ruu admpem 17okt 2013 prof sadu

Upload: upiet-bae

Post on 06-Jan-2016

223 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bahan lokakarya

TRANSCRIPT

KAITAN RUU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN PRAKTEK PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

KAITAN RUU ADMINISTRASI PEMERINTAHANDENGANPRAKTEK PENYELENGGARAAN PEMERINTAHANBAHAN LOKAKARYA MEMBEDAH PENTINGNYA RUU ADMINISTRASI PEMERINTAHANKAMIS, 17 OKTOBER 2013DI HOTEL MILLENIUM JAKARTAOLEH :PROF. DR. SADU WASISTIONO, MSI (DOSEN IPDN)A. PENDAHULUANSejak Indonesia melaksanakan reformasi tahun 1998, telah banyak terjadi perubahan. Indonesia sekarang menjadi satu-satunya negara di dunia yang melakukan demokratisasi dan desentralisasi serentak secara besar-besaran. Pilihannya berubah menjadi negara maju dan terpandang dalam fora internasional atau menuju negara gagal (failed state) yang kemudian hancur berkeping-keping seperti Uni Sovyet dan Yugoslavia.Dari sisi demokrasi, Indonesia sekarang menjadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. (Tetapi ada paradoks dengan tingkat kesejahteraannya yang menurun dari peringkat IPM 113 (tahun 2011) menjadi peringkat 124 (tahun 2012).Dari sisi desentralisasi, Indonesia bersama tiga negara lainnya (Pakistan, Philipina, dan Ethiopia) menurut Bank Dunia menjalankan BIG BANG decentralization. Pada sisi lain Indonesia mengalami kemajuan yang cukup berarti (misanya masuk sebagai salah satu negara anggota G-20), tetapi pada sisi lain juga menunjukkan gejala adanya fragmentasi struktural yang melanda semua sektor kehidupan, mulai dari politik, sosial budaya dan juga birokrasi.Penyebabnya antara lain terlampau banyak membuat komitmen (dalam bentuk komitmen kebangsaaan, komitmen konstitusi maupun peraturan perundang-undangan) tetapi tidak konsisten melaksanakannya. Pada akhirnya tercipta situasi dan kondisi yang serba tidak percaya (distrust) diantara komponen bangsa. Padahal meminjam pandangan Francis Fukuyama, untuk membangun sebuah bangsa menjadi besar memerlukan situasi dan kondisi dengan tingkat kepercayaan tinggi (high trust), sebab pada dasarnya kegiatan pemerintahan adalah bisnis kepercayaan.

TABEL 1.1. FAILED STATE INDEX INDONESIA TAHUN 2007 S/D TAHUN 2011TAHUNRANKSCORE20075584,4020086083,3020096183,1020106284,10Source : Failed State Index- Interactive Map and Rankings/ Foreign Policy http://www.foreignpolicy.com/articles/2010/06/21/2010_failed_states_index_interactive_map......2/5/2011Rank 1 s/d 60 Critical > 60 In danger .> 60 s/d 70 Borderline 2011 64 81,60 2012 63Praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia saat ini secara umum diliputi suasana saling ketidakpercayaan (distrust) secara horisonal maupun vertikal. Ketidakpercayaan horsiontal terjadi pada penyelenggara negara antara eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun auditif termasuk ketidakkepercayaan antar pejabat setingkat dalam satu organisasi.Ketidakpercayaan vertikal terjadi antara pejabat pemerintah daerah terhadap pejabat pemerintah pusat, maupun antara rakyat terhadap semua pejabat pemerintahan dalam arti luas, yang diawali tanda-tanda adanya pembangkangan sosial (sosial disobedience) maupun perlawanan terhadap para penegak hukum. (Contoh adanya kontra-flow lalu lintas, penggunaan trotoar untuk usaha, penyerobotan tanah negara dlsb).Terjadi krisis moral diantara para penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan daerah karena tidak adanya keteladanan dan banyaknya pejabat yang munafik.Tidak adanya negarawan di Indonesia saat ini, karena hampir semua petinggi negara lebih cenderung menjadi politisi. Semua orang sudah paham salah satu prinsip demokrasi yakni kesetiaan pada partai berakhir pada saat kesetiaan pada negara dimulai. Tetapi praktek yang ada justru terbalik, semua pejabat negara merangkap menjadi pengurus partai. Quo vadis demokrasi Indonesia?Terbangun rent-seeking government pada semua tingkatan pemerintahan, yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya pembusukan bangunan birokrasi. Para pejabat sudah lupa pada sumpah jabatan, sebab mereka memang hanyalah pejabat yang disumpah-sumpahin oleh rakyat., penuh dengan kemunafikan.Ketidakpercayaan publik yang meluas antara lain dipengaruhi pula oleh ketidakjumbuhan sistem maupun ketiadaan keteladanan.Apabila telah memilih bentuk negara unitaris, maka berbagai konsekuensi yang melekat pada bentuk tersebut seharusnya digunakan secara konsisten misalnya mengenai sistem kepegawaian, sistem hubungan kerja antarasusunan pemerintahan dlsb. Demikian pula apabila telah memilih sistem pemerintahan presidensial akan ada berbagai konsekuensi yang mengikutinya, jika digunakan secara konsisten, sehingga tidak tergambar sistem gado-gado atau campur aduk sehingga menimbulkan potensi terjadinya kekacauan sistem. B. INVENTARISASI KETIDAKJUMBUHAN SISTEM1) Ketidakjumbuhan sistem hubungan kerjaPada negara unitaris dengan sistem pemerintahan presidensial seperti sekarang ini terdapat ketidakjumbuhan sistem, misalnya dalam hubungan hierarkhi dan pertanggungjawaban. Presiden tidak mempunyai hubungan hierarkhi ke bawah karena kaki presiden hanya sampai ke Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.Pada sisi lain, karena kepala daerah pada semua susunan pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat, maka konsekuensinya mereka bertanggungjawab kepada rakyat. Presiden tidak memiliki garis perintah yang tegas ke bawah. Harapannya adalah adanya kepatuhan secara sukarela untuk menjalankan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.Apabila ada kepala daerah yang tidak patuh pada perintah presiden (karena berbeda partai politiknya), maka presiden tidak memiliki mekanisme untuk menjalankan reward and punishment yang seimbang.

Sebagai contoh, kewajiban melaporkan Perda yang dibuat oleh daerah paling lambat 14 hari setelah disetujui bersama antara kepala daerah dan DPRD tidak sepenuhnya dipatuhi. Pemerintah kemudian membuat mekanisme wajib regristrasi bagi sahnya sebuah Perda, padahal tidak ada dasar hukumnya. Melalui cara semacam itu, jumlah Perda yang diterbitkan daerah dapat diketahui.Setiap hari lahir dua desa baru yang ditetapkan melalui Perda kabupaten/kota tanpa ada mekanisme yang dapat mencegah hal tersebut.Apabila tidak ada kebijakan moratorium pembentukan daerah otonom baru, setiap hari akan lahir daerah otonom karena kabupaten/kota dengan leluasa membentuk desa/kelurahan baru yang kemudian diikuti dengan pembentukan kecamatan baru sebagai syarat bagi terbentuknya daerah kabupaten/kota baru.Pembentukan daerah otonom baru menimbulkan konsekuensi perlunya tambahan pegawai baru, baik untuk perangkat daerah maupun perangkat instansi vertikal yang ada di daerah.POLA HUBUNGAN ANTAR PEJABAT PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI DAERAHMENURUT UU NO. 5 TAHUN 1974 (Model : Sadu Wasistiono) PRESIDENMenteriMDNKementerian NegaraKa.KakanwilGubernurKDH TK. I+DPRDPerangkat Wilayah+Perangkat DaerahKa.KakandepKakandep KecBupati/Walikota+DPRDKDH TK. IIPerangkat Wilayah+Perangkat DaerahCamatCadinCadinKeterangan:---------------= Garis Komando= Garis Koordinasi Hak cipta model : Sadu WasistionoPOLA HUBUNGAN ANTAR PEJABAT PENYELENGGARA PEMERINTAHAN MENURUT JENJANG (UU NO. 32 TAHUN 2004(Hak cipta model : Sadu Wasistiono)PRESIDENMDNMenteri(Kew.Concurrent)Ka.KanwilGubernurSebagai Wkl Pem. PusatKDH PROP.+DPRDKa.KandepKDHKab/Kota+DPRDKa.UPTKeterangan:= Garis Komando= Garis Koordinasi= Garis Koordinasi Vertikal= Garis Supervisi SPM= Garis Pembinaan teknis fungsional dan administratifMenteri(Kew. Mutlak)SKPDPengelolaDekonsentrasiSKPDKa.UPTSPMSPM?Ka.KandepkecKecamatan2) Ketidakjumbuhan sistem kepegawaianKetidakjumbuhan sistem lainnya, misalnya dalam sistem kepegawaian. Di negara unitaris, umumnya digunakan sistem kepegawaian terintegrasi (integrated system), karena pegawai negeri berperan sebagai alat pemersatu bangsa (national binding forces). Pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999 digunakan sistem kepegawaian yang terpisah (separated system), dengan memberi daerah kewenangan penuh dalam bidang kepegawaian, mulai dari merencanakan, mengangkat sampai pemberhentian. Sistem tersebut kemudian diberhentikan digantikan dengan sistem campuran (mixed system) yang memadukan antara tuntutan kebutuhan pegawai dari daerah dengan formasi yang disediakan oleh pemerintah pusat. Tetapi perubahan berbagai sistem, ternyata tidak memperbaiki keseluruhan sistem manajemen kepegawaian secara nasional, karena berpindahnya pusat pembuatan kebijakan kepegawaian diikuti dengan berpindahnya pusat korupsi, yang semula di pusat, beralih ke daerah, sekarang dikerjakan bersama-sama antara pusat dan daerah (korupsinya).PERKEMBANGAN INDEKS PERSEPSI KORUPSIDI INDONESIANOTAHUNINDEKSPERINGKATJUMLAH NEGARA1.20072,31431802.20082,61261803.20092,81111804.20102,81101785.20113,0100182SUMBER : www.transparency.org, untuk masing-masing tahun3) Ketidakjumbuhan sistem perencanaan pembangunan

Pada masa orde baru, sistem perencanaan pembangunan sinkron dengan sistem pemerintahannya yakni sama-sama sentralistik. Dengan berbagai kekurangan yang ada, perlu diakui cukup banyak pula kemajuan terutama ketersediaan infrastruktur.Pada masa sekarang, terjadi ketidaksinkronan antara sistem perencanaan pembangunan dengan sistem pemerintahan. Sistem pemerintahannya sudah sangat desentralistik, tetapi sistem perencanaan pembangunannya masih sangat sentralistik dengan dominasi sektor, meskipun peran daerah sudah lebih besar dibanding masa orde baru.Masing-masing daerah membuat perencanaannya sendiri berdasarkan visi dan misi kepala daerahnya yang sudah pasti tidak sinkron dengan perencanaan pembangunan nasional. UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN hanya bagus di atas kertas. ( salah satu contohnya adalah fakta paradoks antara perkembangan besarnya DAU dengan perkembangan IPM).4) Ketidakjumbuhan besaran dan jenis organisasi pemerintah dengan sistem pembagian urusan pemerintahanTelah disepakati dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yang ditindaklanjuti dengan PP Nomor 38 Tahun 2007 mengenai pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah yang menggunakan model cafateria system. Sesuai prinsip Structure folow function, seharusnya bangunan organisasi di tingkat nasional semakin mengecil sejalan dengan semakin besarnya urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke daerah.Fakta paradoks yang ada menunjukkan bahwa bangunan organisasi dan birokrasi di tingkat nasional menjadi semakin besar jumlahnya (ada 34 kementerian, ditambah 20 wakil menteri, masing kementerian memiliki eselon I yang jumlahnya bertambah banyak : kemendagri 14 eselon I).

Struktur birokrasi yang besar di atas kemudian melalui penyelundupan pasal dalam berbagai peraturan perundang-undangan memaksa agar daerah juga membentuk organisasi yang nomenklaturnya sama dengan di tingkat nasional. (Psikologi Taman Kanak-kanak).Apabila daerah tidak mengikuti kebijakan dari pusat, daerah yang bersangkutan tidak akan diberikan bantuan. Padahal seharusnya daerah menyusun organisasi berdasarkan tiga parameter : a. kebutuhan daerah; b. kemampuan keuangan daerah; c. ketersediaan SDM Aparatur yang profesional.Lengkap sudah kecarutmarutan birokrasi baik di pusat maupun di daerah, sehingga memunculkan penyakit keempat di luar KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), yakni PEMBOROSAN.Pemborosan baik dilihat dari susunan organisasi yang berlebihan, jumlah pegawai yang terlampau banyak, salah alokasi anggaran negara lebih banyak untuk kepentingan birokrasi, termasuk pemborosan dalam perjalanan dinas. (SPPD = Surat Pura-pura Dinas). C. INDIKASI FRAGMENTASI STRUKTURALSecara kasat mata dapat dilihat gejala awal adanya fragmentasi struktural dalam pemerintahan dengan indikasi sebagai berikut : a. Tidak adanya jenjang hierarkhis antar susunan pemerintahan baik dilihat dari kebijakan, perencanaan pembangunan, pengawasan maupun pertanggungjawaban, padahal Indonesia menganut bentuk negara kesatuan dengan sistem pemerintahan presidensial. b. Campur aduknya kedudukan seseorang antara sebagai pejabat negara yang seharusnya hanya loyal kepada negara dengan kedudukannya sebagai pengurus partai politik, sehingga mendorong terjadinya penyalahgunaan dana dan fasilitas negara untuk menunjang kegiatan partai politik. (Kasus Wakil Walikota Solo yang menjadi pemimpin demonstrasi menentang kebijakan pemerintah pusat mengenai rencana kenaikan BBM, atau kasus Bupati Subang yang berdemo ke MA dengan mengerahkan PNS dan pendukung parpol menggunakan fasilitas dinas).Loyalitas PNS bukan lagi pada kepentingan bangsa dan negara, melainkan kepentingan kelompok politik tertentu yang pada saat itu sedang berkuasa, dengan konsekuensi ganti pemimpin dan partainya akan berganti program dan kegiatannya. Tidak ada jaminan bahwa program yang bagus akan terus dilanjutkan. Meskipun sudah ada RPJPD, dalam kenyataannya penyusunan APBD lebih didasarkan pada keputusan sesaat dan jangka pendek.Mutasi, rotasi, promosi dan demosi PNS yang berkutat dalam satu daerah tanpa ada parameter kinerja yang jelas telah mendorong terjadinya pendangkalan rasa nasionalisme diikuti dengan menguatnya rasa kedaerahan. Hal ini diperparah dengan ketimpangan pemberian tunjangan kinerja antar daerah yang sangat tajam. PNS menghamba pada penguasa yang pada dasarnya pejabat politik, sehingga terjadi politiisasi birokrasi.Penyelenggaraan pemerintahan sekarang lebih berorientasi pada FIGUR bukan pada sistem.

PERBANDINGAN TUNJANGAN KINERJA DAERAH ANTARA PROV. GORONTALO DENGAN PROV.DKI JAKARTANomorJabatanBesarnya tunjangan (Prov Gorontalo)Besanya tunjangan (Prov. DKI Jakarta)1. GubernurRp. 12.500.000,-2.Wakil GubernurRp. 10.000.000,-3.Sekretaris Daerah (Es I)Rp. 9.000.000,-Rp. 50.000.000,-4.Eselon IIARp. 6.500.000,-Rp.22.000.000 sd Rp.28.000.000,-5.Eselon IIBRp. 4.500.000,-6.Eselon IIIRp. 2.500.000,-Rp.9.550.000 sd Rp. 11.550.000,-7.Eselon IVRp. 1.500.000,-Rp. 5.850.000 sd Rp. 6.550.000,-8.Fungsional UmumRp. 1.000.000,-9.Tenaga KontrakRp. 750.000,-DAMPAK FRAGMENTASI STRUKTURAL PADA BIROKRASITidak ada pola karier dan jaminan masa depan yang jelas bagi birokrasi, sehingga mereka menggunakan pendekatan aji mumpung. KKNP merajalela dimana-mana, apalagi hukum sampai saat ini masih dapat dibeli. Mereka yang akan korupsi besar-besaran akan berhitung secara bisnis, apalagi masyarakat masih lebih menerima dengan tangan terbuka antara terpidana ex-koruptor dibandingkan terpidana ex pencuri ayam.Birokrasi berorientasi pada jabatan, tidak lagi pada profesionalisme bidang pekerjaan tertentu, karena pengisian jabatan tidak didasarkan pada standar kompetensi yang jelas. Prinsipnya Siapa dekat Dia Dapat. Peran birokrasi sebagai salah satu perekat persatuan dan kesatuan bangsa tidak berjalan dengan optimal, yang pada gilirannya akan dapat membahayakan negara.

SO WHAT?Perlunya dibuat kebijakan publik yang mengembalikan prinsip-prinsip utama yang telah disepakati. Hal ini antara lain terlihat pada : a) RUU Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004; b) RUU ASN; c) RUU Hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. d) RUU Administrasi Pemerintahan.Mendorong terbangunnya sistem politik yang sesuai dengan Pancasila sebagai dasar negara, sebab Indonesia sekarang menjadi negara yang sedang kehilangan ideologi bangsanya.Mendorong masyarakat untuk lebih sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam rangka menghadapi berkembangnya cyberdemocracy.C. PERAN UU ADM PEMERINTAHAN DALAM MEMPERBAIKI PEMERINTAHANMeskipun tidak menjadi panacea bagi semua penyakit pemerintahan, tetapi kehadiran RUU Administrasi Pemerintahan diharapkan akan dapat menciptakan budaya organisasi baru pada masing-masing organisasi pemerintahan (dalam arti luas), karena adanya kepastian mengenai lima hal filosofis sebagai berikut : 1) SIAPA? 2) MENGERJAKAN APA? 3) BERHUBUNGAN KERJA DENGAN SIAPA? 4) BAGAIMANA CARA MENGERJAKANNYA? 5) BAGAIMANA PERTANGGUNGJAWABANNYA?UU ini seharusnya tidak hanya untuk para penyelenggara negara, tetapi juga penyelenggara daerah, termasuk QUANGO (Quasi- autonomous Non-governmental Organization), seperti KPU, Komnas Ham, Komisi Ombudsman dlsb, karena lembaga-lembaga tersebut menjalankan sebagian fungsi negara dan dibiayai dari uang negara.Agar nantinya dapat dijalankan secara konsisten, setiap calon pejabat, baik pejabat negara maupun pejabat negeri, wajib memahami UU Administrasi Pemerintahan. Substansi materinya dijadikan bahan untuk fit and proper test bagi calon pejabat.Apabila RUU ini telah menjadi UU, perlu dilakukan sosialisasi secara meluas kepada setiap penyelenggara negara, penyelenggara daerah dan QUANGO, agar UU ini nantinya tidak hanya bagus di atas kertas.Ciri seorang pemimpin, termasuk pemimpin pemerintahan, adalah daya inovasinya. Tanpa inovasi mereka hanyalah seorang manajer. Tetapi inovasi tidak akan muncul apabila tidak ada diskresi yang terukur bagi para pimpinan organisasi pemerintah. RUU ini telah memberi ruang yang cukup memadai bagi setiap pejabat pemerintahan yang berwenang untuk mengambil diskresi tanpa adanya rasa takut untuk dikriminalisasi.Dalam praktek sering terjadi kriminalisasi keputusan pejabat publik dalam rangka diskresi, karena penegak hukumnya memakai kacamata kuda, kalau tidak ada dalam aturan berarti melanggar hukum. Akibatnya banyak potensi alam yang tidak digali untuk kemakmuran rakyat karena minimnya inovasi para penyelenggara negara dan daerah. (Kasus impor garam, impor ikan asin, ekspor ikan hias, impor BBM dlsb adalah sedikit contoh tentang minimnya inovasi pejabat pemerintah). Hal penting lainya yang perlu diatur dalam RUU ini adalah mengenai penggunaan dana dan fasilitas publik milik negara dan daerah untuk kepentingan perorangan atau kelompok. Nampak nyata di depan mata bagaimana terjadi penyimpangan penggunaan dana dan terutama fasilitas publik untuk kepentingan individu, kelompok, atau partai politik yang sebenarnya menyakitkan hati rakyat sebagai pemilik kedaulatan. (rapat partai di rumah jabatan kepala daerah, penggunaan mobil dinas untuk kepentingan nondinas, pengawalan polisi untuk kepentingan individu seperti di Puncak atau pada saat jalan macet dlsb). Jangan dikira rakyat tidak tahu, tetapi karena rakyat tidak berdaya, yang timbul hanyalah ketidakpercayaan rakyat pada para penyelenggara negara dan daerah, yang nantinya akan berujung pada PENGADILAN RAKYAT.