.1 Pembukuan Hadis abad II, III, IV H

Kodifikasi Hadis Pada abad kedua.

Setelah agama Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk

yang bertempat tinggal di luar jazirah arab, dan para sahabat mulai terpencar di beberapa

wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasalah perlunya

Al-Hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukan dalam dewan hadits.

Urgensia ini menggerakkan hati khalifah ‘Umar bin 'Abdul Aziz (seorang khalifah bani

Umayyah yang menjabat khaliafah antara tahun 99 sampai tahun 101 hijriah) untuk manulis

Page | 13

Page 14: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

dan membukukan (mendewankan) Hadis. Dan pada masa ini dikenal dengan ashru al-Tadwin

( masa pembukuan ).

Menurut Fatchur Rahman motif utama khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz berinisiatif untuk

mendewankan Hadis adalah :

a. Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan Hadis seperti waktu yang sudah-

sudah. Karena beliau khawatir hilang dan lenyapnya Hadis dari perbendaharaan

masyarakat, disebabkan belum didewankannya dalam dewan hadis.

b. Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara Hadis dari hadis-hadis

maudlu’ yang dibuat oleh orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongannya dan

mempertahankan mazhabnya, yang sejak tersiar sejak awal berdirinya kekhalifahan ‘Ali

bin Abi Thalib r.a.

c. Alasan tidak terdewannya Hadis secara resmi di zaman Rasulullah SAW. Dan Khulafaur

Rasyidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan Al-Quran, telah

hilang, disebabkan Al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata di

seluruh pelosok. Ia telah di hafal di otak dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu

orang.

d. Kalau di zaman Khulafaur Rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan

antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara orang-orang

muslim, yang kian hari kian menjadi-jadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah

ulama ahli hadits, maka saat itu juga konfrontasi tersebut benar-benar terjadi.

Untuk menghilangkan kekhawatiran akan hilangnya Hadits dan memelihara Hadits dari

bercampuranya dengan hadits-hadits palsu, ‘Umar bin Abdul Aziz mengintruksikan pada

seluruh pejabat dan ‘ulama yang memegang kekuasaan di wilayah keuasaannya untuk

mengumpulkan Al-Hadits. Intruksi itu berbunyi:

فاجمعوا وسلم عليه الله صلى الله رسول يث حد إلى أنظروا

“Telitilah hadits Rasulullah SAW. kemudian kumpulkan !”

Beliau menginstruksikan kepada walikota madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr

bin Hazm (117 H.), untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi’iy wanita,

‘Amrah binti abdu al-Rahman.

فإني عمرة يث بحد وسلم عليه الله صلى الله رسول يث حد من ك عند ثبت بما إلي أكتب

وذهاب العلم دروس خشيت

Page | 14

Page 15: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

“Tulislah hadits untukku, hadits Rasulullah saw. Yang ada padamu dan hadits ‘Amrah (binti

Abdul Rahman). Sebab aku takut hilangnya dan punahnya ilmu.” (riwayat Ad-Darimi).

Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada dirinya

sendiri maupun pada ‘Amrah, tabi’i wanita yang banyak meriwayatkan hadist Aisyah r.a. Juga

beliau mengintruksikan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri seorang Imam dan Ulama besar di

Hijaz dan Syam (124 H). Beliau mengumpulkan hadist-hadist dan kemudian ditulisnya dalam

lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masin-masing penguasa di tiap-tiap wilayah satu

lembar. Itulah sebabnya para ahli tarikh dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihablah orang

yang mula-mula mendewankan hadist secara resmi atas perintah Umar bin Abdul Aziz.

Setelah periode Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode

pendewanan hadist yang ke dua yang disponsori oleh khalifah-khalifah bani Abbasiyah.

Bangunlah ulam-ulama hadist dalam periode ini:

Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij (wafat 150 H) sebagai

pendewan hadist di Mekah,

Maumar bin Rasyid (wafat 153 H) sebagai pendewan di Yaman,

Abu Amar Abdul Rahman Al-Auza’i (wafat 156 H) sebagai pendewan hadist di

Syam,

Muhammad bin Ishaq (wafat 151 H) sebagai pendewan hadist di Madinah,

Imam Malik bin Anas (179 H) sebagai pendewan hadist di Madinah,

Sa’id bin Abi Urubah (wafat tahun 151) sebagai pendewan hadist di Bashrah,

Rabi’ bin Subaih (wafat tahun 160) sebagai pendewan hadist di Bashrah,

Hammad bin Abi Salamah (wafat 176 H) sebagai pendewan hadist di Bashrah.

Abu Abdullah Sufyan As-Tsauri (wafat 161 H) sebagai pendewan hadist di Kufah,

Abdullah bin Mubarak (wafat tahun 181 H) sebagai pendewan di Khurasãn,

Husyaim bin Basyir (wafat tahun 188 H) sebagai pendewan di Wasit,

Jarir bin Abdul Hamid (wafat tahun 188 H) sebagai pendewan di Raih,

Al-Lais bin Sa’ad (wafat tahun 175 H) sebagai pendewan di Mesir.

Kitab hadis yang ada, masih bercampur aduk antara hadis-hadis Rasulullah dengan fatwa-

fatwa sahabat dan tabi'in, belum dipisahkan antara hadis-hadis yang marfu', mauquf dan

maqthu, dan antara hadis yang shahih, hasan dan dla'if.

Kitab Hadis yang masyhur :

Al-Muwaththa - Imam Malik pada 144 H - atas anjuran khalifah al-Mansur. Jumlah

hadis yang terkandung dalam kitab ini kurang lebih1.720 hadis.

Musnad al-Syafi'i - mencantumkan seluruh hadis dala kitab "al-Umm".

Page | 15

Page 16: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

Mukhtalif al-Hadits - karya Imam Syafi'i - menjelaskan cara-cara menerima hadits

sebagai hujjah, menjelaskan cara-cara mengkompromikan hadits-hadits yang

kontradiksi satu sama lain.

Kodifikasi Hadis Pada abad ketiga

Dipermulaan abad ke III para ahli hadist berusaha menyisihkan Hadis dari fatwa-fatwa

sahabat dan tabi’in. Mereaka berusaha membukukan hadis Rasulullah semata-mata secara

murni. Untuk tujuan yang mulia ini mereka mulai menyusun kitab-kitab musnad yang bersih

dari fatwa-fatwa. Bangunlah ulama-ulama ahli hadist seperti: Musa Al-Abbasi, Musyaddad

Al-Basri, As’ad bin Musa dan Nuaim bin Muhammad Al-Ghazai menyusun kitab-kitab

musnad. Kemudian menyusul pula Imam Ahmad bin Hambal. Kendatipun kitab-kitab hadist

permulaan abad ke III ini sudah menyisihkan fatwa-fatwa namun masih mempunyai

kelemahan yakni tidak atau belum menyisihkan hadist-hadist dhaif, termasuk juga hadits

maudlu’ yang diselundupkan oleh golongan-golongan yang bermaksud hendak menodai

agama islam.

Karena adanya beberapa kelemahan kitab-kitab hadits tersebut, bergeraklah ulama-ulama

hadits pertengahan abad ketiga untuk menyelamatkannya. Mereka membuat kaidah-kaidah

dan syarat-syarat untuk menentukan suatu hadits itu apakah shahih atau dha’if. Para rawi

hadits tidak luput menjadi sasaran penelitian mereka, untuk diselidiki kejujurannya,

kehafalannya.

Pada pertengahan abad ini, mulai muncul kitab-kitab hadits yang hanya memuat hadits-

hadits shahih, pada perkembangannya dikenal dengan “kutubu al-sittah” yaitu:

1. Shahih al-Bukhari atau Jami’u al-Shahih. Karya Muhammad bin Ismail al-

Bukhari (194-256 H.)

2. Shahih al-Muslim, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy

(204-261 H.)

3. Sunan Abu Dawud , karangan Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq al-

Sajastani (202-275 H.)

4. Sunan al-Tirmidzi, karangan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi

(200-279 H.)

5. Sunan al-Nasa’i, karangan Abu Abdu al-Rahman bin Suaid ibnu Bahr al-Nasa’iy

(215-302 H.)

6. Sunan Ibnu Majah, karangan Abu Abdillah ibnu Yazid ibnu Majah (207-273 H.)

Pada abad ke-3, yang berperan adalah generasi setelah tabi’in.

Telah diusahakan untuk memisahkan hadis yang shahih dari Al-Hadits yang tidak shahih

sehingga tersusun 3 macam kitab hadis, yaitu :

Page | 16

Page 17: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

1. Kitab Shahih - (Shahih Bukhari, Shahih Muslim)

2. Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, Al-Tirmizi, Al-Nasai,   Al-Darimi) - berisi

hadis shahih dan hadis dha'if yang tidak munkar.

3. Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Humaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad,

Ibnu Rahawaih) - berisi berbagai macam hadis tanpa penelitian dan penyaringan dan

hanya digunakan para ahli hadis untuk bahan perbandingan.

Kodifikasi Hadis pada Abad Keempat

Kalau pada abad pertama, kedua, dan ketiga, Hadis berturut-turut mengalami periwayatan,

penulisan (pendewanan) dan penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in dan Hadis yang

telah didewankan oleh Ulama Mutaqaddimin (ulama abad kesatu sampai ketiga) tersebut

mengalami sasaran baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh Ulama Mutaakhirin

(Ulama abad keempat dan seterusnya).

Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah

terdewan itu, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal sampai

beratus-ratus ribu hadits. Sejak pereode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam

ilmu hadits, seperti gelar keahlian Al-Hakim, Al-Hafidh .

Abad keempat ini merupakan abad pemisah antara Ulama Mutaqaddimin, yang dalam

menyusun hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau para tabi’in penghafal

hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan Ulama Muta-akhkhirin yang dalam

usahanya dalam menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang

telah disusun oleh Ulama Mutaqaddimin.

Tetapi dalam abad IV ini masih terdapat Ulama-ulama hadits yang mempunyai

kesanggupan dan kemampuan untuk menghimpun hadits atas usaha sendiri, tidak mengutip

dari kitab-kitab hadits yang sudah ada sebelumnya, meskipun jumlahnya tidak banyak, di

antaranya adalah:

1. AL-HAKIM. Beliau banyak karangannya, antara lain: Al-Mustadrak ‘Ala al-Shahihain.

2. AD-DARUQUTNI (wafat tahun 385 H). Beliau banyak karangannya antara lain: al-

Ilzamat.

3. IBNU HIBBAN (wafat tahun 354 H). Beliau banyak karangannya antara lain: al-

Musnad al-Shahih atau al-Anwa’ wa al-Taqasim.

Page | 17

Page 18: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

2.2.2 Pembukuan Hadis abad V H hingga sekarang

Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah di tujukan untuk

mengklasifikasikan Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau

sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarah-kan

(menguraikan dengan luas) dan meng-ikhtishar-kan (meringkas) kitab-kitab hadits yang telah

disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Juga pada abad V ini dikenal dengan Ashru al-Jami’

wa al-Tartib ( masa menghimpun dan menertibkan susunanya)

Metode Pembukuan Hadits

Metode pembukuan hadits pada awal mulanya masih bercampur antara hadits Nabi dengan

perkataan para sahabat dan fatwa tabi’in. Dan di antra kitab-kitab yang muncul pada masa itu

adalah:

1. Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik,

2. Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani,

3. As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Mansur,

4. Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaibah, dan

5. Al-Musnad Asy-Syafi’i.

Kitab-kitab hadits di atas ini tidak sampai kepada kita kecuali Al-Muwaththa’ yang ditulis

oleh Imam Malik dan Al-Musnad Asy-Syafi’i yang ditulis oleh Imam Asy-Syafi’i.

Dalam beberapa masa penulisan dan pembukuan hadits, ada beberapa macam kitab hadits

yang dikemukakan oleh ulama hadits.

1. Al-Ajza’/ Al-Juz, adalah kitab hadits yang menghimpun hadits pada satu topik masalah

saja. Misalnya kitab al-faraid, oleh Zaid bin Tsabit (11-12 H/611/655 M). Metode ini

termasuk paling awal digunakan dalam mengelompokkan hadits.

2. Al-Atraf adalah kitab yang menghimpun hadits hanya pada awal matannya saja, tanpa

menyebutkan matan hadits seutuhnya. Misalnya kitab Atraf As-Sunnah, oleh Ibnu Asakir

al-Dimasyqi (w. 571 H)

3. Al-Mustadrak, adalah kitab hadits yang menghimpun tertentu yang memenuhi syarat

hadits yang ditulis oleh imam terdahulu, tetapi belum dicantumkan dalam kitabnya,

misalnya kitab al-mustadrak ‘ala as-shahihain, oleh Al-Hakim al-Naisaburi.

4. Al-Mustakhraj, adalah kitab yang menghimpun hadits yang diambil dari salah satu kitab

hadits dengan menggunkan sanad yang berbeda dengan sanad hadits yang dirujuknya.

Misalnya kitab Al-Mustakhraj, oleh Muhammad bin Ya’qub al-Saibani al-Naisaburi

Page | 18

Page 19: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

5. Al-Jami’ adalah kitab yang menghimpun 8 pokok masalah (akidah, hukum, tafsir, etika

makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi, akhlaq, serta perbuatan baik dan

tercela). Misalnya: Al-Jami’ al-Musnad as-Sahih al-Mukhtashar min Umurirrosulillah

SAW Waayyamihi.

6. Al-Musnad adalah hadits yang penyusunannya didasarkan atas urutan nama sahabat yang

meriwaytkan hadits. Misalnya Al-Musnad Ibnu Hambal

7. Al-Mu’jam adalah kitab hadits yang merupakan kamus besar yang di dalamnya memuat

hadits berdasrkan nama sahabat, quru atau qabilah, atau menurut tempat hadits didapatkan

yang diurutkan secara al-fabetis. Misalnya kitab Al-Mu;jam al-Kabir, Al-Mu’jam al-Wasit,

Al-Mu’jam al-Shaghir oleh Imam at-Tabrani

8. As-sunan adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab fiqih yang di dalamnya

bercampur hadits-hadits shahih, hasan, dan do’if, dengan memberi penjelasan pada hadits

itu. Misalnya kitab Sunan at-Tirmdzi, Sunan Abi Daud, Sunan Nas’i dan lain-lain.

Selain beberapa metode pembukuan di atas, dengan bahasa yang berbeda para muhadditsin

berusaha menghimpun dan menyusun kitab-kitab hadits menggunakan beberapa bentuk seperti:

takhrij, tashnif dan ikhtishar.

1. Takhrij

Istilah takhrij yang menurut lazimnya dalam penggunaan fi’il madlinya memakai kata

akhraja, mempunyai tiga pengertian yakni:

suatu usaha mencari sanad hadits yang terdapat dalam sebuah kitab hadits karya

orang lain menyimpang dari sanad hadits yang terdapat dalam kitab hadits karya

orang lain tersebut. Umpamanya seseorang mengambil sebuah hadits dari kitab

shahih bukhari, kemudian ia berusaha mencari sanad hadits tersebut yang tidak

sama dengan sanad yang telah ditetapkan oleh bukhari dalam shahihnya. Namun

sanad yang berbeda itu akhirnya dapat bertemu dengan sanad bukhari yang akhir.

Usaha mukharrij (orang yang mentakhrijkan) tersebut akhirnya dihimpun dalam

sebuah kitab, dan kitaab yang demikian inilah yang disebut kitab mustakhraj.

Misalnya:

Mustakhraj Abu Nu’aim, karya Abu Nu’aim, adalah salah satu kitab

takhrij hadits shahih bukhari.

Takhrij Ahmad bin Hamdan, adalah salah satu kitab mustakhraj shahih

muslim.

Page | 19

Page 20: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

Suatu penjelasan dari penyusun hadits bahwa hadits yang dinukilnya terdapat

dalam kitab hadits yang telah disebut nama penyusunnya, misalnya kalau

penyusun hadits mengakhiri pada nukilan haditsnya dengan istilah akhrajahu al-

bukhari, artinya ialah bahwa hadits yang dinukil oleh penyusun terdapat di dalam

kitab shahih bukhari.

Suatu usaha menyusun hadits untuk mencari derajat, sanad dan rawi hadits yang

diterangkan oleh pengarang suatu kitab. Misalnya:

Takhrij Ahadisi Al-Kasysyaf, karya Jamaluddin al-Hanafi, adalah suatu

kitab yang mengusahakan dan mrnerangkan derajat hadits yang terdapat

dalam kitab tafsir Al-Kasysyaf, yang oleh pengarang tefsir tersebut tidak

dijelaskan tentang shahih, hasan atau lain sebagainya.

Al-Mughni ‘An Hamli Al-Asfar, karya Abdu al-Rahim al-Iraqi, adalah

kitab yang menjelaskan derajat-derajat hadits yang terdapat dalam kitab

Ihya’ Ulumuddin, karya Imam Ghazali.

2. Tashnif

Tashnif, ialah usaha menghimpun atau menyusun beberapa hadits (kitab hadits)

dengan membubuhi keterangan mengenai kalimat yang sulit-sulit dan memberikan

interpretasi sekadarnya. Kalau dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan

mempertalikan dan menjelaskan dengan hadits lain, dengan ayat-ayat al-Quran atau dengan

ilmu-ilmu yang lain, maka usaha semacam ini disebut men-syarah-kan, misalnya:

Shahihu Al-Bukhari Bi Syarhi Al-Kirmani, oleh Muhammad ibn Yusuf al-

Kirmani, merupakan salah satu syarah kitab bukhari.

Al-Ikmal, oleh Al-Qadli ‘Iyadl, adalah salah satu di antara sekian banyak kitab

syarah shahih muslim.

3. Ikhtishar

Ikhtishar, adalah suatu usaha untuk meringkaskan kitab-kitab hadits. Yang

diperingkas, biasanya, ialah sanadnya dan hadits-hadits yang telah berulang-ulang

disebutkan oleh pengarangnya semula, tidak perlu ditulis kembali. Di antara mukhtashar-

mukhtshar shahih bukhari ialah kitab:

Mukhtashar Al-Bukhari karya Abu al-Abbas al-Qurthubi, dan

Mukhtashar Abu Jamrah, karya Ibnu Abi Jamrah.

Dan di antara mukhtashar shahih bukhari muslim ialah:

Mukhtashar Al-Balisy, karya Najmuddin al-Balisy, dan

Page | 20

Page 21: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

Mukhtashar Al-Taukhi, karya Najmuddin al-Taukhi.

Perbedaan antara kitab mustakhraj dengan kitab mukhtashar ialah, bahwa

kitab mustakhraj itu tidak perlu adanya penyesuaian lafadh dengan kutab

yang ditakhrijkan, bahkan kadang-kadang ditemui adanya perbedaan lafadh

dan kadang-kadang juga terdapat perubahan yang sangat menonjol sehingga

mengakibatkan perbedaan arti. Sedangkan di dalam kitab mukhtashar tidak

boleh ada tambahan (lafadh dari penyusun sendiri) yang sebenarnya tidak ada

dalam kitab yang diikhtisharkan.

Kebanyakan para muhaditsin dalm menyusun kitab haditsnya memakai dua sistem:

Pertama: sistem bab—demi—bab.

Di dalam sistem ini penyusun berusaha menghimpun hadits-hadits yang sejenis isinya

dalam satu bab, kemudian hadits yang berisikan masalah-masalah sejenis yang lain,

dikumpulkan dalam bab yang lain pula.

Adalah lebih praktis lagi kalau penusun memberikan ciri-ciri pda susunannya hadits

tersebut tersebut dalam satu lapangan tertentu dari cabang ilmu agama, seperti kitab:

Bulughu al-Maram, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani

Umdatu al-Ahkam, karya Abdu al-Ghani al-Maqdisi, adalah dua buah kitab yang

mengandung hukum-hukum.

Riyadlu al-Shalihin, karya Imam al-Nawawi, adalah kumpulan kitab hasits targhib

dan tarhib (anjuran berbuat baik dan pencelaan berbuat noda). Kendatipun dalam

kitab ini juga dicantumkan juga hadits-hadits mengenai hukum, namun dalam

pembahasannya bertendensi targhib dan tarhib.

Tuhfatu al-Dzakirin, karya Al-Syaukani adalah merupakan hadits doa yang cukup

luas isinya.

Kedua: sistem musnad

Di dalam sistem ini penyusun mengatur secara sistematis (tertib) mulai dari nama-nama

sahabata yang lebih utama beserta seluruh haditsnya, kemudian disusul dengan deretan

nama-nama sahabat yang utama beserta haditsnya, dan akhirnya deretan nama-nama

sahabat yang lebih rendah derajatanya beserta hadits-haditsnya. Misalnya dalam kitab

tersebut dikemukakan oleh penyusun pada bab pertama, nama sahabat Abu Bakar r.a.

dengan menyebut seluruh haditsnya, kemudian disusul dengan nama ‘Umar r.a. dengan

mencantumkan hadits yang beliau riwayatkan, dan seterusnya nama-nama sahabat yang

lebih rendah daripada Abu Bakar dan ‘Umar r.a. dengan seluruh haditsnya.

Page | 21

Page 22: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

Dapat pula dimasukkan dalam sistem ini ialah jika penyusun mendahulukan hadits-

hadits dari qabilah yang lebih tinggi martabatnya kemudian hadits-hadits dari qabilah-

qabilah yang lebih rendah derajatnya daripada yang pertama. Umpamanyan hadits-hadits

dari qabilah Bani Hasyim dicantumkan lebih dahulu, kemudian disusul dengan hadits-

hadits dari qabilah yang bernasab dekat kepada nabi muhammad saw. Dan akhirnya hadits-

hadits dari qabilah yang bernasab jauh kepada beliau.

Al-Syawkani dalam mukaddimah kitab Nayl al-Authar mejelaskan, bahwa kitab-

kitab Hadis yang sah dijadikan hujjah adalah:

Shahih al-bukhari dan Shahih Muslim

Hadis-hadis yang tertulis dalam kedua kitab shahih al-Bukhari dan shahih Muslim

dapat dijadikan hujjah tanpa melihat sanad, hanya diperlukan meninjau maksud Hadis

yakni tinjauan dirayah.

Hadis-Hadis shahih dalam selain al-Bukhari dan Muslim

Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab0kitab selain shahih al-Bukhari dan

Muslim, asal telah dinilai shahih oleh salah seorang imam Hadis yang terpandang dan

tidak dicacat oleh ulama imam Hadis lain.

Kitab-kitab Hadis shahih

Hadis-Hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab Hadis yang menurut

penyusunannya tidak memasukkan selain Hadis shahih saja. Seperti shahih Ibn

Khuzaimah dan lain-lain. Hal ini, jika tidak didapati keteranan cacat dan kecuali

shahih al-Hakim yang bernama al-Mustadrak karena ia menulisnya pada saat berusia

lanjut yang sudah tidak sempat mengoreksi lagi.

Kitab-kitab sunan

Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab sunan yang diakui keshahihannya atau

kehasanannya oleh pengarang kitab sunan tersebut dapat diterima.

Adapun Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab-kitab sunan atau musnad yang

tidak diterangkan kualitasnya, hendaknya bagi orang yang ada kemampuan

memeriksa atau meneliti, periksalah terlebih dahulu keshahihannya atau

kehasanannya. Jika tidak ada kemampuan untuk meneliti, hendaknya mengikuti

penelitian para ahli yang telah mengadakan penelitian dan jika tidak didapatkan

hendaknya dihentikan.

Page | 22

Page 23: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis bertujuan unuk mengangkat

fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW kemudian secara periodik pada

masa masa sahabat dan tabi’in serta masa masa berikutnya .

Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat

menggambarkan sikap dan tindakan umat Islam. Khususnya para ulama ahli hadis terhadap

hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap tiap periodenya hingga

terwujudnya kitab kitab hasil tadwin secara sempurna. Karena perjalanan hadis pada tiap tiap

periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang tidak sama,maka dalam

pengungkapan sejarah perjalanannya perlu dikemukakan ciri ciri khusus.

Di antara para ulama terdapat perbedaan dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan

perkembangan hadis ini. Ada yang membaginya dalam tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah

SAW, sahabat dan tabi’in , masa pen-tadwin-an dan masa setelah tadwin. Namun, ada yang

membaginya dalam periodesasi lain atau yang lebih terperinci, yaitu lima hingga tujuh periode

dengan spesifikasi yang lebih jelas.

Yang perlu diuraikan secara khusus pada bahasan ini ialah masa Rasulullah SAW, masa

sahabat masa tabi’in , masa pen-tadwin-an atau pembukuan dan masa seleksi atau penyaringan

hadis serta masa sesudahnya.

Apabila membicarakan hadis pada masa Rasulullah SAW berarti membicarakan hadis pada

awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan berkaitan langsung dengan pribadi

Rasulullah SAW sebagai narasumber hadis. Rasulullah SAW telah membina umatnya selama

23tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus di-wurud-kannya hadis.

Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati hatian para sahabat sebagai ahli waris

pertama ajaran Islam.

Page | 23

Page 24: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

Wahyu yang diturunkannya Allah SWT kepada Rasulullah SAW dijelaskannya melalui

perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan taqrir nya, sehingga apa yang didengar, dilihat dan

disaksikan oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman bagi amaliah dan ubudiyah mereka.

Pada masa ini Rasulullah SAW merupakan contoh satu satunya bagi para sahabat,karena ia

memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku utusan Allah SWT yang berbeda dengan

manusia lainnya.

Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat, khususnya Khulafa Ar

Rasidin yaitu sekitar tahun 11 Hsampai dengan 40H. Masa ini juga disebut dengan masa

sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan

dan penyebaran Al Quran, periwayatan hadis belum begitu berkembang dan masih dibatasi.

Oleh karena itu, para ulama menganggap masalah ini sebagai masa yang menunjukan adanya

pembatasan periwayatan (At-Tasabbut wa Al-Iqlal min Ar-Riwayah).

Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda

dengan yang dilakukan para sahabat. Hal ini karena mereka, mengikuti jejak para sahabat yang

menjadi guruguru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda yang

dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di

pihak lain, para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam,

sehingga para tab’in dapat mempelajari hadis dari mereka.

Ketika pemerintahan di pegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan Islam telah meliputi

Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan,Samarkand dan spanyol, di samping Madinah , Mekah,

Basrah, Syam dan Khurasan. Pesatnya perluasan wilayah Islam, dan meningkatnya penyebaran

para sahabat ke daerah daerah tersebut menjadikan masa ini dikenal dengan masa penyebaran

periwayatan hadis (Intisyar Ar Riwayah Ila Al Amshar).

Yang dimaksud dengan kodifikasi hadis atau tadwin hadis pada periode ini adalah

kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan beberapa

sahabat yang ahli di bidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan

atau untuk kepentingan pribadi, sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.

Usaha ini di mulai ketika pemerintahan Islam di pimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul

Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan bani Umayah), melalui instruksinya kepada pejabat

daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Ia

menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn Amar ibn Hazm (Gubernur

Madinah), seperti dibawah ini:

Page | 24

Page 25: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

“Perhatikan atau periksalah hadis hadis Rasulullah SAW kemudian tuliskanlah! Aku

khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama (para ahlinya). Dan

janganlah kamu terima , kecuali hadis Rasulullah SAW… “

Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Hazm agar mengumpulkan hadis hadis

yang ada pada Amrah binti Abdurrahman Al Anshari (murid kepercayaan Siti Aisyah) dan Al

Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar. Instruksi yang sama ia juga berikan kepada

Muhammad bin Syihab Az Zuhri yang dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak

mengetahui hadis daripada yang lainnya.

Menurut para ulama, hadis hadis yang dihimpun oleh Abu Bakar ibn Hazm masih kurang

lengkap, sedangkana hadis hadis yang dihimpun ibn Syihab Az Zuhri lebih lengkap, akan

tetapi, sayang sekali karena karya kedua tabiin ini lenyap sehinggga tidak sampai kepada

generasi sekarang.

3.2. Saran

Dengan selesainya pembuatan makalah ini kami berharap dapat memahami secara mendalam

tentang Sejarah Hadis (Pertumbuhan dan Perkembangannya) . Tentunya pembuatan makalah ini

diharapkan bemanfaat untuk orang lain atau setidaknya untuk diri sendiri. Kritik dan saran sangat

diperlukan sekali dalam kesempurnaan makalah ini, sebab tanpa adanya kritik dan saran maka

kami tidak akan mengetahui kesalahan dan kekurangan makalah ini. kami berharap ada kritik dan

saran yang dapat kami terima.

Page | 25

Page 26: sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis

Pengantar Studi Hadits

DAFTAR PUSTAKA

As-Suyuti, Asbab Wurud Al-Hadis

Masyuk Zuhdi, 1985. Pengantar Ilmu Hadis, Surabaya: Bina Ilmu

Mudasir, Drs.H, 2010. Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia

DVD Hadis & Ilmu Hadis, DR. Ahmad Lutfi Fathullah, MA

http://rachmatfatahillah.blogspot.com/2011/06/kodifikasi-hadits-abad-ii-iii-iv-vdan.html

http://basyir-accendio.blogspot.com/2012/04/sejarah-pertumbuhan-penulisan-dan.html

Page | 26