sarbanes oxley act

9
SARBANES OXLEY ACT (SOA) 1. Latar Belakang Pembentukan SOA Sarbanes-Oxley Act (SOA) merupakan sebuah undang-undang yang lahir di AS pada tanggal 30 Juli 2002 yang diprakarsai oleh Senator Paul Sarbanes (Maryland) dan Representative Michael Oxley (Ohio). Undang-undang ini dikeluarkan sebagai respons dari Kongres Amerika Serikat terhadap berbagai skandal pada beberapa korporasi besar seperti: Enron, WorldCom (MCI), AOL TimeWarner, Aura Systems, Citigroup, Computer Associates International, CMS Energy, Global Crossing, HealthSouth, Quest Communication, Safety-Kleen dan Xerox; yang juga melibatkan beberapa KAP yang termasuk dalam “the big five” seperti: Arthur Andersen, KPMG dan PWC. Semua skandal ini merupakan contoh tragis bagaimana suatu kecurangan yang berdampak sangat buruk terhadap pasar, stakeholders, dan para pegawai perusahaan bersangkutan. Dampak dari UU ini dirasakan oleh pasar modal (setiap sektor industry dan jasa). Section 404 of the Act, Management Assessment of Internal Controls, yang mungkin menjadi aspek yang paling menantang dari UU ini, mensyaratkan perusahaan public dan external auditornya untuk melaporkan efektivitas pengendalian internal perusahaan atas pelaporan keuangan. Dalam SOA diatur tentang akuntasi, pengungkapan dan pembaharuan governance, yang mensyaratkan adanya pengungkapan yang lebih banyak mengenai informasi keuangan, kecurangan tentang hasil-hasil yang dicapai manajemen, kode etik bagi pejabat di bidang keuangan, pembatasan kompensasi eksekutif, dan pembentukan komite audit yang independen. Dengan diterbitkannya undang-undang ini, ditambah dengan beberapa aturan pelaksanaan dari Securities Exchange Commision (SEC) dan beberapa self regulatory bodies lainnya, diharapkan akan meningkatkan standar akuntabilitas korporasi, transparansi dalam pelaporan keuangan, memperkecil kemungkinan bagi perusahaan atau organisasi untuk melakukan dan menyembunyikan fraud, serta membuat perhatian pada tingkat sangat tinggi terhadap corporate governance. Saat ini, corporate governance dan pengendalian internal bukan lagi sesuatu yang mewah lagi dan istimewa, karena kedua hal ini telah disyaratkan oleh undang- undang.

Upload: hermaz-wibisono

Post on 21-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

SOX Act

TRANSCRIPT

Page 1: Sarbanes Oxley Act

SARBANES OXLEY ACT (SOA)

1. Latar Belakang Pembentukan SOA

Sarbanes-Oxley Act (SOA) merupakan sebuah undang-undang yang lahir di AS pada

tanggal 30 Juli 2002 yang diprakarsai oleh Senator Paul Sarbanes (Maryland) dan Representative

Michael Oxley (Ohio). Undang-undang ini dikeluarkan sebagai respons dari Kongres Amerika

Serikat terhadap berbagai skandal pada beberapa korporasi besar seperti: Enron, WorldCom

(MCI), AOL TimeWarner, Aura Systems, Citigroup, Computer Associates International, CMS

Energy, Global Crossing, HealthSouth, Quest Communication, Safety-Kleen dan Xerox; yang

juga melibatkan beberapa KAP yang termasuk dalam “the big five” seperti: Arthur Andersen,

KPMG dan PWC. Semua skandal ini merupakan contoh tragis bagaimana suatu kecurangan yang

berdampak sangat buruk terhadap pasar, stakeholders, dan para pegawai perusahaan

bersangkutan.

Dampak dari UU ini dirasakan oleh pasar modal (setiap sektor industry dan jasa). Section

404 of the Act, Management Assessment of Internal Controls, yang mungkin menjadi aspek

yang paling menantang dari UU ini, mensyaratkan perusahaan public dan external auditornya

untuk melaporkan efektivitas pengendalian internal perusahaan atas pelaporan keuangan. Dalam

SOA diatur tentang akuntasi, pengungkapan dan pembaharuan governance, yang mensyaratkan

adanya pengungkapan yang lebih banyak mengenai informasi keuangan, kecurangan tentang

hasil-hasil yang dicapai manajemen, kode etik bagi pejabat di bidang keuangan, pembatasan

kompensasi eksekutif, dan pembentukan komite audit yang independen.

Dengan diterbitkannya undang-undang ini, ditambah dengan beberapa aturan

pelaksanaan dari Securities Exchange Commision (SEC) dan beberapa self regulatory bodies

lainnya, diharapkan akan meningkatkan standar akuntabilitas korporasi, transparansi dalam

pelaporan keuangan, memperkecil kemungkinan bagi perusahaan atau organisasi untuk

melakukan dan menyembunyikan fraud, serta membuat perhatian pada tingkat sangat tinggi

terhadap corporate governance. Saat ini, corporate governance dan pengendalian internal bukan

lagi sesuatu yang mewah lagi dan istimewa, karena kedua hal ini telah disyaratkan oleh undang-

undang.

Page 2: Sarbanes Oxley Act

2. Hal-Hal yang Diatur dalam SOA

a. Ketentuan Umum

Secara garis besar, SOA mengatur tentang akuntansi, pengungkapan dan pembaharuan

mengenai legalitas hukum perusahaan yang mensyaratkan adanya pengungkapan yang lebih

banyak mengenai informasi keuangan, keterangan tentang hasil-hasil yang dicapai manajemen,

kode etik bagi pejabat di bidang keuangan, pembatasan kompensasi eksekutif, dan pembentukan

komite audit yang independen. Selain itu diatur pula mengenai hal-hal sebagai berikut:

1) Menetapkan beberapa tanggung jawab baru kepada dewan komisaris, komite audit dan pihak

manajemen

2) Mendirikan the Public Company Accounting Oversight Board, sebuah dewan yang

independen dan bekerja full-time bagi pelaku pasar modal

3) Penambahan tanggung jawab dan anggaran SEC secara signifikan

4) Mendefinisikan jasa “non-audit” yang tidak boleh diberikan oleh KAP kepada klien

5) Memperbesar hukuman bagi terjadinya corporate fraud

6) Mensyaratkan adanya aturan mengenai cara menghadapi conflicts of interest

7) Menetapkan beberapa persyaratan pelaporan yang baru.

Dalam hal pelaporan, Sarbanes-Oxley Act mewajibkan semua perusahaan publik untuk

membuat suatu sistem pelaporan yang memungkinkan bagi pegawai atau pengadu

(whistleblowers) untuk melaporkan terjadinya penyimpangan. Sistem pelaporan ini

diselenggarakan oleh komite audit. Perusahaan dapat menggunakan jasa pelaporan hotlines

seperti ACFE’s EthicsLine. ACFE dapat membantu menyusun hotlines pengaduan yang akan

menerima dan merahasiakan pengaduan, dan memberikan informasi kepada perusahaan agara

dapat mengambil tindakan yang tepat. Sistem hotlines ini akan mendorong para pegawai untuk

melaporkan karena mereka merasa aman dari tindakan pembalasan dari yang dilaporkan, dan

inilah elemen penting dan kritis bagi program pencegahan fraud yang kuat (a robust fraud

prevention program).

Sarbanes-Oxley Act juga meningkatkan program perlindungan bagi pegawai yang

menjadi pengadu atau pemberi informasi, yang mendapatkan perlakuan buruk dari

perusahaannya setelah membeberkan adanya fraud dan membantu investigasi seperti: dipecat,

didemosikan, diskors, diancam, dilecehkan dan berbagai perlakuan diskriminatif lainnya

Pegawai tersebut dapat mencari perlindungan melalui Departemen Tenaga Kerja dan pengadilan

Page 3: Sarbanes Oxley Act

distrik setempat. Dengan adanya undang-undang ini, tindakan pembalasan terhadap pengadu

dianggap sebagai pelanggaran federal sehingga terdapat konsekuensi hukum pidana bagi orang

yang melakukannya berupa hukuman penjara sampai dengan 10 tahun.

Adapun perusahaan atau organisasi yang diatur oleh Sarbanes-Oxley Act antara lain:

perusahaan-perusahaan yang sahamnya telah diregistrasi berdasarkan Section 12 of the

Exchange Act of 1934, perusahaan-perusahaan yang wajib membuat laporan diregistrasi

berdasarkan Section 15(d) of the Exchange Act, perusahaan-perusahaan yang sedang dalam

proses registrasi, dan Kantor Akuntan Publik yang menerbitkan laporan audit. Undang-undang

ini tidak mengecualikan perusahaan asing yang listing di Amerika Serikat dan KAP dari luar

Amerika Serikat yang menerbitkan laporan auditnya bagi perusahaan tersebut.

Persyaratan bagi independensi auditor yang diatur dalam Sarbanes-Oxley Act

diantaranya: menghindari beberapa aktivitas yang dilarang yang berlaku dalam SOA, semua jasa

audit harus telah disetujui oleh komite audit, adanya rotasi dari partner yang melakukan audit,

menghindari konflik kepentingan, dan penelaahan oleh lembaga Comptroller General terhadap

dampak potensial dari rotasi yang telah diwajibkan.

Dalam kaitan tanggung jawab korporasi, ada suatu komite audit yang mempunyai

tanggung jawab sebagai berikut:

1) Melakukan seleksi, menghitung kompensasi dan mengawasi KAP yang mengaudit korporasi.

2) Menjadi anggota independen dalam dewan komisaris.

3) Menyelenggarakan prosedur untuk menangani komplain-komplain yang berkaitan dengan

akuntansi, pengendalian internal, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan audit.

4) Menelaah dan menyetujui jasa audit dan jasa-jasa lain yang diberikan oleh KAP.

Selain komite audit, dibentuk juga Public Company Accounting Oversight Board yang

merupakan salah satu perwujudan dari Sarbanes-Oxley Act Title I yang berbunyi: “...to oversee

the audit of public companies that are subject to the securities laws.” Dewan ini mempunyai 5

orang anggota yang dipilih oleh SEC setelah berkonsultasi dengan Menteri Keuangan (Secretary

of Treasury) dan Gubernur Bank Sentral (Chairman of the Federal Reserve Board). Tugas-tugas

dari dewan ini antara lain:

1) Melakukan registrasi terhadap KAP yang mengaudit perusahaan publik.

2) Menetapkan atau mengadopsi, atau melakukan keduanya: standar audit, quality control,

etika, independensi, dan beberapa standar lain yang berkaitan dengan proses audit.

Page 4: Sarbanes Oxley Act

3) Melaksanakan inspeksi terhadap KAP-KAP.

4) Melakukan investigasi, penegakan disiplin dan pengenaan sanksi terhadap KAP dan partner

dari KAP yang melakukan pelanggaran.

5) Melakukan tugas-tugas dan fungsi-fungsi lain sebagai dewan yang dianggap perlu demi

kepentingan publik.

Keuntungan kunci peningkatan internal control atas laporan keuangan antara lain:

1) Peningkatan efektivitas dan efisiensi proses internal control

2) Informasi yang lebih baik bagi investro

3) Meningkatkan kepercayaan diri investor

Keuntungan-keuntungan ini tidak datang tanpa biaya, baik dalam hal waktu manajemen

maupun fee yang dibyar untuk penasihat dari luar perusahaan. Namun, internal control yang

efektif akan memiliki dampak yang positif bagi kepercayaan diri investor di pasar.

b. SAS NO. 99

Statement on Auiditing Standard (SAS) No. 99 – Consideration of Fraud in a Financial

Statement Audit diterbitkan pada bulan Desember 2002 menggantikan SAS No. 82 dengan judul

yang sama. SAS No. 99 ini merupakan Pernyataan Standar Audit signifikan yang pertama kali

diterbitkan setelah diundangkannya Sarbanes-Oxley Act. Pernyataan ini menegaskan kembali

tanggungjawab auditor yang telah dinyatakan dalam SAS No. 1 – Codification of Auditing

Standards and Procedures dan SAS No. 82, bahwa “The auditor has a responsibility to plan and

perform the audit to obtain reasonable assurance about whether the financial statements are free

of material misstatement, whether caused by error or fraud.”

SAS No. 99 ini efektif bagi audit keuangan untuk periode yang dimulai pada atau setelah

15 Desember 2002. Secara garis besar komponen dari SAS No. 99 adalah:

1) Deskripsi dan karakteristik-karakteristik dari fraud.

2) Kecurigaan secara profesional (professional scepticism).

3) Diskusi di antara tim audit yang ditugaskan.

4) Mendapatkan informasi dan bukti audit.

5) Mengidentifikasi risiko-risiko.

6) Penilaian risiko-risiko yang telah diidentifikasikan.

7) Tanggapan terhadap penilaian risiko.

Page 5: Sarbanes Oxley Act

8) Mengevaluasi bukti dan informasi audit.

9) Mengkomunikasikan fraud yang mungkin terjadi.

10) Mendokumentasikan hal-hal yang berkaitan dengan fraud.

Sejalan dengan SAS No. 99 ini, the American Institute of Certified Public Accountants

(AICPA) telah membentuk Fraud Task Force of the AICPA’s Auditing Standards Board yang

bertugas untuk melakukan studi tentang pencegahan dan pendeteksian fraud dengan disponsori

oleh Association of Certified Fraud Exminers (ACFE) dan beberapa organisasi lain yakni IMA,

IIA, dan FEI. Hasilnya pada bulan November 2002 telah mengeluarkan Management Antifraud

Programs and Control – Guidance to Help Prevent and Deter Fraud. Inti pesan dari dokumen

ini adalah setiap organisasi harus segera mengambil langkah proaktif untuk mencegah dan

menanggulangi terjadinya fraud demi integritas keuangan, reputasi dan masa depan organisasi.

3. Penerapan SOA di Indonesia

Penerapan SOA di Indonesia sangat mendukung dan aplikatif, seiring dengan

penggunaan standard akuntansi Internasional di Indonesia yang sudah berlangsung sejak tahun

1973. Awalnya, Indonesia menggunakan aturan-aturan akuntansi yang berasal dari Belanda.

Kemudian tahun 1975 hingga tahun 1984, Indonesia mengunakan aturan Generally Accepted

Accounting Principle (GAAP) dari Amerika Serikat. Pada tahun 1994, Indonesia mulai

mengunakan akuntansi dari IAS sampai saat ini. Namun, aturan IAS yang diterapkan Indonesia

sifatnya baru harmonisasi saja, belum mengadopsi secara penuh dan menyeluruh terhadap

aturan-aturan IAS. (http://www.vibiznews.com/1new/journal_last.php).

Indonesia perlu mengadopsi standar akuntansi internasional bertujuan untuk

memudahkan perusahaan asing yang akan menjual saham di negara ini atau sebaliknya sehingga

tidak akan lagi dipersoalkan perbedaan standar akuntansi yang dipergunakan dalam menyusun

laporan, ada beberapa pilihan untuk melakukan adopsi, menggunakan IAS apa adanya, atau

memilih bagian-bagian yang sesuai dengan kondisi Indonesia.

Penerapan Sarbanes Oxley Act ini akan memberikan dampak positif bagi Indonesia,

diantaranya:

a) Meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan,

b) Meningkatkan kepercayaan investor atas keandalan laporan keuangan, sehingga menggiatkan

kegiatan investasi,

Page 6: Sarbanes Oxley Act

c) Memberikan shock therapy bagi manajemen dan auditor karena dalam UU diatur mengenai

sanksi.

Namun demikian, untuk mengadopsi standar internasional itu bukan perkara mudah

karena memerlukan pemahaman, dibutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang besar termasuk

sumber daya manusia yang berkualitas serta memiliki intergitas yang tinggi. Indonesia sudah

melakukannya, meski sifatnya baru harmonisasi. Harmonisasi ini artinya bahwa Indonesia yang

menentukan mana saja yang harus diadopsi, sesuai dengan kebutuhan. Contohnya adalah PSAK

(pernyataan standar akuntansi keuangan) nomor 24, itu mengadopsi sepenuhnya IAS nomor 19.

Standar ini berhubungan dengan imbalan kerja atau employee benefit. Nantinya, Indonesia harus

melakukan full adoption atas standar internasional itu.

Wujud bagian-bagian harmonisasi itu, seperti pembentukan Komite Audit. Sebagaimana

diatur dalam Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal No. KEP-29/PM/2004 tanggal 24

September 2004 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit, yang

dimaksud dengan Komite Audit adalah komite yang dibentuk oleh Dewan Komisaris dalam

rangka membantu melaksanakan tugas dan fungsinya. Komite Audit bertugas untuk memberikan

pendapat kepada Dewan Komisaris terhadap laporan atas hal-hal yang disampaikan oleh direksi

kepada Dewan Komisaris, mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian komisaris, dan

melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan tugas Dewan Komisaris, antara lain

meliputi:

a) Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan perusahaan seperti

laporan keuangan, proyeksi, dan informasi keuangan lainnya.

b) Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan di

bidang Pasar Modal dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan

kegiatan perusahaan.

c) Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal.

d) Melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang dihadapi perusahaan dan pelaksanaan

manajemen risiko oleh direksi.

e) Melakukan penelaahan dan melaporkan kepada Komisaris atas pengaduan yang berkaitan

dengan Emiten atau perusahaan public, dan

f) Menjaga kerahasiaan dokumen, data dan informasi perusahaan.

Page 7: Sarbanes Oxley Act

Untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun, telah diatur melalui Peraturan Meneg

BUMN No. PER-05/MBU/2006 tanggal 20 Desember 2006 tentang Komite Audit Bagi Badan

Usaha Milik Negara. Badan semacam PCAOB perlu dibuat, dimana badan ini mempunyai tugas:

a) Melakukan registrasi terhadap KAP yang mengaudit perusahaan publik,

b) Menetapkan atau mengadopsi, atau melakukan keduanya: standar audit, quality control,

etika, independensi, dan beberapa standar lain yang berkaitan dengan proses audit,

c) Melaksanakan inspeksi terhadap KAP-KAP,

d) Melakukan investigasi, penegakan disiplin dan pengenaan sanksi terhadap KAP dan partner

dari KAP yang melakukan pelanggaran,

e) Melakukan tugas-tugas dan fungsi-fungsi lain sebagai dewan yang dianggap perlu demi

kepentingan public.

Namun, perlu dibuat semacam kajian apakah badan tersebut merupakan bagian dari

Bapepam ataukah badan yang terpisah. Dalam RUU Akuntan Publik disebutkan bahwa

Departemen Keuangan menyelenggarakan fungsi Regulasi Profesi Akuntan Publik dan

berwenang untuk menyelenggarakan:

a) Perizinan;

b) Pembinaan dan Pengawasan;

c) Pengenaan Sanksi Perizinan;

d) Kebijakan Pendidikan dan Pelatihan (PPL) & Ujian Profesi;

e) Kebijakan penyusunan dan penetapan standar;

f) Registrasi Asosiasi Profesi;

g) Penyusunan, penetapan & pemberlakuan standar akuntansi keuangan dan standar teknis

profesi akuntan publik;

h) Penyelenggaraan Ujian Profesi;

i) Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan (PPL);

Dalam hal ini, Menteri Keuangan dapat melimpahkan sebagian dari kewenangannya

kepada satu asosiasi profesi akuntan, instansi pemerintah, atau lembaga independen yang

dibentuk khusus untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dalam RUU juga diatur mengenai

sanksi pidana yang akan diterima oleh Akuntan Publik apabila menyatakan pendapat atas laporan

keuangan tidak berdasarkan bukti audit yang sah, relevan, dan cukup. Meskipun RUU ini banyak

Page 8: Sarbanes Oxley Act

mendapat tanggapan negatif, namun diharapkan dapat meminimalisir peluang profesi akuntan

melakukan tindakan kecurangan dalam pelaksaan audit.

Untuk pelaporan keuangan, khususnya pada pengelolaan keuangan negara sebagaimana

diatur dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) laporan audit atas laporan

keuangan yang diterbitkan tidak hanya laporan opini atas laporan keuangan, melainkan juga

laporan atas pengendalian intern dan laporan atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-

undangan. Dan, ketiganya diterbitkan dengan satu perikatan, yaitu audit.

Kerugian apa yang akan kita hadapi bila kita tidak melakukan harmonisasi, kerugian kita

berkaitan dengan kegiatan pasar modal baik modal yang masuk ke Indonesia, maupun

perusahaan Indonesia yang listing di bursa efek di Negara lain. Perusahaan asing yang ingin

listing di BEJ akan kesulitan untuk menterjemahkan laporan keuangannya dulu sesuasi standar

nasional kita, sedangkan perusahaan Indonesia yang akan listing di Negara lain, juga cukup

kesulitan untuk menterjemahkan atau membandingkan laporan keuangan sesuai standard di

Negara tersebut. Hal in jelas akan menghambat perekonomian dunia, dan aliran modal akan

berkurang.

Menurut survey yang digelar oleh BEJ dan Ernst & Young (E&Y) awal tahun ini, sekitar

70 persen emiten di Indonesia menganggap keberadaan audit internal sangat penting. Sementara

itu survey paruh kedua tahun lalu menunjukkan 182 emiten (84 persen) menyatakan memiliki

fungsi audit internal yang mandiri. Oleh karena itu, audit internal merupakan suatu yang juga

penting untuk diterapkan di Indonesia. Namun, ketentuan yang dikeluarkan juga harus sesuai

dengan kondisi dan kebutuhan di Indonesia sendiri.

(http://muhariefeffendi.files.wordpress.com/2007/11/soa-rachdian.pdf).

Peningkatan transparansi menuju tata kelola yang baik dengan Sarbanes-Oxley memang

sesuatu yang tidak dapat disangkal, namun hal yang tidak dapat dipungkiri jika terdapat

beberapa kendala ketika Indonesia akan mencoba mengadopsi Sarbanes-Oxley. Kajian yang

perlu dilakukan beberapa pihak yang berwenang dengan melihat penyesuaian yang perlu

dilakukan agar undang-undang tersebut dapat tercapai ketika diterapkan di Indonesia.

Dengan mengacu kepada pengalaman Amerika Serikat di atas, apalagi mengingat

keterpurukan perekonomian Indonesia salah satunya disebabkan oleh buruknya corporate

governance dan semakin banyak perusahaan Indonesia go public di dalam maupun luar negeri,

seyogyanya pihak-pihak yang berkompeten seperti DPR, Departemen Keuangan (Bapepam), dan

Page 9: Sarbanes Oxley Act

Ikatan Akuntan Indonesia segera membuat undang-undang dan peraturan yang serupa dengan

Sarbanes-Oxley Act dan SAS No. 99.