ruang sosial di berbagai ruang yang bebas diakses oleh...
TRANSCRIPT
1
Ruang Sosial Di Berbagai Ruang Yang Bebas Diakses Oleh Para Pengguna Dalam Gedung
Perpustakaan Universitas Indonesia
Prisinta Wanastri, Laksmi
Program Pascasarjana Ilmu Perpustakaan
Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Artikel ini mengulas pemaknaan dan interpretasi para pengguna perpustakaan Universitas
Indonesia atas ruang sosial yang tercipta pada ruang-ruang yang dapat diakses dengan bebas oleh
para pengguna. Praktik sosial yang tercipta di setiap ruang (fisik) perpustakaan memiliki bentuk
yang berbeda. Hal ini dikarenakan, praktik sosial yang tercipta dalam ruang fisik perpustakaan
merupakan hasil ekspresi subjektifitas para pengguna dalam memaknai kondisi sosial dan material
yang ada di sekitarnya. Interaksi sosial antar pengguna perpustakaan menjadi faktor yang
mempengaruhi ruang sosial perpustakaan dan terus berkembang menjadi kebiasaan yang melekat
pada ruang fisik perpustakaan. Pola kebiasaan ini menjadi aturan yang disepakati bersama oleh
seluruh pengguna perpustakaan.
Kata kunci: Gedung Perpustakaan Universitas Indonesia; ruang sosial; pemaknaan.
This article reviews the meaning and interpretation of the user of the University of Indonesia
library on the social space that created in rooms that can be freely accessed by the user.Social
practices that are created in each (physical) space of the library has a different forms.This is
because the social practices that are created in the library's physical space is an expression of the
subjectivity of the user in defining on the social and material conditions in the surrounding.Social
interaction between the users of the library to be a factor that affects the social space the library
and continues to develop into a habit that is attached to the physical space of the library.This
pattern became a habit that rules agreed upon by all users of the library
Keywords: the University of Indonesia Library building; social space; meaning
2
Pendahuluan
Pemanfaatan ruang gedung Perpustakaan Universitas Indonesia mengalami transformasi.
Gedung perpustakaan tidak lagi hanya digunakan sebagai tempat memperoleh informasi yang
mendukung kegiatan belajar mengajar sivitas akademi Universitas Indonesia, namun juga menjadi
area pusat kegiatan di wilayah Universitas Indonesia. Dengan adanya ruang-ruang terbuka dan
berbagai fasilitas pendukung yang dapat diakses secara bebas oleh para pengguna perpustakaan,
gedung Perpustakaan Universitas Indonesia berkembang menjadi sebuah one-stop-areabagi para
penggunanya.
Setiap kali manusia memasuki sebuah bangunan, ia akan selalu memaknai ruang fisik dari
bangunan tersebut maupun interaksi yang terbentuk di dalamnya. Pemaknaan ini kemudian
dijadikannya prinsip dalam bertindak dan berperilaku di lingkungan tersebut. Para pengguna
perpustakaan akan menafsirkan dan memberikan makna atas ruang fisik perpustakaan dan juga
ruang sosial yang tercipta di dalam gedung. Relasi-relasi sosial yang hadir dan melekat pada ruang
fisik gedung perpustakaan inilah yang kemudian hadir sebagai rujukan bagi para pengguna dalam
bertindak dan berkegiatan sosial dengan pengguna lainnya.
Rumusan Masalah
Transformasi desain tata ruang Perpustakaan Universitas Indonesia tentunya akan
mempengaruhi pemaknaan pengguna dalam memanfaatkan ruang perpustakaan itu sendiri. Tidak
hanya dari kacamata ruang fisiknya namun juga dalam kacamata ruang sosialnya. Berdasarkan
permasalahan penelitian di atas terdapat dua pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian
ini, yaitu:
1. Bagaimana para pengguna perpustakaan melekatkan makna pada perubahan lanskap fisik
gedung Perpustakaan Universitas Indonesia?
2. Bagaimanakah interaksi yang terbangun antar pengguna perpustakaan dalam menciptakan ruang
sosial di gedung PerpustakaanUniversitas Indonesia?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami ruang sosial yang tercipta di Perpustakaan
Universitas Indonesia, yang didasarkan pada pemaknaan pengguna atas ruang fisik dan ruang sosial
yang tercipta di perpustakaan. Kegiatan yang tercipta di perpustakaan bukan hanya sekedar pada
3
pengelolaan dan pemanfaatan informasi, namun juga hadir berbagai aktifitas sosial yang
melibatkan para pengguna perpustakaan di dalamnya. Di sini, perpustakaan hadir sebagai ruang
sosial, tempat para pengguna perpustakaan berinteraksi antar satu dengan yang lain.
Lebih lanjut lagi, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan alternatif dalam
melakukan pengembangan perpustakaan, khususnya perpustakaan akademik, di Indonesia. Bahwa
seharusnya dalam proses pengembangan perpustakaan, tidak hanya terfokus pada pengembangan
koleksi ataupun pada pengembangan sistem manajemen informasi yang dimiliki perpustakaan.
Fungsi ruang (fisik) perpustakaan yang bisa digunakan sebagai area bersosialisasi bagi para
penggunanya, juga perlu menjadi perhatian. Sosialisasi yang terjalin antar pengguna perpustakaan
tidak hanya menampilkan eksistensi diri pengguna dengan pengguna lainnya namun juga juga
wadah para pengguna untuk bertukar informasi antar satu dengan yang lain.
Kerangka Teoritis
A. Memaknai Ruang Sosial
Ruang sosial muncul karena adanya hubungan-hubungan yang terjalin antara manusia dan
kemudian direproduksi kembali sebagai sarana pemikiran dan tindakan dalam berhubungan
dengan manusia lainnya (Lefebvre, 1991:26-27). Ruang sosial terkonstruksi sedemikian rupa,
sehingga memiliki bentuk yang koheren, sebagai upaya untuk mengontrol tingkah laku manusia.
Ruang sosial dan tindak tanduk manusia, memiliki hubungan yang dialektik. Dimana, manusia
memanipulasi tindak tanduknya dalam berinteraksi dengan manusia lainnya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Di sisi lain, manusia dalam berhubungan, harus bisa berdaptasi dengan
ruang sosial ada agar dapat diterima oleh orang lain.
Dalam menjalankan hidupnya, manusia selalu berusaha membangun dunia yang
diinginkannya. Namun sebaliknya, lingkungan hidup manusia secara tidak langsung memberikan
batasan-batasan hidup yang menjadi acuan hidup manusia. Hall (1982:4) menjelaskan bahawa
manusia itu pada dasarnya merupakan ‘spatiallity produced’, karena pemikiran dan tindakan
manusia sulit untuk keluar dari ranah ruang sosial yang tercipta di lingkungannya. Dunia manusia
adalah sebuah distribusi fisik dari benda-benda yang dikonstruksikan sebuah relasi sosial, karena
tiap orang mengalaminya dan mendefinisikannya sebagai sebuah realitas sosial.
Bagi seorang manusia memaknai ruang sosial bukan hanya soal memahami sebuah realitas
sosial, namun juga memaknainya sebagai ruang bagi dirinya untuk menempatkan diri ke dalam
4
lingkungan hidupnya (Stewart dan Strathern, 2003:2). Ruang sosial pada tempat menjadi bermakna
ketika manusia bertindak mengekspresikan subjektifitasnya terhadap kondisi sosial dan material
yang ada di sekitarnya (Hall, 1982:106; Low & Lawrence-zuniga, 2003:2; Werlen, 1993: 4).
Dengan demikian makna atas ruang sosial hanya mungkin hadir melalui praktik sosial yang konkrit
dalam tempat hidup manusia.
B. Perpustakaan Akademik sebagai Ruang Sosial
Merujuk pada Brophy (2005) perpustakaan di dalam lingkungan perguruan tinggi selalu
dianggap sebagai “jantung” yang menjadi tumpuan dalam mendukung pelaksanaan program
perguruan tinggi. Sehingga keberadaan perpustakaan di perguruan tinggi sepenuhnya bergantung
pada lembaga yang menaunginya. Karakter dan jenis layanan yang ditawarkan oleh perpustakaan
didasarkan pada kebutuhan para pengguna perpustakaan, baik sivitas akademi universitas ataupun
masyarakat dari luar lingkungan universitas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PPS ( Project for Public Service) pada tahun
1993 (dalam Kent & Myrick, 2003:72) masyarakat melihat adanya potensi pada sebuah
perpustakaan umum untuk menjadi sebuah tempat untuk berkumpul. Menjadikan perpustakaan
sebagai sebuah tempat berkumpul tentu tidak hanya terjadi pada perpustakaan umum, namun juga
di perpustakaan akademik. Seperti yang diungkapkan oleh Gayton (2008: 60) bahwa dalam
melakukan pengembangan ilmu pengetahuan, perpustakaan akademik seringkali dijadikan sebagai
wadah untuk berkomunikasi dan berkolaborasi antar pengguna perpustakaan.
Sebagai ruang bersosialisasi, perpustakaan haruslah ditempatkan di area yang strategis dan
tertaut dengan seluruh gedung dan area yang di lingkungan universitas, agar para pengguna dapat
mudah mengakses gedung perpustakaan. Begitu juga pencitraan perpustakaan yang terbuka dan
nyaman, turut menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengguna. Selain itu, sebagai area
bersosialisasi, perpustakaan harus dapat memenuhi segala kebutuhan pengguna atas penggunaan
ruang di area universitas. Sivitas akademi universitas tidak hanya membutuhkan tempat untuk
melakukan kegiatan akademik, namun juga memerlukan tempat untuk melakukan kegiatan lainnya
baik secara individual maupun secara komunal.
5
Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan di gedung Perpustakaan Universitas Indonesia ini, secara khusus,
hanya akan memperhatikan ruang-ruang yang dapat diakses secara bebas oleh para pengguna
perpustakaan. Ruang-ruang tersebut antara lain area lobi, ruang komputer, area tenant, teras, ruang
baca, ruang koleksi dan ruang diskusi. Hal ini dikarenakan berbagai ruang tersebut memiliki desain
dan fasilitas pendukung yang berbeda-beda, yang memberikan ciri tersendiri pada ruang-ruang
tersebut.
Dengan metode wawancara, dan obsevasi, penelitian ini tidak sekedar melihat realitas
dalam ruang sosial yang diciptakan oleh pengguna namun juga pemaknaan pengguna perpustakaan
dalam berkegiatan sosial dan berinteraksi dengan pengguna lainnya. Di sini, pihak-pihak yang
dipilih sebagai informan merupakan para pengguna aktif, bukan hanya sivitas akademi Universitas
Indonesia, namun juga dengan pengguna dari luar lingkungan universitas yang menggunakan dan
memiliki kepentingan atas fasilitas yang ditawarkan dalam gedung Perpustakaan Universitas
Indonesia. Sebagai tambahan, penelitian ini menjadi pustakawan yang mengetahui proses
tranformasi perpustakaan Universitas Indonesia sejak dari perencanaan hingga proses eksekusi
sebagai informan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Upaya relokasi dan trasformasi Perpustakaan Universitas Indonesia dilakukan sejak tahun
2009 dan baru diresmikan pada tahun 2011. Desain inovatif direalisasikan pada bangunan
Perpustakaan Universitas Indonesia ini dengan menganut konsep save energy. Atap berbentuk
green roof dianggap mampu meredam panas dari luar gedung, sehingga suasana di dalam tetap
terasa sejuk dan nyaman. Selain itu dengan konsep skylight, diharapkan area dalam gedung
perpustakaan mampu mendapatkan penerangan alami yaitu langsung berasal dari cahaya matahari.
Dengan adanya relokasi dan trasnformasi gedung Perpustakaan Universitas Indonesia
diharapkan gedung perpustakaan ini dapat menjadi sarana bagi pengguna perpustakaan untuk
melakukan olah pikir, olah rasa dan oleh raga. Sebagai usaha perpustakaan menjadi tempat untuk
berolah pikir bagi para pengguna perpustakaan, perpustakaan terus berusaha untuk
mengembangkan koleksi yang dimilikinya, dari bahan monograf dan jurnal yang tercetak hingga
bahan monograf dalam bentuk softcopy dan jurnal-jurnal yang dilanggan secara online. Di sisi lain,
seiring dengan tersedianya koleksi yang hadir dalam media digital, perpustakaan kemudian
6
menyediakan ruangan yang dapat digunakan pengguna untuk belajar, baik secara berkelompok
maupun sendiri-sendiri.
Perpustakaan Universitas Indonesia diharapkan mampu menjadi wadah bagi para
penggunanya untuk berlatih bersosialisasi dengan orang lain. Dengan disediakannya berbagai
ruang bersosialisasi di dalam gedung perpustakaan, para pengguna perpustakaan diharapkan dapat
berinteraksi dengan leluasa dengan pengguna lainnya. Fasilitas yang diberikan oleh perpustakaan
ini sebagai bentuk usaha perpustakaan menjadi wadah bagi para pengguna untuk melakukan olah
rasa.
Pada tata rencana pembangunan gedung Perpustakaan Universitas Indonesia, gedung
perpustakaan diarahkan menjadi meeting point dan pusat kegiatan sivitas akademi Universitas
Indonesia. Oleh karena itu kemudian, tidak hanya bentuk bangunan perpustakaan yang dirubah
namun juga letak perpustakaan di area Univeritas Indonesia. Keberadaan Perpustakaan Universitas
Indonesia direlokasi menjadi di tengah-tengah wilayah Universitas Indonesia agar para pengguna
perpustakaan dapat mengakases perpustakaan dengan mudah yaitu dengan hanya berjalan kaki.
Jika dipikirkan kembali, jalan kaki dapat dikategorikan sebagai cara olah raga paling mudah, ringan
dan murah yang tentunya dapat dilakukan seluruh sivitas akademi.
Tata Ruang Fisik Gedung Perpustakaan Universitas Indonesia
Area gedung perpustakaan yang terbuka bagi seluruh pengguna perpustakaan adalah area
yang terdapat di lantai satu hingga lantai empat. Secara khusus area-area tersebut antara lain area
lobi, ruang komputer, area teras, area tenant, ruang diskusi, ruang baca dan ruang koleksi. Di
berbagai ruangan ini para pengguna dapat berkegiatan secara bebas, baik kegiatan serius atau santai
ataupun melakukan kegiatan yang sifatnya individual ataupun dilakukan secara komunal.
Area Lobi
Lobi gedung perpustakaan Universitas Indonesia berada tepat di depan pintu masuk area
perpustakaan. Area ini menjadi area yang menghubungkan area perpustakaan dengan ruang
komputer dan juga area tenant, sehingga membuat area ini diramaikan dengan hilir mudik para
pengguna perpustakaan, khususnya pada jam buka perpustakaan, waktu makan siang dan
menjelang jam tutup perpustakaan.
7
Letak lobi strategis membuat area ini cocok menjadi area pertemuan atau area meeting
pointyang dapat digunakan untuk melakukan segala kegiatan. Bisa dikatakan area ini merupakan
ruang serba guna, karena area ini bisa digunakan sebagai area diskusi, belajar, bersantai atau
bahkan ada juga yang pacaran. Walaupun berbagai kegiatan tercipta di area ini, para pengguna
berkegiatan bebas tanpa terpengaruh oleh orang sekitarnya.
Ruang Komputer
Ruang komputer yang terletak di lantai satu gedung perpustakaan inisering disebut sebagai
Ruang Mac. Hal ini dikarenakan komputer PC yang digunakan di ruangan ini keseluruhan berupa
komputer Machintosh, sehingga ruangan ini. Disediakannya ruangan komputer ini sebagai
pendukung kegiatan akademik civitas akademika Universitas Indonesia. Walaupun
penggunaannya dimaksudkan untuk memudahkan para pengguna dalam mengerjakan tugas
ataupun unuk mencari bahan-bahan digital, namun ternyata banyak pengguna yang justru
memanfaatkan jaringan internet untuk berelaksasi. Hadirnya jaringan internet yang cepat, sering
dimanfaatkan pengguna untuk streaming di Youtube atau di website streaming lainnya, bahkan ada
pengguna yang sengaja memanfaatkan jaringan internet mengunduh film ataupun lagu.
Pemanfaatan fasilitas di ruangan ini biasanya dilakukan sendiri-sendiri, namun tidak
dipungkiri ada juga pengguna yang senang berkumpul bersama-sama dengan teman-temannya.
Gambar 1. Lobi Perpustakaan Universitas Indonesia (Sumber: Dokumen Pribadi)
8
Dengan menggeser kursi dari sebelahnya, para pengguna ini bisa melakukan kerja kelompok
ataupun menonton bersama. Walaupun para pengguna ini seringkali ricuh sendiri, namun
sepertinya hal ini biasanya diacuhkan oleh pengguna lainya. Para pengguna ini akan tetap akan
fokus pada pekerjaannya masing-masing.
Area Tenant
Pada dasarnya kehadiran usaha komersil di lantai satu gedung Perpustakaan Universitas
Indonesia merupakan bentuk usaha menjadikan Gedung Perpustakaan sebagai one stop area bagi
para pengguna perpustakaan dalam berkegiatan. Di awal kehadirannya, area tenant ini seringkali
menjadi bahan cibiran bagi civitas akademika yang kontra dengan kehadiran gedung Perpustakaan.
Menurut mereka, kehadiran usaha komersil di perpustakaan tidak bisa ditolerir. Namun seiring
dengan berjalannya waktu dan dengan pendekatan yang dilakukan secara perlahan oleh pihak
perpustakaan dan juga pihak Universitas Indonesia sendiri, akhirnya area tenant ini pun bisa
diterima keberadaannya di perpustakaan.
Kehadiran area tenant di perpustakaan tidak hanya untuk pelengkap fasilitas di
perpustakaan, sehingga para pengguna tidak perlu lagi ke luar dari perpustakaan saat membutuhkan
sesuatu. Area tenant ini juga menjadi salah satu daya tarik yang dapat mengundang pengunjung,
civitas akademika maupun orang luar untuk datang. Tidak jarang para civitas akademika
Gambar 2. Keadaaan di Ruang Komputer (Sumber: Dokumen Pribadi)
9
Universitas Indonesia datang ke gedung perpustakaan hanya untuk makan dan minum atau
bersantai di restoran atau cafe yang ada di area tenant.Selain itu, area tenant juga menjadi tempat
alternatif bagi mahasiswa Universitas Indonesia untuk belajar ataupun sebagai tempat rapat bagi
para dosen dan peneliti Universitas Indonesia
Teras
Teras yang letaknya tepat di belakang gedung Perpustakaan Universitas Indonesia, mampu
menyelaraskan keberadaan gedung dengan danau Universitas Indonesia. Pepohonan yang berjejer
di tepian danau, membuat suasana teras kelihatan seperti sebuah taman kota nan asri. Di sisi
lainnya, terdapat undakan bangku beton yang dibuat melingkar mengelilingi dua pohon besar. Area
yang disebut dengan taman lingkar ini, terlihat seperti sebuah arena pertunjukkan. Pun, area ini
memang cukup sering dijadikan tempat untuk melakukan pertunjukan kecil-kecilan. Area ini
memang tampak nyaman untuk dijadikan sebagai tempat berkumpul. Dua pohon besar yang
menjadi pusat perhatian di taman lingkar ini, mampu meredam teriknya panas matahari.
Area teras perpustakaan ini tidak luput dari keramaian pengguna perpustakaan. Biasanya
puncak keramaian di area ini terjadi di sore hari. Para pengguna perpustakaan cukup senang
memanfaatkan area ini, terutama untuk menikmati pemandangan sambil merasakan semilir tiupan
Gambar 3. Teras gedung Perpustakaan Universitas Indonesia (Sumber: Dokumen Pribadi)
10
angin. Jika di hari biasa lebih banyak mahasiswa yang memanfaatkan area ini, para pengunjung
dari kalangan masyarakat umum lebih banyak datang di akhir pekan. Saat akhir pekan ini, banyak
orang tua yang senang mengajak anaknya ke sini, untuk melakukan wisata murah.
Ruang Baca
Situasi di ruang baca khusus di setiap lantai pun berbeda-beda. Kursi yang disediakan selalu
penuh dimanfaatkan oleh pegguna perpustakaan. Terlebih lagi area tengah ruang baca di lantai dua
pun selalu ramai, pasalnya area ini menjadi tempat “transit” para pengguna lift yang ingin datang
ke ruang koleksi. Suasana di ruang baca khusus di lantai tiga terasa lebih tenang dibandingkan
ruangan dibawahnya. Di hari biasa, kursi yang disediakan tidak sepenuhnya digunakan.
Suasana berbeda terasa di ruang baca lantai empat. Suasana tenang dan sunyi benar-benar
terasa di ruangan ini. Kursi dan meja tidak pernah penuh dimanfaatkan pengguna perpustakaan,
khususnya di siang hari. Hal ini dikarenakan hawa di lantai empat ini terasa panas di siang hari.
Posisi ruangan yang berada di lantai atas dan jendela ruangan yang ukurannya sangat luas,
membuat ruangan ini selalu mendapat pantulan cahaya matahari dari gedung di sekelilingnya.
Pantulan inilah yang membuat suhu di ruangan baca khusus lantai empat ini lebih panas dibanding
ruangan di bawahnya.
Ruang baca menjadi tempat pilihan para pengguna untuk menyendiri, baik untuk
mengerjakan tugas ataupun sekedar untuk beristirahat. Namun tidak jarang ada juga pengguna yang
datang bersama dengan teman-temannya. Walaupun mereka datang bersama-sama, setiap anak
biasanya akan berusaha untuk tetap tenang saat berada di ruangan ini. Sehingga saat mereka akan
mengobrol biasanya mereka akan memilih untuk berbisik ataupun pergi ke luar ruangan.
Ruang Koleksi
Terdapat empat ruang koleksi yang dimiliki perpustakaan Universitas Indonesia. Setiap
ruang koleksi yang terdapat di lantai dua, tiga dan empat berisi monograf dengan jenis yang
berbeda-beda. Sebelum mengakses koleksi, untuk mengetahui letak koleksi secara pasti, para
pengguna dapat menggunakan katalog koleksi perpustakaan yang disediakan di luar dan di dalam
ruang koleksi.
Di dalam ruang koleksi di lantai dua tersedia koleksi umum, berupa monograf ilmiah
maupun non-ilmiah yang dapat dipinjam ke luar ruangan oleh para anggota perpustakaan.Di dalam
11
ruang koleksi lantai dua ini terdapat ruangan yang disebut dengan ruangan multimedia. Ruangan
ini tersimpan koleksi-koleksi multimedia yang dimiliki Perpustakaan Universitas Indonesia.
Ruangan ini biasa dijadikan ruang kelas yang pemanfaatannya diprioritaskan untuk para staff
pengajar Universitas Indonesia.
Koleksi yang tersimpan di lantai tiga berupa koleksi UI-ana. Koleksi yang ada di ruangan
ini seperti arsip yang dimiliki oleh Universitas Indonesia, sehingga koleksi-koleksi ini tidak dapat
dipinjam ke luar ruangan oleh para pengguna perpustakaan. Lain halnya di lantai empat, ruang
koleksi di lantai ini berisi koleksi rujukan seperti kamus, ensiklopedi, manual, almanac, dan
sebagainya. Sama seperti koleksi rujukan di perpustakaan lainnya, berbagai koleksi rujukan yang
tersedia di ruang koleksi ini tidak bisa dipinjam ke luar ruangan koleksi.
Di ruang koleksi ini para pengguna perpustakaan dapat bercengkrama dengan leluasa.
Biasanya para penguna ini akan mencari buku sambil mengobrol dengan teman-temannya.
Sehingga, jika dibandingkan dengan perpustakaan lainnya, ruang koleksi di perpustakaan ini
terdengar lebih bising. Walaupun berisik, para pengguna tetap banyak yang datang ke ruang koleksi
ini karena adanya rasa kebutuhan mereka atas koleksi yang disediakan perpustakaan.
Ruang Diskusi
Demi menjadi perpustakaan sebagai ruang bersosialisi untuk mahasiswa Universitas
Indonesia dan juga untuk para pengguna perpustakaan pada umumnya, perpustakaan menyediakan
ruang diskusi di setiap lantai. Ruang diskusi terletak di lantai satu hingga lantai empat gedung
perpustakaan. Suasana ruang baca di setiap lantai tentu berbeda-beda.
Di hari biasa ruang diskusi biasanya ramai setelah waktu makan siang. Sedangkan di akhir
pekan, ruang diskusi ini justru sudah ramai sejak jam buka perpustakaan. Dalam penggunaan ruang
diskusi ini para pengguna seperti menganut ungkapan “Siapa cepat dia dapat”. Ruang diskusi yang
bisa dimanfaatkan secara terbuka dan tidak adanya batas waktu penggunaan membuat ruang
diskusi ini selalu ramai dimanfaatkan.
Dari kegiatan berupa berdiskusi kelompok hingga sekedar mengobrol ataupun beristirahat
sendirian di pojok ruangan juga ada di sini. Ruangan diskusi ini sendiri memang menjadi salah satu
area favorit pengguna perpustakaan, terutama untuk berkumpul bersama teman-temannya ataupun
sebagai tempat bersantai untuk mengisi waktu luangnya.
12
Citra Ruang (Fisik) Perpustakaan dan Kegiatan Para Pengguna Perpustakaan
Kent (2003) menjelaskan bahwa citra perpustakaan merupakan salah satu faktor yang
mampu menumbuhkan ketertarikan para pengguna untuk datang dan memanfaatkan fasilitas
perpustakaan. Desain green building dan hadirnya area tenant di dalam gedung Perpustakaan
Universitas Indonesia jauh dari kesan kaku dan kumuh, dan tentunya menjadi daya tarik tersendiri
di mata para pengguna perpustakaan
Pembentukan citra Perpustakaan Universitas Indonesia, secara garis besar, tidak bisa
dilepaskan dari bentuk ruang fisik perpustakaan itu sendiri. Bangunan Perpustakaan Universitas
Indonesia yang terbentuk dari bentuk fisik perpustakaan, secara tidak langsung tentunya memiliki
pengaruh atas kegiatan yang dilakukan pengguna di perpustakaan. Hal ini seperti yang
dimaksudkan oleh Kim Dovey, bahwa bentuk fisik bangunan memberikan pengaruh pada manusia
untuk bertindak menyikapi bentuk bangunan tersebut (Dovey, 1999:10).
Perpustakaan Universitas Indonesia terdiri dari berbagai macam ruang fisik dengan
karakter yang berbeda-beda. Karakter ruangan perpustakaan tersebut, secara kasat mata, dibangun
melalui penggunaan benda-benda fisik yang berbeda di setiap ruangan. Mebel dengan benda fisik
pendukung lainnya hadir sebagai sebuah ciri dari setiap ruang di perpustakaan. Jika kita merujuk
pada pendapat Dovey, dapat diketahui bahwa bentuk mebel yang diletakkan dengan pola-pola
tertentu, secara tidak langsung mampu mempengaruhi kegiatan yang dilakukan para pengguna di
dalam ruangan
Gambar 1. Suasana di ruang Diskusi (Sumber: Dokumen Pribadi)
13
Secara garis besar, perpustakaan menggunakan bangku berupa kursi kerja ataupun sofa.
Sedangkan meja yang digunakan berupa meja belajar bersekat dan meja belajar dengan bentuk
yang luas. Pandangan pengguna atas berbagai macam bentuk mebel tersebut, mempengaruhi cara
para pengguna dalam memanfaatkan perpustakaan.
Ruang fisik di Perpustakaan Universitas, dengan penataan dan dengan penggunaan mebel
merupakan bentuk fisik yang membatasi ruang gerak para pengguna dalam memanfaatkan ruang
(fisik) perpustakaan. Ruang baca, dengan meja belajar bersekat dan kursi kerja dianggap sebagai
area untuk melakukan kegiatan yang dikerjakan sendiri. Di sisi lain, ruang diskusi dengan kursi
kerja dan meja yang luas dianggap sebagai area untuk melakukan kegiatan bersama dengan orang
lain. Selain itu, kertersediaan sofa di lobi membuat area lobi dianggap sebagai area untuk bersantai
dan beristirahat. Di sisi lain, area tenant diisi dengan berbagai café dan rumah makan yang
memiliki konsep tampilan sendiri-sendiri mampu memberikan efek penggunaan yang berbeda bagi
para penggunanya.
Lefebvre (1991:2) menjelaskan bahwa dalam konsep pemikiran, ruang sosial mengandung
dua unsur penting yaitu sejarah dan waktu. Sejarah memberikan pandangan kepada kejadian yang
yang akan terjadi. Tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara rutin dan berulang akan
memberikan suatu cerita yang berbeda di belakangnya. Hal ini lah yang kemudian membentuk
batasan-batasan penggunaan ruang fisik perpustakaan. Namun lebih lanjut, batasan-batasan
tersebut tidak hanya terikat pada penggunaan ruang fisik, namun juga mengikat pada perilaku para
pengguna saat berinteraksi dengan pengguna lain di area perpustakaan.
Bila sebelumnya kita melihat citra ruang fisik perpustakaan dapat dilihat dari benda-benda
fisik yang hadir di dalamnya. Pencitraan setiap ruang perpustakaan akan semakin kuat terlihat
dengan adanya kegiatan dengan karakteristik tertentu yang hadir di ruangan tersebut. Berbagai
kegiatan yang menjadi rutinitas di ruangan ini menjadi bagian yang melekat dengan perpustakaan.
Hal ini dapat terlihat dari gambaran kegiatan yang terjadi di setiap ruang perpustakaan.
Bila kita perhatikan pola kegiatan di berbagai ruang di gedung Perpustakaan Universitas
Indonesia, telah menjadi bagian dari ruangan. Menjadi bagian karakteristik setiap ruang, yang
menjadi citra dari ruangan tersebut. Hal ini terlihat dari bagaimana para pengguna memilih ruangan
sesuai dengan kegiatan yang mereka lakukan. Citra yang tumbuh sebagai ruang bentukan dari hasil
kegiatan para penggunanya yang disebut dengan representational space (Lefebvre, 1991: 38).
14
Area diskusi, lobi, area tenant dan teras menjadi area yang dianggap cocok untuk
berkegiatan bersama, baik untuk kegiatan serius atau kegiatan yang santai, ataupun sebagai area
titik temu, sebagai area bagi pengguna untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya. Di sisi lain,
ruang baca dan ruang koleksi, dianggap sebagai area yang mengakomodir aktifitas pengguna
perpustakaan yang bersifat pribadi.
. Werlen (1993:10) menjelaskan kebiasaan yang terjadi pada suatu lingkungan sosial
merupakan gambaran dari faktor sosial budaya yang mempengaruhi karakter anggota masyarakat
sehingga akan menjadi tindakan yang dirasa sebagai sebuah kebutuhan, motivasi dan sikap orang-
orang yang disana. Hal ini tergambarkan saat para para pengguna yang sedang mengerjakan tugas
akhir lebih senang berada di ruang baca, karena alasan “rasa senasib sepenanggungan”. Atau
seperti pengguna café yang ingin menemukan suasana santai, di saat tengah melakukan pekerjaan
yang serius.
Narasi Kontrol Sosial di Dalam Gedung Perpustakaan
Lefebvre (1991: 26) menjelaskan bahwa ruang sosial merupakan sebuah produk sosial.
Menurutnya produksi sosial dalam ruang itu tercipta dalam bentuk kontrol, dominasi dan
kekuasaan. Ruang sosial yang tercipta di Perpustakaan Universitas Indonesia, tentunya merupakan
hasil bentukan dari interaksi tercipta di dalam gedung perpustakaan, terutama oleh para pengguna
perpustakaan itu sendiri. Hal ini tentunya cocok dengan kondisi ruang di perpustakaan, yang
menganut proses ini disebut dengan ‘self govern’ the space (Bryant, Matthews, & Graham,
2009:12). Di mana, suasana yang tercipta di ruang baca ini adalah hasil bentukan dari interaksi
para pengguna ruang koleksi itu sendiri dan tidak ada campur tangan dari pustakawan.
Jika kita merujuk pada Freeman (2005:6), dari penggambaran suasana perpustakaan dapat
disimpulkan bahwa perpustakaan memang telah berkembang menjadi tempat berkumpul bagi
sekelompok orang dan menjadi tempat yang mampu membangun satu perasaan dan tujuan yang
lebih besar dari yang dimiliki seorang individu. Perpustakaan Universitas Indonesia yang ada saat
ini merupakan hasil dari kegiatan keseharian para penggunanya yang telah berlangsung selama
kurang lebih tiga tahun ini. Perpustakaan dengan ruang dan kegiatannya yang berpola merupakan
bentuk gambaran hasil proses yang berkelanjutan.
Suasana dalam ruang perpustakaan tentunya, tidak serta terbentuk begitu saja. Suatu
tindakan atau perilaku yang dilakukan secara berlang-ulang akan menjadi bagian dari ruang
15
perpustakaan, dan secara alami akan suatu “understood tacit behavioral agreements” (Cunningham
& Tabur, 2012). Para pengguna lama, secara tidak sadar akan menjadikan “understood tacit
behavioral agreements” ini sebagai aturan yang berlaku pada ruangan, dan dirinya akan bertindak
sebagai bertanggung jawab untuk menerapkan aturan tersebut dalam ruangan.
Gambaran kontrol sosial dapat terlihat secara jelas di ruang diskusi yang suasananya
ruangannya kental dengan ketenangan. Di sini, para pengguna ruangan terlebih para pengguna aktif
akan bereaksi apabila ada seseorang yang merusak ketenangan ruangan. Bentuk pelotot, sindiran
hingga memarahi orang yang berisik menjadi bentuk kontrol yang dilakukan di dalam ruang
diskusi.
Situasi yang sama juga terjadi di area ruang koleksi, berdasarkan pengalaman bahwa ruang
koleksi di setiap perpustakaan harus tenang. Beberapa pengguna juga seringkali merasa
bertanggung jawab untuk menjaga ketenangan ruang koleksi dengan sindiran, pelotot dan
memarahi secara halus. Menarik di sini adalah walau menjunjung suasana tenang dalam ruangan,
namun batas kontrol ketenangan antara ruang baca dengan ruang koleksi cukup berbeda. Batas
toleransi kebisingan di ruang koleksi cenderung lebih tinggi dibanding dengan ruang baca.
Bagaimana dampak dari kontrol tersebut? Hal ini terlihat dari bagaimana kemudian ada
pengguna yang akhirnya tetap berada di tempat di ruangan dan berusaha untuk tetap diam atau
malah ada yang justru akhirnya keluar dari ruang dan tidak mau kembali ke ruangan.
Lefebvre (1991) berpandangan bahwa dunia manusia merupakan sebuah distribusi fisik
dari benda-benda yang dikonstruksikan pada sebuah relasi sosial. Ruang hidup manusia hadir
sebagai hasil dari tindakan praktik tertentu yang melibatkan dirinya. Pengguna yang turut menjadi
bagian dari ruang baca, akan berusaha untuk bersikap tenang di ruangan. Saat ia ingin mengobrol
atau sekedar menerima telepon, secara tidak disadari ia akan segera keluar ruangan. Hal ini
dilakukannya agar ia tidak ditegur oleh para pengguna ruang baca lainnya. Tindakan yang
dilakukan oleh pengguna ruang baca ini, merupakan usaha dirinya untuk menjadi bagian dari
anggota ruang baca. Hall (1982:4) menjelaskan bahwa manusia merupakan makhluk hidup yang
tidak bisa keluar dari ranah lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu beradaptasi dengan
lingkungan sosialnya agar bisa diterima oleh orang lain dalam lingkungan tersebut.
Jika kita melihat situasi di ruang baca dan ruang koleksi, Perpustakaan Univeritas Indonesia
sebagai ruang sosial hadir dengan turut menyediakan ruang bagi penggunanya untuk berkegiatan
individual yang membutuhkan ruangan yang tenang (Gayton, 2008). Namun ternyata di ruangan
16
ini tidak selalu kegiatan bersifat pribadi yang hadir, ada saja pengguna yang duduk
memanfaatkannya untuk berhubungan sosial. Maksudnya, asalkan mereka berdiskusi dengan
tenang dan dianggap tidak mengganggu keadaan sekitar para pengguna dapat bekerja bersama-
sama di dalam ruang baca ataupun ruang koleksi. Justru hal ini yang kemudian menjadi boomerang
bagi pihak perpustakaan itu sendiri. pasalnya ada saja pengguna yang memanfaatkan ruangan untuk
berpacaran.
Berbeda dengan suasana di ruang koleksi ataupun ruang koleksi atau pun ruang baca,
suasana di ruangan lainnya condong lebih bebas. Para pengguna di area ini cenderung tidak acuh
pada pengguna lain atau kelompok pengguna lainnya. Kepentingan pengguna atas ruang diskusi,
area tenant, dan lobi yang membutuhkan ruang untuk bersosialisasi membuat kontrol secara pribadi
tidak tumbuh. Penggunaan ruangan yang memang ditunjukan untuk kegiatan bersama membuat
suasana ramai dan kebersamaan menjadi sebuah kontrol dalam ruangan. Maksudnya adalah para
pengguna yang berkegiatan sendiri, biasanya akan merasa canggung apabila mereka bekerja di area
ini.
Sebagai tambahan, bagi pengguna yang terpaksa berkegiatan sendirian berada di ruang
diskusi, lobi atau tenant, earphone atau headphone muncul sebagai alat untuk memanipulasi
kegaduhan di ruangan. Di sisi lain, earphone dan headphone juga muncul digunakan oleh pengguna
ruang baca, sebagai cara untuk menyiasati ruangan agar tetap tenang di saat pengguna
mendengarkan lagu atau menonton di ruang baca ini adalah mendengarkan dengan menggunakan.
Kedua alat ini menjadi senjata ampuh para pengguna saat dilanda kebosanan.
Kesimpulan
Berbagai aktifitas yang tercipta antar pengguna perpustakaan Univeritas Indonesia
membentuk ruang sosial di perpustakaan. Tindakan yang muncul dalam ruang perpustakaan
Universitas Indonesia, merupakan bentuk refleksi dan stimulus pengalaman dari para pengguna
perpustakaan yang terkait dengan tata ruang dan benda fisik perpustakaan. Hadirnya berbagai
ruang perpustakaan yang diisi dengan berbagai benda-benda fisik di dalamnya, pada ruang muncul
sebagai informasi atau tanda yang memengaruhi tindakan dan kegiatan pengguna pada ruang
tersebut.
Kegiatan berpola yang dilakukan terus menerus berkembang menjadi kebiasaan yang
melekat pada ruang fisik perpustakaan. Merujuk pada Lefebvre (1991:2), tindakan dan kegiatan
17
berulang yang dilakukan oleh pengguna di ruang perpustakaan memberikan cerita yang berbeda di
belakangnya. Memaknai sebuah ruang sosial, dalam ruang lingkup gedung Perpustakaan
Univeritas Indonesia, berarti tidak hanya memaknai benda fisik di dalamnya namun juga melihat
tindakan dan interaksi yang mucul dalam ruang fisik perpustakaan tersebut.
Hubungan pengguna dengan ruang perpustakaan yang muncul karena adanya suatu
keterbutuhan, berkembang menjadi suatu bentuk keterikatan pada ruang. Keterikatan para
pengguna pada ruang fisik dan ruang sosial perpustakaan terlihat dari bagaimana para pengguna
ini mengikuti dan menjalankan aturan yang disepakati bersama oleh seluruh pengguna
perpustakaan atau disebut “understood tacit behavioral agreements”(Cunningham & Tabur, 2012).
Bahkan para pengguna “lama” seringkali bertindak dan menjadi penegak aturan dalam ruang
perpustakaan tersebut.
Interaksi antar pengguna lama dengan pengguna yang lainnya menjadi faktor yang
mempengaruhi ruang sosial perpustakaan.Secara khusus di ruang baca atau di ruang koleksi para
pengguna lama bertanggung jawab untuk menjaga ketenangan suasana di kedua ruangan tersebut.
Sedang ruang diskusi ataupun di area tenant, berdasarkan pengetahuannya bahwa ruangan tersebut
merupakan area umum sebagai tempat bersosialisasi. Oleh karena itu para pengguna cenderung
tidak acuh dengan suasana ruangan, baik suasananya berisik ataupun tidak.
Manusia secara sadar maupun tidak, akan bertindak sesuai dengan apa yang dimaknainya
terkait dengan situasi dan suasana yang tercipta dalam ruang tersebut. Di sinilah kemudian muncul
tindakan-tindakan manipulatif agar manusia mampu memenuhi kebutuhannya di dalam ruangan
perpustakaan. Salah satu contoh yang paling mudah terlihat adalah pemanfaatan area tenant
sebagai rapat. Kegiatan rapat merupakan kegiatan serius yang biasanya membutuhkan suasana
formal dan serius. Namun jika kegiatan tersebut dilakukan di area tenant, tentu para pelakunya
ingin mendapatkan kegiatan rapat dengan suasana “serius tapi santai”.
Daftar Pustaka
Bryant, J., Matthews, G., & Graham, W. (2009). Academic Libraries and Social and Learning
space: A Case Study of Loughborough University Library,UK. Journal of Librarianship and
Information Science, 41 (1), 7-18.
Brophy, P. (2005). The Academic Library. London: Facet Publishing.
Cunningham, H. V., & Tabur, S. (2012). Learning Space Attributtes: Reflections on Academic
Library Design and Its Use. Journal of Learning Spaces, 1 (2), 1-6.
18
Dovey, K. (1999). Framing Places. London: Routledge.
Freeman, G. T. (2005). The Library as Place. Dalam Library as Place: Rethinking Roles,
Rethingking Space (hal. 1-9). Washington, D. C.: Council on Library and Information Resources.
Gayton, J. T. (2008). Academic Libraries: "Social" or "Communal?" The Nature and Future of
Academic Libraries. Journal of Academic Librarianship, 34 (1), 60-66.
Hall, E. T. (1982). The Hidden Dimension. New York: Anchor Books.
Kent, F., & Myrick, P. (2003). How to Become a Great Public Space. American Libraries, 34 (4),
72-76.
Lefebvre, H. (1991). The Production Of Space. Oxford: Blackwell Publishing.
Low, S. M., & Lawrence-zuniga, D. (2003). Locating Culture. Dalam S. M. Low, & D. Lawrence-
zuniga, The Anthropology od Space and Place: Locating CUlture (hal. 1-47). Oxford: Blackwell
Publishing.
Steward, J. P., & Strathern, A. (2003). Introduction. Dalam J. Steward, & A. Strathern, Landscape.
Memory and History: Anthropological Perspectives (hal. 1-15). London: Pluto Press.
Werlen, B. (1993). Society, Action and Space: An Alternative Human Geography. London:
Routledge.