sebuah fenomena ketidakadilan di kesehatan

2

Click here to load reader

Upload: sutopo-patriajati

Post on 09-Jun-2015

1.473 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Ketidakadilan dalam kesehatan sudah banyak yang menyorot bahkan oleh lembaga internasional, namun fenomena itu masih saja terjadi hingga kini

TRANSCRIPT

Page 1: SEBUAH FENOMENA KETIDAKADILAN DI KESEHATAN

 

Berita Aktual SM Cetak Suara Warga Entertainmen Gaya Kejawen Layar Lelaki Sehat Sport Wanita Surat Pembaca

 

Home

Berita Utama

Semarang & Sekitarnya

Lintas Muria

Lintas Pantura

Lintas Solo

Lintas Kedu ­Banyumas

Yogyakarta

Internasional

Ekonomi & Bisnis

Wacana

Olahraga

Hiburan & Seni 

Hukum

Perempuan

Ragam

Pendidikan

Kesehatan

Teknologi

Kampus

Arsip SM Cetak

 

WACANA

24 Maret 2008

Kompleksitas Gugatan Pasien Miskin

l Oleh Sutopo Patria Jati

KASUS  Ny Surip (74), pasien miskin yang meningggal karena diduga kurang mendapat pelayanan maksimal di RSU Ambarawa (SM,18/03/2008), bagaimana pun telah menimbulkan luka dan keprihatinan mendalam. Semua itu merupakan bagian keniscayaan yang telah diprediksi dan disuarakan banyak pihak, termasuk oleh penulis seperti pernah dimuat di harian ini.

Dalam tulisan di harian ini (SM, 21/2/2008, hal 1), saya menulis bahwa  ‘’jebakan ’’ ketidakpastian yang berkepanjangan dari masa transisi perubahan asuransi kesehatan masyarakat miskin (askeskin) akan memberi konsekuensi peningkatan risiko kesakitan dan kematian pasien miskin, seiring dengan kian terbatasnya askes mereka ke pelayanan rumah sakit.Warga RT 03 RW III, Dusun Krajan, Desa Tegaron, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, itu wafat di RSU Ngawen (Salatiga), Minggu (16/3) lalu. Sebelumnya, mesi membawa kartu Gakin (keluarga miskin), dia ditolak saat berobat di RSU Ambarawa dan RS DKT Salatiga. 

Kasus ini seharusnya menjadi peringatan awal, terutama bagi pemerintah tentang potensi khaos yang lebih luas. Bukan hanya menyangkut ancaman  ‘’kebangkrutan ’’ anggaran kesehatan pemerintah, tetapi juga implikasi serius yang melahirkan kompleksitas konflik baru di akar rumput. terkait kian rawannya hubungan pasien miskin dengan RS atau puskesmas sebagai pemberi pelayanan dari program kesehatan gratis.

Miskonsepsi 

Praktik kedokteran dan pelayanan di RS acapkali disalahpersepsikan oleh masyarakat, bahwa semua layanannya harus menghasilkan kesembuhan/kesukesan. Setiap petugasnya harus siap berkorban demi pasien. 

Bahkan setiap peristiwa buruk selalu dianggap sebagai kasus malapraktik. Buat masyarakat awam memang akan sulit memahami bahwa setiap kasus kesehatan adalah sangat spesifik, tergantung dari sifat dan faktor risiko yang melingkupinya. Jadi tidak mungkin dapat digeneralisasi.

Tingkat/perjalanan penyakit, umur, daya tahan tubuh, komplikasi, ketelitian dokter, kepatuhan standar profesi, ketersediaan fasilitias pendukung, dan timing saat dirujuk merupakan sejumlah faktor yang akan memengaruhi keberhasilan pengobatan.

Terbatasnya pengetahuan ternyata bukan hanya terjadi dalam masyarakat, tapi bisa juga pada praktisi hukum, terutama terkait esensi kontrak terapeutik antara dokter dan pasien yang fokus pada maksimalisasi usaha pengobatannya (inspaningsverbintenis), mengingat setiap tindakan medis  apapun selalu ada risikonya (inherent risk) dan bersifat tidak pasti. 

Adapun yang dianut dan dituntut dalam domain hukum lebih fokus pada fakta kerugian dari hasil pengobatannya (resultaatsverbintenis). Perbedaan ini turut memicu kesalahpahaman saat menentukan ada atau tidak kelalaian yang menimbulkan akibat negatif (adverse event) yang mungkin menjadi objek gugatan oleh (keluarga) pasien. 

Kompleksitas Gugatan

Keberhasilan gugatan sipil, termasuk oleh pasien, harus memenuhi syarat 4D: ada kewajiban (duty), ada pelanggaran terhadap kewajiban itu (dereliction of that duty), ada hubungan sebab akibat langsung (direct causation), dan adanya suatu kerugian yang sebenarnya dapat dibayangkan dan secara wajar dapat dicegah (damage). 

Dalam praktiknya, untuk memenuhi semua syarat tersebut tidaklah mudah, bahkan hampir mustahilbisa dilakukan apalagi oleh pasien miskin.  Manifestasi dari asas praduga tak bersalah yang konsekuensinya adalah proses pembuktian gugatan dibebankan kepada penggugat, juga makin memojokkan posisi pasien termasuk pengacaranya sebagai orang yang masih awam dengan berbagai teknis dan standar pengobatan.Terlebih lagi saat pasien datang berobat ke RS, maka secara hukum sebenarnya muncul tiga jenis hubungan sekaligus. Yaitu antara dokter dan pasien, antara rumah sakit dan pasien, serta antara dokter dan rumah sakit, di mana ketiganya saling berkaitan dan sulit dibedakan. 

Semua itu membuat keberhasilan gugatan di pengadilan oleh pasien selama ini sangat kecil. Meskipun demikian, peluang pasien untuk mengajukan gugatan masih tetap ada. Sasarannya tidak hanya petugas, tetapi bisa juga RS sesuai dengan tanggung jawab yuridisnya.

Tanggung jawab yuridis rumah sakit meliputi tanggung jawab terhadap personalia berdasarkan hukum  ‘’majikan ­karyawan ’’ atau vicarious liability, tanggung jawab mutu perawatan/pengobatan menggunakan standar profesi, tanggung jawab sarana/peralatan, dan tanggung jawab keamanan bangunan.

Sedangkan kemungkinan terjadinya pelanggaran dari sisi petugas meliputi pelanggaran etika (terancam sanksi teguran sampai dengan pemecatan), pelanggaran disiplin (teguran sampai pencabutan izin praktik) dan pelanggaran hukum (ganti rugi/perdata maupun penjara/pidana). 

Sebenarnya faktor pemicu gugatan pasien bukan hanya dilandasi ada dan tidak dampak kerugian, namun seringkali juga bersumber dari masalah  ‘’sepele’’ yaitu ketidakramahan dan ketidakbecusan pemberi pelayanan dalam berkomunikasi secara simpatik. 

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian, bahwa hanya 15 persen pasien yang puas dengan penjelasan / komunikasi yang diberikan saat berobat di rumah sakit (Guwandi, 2006).

Fenomena yang sama nampaknya juga terjadi pada kasus terakhir, yang dialami Ny Surip. Setidaknya ini bisa dilihat dari pernyataan kekecewaan keluarga pasien terhadap ucapan dan penerimaan dari petugas RSU Ambarawa.  

Karena itu, ke depan pemerintah seharusnya bisa lebih serius mendukung rumah sakit, minimal agar mengubah pola hubungan paternalistik yang cenderung eksploitatif menjadi hubungan partnership yang lebh adil dan manusiawi bagi pasien. Perubahan ini bisa menjadi langkah awal dari serangkaian upaya pencegahan jatuhnya korban baru pada pasien miskin di kemudian hari. (32)

—Sutopo Patria Jati, staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip, pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat/IAKMI Jateng.   

© 2008 suaramerdeka.com. All rights reserved

Groups

Page 2: SEBUAH FENOMENA KETIDAKADILAN DI KESEHATAN

 

Berita Aktual SM Cetak Suara Warga Entertainmen Gaya Kejawen Layar Lelaki Sehat Sport Wanita Surat Pembaca

 

Home

Berita Utama

Semarang & Sekitarnya

Lintas Muria

Lintas Pantura

Lintas Solo

Lintas Kedu ­Banyumas

Yogyakarta

Internasional

Ekonomi & Bisnis

Wacana

Olahraga

Hiburan & Seni 

Hukum

Perempuan

Ragam

Pendidikan

Kesehatan

Teknologi

Kampus

Arsip SM Cetak

 

WACANA

24 Maret 2008

Kompleksitas Gugatan Pasien Miskin

l Oleh Sutopo Patria Jati

KASUS  Ny Surip (74), pasien miskin yang meningggal karena diduga kurang mendapat pelayanan maksimal di RSU Ambarawa (SM,18/03/2008), bagaimana pun telah menimbulkan luka dan keprihatinan mendalam. Semua itu merupakan bagian keniscayaan yang telah diprediksi dan disuarakan banyak pihak, termasuk oleh penulis seperti pernah dimuat di harian ini.

Dalam tulisan di harian ini (SM, 21/2/2008, hal 1), saya menulis bahwa  ‘’jebakan ’’ ketidakpastian yang berkepanjangan dari masa transisi perubahan asuransi kesehatan masyarakat miskin (askeskin) akan memberi konsekuensi peningkatan risiko kesakitan dan kematian pasien miskin, seiring dengan kian terbatasnya askes mereka ke pelayanan rumah sakit.Warga RT 03 RW III, Dusun Krajan, Desa Tegaron, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, itu wafat di RSU Ngawen (Salatiga), Minggu (16/3) lalu. Sebelumnya, mesi membawa kartu Gakin (keluarga miskin), dia ditolak saat berobat di RSU Ambarawa dan RS DKT Salatiga. 

Kasus ini seharusnya menjadi peringatan awal, terutama bagi pemerintah tentang potensi khaos yang lebih luas. Bukan hanya menyangkut ancaman  ‘’kebangkrutan ’’ anggaran kesehatan pemerintah, tetapi juga implikasi serius yang melahirkan kompleksitas konflik baru di akar rumput. terkait kian rawannya hubungan pasien miskin dengan RS atau puskesmas sebagai pemberi pelayanan dari program kesehatan gratis.

Miskonsepsi 

Praktik kedokteran dan pelayanan di RS acapkali disalahpersepsikan oleh masyarakat, bahwa semua layanannya harus menghasilkan kesembuhan/kesukesan. Setiap petugasnya harus siap berkorban demi pasien. 

Bahkan setiap peristiwa buruk selalu dianggap sebagai kasus malapraktik. Buat masyarakat awam memang akan sulit memahami bahwa setiap kasus kesehatan adalah sangat spesifik, tergantung dari sifat dan faktor risiko yang melingkupinya. Jadi tidak mungkin dapat digeneralisasi.

Tingkat/perjalanan penyakit, umur, daya tahan tubuh, komplikasi, ketelitian dokter, kepatuhan standar profesi, ketersediaan fasilitias pendukung, dan timing saat dirujuk merupakan sejumlah faktor yang akan memengaruhi keberhasilan pengobatan.

Terbatasnya pengetahuan ternyata bukan hanya terjadi dalam masyarakat, tapi bisa juga pada praktisi hukum, terutama terkait esensi kontrak terapeutik antara dokter dan pasien yang fokus pada maksimalisasi usaha pengobatannya (inspaningsverbintenis), mengingat setiap tindakan medis  apapun selalu ada risikonya (inherent risk) dan bersifat tidak pasti. 

Adapun yang dianut dan dituntut dalam domain hukum lebih fokus pada fakta kerugian dari hasil pengobatannya (resultaatsverbintenis). Perbedaan ini turut memicu kesalahpahaman saat menentukan ada atau tidak kelalaian yang menimbulkan akibat negatif (adverse event) yang mungkin menjadi objek gugatan oleh (keluarga) pasien. 

Kompleksitas Gugatan

Keberhasilan gugatan sipil, termasuk oleh pasien, harus memenuhi syarat 4D: ada kewajiban (duty), ada pelanggaran terhadap kewajiban itu (dereliction of that duty), ada hubungan sebab akibat langsung (direct causation), dan adanya suatu kerugian yang sebenarnya dapat dibayangkan dan secara wajar dapat dicegah (damage). 

Dalam praktiknya, untuk memenuhi semua syarat tersebut tidaklah mudah, bahkan hampir mustahilbisa dilakukan apalagi oleh pasien miskin.  Manifestasi dari asas praduga tak bersalah yang konsekuensinya adalah proses pembuktian gugatan dibebankan kepada penggugat, juga makin memojokkan posisi pasien termasuk pengacaranya sebagai orang yang masih awam dengan berbagai teknis dan standar pengobatan.Terlebih lagi saat pasien datang berobat ke RS, maka secara hukum sebenarnya muncul tiga jenis hubungan sekaligus. Yaitu antara dokter dan pasien, antara rumah sakit dan pasien, serta antara dokter dan rumah sakit, di mana ketiganya saling berkaitan dan sulit dibedakan. 

Semua itu membuat keberhasilan gugatan di pengadilan oleh pasien selama ini sangat kecil. Meskipun demikian, peluang pasien untuk mengajukan gugatan masih tetap ada. Sasarannya tidak hanya petugas, tetapi bisa juga RS sesuai dengan tanggung jawab yuridisnya.

Tanggung jawab yuridis rumah sakit meliputi tanggung jawab terhadap personalia berdasarkan hukum  ‘’majikan ­karyawan ’’ atau vicarious liability, tanggung jawab mutu perawatan/pengobatan menggunakan standar profesi, tanggung jawab sarana/peralatan, dan tanggung jawab keamanan bangunan.

Sedangkan kemungkinan terjadinya pelanggaran dari sisi petugas meliputi pelanggaran etika (terancam sanksi teguran sampai dengan pemecatan), pelanggaran disiplin (teguran sampai pencabutan izin praktik) dan pelanggaran hukum (ganti rugi/perdata maupun penjara/pidana). 

Sebenarnya faktor pemicu gugatan pasien bukan hanya dilandasi ada dan tidak dampak kerugian, namun seringkali juga bersumber dari masalah  ‘’sepele’’ yaitu ketidakramahan dan ketidakbecusan pemberi pelayanan dalam berkomunikasi secara simpatik. 

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian, bahwa hanya 15 persen pasien yang puas dengan penjelasan / komunikasi yang diberikan saat berobat di rumah sakit (Guwandi, 2006).

Fenomena yang sama nampaknya juga terjadi pada kasus terakhir, yang dialami Ny Surip. Setidaknya ini bisa dilihat dari pernyataan kekecewaan keluarga pasien terhadap ucapan dan penerimaan dari petugas RSU Ambarawa.  

Karena itu, ke depan pemerintah seharusnya bisa lebih serius mendukung rumah sakit, minimal agar mengubah pola hubungan paternalistik yang cenderung eksploitatif menjadi hubungan partnership yang lebh adil dan manusiawi bagi pasien. Perubahan ini bisa menjadi langkah awal dari serangkaian upaya pencegahan jatuhnya korban baru pada pasien miskin di kemudian hari. (32)

—Sutopo Patria Jati, staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip, pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat/IAKMI Jateng.   

© 2008 suaramerdeka.com. All rights reserved

Groups