sambiloto untuk antidiabet_arya edition

12
SAMBILOTO UNTUK ANTIDIABETES BAB I. Latar Belakang Sejak jaman dahulu, manusia sangat mengandalkan lingkungan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya untuk obat dapat diperoleh dari lingkungan. Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan ketrampilan yang secara turun- temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu, terbukti dari adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali) dan relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya. Obat Herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara di dunia. Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat pravelensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu, serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia. WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarkat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, dan 1

Upload: arya-mahardika

Post on 16-Feb-2015

33 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

SAMBILOTO UNTUK ANTIDIABETES

BAB I. Latar Belakang

Sejak jaman dahulu, manusia sangat mengandalkan lingkungan sekitarnya untuk

memenuhi kebutuhannya, misalnya untuk obat dapat diperoleh dari lingkungan. Bangsa

Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah

satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman

berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan ketrampilan yang secara turun-temurun

telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh

nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu, terbukti dari adanya naskah lama pada

daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali) dan relief candi Borobudur yang

menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan

bakunya.

Obat Herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara di dunia. Faktor

pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia

harapan hidup yang lebih panjang pada saat pravelensi penyakit kronik meningkat,

adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu, serta semakin luas

akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia.

WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam

pemeliharaan kesehatan masyarkat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk

penyakit kronis, dan penyakit degeneratif. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam

peningkatan keamaan dan khasiat dari obat tradisional.

Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari penggunaan

obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang

relatif lebih sedikit dari pada obat modern.

Pada saat ini, pemanfaatan tumbuhan sebagai obat mengalami peningkatan. Oleh

karena itu banyak penelitian yang mengarah pada pemanfaatan tumbuhan obat tersebut.

Salah satunya adalah penelitian mengenai isolasi senyawa aktif dari tumbuhan obat.

Tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat salah satunya adalah sambiloto

(Andrographis paniculata Ness).

Sambiloto adalah tanaman liar yang diduga berasal dari India. Tanaman yang

sangat pahit ini digunakan sebagai obat antidiabet. Sambiloto tumbuh liar di tempat

1

terbuka seperti kebun, tepi sungai, tanah kosong yang agak lembap atau dipekarangan.

Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan bersilang, bentuk laset, pangkal

runcing, ujung meruncing, tepi rata, permukaan atas hijau tua, bagian bawah hijau muda,

panjang 2-8 cm, lebar 1-3 cm. Bunga berbibir berbentuk tabung, kecil-kecil, warnanya

putih bernoda ungu,. Buah kapsul berbentuk jorong. Perbanyak dengan biji atau stek

batang.

Tanaman sambiloto berkembang baik dengan biji atau stek batang. Tinggi pohon

dewasa bisa mencapai 50-90 cm. Batang dan cabangnya berbentuk segi empat, sedangkan

daunnya berjenis tunggal dengan panjang sekitar 2-8 cm dan lebar 1-3 cm.

Salah satu tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional di Indonesia

adalah sambiloto (Andrographis paniculata Ness) yang mempunyai banyak sekali

khasiat.

Secara invitro tanaman sambiloto mempunyai khasiat antidiabetik dengan cara

mempengaruhi sekresi insulin dari pulau Langerhans. Daun atau herba sambiloto

digunakan pada pengobatan tradisional antara lain untuk kencing manis (antidiabetes).

BAB II. Rumusan Masalah

1. Apakah rebusan daun segar sambiloto dapat menurunkan kadar gula darah?

2. Pada saat merebus, bahan pembawa apa yang paling baik digunakan untuk merebus

daun sambiloto?

3. Bagaimana cara menggunakan rebusan daun segar sambiloto tersebut?

BAB III. Hipotesis

1. Pemakaian tradisional yang dilakukan dengan merebus daun segar sambiloto dapat

menurunkan kadar gula darah.

2. Pada saat merebus daun segar sambiloto digunakan air sebagai pembawanya.

3. Cara menggunakan rebusan daun segar sambiloto adalah dengan meminum air

rebusannya.

BAB. IV Design Penelitian

IV.1 Bahan dan Metode

IV.1.1 Bahan uji

2

Herba sambiloto diperoleh dari daerah Klaten (Jawa Tengah) dan diidentifikasi sebagai

Andrographis paniculata Nees (Acanthaceae), herba yang telah dikeringkan digiling untuk

menghasilkan serbuk.

IV.1.2 Ekstraksi dan penyiapan bahan uji

Serbuk (500 g) diekstraksi secara sinambung dengan alat Soxhlet secara berturut-turut

menggunakan pelarut heksana, etilasetat dan etanol. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan pada

suhu tidak lebih dari 60oC dengan tekanan diperendah. Untuk pengujian aktivitas

hipoglisemik, ekstrak kental disuspensikan dalam larutan tragakan 1%.

IV.1.3 Uji toleransi glukosa

Prosedur pengujian anti diabetes dalam percobaan ini menggunakan metode uji

toleransi glukosa dengan sedikit modifikasi. Tiap kelompok uji terdiri dari 3 (tiga) ekor tikus

jantan (galur Sprague Dawley, Biofarma Bandung) dan secara keseluruhan terdiri dari lima

kelompok, yaitu: kelompok kontrol (hanya diberi tragakan 1%), kelompok ekstrak (heksana,

etilasetat dan etanol) dengan dosis 0,5 g/kg bb, serta kelompok pembanding yang diberi

tolbutamid 0,315 g/kg bb. Sebelum percobaan tikus dipuasakan selama 18 jam, tetapi air

minum tetap diberi. Setiap tikus diberi larutan percobaan sesuai dengan kelompoknya dan

satu jam kemudian diberi larutan glukosa 10% pada dosis 2,0 g/kg bb secara oral. Glukosa

darah ditentukan pada 30, 60, 90 dan 150 menit setelah pemberian glukosa.

IV.1.4 Penentuan konsentrasi glukosa darah

Glukosa darah ditentukan secara enzimatis dengan pereaksi GOD-PAP. Sampel darah

diambil dari vena ekor tikus, lebih kurang 0,1 ml darah disentrifugasi pada 3000 rpm selama

10 menit. Pada 0,02 ml serum ditambahkan 0,2 ml larutan deproteinase dan disentrifugasi

pada 3000 rpm selama 10 menit. Pada 0,1 ml supernatan ditambahkan 2 ml pereaksi warna

(GPD-PAP). Setelah diiinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit, serapan pada 546 nm

dibaca menggunakan Clinicon Photometer (Boehringer-Mannheim).

IV.2 Hasil Percobaan dan Pembahasan

Ekstraksi serbuk herba sambiloto dengan heksana, etilasetat dan etanol memberikan

prosentase ekstrak seperti pada tabel 1. Ekstrak etilasetat yaitu komponen semipolar

3

merupakan komponen terbesar dibandingkan komponen non-polar (ekstrak heksana) dan

komponen polar (ekstrak etanol). Apabila ekstraksi dilakukan langsung dengan air panas

diperoleh jumlah bahan terekstraksi yang lebih banyak. Hal ini menunjukkan adanya

komponen-komponen kimia yang larut dalam air panas tetapi tidak larut dalam etanol, karena

sebagian dari zat yang terekstraksi dalam etilasetat dan heksana tidak terlarut dalam air panas.

Tabel 1. Jumlah bahan terekstraksi dari 500 g serbuk herba sambiloto

Jenis Ekstrak Jumah ekstrak (g) % terhadap simplisia

Heksana 2,30 0,46

Etilasetat 41,20 8,24

Etanol 21,00 4,02

Air* 61,10 12,22

Pada uji toleransi glukosa, ekstrak heksana dan etilasetat tidak menunjukkan adanya

aktivitas hipoglisemik dibandingkan dengan kelompok kontrol (Tabel 2 dan Gambar 1). Pada

uji toleransi glukosa, tikus normal akan meningkat konsentrasi glukosa darahnya, akibat

pemberian sukrosa dosis tinggi, dan lama-lama akan menurun akibat kerja dari insulin yang

dihasilkan oleh sel β pulau Langerhans. Oleh karena itu diabetes yang dihasilkan sifatnya

hanya sementara. Adanya variasi yang cukup besar antara kelompok hewan percobaan pada

kenaikan glukosa darah akibat pemberian glukosa mempersulit pembacaan aktivitas hanya

berdasarkan pada data konsentrasi glukosa darah.

Data persen kenaikan konsentrasi glukosa darah yang disajikan pada Gambar 1 dan 2,

diperoleh dari selisih konsentrasi glukosa darah pada waktu tertentu (Ct) dengan konsentrasi

glukosa darah awal, yaitu sebelum induksi diabetes dengan glukosa (Co) dibagi dengan Co,

dikalikan 100%. Penyajian data dalam bentuk kurva untuk mempermudah pembandingan

efek yang diberikan oleh bahan-bahan uji dan pembanding. Efek hipoglisemik yang diberikan

oleh ekstrak etanol dapat dilihat pada kecepatan penurunan konsentrasi glukosa darah pada

menit ke-60 dan 90, walaupun konsentrasi glukosanya pada menit ke-30 dan 60 lebih besar

daripada kontrol. Data ini diperkuat oleh kenyataan bahwa tolbutamid yang merupakan obat

antidiabetes juga memberikan konsentrasi glukosa darah yang lebih tinggi daripada kontrol

pada menit ke-30.

Aktifnya ekstrak etanol ini menunjukkan bahwa aktivitas hipoglisemik diberikan oleh

komponen-komponen polar dari herba sambiloto. Hal ini menunjukkan bahwa cara

4

pemakaian tradisional yang dilakukan dengan merebus herba sambiloto dan meminum air

rebusannya merupakan metode yang tepat.

Tabel 2. Konsentrasi glukosa darah tikus sebelum pemberian bahan uji dan setelah pemberian glukosa

Kelompok Glukosa darah tikus (mg/100 ml) sebelum dan setelah perlakuan pemberian glukosa (2 g/kg bb)

Perlakuan awal 30 menit 60 menit 90 menit 150 menit

Kontrol 95,23±17,78 128,33±13,85 115,33±27,58 105,16±10,65 81,76±11,51

Ekstrak heksana

74,63±10,49 175,32± 9,82 152,21±23,80 129,76±12,82 136,16±12,28

Ekstrak etilasetat

66,56±12,98 141,13±11,37 172,76± 4,62 159,12± 9,91 125,82± 2,43

Ekstrak etanol

94,53±11,11 170,81±15,91 160,62± 5,35 103,92±11,81 79,31±55,43

Tolbutamid 81,92±19,83 138,63±16,34 101,91± 2,77 80,13±21,62 50,82±15,21

Ket: n = 3

Untuk melihat kemungkinan adanya antaraksi komponen-komponen ekstrak yang

dampaknya dapat saling sinergis, aditif atau antagonis pada penggunaan tradisional, telah

diuji ekstrak air herba sambiloto sesuai pemakaian. Ekstrak ini diperoleh dengan cara

melakukan perkolasi terhadap 500 g serbuk herba kering dengan air mendidih hingga

perkolat yang diperoleh tidak pahit. Kumpulan ekstrak dipekatkan dengan pengeringan beku

untuk menghindari terjadinya penguraian komponen kimia herba sambiloto. Pada tabel 3

terlihat bahwa ekstrak air juga menunjukkan aktivitas hipoglisemik, bahkan aktivitasnya

lebih tinggi daripada ekstrak etanol. Berbagai kemungkinan dapat berkontribusi terhadap

hasil tersebut, diantaranya adalah: 1) aktivitas hipoglisemik disebabkan oleh komponen kimia

yang larut dalam air panas tetapi kurang larut dalam etanol, 2) adanya interaksi sinergis antar

komponen kimia ekstrak air (diperoleh langsung dari simplisia), yang menyebabkan ekstrak

tersebut lebih aktif.

5

Gambar 1. Kurva kenaikan konsentrasi glukosa darah tikus pada uji toleransi glukosa.

Kontrol ( ), ekstrak heksan ( ), ekstrak etilasetat (X), ekstrak etanol ( ) dan

tolbutamid(*)

Tabel 3. Perbandingan efek hipoglisemik ekstrak etanol dan ekstrak air dan setelah

pemberian glukosa

Kelompok Glukosa darah tikus (mg/100 mL) sebelum dan setelah perlakuan pemberian glukosa (2 g/kg bb)

Perlakuan awal 30 menit 60 menit 90 menit 150 menit

Kontrol 95,23±17,78 128,33±13,85 115,33±27,58 105,16±10,65 81,76±11,51

Ekstrak etanol

94,53±11,11 170,81±15,91 160,62± 5,35 103,92±11,81 79,31±55,43

Ekstrak air 91,51±12,48 148,81±21,37 113,16± 13,41 82,72±17,63 77,10± 8,67

6

Percobaan lebih lanjut diperlukan untuk membandingkan efek ekstrak etanol yang

diperoleh seperti dalam percobaan ini dan ekstrak air yang diperoleh dari ampas hasil

ekstraksi dengan etanol. Hubungan antara zat pahit (andrografolida) dengan aktivitas

hipoglisemik dari ekstrak herba sambiloto juga perlu dikaji lebih lanjut. Sejauh ini,

kemampuan ekstrak dalam meningkatkan sekresi insulin yang diuji in vitro dengan mengukur

peningkatan produksi insulin tidak memberikan hasil yang bermakna dibandingkan kontrol.

Gambar 2. Kurva kenaikan konsentrasi glukosa darah tikus pada uji toleransi glukosa. kontrol

( ), ekstrak etanol ( ) dan ekstrak air ( )

V. Kesimpulan

Hasil percobaan mendukung pemakaian tradisional yaitu menyeduh simplisia herba

sambiloto dengan air. Ekstrak-ekstrak yang diperoleh dengan pelarut organik tidak

menunjukkan adanya khasiat anti diabetes.

VI. Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan RI. Materia Medika III, hlm. 20-25 (1979)

7

2. Heyne, K. Tumbuhan Berguna Indonesia (Terjemahan), Balai Penelitian Kehutanan, Dep.

Kehutanan, Jakarta, hlm. 1756 (1987).

3.Chander, R.; Srivastava, V. , Tandon, J.S. & Kapoor, N.K. “Antihepatotoxic activity of

diterpenes of Andrographis paniculata (Kal Megh) against Plasmodium berghei induced

hepatic damage in mastomys natalensis”, Int. J. Pharm. 33:2, hlm. 135-138 (1995).

4.Suryawati, S. dan Santoso, B., Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinik, Kelompok Kerja

Ilmiah ‘Phytomedica’, 1993, hlm. 15-16.

5.Chandrasekar, F. “Penggunaan pankreas tikus terisolasi dalam uji aktivitas ekstrak

sambiloto, Andrographis paniculata Nees (Acanthaceae) terhadap sekresi insulin”.

8