roadmap lembaga pengawas pemilu

12
Roadmap Lembaga Pengawas Pemilu 1. Catatan Tahun 1982 Disimak dari catatan sejarah pembentukannya, Organisasi Pengawas Pemilu dibentuk untuk pertama kalinya sebagai lembaga adhoc dan fenomena ini menjadi ciri khas salah satu lembaga yang hanya ada di Indonesia. Lembaga pengawas pemilu baru muncul pada Pemilu 1982, yang dilatarbelakangi oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu tahun 1971. Protes atas peristiwa-perisitiwa kekerasan dan pemaksaan terhadap pemilih yang dilakukan aparat pemerintah, maupun pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu tahun 1971, tidak saja disuarakan oleh mahasiswa, tokoh senior maupun pengamat, tetapi juga oleh partai-partai peserta pemilu. Namun suara-suara tokoh partai sesungguhnya tidak bergema, lantaran mereka diposisikan sebagai biang keladi kekacauan negara pada masa lalu. Meski kondisinya terus terdesak, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tetap berkeras melancarkan protes. Terlebih atas berbagai pelanggaran dan kecurangai pemilu yang

Upload: hery-setiabudi

Post on 27-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

refleksi lembaga pengawas pemilu

TRANSCRIPT

Page 1: Roadmap Lembaga Pengawas Pemilu

Roadmap Lembaga Pengawas Pemilu

1. Catatan Tahun 1982

Disimak dari catatan sejarah pembentukannya, Organisasi Pengawas

Pemilu dibentuk untuk pertama kalinya sebagai lembaga adhoc dan

fenomena ini menjadi ciri khas salah satu lembaga yang hanya ada di

Indonesia.

Lembaga pengawas pemilu baru muncul pada Pemilu 1982, yang

dilatarbelakangi oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan

manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas

pemilu pada Pemilu tahun 1971. Protes atas peristiwa-perisitiwa

kekerasan dan pemaksaan terhadap pemilih yang dilakukan aparat

pemerintah, maupun pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara

yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu tahun 1971,

tidak saja disuarakan oleh mahasiswa, tokoh senior maupun

pengamat, tetapi juga oleh partai-partai peserta pemilu. Namun suara-

suara tokoh partai sesungguhnya tidak bergema, lantaran mereka

diposisikan sebagai biang keladi kekacauan negara pada masa lalu.

Meski kondisinya terus terdesak, Partai Persatuan Pembangunan

(PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tetap berkeras

melancarkan protes. Terlebih atas berbagai pelanggaran dan

kecurangai pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977. Dengan lain

perkataan, pelanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada

Pemilu 1977 jauh lebih masif.

Rupanya protes-protes tersebut mendapat respon dari pemerintah dan

juga DPR yang didominasi oleh Golkar dan ABRI. Lalu, muncullah

gagasan memperbaiki undang-undang pemilu yang bertujuan

meningkatkan 'kualitas' pemilu berikutnya, yakni Pemilu 1982. Demi

memenuhi tuntutan PPP dan PDI, maka pemerintah setuju untuk

menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu.

Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang

Page 2: Roadmap Lembaga Pengawas Pemilu

akan terlibat dalam urusan pemilu di samping Lembaga Pemilihan

Umum (LPU) dan jajarannya. Badan baru itu bernama Panitia

Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu), yang

bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu. Rencana pelibatan partai

dalam kepanitiaan pemilu dan pembentukan Panwaslak Pemilu

tersebut diterima oleh DPR yang kemudian diformat ke dalam Undang-

undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Perubahan Undang-undang

Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota

Badan Permusyawaratan/ Perwakilan Rakyat sebagaimana Telah

Diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975. Undang-

undang perubahan kedua atas undang-undang pemilu Orde Baru ini

diteken oleh Presiden Soeharto pada 20 Maret 1980, atau dua tahun

sebelum pelaksanaan Pemilu 1982. Pasal I UU Nomor 2 Tahun 1980

itu menyebutkan, bahwa Di dalam Panitia Pemilihan Indonesia, Panitia

Pemilihan Daerah Tingkat 1, Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II, dan

Panitia Pemungutan Suara diikutsertakan unsur Partai Politik dan

Golongan Karya sebagai Anggota. Ini artinya, di dalam PPI, PPD I,

PPD II dan PPS yang selama ini didominasi aparat pemerintah, seperti

gubernur, bupati/walikota, camat beserta jajarannya, dimasukkan juga

unsur peserta pemilu yang terdiri dari wakil-wakil dari Golkar, PPP dan

PDI. Namun kehadiran wakil-wakil PPP dan PDI di kepanitiaan pemilu

sesungguhnya tidak berarti apa-apa, sebab jumlah mereka sangat

tidak berarti jika dibandingkan dengan jumlah aparat pemerintah yang

notabene adalah pendukung Golkar. Jadi, keterlibatan partai dalam

kepanitiaan pemilu ini sifatnya hanya formalitas belaka, yang tidak

berpengaruh terhadap independensi dan kerja obyektif panitia pemilu.

Apalagi LPU yang menjadi penentu semua hasil pemilu tetap dipegang

Menteri Dalam Negeri dan jajarannya.

Eksistensi Lembaga Pengawas Pemilu secara eksplisit tertuang dalam

UU Nomor 2 Tahun 1980, yakni ketentuan yang mengatur tentang

Page 3: Roadmap Lembaga Pengawas Pemilu

Panwaslak Pemilu, sebagaimana tertera dalam Pasal 1 (4b) yang

berbunyi,

”Pada Panitia Pemilihan Indonesia, Panitia Pemilihan Daerah Tingkat

I, Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II dan Panitia Pemungutan Suara

dibentuk Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum, yaitu

Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Pusat, Panitia

Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat I, Panitia

Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat II dan

Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Kecamatan dengan

ketentuan sebagai berikut:

a. Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Pusat, Panitia

Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat I, Panitia

Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Daerah Tingkat II dan Panitia

Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Kecamatan masing-

masing berturut-turut sesuai dengan tingkatannya terdiri dari

seorang Ketua merangkap Anggota dan seorang Wakil Ketua

merangkap Anggota yang dijabat oleh pejabat Pemerintah serta

beberapa orang Anggota yang diambilkan dari unsur Pemerintah,

Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia,

Golongan Karya dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;

b. Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum bertugas

melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Pemilihan Umum

Anggota-anggota DPR, DPRD I dan DPRD II dalam wilayah

kerjanya masing-masing sesuai dengan tingkatannya dan

bertanggung jawab kepada Ketua Panitia Pemilihan/Panitia

Pemungutan Suara yang bersangkutan;

c. Panitia Pengawas pelaksanaan Pemilihan Umum Kecamatan juga

melakukan pengawasan terhadap pendaftaran pemilih dan

penyampaian surat pemberitahuan/panggilan, yang diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Page 4: Roadmap Lembaga Pengawas Pemilu

Sengaja rumusan ketentuan Panwaslak Pemilu dikutip secara lengkap

sekadar untuk menunjukkan, bahwa dalam UU Nomor 2 Tahun 1980

kedudukan Panwas Pemilu dalam struktur kepanitiaan pemilu tidak

jelas. Di satu pihak, Panwaslak Pemilu bertugas untuk mengawasi

pelaksanaan pemilu; tapi di lain pihak, Panwas Pemilu harus

bertanggungjawab kepada ketua panitia pemilihan sesuai dengan

tingkatannya: Panwaslak Pemilu Pusat bertanggungjawab kepada

Ketua PPI, Ketua Panwaslak Pemilu Daerah I bertanggungjawab

kepada Ketua PPD I, Ketua Panwaslak Pemilu Daerah II

bertanggungjawab kepada Ketua PPD II dan Panwaslak Pemilu

Kecamatan bertanggungjawab kepada Ketua PPS. Itu artinya

Panwaslak Pemilu adalah subordinat dari panitia pelaksana pemilu.

Ketentuan-ketentuan tentang Panwaslak Pemilu dalam UU Nomor 2

Tahun 1980 juga tidak menjelaskan ruang lingkup tugas pengawasan

pemilu, tugas dan kewenangan pengawas pemilu, mekanisme dan

prosedur penanganan pelanggaran, serta pengisian anggota dan

penentuan pimpinan Panwas Pemilu. Soal-soal seperti itu diserahkan

sepenuhnya pengaturannya kepada peraturan pemerintah. Namun

peraturan pemerintah pun tidak mengatur secara rinci hal-hal tersebut,

kecuali dalam soal pengisian anggota Panwaslak Pemilu dan

penentuan pimpinannya. Dalam peraturan pemerintah itu disebutkan

bahwa Ketua Panwaslak Pemilu Pusat adalah Jaksa Agung dengan

lima wakil ketua merangkap anggota, masing-masing adalah pejabat

dari Departemen Dalam Negeri, ABRI, Golkar, PPP dan PDI. Begitu

seterusnya pada tingkat bawah: Panwaslak Pemilu Daerah I diketuai

oleh Kepala Kejaksaan Tinggi yang didampingi lima wakil ketua

masing-masing dari Pemda Tingkat I, Kodam/Korem, DPD I Golkar,

DPD PPP dan DPD PDI; Panwaslak Pemilu Daerah II diketuai oleh

Kepala Kejaksaan Negeri yang didampingi lima wakil ketua masing-

masing dari Pemda Tingkat II, Kodim, DPD II Golkar, DPC PPP dan

DPC PDI; sedang Panwaslak Pemilu Kecamatan diketuai oleh pejabat

Page 5: Roadmap Lembaga Pengawas Pemilu

kecamatan yang didampingi staf Koramil dan wakil-wakil dari Golkar,

PPP dan PDI. Dengan susunan dan struktur organisasi seperti itu,

maka keberadaan pengawas pemilu yang semula diniatkan untuk

mengontrol pelaksanaan pemilu agar kualitas pemilu lebih baik, tidak

mungkin diwujudkan. Sebab, (sama dengan PPI, PPD I, PPD II, dan

PPS) Panwaslak Pemilu Pusat, Panwaslak Pemilu Daerah I,

Panwaslak Pemilu Daerah II, dan Panwaslak Pemilu Kecamatan, juga

didominasi oleh aparat pemerintah yang tidak lain adalah para

pendukung Golkar.

Berdasarkan hasil penelitian para ahli terkait tentang pengawasan

pemilu di Indonesia, fungsi pengawasan oleh Panwaslak Pemilu justru

diselewengkan untuk kepentingan pemenangan Golkar. Pertama,

Panwaslak Pemilu melegalkan kasus-kasus pelanggaran dan

kecurangan yang dilakukan oleh Golkar. Kedua, Panwaslak Pemilu

melakukan diskriminasi dalam menjalankan fungsi penegakkan hukum

pemilu, karena hanya mengusut kasus-kasus yang dilakukan oleh

peserta pemilu non-Golkar." Sebagai bagian dari 'mesin' pemenangan

Golkar, keberadaan Panwaslak Pemilu memang cukup efektif,

setidaknya telah mampu meredam protes-protes ketidakpuasan PPP

dan PDI atas kasus-kasus pelanggaran dan kecurangan yang terjadi,

karena kasus-kasusnya sudah 'ditangani' Panwaslak Pemilu. Secara

substansial, penanganan kasus-kasus pelanggaran dan kecurangan

pemilu memang tidak memuaskan PPP dan PDI. Akan tetapi secara

prosedural Panwaslak Pemilu telah menjalankan tugasnya, sehingga

semua pihak mau tidak mau mesti menerima hasil kerja Panwaslak

Pemilu. Demikianlah, keberadaan Panwaslak Pemilu selalu

dipertahankan dalam pemilu-pemilu Orde Baru karena dirasa cukup

efektif untuk mengatur dan mengendalikan kemenangan Golkar. Pada

akhir 1984, untuk ketiga kalinya pemerintah mengajukan usul

perubahan atas undang-undang pemilu. Usulan ini diterima DPR

sehingga pada 7 Januari 1985 diberlakukanlah Undang-undang Nomor

Page 6: Roadmap Lembaga Pengawas Pemilu

1 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15

Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan

Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana Telah Diubah

dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 dan Undang-undang

Nomor 2 Tahun 1980. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1985 ini memang

ada perubahan-perubahan ketentuan terhadap LPU dan panitia

pelaksana pemilu, serta Panwaslak Pemilu. Namun perubahan-

perubahan itu sifatnya hanya redaksional saja, atau sebatas

penyesuaian dengan perkembangan hukum di wilayah lain. Secara

substansial tidak ada yang berubah dengan posisi, fungsi, susunan

dan struktur organisasi LPU/PPI dan jajarannya, demikian juga tak ada

perubahan terhadap posisi, fungsi, susunan dan struktur organisasi

Panwaslak Pemilu dan jajarannya. Dua 'mesin' pemenangan Golkar itu

terus dipertahankan hingga Pemilu 1997, pemilu terakhir Orde Baru.

2. Catatan Tahun 1999

Seiring dengan perkembangan dan dinamika politik yang ada ditanah

air, tepatnya pada Pemilu tahun 1999 Panitia Pengawas Pelaksanaan

Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) yang bertugas mengawasi

pelaksanaan pemilu tetap diselenggarakan. Dengan catatan, lembaga

tersebut disusun dengan struktur, fungsi, dan mekanisme kerja yang

baru, dan namanya pun diubah menjadi Panitia Pengawas Pemilihan

Umum (Panwaslu). Pemilu 1999 memang terbilang istimewa, sebab

untuk pertama kalinya tugas pengawasan pemilu diserahkan kepada

lembaga yudikatif, yakni Makamah Agung dan badan-badan peradilan

dibawahnya. Pemilu 1999 memposisikan tanggung jawab pengawasan

formal pada yudikatif, dalam wewenangnya untuk membentuk Panitia

Pengawas Pemilihan Umum (Panwas), sebagaimana diamanatkan

pasal 24 UU No.3/1999.

Page 7: Roadmap Lembaga Pengawas Pemilu

Panwas adalah institusi yuridis yang diberi tanggung jawab dan

kewenangan oleh undang-undang untuk mengawasi dan memonitor

proses pelaksanaan pada setiap tahapan pemilu guna menjamin

terselenggaranya pemilu jujur, adil, langsung, umum, bebas dan

rahasia. Makamah Agung (MA) dan jajaran di bawahnya yaitu

Pengadilan Tinggi (PT) dan Pengadilan Negeri (PN), sangat berperan

dalam proses pelaksanaan pemilu 1999 lalu, karena disamping

membentuk Panwas, yudikatif juga menempatkan personelnya dalam

kepengurusan Panwas. Banyak pihak mengakui bahwa

penyelenggaraan pemilu 1999 telah berlangsung relatif lebih baik

dibandingkan penyelenggaraan pemilu di era Orde Baru. Lembaga

pengawas pemilu dalam kapasitasnya untuk pertama kalinya yang

bersifat non partisipan, dan Panwas bersama-sama Komisi Pemilihan

Umum (KPU), serta Panitia Pemilihan Indonesia, dapat dikatakan

menjadi “tonggak sejarah” pelaksanaan pemilu di Indonesia, karena

untuk pertama kalinya pasca hegemoni Orde Baru, bangsa Indonesia

dapat melaksanakan pemilu dan penggunaan hak-haknya dengan

baik, tanpa harus ditekan atau didintimidasi oleh pihak-pihak manapun.

Namun demikian, harus diakui bahwa masih banyak kekurangan yang

terdapat pada lembaga Panwas. Panwas sebagai lokomotif

pengawasan kerap kali disalahkan karena keterbatasannya, sehingga

sejumlah pihak masih memandang sebelah mata eksistensi dan

kinerjanya.

3. Catatan Perkembangan Sampai tahun 2013

Perubahan mendasar dari perkembangan lembaga pengawas pemilu

dilakukan lewat UU No. 12/2003 yang menegaskan, untuk melakukan

pengawasan Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas Pemilu, Panitia

Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota,

dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan. Penyempurnaan regulasi

pengawas pemilu dalam perkembangannya tertuang dalam Undang

Page 8: Roadmap Lembaga Pengawas Pemilu

Undang no 22 tahun 2007 Pengawasan penyelenggaraan Pemilu

dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu dibantu

oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi, Panwaslu

Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan,

dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Badan Pengawas Pemilu

merupakan lembaga yang bersifat tetap. Anggotanya diangkat sekali

dalam 5 tahun atau bersifat tetap. Sedangkan Panwaslu Provinsi,

Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu

Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri bersifat ad hoc. Hingga

tahun ini, dimana Undang Undang no 22 tahun 2007 telah

disempurnakan kedalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang

Penyelenggara Pemilu, maka keberadaan lembaga Pengawas Pemilu

tidak hanya dipertahankan tetapi juga diperkuat kedudukan, tugas dan

wewenangnya dengan harapan penyelenggaraan Pemilu kedepan

harus lebih baik, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.

Lembaga pengawas pemilu pun bukan dibawah koordinasi eksekutif,

legislatif dan yudikatif, tetapi mandiri, memiliki integritas serta

mengemban amanat penyelamatan pemilu, penguat sendi-sendi

demokrasi dan nilai-nilai pendidikan politik bagi masyarakat