rjpo
DESCRIPTION
RJPOTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan kepada
korban yang mengalami henti napas dan henti jantung. Keadaan ini bisa disebabkan karena
korban mengalami serangan jantung (heart attack), tenggelam, tersengat arus listrik,
keracunan, kecelakaan dan lain-lain. Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka
sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ-
organ tubuh terutama organ fital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal
bagi korban dan mengalami kerusakan.
Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan
mampu bertahan jika ada asupan gula/glukosa dan oksigen. Jika dalam waktu lebih dari 10
menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami
kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula kematian si korban. Oleh karena itu
GOLDEN PERIOD (waktu emas) pada korban yang mengalami henti napas dan henti
jantung adalah dibawah 10 menit. Artinya dalam watu kurang dari 10 menit penderita yang
mengalami henti napas dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan.
Jika tidak, maka harapan hidup si korban sangat kecil. Adapun pertolongan yang harus
dilakukan pada penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dengan
melakukan resusitasi jantung paru / CPR.
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat kegagalan
sirkulasi dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna mencegah kematian
biologis. Resusitasi jantung paru (RJP), atau juga dikenal dengan cardio pulmonier
resusitation (CPR), merupakan gabungan antara pijat jantung dan pernafasan buatan.
Teknik ini diberikan pada korban yang mengalami henti jantung dan nafas, tetapi masih
hidup.
Komplikasi dari teknik ini adalah pendarahan hebat. Jika korban mengalami
pendarahan hebat, maka pelaksanaan RJP akan memperbanyak darah yang keluar sehingga
kemungkinan korban meninggal dunia lebih besar. Namun, jika korban tidak segera diberi
RJP, korban juga akan meninggal dunia. RJP harus segera dilakukan dalam 4-6 menit
setelah ditemukan telah terjadi henti nafas dan henti jantung untuk mencegah kerusakan
1
sel-sel otak dan lain-lain. Jika penderita ditemukan bernafas namun tidak sadar maka
posisikan dalm keadaan mantap agar jalan nafas tetap bebas dan sekret dapat keluar
dengan sendirinya.
Resusitasi jantung paru tidak dilakukan pada semua penderita yang mengalami
gagal jantung atau pada orang yang sudah mengalami kerusakan pernafasan atau sirkulasi
yang tidak ada lagi kemungkinan untuk hidup, melainkan yang mungkin untuk hidup lama
tanpa meninggalkan kelainan di otak.
Keberhasilan resusitasi dimungkinkan oleh adanya waktu tertentu diantara mati
klinis dan mati biologis. Mati klinis terjadi bila dua fungsi penting yaitu pernafasan dan
sirkulasi mengalami kegagalan total. Jika keadaan ini tidak ditolong akan terjadi mati
biologis yang irreversibel. Resusitasi jantung paru yang dilakukan setelah penderita
mengalami henti nafas dan jantung selama 3 menit, presentasi kembali normal 75 %tanpa
gejala sisa. Setelah 4 menit presentasi menjadi 50 % dan setelah lima menit menjadi 25 %.
Maka jelaslah waktu yang sedikit itu harus dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.
Disamping mati klinis dan biologis dikenal dengan istilah mati social yaitu keadaan
dimana pernafasan dan sirkulasi terjadi spontan atau secara buatan, namun telah
mengalami aktifitas kortikal yang abnormal. Penderita dalam keadaan sopor atau koma
tanpa kemungkinan untuk sembuh dan dinyatakan dalam keadaan vegetatif. Agar resusitasi
dapat berjalan maksimal tentu saja memerlukan penolong yang cekatan dan terampil.
Waktu satu menit sangat berguna dalam memberikan pertolongan pertama padapenderita.
2
1.2 Tujuan Pembahasan
Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna
bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi
menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah
wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan
melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana pemikiran
ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu
persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini
ialah sebagai berikut :
a. Melengkapi tugas small group discussion skenario enam modul dua puluh satu tentang
Resusitasi Jantung Paru Otak.
b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.
c. Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam menghadapi
ujian akhir modul.
Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat diharapkan
dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh tujuan tersebut
dapat tercapai dengan baik
1.3 Metode dan Teknik
Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering
digunakan dalam pembahasan-pembahasan makalah sederhana, yaitu dengan
menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber
data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh
informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang
didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan
dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.
Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Skenario
TIDAK SADARKAN DIRI
Seorang pria 58 tahun tidak sadarkan diri di rumah sakit setelah mendengar kabar
anaknya meninggal dunia. Dari hasil pemeriksaan diperoleh : Apnoe (+), denyut a. Carotis
tidak teraba. Oleh dokter segera dilakukan RJPO
2.2 Learning Objective
Mahasiswa mampu mengetahui, memahami serta menjelaskan Resusitasi Jantung Paru
Otak, meliputi :
1. Defenisi RJPO
2. Klasifikasi RJPO
3. Indikasi dan kontraindikasi RJPO
4. Langkah-langkah RJPO
5. RJPO pada bayi dan anak
6. Kapan RJPO dapat dihentikan
7. Komplikasi RJPO
8. Cara menilai keberhasilan RJPO
2.3 Defenisi RJPO
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat kegagalan sirkulasi
dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna mencegah kematian biologis.
Resusitasi jantung paru (RJP), atau juga dikenal dengan cardio pulmonier resusitation
(CPR), merupakan gabungan antara pijat jantung dan pernafasan buatan. Teknik ini
diberikan pada korban yang mengalami henti jantung dan nafas, tetapi masih hidup.
Komplikasi dari teknik ini adalah pendarahan hebat. Jika korban mengalami
pendarahan hebat, maka pelaksanaan RJP akan memperbanyak darah yang keluar sehingga
4
kemungkinan korban meninggal dunia lebih besar. Namun, jika korban tidak segera diberi
RJP, korban juga akan meninggal dunia.
RJP harus segera dilakukan dalam 4-6 menit setelah ditemukan telah terjadi henti nafas
dan henti jantung untuk mencegah kerusakan sel-sel otak dan lain-lain. Jika penderita
ditemukan bernafas namun tidak sadar maka posisikan dalm keadaan mantap agar jalan
nafas tetap bebas dan sekret dapat keluar dengan sendirinya.
Resusitasi Jantung Paru ( RJP ) atau Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR ) Suatu
usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau fungsi jantung serta menangani
akibat-akibat berhentinya fungsi-fungsi jantung serta menangani akibat-akibat berhentinya
fungsi-fungsi tersebut pada orang yang tidak diharapkan mati pada saat itu.
RJP adalah teknik penyelamatan hidup yang bermanfaat pada banyak kedaruratan,
seperti serangan jantung, tenggelam, dimana pernafasan dan denyut jantung seseorang
berhenti. Ketika jantung berhenti, tiadanya darah teroksigenasi dalam beberapa menit dapat
menyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki. Kematian terjadi dalam 8 -10
menit. Perhitungan terhadap waktu adalah pentingsaat menolong pasien tidak sadar yang
tidak bernafas.
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan
fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti
jantung (cardiac arrest). Resusitasi jantung paru otak dibagi dalam tiga fase : bantuan hidup
dasar, bantuan hidup lanjut, bantuan hidup jangka lama. Namun pada pembahasan kali ini
lebih difokuskan pada Bantuan Hidup Dasar.
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu tindakan
penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan untuk menghentikan
proses yang menuju kematian.
Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini dapat disingkat dengan teknik
ABC yaitu airway atau membebaskan jalan nafas, breathing atau memberikan nafas
buatan, dan circulation atau pijat jantung pada posisi shock. Namun pada tahun 2010
tindakan BLS diubah menjadi CAB (circulation, breathing, airway). Tujuan utama dari
BLS adalah untuk melindungi otak dari kerusakan yang irreversibel akibat hipoksia,
karena peredaran darah akan berhenti selama 3-4 menit.
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat kegagalan sirkulasi
dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna mencegah kematian biologis.
5
Resusitasi jantung paru (RJP) atau juga dikenal dengan cardio pulmonier resusitation
(CPR), merupakan gabungan antara pijat jantung dan pernafasan buatan. Teknik ini
diberikan pada korban yang mengalami henti jantung dan nafas, tetapi masih hidup.
RJP harus segera dilakukan dalam 4-6 menit setelah ditemukan telah terjadi henti nafas
dan henti jantung untuk mencegah kerusakan sel-sel otak dan lain-lain. Jika penderita
ditemukan bernafas namun tidak sadar maka posisikan dalm keadaan mantap agar jalan
nafas tetap bebas dan sekret dapat keluar dengan sendirinya.
2.4 Klasifikasi RJPO
2.4.1 Bantuan Hidup Dasar (basic Life Support )
2.4.1.1 Definisi
Bantuan hidup dasar (Basuc life support) adalah usaha yang dilakukan untuk
menjaga jalan napas (airway) tetap terbuka, menunjang pernapasan dan sirkulasi dan tanpa
menggunakan alat-alat bantu (Soerianata, 1996).
Istilah basuc life support mengacu pada mempertahankan jalan nafas dan sirkulasi.
Basuc life support ini terdiri dari beberapa elemen: penyelamatan pernapasan (juga dikenal
dengan pernapasan dari mulut ke mulut) dan kompresi dada eksternal. Jika semua
digabungkan maka digunakan istilah Resusitasi Jantung Paru (RJP) (Handley, 1997).
Bantuan hidup dasar adalah tindakan darurat untuk membebaskan jalan
napas,membantu pernapasan dan mempertahankan sirkulasi darah tanpa menggunakan alat
bantu (Alkatiri, 2007).
2.4.1.2 Tujuan
Tujuan utama dari bantuan hidup dasar adalah suatu tindakan oksigenasi darurat
untuk mempertahankan ventilasi paru dan mendistribusikan darah-oksigenasi ke jaringan
tubuh (Alkatiri, 2007).
Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif pada
organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai
paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal
(Latief, 2009).
2.4.1.3 Tindakan
A. Periksa Respon dan Layanan Kedaruratan Medis
6
Berteriak didekat kuping Pemeriksaan kesadaran dilakukan untuk menentukan pasien sadar
atau tidak dengan cara memanggil, menepuk bahu atau wajah korban. Jika pasien sadar,
biarkan pasien dengan posisi yang membuatnya merasa nyaman, dan bila perlu lakukan
kembali penilaian kesadaran setelah beberapa menit. Jika pasien tidak sadar segera
meminta bantuan dengan cara berteriak “TOLONG!” atau dengan menggunakan alat
komunikasi dan beritahukan dimana posisi anda (penolong) (ERC Guidelines, 2010).
B. Pembebasan Jalan Napas (Airway Support)
Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan
sebagian, dan progresif dan/atau berulang (ATLS, 2004). Penyebab utama obstruksi jalan
napas bagian atas adalah lidah yang jatuh kebelakang dan menutup nasofaring. Selain itu
bekuan darah, muntahan, edema, atau trauma dapat juga menyebabkan obstruksi tersebut.
Oleh karena itu, pembebasan jalan napas dan menjaga agar jalan napas tetap terbuka dan
bersih merupakan hal yang sangat penting dalam BLS (Van Way, 1990).
Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh
kebelakang dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat segera
diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin-lift maneuver) atau dengan mendorong
rahang bawah ke arah depan (jaw-thrust maneuver). Tindakan-tindakan yang digunakan
untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena
itu, selama mengerjakan prosedur-prosedur ini harus dilakukan immobilisasi segaris (in-
line immobilization) dan pasien/korban harus diletakkan di atas alas/permukaan yang rata
dan keras (IKABI, 2004).
Teknik-teknik mempertahankan jalan napas (airway):
a. tindakan kepala tengadah (head tilt)
Tindakan ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong mendorong
dahi kebawah supaya kepala tengadah (Latief dkk, 2009).
b. Tindakan dagu diangkat (chin lift)
Jari-jemari satu tangan diletakkan dibawah rahang, yang kemudian secara hati-hati
diangkat keatas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari dapat juga diletakkan di
belakang gigi seri (incisor) bawah dan secara bersamaan dagu dengan hati-hati diangkat.
Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher (IKABI, 2004)
c. tindakan mendorong rahang bawah (jaw-thrust)
pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorong kedepan pada sendinya
tanpa menggerakkan kepala-leher. (Latief dkk, 2009).
7
C. Bantuan Napas dan Ventilasi (Breathing Support)
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Pada keadaan normal, oksigen diperoleh
dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007).
Breathing support merupakan usaha ventilasi buatan dan oksigenasi dengan inflasi
tekanan positif secara intermitten dengan menggunakan udara ekshalasi dari mulut ke
mulut, mulut ke hidung, atau dari mulut ke alat (S-tube masker atau bag valve mask)
(Alkatri, 2007).
Breathing support terdiri dari 2 tahap :
1. Penilaian Pernapasan
Menilai pernapasan dengan memantau atau observasi dinding dada pasien dengan cara
melihat (look) naik dan turunnya dinding dada, mendengar (listen) udara yang keluar
saat ekshalasi, dan merasakan (feel) aliran udara yang menghembus dipipi penolong
(Mansjoer, 2009).
2. Memberikan bantuan napas
Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut (mouth-to-mouth), mulut ke
hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup
(Latief dkk, 2009).
a. Pada bantuan napas mulut-ke-mulut (mouth-to-mouth) jika tanpa alat, maka
penolong menarik napas dalam, kemudian bibir penolong ditempelkan ke bibir
pasien yang terbuka dengan erat supaya tidak bocor dan udara ekspirasi
dihembuskan ke mulut pasien sambil menutup kedua lubang hidung pasien dengan
cara memencetnya.
b. Pada bantuan napas mulut-ke-hidung (mouth-to-nose), maka udara ekpsirasi
penolong dhembuskan kehidung pasien sambil menutup mulut pasien. Tindakan ini
dilakukan kalau mulut pasien sulit dibuka (trismus) atau pada trauma maksilo-
fasial.
c. Pada bantuan napas mulut-ke-sungkup pada dasarnya sama dengan mulut-ke-
mulut. Bantuan napas dapat pula dilakukan dari mulut-ke-stoma atau lubang
trakeostomi pada pasien pasca bedah laringektomi.
Frekuensi dan besar hembusan sesuai dengan usia pasien apakah korban bayi, anak
atau dewasa. Pada pasien dewasa, hembusan sebanyak 10-12 kali per menit dengan
tenggang waktu antaranya kira-kira 2 detik. Hembusan penolong dapat menghasilkan
volum tidal antara 800-1200 ml (Latief dkk, 2009).
8
D. Sirkulasi (Circulation Support)
Merupakan suatu tindakan resusitasi jantung dalam usaha mempertahankan sirkulasi
darah dengan cara memijat jantung, sehingga kemampuan hidup sel-sel saraf otak dalam
batas minimal dapat dipertahankan (Alkatri, 2007).
Dilakukan dengan menilai adanya pulsasi arteri karotis. Penilaian ini maksimal
dilakukan selama 5 detik. Bila tidak ditemukan nadi maka dilakukan kompresi jantung
yang efektif, yaitu kompresi dengan kecepatan 100 kali per menit, kedalaman 4-5 cm,
memberikan kesempatan jantung mengembang (pengisian ventrikel), waktu kompresi dan
relaksasi sama, minimalkan waktu terputusnya kompresi dada. Rasio kompresi dan
ventilasi 30:2 (Mansjoer, 2009).
Tempat kompresi jantung luar yang benar ialah bagian tengah separuh bawah tulang
dada. Pada pasien dewasa tekan tulang dada kebawah menuju tulang punggung sedalam 3-
5 cm sebanyak 60-100 kali per menit.tindakan ini akan memeras jantung yang letaknya
dijepit oleh dua bangunan tulang yang keras yaitu tulang dada dan tulang punggung.
Pijatan yang baik akan menghasilkan denyut nadi pada karotis dan curah jantung sekitar
10-15% dari normal (Latief dkk, 2009).
Periksa keberhasilan tindakan resusitasi jantung paru dengan memeriksa denyut nadi
arteri karotis dan pupil secara berkala. Bila pupil dalam keadaan konstriksi dengan reflex
cahaya positif, menandakan oksigenasi aliran darah otak cukup. Bila sebaliknya yang
terjadi, merupakan tanda kerusakan otak berat dan resusitasi dianggap kurang berhasil
(Alkatiri, 2007).
E. Posisi Pemulihan (Recovery Position)
Recovery position dilakukan setelah pasien ROSC (Return of Spontaneous Circulation).
Urutan tindakan recovery position meliputi:
a. Tangan pasien yang berada pada sisi penolong diluruskan ke atas
b. Tangan lainnya disilangkan di leher pasien dengan telapak tangan pada pipi pasien
c. Kaki pada sisi yang berlawanan dengan penolong ditekuk dan ditarik ke arah penolong,
sekaligus memiringkan tubuh korban ke arah penolong
Dengan posisi ini jalan napas diharapkan dapat tetap bebas (secure airway) dan mencegah
aspirasi jika terjadi muntah. Selanjutnya, lakukan pemeriksasn pernapasan secara berkala
(Resuscitation CouncilUK, 2010).
9
2.4.2 Bantuan Hidup Lanjut (Advance Life Support )
Yang dimaksud dengan bantuan hidup lanjut adalah usaha yang dilakukan setelah
dilakukan usaha bantuan hidup dasar dengan memberikan obat-obatan yang dapat
memperpanjang hidup pasien.
Merupakan usaha untuk memepertahankan dan mengembalikan sirkulasi spontan,
dan stabilitas system kardiovasculer
A. Drugs
Setelah penilaian terhadap hasil bantuan hidup dasar, dapat diteruskan dengan bantuan
hidup lanjut (korban dinyatakan belum mati dan belum timbul denyut jantung spontan),
maka bantuan hidup lanjut dapat diberikan berupa obat-obatan. Obat-obatan tersebut
dibagi dalam 2 golongan yaitu,
1. Penting, yaitu :
a. Adrenalin
Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 – 1
mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat
meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel.
b. Natrium bikarbonat
c. Sulfat Atropin
Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat
denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah
“arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama
bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan
diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total
tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang
membutuhkan dosis lebih besar.
d. Lidokain
Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara
meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis
terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan
arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan
iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang
berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan
episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-
10
pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3
mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5
% larutan (1 mg/ml).
2. Berguna, yaitu :
a. Isoproterenol
Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena
complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20
mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk
meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk
sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.
b. Propanolol
Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk
kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang
dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah
1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat.
c. Kortikosteroid.
Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon
sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok
kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak
setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam
akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi,
maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.
d. Natrium bikarbonat
Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1
mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat
juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus
dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila
belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama.
B. EKG
Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring.
11
C. Fibrillation Treatment
Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri
putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.
2.5 Indikasi dan Kontra Indikasi RJPO
2.5.1 Indikasi RJPO
Tindakan RJP sangat penting terutama pada pasien dengan cardiac arrest karena
fibrilasi ventrikel yang terjadi di luar rumah sakit, pasien di rumah sakit dengan fibrilasi
ventrikel primer dan penyakit jantung iskemi, pasien dengan hipotermi, overdosis,
obstruksi jalan napas atau primary respiratory arrest (Alkatiri dkk, 2007).
Pada beberapa keadaan, tindakan resusitasi tidak dianjurkan (tidak efektif), antara lain:
bila henti jantung (arrest) telah berlangsung lebih dari 5 menit (oleh karena biasanya
12
kerusakan otak permanen telah terjadi pada saat ini), pada keganasan stadium lanjut, payah
jantung refrakter, edema paru-paru refrakter, syok yang mendahului arrest, kelainan
neurologic yang berat, serta pada penyakit ginjal, hati dan paru yang lanjut (Alkatiri dkk,
2007).
Sebab- sebab henti jantung :
a. Penyakit kardiovaskuler
b. Penyakit jantung sistemik, infark miokardial akut, embolus paru, fibrosis pada sistem
konduksi (penyakit lenegre, sindrom adams stokes, noda sinus atrioventrikulaer sakit).
c. Kekurangan oksigen akut
d. Henti nafas, benda asing di jalan nafas, sumbatan jalan nafas oleh sekresi, asfiksia dan
hipoksia.
e. Kelebihan dosis obat dan gangguan asam basa
f. Digitalis, quinidin, antidepresan trisiklik, propoksifen, adrenalin dan isoprenalin.
g. Kecelakaan
h. Syok listrik dan tenggelam.
i. Refleks vagal
j. Peregangan sfingter anii, penekanan atau penarikan bola mata.
k. Anestesi dan pembedahan.
l. Terapi dan tindakan diagnostik medis
m. Syok (hipovolemik, neurogenik, toksik dan anafilaktik) Kebanyakan henti jantung
yang terjadi di masyarakat merupakan akibat penyakit jantung iskemik, 40 % mati
mendadak. Dari penyakit jantung iskemik terjadi dalam waktu satu jam setelah
dimulainya gejala dan proporsinya lebih tinggi, sekitar 60 % diantara umur
pertengahan dan yang lebih muda. Lebih dari 90 % kematian yang terjadi di luar rumah
sakit disebabkan oleh fibrilasi ventrikuler, suatu kondisi yang potensial reversible.
2.5.1.1 Henti Napas (Respiratory Arrest)
Henti Napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya
serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan napas
oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang
epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lain (Latief dkk, 2009).
Tanda dan gejala henti napas berupa tidak sadar (pada beberapa kasus terjadi
kolaps yang tiba-tiba), pernapasan tidak tampak atau pasien bernapas dengan terengah-
13
engah secara intermitten, sianosis dari mukosa buccal dan liang telinga, pucat secara
umum, nadi karotis teraba (Muriel, 1995).
Pada awal henti nafas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O2
ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Kalau henti napas
mendapat pertolongan dengan segera maka pasien akan terselamatkan hidupnya dan
sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung yang mungkin menjadi fatal
(Latief dkk, 2009).
Resusitasi jantung paru bertujuan untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau
sirkulasi, dan penanganan akibat henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti jantung
(cardiac arrest), yang mana fungsi tersebut gagal total oleh sebab yang memungkinkan
untuk hidup normal. Adapun sebab henti nafas adalah :
1. Sumbatan jalan nafas
Bisa disebabkan karena adanya benda asing, aspirasi, lidah yang jatuh ke belakang,
pipa trakhea terlipat, kanula trakhea tersumbat, kelainan akut glotis dan sekitarnya
(sembab glotis, perdarahan).
2. Depresi pernafasan
a. Sentral :
obat, intoksikasi, Pa O2 rendah, Pa CO2 tinggi, setelah henti jantung, tumor otak
dan tenggelam.
b. Perifer :
obat pelumpuh otot, penyakit miastenia gravis, poliomyelitis.
2.5.1.2 Henti Jantung (Cardiac Arrest)
Henti jantung adalah keadaan terhentinya alran darah dalam system sirkulasi tubuh
secara tiba-tiba akibat terganggunya efektifitas kontraksi jantung saat sistolik (Mansjoer,
2009).
Berdasarkan etiologinya henti jantung disebabkan oleh penyakit jantung (82,4%);
penyebab internal nonjantung (8,6%) seperti akibat penyakit paru, penyakit
serebrovaskular, penyakit kanker, perdarahan saluran cerna obstetrik/pediatrik, emboli
paru, epilepsi, diabetes mellitus, penyakit ginjal; dan penyebab eksternal nonjantung
(9,0%) seperti akibat trauma, asfiksisa, overdosis obat, upaya bunuh diri, sengatan
listrik/petir (Mansjoer, 2009).
Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti napas. Umumnya
walaupun kegagalan pernapasan telah terjadi, denyut jantung dan pembuluh darah masih
14
dapat berlangsung terus sampai kira-kira 30 menit. Pada henti jantung dilatasi pupil
kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi pupil mulai terjadi 45 detik setelah aliran darah ke otak
berhenti dan dilatasi maksimal terjadi dalam waktu 1 menit 45 detik. Bila telah
terjadidilatasi pupil maksimal, hal ini menandakan sudah 50% kerusakan otak irreversible
(Alkatiri dkk, 2007).
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis, femoralis, radialas),
disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping,
apnu), dilatasi pupil tak bereaksi dengan ranngsang cahaya dan pasien dalam keadaan tidak
sadar (Latief dkk, 2009).
2.5.2 Kontra Indikasi RJPO
1. DNAR (do not attempt resuscitation)
2. Tidak ada manfaat fisiologis karena fungsi vital telah menurun
3. Ada tanda kematian yang reversibel
a. rigormotis (kaku mayat)
b. dekapitasi
c. dekomposisi
d. pucat
2.6 Langkah-langkah RJPO
Bila anda melihat seorang yang tidak sadar:
1. Pertama-tama anda harus berteriak untuk meminta tolong (cari saksi)
2. Dekati pasien tersebut dan pastikan korban benar-benar tidak sadar (check
responsiveness) dengan memanggil-manggil (rangsangan suara.pen), menyentuh
lembut atau memberikan rangsangan nyeri (rangsangan nyeri.pen), atau dengan
memberikan bau-bauan yang cukup menyengat (rangsangan bau.pen). Perhatian, hati-
hati menyentuh pasien yang terkena sengatan listrik, jangan sampai anda menjadi
korban kedua.
3. Bila tidak sadar, minta bantuan orang lain agar menelepon ambulans atau rumah sakit
terdekat agar segera datang dengan alat bantuan yang lebih lengkap (call for help).
15
4. Ubah posisi korban, posisikan dengan posisi tidur terlentang di tempat yang datar dan
keras sebagai persiapan untuk melakukan RKP. Selanjutnya lakukan RKP dengan
langkah-langkah A,B,C,D,E,F,G,H,I.
A. A=Airway Control. Tujuannya untuk membuka dan mengamankan jalan nafas.
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.
1. Penolong berlutut di dekat kepala sebelah kanan korban.
2. Jika terdapat trauma pada leher sebelah atas sampai kepala dan dicurigai terdapat
trauma cervical, lakukan fiksasi pada leher dan kepala korban dengan memasang collar
neck atau benda keras apapun sebagai pengganti yang cocok.
3. Jika tonus otot korban hilang, lidah akan menyumbat faring dan epiglottis akan
menyumbat laring, hal ini menjadi penyebab utama tersumbatnya jalan napas pada
pasien tidak sadar.2 Oleh sebab itu, lakukan tindakan Angkat Dagu Tengadah Kepala
(Head Tilt- Chin Lift Maneuver.red)
dengan mengangkat dagu ke atas dan mendorong kepala atau dahi ke belakang. Pada
korban dengan trauma muka atau kepala dan dada yang dicurigai mengalami cedera
servikal, lakukan teknik penarikan rahang tanpa kepala (jaw thrust Maneuver.red)
16
Lihat apakah ada cairan atau benda asing. Bila terdapat cairan, miringkan kepala penderita
agar cairan dapat keluar (memiringkan kepala hanya dilakukan pada penderita yang tidak
ada cedera tulang servikal) atau dilakukan penghisapan cairan bila peralatan tersebut
tersedia. Bila terdapat benda asing maka segera keluarkan benda tersebut, salah satunya
dengan teknik hentakan abdomen (Hemlich maneuver/ abdominal thrust)
4. dan hentakan dada ( chest thrust ). Jika sumbatan jalan napas masih terjadi, dapat
dicoba pemasangan pipa jalan nafas ( oropharyngeal airway atau nasopharyngeal
airway ). Jika usaha ini masih belum berhasil, perlu dilakukan tracheal intubation, jika
tidak bisa dilakukan maka sebagai alternative adalah cricotirotomy atau cricotiroid
membrane punction dengan jarum berlumen besar (missal dengan kanula intravena 14
G).
5. Perhatikan apakah korban bernafas atau tidak dengan melakukan :lihat, dengar,
rasakan (look,listen, feel).
6. Dekatkan telinga anda ke mulut korban dan mata melihat ke arah dada. Lihat apakah
ada pergerakan dinding dada seperti orang bernafas umumnya (look), dengarkan suara
17
pernafasannya (listen), dan rasakan hembusan nafasnya (feel).Bila tidak bernafas,
lakukan langkah B.
B. B=Breathing Support. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.
1. Pasanglah alat bantu jalan nafas orofaring (bila ada) pada penderita, kemudian pasang
kantung nafas sungkup muka. Bila terjadi di lapangan dan tanpa peralatan, lakukan
dengan manipulasi dengan cara mulu ke mulut ( the kiss of life, mouth-to-mouth ),
mulut ke hidung ( mouth-to-nose ) pada trauma maksilo-fasial dan saat mulut korban
sulit dibuka atau mulut ke stoma trakeostomi. Letakkan tangan kanan penolong di
dagudan tangan kiri penolong memencet kedua lubang hidung korban, sehingga lobang
hidung tertutup rapat. Dengan demikian keadaan korban menjadi “mulut menganga,
dagu terangkat, kepala fleksikan”.
2. Lakukan nafas buatan sebanyak 2 kali secara perlahan, tiap ventilasi waktunya sekitar
2 detik
3. Lihat apakah udara yang dipompakan dapat masuk dengan mudah, apakah dinding
dada tampak naik ketika udara dipompakan, dan apakah ada udara yang keluar saat
ekspirasi pasif. Bila udara tidak dapat masuk dengan mudah dan dinding dada tidak
bergerak naik, pikirkan kemungkinan adanya obstruksi jalan nafas. Atasi obstruksi
segera!
4. Raba denyut arteri carotis paling lama 10 detik. Bila tidak ada denyut, berarti pasien
Cardiac Arrest dan lanjutkan langkah C. Bila berdenyut, lanjutkan pemberian nafas
buatan dengan frekuensi 12-20 kali/menit.
C. C=Circulation Treatment. Langkah-langkahnya sebagai berikut.
Lakukan Pijat Jantung Luar (PJL) sebanyak 7 kali dan diikuti nafas buatan sebanyak 1 kali
( menurut ACLS 2008, PJL sebanyak 30 kali dan nafas buatan sebanyak 2 kali.red). Yang
penting PJL dilakukan sebanyak +/- 80 kali/menit dan nafas buatan sebanyak +/- 12
kali/menit. Dengan demikian pasien terhindar dari Hipoxia Lanjut.
18
Teknik melakukan PJL adalah sebagai berikut.
1. Letakkan satu telapak tangan di atas permukaan dinding dada pada 1/3 processus
xypoideus (bagian ujung sternum). Tangan yang lain diletakkan di atas tangan pertama.
2. Dengan jari-jari terkunci, lengan lurus dan kedua bahu tepat di atas sternum korban,
beri tekanan ventrikal ke bawah dengan kedalaman sekitar 3-5 cm untuk dewasa.
Tekanan berasal dari bahu bukan dari tangan, sehingga tangan dan siku korban lurus
dan tegak lurus dengan dada korban. Tindakan ini akan memeras jantung yang letaknya
dijepit oleh dua bangunan tulang yang keras yaitu tulang dada dan tulang punggung.
Pijatan jantung yang baik akan menghasilkan denyut nadi pada arteri carotis dan curah
jantung sekitar 10-15% dari normal.
3. Pada gerakan penekanan, usahakan penekanan sternum ke bawah selama ½ detik dan
lepaskan dengan cepat tetapi kedua tangan tidak boleh diangkat dari dada korban dan
tunggu ½ detik kemudian agar jantung dan pembuluh darah terisi cukup
4. Kompresi harus teratur, halus dan continue. Dalam kondisi apapun kompresi tidak
boleh berhenti lebih dari 5 detik.
5. Lakukan pemberian nafas sebanyak 2 kali tiap setelah 30 kali pijatan atau penekanan
pada dada (jantung) dengan perbandingan 30:2.
6. Lakukan sebanyak 5 siklus, kemudian cek kembali arteri carotis korban. Jika tetap
tidak berdenyut, lanjutkan pemberian PJL.
Di lapangan, saat korban menunjukkan respon yang positif terhadap pemberian Bantuan
Hidup Dasar ( langkah A-B-C), maka tindakan RKP dihentikan dan letakkan korban pada
posisi mantap. Caranya adalah sebagai berikut.
1. Fleksikan tungkai yang terdekat dengan anda
19
2. Letakkan tangan yang terdekat dengan anda di bawah bokongknya
3. Dengan lembut gulingkan pasien pada sisinya
4. Ekstensikan kepalanya dan pertahankan mukanya lebih rendah.
5. Letakkan tangan pasien sebelah atas di bawah pipi sebelah bawah untuk
mempertahankan ekstensi kepala dan mencegah pasien berguling ke depan. Lengan
sebelah bawah yang berada di punggungnya mencegah pasien terguling ke belakang.
D. D=Drugs and Fluid Intravenous Infusion
Pada tahap ini diberikan obat dan cairan tanpa menunggu hasil EKG.Obat yang diberikan
adalah.
1. Adrenalin, Pertama yang diberikan adalah adrenalin 0,5-1,0 mg I.V dosis untuk
dewasa, 10 mcg/kg pada anak-anak. Cara pemberian: IV, intratrakeal lewat pipa trakeal
(1 ml adrenalin 10/00 diencerkan dengan 9 ml akuades steril, bukan NaCl) atau bila
keduanya tidak mungkin: intrakardiak (hanya oleh tenaga yang sudah terlatih). Diulang
tiap 5 menit dengan dosis sama sampai timbul denyut jantung spontan atau mati
jantung.4 Walaupun cardiac arrestnya fibrilasi ventrikel, namun adrenalin tetap
diberikan sebagai obat pilihan pertama karena fungsi adrenalin selain sebagai notropic
dan chronotropic, adrenalin juga meningkatkan sensitivity otot jantung sehingga
ventricle fibrillation mudah kembali ke irama sinus dengan defibrillator listrik pada
jantung yang telah diberikan adrenalin.
2. Natrium Bikarbonat, Dosis mula 1 mEq/kg (bila henti jantung lebih dari 2 menit)
kemudian dapat diulang tiap 10 menit dengan dosis 0,5 mEq/kg sampai timbul denyut
jantung spontan atau mati jantung. Cara pemberian hanya IV. Dipasang infuse
intravena sesuai indikasi.
E. E=EKG
F. F=Fibrilation Treatment,
Elektroda dipasang di sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.
Defibrilasi luar: arus searah: 100-360 Wsec (Joule) (dewasa); 100-200 Wsec (anak);
50-100 Wsec (bayi).
G. G=Gough (cari sebab Cardiac Arrest)
20
Pada tahap ini, menentukan dan member terapi penyebab kematian dan menilai sampai
sejauh mana pasien dapat diselamatkan.
H. I=Intensive Care Unit, Post Cardiac Arrest, korban harus dirawat di ICU
2.7 RJPO Bayi dan Anak
Hal yang harus diperhatikan jika RJP pada bayi dan anak:
1. Saluran Pernapasan (Airway =A)
Hati-hatilah dalam memengang bayi sehingga Anda tidak mendongakkan kepala bayi
dengan berlebihan. Leher bayi masih terlalu lunak sehingga dongakan yang kuat justru
bisa menutup saluran pernapasan.
2. Pernapasan (Breathing = B)
Pada bayi yang tidak bernapas, jangan meneoba menjepit hidungnya. Tutupi mulut dan
hidungnya dengan mulut Anda lalu hembuskan dengan perlahan (1 hingga 1,5
detik/napas) dengan menggunakan volume yang eukup untuk membuat dadanya
mengembang. Pada anak kecil, jepit hidungnya, tutupi mulutnya, dan berikan
hembusan seperti pada bayi.
3. Peredaran Darah (Circulation = C)
Pemeriksaan Denyut:
Pada bayi, untuk menentukan ada atau tidaknya denyut nadi adalah dengan meraba
bagian dalam dari lengan atas pad a bagian tengah antara siku dan bahu. Pemeriksaan
denyut pada anak keeiL sarna dengan orang dewasa.
Teknik Pada Bayi Dan Anak-Anak
Prinsip Bantuan Hidup Dasar pada bayi dan anak adalah sama dengan pada orang dewasa.
Akan tetapi karena ketidaksamaan ukuran, diperlukan modifikasi teknik yang disebutkan
di atas yaitu sebagai berikut.
2. Ekstensi kepala yang berlebihan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas pada
bayi dan anak kecil. Kepala hendaknya dijaga dalam posisi netral selama
diusahakan membuka jalan napas pada kelompok ini.
3. Pada bayi dan anak kecil, ventilasi mulut-ke-mulut dan hidung lebih sesuai
daripada ventilasi mulut-ke-mulut atau mulut-ke-hidung. Pemberian ventilasi harus
21
lebih kecil volumnya dan frekuensi ventilasi harus ditingkatkan menjadi 1 ventilasi
tiap 3 detik untuk bayi dan 1 ventilasi tiap 4 detik untuk anak-anak.
4. Pukulan punggung dengan pangkal tangan dapat diberikan pada bayi di antara 2
skapula dengan korban telungkup dan mengangkang pada lengan penolong dan
hentakan dada diberikan dengan bayi terlentang, kepala terletak dibawah melintang
pada paha penolong. Pukulan punggung pada anak yang lebih besar dapat diberikan
dengan korban telungkup melintang di atas paha penolong dengan kepala lebih
rendah dari badan, dan hentakan dada dapat diberikan dengan anak terlentang di
atas lantai.
5. Karena jantung terletak sedikit lebih tinggi dalam rongga toraks pada pasien-pasien
muda, kompresi dada luar hendaknya diberikan dengan 2 jari pada 1 jari di bawah
titik potong garis putting susu dengan sternum pada bayi dan pada tengah
pertengahan bawah sternum pada anak. Penekanan sternum 1,5-2,5 cm efektif
untuk bayi, tetapi pada anak diperlukan penekanan 2,5-4 cm. Pada anak yang lebih
besar hendaknya digunakan pangkal telapak tangan untuk kompresi dada luar.
6. Selama henti jantung, pemberian komprsi dada luar harus minimal 100 kali
permenit pada bayi dan 80 kali permenit pada anak-anak. Perbandingan kompresi
terhadap ventilasi selalu 5:1.
2.7.1 Resusitasi jantung paru pada bayi ( < 1 tahun)
a. 2 – 3 jari atau kedua ibu jari
b. Titik kompresi pada garis yang menghubungkan kedua papilla mammae
c. Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit
d. Rasio pijat : napas 15 : 2
e. Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi
RJP pada bayi
Kebanyakan henti jantung pada bayi karena kehabisan oksigen, seperti pada tenggelam
atau tercekik. Bila diketahui adanya obstruksi jalan nafas, lakukan pertolongan pertama
untuk tercekik. Bila anda tidak tahu kenapa bayi tidak bernafas, lakukan RJP. Untuk
memulai, nilai situasi. Tepuk bayi dan lihat responnya, seperti gerakan, namun jangan
guncang sang bayi.Bila tidak ada respon, ikuti prosedur CAB dibawah dan kapan minta
bantuan adalah sebagai berikut :
22
1. Bila anda sendiri dan dibutuhkan RJP, lakukan RJP selama 2 menit, sekitar 5 siklus,
sebelum menelepon nomor emergensi.
2. Bila ada penolong lain, suruh dia menelepon ketika anda menolong bayi.
2.7.2 Resusitasi Jantung paru pada anak-anak ( 1-8 tahun)
a. Satu telapak tangan
b. Titik kompresi pada satu jari di atas Proc. Xiphoideus
c. Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit
d. Rasio pijat : napas 30 : 2
e. Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi
RJP pada anak untuk usia 1-8 tahun, prinsip serupa dengan dewasa. Perbedaannya :
2. Bila anda sendiri, lakukan 5 siklus kompresi dan nafas, sekitar 2 menit, sebelum
menelepon petugas emergensi atau menggunakan AED.
3. Gunakan hanya satu tangan untuk melakukan kompresi jantung.
4. Pemberian nafas lebih hati-hati.
5. Perbandingan kompresi dan nafas seperti dewasa, 30 : 2. Ini satu siklus. Setelah
memberi nafas, segera mulai siklus berikut.
6. Setelah 5 siklus (sekitar 2 menit) RJP, bila tidak ada respon dan tersedia AED, gunakan
sesuai perintah mesin. Gunakan pada pediatrik bila ada. Bila tidak ada, gunakan pada
dewasa. Lanjutkan hingga anak bergerak atau pertolongan tiba.
2.8 Kapan menghentikan RJPO
Beberapa alasan kuat bagi penolong untuk menghentikan RKP antara lain:
1. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif
2. Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang bertanggung jawab
meneruskan resusitasi (bila tak ada dokter)
3. Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tak ada dokter sebelumnya).
4. Korban dinyatakan mati
5. Penolong sudah memberikan secara penuh, yakni bantuan hidup dasar dan bantuan
hidup lanjut.
6. Penolong sudah mempertimbangkan apakah pada pasien terdapat hipotermia
23
7. Penolong sudah mempertimbangkan apakah pasien terpapar bahan beracun atau
mengalami overdosis obat yang akan menghambat system syaraf pusat.
8. Penolong sudah merekam melalui monitor adanya asistol yang menetap selama 10
menit atau lebih
9. Interval waktu usaha resusitasi pada henti jantung disaksikan yang tidak dapat
mengembalikan sirkulasi spontan adalah 25 sampai 30 menit
10. Penolong sudah lelah. Ingat jangan menambah korban.
Penghentian RJP
Hentikan usaha RJP jika terjadi hal-hal berikut:
a. Korban sadar kembali (dapat bernapas dan denyut nadi teraba kembali).
b. Digantikan oleh penolong terlatih lain atau layanan kedaruratan medis.
c. Penolong kehabisan tenaga untukmelanjutkan RJP.
d. Keadaan menjadi tidak aman. (Asih, 1996).
2.9 Komplikasi RJPO
Komplikasi Tindakan resusitasi, yaitu :
b. Fraktur sternum, sering terjadi pada orang tua
c. Robekan paru
d. Perdarahan intra abdominal, posisi yang terlalu rendah akan menekan Proc. Xiphoideus
ke arah hepar atau limpa
e. Distensi lambung karena pernapasan buatan
2.10 Cara Menilai Keberhasilan RJPO
Untuk menentukan keberhasilan tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) /
Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) maupun pemulihan sistem pada korban diantaranya:
a. Saat melakukan pijatan jantung luar suruh seseorang menilai nadi karotis, bila ada
denyut maka berarti tekanan kita cukup baik.
b. Gerakan dada terlihat naik turun dengan baik pada saat memberikan bantuan
pernafasan.
c. Reaksi pupil / manik mata mungkin akan kembali normal.
d. Warna kulit korban akan berangsur-angsur membaik.
24
e. Korban mungkin akan menunjukkan refleks menelan dan bergerak.
f. Nadi akan berdenyut kembali.
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung dan organ-
organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan jantung dan
menjamin ventilasi yang adekwat (Rilantono, 1999). Tindakan ini merupakan tindakan
kritis yang dilakukan pada saat terjadi kegawatdaruratan terutama pada sistem pernafasan
dan sistem kardiovaskuler. kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini dapat
menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat (sekitar 4 – 6 menit).
Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan segera sebagai
upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997). Resusitasi pada anak yang
mengalami gawat nafas merupakan tindakan kritis yang harus dilakukan oleh perawat yang
kompeten.Resusitasi Jantung Paru ( RJP ) atau Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR )
Suatu usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau fungsi jantung serta
menangani akibat-akibat berhentinya fungsi-fungsi jantung serta menangani akibat-akibat
berhentinya fungsi-fungsi tersebut pada orang yang tidak diharapkan mati pada saat itu.
3.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.
b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.
Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak
yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun
serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester VI/2014 dalam
penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan
26
DAFTAR PUSTAKA
1. (online), tersedia : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31633/4/Chapter
%20II.pdf (02 Juni 2014)
2. Safar P, Resusitasi Jantung Paru Otak, diterbitkan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, hal : 4, 1984.
3. Alkatri J, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Editor Soeparman, Jilid I, ed. Ke-2, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 281, 1987.
4. Soerianata S, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kardiologi,
Editor Lyli Ismudiat R, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 106, 1998.
5. Sunatrio DR, Resusitasi Jantung Paru, Editor Muchtaruddin Mansyur, IDI, Jakarta,
hal : 193.
6. Siahaan O, Resusitasi Jantung Paru Otak, Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus,
No. 80, hal : 137-129, 1992.
7. Emergency Medicine Illustrated, Editor Tsuyoshi Sugimoto, Takeda Chemical
Industries, 1985.
8. Mustafa I, dkk, Bantuan Hidup Dasar, RS Jantung Harapan Kita, Jakarta, 1996.
9. Sunatrio S, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Anesteiologi, Editor Muhardi
Muhiman, dkk, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, 1989.
10. Otto C.W., Cardiopulmonary Resuscitation, in Critical Care Practice, The
American Society of Critical Care Anesthesiologists, 1994.
11. Sjamsuhidajat R, Jong Wd, Resusitasi, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi,
EGC, Jakarta, hal : 124-119, 1997.
12. (0nline), tersedia :
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1keperawatan09/207314001/bab2.pdf (02 Juni
2014)
13. (online), tersedia : http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/116/jtptunimus-gdl-
santosotri-5766-2-babii.pdf (02 Juni2014)
14. (online), tersedia : http://kedokteran.unsoed.ac.id/Files/Kuliah/modul%20/Genap
%20II%20-%20Resuitasi%20Jantung%20Paru%20dan%20otak.pdf (02 Juni 2014)
27