sang presiden dan buku puisi...

42
Cerpen Karya Irwan Bajang Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30 WIB-selesai Di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur Pembahas: Raedu Basha (Sastrawan) Hary Sulistyo (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM) MC dan Moderator: Adiwena Yusuf

Upload: others

Post on 31-Oct-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

Cerpen Karya Irwan BajangSang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan

Rabu, 25 Februari 2015Pukul 19.30 WIB-selesaiDi Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur

Pembahas:Raedu Basha (Sastrawan)Hary Sulistyo (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)

MC dan Moderator: Adiwena Yusuf

Page 2: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

DISKUSI SASTRAPKKH UGM

Diselenggarakan oleh

Sang Presiden danBuku Puisi Kesedihan

Cerpen karya Irwan Bajang

i

Rabu, 25 Februari 2015Pukul 19.30 WIB-selesai

Di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur

Pembahas:Raedu Basha (Sastrawan)

Hary Sulistyo (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)

MC dan Moderator: Adiwena Yusuf

Page 3: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

DISKUSI SASTRAPKKH UGM

Diselenggarakan oleh

Sang Presiden danBuku Puisi Kesedihan

Cerpen karya Irwan Bajang

i

Rabu, 25 Februari 2015Pukul 19.30 WIB-selesai

Di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur

Pembahas:Raedu Basha (Sastrawan)

Hary Sulistyo (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)

MC dan Moderator: Adiwena Yusuf

Page 4: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

ii

Sekretariat:

PUSAT KEBUDAYAAN KOESNADI HARDJASOEMANTRI, UGM BULAKSUMUREmail: [email protected]

Telepon: 0274-557317 (pukul 8.00-16.00 WIB)Facebook: Pkkh Ugm Koesnadi Hardjasoemantri

Twitter: @PKKH_UGM

DISKUSI SASTRA PKKH UGMAcara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai perspektif atau wawasan estetik yang berbeda.

Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum)

Sang Presiden dan Buku Puisi KesedihanOleh: Irwan Bajang

Halaman 1 - 12

Oleh: Raedu BashaHalaman 13- 17

Gunawan MaryantoOleh Hary SulistyoHalaman 18 - 32

Halaman 33- 35

Kekuasaan dan Represi Kesedihan dalam CerpenSang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan

(Diskusi PKKH UGM)

Ketika Penyair Ambil Bagian: Hegemoni dan Resistensi dalam Cerpen

Pak Presiden dan Buku Puisi Kesedihan

Politik Kebahagian:Komentar Atas “Sang Presiden...” Karya Irwan Bajang

Oleh Faruk HT

DAFTAR ISI

iii

Page 5: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

ii

Sekretariat:

PUSAT KEBUDAYAAN KOESNADI HARDJASOEMANTRI, UGM BULAKSUMUREmail: [email protected]

Telepon: 0274-557317 (pukul 8.00-16.00 WIB)Facebook: Pkkh Ugm Koesnadi Hardjasoemantri

Twitter: @PKKH_UGM

DISKUSI SASTRA PKKH UGMAcara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai perspektif atau wawasan estetik yang berbeda.

Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum)

Sang Presiden dan Buku Puisi KesedihanOleh: Irwan Bajang

Halaman 1 - 12

Oleh: Raedu BashaHalaman 13- 17

Gunawan MaryantoOleh Hary SulistyoHalaman 18 - 32

Halaman 33- 35

Kekuasaan dan Represi Kesedihan dalam CerpenSang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan

(Diskusi PKKH UGM)

Ketika Penyair Ambil Bagian: Hegemoni dan Resistensi dalam Cerpen

Pak Presiden dan Buku Puisi Kesedihan

Politik Kebahagian:Komentar Atas “Sang Presiden...” Karya Irwan Bajang

Oleh Faruk HT

DAFTAR ISI

iii

Page 6: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihankarya Irwan Bajang

1

SUATU sore yang masih panas di hari Jumat, Sang Presiden itu akhirnya mundur dari jabatannya. 27 tahun lebih 6 bulan ia memerintah dengan tangan besi yang menyala. Di hari ke-14 demonstrasi rakyat, ia menyerah. Hari itu kekuasaanya yang panjang usai sudah. Aksi mogok makan telah membuat 412 pemuda pingsan. Rumah sakit penuh. Tak kuat dengan desakan negara-negara jiran, Sang Presiden diktator mengumumkan pengunduran dirinya: “Demi rakyat yang selalu saya cintai. Saya mengundurkan diri sebagai presiden, menyerahkann jabatan saya pada Partai Oposisi Rakyat untuk mengambil alih pemerintahan. Terima kasih, rakyatku.” Rakyat bergembira siang itu. Pesta digelar di segenap pelosok negeri. Jalan raya dipenuhi rakyat yang bernyanyi, menari, bergembira dan berpesta. Malam harinya, di tengah hiruk-pikuk ledakan kembang api, sebuah berita mengagetkan terdengar: Sang Presiden mati gantung diri di dalam kamarnya.

Hari itu juga, partai oposisi mengambil alih pemerintahan. Didukung oleh kekuatan masa rakyat, pemimpin partai yang dinilai paling berani dan selalu dipuji rakyat dilantik menjadi presiden. Ia

2

adalah presiden kedua setelah hampir tiga puluh empat tahun negaranya merdeka. Ia dilantik, diiringi sorak-sorai kemenangan perjuangan rakyat. Demi jalannya pemerintahan yang normal dan mencegah kediktatoran, undang-undang darurat segera dibuat. Sang Presiden yang baru hanya diberi jabatan satu tahun. Satu tahun uji coba, lalu di tahun berikutnya akan digelar pemilu pertama. Sejak hari pelantikannya, Sang Presiden baru menghitung mundur 365 hari ke belakang. Di kamar istirahatnya, setiap hari ia melingkari kalender, hitungan mundur menuju hari terakhir masa jabatan.

Kebijakan pertamanya sungguh menggemparkan. Sepekan setelah presiden lama runtuh bersama kekuasaannya, tepat di hari Jumat, sebuah peraturan resmi dikeluarkan: Sejak hari ini, tak ada yang boleh bersedih.

Jumat adalah hari yang sakral, hari kemerdekaan baru. Tak ada yang boleh bersedih mulai hari itu. Rakyat begitu gembira. Sejak hari itu tak ada lagi rakyat yang bersedih.

Bagaimana bisa bersedih. Semua rakyat dibagikan tanah dan rumah dengan merata. Semuanya boleh mengelola dan hanya lima per seratus bagian saja yang harus disumbangkan untuk negara. Presiden membuat kabinet, membuat dewan-dewan yang

Page 7: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihankarya Irwan Bajang

1

SUATU sore yang masih panas di hari Jumat, Sang Presiden itu akhirnya mundur dari jabatannya. 27 tahun lebih 6 bulan ia memerintah dengan tangan besi yang menyala. Di hari ke-14 demonstrasi rakyat, ia menyerah. Hari itu kekuasaanya yang panjang usai sudah. Aksi mogok makan telah membuat 412 pemuda pingsan. Rumah sakit penuh. Tak kuat dengan desakan negara-negara jiran, Sang Presiden diktator mengumumkan pengunduran dirinya: “Demi rakyat yang selalu saya cintai. Saya mengundurkan diri sebagai presiden, menyerahkann jabatan saya pada Partai Oposisi Rakyat untuk mengambil alih pemerintahan. Terima kasih, rakyatku.” Rakyat bergembira siang itu. Pesta digelar di segenap pelosok negeri. Jalan raya dipenuhi rakyat yang bernyanyi, menari, bergembira dan berpesta. Malam harinya, di tengah hiruk-pikuk ledakan kembang api, sebuah berita mengagetkan terdengar: Sang Presiden mati gantung diri di dalam kamarnya.

Hari itu juga, partai oposisi mengambil alih pemerintahan. Didukung oleh kekuatan masa rakyat, pemimpin partai yang dinilai paling berani dan selalu dipuji rakyat dilantik menjadi presiden. Ia

2

adalah presiden kedua setelah hampir tiga puluh empat tahun negaranya merdeka. Ia dilantik, diiringi sorak-sorai kemenangan perjuangan rakyat. Demi jalannya pemerintahan yang normal dan mencegah kediktatoran, undang-undang darurat segera dibuat. Sang Presiden yang baru hanya diberi jabatan satu tahun. Satu tahun uji coba, lalu di tahun berikutnya akan digelar pemilu pertama. Sejak hari pelantikannya, Sang Presiden baru menghitung mundur 365 hari ke belakang. Di kamar istirahatnya, setiap hari ia melingkari kalender, hitungan mundur menuju hari terakhir masa jabatan.

Kebijakan pertamanya sungguh menggemparkan. Sepekan setelah presiden lama runtuh bersama kekuasaannya, tepat di hari Jumat, sebuah peraturan resmi dikeluarkan: Sejak hari ini, tak ada yang boleh bersedih.

Jumat adalah hari yang sakral, hari kemerdekaan baru. Tak ada yang boleh bersedih mulai hari itu. Rakyat begitu gembira. Sejak hari itu tak ada lagi rakyat yang bersedih.

Bagaimana bisa bersedih. Semua rakyat dibagikan tanah dan rumah dengan merata. Semuanya boleh mengelola dan hanya lima per seratus bagian saja yang harus disumbangkan untuk negara. Presiden membuat kabinet, membuat dewan-dewan yang

Page 8: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

3

menangani semuanya. Harta yang masuk ke negara disimpan dan dipakai untuk gaji menteri, pegawai. Sementara sisanya dipakai untuk membuat jalan, gedung pemerintahan, gedung hiburan dan semua kebutuhan masyarakat. Masyarakat hanya disuruh bekerja dan bergembira. Sekolah digratiskan, kesehatan ditanggung negara. Rakyat sangat bahagia dan menyayangi presiden baru mereka.

Setiap kunjungan presiden ke desa-desa, anak-anak menyiapkan tarian sambil membawa bendera. Orang-orang bersuka cita. Tidak ada yang boleh menangis kecuali bayi dan anak kecil yang belum mengerti hukum negara.

Makanan dibagikan gratis oleh petani yang telah sukses bercocok tanam. Ibu-ibu memasak sambil bersenda gurau. Negara itu menjadi negara paling makmur dan dipuji seluruh negara di dunia. Negara tetangga, negara satu kawasan dan semua negara di dunia yang iri mulai membuat kebijakan yang sama. Semua masyarakat dunia harus bahagia.

Tapi selalu saja ada yang tak suka. Segerombolan pemusik dan sastrawan mulai melakukan pertemuan rahasia.

“Kenapa kita tidak boleh bersedih. Kesedihan itu menenangkan. Kamu tak bisa hanya tertawa.”Mereka mulai tak merasa nyaman dengan kegem-

4

biraan yang ada. Tapi tentu tak ada yang berani. Hukum akan menangkap siapa saja yang ketahuan bersedih. Mereka akan ditangkap dan ditanya kenapa harus berduka. Setelah itu, ia akan dikirim ke sebuah ruang pementasan. Para pelawak dan dramawan akan bekerja keras membuatkan mereka hiburan. Jika kesedihan sudah hilang dari jiwa mereka. Mereka dibebaskan dan bergabung lagi ke masyarakat.

Seorang penyair membuat sebuah tempat persembunyian di sebuah gua. Mereka mengajak pemusik dan sastrawan untuk meratap dan menangis di sebuah malam, sebelum hari Jumat datang. Para pemusik melantunkan nada-nada minor. Penyair membaca puisi ratapan dan para pengarang lainnya menulis kisah-kisah sedih dengan tokoh-tokoh bernasib tragis. Sekte-sekte kesedihan didirikan. Sembunyi-sembunyi mereka merayakan kesedihan, seperti mendirikan sebuah agama suci, mereka akan menyebarkannya pada siapapun. Bagaimanapun caranya.

Musik dan buku-buku sastra sedih pun mulai beredar secara rahasia. Masyarakat yang tergabung dalam sekte menyimpannya secara diam-diam. Mereka bangun membacanya di tengah malam saat semua orang lelap. Menangis sesenggukan sendirian. Besok pagi, mereka harus segera melupakannya. Mereka

Page 9: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

3

menangani semuanya. Harta yang masuk ke negara disimpan dan dipakai untuk gaji menteri, pegawai. Sementara sisanya dipakai untuk membuat jalan, gedung pemerintahan, gedung hiburan dan semua kebutuhan masyarakat. Masyarakat hanya disuruh bekerja dan bergembira. Sekolah digratiskan, kesehatan ditanggung negara. Rakyat sangat bahagia dan menyayangi presiden baru mereka.

Setiap kunjungan presiden ke desa-desa, anak-anak menyiapkan tarian sambil membawa bendera. Orang-orang bersuka cita. Tidak ada yang boleh menangis kecuali bayi dan anak kecil yang belum mengerti hukum negara.

Makanan dibagikan gratis oleh petani yang telah sukses bercocok tanam. Ibu-ibu memasak sambil bersenda gurau. Negara itu menjadi negara paling makmur dan dipuji seluruh negara di dunia. Negara tetangga, negara satu kawasan dan semua negara di dunia yang iri mulai membuat kebijakan yang sama. Semua masyarakat dunia harus bahagia.

Tapi selalu saja ada yang tak suka. Segerombolan pemusik dan sastrawan mulai melakukan pertemuan rahasia.

“Kenapa kita tidak boleh bersedih. Kesedihan itu menenangkan. Kamu tak bisa hanya tertawa.”Mereka mulai tak merasa nyaman dengan kegem-

4

biraan yang ada. Tapi tentu tak ada yang berani. Hukum akan menangkap siapa saja yang ketahuan bersedih. Mereka akan ditangkap dan ditanya kenapa harus berduka. Setelah itu, ia akan dikirim ke sebuah ruang pementasan. Para pelawak dan dramawan akan bekerja keras membuatkan mereka hiburan. Jika kesedihan sudah hilang dari jiwa mereka. Mereka dibebaskan dan bergabung lagi ke masyarakat.

Seorang penyair membuat sebuah tempat persembunyian di sebuah gua. Mereka mengajak pemusik dan sastrawan untuk meratap dan menangis di sebuah malam, sebelum hari Jumat datang. Para pemusik melantunkan nada-nada minor. Penyair membaca puisi ratapan dan para pengarang lainnya menulis kisah-kisah sedih dengan tokoh-tokoh bernasib tragis. Sekte-sekte kesedihan didirikan. Sembunyi-sembunyi mereka merayakan kesedihan, seperti mendirikan sebuah agama suci, mereka akan menyebarkannya pada siapapun. Bagaimanapun caranya.

Musik dan buku-buku sastra sedih pun mulai beredar secara rahasia. Masyarakat yang tergabung dalam sekte menyimpannya secara diam-diam. Mereka bangun membacanya di tengah malam saat semua orang lelap. Menangis sesenggukan sendirian. Besok pagi, mereka harus segera melupakannya. Mereka

Page 10: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

6

harus bergabung bersama yang lain untuk bekerja dan bergembira.

Seorang pemuda usia tujuh belas tahun sedang membaca sajak-sajak patah hati karangan seorang penyair terkenal di kalangan pemuja kesedihan. Malam itu ia membaca di beranda belakang rumah. Dengan lampu baca yang samar, ia mulai menapaki tiap kata di lembaran buku itu. Air matanya melinang jatuh membasahi tiap lembar kertas yang ia baca. Dibacanya sajak perpisahan tentang seorang yang saling mencintai dalam satu malam, ketika bangun sang kekasih meninggal dunia. Si tokoh menulis sajak-sajak murung dan membuat siapa saja yang membacanya akan menangis sesenggukan. Sang pemuda membacanya. Ia menangis terisak sendirian pada pukul tiga dini hari. Seorang penjaga keamanan memergokinya. Ia dibawa untuk ditanya.

Apakah kamu tidak tahu, kegiatanmu sudah melangggar hukum? Apakah kamu tahu, kami sudah berjuang sangat panjang untuk melawan sebuah tirani dan kami menyiapakan sebuah kebahagiaan untukmu? Para prajurit bertanya dengan lemah-lembut, mereka diwajibkan bertanya dengan cara demikian. Negara dan aparatnya dilarang menyakiti rakyatnya.

Sang anak remaja hanya diam menunduk. Hanya

5

berucap maafkan aku, maafkan aku.

“Bolehkah kami tahu, dari mana kamu mendapatkan buku itu?” Sang remaja ketakutan. Ia tak mungkin menyebut buku itu datang dari bapaknya. Tapi dengan intimidasi halus yang meyakinkan, tentara keamanan berhasil menemukan jawaban.

Sang anak merasa sangat bersalah. Ia hanya penasaran kenapa bapaknya sering bangun tengah malam dan sesenggukan sendiri sehabis membaca buku itu. Maka ketika bapaknya lelap tertidur, buku itu ia curi dan ia baca. Apes, ia yang tak tahu aturan membaca buku akhirnya tertangkap oleh petugas keamanan.

Maka bapaknya yang sudah duda dan tua itu pun didatangkan. Tetangga tidak ada yang tahu, sebab tidak seperti layaknya penjahat, sang bapak dijemput dengan penuh senyum. Tetangga hanya bertanya-tanya. Mereka menebak, mengira-ngira, mungkin tetangganya yang terkenal sebagai seniman itu akan mendapatkan hadiah dari presiden.

Dari mana buku ini datang? Siapa penulisnya? Sejak kapan membaca? Kenapa harus bersedih? Semua pertanyaan dilantunkan dengan nada yang halus. Wajah-wajah prajurit pun begitu bersahaja. Sang orang tua menolak menjawab. Anaknya menangis

Page 11: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

6

harus bergabung bersama yang lain untuk bekerja dan bergembira.

Seorang pemuda usia tujuh belas tahun sedang membaca sajak-sajak patah hati karangan seorang penyair terkenal di kalangan pemuja kesedihan. Malam itu ia membaca di beranda belakang rumah. Dengan lampu baca yang samar, ia mulai menapaki tiap kata di lembaran buku itu. Air matanya melinang jatuh membasahi tiap lembar kertas yang ia baca. Dibacanya sajak perpisahan tentang seorang yang saling mencintai dalam satu malam, ketika bangun sang kekasih meninggal dunia. Si tokoh menulis sajak-sajak murung dan membuat siapa saja yang membacanya akan menangis sesenggukan. Sang pemuda membacanya. Ia menangis terisak sendirian pada pukul tiga dini hari. Seorang penjaga keamanan memergokinya. Ia dibawa untuk ditanya.

Apakah kamu tidak tahu, kegiatanmu sudah melangggar hukum? Apakah kamu tahu, kami sudah berjuang sangat panjang untuk melawan sebuah tirani dan kami menyiapakan sebuah kebahagiaan untukmu? Para prajurit bertanya dengan lemah-lembut, mereka diwajibkan bertanya dengan cara demikian. Negara dan aparatnya dilarang menyakiti rakyatnya.

Sang anak remaja hanya diam menunduk. Hanya

5

berucap maafkan aku, maafkan aku.

“Bolehkah kami tahu, dari mana kamu mendapatkan buku itu?” Sang remaja ketakutan. Ia tak mungkin menyebut buku itu datang dari bapaknya. Tapi dengan intimidasi halus yang meyakinkan, tentara keamanan berhasil menemukan jawaban.

Sang anak merasa sangat bersalah. Ia hanya penasaran kenapa bapaknya sering bangun tengah malam dan sesenggukan sendiri sehabis membaca buku itu. Maka ketika bapaknya lelap tertidur, buku itu ia curi dan ia baca. Apes, ia yang tak tahu aturan membaca buku akhirnya tertangkap oleh petugas keamanan.

Maka bapaknya yang sudah duda dan tua itu pun didatangkan. Tetangga tidak ada yang tahu, sebab tidak seperti layaknya penjahat, sang bapak dijemput dengan penuh senyum. Tetangga hanya bertanya-tanya. Mereka menebak, mengira-ngira, mungkin tetangganya yang terkenal sebagai seniman itu akan mendapatkan hadiah dari presiden.

Dari mana buku ini datang? Siapa penulisnya? Sejak kapan membaca? Kenapa harus bersedih? Semua pertanyaan dilantunkan dengan nada yang halus. Wajah-wajah prajurit pun begitu bersahaja. Sang orang tua menolak menjawab. Anaknya menangis

Page 12: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

8

meminta maaf.

Kami sudah bilang, kami tidak suka ada yang bersedih. Rakyat sudah terlalu lama menderita. Terlalu lama bersedih. Apakah salah kami membuat aturan kalian tak boleh bersedih?

Orang tua itu diam saja. Ia malah menangis.

“Pak Tua, tolong jangan menangis. Kami tak akan menghukummu. Segeralah menjawab. Sebelum wartawan tahu dan berita ini bocor, sebelum seluruh rakyat tahu.”

Pak tua hanya terdiam. Sesenggukan.

Keesokan harinya negara gempar oleh pemberitaan. Dua orang lelaki ditangkap negara karena ketahuan membaca buku yang sedih. Berita muncul dari negara tetangga. Koran internasional laris terjual.

Tentu ini berita yang sangat penting bagi para wartawan. Mereka yang selama ini nyaris tak bekerja sebab hanya memberitakan kebahagiaan, kemajuan negara, pembangunan dan hal-hal menggembirakan lainnya seolah mendapat sebuah pemantik bekerja. Mereka diam-diam mulai bosan menulis berita yang sama, membuat artikel-artikel lucu, karikatur-karikatur humor.

7

Wartawan makin menggila. Beberapa sepekulasi mulai terdengar di mana-mana. Di televisi dan di radio para pengamat politik yang sudah lama kehilangan pekerjaan mulai gentayangan. Mereka menyimpulkan banyak hal dan membuat masyarakat kian resah. Sementara presiden semakin gencar mengadakan acara hiburan. Pasar malam dibuka di setiap desa, badut, pelawak, dan pesulap didatangkan untuk menghibur mereka. Masyarakat diminta melupakan berita itu dan diajak berbahagia. Tapi wartawan memang makhluk-makhluk yang suka sekali mengintip. Suka membuat sensasi. Dan manusia diciptakan untuk menikmatinya. Koran, radio, dan televisi makin banyak yang memunculkan dugaan-dugaan.

“Sepertinya ada gerakan bawah tanah yang mulai tak suka dengan pemerintahan kita,” ucap seorang pengamat politik.

“Saya rasa, sisa-sisa kekuatan rezim sebelumnya masih ada. Mereka adalah gerombolan anarkis yang tidak ingin ada kestabilan. Mereka bergerak tanpa motif selain mengacaukan.”

Maka demontrasi pun mulai merebak. Para aktivis mulai mendesak pemerintah menghentikan kejahatan kesedihan ini. Mereka menggelar poster antikesedihan. Menggelar tarian dan nyanyian ke-

Page 13: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

8

meminta maaf.

Kami sudah bilang, kami tidak suka ada yang bersedih. Rakyat sudah terlalu lama menderita. Terlalu lama bersedih. Apakah salah kami membuat aturan kalian tak boleh bersedih?

Orang tua itu diam saja. Ia malah menangis.

“Pak Tua, tolong jangan menangis. Kami tak akan menghukummu. Segeralah menjawab. Sebelum wartawan tahu dan berita ini bocor, sebelum seluruh rakyat tahu.”

Pak tua hanya terdiam. Sesenggukan.

Keesokan harinya negara gempar oleh pemberitaan. Dua orang lelaki ditangkap negara karena ketahuan membaca buku yang sedih. Berita muncul dari negara tetangga. Koran internasional laris terjual.

Tentu ini berita yang sangat penting bagi para wartawan. Mereka yang selama ini nyaris tak bekerja sebab hanya memberitakan kebahagiaan, kemajuan negara, pembangunan dan hal-hal menggembirakan lainnya seolah mendapat sebuah pemantik bekerja. Mereka diam-diam mulai bosan menulis berita yang sama, membuat artikel-artikel lucu, karikatur-karikatur humor.

7

Wartawan makin menggila. Beberapa sepekulasi mulai terdengar di mana-mana. Di televisi dan di radio para pengamat politik yang sudah lama kehilangan pekerjaan mulai gentayangan. Mereka menyimpulkan banyak hal dan membuat masyarakat kian resah. Sementara presiden semakin gencar mengadakan acara hiburan. Pasar malam dibuka di setiap desa, badut, pelawak, dan pesulap didatangkan untuk menghibur mereka. Masyarakat diminta melupakan berita itu dan diajak berbahagia. Tapi wartawan memang makhluk-makhluk yang suka sekali mengintip. Suka membuat sensasi. Dan manusia diciptakan untuk menikmatinya. Koran, radio, dan televisi makin banyak yang memunculkan dugaan-dugaan.

“Sepertinya ada gerakan bawah tanah yang mulai tak suka dengan pemerintahan kita,” ucap seorang pengamat politik.

“Saya rasa, sisa-sisa kekuatan rezim sebelumnya masih ada. Mereka adalah gerombolan anarkis yang tidak ingin ada kestabilan. Mereka bergerak tanpa motif selain mengacaukan.”

Maka demontrasi pun mulai merebak. Para aktivis mulai mendesak pemerintah menghentikan kejahatan kesedihan ini. Mereka menggelar poster antikesedihan. Menggelar tarian dan nyanyian ke-

Page 14: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

9

riangan. Tak ada satu pun manusia yang muncul di permukaan untuk mengakuinya. Beberapa pembaca buku berpura-pura tidak tahu. Mereka segera me-nyembunyikan bukunya dan ikut bergabung dalam demonstrasi. Dalam pertemuan rahasia, mereka malah bersepakat untuk membakar semua dokumen yang mereka miliki.

Sebab kalau ketahuan, mereka akan ditangkap dan dipaksa bahagia oleh pemerintah.

Kestabilan negara mulai terancam. Di sebuah Jumat yang sejuk, presiden mengeluarkan dekrit yang mencengangkan.

“Rakyatku tercinta. Sudah lama kita ditindas dan dibuat berduka oleh rezim sebelumnya. Maka perjuangan kita menggoyangkan kekuasaan tiran telah usai. Sudah hampir satu tahun kita menikmati kemerdekaan ini: bergembira, bahagia dan menjadi manusia yang seutuhnya merdeka. Dalam jangka waktu setelah itu, kita telah bahagia. Tak ada kesedihan, semuanya bahagia. Maka untuk kestabilan nasional, bapak tua yang bersedih dan tidak mau mengaku ini akan kami gantung di lapangan. Sebagai simbol bahwa kedaulatan akan kebahagiaan harus utuh dan menyeluruh. Negara sudah berusaha dengan apa yang ia bisa. Maka demi keamanan Nasional. Jumat minggu depan,

10

hukuman gantung akan dilaksanakan!”

Pendapat rakyat mulai terpecah. Ada banyak orang yang ingin menolak kebijakan itu. Mereka ingin menolak tapi takut pada kekuasaan. Selain itu tentu saja mereka menganggap selama ini negara baik-baik saja. Tak ada masalah. Bukankah ini adalah cita-cita seluruh umat manusia? Tapi kasak-kusuk tak bisa dihindarkan. Di lokasi-lokasi berkumpul, perdebatan itu semakin hangat dan tak terhindarkan.

Di hari Jumat yang murung, digantunglah pak tua yang malang itu. Sementara anaknya dibebaskan dan dilarang bersedih. Sang anak dengan tangis yang tertahan menyaksikan bapaknya digantung. Rakyat menyaksikannya langsung, acara penggantungan ditayangkan di televisi. Semua diawasi dan tidak boleh ada yang menangis.

Malam harinya, pasukan bawah tanah bergerak. Tembok tembok ditempeli puisi-puisi duka. Beberapa rumah dilempari buku-buku yang berisi kisah tangis dan duka yang mendalam. Makin banyak orang yang mulai menangis.Sang Presiden marah. Semua tentara diminta me-ngumpulkan buku dari rumah warga. Poster-poster berisi puisi sedih dibersihkan segera. Diganti poster ancaman. Barang siapa bersedih, maka ia akan ditangkap dan dihukum gantung!

Page 15: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

9

riangan. Tak ada satu pun manusia yang muncul di permukaan untuk mengakuinya. Beberapa pembaca buku berpura-pura tidak tahu. Mereka segera me-nyembunyikan bukunya dan ikut bergabung dalam demonstrasi. Dalam pertemuan rahasia, mereka malah bersepakat untuk membakar semua dokumen yang mereka miliki.

Sebab kalau ketahuan, mereka akan ditangkap dan dipaksa bahagia oleh pemerintah.

Kestabilan negara mulai terancam. Di sebuah Jumat yang sejuk, presiden mengeluarkan dekrit yang mencengangkan.

“Rakyatku tercinta. Sudah lama kita ditindas dan dibuat berduka oleh rezim sebelumnya. Maka perjuangan kita menggoyangkan kekuasaan tiran telah usai. Sudah hampir satu tahun kita menikmati kemerdekaan ini: bergembira, bahagia dan menjadi manusia yang seutuhnya merdeka. Dalam jangka waktu setelah itu, kita telah bahagia. Tak ada kesedihan, semuanya bahagia. Maka untuk kestabilan nasional, bapak tua yang bersedih dan tidak mau mengaku ini akan kami gantung di lapangan. Sebagai simbol bahwa kedaulatan akan kebahagiaan harus utuh dan menyeluruh. Negara sudah berusaha dengan apa yang ia bisa. Maka demi keamanan Nasional. Jumat minggu depan,

10

hukuman gantung akan dilaksanakan!”

Pendapat rakyat mulai terpecah. Ada banyak orang yang ingin menolak kebijakan itu. Mereka ingin menolak tapi takut pada kekuasaan. Selain itu tentu saja mereka menganggap selama ini negara baik-baik saja. Tak ada masalah. Bukankah ini adalah cita-cita seluruh umat manusia? Tapi kasak-kusuk tak bisa dihindarkan. Di lokasi-lokasi berkumpul, perdebatan itu semakin hangat dan tak terhindarkan.

Di hari Jumat yang murung, digantunglah pak tua yang malang itu. Sementara anaknya dibebaskan dan dilarang bersedih. Sang anak dengan tangis yang tertahan menyaksikan bapaknya digantung. Rakyat menyaksikannya langsung, acara penggantungan ditayangkan di televisi. Semua diawasi dan tidak boleh ada yang menangis.

Malam harinya, pasukan bawah tanah bergerak. Tembok tembok ditempeli puisi-puisi duka. Beberapa rumah dilempari buku-buku yang berisi kisah tangis dan duka yang mendalam. Makin banyak orang yang mulai menangis.Sang Presiden marah. Semua tentara diminta me-ngumpulkan buku dari rumah warga. Poster-poster berisi puisi sedih dibersihkan segera. Diganti poster ancaman. Barang siapa bersedih, maka ia akan ditangkap dan dihukum gantung!

Page 16: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

11

Penjagaan diperketat. Lampu ditambahkan dan dijaga banyak petugas. Tapi paginya, dari pelosok-pelosok negeri sudah bertebaran lagi sajak sedih ditempelkan. Bahkan di halaman istana negara buku-buku duka bersampul hitam sudah berserakan. Pintu kamar presiden sudah ditempeli sajak-sajak duka. Perlawanan sudah masuk dalam istana. Penyusup-penyusp berkeliaran di lingkaran satu kekuasaan.

Presiden murka. Semua orang yang dicurigai ditangkap. Pengumuman tidak boleh bersedih se-makin digalakkan. Iklan di tv, radio, di koran dan media lainnya dibuat makin banyak. Para pengamat politik tidak diperbolehkan berspekulasi. Tidak boleh tampil di tv. Rakyat yang ketakutan makin tak berani. Mereka terpaksa tertawa di bawah ancam hukum dan senjata.

Di suatu Jumat yang hujan gerimis. Dari semua pelosok negeri berdatangan para penyanyi, mereka melantunkan suara yang menyayat-nyayat. Aparat keamanan segera bergerak. Mereka ditangkap dan dijembloksan ke dalam penjara. Negara mulai mengancam. Kesedihan mengganggu stabilitas na-sional. Barang siapa yang melawan, ia akan ditangkap dan dimusnahkan. Sabtu, Minggu, Senin, Selasa, Rabu, negara kembali aman. Kamis, tak ada apa-apa. Rakyat tetap bekerja dan bergembira.

12

Jumat pagi, manusia-manusia berpakaian hitam kembali muncul di pusat-pusat keramaian. Mereka menyanyi, membaca puisi duka, meratap, suara tangisan mereka seperti suara yang datang jauh dari liang neraka. Setiap hari jumlah mereka semakin banyak. Sepanjang hari, gerombolan mereka tak bisa lagi dibendung. Semakin banyak yang ditangkap semakin banyak yang datang. Di musim yang hujan, beberapa orang dipukuli di jalan, tapi mereka tetap bernyanyi dan berpuisi.

Di hari terakhir masa jabatannya, Sang Presiden didampingi ajudan dan barisan pejabat teras partainya berpidato: “Demi kebahagiaan rakyat, saya tak mau ada yang bersedih Saya akan terus memerangi kesedihan bersama negara kita tercinta.

Dari gunung-gunung, pasar, sungai, dari pusat kota dan segala penjuru manusia-manusia berjubah hitam berdatangan, mereka menangis, meratap, tetap bernyanyi dan berpuisi: Esok hari Jumat penuh kesedihan akan tiba. Di sana kami akan datang dan berkumpul. Menangis memenuhi pusat kota. Wahai kau jiwa-jiwa yang murung, bersedihlah, menangislah bersama kami.

2014

Page 17: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

11

Penjagaan diperketat. Lampu ditambahkan dan dijaga banyak petugas. Tapi paginya, dari pelosok-pelosok negeri sudah bertebaran lagi sajak sedih ditempelkan. Bahkan di halaman istana negara buku-buku duka bersampul hitam sudah berserakan. Pintu kamar presiden sudah ditempeli sajak-sajak duka. Perlawanan sudah masuk dalam istana. Penyusup-penyusp berkeliaran di lingkaran satu kekuasaan.

Presiden murka. Semua orang yang dicurigai ditangkap. Pengumuman tidak boleh bersedih se-makin digalakkan. Iklan di tv, radio, di koran dan media lainnya dibuat makin banyak. Para pengamat politik tidak diperbolehkan berspekulasi. Tidak boleh tampil di tv. Rakyat yang ketakutan makin tak berani. Mereka terpaksa tertawa di bawah ancam hukum dan senjata.

Di suatu Jumat yang hujan gerimis. Dari semua pelosok negeri berdatangan para penyanyi, mereka melantunkan suara yang menyayat-nyayat. Aparat keamanan segera bergerak. Mereka ditangkap dan dijembloksan ke dalam penjara. Negara mulai mengancam. Kesedihan mengganggu stabilitas na-sional. Barang siapa yang melawan, ia akan ditangkap dan dimusnahkan. Sabtu, Minggu, Senin, Selasa, Rabu, negara kembali aman. Kamis, tak ada apa-apa. Rakyat tetap bekerja dan bergembira.

12

Jumat pagi, manusia-manusia berpakaian hitam kembali muncul di pusat-pusat keramaian. Mereka menyanyi, membaca puisi duka, meratap, suara tangisan mereka seperti suara yang datang jauh dari liang neraka. Setiap hari jumlah mereka semakin banyak. Sepanjang hari, gerombolan mereka tak bisa lagi dibendung. Semakin banyak yang ditangkap semakin banyak yang datang. Di musim yang hujan, beberapa orang dipukuli di jalan, tapi mereka tetap bernyanyi dan berpuisi.

Di hari terakhir masa jabatannya, Sang Presiden didampingi ajudan dan barisan pejabat teras partainya berpidato: “Demi kebahagiaan rakyat, saya tak mau ada yang bersedih Saya akan terus memerangi kesedihan bersama negara kita tercinta.

Dari gunung-gunung, pasar, sungai, dari pusat kota dan segala penjuru manusia-manusia berjubah hitam berdatangan, mereka menangis, meratap, tetap bernyanyi dan berpuisi: Esok hari Jumat penuh kesedihan akan tiba. Di sana kami akan datang dan berkumpul. Menangis memenuhi pusat kota. Wahai kau jiwa-jiwa yang murung, bersedihlah, menangislah bersama kami.

2014

Page 18: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

13 14

KEKUASAAN DAN REPRESI KESEDIHAN DALAM CERPEN SANG PRESIDEN DAN BUKU PUISI KESEDIHAN (Diskusi PKKH UGM)

Oleh. Raedu Basha*

Sejarah mencatat bahwa kekerasan berusia nyaris sama tuanya dengan peradaban manusia. Dalam kisah-kisah berdirinya satu kerajaan dan tumbangnya kerajaan yang lain, ekspansi wilayah atau eksploitasi sumber daya alam, selalu ada peperangan di sana. Dan sampai sekarang, kekerasan tetap ada meski beberapa tidak berwujud dalam perang atau pertumpahan darah. Kekerasan bahkan telah berkamuflase menjadi berupa-rupa bentuk yang mengatasnamakan kepentingan bersama. Misalnya penguasa yang menggunakan cara-cara represif untuk melenyapkan kelompok-kelompok kecil pembangkang atas nama stabilitas nasional.

Dokumentasi mengenai segala kekerasan—atas nama apapun itu, tercatat dalam manuskrip-manuskrip sejarah, catatan perjalanan, penelitian, dan laporan-laporan investigatif. Karya sastra sebagai bentuk ekspresi dan respon manusia turut serta “mendokumentasikan” dengan menggunakan berbagai macam bentuk. Misalnya cerita pendek bernada satir berjudul Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan ini.

Cerita pendek ini diawali dengan mundurnya

presiden lama yang serupa tiran dan diktator “Sang Presiden itu akhirnya mundur dari jabatannya. 27 tahun lebih 6 bulan ia memerintah dengan tangan besi yang menyala. Di hari ke-14 demonstrasi rakyat, ia menyerah” dan digantikan oleh presiden baru dari partai oposisi yang didukung oleh kekuatan massa rakyat. Setelah melewati puluhan tahun dalam tekanan presiden diktator, presiden baru ini tampaknya membawa harapan baru yang jauh berbeda dari masa kepemimpinan presiden sebelumnya. Namun ternyata, kebijakan pertamanya dengan membuat perintah resmi larangan bersedih menunjukkan bahwa presiden yang baru ini pun tidak ada bedanya dengan presiden sebelumnya.

Di sini terlihat bahwa, “bahagia” dan “sedih” bukanlah inti utama. Fokusnya justru pada “perintah resmi” dan “larangan”. Althusser berpendapat bahwa untuk mengukuhkan kuasanya, satu kelompok (tidak selalu negara) menggunakan dua alat kuasanya, yaitu melalui kekerasan/paksaan (penjara, angkatan bersenjata, pemecatan, perintah, larangan, dsb) dan melalui kerja budaya (sekolah, iklan, keluarga, kesenian, mimbar agama, dsb) yang menganut nilai-nilai dan perilaku tertentu yang bersimpati terhadap tujuan kekuasaan. Yang pertama disebut Represive State Apparatuses/RSA, yang kedua disebut Ideological state Apparatuses/ISA (Barry, 2002:

Page 19: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

13 14

KEKUASAAN DAN REPRESI KESEDIHAN DALAM CERPEN SANG PRESIDEN DAN BUKU PUISI KESEDIHAN (Diskusi PKKH UGM)

Oleh. Raedu Basha*

Sejarah mencatat bahwa kekerasan berusia nyaris sama tuanya dengan peradaban manusia. Dalam kisah-kisah berdirinya satu kerajaan dan tumbangnya kerajaan yang lain, ekspansi wilayah atau eksploitasi sumber daya alam, selalu ada peperangan di sana. Dan sampai sekarang, kekerasan tetap ada meski beberapa tidak berwujud dalam perang atau pertumpahan darah. Kekerasan bahkan telah berkamuflase menjadi berupa-rupa bentuk yang mengatasnamakan kepentingan bersama. Misalnya penguasa yang menggunakan cara-cara represif untuk melenyapkan kelompok-kelompok kecil pembangkang atas nama stabilitas nasional.

Dokumentasi mengenai segala kekerasan—atas nama apapun itu, tercatat dalam manuskrip-manuskrip sejarah, catatan perjalanan, penelitian, dan laporan-laporan investigatif. Karya sastra sebagai bentuk ekspresi dan respon manusia turut serta “mendokumentasikan” dengan menggunakan berbagai macam bentuk. Misalnya cerita pendek bernada satir berjudul Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan ini.

Cerita pendek ini diawali dengan mundurnya

presiden lama yang serupa tiran dan diktator “Sang Presiden itu akhirnya mundur dari jabatannya. 27 tahun lebih 6 bulan ia memerintah dengan tangan besi yang menyala. Di hari ke-14 demonstrasi rakyat, ia menyerah” dan digantikan oleh presiden baru dari partai oposisi yang didukung oleh kekuatan massa rakyat. Setelah melewati puluhan tahun dalam tekanan presiden diktator, presiden baru ini tampaknya membawa harapan baru yang jauh berbeda dari masa kepemimpinan presiden sebelumnya. Namun ternyata, kebijakan pertamanya dengan membuat perintah resmi larangan bersedih menunjukkan bahwa presiden yang baru ini pun tidak ada bedanya dengan presiden sebelumnya.

Di sini terlihat bahwa, “bahagia” dan “sedih” bukanlah inti utama. Fokusnya justru pada “perintah resmi” dan “larangan”. Althusser berpendapat bahwa untuk mengukuhkan kuasanya, satu kelompok (tidak selalu negara) menggunakan dua alat kuasanya, yaitu melalui kekerasan/paksaan (penjara, angkatan bersenjata, pemecatan, perintah, larangan, dsb) dan melalui kerja budaya (sekolah, iklan, keluarga, kesenian, mimbar agama, dsb) yang menganut nilai-nilai dan perilaku tertentu yang bersimpati terhadap tujuan kekuasaan. Yang pertama disebut Represive State Apparatuses/RSA, yang kedua disebut Ideological state Apparatuses/ISA (Barry, 2002:

Page 20: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

15 16

164). Dalam konsep Gramsci, konsep Althuser yang pertama dipandang sebagai rule yang merupakan kendali politik langsung yang menggunakan kekerasan jika diperlukan, sementara yang kedua disebut hegemoni.

“…Apakah kamu tidak tahu, kegiatanmu sudah melangggar hukum? Apakah kamu tahu, kami sudah berjuang sangat panjang untuk melawan sebuah tirani dan kami menyiapakan sebuah kebahagiaan untukmu? Para prajurit bertanya dengan lemah-lembut, mereka diwajibkan bertanya dengan cara demikian. Negara dan aparatnya dilarang menyakiti rakyatnya….

”Negara membuat aturan kepada rakyatnya dengan melarang bersedih merupakan bentuk represi. Di sini kita harus melupakan bahwa bahagia dan sedih tetapi pada represi: tidak baik. Jadi esensinya bukan soal sedih dan bahagia melainkan bagaimana negara dan kekuasan memberangus hak-hak warga negara dalam hal ini hak untuk bersedih menikmati buku, karya, dll., yang berisi kesedihan jadi presiden dan pemerintahan dalam cerita ini menjadi tidak ada bedanya dengan pemerintahan sebelumnya.Negara membuat aturan kepada rakyatnya dengan melarang bersedih merupakan bentuk represi. Di sini kita harus melupakan bahwa bahagia dan sedih tetapi pada represi: tidak baik. Jadi esensinya bukan

soal sedih dan bahagia melainkan bagaimana negara dan kekuasan memberangus hak-hak warga negara dalam hal ini hak untuk bersedih menikmati buku, karya, dll., yang berisi kesedihan jadi presiden dan pemerintahan dalam cerita ini menjadi tidak ada bedanya dengan pemerintahan sebelumnya.

Sedangkan hegemoni, bahasa memiliki power sebagai cara utama untuk mengkomonikasikan isi pikiran. Setiap masyarakat memiliki bahasa dan manusia memiliki kecerdasan aslinya tanpa kesulitan. Kekuasaan dan bahasa dapat dicontohkan seperti pada era penguasa rezim ORBA, cukup dengan kata “komunis!” maka seluruh negara terhegemoni dengan bahasa itu, bahkan ribuan manusia tewas sia-sia, juga cukup bahasa “Yahudi!” Jerman berdarah di tangan NAZI, atau bahasa “Sedih!” dalam cerpen ini. Kekuasaan dan bahasa, orang dapat menguasai orang lain, dan orang bisa menjadi tidak percaya dengan orang lain dengan pengaruh kekuatan bahasa.

Konsep hegomoni seperti ini, menurut Antonio Gramsci, terjadi ketika golongan masyarakat yang tertindas terekspolitasi secara sukarela mengabdi kepada penindas mereka. Namun dalam konsep sekarang hegemoni yang terjadi bukan lagi berwujud penindasan secara faktual. Melainkan secara tersamar sehingga kadang-kadang pihak yang

Page 21: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

15 16

164). Dalam konsep Gramsci, konsep Althuser yang pertama dipandang sebagai rule yang merupakan kendali politik langsung yang menggunakan kekerasan jika diperlukan, sementara yang kedua disebut hegemoni.

“…Apakah kamu tidak tahu, kegiatanmu sudah melangggar hukum? Apakah kamu tahu, kami sudah berjuang sangat panjang untuk melawan sebuah tirani dan kami menyiapakan sebuah kebahagiaan untukmu? Para prajurit bertanya dengan lemah-lembut, mereka diwajibkan bertanya dengan cara demikian. Negara dan aparatnya dilarang menyakiti rakyatnya….

”Negara membuat aturan kepada rakyatnya dengan melarang bersedih merupakan bentuk represi. Di sini kita harus melupakan bahwa bahagia dan sedih tetapi pada represi: tidak baik. Jadi esensinya bukan soal sedih dan bahagia melainkan bagaimana negara dan kekuasan memberangus hak-hak warga negara dalam hal ini hak untuk bersedih menikmati buku, karya, dll., yang berisi kesedihan jadi presiden dan pemerintahan dalam cerita ini menjadi tidak ada bedanya dengan pemerintahan sebelumnya.Negara membuat aturan kepada rakyatnya dengan melarang bersedih merupakan bentuk represi. Di sini kita harus melupakan bahwa bahagia dan sedih tetapi pada represi: tidak baik. Jadi esensinya bukan

soal sedih dan bahagia melainkan bagaimana negara dan kekuasan memberangus hak-hak warga negara dalam hal ini hak untuk bersedih menikmati buku, karya, dll., yang berisi kesedihan jadi presiden dan pemerintahan dalam cerita ini menjadi tidak ada bedanya dengan pemerintahan sebelumnya.

Sedangkan hegemoni, bahasa memiliki power sebagai cara utama untuk mengkomonikasikan isi pikiran. Setiap masyarakat memiliki bahasa dan manusia memiliki kecerdasan aslinya tanpa kesulitan. Kekuasaan dan bahasa dapat dicontohkan seperti pada era penguasa rezim ORBA, cukup dengan kata “komunis!” maka seluruh negara terhegemoni dengan bahasa itu, bahkan ribuan manusia tewas sia-sia, juga cukup bahasa “Yahudi!” Jerman berdarah di tangan NAZI, atau bahasa “Sedih!” dalam cerpen ini. Kekuasaan dan bahasa, orang dapat menguasai orang lain, dan orang bisa menjadi tidak percaya dengan orang lain dengan pengaruh kekuatan bahasa.

Konsep hegomoni seperti ini, menurut Antonio Gramsci, terjadi ketika golongan masyarakat yang tertindas terekspolitasi secara sukarela mengabdi kepada penindas mereka. Namun dalam konsep sekarang hegemoni yang terjadi bukan lagi berwujud penindasan secara faktual. Melainkan secara tersamar sehingga kadang-kadang pihak yang

Page 22: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

17 18

tertindas tidak merasa tertindas atau tidak merasa menjadi korban. Hal itu dimungkinkan terjadi karena konsep hegemoni dan kekuasaan tersebut dioperasionalkan melalui bahasa. Kekuatan bahasa yang di antaranya mengandung eufimisme memungkinkan segala sesuatu menjadi tampak baik, halus dan tersamar meskipun sebenarnya pada kenyataannya kurang baik atau sama sekali tidak baik. Oleh karena itu, Gramsci menambahkan, bahasa sebenarnya bukan hanya sekedar tata bahasa akan tetapi bahasa adalah membawa muatan kepentingan.

Cerpen adalah karya sastra, memang bukan karya ilmiah tetapi sastra lahir dari kesadaran ilmiah. Senada dengan A Teeuw, sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Sastra lahir dari kerja membaca pengarangnya atas segala fenomena yang terjadi di sekelilingnya. Sastra sebagai sebuah permenungan, sebagai kerja pengharapan atas kondisi sekelilingnya. Dan si cerpenis ini menangkap fenomena yang sedang menjadi hotnews akhir-akhir ini yakni pemberitaan tentang presiden: pro dan kontranya.

*Raedu Basha adalah mahasiswa S2 Antropologi UGM. Bukunya Matapangara (Puisi, 2014) dan The Melting Snow (Novel, 2014). Beralamat di www.raedu-basha.com

Ketika Penyair Ambil Bagian: Hegemoni dan Resistensi dalam Cerpen Pak Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Karya Irwan BajangOleh: Hary Sulistyo

Tercermin dalam cerpen Pak Presiden dan Buku Puisi, Irwan Bajang yaitu penulis cerpen tersebut tampaknya ingin menunjukan dua hal yang sangat bertentangan. Pertama, sebagai seorang pengarang yang cukup memiliki jam terbang, ingin mengingatkan kepada pembaca bahwasanya sastra memiliki peranan yang penting terhadap perubahan. Tidak hanya persoalan keindahan bahasa sebagaimana orang awam melihat bahwa puisi (misalnya) sebagai ekspresi perasaan percintaan semata, tetapi ada muatan ideologis yang entah disadari atau tidak oleh sang penyair ketika dirinya menuliskan karya tersebut. Apabila menilik pada peristiwa besar di dunia misalnya, sering kali perubahan justru muncul atau dipelopori oleh keberadaan karya sastra. Seperti halnya hadirnya semangat nasionalisme dan kesadaran diri yang timbul di India terhadap adanya kolonialisme Inggris, lebih karena karya E.M. Foster yang berjudul A Passage To India (Susanto,2012:44). Kedua, dengan nuansa bercanda, Bajang tampaknya ingin menyampaikan kritik yang berupa lelucon

1

2

Page 23: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

17 18

tertindas tidak merasa tertindas atau tidak merasa menjadi korban. Hal itu dimungkinkan terjadi karena konsep hegemoni dan kekuasaan tersebut dioperasionalkan melalui bahasa. Kekuatan bahasa yang di antaranya mengandung eufimisme memungkinkan segala sesuatu menjadi tampak baik, halus dan tersamar meskipun sebenarnya pada kenyataannya kurang baik atau sama sekali tidak baik. Oleh karena itu, Gramsci menambahkan, bahasa sebenarnya bukan hanya sekedar tata bahasa akan tetapi bahasa adalah membawa muatan kepentingan.

Cerpen adalah karya sastra, memang bukan karya ilmiah tetapi sastra lahir dari kesadaran ilmiah. Senada dengan A Teeuw, sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Sastra lahir dari kerja membaca pengarangnya atas segala fenomena yang terjadi di sekelilingnya. Sastra sebagai sebuah permenungan, sebagai kerja pengharapan atas kondisi sekelilingnya. Dan si cerpenis ini menangkap fenomena yang sedang menjadi hotnews akhir-akhir ini yakni pemberitaan tentang presiden: pro dan kontranya.

*Raedu Basha adalah mahasiswa S2 Antropologi UGM. Bukunya Matapangara (Puisi, 2014) dan The Melting Snow (Novel, 2014). Beralamat di www.raedu-basha.com

Ketika Penyair Ambil Bagian: Hegemoni dan Resistensi dalam Cerpen Pak Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Karya Irwan BajangOleh: Hary Sulistyo

Tercermin dalam cerpen Pak Presiden dan Buku Puisi, Irwan Bajang yaitu penulis cerpen tersebut tampaknya ingin menunjukan dua hal yang sangat bertentangan. Pertama, sebagai seorang pengarang yang cukup memiliki jam terbang, ingin mengingatkan kepada pembaca bahwasanya sastra memiliki peranan yang penting terhadap perubahan. Tidak hanya persoalan keindahan bahasa sebagaimana orang awam melihat bahwa puisi (misalnya) sebagai ekspresi perasaan percintaan semata, tetapi ada muatan ideologis yang entah disadari atau tidak oleh sang penyair ketika dirinya menuliskan karya tersebut. Apabila menilik pada peristiwa besar di dunia misalnya, sering kali perubahan justru muncul atau dipelopori oleh keberadaan karya sastra. Seperti halnya hadirnya semangat nasionalisme dan kesadaran diri yang timbul di India terhadap adanya kolonialisme Inggris, lebih karena karya E.M. Foster yang berjudul A Passage To India (Susanto,2012:44). Kedua, dengan nuansa bercanda, Bajang tampaknya ingin menyampaikan kritik yang berupa lelucon

1

2

Page 24: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

19 20

bahwasanya baik seorang pengarang yang hidup dalam kultur Negara penuh kekejaman maupun dalam kemakmuran dan kesenangan seperti yang tercermin dalam cerpen tersebut, penyair tetap saja sebagai penyebar “virus” dan “provokator” terhadap masyarakat. Dalam hal ini mungkin ia ingin menunjukkan bahwasanya penyair adalah kelompok orang yang kritis, idealis, dan anti kemapanan. Di sisi lain mungkin ia ingin menyalahartikan diktum Chairil Anwar mengenai estetika seni yang mengatakan bahwa “selain penyair dilarang ambil bagian”. Irfan tampaknya ingin berceloteh bahwasanya baik penyair yang memiliki idealisme anti kemapanan maupun penyair yang memiliki estetika dalam bersastra, Irfan ingin menunjukkan pemikirannya yang mungkin sependapat dengan Sutan Takdir Ali Sjahbana bahwa karya sastra tidak hanya berkutat pada persoalan estetis semata. “Asas-asas kritik Takdir menuntut agar puisi merupakan penjelmaan perasaan pribadi dalam bantuk yang serasi, maupun komitmennya tentang peranan seniman dalam perubahan sosial” (Foulcher, 1991: 66).

Cerpen Pak Presiden dan Buku Puisi Kesedihan mencerminkan kritik atas peristiwa politik pada sebuah Negara (mungkin terinspirasi lengsernya rezim Soeharto di Indonesia) yang digambarkan

bagaimana ketika presiden diktator akhirnya mengundurkan diri karena desakan rakyat dan Partai Oposisi Rakyat. Hal menarik dalam cerpen tersebut adalah kehadiran rezim pemerintahan baru dalam Negara tersebut yang membuat aturan mengenai anti kesedihan. Dalam hal ini, pemerintah yang akhirnya berkuasa semacam melakukan hegemoni untuk melanggengkan kekuasaannya dengan melarang masyarakatnya untuk bersedih dengan alasan karena selama ini rakyat dan bangsa tesebut terlalu sering bersedih dengan kediktatoran pemimpin yang sebelumnya. Namun di sisi lain, hegemoni itu mengalami persoalan dengan munculnya kelompok tertentu yaitu para seniman dan sastrawan yang enggan untuk hidup dalam kebahagiaan semata. Mereka kritis, mereka idealis, dan mereka anti kemapanan. Berusaha mempengaruhi masyarakat untuk tidak takut dalam hal bersedih. Hal ini adalah sebagai bentuk resistensi yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat atau golongan tertentu dalam sebuah Negara untuk melawan hegemoni dari Negara tersebut, meski mereka tahu konsekuensi-konsekuensi yang akan mereka terima dari Negara sebagai bentuk dominasi dari pemerintahan dalam Negara tersebut. Hal itu setipe dengan pemikiran Antonio Gramsci mengenai Negara dan Hegemoni yang berkaitan dengan kekuasaan.

3

Page 25: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

19 20

bahwasanya baik seorang pengarang yang hidup dalam kultur Negara penuh kekejaman maupun dalam kemakmuran dan kesenangan seperti yang tercermin dalam cerpen tersebut, penyair tetap saja sebagai penyebar “virus” dan “provokator” terhadap masyarakat. Dalam hal ini mungkin ia ingin menunjukkan bahwasanya penyair adalah kelompok orang yang kritis, idealis, dan anti kemapanan. Di sisi lain mungkin ia ingin menyalahartikan diktum Chairil Anwar mengenai estetika seni yang mengatakan bahwa “selain penyair dilarang ambil bagian”. Irfan tampaknya ingin berceloteh bahwasanya baik penyair yang memiliki idealisme anti kemapanan maupun penyair yang memiliki estetika dalam bersastra, Irfan ingin menunjukkan pemikirannya yang mungkin sependapat dengan Sutan Takdir Ali Sjahbana bahwa karya sastra tidak hanya berkutat pada persoalan estetis semata. “Asas-asas kritik Takdir menuntut agar puisi merupakan penjelmaan perasaan pribadi dalam bantuk yang serasi, maupun komitmennya tentang peranan seniman dalam perubahan sosial” (Foulcher, 1991: 66).

Cerpen Pak Presiden dan Buku Puisi Kesedihan mencerminkan kritik atas peristiwa politik pada sebuah Negara (mungkin terinspirasi lengsernya rezim Soeharto di Indonesia) yang digambarkan

bagaimana ketika presiden diktator akhirnya mengundurkan diri karena desakan rakyat dan Partai Oposisi Rakyat. Hal menarik dalam cerpen tersebut adalah kehadiran rezim pemerintahan baru dalam Negara tersebut yang membuat aturan mengenai anti kesedihan. Dalam hal ini, pemerintah yang akhirnya berkuasa semacam melakukan hegemoni untuk melanggengkan kekuasaannya dengan melarang masyarakatnya untuk bersedih dengan alasan karena selama ini rakyat dan bangsa tesebut terlalu sering bersedih dengan kediktatoran pemimpin yang sebelumnya. Namun di sisi lain, hegemoni itu mengalami persoalan dengan munculnya kelompok tertentu yaitu para seniman dan sastrawan yang enggan untuk hidup dalam kebahagiaan semata. Mereka kritis, mereka idealis, dan mereka anti kemapanan. Berusaha mempengaruhi masyarakat untuk tidak takut dalam hal bersedih. Hal ini adalah sebagai bentuk resistensi yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat atau golongan tertentu dalam sebuah Negara untuk melawan hegemoni dari Negara tersebut, meski mereka tahu konsekuensi-konsekuensi yang akan mereka terima dari Negara sebagai bentuk dominasi dari pemerintahan dalam Negara tersebut. Hal itu setipe dengan pemikiran Antonio Gramsci mengenai Negara dan Hegemoni yang berkaitan dengan kekuasaan.

3

Page 26: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

21 22

Siapa Kuat Ia Dapat: Ketika Momentum Berbicara

Pada momentum lengsernya presiden diktator pada cerpen tersebut, digambarkan kemenangan berada pada kaum oposisi yang didukung oleh segenap rakyat. Digambarkan bagaimana rakyat dan partai oposisi dengan gegap gempita merayakan kemenangan di hari Jumat yang mereka anggap sebagai hari bersejarah sehingga mereka menyebutnya dengan kemerdekaan ke dua. Dalam hal ini, partai oposisi yang didukung oleh segenap rakyat adalah kelompok mayoritas yang memperoleh momentum yang tepat untuk bekuasa. Meski tidak digambarkan adanya kelompok-kelompok lain yang berbeda dengan ideologi mereka, tetapi bukanlah hal yang mustahil bahwa ada kelompok-kelompok lain selain Partai Oposisi Rakyat dalam cerpen tersebut yang ingin berkuasa tetapi gagal dalam memanfaatkan momentum. Permasalahan mengenai momentum kekuasaan ini seperti yang digambarkan oleh Gramsci mengenai Negara. Gramsci berpikir bahwasanya Negara terbentuk tidak hanya dari kaum borjuis seperti pandangan Marx, tetapi Negara sangat bergantung pada momentum kelompok mana yang berkuasa dan bagaimana cara mereka mempertahankan kekuasaannya melalui Political Society atau Negara yang terbentuk. (Nezar dan Arif 2009).

Pengambaran momentum pada cerpen tersebut adalah ketika pada peristiwa sang presiden diktator mengundurkan diri. Pada fase tersebut memontum dimiliki oleh partai oposisi dimana mereka “merasa” didukung oleh segenap rakyat. Setelah presiden pertama yang diktator mengundurkan diri dari jabatannya maka dengan segera pemimpin partai oposisi yang terkuat dilantik menjadi presiden dalam masa percobaan selama satu tahun dan akhirnya membuat sebuah keputusan yang heboh yaitu berkaitan dengan larangan masyarakat untuk bersedih.

Apabila berkaca dengan peristiwa pasca kemerdekaan di Indonesia misalnya, bagaimana “perebutan kekuasaan” di Indonesia juga terjadi. Ada tiga kelompok kuat pada waktu itu yaitu kaum nasionalis yang berlindung dibalik PNI. Kaum agamis yang akhirnya memberontak dan salah satunya dalam bentuk pembentukan DI-TII. Partai komunis yang berlindung di balik bendera PKI dimana akhirnya meletuskan deklarasi Negara Komunis Indonesia di Madiun.

Korelasi pemikiran Gramsci, fakta dalam cerpen tersebut, dan apabila dihubungkan dengan fakta empirisme yang terjadi di Indonesia pasca kemerdekaan sebagai studi kasus adalah apabila momentum di waktu itu dimenangkan oleh kaum

Page 27: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

21 22

Siapa Kuat Ia Dapat: Ketika Momentum Berbicara

Pada momentum lengsernya presiden diktator pada cerpen tersebut, digambarkan kemenangan berada pada kaum oposisi yang didukung oleh segenap rakyat. Digambarkan bagaimana rakyat dan partai oposisi dengan gegap gempita merayakan kemenangan di hari Jumat yang mereka anggap sebagai hari bersejarah sehingga mereka menyebutnya dengan kemerdekaan ke dua. Dalam hal ini, partai oposisi yang didukung oleh segenap rakyat adalah kelompok mayoritas yang memperoleh momentum yang tepat untuk bekuasa. Meski tidak digambarkan adanya kelompok-kelompok lain yang berbeda dengan ideologi mereka, tetapi bukanlah hal yang mustahil bahwa ada kelompok-kelompok lain selain Partai Oposisi Rakyat dalam cerpen tersebut yang ingin berkuasa tetapi gagal dalam memanfaatkan momentum. Permasalahan mengenai momentum kekuasaan ini seperti yang digambarkan oleh Gramsci mengenai Negara. Gramsci berpikir bahwasanya Negara terbentuk tidak hanya dari kaum borjuis seperti pandangan Marx, tetapi Negara sangat bergantung pada momentum kelompok mana yang berkuasa dan bagaimana cara mereka mempertahankan kekuasaannya melalui Political Society atau Negara yang terbentuk. (Nezar dan Arif 2009).

Pengambaran momentum pada cerpen tersebut adalah ketika pada peristiwa sang presiden diktator mengundurkan diri. Pada fase tersebut memontum dimiliki oleh partai oposisi dimana mereka “merasa” didukung oleh segenap rakyat. Setelah presiden pertama yang diktator mengundurkan diri dari jabatannya maka dengan segera pemimpin partai oposisi yang terkuat dilantik menjadi presiden dalam masa percobaan selama satu tahun dan akhirnya membuat sebuah keputusan yang heboh yaitu berkaitan dengan larangan masyarakat untuk bersedih.

Apabila berkaca dengan peristiwa pasca kemerdekaan di Indonesia misalnya, bagaimana “perebutan kekuasaan” di Indonesia juga terjadi. Ada tiga kelompok kuat pada waktu itu yaitu kaum nasionalis yang berlindung dibalik PNI. Kaum agamis yang akhirnya memberontak dan salah satunya dalam bentuk pembentukan DI-TII. Partai komunis yang berlindung di balik bendera PKI dimana akhirnya meletuskan deklarasi Negara Komunis Indonesia di Madiun.

Korelasi pemikiran Gramsci, fakta dalam cerpen tersebut, dan apabila dihubungkan dengan fakta empirisme yang terjadi di Indonesia pasca kemerdekaan sebagai studi kasus adalah apabila momentum di waktu itu dimenangkan oleh kaum

Page 28: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

23 24

agama dengan DI-TII nya maka tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia pada waktu itu akan berhaluan sebagai Negara Islam. Begitu juga ketika momentum tersebut dimenangkan oleh kelompok komunis maka Indonesia akan berhaluan menjadi Negara komunis. Seperti halnya dalam cerpen tersebut, akhirnya ketika kelompok Partai Oposisi Rakyat yang merasa didukung oleh rakyat adalah kelompok yang memenangkan momentum maka merekalah yang berkuasa yang akhirnya memunculkan hukum yang cukup “aneh” yaitu larangan untuk bersedih.

Hegemoni sebagai Upaya Pelanggengan kekuasaan

Hegemoni sebagai upaya pelanggengan kekuasaan melalui kepemimpinan kebudayaan tercermin kuat di dalam cerpen tersebut. Dekrit yang dikeluarkan presiden dari kaum oposisi yang melarang segenap rakyat untuk bersedih adalah upaya legitimasi kekuasaan sebagai bentuk hegemoni. Bahkan Negara memberikan kemakmuran bagi segenap rakyatnya terutama dalam hal pemberian aspek-aspek produksi seperti pembagian tanah garapan dengan pembayaran “pajak” untuk Negara yang sangat kecil. Hal itu tercermin dalam kutipan berikut.

“Bagaimana bisa bersedih. Semua rakyat dibagikan tanah dan rumah dengan merata. Semuanya boleh mengelola dan hanya lima per seratus bagian saja yang harus disumbangkan untuk negara. Presiden membuat kabinet, membuat dewan-dewan yang menangani semuanya. Harta yang masuk ke negara disimpan dan dipakai untuk gaji menteri, pegawai. Sementara sisanya dipakai untuk membuat jalan, gedung pemerintahan, gedung hiburan dan semua kebutuhan masyarakat. Masyarakat hanya disuruh bekerja dan bergembira. Sekolah digratiskan, kesehatan ditanggung negara. Rakyat sangat bahagia dan menyayangi presiden baru mereka” (Bajang, 2014).

Dari kutipan cerpen di atas, tampak bahwasanya Negara dalam hal ini yang telah dikuasai oleh kaum opisisi menerapkan kebijakan popular dengan dalih membahagiakan rakyat dengan cara memberi berbagai kemudahan dan “kebahagiaan” kepada rakyat. Hal tersebut seperti yang tercermin dalam cerpen-cerpen yang mengangkat permasalahan Landreform yang ditulis oleh kelompok Lekra yaitu lembaga kebudayaan yang dimiliki oleh PKI. Melihat kutipan cerpen di atas tampaknya dapat diasumsikan bahwa tanah garapan atau lahan-lahan untuk rumah rakyat tidak serta merta milik pemerintah, tetapi mungkin pula milik kelompok-

Page 29: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

23 24

agama dengan DI-TII nya maka tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia pada waktu itu akan berhaluan sebagai Negara Islam. Begitu juga ketika momentum tersebut dimenangkan oleh kelompok komunis maka Indonesia akan berhaluan menjadi Negara komunis. Seperti halnya dalam cerpen tersebut, akhirnya ketika kelompok Partai Oposisi Rakyat yang merasa didukung oleh rakyat adalah kelompok yang memenangkan momentum maka merekalah yang berkuasa yang akhirnya memunculkan hukum yang cukup “aneh” yaitu larangan untuk bersedih.

Hegemoni sebagai Upaya Pelanggengan kekuasaan

Hegemoni sebagai upaya pelanggengan kekuasaan melalui kepemimpinan kebudayaan tercermin kuat di dalam cerpen tersebut. Dekrit yang dikeluarkan presiden dari kaum oposisi yang melarang segenap rakyat untuk bersedih adalah upaya legitimasi kekuasaan sebagai bentuk hegemoni. Bahkan Negara memberikan kemakmuran bagi segenap rakyatnya terutama dalam hal pemberian aspek-aspek produksi seperti pembagian tanah garapan dengan pembayaran “pajak” untuk Negara yang sangat kecil. Hal itu tercermin dalam kutipan berikut.

“Bagaimana bisa bersedih. Semua rakyat dibagikan tanah dan rumah dengan merata. Semuanya boleh mengelola dan hanya lima per seratus bagian saja yang harus disumbangkan untuk negara. Presiden membuat kabinet, membuat dewan-dewan yang menangani semuanya. Harta yang masuk ke negara disimpan dan dipakai untuk gaji menteri, pegawai. Sementara sisanya dipakai untuk membuat jalan, gedung pemerintahan, gedung hiburan dan semua kebutuhan masyarakat. Masyarakat hanya disuruh bekerja dan bergembira. Sekolah digratiskan, kesehatan ditanggung negara. Rakyat sangat bahagia dan menyayangi presiden baru mereka” (Bajang, 2014).

Dari kutipan cerpen di atas, tampak bahwasanya Negara dalam hal ini yang telah dikuasai oleh kaum opisisi menerapkan kebijakan popular dengan dalih membahagiakan rakyat dengan cara memberi berbagai kemudahan dan “kebahagiaan” kepada rakyat. Hal tersebut seperti yang tercermin dalam cerpen-cerpen yang mengangkat permasalahan Landreform yang ditulis oleh kelompok Lekra yaitu lembaga kebudayaan yang dimiliki oleh PKI. Melihat kutipan cerpen di atas tampaknya dapat diasumsikan bahwa tanah garapan atau lahan-lahan untuk rumah rakyat tidak serta merta milik pemerintah, tetapi mungkin pula milik kelompok-

Page 30: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

25 26

kelompok yang “kalah” yaitu kelompok yang mendukung pemerintahan diktator yaitu presiden yang pertama. Dapat diasumsikan dalam cerpen tersebut telah terjadi revolusi dan tidak hanya berupa reformasi seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998.

Berkaca dari apa yang terjadi di Rusia misalnya, ketika terjadi revolusi oleh kaum buruh terhadap Negara yang merupakan implementasi dari kaum borjuis, maka melalui aparatus-aparatus Negara yang diduduki oleh kaum buruh, kelompok mereka akan menguasai dominasi sebagai Political Society yang memposisikan kaum borjuis sebagai Civil Society yang mau tidak mau alat-alat produksinya akan diambil untuk kemakmuran rakyat oleh Negara yang berkuasa. Gramsci mendefinisikan bahwasanya Hegemoni adalah kepemimpinan budaya yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa. Ia mempertentangkan hegemoni dengan koersi yang dijalankan dengan kekuasaan legislatif atau eksekutif atau diekspresikan melalui campur tangan polisi (Ritzer & Goodman, 2004).

Ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintahan terbaru sebagai bentuk hegemoni kekuasaan terhadap rakyat dengan melarang rakyat untuk bersedih. Dalam pemahaman yang lebih cermat, kesedihan sebenarnya bisa diasumsikan sebagai bentuk pemikiran kritis. Atau dalam pepatah orang

Jawa dengan mengambil falsafah huruf Jawa yang mengatakan bahwa ketika orang diberi kesenangan, kekuasaan, atau kepuasan, maka orang tersebut akan “mati” alias tunduk pada aturan. Dalam penilaian lain, ketika orang sudah dalam nuansa kesenangan, maka pemikiran kritis, secara alami akan terkungkung. Dalam hal ini, mengapa pemerintahan baru dalam cerpen tersebut melarang rakyatnya untuk bersedih dengan memberikan fasilitas yang enak dalam kehidupan bernegara bisa diasumsikan sebagai bentuk legitimasi kekuasaan semata. Sebagai bentuk hegemoni untuk melanggengkan kekuasaan.

Resistensi Kelompok Sastrawan

Bentuk resistensi atau perlawanan yang muncul dalam cerpen tersebut dipelopori oleh kelompok penyair atau sastrawan dan seniman musik. Dalam hal ini, seperti pada setiap kondisi Negara di manapun. Seperti yang digambarkan pada cerpen tersebut misalnya dimana Partai Oposisi Rakyat yang pada awalnya melakukan resistensi dengan berbagai upaya seperti mobilisasi demonstrasi rakyat, juga merupakan kelompok yang pada awalnya kontra dan resisten terhadap pemerintahan lama yang dipimpin oleh presiden yang diktator. Perlawanan dari kelompok seniman tersebut tercermin dalam kutipan di bawah ini.

“Seorang penyair membuat sebuah tempat persembunyian di sebuah gua. Mereka

Page 31: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

25 26

kelompok yang “kalah” yaitu kelompok yang mendukung pemerintahan diktator yaitu presiden yang pertama. Dapat diasumsikan dalam cerpen tersebut telah terjadi revolusi dan tidak hanya berupa reformasi seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998.

Berkaca dari apa yang terjadi di Rusia misalnya, ketika terjadi revolusi oleh kaum buruh terhadap Negara yang merupakan implementasi dari kaum borjuis, maka melalui aparatus-aparatus Negara yang diduduki oleh kaum buruh, kelompok mereka akan menguasai dominasi sebagai Political Society yang memposisikan kaum borjuis sebagai Civil Society yang mau tidak mau alat-alat produksinya akan diambil untuk kemakmuran rakyat oleh Negara yang berkuasa. Gramsci mendefinisikan bahwasanya Hegemoni adalah kepemimpinan budaya yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa. Ia mempertentangkan hegemoni dengan koersi yang dijalankan dengan kekuasaan legislatif atau eksekutif atau diekspresikan melalui campur tangan polisi (Ritzer & Goodman, 2004).

Ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintahan terbaru sebagai bentuk hegemoni kekuasaan terhadap rakyat dengan melarang rakyat untuk bersedih. Dalam pemahaman yang lebih cermat, kesedihan sebenarnya bisa diasumsikan sebagai bentuk pemikiran kritis. Atau dalam pepatah orang

Jawa dengan mengambil falsafah huruf Jawa yang mengatakan bahwa ketika orang diberi kesenangan, kekuasaan, atau kepuasan, maka orang tersebut akan “mati” alias tunduk pada aturan. Dalam penilaian lain, ketika orang sudah dalam nuansa kesenangan, maka pemikiran kritis, secara alami akan terkungkung. Dalam hal ini, mengapa pemerintahan baru dalam cerpen tersebut melarang rakyatnya untuk bersedih dengan memberikan fasilitas yang enak dalam kehidupan bernegara bisa diasumsikan sebagai bentuk legitimasi kekuasaan semata. Sebagai bentuk hegemoni untuk melanggengkan kekuasaan.

Resistensi Kelompok Sastrawan

Bentuk resistensi atau perlawanan yang muncul dalam cerpen tersebut dipelopori oleh kelompok penyair atau sastrawan dan seniman musik. Dalam hal ini, seperti pada setiap kondisi Negara di manapun. Seperti yang digambarkan pada cerpen tersebut misalnya dimana Partai Oposisi Rakyat yang pada awalnya melakukan resistensi dengan berbagai upaya seperti mobilisasi demonstrasi rakyat, juga merupakan kelompok yang pada awalnya kontra dan resisten terhadap pemerintahan lama yang dipimpin oleh presiden yang diktator. Perlawanan dari kelompok seniman tersebut tercermin dalam kutipan di bawah ini.

“Seorang penyair membuat sebuah tempat persembunyian di sebuah gua. Mereka

Page 32: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

27 28

mengajak pemusik dan sastrawan untuk meratap dan menangis di sebuah malam, sebelum hari Jumat datang. Para pemusik melantunkan nada-nada minor. Penyair membaca puisi ratapan dan para pengarang lainnya menulis kisah-kisah sedih dengan tokoh-tokoh bernasib tragis. Sekte-sekte kesedihan didirikan. Sembunyi-sembunyi mereka merayakan kesedihan, seperti mendirikan sebuah agama suci, mereka akan menyebarkannya pada siapapun. Bagaimanapun caranya”(Bajang, 2014).

Ketidakpuasan kelompok penyair yang digambarkan dalam cerpen tersebut memicu munculnya perlawanan terhadap Negara. Dalam hal ini, sastrawan atau para seniman merupakan kelompok resisten yang ingin menentang kebijakan Negara melalui sikap mereka yang anti terhadap pemaksaan untuk bahagia karena mereka berpikir dan berpendapat bahwa hidup membutuhkan perenungan. Dalam hal ini, meski tidak digambarkan secara jelas mengenai ideologi dan motif politik mereka untuk berkuasa terhadap Negara, tetapi perlawanan mereka yang kontinyu terhadap hukum tersebut bisa diartikan sebagai kelompok yang tidak memiliki paham yang sama dengan Negara. Dalam hal ini, seperti telah disinggung pada bagian latar belakang dan pada bagian judul dalam tulisan ini, para sastrawan tersebut tampaknya memiliki kecemasan terhadap keadaan yang

“meninabobokkan” rakyat sehingga mereka harus mengambil bagian dalam kancah kepemimpinan budaya untuk melawan hukum larangan kesedihan tersebut.

Dominasi: Kediktatoran yang Terselubung

Ketika Hegemoni terancam karena munculnya resistensi, maka dominasi pun dijalankan. Setelah kelompok yang terbentuk dalam partai itu berkuasa terhadap Negara, maka mereka akan menghegemoni masyarakat atau kelompok-kelompok yang kalah. Mereka akan menggunakan aparatus-aparatus untuk menegakkan kekuasan dengan bentuk-bentuk hukum dan sanksi yang tegas. Menggunakan militer, polisi, hukum, dan sanksi untuk mempertahankan kekuasaannya.

Dalam cerpen tersebut digambarkan bagaimana pada awalnya ketika terjadi “penangkapan” secara halus terhadap pemuda berumur tujuh belas tahun karena kedapatan membaca puisi tentang kesedihan di tengah malam. Dalam proses hukum selanjutnya bapak pemuda tersebut akhirnya “ditangkap”. Karena tidak mau membongkar rahasia dan mau mengakui mengenai perbuatannya maka ia dihukum gantung, terlebih peristiwa tersebut telah memicu polemik yang menggemparkan di seluruh negeri. Karena kekhawatiran yang mendalam dari presiden sebagai lambang Negara pada waktu itu tentunya, akhirnya hukum secara tegas ditegakkan. Hal

Page 33: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

27 28

mengajak pemusik dan sastrawan untuk meratap dan menangis di sebuah malam, sebelum hari Jumat datang. Para pemusik melantunkan nada-nada minor. Penyair membaca puisi ratapan dan para pengarang lainnya menulis kisah-kisah sedih dengan tokoh-tokoh bernasib tragis. Sekte-sekte kesedihan didirikan. Sembunyi-sembunyi mereka merayakan kesedihan, seperti mendirikan sebuah agama suci, mereka akan menyebarkannya pada siapapun. Bagaimanapun caranya”(Bajang, 2014).

Ketidakpuasan kelompok penyair yang digambarkan dalam cerpen tersebut memicu munculnya perlawanan terhadap Negara. Dalam hal ini, sastrawan atau para seniman merupakan kelompok resisten yang ingin menentang kebijakan Negara melalui sikap mereka yang anti terhadap pemaksaan untuk bahagia karena mereka berpikir dan berpendapat bahwa hidup membutuhkan perenungan. Dalam hal ini, meski tidak digambarkan secara jelas mengenai ideologi dan motif politik mereka untuk berkuasa terhadap Negara, tetapi perlawanan mereka yang kontinyu terhadap hukum tersebut bisa diartikan sebagai kelompok yang tidak memiliki paham yang sama dengan Negara. Dalam hal ini, seperti telah disinggung pada bagian latar belakang dan pada bagian judul dalam tulisan ini, para sastrawan tersebut tampaknya memiliki kecemasan terhadap keadaan yang

“meninabobokkan” rakyat sehingga mereka harus mengambil bagian dalam kancah kepemimpinan budaya untuk melawan hukum larangan kesedihan tersebut.

Dominasi: Kediktatoran yang Terselubung

Ketika Hegemoni terancam karena munculnya resistensi, maka dominasi pun dijalankan. Setelah kelompok yang terbentuk dalam partai itu berkuasa terhadap Negara, maka mereka akan menghegemoni masyarakat atau kelompok-kelompok yang kalah. Mereka akan menggunakan aparatus-aparatus untuk menegakkan kekuasan dengan bentuk-bentuk hukum dan sanksi yang tegas. Menggunakan militer, polisi, hukum, dan sanksi untuk mempertahankan kekuasaannya.

Dalam cerpen tersebut digambarkan bagaimana pada awalnya ketika terjadi “penangkapan” secara halus terhadap pemuda berumur tujuh belas tahun karena kedapatan membaca puisi tentang kesedihan di tengah malam. Dalam proses hukum selanjutnya bapak pemuda tersebut akhirnya “ditangkap”. Karena tidak mau membongkar rahasia dan mau mengakui mengenai perbuatannya maka ia dihukum gantung, terlebih peristiwa tersebut telah memicu polemik yang menggemparkan di seluruh negeri. Karena kekhawatiran yang mendalam dari presiden sebagai lambang Negara pada waktu itu tentunya, akhirnya hukum secara tegas ditegakkan. Hal

Page 34: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

29 30

tersebut merupakan bentuk dominasi yang dilakukan oleh kelompok berkuasa terhadap “lawan-lawan” politiknya yang dalam cerpen tersebut diangap mengganggu kestabilan keamanan nasional. Pemerintah baru menganggap bahwa bapak tua tesebut adalah sisa-sisa kekuatan pemerintahan sebelumnya yang harus disingkirkan dimana dalam hal ini sebenarnya bukan untuk kepentingan rakyat tetapi lebih untuk melanggengkan kesuasaan. Hal itu tercermin dalam kutipan dekrit presiden di bawah ini.

“Rakyatku tercinta. Sudah lama kita ditindas dan dibuat berduka oleh rezim sebelumnya. Maka perjuangan kita menggoyangkan kekuasaan tiran telah usai. Sudah hampir satu tahun kita menikmati kemerdekaan ini: bergembira, bahagia dan menjadi manusia yang seutuhnya merdeka. Dalam jangka waktu setelah itu, kita telah bahagia. Tak ada kesedihan, semuanya bahagia. Maka untuk kestabilan nasional, bapak tua yang bersedih dan tidak mau mengaku ini akan kami gantung di lapangan. Sebagai simbol bahwa kedaulatan akan kebahagiaan harus utuh dan menyeluruh. Negara sudah berusaha dengan apa yang ia bisa. Maka demi keamanan Nasional. Jumat minggu depan, hukuman gantung akan dilaksanakan!” (Bajang, 2014).

penangkapan dan hukuman mati yang diberlakukan secara tidak langsung telah menggugurkan

kepercayaan dan citra politik kebudayaan yang telah dibangun sebelumnya yaitu pemerintah tidak akan berbuat represif terhadap rakyat. Namun demi kepentingan kekuasaan dan ingin memberikan efek jera kepada segenap rakyat agar tunduk kepada aturan pemerintah, maka peristiwa tersebut dianggap sah karena pak tua tersebut dianggap sebagai lawan Negara di mana segenap rakyat diangap telah setuju dan mengakui bahwa dalam berkehidupan Negara, setiap kesedihan adalah musuh bersama. Mereka berdalih bahwa seharusnya rakyat sudah bosan dengan kesedihan karena telah lama dimpimpin oleh pemimpin yang tirani sebelumnya.

Antiklimaks tentunya citra yang dibangun oleh pemerintahan yang baru. Di satu sisi mereka ingin melawan kediktatoran dengan bentuk hegemoni mengenai anti kesedihan sebagai bentuk rekonstruksi mental melupakan kediktatoran yang menimpa mereka dalam kurun waktu lebih dari 27 tahun sebagai bentuk pencitraan politik. Di satu sisi mereka kembali mereproduksi kediktatoran dengan menghukum mati salah satu rakyatnya karena melanggar hukum Negara yaitu dianggap menentang hukum anti kesedihan yang ada pada Negara tersebut.

Kampanye melawan aturan anti kesedihan yang terus menerus dilakukan oleh kaum sastrawan adalah cerminan bentuk perlawanan yang sesungguhnya terhadap kelompok yang berkuasa

Page 35: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

29 30

tersebut merupakan bentuk dominasi yang dilakukan oleh kelompok berkuasa terhadap “lawan-lawan” politiknya yang dalam cerpen tersebut diangap mengganggu kestabilan keamanan nasional. Pemerintah baru menganggap bahwa bapak tua tesebut adalah sisa-sisa kekuatan pemerintahan sebelumnya yang harus disingkirkan dimana dalam hal ini sebenarnya bukan untuk kepentingan rakyat tetapi lebih untuk melanggengkan kesuasaan. Hal itu tercermin dalam kutipan dekrit presiden di bawah ini.

“Rakyatku tercinta. Sudah lama kita ditindas dan dibuat berduka oleh rezim sebelumnya. Maka perjuangan kita menggoyangkan kekuasaan tiran telah usai. Sudah hampir satu tahun kita menikmati kemerdekaan ini: bergembira, bahagia dan menjadi manusia yang seutuhnya merdeka. Dalam jangka waktu setelah itu, kita telah bahagia. Tak ada kesedihan, semuanya bahagia. Maka untuk kestabilan nasional, bapak tua yang bersedih dan tidak mau mengaku ini akan kami gantung di lapangan. Sebagai simbol bahwa kedaulatan akan kebahagiaan harus utuh dan menyeluruh. Negara sudah berusaha dengan apa yang ia bisa. Maka demi keamanan Nasional. Jumat minggu depan, hukuman gantung akan dilaksanakan!” (Bajang, 2014).

penangkapan dan hukuman mati yang diberlakukan secara tidak langsung telah menggugurkan

kepercayaan dan citra politik kebudayaan yang telah dibangun sebelumnya yaitu pemerintah tidak akan berbuat represif terhadap rakyat. Namun demi kepentingan kekuasaan dan ingin memberikan efek jera kepada segenap rakyat agar tunduk kepada aturan pemerintah, maka peristiwa tersebut dianggap sah karena pak tua tersebut dianggap sebagai lawan Negara di mana segenap rakyat diangap telah setuju dan mengakui bahwa dalam berkehidupan Negara, setiap kesedihan adalah musuh bersama. Mereka berdalih bahwa seharusnya rakyat sudah bosan dengan kesedihan karena telah lama dimpimpin oleh pemimpin yang tirani sebelumnya.

Antiklimaks tentunya citra yang dibangun oleh pemerintahan yang baru. Di satu sisi mereka ingin melawan kediktatoran dengan bentuk hegemoni mengenai anti kesedihan sebagai bentuk rekonstruksi mental melupakan kediktatoran yang menimpa mereka dalam kurun waktu lebih dari 27 tahun sebagai bentuk pencitraan politik. Di satu sisi mereka kembali mereproduksi kediktatoran dengan menghukum mati salah satu rakyatnya karena melanggar hukum Negara yaitu dianggap menentang hukum anti kesedihan yang ada pada Negara tersebut.

Kampanye melawan aturan anti kesedihan yang terus menerus dilakukan oleh kaum sastrawan adalah cerminan bentuk perlawanan yang sesungguhnya terhadap kelompok yang berkuasa

Page 36: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

31 32

dalam cerpen tersebut. Hal itu bisa dimaknai bahwa dalam setiap Negara selalu akan muncul adanya bentuk-bentuk hegemoni, resistensi, dan dominasi seperti yang dikemukakan oleh Gramsci. Dalam ha ini, perlawanan akan selalu dimulai oleh kelompok intelektual dan akan menjalar terhadap setiap lini. Meskipun demikian, kaum intelektual yang dimaksud tidak selalu kaum intelektual itu berdiri sendiri. Gramsci mengatakan bahwasanya mustahil ketika kaum intelektual dipisahkan dengan kategori sosialnya yang terdiri dari intelektual professional “tradisional” (seperti pengarang dan ilmuwan) dan kaum intelektual organik yang berkaitan dengan profesi mereka sebagai bentuk dukungan terhadap pemikiran Gramsci bahwa setiap orang adalah filsuf (Gramsci, 2013:3).

Daftar Pustaka

Foulcher, Keith. 1991. Pujangga Baru Kesusastraan Dan Nasionalisme Di Indonesia

1933-1942. Jakarta: Girimukti Pustaka. Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebooks Catatan-Catatan dari Penjara. Jogjakarta:

Pustaka pelajar. Patria, Nezar dan Andi Arif. 2009. Antonio Gramsci Negara

Didiskusikan dalam diskusi sastra bulanan PKKH UGM edisi

Februari 2015 Mahasiswa S-2 Ilmu Sastra FIB UGM Ucapan (Pernyataan) resmi

dan Hegemoni. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Ritzer, Gerorge & Douglas J. Goodman. 2013. Teori Marxis dan Beberapa Ragam Teori

Neo-Marxian. Jogjakarta: Kreasi Wacana. Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Jogjakarta: Caps.

Daftar Laman http://mediasastra.com/prosa/828/sang_presiden_dan_buku_puisi_kesedihan

1

2

3

Page 37: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

31 32

dalam cerpen tersebut. Hal itu bisa dimaknai bahwa dalam setiap Negara selalu akan muncul adanya bentuk-bentuk hegemoni, resistensi, dan dominasi seperti yang dikemukakan oleh Gramsci. Dalam ha ini, perlawanan akan selalu dimulai oleh kelompok intelektual dan akan menjalar terhadap setiap lini. Meskipun demikian, kaum intelektual yang dimaksud tidak selalu kaum intelektual itu berdiri sendiri. Gramsci mengatakan bahwasanya mustahil ketika kaum intelektual dipisahkan dengan kategori sosialnya yang terdiri dari intelektual professional “tradisional” (seperti pengarang dan ilmuwan) dan kaum intelektual organik yang berkaitan dengan profesi mereka sebagai bentuk dukungan terhadap pemikiran Gramsci bahwa setiap orang adalah filsuf (Gramsci, 2013:3).

Daftar Pustaka

Foulcher, Keith. 1991. Pujangga Baru Kesusastraan Dan Nasionalisme Di Indonesia

1933-1942. Jakarta: Girimukti Pustaka. Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebooks Catatan-Catatan dari Penjara. Jogjakarta:

Pustaka pelajar. Patria, Nezar dan Andi Arif. 2009. Antonio Gramsci Negara

Didiskusikan dalam diskusi sastra bulanan PKKH UGM edisi

Februari 2015 Mahasiswa S-2 Ilmu Sastra FIB UGM Ucapan (Pernyataan) resmi

dan Hegemoni. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Ritzer, Gerorge & Douglas J. Goodman. 2013. Teori Marxis dan Beberapa Ragam Teori

Neo-Marxian. Jogjakarta: Kreasi Wacana. Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Jogjakarta: Caps.

Daftar Laman http://mediasastra.com/prosa/828/sang_presiden_dan_buku_puisi_kesedihan

1

2

3

Page 38: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

33 34

POLITIK KEBAHAGIAAN: KOMENTAR ATAS “SANG PRESIDEN...” KARYA IRWAN BAJANG.

Oleh: Farouk HT

Cerpen ini sebenarnya sangat sederhana. Alur ceritanya dapat ditebak dengan mudah. Sudah menjadi common sense, misalnya, bahwa kekuasaan itu cenderung korup. Kalau sudah duduk, malas berdiri. Ini nalar umum yang sangat biasa. Karena itu, begitu seorang dikatator ditumbangkan dan pihak oposisi menggantikannya, orang akan dengan segera dapat menebak, bahwa penggantinya itu akan sama saja. Ia akan menjadi diktator baru. Bila ia berjanji atau ditetapkan untuk berkuasa hanya setahun, akhirnya pun akan dapat ditebak. Sang presiden pasti akan kecanduan kekuasaan dan tidak akan berhenti sesuai dengan batas yang sudah ditetapkan itu.

Pola atau cara kerja kekuasaan tiran juga bisa ditebak. Bagaimana kekuasaan dibangun, bagaimana kontrol atau pengawasan dilakukan, bagaimana sangsi akan ditetapkan pada para pembangkang. Semua yang digambarkan dalam cerpen ini mengikuti pola-pola yang baku, yang sudah menjadi kebenaran atau nalar umum.Namun, ada yang mengejutkan di dalamnya. Yaitu,

menempatkan persoalan politik yang biasanya dikaitkan dengan masalah sistem ekonomi, politik, ideologi, tata sosial, dalam konteks yang sangat sederhana, yaitu persoalan bahagia dan sedih. Cerpen ini menjadi masuk ke dalam kategori cerpen absurd justru ketika ia menempatkan dua hal yang tidak setara dan biasanya tidak berhubungan. Pemerintah membuat undang-undang atau hukum yang melarang orang untuk bersedih. Dan, kesedihan, tangis, menjadi sesuatu yang subversif. Absurdisme yang semacam ini merupakan pola yang umum terdapat dalam sastra indonesia tahun 1970-an dan 1980an. Bedanya, di dalamnya tidak terdapat renungan mengenai filsafat yang abstrak. Hanya menyangkut soal yang sangat sederhana, keseharian. Kesederhanaan persoalan cerpen ini membuatnya agak dekat dengan Putu Wijaya.

Pertemuan antara dua hal yang biasanya terpisah dan saling berseberangan itulah yang juga membuat cerpen ini terasa lucu. Membuat yang membaca tersenyum sendiri ketika membaca adegan demi adegannya. Kecenderungan demikian didukung pula oleh pilihan bahasa yang digunakan. Cerpen ini menjadikan bahasa yang sederhana, kalimat-kalimat pendek, dengan nada yang dingin, biasa-biasa saja, untuk menuturkan hal-hal yang absurd dan lucu di atas. Membacanya, pembaca menjadi ditempatkan

Page 39: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

33 34

POLITIK KEBAHAGIAAN: KOMENTAR ATAS “SANG PRESIDEN...” KARYA IRWAN BAJANG.

Oleh: Farouk HT

Cerpen ini sebenarnya sangat sederhana. Alur ceritanya dapat ditebak dengan mudah. Sudah menjadi common sense, misalnya, bahwa kekuasaan itu cenderung korup. Kalau sudah duduk, malas berdiri. Ini nalar umum yang sangat biasa. Karena itu, begitu seorang dikatator ditumbangkan dan pihak oposisi menggantikannya, orang akan dengan segera dapat menebak, bahwa penggantinya itu akan sama saja. Ia akan menjadi diktator baru. Bila ia berjanji atau ditetapkan untuk berkuasa hanya setahun, akhirnya pun akan dapat ditebak. Sang presiden pasti akan kecanduan kekuasaan dan tidak akan berhenti sesuai dengan batas yang sudah ditetapkan itu.

Pola atau cara kerja kekuasaan tiran juga bisa ditebak. Bagaimana kekuasaan dibangun, bagaimana kontrol atau pengawasan dilakukan, bagaimana sangsi akan ditetapkan pada para pembangkang. Semua yang digambarkan dalam cerpen ini mengikuti pola-pola yang baku, yang sudah menjadi kebenaran atau nalar umum.Namun, ada yang mengejutkan di dalamnya. Yaitu,

menempatkan persoalan politik yang biasanya dikaitkan dengan masalah sistem ekonomi, politik, ideologi, tata sosial, dalam konteks yang sangat sederhana, yaitu persoalan bahagia dan sedih. Cerpen ini menjadi masuk ke dalam kategori cerpen absurd justru ketika ia menempatkan dua hal yang tidak setara dan biasanya tidak berhubungan. Pemerintah membuat undang-undang atau hukum yang melarang orang untuk bersedih. Dan, kesedihan, tangis, menjadi sesuatu yang subversif. Absurdisme yang semacam ini merupakan pola yang umum terdapat dalam sastra indonesia tahun 1970-an dan 1980an. Bedanya, di dalamnya tidak terdapat renungan mengenai filsafat yang abstrak. Hanya menyangkut soal yang sangat sederhana, keseharian. Kesederhanaan persoalan cerpen ini membuatnya agak dekat dengan Putu Wijaya.

Pertemuan antara dua hal yang biasanya terpisah dan saling berseberangan itulah yang juga membuat cerpen ini terasa lucu. Membuat yang membaca tersenyum sendiri ketika membaca adegan demi adegannya. Kecenderungan demikian didukung pula oleh pilihan bahasa yang digunakan. Cerpen ini menjadikan bahasa yang sederhana, kalimat-kalimat pendek, dengan nada yang dingin, biasa-biasa saja, untuk menuturkan hal-hal yang absurd dan lucu di atas. Membacanya, pembaca menjadi ditempatkan

Page 40: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

35

dalam posisi yang mendua: antara lucu dengan serius, main-main dengan sungguh-sungguh. Bagaimana mungkin, kesedihan, tangis, puisi bisa menjadi kekuatan yang setara dengan kekuasaan politik negara. Cerpen ini seperti berlebihan, tapi menyampaikannya dengan cara yang biasa-biasa saja. Cerpen ini membuat pembaca berada di antara sedih dan gembira sekaligus.

Dengan menempatkan pembaca dalam posisi demikian, cerpen ini sesungguhnya hanya mengulang konvensi sastra realis yang mengidealkan manusia sebagai makhluk yang kompleks secara psikologis, tidak bisa diperlakukan hitam-putih, sedih atau gembira. Namun, cerpen ini tidak mengungkapkannya dalam bentuk sekedar karakterisasi tokoh, melainkan dalam keseluruhan bangunan tematik dan sekaligus naratologisnya.Tidak mudah mendaur ulang limbah menjadi sesuatu yang menyegarkan. Cerpen ini bisa disebut perkecualian.

Page 41: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30

35

dalam posisi yang mendua: antara lucu dengan serius, main-main dengan sungguh-sungguh. Bagaimana mungkin, kesedihan, tangis, puisi bisa menjadi kekuatan yang setara dengan kekuasaan politik negara. Cerpen ini seperti berlebihan, tapi menyampaikannya dengan cara yang biasa-biasa saja. Cerpen ini membuat pembaca berada di antara sedih dan gembira sekaligus.

Dengan menempatkan pembaca dalam posisi demikian, cerpen ini sesungguhnya hanya mengulang konvensi sastra realis yang mengidealkan manusia sebagai makhluk yang kompleks secara psikologis, tidak bisa diperlakukan hitam-putih, sedih atau gembira. Namun, cerpen ini tidak mengungkapkannya dalam bentuk sekedar karakterisasi tokoh, melainkan dalam keseluruhan bangunan tematik dan sekaligus naratologisnya.Tidak mudah mendaur ulang limbah menjadi sesuatu yang menyegarkan. Cerpen ini bisa disebut perkecualian.

Page 42: Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihanweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/358/201… · Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan Rabu, 25 Februari 2015 Pukul 19.30