s ppk 050313 chapture4 -...
TRANSCRIPT
88
BAB IV
DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Bab IV ini memuat tentang deskripsi hasil penelitian dan pembahasan
hasil penelitian. Data yang diperoleh dari lapangan sesuai dengan permasalahan
penelitian, kemudian dideskripsikan dan dianalisis sebagai dasar bagi penarikan
kesimpulan
A. Laporan Hasil Penelitian
1. Sosiografi
a. SMA Negeri 2 Bandung
1) Sejarah
SMA Negeri 2 Bandung berdiri dengan resmi tahun 1949 atas prakarsa
Thio Anio yang sekaligus bertindak sebagai Kepala Sekolah. Pada saat berdirinya
SMA Negeri 2 Bandung berlokasi di Jl. Ksatriaan, (di gedung SMPN I sekarang)
yang lokasinya berdekatan dengan SD Douwes Dekker. Akan tetapi hal ini hanya
berlangsung beberapa bulan saja. Pada tahun yang sama, SMA Negeri 2 Bandung
pindah ke Jl. Belitung No. 8 (saat ini digunakan oleh SMAN 3 dan SMAN 5 Kota
Bandung). Pada awalnya SMA Negeri 2 Bandung disebut SMA B yang
merupakan bagian dari AMS sie B atau eksakta yang mengutamakan pelajaran
Matematika dan Fisika. Kemudian pada tanggal 2 Agustus 1952 resmi berdiri
SMA Negeri 2 Bandung.
Pada tahun 1966, akibat dari bentrokan antara Pribumi dan etnis Tionghoa
tahun 1963 di Bandung mengakibatkan terjadinya pergolakan fisik yang hebat dan
89
kampus sekolah Cina yang berada di Jalan Cihampelas direbut oleh para pejuang
muda pribumi. Sejarah inilah kemudian yang mengawali berpindahnya SMA
Negeri 2 Bandung dari Jalan Belitung ke Jalan Cihampelas sampai sekarang.
Dalam perjalananya, SMA Negeri 2 Bandung telah beberapa kali
dipercaya untuk membina persiapan pembentukan SMA Negeri baru di wilayah
Kota Bandung, diantaranya adalah SMA Negeri 3, SMA Negeri 15, SMA Negeri
23, dan SMA Negeri 27 Bandung. Dalam kurun waktu yang sangat panjang ini,
telah banyak nama Kepala Sekolah yang memimpin SMA 2 Bandung, yaitu
sebagai berikut:
1) Thio Anio ( 1949-1951 )
2) H. Djusar ( 1951 – 1952 )
3) M. Entoem ( 1952 – 1965 )
4) Drs. Singgih Wiraharja ( 1965, beberapa bulan )
5) Drs. Ibnu Hadi ( 1965, PYMT )
6) Drs. Sabar Bratakoesoemah ( 1965 – 1966 )
7) Drs. Nana Kusnadi ( 1966, beberapa bulan karena meninggal )
8) Drs. Ibnu Hadi ( 1966 – 1968, PYMT )
9) Drs. Ibnu Hadi ( 1968-1974 )
10) Drs. Ahmad hamid ( 1974-1982 )
11) Drs. Dono Yusuf ( 1982-1987 )
12) Drs. E. Mulyadi ( 1987-1990 )
13) Drs. Ihot Muslihat ( 1990-1994 )
14) H. Ena Sumpena, BA ( 1994-1999 )
90
15) Drs. Ruhaedi W ( 1999-2003 )
16) Dra. Hj. Hasmiati (2003-2004, PLT)
17) Drs. Encang Iskandar, MPd ( 2004-sekarang )
2) Motto dan Visi
Motto SMA Negeri 2 Bandung adalah beriman, berilmu, dan beramal.
Sedangkan visi SMA Negeri 2 Bandung adalah menciptakan sekolah yang
religius, unggul dalam prestasi, tanggap terhadap perkembangan IPTEK, dan
santun dalam bersikap. Visi tersebut diturunkan menjadi misi sebagai berikut:
1. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Meningkatkan profesionalisme dan keteladanan dalam mencipakan
lingkungan yang kondusif.
3. Mengoptimalisasikan fasilitas sarana prasarana pendidikan dan nara
sumber yang ada.
4. Mengoptimalisasikan dalam pelayanan peserta didik dalam upaya
mengantarkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
5. Meningkatkan lingkungan yang bersih, nyaman, sejuk dan kekeluargaan
antar warga.
3) Data tanah/bangunan
Luas tahan SMA Negeri 2 Bandung adalah 20.915 m2. Dipakai untuk
bangunan seluas 3.387.50 m2, lapangan olah raga seluas 13.070.50 m2. Dan
sisanya berupa halaman sekolah seluas 4.457 m2.
91
4) Jumlah Rombongan
Jumlah rombongan kelas di SMA Negeri 2 Bandung adalah 30
rombongan, yang terdiri dari kelas X dengan jumlah 10 rombongan. Kelas XI IPA
9 rombongan, Kelas XI IPS 8 rombongan, Kelas XII IPA 8 rombongan, dan
Kelas XII IPS 2 rombongan.
5) Jumlah Siswa
Jumlah siswa secara keseluruhan di SMA Negeri 2 Bandung sebanyak
1246 orang. Terdiri dari kelas X sebanyak 372 orang. Kelas XI sebanyak 456
orang yang terbagi kedalam kelompok IPA sebanyak 369 orang dan IPS sebanyak
87 orang. Kelas XII sebanyak 418 orang yang terbagi kedalam kelompok IPA
sebanyak 380 orang dan kelompok IPS sebanyak 38 orang.
6) Data Guru
Jumlah guru di SMA Negeri 2 Bandung sebanyak delapan puluh tujuh
orang. Sebagian besar guru memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai
dengan mata pelajaran yang diajarkannya.
7) Data Karyawan
Tenaga kerja bukan pengajar yang terdapat di SMA Negeri 2 Bandung
terdiri dari satu orang Kepala Tata Usaha (TU) dibantu oleh tujuh orang staff. Dua
orang pembantu TU, dan tujuh orang tenaga kerja TU honorer. Satu orang staff
administrasi. Tiga orang staff Teknologi Informasi (TI). Tiga orang petugas
92
laboratorium honorer. Tiga belas orang petugas lapangan honorer. Satu orang
kepala perpustakaan yang dibantu oleh satu orang staff. Dan empat orang petugas
satuan pengamanan. Sehingga jumlah keseluruhan tenaga kerja non pengajar
sebanyak empat puluh enam orang.
8) Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang terdapat di SMA Negeri 2 Bandung terdiri dari
tiga puluh ruang belajar dengan luas 1,850 M2. Satu ruang Kepala Sekolah dengan
luas 42 m2. Satu ruang guru dengan luas 72 m2. Satu ruang Tata Usaha (TU)
dengan luas 72 m2. Satu ruang Laboratorium Fisika atau Komputer dengan luas
115 m2. Satu ruang Laboratorium Kimia dengan luas 115 m2. Dua ruang
Laboratorium Biologi dengan luas masing-masing 83.70 m2 dan 104 m2. Satu
ruang perpustakaan dengan luas 178 m2. Satu ruang serba guna dengan luas 56
m2. Satu ruang penggandaan atau stensil dengan luas 56 m2. Satu ruang gudang
dengan luas 56 m2. Satu ruang penjaga dengan luas 56 m2. Satu ruang Koperasi
dengan luas 56 m2. Satu ruang Bimbingan Karir (BK) dengan luas 75 m2. Mesjid
dua lantai dengan luas 584 m2. Sanggar Matematika dengan luas 21 m2. Satu
ruang Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dengan luas 56 m2. Sanggar
Pramuka dengan luas 42 m2. Sanggar Paskibra dengan luas 42 m2. Sanggar PMR
dengan luas 42 m2. Sanggar Patroli Keamanan Sekolah (PKS) dengan luas 42 m2.
Sanggar Seni dengan luas 182 m2. Sanggar Koperasi Siswa (KOPSIS) dengan luas
28 m2. Sanggar Paskibra dengan luas 12 m2. Sanggar Senam dengan luas 422 m2.
Satu Toilet Guru dengan luas 18 m2. Satu Toilet Kepala Sekolah dengan luas 4
93
m2. Tiga Toilet Siswa dengan luas masing-masing 12 m2. Lapangan Basket
dengan luas 140 m2. Dua buah Lapangan Voli dengan luas masing-masing 56 m2.
Taman dengan luas 16.700 m2.
9) Struktur organisasi
Bagan 4.1 Struktur organisasi SMA Negeri 2 Bandung
b. SMA Negeri 11 Bandung
1) Sejarah
Secara de facto SMAN ini sudah berdiri sejak tahun ajaran 1967/1968,
dikukuhkan dengan Keputusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
132/UKK/3219 tanggal 8 April 1968 dengan nama SMA XI Bandung, merupakan
penegerian “kelas Jauh” yang semula menginduk kepada SMAN IV Bandung.
94
Pada awal berdirinya SMAN 11 Bandung berlokasi di Jalan Mohamad
Toha Nomor 178, menempati sebuah bangunan darurat bekas pabrik Topi Laken.
Pada tahun 1978, lokasinya dipindahkan ke jalan Hasan Akhsan dengan nama
resmi SMAN 11 Bandung, yang kemudian mengalami beberapa kali perubahan,
yaitu:
1. SMAN XI Bandung ( tanggal 8 April 1968 s.d. 31 Januari 1968 )
2. SMAN Jalan Mohammad Toha 178/399 (tanggal 1 Januari 1968)
3. SMAN XI Bandung ( tanggal 1 Januari 1976 s.d. 31 Desember 1981)
4. SMAN II Bandung (tanggal 1 januari 1982)
5. SMAN II Bandung (tanggal 1 Januari 1996)
6. SMUN 11 Kota Bandung (tanggal 1 Januari 2004 )
Adapun selama berdirinya sekolah ini, terdapat beberapa Kepala Sekolah
yang pernah menjabat, yaitu:
1. Tatang Kosasih : 1966 - 1969
2. Mohammad Muchtar : 1969 - 1970
3. Drs. Soetopo : 1970 - 1972
4. Drs. Amarullah : 1972 – 1978
5. Drs. Dono Yusuf : 1978 – 1982
6. M.Komarudin : 1982
7. Drs. R.A. Iskandar : 1982-1983
8. Muharam : 1983 – 1986
9. Drs. H. Sudian AS, S. H. : 1986
10. Drs. Djadja K : 1986-1990
95
11. H. Muhammad Anshar : 1990 – 1994
12. Drs. M. Said Syamsudin : 1994 – 1996
13. Drs. Ate subrata : 1996
14. Drs. Iri Setiadi : 1996 – 1998
15. Drs. H. Nana : 1998
2) Visi dan Misi Sekolah
1. Visi
Visi SMAN 11 Bandung adalah: “Membentuk insan SMAN 11 Bandung
yang Religius, Unggul dan Inovatif”, visi tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an
Surat An Nisa ayat 9, yang artinya “ Dan hendaknya takut Allah orang-orang
yang seandainya meninggalkan di belakang merka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap mereka. Oleh karena itu hendaklah mereka bertaqwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”
2. Misi
Sesuai dengan visi yang didasarkan pada kompetensi dari berbagai
komponen yang dimiliki, rumusan misi SMAN 11 bandung adalah: “ALIMAN,
SHOLIHAN, MUJAHIDAN”. Aliman artinya menguasai ilmu pengetahuan ,
teknologi dan keterampilan. Setiap insan SMAN 11 Bandung dituntut untuk
senantiasa belajar guna menambah penguasaan pengetahuan dan teknologi serta
keterampilan. Sholihan artinya berbudi pekerti luhur, patuh melaksanakan
perintah agama, terciptanya budaya disiplin, dan tertib. Sejalan dengan upaya
peningkatan intelektual quality melalui proses pembelajaran, kepribadian civitas
96
akademica SMAN 11 Bandung pun dibimbing melalui peningkatan keimanan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mujahidin artinya memiliki daya
saing yang tinggi atau mampu berkompetisi dengan siswa lain, semangat
menuntut ilmu, dan melaksanakan setiap aspek kewajibannya.
3) Jumlah Rombongan
Jumlah rombongan di SMAN 11 Bandung adalah 27 rombongan belajar,
terdiri dari kelas X sebanyak 9 rombongan, Kelas XI sebanyak 9 rombongan, dan
kelas XII sebanyak 9 rombongan.
4) Jumlah Siswa
Jumlah siswa secara keseluruhan di SMA Negeri II Bandung sebanyak
1.156 orang. Terdiri dari kelas X sebanyak 350 orang. Kelas XI sebanyak 382
orang yang terbagi kedalam kelompok IPA sebanyak 235 orang dan IPS sebanyak
147 orang. Kelas XII sebanyak 424 orang yang terbagi kedalam kelompok IPA
sebanyak 239 orang dan kelompok IPS sebanyak 185 orang.
5) Data Guru
Di SMAN II Bandung terdapat 70 orang pengajar (guru), yang terdiri dari
beberapa tanggungjawab mata pelajaran yang berbeda. Sebagian besar guru
memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang
diajarkannya
97
6) Sarana dan Prasarana
Luas lahan yang dimiliki oleh SMAN 11 Bandung seluruhnya berjumlah
11.395 (sebelas ribu tiga ratus Sembilan puluh lima) meter persegi. Disekolah ini
terdapat 25 bangunan, yaitu 28 ruang kelas dengan luas 1.054 m2., satu ruang
laboratorium Fisika seluas 81 m2, satu ruang laboratorium Biologi dengan luas 81
m2, satu laboratorium Kimia yang disatukan dengan ruang laboratorium Biologi,
satu ruangan laboratorium Komputer dengan luas 81 m2, satu laboratorium Bahasa
dengan luas 90 m2. Satu ruang perpustakaan dengan luas 12 m2, satu ruang
kesenian dengan luas ruangan 20 m2, satu ruang OSIS dengan luas 30 m2, satu
Masjid dengan luas 192 m2, satu ruang Kepala Sekolah dengan luas ruangan 73
m2, satu ruang Guru Mata Pelajaran dengan luas 165 m2, satu ruang Guru BK
dengan luas 72 m2, satu ruang Tata Usaha dengan luas 72 m2, satu ruang
secretariat Ekstra kulikuler dengan luas 50 m2, satu raung bengkel seni dengan
luas 21 m2, satu ruang koperasi siswa, satu ruang Kantin dengan luas 120 m2,
satu ruang Olah Raga dengan luas 9 m2, satu ruang Komite Sekolah dengan luas
48 m2, empat ruang WC dengan luas 80 m2, satu ruang WC Guru dengan luas 18
m2, satu ruang Tempat parkir siswa dengan luas 150 m2, satu ruang Tempat parkir
Guru dengan luas 83 m2, Satu ruang pos satpam dengan luas 9 m2, satu ruang alat-
alat kesenian dengan luas 16 m2, satu gudang dengan luas 64 m2, serta satu ruang
serbaguna dan multimedia dengam luas 231 m2.
98
c. SMA Negeri 13 Bandung
1) Sejarah
Sekolah Menengah Atas Negeri 13 kota Bandung adalah salah satu
sekolah negeri yang sudah berdiri lebih dari 30 tahun. Kelahiran sekolah ini
tercatat sejak tahun 1979. Lokasi sekolah ini berada di daerah Cimahi, tepatnya di
jalan H. Akhsan No.23, Bandung Selatan. Pada tahun 2009 ini, sekolah akan
meluluskan ALUMNI angkatan ke-28. Dengan kata lain, baik secara fisik maupun
secara proses, SMA Negeri 13 kota Bandung sudah tergolong senior.
2) Jumlah Rombongan
Jumlah rombongan belajar di SMAN 13 Bandung berubah-ubah, yaitu
pada tahun 2004 s.d. 2005 berjumlah 27 rombongan belajar, dengan rincian kelas
X berjumlah 9 rombongan belajar, kelas XI berjumlah 9 rombongan belajar, dan
kelas XII berjumlah 9 rombongan belajar; sedangkan pada tahun 2005 s.d. 2006
memiliki 26 rombongan belajar, yaitu kelas X berjumlah 8 rombongan belajar,
kelas XI berjumlah 9 rombongan belajar dan kelas XI berjumlah 9 rombongan
belajar; pada tahun 2006 s.d. 2007 memiliki 25 rombongan belajar, yaitu kelas X
berjumlah 8 rombongan belajar, kelas XI berjumlah 8 rombongan belajar, dan
kelas XII berjumlah 9 belajar; pada tahun 2007 s.d. 2008 berjumlah 24
rombongan belajar, yaitu kelas X berjumlah 8 rombongan belajar, kelas XI 8
rombongan belajar dan kelas XII 8 rombongan belajar; hingga akhirnya dari tahun
2008 s.d. 2009 berjumlah 24 rombongan belajar, yaitu kelas X berjumlah 8
rombongan belajar, kelas XI berjumlah 8 kelas, dan kelas XII berjumlah 8 kelas.
99
3) Jumlah Siswa
Jumlah siswa secara keseluruhan di SMA Negeri 13 Bandung sebanyak
934 orang. Terdiri dari kelas X sebanyak 310 orang. Kelas XI sebanyak 316
orang, yang terbagi kedalam kelas IPA dan IPS. Kelas XII sebanyak 308 orang
yang terbagi kedalam kelompok IPA dan kelompok IPS.
4) Data Guru
Di SMAN I3 Bandung terdapat 69 orang pengajar (guru), dengan latar
belakang pendidikan yang berbeda. Jumlah guru tamatan D3 sebanyak 5 orang,
sedangkan lususan S1 berjumlah 63 orang serta lulusan S2 berjumlah satu orang.
dengan Sebagian besar guru memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai
dengan mata pelajaran yang diajarkannya, adapun jumlah guru yang mengajar
akan tetapi tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya berjumlah 13 orang,
sedangkan sisanya 56 orang guru sudah sesuai dengan latar belakang
pendidikannya.
5) Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasaranan yang dimiliki oleh SMAN 13 bandung terdiri atas
beberapa jenis, yaitu 21 ruang kelas dengan luas 1271, 24 m2, satu ruang
laboratorium Fisika dengan luas 126 m2, satu ruang laboratorium Kimia dengan
luas 140 m2, satu ruang laboratorium Biologi yang berlokasi menyatu dengan
laboratorium Kimia, satu ruangan laboratorium Komputer dengan luas ruangan 56
m2, satu ruang perpustakaan dengan luas ruangan 113 m2, satu ruangan OSIS
100
dengan luas ruangan 9,72 m2, satu ruangan koprasi dengan luas ruangan 49 m2,
satu mesjid dengan luas 35 m2, dua ruang ekstrakulikuler dengan luas 12 m2, tiga
ruang Kantin dengan luas 21 m2, satu ruang Guru dengan luas 120 m2, satu ruang
Tata Usaha dengan luas ruangan 75, satu ruang kepala sekolah dengan luas
ruangan 17 m2, satu ruang wakasek dengan luas ruangan 40 m2, satu ruang BK
dengan luas ruangan 35 m2, lima ruang WC siswa dengan luas ruangan 10 m2,
empat ruang WC siswi dengan luas ruangan 12 m2, tiga ruang WC Guru dengan
luas ruangan 12 m2, satu Rumah caraka dengan luas ruangan 24 m2.
6) Potensi di lingkungan sekolah yang diharapkan mendukung program sekolah
1. Instansi/Lembaga/Perusahaan
a. POLSEKTA Andir
b. Kecamatan Andir
c. Dinas Kesehatan
d. Unjani, Unpas, dll.
e. Media Surat Kabar, PR, dll.
2. Optimalisasi Pemberdayaan SDM
a. Siswa
� Bidang olahraga meliputi ; Tajimalela, Karate, taekwondo, pencinta
alam, bola basket, sepak bola, bola volley, Matras, KIR, Penggenar
Mata Pelajaran
� Bidang Akademis meliputi ; Bahasa Inggris & Arab
� Komputer , dan IMTAQ
� Ekstrakurikuler ; DKM (MTSC), Paskibra, Theater, Pramuka
b. Guru
� Aktif dalam kegiatan MGMP/MGP , Seminar dan Pelatihan / IHT
� Kegiatan sosialisasi KBK
101
� Senantiasa mampu secara optimal mengarahkan siswa, mengubah
sikap dan prilaku etika dan akhlakul-karimah ke arah lebih positif,
serta secara aktif berinteraksi dengan orang tua siswa
� Mengintegrasikan nilai-nilai IMTAQ pada mata pelajaran lain dan
menciptakan suasana kondusif
� Pengembangan Manajemen Pendidikan
� Pengembangan bahasa Sunda dan nilai-nilai seni
c. Tata Usaha
� Mampu memberikan pelayanan maksimal, baik secara internal
maupun eksternal
� Setiap saat siap melayani siswa, orangtua, Guru dan masyarakat
� Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan
� Mampu melayani “Stake holder” dengan semangat kekeluargaan
dan profesional
� Berfikir maju dan kompetitif
� Pendidikan dan latihan komputer dengan target Disain Grafis yang
diikuti oleh siswa, guru dan karyawan dengan cara bekerja sama
dengan pihak/ instansi lain
� Mengikutsertakan siswa dalam berbagai lomba-lomba
� Mengadakan pemantapan Bahasa Asing
� Menyeimbangkan kemajuan IPTEK dengan nilai-nilai IMTAQ
d. SMA Negeri 21 Bandung
Sekolah Menengah Atas Negeri 21 kota Bandung, adalah salah satu
sekolah yang memiliki lokasi sekolah yang berada di daerah Cimahi, tepatnya di
jalan Rancasawo- Manjahlega.
1) Jumlah Rombongan
Jumlah rombongan belajar di sekolah ini berubah- ubah, dimulai pada
tahun 2000 s.d. 2001 berjumlah 22 rombongan belajar, yaitu jumlah kelas X
102
adalah 7 rombongan belajar, kelas XI 8 rombongan belajar dan kelas XII sejumlah
7 rombongan belajar. Ditahun 2001 s.d. 2002 berjumlah 23 rombongan belajar,
yaitu kelas X sejumlah 8 rombongan belajar, kelas XI berjumlah 7 rombongan
belajar, dan kelas XII berjumlah 8 rombongan belajar. Sedangkan ditahun 2002
s.d. 2003 berjumlah 21 rombongan belajar, dengan kelas X sejumlah 6 rombongan
belajar, kelas XI sejumlah 8 rombongan belajar dan kelas XII sejumalah 7
rombongan belajar.
2) Jumlah Siswa
Jumlah siswa secara keseluruhan di SMA Negeri 21 Bandung sebanyak
812 orang. Terdiri dari kelas X sebanyak 236 orang. Kelas XI sebanyak 316
orang, yang terbagi kedalam kelas IPA dan IPS. Kelas XII sebanyak 260 orang
yang terbagi kedalam kelompok IPA dan kelompok IPS.
3) Data Guru
Di SMAN 21 Bandung terdapat 54 orang pengajar (guru), dengan latar
belakang pendidikan yang berbeda. Jumlah guru tamatan D3 sebanyak 1 orang,
sedangkan lususan S1 berjumlah 52 orang serta lulusan S2 berjumlah 1 orang.
Dengan Sebagian besar guru memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai
dengan mata pelajaran yang diajarkannya.
103
4) Sarana dan Prasarana
Di SMAN 21 Bandung ini, terdapat lima jenis bangunan, yaitu 21 ruangan
kelas dengan luas ruangan 128 m2, satu buah ruangan laboratorium Ilmu
Pengetahuan Alam dengan luas ruangan 81 m2, satu ruang perpustakaan dengan
luas ruangan 81 m2, satu ruang OSIS dengan luas ruangan 24 m2, serta satu ruang
ibadah dengan luas 80 m2. Dimana semua jenis ruangan tersebut berada dalam
kondisi bangunan yang baik.
5) Potensi di lingkungan sekolah yang diharapkan mendukung program
sekolah.
1. Faktor Internal :
a. Bebas dari asap rokok.
b. Jauh dari jalan raya, sehingga dalam belajar siswa tidak bising.
c. Siswa nyaman, aman dalam belajar karena lingkungan sekitar teduh.
d. Lingkungan sekolah jauh dari polusi pabrik.
e. Menghasilkan lulusan yang berkepribadian luhur, amenguasai iptek
yang didasarai dengan imtaq
f. Lulusan mampu bersaing masuk Perguruan Tinggi yang terkemuka.
g. Guru yang berpenagalaman dan berizajah berkelayakan.
h. Seluruh personel yang meiliki daya kerja dan dedikasi tinggi.
i. Disiplin guru, karyawan dan siswa yang tinggi.
j. Tenaga Tata Usaha yang berpengalaman.
104
k. Budaya kekeluargaan kelauarga besar SMA Negeri 21 Bandung
terjalin dengan baik.
l. Potensi dan prestasi siswa dalam kegiatan intra kurikuler dan
ekstrakurikuler sangat tinggi.
2. Faktor Ekstranal :
a. Kepercayaan masyarakat/ orangtua yang besar.
b. Partisipasi alumni yang tinggi terhadap kemajauan dan perkembangan
sekolah
c. Peran serta perusahaan swasta.
d. Partisipasi instransi terkait.
B. Deskripsi Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti membagikan angket kepada siswa SMAN di
Kota Bandung. Siswa dari setiap sekolah diwakili oleh dua kelas, yaitu: kelas X-
D dan XI IPA-4 untuk SMAN 2 Bandung (cluster satu); X-8 dan XI IPA 6 untuk
SMAN 11 Bandung (cluster 2); kelas X-I dan XI IPS 3 untuk SMAN 13 Bandung
(cluster 3); kelas X-2 dan XI IPA 1 untuk SMAN 21 Bandung (cluster 4). Hasil
penyebaran angket tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pengembangkan isi Pendidikan Kewarganegaraan di setiap cluster
SMAN di Kota Bandung.
Untuk mengetahui bagaimana pengembangan isi pendidikan
kewarganegaraan pada setiap cluster SMAN di kota bandung, dapat dilihat dari
beberapa indicator, diantaranya adalah penekanana guru terhadap aspek materi
105
PKn, penerimaan siswa (reciving), respon siswa terhadap materi (responding),
penilaian (valuing), serta dampak yang ditimbulkan dalam membentuk karakter
siswa (caracterizing). Hal tersebut dapat terlihat pada tabel 4.1 sampai dengan
tabel 4.6.
Tabel IV.1 Penekanan aspek materi PKn saat pembelajaran
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Apa yang paling sering kalian dapatkan saat pembelajaran PKn?
a. Hapalan konsep-konsep saja
12,1% 12,5% 5,2% 20%
b. Hafalan teori-teori saja
3% 22,2% 17,2% 24,1%
c. Mendengarkan cerita-cerita yang berkaitan dengan materi
66,7% 29,2% 70,7% 23,1%
d. pelaksanaan diskusi kelas
18,2% 36,1% 6,9% 30,8%
Jumlah 100% 100% 100% 98% Option a dan b, adalah option yang menggambarkan materi PKn di sekolah masih
menekankan pada penguasaan hafalan saja (knowledge based), yaitu berupa
hafalan konsep-konsep dan teori-teori. Sedangkan option c dan d, adalah option
yang menggambarkan materi PKn telah dibelajarkan pada tataran nilai-nilai (value
based), dimana saat pemebelajaran PKn guru sering memberikan cerita-cerita
yang berkaitan dengan materi serta melaksanakan diskusi kelas.
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan penekanan materi PKn pada penguasaan hafalan, paling tinggi
berada di cluster 4 (44,1%), kemudian disusul oleh cluster 2 (34,7%), cluster 3
(22,4%) dan cluster 1 (15,1%). Sedangkan sekolah yang memiliki kecenderungan
penekanan materi PKn pada tataran nilai-nilai, paling tinggi berada pada cluster 1
106
(84,9%), kemudian disusul oleh cluster 3 (77,6%), cluster 2 (65,3%) dan cluster 4
(53,9%).
Pada cluster 1, kecenderungan penekanan yang dilakukan oleh guru
terhadap isi Pendidikan Kewarganegaraan, tidak hanya pada tataran kognitif akan
tetapi penekanan juga dilakukan pada tataran nilai-nilai (afektif). Hal tersebut
dapat diketahui dari jawaban sebagian besar responden (84,9%) yang menyatakan
bahwa hal yang paling sering didapatkan selama pembelajaran PKn selain cerita-
cerita yang berkaitan dengan materi (66,7%) juga diskusi kelas (18,2%). Dari
tabel pula dapat diketahui bahwa cluster ini, memiliki kecenderungan jumlah
persentase paling tinggi diantara cluster lainnya. Sedangkan sisanya (15,1%
responden), menyatakan bahwa hal yang paling sering didapatkan selama
pembelajaran PKn ialah konsep-konsep (12,1%) serta teori saja (3%).
Kecenderungan penekanan isi materi PKn pada cluster 2 pun dilaksanakan
tidak hanya pada ranah kognitif akan tetapi sudah mengarah pada ranah afektif,
hal tersebut dapat dilihat dari 65,3% responden yang menyatakan bahwa hal yang
paling sering didapatkan saat pembelajaran PKn selain mendengarkan cerita-cerita
yang berkaitan dengan materi (29,2%) juga pelaksanaan diskusi kelas (36,1%).
Apabila dibandingkan dengan cluster lainnya, pada kontinum maksimum, cluster
2 memiliki jumlah persentase yang lebih rendah dari cluster 3 dan 1, akan tetapi
lebih tinggi apabila dibandingkan dengan cluster 4.
Pada cluster 3 dan 4, penekanan isi materi PKn cenderung bergeser, tidak
hanya pada ranah kognitif akan tetapi sudah dibelajarkan pada ranah afektif pula.
Hal ini dapat terlihat, baik pada cluster 3 maupun cluster 4, sebagian besar
107
responden menyatakan bahwa hal yang paling sering didapatkan saat
pembelajaran PKn selain mendengarkan cerita-cerita yang berkaitan dengan
materi (37,9% pada cluster 3 dan 23,1% pada cluster 4) juga pelaksanaan diskusi
kelas (41,4% pada cluster 3 dan 24,6% pada cluster 4). Pada kontinum
maksimum, apabila dibandingkan dengan cluster lainnya, jumlah persentase pada
cluster 3, lebih tinggi dari cluster 2 dan cluster 4. Sedangkan cluster 4 sendiri
apabila dibandingkan dengan semua cluster lainnya menduduki urutan paling
rendah.
Tabel IV.2 Penekanan guru saat memberkan materi System Politik Indonesia
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Apa yang paling sering disampaikan oleh guru saat memberikan materi sistem politik Indonesia?
a. Guru menyampaikan konsep-konsep sistem politik Indonesia saja
18,2% 16,7% 10,3% 7,6%
b. Guru menyampaikan teori-teori sistem politik Indonesia saja
15,2% 29,2% 10,3% 23,1%
c. Selain konsep dan teori, guru memberikan gambar-gambar yang berkaitan dengan materi
25,8% 33,3% 37,9% 23,1%
d. Selain konsep dan teori, guru menyampaikan contoh studi kasus untuk dianalisis
40,9% 20,8% 41,4% 24,6%
Jumlah 100% 100% 100% 78,4%
Option a dan b, adalah option yang menggambarkan materi PKn di
sekolah masih menekankan pada penguasaan pengertian atau pemahaman
(knowledge based), dimana saat menyampaikan materi system politik Indonesia,
hal yang paling sering diberikan oleh guru ialah konsep- konsep serta teori-
teorinya saja. sedangkan option c dan d, adalah option yang menggambarkan
materi PKn telah dibelajarkan pada tataran nilai-nilai (value based), dimana
108
selama guru menyampaikan materi system politik Indonesia, selain konsep dan
teori guru juga sering memberikan gambar-gambar yang berkaitan dengan materi
serta memberikan contoh-contoh studi kasus untuk dianalisis oleh siswa.
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa cluster 2 memiliki
kecenderungan penekanan materi PKn pada penguasaan pengertian atau
pemahaman paling tinggi (45,9%), kemudian disusul oleh cluster 1 (33,4%),
cluster 4 (30,7%) dan cluster 3 (20,6%). Sedangkan SMAN yang memiliki
kecenderungan penekanan materi PKn selain pada penguasaan pengeritan dan
pemahaman juga pada penguasaan nilai-nilai, paling tinggi berada pada cluster 3
(79,3%), kemudian disusul oleh cluster 1 (61,7%), cluster 2 (54,1%) dan 4
(47,7%).
Penekanan guru saat penyampaian materi sistem politik tidak berbeda jauh
hasilnya dengan penekanan materi selama pembelajaran PKn berlangsung
(jumlah persentase pada tabel 1). Dimana pada cluster 1,2, dan 3, sebagian besar
responden, menyatkan bahwa selama menyampaikan materi PKN, (dalam hal ini
peneliti mengangkat materi system politik Indonesia), guru tidak hanya
menekankan penguasaan pengertian dan pemahaman, akan tetapi, penekanan
dilakukan juga terhadap penguasaan nilai-nilai siswa. Pada cluster 1 lebih dari
sebagian responden (61,7%) menyatakan bahwa saat guru menyampaikan materi
sisterm politik indonesia, selain konsep dan teori, guru juga memberikan gambar-
gambar serta contoh- contoh kasus yang berkaitan dengan materi (25,%) untuk
kemudian dianalisis oleh siswa(40,9%) . Walaupun apabila dibandingkan dengan
cluster yang lain, jumlah persentase pada cluster ini di titik maksimum lebih kecil
109
dari pada cluster 3 akan tetapi lebih tinggi apabila dibandingkan dengan cluster 2
dan 4.
Sama halnya dengan cluster 1, dua cluster berikutnya (cluster 2 dan cluster
3), sebagian besar respondennya menyatakan bahwa saat menyampaikan materi
sistem politik, selain konsep dan teori, guru juga memberikan gambar-gambar
serta contoh- contoh kasus yang berkaitan dengan materi untuk kemudian
dianalisis oleh siswa. Akantetapi apabila dibandingkan secara keseluruhan,
jumlah persentase pada cluster 3 lebih tinggi dibandiingkan dengan cluster 2.
Begitupula dengan cluster lainnya, cluster 3 memiliki kecenderungan kearah
value based paling tinggi, sedangkan cluster 2 sendiri lebih tinggi dari pada
cluster 4 dan lebih rendah apabila dibandingkan dengan cluster 1.
Dari tabel IV. 2 di atas, dapat diketahui pula bahwa pada titik maksimum,
jumlah persentase cluster 4 berada pada urutan paling bawah dibandingkan
dengan cluster lainnya. Apabila kita lihat pada tabel tersebut, masih terdapat
banyak responden yang tidak memberikan jawabannya pada pertanyaan ini, yaitu
hanya 78,4% responden yang memberikan, sedangkan sisanya (21,6%) tidak
memberikan jawabannya. Dari hasil wawancara dengan siswa pada kelas X,
dapat diketahui bahwa siswa kesulitan dan bingung untuk memilih option yang
peneliti berikan, dikarnakan guru jarang sekali masuk kelas, jarang sekali guru
memberikan atau menjelaskan materi, yang sering dilakukan hanyalah diskusi.
110
Tabel IV.3 Gambaran penerimaan siswa (receiving) terhadap materi system Politik
Indonesia Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f)
Cluster 1
Cluster 2
Cluster 3
Cluster 4
Apa yang kalian dapatkan setelah mengikuti materi sistem politik Indonesia?
a. Memahami konsep-konsep yang ada dalam materi tersebut
31,8% 34,7% 12,1% 43,1%
b. Selain konsep, juga memahami teori-teori yang ada dalam materi tersebut
27,3% 26,4% 17,2% 12,3%
c. Selan konsep dan teori, juga faham akan fenomena-fenomena yang muncul didalamnya
36,4% 27,8% 46,6% 1,4%
d. Selain konsep dan teori, juga mampu untuk menganalisis permasalahan yang ada dalam materi tersebut.
4,5% 11,1% 24,2% 36,9%
Jumlah 100% 100% 100% 93,7%
Option a dan b, adalah option yang menggambarkan penerimaan siswa
(receiving) terhadap materi PKn yang telah disampaikan di sekolah masih rendah,
karena penerimaannya hanya berdampak pada penguasaan hafalan atau
pemahaman konsep serta teori saja(knowledge based), sedangkan option c dan d,
adalah option yang menggambarkan penerimaan siswa terhadap materi PKn tidak
hanya pada tataran hafalan saja, akan tatapi telah mampu untuk mengikuti dengan
penuh perhatian akan fenomena yang muncul kemudian menganaisis hal tersebut
(value based).
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan penerimaan siswa (receiving) rendah terhadap materi PKn, paling
tinggi berada pada cluster 2 (61,1%), kemudian disusul oleh cluster 1 (59,1%),
cluster 4 (55,4%), dan cluster 3 (29,3%). Sedangkan sekolah yang memiliki
kecenderungan penerimaan paling tinggi terhadap materi PKn, berada pada
111
cluster 3 (70,7%), kemudian disusul oleh cluster 1 (40,9%), cluster 2 (38,9%) dan
cluster 4 (38,3%).
Pada cluster 1, penerimaan siswa (receiving) atas materi yang telah
disampaikan oleh guru masih rendah apabila dibandingkan dengan cluster 3, hal
ini dapat dilihat dari jawaban yang diberikan oleh 59,1% responden, dimana hal
yang didapat oleh siswa setelah mengikuti materi system politik Indonesia, hanya
pemahaman terhadap konsep-konsep (31,8%) serta teori-teori saja (27,3%).
Walaupun sebagian dari responden (40,9%) menyatakan bahwa setelah mengikuti
materi system politik Indonesia, selain memahami konsep dan teorinya, juga
faham akan fenomena-fenomena yang muncul serta mampu untuk menganalisis
permasalahan yang terdapat dalam materi tersebut.
Pada cluster 3, kecenderungan penerimaan (Receiving) siswa terhadap
materi sistem politik indonesia, tidak hanya pada tataran hafalan (konsep dan
teori) saja, akan tatapi telah mampu menggerakan siswa untuk mengikuti dengan
penuh perhatian atas apa yang disampaikan oleh guru. Hal tersebut dapat
diketahui dari 70,7% responden yang menyatakan bahwa yang didapatkan oleh
siswa setelah mengikuti materi system politik Indonesia, selain memahami konsep
dan teorinya, juga faham akan fenomena-fenomena yang muncul serta mampu
untuk menganalisis permasalahan yang terdapat dalam materi tersebut. Dan
apabila dibandingkan dengan cluster lainnya, cluster ini menempati jumlah
persentase tertinggi. Adapun sebagian responden (29,3%), menggambarkan
bahwa penerimaan siswa terhadap materi PKn yang telah disampaikan di sekolah
112
masih rendah, karena penerimaannya hanya berdampak pada penguasaan hafalan
atau pemahaman.
Pada tabel IV.3, dapat terlihat bahwa pada titik minimum, kecenderungan
penerimaan siswa (Receiving) pada cluser 2 paling rendah apabila dibandingkan
dengan tiga cluster lainnya, hal ini dapat dilihat dari jawaban yang diberikan oleh
61,1% responden yang menyatakan bahwa hal yang didapat setelah mengikuti
materi system politik Indonesia hanya pemahaman terhadap konsep-konsep serta
teori-teori saja. Sedangakan pada titik maksimum cluster ini memiliki jumlah
persentase yang lebih baik apabila dibandingkan dengan cluster 4.
Pada cluster 4 sendiri, kecenderungan penerimaan siswa (receiving)
terhadap materi PKn yang telah disampaikan di sekolah masih rendah apabila
dibandingkan dengan cluster 1 dan 3, karena penerimaannya hanya berdampak
pada penguasaan hafalan atau pemahaman, hal tersebut dapat dilihat pada tabel
IV.3, dimana 55,4% responden menyatakan bahwa setelah mengikuti materi
system politik Indonesia, hal yang paling banyak didapat oleh siswa adalah
mampu memahami konsep – konsep serta teori-teori yang ada pada materi
tersebut. sedangkan sebagian responden (38,3%) menggambarkan penerimaan
yang tinggi terhadap materi PKn, akan tetapi untuk pernyataan ini, apabila kita
bandingkan dengan berapa cluster lainnya, cluster ini, menduduki urutan yang
paling rendah.
113
Tabel IV.4 Gambaran respon siswa (responding) terhadap penyampaian materi Sistem
Politik Indonesia Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f)
Cluster 1
Cluster 2
Cluster 3
Cluster 4
Setelah mendapatkan materi sistem politik Indonesia, bagaimana respon kalian terhadap materi tersebut?
a. respon biasa saja 51,5% 54,2% 27,6% 62,1% b. membahas teori-teori yang
berkaitan dengan materi tersebut dengan teman-teman
6,1% 6,9% 8,6% 15,4%
c. Setelah membahas teori, diteruskan pada diskusi bersama teman yang lain
16,7% 11,1% 6,9% 7,6%
d. Setelah membahas teori, diteruskan pada pemahaman fenomena-fenomena yang muncul dalam system politik indonesia.
27,3% 27,8% 56,9% 13,5%
Jumlah 100% 100% 100% 100%
Option a dan b, adalah option yang menggambarkan respon siswa
(responding) rendah terhadap materi PKn (knowledge based), karena respon yang
ditimbulkan belum mampu menggerakan siswa untuk berpartisipasi aktif,
sedangkan option c dan d, adalah option yang menggambarkan respon siswa
terhadap materi PKn sudah baik, karena dampak yang dihasilkan setelah
pembelajarn PKn, telah mampu untuk menggerakan siswa berpartisipasi aktif,
dimana setelah membahas teori siswa meneruskan pada pemehaman akan
fenomena-fenomena yang muncul kemudian melakukan diskusi bersama(value
based).
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan respon siswa (responding) rendah terhadap materi PKn, paling
tinggi berada pada cluster 4 (77,5%), kemudian disusul oleh cluster 2 (61,1%),
cluster 1 (57,6%) dan cluster 3 (36,2%). Sedangkan sekolah yang memiliki
kecenderungan respon siswa tinggi terhadap materi PKn, paling tinggi berada
114
pada cluster 3 (63,8 %), kemudian disusul oleh cluster 1 (44%), cluster 2 (38,9%),
dan terakhir cluster 4 (21,1%).
Pada cluster 1 kecenderungan respon siswa (responding) terhadap materi
yang disampaikan oleh guru masih rendah, hal ini terlihat dari sebagaian besar
responden (51,6%) yang menyatakan respon biasa-biasa saja, kalaupun ada
keinginan untuk berdiskusi dangan teman, hal yang dibahas hanya pada tataran
konsep-konsep yang ada (6,1%). Pada kontinum minimum, bila dibandingkan
dengan cluster lainnya, jumlah persentase pada cluster ini, berada dibawah
cluster 4 dan cluster 2, serta berada diatas cluster 3. Sama halnya dengan cluster
1, pada cluster 2, respon siswa (responding) terhadap materi yang telah
disampaikan masih cenderung rendah bila dibandingkan dengan cluster 1 dan
cluster 3, dimana sebagaian besar responden (61,1%) pada cluster ini,
mengungkapkan respon yang ditimbulkan setelah mengikuti materi system
politik Indonesia adalah biasa-biasa saja (54,2%), kalaupun ada keinginan untuk
berdiskusi dangan teman, hal yang dibahas hanya pada tataran konsep-konsep
yang ada (6,9%). Apabila dilihat serta dibandingkan dengan cluster lainnya, pada
kontinum minimum, cluster ini memiliki jumlah persentasi yang lebih rendah
dibandingkan dengan cluster 4, serta lebih tinggi dibandingkan dengan cluster 1
dan 3.
Berbeda halnya dengan dua cluster di atas (cluster 1 dan 2) kecenderungan
respon siswa (Responding) terhadap materi PKn sudah lebih baik apabila
dibandingkan dengan tiga cluster lainnya (cluster 1, 2 dan 4), hal ini dapat
terlihatdari lebih dari 63,8% responden yang menyatakan bahwa setelah
115
penyampaian materi PKn, timbulnya keinginan dari siswa untuk berpartisipasi
aktif dalam mengikuti diskusi dan meneruskan pada pembahasan tentang
fenomens-fenomena yang muncul dalam materi tersebut bersama teman-teman.
Dan apabila dibandingkan dengan cluster lainnya, pada titik maksimum, cluster
ini berada pada urutan paling tinggi.
Sedangkan pada cluster 4, respon yang ditimbulkan cenderung rendah.
Lebih dari setengah responden (77,5%), menyatakan respon yang ditimbulkan
setelah mengikuti materi system politik Indonesia adalah biasa-biasa saja (62,1%),
kalaupun ada keinginan untuk berdiskusi dangan teman, hal yang dibahas hanya
pada tataran konsep-konsep yang ada (15,4%). Apabila dibandingkan dengan tiga
cluster lainnya, cluster ini, memiliki jumlah persentase tertinggi pada kontinum
minimum. Yang berarti, respon siswa terhadap materi PKn yang telah
disampaikan pada cluster ini paling buruk dibandingkan dengan tiga cluster
lainnya
Tabel IV.5 Gambaran dampak penyampaian materi Sistem politik Indonesia terhadap
kemampuan mengkaji serta menilai siswa (valueing). Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f)
Cluster 1
Cluster 2
Cluster 3
Cluster 4
Saat kelas melaksanakan diskusi tentang permasalahan-permasalahan yang terdapat sistem politik Indonesia saat ini. Apa yang paling sering kalian lakukan?
a. Kurang memperhatikan, karena tidak suka dengan diskusi
7,6% 5,5% 0% 6,1%
b. Mendengarkan argumen dari teman-teman
45,5% 44,4% 15.5% 30,8%
c. Ikut bergabung untuk menyampaikan pendapat dan bertanya
34,8% 27,8% 58,6% 50,8%
d. Selain menyampaikan pendapat, disertai dengan pernyataan sikap pribadi.
12,1% 22,2% 25,9% 12,3%
Jumlah 100% 100% 100% 100%
116
Option a dan b, adalah option yang menggambarkan penyampaian materi
PKn di sekolah belum mampu menimbulkan kemauan untuk mengkaji serta
menilai (valueing) suatu permasalahan yang timbul (knowledge based), hal ini
terlihat dari sikap siswa yang kurang memperhatikan diskusi, dan kalaupun
memperhatikan hanya untuk mendengarkan argument yang disampaikan oleh
temen-temannya. Sedangkan option c dan d, adalah option yang menggambarkan
bahwa penyampaian materi PKn disekolah telah mampu mengajak siswa
menggunakan pengetahuannya untuk mengkaji dan membandingkan serta menilai
permasalahan yang ada, hal ini dapat terlihat dari adanya kemauan dari siswa
untuk bergabung saat diskusi dengan aktif mengemukakan pendapat dan
menyampaikan sikap pribadinya (value based).
Dari tabel di atas, dapat terlihat bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan “Dalam penyampaian materi PKn belum mampu menimbulkan
kemauan siswa untuk mengkaji serta menilai (valueing)”, paling tinggi berada
pada cluster 1 (53,1%), kemudian disusul oleh cluster 2 (49,9%), cluster 4
(36,9%) dan cluster 3 (15,3%). Sedangkan sekolah yang memiliki kecenderungan
“ Dalam penyampaian materi PKn disekolah telah mampu mengajak siswa
menggunakan pengetahuannya untuk mengkaji dan membandingkan serta menilai
permasalahan yang ada”, paling tinggi berada pada cluster 3 (84,5%), kemudian
disusul oleh cluster 4 (63,1%), cluster 2 (50%) dan cluster 1 (46,9%).
Pada cluster 1, sebagian besar responden menyatakan bahwa guru belum
mampu untuk mengajak siswa menggunakan pengetahuannya dalam mengkaji
dan membandingkan serta menilai permasalahan yang ada, hal tersebut dapat
117
terlihat dari 54,3% responden yang mengungkapkan bahwa hal yang paling
sering dilakukan siswa selama diskusi, cenderung mendengarkan argument dari
teman-temannya (45,1%), serta sebagian lagi menyatakan ketidaksukaannya akan
kegiatan diskusi tersebut (7,6). Jumlah persentase pada kontinum minimum
menduduki urutan tertinggi, apabila dibandingkan dengan tiga cluster lainnya.
Pada cluster 2, 3 dan 4 sebagian besar siswa menyatakan bahwa guru
telah mampu mengajak siswa untuk menggunakan pengetahuannya dalam
mengkaji dan membandingkan serta menilai (Valueing) permasalahan yang ada,
hal tersebut dapat dilihat pada cluster 2, dimana setengah jumlah respondennya
(50%), menyatakan bahwa saat diskusi berlangsung, hal yang biasa dilakukan
ialah ikut berpatisipasi dalam menyampaikan pendapat, bertanya juga menyatakan
sikap pribadi. Sedangakan sebagian dari responden pada cluster ini (49,9%),
menyatakan bahwa penyampaian materi PKn di sekolah belum mampu
menimbulkan kemauan untuk mengkaji serta menilai.
Sama halnya dengan cluster 2, pada cluster 3 dan cluster 4, guru telah
mampu mengajak siswa untuk menggunakan pengetahuannya dalam mengkaji
dan membandingkan serta menilai (Valueing) permasalahan yang ada. Hal
tersebut dapat terlihat dari 84,5% responden (cluster 3) dan 63,1% (cluster 4),
mengungkapkan bahwa setelah mengikuti materi tentang system politik, selain
konsep dan teori, siswa juga faham akan fenomena-fenomena serta mampu untuk
menganalisis permasalahan yang muncul dalam materi tersebut. Apabila
dibandingkan dengan cluster lainnya, pada kontinum maksimum, cluster 3
118
menempati posisi tertinggi. Sedangkan cluster 4, berada dibawah cluster 3, dan
berada diatas cluster 1 dan 2.
Tabel IV.6 Dampak penyampaian materi Sistem Politik Indonesia terhadap
pembentukan sikap (characterizing) atau prinsip bagi siswa Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f)
Cluster 1
Cluster 2
Cluster 3
Cluster 4
Dalam pelaksanaannya, banyak kecurangan yang terjadi dalam sistem poltik negara kita, misalkan banyak terjadi politik uang, KKN dan sebagainya. Atas kejadian tersebut, bagaimana respon kalian?
a. Mecoba untuk lebih memahami masalah tersebut.
19,7% 8,3% 6,9% 15,4%
b. Menyarankan kepada pemerintah untuk memberantas tindakan tersebut dengan tegas
16,7% 12,5% 12,1% 26,2%
c. Secara pribadi menolak secara tegas hal tersebut dan tidak akan melakukannya.
25,8% 15,3% 10,3% 10,8%
d. Menanamkan dalam diri, bahwa hal tersebut adalah salah, dan harus ditinggalkan
37,9% 63,9% 70,7% 47,7%
Jumlah 100% 100% 100% 100%
Option a dan b, adalah option yang menggambarkan bahwa dampak dari
penyampaian materi PKn atas masalah-malsalah yang muncul, belum mampu
membentuk suatu sikap (characterizing) atau prinsip bagi siswa (knowledge
based), sedangkan option c dan d, adalah option yang menggambarkan dampak
dari penyampaian materi PKn telah mampu untuk mengarahkan siswa agar
memiliki sikap atau kepribadian, hal ini dapat terlihat dari pernyataan pribadi
siswa untuk menolak tindakan tersebut serta menanamkan dalam dirinya untuk
tidak melakukan hal tersebut (value based).
Dari tabel di atas, dapat dilihat kecenderungan sekolah yang belum mampu
memberikan dampak pembentukan suatu sikap (characterizing) atau prinsip bagi
siswa, paling tinggi berada pada cluster 4 (41,6%), kemudian disusul oleh cluster
119
1 (36,4%), cluster 2 (20,8%) dan cluster 3 (19%). Sedangkan sekolah yang
memiliki kecenderungan telah mampu untuk mengarahkan siswa agar memiliki
sikap atau kepribadian, paling tinggi berada pada cluster 3 (81%), kemudian
disusul oleh cluster 2 (79,2%), cluster 1 (63,7%) dan cluster 4 (58,5%). Dalam
penyampaian materi PKn disekolah telah mampu mengajak siswa menggunakan
pengetahuannya untuk mengkaji dan membandingkan serta menilai permasalahan
yang ada”, paling tinggi berada pada cluster 3 (84,5%)
Pada cluster 1, dampak penyampaian materi PKn, cenderung telah mampu
mengarahkan siswa untuk memiliki sikap atau kepribadian, hal tersebut terlihat
dari sekitar 63,7% responden menyatakan sikapnya untuk menolak secara tegas
pelaksanaan KKN, kemudian menanamkan dalam diri masing-masing bahwa
hal tersebut adalah salah, dan harus ditinggalkan. Apabila dibandingkan dengan
cluster lainnya, pada kontinum maksimum, jumlah persentase cluster ini berada
dibawah cluster 3 dan 2, serta berada diatas cluster 4. Sedangkan 36,4%
responden lainnya menggambarkan dampak dari penyampaian materi PKn atas
masalah-malsalah yang muncul, belum mampu membentuk suatu sikap atau
prinsip bagi siswa.
Sama halnya dengan cluster 1, pada tiga cluster lainnya yiatu cluster 2, 3
dan 4, dampak yang ditimbulkan dari penyampaian materi PKn, cenderung telah
mampu mengarahkan siswa untuk memiliki sikap atau kepribadian
(Characterizing), hal ini dapat terlihat dari 79,2% responden (pada cluster 2), 81%
responden (pada cluster 3) dan 58,5% responden (pada cluster 4), yang
menyatakan sikapnya untuk menolak secara tegas pelaksanaan KKN, kemudian
120
menanamkan dalam diri masing-masing bahwa hal tersebut adalah salah, dan
harus ditinggalkan. Apabila dibandingakan pada titik maksimum, cluster 3
menempati urutan tertinggi diantara semua cluster yang ada, cluster 2 lebih tinggi
apabila dibandingkan dengan dua cluster lainnya (cluster 1 dan 4). Dan cluster 4
selalu pada posisinya, yaitu berada pada urutan paling bawah.
2. Pencapaian visi dan misi Pendidikan Kewarganegaraan untuk
membentuk Warga Negara yang baik dan cerdas pada setiap cluster
SMAN di Kota Bandung.
Untuk mengetahui bagaimana pencapaian visi dan misi Pendidikan
Kewarganegaraan untuk membentuk Warga Negara yang baik dan cerdas pada
setiap cluster SMAN di Kota Bandung, dapat dilihat dari beberapa indicator,
diantaranya adalah cakupan materi ajar PKn yang, materi ajar PKn, gambaran
pengaturan posisi duduk siswa, dan posisi duduk guru saat pembelajaran PKn
berlangsung.
Tabel IV.7 Cakupan materi ajar PKn yang paling sering disampaikan guru
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Cakupan materi yang paling sering disampaikan oleh guru adalah…
a. Apa yang ada dalam Buku paket 28,9% 5,5% 1,7% 40% b. Apa yang ada dalam Buku paket
dan LKS 12,1% 45,8% 20,7% 47,7%
c. Selain dari Buku paket dan LKS, juga dikaitkan dengan mata pelajaran lainnya, seperti agama, sosiologi, geografi, ekonomi dan mata pelajaran lain yang relevan.
15,1% 6,9% 32,8% 3,1%
d. Selain dari buku paket dan LKS, juga diambil dari nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat
43,9% 41,8% 44,8% 9,2%
Jumlah 100% 100% 100% 100%
121
Option a dan b, adalah option yang menggambarkan cakupan materi ajar
PKn, masih terpaku pada buku paket dan LKS saja (exclusive), sedangkan option
c dan d, adalah option yang menggambarkan cakupan materi ajar PKn tidak
hanya terpaku pada buku paket PKn dan LKS, akan tetapi dikaitkan dengan mata
pelajaran lain (pada rumpun sosial) bahkan telah mampu dikaitkan dengan nilai-
nilai yang ada dan berkembang dalam masyarakat (inclusive).
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan “ Cakupan materi ajar PKn, masih terpaku pada buku paket dan
LKS saja”, paling tinggi berada pada cluster 4 (87,7%), kemudian disusul oleh
cluster 2 (51,3%), cluster 1 (41 %) dan cluster 3 (22,4%). Sedangkan sekolah yang
memiliki kecenderungan “Cakupan materi ajar PKn tidak hanya terpaku pada
buku paket dan LKS, akan tetapi dikaitkan dengan mata pelajaran lain (pada
rumpun sosial) bahkan telah mampu dikaitkan dengan nilai-nilai yang ada dan
berkembang dalam masyarakat”, paling tinggi berada pada cluster 3 (77,6%),
kemudian disusul oleh cluster 1 (59%) , cluster 2 (48,7%) dan cluster 4 (12,3%).
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada cluster 1, 59% responden
menyatakan bahwa cakupan bahan ajar PKn tidak hanya diambil dari buku paket
PKn dan LKS, akan tetapi diambil serta dikaitkan pula dengan mata pelajaran lain
(pada rumpun sosial) bahkan telah mampu dikaitkan dengan nilai-nilai yang ada
dan berkembang dalam masyarakat. Sedangkan sebagian responden lainnya
(41%), mengungkapkan bahwa cakupan bahan ajar PKn, masih terpaku pada buku
paket dan LKS saja.
122
Sama halnya dengan cluster 1, pada cluster 3 sebagian besar responden
(77,6%) menyatakan bahwa cakupan bahan ajar PKn tidak hanya terpaku pada
buku paket PKn dan LKS, akan tetapi dikaitkan dengan mata pelajaran lain (pada
rumpun sosial) bahkan telah mampu dikaitkan dengan nilai-nilai yang ada dan
berkembang dalam masyarakat. Jumlah persentase tersebut, apabila dibandingkan
dengan cluster lainnya (cluster 1,2 dan 4) menempati urutan tertinggi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan FS, muatan yang biasa diberikan oleh guru
saat pembelajaran PKn, terdiri atas materi yang dilengkapi dengan contoh-
contohnya. Selain itu, guru juga sering mengaitkan dengan muatan moral-moral
yang ada dalam masyarakat. Biasanya guru sering mengaitkan dengan mata
pelajaran Sosiologi dan Ekonomi , sedangkan Agama, Geografi, dan Sejarah tidak
pernah dikaitkan. Kemudian guru juga sering mengaitkan materi ajar dengan isu-
isu global saat ini, contohnya tentang debat capres.
Berbeda keadaannya dengan cluster cluster 2 dan cluster 4, pada kedua
cluster ini, cakupan bahan ajaran PKn, cenderung masih terpaku pada buku paket
dan LKS saja, hal ini dapat diketahui dari sebahagian besar responden yaitu
51,3% (pada cluster 2) dan 87,7% (pada cluster 4) menyatakan hal tersebut. Dari
hasil wawancara dengan GU1 (pada cluster 2), saat GU 1 menyampaian materi
PKn, terkadang mengaitkan dengan mata pelajaran yang lain, hal ini tergantung
pada materi yang akan dibelajarakan pada siswa, apabila materinya bersinergi
dengan mata pelajaran lainnya, maka biasanya akan dikaitkan. Mata pelajaran lain
yang sering dikaitkan dengan mata pelajaran PKn ialah Sosiologi dan ekonomi,
sedangkan mata pelajaran Agama dan Geografi jarang disinggung.
123
Dari hasil wawancara dengan MA dan AR (siswa kelas X) dapat diketahui
bahwa pada cluster 4, materi PKn tidak pernah dikaitkan dengan mata pelajaran
lain, misalnya agama, sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah atau mata pelajaran
lainnya, hal ini dikarenakan guru jarang sekali menyampaikan materi serta
dikarenakan guru jarang sekali masuk kelas. Sedangkan menurut AR (siswa pada
pada kelas XI), menyatakan bahwa saat guru menyamapaikan materi biasanya
guru tidak mengaitkan materi PKn dengan mata pelajaran lain, baik agama,
sosiologi, geografi, sejarah maupun ekonomi. Akan tetapi apabila dengan isu-isu
yang sedang hangat, guru biasanya suka mengaitkannya.
Tabel IV.8 Materi ajar PKn yang paling sering diberikan guru
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Materi ajar PKn yang paling sering disampaikan oleh guru, berkaitan dengan…
a. Ketatanegaran saja 6,1% 30,6% 12,1% 32,3% b. Moral saja 1,5% 2,8% 0% 1,5% c. Selain materi diatas, juga
dikaitkan dengan mata pelajaran ilmu social lainnya
15,1% 15,3% 13,8% 12,3%
d. Selain materi PKn juga dikaitkan dengan isu-isu terhangat dalam masyarakat
77,3% 48,6% 74,1% 52,3%
Jumlah 100% 97,3% 100% 98,4%
Option a dan b, adalah option yang menggambarkan bahan ajar PKn yang
disampaikan oleh guru, terpaku pada materi inti PKn saja (exclusive), sedangkan
option c dan d, adalah option yang menggambarkan bahwa bahan pembelajaran
PKn yang disampaikan oleh guru tidak hanya terpaku pada materi inti PKn, akan
tetapi dikaitkan pula dengan bahan ajar yang terdapat dalam lingkungan
masyarakat (inclusive).
124
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan “ Bahan ajar PKn yang disampaikan oleh guru, terpaku pada
materi inti PKn saja”, paling tinggi berada pada cluster 4 (33,8%), kemudian
disusul oleh cluster 2 (33,4%), cluster 3 (12,1%) dan cluster 1 (7,6%). Sedangkan
sekolah yang memiliki kecenderungan “Bahan ajar PKn yang disampaikan oleh
guru tidak hanya terpaku pada materi inti PKn, akan tetapi dikaitkan pula dengan
bahan ajar yang terdapat dalam lingkungan masyarakat”, paling tinggi berada
pada cluster 1 (92,4%), kemudian disusul oleh cluster 3 (87,9%), cluster 4
(64,6%) dan cluster 2 (63,9%).
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa pada semua cluster (1,2,3 dan 4),
sebagian besar responden menyatakan bahwa bahan ajar PKn yang sering
disampaikan oleh guru tidak hanya terpaku pada materi inti PKn, akan tetapi
dikaitkan pula dengan bahan ajar yang terdapat dalam lingkungan masyarakat. Hal
ini terlihat pada cluster 1 dimana 92,4% responden menyatakan bahwa materi ajar
PKn tidak hanya materi inti PKn, akan tetapi dikaitkan pula dengan mata
pelajaran pada rumpun social serta isu-isu terhangat saat ini.
Pada cluster 2, sekitar 63,9% responden menyatakan bahan ajaran PKn
yang biasa disampaikan oleh guru tidak hanya terpaku pada materi inti PKn, akan
tetapi dikaitkan pula dengan bahan ajar yang terdapat dalam lingkungan
masyarakat. Adapun pada cluster 3, sebagian besar (87,9%) responden
menyatakan hal yang sama. Apabila dibandingkan dengan cluster lainnya, cluster
2 memiliki jumlah persentase yang paling rendah. Sedangkan cluster 3, jumlah
125
persentase pada kontinum maksimum berada lebih rendah daripada cluster 1, dan
lebih tinggi dari cluster 2 dan 4.
Adapun bahan ajar yang biasa diberikan oleh guru pada cluster 4, tidak
hanya terpaku pada materi inti PKn, akan tetapi dikaitkan pula dengan bahan ajar
yang terdapat dalam lingkungan masyarakat, hal ini dapat terlihat dari 64,4%
responden yang menyatakan bahwa “ materi ajar yang diberikan oleh guru, selain
materi inti juga dikaitkan dengan materi pada mata pelajaran social lainnya serta
isu-isu terhangat dalam masyarakat”. Selain itu, berdasarakan hasil wawancara
dengan guru, dapat diketahui bahwa saat pembelajaran PKn, bahan ajar PKn telah
mampu di kaitkan dengan beberapa mata pelajaran lainnya, seperti mata pelajaran
Agama, Sosiologi, Sejaran, geografi dan Ekonomi. Selain mengaitkan dengan
mata pelajaran lainnya, seperti Agama, sosiologi, Geografi, Ekonomi, dan
Sejarah, menurut G1, guru juga sering mengaitkan dengan isu-isu global yang
sedang hangat saat ini, semisal isu tentang Kasus Antasari Azah (mantan Ketua
KPK RI). Walaupun apabila dibandingkan dengan cluster lain, cluster ini
memiliki jumlah persentase dibawah cluster 1 dan 3, dan diatas cluster 2.
Tabel IV. 9 Gambaran pengaturan tempat duduk siswa saat pembelajaran PKn
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Bagamiana pengaturan tempat duduk saat pembelajaran PKn berlangsung?
a. Posisi tempat duduk tidak pernah berubah
13,6% 13,9% 56,9% 33,8%
b. Posisi tempat duduk kadang berubah.
19,7% 9,7% 17,2% 6,1%
c. Posisi tempat duduk berubah, Ketika diskusi kelompok.
37,9% 38,9% 20,7% 41,5%
d. Tempat duduk berubah, sesuai dengan metode yang digunakan
28,8% 37,5% 5,2% 18,5%
Jumlah 100% 100% 100% 100%
126
Option a dan b, adalah option yang menggambarkan posisi duduk siswa
saat pembelajara PKn masih kaku, siswa terpaku pada tempat yang tetap dari awal
pembelajaran hingga akhir pembelajaran (exclusive), sedangkan option c dan d,
adalah option yang menggambarkan posisi duduk siswa yang baik, dimana posisi
siswa diubah agar kemampuan siswa saat belajar dapat optimal (inclusive).
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan “Posisi duduk siswa saat pembelajara PKn masih kaku, siswa
terpaku pada tempat yang tetap dari awal pembelajaran hingga akhir
pembelajaran”, paling tinggi berada pada cluster 3 (74,1%), kemudian disusul
oleh cluster 4 (39,9%), cluster 1 (33,3%) dan cluster 2 (23,6%). Sedangkan
sekolah yang memiliki kecenderungan “Posisi duduk siswa yang baik, dimana
posisi siswa diubah agar kemampuan siswa saat belajar dapat optimal”, paling
tinggi berada pada cluster 2 (76,4%), kemudian disusul oleh cluster 1 (66,7%),
cluster 4 (60%) dan cluster 3 (25,9%).
Dari empat cluster yang ada, tiga cluster diantaranya (cluster 1, 2 dan 4),
menyatakan bahwa posisi duduk siswa sering diubah. Perubahan tersebut
dilaksankan saat pelaksanaan diskusi kelas, serta apabila menggunakan metode
yang lebih bervariasi. Hal ini seperti apa yang diutarakan oleh AP saat
melaksanakan wawancara pada Cluster 1 dimana menurut penuturannya posisis
tempat duduk siswa, saat ceramah, posisinya biasa, tapi posisi siswa berubah saat
dilaksanakan diskusi berkelompok.
Sedangkan pada cluster 3, kecenderungannya berbeda, dimana posisi
duduk siswa saat pembelajara PKn masih kaku, siswa terpaku pada tempat yang
127
tetap dari awal pembelajaran hingga akhir pembelajaran. Dari hasil wawancaran
dengan FS (siswa kelas XI pada cluster 3), dapat diketahui bahwa pada saat
pembelajaran PKn berlangsung, posisi tempat duduk siswa tidak pernah berubah.
Tabel IV.10 Posisi guru saat pembelajaran PKn
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Bagaiamana posisi guru saat pembelajaran PKn berlangsung….
a. Dari awal hingga akhir duduk dikursi
3% 36,1% 1,7% 27,7%
b. Dari awal hingga akhir berada di depan siswa
33,3% 5,6% 0% 10,8%
c. Selain berada di depan juga terkadang di tengah-tengah siswa
27,3% 9,7% 41,4% 30,8%
d. Selain berada di depan juga terkadang Berkeliling kelas.
36,4% 48,6% 56,9% 9,2%
Jumlah 100% 100% 100% 78,5%
Option a dan b, adalah option yang menggambarkan posisi duduk guru
yang kurang baik, dimana posisi guru dari awal hingga akhir berada di depan
siswa atau duduk (exclusive), sedangkan option c dan d, adalah option yang
menggambarkan posisi duduk guru yang baik, dimana posisi guru saat
pembelajaran tidak hanya diam di depan siswa, akan tetapi terkadang berada di
tengah siswa bahkan berkeliling (inclusive)
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan “ Posisi duduk guru yang kurang baik, dimana posisi guru dari
awal hingga akhir berada di depan siswa atau duduk”, paling tinggi berada pada
cluster 2 (41,6%), kemudian disusul oleh cluster 4 (38,5%), cluster 1 (36,3 %) dan
cluster 3 (1,7 %). Sedangkan sekolah yang memiliki kecenderungan “Posisi duduk
guru yang baik, dimana posisi guru saat pembelajaran tidak hanya duduk atau
128
diam di depan siswa, akan tetapi terkadang berada di tengah siswa bahkan
berkeliling”, paling tinggi berada pada cluster 3 (98,3%), kemudian disusul oleh
cluster 1 (63,7%), cluster 2 (58,3%) dan cluster 4 (40 %).
Pada cluster 1, sebagian besar respondennya (63,75) menyatakan bahwa
posisi guru saat pembelajaran tidak hanya diam di depan siswa, akan tetapi
terkadang berada di tengah siswa bahkan berkeliling. Hal tersebut dapat diperkuat
dari hasil wawancara dengan AT, dimana posisi guru saat melakananakan
pembelajaran PKn ialah jalan-jalan mengelilingi siswa.
Sama halnya dengan posisi duduk guru pada cluster 2, 3 dan 4 dimana
pada ketiga cluster ini posisi guru saat melaksanakan pembelajaran PKn, tidak
hanya diam di depan siswa, akan tetapi terkadang berada di tengah siswa, bahkan
berkeliling. Perbedaannya terletak pada perolehan jumlah persentase diantara tiga
cluster tersebut, dimana pada clsuter 2 jumlah persentase yang menyatakan hal
tersebut ialah 58,3%, pada cluster 3 berjumlah 78,6% dan pada cluster 4
berjumalah 40%. Diantara cluster lainnya, pada kontinum maksimum cluster 2
memiliki jumlah persentase diatas cluster 4 dan dibawah cluster 1 dan 3.
Sedangkan cluster 3 menempati urutan tertinggi sedangkan cluster 4 selalu
menduduki urutan terendah diantara cluster lainnya
Apabila kita lihat pada cluster 4, dari 100% responden siswa yang
seharusnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dilontarkan penulis,
hanya 78,5% responden yang memberikan, sedangkan sisanya (21,5%) tidak
memberikan pilihannya. Dari hasil wawancara terhadap beberapa siswa di kelas
129
X, mereka tidak ingin menjawab pertanyaan ini, karena pada dasarnya guru PKn
jarang sekali masuk kelas.
3. Pelaksanaan proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada
setiap cluster SMAN di Kota Bandung.
Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan proses pembelajaran
pendidikan kewarganegaraan pada setiap cluster SMAN di Kota Bandung, dapat
dilihat dari beberapa indicator, diantaranya adalah pelaksanaan pembelajaran
PKn, Tempat pembelajaran PKn yang paling sering digunakan, keterlibatan siswa
saat proses pembelajaran PKn berlansung, Respon siswa selama mengikuti PBM
PKn, Sumber belajar yang digunakan, Metode yang digunakan, dan Media yang
digunakan.
Tabel IV.11 Pelaksanaan pembelajaran PKn
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Tindakan yang sering dilaksanakan oleh guru, saat proses pembelajaran PKn berlangsung adalah…
a. Guru menyampaikan materi hingga pelajaran berakhir
22,7% 13,9% 31% 40%
b. Guru menyampaikan materi dan Tanya jawab.
31,9% 38,9% 51,8% 16,9%
c. Setelah menyampaikan materi, dilanjutkan untuk melaksanakan diskusi kelas
22,7% 12,5% 8,6% 26,2%
d. Siswa diberi kesempatan yang lebih banyak untuk menyampaikan ide, aspirasi dan gagasannya
22,7% 34,7% 8,6% 12,3%
Jumlah 100% 100% 100% 95,4%
Option a dan b, adalah option yang menggambarkan pelaksanaan
pembelajaran PKn masih berpusat pada guru (didactictransmission), guru
menyampaikan materi dari awal hingga akhir dengan diselingi Tanya jawab.
130
Sedangkan option c dan d, adalah option yang menggambarkan bahwa
pengajaran PKn cenderung mengarah pada siswa sentries, dimana siswalah yang
menjadi pusat saat pembelajaran PKn berlangsung, guru memberikan kesempatan
kepada siswa untk menyampaikan ide, aspirasi dan gagasannya lebih banyak dan
juga sering mengadakan diskusi (interactive interpretation).
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan “ Pengajaran PKn masih berpusat pada guru”, paling tinggi berada
pada cluster 3 (80,7%), kemudian disusul oleh cluster 4 (56,9%), cluster 1
(54,5%) dan cluster 2 (52,8%). Sedangkan sekolah yang memiliki kecenderungan
“Pengajaran PKn cenderung mengarah pada siswa sentries, dimana siswalah yang
menjadi pusat saat pembelajaran PKn berlangsung”, paling tinggi berada pada
cluster 2 (47,2%), kemudian disusul oleh cluster 1 (45,4%), cluster 4 (38,5%) dan
cluster 3 (17,2%).
Pada cluster 1, pelaksanaan pembelajaran PKn masih didominasi oleh
guru, hal ini terlilhat dari pelaksanaan pembelajaran PKn, kegiatan guru ialah
menyampaikan materi, yang kemudian diiringi dengan tanya jawab (31,9%),
bahkan 22,7% responden lainnya menyatakan bahwa biasanya saat pembelajaran
PKn berlangsung, guru berceramah materi dari awal hingga akhir pembelajaran.
Sedangkan responden lainnya, mengungkapkan bahwa selama proses
pembelajaran PKn berlangsung, siswa diberikan banyak kesempatan untuk
mengutarakan ide, aspirasi dan gagasannya (22,7%) juga melaksanakan diskusi
kelas (22,7%).
131
Pada cluster 2, pelaksanaan pembelajaran PKn relatif sama dengan cluster
1, dimana pembelajaran masih didominasi oleh guru bukan siswa, hal ini terlihat
dari 13,9% responden menyatakan bahwa tindakan yang paling sering
dilaksanakan oleh guru saat pembelajaran berlangsung ialah menyampaikan
materi dari awal hingga akhir dan terkadang guru menyampaikan materi
kemudian diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa (38,9%).
Walaupun sebagian responden lainnya (37,4%) menyatakan bahwa siswalah yang
menjadi pusat saat pembelajaran PKn, dimana guru memberikan kesempatan
kepada siswa untk menyampaikan ide, aspirasi dan gagasannya lebih banyak dan
juga sering mengadakan diskusi (12,5%) (interactive interpretation).
Pelaksanaan pembelajaran pada cluster 3, masih didominasi oleh guru, hal
ini terlihat dari 51,8% responden yang menyatakan bahwa selama porses
pembelajaran PKn berlangsung, tindakan yang dilakukan oleh guru ialah
menyampaikan materi dengan sesekali memberikan pertanyaan kepada siswa.
Kemudian 31% responden lainnya mengungkapkan bahwa selama pembelajaran
guru berceramah murni dari awal hingga akhir. Sedangakan 8,6% responden
lainnya menyatakan bahwa selama pembelajaran berlangsung guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan ide, gagasan dan pertanyaannya
dan 8,6% lagi menyatakan bahwa tindakan yang sering dilaksanakan guru selain
menyampaikan materi juga melaksanakan diskusi kelas.
Pada cluster terakhir, yaitu cluster 4, sangat nampak sekali guru yang
mendominasi pembelajaran, hal ini terlihat dari 40% responden yang menyatakan
bahwa selama proses pembelajaran PKn berlangsung, tindakan yang dilakukan
132
oleh guru ialah berceramah murni dari awal hingga akhir. Dan kalaupun ada
kegiantan lain, hanya berkisar pada lontaran pertanyaan yang diberikan oleh guru
(16,9%). Sedangkan sisanya, menyatakan bahwa pembelajaran sudah bergerak
pada siswa centris, hal ini dibuktikan dengan 26,2 % responden yang menyatakan
bahwa selama pembelajaran berlangsung selain guru menyampaikan materi, juga
sering melaksanakan diskusi. Dan 12,3% lainnya mengungkapkan bahwa selama
pembelajaran, guru memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk
menyampaikan ide, kreasi dan aspirasinya.
Tabel IV.12 Tempat pembelajaran PKn yang paling sering digunakan.
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Tempat pembelajaran PKn biasanya dilaksanakan di...
a. Hanya di Kelas saja
81,9% 88,9% 94,8% 46,2%
b. Pernah sekali diluar kelas
10,6% 6,9% 1,7% 32,2%
c. Sering dilaksanakan diluar kelas
4,5% 1,4% 0% 3,1%
d. Tempat pembelajaran disesuaikan dengan materi yang sedang dibelajarkan..
3% 2,8% 3,5% 18,5%
Jumlah 100% 100% 100% 100%
Option a dan b, adalah option yang menggambarkan tempat pembelajaran
PKn yang didominasi dikelas (didactictransmission), sedangkan option c dan d,
adalah option yang menggambarkan bahwa pembelajaran PKn tidak hanya
menggunakan kelas sebagai tempat pembelajaran, akan tetapi lingkungan sekitar
digunakan pula sebagai tempat pembelajaran PKn (interactive interpretation)
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan “ Tempat pembelajaran PKn yang didominasi dikelas”, paling
133
tinggi berada pada cluster 3 (96,3%), kemudian disusul oleh cluster 2 (95,8%),
cluster 1 (92,5%) dan cluster 4 (78,4%). Sedangkan sekolah yang memiliki
kecenderungan “Pembelajaran PKn tidak hanya menggunakan kelas sebagai
tempat pembelajaran, akan tetapi lingkungan sekitar digunakan pula sebagai
tempat pembelajaran PKn”, paling tinggi berada pada cluster 4 (22,6%),
kemudian disusul oleh cluster 1 (7,5%), cluster 2 (4,2%) dan cluster 3 (3,5%).
Secara keseluruhan dimulai dari cluster 1, 2, 3 dan 4, pelaksanaan
pembelajaran masih didominasi di kelas. Pada cluster satu dibuktikan dengan
81,9% responden yang menyatakan bahwa tempat belajar PKn dilaksankan hanya
dikelas saja. Kalupun dilaksankan diluar kelas hanya sekali (10, 6%). Sedangkan
4,5% responden lainnya menyatakan bahwa tempat pembelajaran PKn sering
dilaksanakan diluar kelas, dan 3% responden lainnya mengungkapkan bahwa
tempat pembelajaran disesuiakan dengan metode yang digunakan.
Pada cluster 2, kondisinya tidak jauh berbeda dengan cluster 1, dimana
sebagian besar responden (88,9%), menyatakan bahwa tempat yang biasa
digunakan selama pembelajaran berlangsung ialah di kelas. Kalaupun diluar kelas,
hanya dilaksanakan sekali saja (66,9%). Terdapat sekitar 1,4% responden yang
menyatakan bahwa tempat pelaksanaan pembelajaran sering dilaksanakan diluar
kelas dan sisanya (2,8% responden), menyatakan bahwa tempat yang digunakan
saat pembelajaran PKn berlangsung, disesuaikan dengan metode yang dipakai.
Pada cluster 3, 94,3% responden menyatakan bahwa tempat yang biasa
digunakan saat pembelajaran PKn ialah dikelas saja. Dan kalaupun diluar kelas,
itu hanya sekali saja (1,7%). Sisanya (3,5% responden) menyatkan bahwa tempat
134
pembelajaran disesuiakan dengan metode yang digunakan oleh guru. Begitu pula
dengan cluster 4, dimana 46,2% respondennya menyatkan bahwa tempat yang
biasa digunakan saat pembelajaran PKn ialah di dalam kelas. 32,2% lainnya
menyatakan bahwa pernah sekali dilaksanakan diluar kelas. Dan 3,1%
mengungkapkan bahwa selama pembelajaran, tempat yang digunakan sering
berada diluar kelas, dan 18,5% responden menyatakan bahwa tempat yang
digunakan untuk pembelajaran PKn disesuaikan dengan metode yang digunakan
oleh guru.
Tabel IV.13 Keterlibatan siswa saat proses pembelajaran PKn
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Bagaimana keterlibatan kalian saat proses pembelajaran PKn?
a. Hanya mendengarkan guru menerangkan materi
40,9% 43,1% 58,6% 60,%
b. Hanya mengdengarkan teman yang bertanya dan mengemukakan pendapat.
22,7% 25% 5,2% 12,3%
c. Selain mendengarkan juga Sering bertanya
12,2% 2,8% 3,4% 9,2%
d. Selain mendengarkan materi dari guru, dan pertanyaan dari teman, juga menyampaikan pertanyaan dan pendapat pribadi
24,2% 29,1% 32,8% 15,4%
Jumlah 100% 100% 100% 96,9%
Option a adalah option yang menggambarkan bahwa saat pembelajaran
PKn berlangsung, hanya sedikit kesempatan atau dukungan yang diberikan untuk
inisiatif dan interaksi siswa, saat pembelajaran berlangsung siswa hanya
mendengarkan materi yang disampaikan oleh guru. (didactictransmission),
sedangkan option b, c dan d, adalah option yang menggambarkan bahwa selama
pembelajaran PKn, guru memberikan kesempatan atau dukungan untuk inisiatif
135
dan interaksi siswa lebih banyak, dengan memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mendengarkan, bertanya, menjawab (interactive interpretation).
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan “ Terdapat sedikit kesempatan atau dukungan untuk inisiatif dan
interaksi siswa”, paling tinggi berada pada cluster 4 (60%), kemudian disusul
oleh cluster 3 (58,6%), cluster 2 (43,1%) dan cluster 1 (40,9%). Sedangkan
sekolah yang memiliki kecenderungan “Pembelajaran PKn memberikan
kesempatan atau dukungan untuk inisiatif dan interaksi siswa lebih banyak”,
paling tinggi berada pada cluster 1 (59.1%), kemudian disusul oleh cluster 2
(56.9%), cluster 3 (41,4%) dan cluster 4 (36,9%).
Pada cluster 1, sebagian besar responden (40,9%) menyatakan bahwa
keterlibatan siswa selama pembelajaran PKn hanya mendengarkan guru
menyampaikan materi. Sedangkan aktivitas 22,7% responden lainnya ialah
mendengarkan siswa lain yang mengungkapkan pertanyaannya. 12,2% responden
mengungkapkan bahwa selain bertanya, juga sering mengemukakan pendapat.
24,2% respondeng mengungkapkan bahwa selain mendengarkan materi dari guru,
dan pertanyaan dari teman, juga menyampaikan pertanyaan dan pendapat pribadi.
Adapun pada cluster 2, kesempatan atau dukungan yang diberikan oleh
guru kepada siswa untuk mengembangkan ide, kreasi serta kemampuan interaksi
dengan siswa lainnya sudah baik, hal ini terlihat dari 56,9% responden yang
menyatakan bahwa saat proses pembelajaran berlangsung selain mendengarkan
penjelasan yang disampaikan oleh guru, juga sering bertanya dan mengemukakan
pendapat serta menyampaikan pandangan pribadi tentang suatu hal. Walaupun
136
memang 43,1% responden lainnya menyatakan bahwa kegiatan yang sering
dilakukan hanya mendengarkan guru berceramah.
Berbeda halnya dengan cluster 1 dan 2, pada cluster 3 dan 4, dimana
sebagian besar responden (58,6%) menyatkah bahwa keterlibatan siswa saat
proses pembelajaran berlangsung, hanya mendengarkan guru menyampaikan
materi. Sedangkan kesempatan serta dukungan yang diberikan guru terhadap
siswa, untuk mengemukakan ide, bersosialisasi serta berinteraksi dengan siswa
lainnya masih relative kecil. Kondisi tersebut dialami pula oleh cluster 1, dimana
60% responden yang menyatakan bahwa saat proses pembelajaran
berlangsung,aktifitas siswa hanya mendengarkan guru menyampaikan materi saja.
Tabel IV.14 Respon siswa selama mengikuti proses pembelajaran PKn
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Selama melaksanakan proses pembelajaran PKn, Respon yang kamu rasakan adalah…
a. Menjenuhkan
9,1% 4,2% 10,3% 21,5%
b. Biasa-biasa saja
46,9% 58,3% 37,9% 63,1%
c. Menimbulkan rasa ingin tau terhadap materi yang dibelajarkan
21,3% 20,8% 41,5% 15,4%
d. Menyenangkan
22,7% 16,7% 10,3% 0%
Jumlah 100% 100% 100% 100%
Option a dan b, adalah option yang menggambarkan adanya proses
pembelajaran PKn yang kurang mampu untuk mendorong siswa ingin tau
(didactictransmission), sedangkan option c dan d, adalah option yang
menggambarkan adanya proses pembelajaran PKn yang mendorong siswa untuk
ingin tau (interactive interpretation)
137
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan “ Adanya proses pembelajaran PKn yang kurang mampu untuk
mendorong siswa agar ingin tau”, paling tinggi berada pada cluster 4 (84,6%),
kemudian disusul oleh cluster 2 (62,5%), cluster 1 (56%) dan cluster 3 (48,3%).
Sedangkan sekolah yang memiliki kecenderungan “Adanya proses pembelajaran
PKn yang mendorong siswa untuk ingin tau”, paling tinggi berada pada cluster 3
(51,8%), kemudian disusul oleh cluster 1 (43,9%), cluster 2 (37,5%) dan cluster 4
(15,4%).
Apabila dilihat secara umum, dari empat cluster yang ada, sebagian besar
responden pada cluster 1,2 dan 4, menyatkan bahwa respon yang ditimbulkan
selama mengikuti pembelajaran PKn ialah biasa-biasa saja serta menjenuhkan.
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa proses pembelajaran PKn belum mampu
mendorong siswa merasa ingin tau. Sedangkan pada cluster 3, lebih dari sebagian
respondennya mengungkapkan bahwa dengan adanya proses pembelajaran PKn
telah mampu mendorong siswa unguk ingin tau.
Pada cluster 1 sekitar 56% responden yang menyatakan bahwa selama
mengikuti pembelajaran PKn respon yang ditimbulakan ialah biasa-biasa saja
serta menjenuhkan. Walaupun sekitar 44% responden menyatkan bahwa selama
mengikuti proses pembelajaran ini, respon yang ditimbulkan ialah menyenangkan
dan menimbulkan keinginan untuk menumbuhkan rasa ingin tau terhadap materi
yang disampaikan.
Sama halnya dengan cluster 2 dan 4, dimana sebagian besar respondennya
(62,5% responden pada cluster 2 dan 84,6% responden pada cluster 4),
138
mengungkapkan kejenuhannya serta kondisi yang biasa-biasa saja, selama
mengikuti pembelajaran PKn. Berbeda dengan cluster 3, dimana sebagian besar
dari respondennya (51,8%) mengungkapkan bahwa selama mengikuti
pembelajaran PKn respon yang ditimbulkan ialah menyenangkan dan mampu
menimbulkan keinginan untuk menumbuhkan rasa ingin tau terhadap materi yang
disampaikan.
Tabel IV.15 Sumber belajar yang digunakan
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Sumber belajar yang biasa digunakan guru saat pembelajaran PKn adalah…
a. Hanya Buku Paket saja 15,2% 0% 0% 43,1% b. Buku Paket dan LKS 12,1% 54,2% 24,1% 47,7% c. Selain buku paket dan
LKS, guru memberikan materi tentang isu-isu hangat saat ini.
39,4% 11,1% 25,9% 4,6%
d. Selain buku paket dan LKS, guru memberikan materi tentang masalah-masalah yang ada dalam masyarakat.
33,3% 34,7% 50% 6,2%
Jumlah 100% 100% 100% 100%
Option a dan b, menggambarkan bahwa sumber belajar PKn masih terpaku
pada apa yang terdapat pada buku paket PKn dan LKS (didactictransmission),
sedangkan option c dan d, adalah option yang menggambarkan bahwa sumber
pembelajaran PKn tidak hanya menggunakan Buku paket serta LKS, akan tetapi
memberdayakan seluruh potensi lingkungan belajar siswa (interactive
interpretation).
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan “ Sumber belajar PKn masih terpaku pada apa yang terdapat pada
buku dan LKS”, paling tinggi berada pada cluster 4 (90,8%), kemudian disusul
139
oleh cluster 2 (54,2%), cluster 1 (27,3%) dan cluster 3 (24,1%). Sedangkan
sekolah yang memiliki kecenderungan “Sumber pembelajaran PKn tidak hanya
menggunakan Buku paket, akan tetapi memberdayakan seluruh potensi
lingkungan belajar siswa”, paling tinggi berada pada cluster 3 (75,8%), kemudian
disusul oleh cluster 1 (72,7%), cluster 2 (45,8%) dan cluster 4 (10,8%).
Sumber belajar yang biasa digunakan saat proses pembelajaran pada
cluster 1, tidak hanya diambil dari buku paket dan LKS, akan tetapi diambil pula
dari seluruh potensi lingkungan belajar siswa, hal tersebut terihat dari 72,7%
responden menyatakan bahwa selama proses pembelajaran berlangsung, sumber
belajar yang digunakan diambil dari Buku paket, LKS, isu-isu terhangat serta
masalah-masalah yang ada dalam masyarakat. Kondisi ini sama halnya dengan
cluster 3, dimana sebagian besar respondennya menyatakan bahwa sumber belajar
tidak hanya diambil dari buku paket dan LKS akan tetapi diambil pula dari isu-isu
yang ada pada lingkungan masyarakat.
Berbeda dengan cluster 2 dan cluster 4, pada dua cluster ini penggunaan
sumber belajar PKn, masih terpaku pada apa yang terdapat pada buku paket dan
LKS, hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh 54,2% responden pada cluster 2
dan 90,8% responden pada cluster 4 yang menyatakan bahwa sumber belajar yang
digunakan selama proses pembelajaran ialah buku paket dan LKS. Dari hasil
wawancara dengan guru pada cluster 3 diketahui bahwa sumber belajar yang
digunakan selama pembelajaran PKn ialah buku paket, dan buku lainnya yang
menunjang materi PKn. Sedangkan pada berdasar hasil wawancara dengan G1
pada cluster 4, dapat diketahui bahwa sumber belajar yang digunakan oleh G1
140
adalah buku paket, buku dari mata pelajaran lain yang berada di perpustakaan, dan
informasi dari Koran. Berdasarkan penuturan G1, pada Sekolahnya setiap siswa
tidak memiliki buku paket dan LKS, dikarenakan kebijakan terbaru, bahwa guru
tidak diperbolehkan untuk menjual buku dalam bentuk apapun, baik buku paket
maupun LKS. Sehingga G1 selalau memberikan hand out yang dilengkapi dengan
soal-soal, yang kemudian difotokopi oleh semua siswa.
Tabel IV.16 Metode yang sering digunakan saat pembelajaran PKn
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Metode yang paling sering diterapkan di kelas saat pembelajaran PKn…
a. Ceramah, 16,7% 4,2% 27,6% 36,9% b. Ceramah dan Tanya
jawab 45,5% 38,9% 65,5% 13,8%
c. Diskusi kelas 27,3% 33,3% 1,7% 29,2% d. Lainnya sebutkan…. 10,5% 23,6% 5,2% 20,1%
Jumlah 100% 100% 100% 100%
Option a dan b, menggambarkan Metode yang digunakan saat
pembelajaran PKn masih bersifat tradisional (didactictransmission), dimana
metode yang digunakan hanya ceramah dan Tanya jawab. sedangkan c dan d,
adalah option yang menggambarkan Metode yang digunakan saat pembelajaran
PKn sudah beralih pada bentuk pembelajaran yang lebih modern (interactive
interpretation)
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan “ Metode yang digunakan saat pembelajaran PKn masih bersifat
tradisional”, paling tinggi berada pada cluster 3 (93,1%), kemudian disusul oleh
cluster 1 (62,2%), cluster 4 (50,7%) dan cluster 2 (43,1%). Sedangkan sekolah
yang memiliki kecenderungan “Metode yang digunakan saat pembelajaran PKn
141
sudah beralih pada bentuk pembelajaran yang lebih modern”, paling tinggi berada
pada cluster 2 (56,9%), kemudian disusul oleh cluster 4 (49,3%), cluster 1
(37,8%) dan cluster 3 (6,9%).
Adapun metode yang biasa digunakan oleh guru PKn pada cluster 1, masih
didominasi oleh metode yang bersifat tradisional, hal tersebut dapat dilihat pada
tabel 16, dimana 62,1% responden menyatakan bahwa metode yang biasa
digunakan saat pembelajaran PKn masih didominasi oleh metode ceramah dan
tanya jawab. Walaupun sebagian dari responden (37,8%) menyatakan bahwa
metode yang biasa digunakan selama proses pembelajaran ialah diskusi dan
metode lainnya. Kondisi ini, berbeda dari apa yang diutarakan oleh GR 1 bahwa
metode yang biasa digunakan selama proses pembelajaran bervariasi yaitu
diskusi, debat, kepala bernomor, snow ball throwing.
Pada cluster 2, metode yang digunakan saat pembelajaran PKn cenderung
paling baik apabila dibandingkan dengan cluster lainnya, hal ini dapat diketahui
dari 56,9% responden yang menyatakan bahwa metode yang biasa digunakan guru
saat melaksanakan pembelajaran PKn tidak hanya ceramah dan Tanya jawab,
sering pula guru melaksanakan dikusi kelas serta beberapa macam metode
pembelajaran lainnya. Sedangkan sebagian responden (43,1%) menyatakan bahwa
metode yang digunakan saat pembelajaran PKn masih bersifat tradisional, yaitu
meteode ceramah dan Tanya jawab. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan
beberapa siswa dapat diketahui bahwa diskusi yang biasa dilaksanakan hanya
diskusi sederhana, dimana peran guru saat melaksanakan pembelajaran PKn
sangat dominan, karena anak-anaknya pasif, selain itu menurut siswa lainnya,
142
peran guru saat pembelajaran PKn ialah memberi atau menjelaskan materi,
kemudian mengadakan tanya jawab, dan langsung diskusi kelompok.
Pada clustler 3, metode yang biasa digunakan saat pembelajaran PKn yaitu
metode ceramah dan Tanya jawab (93,1%). Sama seperti apa yang dikemukakan
oleh siswa, bahwa sikap siswa saat pembelajaran biasanya hanya mendengarkan
guru yang sedang menjelaskan materi. Dan apabila kita bandingkan dengan
cluster lainnya, jumlah persentase pada cluster ini, menduduki urutan tertinggi,
yang artinya diantara empat cluster yang ada, cluster 3 memiliki kecenderungan
paling buruk dari segi metode yang digunakan selama pembelajaran PKn
berlangsung.
Pada cluster 4, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden (50,7%),
menyatakan bahwa metode yang sering digunakan masih bersifat tradisional yaitu
metode ceramah dan tanyajawab. Hal tersebut, ditanggapi berbeda oleh siswa
pada dua kelas yang berbeda, yaitu siswa pada kelas X dan siswa pada kelas XI,
berdasarkan hasil wawancara dengan sebagian siswa kelas X, metode yang biasa
digunakan saat pembelajaran PKn ialah ceramah, diskusi, mengisi soal-soal dan
tanya jawab. Sedangkan menurut siswa pada kelas X , bahwa metode yang paling
sering dilaksanakan ialah diskusi. Metode ini dilaksanakan karena guru yang
bersangkutan jarang sekali hadir, jadi setiap guru tidak hadir, tugas yang biasa
diberikan adalah diskusi. Berbeda halnya dengan apa yang disampaikan oleh guru,
dimana selama proses pembelajaran PKn, metode yang digunakan bervariasi,
yaitu metode ceramah, diskusi, Tanya jawab dan tugas proyek.
143
Tabel IV.17 Media yang sering digunakan saat pembelajaran PKn
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Media apa yang paling sering digunakan oleh guru saat pembelajaran PKn?
a. Papan tulis 68,3% 90,3% 84,5% 55,4% b. Gambar-gambar dari Koran
atau internet 24,2% 4,2% 13,7% 38,5%
c. Menggungakan alat peraga atau multimedia
4,5% 1,4% 0% 1,5%
d. OHP atau LCD 3% 0% 0% 1,5%
Jumlah 100% 95,9% 98,2% 96,9% Option a, menggambarkan bahwa media yang digunakan saat
pembelajaran PKn masih sangat sederhana, yaitu hanya menggunakan papan tulis
(didactictransmission), sedangkan option b, c dan d, adalah option yang
menggambarkan bahwa media yang digunakan saat pembelajaran PKn sudah
semakin baik, karena mampu menggunakan media yang ada disekitar, seperti
Koran dan perlengkapan multimedia (interactive interpretation)
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan “ Media yang digunakan saat pembelajaran PKn masih minimal,
yaitu hanya menggunakan papan tulis”, paling tinggi berada pada cluster 2
(90,3%), kemudian disusul oleh cluster 3 (84,5%), cluster 1 (68,2%) dan cluster 4
(55,4%). Sedangkan sekolah yang memiliki kecenderungan “Media yang
digunakan saat pembelajaran PKn sudah semakin baik, karena mampu
menggunakan media yang ada disekitar, seperti Koran dan perlengkapan
multimedia”, paling tinggi berada pada cluster 4 (41,5%), kemudian disusul oleh
cluster 1 (31,7%), cluster 3 (13,7%) dan cluster 2 (5,6%).
Media yang digunakan pada cluster 1, masih relatif sederhana, hal ini
terlihat dari 68,2% responden menyatakan bahwa media yang paling sering
144
digunakan oleh guru selama proses pembeljaran ialah papan tulis. Apabila
dibandingkan dengan cluster lainnya, kualitas penggunaan media pada cluster ini
masih berada dibawah cluster 2 dan 4. Akan tetapi apabila dilihat kembali,
terdapat kecendeurngan yang mengarah pada penggunaan media lain saat
pembelajaran PKn, hal ini dapat diketahui dari sebagian responden (31,7%), yang
menyatakan bahwa selain papan tulis, yang biasa digunakan untuk media
pembelajaran, ialah koran, internet, OHP dan LCD. Dari hasil wawancara dengan
guru PKn, media yang biasa digunakan saat pelaksanaan pembelajaran PKn ialah
internet yang terdapat dari HP, peta konsep, dan papan tulis.
Sama halnya dengan cluster 1, pada cluster 2, media yang biasa digunakan
cenderung sangat sederhana, yaitu hanya menggunakan papan tulis, hal ini dapat
kita lihat dari 90,3% responden yang menyatakan bahwa selama pembelajaran
PKn media yang paling sering diguankan ialah papan tulis. Apabila dibandingkan
dengan cluster lainnya, pada kontinum minimum, cluster ini berada pada urutan
terbawah.
Sedangkan pada cluster 3 media yang biasa digunakan saat pembelajaran
PKn cenderung masih sederhana, yaitu hanya menggunakan papan tulis, hal
tersebut seperti apa yang diungkapkan oleh 84,5% reponden siswa. Kondisi
tersebut diperkuat dari haisl wawancara dengan siswa dan guru, dimana media
yang biasa digunkan saat pembelajaran PKn ialah papan tulis saja.
Sama halnya dengan tiga cluster lainnya, pada cluster 4 media yang
digunakan saat pembelajaran cenderung masih sederhana, yaitu hanya
menggunakan media papan tulis. Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan
145
cluster lainnya, pada cluster ini, memiliki kecenderungan paling baik, dimana
sebagian dari responden (41,5%) mengungkapkan bahwa selain papan tulis, guru
juga sering menggunakan media dari Koran, internet, dan multimedia lainnya. Hal
tersebut seperti hasil wawancara dengan salah seoran guru, bahwa media yang
digunakan saat pembelajaran berlangsung adalah papan tulis dan peta konsep
yang telah disiapkan dari rumah.
4. Aspek Penilaian Pendidikan Kewarganegaraan pada setiap cluster
SMAN di Kota Bandung.
Untuk mengetahui bagaimana penilaian Pendidikan Kewarganegaraan
pada setiap cluster SMAN di Kota Bandung, dapat dilihat dari beberapa indicator,
diantaranya adalah aspek penilaian yang digunakan guru saat ujian, Fungsi
penilaian yang dilakukan oleh guru, bentuk penilaian yang dilakukan saat proses
pembelajaran berlangsung dan bentuk penilaian yang dilakukan setelah proses
pembelajaran PKn selesai.
Tabel IV.18 Aspek penilaian yang digunakan guru saat ujian PKn
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f)
Cluster 1
Cluster 2
Cluster 3
Cluster 4
Biasanya kalian mendapatkan soal-soal ujian berbentuk…
a. konsep-konsep/ teori
63,8% 75% 67,2% 67,7%
b. Konsep dan pertanyaan analisis kasus
16,7% 19,5% 24,1% 18,5%
c. Konsep dan analisis isu controversial saat ini.
6,1% 5,5% 6,8% 4,6%
d. Pembiasaan 9,1% 0% 0% 3,1% Jumlah 95,7% 100% 98,1% 93,9%
Option a, menggambarkan penilaian yang sering digunakan oleh guru
masih berupa konsep atau teori-teori (easier to achieve measure in practice),
146
sedangkan option b, c dan d, menggambarkan bahwa penilaian yang sering
digunakan oleh guru sudah bergeser pada penilaian afektif dan psikomotorik
(more difficult to achieve and measure in practice )
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan “ Penilaian berpa aspek kognitif saja”, paling tinggi berada pada
cluster 2 (75%), kemudian disusul oleh cluster 4 (67,7%), cluster 3 (67,2%) dan
cluster 1 (63,8%). Sedangkan sekolah yang memiliki kecenderungan “Penilaian
mencakup penilaian afektif dan psikomotorik”, paling tinggi berada pada cluster
1 (31,9%), kemudian disusul oleh cluster 3 (30,9%), cluster 4 (26,2%), dan
cluster 2 (25%).
Apabila dilihat secara keseluruhan, pada semua cluster, hampir sebagian
besar dari respondennya menyatakan bahwa penilaian yang digunakan oleh guru
pada setiap ujian masih berupa konsep dan teori-teori. Pada cluster 1, penilaian
yang biasa digunakan oleh guru saat ujian, masih menekankan pada ranah
kognitif, yaitu berupa konsep atau teori-teori, hal tersebut seperti kita lihat pada
sebagian besar responden (63,8%), menyatakan bahwa soal-soal ujian yang biasa
diberikan pada siswa berupa konsep-konsep atau teori-teori. Apabila kita
bandingkan dengan cluster lainnya, pada kontinum maksimum, cluster ini
memiliki kecenderungan paling baik diantara semua cluster. Dari hasil
wawancara dengan guru pada cluster 1, dimana soal-soal yang biasa diberikan
kepada siswa saat ujian, penekanannya tidak hanya ranah kognitif akan tetapi
ranah afektif. Apabila bentuk kognitif, biasanya berbentuk PG dan Essai. Dimana
147
esensinya dalam setiap butir soal tersebut terdapat konsep, teori dan analisa kasus,
sedangakan apabila berbentuk afekit, bentuknya skala sikap.
Sama halnya dengan cluster 2, penilaian yang sering digunakan oleh guru
masih menitikberatkan pada penilaian konginitif, yaitu penilaian yang terpaku
pada teori-teori. Dari tabel diatas, dapat terlihat bahwa cluster 2, pada kontinum
minimum memiliki tingkat persentase paling tinggi dibandingkan dengan cluster
lainnya. Yaitu 75% responden yang mengungkapkan bahwa soal-soal ujian yang
biasa diberikan oleh guru hanya berupa konsep-konsep atau teori. Hal tersebut
seperti apa yang telah diungkapkan GG, bahwa soal-soal ujian yang biasanya
diberikan oleh guru berbentuk Pilihan Ganda (PG) dan uraian singkat serta
analisis kasus. Adapun ungkapan yang dilontarkan oleh guru berbeda dengan
ungkapan siswa. Menurut GU1, soal-soal ujian yang biasa diberikan kepada siswa
berbentuk Teka Teki Silang (TTS).
Penilaian yang biasa digunakan oleh guru pada cluster 3 pun cenderung
masih menekankan pada ranah kognitif, yaitu berupa konsep atau teori-teori, hal
tersebut seperti kita lihat pada tabel diatas, dimana 67,2% responden menyatakan
bahwa soal-soal yang biasa diberikan saat ujian (UTS atau UAS) memuat konsep-
konsep atau teori-tori saja. Jumlah persentase tersebut cenderung lebih rendah
apablila dibandingkan dengan cluster 1 dan lebih tinggi apabila dibandinkan
dengan cluster 2 dan 4.
Tidak berbeda dengan cluster yang lain, pada cluster 4, penilaian yang
sering digunakan oleh guru pun masih berupa penilaian yang cakupannya pada
ranah kognitif yaitu konsep atau teori-teori, hal tersebut terlihat dari 67,7%
148
responden yang menyatakan bahwa saat ujian berlangsung, bentuk soal-soal yang
diberikan berupa konsep/teori-teori. Hal tersebut senada dengan apa yang
diungkapkan oleh beberapa siswa saat dilakukan wawancara, dimana soal-soal
ujian yang biasa diberikan guru saat ujian berbentuk soal-soal PG dan Essai.
Sedangkan dari hasil wawancara bersama guru, hasil yang didapat sedikit
berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh siswa, dimana menurut G1 soal-soal
ujian yang diberikan kepada siswa berbentuk Pilihan Ganda (PG) dan essai, dan
terkadang berbentuk skala sikap. Cluster ini memiliki kecenderungan bentuk
penilaian yang lebih baik apabila dibandingkan dengan cluster 2, dan lebih buruk
apabila dibandingkan dengan cluster 1 dan 3.
Tabel IV.19 Fungsi penilaian yang digunakan oleh guru
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Setelah selesai melaksanakan ujian, biasanya apa yang sering dilakukan oleh guru terhadap soal-soal tersebut?
a. Cukup dinilai saja
39,4% 20,8% 24,1% 43,1%
b. Setelah dinilai, dilanjutkan pada pembahasan hasil test kepada siswa didepan kelas
19,7% 33,4% 13,8% 12,3%
c. Selain membahas soal-soal ujian, kemudian guru merencanakan dan melaksanakan program perbaikan bagi siswa dengan nilai rendah
37,9% 45,8% 58,6% 40%
d. Selain kegiatan diatas, guru memaparkan data kemajuan belajar setiap siswa
3% 0% 3,5% 1,5%
Jumlah 100% 100% 100% 96,9% Option a, menggambarkan bahwa guru melaksanakan penilaian proses
pembelajaran PKn, hanya sebatas ingin mengetahui hasil/nilai dari hasil belajar
siswa (easier to achieve measure in practice), sedangkan option b, c dan d,
149
menggambarkan bahwa penilaian yang sering digunakan oleh guru selain untuk
melihat hasil belajar siswa, juga dijadikan umpan balik (feedback), yang
selanjutnya dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar yang
sedang atau sudah, dimana setelah selesai menilai jawaban sisiwa, kemudian guru
membahas soal-soal tersebut bersama siswa, merencanakan program perbaikan
bagi siswa yang mendapat nilai jelek, untuk kemudian guru juga menyampaikan
hasil kemajuan belajar siswa (more difficult to achieve and measure in practice )
Dari tabel di atas, dapat diketahui kecenderungan “Sekolah yang
menekankan perolehan nilai saja”, paling tinggi berada pada cluster 4 (43,1%),
kemudian disusul oleh cluster 1 (39,4%), cluster 3 (24,1%) dan cluster 2 (20,8%).
Sedangkan sekolah yang memiliki kecenderungan “Penekanan penilaian tidak
hanya pada perolehan nilai, tetapi sebagai feedback pembelajaran”, paling tinggi
berada pada cluster 2 (79,2%), kemudian disusul oleh cluster 3 (72,5%), cluster 1
(60,6%) dan cluster 4 (53,8%).
Penekanan fungsi penilaian pada semua cluster cenderung bergeser kearah
yang lebih baik, dimana pada semua cluster tersebut fungsi penilaian tidak hanya
berorientasi pada perolehan nilai, akan tetapi digunakan pula sebagai feedback
pembelajaran. Pada cluster 1, fungsi penilaian tidak hanya untuk mendapatkan
nilai saja, akan tetapi 19,7% responden menyatakan bahwa setelah ditilai,
kemudian guru melaksanakan pembahasan soal, sedangkan 37,9% responden
menyatakan pula bahwa setelah guru melaksanakan pembehasan maka guru
melaksanakan penjadwalan untuk remidial bagi siswa yang mendapatkan nila
dibawah standar. Dan 3% diantaranya menyatakan pula bahwa guru membacakan
150
perkembangan hasil belajar siswa. Kondisi ini, senada dengan apa yang
disampaikan oleh GR1 saat wawancara, dimana setelah melaksanakan ujian,
biasanya GR1 memeriksan soal tersebut, kemudian soal-soal dianalisis untuk
mengetahui apakah Valid atau tidak. Setelah itu, melaksanakan remedial bagi
siswa yang mendapatkan nilai dibawah standar yang telah ditetapkan.
Sama halnya dengan cluster 1, pada cluster 2, tujuan guru dalam
melaksanakan penilaian selain digunakan untuk melihat hasil belajar siswa, juga
dijadikan umpan balik (feedback), yang selanjutnya dapat digunakan untuk
memperbaiki proses belajar mengajar yang sedang atau sudah, hal ini dapat
terlihat dari sebagian bersar responden (79,2%), yang menyatakan bahwa, setelah
menilai soal-soal, guru membahasnya didepan kelas bersama siswa, kemudian
guru merencanakan dan melaksanakan program perbaikan bagi siswa dengan nilai
rendah. selain itu, pada kontinum maksimum, cluster ini memiliki tingkat
persentase paling tinggi dibandingkan dengan cluster lainnya. Begitu pula dengan
cluster 3, dimana Penekanan fungsi penilaian sudah bergeser kearah yang lebih
baik, hal tersebut dapat terlihat dari kecenderungan responden (72,5%), yang
menyatakan bahwa setelah menilai soal-soal, guru membahasnya didepan,
kemudian guru merencanakan dan melaksanakan program perbaikan bagi siswa
dengan nilai rendah. Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh GR1, bahwa
setelah selesai ujian soal-soal dianalisis mana soal yang valida dan yang tidak
valid, kemudian biasanya melaksanakan pembahasan atas soal-soal tersebut.
Apabila anak mendapat nilai jelek, biasanya diremidial. Kecenderungan
penekanan fungsi penilaian pada cluster ini, masih cenderung lebih baik apabila
151
dibandingkan dengan custer 1 dan 4, akan tetapi masih lebih jelek apabila
dibandingkan dengan cluster 3.
53,8% responden pada cluster 4, menyatkan bahwa setelah ujian selesai,
biasanya guru membagikan nilai ujian kemudian melaksanakan remedial bagi
siswa yang mendapatkan nilai dibawah standar. Akan tetapi, sebagian responden
(43,1%) menyatakan bahwa setelah selesai ujian, guru hanya menilai hasil ujian
saja dan membahasnya didepan kelas, tanpa diteruskan pada remedial bagi siswa
yang mendapat nilai rendah. Apabila kita lihat perbandingan antar empat cluster,
cluster 4 memiliki kecenderungan persentase paling tinggi diantara cluster
lainnya.
Tabel IV.20 Penilaian proses pembelajaran PKn
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Selama proses pembelajar-an PKn, tugas yang sering diberikan oleh guru berbentuk apa?
a. Pengerjaan soal-soal PG dan Essai dalam Buku Paket
48,5% 6,5% 0% 29,2%
b. Pengerjaan soal-soal PG dan Essai dalam LKS
30,3% 73,6% 86,2% 49,2%
c. Diskusi kelompok untuk menganalisis kasus
18,2% 2,8% 10,4% 9,2%
d. Bermain peran 3% 4,2% 3,4% 7,7% Jumlah 100% 87,1% 100% 95,3%
Option a dan b, menggambarkan bahwa penilaian proses pembelajaran
PKn menitik beratkan pada aspek kognitif siswa, yaitu pemberian penilaian yang
terpaku pada soal-soal yang berada pada buku paket dan LKS (easier to achieve
measure in practice), sedangkan option c dan d, adalah option yang
menggambarkan bahwa penilaian proses pembelajaran PKn sudah mencakup
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, yaitu dengan pemberian tugas diskusi
dan bermain peran (interactive interpretation).
152
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa kecenderungan “Penilaian proses
dalam pembelajaran PKn yang masih menitik beratkan pada aspek kognitif”,
paling tinggi berada pada cluster 3 (86,2%), kemudian disusul oleh cluster 2
(80,1%), cluster 1 (78,8%) dan cluster 4 (78,4%). Sedangkan sekolah yang
memiliki kecenderungan “Penilaian proses pembelajaran PKn mencakup aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik”, paling tinggi berada pada cluster 1 (21,2%),
kemudian disusul oleh cluster 4 (16,9%), cluster 3 (13,8%) dan cluster 2 (7%).
Apabila dilihat kembali, sebagian besar responden pada semua cluster
menyatakan bahwa aspek penilaian yang diberikan selama ujian masih berpusat
pada aspek kognitif. Pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa pada cluster 1,
penilaian yang digunakan saat proses pembelajaran masih menitik beratkan pada
aspek kognitif siswa, hal tersebut dapat diketahui dari jawaban 78,8% responden
yang menyatakan bahwa selama proses pembelajaran berlangsung, tugas yang
biasa diberikan oleh guru adalah mengerjakan soal-soal PG dan Essai yang
terdapat dalam buku paket dan LKS, hal tersebut dibenarkan oleh GR2, dimana
saat proses pembelajaran biasanya tugas yang diberikan kepada siswa ialah
mengerjakan soal-soal. Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa pada cluster 1,
kecenderungan penilaian porses pembelajaran paling baik apabila dibandingkan
dengan cluster lainnya.
Sama halnya dengan cluster 1, pada cluster 2, penilaian yang digunakan
selama proses pembelajaran PKn, masih menitik beratkan pada aspek kognitif, hal
ini dapat kita lihat dimana sebagian besar responden (80,1%) menyatakan bahwa
selama proses pembelajaran berlangsung, tugas yang paling sering diberikan oleh
153
guru ialah tugas untuk mengerjakan PG dan essai yang terdapat dalam LKS dan
buku paket. Hal tersebut seperti apa yang diungkapkan oleh beberapa orang siswa
dimana tugas yang biasa disampaikan guru saat pembelajaran ialah mengerjakan
tugas dalam LKS dan buku paket. Sedangkan menurut Guru, saat proses
pembelajaran berlangsung, tugas-tugas yang biasa diberikan berupa tanya jawab,
secara lisan. Kecenderungan tersebut
Pada cluster 3 dan 4 pelaksanaan penilaian selama proses pembelajaran
PKn, masih menitik beratkan pada aspek kognitif, hal ini dapat kita lihat pada
tabel diatas, dimana pada kontinum minimum cluster 3, menempati urutan
tertinggi, yaitu 86,2% responden yang menyatakan bahwa selama proses
pembelajaran berlangsung, tugas yang paling sering diberikan oleh guru ialah
tugas untuk mengerjakan PG dan essai yang terdapat dalam LKS dan buku paket.
Hal tersebut, sedikit berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh guru, selama
proses pemelajaran berlangsung tugas yang biasa diberikan ialah diskusi,
mengerjakan LKS, tugas kliping atau mencari data-data di luar.
Kecenderungan tersebut diperkuat dengan penuturan beberapa siswa pada
cluster 4, yang menyatakan bahwa saat proses pembelajaran berlangsung, bisanya
guru memberikan soal-soal Pilihan Ganda PG. sedangkan pada kelas X, saat
proses pembelajaran biasanya guru memberikan tugas untuk mengerjakan soal-
soal melalui diskusi. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh G1, yang
menyatakan bahwa saat proses pembelajaran berlangsung, biasanya tugas yang
diberikan berbentuk pertanyaan langsung kepada siswa, kemudian menyuruh
siswa untuk membuat teka-teki silang serta mengartikan istilah-istilah penting.
154
Tabel IV.21 Gambaran penilaian setelah pembelajarn PKn
Pertanyaan Jawaban Frekuensi (f) Cluster
1 Cluster
2 Cluster
3 Cluster
4 Tugas rumah, yang sering diberikan oleh guru, berbentuk…
a. Tugas untuk mengerjakan buku paket
24,2% 0% 1,7% 35,4%
b. Tugas untuk mengerjakan soal-soal dalam LKS
21,2% 66,7% 70,7% 41,5%
c. Selain tugas LKS dan buku paket, juga tugas untuk mendapatkan data-data dari beberapa media informasi atau beberapa lembaga.
45,5% 29,1% 22,5% 18,5%
d. Selain mengerjakan LKS dan Buku paket, juga tugas untuk melakukan obsrvasi / pengamatan
9,1% 4,2% 5,1% 0%
Jumlah 100% 100% 100% 95,4
Option a dan b, menggambarkan bahwa penilaian setelah pembelajaran
PKn masih menitik beratkan pada aspek kognitif siswa, yaitu penugasan yang
terpaku pada buku dan LKS. (easier to achieve measure in practice), sedangkan
option c dan d, menggambarkan bahwa penilaian PKn yang dilakukan sudah
mencakup ranah afektif dan psikomotorik (more difficult to achieve and measure
in practice)
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sekolah yang memiliki
kecenderungan “ Penilaian pada aspek kognitif”, paling tinggi berada pada cluster
4 (76,9%), kemudian disusul oleh cluster 3 (72,4%), cluster 2 (66,7%) dan cluster
1 (45,4%). Sedangkan sekolah yang memiliki kecenderungan “Penilaian sudah
pada ranah afektif dan psikomotorik”, paling tinggi berada pada cluster 1
(54,6%), kemudian disusul oleh cluster 2 (33,3%), cluster 3 (27,6%) dan cluster 4
(18,5%).
Adapun aspek penilaian yang biasa diberikan setelah pembelajaran PKn
pada cluster 1, sudah menuju pada ranah afektif dan psikomotorik, hal tersebut
155
dapat kita lihat pada tabel diatas, dimana sebagian besar responden (54,6%),
menyatakan bahwa tugas rumah yang biasa diberikan oleh guru selain
mengerjakan soal-soal PG dan essai dalam buku paket dan LKS, juga mencari
data-data yang berada pada beberapa media informasi atau lembaga tertentu serta
melakukan observasi. Dan apabila dibandingkan dengan jumlah persentase pada
cluster lain, pada kontinum maksimum, cluster ini memiliki jumlah persentase
tertinggi.
Berbeda halnya dengan tiga cluster lainnya, yaitu cluster 2, 3 dan 4.
Kecenderungan aspek penilaian yang biasa diberikan setelah pembelajaran PKn,
masih menitik beratkan pada aspek kognitif siswa, yaitu penugasan yang terpaku
pada buku paket dan LKS, hal tersebut dapat dilihat dari penyataan 66,7%
responden (pada cluster 2), 72,4% responden (pada cluster 3) dan 76,9% (pada
cluster 4), yang menyatakan bahwa tugas yang biasa diberikan oleh guru setelah
pembelajaran berakhir ialah tugas untuk mengerjakan soal-soal PG dan essai yang
terdapat dalam buku paket dan LKS. Dari hasil wawancara yang dilaksanakan
dengan siswa pada cluster 2, menyatakan bahwa tugas tugas yang biasa diberikan
setelah pembelajaran berakhir ialah tugas untuk mengerjakan LKS serta tugas
untuk merangkum materi yang telah diberikan. Pada cluster 3, menurut FS tugas
yagn diberikan oleh guru setelah pembelajaran berakhir ialah mengerjakan soal-
soal yang terdapat dalam LKS. Begitu pula dengan hasil wawancara dengan
siswa pada cluster 4 (G1, ma Dan AR), dimana tugas yang diberikan setelah
proses pembelajaran berakhir bisanya berbentuk tugas LKS (apabila tugas
individu), sedangkan bila tugas kelompok misalnya dengan tugas untuk membuat
156
makalah atau kliping. Sedangkan pada kelas yang berbeda, dengan guru yang
berbeda pula, MA dan AR menyatakan bahwa setelah proses pembelajaran
berakhir, guru jarang memberikan tugas. Dan apabila dilihat, cluster ini memiliki
jumlah persentase tertinggi diantara cluster lainnya.
C. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
1. Semakin baik Cluster sekolah, cenderung mengembangkan isi
Pendidikan Kewarganegaraan lebih kearah values based daripada
knowledge based
David Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4) dalam kajian
internasionalnya yang dilakukan bersama School Curriculum and Assessment
Authority (SCAA) melalui “National Foundation for Educationnal Research in
England and Wales (NFER)”, mendefinisikan secara operasional istilah
“citizenship education” sebagai berikut:
Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilties as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching, and learning) in that preparatory process. Maksud dari pernyataan di atas adalah “pendidikan kewarganegaraan
dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk
mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara
khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan
belajar, dalam proses penyiapan warga negara tersebut” (Winataputra dan
Budimansyah, 2007:4).
157
Dari pengertian diatas tampak bahwa dalam studi tersebut, “citizenship
education” atau pendidikan kewarganegaraan “dilihat sebagai suatu domain
pendidikan yang bersifat multi dimensional dan tersebar secara programatik dalam
keseluruhan tatanan kurikulum” (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4).
Karena PKn bersifat multi dimensional, maka bahan kajian PKn meliputi
seluruh aspek kehidupan warga negara di segala bidang. Dimana aspek
kehidupan warga negara tersebut diadaptasi ke dalam suatu tatanan kurikulum
yang terprogram secara teratur dengan harapan dapat memberikan alternatif solusi
bagi permasalahan yang dialami oleh warga negara. Margaret S. Branson (1999:8)
mengidentifikasi tiga komponen penting dalam Pendidikan Kewarganegaraan,
yaitu “Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), Civic Skills
(keterampilan kewarganegaraan), dan Civic Dispositions (watak-watak
kewarganegaraan)”.
Komponen pertama, Civic Knowledge “berkaitan dengan kandungan atau
nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara” (Branson, 1999:8). Aspek
ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari
berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Dengan demikian, mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian multidisipliner.
Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi
pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga negara, hak asasi manusia,
prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non-pemerintah,
identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang
158
bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam
masyarakat.
Kedua, Civic Skills meliputi keterampilan intelektual (intelectual skills) dan
keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah keterampilan dalam merespon
berbagai persoalan politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD. Ketiga,
Civic Disposition (Watak-watak kewarganegaraan), komponen ini sesungguhnya
merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran
PKn. Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai "muara" dari
pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan
tujuan mata pelajaran PKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan
penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat
afektif.
Oleh karena itu, untuk mencapai ketiga komponen tersebut, isi atau
contentt materi Pendidikan Kewarganegaraan harus menekankan pada tiga aspek
penting dalam pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Hal ini
seperti apa yang diungkapkan oleh Djahiri (1985:6), dimana tiga sasaran yang
hendaknya tercapai dalam suatu proses pembelajaran PKn , yaitu: “Hal ihwal
pengetahuan, hal ihwal sikap atau afektif, dan hal ihwal kelakuan dan atau
keterampilan (psikomotorik).” Menurut Fraenkel (Djahiri, 1985:14-55), yang
termasuk pada ranah kognitif ialah pengetahuan (recall), Pemahaman
(Comprehension), Aplikasi (application), Analisis (analysing), Sintesis dan
Evaluasi. Ranah afektif ialah Penerimaan (receving), Respon (Responding),
159
Menilai (evaluating), Mengorganisir (Organizing), Karakterisasi
(Characterizing). Dan ranah psikomotorik ialah Persepsi , Kesiapan, Imitasi,
Peningkatan dan Orisinalisasi.
Akan tetapi, dalam pelaksanaan dilapangan, penekanan ketiga ranah
tersebut (kognitif, afektif dan psikomotorik) belum mampu diimplementasikan
secara optimal. Hal ini seperti apa yang dikemukanakan Winataputra dan
Budimansyah (2007:121), dimana beberapa indikasi empirik yang menunjukkan
salah satu kesalahan tersebut antara lain adalah :
Proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih menekankan pada dampak Instructional (intructional effects) yang terbatas pada penguasaan materi (contentt mastery) atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kognitifnya saja. Sedangkan pengembangan dimensi-dimensi lainnya (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan dampak pengiring (nurturant effects) sebagai “hidden curriculum” belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya (Winataputra dan Budimansyah, 2007:118).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap empat cluster, kecenderungan
pengembangan isi Pendidikan Kewarganegaraan SMAN di kota bandung, dapat
dilihat dari score rata-rata setiap cluster, yang terdapat dalam tabel dibawah ini:
Tabel IV.22 Kecenderungan isi Pendidikan Kewarganegaraan SMAN di Kota Bandung
NAMA CLUSTER
KONTINUM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Knowledge Based Value Based
CLUSTER 1 42,4% 57,8%
CLUSTER 2 45,6% 54,4%
CLUSTER 3 20,1% 79,9%
CLUSTER 4 47,7% 47,1%
Seluruh Cluster 38,95% 59,8%
160
Dari tabel di atas, kecenderungan pengembangan isi Pendidikan
Kewarganegaraan pada titik minimum (Knowledge based), paling tinggi berada
pada cluster 4 (47,7%), kemudian cluster 2 (45,6%), cluster 1 (42,4) dan cluster 3
(20,1%). Sedangkan kecenderungan pengembangan isi Pendidikan
Kewarganegaraan pada titik maksimum (Value Based), paling tinggi berada pada
cluster 3 (79,9%), kemudian disusul oleh cluster 1 (57,8%), cluster 2 (54,4%),
dan cluster 4 (47,1%).
Apabila kita lihat secara keseluruhan, semakin baik cluster, kecenderungan
pengembangan isi Pendidikan Kewarganegaraan lebih kearah value based dari
pada knowledge based, hal ini terbukti dari jumlah persentase cluster 1 pada
kontinum maksimum (value based) lebih tinggi dibandingkan dengan dua cluster
lainnya (cluster 2 dan 4), begitupun cluster 2 memiliki jumlah persentase yang
lebih tinggi dibandingkan dengan cluster 4. Akan tetapi pada cluster 3,
pengemabangan isi PKn lebih baik dari cluster lainnya, termasuk cluster 1. Pada
kontinum minimum (knowledge based), jumlah persentase cluster 1 lebih rendah
dari pada dua cluster lainnya (cluster 2 dan 4), begitupun cluster 2 memiliki
jumlah persentase yang lebih rendah dari cluster 4. Akan tetapi, cluster 3 memiliki
kecenderungan pengembangan isi PKn lebih rendah dari semua cluster lainnya.
Pada titik maksimum, cluster 3 berada pada urutan paling atas, hampir
disemua aspek yang peneliti tilai, dimulai dari aspek penekanan yang paling
sering dilakukan oleh guru saat menyampaikan materi (system politik Indonesia),
penerimaan siswa (receiving) terhadap materi, respon siswa (responding) atas
materi yang disampaikan, kemampuan menilai (valueing) serta mengkaji suatu
161
permasalahan yang timbul, hingga dampak atas materi yang disampaikan pada
pembentukan sikap (characterizing) atau prinsip siswa.
Kondisi diatas, dapat semakin tergambarkan dengan melihat hasil studi
dokumentasi terhadap Silabus setiap cluster. Berdasarkan hasil penelitian, standar
isi PKn di SMAN Kota Bandung dikembangkan kedalam Silabus dan Rencana
Pelakasanaan Pembelajaran (RPP). Silabus menurut Badan Standar Nasional
Pendidikan (BNSP, 2006:14) ialah:
Rencara pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pokok pembelajaran, indikator, peniliaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Adapun prinsip-prinsip pengembangan silabus menurut Badan Standar
Nasional Pendidikan (BNSP, 2006:14) ialah:
1. Ilmiah, artinya keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat diperatanggungjawabkan secara keilmuan.
2. Relevan, artinya cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran, dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengna tingkat perkembangan fisik, intelektual, social, emosional, dan spiritual peserta didik.
3. Sistematis, artinya komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi.
4. Konsisten, artinya adanya hubungan yang ajeg antara kompetensi dasar, indikator, materi pokik pembelajran, kegiatan pembelajran, sumber belajra dan system penilaian.
5. Memadai, artinya cakupan indikator, materi pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan system penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi dasar.
6. Actual dan kontekstual, artinya cakupan indikator, materi pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan system penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir, dalam kehidupan nyata da peristiwa yang terjadi.
162
7. Fleksibel, artinya keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan masyarakat.
8. Menyeluruh, artinya komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Setelah silabus tersebut disusun, selanjutkan silabus tersebut dijabarkan
lebih detail kedalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP merupakan
“penjabaran dari silabus yang telah disusun pada langkah sebelumnya. RPP
disusun untuk sertiap kali pertemuan. Didalan RPP tercermin kegiatan yang
dilakukan guru dan peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah
ditetapkan” (Pusat Kurikulum, 2006:8).
Berdasarkan penelitian, pengembangan standar isi dalam silabus di
SMAN Kota Bandung telah disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku.
Kurikulum menurut BSNP (2006:5) ialah “Seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegaiatan pembelajaran untuk pencapaian tujuan
pendidikan tertentu.”
Untuk mengetahui perbedaan pengembangan isi Pendidikan
Kewarganegaraan, dapat kita telaah melalui standar kompetensi, kompetensi
dasar, dan indikator dari setiap Cluster SMAN di Kota Bandung. Salah satunya
dapat kita lihat dalam standar kompetensi “Menganalisis Sistem Politik
Indonesia”. Kata oprasional “menganalisis” merupakan lingkup urutan taksonomi
keempat dalam domain kognetif yang dikemukakan oleh J.R. Fraenkel (Djahiri,
1985:14), yaitu analisis (analysing). Tujuan dari analyzing atau analisis ialah agar
mampu “mengenali hal yang tidak diungkap; mengenali hal yang salah/keliru;
163
membedakan; menyimpulkan; mempertautkan antar…; membaca keadaan/
bagian/ fakta/ data / fikiran dll.” Dengan demikian, dalam standar kompetensi
“Menganalisis Sitem Politik Indonesia”, siswa harus dapat mengenali hal yang
tidak diungkap dalam sistem politik di Indonesia; membedakan; menyimpulkan;
mempertautkan antar…; membaca keadaan/ bagian/ data/ fikiran, dan lain-lain
dalam sistem politik di Indonesia.
Dalam standar kompetensi tersebut terdapat tiga kompetensi dasar
dengan kata oprasionalnya adalah “mendeskripsikan, dan menampilkan”. Kata
“mendeskripsikan” dapat kita sinonimkan dengan kata “menggambarkan.”
Menurut Fraenkel (Djahiri, 1985:14-15), kata kunci “menggambarkan” termasuk
ke dalam likup urutan taksonomi kedua dalam domain kognetif, yaitu
(comprehension), dan termasuk juga ke dalam lingkup urutan taksonomi keempat
dalam domain afektif, yairu mengorganisir (organizing). Tujuan dari
comprehension atau pemahaman menurut Fraenkel adalah “agar memahami,
mengerti, mampu memperhitungkan, dapat menafsirkan, mampu menerjemahkan,
mengemukakan dalam bahasanya sendiri, dll.” Sedangkan tujuan dari organizing
atau mengorganisir ialah agar “lahir kebutuhan untuk menyerap/ mempelajari/
menerima/ menolak/ mengoreksi diri; mampu memperjelas/ mengklasifikasikan
diri dan menginternalisasi, memahami keadaan diri; menyadari akan perlunya/
pentingnya sesuatu.” Dengan demikian, siswa harus mampu memahami, mengerti,
mampu memperhitungkan, dapat menafsirkan, mampu menterjemahkan,
mengemukakan dalam bahasanya sendiri tentang sistem politik di Indonesia; serta
lahir kebutuhan untuk menyerap/ memperlajarai/ menerima/ menolak/ mengoreksi
164
diri; mampu memperjelas/ mengklasifikasi diri dan menginternalisasi, memahami
keadaan diri; menyadari akan perlunya/ pentingnya sesuatu dalam sistem politik
di Indonesia.
Untuk kompetensi dasar berikutnya, menggunkan kata oprasional
“menampilkan”, kata ini dapat kita sinonimkan dengan kata
“mendemonstrasikan”. Menurut Fraenkel ( Djahiri, 1985: 14-15), kata kunci dari
“mendemonstrasikan” termasuk dalam taksonomi ketiga dalam domain kognitif,
yaitu aplikasi (application) dan termasuk juga kedalam domain afektif, yaitu
mengorganisir (organizing). Tujuan dari application atau aplikasi menurut
Fraenkel (Djahiri, 1985: 14), ialah agar “menerapkan konsep ke dalam realita;
menggunakan teori/ hokum dalam situasi/ keadaan/ kehidupan yang aneka ragam;
membuat bagan/ skema; menunjukkan penggunaan prosedur; dll.” Sedangkan
tujuan dari “organizing” telah dibahas sebelumnya. Dengan demikian siswa harus
mampu untuk menerapkan konsep sistem politik ke dalam realita; menggunakan
teori/ hukum dalam situasi/ keadaan/ kehidupan yang aneka ragam; membuat
bagan skema; menunjukkan penggunaan prosedur; serta lahir kebutuhan untuk
menyerap/ mempelajari/ menerima/ menolak/ mengoreksi diri; mampu
memperjelas/ mengklasifikasikan diri dan menginternalisasi, memahami keadaan
diri; menyadari akan perlunya/ pentingnya sesuatu dalam sistem politik di
Indonesia.
Kompetensi dasar tersebut kemudian dijabarkan ke dalam beberapa
indikator. Dimana dalam indikator tersebut, terdapat beberapa kata-kata
oprasional yang digunakan oleh setiap guru untuk menjabarkan indikator tersebut,
165
hal tersebut yang akan peneliti bandingkan dari setaiap cluster. Pada cluster 1,
kompetensi dasar tersebut dijabarkan kedalam 9 indikator, dimana kata-kata
oprasional yang digunakan ialah ”menganalisis, mendeskripsikan (tiga indikator),
menguraikan, menunjukan (tiga indikator), mengidentifikasi serta berberan ”.
Pada cluster 2 kompetensi dasar tersebut dijabarkan kedalam 8 indikator, dimana
kata-kata oprasional yang digunakan ialah: ”menjelaskan, mendeskripsikan (dua
indikator), menyebutkan, menganalisis (dua indikator), mendemonstrasikan,
melaksanakan.” Pada cluster 3 kompetensi dasar tersebut dijabarkan kedalam 11
indikator, yaitu : ”menjelaskan (dua indikator), membedakan (dua indikator),
melaksanakan, menyimpulkan, meyakini (dua indikator), mengikuti bentuk,
mendukung, menganalisis” dan pada cluster 4 kompetensi dasar tersebut
dijabarkan kedalam 5 indikator, yaitu: ”mendeskripsikan (dua indikator),
mengidentifikasi, menguraikan, dan mengkaji.”
Pada cluster 1, kata oprasional yang digunakan, yaitu ”menganalisis,
mendeskripsikan, menguraikan, menunjukan, mengidentifikasi serta berperan.”
kata ”menganalisis” dan ’deskripsikan” telah dijelaskan diatas, kata
”menguraikan” menurut Fraenkel (Djahiri, 1985:14-16) termasuk pada taksonomi
kedua pada kawasan kognitif dan taksonomi pertama pada kawasan psikomotorik.
Kata ”menunjukan” termasuk taksonomi pertama pada kawasan kognitif. Kata
”mengidentifikasi” termasuk taksonomi pertama pada kawasan kognitif dan
termasuk juga pada kawasan afektif taksonomi pertama. Adapun kata ”berperan”
termasuk pada kawasan afektif pada taksonomi empat.
166
Kata-kata oprasional yang digunakan pada cluster 2 ialah: ”menjelaskan,
mendeskripsikan, menyebutkan, menganalisis, mendemonstasikan,
melaksanakan.” kata ”mendeskripsikan dan menganalisis” telah dibahas
sebelumnya. Kata ”menjelaskan’ menurut Fraenkel (Djahiri, 1985:14-16),
termasuk pada ranah kognitif tingkat pertama. Kata ”menyebutkan” termasuk
pada ranah kognitif taksonomi pertama. Kata ”mendemonstrasikan” termasuk
pada kawasan afektif tingkat empat. Dan kata ”mencintai” termasuk kawasan
afektif kelompok kelima.
Kata-kata oprasional yang digunakan pada cluster 3 ialah: ”menjelaskan,
membedakan, melaksanakan, menyimpulkan, meyakini, mengikuti bentuk,
mendukung, menganalisis”. Kata oprasional ”menjelaskan” menurut Fraenkel
(Djahiri, 1985:14-16) termasuk pada kawasan kognitif taksonomi kedua. Kata
”membedakan” termasuk pada kawasan kognitif taksonomi ketiga dan kawasan
afektif pada taksonomi ketiga. Kata ”melaksanakan” termasuk pada kawasan
afektif taksonomi keempat. Adapun kata ”menyimpulkan” dikategorikan
termasuk pada kawasan kognitif taksonomi keenam. Kata ”meyakini” termasuk
pada taksonomi terakhir pada kawasan afektif. Kata ”mengikuti bentuk”, kata ini
dapat dipersamakan dengan kata ”meniru” yang merupakan kata yang terdapat
pada taksonomi ketiga pada kawasan psikomotorik. Kata ”mendukung” dapat
dipersamakan dengan kata ”menyatakan posisi/tanggapannya”, dimana kata ini
termasuk pada kawasan afektif taksonomi ke empat. Adapun kata oprasional
”menganalisis” telah dijelaskan dimuka.
167
Pada cluster terakhir (cluster 4), kompetensi tersebut dijabarkan pada
lima indikator, dengan menggunakan beberapa kata oprasional, yaitu:
”mendeskripsikan, mengidentifikasi, menguraikan, dan mengkaji.” pada kata
oprasional yang pertama, yaitu ”mendeskripsikan” telah dibahas diawal. Kata
berikutnya ialah kata ”mengidentifikasi” menurut Fraenkel (Djahiri, 1985:14-16)
termasuk pada taksonomi pertama kawasan kognitif dan termasuk juga pada
kawasan afektif taksonomi pertama. Kata ”menguraikan” termasuk pada kawasan
kognitif taksonomi kedua. Sedangkan kata ”mengkaji” termasuk pada kawasan
kognitif taksonomi keenam dan termasuk pula pada kawasan afektif taksonomi ke
tiga.
Dari uraian diatas, diketahui diantara empat cluster SMAN di Kota
Bandung, pada cluster 3 guru mampu menjabarkan kompetensi dasar kedalam
beberapa indikator yang beragam, yang mampu mewakili domain kognitif, afektif
serta psikomotorik. Dan apabila dibandingkan dengan cluster lainnya (cluster 1, 2
dan 4), pengembangan isi materi PKn pada cluster 3 lebih kearah value based dari
pada knowledge based. Begitupula dengan cluster 1 apabila dibandingkan dengan
cluster 2 dan 4. Dan cluster 2 apabila dibandingkan dengan cluster 4.
2. Semakin baik cluster sekolah, pencapaian visi dan misi Pendidikan
Kewarganegaraan untuk membentuk Warga Negara yang baik dan
cerdas, cenderung menuju arah inclusive dari pada exclusive
Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran
yang dibentuk dengan tujuan (visi) untuk mempersiapkan generasi muda bangsa
168
menjadi warga negera yang baik dan cerdas (good citizenship). Untuk membentuk
generasi tersebut, setiap guru Pendidikan Kewarganegaraan harus mampu melatih
siswa agar mampu menganalisis, berfikir kritis, bersikap dan bertindak demokratis
dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Sepertia apa yang diungkapkan oleh Djahiri (1985:3), bahwa “PKn
merupakan bidang studi yang mengembangkan trifungsi peran yang diantaranya
adalah membina manusia Indonesia yang melek masalah yaitu tau persoalan,
kendala dan kesulitas yang dihadapi dirinya.”
Untuk mencapai tujuan tersebut, mata pelajaran ini tidak dapat berdiri
sendiri (exclusive) akan tetapi harus dikombinasikan (combine) dengan disiplin
ilmu lain, terutama disiplin ilmu pada rumpun sosial, seperti mata pelajaran
Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, dan Agama. Hal ini, seperti
perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) di Pakistan yang
tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah politik dari Negaranya, Dean
(2000:75-96).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap empat cluster SMAN di Kota
Bandung, kecenderungan pencapaian visi dan misi Pendidikan Kewarganegaraan
untuk membentuk Warga Negara yang baik dan cerdas dapat dilihat dari score
rata-rata setiap cluster, dibawah ini:
169
Tabel IV.23 Kecenderungan Pencapaian Visi Dan Misi Pendidikan Kewarganegaraan Untuk
Membentuk Warga Negara Yang Baik Dan Cerdas
NAMA CLUSTER
KONTINUM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
exclusive Inclusive
CLUSTER 1 28,05% 71,95%
CLUSTER 2 37,50% 61,83%
CLUSTER 3 27,57% 72,43%
CLUSTER 4 44,23% 49,975%
Seluruh Cluster 34,34% 64,05%
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa kecenderungan pencapaian visi
dan misi pendidikan kewarganegaraan untuk membentuk warga negara yang baik
dan cerdas, pada kontinum minimum (exclusive), paling tinggi berada pada cluster
4 (44,23%), kemudian cluster 2 (37,5%), cluster 1 (28,05%) dan cluster 3
(27,57%). Sedangkan kecenderungan pencapaian visi dan misi pendidikan
kewarganegaraan untuk membentuk warga yang baik dan cerdas, pada kontinum
maksimum (inclusive), paling tinggi berada pada cluster 3 (72,425%), kemudian
disusul oleh cluster 1 (71,95%), cluster 2 (61,83%), dan cluster 4 (49,975%).
Apabila kita lihat secara keseluruhan, semakin baik cluster sekolah,
pencapaian visi dan misi pendidikan kewarganegaraan untuk membentuk warga
negara yang baik dan cerdas cenderung menuju arah inclusive dari pada exclusive.
Hal ini terbukti dari jumlah persentase cluster 1 pada kontinum maksimum
(inclusive) lebih tinggi dibandingkan dengan dua cluster lainnya (cluster 2 dan 4),
begitupun cluster 2 memiliki jumlah persentase yang lebih tinggi dibandingkan
170
dengan cluster 4. Akan tetapi pada cluster 3, pengembangan isi PKn lebih tinggi
dari cluster lainnya. Pada kontinum minimum (exclusive), jumlah persentase
cluster 1 lebih rendah dari pada dua cluster lainnya (cluster 2 dan 4), begitupun
cluster 2 memiliki jumlah persentase yang lebih rendah dari cluster 4. Akan tetapi,
cluster 3 memiliki kecenderungan pengembangan isi PKn lebih rendah dari
semua cluster lainnya.
Keadaan tersebut dapat semakin terlihat, apabila mengupas hasil
wawancara bersama guru-guru PKn di empat cluster tersebut. Guru PKn pada
cluster 3 dan 1, menyatakan bahwa “PKn merupakan materi yang tidak dapat
berdiri sendiri, perlu banyak tambahan dari materi pada mata pelajaran yang
lainnya (Sejarah, Agama, Sosiologi, Geografi dan Ekonomi)”, oleh karena itu,
guru-guru pada dua cluster ini, telah mewajibkan mata Pelajarannya (PKn)
dikaitkan dengan materi-materi pada rumpun sosial serta isu-isu terhangat yang
ada dalam masyarakat. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh
Somantri (2001:158), dimana terdapat beberapa unsur yang terkait dengan
pengembangan PKn, antara lain:
a. Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu.
b. Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional. c. Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan. d. Disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya “ide fundamental” Ilmu
Kewarganegaraan. e. Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD 1945 dan perundangan
negara serta sejarah perjuangan bangsa. f. Kegiatan dasar manusia. g. Pengertian pendidikan IPS
171
Disamping itu, untuk mengetahui lebih jelas tentang bagaimana
seharusnya penyelenggaraan Pendidikan Kewarganegaraan dipersekolahan,
dimulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan
Sekolah Menengah Atas (SMA), akan dijelaskan dengan bagan perkembangan
dan Program Civic Education dibawah ini:
Bagan IV.2
Bagan perkembangan dan program Civic Education
Ket: 1) Sebagian dari ilmu politik, Political Democracy untuk pelajaran di sekolah,
mula-mula civil government, kemudian civic 1970. 2) Timbulnya gerakan Civic Education 1901, oleh Howrd Wilson, karena
pelajaran Civic kurang berusaha memenuhi kebutuhan pelajaran aspek pendidikan dan kebutuhan masyarakat.
3) Civic education 1971 mendapat perhatian yang luas di Amerika Serikat.
ILMU-ILMU
SOSIAL
ETIKA, AGAMA
TEKNOLOGI
SCIENCE
POSITIVE
INFLUENCES
MASYARAKAT
INFORMAL
CONTENTT
KONSTITUSI
NEGARA
PSIKOLOGI
SOSIAL
TEORI MENGAJAR
BELAJAR
PROSES BERFIKIR
TRANSFER
PERCEPTION
AQUIRING SKILL
GENERALISATION
AFFECTIVE
LEARNING
PERSONALITY AND
ADJUSMENT
X1 E X1
X2 F X2
X3 G X3
2
EDUCATION
5
6
4
CIVICS
ILMU POLITIK
EDUCATION
CIVIC
1
CIVIC EDUCATION
3
A
I B
K
C D
K
B
172
4) Civic Education diperkaya dengan berbagai sumber pengetahuan dan positive influence dari sekolah, keluarga dan masyarakat.
5) Konsep-konsep psikologi pendidikan sebagai alat untuk mendapatkan civic education.
6) A,B,C dan D adalah scope civic education yang sudah diperkaya. Kerucut EFG adalah inti civic education, yaitu political democracy. Tanda X1,X2,X3 dari sumber lain yang dimabil untuk memperkaya civic education. X1 E X1 adalah program civic education untuk Sekolah Dasar X2 F X2 adalah program civic education untuk SLTP X3 G X3 adalah program civic education untuk SMA
Jika menelaah point (4) dapat diketahui bahwa civic education diperkaya
dengan berbagai sumber pengetahuan, dari rumpun ilmu social, etika, science,
positive influence masyarakat, informal contentt, dan kontitusi Negara, sehingga
dapat memperkaya wawasan siswa, selain itu dapat berguna secara nyata bagi
kebutuhan pribadi siswa, masyarakat dan Negara, Numan Somantri (1969:48).
Berbeda halnya dengan guru PKn pada cluster 2, dimana saat
menyampaikan materi PKn, jarang sekali dikaitkan dengan mata pelajaran
Agama, Geografi dan Ekonomi. Adapun mata pelajaran yang sering dikaitkan
dengan mata pelajaran PKn ialah mata pelajaran Sosiologi. Hal ini seperti hasil
penelitian yang dilakukan oleh Udin S. Winataputra sebagaimana yang dikutip
oleh Sapriya (2001:58) yang menunjukkan bahwa dilapangan, ditemukan adanya
kelemahan-kelemahan yang mendasar pada Pendidikan Kewarganegaraan, yang
salah satunya adalah keterisolasian proses pembelajaran dari konteks keilmuan
dan lingkungan sosial budaya.
Pengaturan posisi duduk siswa saat pembelajaran cenderung statis (jarang
berubah posisi), walaupun dari hasil penyebaran angket, lebih dari setengan
173
responden pada tiga cluster (1,2, dan 4) menyatakan bahwa posisi duduk sering
berubah, terutama saat terjadi diskusi kelas. Akan tetapi saat di cross ceck melalui
wawancara bersama beberapa siswa pada empat cluster tersebut, diketahui bahwa
memang saat diskusi posisi berubah, hanya pelaksanaan diskusi tersebut jarang
sekali dilaksanakan, kalaupun dilaksanakan terkadang posisi duduk siswa hanya
untuk membalikan badan ke bangku belakang, dengan komposisi kelompok empat
orang. Sedangkan pada cluster 3, sebagian besar responden menyatakan bahwa
posisi duduk siswa statis (hanya duduk ditempat).
Sedikit berbeda dengan cluster lainnya, pada cluster 4, terdapat satu kelas,
yaitu kelas X dimana guru PKn jarang sekali hadir saat pembelajaran berlangsung.
menurut penuturan siswa pada kelas tersebut, kegiatan yang dilakukan saat
pembelajaran PKn ialah melaksanakan diskusi kelompok (tanpa kehadiran guru),
untuk menjawab beberapa pertanyaan. Materi tidak pernah dikaitkan dengan mata
pelajaran lain apalagi dengan isu-isu yang sedang berkembang saat ini. walaupun
pada kelas lainnya, yaitu kelas XI guru PKn sering mengkaitkan dengan mata
pelajaran pada rumpun sosial (Agaman, Ekonomi, Sejarah, Sosiologi dan Sejarah)
serta isu-isu terhangat yang terdapat dalam masyarakat. akan tetapi secara
keseluruhan, kondisi ini menyebabkan cluster ini berada pada urutan paling
rendah di titik minimum.
174
3. Semakin baik cluster sekolah, proses pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan cenderung berkembang menuju arah interactive
interpretation dari pada didactic transmision
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (pasal 1 UU No. 20 Tahun 2003).
Dari pengertian tersebut kita dapat mengetahui bahwa banyak hal yang menjadi
pusat perhatian dalam pembelajaran, yaitu: siswa (peserta didik), guru (peserta
didik), sumber belajar, dan lingkungan belajar. Adapun pengertian lain diutarakan
oleh Winataputra (1997:14), bahwa pembelajaran merupakan suatu sistem
lingkungan belajar yang terdiri dari komponen atau unsur: tujuan, bahan
pelajaran, strategi, alat, siswa dan guru. “Semua unsur atau komponen tersebut
saling berkaitan, saling mempengaruhi; dan semuanya berfungsi dengan
berorientasi kepada tujuan” (Winataputra, 1997:14).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh David Kerr tentang Civic
Education yang dilakukan oleh National Foundation for Educational Research in
England and Wales (NFER) mengenai Perbandingan Internasional terhadap
Pendidikan Kewarganegaraan, David Kerr mengemukakan sebuah kontinum dari
hasil studi tersebut. Dari hasil studi di berbagai negara tersebut, pelaksanaan
Pendidikan Kewarganegaraan dikelompokkan menjadi 2(dua) kategori, yaitu
“minimal interpretation dan maximal interpretation” (Kerr,1999:14). Lebih lanjut
pengelompokkan tersebut dapat kita lihat pada bagan di bawah ini:
175
MINIMAL ___________________ MAXIMAL Thin ___________________ thick Exclusive ___________________ inclusive Elitist ___________________ activist civics education ___________________ citizenship education Formal ___________________ participative contentt led ___________________ process led knowledge based ___________________ values based didactic transmission ___________________ interactive interpretation easier to achieve and measure in practice
___________________ more difficult to achieve and measure in practice
Bagan IV.3 Citizenship education continuum (David Kerr, 1999:14)
Citizenship Education pada titik minimal ditandai oleh “thin, exclusive,
elitist, civics education, formal, contentt led, knowledge based, didactic
transmission, easier to achieve measure in practice (Kerr, 1999:14)”. Maksudnya
adalah “didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, bentuk
pengajaran kewarga-negaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada
pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, hasilnya mudah
diukur”(Winataputra dan Budimansyah,2007:5-6).
Sedangkan yang bersifat maksimal ditandai oleh “thick, inclusive, activist,
citizenship education, participative, process led, values based, interactive
interpretation, more difficult to achieve and measure in practice” (Kerr, 1999:14).
Maksudnya adalah:
didefinisikan secara luas, mewadahi berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsur masyarakat, kombinasi pendekatan formal dan informal, diberi label ”citizenship education”, menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun di luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleksnya hasil belajar (Winataputra dan Budimansyah,2007:6).
Indonesia sebagai salah satu bagian dari Negara yang berada di kawasan
Asia Tenggara, termasuk dalam Negara yang berada pada kontium minimum. Hal
176
ini, diperkuat dengan apa yang diungkapkan oleh Winataputra dan Budimansyah
(2007:118) yaitu:
Proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih menekankan pada dampak instruiksional (Instructional effect) yang terbatas pada penguasaaan materi (content mastery) atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kognitifnya saja. Sedangkan pengembangan dimensi-dimensi lainnya (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan dampak pengiring (nurturant effect) sebagai “hidden curriculum” belum mendapat perhaitan sebagmana mestinya.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap empat cluster SMAN di Kota
Bandung, terdapat perbedaan pelaksanaan proses pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan, hal ini dapat dilihat dari score rata-rata setiap cluster, yang
terdapat dalam tabel dibawah ini :
Tabel IV.24 Kecenderungan Pelaksanaan Proses Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan
NAMA
CLUSTER
KONTINUM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
didactictransmission interactive interpretation
CLUSTER 1 57,37% 42,59%
CLUSTER 2 63,11% 36,30%
CLUSTER 3 69,37% 30,04%
CLUSTER 4 68,11% 28,80%
Seluruh Cluster 64,49% 34,43%
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa kecenderungan proses
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada titik minimum (didactic
transmission), paling tinggi berada pada cluster 4 (68,11%) kemudian cluster 3
(69,37%), cluster 2 (63,11%), dan cluster 1 (57,37%). Sedangkan kecenderungan
177
Proses Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada titik maksimum
(interactive interpretation), paling tinggi berada pada cluster 1 (42,59%),
kemudian disusul oleh cluster 2 (36,30%), cluster 3 (30,04%) dan cluster 4
(28,80%).
Apabila kita lihat secara keseluruhan, semakin baik cluster sekolah, proses
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan cenderung berkembang menuju arah
interactive interpretation dari pada didactic transmission. Hal ini terbukti dari
jumlah persentase cluster 1 pada kontinum maksimum (interactive interpretation),
lebih tinggi dibandingkan dengan tiga cluster lainnya (cluster 2, 3, dan 4), begitu
juga dengan cluster 2 yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan dua cluster
lainnya (cluster 3 dan 4), dan cluster 3 lebih tinggi daripada cluster 4. Sedangkan
pada kontinum minimum (didactic transmission), jumlah persentase cluster 1
lebih rendah dibandingkan dengan tiga cluster lainnya (cluster 2, 3, dan 4), begitu
juga dengan cluster 2 yang lebih rendah dibandingkan dengan dua cluster lainnya
(cluster 3 dan 4), dan cluster 3 lebih rendah daripada cluster 4.
Dari hasil wawancara dengan guru-guru pada empat cluster,
kecenderungan-kecenderungan pada table diatas dapat terlihat semakin jelas. Hal
ini dapat kita lihat dari beberapa hal, yaitu penggunaan metode, media, dan
sumber belajar. Berdasarkan hasil wawancara, penggunaan metode pembelajaran,
pada cluster 1 menggunakan metode yang lebih variatif dibandingkan dengan
cluster lainnya, yaitu metode diskusi, debat, kepala bernomor, snow ball throwing.
Sedangkan pada cluster 2,3 dan 4, metode yang digunakan ialah ceramah,
ceramah bervariasi, diskusi, dan tanya jawab.
178
Dalam pelaksanaan metode diskusi, seharusnya pembelajaran berpusat
pada siswa. Akan tetapi dari hasil temuan lapangan, terungkap bahwa pada saat
diskusi ada siswa yang aktif dan ada juga yang tidak aktif. Hal ini disebabkan oleh
minat siswa masih kurang dan kemampuan guru untuk merangsang siswa untuk
aktif dalam diskusi belum optimal. Melihat kenyataan tersebut, tetap saja dalam
pembelajaran PKn kesempatan atau dukungan bagi siswa untuk berinisiatif masih
minim. Apabila merujuk pada pandangan Numan Somantri (2001:289), teknik
yang digunakan bersifat “tradisional”. Menurut beliau, yang termasuk teknik
mengajar “tradisional” ialah “menekankan pada ceramah, indoktrinasi, dan guru
berperan sebagai drill master”.
Numan Somantri (2001: 289) menambahkan bahwa “teknik-teknik seperti
itu, bukan tidak bermanfaat akan tetapi bila dilihat dari teori psikologi medan
(field psychology) kurang dapat memobilisasi dan menumbuhkan potensi berfikir,
sikap, dan keterampilan siswa. Sebagaimana diungkapkan pula oleh David Kerr
(1999:15), bahwa tujuan utama dari pembelajaran Civic Education bukan hanya
menginformasikan, akan tetapi juga menggunakan informasi tersebut untuk
menolong siswa memahami dan meningkatkan kapasitas mereka untuk
berpartisipasi.
Dari sisi media, cluster 1 dan 2 lebih unggul dibandingkan dengan cluster
3 dan 4, pada dua cluster ini (terutama cluster 1), saat proses pembelajaran
berlangsung, media internet yang terdapat pada hp setiap siswa mampu
dioptimalkan untuk menunjang pembelajaran, sementara pada cluster lainnya
media yang digunakan masih berkisar pada media papan tulis, peta konsep dan
179
kadang info dari TV. Pada dasarnya penggunaan media dalam kegiatan
pembelajaran memiliki arti penting bagi keberhasilan kegitan belajar mengajar,
sebab dengan adanya media pembelajaran diharapkan (Djahiri, 1996:31), dapat:
a. Menjadi fasilitator proses kegiatan belajar siswa dan peningkatan hasil belajar real.
b. Meningkatkan kadar proses CBSA atau proses kegiatan mengajar guru interaktif-reaktif.
c. Meningkatkan motivasi belajar atau nuansa belajar yang baik. d. Meringankan beban tugas guru tanpa mengurangi kelancaran dan
keberhasilan pengajaran. e. Meningkatkan proses kegiatan belalajar mengajar secara efekit, effisien
dan optimal. f. Menyegarkan kegiatan belajar mengajar.
Adapun sumber belajar yang digunakan, pada dasarnya hampir sama di
semua cluster, yaitu menggunakan buku paket, buku lain yang menunjang serta
berita-berita yang ada di Koran-koran. Sedangkan pada cluster 1, selain
menggunakan sumber belajar yang telah disebutkan diatas, juga telah mampu
memanfaatkan perpustakaan digital yang terdapat pada hp setiap siswa.
Hal yang peneliti garis bawahi ialah penyelenggaraan proses pembelajaran
pada cluster 4. Dari hasil angket, pada kontinum maksimum pelaksanaan proses
pembelajaran PKn pada cluster ini, berada pada urutan paling rendah.
Berdasarkan hasil wawancara bersama siswa kelas X, dapat diketahui bahwa pada
kelas tersebut, guru jarang menghadiri proses pembelajaran. Fungsi guru hanya
memberi tugas untuk melaksankan diskusi kelompok, kemudian setelah selesai
jam pelajaran, siswa mengumpulkan hasil diskusi tersebut.
Lazimnya, saat proses pembelajaran berlangsung, terdapata interaksi atau
hubungan timbal balik antara guru dan siswa. Karana pada dasarnya proses
180
pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan
guru, siswa dan lingkungannya. Interaksi dalam peristiwa pembelajaran
mempunyai arti yang lebih luas, tidak sekedar hubungan antara guru dan siswa,
tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hal ini bukan hanya penyampaian pesan
berupa materi pelajaran, melainkan juga penanaman sikap dan nilai pada diri
siswa yang sedang belajar, Kosasih Djahiri (2007:1) mengemukakan bahwa:
“Pembelajaran secara prosedural, dilihat dari komponen/instrumental inputs adalah proses interaksi/interradiasi antara kegiatan belajar siswa (KBS) dengan kegiatan mengajar guru (KMG) serta dengan lingkungan belajarnya (learning environments).”
Dari kutipan diatas, guru menjadi salah satu komponen penting dalam
pelaksanaan pembelajaran. Guru memiliki andil yang sangat besar terhadap
keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru dapat membantu peserta didik untuk
mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Keyakinan ini muncul karena
manusia adalah makhluk lemah yang dalam perkembangannya senantiasa
memerlukan orang lain. Hal ini menunjukan bahwa setiap orang membutuhkan
orang lain dalam perkembangannya, begitupula dengan peserta didik. Minat,
bakat, kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik tidak akan
berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam bukunya Martinis Yamin
(2006:54), dalam setiap pembelajaran, seorang guru diharapkan mampu untuk:
a. Memberikan motivasi atau menarik perhatian siswa. b. Menjelaskan indicator/tujuan instuksional yang harus dicapai. c. Mengingatkan kompetensi prasyarat. d. Memberikan stimulus (masalalh, topic dan konsep) e. Memberikan petunjuk belajar. f. Memunculkan penampilan, kompetensi dan keterampilan siswa. g. Memberikan umpan balik. h. Menilai penampilan dan memberi tagihan kepada siswa.
181
i. Menyimpulkan materi yang telah disampaikan kepada siswa.
Dapat terlihat dengan jelas, bahwa keberadaan guru dalam proses
pembelajaran sangat berpengaruh besar, baik terhadap perkembagan mata
pelajaran yang dipegang atau pun perkembangan siswa. Bagaimana guru dapat
memberikan motivasi kepada siswa, apabila saat pelakasanaan pembelajaran guru
tersebut tidak ada.
4. Semakin baik cluster sekolah, aspek peniliaian Pendidikan
Kewarganegaraan cenderung berkembang menuju arah more difficult to
achieve and measure in practice dari pada easier to achieve measure in
practice
Penilaian merupakan suatu aspek pembelajaran yang paling kompleks,
karena semua variabel yang mendukung terselenggaranya pembelajaran tidak
akan dapat dipisahkan dari penilaian. Tidak ada pembelajaran tanpa penilaian,
karena penilaian sendiri merupakan proses penetapan kualitas hasil belajar,
berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran dapat diketahui dari hasil penilaian.
Gronlund (1981:483) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa fungsi penilaian,
yaitu untuk memperbaiki proses pembelajaran, laporan kemajuan belajar kepada
orang tua, pedoman dalam bimbingan konseling, kepentingan administrasi
sekolah, dan keperluan penelitian. Selain itu Rumini (1991: 121) menambahkan
bahwa fungsi pembelajaran, sebagai: (1) insentif untuk meningkatkan belajar, (2)
umpan balik bagi peserta didik, (3) peserta didik sebagai umpan balik bagi guru,
(4) informasi bagi orang tua, dan sebagai informasi untuk keperluan seleksi.
182
Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil penilaian yang optimal, perlu
prinsip-prinsip serta teknik yang sesuai. Dalam penilaian PKn, terdapat beberapa
hal yang perlu ditekankan, seperti yang diungkapkan oleh A. Kosasih Djahiri
(1995:53) yaitu :
a. Penilaian tidak hanya berfungsi untuk pengukuran tingkat keberhasilan belajar siswa melainkan juga tingkat keberhasilan/kegagalan mengajar, serta program reduksi, dan momentum membaca kualifikasi atau jati dirinya (siswa), keluarga dan lingkungan kehidupannya.
b. Penilaian jangan hanya diartikan THB/TPB atau ulangan yang cenderung administratif formal yakni mencari dan menentukan nilai/angka melainkan momentum pengukuran diri untuk reduksasi atau remedial.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap empat cluster SMAN di Kota
Bandung, dapat terungkap bahwa terdapat perbedaan penekanan aspek penilaian
yang dilakukan oleh guru saat pembelajaran PKn, dimulai dari penilaian yang
sederhana (penilaian yang menekankan aspek kognitif ) sampai dengan penilaian
yang lebih kompleks (penlaian yang mencakup tigak asepk, yaitu aspek kognitif,
afektif serta psikomotorik). Hal tersebut dapat kita lihat pada tabel score rata-rata
setiap cluster, dibawah ini:
183
Tabel IV.25 Kecenderungan Penilaian Pendidikan Kewarganegaraan
NAMA CLUSTER
KONTINUM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
easier to achieve measure in
practice
more difficult to achieve and
measure in practice
CLUSTER 1 56,85% 42,075%
CLUSTER 2 60,65% 36,13%
CLUSTER 3 62,48% 37,05%
CLUSTER 4 66,53% 28,88%
Seluruh Cluster 61,63% 36,03%
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa kecenderungan aspek peniliaian
Pendidikan Kewarganegaraan pada titik minimum (easier to achieve measure in
practice), paling tinggi berada pada cluster 4 (66,53%), kemudian cluster 3
(62,48%), cluster 2 (60,65%) dan cluster 1 (56,85%). Sedangkan kecenderungan
Penilaian Pendidikan Kewarganegaraan, pada titik maksimum (more difficult to
achieve and measure in practice ), paling tinggi berada pada cluster 1 (42,08%),
kemudian disusul oleh cluster 3 (37,05%), cluster 2 (36,13%), dan cluster 4
(28,88%).
Secara umum, seluruh cluster cenderung berada pada kontinum minimum,
hal ini terlihat dari jumlah persentase seluruh cluster, cenderung lebih besar pada
kontinum minimum dari pada kontinum maksimum. Akan tetapi apabila kita
melihat perbandingan antar cluster, semakin baik cluster sekolah, aspek peniliaian
Pendidikan Kewarganegaraan cenderung berkembang menuju arah more difficult
to achieve and measure in practice dari pada easier to achieve measure in
184
practice. Hal ini terbukti dari jumlah persentase cluster 1 pada kontinum
maksimum (more difficult to achieve and measure in practice), lebih tinggi
dibandingkan dengan tiga cluster lainnya (cluster 2, 3, dan 4), begitu juga dengan
cluster 2 yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan dua cluster lainnya
(cluster 3 dan 4), dan cluster 3 lebih tinggi daripada cluster 4. Sedangkan pada
kontinum minimum (easier to achieve measure in practice), jumlah persentase
cluster 1 lebih rendah dibandingkan dengan tiga cluster lainnya (cluster 2, 3, dan
4), begitu juga dengan cluster 2 yang lebih rendah dibandingkan dengan dua
cluster lainnya (cluster 3 dan 4), dan cluster 3 lebih rendah daripada cluster 4.
Pada cluster 1 bentuk tugas yang biasa diberikan setelah selesai
pembelajaran, sudah bergeser lebih baik, dimana tugas yang diberikan tidak hanya
mengerjakan soal-soal dalam buku paket dan LKS, akan tetapi terdapat tugas
untuk mencari data dari beberapa media masa, lembaga-lembaga pemerintahan
serta melaksanakan observasi. Berbeda halnya dengan beberapa cluster lainnya
(cluster 2, 3 dan 4), dimana tugas yang diberikan didominasi pada pengerjaan
soal-soal yang terdapat dalam Buku Paket serta LKS. Bahkan pada cluster 4,
selama mengikuti pembelajaran PKn, relative tidak pernah mendapatkan tugas
berbentuk proyek. Dari hasil wawancara dengan guru dan siswa pada empat
cluster, dapat diketahui bahwa pada dasarnya, setelah selesai pembelajaran tugas
yang paling sering diberikan pada siswa adalah mengerjakan soal-soal pada LKS
dan Buku Paket. Adapun cluster yang pernah memberikan tugas proyek, hanya
terdapat pada dua cluster, yaitu cluster 1 dan cluster 3.
185
Dari pernyataan diatas, dapat diketahui bahwa pada dasarnya pelaksanaannya
penilaian PKn yang digunakan pada SMAN di kota bandung masih didominasi
pada penekanan aspek kognitif, sedangkan aspek lainnya (afektif dan
psikomotorik) belum mampu untuk dioptimalkan. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh Winataputra dan Budimansyah (2007:118) yaitu:
Proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih menekankan pada dampak instruiksional (Instructional effect) yang terbatas pada penguasaaan materi (content mastery) atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kognitifnya saja. Sedangkan pengembangan dimensi-dimensi lainnya (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan dampak pengiring (nurturant effect) sebagai “hidden curriculum” belum mendapat perhaitan sebagmana mestinya.
Selain itu, nana sudjana (2005:8) mengemukakan bahwa dalam
melaksanakan penilaian perlu memperhatikan beberapa prinsip dan prosedur
penilaian, yaitu sebagai berikut:
1. Dalam penilaian hasil belajar hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga jelas abilitas yang harus dinilai, materi penilaian, alat penilaian, dan interpretasi hasil penilain. Sebagai patokan atau rambu-rambu dalam merancang penilaian hasil belajar adalah kurikulum yang berlaku dan buku pelajaran yang digunakan.
2. Penilana hasil belajar hendaknya menjadi bagian integral dari proses belajar mengajar, atinya penilaian senantiasa dilaksanakan pada setiap saat proses belajar mengajar sehingga pelaksanaannya berkesinambungan.
3. Agar diperoleh hasil belajar yang objektif dalam pengertian menggambarkan prestasi dan kemauan siswa, penilaian harus menggunakan berbagai alat penilaian dan sifatnya komfrehensif.
4. Penilaian hasil belajar hendaknya diikuti dengan tindak lanjutnya. Data hasil penilaian sangat bermanfaat bagi guru maupun siswa. oleh kaena itu, perlu dicatat secara teratur dalam catatan khusus mengenai kemajuan siswa.
Dari prinsip yang dikemukakan diatas, penilaian yang paling tepat
digunakan dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah penilaian
proses dan hasil, seperti apa yang telah diungkapkan oleh Budimansyah
186
(2004:15) dimana penilaian proses dilakukan pada saat proses pembelajaran
berlangsung. Hasil penilaian proses dipergunakan untuk memperbaiki proses
pembelajaran. Tujuan penilaian proses adalah mencari umpan balik (feedback)
untuk memperbaiki pembelajaran yang sedang berlangsung. Penilaian proses
dapat dilakukan pada kegiatan intra dan ekstrakurikuler. Selanjutnya kegiatan
tersebut dijelaskan sebagai berikut (Budimansyah dkk, 2004 : 18 - 20).
1. Intrakurikuler
Kegiatan intrakurikuler adalah kegiatan belajar mengajar di kelas. Selama
berlangsungnya proses belajar mengajar perlu dilakukan penilaian proses yang
meliputi penilaian aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
a. Penilaian Kognitif
Penilaian kognitif untuk menilai proses belajar mengajar di kelas dapat
menggunakan tes formatif. Sebagai penilaian proses, tes formatif dapat
digunakan untuk mencari umpan balik (feedback), yang selanjutnya hasil
penilaian tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar
mengajar yang sedang atau sudah dilaksanakan.
b. Penilaian Afektif
Tipe proses belajar afektif berkenaan dengan minat dan perhatian
terhadap pelajaran, motivasi dan keinginan untuk berprestasi, penghargaan
terhadap guru dan teman sekelas, disiplin, dan hubungan sosial. Untuk menilai
proses belajar afektif dapat digunakan berbagai alat, di antaranya adalah
Catatan Anekdot (Anecdotal Record). Catatan anekdot adalah catatan yang
menggambarkan sikap dan/perilaku seorang siswa atau sekelompok siswa
187
dalam situasi apa adanya. Gambaran ini diambil secara sistematis dan
diharapkan tidak bercampur baur dengan berbagai macam interpretasi.
c. Penilaian Psikomotorik
Tipe proses belajar psikomotorik berkenaan dengan perilaku dan
kebiasaan siswa belajar, misalnya perilakunya ketika bel masuk berbunyi,
kebiasaannya dalam mencatat bahan pelajaran, perilakunya pada saat guru
menjelaskan pelajaran, kebiasaannya pada waktu istirahat, dan sebagainya.
Untuk menilai proses belajar psikomotorik dapat digunakan berbagai alat,
diantaranya adalah Catatan Anekdot (Anecdotal Record).
2. Ekstrakurikuler
a. Penilaian Kognitif
Penilaian kognitif untuk menilai proses pembelajaran di luar kelas
(ekstrakurikuler) dapat menggunakan Daftar Ceklis Penguasaan Materi. Daftar
ini digunakan untuk mengecek tingkat penguasaan para siswa terhadap
substansi kegiatan ekstrakurikuler.
b. Penilaian Afektif
Penilaian proses belajar afektif dalam kegiatan pembelajaran
ekstrakurikuler berkenaan dengan minat dan perhatian terhadap kegiatan
pembelajaran, motivasi dan keinginan untuk menghasilkan karya yang
bermutu, penghargaan terhadap guru dan teman sekelas, disiplin, dan
hubungan sosial. Alat penilaian yang dapat digunakan adalah Daftar Ceklis
Sikap Belajar.
188
c. Penilaian Psikomotorik
Tipe proses belajar psikomotorik dalam kegiatan pembelajaran
ekstrakurikuler berkenaan dengan perilaku dan kebiasaan siswa bekerja
melakukan tugas-tugas, misalnya kebiasaan datang ke tempat kegiatan,
keseriusannya dalam mengerjakan tugas, kerjasama dalam kelompok, dan
sebagainya. Alat penilaian yang dapat digunakanadalah lembar observasi.
Untuk memperoleh data atau informasi sampai di mana pengusaan atau
pencapaian belajar siswa terhadap bahan pelajaran yang telah dipelajarinya
selama jangka waktu tertentu, dilakukan penilaian hasil belajar (Budimansyah
dkk, 2004:21). Penilaian hasil dapat dilakukan pada kegiatan intra dan
ekstrakurikuler. Selanjutnya kegiatan tersebut dijelaskan sebagai berikut
(Budimansyah dkk, 2004: 21 - 23).
1. Intrakurikuler
a. Penilaian Kognitif
Untuk menilai hasil belajar aspek kognitif digunakan tes sumatif, yaitu
tes yang dilakukan untuk memperoleh data atau informasi sampai dimana
penguasaan atau pencapaian belajar siswa terhadap bahan pelajaran yang telah
dipelajarinya selama jangka waktu tertentu. Fungsi dan tujuan penilaian
sumatif ialah untuk menentukan apakah dengan nilai yang diperolehnya itu
seorang siswa dinyatakan lulus atau tidak lulus. Alat penilaian sumatif untuk
menilai penguasaan kognitif yang lazim dipergunakan adalah tes.
189
b. Penilaian Afektif
Tipe hasil belajar afektif berkenaan dengan sikap siswa pada waktu
belajar di sekolah, terutama pada waktu guru mengajar maupun setelah
pelajaran selesai. Salah satu teknik penilaian hasil belajar afektif adalah
dengan skala sikap. Penilaian hasil belajar afektif harus menjadi bagian
integral dari penilaian kognitif. Fungsinya adalah untuk menentukan apakah
seorang siswa naik kelas dan dinyatakan lulus dalam ujian.
c. Penilaian Psikomotorik
Tipe hasil belajar psikomotorik sebenarnya merupakan tahap lanjutan
dari hasil belajar afektif yang baru tampak dalam kecenderungan-
kecenderungan untuk berperilaku. Salah satu teknik penilaian hasil belajar
psikomotorik adalah dengan Daftar Gejala Kontinum. Penilaian hasil belajar
psikomotorik harus menjadi bagian integral dari penilaian kognitif dan afektif.
Fungsinya sama seperti pada penilaian afektif.
2. Ekstrakurikuler
a. Penilaian Kognitif
Penilaian kognitif untuk menilai hasil pembelajaran di luar kelas
(ekstrakurikuler) dapat menggunakan Daftar Ceklis Penguasaan Materi pada
saat gelar kompetensi. Daftar ini digunakan untuk menilai tingkat penguasaan
para siswa terhadap substansi pada saat gelar kompetensi.
b. Penilaian Afektif
Penilaian hasil belajar afektif dalam kegiatan pembelajaran
ekstrakurikuler berkenaan dengan sikap para siswa yang dibentuk setelah
190
proses pembelajaran berlangsung. Alat penilaian yang digunakan adalah daftar
skala sikap.
c. Penilaian Psikomotorik
Tipe hasil belajar psikomotorik dalam kegiatan pembelajaran
ekstrakurikuler berkenaan dengan perilaku kebiasaan siswa yang terbentuk
setelah melalui proses pembelajaran.