ruang cakrawala 9 - siap belajar filewati pun berdiri dengan sunggingan senyuman khasnya. saya ikut...

4
Ruang Cakrawala 9 Awal Agustus 2014 SiapBelajar DOLBON DAN DOLCING Menjadi Sumber Beragam Penyakit Sekitar tahun 70-an be- berapa daerah di Jawa Barat dikenal sebagai daerah “dol- bon (modol di kebon)” dan “Dolcing (modol di pacilin- gan)”. Perilaku ini lah yang membuat kesehatan lingku- ngan masyarakat sering ter- ganggu akibat pencemaran dan buruknya sanitasi, maka tidak heran pada waktu itu berjangkit penyakit “budug” atau “kesrek” di daerah-dae- rah yang sanitasinya buruk. Dolbon dan Dolcing meru- pakan penyakit masyarakat yang waktu itu sulit diberan- tas, sehingga Gubernur Jawa Barat pada masa dijabat Al- marhum H. Aang Kunaefi ser- ing mengkampanyekan pem- berantas dolbon dan dolcing. Dolbon dan Dolcing konon menyebar pula di be- berapa wilayah Kabupaten Subang, di antaranya di wilayah Cibogo, Tanjung- siang, Pamanukan, Legon dan Ciasem. Setelah 40 tahun lewat ternyata dolbon dan dolcing masih berlangsung terutama di Legon, Pamanu- kan dan Tanjungsiang. Di Legon dan Pamanukan, dol- cing tumbuh subur hampir di sepanjang sungai antara Pamanukan sampai Maya- ngan Pondok Bali. Di sepan- jang kali itu berdiri MCK yang dibuat penduduk, se- hingga bukan saja membuat pemandangan menjadi tidak enak melainkan juga dapat menimbulkan penyebaran pe- nyakit. Bayangkan saja, kali yang kotor, penuh tinja manu- sia dan berwarna hitam pekat itu digunakan untuk kebutu- Kenangan Masa Lalu Bertemu Megawati Soekarno Putri Saya pernah ber- temu Megawati Soekar- no putri dan mendapatkan kesempatan berbincang- bincang dengannya, ten- tu sebelum menjadi Ketua PDIP atau Presiden RI. Waktu itu Mega dibawa berkunjung ke Subang oleh Ketua PDI Drs. So- eryadi. Peristiwa ini ber- langsung di Kantor Se- kretariat PDI Jalan KS Tubun. Megawati yang tan- pa disertai suaminya Tau- fik Kemas, diperkenalkan oleh Soeryadi kepada hadirin. Soeryadi keli- hatan menggebu-gebu memiliki keyakinan bah- wa PDI akan berjaya dalam pemilu yang akan dihadapinya. Se- mua bertepuk tangan ketika Soeryadi men- gaduk-aduk emosi ha- dirin dengan mencerita- kan kembali perjuangan Bung Karno, namun saat itu seolah tak lagi dihar- gai oleh pemerintah. Suaranya yang ke- ras dan cukup mengge- legar, tampak berapi-api untuk mengajak rakyat Subang memperjuang- kan cita-cita Bung Kar- no dalam membangun demokrasi negeri ini. Ia mengungkit-ungkit kea- daan negara, mempoli- tisir situasi yang tengah terjadi. Menurut Soerya- di, rakyat kecil harus bangkit, “Bung Karno udah nggak ada, tapi darahnya masih menga- lir pada anaknya yang akan berjuang bersama PDI. Nah, ini anak Bung Karno, saya perkenal- kan namanya Megawati Soekarnoputri,” begitu lah kira-kira ucapan Soer- yadi. Kata-kata Soeryadi otomatis membuat riuh dan bergemuruh. Mega- wati pun berdiri dengan sunggingan senyuman khasnya. Saya ikut ter- sentuh karena untuk per- tama kalinya bisa melihat langsung wajah salah satu putri Bung Karno ini. Saya cukup banyak mem- baca buku-buku Bung Karno, sehingga tahu apa yang pasti dirasakan putra-putrinya mendapat perlakuan kurang menye- nangkan dari rezim yang tengah berkuasa. Terus terang, saya pengagum berat Soekarno karena kecerdasan dan kemam- puannya berdiplomasi. han hidup sehari-hari masya- rakat. Padahal air sungai itu tidak layak digunakan, apala- gi dipakai untuk kebutuhan rumah tangga. Buang hajat atau buang air besar di kali akan me- nimbulkan pencemaran, oleh karena itu dilarang keras. Bila dilanggar jelas akan me- mengaruhi kondisi kesehatan lingkungan. Legon dan Pama- nukan memang memiliki sa- nitasi yang buruk, sehingga memerlukan perbaikian sa- rana dan perubahan perilaku. Dengan kata lain, warga di kedua daerah itu harus me- ngubah perilaku dari praktek sanitasi terbuka ke sanitasi tertutup dengan model dan bentuk yang layak. Namun hal demikian bukan perkara mudah. Ba- yangkan saja setelah puluhan tahun arus modernisasi dan pengetahuan berkembang pe- sat, serta telah berkali-kali dilakukan kampanye tentang pentingnya menjaga keseha- tan lingkungan masih saja sampai saat ini pacilingan yang dibuat di atas sungai itu tetap ada. Warga di Legon dan Pamanukan masih enggan un- tuk membuat kakus atau jam- ban di lingkungan rumahnya. Mereka berpendapat lebih praktis membuatnya di kali karena sekaligus bisa digu- nakan untuk keperluan mandi dan cuci. Bahkan boleh jadi juga untuk kebutuhan minum diambil dari sungai dimak- sud. Demikian pula perila- ku warga di daerah selatan sebagaimana disebut di atas, di beberapa tempat tidak bi- sa menghilangkan kebiasaan dolbon. Perilaku dolbon ini juga yang otomatis membuat sanitasi menjadi buruk, se- hingga kesehatan warga se- tempat sering terganggu. Pemerintah Berupaya Meski demikian, pe- merintah telah berupaya keras untuk menghilangkan kebia- saan buruk tersebut. Salah satunya yang sekarang gencar dilakukan adalah mengakse- lerasikan program pember- dayaan masyarakat melalui Pamsimas (Penyediaan air minum dan sanitai berbasis masyarakat). Program ini se- lain menyediakan air bersih dan air minum untuk ma- syarakat terutama yang ber- domisili di pedesaan juga menekankan pada pentingnya kesehatan lingkungan yang berkaitan dengan sanitasi. Pemerintah melihat kondisi sanitasi yang buruk dan keter- sediaan air minum yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan berkontribusi terhadap berbagai kasus penyakit ber- basis lingkungan. Sanitasi adalah isu krusial di setiap lingkungan karena sanitasi berkaitan langsung dengan kesehatan dan kesejahteraan masyara- kat. Sayangnya isu ini masih kurang mendapat perhatian, sehingga kerap terabaikan atau amat jarang mendapat prioritas. Berdasarkan data riset kesehatan yang dikeluarkan Kementrian Kesehatan pada tahun 2010 lalu, ada 14.000 ton tinja dan 176.000 meter kubik urine yang mencemari sungai setiap hari, tentu ter- masuk sungai yang melintas Pamanukan dan Legon. Hal ini menunjukkan bahwa se- kitar 20% penduduk Indoneia masih buang air besar semba- rangan. Program Pamsimas sendiri yang digulirkan se- jak tahun 2008 telah berjalan cukup baik di Kabupaten Subang, diantarnya di Pama- nukan, Legon, Tanjung Siang dan Ciater. Kecuali di Ciater yang telah memperlihatan hasilnya dalam hal penye- diaan air minum warga, di ketiga kecamatan yang ter- sisa masih menghadapi ba- nyak kendala, yaitu berkaitan dengan kebiasaan buruk tadi. Meski demikian, menurut keterangan beberapa tokoh masyarakat, masyarakat di wilayahnya sedikit demi sedikit mulai banyak yang membuat jamban sendiri di sekitar rumahnya. Boleh jadi hal itu lah yang dijadikan kesimpulan bahwa dalam tiga tahun pelaksanaan Pamsimas se- dikit banyak perilaku ma- syarakat yang terkait dengan masalah sanitasi sudah mu- lai berubah. Data monito- ring Pamsimas menyebutkan bahwa hingga kini Pamsimas telah membangun di seluruh kawasan di tanah air seba- nyak 18.668 unit fasilitas sanitasi non cuci tangan serta 39.004 sarana cuci tangan- atau memberi akses sanitasi layak kepada 2.186.596 jiwa. (TM).*** Tentu dengan sifat ke- pahlawanannya yang memperjuangkan kemerdekaan bagi tanah air. Pada saat break saya mendekati kursi Mbak Mega, kemudian menyapanya dan mem- perkenalkan diri. Ia ter- senyum setelah mengeta- hui bahwa saya adalah wartawan Pikiran Rak- yat. Saya ngobrol yang ringan-ringan saja, tidak minta penjelasan menge- nai kemungkinan adanya deviasi dari penguasa karena ia adalah putra Bung Karno. Sebagaima- na diketahui, pada waktu rezim orde baru berkua- sa, rezim ini tak pernah memberikan tempat pa- da pengikut Bung Kar- no untuk tampil dalam panggung politik. Apalagi terhadap keluarga dan anak-anaknya, orde baru menutup rapat-rapat dan mempersempit ruang ge- raknya. Pengaruh anak- anak Bung Karno dinilai berbahaya, sehingga bila dibiarkan bisa menggang- gu stabilitas, bukan tidak mungkin bisa membuat perubahan dalam konsta- lasi politik di tanah air. Kehadiran Megawati di tubuh PDI terasa telah membawa perubahan besar dalam tubuh PDI sendiri. Terbukti pada pemilu 1992, Golkar se- bagai mesin politik pe- nguasa sempat ketete- ran menghadapi sepak terjang PDI yang memi- liki kekuatan baru berkat figur Megawati. Kehadi rannya menjadi sulit di bendung, kecuali dengan mengobok-obok dari da- lam tubuh partainya. Dan ini terbukti, banyak tokoh PDI meninggalkan Mega- wati saat terpilih dalam kongres termasuk Soer- yadi sendiri yang lebih memilih merapat pada penguasa rezim. Perpe- cahan di tubuh PDI tak bisa dielakkan, sehingga terjadi rentetan peristiwa 27 Juli yang menyakitkan Megawati. Dalam bincang-bin- cang di Kantor PDI Subang, tidak satu pun statement keluar dari bibirnya. Rupanya Mega- wati tahu diri bahwa pada saat itu ia belum bisa dikategorikan sebagai pimpinan PDI, kendati orang tahu bahwa ia telah menjadi figur sentral yang membawa nama besar Bung Karno dan nama- nya mulai diperhitungkan di jajaran elit PDI. Perbincangan seca- ra intens justru datang dari Soeryadi yang me- ngundang saya ke tempatnya menginap di Penginapan Panglejar. Soeryadi saya temui pa- gi-pagi sekali dan saat saya masuk ke pengi- napan, Soeryadi tengah membaca koran sambil mi- num kopi hangat. “Seben- tar ya dik, saya ngisi otak dulu dengan berita-berita di koran,” ujarnya sambil baca Pikiran Rakyat. Saya mengangguk- kan kepala, kemudian duduk bersebalahan di teras kamar yang meng- hadap ke selatan. Dalam percakapan dengannya, Soeryadi membuat pre- diksi bahwa PDI dengan adanya Megawati akan terdongkrak suaranya. Ia memberi gambaran ten- tang masih besarnya sim- pul-simpul kekuatan akar rumput yang setia pada Bung Karno. Ia merasa yakin, jika tidak diham- bat oleh rezim pengua- sa, PDI bisa mendapat kursi di parlemen cukup seimbang dengan Gol- kar. Soeryadi tampaknya cukup pintar membuat langkah politik dengan cara memasukan Mega untuk membakar ingatan akar rumput terhadap pendiri republik ini, na- mun ternyata langkah Soeryadi itu hanya seke- dar memanfaatkan nama besar keluarga Bung Kar- no, sebab sejarah mem- buktikan bahwa Soeryadi ternyata mbalelo dan tidak benar-benar seri- us dalam membangun kekuatan PDI setelah tahu bahwa akar rumput mendukung kemunculan Megawati di pentas politik nasional. Percakapan saya dengan Soeryadi me- nempati halaman depan Harian Pikiran Rakyat. Soeryadi harus diakui punya kapasitas sebagai politisi ulung di negeri ini. Pernyataannya yang ia sampaikan melalui Pikiran Rakyat sangat tajam. Tetapi boleh jadi itu semua hanya seke- dar shock terapy untuk menggoyang penguasa demi kepentingan karier politiknya sendiri. (Teguh Meinanda).*** Mengikuti CPNS Setelah Lulus PPG 1 Tahun SIAP BELAJAR, JA- KARTA Setelah mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama 1 tahun, para sarjana muda pen- didikan terlebih dahulu harus mengikuti seleksi CPNS di daerah maupun pusat untuk dapat diang- kat menjadi guru. Kasubdit Program dan Evaluasi Dirjen Pen- didikan Tinggi Kemendik- bud Agus Susilohadi, Kemendikbud belum me- miliki kewenangan lang- sung untuk mengangkat lulusan PPG dan pro- gram Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terlu- ar, dan Tertinggal (SM3T) menjadi guru negeri kare- na keunikan yang dimiliki profesi guru saat ini. “Guru itu profesi yang unik. Guru itu be- rada di bawah sekolah, sekolah di bawah dinas pendidikan, dinas pen- didikan di bawah pemda, dan pemda di bawah bu- pati, gubernur, dan Ke- mendagri. Kita tidak bisa mengatur untuk lulusan SM3T langsung menja- di guru, kalau tidak dae- rah yang memulai,” jelas Agus kepada Liputan6. com di kantor Kemendik- bud, Jakarta. Lantas Agus me- ngatakan, sudah ada de- sain sentralisasi guru. Di masa depan guru tidak lagi di bawah pemerintah daerah, pengembangan karier dan penempatan- nya akan dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Dengan sentralisa- si nanti, harapannya agar lebih mudah mengatur kebutuhan dan penem- patan guru di daerah sehingga keterbatasan guru di daerah 3T dapat teratasi. Jadi, untuk saat ini lulusan program SM3T masih harus berkompe- tisi untuk dapat diang- kat menjadi guru melalui seleksi CPNS di daerah maupun di pusat,” ucap Agus. Untuk mendukung SM3T dan memenuhi kebutuhan PNS guru di daerah, Kemendikbud telah mengajukan da- ta-data ke Kemenpan. Di tempat terpisah, Direktur Tenaga Pendidikan dan Kependidikan Kemendik- bud Supardi Rustad me- ngatakan, formasi PNS tahun ini untuk lulusan program SM3T dan PPG sudah diajukan ke Ke- menPAN-RB. “Tahun ini disedia- kan PNS formasi khusus dari pusat untuk peserta SM3T, mudah-mudahan dapat terealisasi, meski- pun jumlahnya belum se- besar permintaan. Tahun depan diharapkan sekitar 3.000 formasi PNS untuk SM3T benar-benar terpe- nuhi, sehingga menjadi solusi mengatasi kekura- ngan guru di daerah 3T,” ujar Supardi Rustad. (news.liputan6.com).*** Supardi Rustad siap belajar Awal Agustus fix2.indd 9 8/10/2014 6:20:23 PM

Upload: ngotuyen

Post on 28-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Ruang Cakrawala 9Awal Agustus 2014SiapBelajar

DOLBON DAN DOLCING

Menjadi Sumber Beragam PenyakitSekitar tahun 70­an be­

berapa daerah di Jawa Barat dikenal sebagai daerah “dol­bon (modol di kebon)” dan “Dolcing (modol di pacilin­gan)”. Perilaku ini lah yang membuat kesehatan lingku­ngan masyarakat sering ter­ganggu akibat pencemaran dan buruknya sanitasi, maka tidak heran pada waktu itu berjangkit penyakit “budug” atau “kesrek” di daerah­dae­rah yang sanitasinya buruk. Dolbon dan Dolcing meru­pakan penyakit masyarakat yang waktu itu sulit diberan­tas, sehingga Gubernur Jawa Barat pada masa dijabat Al­marhum H. Aang Kunaefi ser­ing mengkampanyekan pem­berantas dolbon dan dolcing.

Dolbon dan Dolcing konon menyebar pula di be­berapa wilayah Kabupa ten Subang, di antaranya di wilayah Cibogo, Tanjung­siang, Pamanukan, Legon dan Ciasem. Setelah 40 tahun lewat ternyata dolbon dan dolcing masih berlangsung terutama di Legon, Pamanu­kan dan Tanjungsiang. Di Legon dan Pamanukan, dol­cing tumbuh subur hampir di sepanjang sungai antara Pamanukan sampai Maya­ngan Pondok Bali. Di sepan­jang kali itu berdiri MCK yang dibuat penduduk, se­hingga bukan saja membuat pemandangan menjadi tidak enak melainkan juga da pat menimbulkan penyebaran pe­nyakit. Bayangkan saja, kali yang kotor, penuh tinja manu­sia dan berwarna hitam pekat itu digunakan untuk kebutu­

Kenangan Masa LaluBertemu Megawati Soekarno Putri

Saya pernah ber­temu Megawati Soekar­no putri dan mendapat kan kesempatan berbincang­ bincang dengannya, ten­tu sebelum menjadi Ketua PDIP atau Presiden RI. Waktu itu Mega dibawa berkunjung ke Subang oleh Ketua PDI Drs. So­eryadi. Peristiwa ini ber­langsung di Kantor Se­kretariat PDI Jalan KS Tubun.

Megawati yang tan­pa disertai suaminya Tau­fik Kemas, diperkenal kan oleh Soeryadi ke pada ha dirin. Soerya di keli­hatan menggebu­ gebu memiliki keyaki nan bah­wa PDI akan berjaya dalam pemilu yang akan dihadapi nya. Se­mua bertepuk ta ngan ketika Soeryadi men­gaduk­aduk emosi ha­dirin dengan mencerita­kan kembali perjuangan Bung Karno, namun saat itu seolah tak lagi dihar­gai oleh pemerintah.

Suaranya yang ke­ras dan cukup mengge­legar, tampak berapi­api untuk mengajak rakyat Subang memperjuang­kan cita­cita Bung Kar­no dalam membangun demokrasi negeri ini. Ia mengungkit­ungkit kea­daan negara, mempoli­tisir situasi yang tengah terjadi. Menurut Soerya­di, rakyat kecil harus bangkit, “Bung Karno udah nggak ada, tapi darahnya masih menga­lir pada anaknya yang akan berjuang bersama PDI. Nah, ini anak Bung Karno, saya perkenal­kan namanya Megawati Soekarnoputri,” begitu lah kira­kira ucapan Soer ­yadi.

Kata­kata Soeryadi otomatis membuat riuh dan bergemuruh. Mega­wati pun berdiri de ngan sunggingan senyuman khas nya. Saya ikut ter­sentuh karena untuk per­tama kalinya bisa melihat langsung wajah salah satu putri Bung Karno ini. Saya cukup banyak mem­baca buku­buku Bung Karno, sehingga tahu apa yang pasti dirasakan putra­putrinya mendapat perlakuan kurang menye­nangkan dari rezim yang tengah berkuasa. Terus terang, saya pengagum berat Soekarno karena kecerdasan dan kemam­puannya berdiplomasi.

han hidup sehari­hari masya­rakat. Padahal air su ngai itu tidak layak digunakan, apala­gi dipakai untuk kebutuhan rumah tangga.

Buang hajat atau buang air besar di kali akan me­nimbulkan pencemaran, oleh karena itu dilarang keras. Bila dilanggar jelas akan me­mengaruhi kondisi kesehatan lingkungan. Legon dan Pama­nukan memang memiliki sa­nitasi yang buruk, se hingga memerlukan perbaikian sa­rana dan perubahan perilaku. Dengan kata lain, warga di kedua daerah itu harus me­ngubah perilaku dari praktek sanitasi terbuka ke sanitasi tertutup dengan model dan bentuk yang layak.

Namun hal demikian bukan perkara mudah. Ba­yangkan saja setelah puluhan tahun arus modernisasi dan pengetahuan berkembang pe­sat, serta telah berkali­kali dilakukan kampanye tentang pentingnya menjaga keseha­tan lingkungan masih saja sampai saat ini pacilingan yang dibuat di atas sungai itu tetap ada. Warga di Legon dan Pamanukan masih enggan un­tuk membuat kakus atau jam­ban di lingkungan rumahnya. Mereka berpendapat lebih praktis membuatnya di kali karena sekaligus bisa digu­nakan untuk keperluan mandi dan cuci. Bahkan boleh jadi juga untuk kebutuhan minum diambil dari sungai dimak­sud.

Demikian pula perila­ku warga di daerah selatan sebagaimana disebut di atas,

di beberapa tempat tidak bi­sa menghilangkan kebiasaan dol bon. Perilaku dolbon ini juga yang otomatis membuat sanitasi menjadi buruk, se­hingga kesehatan warga se­tempat sering terganggu.

Pemerintah BerupayaMeski demikian, pe­

merintah telah berupaya keras untuk menghilangkan kebia­saan buruk tersebut. Salah satunya yang sekarang gencar dilakukan adalah mengakse­lerasikan program pember­dayaan masyarakat melalui Pamsimas (Penyediaan air minum dan sanitai berbasis masyarakat). Program ini se­lain menyediakan air bersih dan air minum untuk ma­syarakat terutama yang ber­domisili di pedesaan juga menekankan pada pentingnya kesehatan lingkungan yang berkaitan dengan sanitasi. Pemerintah melihat kondisi sanitasi yang buruk dan keter­sediaan air minum yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan berkontribusi terhadap berbagai kasus penyakit ber­basis lingkungan.

Sanitasi adalah isu krusial di setiap lingkungan karena sanitasi berkaitan langsung dengan kesehatan dan kesejahteraan masyara­kat. Sayangnya isu ini masih kurang mendapat perhatian, sehingga kerap terabaikan atau amat jarang mendapat prioritas.

Berdasarkan data riset kesehatan yang dikeluarkan Kementrian Kesehatan pada tahun 2010 lalu, ada 14.000

ton tinja dan 176.000 meter kubik urine yang mencemari sungai setiap hari, tentu ter­masuk sungai yang melintas Pamanukan dan Legon. Hal ini menunjukkan bahwa se­kitar 20% penduduk Indoneia masih buang air besar semba­rangan.

Program Pamsimas sen diri yang digulirkan se­jak tahun 2008 telah berjalan cukup baik di Kabupaten Subang, diantarnya di Pama­nukan, Le gon, Tanjung Siang dan Ciater. Kecuali di Ciater yang telah memperlihatan hasilnya dalam hal penye­diaan air minum warga, di ketiga kecamatan yang ter­sisa masih menghadapi ba­nyak kendala, yaitu berkaitan dengan kebiasaan buruk tadi. Meski demikian, menurut keterangan beberapa tokoh masyarakat, masyara kat di wilayahnya sedikit demi sedikit mulai banyak yang membuat jamban sendiri di sekitar rumahnya.

Boleh jadi hal itu lah yang dijadikan kesimpulan bahwa dalam tiga tahun pelaksanaan Pamsimas se­dikit banyak perilaku ma­syarakat yang terkait dengan masalah sanitasi sudah mu­lai berubah. Data monito­ring Pamsimas menyebutkan bahwa hingga kini Pamsimas telah membangun di seluruh kawasan di tanah air seba­nyak 18.668 unit fasilitas sanitasi non cuci tangan serta 39.004 sarana cuci tangan­ atau memberi akses sanitasi layak kepada 2.186.596 jiwa.(TM).***

Tentu dengan sifat ke­pahlawanannya yang m e m p e r j u a n g k a n kemerdekaan bagi tanah air.

Pada saat break saya mendekati kursi Mbak Mega, kemudian menyapanya dan mem­perkenalkan diri. Ia ter­senyum setelah mengeta­hui bahwa saya adalah wartawan Pikiran Rak­yat. Saya ngobrol yang ringan­ringan saja, tidak minta penjelasan menge­nai kemungkinan adanya deviasi dari penguasa karena ia adalah putra Bung Karno. Sebagaima­na diketahui, pada waktu rezim orde baru berkua­sa, rezim ini tak pernah memberikan tempat pa­da pengikut Bung Kar­no untuk tampil dalam panggung politik. Apalagi terhadap keluarga dan anak­anaknya, orde baru menutup rapat­rapat dan mempersempit ruang ge­raknya. Pengaruh anak­anak Bung Karno dinilai berbahaya, sehingga bila dibiarkan bisa menggang­gu stabilitas, bukan tidak mungkin bisa membuat perubahan dalam konsta­lasi politik di tanah air.

Kehadiran Megawa ti di tubuh PDI terasa telah membawa perubahan be sar dalam tubuh PDI sendiri. Terbukti pada pemilu 1992, Golkar se­bagai mesin politik pe­nguasa sempat ketete­ran menghadapi sepak terjang PDI yang memi­liki kekuatan baru berkat figur Megawati. Kehadi­rannya menjadi sulit di bendung, kecuali dengan mengobok­obok dari da­lam tubuh partainya. Dan ini terbukti, banyak tokoh PDI meninggalkan Mega­wati saat terpilih dalam kongres termasuk Soer­yadi sendiri yang lebih memilih merapat pada penguasa rezim. Perpe­cahan di tubuh PDI tak bisa dielakkan, sehingga terjadi rentetan peristiwa 27 Juli yang menyakitkan Megawati.

Dalam bincang­bin­cang di Kantor PDI Subang, tidak satu pun statement keluar dari bibirnya. Rupanya Mega­wati tahu diri bahwa pada saat itu ia belum bisa dikategorikan sebagai pimpinan PDI, kendati orang tahu bahwa ia telah menjadi figur sentral yang

membawa nama besar Bung Karno dan nama­nya mulai diperhitungkan di jajaran elit PDI.

Perbincangan seca­ra intens justru datang dari Soeryadi yang me­ngundang saya ke tem patnya menginap di Pe nginapan Panglejar. Soeryadi saya temui pa­gi­pagi sekali dan saat saya masuk ke pengi­napan, Soeryadi tengah membaca koran sambil mi­num kopi hangat. “Seben­tar ya dik, saya ngisi otak dulu dengan berita­berita di koran,” ujarnya sambil baca Pikiran Rakyat.

Saya mengangguk­kan kepala, kemudian duduk bersebalahan di teras kamar yang meng­hadap ke selatan. Dalam percakapan dengannya, Soeryadi membuat pre­diksi bahwa PDI dengan adanya Megawati akan terdongkrak suaranya. Ia memberi gambaran ten­tang masih besarnya sim­pul­simpul kekuatan akar rumput yang setia pada Bung Karno. Ia merasa yakin, jika tidak diham­bat oleh rezim pengua­sa, PDI bisa mendapat kursi di parlemen cukup seimbang dengan Gol­kar. Soer yadi tampaknya cukup pintar membuat langkah politik dengan cara memasukan Mega untuk membakar ingatan akar rumput terhadap pendiri republik ini, na­mun ternyata langkah Soeryadi itu hanya seke­dar memanfaatkan na ma besar keluarga Bung Kar­no, sebab sejarah mem­buktikan bahwa Soer yadi ternyata mbalelo dan ti dak benar­benar seri­us dalam membangun kekuatan PDI setelah tahu bahwa akar rumput mendukung kemunculan Megawati di pentas politik nasional.

Percakapan saya de ngan Soeryadi me­nem pati halaman depan Ha rian Pikiran Rakyat. Soeryadi harus diakui punya kapasitas sebagai politisi ulung di negeri ini. Pernyataannya yang ia sampaikan melalui Pikiran Rakyat sangat tajam. Tetapi boleh jadi itu semua hanya seke­dar shock terapy untuk menggoyang penguasa demi kepentingan karier politiknya sendiri. (Teguh Meinanda).***

Mengikuti CPNS Setelah Lulus PPG 1 TahunSIAP BELAJAR, JA-KARTA

Setelah mengikuti Pen didikan Profesi Guru (PPG) selama 1 tahun, para sarjana muda pen­didikan terlebih dahulu harus mengikuti seleksi CPNS di daerah maupun pusat untuk dapat diang­kat menjadi guru.

Kasubdit Program dan Evaluasi Dirjen Pen­didikan Tinggi Kemendik­bud Agus Susilohadi, Ke mendikbud belum me­miliki kewenangan lang­sung untuk mengangkat lulusan PPG dan pro­gram Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terlu­ar, dan Tertinggal (SM3T) menjadi guru negeri kare­na keunikan yang dimiliki

profesi guru saat ini.“Guru itu profesi

yang unik. Guru itu be­rada di bawah sekolah, sekolah di bawah dinas pendidikan, dinas pen­didikan di bawah pemda, dan pemda di bawah bu­pati, gubernur, dan Ke­mendagri. Kita tidak bisa mengatur untuk lulusan SM3T langsung menja­di guru, kalau tidak dae­rah yang memulai,” jelas Agus kepada Liputan6.com di kantor Kemendik­bud, Jakarta.

Lantas Agus me­ngatakan, sudah ada de­sain sentralisasi guru. Di masa depan guru tidak lagi di bawah pemerintah daerah, pengembangan ka rier dan penempatan­

nya akan dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Dengan sentralisa­si nanti, harapannya agar lebih mudah mengatur kebutuhan dan penem­patan guru di daerah sehingga keterbatasan gu ru di daerah 3T dapat teratasi. Jadi, untuk saat ini lulusan program SM3T masih harus berkompe­tisi untuk dapat diang­kat menjadi guru melalui seleksi CPNS di daerah maupun di pusat,” ucap Agus.

Untuk mendukung SM3T dan memenuhi kebutuhan PNS guru di daerah, Kemendikbud te lah mengajukan da­ta­data ke Kemenpan. Di

tempat terpisah, Direktur Tenaga Pendidikan dan Kependidikan Kemendik­bud Supardi Rustad me­ngatakan, formasi PNS tahun ini untuk lulusan pro gram SM3T dan PPG sudah diajukan ke Ke­menPAN­RB.

“Tahun ini disedia­kan PNS formasi khusus dari pusat untuk peserta SM3T, mudah­mudahan dapat terealisasi, meski­pun jumlahnya belum se­besar permintaan. Tahun depan diharapkan sekitar 3.000 formasi PNS untuk SM3T benar­benar terpe­nuhi, sehingga menjadi so lusi mengatasi kekura­ngan guru di daerah 3T,” ujar Supardi Rustad.(news.liputan6.com).***

Supardi Rustad

siap belajar Awal Agustus fix2.indd 9 8/10/2014 6:20:23 PM

Ruang Opini 10Awal Agustus 2014SiapBelajar

Kepala Biro Subang : Teguh Meinanda, Pemimpin Umum : Teguh Meinanda, Staf Redaksi : Ahya Nurdin, Asep Imam Mutaqin, Kardino Kardilano, Ali Munandar, Iing Irwansyah, Wahyu, Ginding B, Maman (Sumedang) Marketing : Wahyu Samsudin, Trisno, Y. Ishak, Staf Ahli : Ir. Beni Rudiono, HE. Kusdinar, Dr. Heryana, Mukti, Irwan Yusuf, Drs. H. Aldim, Jejen Mujiburohman, S.Pd., Eddy Mulyadi Wijaya, S.Sos, MSi Desain&Layout: Restu Damayanti

Alamat Kantor (Redaksi dan Marketing) : Jl. Nata Permana 7, Desa Tambakan 022/006, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. Telp 081221674105. Email: [email protected], [email protected] Buku Anak Desa (YBAD) : Teguh Meinanda, Yati S. Teguh, Wahyu Samsudin

Tajuk

Penerbit : Yayasan Buku Anak Desa (YBAD)Percetakan : PT. Granesia (Isi diluar tanggung jawab)

Wartawan Siapbelajar.com dibekali tanda pengenal dan tidak diperkenankan meminta imbalan dari sumber berita.

Absurd-isme IndonesiaOleh : Dea Jiwapraja

Indonesia, sebuah negara di Asia Tenggara dengan

jumlah penduduk lebih dari dua ratus juta jiwa. Wilayah yang membentang dari Sa­bang sampai Merauke, dari titik nol kilometer di wilayah Aceh sampai ke titik kilome­ter akhir di wilayah Irian. Negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lau­tan, menyimpan timbunan harta karun berupa kekayaan alam di dalamnya. Dan di ba­lik kekayaan alam itu, banyak hal yang absurd muncul dari hari ke hari. Entah siapa yang salah, sistem yang salahkah? Alam? Pemerintah? Masa lalu? leluhur? Atau memang sudah seharusnya semua se­perti itu?

Memasuki milenium ba ru, Indonesia siap tidak siap harus ikut serta dalam persaingan global yang di dalamnya melibatkan pula negara­negara maju. Sebagai negara dengan predikat nega­ra berkembang, tentulah sulit dikatakan sebagai lawan yang sepadan sepertinya untuk ber­saing dengan negara­negara maju seperti Amerika, Jepang, Jerman, China atau Rusia. Tetapi niat dan usaha untuk ikut bersaing itu jauh lebih baik dibanding menjadi nega­ra minder yang bersikap pa­sif terhadap keadaan. Ibarat dalam pertandingan sepak bo la yang dewasa ini se dang hangat­hangatnya menjadi bu ah bibir di seantero negeri, kekalahan melawan Malaysia di final piala AFF beberapa waktu lalu menjadi sa lah satu penyebab digantinya Alfred Riedl dari kursi pelatih meski­pun banyak orang mendukung Riedl untuk tetap menduduki kursi pelatih.

Kemudian muncul pe­latih baru, yang dibilang memiliki kualitas atau ke­mampuan tidak kalah dari Riedl. Tetapi pergantian pela­tih masih belum mampu mem­bawa indonesia ke puncak ke­jayaan, banyak orang semakin kecewa dengan performa Tim nas terutama kekecewaan de ngan konsep pelatih baru tersebut sehingga muncul jar­gon bahwa ‘Meskipun Riedl belum mampu membawa Tim nas ke puncak klasemen, tapi setidaknya kami ingin melihat pemain tetap berlari di lapangan!’.

Jadi, kaitan antara per­saingan Indonesia dalam me­ngikuti ajang pasar global dengan pertandingan bola ada lah bahwa meskipun Indo­nesia belum memiliki kapa­sitas yang sepadan sebagai negara­negara maju di per­saingan global, tapi setidak­nya Indonesia mau berlari di ajang persaingan pasar global. Tetapi absurd­isme muncul, kentara terlihat setidaknya an tara kebijakan pemerintah dan beberapa pengusaha da­lam negeri.

Ketika salah satu man­tan petinggi negeri ini sekuat tenaga menggalakkan him­bauan agar masyarakat ber­wirausaha dengan meningkat­kan produksi dalam negeri, mencintai produk dalam ne­geri, pemerintah justru ma lah melakukan kebijakan yang kontradiktif dengan himbau­an itu. Perusahaan­perusa­

haan asing s e m a k i n mudah ter­tanam di Indonesia, p e n a n a ­man modal asing, be­gitu pula d e n g a n barang­ba­rang im­port yang tentu saja m e m i l i k i p r e d i k a t high class dibanding branded dalam negeri.

Pasar dalam negeri yang mulai menggeliat pun bisa dengan mudah terlindas pro­duk import, yang meskipun harganya selangit masih tetap akan menjadi buruan kelom­pok­kelompok tertentu demi sekedar mengejar gengsi.

Absurd­isme yang mun­cul kentara adalah di dunia pendidikan. Wilayah ibukota dengan segala ketersediaan­nya memudahkan para peser­ta didik mencapai nilai tinggi. Tempat les, peralatan elek­tronik yang semakin canggih, laboratorium untuk mem­permudah penelitian, trans­portasi mulai dari roda dua, tiga dan empat, dan masih banyak lagi. Sehingga nilai tinggi yang dijadikan seba­gai tolak ukur kelulusan pun setidaknya bisa mereka capai lebih mudah ( seharusnya) ka rena adanya fasilitas yang mendukung. Sedangkan di wilayah yang nun jauh dari ibukota, jangankan fasilitas­ fasilitas itu, belajar sehari­ hari pun masih diliputi rasa was­was kalau­kalau atap kelas akan ambruk ketika hu­jan turun atau angin kencang sekalipun.

Sistem nilai boleh di­bilang belum begitu tepat se pertinya untuk diterapkan di negara ini apabila melihat belum meratanya fasilitas pen dukung, baik segi materi seperti itu maupun dari segi pendidiknya sendiri. Namun, bukankah Tuhan mengatakan bahwa Dia tidak akan mengu­bah nasib suatu kaum kecuali kaum itu yang mengubah­nya. Artinya, bukan hal yang tidak mungkin wilayah yang nun jauh dari ibukota dengan segara keterbatasan fasilitas itu, satu hari akan melahirkan peserta didik yang memiliki kualitas jempolan.

Dewasa ini pemerintah masih sedang terus menca­nangkan ajakan kepada war­ganya agar lebih memilih un­tuk menggunakan kendaraan umum dibanding kendaraan pribadi, alasannya agar me­ngurangi kemacetan khusus­nya di wilayah ibukota. Ba­nyak program pun kemudian lahir dari era ke era, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Harga bahan bakar dinaikkan dan untuk bahan bakar tertentu hanya diperuntukkan bagi ken daraan umum, sehingga kendaraan pribadi dihimbau menggunakan bahan bakar je­nis lain yang lebih mahal. Se­lain itu, dicanangkanlah pem­bangunan proyek busway, monorail (meski dicancel pembangunannya) dan per­baikan sistem kereta rel lis­

trik (KRL). Kedua alat transportasi b e r k a p a s i ­tas besar itu tentu saja ti dak bisa m e n j a n g ­kau seluruh w i l a y a h , maka ang­kutan kota, bus kota, ojek atau be­cak mutlak seha rusnya

memang masih tetap dibutu­hkan.

Akhir nya warga pun mulai beralih un tuk meng­gunakan kendaraan umum yang bisa dikatakan memi­liki predikat bersistem mod­ern yang mendukung un tuk membentuk Jakarta se bagai kota metropolitan, tetapi di lain pihak, marak nya kasus kriminal di dalam transportasi umum membuat masyarakat semakin resah. Ada yang sa­lah dengan sistem kah? Den­gan kebijakan nya kah? Atau memang tingkat kri minalitas memang akan me ningkat seiring menurunnya kemam­puan ekonomi?

Sayangnya razia yang dilakukan terlihat seperti ogah­ogahan, ketika ada per­kara saja baru ada tindakan. Tidak ada jaminan pasti me­ngenai keamanan berken­da raan umum jadinya, un­tuk mereka yang memiliki kendaraan pribadi dan mam­pu, bisa dengan mudah kem­bali ke kendaraan pribadi, sedangkan untuk kami yang tidak mampu? Tidak ada pili­han lain. Absurd memang, di mana pemerintah menghim­bau untuk berkendaraan umum untuk menghindari macet dan polusi di situ pula pemerintah atau sebut saja pemerintah dan aparat(ur) negara belum mam­pu memberikan kenyamanan dari segi keamanan.

Mengubah predikat In­donesia menjadi negara mo­dern, banyak hal yang diubah. Pembangunan mall­mall, pen­dirian apartemen­apartemen mewah, pembangunan kawa­san perumahan elit, pemba­ngunan proyek transportasi yang lebih modern sehingga banyak kaum dengan kelas ekonomi kurang memadai se­makin terpinggirkan. Sebuah foto absurd muncul karena di sebelah mall atau apartemen mewah terdapat himpitan ru­mah­rumah kumuh di pinggir sungai. Rumah berukuran su­per mini yang mungkin ham­pir tidak menyerupai rumah sebetulnya, dihuni secara ber­desak­desakan. Tempat ting­gal yang rawan banjir, rawan tergerus arus sungai, rawan penyakit dan rawan keba­karan juga banyak tingkat kerawanan lainnya merupa­kan tempat berteduh secara turun temurun.

Absurd memang, de ngan pembangunan untuk men­cip takan image metropo litan, banyak kaum/ kelompok atau golongan yang ter pinggirkan begitu saja. Ke napa tidak membiarkan Indonesia atau Jakarta khususnya tetap men­jadi Jakartanya Indonesia, dengan becaknya dengan ba jainya dengan segala ciri

khas lainnya seperti tulisan di kaki burung garuda? Bhineka Tunggal Ika, memunculkan Indonesia di mata dunia de­ngan segala ke­Indonesia­an­nya, tanpa perlu mengubah Jakartanya Indonesia menjadi Tokyonya Jepang, menjadi Kuala Lumpurnya Malaysia. Tapi mungkin memang sudah seharusnya begitu.

Munculnya jejaring so­sial mampu menjadi salah satu alat yang membukti­kan kalau Indonesia masih memiliki jiwa solidaritas yang baik. Ketika ada masa­lah maka muncul suara­sua­ra untuk mendukung agar masalah bisa cepat tuntas dan pihak yang dirasa merupa­kan pihak yang terzalimi pun bisa memenangkan perkara. Selain itu, komnas­komnas mulai lahir di Indonesia ber­diri dengan kantor­kantor per­wakilannya dan aktivis­akti­visnya. Memperjuangkan hak asasi manusia, hak anak dan perempuan untuk mendapat perlindungan dan hak untuk hidup. Namun, kasus yang muncul di wilayah Mesuji be­lakangan ini menjadi hal yang kontradiktif sekali. Di mana sekelompok orang memper­juangan soal hak asasi ma­nusia, salah satu di antara hak asasi yang paling asasi adalah hak untuk hidup, teta­pi di lain pihak sekelompok orang (tidak hanya di Mesuji) seolah­olah membuat nyawa orang itu tidak ada harganya.

Indonesia masih kaya dengan hutannya, kaya de­ngan flora dan fauna yang apabila mendapatkan perha­tian benar­benar serius, masih bisa menjadi warisan berhar­ga bagi anak cucu satu hari nanti.

Munculnya pemberita an mengenai pembantaian orang utan secara biadab, menim­bulkan kecaman keras dari para pemerhati hewan. Ke­mudian kasus pun bergulir dan mulai diusut, di ma­na­mana di jalan­jalan banyak selebaran yang dibagi­bagi­kan untuk mendukung gera­kan save orang utan. Tetapi seiring kasus bergulir, ada hal yang kontras terasa dari solidaritas untuk save orang utan ini karena ketika jumlah orang utan berkurang di lain pihak jumlah orang miskin bertambah. Dikatakan hal yang dilematis? Tidak juga karena tidak perlu ada yang dikorban­kan (semestinya). Ta pi ketika mengacu pada pertanyaan, ma­na yang harus didahulukan? Menjadi situasi yang dilematis.

Masih banyak lagi hal­hal absurd yang muncul dari hari ke hari, tidak akan cukup waktu untuk membahasnya apabila tidak dijeda di tengah jalan. Hal­hal yang sifatnya saling kontradiktif, saling bertolak belakang satu sama lain.

Mengutip Rosihan An­war dalam Petite Histoire Indonesia bahwa ‘Aku tidak malu jadi orang Indonesia’. Apapun yang terjadi!

Dan semua itu terang­kum dalam absurd­isme In­donesia. ***

Dea Jiwapraja, Japanesse Literary UnPad ‘05

Dongeng Tak Lagi AkrabDongeng atau Cerita.

Kedengarannya mungkin te rasa asing oleh anak­anak jaman sekarang. Ini akibat dongeng tidak lagi mema­syarakat di kalangan anak­anak. Padahal beberapa pu luh tahun lalu, dongeng begitu akrab di kuping anak­anak.

Dongeng seolah ke­butuhan yang tidak bisa diabaikan. Hampir setiap menjelang tidur, anak­anak mendapat banyak dongeng yang dituturkan oleh orang tuanya. Senang sekali men­dengarnya, apalagi jika do­ngeng­dongeng itu berce­rita tentang kepahlawanan, kedigjayaan dan kehebatan seseorang. Ada emosi dan perasaan yang tumbuh da­lam hati, di lain pihak mun­cul banyak pengetahuan yang terus terpatri hingga usia anak­anak itu tumbuh dewasa.

Di jaman dulu banyak dongeng­dongeng yang ber­mutu dan berkualitas, ka­rena di dalamnya mengan­dung kearifan yang mampu mendidik anak­anak menja­di pribadi yang berkarakter. Dongeng­dongeng itu bisa jadi mempengaruhi anak­anak dalam pembentukan watak, kepribadian maupun kecerdasan. Tetapi yang je­

las, dongeng­dongeng itu se­lain menghibur juga mem­bawa pengaruh terha dap pikiran­pikiran yang positif.

Dongeng­dongeng yang bermacam­macam te­manya itu, seolah telah hi­lang ditelan jaman. Tidak ada lagi kebiasaan anak­anak, ketika hendak tidur disugu­hi cerita­cerita atau dongeng oleh orang tuanya. Sambil ditepuk­tepuk, si ibu mau­pun bapak bercerita secara telaten dan sabar sampai si anak memejamkan matanya.

Pada jaman sekarang, tontonan televisi maupun video menjadi pengganti­nya. Anak­anak dari golo­ngan tertentu, asyik nonton dari tempat tidurnya dengan sajian­sajian yang boleh jadi tidak mendidik dan justru membangkitkan perilaku yang tidak sesuai dengan kepribadian dan jati diri se­bagai orang timur. Banyak cerita belakangan ini, anak­anak terutama di kota­kota besar menjadi liar dan tak beradab akibat pengaruh tontonan yang merasuki pi­kiran­pikiran mereka.

Kejahatan­kejahatan­pun boleh jadi timbul kare­na unsur kearifan yang ada dalam pikiran dan nurani su­dah tak menyentuh lagi, se­hingga menjadi liar dan tak

terkendali. Mungkin terla­lalu berlebihan menangkap kata­kata itu, tapi indikasi terhadap berbagai kasus yang terjadi belakangan ini bisa dijadikan peringatan betapa masifnya pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh tontonan­tontonan di­jaman sekarang sekarang.

Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa di jaman ini ada penyelenggaraan lomba dongeng oleh insti­tusi di bawah naungan Di­nas Pendidikan Kabupa ten Subang, muncul harapan la gi bahwa dongeng itu mu­lai dijadikan bahan untuk membina sekaligus men­didik anak­anak, sehingga lepas dari pengaruh negatif akibat pesatnya moderni­sasi. Jaman memang sudah berubah, sehingga tidak mung kin terhindari.

Meski demikian, ke­hadiran dongeng bisa di­gunakan untuk mencari ke­seimbangan karena dongeng mengandung banyak keari­fan yang bisa mengasah hati nurani dan mempengaruhi pikiran tentang kebaikan. Dengan demikian, patut kita sambut upaya institusi pen­didikan memasyarakatkan kembali dongeng melalui ajang­ajang berbagai lom­ba. ***

bersambung ke hal 11

Penentuan Skor KKM di SekolahOleh: Dewi Nuryawati, S.Sos

Ada tiga hal penting da­lam menentukan arah

pendidikan masa depan, yaitu evaluasi, penilaian dan pe ­ngukuran pendidikan. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa pengukuran pendidi­kan dilakukan untuk menge­tahui tingkat kemampuan pe serta didik. Pengu kuran pen didikan ini bisa meng­guna kan tes seperti UTS dan UAS maupun non tes seperti penilaian sikap, kinerja dan portofolio.

Nah berdasarkan pe­ngukuran ini maka guru dapat menentukan berapa skor yang diperoleh siswa, baik meng­gunakan skala 0­10 maupun 0­100. Apa arti skor 70, 80, 90, atau 100 dalam raport siswa? Itulah pekerjaan eva­luasi, yaitu untuk memberi makna (judgement) atas nilai yang diperoleh peserta didik. Misalnya, nilai 100 berarti peserta didik telah berhasil mencapai tujuan pembelaja­ran sedangkan nilai 0 berarti peserta didik belum memiliki peningkatan apapun setelah proses pembelajaran sehing­ga perlu dilakukan upaya per­

baikan.Sejatinya pekerjaan

‘eva luasi’ dilakukan oleh ti­ga pihak: pemerintah, seko­lah/ madrasah dan pendidik. Sebagai contoh, pemerintah melakukan evaluasi pendidi­kan melalui Ujian Nasional, satuan pendidikan melaku­kan ujian sekolah, sedangkan guru melakukan penilaian pa da mata pelajaran/ kelas yang diampu. Pembahasan kita kali ini difokuskan pada perencanaan penilaian yang dilakukan guru dan satuan pendidikan karena keduanya berada pada garis terdepan dalam menentukan kualitas pendidikan di sekolah.

Guru mendampingi pe­serta didik mulai dari tahap perencanaan, proses pembe­lajaran hingga tahap penilaian pembelajaran. Pada tahap pe­rencanaan, guru akan mem­buat rencana pembelajaran minimal untuk satu semester yang terangkum dalam si­labus pembelajaran. Tahap selanjutnya adalah pelaksa­naan proses pembelajaran, kai tannya dengan kurikulum 2013 guru akan mendampingi peserta didik mulai dari tahap observing sampai pada tahap networking, dan pada tahap terakhir yakni penilaian, guru akan merangkum semua skor yang diperoleh peserta didik pada proses pembelajaran.

Tahap terakhir atau ta­hapan penilaian inilah yang akan menjadi tahapan yang penting bagi guru untuk me nentukan peserta didik manakah yang akan dinya­takan tuntas dan mana yang

tidak tuntas dalam menyele­saikan materi pelajaran ter­tentu. Sebagaimana yang ter cantum dalam Permendik­nas Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian bahwa pendekatan penilaian yang digunakan adalah pe­nilaian acuan kriteria (PAK) yang didasarkan pada kriteria ketuntasan minimal (KKM). KKM merupakan kriteria ke tuntasan belajar minimal yang ditentukan oleh satuan pendidikan dengan memper­timbangkan karakteristik Kom petensi Dasar yang akan dicapai, daya dukung dan ka­rakteristik peserta didik.

Dalam prakteknya pe­netapan skor Kriteria Ketun­tasan Minimal (KKM) se ring dilakukan tanpa analisa yang dapat dipertanggungjawab­kan. Misalnya, mengapa ma­ta pelajaran A di kelas IX ditetapkan dengan skor 60 sedangkan mapel B atau C ditetapkan 70 atau 75 pada­hal karakteristik kompeten­si dasar, daya dukung dan karakteristik peserta didik relatif sama. Fenomena ‘asal tembak skor’ ini dapat me­rugikan peserta didik dalam menentukan level kemampu­an yang mereka miliki.

Livingston dan Zieky (1982:12) mengemukakan dua kerugian peserta didik akibat kesalahan dalam menentukan KKM, pertama peserta didik yang mempunyai kemampuan yang rendah bi sa mendapat­kan kelulusan dengan skor yang tinggi, dan kedua pe­

siap belajar Awal Agustus fix2.indd 10 8/10/2014 6:20:25 PM

Ruang Sambungan 11Awal Agustus 2014SiapBelajar

dan menjelma menjadi cerita yang turun temurun di masya­rakat Pantai Selatan.

Bahkan saking dikenal­nya Ratu Pantai di masya­ra kat pesisir, di Pelabuhan Ratu Beach Hotel disediakan kamar khusus untuk Sang Ratu. Konon setiap malam Jumat, dari kamar itu sering tercium semerbak wewangian yang menunjukkan hadirnya Ratu Pantai Selatan. Dalam bentuk lain, wajah ratu dilu­kiskan oleh seorang pelukis terkenal berwajah cantik yang tiada tandingannya.

Sibila tentu saja tidak mengenal secara detail sosok Ratu Pantai Selatan. Ia ha­nya mengetahui dari cerita di buku­buku yang dibacanya. Sabila pandai sekali mence­ritakannya, sehingga mem­buat orang yang mendengar­nya tertegun atau terpana. Saking pandainya bercerita, banyak anak­anak terkesiap mendengar buah penuturan­nya.

Sibila adalah juara men­dongeng tingkat Kabupaten Subang. Tahun 2014 ini ber­hasil menjuarai lomba do­ngeng yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Kabupa­ten Subang. Kemudian pada Pekan Kreativitas Seni antar SD pun Sabila keluar sebagai juara pertama.

Mendongeng adalah se buah pelajaran yang du­lu pernah ada. Mendongeng me rupakan kearifan lokal un­tuk mendidik anak­anak, ka­rena di dalamnya berisi hal­hal positif yang mengajarkan pa da anak­anak tentang ke­jujuran, kebajikan, kepahla­wanan, dll.

Dongeng­dongeng ini sa ngat disukai oleh anak­anak sekolah dasar. Dongeng­do­ngeng yang terkenal sekitar tahun 60 sampai 70­an antara lain, si pecang mentas walu­ngan, kancil yang cerdik, si kabayan, aya hiji raja, dll. Orang­orang tua kitapun saat­saat senggang sering men­

dongeng untuk anak­anaknya, sehingga terus membekas sampai si anak dewasa.

Isi dongeng juga beri­si nilai­nilai budi pekerti, etika pergaulan dan tentu sa­ja wawasan serta pengeta­huan. Di masa itu, anak­anak menyukai dongeng, dan bah­kan sering merengek­rengek minta didongengin.

Tetapi sekarang, do­ngeng seolah telah hilang, sehingga anak­anak sekolah tidak diberi pelajaran yang sungguh­sungguh tentang ke­arifan lokal yang banyak di­utarakan dalam dongeng­do­ngeng. Jaman memang telah berubah, sehingga pelajaran yang berisi budi pekerti dari kearifan lokal yang diwaris­kan orang tua kita telah hilang dimakan jaman.

Tetapi belakangan di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Subang, mendo­ngeng mulai diaktifkan lagi, di antaranya dengan diada­kannya perlombaan mendo­ngeng siswa­siswi sekolah dasar. Konon perlombaan ini disambut dengan antusias, se­hingga banyak sekolah meng­ingkutsertakan dalam perlom­baan itu.

Punya Bakat “Dia punya bakat men­

dongeng yang luar biasa. Artikulasi dan ekspresi saat mendongeng menunjukkan ada nya bakat itu. Jarang se­kali anak SD bisa menguasai materi dongeng atau cerita begitu dalam dan lugas. Apa yang ada di kepalanya bisa dituturkan dengan bahasa anak yang memikat,” kata E. Koma riah, Kepala SDN II Sa­galaherang.

Oleh karena itu, tidak diragukan jika terpilih se­bagai pendongeng anak­anak nomor wahid di Kabupaten Subang. Prestasinya ini telah menambah koleksi piala bagi SDN II Sagalaherang. “Sibi­la akan mewakili Kabupaten Subang dalam kejuaraan men­

dongeng Tingkat Provinsi Ja­wa Barat. Insya Allah Sibi la akan berhasil menggondol piala,” kata Komariah.

Kegiatan mendongeng di kalangan siswa Seko lah Dasar, belakangan ini me­mang mulai digalakan kem­bali oleh dinas pendidikan dan sekolah­sekolah. Men­dongeng merupakan warisan nenek moyang kita yang dulu sangat lekat secara tradisi di kalangan siswa. Tetapi kemu­dian perlahan namun pasti, hilang tergerus oleh perkem­bangan jaman. Padahal men­dongeng memiliki banyak man faat terutama dalam me ngasah nurani dan mem­perkuat kepribadian.

Hal ini dapat terjadi karena dongeng atau cerita memiliki sifat­sifat yang be­ragam, mulai dari sifat kepah­lawanan, pemahaman agama, kemanusiaan, dsb. Cerita atau dongeng itu ba nyak diam­bil dari cerita­cerita rakyat, selain telah diutarakan tadi cerita lainnya adalah se perti Lutung Kasarung, Sangku­riang, dll.

Sibila Yuliani, kata Nita Rosyana, guru pembimbing SDN II Sagalaherang, ter­masuk anak yang cerdas dan memiliki bakat yang luar bia sa dalam bidang seni do­ngeng. “Artikulasinya jelas, ekspresinya bisa memperli­hatkan peran yang tengah ia ceritakan. Bakat ini terus berkembang, sehingga terus kami arahkan supaya poten­sinya itu terus tergali,” ujar­nya.

Sibila merupakan anak tunggal dari pasangan Wawan Gunawan dengan Cucu Nur­mala. Menurut Nita, Sibila akan bertarung dalam lomba dongeng Tingkat Jawa Barat pada tanggal 15­16 Agus­tus 2014. “Mudah­mudahan bisa sukses, sehingga ko­leksi piala untuk SDN II Sa­galaherang makin komplit,” kata Nita dan Komariah. (TM).***

... Juara Dongeng sambungan dari hal 1

Menunggu 13 Tahun ... sambungan dari hal 1

muncul, Nita berusaha keras untuk bertahan dan melanjut­kan kariernya sebagai guru.

Nita mulai merintis jadi guru selepas lulus SPG de­ngan mengajar di MTs Filial Cisalak. Kemudian beralih me ngajar di SD Eka Nugraha setelah diangkat menjadi guru PNS tahun 2005. Sebelum ke sekolah tersebut, selama tiga tahun menjadi sukwan di SD Sagalaherang II tempat se­karang ia mengajar. Tahun 2008 Nita kembali menjadi Guru SD di sekolah tersebut. “Saya merasa bersyukur bisa

kembali ke SDN II Sagala­herang yang telah membesar­kan saya, mudah­mudahan di sekolah ini saya bisa optimal mendarmabaktikan diri,” tu­turnya.

Sejak kecil memang Nita Rosyana sudah ber­cita­cita menjadi guru. “Gu­ru merupakan kumpulan orang­orang yang memi­liki tanggung jawab untuk melahirkan para pemimpin, sehingga ketika ada yang sukses dan meraih prestasi senangnya bukan main. Itu semua ada dalam pikiran

saya terutama sejak saya mulai mengikuti pendi dikan guru di SPG.”

Sebagai Instruktur Na­sional Diklat Implementasi Kurikulum 2013, Nita secara resmi telah dianugrahi serti­fikat dari LPMP yang memi­liki kompetensi untuk me­ngajar materi terkait dengan kurikulum 2013. Tetapi selain itu, istri dari Asep Wahyudin kelahiran Subang 30 Juni 1970 ini juga memiliki serti­fikat sebagai pengajar Bahasa Sunda yang handal. (Teguh Meinanda).***

Cetak Pemimpin Bangsa ...dak memfokuskan pada skor TOEFL/IELTS, beasiswa ini tidak membatasi pilihan pe­serta untuk memilih perguru­an tinggi luar negeri tertentu.

Disediakan sekitar 50 perguruan tinggi luar negeri yang berkualitas tersebar di Amerika Serikat, Inggris, Re­publik Rakyat China, Austra­lia, Mesir, dan sebagainya.

Menurut Firmansyah, kun ci utama agar bisa lolos beasiswa ini pada pengala­man peserta dalam kontribu­si kepada masyarakat. Apa­

kah peserta selama ini telah melakukan sesuatu yang ber­manfaat di lingkungan ma­syarakat.

“Misal kalau anda mam pu menunjukkan pena­taan PKL, membina para tuna wisma dan tidak hanya terli­bat di provinsi atau kegiatan jurnalistik terkait bencana gunung merapi meletus, itu modal untuk mendapatkan beasiswa ini,” jelasnya.

Beasiswa Presiden RI ini baru pertama kali dia­dakan. Gelombang pertama

dibuka pada tahun 2013, program beasiswa ini telah menjaring 1.555 orang pene­rima beasiswa. Total yang melamar yakni 20.560 orang, 521 orang di antara mereka menerima beasiswa untuk penulisan thesis/ disertasi doktor. Untuk beasiswa ber­bentuk pembiayaan pendi­dikan jenjang magister dan pendidikan jenjang doktoral diterima oleh 1.034 orang dari total keseluruhan peneri­ma beasiswa tersebut.

Untuk beasiswa presi­

den gelombang II disediakan bagi TNI/Polri 50 beasiswa dan non­TNI 100 beasiswa. Pendanaan beasiswa pendi­dikan ini berasal dari Kemen­terian Keuangan RI. Sejak 2 tahun lalu, Kemenkeu mem­bentuk lembaga pengelola dana pendidikan yaitu LPDP.

LPDP menyalurkan da­na kelolaan yang berasal dari penerimaan negara bukan pajak untuk dijadikan dana investasi bagi pengembangan pendidikan nasional. (Merde­ka.com).***

... Juara Ketiga Lomba Jurnalistikterutama media yang terbit di Jakarta.

Para peserta lomba itu sangat tertarik untuk ikut ser­ta, selain karena antusiasme oleh perkembangan kebuda­yaan daerah dan nasional yang terus dibangun oleh pe­merintah setempat, tentu saja

dipengaruhi pula oleh hadi­ah­hadiah yang disediakan. Pemkab Purwakarta dalam siaran persnya menyebutkan menyediakan total hadiah mencapai Rp 110 juta.

Tetapi yang paling me­narik, tidak lain oleh adanya minat dari pemerintah daerah

dalam mengajak insan me­dia untuk berpartisipasi da­lam membangun Purwakarta melalui sebuah karya yang memungkinkan masyarakat dapat melihat sekaligus mem­baca kedalaman karya­karya jurnalistik dari para wartawan atau jurnalis. (wsn).***

Sekolah Madrasah Terlambat ...keberhasilan kurikulum terba­ru itu belum sepenuhnya pa­ham. “Saya sempat menanya­kan ke beberapa guru, masih banyak yang belum paham, baik tingkat Madrasah Ibti­daiyah (MI) hingga Madrasah Aliyah (MA),” katanya.

Namun, Kasi Pendidi­kan Madrasah Kemenag Kota Bogor Ade Sarmili memban­tah tudingan ketidaksiapan itu. Ia mengakui bila Kuriku­lum 2013 untuk tingkat ma­drasah terlambat satu tahun dibandingkan sekolah umum.

“Itu terjadi karena ada lima mata pelajaran yang ha­rus digarap penuh oleh Ke­menag, antara lain Fiqih dan Quran Hadits,” bebernya.

Hal yang sama diutara­kan Kasi Madrasah Kantor Kementrian Agama Kabupa­ten Subang, Eddy Mulyadi, yang mengatakan sebagian besar sekolah madrasah di

daerahnya sudah siap me­nyambut datangnya Kuriku­lum 2013. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Pendi­dikan madrasah­madrasah di Subang boleh dikatakan telah sejajar dengan pendidikan di sekolah­sekolah umum,” ujarnya dalam perbincangan dengan Siap Belajar beberapa waktu lalu.

Dengan begitu, madra­sah pun siap untuk menerap­kan Kurikulum 2013 mengi­ngat aspek infrastruktur yang sudah rampung, seperti guru yang sudah melakukan pela­tihan, dan mengikutsertakan guru dalam bimbingan teknis (bimtek).

“Selain itu ada juga be­berapa madrasah yang me­lakukan bimtek secara mandiri untuk menyambut penerapan Kurikulum 2013,” katanya.

Tahun ini, kata Ade dan Eddy, hanya beberapa kelas

yang menggunakan Kuriku­lum 2013, seperti MI kelas I dan IV, MTs kelas VII, dan tingkat MA kelas X. Untuk menyiasati belum seluruh gu­ru melakukan pelatihan, maka seluruh sekolah diberikan hak untuk menyelenggarakan in house training.

“Dan ada baiknya setiap guru yang sudah melakukan bimtek tidak berpindah mata pelajaran ataupun kelas me­ngajar,” ungkapnya.

Selain itu, bagi guru TIK penerima tunjangan pro­fesi guru (TPG) yang dihapus­kan jam mata pelajarannya di Kurikulum 2013, tidak per­lu khawatir. Kemenag sudah membuat alternatif, seperti dengan menjadi Guru Pamong Teknologi dan Informasi (TI).

“Setelah menjadi guru pamong itu kemudian mem­bimbing 150 murid, substansi dari pembelajarannya tetap

ada, hanya tidak dimasukkan ke dalam struktur Kurikulum 2013,” ungkapnya.

Berbeda dengan guru yang jam mata pelajarannya dikurangi, seperti guru Ba­hasa Inggris, awalnya enam jam, menjadi empat jam. Maka, guru tersebut diboleh­kan mengajar di sekolah lain, namun harus dengan mata pe­lajaran yang sama.

“Berbeda tingkat pun tidak masalah, misal menga­jar Bahasa Inggris di tingkat MI dan tingkat MTs, tetap akan dihitung jam mengajar­nya dan masih berhak men­dapatkan TPG,” katanya.

Untuk itu, kata Ade, bagi guru yang mata pelaja­rannya dihapus atau malah berkurang, jangan khawatir, karena pemerintah sudah me­nyiapkan berbagai alternatif agar TPG­nya masih bisa diberikan.(jpnn.com/TM)

Pemerintah Akan Rekrut ...semua instansi pemerintah akan terintegrasi di satu por­tal yang dikelola pemerintah pusat.

“Pemerintah berupaya mempermudah dan tidak me­musingkan pelamar dengan sistem pendaftaran online,” ucap Setiawan seperti dilan­sir dari situs resmi Sekretariat Kabinet di Jakarta.

Direktur Pengolahan Da ta Kementerian PAN­RB, Iwan Hermanto Soetjipto me nambahkan pelamar cu­kup memasukkan Nomor Induk Kependudukan yang tertera di KTP, kemudi­an nama dan e­mail dan langsung memilih instansi yang dilamar.

Setelah memasukkan syarat yang diperlukan pe­lamar akan langsung menda­

patkan username dan pass­word untuk membuka portal pendaftaran online SSCN BKN atau portal masing­ masing instansi. “Tidak bisa mendaftar langsung ke portal instansi masing­masing jika belum mendaftar ke portal nasional tadi,” ucapnya.

Sesuai data Kementeri­an PAN­RB, banyak formasi kosong yang ditinggalkan karena tahun lalu pendaft­aran tidak secara online dan terintegrasi. Kekosongan ini terjadi karena para pelamar ba nyak yang lulus lebih dari satu instansi karena tidak adanya integrasi.

Formasi GuruSementara itu, berdasar­

kan data di kabupaten/ kota terutama di Jawa Barat, ke­

butuhan PNS untuk mengisi formasi di masing­masing pe­merintah daerah cukup besar, sehingga banyak bagian yang memerlukan dengan segera hadirnya para PNS dimaksud. Terutama kebutuhan untuk guru­guru yang jumlahnya cukup besar.

Di Kabupaten Subang, misalnya, formasi untuk guru PNS ini mencapai ribuan un­tuk ditempatkan di seko lah­sekolah di berbagai wilayah. Keadaan sekarang cukup jomplang akibat banyaknya sekolah­sekolah yang kekura­ngan guru.

Di lain sisi, sekarang ini banyak sekolah di Subang ter­paksa merekrut tenaga penga­jar sukarelawan untuk mengi­si kekosongan guru yang jumlahnya cukup banyak itu.

Terutama di wilayah pantura dan daerah­daerah pinggiran di Subang selatan.

Menurut Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Su ­bang, Murnaly, dalam perbin­cangan beberapa waktu la­lu, sulit untuk mencapai indikator delapan sukses pen didikan jika faktor guru masih menghadapi kendala kekurangan.

“Guru merupakan sa­lah satu faktor yang sangat penting demi terpenuhinya kualitas pendidikan terhadap anak didik. Oleh karena itu, pemerintah harus segera me­ngisi kebutuhan itu, sehing­ga proses belajar mengajar dapat berjalan secara efektif dan mencapai standar yang dibutuhkan,” kata Murnaly. (TM).***

sambungan dari hal 1

sambungan dari hal 1

sambungan dari hal 1

sambungan dari hal 1

sambungan dari hal 10

serta didik yang mempunyai kemampuan yang tinggi bisa dinyatakan tidak lulus kare­na mendapatkan skor yang rendah. Kesalahan­kesalahan inilah yang harus dihindari saat penetapan skor KKM dilaksanakan.

Metode KonvensionalPenetapan skor KKM

dengan metode konvensional idealnya dapat menghasilkan skor KKM yang dapat meng­gambarkan kemampuan mi­nimal peserta didik, sehingga peserta didik yang mempu­nyai kemampuan tinggi dapat mencapai kriteria ketuntasan minimal, sedangkan peserta didik yang mempunyai ke­mampuan rendah dan tidak mencapai kriteria ketuntasan minimal harus mengikuti re­medial agar skor KKM dapat diraih.

Berdasarkan hasil wa­wancara penulis dengan be berapa guru sekolah di Subang antara Maret­April 2013, menunjukkan bahwa penetapan skor KKM masih belum dipahami dengan jelas dan belum menggunakan pro­sedur yang benar. Akibat dari kurangnya pemahaman ini

maka penetapan skor KKM di sekolah cenderung lebih tinggi dari pencapaian kom­petensi siswa yang sebenar­nya, yaitu berkisar antara skor 75–78. Perolehan skor KKM ini memaksa sebagian guru untuk “merekayasa ulang” hasil skor jawaban peserta didik agar kriteria skor ketun­tasan dapat tercapai.

Merujuk pada hasil pe­nelitian terhadap 487 jawa­ban siswa kelas VII pada mata pelajaran Bahasa Indo­nesia de ngan menggunakan skor KKM terendah dengan metode konvensial yakni 75, terdapat kurang dari 5% siswa dinyatakan tuntas pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi hanya sekitar 24 dari 487 peserta didik yang mencapai ketuntasan minimal, sedang­kan 463 peserta didik lainnya dinyatakan tidak tuntas dan harus mengikuti remedial.

Berdasarkan fakta terse­but timbul pertanyaan besar, sudah tepatkah skor KKM yang ditetapkan sekolah? Apa kah keuntungan yang ki­ta peroleh jika skor KKM yang kita tetapkan lebih ting­gi dari kemampuan peserta didik yang sebenarnya? Ada­

kah metode lain yang mudah dilaksanakan untuk menetap­kan skor KKM selain metode konvensional?

Penulis berasumsi me­tode konvensional dalam me­netapkan skor batas bawah masih sulit untuk dilaksa­nakan oleh sebagian guru, oleh karena itu penulis me­ngajukan satu metode alter­natif yang dapat digunakan secara mudah oleh guru, yaitu standard setting.

Standard setting ada­lah sebuah metode yang di­gunakan untuk menetapkan skor KKM. Metode ini meng­gunakan judgement panelis (guru) sebagai penentu skor KKM. Ada 30 lebih metode dalam standard setting, na­mun merujuk pada beberapa referensi, standard setting yang berbasis tes dianggap mudah dilaksanakan, kare­na guru yang akan menjadi panelis hanya menganalisa dan membuat judgement ber­dasarkan butir soal pada in­strumen tes yang sudah ter­validasi dan reliabel.

Terdapat tiga langkah utama dalam pelaksanaan metode standard setting yang berbasis pada tes, yakni me­

netapkan instrumen tes yang valid dan reliable, pelaksa­naan kelas judgement panelis, dan penetapan skor KKM. Dari tiga langkah yang ada pada metode standard set­ting ini, penulis merekomen­dasikan metode Angoff dan Ebel sebagai metode alterna­tif yang digunakan untuk me­netapakan skor KKM.

Penetapan skor KKM mengunakan metode Angoff dan Ebel menghasilkan skor yang lebih rendah dibanding­kan yang diperoleh dengan metode konvensional. Kon­sekuensinya semakin rendah skor KKM yang diperoleh, akan semakin banyak peserta didik yang mencapai ketun­tasan. Namun satu hal yang perlu diingat bahwa persoa­lan pokok bukan pada rendah atau tingginya skor KKM yang ditetapkan, namun skor yang dihasilkan harus melalui proses pengukuran dengan metode yang berstan­dar dan dilaksanakan dengan prosedur yang benar sehing­ga hasilnya dapat dipertang­gungjawabkan.***

Penulis, Pendidik di RA Bina Insani Jalancagak

Penentuan Skor KKM...

Foto Bersama: Juara dongneng Sibila diapit Kadis Pendidikan dan guru-guru SDN II Sagalaherang

siap belajar Awal Agustus fix2.indd 11 8/10/2014 6:20:27 PM

Ruang Prestasi 12Awal Agustus 2014SiapBelajar

siap belajar Awal Agustus fix2.indd 12 8/10/2014 6:20:31 PM