rumah jawa - karatonsurakarta.com

Upload: gtr-saroso

Post on 03-Jun-2018

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/12/2019 Rumah Jawa - KaratonSurakarta.com

    1/5

    1

    Rumah Jawa

    Bangunan adat rumah jawa

    Di dalam masyarakat Jawa, baik sebagai sentana, abdi maupun kawula dalem, walaupun

    tidak tertulis, secara tradisinal tidak dibenarkan melakukan pelanggaran terhadap pranata-

    pranata sosial masyarakat. Misalnya tata aturan sopan santun, tingkah laku, gaya hidup,

    tata cara pergaulan dan rumah tempat tinggal pun termasuk dalam aturan tersebut dan

    dibuat secara hierarkis.

    Dalam interaksi sosial, misalnya kawula dalem sering merasa sulit untuk dapat bergaul

    secara bebas dan langsung dengan sentana atau abdi dalem tinggkat tinggi. Di lain pihak

    para sentana dan abdi dalem tersebut sering bertindak mempertinggi diri dan menjaga

    ketertiban stratifikasi sosial secara ketat.

    Dalam suasana kehidupan feodal, sebagai raja, mislnya tidak dbenarkan membangun

    rumah tempat tinggal (dhatulaya, istana) dengan menggunakan bangun sinom mangkurat

    untuk Sasana Prabasuyasa. Bangun limasan atau joglo atau kampung tetapi sebaliknyamenggunakan bangun sinom mangkurat untuk Sasana Prabasuyasa. Bangun limasan atau

    joglo hanyalah untuk bangunan pelengkap saja, misalnya untuk kantor, pertemuan,

    perlengkapan, paseban dan sejenisnya. Bagi golongan ningrat (bangsawan sentana dalem)

    dan abdi dalem derajat tertentu berhak membuat rumah tempat tingga; dengan bentuk

    limasan, sinom, ataupun joglo. Sedangkan untuk bangunan pelengkap boleh membuat

    bangun rumah yang lain yang tingkatannya lebih rendah, misalnya daragepak, sethong,

    kalabang nyander, dan sebagianya (Narpawandawa, 1935:91-94).

    Aturan tersebut didasarkan pada kedudukan sosial pemiliknya yang merupakan simbol

    ststus bagi pemiliknya golongan raja, jogiswara, abdi dalem dan sentana dalem termasukstrata atas. Golongan ini dianggap sebagai golongan penguasa dan bahkan suci, maka

    bangunan bangunan rumah tempatnya harus meniru bangunan suci; tinggi (seperti gunung

    suci); besar (seperti dunia yang luas);bersekat-sekat seperti candi, pura atu bangunan suci

    lainnya (ada tempat-tempat yang profan, sakral dan paling sakral). Bentuk bangunan rumah

    dikompleks istana (dhatulaya) dalam batas-batas tertentu boleh dicontoh oleh para sentana

    dan abdi dalem, tetapi dilarang bagi kawula dalem.

    Kita ketahui bahwa bangunan pokok rumah adat Jawa ada lima macam, yaitu: panggung pe,

    kampung, limasan, joglo dan tajug. Namun dalam perkembangannya, jenis tersebut

    berkembang menjadi berbagai jenis bangunan rumah adat Jawa, hanya bangunan dasarnyamasih tetap berpola dasar bangunan yang lima tersebut (Narpawandawa, 1937-1938).

  • 8/12/2019 Rumah Jawa - KaratonSurakarta.com

    2/5

    2

    Di dalam bangunan rumah adat Jawa tersebut ditentukan ukuran, kondisi perawatan rumah,

    kerangka, dan ruang-ruang di dalam rumah serta situasi di sekeliling rumah, yang dikaitkan

    dengan status pemiliknya. Di samping itu, latar belakang sosial, dan kepercayaannya ikut

    berperanan. Agar memperoleh ketentraman, kesejahteraan, kemakmuran, maka sebelum

    membuat rumah dipetang (diperhitungkan) dahulu tentang waktu, letak, arah, cetak pintu

    utama rumah, letang pintu pekarangan, kernagka rumah, ukuran dan bengunan rumah yangakan dibuat, dan sebagainya. Di dalam suasana kehidupan kepercayaan masyarakat Jawa,

    setiap akan membuat rumah baru, tidak dilupakan adanya sesajen, yaitu bensa-benda

    tertentu yang disajikan untuk badan halus, danghyang desa, kumulan desa dan sebagainya,

    agar dalam usaha pembangunan rumah baru tersebut memperoleh keselamatan (R.

    Tanaya, 1984:66-78).

    Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan rumah adat Jawa berkembang sesuai dengan

    kemajuan. Berdasarkan tinjauan perubahan atapnya, maka terdapatlah bangunan rumah

    adat Jawa sebagai berikut.

    Bangunan model/bentuk Panggung Pe dalam perkembangannya terdapat bangunan

    Panggung Pe (Epe), Gedong Selirang, Panggung Pe Gedong Setangkep, Cere Gancet,

    Empyak Setangkep, Trajumas, Barongan, dan sebagainya. Dari bangunan rumah kampung

    berkembang menjadi bangunan rumah kampung, Pacul Gowang, Srotong, Daragepak,

    Klabang Nyander, Lambang Teplok, Lambang Teplok Semar Tinandhu, Gajah Jerum, Cere

    Gancet Semar Tinnadhu, Cere Gancet Semar Pinondhong, dan sebagainya. Dari bangunan

    Rumah Limasan berkembang menjadi bentuk rumah Limasan Lawakan, Gajah Ngombe,

    Gajah Jerum, Klabag Nyonder, Macan Jerum, Trajrumas, Trajrumas Lawakan, Apitan, Pacul

    Gowang, Gajah Mungkur, Cere Goncet, Apitan Pengapit, Lambang Teplok Semar

    Tinandhu, Trajrumas Rambang Gantung, Lambangsari, Sinom Lambang Gantung RangkaUsuk Ngambang, dan sebagainya. Dari perkembangan bangunan rumah Joglo terdapatlah

    bangunan rumah Joglo, Joglo Limasan Lawakan atau Joglo Lawakan, Joglo Sinom, Joglo

    Jampongan, Joglo Pangrawit, Joglo Mangkurat, Joglo Wedeng, Joglo Semar Tinandhu, dan

    sebagainya. Dari jenis tajug dalam perkembangannya terdapatlah bangunan rumah tajug

    (biasa untuk rumah ibadah), tajug lawakan lambang teplok, tajug semar tinandhu, tajug

    lambang gantung, tajug semar sinonsong lambang gantung, tajug lambang gantung, tajug

    semar sinonsong lambnag gantung, tajug mangkurat, tajug ceblakan, dan sebagainya

    (Narpawandawa 1936-1936).

    Disamping bentuk bangunan rumah baku tersebut, masih terdapat bangunan rumah untuk

    musyawarah (rapat), rumah tempat menyimpan padi (lumbung) atau binatang ternak

    (kandang, gedhongan, kombong), untuk alat-alat (gudang) dan sebagainya (Gatut

    Murdiatmo, 1979/1980; Koentjaraningrat, 1971; almanak Narpawandawa, 1935-1938;

    Sugiyanto Dakung, 1982/1982; Radjiman, 1986.

    Komposisi dan Lingkungan Rumah Tempat Tinggal

    Yang dimaksudkan dengan komposisi rumah ialah susunan dan pengaturan cetak

    bangunan lain terhadap bangunan rumah tempat tinggal (induk). Sedangkan yang dimaksud

    dengan lingkungan di sini ialah rumah tempat tinggal dan rumah-rumah kelengkapan

    dengan tata susunannya dalam suatu rumah tangga sebuah keluarga

    Dalam masyarakat Jawa, susunan rumah dalam sebuah rumah tangga terdiri dari beberapa

    bangunan rumah. Selain rumah tempat tinggal (induk), yaitu tempat untuk tidur, istirahat

  • 8/12/2019 Rumah Jawa - KaratonSurakarta.com

    3/5

  • 8/12/2019 Rumah Jawa - KaratonSurakarta.com

    4/5

    4

    Masyarakat Jawa disusun atas dasar kedudukan sosial, teritorial, komunal, dan religius.

    Dasar tersebut dalam proses pembentukan masyarakat Jawa akan terpancar dalam ciri-ciri

    dasar masyarakat Jawa yang tetap mereka pertahankan dan mereka lestarikan

    keberadaannya dalam wujud pandangan dunia orang Jawa. Pandangan dunia dimaksudkan

    sebagai keseluruhan keyakina deskriptif tentang kenyataan suatu kesatuan antara alam,

    masyarakat, dan alam gaib, yang daripadaNya manusia memberi suatu struktur yang

    bermakna bagi pengalamannya.

    Bagi orang Jawa, baik sebagai individual maupun anggota masyarakat, realita itu tidak

    dibagi-bagi secara terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sam lain, melainkan ia dilihat

    sebagai satu kesatuan yang menyeluruh.

    Bagi orang jawa dunia masyarakat dan dunia gaib, atau dunia Adi Kodrati bukanlah tiga

    bidang yang berdiri sendiri-sendiri, dan masing-masing mempunyai hukumnya sendiri,

    melainkan merupakan satu kesatuan pengalaman. Pada hakekatnya, orang Jawa tidak

    membedakan antara sikap religius atau tidak religius dan interaksi-interaksi sosial religius,

    tetapi tetapi ketiganya merupakan penjabaran manusia Jawa tentang sikapnya terhadap

    alam, seperti halnya sikap alam yang sekaligus mempunyai relevansi sosial. Di sini antara

    pekerjaan, interaksi, dan doa tidak ada perbedaan yang hakiki (Mulder, 1975:36).

    Tolok ukur anti pandangan dunia orang Jawa adalah nilai pragmatisme ataukemanfaatannya untuk mencapai keadaan senang, tenteram dan seimbang lahir dan batin

    antara dunia sini dengan dunia sana. Oleh karena itu, apabila kita membicarakan

    pandangan dunia orang Jawa tidak terbatas pada bidang agama, kepercayaan dan mitos,

    melainkan juga sistem pertanian, perayaan pameran, kehidupan keluarga Jawa, seni dan

    budaya Jawa, sistem tempat tinggal dan lingkungan tempat tinggal mereka. Maka

    perubahan yang terjadi akan meliputi pandangan hidup dan filsafat, budaya politik Jawa,

    ekonomi, sosial dan budaya Jawa. Dalam hal ini Clifford Geertz telah mengungkapkannya

    sebagai agama Jawa dala bentuk varian santri, abangan dan priyayi dalam masyarakat

    Jawa (Cl. Geertz 1985). Sedangkan Magnis Suseno (1885: 83-85), mengutarakan, terdapat

    empat lingkaran bermakna dalam pandangan dunia orang jawa, yaitu :

  • 8/12/2019 Rumah Jawa - KaratonSurakarta.com

    5/5

    5

    Lingkaran Pertama, lebih bersifat ekstrovet, ialah bersifat terhadap dunia luar yang dialami

    sebagai satu kesatuan gaib yang Illahi, yang Adi Kodrati antara alam, masyarakat, dan alam

    adi kodrati yang kudus yang dilaksanakan dalambentuk ritus, dan upacara-upacara inisiasi

    yang diterima tanpa kritik dan tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin sendiri. Orang

    Jawa mengatakan: bisoa ngaji, nanging aja dadi modin. Meksud pernyataanitu ialah

    bahwa agama hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Tujuan akhir hidup manusia adalahmanunggal dengan sang Pencipta, Al Kholik. Biarlah Agama Ageming Aji, bahwa Raja

    mewakili rakyat (kawula) memohonkan berkat dan anugerah melalui doa-doanya kepada

    Tuhan. Melalui pengalaman-pengalaman mistis, maka agama diresapi sampai pada batin

    sendiri. Agama iku mung sandhangan saumpamane, diengga kena, ora diengga ora apa -

    apa. Sing baku tansah eling lan waspada, ngerti

    Sumber :http://www.karatonsurakarta.com/rumahjawa.html

    http://www.karatonsurakarta.com/rumahjawa.htmlhttp://www.karatonsurakarta.com/rumahjawa.htmlhttp://www.karatonsurakarta.com/rumahjawa.htmlhttp://www.karatonsurakarta.com/rumahjawa.html