scanned by camscannereprints.ulm.ac.id/7600/1/buku rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar,...

155
Scanned by CamScanner

Upload: others

Post on 21-Feb-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Scanned by CamScanner

Page 2: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem . PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS EKOSISTEM Penulis: Dr. Ir. Rusmilyansari, M.P. Dr. Yopi Novita, S.Pi., M.Si. Drs. Apriansyah, M.Si. International Research and Development for Human Beings Malang 2017

Page 3: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS EKOSISTEM Penulis : Dr. Ir. Rusmilyansari, M.P. Dr. Yopi Novita, S.Pi., M.Si. Drs. Apriansyah, M.Si. ISBN : 978-602-6672-26-1 Editor : Try Kusuma Wardana, S.Si. Penyunting : Cakti Indra Gunawan, S.E., M.M., Ph.D. Cover dan Layout : Rina Purnawati Cetakan Pertama, Juli 2017 Jumlah Halaman, x+168; 18,2 x 25,7 cm Diterbitkan oleh: CV. IRDH (Research & Publishing) Anggota IKAPI No. 159 – JTE – 2017 Office: Jl. A Yani Gg. Sokajaya 59 Purwokerto New Villa Bukit Sengkaling Blok C9 No. 1 Malang HP. 082227031919 WA. 089621424412 www.irdhresearch.com | email: [email protected] www.irdhbook.com Sanksi Pelanggaran Pasal 27 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta: (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing- masing paling singkat 1 (satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 4: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Kata Pengantar Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat petunjuk dan berkah dari-Nya buku berjudul Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem dapat dirampungkan dan diterbitkan. Penerbitan buku ini tidak terlepas dari harapan penulis untuk mendokumentasikan hasil pemikiran dan beberapa hasil penelitian baik yang tidak terpublikasikan maupun yang belum terpublikasikan. Selain itu minimnya literatur yang terkait dengan bidang ilmu Manajemen Sumberdaya Perikanan Tangkap menambah semangat penulis untuk segera merampungkan buku ini, kemudian keinginan menerbitkan buku ini semakin bertambah ketika pada tahun 2013 ditetapkannya penulis sebagai tim pengampu Mata kuliah Perikanan Rawa Ramah Lingkungan sandi EFPM 727 (S3) Ilmu Pertanian minat PSDAL. Mata Kuliah Manajemen Sumberdaya Lahan Basah dengan sandi PSDA 626 pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (S2) dan Mata Kuliah Mata Kuliah Manajemen Operasi Penangkapan ikan dengan sandi GPBB702, Kebijakan Perikanan Tangkap dengan sandi GPKB405 (S1) pada program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan ULM. Banyak kemudahan yang didapat mahasiswa dengan terbitnya buku ini, karena melalui buku ini (1) akan membantu dan mempermudah mahasiswa dalam mempelajari materi-materi yang terkait dengan perkuliahan tersebut; (2) akan memudahkan mahasiswa untuk memilih tema skripsi/tesis/disertasi mahasiswa pada bidang perikanan tangkap; (3) sebagai panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks materi yang substantif. Materi yang dipaparkan dalam buku ini sebagian bersumber dari pengalaman penulis dalam penelitian dan diperkaya dengan kegiatan selama

Page 5: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem perkuliahan, jurnal ilmiah, seminar dan buku-buku teks. Buku Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem merupakan ilmu pengetahuan perikanan yang isinya memuat secara komprehensif. Pada kesempatan ini penulis membagi tulisan dalam buku ini dalam beberapa bab meliputi Bab 1 Pendahuluan, Bab 2 Pengelolaan Perikanan Indonesia berdasarkan WPP, Bab 3 Konsep Perikanan Berkelanjutan Bab 4 Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan Bab 5 Domain Pendekatan Ekositem Semoga buku ini dapat bermanfaat untuk memperkaya publikasi dan khasanah ilmu perikanan, rujukan kepada mahasiswa dan pemerhati perikanan. Terimakasih dan selamat membaca buku ini. Banjarbaru, Juli 2017 Dr.Ir.Rusmilyansari, MP Dr. Yopi Novita, S.Pi, M.Si Drs. Aprianyah, M.Si

Page 6: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................... i HALAMAN COPYRIGHT ............................................................... ii KATA PENGANTAR ....................................................................... iii DAFTAR ISI ..................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR......................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................. x BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1 BAB II PENGELOLAAN PERIKANAN BERDASARKAN WPP. 7 2.1 Pengelolaan di Perairan Laut ................................................. 7 2.2 Pengelolaan di Perairan Umum ............................................. 15 BAB III KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN ......................................................................... 20 3.1 Perikanan Tangkap ................................................................ 20 3.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan .................................... 32 3.3 Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan .................... 38 BAB IV PENDEKATAN EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN ...................................................... 56 4.1 Pengertian Pendekatan Berbasis Ekosistem .......................... 56 4.2 Penilaian EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management) ......................................................................... 68

Page 7: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem BAB V DOMAIN PENDEKATAN EKOSISTEM .......................... 71 5.1 Domain Habitat...................................................................... 71 5.2 Domain Sumberdaya Ikan ..................................................... 83 5.3 Domain Teknologi Penangkapan Ikan .................................. 89 5.3.1 Jenis alat Tangkap Perairan Umum ............................ 96 5.3.2 Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan ................................................................. 110 5.4 Domain Sosial Ekonomi ........................................................ 123 5.5 Domain Kelembagaan ........................................................... 124 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 144 GLOSARIUM ................................................................................... 156 INDEKS............................................................................................. 163 TENTANG PENULIS ....................................................................... 164

Page 8: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Penggolongan alat tangkap International Standard Statistical Classification of Fishing Gear .......................... 21 Tabel 3.2 Klasifikasi Berdasarkan Statistik Perikanan...................... 25 Tabel 3.3 Klasifikasi Alat Penangkapan Ikan-BBPI Semarang ........ 28 Tabel 3.4 Atribut/dimensi Pembangunan Sumberdaya Perikanan berkelanjutan .................................................... 41 Tabel 4.1 Perbedaan Pengelolaan Perikanan Konvensional dan Berbasis Ekosistem ........................................................... 59 Tabel 5.1 Reservat di Kalimantan Selatan......................................... 80 Tabel 5.2 Kawasan Konservasi di Kabupaten Hulu Sungai Selatan . 81 Tabel 5.3 Sasaran, Strategi dan Kebijakan Dinas Perikanan dan Peternakan Kb. HSU pada tiap-tiap tujuan ....................... 129 Tabel 5.4 Nilai IDF Pemerintah Daerah ............................................ 136 Tabel 5.5 Penerbitan/Razia illegal fishing dan penjualan anak ikan tahun 2012 ......................................................................... 137

Page 9: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 WPP di Indonesia .......................................................... 8 Gambar 3.1 Model Russian Doll atau tiga pilar model Pembangunan Berkelanjutan ......................................... 36 Gambar 4.1 Komponen-komponen dan Interaksi Ekosistem Dalam EAF................................................................................ 57 Gambar 5.1 Kiambang (Salvinia Natas)............................................ 74 Gambar 5.2 Teratai (Nyampae pubescens) ........................................ 75 Gambar 5.3 Enceng Gondok / Ilung (Eichornoa crassipes) ............. 76 Gambar 5.4 Putri Malu Air (Neptunia oleraceae)............................. 77 Gambar 5.5 Kangkung Air (Ipomoe aquatica).................................. 78 Gambar 5.6 Perkembangan Produksi Ikan Laut di Kabupaten Tanah Laut ................................................................................ 86 Gambar 5.7 Spesies Ikan Berdasarkan Tingkat Produksi.................. 87 Gambar 5.8 Ikan Gabus ..................................................................... 88 Gambar 5.9 Perkembangan Produksi Ikan Gabus ............................. 89 Gambar 5.10 Ikan Betok.................................................................... 90 Gambar 5.11 Perkembangan Produksi Ikan Betok............................ 91 Gambar 5.12 Ikan Baung ................................................................... 92 Gambar 5.13 Perkembangan produksi ikan Baung sejak tahun 2011 sampai 2015 ....................................................... 93 Gambar 5.14 Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trishopterus).............. 94 Gambar 5.15 Ikan Sepat Siam (Trichogaster pectoralis).................. 95 Gambar 5.16 Ikan Tambakan (Helostoma temminckii) ..................... 96 Gambar 5.17 Pancing Untung-untung ............................................... 97 Gambar 5.18 Alat tangkap banjur (stage line) .................................. 98

Page 10: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 5.19 Alat tangkap lukah (fish pot) ....................................... 100 Gambar 5.20 Alat Tangkap Tempirai (stage trap) ........................... 101 Gambar 5.21 Alat tangkap pengilar (basket trap) ............................. 102 Gambar 5.22 Alat tangkap hancau (portable lift net) ........................ 103 Gambar 5.23 Lalangit ........................................................................ 104 Gambar 5.24 Alat tangkap lunta (cast net) ........................................ 106 Gambar 5.25 Alat tangkap rengge (set gill net)................................. 108 Gambar 5.26 Serok/Sesuduk ............................................................. 109

Page 11: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Bab 1. Pendahuluan Sektor perikanan merupakan sektor strategis dalam perekonomian Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman spesies, genetik dan ekosistem paling tinggi di dunia (mega diversity). Sumberdaya alam yang melimpah tersebut perlu dilestarikan demi masa depan generasi yang akan datang. Wilayah perairan di Indonesia yang meliputi sungai, danau, rawa, laut dan teluk. Perairan merupakan bagian dari permukaan bumi yang menempati wilayah yang luas dan digenangi oleh air. wilayah lautan Indonesia adalah 4,85% dari total wilayah Indonesia. Dapat diartikan bahwa persentase luas daratan dari total wilayah Indonesia adalah 95,15%. Luas daratan 1.904.569 km². Dihitung secara matematika, total wilayah Indonesia adalah 2.001.648,97 km2. Luas wilayah laut adalah 96.079,15 km². Luas Laut di Indonesia terbagi Teritorial = 284.210,90 km². Dengan diproklamirkannya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ) 200 mil dari batas perairan teritorial tanggal 21 Maret 1980, maka luas perairan Indonesia bertambah menjadi ± 5,8 juta Km2. Bertambah luasnya perairan Indonesia memberi harapan baru yang menguntungkan bagi perkembangan perikanan laut. Bertambahnya potensi perikanan tuna dari ZEEI merupakan tantangan bagi kita untuk dapat mengelola dan memanfaatkannya secara rasional.Luas Zona Ekonomi Ekslusif = 2.981.211,00 km² dan Luas Laut 12 Mil = 279.322,00 km². Luas perairan umum di Indonesia tidak kalah dengan perairan laut. Sampai saat ini diperkirakan lebih dari 55 juta ha, yang terdiri dari perairan sungai beserta lebaknya seluas 11,95 juta ha; danau alam, dan buatan seluas 2,1 juta ha, dan perairan rawa seluas 39,4 juta ha. Dari total luas perairan umum, 60 % berada Kalimantan, 30 %-nya berada di Sumatera dan sisanya

Page 12: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem di Sulawesi, Jawa, Bali, NTB dan Irian Jaya. Sedangkan jenis ikan yang ada sekitar 600 spesies, termasuk diantaranya jenis ekonomis penting, ikan budidaya atau diperkirakan dapat dibudidayakan Potensi perikanan perairan umum bernilai 25% dari total potensi perikanan dunia (Stiassny, 1996). Keanekaragaman ikan perairan umum di daerah tropis lebih tinggi dibandingkan didaerah beriklim sedang disamping masihbanyak spesies yang belum teridentifikasi(Allan dan Castillo, 2007; Dudgeon et al., 2006; Stiassny, 1999). Perairan umum pulau Kalimantan memiliki keanekagaman spesies ikan yang tinggi di Asia (Winemiller et al., 2008) dan potensi perairan umum Kalimantan Selatan sekitar satu juta hektar (Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2015). Potensi sumberdaya perikanan dimanfaatkan penduduk dengan cara mengeksploitasinya yakni melalui aktivitas penangkapan ikan. Ikan-ikan target penangkapan (target spesies) merupakan ikan-ikan lokal. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2011, bahwa tingkat eksploitasi sumberdaya ikan perairan umum periode tahun 2010 mencapai 62.644,5 ton/tahun. Rosadi (2009), menjelaskan bahwa aktivitas penangkapan ikan-ikan lokal di Kalimantan Selatan berlangsung secara intensif. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan masyarakat terhadap ikan menempati peringkat pertama dibandingkan kebutuhan protein hewani lainnya dengan tingkat konsumsi ikan perkapita pertahun sebesar 36,84 Kg atau 139% dari target gizi nasional sebesar 26,5 Kg (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan, 2015). Empat jenis ikan lokal yang menjadi konsumsi utama masyarakat dianatarnya ikan seluang (Rasbora sp.), haruan (Channa striata), papuyu (Anabas testudineus), sepat rawa (Trichogaster trichopterus). Prasetyo dan Asyari (2003) menyatakan bahwa jenis-jenis ikan lokal yang dieksploitasi di Kalimantan Selatan mencapai 140 spesies.

Page 13: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Namun sifat industri perikanan tangkap yang open acess telah memunculkan adanya isu over fishing. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan karena secara ekonomi dapat menimbulkan in efisiensi serta penurunan stok sumberdaya. Menurut Budhiman (2011) pemanfaatan hasil laut untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Indonesia saat ini sudah menunjukan fenomena berlebihnya hasil tangkapan (overfishing) yang berpengaruh pada penurunan stok gradual. Kondisi penurunan sumberdaya ikan tersebut merupakan dampak dari interaksi aktivitas penangkapan yang semakin intensif dan menurunnya daya dukung perairan akibat degradasi habitat penting perikanan, seperti terumbu karang, mangrove, lamun dan bentuk dasar perairan. Selain itu adanya alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, pelanggaran jalur penangkapan (Bambang et al. 2011). Hal ini ditandai dengan menurunnya hasil tangkapan nelayan, semakin mengecilnya ukuran ikan yang tertangkap, sulit dan jauhnya mencari daerah penangkapan (fishing ground) dan langkanya beberapa species ikan (Mahyudin 2012). Kondisi Sumberdaya perikanan tersebut yang hingga saat ini memicu timbulnya kesadaran Internasional tentang perlunya pengelolaan perikanan berkelanjutan. Komitmen politis tentang pengelolaan perikanan berkelanjutan dimulai dalam konferensi Reykjavik tentang Perikanan Berkelanjutan pada ekosistem laut tahun 2001. Komitmen ini dikuatkan kembali melalui World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg pada tahun 2002, dengan salah satu kesepakatan nya adalah mengaplikasikan pengelolaan perikanan berkelanjutan pada tahun 2010. Sebagai kelanjutan dari kesepakatan tersebut, FAO (2003) mengembangkan suatu pendekatan holistik yang disebut dengan pendekatan ekosistem pada perikanan atau Ecosystem Approach to Fisheries (EAF). Pendekatan ekosistem sekaligus merupakan implementasi dari ketentuan-ketentuan

Page 14: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem pembangunan perikanan berkelanjutan yang tercantum dalam Code of Conduct for responsible Fisheries (CCRF). Pemerintah Indonesia bertanggung jawab menetapkan pengelolaan sumberdaya perikanan. Indonesia melatakkan konsep tersebut dalam Undang undang no. 31 Tahun 2004 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan sebagai acuan normatif pengelolaan perikanan Indonesia. Dengan demikian, tindakan pengelolaan harus diimplementasikan melalui suatu pengambilan keputusan yang mengintegralkan berbagai tujuan pengelolaan dengan mempertimbangkan kinerja berbagai aspek. Penerapan Ecosystem Based Fisheries Management (EBFM) telah dikembangkan di berbagai negara yang disesuaikan dengan keadaan dan kondisi negara masing-masing. Di Australia, pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem telah diterapkan sebagai salah satu langksh ke depan untuk perikanan (Metcalf, 2009). Kebijakan terkait EBFM juga telah dikembangkan oleh Australian Fisheries Managemen Authority, dengan istilah Ecologically Sustainable Development (ESD). Pada kasus Amerika Serikat pada tahun 2010 menerapkan Rencana Pengeloaan Ekosistem Perikanan Kepulauan (RPP), Archipelagic Fishery Ecosystem Plans (FEPs) dan pada tahun 2012 berakhirnya “Overfishing” untuk semua sumberdaya ikan End of ‘overfishing’ for all USA fishery stocks. Berdasarkan pengalaman di beberapa negara tersebut, pendekatan EBFM mungkin sesuai untuk dikembangkan dan diterapkan oleh bangsa di Indonesis Indikator EAFM sebagaimana yang telah disusun oleh National Working Group II EAFM dan telah disahhkan melalui keputusan Dirjend Perikanan Tangkap No. 18 tahun 2014 (KKP 2014), mencakup indikator untuk domain sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem perairan, teknik penangkapan ikan, ekonomi, sosial dan domain kelembagaan.

Page 15: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem bertujuan untuk mencapai keberlanjutan kolektif dari seluruh komponen perikanan. Sebagai konsekwensinya, isu individual tidak dapat diatasi secara indefenden karena usaha pengelolaan yang dilakukan terhadap satu aspek kemungkinan akan berdampak bagi isu yang lain (Paterson et al. 2007). Sebagai akibatnya, implementasi EAFM juga menghadapi kendala berupa tidak tersedianya informadi saintifik yang cukup untuk melaksanakan pengelolaan komprehensif. Hal ini diidentifikasi ipula oleh Bianchi (2008), yang mengemukakan bahwa kurangnyya pengetahuan dianggap oleh sebagian kalangan sebagai hambatan terbesar dalam implementasi EAFM. Lebih lanjut Bianchi (2008), menandaskan bahwa salah satu perbedaan antara pengelolaan konvensional dengan pendekatan ekosistem adalah bahwa dalam pendekatan ekosistem tindakan pengelolaan dapat dilakukan dalam situasi dengan ketidakpastian yang tinggi dan kurangnya model prediktif. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis ekosistem sebagai paradigma baru dharapkan merupakan solusi bagi pengelolaan sumberdaya perikanan. Walaupun mungkin memerlukan waktu yang panjang untuk dapat menerapkannya. Model pengelolaan perikanan ekosistem dalam implementasinya harus disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat. Sebagaimana di Kalimantan Selatan tentunya memiliki perbedaan pada setiap domain.

Page 16: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Bab 2. Pengelolaan Perikanan berdasarkan WPP 2.1. Pengelolaan di Periran Laut Sesuai dengan UU No 31/2004 yang disempurnakan oleh UU No 45/2009 tentang Perikanan, wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan, dan atau pembudidayaan ikan meliputi 3 (tiga) karakteristik perairan yaitu (1) perairan Indonesia; (2) Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan (3) sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia sampai saat ini pihak pemerintah, yakni Departemen Kelautan dan Perikanan yang merupakan pengelola sumberdaya perikanan, terus mencari dan menyempurnakan cara yang tepat uuntuk diterapkan. Salah satu contoh adalah pembagian daerah perairan Indonesia. Dalam konteks ini, satuan wilayah pengelolaan perikanan diatur melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 1 tahun 2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan. Secara spasial, WPP di Indonesia dibagi menjadi 11 wilayah yang terbentang dari perairan Selat Malaka hingga Laut Arafura. Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia atau sering disingkat dengan WPP NRI merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut territorial, zona tambahan, dan zona ekonomi ekslusif Indonesia (ZEEI). Penentuan WPP-NRI yang sebelumnya berdasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan perikanan yang terbagi

Page 17: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem kedalam 9 WPP-NRI dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan (KOMNASJISKAN) melakukan revisi WPP-NRI dari 9 WPP-NRI menjadi 11 WPP-NRI. Penentuan 11 WPP-NRI mengacu kepada FAO (Food and Agriculture Organization of The United Nations) dimana penomoran dan pembagian wilayah pengelolaan sudah sesuai standar internasional FAO. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia telah menetapkan pembagian WPP menjadi 11 WPP (Gambar 1). Gambar 1. WPP di Indonesia 1. WPP-RI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman; Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi, WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia – Thailand, ZEE Indonesia – Malaysia, ZEE Indonesia – India; di sebelah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-Kab. Aceh Besar; di sebelah selatan berbatasan dengan Kab. Siak dan Kab. Palalawan, Prov. Riau; dan di sebelah timur berbatasan dengan Kab.

Page 18: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Bengkalis – Kab. Kampar. Secara umum, WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia – India; di sebelah timur berbatasan dengan titik temu antara batas terluar ZEE Indonesia – India dengan ZEE Indonesia – Thailand ditarik ke arah Selatan menyusuri batas terluar ZEE Indonesia – Malaysia di Selat Malaka hingga batas laut laut Indonesia – Singapura; di sebelah selatan berbatasan dengan selanjutnya ditarik garis kearah Barat menyusuri pantai Selatan Kab. Bengkalis hingga Perbatasan antara Kab. Palalawan dan Kab. Siak, Prov. Riau, melewati titik Tenggara terluar P. Rangsang dan P. Rupat; di sebelah barat berbatasan dengan perbatasan antara Kab. Palalawa dan Kab. Siak, Prov. Riau, ditarik garis menyusuri pantai Timur pulau Sumatera hingga batas antara Kota Banda Aceh dan Kab. Aceh Besar menuju Mauduru di P. Weh, Kota Sabang, lalu menyusuri pantai bagian Timur hingga Ujung Bau di titik paling Utara pulau tersebut yang diteruskan dengan menarik garis ke arah selatan tanjung terluar P. Nicobar besar hingga batas terluar ZEE Indonesia – India. 2. WPP-RI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda Wilayah Pengelolaan Perikanan 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda. Secara administrasi, WPP 572 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia – India; di sebelah timur berbatasan dengan pantai barat Pulau Sumatera; di sebelah selatan berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia – Australia; dan di sebelah barat berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia di Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera. Secara umum, WPP 572 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia – India; di sebelah timur berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia – India ditarik garis ke Selatan menyusuri batas WPP 571 hingga perbatasan antara Kota Banda

Page 19: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Aceh dan Kab. Aceh Besar, Prov. Aceh Darussalam, selanjutnya ditarik garis menyusuri pantai Barat P. Sumatera hingga perbatasan antara Kab. Lampung Timur dan Kab. Tulangbawang, Prov. Lampung; di sebelah selatan berbatasan dengan garis menyusuri batas WPP 712 hingga perbatasan antara Kab. Serang – Kota Cilegon, Jawa Barat, ditarik garis ke Selatan menyusuri pantai hingga Tanjung Guhakolak di Kab. Pandeglang, Prov. Banten hingga batas terluar ZEE Indonesia – Australia; dan di sebelah barat berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia di Sumatera Hindia di sebelah Barat pulau Sumatera. Berdasarkan analisis terhadap semua parameter, diperoleh penilaian kondisi ekosistem WPP 572 pada masing-masing indikator yaitu habitat 187.50 (sedang), sumberdaya ikan 200.00 (sedang), teknis penangkapan ikan 200.00 (sedang), sosial ekonomi 171.42 (sedang) dan kelembagaan 200.00 (sedang). Hasil analisis komposit agregat semua indikator menunjukkan nilai 191.78, dimana kondisi ekosistemnya adalah ‘SEDANG’ atau warna flag kuning. Kemudian analisis lebih detail, dapat dilihat pada masing-masing WPP berdasarkan indikatornya. 3. WPP-RI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat; WPP 573 mencakup area Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan nusa tenggara, Laut sawu, dan Laut Timor bagian Barat. WPP ini mencakup Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kondisi habitat di sekitar WPP 573 termasuk kategori buruk (skor 150) dimana pencemaran rendah, tutupan habitat lamun, coral, dan mangrove rendah, namun mempunyai laju sedimentasi yang rendah.

Page 20: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem 4. WPP-RI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan; WPP 711 mencakup area yang cukup luas dari Selat Karimata, Laut Natuna, sampai dengan Laut China Selatan. WPP ini meliputi area 10 provinsi yaitu Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Kondisi habitat di WPP 711 tergolong dalam kategori baik (skor 250). 5. WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa; WPP 712 mencakup area di sekitar Laut Jawa dan meliputi 8 provinsi. Kedelapan provinsi tersebut adalah Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Kondisi habitat di WPP 712 tergolong dalam kategori buruk (skor 112,5) dengan tutupan habitat mangrove, lamun, dan terumbu karang yang rendah, produktifitas estuari yang rendah, serta laju sedimentasi yang tinggi akibat kerusakan lahan atas. 6. WPP-RI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; WPP 713 mencakup area Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali. WPP ini meliputi provinsi Jawa Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Kondisi habitat di WPP 713 tergolong dalam kategori sedang (skor 187,5) dengan tutupan habitat lamun yang rendah, tutupan mangrove dan terumbu karang sedang, namun ada indikasi habitat resistant dan resilience terhadap pengaruh global warming.

Page 21: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem 7. WPP-RI 714 Meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda; WPP 714 mencakup area sekitar Teluk Tolo dan Laut Banda pada 6 provinsi. Keenam provinsi tersebut adalah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara. Kondisi habitat di WPP 714 tergolong dalam kategori sedang (skor 175). Walaupun mempunyai tutupan mangrove yang rendah, tutupan coral dan lamun yang sedang, kondisi perairan wilayah ini masih relatif baik. 8. WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau; WPP 715 ini meliputi Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau yang tercakup dalam wilayah administrasi 7 provinsi. Ketujuh provinsi tersebut adalah Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. Kondisi habitat di WPP 715 tergolong dalam kategori baik (skor 250). Hampir semua indikator habitat menujukkan kondisi yang sedang sampai baik. 9. WPP-RI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera; WPP 716 ini meliputi Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera yang tercakup dalam wilayah administrasi 5 provinsi. Kelima provinsi tersebut adalah Kalimantan Timur, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Kondisi habitat di WPP 716 tergolong dalam kategori baik (skor 262,5). Hampir semua indikator habitat menujukkan kondisi yang sedang sampai baik. 10. WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik;

Page 22: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Cakupan WPP 717 meliputi Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik yang berada dalam provinsi Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Kondisi habitat di WPP 717 tergolong dalam kategori baik (skor 275). Hampir semua indikator habitat menujukkan kondisi yang sedang sampai baik, kecuali terdapat potensi pencemaran di beberapa wilayah dimana terdapat industri besar. Selain itu, luasan tutupan lamun di WPP ini relatif sedang. WPP 718 mencakup area Teluk Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur yang meliputi Provinsi Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Kondisi habitat di WPP 718 masuk dlam kategori baik (skor 262,5) dimana hampir setiap indikator habitat masih berada dalam kondisi baik, kecuali bahwa di WPP ini mempunyai potensi pencemaran karena keberadaan industri besar. Selain itu, dalam WPP ini juga mempunyai kerapatan mangrove yang relatif sedang saja. 11. WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur. WPP 718 mencakup area Teluk Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur yang meliputi Provinsi Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Kondisi habitat di WPP 718 masuk dlam kategori baik (skor 262,5) dimana hampir setiap indikator habitat masih berada dalam kondisi baik, kecuali bahwa di WPP ini mempunyai potensi pencemaran karena keberadaan industri besar. Selain itu, dalam WPP ini juga mempunyai kerapatan mangrove yang relatif sedang saja. Kajian awal EAFM yang dilakukan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB, pada tahun 2010 yang lalu. Sebagian besar WPP apabila dilihat dari konteks pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan masih tergolong sedang (nilai indeks 150-200). Secara agregat, terdapat 4 WPP yang masuk dalam kategori baik yaitu WPP 711, WPP 716, WPP 717 dan WPP 718. Sedangkan WPP 712 dalam kondisi kurang baik.

Page 23: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem 2.2. Pengelolaan di Perairan Umum Sama halnya dengan perairan laut. Pengelolaan perairan umum sebagai salah satu upaya kegiatan perikanan dalam memanfaatkan sumberdaya secara berkesinambungan perlu dilakukan secara bijaksana. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan umum melalui kegiatan penangkapan dan budidaya mempunyai kecenderungan semakin tidak terkendali, dimana jumlah tangkap tidak lagi seimbang dengan daya pulihnya. Agar terjadi keseimbangan maka diperlukan pengelolaan sumberdaya yang lebih hati-hati. di perairan umum agar tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, serta terjaminnya kelangsungan usaha pemanfaatan sumberdya ikan dengan tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan di perairan umum. Lahan Basah Vide Kepres RI No 48 tahun 1991 Daerah payau, tanah gambut atau perairan, baik yang bersifat alami maupun buatan, tetap ataupun sementara, dengan perairannya yang tergenang ataupun mengalir, tawar, agak asin ataupun asin, termasuk daerah-daerah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut. Kondisi Lahan Basah Indonesia hingga saat ini Berada dalam status dan pengelolaan yang berbeda-beda Sebagian besar telah mengalami kerusakan. Perlu upaya serius untum mencegah berlanjutnya kerusakan. 1. Sungai Sungai adalah perairan yang airnya mengalir secara terus menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan, dan atau air permukaan yang akhirnya bermuara ke laut atau perairan terbuka yang luas. Ada bermacam-macam jenis sungai. Berdasarkan sumber airnya sungai dibedakan menjadi tiga macam yaitu: sungai hujan, sungai gletser dan sungai campuran.

Page 24: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem a) Sungai Hujan, adalah sungai yang airnya berasal dari air hujan atau sumber mata air. Contohnya adalah sungai-sungai yang ada di pulau Jawa dan Nusa Tenggara. b) Sungai Gletser, adalah sungai yang airnya berasal dari pencairan es. Contoh sungai yang airnya benar-benar murni berasal dari pencairan es saja (ansich) boleh dikatakan tidak ada, namun pada bagian hulu sungai Gangga di India (yang berhulu di Peg. Himalaya) dan hulu sungai Phein di Jerman (yang berhulu di Pegunungan Alpen) dapat dikatakan sebagai contoh jenis sungai ini. c) Sungai Campuran, adalah sungai yang airnya berasal dari pencairan es (gletser), dari hujan, dan dari sumber mata air. Contoh sungai jenis ini adalah sungai Digul dan sungai Mamberamo di Papua (Irian Jaya). Sungai mati, perairan lebak, kanal dan saluran irigasi yang dibuat manusia termasuk ke dalam kategori sungai. 2. Danau Danau adalah genangan air yang luas dengan tinggi dan luas permukaan air berfluktuasi kecil, yang kedalamannya dangkal atau sangat dalam, mempunyai atau tidak mempunyai sungai yang mengalir ke dalam atau ke luar perairan, terbentuk secara alami dan terisoiasi dari laut. Situ dan telaga termasuk kedalam kategori danau. Berdasarkan terbentuknya, dapat dibedakan atas beberapa jenis yaitu sebagai berikut: a) Danau Tektonik yaitu danau yang terbentuk tenaga endogen yang bersumber dari gerakan tektonik. Misalnya Danau Tondano dan Danau Towuti di Sulawesi. b) Danau Vulkanik, yaitu danau bekas kawah kawah gunung api. Misalnya Danau Kawah Gunung Kelud, Gunung Batur, Gunung Galunggung dan lain sebagainya.

Page 25: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem c) Danau Vulkano-tektonik yaitu danau yang terbentuk karena proses vulkanik dan tektonik. Hal ini diakibatkan kerena patahan atau depresi pada bagian permukaan bumi pasca letusan. d) Danau Pelarutan (solusional) yaitu danau yang terbentuk pada bentuk lahan negative atau berada dibawah rata-rata permukaan bumi akibat pelarutan. e) Danau Tapal Kuda (oxbow lake) terbentuk akibat proses pemotongan meander secara alami dan ditinggalkan alirannya sehingga disebut kali mati. 3. Waduk Waduk atau reservoir (etimologi: réservoir dari bahasa Perancis berarti "gudang") adalah danau alam atau danau buatan, kolam penyimpan atau pembendungan sungai yang bertujuan untuk menyimpan air. Waduk disebut juga genangan air yang terbentuk karena pembendungan aliran sungai oleh manusia. 4. Rawa Rawa adalah perairan yang cukup luas yang terdapat di dataran rendah dengan sumber air dari air hujan, air laut dan atau berhubungan atau tidak berhubungan dengan sungai, relatif tidak dalam, berdasar lumpur dan atau tumbuhan membusuk, banyak terdapat vegetasi baik yang mengapung dan mencuat maupun tenggelam. Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan antara daratan dan perairan, selalu tergenang sepanjang tahun atau selama kurun waktu tertentu, genangannya relatif dangkal, dan terbentuk karena drainase yang terhambat. Lahan rawa dapat dibedakan dari danau, karena genangan danau umumnya lebih dalam dan tidak bervegetasi kecuali tumbuhan air yang terapung. Lahan rawa umumnya ditumbuhi oleh vegetasi

Page 26: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem semak berupa herba dan tanaman air seperti bakung, rumput air, purun, dan pandan; atau ditumbuhi oleh pohon-pohon yang tingginya lebih dari 5 m dan bertajuk rapat seperti meranti rawa, jelutung, ramin dan gelam. Lahan rawa yang didominasi oleh tumbuhan semak sering disebut rawa non hutan, sedangkan yang vegetasinya berupa pohon-pohon tinggi sering disebut rawa berhutan atau hutan rawa (Subagjo, 1998). Berdasarkan proses terbentuknya, rawa dibedakan dalam beberapa jenis: a) Rawa Pantai Rawa ini slalu dipengaruhi oleh pasang-surut air laut b) Rawa Pinggiran Rawa pinggiran sepanjang aliran sungai terjadi akibat sering meluapnya air sungai tersebut c) Rawa Abadi d) Rawa yang airnya terjebak dalam sebuah cekungan dan tidak memiliki pelepasan ke lau. Air rawa ini asam dan berwarna kemerah-merahan. C. Daerah Aliran Sungai DAS adalah sebidang lahan yang menampung air hu jan dan mengalirkannya menuju parit, sungai dan akhirnya bermuara ke danau atau laut. Istilah yang juga umum digunakan untuk DAS adalah daerah tangkapan air (DTA) atau catchment atau watershed. Batas DAS adalah punggung perbukitan yang membagi satu DAS dengan DAS lainnya. Kecendrungan global pengelolaan perikanan semakin memberikan manfaat baik untuk generasi saat ini maupun denerasi mendatang (Sustainable Development, UNCED 2001). Hal ini terkait erat dengan karakteristik sumberdaya ikan yang bersifat dinamis. Sumberdaya ikan mempunyai keterbatasan kemampuan untuk pulih (renewable) memiliki sifat berimigratif. sehngga berpotensi akan musnah bila tidak dikelola dengan benar.

Page 27: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Luas wilayah perairan umum daratan di Indonesia mencapai 54 juta ha dengan luas lahan rawa di Indonesia mencapai 33,4 juta ha (17%) dari luas daratan (Nugroho et al. 1992). Luasan rawa tersebut terdiri dari 20,1 juta ha lahan pasang surut dan 13,3 juta ha rawa non pasang surut yang tersebar di wilayah Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya (Papua) dan Sulawesi. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kal-Sel (2015), jumlah dan luasan rawa di Kalimantan Selatan seluas 96 Ha yang berada di beberapa Kabupaten yaitu Kabupaten Banjar 10 ha, Tapin 10 ha, Hulu Sungai Selatan 6 ha, Hulu Sungai Tengah 5 ha, Hulu Sungai Utara 50 ha dan Tabalong 15 ha.

Page 28: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Bab 3. Konsep Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan 3.1. Perikanan tangkap Perikanan tangkap dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penanfaatan sumberdaya hayati laut maupun perairan umum melalui penangkapan ikan maupun hewan-hewan dan tumbuhan air lainnya. Tangkapan tersebut selanjuutnya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup nelayan dan keluarganya dengan cara mengkonsumsinya langsung atau memasarkan dalam bentuk ikan segar ataupun ikan olahan. Kegiatan tersebut berdasarkan jenis atau skala usahanya dapat dibedakan ke dalam perikanan subsisten, perikanan artisanal dan perikanan industri (Purbayanto, 2003). Perkembangan perikanan tangkap perikanan tangkap di Indonesia dimulai sejak tahun 1960-an, dimana saat itu introduksi teknologi penangkapan yang lebih efektif seperti pukat cincin dan pukat harimau terus dilakukan. Saat ini perkembangannya cukup pesat dan cenderung tidak merata dan tidak terkendali, sehingga telah menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks. Beberapa wilayah yang padat penduduk dengan perairan yang kaya akan sumber daya ikan umumnya telah diusahakan secara intensif dan dikuatirkan dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan, khususnya di perairan pantai utara dan selatan Jawa, Selat Malaka dan Selat Makasar (Purbayanto 2003). Alat penangkapan ikan berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang ada dengan berbagai macam teknik pengoperasian dan sarana apungnya. Keaneka-ragaman bentuk alat penangkapan ikan yang ada dan tersebar di seluruh wilayah pengelolaan

Page 29: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem perikanan Indonesia. Untuk Kemudahan nelayan membedakan target tangkapan, kebiasaan atau budaya dan apakah merupakan introduksi alat dibawa pendatang dari daerah lain maka dibuat suatu sistem penggolongan/klasifikasi alat penangkapan ikan bertujuan untuk mengelompokkan berbagai jenis alat penangkapan ikan untuk memudahkan identifikasi, pengelolaan dan pengendalian. Identifikasi alat tangkap biasanya dilakukan berdasarkan bentuk alat tangkap sendiri, operasi penangkapan, terget tangkapan dan lain-lain. Berdasarkan International Standard Statistical Classification of Fishing Gear (ISSCFG – FAO, 1980 )menggolongkan alat tangkap ikan menjadi 14 (empat belas) kelompok, yang dibedakan berdasarkan prinsip penangkapan dan bentuk alat serta cara operasinya. Tabel 1. Penggolongan alat tangkap International Standard Statistical Classifcation of Fishing Gear (ISSCFG – FAO, 1980) No PENGGOLONGAN SINGKATAN Kode ISSCFG 1 SURROUNDING NETS - 01.0.0 With purse lines (Purse seines) PS 01.1.0 One boat operated purse seines PS1 01.1.1 Two boats operated purse seines PS2 01.1.2 Without purse lines (lampara) LA 01.2.0 2 SEINE NETS - 02.0.0 Beach seines SB 02.1.0 Boat or vessel seines SV 02.2.0 Danish seines SDN 02.2.1 Scottish seines SSC 02.2.2 Pair seines SPR 02.2.3 Seine nets (not specified) SX 02.9.0

Page 30: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 1. Lanjutan 3 TRAWL - 03.0.0 Bottom trawls - 03.1.0 beam trawls TBB 03.1.1 otter trawls* OTB 03.1.2 pair trawls PTB 03.1.3 nephrops trawls TBN 03.1.4 shrimp trawls TBS 03.1.5 bottom trawls (not specified) TB 03.1.9 Midwater trawls - 03.2.0 otter trawls* OTM 03.2.1 pair trawls PTM 03.2.2 shrimp trawls TMS 03.2.3 midwater trawls (not specified) TM 03.2.9 Otter twin trawls OTT 03.3.0 Otter trawls (not specified) OT 03.4.9 Pair trawls (not specified) PT 03.5.9 Other trawls (not specified) TX 03.9.0 4 DREDGES - 04.00 Boat dredges DRB 04.1.0 Hand dredges DRH 04.2.0 5 LIFT NETS - 05.0.0 Portable lift nets LNP 05.1.0 Boat- operated lift nets LNB 05.2.0 Shore-operated stationary lift nets LNS 05.3.0 Lift nets (not specified) LN 05.9.0 6 FALLING GEARS - 06.0.0 Cast nets FCN 06.1.0 Falling gera (not specified) FG 06.9.0

Page 31: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 1. Lanjutan 7 GILLNETS AND ENTANGLING NETS - 07.0.0 Set gillnets (anchored) GNS 07.1.0 Driftnets GND 07.2.0 Encircling gillnets GNC 07.3.0 Fixed gillnets (on stakes) GNF 07.4.0 Trammel nets GTR 07.5.0 Combined gillnets-trammel nets GTN 07.6.0 Gillnets and entangling nets (not specified) GEN 07.9.0 Gillnets (not specified) GN 07.9.1 8 TRAPS 08.0.0 Stationary uncovered pound nets FPN 08.1.0 Pots FPO 08.2.0 Fyke nets FYK 08.3.0 Stow nets FSN 08.4.0 Barriers, fences, weirs, etc FWR 08.5.0 Aerial traps FAR 08.6.0 Traps (not specified) FIX 08.9.0 9 HOOKS AND LINES 09.0.0 Handlines and pole-lines (hand operated)** LHP 09.1.0 Handlines and pole-lines (mechanized)** LHM 09.2.0 Set longlines LLS 09.3.0 Drifting longlines LLD 09.4.0 Longlines (not specified) LL 09.5.0 Trolling lines LTL 09.6.0 Hook and lines (not specified)*** LX 09.9.0 10 GRAPPLING AND WOUNDING - 10.0.0 Harpoons HAR 10.1.0

Page 32: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 1. Lanjutan No PENGGOLONGAN SINGKATAN Kode ISSCFG 11 HARVESTING MACHINES - 11.0.0 Pumps HMP 11.1.0 Mechanized dredges HMD 11.2.0 Harvesting machines (not specified) HMX 11.9.0 12 MISCELLANEOUS GEAR**** MIS 20.0.0 13 RECREATIONAL FISHING GEAR RG 25.0.0 14 GEAR NOT KNOWN OR NOT SPECIFIED NK 99.0.0 Berdasarkan Statistik PerikananTangkap Laut Indonesia yang diterbikan menggolongkan alat penangkap ikan menjadi 9 (sembilan) kelompok, yang dibedakan berdasarkan kombinasi antara prinsip penangkapan, bentuk alat serta nama ikan sasaran tangkap dan cara operasinya. Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Statistik Perikanan No Penggolongan Jenis Alat Penangkap Ikan 1 PUKAT TARIK 1. Pukat Tarik Udang Ganda 2. Pukat Tarik Udang Tunggal 3. Pukat Tarik Berbingkai 4. Pukat Tarik Ikan 2 PUKAT KANTONG 1. Payang (termasuk Lampara) 2. Dogol (termasuk Lampara Dasar, Jaring Arad, Cantrang) 3. Pukat Pantai 3 PUKAT CINCIN (PURSE SEINE) 4 JARING INSANG (GILL NET) 1. Jaring insang Hanyut 2. Jaring insang Lingkar 3. Jaring Klitik 4. Jaring insang tetap 5. Jaring insang tiga lapis

Page 33: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 2 Lanjutan 5 JARING ANGKAT 1. Bagan perahu/rakit 2. Bagan Tancap 3. Serok dan Songko 4. Anco 5. Jaring angkat lainnya 6 PANCING 1. Rawai Tuna 2. Rawai Hanyut lain selain Rawai Tuna 3. Rawai tetap 4. Rawai tetap dasar 5. Huhate 6. Pancing Tonda 7. Pancing Ulur 8. Pancing Tegak 9. Pancing Cumi 10. Pancing lainnya 7 PERANGKAP 1. Sero 2. Jermal 3. Bubu 4. Perangkap Lainnya 8 ALAT PENGUMPUL DAN ALAT PENANGKAP 1. Alat Pengumpul Rumput Laut 2. Alat Pengumpul Kerang 3. Alat Penangkap Tripang 4. Alat Penangkap Kepiting 9 LAIN-LAIN 1. Muroami 2. Jala Tebar 3. Garpu dan Tombak Berdasarkan Klasifikasi Alat Penangkapan Ikan (KAPI) yang disusun oleh BBPI Semarang pada tahun 2007 (mengacu dari Penggolongan ISSCFG, FAO) dengan tujuan menggolongkan alat penangkap ikan yang ada dan berkembang di Indonesia khususnya, dalam penggolongannya menjadi 12 (dua belas) kelompok, yang dibedakan berdasarkan prinsip penangkapan dan bentuk alat serta cara operasinya. Klasifikasi ini untuk dapat mengakomodir perkembangan serta dalam rangka menata semua jenis alat penangkap ikan yang ada di Indonesia sesuai dengan kondisi yang berkembang, sehingga diharapkan dapat

Page 34: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem memberikan gambaran kondisi perkembangan alat dan mendukung data produksi perikanan tangkap. Klasifikasi ini belum dipakai sebagai acuan atau rujukan dan digunakan oleh BBPI Semarang dalam rangka pendataan dan penyusunan database sarana perikanan tangkap Indonesia, karena masih dalam proses pengusulan sebagai bahan Rancangan Standar Klasifikasi Alat Penangkapan Ikan Indonesia melalui proses Standardisasi untuk dapat menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI). Tabel 3. Klasifikasi Alat Penangkapan Ikan – BBPI Semarang No PENGGOLONGAN SINGKATAN Kode ISSCFG 1 JARING LINGKAR JL 01.0.0 Jaring Lingkar Bertali kerut (Pukat Cincin) JLPC 01.1.0 - Pukat Cincin Satu Kapal JLPC-1K 01.1.1 - Pukat Cincin Dua Kapal JLPC-2K 01.1.2 Jaring Lingkar Tanpa Tali kerut (Lampara) JLLA 01.2.0 2 PUKAT TARIK PT 02.0.0 Pukat Tarik Pantai PTP 02.1.0 Pukat Tarik Berkapal PTK 02.2.0

Payang PTK-Py 02.2.1 Dogol PTK-Dg 02.2.2 Cantrang PTK-Cn 02.2.3 Lampara Dasar PTK-Ld 02.2.4 Pukat Tarik Lainnya PTL 02.9.0 3 PUKAT HELA PH 03.0.0 Pukat Hela Pertengahan PHP 03.1.0

Pukat Hela Pertengahan Berpapan PHP-Pp 03.1.1 Pukat Hela Pertengahan Dua Kapal PHP-2K 03.1.2

Page 35: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 3 Lanjutan Pukat Hela Pertengahan Lainnya PHP-L 03.1.9 Pukat Hela Dasar PHD 03.2.0 Pukat Hela Dasar Berpalang PHD-Pl 03.2.1

- Pukat Hela Dasar Berpapan PHD-Pp 03.2.2 Pukat Hela Dasar Dua Kapal PHD-2K 03.2.3 Pukat Hela Dasar Lainnya PHD-L 03.2.9 Pukat Hela Lainnya PHL 03.9.0 4 PUKAT DORONG PD 04.0.0 Pukat Dorong Tidak Berkapal PDTK 04.1.0 Pukat Dorong Berkapal PDK 04.2.0 Pukat Dorong Berkapal Satu Jaring PDK-1J 04.2.1 Pukat Dorong Berkapal Dua jaring PDK-2J 04.2.2 Pukat Dorong Lainnya PDL 04.9.0 5 PENGGARUK PG 05.0.0 Penggaruk Tanpa Kapal PGTK 05.1.0 Penggaruk Berkapal PGK 05.2.0 6 JARING ANGKAT JA 06.0.0 Jaring Angkat Menetap JAM 06.1.0 - Anco Tanpa Kapal JAM-A 06.1.1 - Bagan Tancap JAM-BT 06.1.2 Jaring Angkat Tidak Menetap JATM 06.2.0 - Bagan Rakit JATM-BR 06.2.1 - Bagan Perahu JATM-BP 06.2.2 - Anco Berkapal (Bouke Ami) JATM-BA 06.2.3 Jaring Angkat Lainnya JAL 06.9.0 7 ALAT YANG DIJATUHKAN /DITEBARKAN AJT 07.0.0 Jala Tebar AJTT 07.1.0 Jala Jatuh AJTJ 07.2.0 - Jala Jatuh Tanpa Kapal AJTJ-TK 07.2.1 - Jala Jatuh Berkapal (Cast Net) AJTJ-K 07.2.2 Alat Jatuh Lainnya AJTL 07.9.0 ALAT YANG DIJATUHKAN /DITEBARKAN AJT 07.0.0

Page 36: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 3 Lanjutan 8 JARING INSANG JI 08.0.0 Jaring Insang Hanyut JIH 08.1.0 Jaring Insang Tetap JIT 08.2.0 Jaring Insang Lingkar JILR 08.3.0 Jaring Insang Berlapis JIBL 08.4.0 Jaring Insang Lainnya JIL 08.9.0 JARING INSANG JI 08.0.0 Jaring Insang Hanyut JIH 08.1.0 9 PERANGKAP PR 09.0.0 Perangkap Berpenaju (Sero, Belat) PRP 09.1.0 Perangkap Tanpa Penaju PRTP 09.2.0 - Perangkap Bersayap (Pukat labuh, Gombang, Apong) PRTP-S 09.2.1 - Perangkap Tanpa Sayap (Ambai, Togo, Jermal, Pengerih) PRTP-TS 09.2.2 Bubu PRB 09.3.0 Perangkap lainnya PRL 09.9.0 - Perangkap Ikan Peloncat PRIL 09.9.1 10 PANCING PC 10.0.0 Pancing Ulur PCU 10.1.0 Pancing Berjoran PCJo 10.2.0 Rawai Tetap PCRT 10.3.0 Rawai Hanyut PCRH 10.4.0 Tonda PCT 10.5.0 Pancing lainnya PCL 10.9.0 PANCING PC 10.0.0 Pancing Ulur PCU 10.1.0 11 ALAT PENJEPIT DAN MELUKAI APM 11.0.0 Ladung LD 11.1.0 Tombak TB 11.2.0 Panah PN 11.3.0 Alat Penjepit dan melukai lainnya APML 11.9.0 12 ALAT-ALAT LAINNYA AAL 20.0.0 Muro Ami MA 20.1.0

Page 37: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem 3.2. Konsep Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan adalah suatu konsep yang normatif, menyiratkan pilihan-pilihan tujuan untuk mencapai realisasi potensi manusia (Bryant dan white, 1982). Istilah pembangunan sering juga disama artikan dengan pengembangan. Pembangunan menurut Manurung et al. (1998), merupkan suatu proses yang membawa kepada peningkatan kemampuan (khususnya di pedesaan) mengenai lingkungan, sosial, yang disertai dengan meningkatnya taraf hidup. Dalam konteks perikanan, Monintja (1987) mengartikan pengembangan perikanan di sustu wilayah perikanan ditekankan kepada perluasan kesempatan kerja. Teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan yang relatif dapat menerap tenaga kerja, dengan pendapatan per nelayan memadai. Selanjutya Monintja mengaitkannya dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki iproduktivitas per unit serta produktivitas nelayan per tahun yang tinggi, namun masih dapat dipertanggung jawabkan untuk tidak merusak lingkungan. Pembangunan pada prinsipnya merupakan pemanfaatan sumberdaya untuk kesejahteraan manusia dengan tetap memperhatikan nilai-nilai lingkungan yang terkandung pada sumberdaya tersebut sehingga bisa dimanfaatkan terus menerus oleh generasi mendatang. Menurut Fauzi (2004) pembangunan ekonomi selalu menghadapi dua masalah yang mengharuskan pengambil kebijakan melakukan pilihan antara pemenuhan kebutuhan pembangunan disatu sisi dan upayya untuk mempertahankan kelestarian disisi lain. Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis dan masyarakat) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Pembanguanan berkelanjutan adalah terjemahan dari bahasa Inggris,

Page 38: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimanan memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Laporan dari KTT Dunia tahun 2005 yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan sebagai terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat. Keberlanjutan pembangunan dapat didefinisikan dalam arti luas yaitu bahwa generasi yang akan datang harus berada dalam posisi yang tidak lebih buruk daripada generasi sekarang. Ggenerasi sekarang boleh memiliki sumberdaya alam serta melakukan berbagai pilihan dalam penggunaannya namun harus tetap menjaga keberadaaannya, sedangkan generasi yang akan datang walaupun memiliki tingkat teknologi dan pengetahuan yang lebih baik serta persediaan kapital buatan manusia yang lebih memadai. Pembangunan berkelanjutan ini tentunya tidak terlepas dari aspek ekonomi pembangunan yang dapat diartikan sebagai bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari bgaimana usahan manusia atau suatu bangka meningkatkan taraf hidupnya melalui peningkatan pendapatan nasional per kapita, retribusi pendapatan serta menghapuskan kemiskinan. Sedangkan yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi adalah usaaha-usaha bagaimanan manusia atau suatu bangsa berusaha meningkatkan standar hidupnya ke taraf yang lebih baik dengan didtribbusi pendapatan yang lebih merata tanpa kemiskinan bagi bangsa tersebut. Pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun konsep “pertumbuhan ekonomi” itu sendari bermasalah, karena sumberdaya bumi sendiri terbatas. Pembangunan berkelanjutan tidak saja bekonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas dari pada itu, pembangunan berkelanjutan

Page 39: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem mencakup tiga lingkup kebijakan (1) pembangunan ekonomi; (2) pembangunan sosial; (3) perlindungan lingkungan. Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumenn hasil World Summit 2005 menyebut ketiga hal dimensi tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan. Wilkonson et al (2007) menambahkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan adalah interaksi antara dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan yang disebut triple bottom line concept, sehingga merupakan bagian kecil (intersection) ndari dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan tersebut. Model tersebut tidak memberikan integritas suatu konsep berkelanjutan karena satu dimensi dengan dimensi yang lainnya bukan merupakan bagian yang saling mendukung keberlanjutan. Oleh karena ittu, pendekatan yang cocok untuk keberlanjutan adalah model tiga pilar atau disebut Russian Doll Model. Pada model tiga pilar tersebut, dimensi ekonomi merupakan bagian dari dimensi sosial, kemudian dimensi ekonomi dan sosial merupakan bagian dari dimensi lingkkungan. Perlu adanya pengelolaan untuk menghindari adanya konflik kantara berkelanjutan pembanganunan ekonomi dengan sumberdaya, karena apa yang diperoleh oleh generasi muda akan datang adalah merupakan titipan dari generasi masa kini, jadi tanpa ada pengelolaan yang baik, maka untuk meniadakan masalah ketidak merataan antar generasi tidak akan terpenuhi. Namun apabila keterkaitan antara kedua bidang tersebut diamati dan dipelajari dengan seksama (Gambar 2), maka akan tampak bahwa keberlanjutan di kedua bidang itu akan saling mendukung dan menguntungkan. Pada pembangunan ekonomi behasil berarti meningkatkan kemampuan masyarakat untuk melindungi lingkungannya. Begitupula lingkungan akan berkelanjutan apabila memiliki sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan dan teknologi ramah lingkungan

Page 40: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 2. Model Russian Doll atau tiga pilar model pembangunan berkelanjutan Sumber: Wilkonson et al. (2007) Kebutuhan akan pembangunan berkelanjutan ini telah sejak lama disosialisasikan, dimulai sejak Maltus mengkhawatirkan ketersediaan lahan di Inggris akibat ledakan penduduk yang sangat pesar pada tahun 1798. Pada tahun 1972, Meadaw dan kawan-kawan menerbitkan publikasi yang berjudul The Limit to Growth yang intinya menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya alam. Dengan ketersediaan sumberdaya alam yang terbatas, arus barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam tidak akan bisa dilakukan secara terus menerus. Pembangunan berkelanjutan terus menjadi perdebatan, untuk melengkapi dasar-dasar teori yang telah diletakan oleh pakar sebelumnya World Commissionon Environmental and Development (WCED) atau yang dikenal sebagai Brundtland Commission 1987, menerbitkan buku dengan judul our common future. Ada dua hal yang menjadi perhatian utama dalam konsep Brundtland ini yaitu : (1) menyangkut pentingnya Economic Social Environmental

Page 41: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem memperhatikan kendala sumberdaya alam dan liungkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi; (2) Menyangkut perhatian pada kesejahteraan generasi mendatang, namun konsep-konsep yang dikembangkan tersebut dirasakan masih sangat normatif sehingga dirasakan banyak kendala dalam proses penerapannya (Fauzi, 2004). Preman et al (1996) mengelaborasi konseptual keberlanjutan dengan mengajukan lima alternatif pengertian: (1) Suatu kondisi dikatakan berkelanjutan jika utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu. (2) Keberlanjuutan adalah kondisi dimana sumberrdaya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi di masa yang akan datang (3) Keberlanjutan adalah kondisi sumberdaya alam tidak berkurang sepanjang waktu (4) Keberlanjutan adalah kondisi dimanan sumberdaya alam dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumberdaya alam. (5) Keberlanjutan adalah kondisi dimana standar minimum keseimbangan dan daya tahan ekosstem terpenuhi. Banyak praktisi pembangunan menganggap pendekatan yang dilakukan dalam pembangunan berkelanjutan terlalu mengutamakan perhitungan faktor luar sehingga pembangunan berlekanjutan dianggap sesuatu yang maya atau utopis atau sesuatu yang dianggap sebagai tori saja sehingga sulit diimplementasikan. Penyebab dari anggapan ini karena persoalan yang diangkat cenderung merupakan faktor eksternal (dari luar manusia) seperti ekonomi, sosial dan lingkungan. Ketiga konsep tersebut perlu ditambah dengan satu lagi yaitu aspek keberlanjutan manusia. Dalam keberlanjutan manusia yang dimaksud adalah peningkatan kualitas manusia secara etika seperti pendidikan, kesehatan, rasa empati, saling menghargai

Page 42: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem dan kenyamanan yang terangkum dalam spiritual, emosional dan intelektual. Penambahan aspek keberlanjutan manusia ini disebut dengan konsep sustainable future (Djajadiningrat, 2005). 3.2. Pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan Pengelolaan sumberdaya bertujuan untuk menjaga agar sumberdaya tidak musnah, dengan kata lain sumberdaya mampu memberikan manfaat yang maksimal bagi manusia, sementara kelestariannya terjaga. Sumberdaya hayati khususnya perikanan tangkap merupakan sumberdaya yang unik yaitu open acces dan common property sehingga dalam pemanfaatannya kemungkinan mengalami over fishing apabila tidak ditangani dengan konseppp ramah lingkungan dan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya ikan tersebut harus dilakukan eksploitasi dengan penangkapan oleh nelayan. Sehingga diperlukan suatu usaha pengelolaan terhadap eksploitasi ikan tersebut agar dapat dibatasi untuk generasi yang akan datang. Dalam Undang-Undang Perikanan No. 31 Tahun 2004, dijelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan adalah semuaya yang dilakukan bertujuan mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan secara optimal dan terus menerus aatau berkelanjutan (sustainable). Menurut Fauzi dan Anna (2005) paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami perubahan dari paradigma konservasi (biologi) ke paradigma rasionalisasi (ekonomi) kemudian ke paradigma sosial/komunitas. Walaupun demikian, ketiga paradigma tersebut masih tetap relevan dalam kaitan dengan pembangunan perikanan berkelanjutan dan harus mengakomodasi ketiga aspek tersebut. Konsep pembangunan perikanan berkelanjutan sendiri mengandung beberapa aspek, antara lain: 1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi)

Page 43: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi pertimbangan utama 2. Sosioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi)\ Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dai kesejahteraan pelaku perikanan baik pada tingkat individu ataupun pada tahap industri perikanan. Dengan kata lain mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan pertimbangan dalam kerangka keberlanjutan ini 3. Community sustainability (keberlanjutan masyarakat) Konsep ini mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan. 4. Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan) Dalam kerangka ini keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut pada regulasi dan kebijakan tentanng pengelolaan perikanan tangkap seperti: kegiatan memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian setiap komponen dilihat sebagai komponen yang penting untuk menunjang keseeluruhan proses pembangunan perikanan yang berkesinambungan harus mampu memelihara tingkat prioritas dari setiap komponen sustainable tersebut. Dengan kata lain keberlanjutan sistem akan menurun melalui kebijakan yang ditujukan hanya untuk mencapai satu elemen keberlanjutan saja. Alder et al (2000) diacu dalam Fauzy dan Anna (2005) pendekatan holistik tersebut harus mengakomodasi berbagai komponen yang menentukan keberlanjutan pembangunan perikanan. Komponen tersebut menyangkut aspek ekkologi, ekonomi, teknologi, sosiologi dan aspek etis.

Page 44: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Dari setiap komponen atau dimensi ada beberapa artibut yang harus dipenuhi sebagai keberlanjutan. Beberapa komponen tersebut adalah: - Ekologi : tingkat eksploitasi, keragaman rekruitmen, perubahan ukuran tangkap, dan hasil tangkapan ikan sampingan (by catch) serta produktivitas primer - Ekonomi : kontribusi perikanan terhadap GDP, penyerapan tenaga kerja, sifat kepemilikan, tingkat subsidi dan alternatif income - Sosial : pertumbuhan komunitas, status konflik, tingkat pendidikan, dan pengetahuan lingkungan (environmental awareness). - Teknologi : Lama trip, tempat pendaratan ikan, selektivitas alat, rumpon (Fish Aggregating Device’s/FADs), ukuran kapal dan efek samping dari alat tangkap - Etik : kesetaraan, illegal fishing, mitigasi terhadap habitat, mitigasi terhadap ekosistem dan sikap terhadap limbah dan by catch. Contoh kriteria analsis dimensi pembangunan sumberdaya perikanan berkelanjutan dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Atribut/dimensi pembangunan sumberdaya perikanan berkelanjutan Dimensi /Atribut Baik Buruk Keterangan Bobot Penilaian Ekologi Status eksploitasi 0 4 Mengacu pada skala FAO: Under (0); sangat berat (2); lebih tangkap (3); hancur (4) Perubahan trophic level 0 2 Apakah thropic level sektor perikanan menurun: Tidak (0) ; lambat (1); cepat (2) Jangkauan daerah penangkapan 2 0 Jarak penangkapan ikan dari garis pantai: < 4 mil (0); < 12 mil (1); > 12 mil (2)

Page 45: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 4. Lanjutkan Species pada geografis yang sama 0 2 Penurunan species dalam range geografis yang sama: tidak ada (0); sedikit (1); banyak /cepat (2) Ukuran ikan yang tertangkap 0 2 Apakah terjadi penurunan ukuran ikan: tidak ada (0); bertahap (1); cepat (2) Ikan yang tertangkap sebelum dewasa 0 2 Berapa persentase ikan yang tertangkap sebelum dewasa < 30% (0); < 60% (1); . 60% (2) Tangkapan samping yang terbuang 0 2 Apakah ada hasil tangkapan sampingan yang terbuang: 0-10% (0); 10-40% (1); > 40% (2) Species yang tertangkap 0 2 Jenis ikan yang tertangkap: 1-10 (0); 10-100 (1); > 100 (2) Produktivitas primer 3 0 Rendah (0); sedang (1); tinggi (2); sangat tinggi (3) Ekonomi Keuntungan 0 4 Bagaimana keuntungan yang didapat dari hasil penangkapan; sangat untung (0); keuntungan marginal (1); BEP (2); sedikit rugi (3); rugi besar (4) Kontribusi terhadap GDP 2 0 Bagaimana kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian daerah: rendah (0); sedang (1); tinggi (2) Pendapatan rata-rata nelayan 4 0 Bagaimana perbandingan pendapatan nelayan terhadap UMP: jauh lebih rendah (0); sama (2); lebih tinggi (3); jauh lebih rendah (4). Pembatasan upaya penangkapan 4 0 Bagaimana batasan usaha di daerah penelitian : open acces (0); hampir tidak ada (1); ada sedikit (2); beberapa (3); sangat banyak (4) Hak kepemilikan sumberdaya 2 0 Bagaimana aturan kepemilikikan sumberdaya perikanan : tidak ada quota (0); ada sebagian (1); seluruh sumberdaya berdasarkan ITQ dan property right

Page 46: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 4. Lanjutan Pendapatan lain di luar usaha penangkapan 0 3 Apakah nelayan mempunyai mata pencaharian selain sektor perikanan; tidak tetap (0); paruh waktu (1); musiman (2); penuh (3) Tenaga kerja sektor perikanan 0 2 Jumlah tenaga kerja di sektor formal perikanan tersebut : < 10% (0); 10-20% (1); > 20% (2) Pemilik / transfer 0 2 Pihak yang paling diuntungkan dari pemanfaatan sumberdaya perikanan: lokal (0); seimbang antara lokal dan luar (1); pihak luar (2) Besarnya pasar 0 2 Tujuan pasar produksi perikanan: Lokal (0); regional (1); ekspor (2) Besarnya subsidi 0 2 Tidak ada (0); sedikit (1); besar (2); sangat tergantung (3) keharusan mutlak (4) Sosial Sosialisasi penangkapan 2 0 Bagaimana status nelayan di tempat pekerjaan : nelayan sebagai pekerja(0); kerjasama satu keluarga (1); kerja kelompok (2) Jumlah nelayan baru 5 tahun terakhir 0 2 Pertumbuhan jumlah nelayan dalam 5 tahun terakhir < 10% (0); 10-20% (1) 20% (2) Peranan sektor perikanan 0 2 Bagaimana peranan sektor perikanan dalam menyerap tenaga kerja dalam komunitas, seperti tempat pendaratan ikan dan lain-lain < 1/3 (0); 1/3-2/3 (1); >2/3 (2) Pengetahuan nelayan terhadap lingkungan 2 0 Bagaimana perbandingan tingkat pengetahuan nelayan akan isu-isu lingkungan setempat: sedikit yang tahu (0); sebanding (1); lebih banyak yang mengetahui (2) Tingkat pendidikan 2 0 Perbandingan rata-rata pendidikan nelayan dengan penduduk lainnya: dibawah (0); sama rata (1); lebih tinggi (2) Status konflik 0 2 Kondisi konflik yang terjadi : tidak ada (0); sedikit (1); sering (2)

Page 47: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 4. Lanjutkan Pengaruh nelayan 2 0 Keterlibatan nelayan secara lansung dalam pengambilan kebijakan perikanan: tidak ada sama sekali (0); seimbang (1); banyak (2) Pendapatan dari melaut 2 0 Presentase kontribusi pendapatan terhadap pendapatan total keluarga: < 50% (0); 50-80% (1); >80% (2) Partisipasi keluarga 4 0 Tingkat partisipasi Anggota Keluarga (AK) dalam pengolahan maupun pemasaran: tidak ada (0); 1-2 AK (1); 3-4 AK (2); 5-6 AK (3); 7-8 AK (4) Teknologi Lama melaut 0 4 Lama waktu yang digunakan untuk melaut: harian (0); 2-6 hari (1); 6-10 hari (2); 10-15 hari (3); 15-20 hari (4) Lokasi pendaratan 0 3 Sangat tersebar (0); agak terpusat (1); terpusat (2); ikan tidak didaratkan (3) Pengolahan ikan sebelum dijual 2 0 Pengolahan ikan sebelum dijual: tidak ada ()); beberapa (1); banyak (2) Penanganan ikan di kapal 3 0 Penanganan di atas kapal: tidak ada (0); pengasinan atau penggodokan (1); Penggunaan es curah untuk pembekuan (2); dipertahankan hidup (3) Jenis alat tangkap 0 1 Jenis alat tangkap : pasif (0); aktif (1) Selektifitas Alat tangkap Tingkat Selektifitas Alat tangkap : kurang selektif (0); agak selektif (1); sangat selektif (2) Alat bantu penangkapan 0 2 Adakah alat bantu yang digunakan: tidak ada (0); umpan saja (1) alat atraktif lainnya (2) Ukuran kapal 0 4 Rata-rata panjang kapal : < 5 m (0); 5-10 m (1); 10-15 m (2); 15-20 m (3); > 20 m (4)

Page 48: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 4. Lanjutkan Kemampuan meningkatkan kapasitas 0 4 Adakah nelayan yang mampu meningkatkan armadanya setelah 5 tahun: Tidak ada (0); amat sedikit (1); sedikit (2); cukup banyak (3); banyak (4) Efek samping alat tangkap 0 2 Implikasi alat terhadap lingkungan seperti sianidaa, dinamit, trawl: tidak ada (0); beberapa (1); banyak (2) Etika Kedekatan terhadap sumberdaya 3 0 Kedekatan dari aspek geografis maupun hubungan wilayah: tidak dekat (0); kurang dekat (1); dekat (2); sangat dekat (3) Alternatif pekerjaan 2 0 Alternatif pekerjaan dalam komunitas selain perikanan : tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) Keadilan dalam memanfaatkan sumberdaya 2 0 Didasarkan pada tradisi/sejarah/ pemanenan: tidak dipertimbangkan (0); dipertimbangkan (1); harus nelayan tradisional setempat (3) Aturan pengelolaan 4 1 Aturan pengelolaan nelayan : tidak ada (0); konsultasi (1); ko-manajemen peran pemerintah lebih besar (2); ko-manajemen peran nelayan lebih besar (3); ko-manajemen ideal (4) Pengaruh formasi etika 4 0 Secara strukttural, imlikasi nilai-nilai kultural: sangat negatif (0); beberapa negatif (1); netral (2) beberapa ada yang positif (3); sangat positif (4) Mitigasi kehancuran habitat 4 0 Kerusakan mitigasi habitat untuk ikan : sangat hancur (0); beberapa ada yang rusak (1); tidak ada yang rusak maupun mitigasi (2) ada beberapa mitigasi (3); banyak mitigasi

Page 49: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 4. Lanjutan Mitigasi penurunan ekosistem 4 0 Mitigasi perikanan termasuk perubahan ekosistem: sangat hancur (0); beberapa ada yang rusak (1); tidak ada yang rusak maupun mitigasi (2); ada beberapa mitigasi (3); banyak mitigasi Penanganan ilegal 0 2 Pelanggaran dalam penangkapan, masuk wilayah maupun penjualan ikan di tengah laut: tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) Pemborosan secara percuma 0 2 Hasil tangkapan yang terbuang dan pemborosan: tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) Sumber: Alder et al. 2000. Keseluruhan komponen ini diperlukan sebagai prasarat dari dipenuhinya pembangunan perikanan yang berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam Fisheries and Agriculture Organitation (FAO) code of conduct for responsible fisheries. Apabila kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan dan holistik ini tidak dipenuhi maka pembangunan perikanan akan mengarah ke degradasi lingkungan, over-eksploitasi dan destructive fishing practices. Hal ini dipicu oleh keinginan untuk memenuhi kepentingan sesaat (generasi kini) atau masa kini sehingga tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan diarahkan sedemikian rupa untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya untuk masa kini. Alibatnya kepentingan lingkungan diabaikan dan penggunaan teknologi yang ‘quick yielding’ yang sering bersifat tidak konstruktif seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bom. Mennurut Gulland (1982) tujuan pengelolaan sumberdaya perianan melliputi: 1. Tujuan yang bersifat fisik-biologik, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan dalam level maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield)

Page 50: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem 2. Tujuan yang bersifat ekonomik, yaitu tercapainya keuntunngan maksimum dari pemanfaatan sumberdaya ikan aatau maksimasi profit (net income) dari perikanan 3. Tujuan yang bersifat sosial yaitu tercapainya manfaat sosial yang maksimal, misalnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya konflik kepentingan diantara nelayan dan anggota masyarakat lainnya. Dwiponggo (1983) dalam Purwanto (2003) mengatakan bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan dapat dicapai dengan : 1. Pemeliharaan proses sumbnerdaya perikanan, dengan memelihara ekosistem penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan. 2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berkelanjutan 3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nuftah) yang mempengaruhi ciri-ciri, sifat dan bentuk kehidupan. 4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industri yang mengamankan sumberdaya secara konsisten dan bertanggung jawab. Berdasarkan prinsip ptersebut maka Purnomo (2002), pengelolaan sumberdaya perikanan harus memiliki strategi sebagai berikut: 1. Menjaga struktur komunitas jenis ikan yang produktif dan efisien agar serasi dengan proses perubahan komponen habitat dan dinamika antara populasi 2. Mengurangi laju intensitas penangkapan agar sesuai dengan kemampuan produksi dan daya pulih kembali sumberdaya ikan, sehingga kapasitas yang optimal dan lestari dapat terjamin 3. Mengendalikan dan mencegah setiap usaha penangkapan ikan yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan maupun pencemaran lingkungan perairan secara langsung

Page 51: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Bentuk-bentuk manajemen sumberdaya perikanan menurut Sutono (2003) dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan antara lain: 1. Pengaturan musim penangkapan Pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pengaturan musim penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan sumberdaya ikan untuk berkembang biak. Secara biologi ikan mempunyai siklus untuk memijah, bertelur, telur menjadi larva, ikan muda dan baru kemudian menjadi ikan dewasa. Bila salah satu siklus tersebut terpotong, misalnya karena penangkapan, maka sumberdaya ikan tidak dapat melangsungkan dar=ur hidupnya. Hal ini dapat menyebabkan ancaman kepunahan sumberdaya ikan. Oleh karena itu diperlukan suatu pengaturan musim penangkapan. Untuk pengaturan musim penangkapan ikan perlu diketahui terlebih dahulu sifat biologi dari sumberdaya ikan tersebut. Sifat biologi dimaksud meliputi siklus hidup, lokasi dan waktu terdapatnya ikan, serta bagaimana reproduksi. Pengaturan musim penangkapan dapat dilaksanakan secara efektif bila telah diketahui musim ikan dan bukan musim ikan dari jenis sumberdaya ikan tersebut. Selain itu juga perlu diketahui musim ikan dari jenis ikan yang lain, sehingga dapat menjadi alternatif bagi nelayan dalam menangkap ikan. Kendala yang timbul pada pelaksanaan kebijakan pengaturan musim penangkapan ikan adalah: (1) Belum adanya kesadaran nelayan tentang pentingnya mejaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada; (2) Lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat; (3) hukum diberlakukan tidak konsisten; (4) terbatasnya sarana pengawasan 2. Penutupan daerah penangkapan Kebijakan penutupan dilakukan apabila pada daerah tersebut sudah mendekati kepunahan. Penutupan daaerah penangkapan dimaksudkan

Page 52: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem untuk memberikan kesempatan pada sumberdaya ikan yang mendekati kepunahan untuk berkembang biak sehingga populasinya dapat bertambah. Dalam penentuan suatu daerah penangkapan untuk ditutup, maka perlu dilakukan penelitioan tentang stok sumberdaya ikan yang meliputi dimana dan kapan terdapatnya ikan serta karakteristik lokasi yang akan dilakukan penutupan untuk penangkapan. Penutupan daerah penangkapan ikan juga dapat dilakukan terhadap daerah-daerah yang meruupakan habitat vital seperti daerah berpijah (spawning ground) dan daerah asuhan/pembesaran (nursery ground). Pennutupan daerah ini unttuk mendukung kebijakan penutupan daerah penangkapn ikn diperlukan regulasi dan pengawasan yang ketat oleh pihak terkait seperti dinas perikanan dan lkelautan setempat bekerjasama dengan Angkatan Laut, Polisi Air dan udara (POLAIRUD) dan Stakeholders (nelayan) 3. Selektifitas Alat Tangkap Suatu alat tangkap dapat dikatakan mempunyai selektivitas yang tinggi apabila alat tersebut di dalam operasionalnya hanya menangkap ikan yang menjadi target utama, menangkap sedikit spesies dengan ukuran yang relatif seragam, menangkap ikan yang sudah layak tangkap baik dari segi umur dan usia, dan dapat menghindari/meloloskan tertangkapnya ikan yang tidak layak tangkap, ikan yang dilindungi atau ikan yang tidak diinginkan tanpa melukai/membunuhnya (Baskoro, 2006; Martasuganda, 2008). Saat ini selektivitas alat tangkap menjadi perhatian para pemerhati dunia perikanan, hal ini disebabkan karena selektivitas berpengaruh terhadap stok sumberdaya ikan. Selektifitas adalah sifat alat dalam menangkap ukuran dan jenis ikan tertentu dalam suatu populasi. Sifat ini terutama tergantung pada prinsip yang dipakai dalam penangkapan, selain itu juga tergantung pada parameter desain alat seperti mata jaring,

Page 53: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem beban beban benang, material dan ukuran benang, hanging ratio dan kecepatan menarik (Fridman, 1988). Selain cara penangkapan, ukuran mata jaring mempunyai pengaruh terbesar pada selektifitas (Treschev, 1974). Pengukuran selektifitas suatu alat tangkap umumnya dilakukan pada alat tangkap yang memiliki mata jaring. Beberapa factor yang berpengaruh terhadap selektifitas diantaranya adalah : (1) Mesh size Mesh size merupakan sala satu parameter penting dalam mempengaruhi selektifitas, bagi ikan yang tertangkap secara gilled ukuran ikan yang tertangkap sangat ditentukan oleh ukuran mata jarring; (2) Hanging ratio. Hanging ratio adalah ketegangan rentang tubuh jaring anatara horizontal (arah panjan jaring ) maupun vertical. Hanging ratio secara langsung berkaitan dengan banyak sedikitnya hasil tangkapan yang diperoleh. Jaring yang sangat tegang akan anagt sukar untuk menjerat ikan, bahkan yan sudah terjeratpun bisa lepas lagi; (3) Ketebala benang Twine yang digunakan untuk jaring hendaknya lembut, tidak kaku, bahan twine terbuat dari catton, henep, linen dan lain – lain. Untuk memperoleh twine yang lembut dapat diperoleh dari memperkecil diameter twine atau mengurangi jumlah pilinanan persatuan panjang. Menurut Ayodhyoa (1981), ikan akan tertangkap oleh jaring tergantung pada kekuatan benang, ketegangan rentangan, nilai rasio pergantungan dan ukuran mata jaring lain. Selain itu, factor lain juga sangat berpengaruh adalah gaya eksternal dan internal yang bekerja pada jaring, kondisi perairan saat alat dioperasikan dan factor ikan sendiri, seperti tingkah laku renang.

Page 54: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Bab 4. Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan 4.1. Pengertian Pendekatan Berbasis Ekosistem Sebuah Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan (EAFM) adalah proses partisipatif praktis untuk mencapai perikanan berkelanjutan dan memaksimalkan manfaat sosial yang beragam dari perikanan dan sumber daya pesisir dalam jangka panjang. Pendekatan pengelolaan perikanan sejak tahun 1940 menggunakan pendekatan konvensional dimana pendekatan yang dipakai lebih sektoral sehingga sedikit mengabaikan kaidah-kaidah ekologis. Sejak diterbitkannya Deklarasi Reykjavik pada tahun 2001 yang secara eksplisit memberi tugas kepada FAO untuk membuat sebuah dokumen pedoman yang memberikan pertimbangan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, maka FAO menerbitkan pedoman teknis pengelolaan perikanan yang merupakan mandat “Code of Conduct for Responsible Fisheries” (CCRF) tentang pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan. Saat ini pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan telah diimplementasikan pada beberapa kawasan perikanan di dunia. Namun sampai saat ini pendekatan ini belum dilakukan secara formal di Indonesia. Wiyono (2005) menandaskan, bila kita menengok sejarah pengelolaan sumberdaya ikan, fakta menunjukkan bahwa kegagalan pengelolaan beberapa stok sumberdaya baik secara regional maupun dunia berpangkal dari kesalahan dalam perencanaan dan antisipasi awal terhadap dampak pengoperasian alat tangkap dan dinamikanya. Kalau selama ini pengelolaan sumberdaya ikan hanya dikonsentrasikan pada upaya bagaimana mencapai hasil tangkapan yang maksimum, maka pengelolaan perikanan sekarang

Page 55: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem sudah mempertimbangkan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya ikan baik secara ekonomi, ekologi dan lingkungan (Wiyono, 2005). Pendekatan ekosistem pada perikanan adalah pendekatan menyeluruh yang mempertimbangkan bukan hanya komponen ekologis, tetapi juga komponen sosial ekonomi serta dimensi tata kelola (Gambar 2). Sifat holistik EAF direfleksikan dalam definisinya sebagai sebuah pendekatan yang berupaya untuk menyeimbangkan pencapaian berbagai tujuan sosial dengan mempertimbangkan pengetahuan dan ketidakpasttian dari komponen ilmiah (biotik dan abiotik) dan komponen manusia, serta bagaimana seluruh komponen tersebut berinteraksi. Pendekatan ini diaplikasikan secara integratif dalam suatu batasan ekologis tertentu (FAO 2003). Gambar 3. Komponen-komponen dan interaksi ekosistem dalam EAF Sumber : Garcia dan Cochrane (2005)

Page 56: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Menurut FAO (2003), pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management) merupakan suatu pendekatan yang berusaha untuk menyeimbangkan tujuan sosial yang beragam, dengan memperhatikan pengetahuan dan ketidakpastian yang terdapat pada sumberdaya biotik, abiotik dan manusia sebagai komponen ekosistem dan interaksi mereka dan menerapkan pendekatan yang terintegrasi untuk perikanan di dalam batas-batas ekologis yang berarti. Implementasi pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem di Indonesia menggunakan pendekatan indikator yang digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem. Pikitch et.al (2004) mendefinisikan EAFM sebagai sebuah arahan baru Pengelolaan Perikanan di mana prioritas pengelolaan dimulai dari ekosistem dan bukan spesies target. Dengan demikian kunci dari pemahaman EAFM adalah perhatian terhadap konektivitas antar komponen ekosistem (termasuk manusia) yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh spesies target sebagai obyek dari Pengelolaan Perikanan. EAFM adalah pendekatan holistik dari pengelolaan perikanan yang melibatkan seluruh komponen sistem ekosistem termasuk manusia. Sebuah Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan (EAFM) adalah proses partisipatif praktis untuk mencapai perikanan berkelanjutan dan memaksimalkan manfaat sosial yang beragam dari perikanan dan sumber daya pesisir dalam jangka panjang. Secara sederhada digambarkan pengelolaan Perikanan Biasa (baca : konvesional) biasanya hanya memfokuskan pada spesies tanpa melihat hubungannya dengan komponen ekosistem lainnya. Pengelolaan Perikanan Konvensional memandang bahwa spesies target itu independen terhadap ekosistem perairan dan komponen lain di dalamnya. Sedangkan EAFM adalah menitikberatkan pada pentingnya konektivitas antara spesies target

Page 57: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem dengan ekosistemnya beserta komponen-komponen di dalamnya, termasuk manusia, yang bersifat saling mempengaruhi. Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan merupakan salah satu implementasi dari perikanan bertanggung jawab (CCRF). Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan merupakan istilah yang dipakai dalam kerangka menggabungkan dua prinsip yang berbeda yaitu pengelolaan perikanan konvensional dan pengelolaan berbasis ekosistem. Diharapkan pendekatan ini dapat mewadahi dua prinsip yang berbeda tersebut. Seperti yang telah diketahui pengelolaan berbasis ekosistem lebih terfokus pada pengelolaan untuk kelestarian ekosistem yang ada, sedangkan pengelolaan perikanan secara konvensional lebih terfokus pada kegiatan perikanan dan sumberdayaa target untuk bidang ekonomi dan kebutuhan pangan. Tabel 5 : Perbedaan Pengelolaan Perikanan Konvensional dan Berbasis Ekosistem Kriteria Pengelolaan Perikanan Konvensional Pengelolaan Berbasis Ekosistem Paradigma - Sektoral - Terpadu secara vertikal - Terfokus pada sumberdaya target dan masyarakat - Berbasis kawasan - Pendekatan holistik - Lintas sektoral -Terfokus pada ekosistem Tujuan - Tidak selalu transparan - Output optimal - Kebutuhan sosial Kesehatan ekosistem Input Penelitian - Formal (dalam bentuk komisi regional) - Variabel dampak -Sistem informal -Peran pengetahuan sangat kuat Pengambilan Keputusan - Top down - Peran pihak industri sangat kuat - Adanya peran LSM lingkungan -Lebih partisipatif -Peran kondisi ekosistem sangat kuat -Mengedepankan prinsip keadilan Lembaga Regional dan Global (Utama) FAO dan organisasi regional perikanan UNEP dan konvensi regional

Page 58: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 5. Lanjutan Kawasan Pengelompokan kawasan berdasarkan alokasi sumberdaya Pengelompokan kawasan dengan pertimbangan ekosistem yang lebih komprehensif Para pihak dan instrumen politik - Lebih terarah pada stakeholder perikanan -Terbuka terhadap pihak lain -Komponen stakeholder lebih luas dan terbuka -Dukungan dari perikanan skala kecil dan pariwisata sangat kuat Instrumen Global (Utama) -Konvensi Hukum Laut 1982 -Kesepakatan Stok Perikanan PBB -RAMSAR -UNCED -Agenda 21, 1992 -CBD -Jakarta Mandate Indikator -Kegiatan Penangkapan -Hasil Tangkapan -Perdagangan -Perlindungan spesies dan habitat -Pembatasan tingkat eksploitasi Sumber : FAO (2003) Formulasi kebijakan perikanan tangkap di Indonesia dikembangkan berdasarkan data ‘catch-effort’ dan model ‘tangkapan maksimum berimbang lestarari’, MSY yang mengandung beberapa kelemahan, berisiko tinggi terhadap keberlanjutan dan keuntungan jangka panjang dari pengelolaan perikanan tangkap. Terdapat beberapa argumentasi untuk menggeser kebijakan pengelolaan perikanan tangkap dalam rangka pemulihan stok sumberdaya dan usaha perikanan tangkap sebagai berikut: 1. Pergeseran kebijakan perikanan, dari pengelolaan yang berorientasi pada perluasan usaha menuju pada pengelolaan berkelanjuatan; 2. Pengelolaan perikanan memahami bahwa prinsip ‘sumberdaya tidak akan pernah habis’, sudah tidak berlaku atau dengan kata lain, ‘perluasan usaha penangkapan yang tanpa kontrol tidak akan menguntungkan lagi’ 3. Pengelolaan perikanan menyadari bahwa pemindahan usaha penangkapan dari wilayah yang mengalami tangkapan berlebih ke wilayah lainnya akan memberikan kontribusi terhadap kolapsnya perikanan tangkap setempat dan

Page 59: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem 4. Pergeseran pengelolaan perikanan dari ketergantungan terhadap model MSY menuju pengelolaan berdasarkan pendekatan ekosistem, dimana kawasan perlindungan laut akan memainkan peran cukupp penting. Prinsip-prinsip utama pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan adalah : (1) Perikanan harus dikelola untuk membatasi dampaknya terhadap ekosistem. (2) Hubungan ekologis antar spesies harus dikelola. (3) Indikator pengelolaan harus sesuai di seluruh kawasan distribusi sumberdaya. (4) Pengambilan keputusan harus mengedepankan langkah preventif, karena tingkat pengetahuan terhadap ekosistem terbatas. (5) Pemerintah harus menjamin pendekatan ini akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesehatan ekosistem secara seimbang. Fletcher (2006), EBFM merupakan pengelolaan perikanan yangmamppu menampung dan menyeimbangkan berbagai kebutuhan dan keinginan masyarakat, dalam memperkirakan kebutuhan untuk generasi mendatang, dalam memanfaatkan barang dan jasa yang disediakan oleh ekosistem kelautan. Oleh karena itu, tentunya pendekatan ini memperhitungkan pengetahuan dan ketidakpastian tentang keberlanjutan sumberdaya kelautan, habitat, aspek stakeholders dalam ekosistem dan usaha menyeimbangkan seluruh tujuan yang ada pada masyarakat. Atau secara spesifik, tujuan dari pengelolaan perikanan berbasis ekosistem adalah untuk menilai dan mengelola dampak ekologi, sosal dan dampak atau outcome yang terkait dengan kegiatan perikanan dalam kesatuan ekosistem. Pendekatan EBFM untuk penngelolaan sumberdaya perikanan mungkin merupakan salah satu metode alternatif untuk pengelolaan ekosistem sumberdaya ikan yang kompleks. The Ecosystem Principles

Page 60: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Advisory Panel (EPAP), menyatakan bahwa EBFM mengembangkan sedikitnya 4 aspek utama (USA National Marine Fisheries Service, 1999 diacu dalam Wiyono, 2006): 1. Interaksi antara target species dengan predator, kompetitor dan species mangsa 2. Pengaaruh musim dan cuaca terhadap biologi dan ekologi ikan 3. Interaksi antara ikan dan habitatnya 4. Pengaruh penangkapan ikan terhadap stok ikan dan habitatnya, khususnya bagaimana menangkap satu species yang mempunyai dampak terhadap species lain di dalam ekosistem. Dalam dokumen tentang implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan yang diterbitkan oleh FAO pada tahun 2003 menyebutkan terdapat beberapa opsi yang dapat dilakukan dalam mengimplementasikan pendekatan ini. Opsi-opsi yamg dapat dilakukan antara lain : (1) Pengaturan Secara Teknis Pengaturan secara teknis dapat dilakukan pada pengaturan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Pengaturan secara teknis ini dapat dilakukan dengan : (i) Pengaturan jumlah alat tangkap dan ukuran jaring, (ii) Pengurangan ikan hasil tangkapan sampingan (by-catch), (iii) Penyesuaian metode dan operasi penangkapan untuk mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem dan spesies yang dilindungi, dan (iv) Mengedepankan Precautionary approach. (2) Pengaturan Secara Spasial dan Temporal Pengaturan secara spasial merupakan pengaturan daerah tangkapan ikan. Pengaturan secara spasial ini dapat diimplementasikan dalam bentukpengembangan kawasan konservasi laut. Pengaturan secara temporal merupakan pengaturan pelarangan tangkap pada waktu tertentu.

Page 61: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem (3) Pengaturan Input dan Output Pengaturan input penangkapan dapat dilakukan dengan pengendalian kapasitas penangkapan dan usaha tangkap nelayan. Pengaturan output dapat dilakukan dengan pengendalian hasil dan jenis tangkapan. Salah satu tujuan pengaturan ini adalah untuk menurunkan kematian akibat penangkapan (fishing mortality). (4) Manipulasi Ekosistem Manipulasi ekosistem dapat dilakukan dengan mencegah degradasi habitat, merehabilitasi habitat, pengembangan habitat buatan, dan restocking ikan. Pengelolaan perikanan berbasis ekosistem sangat relevan untuk srategi pembangunan berkelanjutan, dimana pembangunan berkelanjutan mempunyai fungsi untuk menjamin beberapa hal berikut ini: (1) Proses ekologi di perairan termasuk aliran air dan nutrien, jaringan makanan dan struktur komunitas, serta hubungan antar ekosistem. (2) Keanekaragaman biologi laut termasuk kemampuan untuk berubah secara evolusi (3) Kelangsungan hidup untuk seluruh populasi spesies laut asli sesuai dengan fungsinya dalam komunitas biologi Sesuai dengan tujuannya untuk memelihara keterpaduan ekosistem maka pengelolaan berbasis ekosistem memerlukan pola pembangunan yang menjamin hal-hal berikut ini: (1) Hubungan antar dimensi ekologi (populasi, spesies, habitat, region) harus diperhitungkan, tidak sekedar memperhatikan dampak pada satu level saja. (2) Perencanaan dan pengelolaan terhadap entitas ekologi dengan batas yang diketahui, dipadukan dengan batas sektoral, yursdiksi, dan batas administrasi lainnya.

Page 62: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem (3) Data dikumpulkan untuk pengelolaan berbasis ekosistem sebagai landasan bagi sektoral dan integrasi sektoral. (4) Pola pengelolaan harus terus dipantau dengan membandingkan antara kesehatan laut dan indikator berbasis ekosistem, dan dapat diadaptasi sesuai dengan adanya perubahan lingkungan maupun perubahan lainnya. (5) Sistem nilai alam dan kemanusiaan harus diperhitungkan dalam kegiatan perencanaan dan pengelolaan secara terpadu sehingga nilai keragaman biologi harus dimengerti dan diseleraskan sebagai bagian penting dalam proses perencanaan dan pengelolaan, sedangkan nilai kemanusiaan memainkan peranan yang dominan dalam memutuskan pemanfataan laut. Pengelolaan sumberdaya perikanan ke depan perlu mempertimbangkan kembali pengakuan hak atas sumberdaya ikan yang telah memiliki akar sejarah dalam tradisi masyarakat pesisir. Seiring dengan semakin langkanya sumberdaya ikan, insentif untuk konservasi sudah saatnya diintroduksi. Karena itu pendekatan pengelolaan perikanan keberlanjutan berbasiskan ekosistem sudah seharusnya dilakukan. Pendekatan langsung yang melibatkan keseluruhan stakeholders (contoh, dengan mengadakan Focus Group Discussion) untuk mengidentifikasi mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan dan ekosistem terkait serta menentukan bagaimana proses tersebut dapat terhubung ke EBFM. Menurut FAO (2005) terdapat 12 prinsip dalam pelaksanaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan yaitu : (1) Sasaran dari pengelolaan ini adalah pilihan dari masyarakat. (2) Pengelolaan harus terdesentralisasi pada tingkat yang terendah. (3) Pengelola harus mempertimbangkan dampak setiap aktivitas terhadap ekosistem lainnya.

Page 63: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem (4) Dengan mempertimbangkan dampak positif dari pengelolaan tersebut, dibutuhkan pemahaman dan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem dalam konteks ekonomi. Pengelolaan ekosistem tersebut antara lain : (5) Mengurangi pengaruh pasar yang berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati. (6) Mempromosikan konservasi sumberdaya dan pemanfaatan yang lestari dengan pemberian insentif. (7) Mempertimbangkan komponen biaya dan manfaat bagi ekosistem. (8) Konservasi fungsi dan struktur ekosistem dalam rangka menjaga manfaat ekosistem, dimana yang dikonservasi merupakan lokasi prioritas. (9) Pengelolaan ekosistem harus mempertimbangkan daya dukung. (10) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan komponen spasial dan temporal. (11) Pengelolaan ekosistem harus mengacu pada pengelolaan jangka panjang. (12) Pengelola harus adaptif terhadap perubahan. (13) Pendekatan ekosistem harus seimbang antara konservasi dan pemanfaatan. (14) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan beberapa informasi ilmiah, adat istiadat, inovasi dan pengalaman. (15) Pendekatan ekosistem harus melibatkan para pihak dan lintas ilmu. Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi pendekatan ekosistem, yaitu : (1) Kelestarian ekosistem. (2) Kesejahteraan masyarakat, dan (3) Kemampuan untuk mencapai tujuan.

Page 64: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tujuan akhhir dari EBFM adalah menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem. Sebagai alat monitoring ekosistem, EBFM kemudian dilengkapi dengan indikator ekologi untuk mengukur perubahan ekosistem yang dimaksud. Indikator-indikator ini diupayakan lebih berarti secara ekologi, mudah dipahami dan diterapkan di lapangan. Berdasarkan hasil monitoring diharapkan perubahan ekosistem termasuk manusia yang ada di dalamnya mudah dijelaskan, sehingga keadaan ekosistem secara keseluruhan akan diketahui dan tindakan perbaikan dapat dilakukan secepatnya untuk mengatasi kerusakan yang ada. Sehingga perencanaan dan pengelolaan laut berbasis ekosistem sangat relevan untuk strategi pembangunan berkelanjutan karena akan dapat menjamin proses ekologi di laut, keanekaragaman biologi laut, dan kelangsungan hidup seluruh populasi spesies laut asli (Wiyono, 2006) 4.2. Penilaian EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management) Imlementasi EAFM di Indonesia terus dikembangkan dengan tersusunnya indikator kinerja pengelolaan. Indikator EAFM di Indonesia disusun secara simultan namun dengan dasar yang berbeda sesuai dengan ruang lingkup dan peruntukannya. Indikator EAFM sebagaimana yang telah disusun oleh National Working Group II EAFM dan telah disahkan melalui Keputusan Dirjen Perikanan Tangkap No. 18 tahun 2014 (KKP 2014), mencakup beberapa Domain yaitu (1) Domain Habitat dan Ekosistem Perairan dengan indikator Kualitas perairan, pencemaran atau kekeruhan atau konsentrasi klorofil, Terumbu karang, Habitat khusus dan Dampak perubahan iklim; (2) Domain Sumberdaya Ikan dengan indikator CPUE , Ukuran ikan, jenis ikan yang ditangkap, Komposisi spesies, proporsi target dan non target, keberadaan spesies atau fishing ground; (3) Domain Teknologi Penangkapan Ikan dengan indikator Metode penangkapan ikan yang merusak dan atau ilegal, frekuensi pelanggaran, Modifikasi alat

Page 65: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem penangkap ikan dan alat bantu penangkapan, Kapasitas dan aktivitas penangkapan, Selektivitas penangkapan, kesesuaian fungsi dan dokumen legal, Sertifikasi awak kapal; (4) Domain Sosial dengan indikator Partisipasi pemangku kepentingan, Konflik perikanan Pemanfaatan pengetahuan lokal: (5) Domain Ekonomi kepemilikan aset (usaha atau rumah tangga), Pendapatan rumah tangga, Rasio tabungan; dan (6) Domain Kelembagaan dengan indikator Kepatuhan aturan main formal dan informal, jumlah pelanggaran, Kelengkapan aturan main, kelengkapan regulasi atau penegakan hukum atau teguran/hukuman, Mekanisme pengambilan keputusan atau implementasi keputusan, Rencana pengelolaan perikanan, Sinergitas kebijakan dan kelembagaan dan Kapasitas pemangku kepentingan. Pendekatan Ekosistem dalam pengelolaan perikanan mensyaratkan perlunya identifikasi terhadap batasan ekologis sumberdaya yang akan dikelola sebagai langkah awal yang menentukan batasan kawan pengelolaan. Menurut Murawski (2007), salah mitos dalam implementasi EAFM adalah bahwa secara praktis tidak terdapat basis objektif yang memadai untuk mendukung pelaksanaan EAFM. Persepsi ini berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan yang dibutuhkan akan lebih luas cakupannya dan pada saat yang sama membutuhkan pemahaman yang lebih detail terhadap fungsi sistem sosial dan sistem ekologis. Luasnya cakupan EAFM membutuhkan peningkatan koordinasi, kerjasama dan komunikasi diantara sektor atau kawasan terkait. Peningkatan kerjasama dibutuhkan karena peningkatan cakupan ruang lingkup pengelolaan membutuhkan mantuan dari setiap institusi, pemangku kepentingan, dan sektor pengguna lainnya (De Young et al. 2008). Lebih lanjut (De Young et al. 2008) menyatakan bahwa koordinasi juga memerlukan proses (pengumpulan informasi, penelitian, penegakan hukum)

Page 66: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem untuk memastikan terjadinya koherensi dalam pengelolaan sumberdaya dan peningkatan efisiensi dalam aplikasi pengelolaan.

Page 67: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Bab 5. Domain Pendekatan Ekosistem 5.1. Domain Habitat Pengertian Habitat dan Ekosistem, secara singkat keduanya bisa di definisikan seperti berikut, habitat adalah lingkungan di mana populasi hidup dan dapat terpenuhi kebutuhannya. Populasi adalah kelompok satu organisme. Ekosistem adalah berbagai “populasi” yang tinggal di “komunitas” dan berinteraksi dengan bagian non-hidup di sekitarnya Morrison (2002) mendefinisikan habitat sebagai sumberdaya dan kondisi yang ada di suatu kawasan yang berdampak ditempati oleh suatu species. Habitat merupakan organism-specific: ini menghubungkan kehadiran species, populasi, atau idndividu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan fisik dan karakteristik biologi. Habitat terdiri lebih dari sekedar vegatasi atau struktur vegetasi; merupakan jumlah kebutuhan sumberdaya khusus suatu species. Dimanapun suatu organisme diberi sumberdaya yang berdampak pada kemampuan untuk bertahan hidup, itulah yang disebut dengan habitat. Indikator yang digunakan untuk menilai kualitas habitat dan ekosistem yaitu: (1) Kualitas perairan terdiri dari (a) (Limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual , Contoh :B3 (bahan berbahaya & beracun) (b) Tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan (c) Eutrofikasi (d) Status tumbuhan air, karang (2) Habitat unik/khusus Luasan, waktu, siklus, distribusi, dan kesuburan perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting beac (3) Status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya. Masalah kualitas lingkungan dan sumberdaya perairan darat dicirikan oleh adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu

Page 68: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem habitat/kawasan atau sumberdaya alam sebagai dampak berbagai kegiatan pembangunan, seperti pencemaran, sedimentasi, konversi atau degradasi sumberdaya. Kegiatan pembukaan lahan dibagian hulu dan di daerah tangkapan air untuk pertanian, pertambangan dan pengembangan kota merupakan sumber beban sedimen dan pencemaran perairan sungai, danau, waduk dan situ. Adanya penebangan hutan dan penambangan di Daerah Aliran Sungai (DAS) telah menimbulkan sedimentasi serius dibeberapa daerah perairan darat hingga ke muara dan perairan pesisir. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan yang menimbulkan kekeruhan air juga menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton sehingga produktivitas primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan. Selain itu mengganggu daerah pemijahan ikan dan proses reproduksi, akibatnya produksi perikanan menurun. Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian, telah meningkatkan limbah pertanian baik limbah padat maupun cair yang masuk ke perairan. Selain itu penggunaan pupuk dan pestisida pada lahan pertanian akan terbawa masuk ke dalam perairan yang menimbulkan penurunan kualitas air. Selain itu, limbah rumah tangga dan kota merupakan sumber pencemaran perairan yang sulit dikontrol, sebagai akibat perkembangan pemukiman yang pesat. Sumber pencemaran utama lainnya berasal dari kegiatan pertambangan yang menimbulkan degradasi kualitas air. Kebanyakan berkurangnya lebar sungai atau penyempitan atau bahkan hilang suatu badan air seperti situ yang dikonversi menjadi lahan oleh aktivitas manusia seperti untuk kegiatan pertanian untuk kepentingan pemukiman dan pembangunan infrastruktur, sehingga sangat mengurangi keberadaan badan air.

Page 69: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Di Perairan umum banyak ditumbuhi oleh tanaman air, yaitu Kiambang (Salvinia natas), Teratai (Nyamphae Pubescens), Eceng Gondok/ilung (Eichormia cerassifes), Kangkung Air (Ipomoe aquatica) dan Putri Malu Air (Neptunia oleraceae) (1) Kiambang (Salvinia natas) Kiambang adalah tumbuhan air berupa paku air atau gulma air yang biasa mendominasi perairan rawa. Kiambang dapat tumbuh dengan cepat dan cukup melimpah di persawahan, rawa, danau, kolam, atau genangan air (Warasto 2013). Secara morfologi, kiambang memiliki dua tipe daun yang sangat berbeda. Daun pertama yang tumbuh di permukaan air berbentuk cuping agak melingkar, berklorofil dan permukaannya ditutupi rambut berwarna putih agak transparan sedangkan daun kedua tereduksi menjadi akar sehingga berfungsi sebagai penyerap makanan (Smith 1955). Klasifikasi dari Kiambang (Salvinia natans) Kingdom: Plantae Divisi : Pteridophyta Class : Pteridopsida Ordo : Salviniales Famili : Salviniaceae Genus : Salvinia Spesies: Salvinia natans Bentuk daunnya kecil, mengambang di air dengan batang merayap yang disebut stolon, bercabang, rambut bantalan tetapi tidak ada akar yang sesungguhnya.

Page 70: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 4. Kiambang (Salvinia natas) (2) Teratai (Nyamphae Pubescens) Tanaman ini tumbuh diatas air yang tenang seperti kolam, rawa atau sungai. Bunga dan daun berada di atas permukaan laut dan tangkainya keluar dari rhizoma yang ada di dalam lumpur. Tangkai terletak di bagian tengah daun bagian bawah, daunnya memiliki bentuk oval atau bundar dengan ukuran lebar yang terpotong pada bagian jari-jari menuju tangkai. Daun pada teratai tidak mengandung lilin sehingga air yang jatuh diatas daun tidak akan menjadi butiran air. diameter bunga teratai berkisar antara 5-10 cm. Klasifikasi dari Teratai (Nyampae pubescens) Kerajaan :Plntae Divisi :Magnoliophyta Kelas :Magnoliopsida Ordo :Nyamphaeales Famili :Nymphaeaceae Genus :Nympae

Page 71: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 5. Teratai (Nyampae pubescens) (3) Eceng Gondok/Ilung (Eichornoa crassipes) Enceng gondok adalah Tumbuhan air yang mengapung dan tumbuh berumpun, dengan tinggi 4-8 cm. Bagian akar serabut, daun tunggal, bertangkai, tersusun berjejal di atas akar, berwarna hijau dengan panjang 7-25 cm, berbentuk bulat telur, bagian ujung meruncing, pangkal meruncing, tepi merata, permukaan mengkilat, tangkai menggelembung. Bunga majemuk, bentuk bulir, panjang mahkota 2-3 cm, daun mahkota berlekatan. Buah kotak sejati, beruang tiga, warna hijau, bentuk biji bulat berwarna kehitaman dan tumbuhan ini dapat diperbanyak dengan mengunakan sistem generatif (melalui biji). Klasifikasi Kingdom : Plantae Subkingdom : Trcahebionta Super divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Sub kelas : Alsmatidae Ordo : Alsmatales Famili : Butamaceae Genus : Eichornia Spesies : Eichornoa crassipes ( Mart.) Solms

Page 72: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 6. Eceng Gondok/Ilung (Eichornoa crassipes) (4) Putri Malu Air (Neptunia oleraceae) Tumbuhan putri malu air atau masyarakat desa menyebutnya ‘Susupan gunung’. Daun putri malu air berupa daun majemuk yang menyirip ganda dua sempurna. helaian daun anak berbentuk memanjang sampai lanset, ujung meruncing, pangkal memundar dan bagian tepi merata. Daun berwarna hijau. Batang tumbuhan putri malu berbentuk bulat, sleuruh batang tidak di selimuti oleh duri yang menempel, dengan panjang yang beragam tergantung dengan pertumbuhan putri malu. Bunga tumbuhan putri malu berbentuk bulat, hampir menyerupai bola dan berwarna kuning. Klasifikasi Kingdom : Plantae Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Tribe : Mimoseae Genus : Neptunia Spesies : Neptunia oleraceae

Page 73: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 7. Putri Malu Air (Neptunia oleraceae) (5) Kangkung Air (Ipomoe Aquatica) Kangkung merupakan tanaman yang memiliki akar tunggang dan bercabang-cabang. Akara ini menembus dengan kedalam 60 – 100 cm, dan menyebar luas secara mendatar 150 cm hingga lebih, terutamanya tanaman kangkung pada air. Batang pada tanaman kangkung bulat dan berlubang, berbuku-buku, dan banyak mengandung air. Terkadang buku-buku tersebut mengeluarkan akar tanaman yang serabut dan juga berwarna putih dan ada juga berwarna kecoklatan tua. Klasifikasi Kindom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Superdivisio : Spermatophyta Divisio : Magnoliophyta Kelas : Magnoliapsida Sub kelas : Asteridae Ordo : Solanales Famili : Convovulceae Genus : Ipomea Spesies : Ipome reptan Poir

Page 74: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 8. Kangkung Air (Ipomoe aquatica) Usaha pelestarian sumberdaya alam dapat berupa pencegahan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan tidak membuang sampah/limbah di lingkungan perairan akan tetapi membuang sampah sesuai dengan tempat yang ada agar kelangsungan hidup sumberdaya perikanan dapat terjaga. Untuk menjaga ekosistem perairan perlu adanya peran aktif dari masyarakat sekitar untuk bisa menjaga ekosistem suatu perairan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pengelolaan Sumberdaya perairan dapat dilakukan melalui cara antara lain sebagai berikut : 1. Pembuangan sampah organik dan anorganik disuatu tempat khusus mempermudah perlakuan lanjutan (daur ulang) dan pembuangan ke tempat akhir 2. Penghentian aktivitas pembuangan sampah rumah tangga ke perairan sungai dengan membuat tempat sampah khusus. 3. Penghentian aktivitas penangkapan ikan dengan alat tangkap yang merusak ekosistem perairan seferti potas,dan setrum dengan memberlakukan UU oleh pemerintah serta memberikn sanksi hukuman penjara dan denda. 4. Melarang atau mengatur penangkapan pada musim tertentu, misalnya selama musim penangkapan harus di batasi.

Page 75: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem 5. Pengaturan daerah penangkapan, misalnya daerah pemijahan tertutup bagi penangkapan. 6. Pembangunan Reservat Salah satu upaya pengelolaan sumberdaya ikan di perairan umum adalah perluasan daerah perlindungan ikan (daerah perlindungan ikan (reservat). Keberadaan reservat dimaksudkan untukmenjaga kelestarian sumberdaya ikan agar produksi perikanan dapat lestari. Reservat merupakan daerah perlindunganikan, baik untuk induk maupun benih yang ikan yang terdapat pada area tertentu dan tertutup untuk kegiatan penangkapan. Reservat terdiri dari : 1. daerah inti (zona suaka) 2.daerah penyangga 3.daerah usaha daerah usaha 4. daerah bebas Reservat di perairan umum bentuknya dapat berbeda-beda. Untuk perairan sungai dan rawa biasanya berbentuk sungai dan rawa biasanya berbentuksungai mati, anak sungai ataupun sungai mati, anak sungai ataupun sebagian anak sungai yang ditutup, lebung dan danau rawa lebung dan danau rawa. Beberapa Kriteria Reservat yaitu 1. Kedalaman perairan cukup, sehingga tidak mengalami kekeringan pada musimmengalami kekeringan pada musimkemarau (kedalaman 2 2. Luas cukup (>20 ha), sehingga dapatLuas cukup (>20 ha), sehingga dapat menampung ikan cukup banyakmenampung ikan cukup banyak 3. Kualitas air baik dan tidak tercemar Kualitas air baik dan tidak tercemar 4. Banyak tersedia pakan alami (plankton, perifiton, bentos dan lain-lain.) sehingga ikan dapat berkembang 5. terdapat jalur migrasi ikan, sehingga ikan dapatmenyebar ke daerah lain guna mensuplai benih menyebar ke daerah lain guna mensuplai benihikan ke daerah lain ikan ke daerah lain

Page 76: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem .6. Di sekitar reservat terdapat vegetasi hutan rawa, sebagai daerah tempat mencari pakan (sebagai daerah tempat mencari pakan (feeding feeding ground ground), tempat bertelur (spawning ground )dan asuhan benih (nursery ground nursery ground) 7. Mempunyai fluktuasi air yang cukup antara musim hujan dan kemarau Tabel 6. Reservat di Kalimantan Selatan No. Desa Kecamatan Kabupaten Tipe Luas (Ha) Luas Rawa/Kab (Ha) 1. Alalak Padang Simpang Empat Banjar Rawa 10 24.510 2. Rawa Padang Tapin Tengah Tapin Rawa 10 16.250 3. Danau Bangkau Kandangan Hulu Sungai Selatan Rawa 6 10.705 4. Mantaas Labuan Amas Utara Hulu Sungai Tengah Rawa 5 5.720 5. Banyu Hirang Amuntai Selatan Hulu Sungai Utara Rawa 10 19.598 6. Danau Panggang Danau Panggang Hulu Sungai Utara Rawa 40 19.598 7. Talan Banua Lawas Tabalong Rawa 15 3.587 Jumlah 96 Kabupaten hulu sungai selatan memiliki kawasan konservasi perairan yang sudah diakui baik diprovinsi kalimantan selatan maupun secara nasional yaitu kawasan konservasi perairan danau bangkau .

Page 77: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 7. Kawasan Konservasi di Kabupaten Hulu Sungai Selatan No. Nama Kawasan Konservasi Lokasi Luas (Ha) 1 Danau Paharangan Desa Paharangan Kec. Daha Utara 8 2 Rawa Simpur Desa Pantai Ulin Kec. Simpur 5 3 Rawa Kalumpang Desa Bago Tanggul Kec. Kalumpang 5 4 Rawa Bajayau Lama Desa Bajayau Lama Kec. Daha Barat 5 5 Rawa Muning Desa Muning Dalam Kec. Daha Selatan 6 Manfaat dari pengembangan dan penambahan kawasan konservasi perairan tersebut yaitu: 1. Terjaminnya kelestarian sumberdaya perikanan. 2. Terciptanya kerukunan dan partisipasi masyarakat di sekitar kawasan konservasi perairan dalam menjaga dan melestarikan sumberdaya perikanan. 3. Terlaksananya pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berwawasan lingkungan dan berkesinambungan 4. Tercapainya peningkatan produksi perikanan. 5. Terjaganya potensi / sumber penerimaan bagi masyarakat dan Pemerintah (Pusat dan Daerah) dari sektor perikanan. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan dan penambahan kawasan konservasi perairan dan solusi yang perlu dilaksanakan: 1. Masih kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya kawasan konservasi perairan sehingga perlu terus ditingkatkan upaya sosialisasi. 2. Masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang pengertian adanya kawasan konservasi perairan sehingga timbul egoisme lokal bahwa masyarakat setempat boleh menangkap ikan di kawasan tersebut tetapi masyarakat lain tidak boleh hal ini tentunya memerlukan upaya

Page 78: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem sosialisasi yang lebih mendalam untuk meluruskan pemahaman tersebut. 3. Masih kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah dalam mengembangkan kawasan konservasi perairan sehingga perlu ditingkatkan. 4. Kurangnya pendanaan yang dibutuhkan dalam mengelola dan men gembangkan kawasan konservasi perairan sehingga diperlukan dukungan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Peran kualitas air dalam manajemen sumberdaya perairan sangatlah penting karena mempengaruhi kualitas kehidupan semua makhluk hidup yang hidup disekitarnya dan menggunakan air sebagai sumber kehidupannya. UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 16 (b) dan Pasal 23 (1) menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten / Kota memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam hal pengelolaan sumberdaya air dan pengelolaan kualitas air serta pengendalian pencemaran air di wilayahnya. 5.2. Domain Sumberdaya Ikan Data yang diperlukan pada domain sumberdaya antara lain: (1) CPUE Baku, CPUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus distandarisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapakuran ikan (2) Ukuran Ikan, Panjang total, Panjang standar anjang karapas / sirip minimum dan maximum size, modus (3) Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturiti) (4) Komposisi spesies Jenis target dan non-target (discard dan by catch) (5) spesies ETP (Endangered species, Threatened species, and Protected species) Populasi spesies ETP sesuai dengan kriteria CITES (6) "Range Collapse"

Page 79: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem sumberdaya ikan SDI yang mengalami tekanan penangkapan akan "menyusut" biomassa-nya secara spasial sehingga semakin sulit / jauh untuk ditemukan/dicari. (7) Densitas/Biomassa Pada Domain sumberdaya ikan dapat diketahui pula mengenai keanekaragaman hayati, indeks kemerataan hasil tangkapan dan indeks dominan hasil tangkapan. Keanekaragaman hayati adalah istilah untuk derajat keanekaragaman sumberdaya alam yang mencakup jumlah dan frekuensi ekologis spesies dan genetik yang terdapat dalam wilayah tertentu. Pengukuran keanekaragaman diperlukan untuk mengestimasi arti penting suatu spesies dalam komunitas tertentu. Komponen utama dari keanekaragaman yaitu kesamarataan dalam pembagian individu-individu merata diantara jenis. Keragaman hayati merupakan istilah yang sering dipergunakan oleh para ahli biologi konservasi. Keragaman (biological diversity atau biodiversity) merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk variabilitas hewan, tumbuhan, serta jasad renik di alam (Dahuri, 2003). Indeks keragaman (H’) dapat diartikan sebagai suatu penggambaran secara sistematik yang melukiskan struktur komunitas dan dapat memudahkan proses analisa informasi-informasi mengenai jumlah organisme. Semakin banyak jenis yang ditemukan maka keragaman akan semakin besar, meskipun nilai ini sangat tergantung dari jumlah individu masing-masing jenis (Wilhm dan Doris, 1986). Indeks keragaman jenis ikan dihitung mengikuti (Ludwing and Reynolds, 1988 diacu dalam Carles et al, 2014). Untuk mengetahui apakah suatu komunitas didominasi oleh suatu organisme tertentu, maka dapat diketahui dengan menghitung indeks dominansi. Jika nilai indeks dominansi mendekati satu, maka ada organisme tertentu yang mendominasi suatu perairan. Jika nilai indeks dominansi

Page 80: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem adalah nol maka tidak ada organisme yang dominan (Hukom, 1998). Indeks dominan (C) Hukom (1998) digolongkan menjadi tiga golongan yaitu : 0 < C ≤ 0,5 dominasi rendah, 0,5 < C ≤ 0,75 dominasi sedang dan 0,75 < C ≤ 1 dominasi tinggi. Keanekaragaman ikan di Sungai Kapuas, Kalimantan Tengah yang memiliki 234 jenis ikan dari golongan primer atau jumlah total jenisnya sebanyak 310 spesies (Roberts dalam Kottelat et al. (1993). Hal ini disebabkan karena sungai-sungai di Kalimantan adalah sungai-sungai besar yang tingkat pencemarannya masih sangat rendah. (Bishop dalam Kottelat et al. (1993) menyatakan pada umumnya semakin besar ukuran sungai maka semakin besar pula jumlah dan keanekaragaman jenis ikannnya. Wilhm (1975) menyatakan bahwa semakin besar nilai kemerataan maka penyebaran spesies yang tinggi, artinya penyebaran spesies dapat dikatakan sama dan speseis tertentu sangat kecil untuk cenderung mendominasi. Jonathan (1979) menyatakan bahwa jika nilai indeks keseragaman melebihi 0.7 mengindikansikan penyebaran komunitasnya tinggi. Perkembangan produksi Perikanan Laut di Kabupaten Tanah Laut dissajikan pada gambar 9. Gambar 9. Perkembangan produksi ikan laut di Kabupaten Tanah Laut. 26109 30140 33890 41300 4466305000100001500020000250003000035000400004500050000 2010 2011 2012 2013 2014Total Produksi (Ton) Tahun

Page 81: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Pengetahuan potensi sumberdaya ikan sangat penting diketahui guna melihat sampai sejauh mana kemampuan sumberdaya ikan tersebut dapat dieksploitasi (potensi lestari) tanpa memberikan dampak mengganggu proses regenerasi (pulih kembali) ikan tersebut. Data-data yang diperlukan untuk perhitungan potensi lestari sumberdaya ikan ialah data produksi dan data upaya penangkapan dari tahun ke tahun dalam kurun waktu tertentu (time series). Potensi perikanan tangkap perairan umum kabupaten Hulu Sungai Utara sangat besar dengan variabilitas jenis ikan yang beragam Berdasarkan hasil sensus visual ldan survey hasil tangkapan serta data sekunder Dinas Perikanan dan peternahan HSU terdapat beberapa species ikan yang memiliki nilai Ekonomis. Spesies ikan yang paling disukai masyarakat adalah ikan Gabus/Haruan (Channa striata), Betok/Papuyu (Anabas testudinius) dan Baung (Bagrus nemurus), Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus), Sepat Siam (Trichogaster pectoralis) dan Toman (Channa micropeltes) dan lain lain. Gambar 10. Spesies ikan berdasarkkan tingkat produksi 0 5000 10000BetokKetingSepat SiamTomanHampalBelidaKetingRepangLais Produksi 2010-2014 (Ton)Jenis Ikan (Spesies)

Page 82: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Karakteristik Beberapa Jenis Ikan Hasil Tangkapan yang Ekonomis penting dan disukai oleh masayarakat di Kabupaten Hulu Sungai Utara yaitu Ikan Gabus ikan Betok dan ikan baung akan diuraikan sebagai berikut: 1. Ikan Gabus Ikan Gabus merupakan salah satu sumberdaya ikan konsumsi di perairan umum di rawa-rawa, sungai, dan juga perairan keruh Kabupaten Hulu Sungai Utara. Ikan yang terkenal rakus dan buas ini hidup di dasar perairan, dan kita bisa menemukannya. Ikan gabus memiliki warna hitam kecoklatan dan berwarna putih dibagian bawahnya. Ikan gabus memiliki kandungan protein yang tinggi sehingga ikan ini banyak diburu oleh masyarakat luas untuk tujuan konsumsi ataupun dijual kepasar. ikan gabus mempunyai alat pernapasan tambahan bernama labirin yang memungkinkannya untuk mengambil oksigen langsung dari udara sehingga ikan ini juga bisa hidup di perairan yang berlumpur. Pada saat musim kawin, gabus jantan dan gabus betina bekerjasama dalam menyiapkan sarang di antara tumbuhan dekat tepi air. Anak ikan gabus umumnya berwarna jingga merah bergaris hitam dan berenang secara berkelompok, sedangkan induk gabus selalu waspada dalam mengawasi anak-anaknya di dasar perairan. Ahli taksonomi mengklasifikasikan ikan gabus sebagai berikut. Kingdom : Animalia Pilum : Chordata Kelas : Actinopterygii Famili : Channidae Genus : Channa Spesies : Channa Striata

Page 83: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 11. Ikan Gabus Perkembangan produksi ikan Gabus sejak tahun 2011 sampai 2015 disajikan pada Gambar 12. Gambar 12. Perkembangan produksi ikan Gabus 2. Iken Betok Ikan betok mempunyai ukuran kepala yang cukup besar dan juga keras karena dilapisi penuh oleh sisik. Ikan betok memiliki wana gelap, hitam, coklat, dan kehijauan pada bagian atasnya (dorsal). Jika dilihat dari samping, ikan ini memiliki warna kekuningan, dengan corak garis-daris 747.10.0 677.60.0 684.90.0 667.30.0 702.50.0 620.0.0 640.0.0 660.0.0 680.0.0 700.0.0 720.0.0 740.0.0 760.0.0 2011 2012 2013 2014 2015Produksi (ton) TahunData Produksi Ikan Gabus

Page 84: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem namun terlihat agak samar. Ikan betok memiliki sirip yang keras yang juga berfungsi sebagai pelindung dari pada predatornya. Sirip ekor ikan betok tidak bercagak dan juga berukurang pendek. Terdapat gerigi pada bagian operkulum dan preoperkulumnya. Mulut ikan cukup lebar untuk ukurannya yang didalamnya terdapat gigi berbentuk villiform. Ikan Betuk memiliki alat pernapasan tambahan yaitu labirin yang terdapat dibagian kepala tepatnya di tulang lapis insang. Ikan betok memiliki kelebihan dari ikan lain yaitu dapat bertahan hidup beberapa jam didarat, dan tampak seperti dapat berjalan. Hal tersebut didukung oleh ekor dan siripnya yang keras dan juga alat pernapasan tambahannya (labirin) yang memungkinkan ia dapat mengambil oksigen dari udara secara langsung. Ahli taksonomi mengklasifikasikan ikan gabus sebagai berikut. Kingdom : Animalia Pilum : Chordata Kelas : Actinopterygii Famili : Anabantidae Genus : Anabas Spesies : Anabas testudeneus Gambar 13. Ikan Betok

Page 85: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Perkembangan produksi ikan Betok sejak tahun 2011 sam 2015 disajikan pada Gambar 14. Gambar 14. Perkembangan produksi ikan Betok 3. Ikan Baung Ikan Baung adalah salah satu jenis ikan lokal yang hidup di perairan sungai. Ikan baung juga cenderung bersembunyi pada liang-liang di tepi sungai atau tempat habitat hidupnya. Ikan ini termasuk kedalam golongan omnivora yaitu hewan yang memakan segalanya, namun ikan ini lebih dominan memakan daging (hewan-hewan kecil) sehingga banyak yang menganggap ikan ini termasuk kedalam golongan karnivora. Ikan baung memiliki kepala yang besar, memiliki sirip punggung yang sama panjang dengan sirip dubur. Ikan baung memiliki bibir yang tidak bergerigi dan dapat digerakkan, langit-langit bergerigi, memiliki lubang hidung yang berjauhan, ikan ini juga memiliki sehelai sungut pada hidungnya. Ikan baung tidak memiliki sisik dan memiliki patil sehingga licin dan sulit untuk dipegang,memiliki tulang rahang atas yang bergerigi, empat helai sungut menjadi sirip tambahan. Makanan utama baung terdiri dari ikan-ikan kecil dan insekta, sedangkan makanan anak baung adalah 1505.30.0 1148.90.0 1156.80.0 1154.60.0 1158.10.0 - 200.0.0 400.0.0 600.0.0 800.0.0 1000.0.0 1200.0.0 1400.0.0 1600.0.0 2011 2012 2013 2014 2015Produksi (ton) TahunData Produksi Ikan Betok

Page 86: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem insekta, namun ikan ini juga mengkonsumsi remis, moluska, dan rumput sehingga ikan ini termasuk kedalam golongan omnivora. Menurut para ahli taksonomi, klasifikasi ikan baung adalah sebagai berikut. Kingdom : Animalia Pilum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Siluriformes Famili : Bagridae Genus : Hemibagrus Spesies : Mystus nemurus Gambar 15. Ikan Baung Perkembangan produksi ikan Baung sejak tahun 2011 sampai 2015 disajikan pada Gambar 16.

Page 87: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 16. Perkembangan produksi ikan Baung sejak tahun 2011 sampai 2015 4. Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Ikan sepat rawa adalah ikan yang mempunyai tubuh berbentuk pipih, bermulut runcing, warna kulit cerah, serta ada tanda hitam pada bagian tubuhnya. Sepat rawa menyebar di indocina, terutama di lembah sungai mekong dan di indonesia barat, yakni si sumatra, kalimantan, jawa dan sulawesi. Klasifikasi Kingdom : Animalia Pilum : Chordata Kelas : Actiopterygii Ordo : Perciformes Famili : Osphronemidae Genus : Trichogaster Spesies : Trichogaster trichopterus 883.50.0 1137.80.0 1391.0.0 1468.50.0 1410.90.0 - 200.0.0 400.0.0 600.0.0 800.0.0 1000.0.0 1200.0.0 1400.0.0 1600.0.0 2011 2012 2013 2014 2015Produksi (ton) Tahun

Page 88: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 17 . Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) 5. Sepat Siam (Trichogaster pectoralis) Secara umumnya ikan sepat siam ini memiliki ukuran sedang, dengan panjang mencapai 20 – 25 cm bahkan lebih tergantung dengan varietes, berbentuk lebar dan pipih, serta memiliki mulut yang meruncing. Bagian sirip punggung, ekor sirip dada dan sirip dubur dewasa berwarna gelap. Pada bagian sirip perut menjadi alat peraba yang hampir menyerupai cambuk atau pecut, yang memanjang hingga ekornya, biasanya dilengkapi dengan sepasang duri dan 2-3 jumbai dengan ukuran yang pendek. Dari hidung sampai ke pangkal ekor, membujur bercak-cak hitam melalui tengah-tengah mata. Klasifikasi Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Osphronemidae Genus : Trichogaster Spesies : Trichogaster pectoralis

Page 89: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 18. Ikan Sepat Siam (Trichogaster pectoralis) 6. Tambakan (Helostoma temminckii) Ikan tambakan senang hidup di perairan rawa yang banyak tumbuhan air, Ikan tambakan dapat hidup pada perairan asam (pH 5,5-6,5) dan kadar oksigen yang relatif rendah (3-5 mg/L). Pada saat musim kemarau ikan tambakan cenderung tinggal di cekungan tanah pada perairan rawa (lebung) atau danau yang masih berisi air, sedangkan pada saat musim penghujan air tinggi menyebar di rawa yang lebih luas. Suhu air optimum yang memberikan hasil yang baik bagi pemeliharaan ikan tambakan antara 25-300C. Ikan tambakan lebih menyukai tempat yang hangat berada pada ketinggian 150-750 m di atas permukaan laut (dpl). Ikan tambakan merupakan ikan yang umum dijumpai di Asia Tenggara seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Selandia Baru, Philipina, dan Indonesia. Di Indonesia, ikan tambakan tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa (Akbar, 2014). Klasifikasi Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Helostomatidae

Page 90: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Genus : Helostoma Spesies : Helostoma temminckii Gambar 19 . Ikan Tambakan (Helostoma temminckii) 5.5. Domain Teknologi Penangkapan Ikan 5.5.1. Jenis Alat tangkap perairan Umum Dalam kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan di perairan umum Kalimantan Selatan, jenis alat penangkap yang digunakan untuk di perairan umum yaitu: jaring insang (hanyut dan tetap), jaring tetap (serok dan anco), pancing (rawai dan pancing), perangkap (sero, jermal, bubu), jala tebar, dan lainnya. Disamping teknologi itu sendiri, adalah penting bagi pemanfaatan sumberdaya ikan untuk memahami pengelolaan penangkapan ikan yang meliputi perencanaan, pengoperasian, dan optimalisasi pemanfaatan ikan. Rekayasa alat tangkap harus mempertimbangkan aspek-aspek kondisi sumberdaya ikan yang ada, habitat ikan, peraturan perundang-undangan, dan optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan agar supaya teknologi yang diciptakan tidak mubazir atau bahkan merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya (Wiyono, 2005).

Page 91: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Pancing Untung-untung (Stage Line) Prinsip alat tangkap pancing ini adalah memasang umpan di mata pancing, jika umpan dimakan ikan akan terkait dan di tangkap dengan cara menarik pancing. Pancing untung-untung yang terdapat di Desa Sapala terdiri dari joran, tali pancing, dan mata pancing dengan no. 12 atau no. 13. Joran dibuat dari parupuk sejenis batang bambu kecil dan panjangnya kurang lebih 120 cm, Tali terbuat dari nylon dan dipasang di bagian tengah joran dan pada mata pancing diberikan umpan berupa anak kodok (kirat). Gambar 20. Pancing Untung-untung Proses setting yaitu dengan cara mencari lokasi yang diperkirakan terdapat ikan sasaran yaitu disele-sela tumbuhan air, kemudian meletakkan untung-untung diatas permukaan perairan ataupun digantungkan diatas tumbuhan air, kemudian biarkan menetap selama 12 jam, proses setting biasanya pada sore hari, dan hauling pada pagi hari, ikan yang tertangkap dengan alat tangkap ini adalah Gabus (Channa striata). Pancing Banjur (Stage Line) Pada dasarnya pancing banjur sama dengan pancing untung-untung yaitu pengoperasian sama-sama dibiarkan menetap selama 12 jam tetapi ada sedikit perbedaannya yang meliputi cara pengoperasian, ukuran joran memiliki panjang 230 cm, bahan joran terbuat dari bambu yang sudah

Page 92: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem diraut, serta mata pancing yang memiliki ukuran no 11, dan memakai umpan jeroan ikan (pariata). Banjur terdiri dari tali nylon yang ukuran panjangnya tidak sama, pada tali tersebut dipasang mata pancing, kadang-kadang nelayan setempat akan memasang lebih dari satu banjur di perairan rawa. Setiap mata pancing diikatkan pada sebuah bilah bambu yang diraut kecil berbentuk bulat, kemudian bilah bambu tersebut diikatkan lagi pada tali nylon banjur tersebut. Banjur terdiri dari bambu atau tongkat, mata pancing dan tali. Gambar 21. Alat tangkap banjur (stage line) Ukuran tongkatnya 72-130 cm dengan diameter 1 cm, panjang tali nylon 88-160 cm dengan ukuran mata pancing 15, jarak antara tali nylon banjur dengan mata pancing sekitar 25 cm. Biasanya ikan yang tertangkap pada alat ini adalah ikan gabus (Channa striata). Pengoperasian pancing Banjur ini dimulai dengan cara pencarian lokasi penempatan banjur yang berlokasi disekitar perairan yang berarus dan dalam di sekitar bantaran sungai, proses setting yaitu dengan cara menancapkan bilahan bambu kedalam air sampai lurus dan kemudian

Page 93: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem membiarkan umpan hanyut didalam air, Jenis ikan yang tertangkap adalah Baung (Mytus Nemurus). Lukah (fish pot) Prinsip kerja alat ini adalah menjebak atau memudahkan ikan masuk namun mempersulit keluarnya. Alat ini bersifat pasif karena hanya menunggu ikan yang melintas dan kemudian masuk ke dalam alat tersebut. Bagian- bagian dari alat tangkap Lukah terbuat dari bilah bambu dengan panjang keseluruhan 115-158 cm dengan jarak 2 cm antar bilah yang diikat dengan rotan atau dalam bahasa Banjar disebut paikat, memiliki diameter 16-18 cm. Bagian lukah terdiri dari badan lukah, pintu masuk ikan yang berfungsi untuk sebagai tempat masuknya ikan, Pada bagian mulut dan tengah dipasang perangkap yang berbentuk kerucut disebut “handut atau hinjap berfungsi sebagai penjebak ikan agar menyulitkan ikan pada saat keluar dari alat tangkap, umpan berfungsi untuk lebih memudahkan agar ikan tertarik ke dalam perangkap, serta penutup/sumpal alat tangkap lukah yang berfungsi untuk mengeluarkan ikan pada alat tangkap berdiameter 8 cm sebelumnya disumbat dengan kayu, botol plastik atau bamboo. Alat tangkap ini biasanya di pasang pada bagian perairan dangkal, seperti sawah, rawa dan sungai pada waktu surut dengan kedalaman berkisar antara 40-70 cm. Dalam pengoperasianya, alat tangkap ini umumnya dipasang menghadang arah renang ikan atau ruaya ikan. Adapun jenis ikan yang tertangkap dengan penggoperasian alat tangkap ini seperti ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), papuyu (Anabas testudineus) dan gabus (Channa striata).

Page 94: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 22. Alat tangkap lukah (fish pot) Tempirai (stage trap) Tempirai adalah alat tangkap ikan berbentuk seperti huruf N, pada bagian depan dan belakang terdapat mulut jalan masuknya ikan yang dibuat melekuk kedalam dan pada bagian sudut atas di beri lubang yang berfungsi untuk mengambil ikan hasil tangkapan. Di Kalimantan Selatan alat tangkap tempirai ada dua jenis yaitu terbuat dari bahan bambu dan kawat, masyarakat Desa Bangkau menggunakan alat tangkap tempirai dengan bahan kawat. Alat tangkap tempirai yang digunakan di Desa Bangkau mempunyai bagian-bagian tertentu. Bagian-bagian dari tempirai terdiri dari : (1) pintu masuk; (2) pintu keluar dengan ukuran sekitar 25-35 cm. Alat bantu atau sarana pendukung yang digunakan oleh masyarkat Desa Bangkau adalah turus atau bambu agar alat ini tidak terbawa oleh arus.

Page 95: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 23. Alat Tangkap Tempirai ( stage trap) Alat ini memiliki ukuran panjang 50-100 cm, tinggi 67-150 cm, lebar 16-25 cm. Pada alat tangkap tersebut terdapat lubang untuk tempat keluarnya ikan serta mulut perangkap agar ikan masuk ke tempat itu. Tempirai dengan bahan utama kawat di Kalimantan Selatan disebut dengan tempirai kawat (Rusmilyansari dan Aminah, 2012). Badan tempirai kawat adalah keseluruhan bentuk dari alat tangkap yang memiliki panjang, lebar dan tinggi sehingga memiliki alas pada bagian atas dan bawahnya serta memiliki dinding pada sisinya. Pengoperasian alat tangkap ini umumnya pada tempat perairan rawa yaitu periaran yang dikelilingi oleh tumbuhan air. Lama pengoperasiannya selama 12 jam, umumnya proses setting pada sore hari dan proses hauling pada pagi hari.

Page 96: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Pengilar (basket trap) Penggilar hampir sama dengan alat tangkap tempirai, yang membedakannya hanya pada ukuran kawat yang digunakan lebih kecil yang dinamakan pengilar (basket trap). Alat tangkap yang digunakan di Desa Bangkau mempunyai bagian-bagian terdiri dari : 1) pintu masuk; 2) pintu keluar. Alat bantu atau sarana pendukung yang digunakan adalah turus. Gambar 24. Alat tangkap pengilar (basket trap) Alat tangkap pengilar yang sering digunakan oleh masyarakat setempat dengan ukuran panjang 40-60 cm, lebar alat tangkap 14-20 cm, dan tinggi 59-92 cm. Alat tangkap ini hampir sama pengoperasiannya dengan alat tangkap tempirai kawat.

Page 97: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Hancau (portable lift net) Terdapat 2 jenis Hancau. yang terdapat Kabupaten Hulu Sungai Tengah adalah jenis hancau tarik yang terbuat dari jaring atau net dari bahan nylon yang bentuk persegi dan sudut-sudutnya diikat dengan tali yang disambung pada kayu atau bambu tancap sebagai tiang untuk mengangkat jaring dari perairan. Jaring di buat segi empat dengan ukuran 1 m x 1 m sampai dengan ukuran 2 m x 2 m untuk ukuran yang lebih besar. Pada tiap sudut jaring disambungkan/diikat dengan tali kemudian tali diletakkan pada tongkat kayu ringan atau bambu yang ditancapkan didasar perairan dengan panjang 4-5 m. mesh size atau ukuran mata jaring dari alat tangkap hancau ini 1cm – 2 cm tergantung target ikan yang akan di tangkap. Alat tangkap ini bersifat pasif, pengoprasiannya dengan cara meletakkan umpan dedak yang digulung atau dibungkus dengan kain pada bagian tengah kemudian menurunkan alat tangkap kedalam perairan dengan cara melonggarkan ikatan pada tiap tali pengikat sudut jaring dan memberikan pemberat batu kecil pada bagian tengah agar jaring agar tidak terbawa arus kemudian dibiarkan beberapa saat dan selanjutya diangkat ke permukaan air. Jenis ikan yang tertangkap dengan alat ini adalah ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), papuyu (Anabas testudineus). Prinsipnya operasi alat tangkap hancau adalah menunggu ikan agar berkumpul di areal jaring dan diangkat dengan tangkai bambu. Alat tangkap ini terdiri dari tongkat atau dalam bahasa setempat dinamakan tampuatar, bilah bambu untuk menyambungkan antar jaring disebut rangau, penyangga bilah bambu disebut tabulilingan.

Page 98: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 25. Alat tangkap hancau (portable lift net) Panjang bambu/tongkat 3-5 m, penyangga jaring berukuran 155-182 cm dengan diameter masing-masing 2 cm, panjang dan lebar relatif sama berkisar antar 1-1.5 m dengan ukuran mata jaring 1,5 cm dengan merk Elang. Lalangit (horizontal gillnet ) Lalangit atau jaring insang mendatar adalah suatu jenis alat tangkap yang terbuat dari jaring, dimana bahannya terbuat dari nylon monofilament yang dirajut membentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 75 cm dan panjang 100 cm dan ukuran mata jaring berkisar antara 2,5 - 3 cm.

Page 99: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Gambar 26. Lalangit Lalangit termasuk dalam jenis alat tangkap pasif dan biasanya dioperasikan di perairan sungai, rawa dan genangan air lainnya yang banyak ditumbuhi oleh tanaman air. Alat tangkap ini dipasang dengan cara menghamparkannya pada daerah perairan yang tenang di daerah ruaya ikan. Lalangit ditancapkan pada rumput atau genangan dengan posisi miring sekitar 450 atau diletakkan diatas permukaan air, sehingga pada saat ikan mengambil oksigen atau melompat ke permukaan air maka ikan akan tersangkut pada bagian insang atau duri pada tubuh ikan. Adapun hasil tangkapan alat tangkap tersebut yaitu, sepat rawa (Trichogaster trichopterus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), papuyu (Anabas testudineus). Alat tangkap lalangit terdiri dari bahan jaring yang terbuat dari nilon yang dirajut, dengan mata jaring tertentu dan bambu yang dipasang pada sisi kiri dan kanan dari tubuh jaring. Ukuran luas jaring 76-106 cm dengan mesh size 2 inchi sedangkan panjang bilah bambu 111-175 cm. Alat tangkap lalangit ini diberi umpan, hal ini bertujuan unruk menarik perhatian ikan, yang mana umpan tersebut langsung diletakkan ke dalam perairan yang telah dipasang alat tangkap lalangit ini.

Page 100: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Lunta (cast net) Lunta adalah alat penangkap ikan berbentuk seperti kerucut dan terdiri dari badan jarring (kantong), pemberat yang di pasang mengelilingi mulut tali yang diikatkan pada bagian ujung jarring agar tidak terlepas pada waktu dioperasikan. Tujuan utamanya untuk mengurung ikan dari atas dengan cara menebarkan alat tersebut. . Bagian – bagian dari Lunta yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Tubuh Jaring / jaring utama (Tubuh jaring merupakan lembaran jaring yang berbentuk empat persegi panjang yang digantung pada tali ris atas. Tubuh jaring yang digunakan pada penelitian ini terbuat dari bahan polyfilamen dengan ukuran panjang 3 meter dan lebarnya 5 meter. Ukuran mesh size yang digunakan pada tubuh jaring adalah ukuran 1 inchi dan 1,5 cm (2) Pemberat (Pemberat berfungsi untuk menenggelamkan alat atau bagian dari alat dan juga berfungsi agar jaring dapat teregang dengan sempurna. Gambar 27. Alat tangkap lunta (cast net) Bahan dasar lunta adalah nilon monofilament dengan ukuran mata jaring 1-3 inchi. Pada bagian atas tubuh jaring diberi tali tambang plastik sebagai pegangan sepanjang 27-30 cm dan di bawah diberi pemberat berupa cincin besi dengan berat keseluruhan sekitar 4,5 kg, dengan diameter cincin

Page 101: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem besi tersebut sekitar 3,2 cm, panjang total lunta/jala 2-5 meter dan berat keseluruhan sekitar 5 kg, serta lebar mulut lunta/jala 3-7 meter. Cara mengoperasikan alat ini adalah dengan meletakan sepertiga bagian pada siku kanan atau kiri. Sepertiga bagian pada tangan satunya dan sepertiga lainnya di biarkan terjuntai. Sebelum dilempar lunta terlebih dahulu diayunkan kedepan dan kebelakang untuk mengambil ancang-ancang agar lemparan yang di lakukan dapat mencapai tempat yang jadi sasaran, baru kemudian dilempar dan setelah beberapa saat tali lunta di tarik secara perlahan-lahan untuk melihat hasil tangkapan. Untuk perairan yang berarus, cara mengangkat jaring searah arus air atau di tarik dari perairan secara perlahan-lahan dengan di letakan di atas sampan, kemudian yang tertangkap diambil dengan hati-hati agar ikannya tidak terluka oleh jaring kemudian dimasukan kedalam keranjang. Jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap ini anatara lain sepat rawa (Trichogaster trichopterus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), papuyu (Anabas testudineus), gabus/haruan (Channa striata). Rengge (set gill net) Rengge adalah alat tangkap ikan yang terbuat dari jaring yang berbentuk empat persegi panjang dan terbuat dari benang nylon monofilamen. Bagian alat ini terdiri dari tubuh jaring, tali ris atas, tali ris bawah, besi pemberat dan tiang penancap. Ukuran tubuh jaring berkisar antara 10 - 15 m dengan tinggi 70 - 90 cm. Dengan ukuran mata jaring 2 - 3 cm atau tergantung ukuran ikan yang ingin di tangkap. Rengge dipasang menetap untuk sementara waktu dengan menggunakan turus dari bambu. Pemasangan jaring ini dapat bervariasi tergantung dari ikan yang ditangkap, menurut warga setempat pemasangan alat tangkap ini, apabila dipasang dekat atau pada dasar perairan bertujuan

Page 102: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem untuk menangkap ikan dasar. Alat tangkap tersebut mempunyai bagian-bagian yakni tali ris yang terdiri tali ris bawah dan atas. Gambar 28. Alat tangkap rengge (set gill net) Rengge yang digunakan terbuat dari jaring nilon monofilament dengan ukuran mata jaring 2-21/4 inchi. Pada alat tangkap rengge terdapat tali ris bawah dan atas dengan ukuran 15 meter, pada alat tangkap ini pengoperasiannya dibantu dengan bambu/turus sebagai pengganti pemberat dengan ukuran 2 meter, disetiap ujung alat tangkap yang ada bambu tersebut diberi tanda. Alat tangkap ini biasanya digunakan 10 “payah” (10 buah) dengan panjang 10-15 meter. Proses pengoperasian alat tangkap ini dimulai dengan menancapkan tiang penancap pertama yang sudah diikat dengan ujung jaring sambil menurunkan jaring secara perlahan dan di bentangkan hingga tenggelam kedalam air, setelah terbentang lurus kemudian dilakukan lagi penancapan tiang yang kedua. Biasanya alat tangkap ini di diamkan selama 12 jam, Setelah itu diangkat ke atas kapal. Adapun hasil tangkapan alat tangkap rengge ini adalah sepat rawa (Trichogaster trichopterus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), papuyu (Anabas testudineus).

Page 103: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Sesuduk / Serok (Scoop net) Serok adalah suatu alat yang digunakan untuk mengangkat ikan yang ada diair. Merupakan alat tangkap yang terbuat dari jaring berbahan nylon yang dibentuk seperti kantong yang terbuka pada bagian atasnya. Jaring ini diikatkan dengan tali pada rangka yang terbuat dari bambu atau rotan, dibentuk melingkar yang memanjang dan menyerupai huruf X pada ujung lingkaran untuk pegangan. Panjang bambu atau rotan berkisar antara 3-5 m dan sebatang kayu kecil sebagai penahan lingkaran. Adapun lebar jaring berkisar antara 3-4 m dengan ukuran mata jaring 2 cm. Bahan serok terbuat dari bilah bambu yang dikeringkan dan bulatan serok terbuat dari besi, kabel yang ada diserok itu dikaitkan ke terminal konektor bagian positif. Cara pengoperasian serok ini sangat mudah hanya merendam keair yang kedalamannya tergantung pada kedalaman air tersebut misalnya, kedalaman air mencapai 5 meter maka kita merendam serok kira-kira mencapai 5-10 cm. selama perendamannya pun jangan terlalu lama kira-kira memakan waktu kurang dari 1 menit. Gambar 29. Serok / Sesuduk

Page 104: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Pengoperasian alat tangkap ini yaitu dengan cara menurunkan alat tangkap dengan car menghadang arah renang ikan. Adapun ikan yang tertangkap yaitu Sepat Siam (Trichogaster pectoralis), Betok (Anabas testudineus), dan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus). 5.5.2. Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan Teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana dalam menggunakan alat tangkap untuk mengelola sumberdaya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup tanpa mempengaruhi atau mengganggu kualitas dari lingkungan hidup (Martasuganda, 2002). Indikator yang digunakan yaitu (1) Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal, Penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau tidak sesuai peraturan yang berlaku (2) . Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan. Menurut Martasuganda (2004), teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan adalah suatu upaya terencana dalam menggunakan alat tangkap yang bertujuan untuk mengelola sumberdaya ikan secara berkesinambungan dalam meningkatkan kualitas hasil tangkapan tanpa mengganggu atau merusak kondisi habitat sumberdaya sekitar. Pengembangan teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan perlu diarahkan agar dapat menunjang pengembangan perikanan. Oleh karena itu, diperlukan adanya kriteria-kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, serta pengawasan atas penerapan kriteria-kriteria tersebut di lapangan. Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan menurut Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia adalah penggunaan suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampat negatif terhadap lingkungan, yaitu

Page 105: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem sejauh mana alat tangkap tersebut merusak dasar perairan, kemungkinan hilangnya alat tangkap, serta kontribusinya terhadap polusi. Monitja (2001) menyebutkan bahwa kriteria teknologi penangkapan ikan memiliki beberapa aturan penting, yaitu: selektivitas yang tinggi, tidak membahayakan nelayan, tidak destruktif terhadap nelayan, produksinya berkualitas, produknya tidak membahayakan konsumen, ikan buangan minimum, tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah, dampak minimum terhadap keanekaragaman hayati dan dapat diterima secara social. Merujuk kepada pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa operasi penangkapan ikan dapat dikatakan berjalan lancar apabila suatu usaha perikanan memiliki beberapa kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Subani (1978) mendefinisikan alat penangkapan ikan adalah alat yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan dan udang. Alat penangkapan yang digunakan untuk mengejar gerombolan ikan di perairan, baik di perairan laut maupun di perairan tawar. Alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan merupakan suatu alat penangkapan ikan yang tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, yaitu sejauh mana alat tersebut tidak merusak dasar perairan, kemungkinan hilangnya alat tangkap, serta kontribusinya terhadap polusi. Faktor lain adalah dampak terhadap bio-diversity dan target resources yaitu komposisi hasil tangkapan, adanya by catch serta tertangkapnya ikan-ikan muda (Arimoto et al. 1999). Hal-hal penting yang harus diperhatikan agar dapat memenuhi kriteria teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan (Martasuganda 2004) antara lain adalah :Mengutamakan keselamatan awak kapal diatas segala-galanya, baik pada waktu operasi penangkapan ikan maupun dalam menangani hasil tangkapan.

Page 106: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem 1) Melepaskan kembali hasil tangkapan yang belum layak ditangkap pada habitat perairan yang dilindungi. 2) Menjaga lingkungan sekitar dimana kita berada. Dalam mendukung teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan, diperlukan juga alat penangkap ikan yang ramah lingkungan yaitu alat tangkap yang tidak mengeksploitasi jenis ikan tertentu karena biasanya ketika suatu pengeksploitasian dimulai, target pertama nelayan adalah jenis ikan yang berada pada tingkat trofik yang tinggi. Ketika jenis ini langka, nelayan berpindah operasi penangkapan kearah jenis tingkatan trofik yang lebih rendah. Oleh karena itu, alat tangkap haruslah alat dengan jenis teknologi penangkapan ikan yang tidak merusak ekosistem dan layak untuk dikembangkan. FAO (1995) serta beberapa pakar perikanan, seperti : Monitja (1994) dan Arimoto et al. (1999), menyatakan bahwa karakteristik pemanfaatan sumberdaya hayati laut yang ramah lingkungn, meliputi : 1. Memiliki selektifitas yang tinggi. 2. Tidak merusak habitat atau ekosistem sekitarnya. 3. Tidak membahayakan keanekaragaman hayati dan tidak menangkap spesies yang dilindungi. 4. Tidak membahayakan kelestarian target tangkapan. 5. Tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan nelayan. Martasuganda (2005) merincikan beberapa hal penting yang harus diperhatikan, agar dapat memenuhi kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, antara lain sebagai berikut : 1. Melakukan seleksi terhadap ikan yang akan dijadikan target penangkapan atau layak tangkap baik dari segi jenis dan ukurannya dengan membuat desain dan konstruksi alat tangkap yang sesuai dengan jenis dan ukuran dari habitat perairan yang akan dijadikan target tangkapan. Dengan demikian diharapkan bisa meminimumkan

Page 107: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem hasil tangkapan sampingan yang tidak diharapkan dari spesies perairan yang dilindungi. 2. Tidak memakai ukuran mati jaring yang dilarang (berdasarkan SK. Menteri Peranian No. 607/KPB/UM/1976 butir 3) yang menyatakan bahwa mata jaring dibawah 25 mm dengan toleransi 5% dilarang untuk dioperasikan dimana-mana perairan. 3. Tidak melakukan kegiatan usaha penangkapan di daerah penangkapan ikan yang sudah dinyatakan over fishing, di daerah konservasi yang dilarang, di daerah penangkapan yang dinyatakan tercemar baik dengan logam maupun bahan kimia lainnya. 4. Tidak melakukan pencemaran yang akan mengakibatkan berubahnya tatanan lingkungan sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh tidak membuang jaring bekas atau potongan-potongan jaring serta benda-benda lain yang berupa bahan bakar bekas pakai seperti pelumas mesin, bensin dan bahan kimia lainnya. Teknologi penangkapan ikan yang menghasilkan by-catch yang rendah sangat diharapkan dalam pengembangan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan. By-catch yang tertangkap penting artinya bagi keseimbangan ekologi di perairan, tetapi dari segi ekonomi kurang menguntungkan. Berhubungan dengan sifat perikanan di daerah tropis yang bersifat multi species dan multi gear, hampir tidak mungkin untuk membuat suatu alat tangkap yang hanya menangkap target spesies. Salah satu cara yang mungkin dilakukan adalah memperbaiki selektifitas alat tangkap yang digunakan (Sarmintohadi 2002). Isu lingkungan dalam perdagangan dunia telah mendorong semua stakeholder perikanan termasuk perikanan tangkap untuk benar-benar memperhatikan produknya. Pelaku usaha di bidang penangkapan ikan harus

Page 108: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem berperan aktif di dalam upaya perlindungan dan pengolahan sumberdaya perikanan dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan (Vitner 2004; Taryoto 2005). Aspek ramah lingkungan merupakan salah satu aspek penting dalam perikanan berkelanjutan. Fokus dari aspek ini adalah bagaimana dampak alat penangkapan ikan terhadap habitat karena bila suatu habitat berubah, maka sebagian besar ikan dan invertebrata akan menghilang sehingga akan mengancam biodiversitasnya (Hardiyanto et al. 1998). Alat penangkapan ikan yang dalam praktek penangkapannya menyebabkan kerusakan ekosistem, termasuk lingkungan, sumberdaya perikanan, dan lain-lain, maka alat tersebut dapat dikatakan sebagai alat penangkapan ikan yang merusak (Rasdani et al. 2001). Aspek lain dari ramah lingkungan adalah selektifitas alat tangkap. Selektifitas alat merupakan sifat dari suatu alat yang bertujuan untuk memilih jenis sasaran termasuk ukuran ikan, jenis ikan tertentu yang akan ditangkap dengan menggunakan pengetahuan mengenai berbagai faktor ekologi, termasuk pola ruaya musiman, musim bertelur, pola makan dan distribusi ikan, dan lain-lain. Sedangkan alat penangkapan ikan yang selektif yaitu alat yang dirancang untuk mengurangi/mengeluarkan hasil tangkapan jenis ikan yang ukurannya tidak diinginkan dan hasil tangkapan insidental, serta melepaskan ikan yang keluar dari alat penangkapan tersebut dengan daya tahan hidup yang tinggi. Aspek yang juga mempengaruhi keramahan lingkungan suatu alat tangkap adalah tingkat bahaya/resiko yang diterima oleh nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap tersebut. Aspek ini sangat tergantung pada jenis alat tangkap dan keterampilan yang dimiliki oleh nelayan dan didasarkan pada dampak yang mungkin diterima (Najamuddin 2004). Hasil tangkapan sampingan (by catch) yang didapat dari pengoperasian suatu alat tangkap juga mempengaruhi terhadap keramahan

Page 109: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem lingkungan alat tersebut. Hasil tangkapan sampingan (by catch) merupakan hasil tangkapan insidental yaitu hasil tangkapan yang tidak diperkirakan sebelumnya/tidak diantisipasi akan tertangkap dalam operasi penangkapan ikan, tetapi tertangkap secara sepintas lalu/kebetulan (insidental). Hasil tangkapan insidental dapat terdiri dari; 1) binatang air termasuk mamalia, udang, burung laut. 2) puing-puing, termasuk pecahan dari terumbu karang dan 3) juvenil. Legalitas dari alat tangkap yang digunakan juga merupakan aspek yang mempengaruhi ramah atau tidaknya suatu alat tangkap ikan. Karena apabila alat penangkapan ikan dan praktek penangkapannya dilarang oleh hukum dan peraturan perundangan yang berlaku maka dapat dikatakan bila penangkapan ikan dan praktek penangkapan ikan tersebut ilegal (Rasdani et al. 2001). Terdapat dua kriteria penilaian Keramahan Alat Tangkap yaitu: (1) Kriteria Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF); dan (2) Kriteria Berdasarkan Hasil Tangkapan Utama dan sampingan. 1. Kriteria Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Penilaian terhadap keramahan lingkungan suatu alat tangkap pada prinsipnya ditekankan pada hal-hal yang berpengaruh langsung terhadap lingkungan dimana alat tangkap dioperasikan. Dalam menentukan tingkat keramahan alat tangkap yang ada di suatus perairan dalam menunjang perikanan yang bertanggung jawab maka dilakukan penentuan kriteria perikanan yang ramah lingkungan seperti yang dikemukakan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries, FAO (1995), Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan, DKP (2005) dan Monintja (2000). Kriteria tersebut kemudian diberikan skor. Pemberian bobot (skor) dari masing-masing alat tangkap terhadap kreteria ialah 1 sampai 4. Untuk memudahkan penilaian maka masing-masing kreteria utama dipecah menjadi 4 sub kreteria (Najamuddin, 2004,

Page 110: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Sudirman, 2004 yang dimodifikasi). Kreteria tersebut sebagaimana berikut: a. Selektivitas Suatu alat tangkap dikatakan mempunyai selektivitas yang tinggi, apabila alat tersebut di dalam operasionalnya hanya menangkap sedikit spesies ikan dengan ukuran yang seragam (< 5 cm). Selektivitas alat tangkap ada 2 macam yaitu selektif terhadap spesies dan selektif terhadap ukuran ikan yang tertangkap. Semakin selektif alat tangkap maka skor yang diberikan semakin besar (1) Menangkap > 5 spesies ikan dengan variasi ukuran beda (2) Menangkap > 5 spesies ikan dengan variasi ukuran seragam (3) Menangkap < 5 spesies dengan ukuran beda (4) Menangkap < 5 spesies dengan ukuran seragam b. Dampak terhadap habitat Pemberian bobot (skor) tingkat keramahan alat tangkap terhadap habitat didasarkan pada luasan dan tingkat kerusakannya. Merusak bahibat apabila dalam pengoperasian alat tangkap mencapai dasar perairan dan terlihatnya ciri-ciri dasar perairan terkeruk pada alat tangkap ketika hauling. Wilayah kerusakan luas apabila luasan wilayah operasi alat mencapai lebih dari 10 Km. Semakin kecil dampak kerusakan terhadap habitat maka semakin besar skor yang diberikan: (1) Merusak habitat pada wilayah luas (2) Merusak habitat pada wilayah sempit (3) Merusak sebagian habitat pada wilayah sempit (4) Aman bagi habitat c. Kesegaran hasil tangkapan Untuk menentukan tingkat kualitas ikan yang tertangkap oleh berbagai jenis alat tangkap didasarkan pada kondisi hasil tangkapan yang

Page 111: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem teridentifikasi secara morfologis. Kondisi ikan dominan apabila jumlahnya lebih dari 50%. Semakin baik kualitas (kesegaran) ikan yang ditangkap maka skor yang diberikan makin besar; (1) Dominan ikan mati dan busuk (2) Dominan ikan mati, segar, cacat fisik (3) Dominan ikan mati dan segar (4) Dominan ikan hidup d. Keamanan bagi nelayan Tingkat bahaya/resiko yang diterima oleh nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap sangat tergantung pada jenis alat tangkap dan keterampilan yang dimiliki oleh nelayan dan didasarkan pada dampak yang mungkin diterima. Semakin aman bagi nelayan maka skor yang diberikan semakin besar; (1) Dapat berakibat kematian nelayan (2) Dapat berakibat cacat permanen (3) Gangguan kesehatan bersifat sementara (4) Aman bagi nelayan e. Hasil tangkapan sampingan Suatu spesies dikatakan hasil tangkapan sampingan apabila spesies tersebut tidak termasuk dalam target penangkapan. Hasil tangkapan sampingan ada yang dapat dimanfaatkan dan ada pula yang dibuang ke laut (discard). Semakin sedikit by catch dan semakin memiliki nilai fungsi yang tinggi maka skor yang diberikan semakin besar; (1) By catch > 3 spesies, tidak laku dijual (2) By catch > 3 spesies, dan ada jenis yang laku dijual (3) By catch < 3 spesies, tidak laku dijual (4) By catch < 3 Spesies, dan ada jenis yang laku dijual

Page 112: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem f. Dampak bagi biodiversity Dampak buruk yan diterima oleh habitat akan berpengaruh buruk pula terhadap biodiversity yang ada dilingkungan tersebut. Hal ini tergantung dari bahan yang digunakan dan metode operasinya. Semakin kecil dampak terhadap biodiversity maka semakin besar skor yang diberikan; (1) Menyebabkan kematian semua spesies atau merusak habitat (2) Menyebabkan kematian < 100 % spesies dan merusak habitat (3) Menyebabkan kematian < 100 % spesies tapi tidak merusak habitat (4) Aman bagi biodiversity g. Keamanan bagi spesies ikan yang dilindungi Suatu alat tangkap dikatakan berbahaya terhadap spesies yang dilindungi apabila alat tangkap tersebut mempunyai peluang yang cukup besar untuk menangkap spesies yang dilindungi. Semakin aman bagi ikan yang dilindungi maka semakin besar skor yang diberikan: (1) Ikan dilindungi sering tertangkap (2) Ikan dilindungi beberapa kali tertangkap (3) Ikan dilindungi pernah tertangkap (4) Ikan dilindungi tidak pernah tertangkap h. Penerimaan secara sosial (Investasi rendah, menguntungkan, tidak berpotensi konflik dan legal) Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap tergantung pada kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Suatu alat tangkap dapat diterima secara sosial oleh masyarakat apabila investasi rendah, menguntungkan, tidak berpotensi konflik, dan legal. Investasi rendah apabila jumlah investasi untuk pengoperasian satu unit alat < Rp. 25.000.000,-. Alat tangkap menguntungkan apabila B/C ratio untuk pengoperasian satu unit alat tangkap > 0,1. Tidak berpotensi konflik dilihat

Page 113: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem dari sikap dan perilaku antar pengguna alat tangkap atau aktor pemanfaat sumberdaya. Suatu alat tangkap legal apabila dalam pengoperasian alat tangkap sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hasil tangkapn terbagi menjadi dua, yaitu hasil tangkapan sassaran utama (HTSU) yang artinya spesies yang merupakan target dari operasi penangkapan dan hasil tangkapan sampingan (HTS) yang artinya spesies yang merupakan di luar dari target operasi penangkapan. Menurut Hall (1999) hasil tangkapan sampingan (HTS) terbagi menjadi dua, yaitu by-catch dari jenis ikan dan by-catch bukan dari jenis ikan (by-catch non-fish group). Contoh dari by-catch yang bukan dari jenis ikan antara lain paus, lumba-lumba, dan penyu yang merupakan spesies dilindungi. Bardasarkan pemanfaatan hasil tangkapan, Hall (1999) membagi lagi by-catch dari jenis ikan menjadi dua kategori, yaitu: 1) Spesies yang tidak dikehandaki tertangkap (incidental catch); merupakan hasil tangkapan sampingan yang sesekali tertangkap dan bukan spesies target. 2) Spesies yang dikembalikan ke laut (discarded catch); merupakan hasil tangkapan sampingan yang dikembalikan ke laut karena berbagai pertimbangan antara lain spesies yang tertangkap bernilai ekonomis rendah atau dilindungi hukum karena terancam punah. Adapun kondisi dari discard yang ditemukan di lapang terkadang ada yang masih dalam keadaan hidup tetapi banyak pula yang telah mati sehingga discard yang dihasilkan dalam setiap operasi penangkapan ikan diharapkan seminimal mungkin. Menurut Manalu (2003), tertangkapnya by-catch atau ikan diluar target disebabkan adanya kesamaan habitat antara ikan target dan ikan non target serta kurang selektifnya alat tangkap yang digunakan. Dalam pengembangan alat tangkap ramah lingkungan diharapkan alat tangkap yang digunakan tidak menghasilkan by-catch, tetapi pada kenyataan di

Page 114: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem lapangan membuktikan bahwa alat penangkapan ikan tidak hanya menangkap ikan target. Kritaria-kritaria yang dapat digunakan sebagai penilaian untuk melihat tingkat keramahan lingkungan pada suatu unit penangkapan ikan antara lain: (1) Hasil tangkapan sasaran utama ≥ 60% (Suadela, 2004). Penentuan ≥ 60% dan < 40% didasarkan pada keragaman sumberdaya ikan di Indonesia yang tinggi, baik itu keragaman jenis maupun ukuran. Oleh karena itu selisih 20% cukup signifikan untuk digunakan sebagai kriteria. (2) Hasil tangkapan sampingan (by-catch) dan discard minimum. (3) Hasil tangkapan yang dihasilkan selektif dari segi ukuran (layak tangkap) dan bukan dari spesies yang dilindungi atau terancam punah. Hal-hal penting yang harus diperhatikan agar dapat memenuhi kriteria teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan (Martasuganda 2004) antara lain adalah (1) mengutamakan keselamatan awak kapal di atas segala-galanya, baik pada waktu operasi enangkapan ikan maupun dalam menangani hasil tangkapan; (2) melepaskan kembali hasil tangkapan yang belum layak ditangkap pada habitat perairan yang dilindungi; (3) menjaga lingkungan sekitar dimana kita berada. Teknologi Penangkapan ikan sebagai salah satu disiplin ilmu, merupakan himpungan pengalaman praktis para nelayan dari generasi ke generasi. Beberapa teori tentang ilmu penangkapan ikan dikembangkan oleh para ilmuan, antara lain Prof. F.I. Baranov, Prof. M.Tauti, A.Von Brandt, Ben-Yami, serta berbagai temuan lanjutan yang dikembangkan oleh para ahli lainnya. Teori-teori tersebut telah memberi sumbangan berbagai Menurur Sergio et al (2007), penangkapan ikan memiliki pengaruh besar baik langsung maupun tidak langsung pada ekosistem. Pengaruh itu

Page 115: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem bisa diidentifikasi pada rentang waktu yang berbeeda dan tingkat organisasi biologi contohnya populasi, komunitas dan ekosistem. Alat penangkapan ikan merupakan saran yang diperlukan nelayan, melakukan aktivitas penangkapan ikan. Menurut Diniah (2008), alat penangkap ikan adalah alat atau peralatan yang digunakan untuk menangkap atau mengumpulkan ikan. Alat tangkap ini biasanya disesuaikan dengan tingkah laku ikan yang menjadi target penangkapan dan habitatnya. 5.6. Domain Sosial Ekonomi Domain Sosial dengan indikator Partisipasi pemangku kepentingan, Konflik perikanan Pemanfaatan pengetahuan lokal: Pendekatan resolusi konflik alternatif atau yang dikenal dengan ADR menurut Hadikusuma (1992) telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia. Proses resolusi konflik secara tradisional dianggap efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup dalam mayarakat. Konsensus dan kompromi yang menjadi inti dari ADR sesuai dengan pendekatan musyawarah dan mufakat yang dipandang sebagai mekanisme pengambilan keputusan resolusi konflik dari masyarakat Indonesia sendiri. Menurut Santoso dan Hutapea (1992), terdapat beberapa alasan yang dapat dilihat sebagai peluang pengembangan ADR di Indonesia, yaitu: (1) faktor ekonomis. ADR memiliki potensi sarana resolusi yang lebih ekonomis, baik ditinjau dari aspek biaya dan waktu; (2) faktor ruang lingkup yang dibahas. ADR memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel. Hal ini dapat terjadi karena aturan main dapat dikembangkan dan ditentukan oleh para pihak yang berkonflik sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya; (3) faktor keahlian. ADR memiliki potensi untuk menyelesaikan konflik-konflik yang sangat rumit yang disebabkan oleh substansi kasus yang penuh

Page 116: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem dengan persoalan-persoalan ilmiah karena dapat diharapkan adanya pihak ketiga yang ahli di bidangnya sebagai penengah langsung; (4) faktor membina hubungan baik. ADR mengandalkan cara-cara resolusi koperatif sehingga sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya pembinaan hubungan baik para pihak yang telah berlangsung maupun yang akan datang. Hadikusuma (1992) menandaskan bahwa jika dibandingkan proses resolusi konflik melalui ADR sebagai model resolusi konflik antara Indonesia dan Amerika, keduanya mempunyai latar belakang historis yang berbeda. ADR di Indonesia merupakan bagian dari tradisi masyarakat yang diikuti secara turun temurun dan bagian dari budaya lokal. Domain Ekonomi kepemilikan aset (usaha atau rumah tangga), Pendapatan rumah tangga, Rasio tabungan. 5.6. Domain Kelembagaan Domain Kelembagaan dengan indikator Kepatuhan aturan main formal dan informal, jumlah pelanggaran, Kelengkapan aturan main, kelengkapan regulasi atau penegakan hukum atau teguran/hukuman, Mekanisme pengambilan keputusan atau implementasi keputusan, Rencana pengelolaan perikanan, Sinergitas kebijakan dan kelembagaan dan Kapasitas pemangku kepentingan. Penguatan kelembagaan di bidang perikanan dan kelautan merupakan salah satu strategi untuk mengingkatkan produktivitas usaha dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Purwaka (2003) menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap terdapat berbagai kelembagaan pemerintah yang terlibat, karena sifatnya yang multi sektoral dan multi dimensional. Kelembagaan-kelembagaan tersebut melakukan kegiatan sesuai dengan mandat hukum masing-masing tetapi belum terkoordinasi dengan baik, sehingga pembangunan yang dilaksanakan

Page 117: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem bersifat parsial dan seringkali menimbulkan eksternalitas negatif antara satu dengan lainnya. Kelembagaan kelautan dan perikaan akan kuat dan tangguh, mantap dan tidak goyah apabila dalam pembangunan ada kejelasan tujuan yang ingin dicapai, hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja pembangunan kelautan dan perikanan, yang tercermin dalam tata kelembagaan (institutional arrangement) dan kerangka kerja/mekanisme kelembagaannya (institutional framework). Disisi lain kelembagaan kelautan dan perikanan harus fleksibel dalam mengikuti dinamika pembangunan kelautan dan perikanan yang saat ini dapat dikembangkan berdasarkan suatu disain kelembagaan yang mampu mengoptimalkan peran sektor kelautan dan perikanan. Suatu bentuk kelembagaan yang efektif dan efisien akan mendatangkan suatu keberhasilan dalam industri penangkapan ikan. Bentuk kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta akan mampu mengoperasikan kegiatan penangkapan dengan optimal. Koentjaranigrat (1974) menandaskan bahwa kelembagaan masyarakat atau lembaga sosial disebut sebagai pranata sosial yang meliputi serangkaian kegiatan tertentu, berpusat pada suatu kelakuan berpola yang mantap, bersama-sama dengan sistem norma dan tata kelakuan serta peralatan fisiknya yang dipakai dan juga partisipan (orang-orang yang mendukungnya). Lebih lanjut Koentjaranigrat (1979) membagi kelembagaan kedalam 8 (delapan) golongan sebagai berikut: (1) Kinship/Domestic institutions: memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan; (2) Economic institution: memenuhi pencarian hidup, memproduksi, menimbun, mendistribusi harta benda; (3) Educational institution: memenuhi kebutuhan penerangan dari pendidikan manusia agar menjadi anggota masyarakat yang berguna; (4) Scientific institutions: memenuhi kebutuhan ilmiah manusia dan menyelami alam semesta; (5) Estetic dan rekreational: memenuhi kebutuhan manusia menyatakan keindahan dan rekreasi; (6) Religious institution: memenuhi kebutuhan

Page 118: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem manusia untuk berhubungan dengan dengan Tuhan dan alam gaib; (7) Political institution: memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaaran atau kehidupan bernegara; (8) Somatic institution: memenuhi jasmaniah manusia. Menurut Uphoff (1986) kelembagaan/organisasi terdiri atas dua aspek, yakni: “aspek kelembagaan” (aspek kultural) dan “aspek keorganisasian” (aspek struktural). Aspek kultural merupakan aspek yang dinamis yang berisikan hal-hal yang abstrak, dan merupakan jiwa kelembagaan; yang berupa nilai, aturan, norma, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain. Sementara aspek struktural merupakan aspek yang statis namun lebih visual yaitu berupa struktur, peran, keanggotaan, hubungan antar peran, integrasi antar bagian, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas, klik, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain. Gabungan antara keduanya akan membentuk “perilaku kelembagaan” atau “kinerja kelembagaan”. Lebih lanjut Uphoff (1986) menandaskan bahwa analisis kelembagaan pada sebuah di desa dilakukan pada tiga level, yaitu: (1) level superstruktur, yaitu mempelajari berbagai aturan dan kebijakan yang diciptakan pemerintah serta kondisi sosial, ekonomi, politik dan lingkungan alam yang memiliki pengaruh kepada bagaimana berjalannya sebuah kelembagaan/organisasi; (2) level desa, yaitu mempelajari karakteristik sosial ekonomi masyarakat dimana kelembagaan tersebut hidup; (3) level internal kelembagaan, yaitu mempelajari secara mendalam kondisi dan keberadaan kelembagaan yang ada di desa satu per satu. Colleta et al. (2000) menyatakan pengembangan kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari kapital sosial yang ada. Kepercayaan, hubungan sosial dan norma merupakan tiga komponen penting yang mampu menjadi perekat elemen masyarakat. Apabila semuanya dapat berjalan dengan baik maka

Page 119: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem kapital sosial akan mampu menggerakkan sebuah lembaga yang efektif dan efisien dalam melaksanakan pembangunan. Dalam upaya pengembangan sub sektor perikanan perairan umum di Kabupaten Hulu Sungai Utara terdapat beberapa lembaga atau kelembagaan yang berperan yaitu: 1. Dinas Perikanan dan Perternakan Visi Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara untuk jangka waktu 5 tahun merupakan bagian integral dan saling keterkaitan dengan rencana pembangunan Jangka menengah daerah (RPJM) Kabupaten Hulu Sungai Utara. Visi Diskanak tahun 2013-2017 adalah “Kabupaten Hulu Sungai Utara sebagai lumbung ikan dan peternakan yang tangguh dengan komoditas Unggulan yang Berdaya Saing”. Pengertian Kabupaten Hulu Sungai Utara sebagai lumbung ikan adalah dengan luasan potensi perairan umum yang dimiliki Kab. HSU dapat dimanfaatkan uuntuk pembangunan sektor perikanan dan penyedia ikan untuk kebutuhan masyarakat di Kab. HSU dan Kab. Lain di Provinsi Kalimantan Selatan. Sesuai dengan visi tersebut di atas, misi yang diemban oleh Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun 2013-2017, yaitu: (1) Mengembangkan ekonomi perikanan untuk peningkatan kesejahteraan petani nelayan; (2) Meningkatkan kelestarian sumberdaya perikanan; (3) Pelayanan kesehatan ternak dan masyarakat veteriner yang optimal; (4) Pengembangan usaha budidaya untuk peningkatan populasi, produksi dan produktivitas ternak serta pelestarian plasma nuftah dalam upaya peningkatan keseejahteraan peternak; (5) Peningkatan pengolahan dan pemassaran produk peternakan, Pembentukan organisasi Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara (Dinas Perikanan dan Peternakan Kab. HSU)

Page 120: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem didasarkan pada Peraturan Daerah Hulu Sungai Utara Nomor 7 Tahun 2011 Tentang pembentukan struktur organisasi dan tata kerja. Fungsi Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara adalah sebagai berikut: (1) Perumusan kebijakan di bidang perikanan dan bidang pertanian sub bidang peternakan dan kesehatan hewan. (2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang perikanan dan bidang pertanian sub bidang peternakan dan kesehatan hewan (3) Pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan bina produksi perikanan (4) Pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan dan pemasaran perikanan (5) Pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan dan pemberdaayaan perikanan (6) Pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan usaha ternak dan pengolahan hasil (7) Pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner (8) Pembinaan dan pengawasan unit pelaksana tenis dan (9) Pelaksanaan urusan kesekretariatan Berdasarkan kebijakan tersebut, Dinas Perikanan Dan Peternakan membuat saaran dan program dalam mencapai sasaran dari setiap kebijakan. Secara ringkas Sasaran, Strategi dan Kebijakan Dinas Perikanan dan Peternakan pada tiap-tiap tujuan disajikan pada tabel 10.

Page 121: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 10. Sasaran, Strategi dan Kebijakan Dinas Perikanan dan Peternakan Kab. HSU pada tiap-tiap tujuan. Sasaran Strategi Kebijakan yang ditempuh 1.Meningkatkan produksi budidaya perikanan Meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat pembudidaya Peningkatan produksi perikanan budidaya melalui penggunaan benih bermutu, perbaikan perbaikan teknis budidaya serta penggunaan sarana produksi budidaya yang tepat Pengembangan perikana budidaya yang berdaya saing dan berwawasan lingkungan 2.Mengendalikan produksi perikanan tangkap melalui sistem penangkapan yang ramah lingkungan Pengamanan dan peningkatan produksi perikanan tangkap Mengembangkan dan memperkuat usaha perikanan tangkap perairan umum secara efisien, lestari dan berbasis kerakyatan 3.Meningkatkan jenis olahan perikanan Diversifikasi jenis olahan perikanan Mengembangkan dan pembinaan penanganan pasca panen, pengolahan serta pemasaran hasil perikanan 4. Bertambahnya pemanfaatan luas areal kawasan suaka perikanan Memperkuat pengawasan dan pengendalian dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan Melaksanakan pembentukan & pembinaan POKMASWAS Peningkatan fungsi dan pembangunan reservat Penertiban PERDA No.!0 tahun 2002 dan UU No. 45 Tahun 2009

Page 122: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 10. Lanjutan 5. Mengendalikan tingkat kematian ternak Meningkatkan pelayanan kesehatan ternak Memberikan pelayanan kesehatan ternak yang optimal kepada masyarakat sehingga kesehatan ternak terpelihara dan tingkat kematian ternak maupun kejadian penyakitt dapat terkendali. Melalui kebijakan ini pengembangan usaha peternakan akan mampu bertahan dan bahkan berkembang dengan baik 6. Melaksanakan pengawasan pemotongan ternak Melaksanakan pengawasan pemotongan ternak pada TPH/RPH Pemeriksaan kesehatan ternak, ante mortem dan post mortem yang dilakukan di TPH/RPH. Penertiban pelaksanaan Perda No 23 Tahun 1994 tentang RPH 7. Pengendalian penyebaran penyakit zoonosis (rabies) Eliminasi anjing liar Melaksanakan kegiatan eliminasi anjing liar di kecamatan yang padat polusi anjing 8. Peningkatan populasi dan produksi Memberdayakan kelompok pembibitan dan budidaya ternak Mendorong aparat peternakan agar memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat, khususnya peternak agar mereka dapat berusaha dengan baik, memiliki kemampuan untuk mengakses permodalan, menerapkan teknologi dan meningkatkan produktivitas ternaknya.

Page 123: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 10. Lanjutan Langkah-langkah yang dilaksanakan: 1.Meningkatkan kualitas dan kuantitas bibit ternak 2.Meningkatkan pengawasan kulitas pakan ternak 3.Meningkatkan peneyediaan sarana dan prasarana peternakan 4. Memfasilitasi bantuan dan penyebarab ternak 5. Meningkatkan pemanfaatan bahan pakan lokal 6. Meningkatkan SDM aparat dan peternak 7. Meningkatkan pembinaan sentra-sentra produksi ternak unggulan daerah 9.Terbentuknya kawasan pengembangan ternak sebagai upaya pelestarian plasma nuftah Meningkatkan kualitas bibit unggul spesifik lokal Melaksanakan pemetaan wilayah sumber bibit dan budidaya ternak spesifik lokal Melaksanakan penerapan teknologi teknologi inseminasi buatan (IB) pada kerbau dan alat Sumber : Disnakkan HSU 2016 Kebijakan yang dilakukan terhadap strategi menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya perikanan yaitu dengan Meningkatkan sosialisasi dan memasyarakatkan upaya pelestarian sumberdaya perikanan dan peternakan. Sedangkan kebijakan yang dilakukan terhadap strategi meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum dibidang perikanan yaitu Meningkatkan sarana dan prasarana

Page 124: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem pengawasan sumberdaya perikanan dan peternakan serta koordinasi dengan instansi terkait. Pemerintah Daerah merupakan salah satu komponen perikanan tangkap sangat menentukan keberhasilan pembangunan sektor perikanan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Pemerintah Daerah merupakan komponen yang bersifat formal sebagai pelaku langsung dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. 2. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Hulu Sungai Utara, memperketat pengawasan terhadap pembuangan limbah industri di daerahnya untuk memastikan bahwa kondisi lingkungan aman dari pencemaran barang berbahaya. Setiap usaha atau industri besar, sudah diminta mengurus izin lingkungan sehingga memiliki Dokumen Upaya Pengelolaan dan Pengawasan Lingkungan atau UKL-UPL. "Sudah banyak usaha-usaha besar yang mengurus izin lingkungan ini, sehingga aktivitas perusahaan terkait pencemaran lingkungan selalu mendapat pengawasan," Bagi usaha-usaha besar perlu memiliki izin lingkungan ini sebagai salah satu syarat yang diperlukan untuk pengurusan pinjaman kredit usaha ke perbankan dan lainnya. Izin gangguan lingkungan atau izin HO (Hinder Ordonantie) paparnya, merupakan izin bagi suatu usaha yang memuiliki potensi menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan bagi masyarakat disekitar tempat usaha. Sebagai wilayah ekosistem, daerah aliran sungai atau DAS perlu dijaga kelestariannya oleh berbagai pihak, termasuk peran serta masyarakat Kabupaten HSU. Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimatan Selatan, membentuk forum pelestarian dan pemeliharaan daerah aliran sungai agar ekosistem yang ada di dalamnya tetap terpelihara dari ancaman pembangunan dan bencana.

Page 125: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Daerah aliran sungau (DAS) sebagai yang merupakan salah satu penyangga kondisi lingkungan daerah, sangat penting untuk dikelola lintas sektoral. "Sebagai wilayah ekosistem, daerah aliran sungai atau DAS perlu dijaga kelestariannya oleh berbagai pihak, termasuk peran serta masyarakat" Upaya pelestarian DAS dari kerusakan ekosistem dan bencana alam tersebut, harus dilakukan lintas instansi/sektoral melalui Forum DAS dan peran serta masyarakat. Dibentuknya forum DAS yang melibatkan sejumlah pejabat instansi terkait dan tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli lingkungan hidup, mampu mengelola dan menjaga ekosistem kawasan DAS dari kerusakan akibat proses pembangunan, pendangkalan dan bencana alam seperti tanah longsor dan kekeringan. Instansi Pemda HSU yang berada dalam forum DAS diantaranya dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Kesehatan, Dishubkominfo, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Bagian Ekonomi dan SDA. Pelestarian DAS saling berkaitan antarwilayah kabupaten/kota di Kalsel, sehingga perlu direncanakan secara berkesinambungan. Sesuai Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2012, frum DAS berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat terkait pengelolaan DAS. Selain itu, juga berfungsi memberikan sumbangan pemikiran dalam pengelolaan DAS serta menumbuhkembangkan peran pengawasan masyarakat dalam pengelolaan DAS. "Masyarakat secara perorangan juga bisa berperan dalam pengelolaan DAS dengan menjaga, menyampaikan informasi dan mendapatkan pelatihan," tandasnya. Saat ini, kondisi DAS di Kalsel, sebagian kritis, sehingga perlu upaya dari seluruh pihak untuk melakukan reboisasi dengan menanam berbagai jenis pohon untuk menyelamatkan daerah aliran sungi tersebut. Berdasarkan hasil analisis Institutional Development Framework (IDF) menunjukan

Page 126: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem kelembagaan Pemerintah berada pada tahap berkembang. Nilai IDF disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai IDF Pemerintah Daerah Keterangan Dinas Perikanan dan peternakan BPLH Bapeda Rata-rata Bobot (B) 84 90 84 86 Z 173 173 194 180 IDF 2,59 1,92 2.32 2,32 Sumber: Data primer diolah tahun 2016 3. POKMASWAS Pemerintah Daerah (Pemda) adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lainnya sebagai Badan Eksekutif Daerah berfungsi sebagai penyusun kebijakan atau rencana dan program pembangunan perikanan. Pemerintah berwewenang mengeluarkan peraturan daerah yang berhubungan dengan perikanan tangkap. Pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMSAWAS) bidang Pengawasan Perikanan di Kabupaten HSU. POKMASWAS mempunyai tugas melaporkan adanya dugaan pelanggaran dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan kepada aparat pengawas terdekat. Kasus illegal fishing di kab. Hulu Sungai Utara harus terus mendapat perhatian serius karena hal ini sangat merugikan masyarakat penangkap ikan dan mengganggu ekosistem kelangsungan sumberdaya hayati di periaran umum (rawa dan sungai) oleh karenanya Dinas Perikanan dan Peternakan Bidang Pengawasan dan Pemberdayaan Perikanan sangat intens terhadap pelayanan kasus illegal fishing ini dengan cara melakukan razia yang bekerjasama dengan polsek setempat untuk menangani kasus

Page 127: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem illegal fishing serta di bantu oleh masyarakat pengawas perikanan (POKMASWAS) yang banyak difasilitasi oleh Dinas Perikanan dan Peternakan, hal ini bertujuan agar terjalin kerja sama dan kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian perairan demi kelangsungan ekosistem dimasa sekarang dan akan datang. Adapun penertiban/razia illegal fishing dan penjualan anak ikan Tahun 2012 dapat lihat pada Tabel 12. Tabel 12. Penertiban/Razia illegal fishing dan penjualan anak ikan Tahun 2012. No Lokasi Pelaksanaan (kali) Keterangan 1 Desa Putat Atas Kec. Sei. Pandan 2 2 Desa Padang Bangkal Kec. Sei. Pandan 2 3 Desa Banyu Tajun Dalam Kec. Sei. Pandan 1 4 Desa Rantau Karau Kec. Sungai Pandan 1 5 Desa Hambuku Lima Kec. Babirik 1 6 Desa Murung Panti Kec. Babirik 1 7 Desa Sunagi Luang Hulu Kec. Babirik 1 8 Desa Sunagi Luang Hilir Kec. Babirik 1 9 Desa Kalumpang Dalam Kec. Babirik 3 10 Desa Murung Panti Hilir Kec. Babirik 1 11 Desa Sungai Durait Hilir Kec. Babirik 1 12 Desa Pal Batu Kec. Paminggir 1 13 Desa Tampakang Kec. Paminggir 1 1 14 Desa Rintisan Kec. Paminggir 1 15 Desa Sapala Kec. Paminggir 1

Page 128: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Tabel 12. Lanjutan 16 Pasar Banua Lima Kec. Amt. Tengah - Anak ikan 17 Pasar Pinang Habang Kec. Amt. Tengah - Anak ikan Sumber : Disnakkan 2016 Menurut Purwaka (2003) lembaga adalah lembaga-lembaga, lembaga pemerintah maupun non pemerintah, baik lembaga departemen maupun non departemen, baik lembaga di pusat maupun di daerah, yang memperoleh mandat dari hukum untuk memanfaatkan dan atau mengelola sumber daya perikanan laut secara terpadu. Keterpaduan ini mensyaratkan bahwa setiap lembaga menyadari batas-batas mandatnya dan memahami kebijaksanaan dan peraturan dari lembaga-lembaga terkait lainnya. Persyaratan keterpaduan ini memudahkan setiap lembaga saling mengkoordinasi dan kerjasama satu sama lain untuk meminimalkan konflik kepentingan antar lembaga. Kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, hukum pengelolaannya meliputi semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan sumberdaya wilayah pesisir dan laut. Kelembagaan kelautan dan perikanan di Indonesia meliputi kelembagaan pemerintah, swasta dan masyarakat, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten maupun kota. Kelembagaan pemerintah berfungsi sebagai fasilitator, regulator dan dinamisator dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Fungsi-fungsi tersebut dijalankan dalam rangka implementasi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 di bidang kelautan dan perikanan. Lembaga yang bertanggungjawab atas pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah Departemen Kelautan dengan seluruh jajarannya sampai

Page 129: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem ketingkat pemerintah terendah. Namun keberadaannya, juga memerlukan dukungan yang kuat dan baik dari semua lembaga pemerintah yang terkait, seperti: Departemen Perhubungan, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan keamanan, Departemmen Koperasi dan pengusaha kecil serta Depatemen Departemen lain yang terkait. Selain lembaga formal di pemerintahan, juga terdapat beberapa lembaga formal seperti perkoperasian nelayan, nelayan dan pengusaha perikanan seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), juga memiliki peranan penting terhadap pembangunan perikanan laut secara menyeluruh 4. Pengaturan Penangkapan Ikan di Perairan Umum Kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu: kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi inter personal. Dalam hal ini kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hirarki. Kelembagaan mengatur 3 (tiga) hal pokok dalam konteks eksploitasi sumber daya yaitu: (1) pengaturan, (2) pemanfaatan, (3) transfer serta distribusi sumberdaya. Agar dapat berfungsi dengan baik kelembagaan haruslah mapan (solid dan survive) selama periode waktu tertentu yang ditujukan oleh dinamikanya yang terus berlangsung berdampingan dengan teknologi dan pola kehidupan masyarakat, sehingga interaksi kedua komponen tersebut mampu menciptakan kelembagaan dengan kedua komponen tersebut mampu menciptakan teknologi baru yang sustainable terhadap sumberdaya (Anwar 2000). Kegiatan penangkapan ikan di suatu perairan umum di atur oleh masing-masing daerah melalui Peraturan Daerah atau Keputusan Gubernur untuk

Page 130: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem menjamin produksi yang optimum dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Hal-hal yang diatur adalah : a. Larangan penggunaa alat tangkap ikan yang dapat merusak kelestarian stock ikan. b. Larangan penggunaan bahan peledak, arus listrik, dan bahan beracun yang dapat memusnahkan semua jenis ikan, mulai dari telur, anak ikan sampai ikan dewasa. c. Larangan peracunan di aliran air, karena dapat memusnahkan biota air termasuk telur dan benih, dari siklus hidupnya, dan racun dapat menyebar ke seluruh sistem perairan. d. Larangan penggunaan jaring tarik (trawl) di danau dan sungai, karena dapat mengeruk stok ikan yang tersedia. e. Larangan penggunaan alat tangkap ikan yang menghambat aliran sungai, karena dapat mengganggu ruaya ikan yang akan memijah, Misalnya jerami di Sumatera Utara, kelong di Sumatera Selatan, rengge di Kalimantan Timur. f. Pengaturan batas ukuran mata jaring ini telah diterapkan di Waduk Juanda/Jatiluhur dan Wonogiri yang tidak membolehkan penggunaan jaring insang dengan ukuran mata jaring lebih kecil dari 5 cm. g. Larangan penangkapan ikan menurut musim maupun menurut wilayah, agar daur reproduksi ikan tidak terganggu. Misalnya larangan menangkap ikan di bulan September-Oktober di Waduk Juanda, untuk melindungi ikan yang memijah, dan di Danau Tempe waktu air surut terendah di lokasi seluas ± 10 Ha. h. Pengaturan jumlah nelayan dan alat tangkap serta jenisnya harus sesuai dengan kemampuan daya dukung perikanannya. Misalnya penangkapan ikan di Waduk Selorejo, Jawa Timur, hanya boleh dilakukan dengan pancing, dan tidak boleh dengan jaring.

Page 131: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem i. Penetapan suaka dan cagar alam perikanan (reservat) untuk mencegah kepunahan ikan dan melindungi jenis ikan langka. Suaka ikan merupakan perairan tempat pemijahan dan pembesaran anak ikan, sedangkan cagar alam merupakan wilyah perairan yang lebih luas, terdiri atas sejumlah suaka untuk ikan berpotensi ekonomi, serta mempunyai keragaman jenis dan tipe habitat yang tinggi. Penetapan suaka ikan makin mendesak dengan adanya indikasi jenis ikan tertentu yang makin langka. Bahkan ada jenis yang terancam punah. Penetapan sudah dimulai sejak tahun 1970 dan sampai dengan tahun 1995 telah dibangun ± 55 suaka ikan di perairan tawar dan payau yang luasnya bervariasi antara 10-110.000 Ha. Antara lain untuk melindungi : ikan batak (Lissochillus sp) di Danau Toba , pesut (Scleropages formosus) di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi, serta botia (Botia macracanthus) di Jambi. j. Dalam pengembangan budi daya ikan di perairan umum ditetapkan pengaturan tentang tata ruang perairan, agar penyelenggaraannya tidak menimbulkan benturan dengan kegiatan penangkapan, dan pemanfaatan dari sektor lain. Penempatan karamba jaring apung diatur dengan jarak tertentu, sehingga air disekitarnya masih cukup layak untuk mendukung hidup dan pertumbuhan ikan secara normal. Jumlah karamba jaring apung disesuaikan dengan daya dukung perairan. Penebaran benih dilakukan dengan jenis ikan yang sama dengan ikan yang sudah di tamgakap dari perairan umum yang bersangkutan. Intensitas penangkapan yang meningkat dengan alat tangkap yang lebih efektif, ditambah dengan jumlah nelayan yang makin bertambah, menimbulkan keadaan pungut lebih. Secara komulatif jumlah ikan yang ditangkap lebih besar dari pada pertambahannya karena pertumbuhan dan

Page 132: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem reproduksi. Jadi tanpa restocking, populasi ikan menurun, sehingga perairan itu tidak produktif lagi. Dibanyak danau dan waduk pengairan yang tidak terlalu luas, airnya sebagian besar atau seluruhnya habis tersedot pada musim kemarau untuk mengairi sawah. Ikannya juga cenderung terkuras habis, sehingga restocking merupakan suatu keharusan. Untuk menjamin pelaksanaan restocking dalam jumlah dan frekwensi yang memadai, sejak zaman Hindia Belanda sudah banyak dibangun Balai Benih Ikan (BBI) yang memproduksi benih untuk restocking, terutama di Jawa. Untuk memasok benih bagi danau besar di Sumatera dan Sulawesi, kemudian juga telah dibangun BBI perairan umum di pulau yang bersangkutan.

Page 133: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem DAFTAR PUSTAKA Afrianto E, Liviawaty E. 1992. Pemeliharaan Kepiting. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 22 hal. Alder J. Pitcher TJ, Preikshot D, Kaschner K, Feriss B. 2000 How Good is Good?: A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of the Sustainability (Editor). Methods for Evaluating the Impacts of Fisheries on North Atlantic Ecosystem. Fisheries Center Report. Fisheries Center. Univ. Of British Colombia. Vancouver. Allan, J.D. and M.M. Castillo. 2007. Stream Ecology, Structure and Function of Running Waters. Second Edition.Pub.Springer. Netherlands. 429 p Aminah S. Analisis Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Kembung (Rastrelliger spp) Di Perairan Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan Thesis (tidak dipublikasikan). Fakkultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Anonymous. 2008. Rencana Strategis Kabupaten Tanah Laut. Pemkab Tanah Laut. Pelaihari. Anwar A. 2000. Beberapa Permasalahan dan Hak-hak Pakai Teritorial dalam Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Bahari Indonesia. Presiding Agriculture Planning. Universitas Mataram. Lombok. 18 hal. Ansyari. 2001. Pengaruh Pemberian Lampu Pada Alat Tangkap Tempirai (Portable traps) Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. 38 halaman. Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 65 hal. Badan Pusat Statistik. 2007. Tanah Laut dalam Angka. Kantor Statistik Kabupaten Tanah Laut. 350 hal. Bachri M. 1993. Pendugaan Stok dan Potensi Lestari Maksimum Ikan Demersal di Pantai Utara Batang-Pekalongan, Jawa Tengah. Laporan Praktek Lapangan (Tidak Dipublikasikan). Program Studi

Page 134: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 42 hal. Bahari R. 1989. Peranan Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Rakyat. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Rakyat. Jakarta., 18 -19 Desember 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 156-180 hal. Balai Penelitian Perikanan Laut. 1992. Alat Penangkap Ikan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. Baruadi ASR. 2004. Model Pengembangan Kegiatan Perikanan Tangkap Ikan Pelagis di Provinsi Gorontalo. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.176 hal. Barus HR. Badrudin, Naamin N. 1991. Potensi Sumberdaya Perikanan Laut dan Strategi Pemanfaatannya Bagi Pengembangan Perikanan yang Berkelanjutan. Prosiding Forum II Perikanan Sukabumi, 18 – 21 Juni 1991. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta. 165-180 hal. BPS Kalimantan Selatan, 2011.Perkembangan Harga Indeks Konsumen/Inflasi Kalimantan Selatan.Berita Resmi Statistik No. 53/11/63/Th. XV, 1 November 2011. 14 h Brandt AV. 1984. Fish Catching Methods of The World. Fishing News Books. London. Bianchi G. 2008. The concept of the Ecosystem Approach to Fisheries in FAO. Rome:CABI and FAO. Charles AT. 1992. Fishery conflicts: a unified framework. J Marine Policy 16: 379-393. Collette B, Nauen CE. 1983. Scombrids of The World. FAO Species Catalogue. FAO Fisheries Synopsis.IV (125): 137 p.

Page 135: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem De Young C, Charles A, Hjort A. 2008. Human Dimension of the Ecosystem Approach to Fisheries: An Overview of context. Concepts, Tools and Methodes. Rome: FAO DJPT DKP. 2004. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia. DKP. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2005. Juknis Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan (http://www.dkp.go.id ) Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2005. Spesies Sumberdaya Ikan (http://www.dkp.go.id/pipp2/alat_tangkap/spesies.html) Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut. 2015. Laporan Final Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) Kabupaten Tanah Laut. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut. Pelaihari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan, 2015. Laporan Statistik Penangkapan Ikan Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Statistik Perikanan Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta. 75 hal. Dirjen Perikanan Tangkap. 2002. Hasil Sosialisasi Usaha Perikanan Tangkap dan Workshop Rasionalisasi Usaha Penangkapan Ikan di Pantai Utara Jawa. Departemen Kelautan dan Perikanan Semarang. 85 hal. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut. 2015. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut. Direktorat Sumberdaya Ikan-DJPT-KKP, WWF-Indonesia, dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB. 2011. Kajian Awal Keragaan Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. PKSPL – IPB. Bogor. 176 hal. Djajadiningrat, ST. 2005. Sustainable Future. Menggagas Warisan Peradaban bagi Anak cucu Seputar Wacana Pemikiran. Indobnesia Center for Sustainable Development. Jakarta.

Page 136: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Dudgeon D, Arthington AH, Gessner MO, Kawabata Z, Knowler DJ, Leveque C, Naiman RJ, Prieur-Richard AH, Soto D, Stassny ML, Sullivan CA, 2006.Freshwater Biodiversity : Importance, Threats, Status and Conservation Challenges.Biological Reviews 81:163-182 [FAO] Food and Agriculture Organization 1977. Fisheries Management. FAO Technical Guidelines for Resposible Fisheries. 81 p. [FAO] Food and Agriculture Organization, United Nation Organization. 1995. Code of Conduct For Responsible Fisheries. Rome. 41 p. [FAO] Food and Agriculture Organization, United Nation Organization. 2004. Implementation of The International Plan of Action for The Management of Fishing Capacity (IPOA-Capacity): Review And Main Issues. Rome. 15 p. Fauzi A. 2003. Pemmbangunan Daerah Berbasis Sumberdaya Alam: Perspektif Sektor Kelautan dan Perikanan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 343. Hal. Gazpers. 1992. Analisis Sistem Terapan Berdasarkan Pendekatan Teknik Industri. Tarsito. Bandung. 56 hal. Gulland JA. 1983. Fish Stock Assessment; A Manual of Basic Methods. John Willey and Sons. Inc. New York. 223 hal. Haluan J, Nurani TW. 1988. Penetapan Metode Skoring Penangkapan Ikan yang Sesuai Untuk Dikembangkan di suatu Wilayah Perairan. Buletin PSP. Vol. II. No 1. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. 3 – 16 hal Hanafiah AV dan Saefuddin AM. 1986. Tata niaga Hasil Perikanan. UI Press. Jakarta. Hendriati N, Suwarso E, Aldrian K, Amri R, Andiastuti SI, Shacoemar, Wahyono IB. 2005. Seasional Variation of Pelagic Fish Catch Around Java. Oceanography 18(4);112-123)

Page 137: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Hermawan M. 2006. Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus perikanan pantai. IPB. Bogor Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek. Analisis Ekonomi, Edisi Kedua. Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 181 hal Kesteven GL. 1973. Manual of Fisheries Science. Part I. An Introduction to Fisheries Science. FAO of The United Nation. Rome. 43 p. Koentjoroningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Laevastu T, Favorite F. 1988. Fishing and Stock Fluctuations. Fishing News Books Ltd. London. 240 hal. Malm, T. 2001. The tragedy of the commoners: the decline of the customary marine tenure system in Tonga. SPC Traditional Marine Resource Management and Knowledge Inforormation Bull. No. 13 : 3 – 13. Metcalf, SJ 2009. Conceptual Models for Ecosystem for Ecosystem Based Fisheries Manajement (EBFM) in Western Australia. Western Australian Fisheries and Marine Research Laboratories: Fisheries Research Report No. 194. McCay, B.J. 1993. Management Regimes. Beijer Discussion Paper Series No. 38. The Royal Swedish Academy of Science. 12 p. Martasuganda S. 2003. Bubu (Traps). Departemen Pemanfaatan sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Masyahoro A. 2001. Analisis Berbagai Faktor Produksi pada Perikanan Purse Seine di Periran Teluk Tomini. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Agroland. Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Vol. 8 No.2 216-233 hal. Monintja DR. 1987. Beberapa Teknologi Pilihan untuk Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut di Indonesia. Buletin PSP Vol. 1 No 1. Fakultas Perikanan. IPB Bogor. 14 – 25 hal. Monintja DR. 1993. Study on The Development of Rumpon as Fish Aggregation Device in Indonesia. Buletin ITK, Maritek Vol. III No 2 : 137 p.

Page 138: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Monintja DR. 1994. Pengembangan Perikanan Tangkap Berwawasan Lingkungan. Makalah Disampaikan pada Seminar Pengembangan Agribisnis Perikanan Berwawasan Lingkungan pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Agustus 1994. Jakarta: 12 hal. Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Jakarta. COFISH Project. 200 hal. Naanim N. 1987. Perikanan Laut Indonesia : Prospek dan Problem Pengembangan Sumberdaya Perikanan Laut. Seminar Laut Nasional II, Jakarta. 18 hal. Nomura M, Yamazaki. 1975. Fishing Techniques. Japan International Corperation Agency. Tokyo. Noor A. 2003. Analisis Kebijakan Pengembangan Marikultur Di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi Dki Jakarta, Tesis. IPB Bogor. Nikijuluw, V.P.H. 1998. Ko-manajemen sebagai paradigma baru pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Inovasi teknologi pertanian. Seperempat abad penelitian dan pembangunan pertanian. BPPP, Jakarta. Hal. 931 – 939. Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pustaka Cidesindo. Jakarta. Uphoff N. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press. Petersen S, Nel D, Omardien A. 2007. Toward and Ecosystem Approach to Fisheries in the Benguela: an Assessment of Impact on Seabird, Sea Turtle and Shark. WWF Report Series. Africa. 106p Pemerintah Kabupaten Tanah Laut. 2006. Rencana Strategis Kabupaten Tanah Laut. (http://www.tanah-laut.go.id) Prasetyo, D. dan Asyari, 2003.Inventarisasi Jenis Ikan dan Karakteristik Sungai Barito. Sosialisasi Hasil Penelitian Tahun 2002. Prosiding Pusat Riset Perikanan Tangkap.Badan Riset Kelautan dan Perikanan.Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta: 37-42

Page 139: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Pubbayanto A. 2003. Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Berwawasan Lingkungan. Makalah Pelatihan ICZPM. Kerjasama PKPSL-IPB dengan DKP. Purwaka. 2003. Bunga rampai Analisis Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelautan dan Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Program Pascasarjana. Tidak diterbitkan. 37 hal. Puewanto. 2003. Makalah Pengelolaan Sumberdaya Ikan. Disajikan pada Workshop Pengkajian Sumberdaya Ikan. Jakarta. 25 Maret 3003. Rasdani M, Sudarja Y, Prihartini A. 2001. Pedoman Regional untuk Perikanan Yang Bertanggungjawab di Asia Tenggara (Regional Guidelines for Responsible Fisheries in South East Asia: Responsible Fishing Operation). Penerjemah. BPPI Semarang. Rasdani M. 2005. Usaha Perikanan Tangkap yang Bertanggung Jawab. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Ikan tanggal 14 – 24 Juni 2005. BPPI Semarang. Rosadi, Edi. 2009. Prospek Pemasaran Ikan Seluang (Rasbora sp.) Kering di Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan. (Tesis) Pasca Sarjana Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru Rusmilyansari. 2005. Desain Kapal dan Model Trammel net Yang Sesuai Untuk Meningkatkan Efektifitas. Fakultas Perikanan Unlam. Banjarbaru. 44 Hal. Rusmilyansari. 2006. Disain, Bahan Dan Konstruksi Alat Tangkap “Rakang (Crab Lift And Stake Drip Net) Yang Sesuai Untuk Meningkatkan Efektifitas Penangkapan Kepiting. Fakultas Perikanan. Banjarbaru. 81 Hal. Rusmilyansari 2008. Kajian material jaring lalangit untuk penangkapan ikan betok di Perairan Rawa. Majalah Ilmiah Kalimantan Scientiae. Hal 114-123 Rusmilyansari. 2008. Pengkajian Rancangan Dasar (Basic Design) Kapal Perikanan yang sesuai untuk penangkapan ikan di Kabupaten Tanah Laut. Jurnal Ilmiah Chlorophyl. Vol. 4, No.2. Hal 95-102.

Page 140: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Rusmilyansari. 2009. Modifikasi Tamba (Trap) Untuk Meningkatkan Efektifitas Penangkapan Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii). Majalah Ilmiah Kalimantan Scientiae. Rusmilyansari. 2009. Penggunaan papan Layang (Otter board) pada lampara Dasar (Bottom seine net) untuk meningkatkan hasil tangkapan. Jurnal ilmiah Chlorophyl Hal 12-18 Rusmilyansari dan Irhamsyah. 2011. Teknologi Trammel net Dalam Kajian Selektivitas Penangkapan Ikan. Alhaka Publishing. Banjarmasin. 94 Hal. Rusmilyansari dan Risadi. 2011. Status Perikanan Ramah Lingkungan Untuk Keberlanjutan Perikanan Tangkap di Perairan Kalimantan Selatan. Fakultas Perikanan. Banjarbaru. 15 Hal. Sandy LM. 1997. Pembangunan Wilayah. Direktorat Tata Guna Tanah. Departemen Stiassny, M.L.J., 1996. An Overview of Freshwater Biodiversity: with some lessons from African Fishies. Fisheries 21, 7-13 Stiassny, M.L.J. 1999. The medium is the message: freshwater biodiversity in peril. In Cracraft J, Grifo FT (eds) The Living Planet in Crisis: Biodiversity Science and Policy. Columbia University Press, New York, pp 53–71 Subani W, Barus H. R. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. DEPTAN. Sudirmab dan Malawa A. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Rineka Cipta. Jakarta. Suhendrata T. Amin EM. 1990. Pendugaan Pertumbuhan dan Pola Penambahan Bara Ikan Kembung Lelaki (R. kanagurta) di Peraian Selat Madura. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (54) : 59 – 64 hal. Suparmoko. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Suatu Pendekatan Teoritis. BPFE, Yogyakarta

Page 141: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Suseno. 2007. Menuju Perikanan Berkelanjutan. Pustaka Cidesindo. Jakarta. 160 Hal. Suyasa. 1989. Analisis Efisiensi Ekonomi Relatif Usaha Tani Tambak di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Jawa Barat. Tesis Fakultas Pascasarjana IPB. Taryono. 2003. Evaluasi Ekonomi Kelestarian Sumberdaya Perikanan di Perairan Pantai Utara Jawa. [Tesis] Tidak dipublikasikan IPB. Bogor. Vitner Y. 2006. Ekolabel Produk Perikanan (http://www.kompas.com) direkam pada 16 Sep 2006 Widodo J, Nurhakim S. 2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Disampaikan pada Training of Trainers on Fisheries Resources Management. Hotel Golden Clarion, Jakarta. Winemiller, K.O., Agostinho, A.A., Caramaschi E.P., 2008. Fish Ecology in Tropical Streams.Tropical Stream Ecology.Edited by David Dudgen. Copyrigth 2008, Elsevier Inc. 107-146 Wiyono ES. 2005. Pengembangan Teknologi Penangkapan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan (http://www.beritaiptek.com) yang direkam pada 22 Sep 2010 Zarochman, Fauzi, Siregar N. 1996. Klasifikasi Alat Penangkap Ikan Yang disesuaikan Untuk Perairan Indonesia. Bagian Proyek Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan. Semarang. Zen, S. and J.R. Nielsen. 1996. Fisheries Co-Management: A Comparative Analysis. Marine Policy 20(5): 374 – 382.

Page 142: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem GLOSARIUM . Alat penangkap ikan : Sarana dan perlengkapan atau benda lain nya yang dipergunakan untuk menangkap ikan. By-catch : Hasil tangkapan sampingan; merupakan bagian dari hasil tangkapan yang didapatkan pada saat operasi penangkapan sebagai tambahan dari tujuan utama penangkapan (target spesies). Code of Conduct for Responsible Fisheries : Kode tindak perikanan bertanggung jawab, merupakan acuan bagi pelaksanaan kegiatan perikanan berkelanjutan yang dikeluarkan oleh FAO Demersal : sifat hidup ikan yang menyukai perairan bagian dalam atau dasar, contahnya: udang, ikan kerapu dan ikan kakap. Domain : kelompok dari berbagai indikator yang saling berinteraksi membentuk karakteristik tertentu. Domain sumberdaya ikan : kumpulan dari berbagai indikator sumberdaya ikan yang tergabung dalam suatu kelompok tertentu dan dapat saling berinteraksi. Domain habitat : Kumpulan dari berbagai indikator habitat yang tergabung dalam suatu kelompok tertentu dan dapat saling berinteraksi. Domain teknik penangkapan : kumpulan dari berbagai indikator penangkapan ikan yang tergabung dalam suatu kelompok tertentu dan dapat saling berinteraksi.

Page 143: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Domain sosial : kumpulan dari berbagai indikator sosial yang tergabung dalam suatu kelompok tertentu dan dapat saling berinteraksi. Domain ekonomi kumpulan dari berbagai indikator ekonomi yang tergabung dalam suatu kelompok tertentu dan dapat saling berinteraksi. Domain kelembagaan kumpulan dari berbagai indikator kelembagaan yang yang tergabung dalam suatu kelompok tertentu dan dapat saling berinteraksi. Effort : adalah menunjukkan jumlah alat penangkapan ikan berjenis khusus yang digunakan di daerah penangkapan ikan dalam satu satuan wakttu Ekosistem adalah interaksi dan interelasi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Fishing : usaha melakukan penangkapan ataupun pengumpulan ikan dan jenis-jenis aquatic resources lainnya dengan dasar pemikiran bahwa ikan dan aquatic resources tersebut mempunyai manfaat ataupun mempunyai nilai ekonomi. Fishing ground : Wilayah perairan yang digunakan sebagai lokasi penangkapan Fishing method : kebiasaan, cara, metode yang dipergunakan dengan mana ikan dapat tertangkap Hasil tangkapan : porsi dari hasil penangkapan yang di daratkan di pangkalan pendataran ikan atau didistribusikan ke pasar Hasil tangkapan : komponen atau unsure stok ikan/sumberdaya (ukuran, jenis dan lain-

Page 144: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem sasaran lain) terutama yang dicari atau dituju oleh nelayan industry Hasil tangkapan insedental : hasil tangkapan yang tidak diperkirakan sebelumnya/tidak diantisipasi akan tertangkap dalam operasi penangkapan ikan, tetapi tertangkap secara sepintas lalu/kebetulan Hauling : proses pengangkatan alat tangkap ke atas dek kapal pada operasi penangkapan ikan High risk : karakter pemanfaatan sumberdaya ikan di laut mengandung risiko tinggi, baik dalam segi keamanan teknis proses produksinya, maupun kepastian hasil tangkapannya. Highly perishable : sifat produk perikanan (ikan) sangat cepat menjadi busuk. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Invisible : sifat sumberdaya ikan tidak terlihat secara kasat mata, menyebabkan ketidakpastian usaha. Illegal Fishing : alat penangkapan ikan dan praktek penangkapannya yang dilarang oleh hokum dan peraturan perundangan Keseimbangan bio-ekonomi : Kondisi dimana pada setiap effort dibawah EoA,penerimaan total akan melebihi biaya total, sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik (entry) untuk melakukan penangkapan ikan Kebijakan : suatu peraturan untuk mengatur atau mengubah suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik

Page 145: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Nelayan : orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Overfishing : suatu resiko yang dapat ditimbulkan oleh penangkapan yang berlebihan Penangkapan Ikan : kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam dengan alat atau cara apapun termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkan. Pelagis : sifat hidup ikan yang menyukai perairan terbuka atau bagian tengah ataupun bagian permukaan perairan, contohnya: ikan cakalang, ikan lemuru dan ikan tuna. Perikanan Sebagai Suatu Kegiatan Ekonomi : usaha manusia memanfaatkan sumberdaya perikanan dengan cara menerapkan kaedah teknologi secara ekonomis untuk mencapai kesejahteraannya melalui produksi hasil perikanan. Pengelolaan Perikanan : semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang undangandi bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan Berkelanjutan : pengelolaan yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia saat ini tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasinya pada masa yang

Page 146: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem datang. Pendekatan Ekosistem : upaya untuk melibatkan komponen ekosistem dengan suatu proses pengambilan keputusan terhadap sumberdaya, ekosistem dan lingkunganya. Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management) selanjutnya disebut EAFM sebuah pendekatan pengelolaan yang menitikberatkan pada pentingnya keterkaitan (konektivitas) antara sumberdaya ikan dan komponen ekosistem perairan termasuk aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Pengembangan : Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada sesuatu Perairan umum daratan : semua badan air yang terbentuk secara alami atau buatan dan terletak mulai garis pasang surut terendah ke arah daratan serta bukan milik perorangan. Perikanan : Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDI dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan Perikanan Tangkap : Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang mengunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Perikanan yang bertanggung jawab : konsep mengenai ruang lingkup pemanfaatan sumberdaya perikanan yang lestari dan serasi dengan lingkungannya Produksi : jumlah semua ikan, binatang air lainnya dan tanaman air yang telah ditangkap/diambil dari sumber perikanan alami atau dari tempat pemeliharaan yang

Page 147: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem diusahakan oleh perusahaan/rumah tangga perikanan. Produktivitas : Suatu alat untuk melihat efisiensi teknik dan suatu proses produksi yang merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan input sumberdaya yang dipergunakan Selektifitas alat : sifat dari alat penangkapan ikan yang mengurangi/mengeluarkan hasil tangkapan yang ukurannya tidak diinginkan dan melepaskan hasil tangkapan insedental Stakeholders : pemangku kepentingan Sumberdaya ikan : Salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tetapi terbatas Sustainable development : pembangunan berkelanjutan, kegiatan pembangunan yang mempertimbangkan aspek kelestarian sumberdaya dan lingkungan sehingga menjamin keberlanjutan komunitas, keberlanjutan ekologi, keberlanjutan social ekonomi dan keberlanjutan institusi. Skala kecil : usaha yang serba terbatas, misalnya bermodal kecil, alat tangkap yang digunakan sederhana dan berukuran kecil, sarana apungnya berukuran kecil, tanpa mesin atau bermesin temple, atau bermesin duduk, dengan ukuran kapal motor maksimal 10 GT dan daerah penangkapan di sekitar pantai Usaha perikanan tangkap : Kegiatan yang bertujuan memperoleh ikan di perairan dalam keadaan tidak dibudidayakan dengan maupun tanpa alat tangkap, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk menampung,

Page 148: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem mengangkut,menyimpan, mendinginkan, mengolah dan mengawetkan. Unit Penangkapan Ikan : Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap, dan nelayan. Wilayah Pengelolaan Perikanan atau WPP (Fisheries Management Area/FMA) adalah merupakan wilayah pengelolaan perikanan untukpenangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian,danpengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan Zona EkonomiEksklusif Indonesia. ZEEI : Daerah laut Indonesia dan wilayah laut negara lain sebagaimana ditetapkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mil laut di ukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia

Page 149: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem INDEKS Alat Tangkap 3,21,47,54 Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup 134 Daerah Aliran Sungai 19,72, 135 Danau 1,7,16,81 Degradasi Lingkungan 50 Dinas Perikanan dan Peternakan 127,128,137 Domain Habitat 69,71 Ekologi 39,40,65,114 Hanging Ratio 54 Hasil Tangkapan 3,42,83,104 Ikan Baung 87,91,93 Ikan Betok 87,89,91 Ikan Gabus 86,89,98 Ikan Tambakan 95,96 Kelestarian Ekosistem 59,68 Kerusakan Ekosistem 114,135 Kualitas Lingkungan 72,113 Kualitas Perairan 69,71 Manipulasi Ekosistem 65 Mesh size 54,102,105 Perairan Umum 2,15,20,79 Pembangunan4,32,33,127 Pendekatan Ekosistem 4,14,57 Pengelolaan Perikanan 2,7,40, 74,76 Perairan Laut 2,7,14,111 Perekonomian Indonesia 1 Perikanan Tangkap 2,16,20,43 Perikanan 1,4,56,82 Perlindungan Ikan 79 Potensi perikanan 1,2,86 Produksi Perikanan laut 85 Sepat Rawa 3,93,104 Sepat Sima 86 Spesies Ikan 2,86,119 Sumberdaya Hayati Laut 20, 112 Sumberdaya Perikanan 2,7,44, 51 Tanaman Air 18,73,104 Teknologi Penangkapan Ikan 69,110,122 Wilayah Pengelolaan Perikanan 7,8,9,21 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 1,7

Page 150: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem | 164 Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem TENTANG PENULIS Penulis dilahirkan di Kota Rantau Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan Selatan pada tanggal 27 Oktober 1967 dari ayah bernama H. Ridoeansyah dan Ibu bernama Hj. Zaleha sebagai anak kedua dari 4 bersaudara. Tahun 1987 penulis lulus SMA Negeri Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk UNLAM melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi (UMPT). Penulis memilih Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan. Selama masih mengikuti perkuliahan, penulis mendapatkan beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas yang ditutut untuk bersedia menjadi dosen jika telah menamatkan sarjana perikanan. Setelah menyelesaikan S1 pada tahun 1992 diangkat menjadi asisten dosen di Fakultas Perikanan Unlam. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan studi S2 Jurusan Ekonomi Pertanian Spesialisai Ekonomi Sumberdaya di UNIBRAW Malang dan menamatkannya pada tahun 1999. Pada tahun 2007, melanjutkan program doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanandan menamatkannya pada tahun 2011. Pengalaman Menulis Buku yaitu Tingkah Laku & Metode Penangkapan Ikan (2010), Teknologi Alat Tangkap ”Sungkur” dan Analisis Hidrodinamik, Kapal Perikanan Sarana Perikanan Tangkap Di perairan Kalimantan Selatan (Suatu Pendekatan Survei), Teknologi Trammel net Dalam Kajian Selektivitas

Page 151: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem | 165 Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Penangkapan Ikan (2011), Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap (2012) dan Manajemen Konflik Sumberdaya Perairan Teritorial (Dalam Pendekatan Sistem Kelembagaan) (2013).

Page 152: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem | 166 Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Apriansyah dilahirkan di Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan pada tanggal 8 April 1967 dari Ayah bernama Almarhum H.Sjahran bin H. Matnuh dan Ibu Almarhumah Hj.Zainab binti K.H. Sulaiman Ta’rif sebagai anak keempat dari 7 bersaudara. Tahun 1986 penulis lulus SMA Negeri-1 Banjarmasin Jurusan IPA dan pada tahun 1991 lulus Sarjana pada Jurusan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin. Selanjutnya, pada tahun 2000 lulus Magister Ilmu Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor (IPB). Selama mengikuti perkuliahan, penulis mendapatkan beasiswa Supersemar dari Yayasan Supersemar dan beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas (TID) dari Depdikbud dengan beasiswa terakhir ini penulis diangkat menjadi Dosen FISIP Unlam. Pernah menjadi asisten Dosen untuk berbagai mata kuliah di perguruan tinggi Swasta, yaitu, Uniska Banjarmasin, Universitas Achmad Yani Banjarmasin dan ASMI Banjarmasin, serta pernah mengajar di Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin dan Fakultas Ekonomi Unlam Banjarmasin. Sekarang aktif mengajar di Fisip Unlam Program S1 Jurusan Pemerintahan, Program Magister Ilmu Pemerintahan (MIP), dan Magister Adminstrasi Publik (MAP). Di samping sibuk dalam berbagai aktivitas organisasi massa dan sosial, penulis juga aktif sebagai staf khusus Gubernur, pengamat politik, pemerintahan dan sosial di berbagai media lokal dan nasional.

Page 153: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem | 167 Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Berbagai penulisan dan penelitian pernah mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak, seperti Dinas Pariwisata Pemda KalSel, Dirlantas Polda KalSelteng, Toyota Foundation, Depdikbud, dll. Berbagai penelitian atas kerjasama dengan pihak lain seperti Dikti Depdibud (Peneliti Muda, Kajian Wanita, Hibah Bersaing, PUPT dan Stranas), ADB & PLN, dan Pemda-Pemda, dll.

Page 154: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Ekosistem Yopi Novita. Lahir di Jakarta, pada tanggal 16 September 1971 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan H. Rafni Fachruddin, B.E. (Alm) dan Hj. Zustiari Thalib. Penulis menikah dengan Dr Ir H Budhi Hascaryo Iskandar, MSi dan telah dikaruniai seorang putri bernama Annisa Zalfa Putri Hascaryo serta seorang putra bernama Nauval Zahran Putra Hascaryo. Gelar Doktor diperoleh pada tahun 2011, setelah penulis menyelesaikan program doktor di Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap, Sekolah Pascasarjana IPB. Sejak tahun 2000 hingga sekarang, penulis aktif sebagai dosen tetap di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan-Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB (PSP-FPIK IPB). Dalam kesehariannya sebagai dosen, penulis aktif memberikan materi perkuliahan dalam beberapa mata kuliah di bidang kapal perikanan baik di program S1, S2 maupun S3. Penulis terlibat dalam beberapa penerbitan buku teks, yaitu: Konsep pengembangan sektor perikanan dan kelautan di Indonesia (2003), Modul Dinamika kapal perikanan (edisi 1: 2013) dan Kapal pengangkut ikan hidup: desain dan contoh operasional (2015).

Page 155: Scanned by CamScannereprints.ulm.ac.id/7600/1/BUKU Rusmilyansari.pdf · panduan, bagi tim pengajar, agar materi yang disampaikan tidak terlalu mengambang dan keluar jalur dari konteks

Scanned by CamScanner