sari sahabat kecilku

6
NAMA : DWI PRASTOWO KELAS : X-H NO : 10 Sari Sahabat Kecilku eberapa hari belakangan ini, cuaca sukar diprediksi. Hujan sering datang tiba – tiba, bahkan disertai angin kencang dan petir bersahutan. Pulang sekolah, aku harus dua kali naik kendaraan umum. Kalau mas Dodi mengabarkan akan menjemputku hari ini, aku tentu senang sekali. Kalau tidak, aku terpaksa pulang sendiri, berebut mengejar angkot hingga malam tiba. B Dan hari ini, aku benar – benar tidak mungkin mengharapkan mas Dodi segera hadir menjemputku dengan mobilnya. Barusan dia sms “KEJEBAK MACET JEMPUT MAMA DI TANAH ABANG”. Harapanku kini, hujan yang tiba – tiba turun segera berhenti. Paling tidak, setelah aku sampai di depan rumahku nanti hujan sudah reda. Saat mikrolet yang kutumpangi berhenti di seberang jalan depan rumahku, senja yang gelap sudah berganti malam dan hujan belum berhenti juga. Aku terpaksa berlari dan berteduh di halte untuk sementara. Beberapa pengendara sepeda motor sudah banyak memenuhi halte. Jaket dan pakaian mereka basah kuyup. Seorang bapak tua sedang melindungi isi gerobak barang – barang rongsokannya dengan plastik. Ada juga seorang bocah lelaki yang termenung karena sebagian koran jualannya basah dan belum terjual. Beberapa ibu dan anak – anak sekolah asyik makan gorengan sambil ngerumpi dan tertawa cekikikan. Puas menatap orang – orang disekelilingku, di tengah terpaan cahaya lampu – lampu kendaraan yang lewat, sesosok gadis kecil tampak menyeberang jalan menuju halte tempatku berteduh. Ditangannya ada sebuah payung yang tidak terlalu

Upload: dwiprass

Post on 17-Jan-2016

221 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Cerpen Bahasa Indonesia

TRANSCRIPT

NAMA : DWI PRASTOWOKELAS : X-HNO : 10

Sari Sahabat Kecilku

eberapa hari belakangan ini, cuaca sukar diprediksi. Hujan sering datang tiba – tiba, bahkan disertai angin kencang dan petir bersahutan. Pulang sekolah, aku harus dua kali naik kendaraan umum. Kalau mas Dodi mengabarkan akan

menjemputku hari ini, aku tentu senang sekali. Kalau tidak, aku terpaksa pulang sendiri, berebut mengejar angkot hingga malam tiba.

BDan hari ini, aku benar – benar tidak mungkin mengharapkan mas Dodi segera

hadir menjemputku dengan mobilnya. Barusan dia sms “KEJEBAK MACET JEMPUT MAMA DI TANAH ABANG”. Harapanku kini, hujan yang tiba – tiba turun segera berhenti. Paling tidak, setelah aku sampai di depan rumahku nanti hujan sudah reda.

Saat mikrolet yang kutumpangi berhenti di seberang jalan depan rumahku, senja yang gelap sudah berganti malam dan hujan belum berhenti juga. Aku terpaksa berlari dan berteduh di halte untuk sementara. Beberapa pengendara sepeda motor sudah banyak memenuhi halte. Jaket dan pakaian mereka basah kuyup. Seorang bapak tua sedang melindungi isi gerobak barang – barang rongsokannya dengan plastik. Ada juga seorang bocah lelaki yang termenung karena sebagian koran jualannya basah dan belum terjual. Beberapa ibu dan anak – anak sekolah asyik makan gorengan sambil ngerumpi dan tertawa cekikikan.

Puas menatap orang – orang disekelilingku, di tengah terpaan cahaya lampu – lampu kendaraan yang lewat, sesosok gadis kecil tampak menyeberang jalan menuju halte tempatku berteduh. Ditangannya ada sebuah payung yang tidak terlalu besar.

Baju gadis kecil itu sudah basah kuyup ketika dia tiba di halte. Wajah imutnya mirip salah satu bintang sinetron cilik yang pernah kulihat di salah satu stasiun televisi. Beberapa orang anak sekolah dan ibu – ibu segera menyerbu gadis kecil kecil itu. Tapi, ketika gadis kecil itu melihat ke arahku, dia cepat menghampiriku, sepertinya dia sudah mengenalku sebelumnya.

Dia hanya menawarkan payungnya untukku. Aku menatap matanya lekat – lekat. Dari postur tubuh dan raut wajahnya, aku mengira umurnya sekitar 8 tahun. Kemudian aku beranjak dari tempat dudukku. Aku mulai menerobos hujan bersama dengan anak kecil itu menuju ke rumahku di seberang halte. Di perjalanan singkat itu, dia banyak tersenyum. Tetapi aku melihat setitik kelelahan di wajah mungilnya. Sesampainya di teras rumah, aku berhenti.

“Berapa ongkosnya dek ?” tanyaku pada gadis kecil itu.“Ah, kakak ga usah bayar kak, itung – itung balas budi ke kakak. Permisi ya kak,

assalamu’alaikum,” jawab gadis kecil itu. Lalu dia tersenyum, kemudian pergi meninggalkan seabreg pertanyaan di otakku.

***

Esok paginya, aku berangkat ke sekolah diantar oleh mas Dodi. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa duduk termenung di jok depan mobil, sampai akhirnya mobil tiba di lampu lalu lintas. Mobil berhenti cukup lama. Aku menatap kosong ke luar jendela, sampai aku menangkap sosok yang tidak asing lagi bagiku. Sosok itu mendekat dan terus mendekat, an akhirnya dia mengetuk kaca mobilku.

“Eh kakak, ketemu lagi. Mau beli kue kak ?” tanya gadis kecil itu ketika dia melihat wajahku yang menyembul dari jendela mobil.

“Eh, iya dek, kakak beli 3 ya. Emm….ini uangnya,” jawabku terbata – bata, sambil mengeluarkan uang sepuluh ribuan.

“Ambil aja kembaliannya ya,” sambungku. “Iya kak, ini kuenya. Makasih kak, hati – hati di jalan,” jawab gadis kecil itu sambil

tersenyum. Senyumnya mengiringi kepergianku dari lampu lalu lintas. Mobilku melaju pelan menuju sekolahanku.

Saat di sekolah, aku terus saja memikirkan gadis kecil itu. Senyum hangatnya seperti pernah kulihat di sebuah tempat sebelumnya. Aku coba untuk mengingat – ingat. Berusaha untuk mencari folder gadis kecil itu di memory otakku. Tapi aku tak berhasil menemukannya. Mungkin otakku sudah penuh sesak dengan rumus – rumus dan teori yang kujejalkan secara paksa untuk alasan formalitas. Yah, bagiku sekolah hanyalah untuk sekedar mengisi waktu luang dan karena hasrat kedua orang tuaku yang menginginkan anak – anaknya menjadi orang nomor satu di segala hal. Aku dipaksa ini itu, tanpa mereka menanyakan apa mauku sebenarnya. Dan kembali lagi ke gadis kecil itu. Aku begitu penasaran hingga aku bertekad untuk menemuinya pulang sekolah nanti.

Bel pulang pun berbunyi. Anak – anak berhamburan keluar dari kelas. Aku berjalan seirama dengan sobat karibku, Alex. Nama lengkapnya Alexander Aurel Sudibyo. Dia adalah putra dari pemilik salah satu perusahaan terkemuka di Jakarta.

“Aan. Kamu pulang sama siapa ?” Alex bertanya padaku sambil sibuk memakai jaket kesayangannya.

“Sama sopir,” jawabku singkat. “Wah, tumben kamu dijemput sama sopir. Biasanya sama mas Dodi,” tambah Alex. “Iya sama sopir. Tapi sopir angkot, hehehe,” sambungku lagi sambil tertawa. “What ? Are you sure ? Naik angkot ?” Alex melotot tanda tak percaya. “Iya, gue lagi ada urusan. Duluan ya, bye,” ujarku sembari meninggalkan Alex yang

lagi bengong kaya sapi. Tapi menurutku sih mendingan sapi kalo lagi bengong. Kalo mukanya Alex bengong aneh. Padahal dia kan blasteran Inggris – Jawa.

Di dalam angkot, aku langsung sms mas Dodi “MAS, AAN PULANG SENDIRI YA. NI UDAH ON THE WAY, OK !” Langsung aku kirim ke nomor mas Dodi. Aku terus bertanya – tanya dalam hati, sebenarnya gadis kecil itu siapa sih ? Dia itu siapa, kok mukanya familiar banget. Setelah ganti angkot dua kali, akhirnya aku sampai juga di halte depan rumah. Begitu turun pandanganku langsung menyapu seluruh halte. Lalu aku melihat gadis kecil itu disudut halte, kemudian aku mendekatinya.

“Halo dek, lagi ngapain ?” tanyaku mengawali pembicaraan. “Eh kak Aan, kakak baru pulang ya ? Pasti cape ya kak ?” jawab gadis kecil itu.

“Iya sih, tapi dikit kok. Oh iya, nama kamu siapa yah ? Kakak lupa” tanyaku lagi. “Namaku Sari kak, nama kakak Alendra Dwi Antoni kan ? Yang rumahnya di

seberang itu ?” katanya sambil menunjuk ke arah rumahku. “Iya. Ngomong – ngomong kita pernah bertemu dimana ya ?” tanyaku dengan

wajah penasaran. “Ih, kok kakak lupa sih ? Kakak kan yang nolongin Sari waktu Sari disrempet

motor dan dagangan Sari jatuh. Kakak juga yang membereskan semua kue Sari dulu,” jawab Sari menjelaskan. Aku kembali mengingat – ingat.

“Oh, kamu anak yang waktu itu. Mmm, aku ingat sekarang,” jawabku puas. Akhirnya aku tahu juga siapa sebenarnya gadis kecil yang selalu tersenyum padaku itu.

***

Hari – hari berikutnya bila libur atau ada waktu senggang, aku selalu menyempatkan waktu untuk menemui Sari berjualan kue ataupun ngojek payung di halte depan. Aku senang sekali berteman dengan Sari. Aku merasa tak kesepian lagi, karena aku merasa seperti punya adik kecil. Waktu itu, aku libur sekolah karena kelas XII sedang melaksanakan UN. Aku menatap keluar melihat atap – atap rumah dari seng bekas yang tak layak pakai. Itulah rumah Sari yang berada di sebelah halte depan rumahku. Aku sedikit melongok ke bawah untuk melihat keadaan jalan di depan rumah. Tiba – tiba aku terkesima ketika melihat sosok Sari. Kemudian dengan cepat aku menyambar jaket dan sandalku, bergegas menuruni tangga, kemudian berlari menuju ke teras depan. Dengan segera aku menghampiri Sari yang sedang duduk sendiri.

“Sari lagi ngapain ? Kok bengong sendirian sih, nanti kesambet loh,” candaku padanya.

“Eh, kak Aan. Iya ni kak, Sari lagi bingung gimana caranya buat Sari bisa sekolah lagi” jawab Sari sambil menerawang jauh menatap langit yang biru.

“Lho, emangnya Sari kenapa ? Dan…… oh iya, kok Sari ngga sekolah sih ?” tanyaku.

“Nah itu dia kak, Sari udah ngga bisa sekolah lagi kak. Ga ada biaya” jawab Sari sambil menerawang jauh tak berpaling.

Aku terhenyak mendengar jawabannya. Aku termenung, selama ini aku menganggap sekolah hanya sekedar formalitas, ternyata jauh di luar sana masih banyak yang membutuhkan pendidikan. Aku menyesal telah menyia – nyiakan waktu dan uang yang kupunya.

“Emm Sari, gimana kalo Sari sekolah lagi ? Biaya sekolah biar keluarga kakak yang biayain semuanya. Yang penting sekarang Sari bisa sekolah lagi, mau ngga ?” tanyaku memecah keheningan. Mama pasti tidak keberatan dan pasti akan mendukung niat baikku ini, ujarku dalam hati.

“Apa kak ? Sari sekolah lagi ? Sari mau kok. Mau… Mau…!” teriaknya sambil memelukku.

“Makasih ya kak,” tambahnya lagi sambil tersenyum.

***

Hari – hari berikutnya, aku menjalani hidupku lebih bersemangat lagi. Setiap pagi aku berangkat bersama Sari dengan diantar mas Dodi. Sekarang Sari secara tidak langsung sudah menjadi bagian dari keluargaku. Meskipun begitu, Sari tetap memilih menjadi Sari yang dulu. Ramah, tidak sombong, tinggal di rumah yang mungil, tetap berjualan kue, dan tetap ngojek payung seperti biasa di halte depan rumahku. Sari yang sudah mengajarkan aku agar menjalani hidup dengan semangat. Sari sahabat kecilku yang kuanggap sebagai adikku sendiri.