s. adi suparto abstrak -...

9
0 FENOMENA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL KEPALA SEKOLAH DALAM PENGELOLAAN SEKOLAH MELALUI PENDEKATAN KECERDASAN EMOSIONAL S. Adi Suparto * Abstrak Upaya mengembangkan organisasi sekolah yang mantap sering menghadapi persoalan konflik, yang disebabkan oleh keberagaman latar belakang komunitas sekolah, aturan-aturan yang sangat ketat, beban kerja yang berat, karakter kepemimpinan yang otoriter, atau adanya aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan baru sekolah. Konflik merupakan suatu kewajaran dan proses dinamis dalam kehidupan sekolah sebagai organisasi, yang bisa dikelola untuk meningkatkan efektivitas kerja organisasi sekolah. Manajemen konflik berbasis kecerdasan emosional merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan kepala sekolah dalam mengelola konflik untuk tujuan yang konstruktif. Kata kunci : kepemimpinan transformasional, manajemen konflik, pendekatan kecerdasan emosional. * Dosen FKIP-Universitas Terbuka UPBJJ Surabaya 1. Pendahuluan Kepemiminan merupakan proses bagi seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah yang dipimpinnya melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah Secara sederhana kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai proses untuk mengubah dan mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan dirinya, yang didalamnya melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta penghargaan terhadap para bawahan. Konflik oleh sebagian besar orang dianggap selalu berdampak negatif. Padahal, dalam kondisi tertentu konflik perlu dimunculkan untuk kepentingan perubahan dan pengembang- an organisasi sekolah. Oleh karena itu, pengetahuan tentang teknik dan cara mengelola konflik organisasi secara efektif sangatlah penting dikuasai oleh para kepala sekolah.

Upload: phungliem

Post on 06-Feb-2018

215 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: S. Adi Suparto Abstrak - sip-ppid.mataramkota.go.idsip-ppid.mataramkota.go.id/file/visi-dan-misi-kecamatan-ampenan.pdf · antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi siswa yang lain,

0

FENOMENA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL KEPALA SEKOLAH

DALAM PENGELOLAAN SEKOLAH MELALUI PENDEKATAN

KECERDASAN EMOSIONAL

S. Adi Suparto*

Abstrak

Upaya mengembangkan organisasi sekolah yang mantap sering menghadapi

persoalan konflik, yang disebabkan oleh keberagaman latar belakang komunitas

sekolah, aturan-aturan yang sangat ketat, beban kerja yang berat, karakter

kepemimpinan yang otoriter, atau adanya aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan

baru sekolah. Konflik merupakan suatu kewajaran dan proses dinamis dalam

kehidupan sekolah sebagai organisasi, yang bisa dikelola untuk meningkatkan

efektivitas kerja organisasi sekolah. Manajemen konflik berbasis kecerdasan

emosional merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan kepala sekolah

dalam mengelola konflik untuk tujuan yang konstruktif.

Kata kunci : kepemimpinan transformasional, manajemen konflik, pendekatan

kecerdasan emosional.

* Dosen FKIP-Universitas Terbuka UPBJJ Surabaya

1. Pendahuluan

Kepemiminan merupakan proses

bagi seorang individu mempengaruhi

sekelompok individu untuk mencapai suatu

tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin

yang efektif, seorang kepala sekolah harus

dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah

yang dipimpinnya melalui cara-cara yang

positif untuk mencapai tujuan pendidikan di

sekolah Secara sederhana kepemimpinan

transformasional dapat diartikan sebagai

proses untuk mengubah dan

mentransformasikan individu agar mau

berubah dan meningkatkan dirinya, yang

didalamnya melibatkan motif dan

pemenuhan kebutuhan serta penghargaan

terhadap para bawahan.

Konflik oleh sebagian besar orang

dianggap selalu berdampak negatif.

Padahal, dalam kondisi tertentu konflik

perlu dimunculkan untuk kepentingan

perubahan dan pengembang- an organisasi

sekolah. Oleh karena itu, pengetahuan

tentang teknik dan cara mengelola

konflik organisasi secara efektif

sangatlah penting dikuasai oleh para

kepala sekolah.

Page 2: S. Adi Suparto Abstrak - sip-ppid.mataramkota.go.idsip-ppid.mataramkota.go.id/file/visi-dan-misi-kecamatan-ampenan.pdf · antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi siswa yang lain,

1

Dalam sebuah organisai, pekerjaan

individual maupun sekelompok pekerja saling

terkait dengan pekerjaan pihak-pihak lain.

Ketika suatu konflik muncul di dalam sebuah

organisasi, penyebabnya selalu diidentifikasikan

sebagai komunikasi yang kurang baik.

Demikian pula ketika suatu keputusan yang

buruk dihasilkan, komunikasi yang tidak efektif

selalu menjadi kambing hitam.

Konflik adalah fenomena yang serba

hadir (omni present), baik itu konflik orang-

perorang maupun konflik masyarakat.

Sesungguhnya konflik itu eksis di dalam

kehidupan mikro dan makro sosiologis

masyarakat. Selama konflik tidak berpotensi

kekerasan hal tersebut merupakan fenomena

yang lumrah, namun apabila berpotensi

terjadinya kekerasan akan berdampak negatif

terhadap bangsa dan negara. Konflik juga

dipahami sebagai suatu mekanisme untuk

menyempurnakan proses integrasi nasional. Kini

berbagai gelombang konflik baru tengah

melanda komunitas internasional, regional,

nasional, dan lokal, termasuk Indonesia. Sejalan

dengan itu muncul pula teori-teori tentang

penyelesaian konflik yang berasal dari luar dan

dalam negeri yang tidak jarang selalu digunakan

sebagai bahan referensi pada berbagai diskusi,

seminar dan analisis konflik. Namun meng-

implementasikannya tidaklah mudah karena

variabel faktor-faktor lain sulit diprediksi.

Dari perspektif perkembangan dan

perubahan dalam bidang manajemen pendidikan

persekolahan seperti Manajemen Berbasis

Sekolah (MBS), timbulnya perbedaan-

perbedaan pendapat, keyakinan-keyakinan serta

ide-ide tentang konsep dan implementasinya di

tingkat praksis organisasi sekolah sangat

rasional dan wajar bila kemudian melahirkan

konflik. MBS yang berarti terjadi pemindahan

kewenangan ke tingkat sekolah, tidak hanya

akan menambah variasi antarsekolah dan/atau

antardaerah dalam penyelenggaraan mutu proses

pembelajaran, karena kemampuan fasilitas dan

SDM yang berlainan.

Di samping itu, pemindahan

kewenangan juga dapat menimbulkan potensi

konflik baru antarguru dan antara guru dengan

kepala sekolah. Hal ini dapat muncul karena

pengelolaan pendidikan di sekolah makin

transparan dan efisien serta efektif, sehingga

baik antarguru atau antara guru dengan kepala

sekolah terjadi kompetisi. Tumbuh berbagai

wacana baru tentang pendidikan di sekolah.

Bahkan potensi itu juga terjadi pada level antara

sekolah dan masyarakat sejalan dengan efek

akuntabilitas dan rentang pengawasan (span of

control) semakin pendek (Tim Pengembangan,

2007).

Apalagi, komunitas sekolah memiliki

hubungan dan kerjasama yang begitu lama,

intim, dan erat satu sama lain, kiranya cukup

beralasan untuk mengasumsikan bahwa seiring

dengan perjalanan waktu, niscaya akan timbul

perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka

(Wexley & Yukl, 1984; Winardi, 1994). Akan

tetapi, apabila konflik menjadi semakin

meningkat dan meluas. Bukan mustahil akan

berpengaruh negatif terhadap efektivitas kerja

organisasi, bahkan bisa terjadi situasi keos.

Dalam situasi inilah, peran kepala

sekolah sebagai mediator situasi konflik sangat

penting. Fungsi kepala sekolah sebagai

”manager” perlu memiliki kemampuan

mengelola situasi konflik antarpersonal sekolah.

Kepemimpinan transformasional dalam

manajemen konflik melalui pendekatan

kecerdasan emosional, sangat cocok digunakan

oleh kepala sekolah pada satuan pendidikan

dasar, dengan intensitas konflik-konflik karena

faktor-faktor psikologis.

Tulisan ini mengkaji konflik-konflik

yang terjadi di tingkat organisasi dan

persekolahan pada jenjang satuan pendidikan

dasar. Apa dan bagaimana peran kepala sekolah

sebagai pemimpin transformasional dalam

manajemen konflik melalui berdasarkan

pendekatan kecerdasan emosional.

2. Konflik sebagai Realitas Organisasi

Konflik adalah adanya situasi atau

keadaan oposisi atau pertentangan pendapat,

sikap, tindakan di antara orang-orang,

kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi

(Schermerhorn, 1986). Konflik dapat terjadi

antarindividu, antarkelompok, dan

antarorganisasi, karena berbagai sebab.

Misal apabila dua orang atau lebih

individu masing-masing berpegang pada

pandangan yang sama sekali bertentangan satu

sama lain, tidak pernah berkompromi karena

masing-masing menarik kesimpulan berbeda-

beda, atau mereka cenderung bersifat tidak

toleran, maka dapat dipastikan akan timbul

konflik. Dalam suatu organisasi, termasuk

sekolah sebagai salah satu bentuk organisasi

Page 3: S. Adi Suparto Abstrak - sip-ppid.mataramkota.go.idsip-ppid.mataramkota.go.id/file/visi-dan-misi-kecamatan-ampenan.pdf · antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi siswa yang lain,

2

sosial, juga tak bisa lepas dari persoalan

konflik.

Dilihat dari jenisnya, konflik dibedakan

menjadi konflik substantif (substantive conflict)

dan konflik emosional (emotional conflict)

(Walton, 1989). Konflik substantif meliputi

ketidaksesuaian paham tentang hal-hal seperti:

tujuan-tujuan, alokasi sumber-sumber daya,

distribusi-distribusi imbalan-imbalan,

kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur

serta penugasan pekerjaan dalam suatu

organisasi. Sedangkan konflik emosional timbul

karena perasaan-perasaan marah,

ketidakpercayaan, ketidaksenangan, takut dan

sikap menentang, maupun bentrokan-bentrokan

kepribadian antarpribadi dalam suatu organisasi

(Walton, 1989).

Konflik juga merupakan proses

pembelajaran, melalui konflik seorang

pimpinan setidaknya akan memperoleh berbagai

hal, yaitu: (a) pemahaman mengapa konflik bisa

terjadi dalam suatu organisasi, (b) pengalaman

bagaimana suatu organisasi mengambil

tindakan untuk mengatasi konflik, (c) menilai

tindakan yang diambil suatu organisasi untuk

menyelesaikan konflik, (d) membuat solusi

untuk menyelesaikan konflik di tingkat

organisasi, (e) mengembangkan kesadaran

terhadap keberbedaan, (f) pemahaman bahwa

konflik merupakan realitas kehidupan sehari-

hari dalam kehidupan organisasi, (g)

mengembangkan kemampuan berfikir kritis,

dan (h) melatih keterampilan sosial dan

keterampilan emosional.

Dengan demikian, konflik memiliki sisi

destruktif dan sisi konstruktif (Robbins, 1974;

Yukl, 1994). Sisi destruktif dari konflik, adalah

timbulnya kerugian bagi individu-organisasi,

atau individu-individu, dan organisasi-

organisasi. Konflik destruktif terjadi apabila dua

orang karyawan tidak dapat bekerjasama karena

terjadi sikap permusuhan individu-individu

yang ada di antara mereka. Konflik ini

berdampak negatif terhadap kelangsungan

hidup individu dan atau organisasi.

Pada tingkat individu, konflik

destruktif, akan merugikan orang-orang yang

berkonflik seperti: perasaan cemas atau

tercekam, intensitas komunikasi yang berkurang

drastis, persaingan yang makin menghebat, dan

perhatian yang makin menyusut terhadap tujuan

bersama. Pada tingkat kolektif atau organisasi,

konflik-konflik destruktif dapat menyebabkan

berkurangnya efektivitas individu-individu dan

kelompok-kelompok, karena terjadi gejala

menyusutnya produktivitas dan kepuasan.

Sisi konstruktif dari konflik adalah

terciptanya keuntungan-keuntungan bagi

individu dan atau organisasi-organisasi yang

terlibat konflik, antara lain: (1) peningkatan

kreativitas dan inovasi. Akibat konflik individu-

individu semakin berupaya untuk melaksanakan

pekerjaan atau berperilaku dengan cara-cara

yang lebih baik; (2) peningkatan upaya. Konflik

dapat mengatasi perasaan apatis dan dapat

menyebabkan orang-orang yang berkonflik

dapat bekerja lebih keras. (3) penguatan ikatan

antaranggota kelompok. Konflik dapat

memperkuat identitas kelompok, dan komitmen

untuk mencapai tujuan bersama; dan (4)

peredaan ketegangan. Konflik dapat membantu

meredakan ketegangan-ketegangan antarpribadi

(Goleman, 1999).

Sungguhpun setiap konflik memiliki

sisi konstruktif dan destruktif, namun

pandangan dan sikap pemimpin terhadap

konflik berbeda. Ada pemimpin yang

memandang konflik secara positif, ada pula

yang memandang konflik secara negatif.

Perbedaan pandangan dan sikap pemimpin

terhadap konflik, setidaknya bergantung pada

tiga aspek, yaitu: (1) karakteristik organisasi

yang dipimpin, (2) karakter dan budaya

kepemimpinan, dan (3) intensitas konflik yang

terjadi.

Dari sisi karakteristik organisasi yang

dipimpin, positif atau negatifnya sikap

pemimpin terhadap konflik dapat dibedakan

antara pemimpin dalam organisasi tradisional

dan pemimpin dalam organisasi modern.

Dari sisi karakter kepemimpinan,

konflik terjadi karena ketidakpuasan bawahan

terhadap efektivitas kepemimpinan organisasi.

Studi Zamralita dan Ninawati (2003) misalnya,

menemukan bahwa kepuasaan kerja bawahan

berkorelasi sangat signifikan dengan efektivitas

kepemimpinan organisasi. Kepemimpinan yang

efektif bagi tercapainya kepuasan bekerja

bawahan terdiri dari empat dimensi yaitu:

menjadi komunikator yang efektif, orientasi

tugas dan hubungan, mendelegasikan tugas dan

set challenging goals. Artinya, jika

kepemimpinan efektif, maka kepuasan kerja

akan semakin meningkat. Sebaliknya, jika

kepemimpinan tidak efektif, maka kepuasan

kerja sulit dicapai dan akan melahirkan stres

Page 4: S. Adi Suparto Abstrak - sip-ppid.mataramkota.go.idsip-ppid.mataramkota.go.id/file/visi-dan-misi-kecamatan-ampenan.pdf · antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi siswa yang lain,

3

yang berpotensi besar terjadinya konflik.

Rostiana dan Halim (2003a) juga melaporkan

bahwa ada korelasi yang signifikan antara

dimensi kepribadian conscientiousness dari

model lima faktor (biasa disebut The Big Five)

dengan gaya menangani konflik collaborating

pada manajer.

3. Konflik-konflik di Sekolah:

Kepemimpinan dan Teknik Pengendalian

Konflik-konflik yang terjadi di sekolah,

seperti juga konflik-konflik yang terjadi di

masyarakat, adalah masalah yang menyangkut

manusia dalam organisasi. Seluruh masalah

yang menyangkut segi manusia itu adalah rumit

dan apabila tidak dibina dengan baik, akan

merusak organisasi. Sebaliknya bila ditangani

secara saksama, akan merupakan faktor yang

esensial dalam tujuan organisasi.

Konflik-konflik yang terjadi di sekolah

dapat dibedakan menjadi: (1) konflik di dalam

individu sendiri; (2) konflik antarpribadi; (3)

konflik antarkelompok; dan (4) konflik

antarorganisasi (Goleman, 1995; Yukl, 1994).

Konflik di dalam individu, terjadi pada

individu guru yang mendapatkan beban

berlebihan atau apabila kita menerima

terlampau banyak tanggung jawab dari sekolah.

Apabila individu tersebut tidak dapat

menghadapinya, maka akan terjadi stress. Stress

merupakan suatu produk tambahan yang kerap

kali muncul pada konflik di dalam individu

sendiri (Goleman, 1987).

Konflik antarkelompok, terjadi antara

kelompok-kelompok guru (klik) di sekolah.

Konflik antarkelompok guru ini bisa terjadi

karena perbedaan atau pertentangan usia atau

senioritas, idealisme, kepentingan, kebutuhan,

aliansi politik, dan sebagainya. Sedangkan

konflik antarorganisasi, terjadi antara

organisasi-organisasi intrasekolah, seperti

antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi

siswa yang lain, antara Dewan Guru dengan

Komite Sekolah, dll. Pada umumnya konflik

antarorganisasi ini karena adanya perbedaan

atau persaingan antarorganisasi dalam mencapai

tujuannya masing-masing.

Konflik-konflik karena faktor

emosional bisa disebabkan oleh perasaan-

perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidak-

senangan, takut dan sikap menentang, maupun

bentrokan-bentrokan kepribadian antarpribadi

di sekolah, seperti guru sering datang terlambat

dan pulang sebelum waktunya, sering tidak

masuk dengan berbagai macam alasan, acuh tak

acuh terhadap lingkungan kerja, suka

mengasingkan diri dari pergaulan, suka

membuat masalah dengan sesama guru, berpikir

agresif, pemogokan, merusak peralatan sekolah,

dan atau melakukan pencurian secara kecil-

kecilan, merupakan persoalan-persoalan di

sekolah yang mengarah pada terjadinya situasi

konflik dan harus dihadapi oleh kepala sekolah

(Owens, 1991).

Untuk meningkatkan kinerja setiap

anggota komunitas sekolah, salah satu upaya

yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah

adalah melakukan manajemen konflik. Artinya,

potensi destruktif konflik terhadap pencapaian

tujuan sekolah diminimumkan, dan diarahkan

pada potensi konstruktif konflik, yaitu

meningkatkan produktivitas organisasi sekolah.

Untuk itu, kepala sekolah sebagai manajer harus

mampu mengatur agar semua potensi sekolah

dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat

dilakukan jika kepala sekolah mampu

melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan

baik, meliputi (1) perencanaan; (2)

pengorganisasian; (3) pengarahan; dan (4)

pengawasan.

Kepala sekolah perlu mencurahkan

banyak waktu untuk menghadapinya. Goleman

(1995) mengemukakan bahwa untuk menangani

situasi-situasi tersebut, maka upaya

mengembangkan keterampilan-keterampilan

manajemen konflik adalah sangat penting.

Implementasi MBS misalnya, sangat erat

kaitannya dengan signifikansi peranan kepala

sekolah. Kewenangan yang diberikan kepada

sekolah mengakibatkan kepala sekolah

memiliki peranan yang krusial dan kuat dalam

keputusan politik pendidikan di sekolah sebagai

akibat dari kompleksitas manajemen organisasi

sekolah dan tumbuhnya etos kerja baru dalam

sekolah (Tim Pengembang, 2007).

4. Kepemimpinan Transformasional:

Manajemen Konflik melalui Pendekatan

Kecerdasan Emosional

Terdapat empat faktor kepemimpinan

tranformasional, yaitu : idealized influence,

inspirational motivation, intellectual

stimulation, dan individual consideration.(

Northouse, Peter G. 2001).

(1) Idealized influence : kepala sekolah

merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan

Page 5: S. Adi Suparto Abstrak - sip-ppid.mataramkota.go.idsip-ppid.mataramkota.go.id/file/visi-dan-misi-kecamatan-ampenan.pdf · antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi siswa yang lain,

4

sebagai panutan bagi guru dan

karyawannya, dipercaya, dihormati dan

mampu mengambil keputusan yang terbaik

untuk kepentingan sekolah.

(2) Inspirational motivation: kepala sekolah

dapat memotivasi seluruh guru dan

karyawannnya untuk memiliki komitmen

terhadap visi organisasi dan mendukung

semangat team dalam mencapai tujuan-

tujuan pendidikan di sekolah.

(3) Intellectual Stimulation: kepala sekolah

dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi

di kalangan guru dan stafnya dengan

mengembangkan pemikiran kritis dan

pemecahan masalah untuk menjadikan

sekolah ke arah yang lebih baik.

(4) Individual consideration: kepala sekolah

dapat bertindak sebagai pelatih dan

penasihat bagi guru dan stafnya.

Karena kepemimpinan transformasional

merupakan sebuah rentang yang luas tentang

aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa

menjadi seorang pemimpin transformasional

yang efektif membutuhkan suatu proses dan

memerlukan usaha sadar dan sunggug-sungguh

dari yang bersangkutan. Northouse (2001)

memberikan beberapa tips untuk menerapkan

kepemimpinan transformasional, yakni sebagai

berikut:

(1) Memberdayakan seluruh bawahan melakukan

hal yang terbaik untuk organisasi

(2) Berusaha menjadi pemimpin yang bisa

diteladani

(3) Mendengarkan pemikiran bawahan untuk

mengembangkan semangat kerja sama

(4) Menciptakan visi yang dapat diyakini oleh

semua orang dalam organisasi

(5) Bertindak sebagai agen perubahan dalam

organisasi dengan memberikan contoh

bagaimana menggagas dan melaksanakan

suatu perubahan

(6) Menolong organisasi dengan cara menolong

orang lain untuk berkontribusi terhadap

organisasi Kecerdasan emosional (emotional

quotion) dapat diartikan sebagai kemampuan

merasakan dan memahami kepekaan emosi diri

maupun emosi orang lain, pengendalian diri,

semangat, dan ketekunan, serta kemampuan

untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan

menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk

mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak

melebih-lebihkan kesenangan, mengatur

suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak

melumpuhkan kemampuan berpikir, mampu

membaca dan memahami perasaan terdalam

orang lain (empati) dan berdoa, memelihara

hubungan baik, menyelesaikan konflik, serta

mampu memimpin (Secapramana, 1999).

Keefektifan penggunaan teknik

pengendalian konflik organisasi akan

berdampak positif bagi prestasi organisasi.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Goleman,

bahwa salah satu kualitas seorang pemimpin

adalah kemampuannya dalam mengendalikan

konflik, sehingga tercipta iklim yang kondusif di

lingkungan kerja yang dipimpinnya.

Penanganan situasi-situasi konflik secara

berhasil, memerlukan kemampuan untuk

memahami proses-proses serta elemen-elemen

yang melandasinya. Sebab, konflik yang timbul

di sekolah mungkin bersifat konstruktif dalam

hal mengambil keputusan terbaik untuk

kepentingan sekolah, atau sebaliknya dapat

menjadi destruktif karena terjadi sifat

permusuhan.

Sungguhpun kecerdasan emosional

sangat penting sebagai basis manajemen

konflik, tanggapan masyarakat terhadap

kecerdasan emosional ini memang beragam, ada

yang pro dan ada yang kontra, berbeda dengan

tanggapan terhadap IQ yang sudah diterima

secara luas dalam masyarakat. Hal ini mungkin

disebabkan karena kecerdasan emosional tidak

memiliki aspek yang permanen karena emosi

selalu berubah. Padahal, kecerdasan emosional

merupakan salah satu aspek yang menunjang

kepemimpinan, yang memungkinkan seorang

pemimpin dapat mengambil keputusan dengan

tepat.

Studi Rostiana & Ninawati (2003).

Keduanya menemukan bahwa kecerdasan

emosional seorang pimpinan berkorelasi

signifikan dengan persepsinya terhadap proses

pengambilan keputusan. Artinya, semakin

matang emosi yang dimiliki seorang pemimpin,

semakin baik persepsinya terhadap proses

pengambilan keputusan, sehingga dapat

diindentifikasi-kan akan munculnya keputusan

yang tepat.

Kecerdasan emosional sebagai basis

dalam manajemen konflik, juga dibuktikan

dalam penelitian Zamralita & Ninawati (2003)

tentang hubungan antara tingkat stres kerja dan

efektivitas pengambilan keputusan. Keduanya

menemukan bahwa sumber stres dominan yang

Page 6: S. Adi Suparto Abstrak - sip-ppid.mataramkota.go.idsip-ppid.mataramkota.go.id/file/visi-dan-misi-kecamatan-ampenan.pdf · antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi siswa yang lain,

5

dialami oleh manajer adalah tekanan kerja/job

pressure dan sumber stres yang lain berasal dari

kurangnya dukungan/lack of support.

Tekanan/job pressure yang sering

muncul antara lain disebabkan oleh evaluasi

yang ketat, keterbatasan waktu, dan kondisi-

kondisi yang dapat memicu terjadinya stres.

Hal-hal tersebut dapat berpengaruh pada

manajer yang dalam pekerjaannya mempunyai

wewenang untuk mengambil suatu keputusan.

Sehingga bila stres sering muncul, dapat

mengakibatkan pengambilan keputusan yang

dibuat menjadi kurang efektif.

Dari penelitiannya tersebut, keduanya

menyimpulkan bahwa ada hubungan antara

tingkat stres kerja dengan efektivitas

pengambilan keputusan pada manajer. Artinya,

semakin tinggi tingkat stres kerja maka

efektivitas pengambilan keputusan pada manajer

akan semakin rendah dan sebaliknya bila tingkat

stres yang dialami rendah maka efektivitas

pengambilan keputusannya tinggi.

Dalam teori manajeman, ada banyak

gaya kepemimpinan organisasi dan cara atau

pengendalian konflik organisasi yang bisa

diadopsi dan diadaptasi oleh kepala sekolah

sebagai mediator dalam mengelola konflik agar

semua potensi yang ada di sekolah dapat

berfungsi secara optimal. Salah satunya adalah

gaya kepemimpinan transformasional

(transformational leadership) yang merupakan

salah satu gaya kepemimpinan berdasarkan

kecerdasan emosional. Kepemimpinan

transformasional ini lebih mengutamakan

pemberian kesempatan, dan atau mendorong

semua unsur yang ada dalam sekolah untuk

bekerja atas dasar sistem nilai (values system)

yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di

sekolah (guru, siswa, dan pegawai) bersedia dan

tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal

dalam mencapai tujuan ideal sekolah.

Ciri-ciri gaya kepemimpinan

transformasional adalah: (1) mengidentifikasi

dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan);

(2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai

orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai

(bukan atas dasar kepentingan individu, atau

atas dasar kepentingan dan desakan kroninya);

(5) meningkatkan kemampuannya secara terus-

menerus; (6) memiliki kemampuan untuk

menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan

tidak menentu; serta (7) memiliki visi ke depan

(Luthans, 1995: 358).

Manajemen konflik melalui

kepemimpinan transformasional berdasarkan

pendekatan kecerdasan emosional ini, sangat

cocok untuk digunakan oleh kepala sekolah

pada satuan pendidikan dasar, dengan intensitas

konflik-konflik karena faktor-faktor psikologis

seperti dikemuka-kan di atas.

Sedangkan manajemen konflik

organisasi yang bisa diadopsi dan diadaptasi

oleh kepala sekolah antara lain: (1) teknik

menghindari, (2) teknik kompetisi (komando

otoritatif), (3) teknik akomodasi (penyesuaian),

(4) teknik kompromi, dan (5) teknik kolaborasi

(kerjasama) atau pemecahan masalah (Robbins,

1974; Walton, 1989; Hanson, 1991; Owens,

1991; Goleman, 1999).

Dalam kaitannya dengan penerapan

kepemimpinan transformasional dalam

manajemen konflik di sekolah melalui

pendekatan kecerdasan emosional, salah satu

aspek penting dan substansial adalah

pemahaman kepala sekolah terhadap situasi

konflik. Untuk memahami situasi konflik ini,

ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan

oleh kepala sekolah, antara lain: (1) perbedaan-

perbedaan tentang fakta-fakta; (2) perbedaan

tentang metode-metode; (3) perbedaan-

perbedaan tentang tujuan-tujuan; (4) perbedaan-

perbedaan tentang nilai-nilai (Brown, 1983).

Untuk menyelesaikan perbedaan-

perbedaan tentang fakta-fakta, yang perlu

dilakukan oleh kepala sekolah sebagai seorang

manajer adalah mengumpulkan data-data

berkaitan dengan fakta-fakta tersebut dari

sumber-sumber yang dapat dipercaya sebagai

upaya untuk mencek validitas fakta. Apabila

fakta sudah diyakini validitasnya, selanjutnya

kepala sekolah perlu menyampaikan fakta-fakta

yang diperoleh secara distributif kepada seluruh

personil sekolah, tanpa sikap diskriminatif.

Seorang kepala sekolah selaku manajer

sekolah, dapat menjadi pihak utama dalam

mengelolola konflik-konflik yang terjadi,

maksudnya sebagai orang yang terlibat secara

aktif di dalam suatu konflik yang berkembang.

Dalam hal ini, kepala sekolah dapat bertindak

sebagai pihak penengah (mediator) dalam

konflik-konflik yang terjadi di sekolah. Pada

kasus apapun yang menimbulkan konflik,

seorang kepala sekolah harus menjadi seorang

partisipan aktif dan terampil dalam mengelola

dinamika konflik, sehingga potensi konstruktif

dan hasil destruktif bisa diperoleh. Melalui

Page 7: S. Adi Suparto Abstrak - sip-ppid.mataramkota.go.idsip-ppid.mataramkota.go.id/file/visi-dan-misi-kecamatan-ampenan.pdf · antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi siswa yang lain,

6

pengaruh dan kewenangan yang dimiliki, kepala

sekolah berkewajiban memberdayakan seluruh

sumber daya guru dan personil lainnya dalam

rangka meningkatkan efektivitas organisasi

sekolah.

Agar kepala sekolah mampu

menyelesaikan konflik berdasarkan pendekatan

kecerdasan emosional, perlu memiliki

kecakapan-kecakapan antara lain: (1)

berdiplomasi dan menggunakan taktik untuk

menenangkan orang-orang yang dalam kondisi

tegang, (2) mengidentifikasi hal-hal yang

berpotensi menjadi konflik, menyelesaikan

perbedaan pendapat secara terbuka, dan

membantu mendinginkan situasi, (3)

menganjurkan debat dan diskusi secara terbuka,

(4) mengantar ke solusi yang dapat diterima

oleh kedua belah pihak yang berkonflik (win-

win solution) (Goleman, 1999).

Kecakapan diplomasi dan taktik untuk

“menenangkan” orang lain yang menghadapi

ketegangan dapat dilakukan dengan mendeteksi

sumber masalah sedini mungkin yang menjadi

penyebabnya. Untuk maksud itu, kepala sekolah

harus mau mendengarkan isi hati dan perasaan

dari orang lain di samping berusaha untuk

berempati terhadap masalah, pikiran, dan

perasaan mereka. Ini berarti bahwa dalam

manajemen konflik berdasarkan pendekatan

kecerdasan emosional, aspek-aspek psikologis

dan kemanusiaam merupakan faktor determinan.

Kemampuan kepala sekolah untuk

“mempengaruhi” orang-orang yang dipimpin

sangat berperan dalam memecahkan masalah-

masalah organisasi sekolah. Kemampuan

mempengaruhi harus dipahami bukan hanya

mempengaruhi mereka untuk bekerja sesuai

dengan aturan atau kebijakan sekolah, tetapi

juga kemampuan mempengaruhi untuk

memahami aspek-aspek psikologis orang lain

yang dipimpinnya (Goleman, 1999).

Kecakapan negosiasi dalam menyelesai-

kan konflik juga tidak kalah pentingnya.

Sebagai manajer sekolah, seorang kepala

sekolah dituntut memiliki kecakapan

menegosiasikan orang-orang atau kelompok di

bawah pimpinannya yang terlibat dalam konflik,

atau menegosiasikan aturan-aturan atau

kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dengan

keberagaman perspektif di internal komunitas

sekolah. Melalui kecakapan negosiasi kepala

sekolah, mereka yang terlibat dalam konflik

dapat saling berkomunikasi dan berdiskusi

mencari alternatif solusi yang terbaik bagi

mereka dan sekolah.

Dalam kaitan ini, Goleman (1999)

mengemukakan tiga gaya negosiasi, yaitu: (1)

pemecahan masalah, yakni berusaha untuk

menemukan solusi terbaik dengan jalan bekerja

melalui perbedaan-perbedaan yang ada, mencari

dan memecahkan masalah, sehingga setiap

orang di sekolah dan sekolah sama-sama

mencapai keuntungan. (2) kompromi, yakni

adanya sikap kooperatif dan asertif antara

kepala sekolah dan personil sekolah;

melaksanakan upaya tawar-menawar untuk

mencapai pemecahan-pemecahan yang bisa

diterima kedua belah pihak, hingga tak

seorangpun merasa bahwa ia menang atau kalah

secara mutlak. (3) agresi, yakni tindakan dari

kepala sekolah dengan memaksakan

kehendaknya kepada yang lain.

Dari ketiga gaya negosiasi tersebut,

kompromi merupakan gaya yang tampaknya

paling dapat diterima oleh kedua belah pihak,

karena merupakan gaya negosiasi yang

didasarkan pada prinsip ”menang-menang”

(win-win solution), tak ada yang lebih

diuntungkan atau dirugikan, melainkan

menguntungkan semua pihak yang terlibat

dalam konflik. Kondisi ”menang-menang” ini

niscaya akan meniadakan alasan-alasan apapun

dari pihak-pihak yang berkonflik untuk

melanjutkan atau menimbulkan kembali konflik

yang ada, karena tidak ada hal yang diabaikan

ataupun dipaksakan. Semua persoalan-persoalan

yang relevan diperbincangkan dan dibicarakan

secara terbuka.

Prasyarat utama yang perlu dimiliki

kepala sekolah untuk menyelesaikan konflik

sebagaimana dijelaskan di atas, memerlukan

kecakapan emosional seperti kesadaran diri,

kepercayaan diri, empati dan kendali diri. Perlu

ditegaskan bahwa empati tidak berarti harus

menyerah pada tuntutan pihak lain, demikian

pula memahami perasaan orang lain tidak harus

berarti setuju dengan orang tersebut. Karenanya,

empati harus memiliki dan didasari oleh standar

dan prinsip yang kuat. Berpegang pada prinsip

tidak berarti mematikan empati, tetapi keduanya

perlu diintegrasikan dan diselaraskan dalam

kehidupan organisasi sekolah.

Page 8: S. Adi Suparto Abstrak - sip-ppid.mataramkota.go.idsip-ppid.mataramkota.go.id/file/visi-dan-misi-kecamatan-ampenan.pdf · antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi siswa yang lain,

7

5. Mediasi Kepala Sekolah dalam Manajemen

Konflik

Seorang manajer adalah seorang yang di

dalam sebuah organisasi tertentu mempunyai

bawahan. Demikian pula seorang kepala

sekolah, mempunyai bawahan yaitu guru-guru

maupun pegawai tata usaha. Hal ini berarti

bahwa setiap kepala sekolah perlu selalu

menghadapi kemungkinan untuk terlibat dalam

konflik-konflik yang terjadi sebagai mediator

(pihak penengah) atau pihak ketiga. Sebagai

pihak ketiga, kepala sekolah dapat membantu

para guru atau pegawai tata usaha untuk

menyelesaikan konflik-konflik antarpribadi atau

antarkelompok yang berada di bawah

kewenangannya, baik yang disebabkan karena

keberagaman di antara mereka dan atau adanya

aturan atau kebijakan baru sekolah.

Peranan kepala sekolah sebagai

mediator sangat penting, terutama untuk

membangun dan memelihara komitmen setiap

anggota komunitas sekolah melalui penciptaan

iklim organisasi sekolah. Signifikansi

penciptaan iklim organisasi melalui mediasi

kepemimpinan untuk membangun dan

memelihara komitmen terhadap organisasi

mendapat perhatian dalam penelitian Rostiana

dan Halim (2003b). keduanya melaporkan

bahwa iklim organisasi menunjukkan korelasi

signifikan positif dengan komitmen organisasi.

Bahwa persepsi terhadap iklim organisasi dapat

memberi gambaran berkaitan dengan keputusan

karyawan untuk berkomitmen pada organisasi.

Untuk memainkan peranan sebagai

mediator, kepala sekolah dapat melaksanakan

melalui dua macam pendekatan yang berbeda

yaitu: (1) intervensi secara aktif, dan (2)

fasilitasi (Robbins, 1974; Winardi, 1994).

Intervensi secara aktif. Seorang kepala

sekolah melakukan aneka macam tindakan

intervensi aktif dalam upaya menyelesaikan

situasi-situasi konflik. Upaya-upaya tersebut

dapat berupa himbauan kepada pihak yang

berkonflik untuk mengingat tujuan-tujuan luhur

organisasi, sehingga konflik bisa diminimalisasi

atau diredakan.

Fasilitasi. Seorang kepala sekolah

memberikan fasilitasi tertentu kepada mereka

yang berkonflik. Pendekatan ini sangat bersifat

pribadi, dan untuk ini kepala sekolah

memerlukan keterampilan komunikasi dan

keterampilan interpersonal. Peranan kepala

sekolah sebagai fasilitator adalah menerapkan

keterampilan komunikasi dan keterampilan

interpersonal dengan pihak-pihak yang terlibat

konflik (Goleman, 1999; Cox & Cooper, 1998;

Bennis & Nanus, 1985).

Keterampilan interpersonal adalah

kemampuan berurusan dengan orang banyak

secara diplomatis dan penuh kearifan

pertimbangan. Kepala sekolah harus berupaya

menghindari terciptanya pola-pola hubungan

interpersonal dengan internal komunitas sekolah

dengan mengandalkan kekuasaan semata, dan

sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama

fungsional. Ia juga harus menghindarkan diri

dari ’one man show’, sebaliknya harus

menekankan pada kerja sama kesejawatan;

menghindari terciptanya suasana kerja yang

serba menakutkan, dan sebaliknya perlu

menciptakan keadaan yang membangkitkan rasa

percaya diri pada semua anggota komunitas

sekolah. Kepala sekolah juga senantiasa

berupaya menghindarkan diri dari wacana

retorika, sebaliknya perlu membuktikan

memiliki kemampuan kerja profesional; serta

menghindarkan diri agar tidak menyebabkan

pekerjaan-pekerjaan atau tugas-tugas sekolah

menjadi sesuatu yang menjemukan atau

membosankan. Bila hal ini terjadi, efektifitas

kerja individu dan sekolah sangat sulit dicapai.

6. Penutup

Kajian tentang pengelolaan konflik di

tingkat internal sekolah tetap menarik dan aktual

sampai kini. Konflik terjadi bila satu atau kedua

belah pihak menunjukkan permusuhan dan

menghalangi usaha masing-masing untuk

mencapai sasaran. Konflik merupakan suatu

bagian yang alamiah dari proses-proses sosial,

dan terjadi di dalam semua organisasi.

Terdapat berbagai macam perilaku

kepala sekolah sebagai pemimpin dan manajer

dalam mengelola konflik, di antaranya:

menengahi konflik, menjelaskan pentingnya

kerjasama, menekankan kepentingan bersama,

melakukan sesi-sesi pembentukan tim, dan lain-

lain. Namun semuanya tidak dapat

menyelesaikan konflik. Salah satu pendekatan

mutakhir yang dapat digunakan untuk

mengelola konflik di lingkungan sekolah secara

lebih efektif adalah pengelolaan konflik melalui

pendekatan kecerdasan emosional.

Page 9: S. Adi Suparto Abstrak - sip-ppid.mataramkota.go.idsip-ppid.mataramkota.go.id/file/visi-dan-misi-kecamatan-ampenan.pdf · antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi siswa yang lain,

8

Daftar Rujukan

Bennis, W.G., & Nanus, B. 1985. Leaders: The

Strategies for Taking Charge. New York:

Harper & Row.

Hanson, E.M. 1991. Educational Administration and

Organizational Behavior. Boston: Allyn &

Bacon.

Hesselbein, Frances, and Paul M. Cohen.(1999).

Leader to Leader. San Francisco, CA:Jossey-

Bass Publishers. Diakses dari:

http://edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/HR/HR02000.p

df. April 2009.

Northouse, Peter G. 2001. Leadership Theory

and Practice, second edition. Thousand Oaks,

CA: Sage Publications, Inc.

Owens, R.G. 1991. Organizational Behavior in

Education. Boston: Allyn & Bacon.

Robbin, S.P. 1974. Managing Organizational

Conflict. Englewood Cliffs, New Yersey:

Prentice - Hall, Inc.

Rostiana & Ninawati. 2003. Hubungan antara

Kecerdasan Emosional dengan Persepsi

Pemimpin terhadap Proses Pengambilan

Keputusan. Abstrak laporan penelitian.

Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara.

Diakses dari:

http://www.psikologi.untar.com/psikologi/.22

Januari 2009.

Rostiana, & Suyasa, P.T.Y.S. 2003. Hubungan

antara Budaya Organisasi dengan Stres Kerja

Pada Karyawan: Suatu Studi Pada 64

Karyawan PT X Di Jakarta. Abstrak laporan

penelitian. Fakultas Psikologi Universitas

Tarumanegara. Diakses dari:

http://www.psikologi.untar.com/psikologi/22

Januari 2009.

Schermerhorn, Jr., & John, R. 1986. Management for

Productivity. New York: John Willey & Sons.

Secapramana, L.V.H. 1999. Emotional Intelligence.

Diakses dari: http://secapramana.tripod.com/

10 September 2006.

Seval, F. 2004. Qualitative Evaluation of Emotional

Intelligence In-Service Program for Secondary

School Teachers. University of Yildiz

Technical-Istanbul. Turkey: The Qualitative

Report Volume 9 Number 4.

Suyanto. 2001. Kepemimpinan Kepala Sekolah.

Jakarta: Kompas Online

Tiatri, S. 2003. Hubungan antara Persepsi terhadap

Beban Kerja dengan Kepuasan Kerja pada

Guru Taman Kanak-Kanak: Studi Pada Guru

TK Swasta Di Jakarta Barat. Abstrak laporan

penelitian. Fakultas Psikologi Universitas

Tarumanegara. Diakses dari:

http://www.psikologi.untar.com/psikologi/22

Januari 2009.

Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite

Sekolah Ditjen Dikdasmen Depdiknas. 2007.

Indikator Kinerja Dewan Pendidikan dan

Komite Sekolah. Diakses dari:

http://www.depdiknas.go.id/serba_serbi/dpks/

Kinerja.htm. 10 Januari 2009.

Walton, R.F. 1989. Interpersonal Peacemaking

Confrontations, and Third Party Consultation.

New York: Addison Reading Mass.

Wexley, K.N., & Yukl, G. 1984. Organizational

Behavior and Personnel Psychology.

Homewood: Richard D. Irwin.

Yukl, G. 1994. Leadership in Organizations.

Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Zamralita & Ninawati. 2003. Hubungan Tingkat

Stres dengan Efektivitas Pengambilan

keputusan pada Manajer. Abstrak laporan

penelitian. Fakultas Psikologi Universitas

Tarumanegara. Diakses dari:

http://www.psikologi.untar.com/psikologi/10

Januari 2009.

Zamralita, & Ninawati. 2004. Persepsi terhadap

Efektivitas Pemimpin dengan Kepuasan Kerja:

Studi Pada Karyawan Bank Swasta X Cabang

Daan Mogot. Abstrak laporan penelitian.

Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara.

Diakses dari:

http://www.psikologi.untar.com/psikologi/.10

Januari 2009.

Zins, J.E., Bloodworth, M.R., Weissberg, R.P., &

Walberg, H.J. 1997. The Foundations of

Socialand Emotional Learning: The Scientific

Base Linking Social and Emotional Learning

to School Success. Mid-Atlantic Regional

Educational Laboratory for Student Success:

Temple University Center for Research in

Human Development and Education.