risiko komplikasi maternal dan neonatal pada kehamilan kedua

Upload: theofilus-ardy

Post on 15-Oct-2015

40 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

obstetri ginekologi

TRANSCRIPT

Terjemahan Jurnal

Risiko Komplikasi Maternal dan Neonatal pada Kehamilan Kedua Setelah Sectio Caesaria Terencana pada Persalinan Pertama, Dibandingkan dengan Sectio Caesaria Darurat: Studi Perbandingan Kohort Nasional

Presentan :dr. Bagus FaridianCounterpart :dr. Hariyo W.P.

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORORSUP DOKTER KARIADISEMARANG2014Risiko Komplikasi Maternal dan Neonatal pada Kehamilan Kedua Setelah Sectio Caesaria Terencana pada Persalinan Pertama, Dibandingkan dengan Sectio Caesaria Darurat: Studi Perbandingan Kohort Nasional

TujuanUntuk membandingkan perbedaan risiko komplikasi neonatal dan maternal, antara lain ruptur uteri, pada persalinan kedua setelah sectio caesaria terencana dibandingkan dengan sectio caesaria darurat pada persalinan pertama.DesainStudi kohort prospektif.SettingKohort berbasis populasi di Belanda.PopulasiSet data keluaran sectio caesaria pada persalinan pertama diikuti dengan persalinan selanjutnya.MetodeKami menyelenggarakan analisis kohort prospektif menggunakan data dari Registri Perinatal Belanda. Kami mengikutsetakan wanita primipara yang melahirkan bayi tunggal lewat sectio caesaria baik direncanakan maupun darurat mulai Januari 2000 hingga Desember 2007, dan wanita yang mengalami persalinan kedua dengan bayi tunggal pada periode yang sama (n= 41 109). Odd ratio dan odd ratio disesuaikan dihitung.Penghitungan outcome utamaKomplikasi maternal dan neonatal, terutama ruptur uteri, pada persalinan kedua, yang berhubungan dengan sectio caesaria terencana dan darurat pada persalinan pertamaHasilWanita dengan riwayat sectio caesaria terencana pada persalinan pertamanya (n= 11 445) memiliki risiko ruptur uteri 0,24%, dibanding dengan risiko 0,16% pada wanita dengan riwayat sectio caesaria darurat (n= 29 664; odd ratio disesuaikan (aOR) 1.4, 95% CI 0.8-2.4). Pada regresi logistic multivariate, wanita dengan SC terencana pada persalinan pertama memiliki peningkatan risiko IUFD secara signifikan (aOR 1.5, 95% CI 1.0-2.2) dan perdarahan postpartum (aOR 1.1, 95% CI 1.0-1.2) pada persalinan kedua, dibandingkan dengan wanita yang dilakukan SC darurat pada persalinan pertamanya.KesimpulanKami menemukan peningkatan risiko sedang untuk perdarahan postpartum dan peningkatan risiko rendah hingga sedang untuk ruptur uteri dan IUFD sebagai efek jangka panjang dari SC terencana pada persalinan kedua.Kata kunciSC darurat, SC terencana, perdarahan postpartum, IUFD, ruptur uteri, persalinan pervaginam pasca SC (VBAC)

PENDAHULUANSectio caesaria terencana telah mejadi jalan keluar yang awam untuk persalinan pada negara maju. Karena meningkatnya kecenderungan untuk menghindari risiko komplikasi neonatal, pada kasus-kasus seperti janin ganda atau letak sungsang, dan peningkatan jumlah SC karena permintaan ibu, makin banyak wanita hamil memilih cara melahirkan yang lebih aman ini.1 Nyatanya, adanya perlukaan uterus dapat meningkatkan risiko komplikasi pada kehamilan kedua. Meskipun dokter kebidanan mengetahui tentang peningkatan risiko tersebut, dan para ibu juga telah diberitahukan tentang risikonya, namun jumlah SC terencana tetap meningkat jumlahnya.Saat ini, belum diketahui apa risiko SC terencana jika dibandingkan dengan SC darurat pada kehamilan berikutnya. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa wanita dengan riwayat SC memiliki risiko yang lebih tinggi untuk perdarahan, plasenta previa, ruptur uteri, IUFD, dan SC ulang untuk kehamilan berikutnya.2 Namun, risiko-risiko tersebut belum pernah diteliti secara terpisah untuk kasus SC sebelumnya apakah terencana atau darurat. Jika terdapat perbedaan, hal ini harus dimasukkan ke dalam konseling wanita yang berkaitan dengan kehamilan berikutnya dan perencanaan keluarga.Pada penelitian ini, kami menyasar keluaran persalinan kedua pada wanita yang pernah dilakukan SC terencana atau SC darurat pada persalinan pertamanya. Outcome ibu yang diteliti adalah: mortalitas ibu; ruptur uteri; perdarahan postpartum, yang didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 1000 ml; transfudi darah, atau gabungan dari keadaan tersebut. Outcome anak yang diteliti adalah: mortalitas antenatal; mortalitas neonatal; trauma kelahiran; kelahiran preterm sebelum 37 minggu; skor Apgar yang rendah; dan gabungan dari keadaan tersebut.

METODEKami meneliti para wanita yang melahirkan anak pertama dan keduanya antara tanggal 1 Januari 2000 hingga 31 Desember 2007 di Belanda. Data tersebut didapat dari Registri Perinatal Belanda (PRN). Database PRN terdiri dari data berbasis populasi yang berisi informasi mengenai kehamilan, persalinan, dan admisi neonatal ke rumah sakit dalam jangka 28 hari setelah kelahiran. Database PRN didapat dengan validasi dari gabungan 3 registri; registri bidan (LVR1); registri dokter kebidanan (LVR2); dan registri neonatologi (LNR) dari admisi neonatus ke rumah sakit.3,4 Cakupan registri PRN mencapai 96% dari seluruh kelahiran di Belanda. Petugas kesehatan secara sukarela mencatat seluruh data yang terdapat dalam PRN selama ANC, persalinan, dan masa neonatal. Data tersebut dikirim tahun ke kantor registri nasional, di mana dilakukan beberapa pemeriksaan konsistensi.5Catatan yang terdapat di registri PRN dimasukkan dalam data anak. Tidak ada identifikasi maternal khusus pada registri untuk mem-follow-up outcome dari kehamilan seorang ibu berikutnya. Oleh karena itu, dilakukan prosedur hubungan probabilistic longitudinal, di mana data anak dari ibu yang sama dihubungkan, sehingga terdapat identifikasi ibu. Untuk deskripsi yang lebih jelas tentang metode yang digunakan pada penghubungan longitudinal tersebut, kami mengacu pada artikel oleh Schaaf et al.6Kami mengeksklusikan wanita yang dilakukan SC pada usia kehamilan preterm (sebelum kehamilan 37 minggu) pada kehamilan pertama dan wanita yang mengandung bayi kembar pada kehamilan pertama ataupun keduanya. Untuk artikel ini kami menyasar outcome dari persalinan kedua pada wanita yang dilakukan SC baik terencana maupun darurat pada persalinan pertamanya.Pada registri PRN, SC terencana didefinisikan sebagai SC elektif dengan dasar indikasi obstetric atau medis, atau atas permintaan ibu, biasanya dilakukan sebelum waktu persalinan. SC darurat didefinisikan sebagai SC yang dilakukan setelah masuk masa persalinan yang didorong karena fetal distress atau partus tak maju.Kami membandingkan karakteristik dasar dengan menghitung pengukuran untuk variabel parametrik maupun non-parametrik kontinyu, dan mengujinya dengan uji T atau uji U Mann-Whitney. Variabel diskret diuji menggunakan uji chi-square (Tabel 1).Outcome utama kami adalah komplikasi maternal dan neonatal pada persalinan kedua yang berhubungan dengan SC terencana dan SC darurat pada persalinan pertama. Komplikasi neonatal terdiri dari mortalitas neonatal, IUFD, kelahiran preterm, skor Apgar yang rendah, dan trauma saat kelahiran. Komplikasi ibu antara lain ruptur uteri, solusio plasenta, perdarahan postpartum, dan transfuse darah.Kematian neonatal didefinisikan sebagai kematian dalam 28 hari setelah kelahiran. IUFD didefinisikan sebagai kematian janin sebelum atau saat persalinan. Skor Apgar rendah didefinisikan sebagai skor Apgar dalam 10 menit pertama sebesar atau di bawah 7 (AS 7). Trauma kelahiran mencakup keseluruhan jenis trauma yang dilaporkan disebabkan karena persalinan, antara lain fraktur, kerusakan pleksus brachialis, dan hematoma subdural atau serebral. Kelahiran preterm didefinisikan sebagai kelahiran sebelum masa gestasi 37 minggu.Kematian ibu didefinisikan sebagai kematian seorang wanita saat sedang hamil atau dalam waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan, dengan penyebab yang berkaitan atau dipicu oleh kehamilan, atau oleh penanganannya, namun tidak disebabkan oleh kecelakaan dan sejenisnya. Ruptur uteri didefinisikan sebagai robeknya bekas luka uterus secara keseluruhan sehingga terdapat hubungan antara uterus dengan cavum peritoneum. Perdarahan postpartum didefinisikan dengan kehilangan darah lebih dari 1000 ml selama dan setelah persalinan.Kami menghitung odd ratio kasar (OR) dan odd ratio disesuaikan (aOR) menggunakan regresi logistic univariat dan multivariate dalam SAS 9.2 (SAS Institute Inc, Cary, NC, USA). Kami mengoreksi usia gestasional saat persalinan, makrosomia (berat badan lahir > 4500 g), permulaan kelahiran yang spontan, cara persalinan, usia ibu, etnis, gangguan hipertensi, dan status social ekonomi rendah. Kami menghitung odd ratio mengalami ruptur uteri setelah percobaan persalinan.Untuk menunjukkan kasaran temuan kami, kami menambahkan analisis sensitivitas yang membandingkan SC darurat dengan SC terencana untuk letak sungsang (SC sungsang terencana), karena SC terencana tersebut atas pilihan sang ibu, sehingga hanya mewakili populasi dengan risiko relatif rendah.

HASILGambar 1 menunjukkan diagram alur dari ekstraksi data kami dari PRN. Setelah mengeksklusikan persalinan preterm dan kehamilan janin ganda atau lebih pada kehamilan pertama maupun kedua, kami membagi jumlah wanita yang tersisa menjadi wanita yang dilakukan SC terencana (n = 11.445) dan yang dilakukan SC darurat (n = 29.664).Karakteristik dasar untuk kohort SC terencana dan SC darurat dirangkum dalam Tabel 1. Karakteristik kedua kelompok berbeda secara signifikan. Median usia ibu pada kelompok SC terencana lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok SC darurat, sementara usia gestasi lebih rendah pada kelompok SC terencana. Wanita yang dilakukan SC terencana biasanya merupakan wanita kulit putih dan memiliki status social ekonomi yang lebih tinggi. Pada kelompok SC terencana kebanyakan SC dilakukan karena kelainan letak (75% letak sungsang dan 3% letak lintang), sementara 22% lainnya dilakukan karena berbagai indikasi lain yang tidak dijelaskan secara rinci pada database, antara lain termasuk plasenta previa dan atas permintaan ibu.Pada studi kohort kami ruptur uteri menjadi komplikasi dalam 1,8 per 1000 kelahiran pada persalinan kedua. Tabel 2 menunjukkan risiko rupture uteri pada kedua kelompok. Tingkat percobaan persalinan (TOL) berbeda secara signifikan pada kedua kelompok. Pada kelompok SC terencana, 75% dilakukan percobaan persalinan, sementara pada kelompok SC darurat, hanya 71% dilakukan percobaan persalinan (OR 1.2, 95% CI 1.2-1.3, P < 0,0001).Gambar 2 menunjukkan cara persalinan pada kehamilan berikutnya. Pada kelompok SC terencana 83% wanita yang dilakukan percobaan persalinan berhasil dalam VBAC nya. Pada kelompok SC darurat 66% dari wanita yang dilakukan percobaan persalinan berhasil untuk VBAC (OR 2.5, 95% CI 2.3-2.6, P < 0,0001).Pada kelompok SC terencana 26 dari 8593 wanita (0,3%) yang dilakukan percobaan persalinan mengalami ruptur uteri, dibandingkan dengan 43 dari 19664 wanita (0,2%) pada kelompok SC darurat pada persalinan pertamanya (OR 1.6, 05%CI 1.0-2.5, P = 0,06).Tabel 3 menunjukkan kejadian outcome neonatal yang tidak menguntungkan pada kelahiran kedua antara wanita yang persalinan pertamanya melalui SC terencana, dibandingkan dengan SC darurat. Insidensi IUFD pada kehamilan setelah SC adalah 3,7 per 1000. IUFD terjadi pada 4,8 per 1000 persalinan pada kelompok SC terencana dan 3,2 per 1000 persalinan pada kelompok SC darurat (aOR 1.5, 95% CI 1.0-2.1, P = 0,03). Prematuritas terjadi pada 43 per 1000 persalinan pada kelompok SC terencana dan 38 per 1000 persalinan pada kelompok SC darurat (OR 1.1, 95% CI 1.0-1.3, P = 0,03). Perbedaan tersebut disebabkan oleh tingkat prematuritas yang tinggi pada wanita dengan SC terencana, pada kehamilan kedua (SC terencana/percobaan persalinan 3,6%, SC terencana/SC terencana 6,4%, SC darurat/percobaan persalinan 3,9%, SC darurat/SC terencana 3,8%; Tabel S1). Setelah koreksi untuk cara persalinan, tidak terdapat perbedaan signifikan di antara kedua kelompok (aOR 1.1, 95% CI 0.4-2.6, P = 0,9).Skor Apgar yang rendah, mortalitas neonatal, dan gabungan outcome neonatal yang buruk tidak berbeda di antara kedua kelompok (Tabel 3).Table 4 menunjukkan kejadian outcome maternal buruk pada persalinan kedua pada wanita yang persalinan pertamanya dilakukan SC terencana, dibandingkan dengan SC darurat. Perdarahan postpartum dilaporkan pada 58 dari 1000 persalinan pada kelompok SC terencana dan 50 per 1000 persalinan pada kelompok SC darurat. Perdarahan postpartum lebih banyak terjadi setelah percobaan persalinan pada kehamilan kedua, dibanding pada SC terencana pada kehamilan kedua (SC terencana/percobaan persalinan 3,6%, SC terencana/SC terencana 3,7%, SC darurat/percobaan persalinan 5,5%, SC darurat/SC terencana 3,8%; Tabel S2). Setelah koreksi cara persalinan masih tetap terdapat peningkatan risiko signifikan untuk wanita dengan SC terencana sebelumnya (aOR 1.1, 95% CI 1.0-1.2, P = 0,02). Tidak terdapat perbedaan signifikan pada jumlah transfusi darah antara kedua kelompok (OR 1.2, 95% CI 0.8-1.7, P = 0,4). Mortalitas ibu tidak terjadi. Outcome maternal buruk sebagai akibat dari gabungan komplikasi sebesar 6,0% pada kelompok SC terencana, dibandingkan dengan 5,2% pada kelompok SC darurat (aOR 1.1, 95% CI 1.0-1.3, P = 0,006).Kami melakukan analisis sensitivitas untuk memverifikasi temuan kasar kami jika diaplikasikan pada populasi wanita risiko rendah dengan SC terencana elektif. Letak sungsang merupakan indikasi tersering untuk permintaan SC di Belanda. Kami melakukan analisis subgroup untuk membandingkan kelompok tersebut dengan kelompok SC darurat pada persalinan pertama. Analisis tersebut menunjukkan bahwa SC atas permintaan ibu untuk persalinan pertama masih memegang risiko tertinggi untuk perdarahan dan komplikasi outcome yang buruk. Analisis sensitivitas ditampilkan pada Tabel S3 dan S4.Pada analisis sensitivitas masih terdapat kecenderungan peningkatan risiko IUFD pada kehamilan berikutnya setelah SC terencana, meskipun hal tersebut tidak mencapai signifikansi secara statistik, kemungkinan karena kekurangan kekuatan (aOR 1.3, 95% CI 0.8-1.9).

PEMBAHASANTemuan UtamaKami mempelajari kejadian dan keluaran dari kehamilan berturut-turut pada wanita dengan riwayat SC terencana dan SC darurat pada persalinan pertama.Kami menemukan peningkatan risiko sedang untuk perdarahan postpartum dan peningkatan risiko kecil-sedang untuk ruptur uteri dan IUFD sebagai efek jangka panjang dari SC terencana pada persalinan kedua.

InterpretasiKarakteristik dasar dari wanita yang dilakukan baik SC terencana maupun SC darurat mencerminkan praktik yang umum terjadi di Belanda. Tidaklah mengejutkan bahwa gangguan hipertensi ditangani secara berlebihan pada kelompok SC darurat, karena induksi persalinan merupakan tatalaksana lini pertama pada wanita yang mengalami gangguan hipertensi. Berat badan lahir keseluruhan yang lebih rendah pada kelompok SC terencana dapat dijelaskan dengan usia gestasi yang lebih kecil pada saat persalinan. Di Belanda kami tidak secara rutin memperkiraskan berat janin dengan USG, dan kami tidak melakukan SC terencana pada curiga makrosomia. Hal ini mencerminkan fakta bahwa makrosomia diperkirakan secara berlebihan pada kelompok SC darurat, di mana seharusnya SC darurat dilakukan pada partus tak maju atau keadaan fetal distress.Wanita dengan SC terencana pada persalinan pertamanya memiliki peningkatan risiko IUFD signifikan (aOR 1.5, 05% CI 1.0-2.1). Setelah analisis sensitivitas yang membandingkan kelompok SC terencana sungsang risiko rendah dengan kelompok SC darurat, kami menemukan efek yang sama, namun karena kekurangan kekuatan hal ini tidak mencapai signifikasi statistik.Peningkatan kasus IUFD setelah sebelumnya ibu dilakukan SC pernah dilaporkan dalam literatur sebelumnya. Pada penelitian kami insidensi IUFD pada kehamilan setelah dilakukan SC adalah 3,7 per 1000 kelahiran. IUFD terjadi pada 4,8 per 1000 kelahiran dalam kelompok SC terencana dan 3,2 per 1000 kelahiran pada kelompok SC darurat. Smith et al7 melaporkan risiko absolut IUFD adalah 1,1 per 1000 kelahiran pada wanita yang pernah dilakukan SC, dan 0,5 per 1000 pada wanita yang belum pernah dilakukan SC. Gray et al8 melaporkan risiko absolut IUFD adalah 4,6 per 1000 kelahiran pada wanita yang pernah dilakukan SC, dan 3,5 per 1000 kelahiran pada wanita yang belum pernah dilakukan SC sebelumnya. Salihu et al9 menemukan disparitas pada risiko IUFD setelah SC pada wanita kulit putih dan kulit hitam. Tingkat IUFD adalah 9,3 per 1000 pada wanita kulit hitam dan 6,8 per 1000 pada wanita kulit putih. Hasil kami sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya tersebut. Kami dapat menambahkan hasil dari penelitian kami, bahwa wanita dengan SC terencana memiliki risiko lebih tinggi untuk IUFD pada kehamilan berikutnya, dibandingkan dengan wanita dengan SC darurat, pada temuan tentang hal ini.Kami menemukan bahwa kehilangan darah postpartum lebih banyak terjadi pada kelompok SC terencana secara signifikan, meskipun pada akhirnya tidak berarti frekuensi transfusi darah menjadi lebih besar. Kami menemukan bahwa laporan perdarahan postpartum lebih banyak terjadi pada wanita yang dilakukan percobaan persalinan dibanding dengan SC terencana kedua kalinya. Hasil kami konsisten dengan hasil dari Holm et al10, yang menjelaskan bahwa setelah pernah dilakukan SC, risiko transfusi darah lebih rendah secara signifikan pada kelompok SC terencana, dibandingkan dengan persalinan pervaginam terencana.Wanita dengan riwayat SC terencana pada persalinan pertama memiliki peningkatan risiko ruptur uteri, dibandingkan dengan wanita dengan riwayat SC darurat, yang nilainya marginal dalam signifikansi statistic (OR 1.6, 95% CI 1.0-2.5).Pada tahun 2008 Algert et al11 melaporkan bahwa pernah bersalin sebelum dilakukan SC dapat menurunkan risiko ruptur uteri: menurut data mereka, merencanakan SC berkaitan dengan peningkatan risiko ruptur uteri pada percobaan persalinan berikutnya. Jastrow et al12 menunjukkan bahwa pernah bersalin sebelum dilakukan SC mengakibatkan segmen bawah rahim lebih tebal untuk kehamilan berikutnya. Tampaknya dapat dipercaya bahwa belum pernah bersalin mempengaruhi lokalisasi luka uterus dan penyembuhan segmen bawah rahim.12 Pada penelitian kami risiko rupture uteri menunjukkan kecenderungan lebih sering terjadi pada SC terencana. Meskipun kami meneliti jumlah persalinan yang banyak setelah SC pada persalinan pertama, namun jumlah ruptur uteri yang dilaporkan sedikit.

KekuatanSepengetahuan kami, kami merupakan yang pertama meneliti hipotesis bahwa belum pernah bersalin sebelum dilakukan SC dapat memengaruhi outcome ibu dan anak pada kehamilan berikutnya. Kekuatan penelitian kami adalah kami mampu meneliti hipotesis kami pada jumlah kohort yang besar. Karena tingkat percobaan persalinan yang tinggi setelah dilakukan SC sebelumnya di Belanda, kami juga dapat meneliti risiko ruptur uteri dari percobaan persalinan. Analisis sensitivitas mengkonfirmasi temuan kasar kami pada outcome ibu.

KeterbatasanSalah satu keterbatasan dari penelitian kami adalah ketidakmampuan untuk menyesuaikan dengan faktor pemengaruh yang tidak diketahui. Karakteristik ibu yang dilakukan SC terencana pada persalinan pertamanya berbeda dengan karakteristik ibu yang dilakukan SC darurat. Kami hanya dapat menyesuaikan variabel yang dilaporkan pada registri perinatal kami, sementara data yang lebih detail seperti metode penutupan luka dan tingkat pengalaman ahli bedah kebidanan tidak tersedia pada database kami.Keterbatasan kedua adalah menguji outcome ibu dan anak multipel. Uji outcome multipel meningkatkan kemungkinan eror tipe-I. Kami memutuskan untuk tidak menggunakan penyesuaian Bonferronim karena eror tipe-I tidak dapat diturunkan tanpa menambah eror tipe-II.13Pada hipotesis kami, kami menyebutkan bahwa belum pernah bersalin merupakan faktor risiko. Kami mengetahui bahwa beberapa wanitatelah masuk masa inpartu sebelum dilakukan SC terencana. Wanita-wanita tersebut mungkin menjadi salah diklasifikasikan. Jika terjadi hal demikian, makan kemungkinan besar mereka diklasifikasikan sebagai SC terencana, meskipun mereka telah menempuh inpartu dan hampir mencapai persalinan, dan kami tidak dapat mengoreksi salah klasifikasi tersebut. Namun, menurut opini kami dan penemuan terbaru kami, dapat diyakini bahwa koreksi terhadap wanita-wanita tersebut hanya akan membuat asosiasi yang kami temukan malah semakin kuat.Analisis sensitivitas mengkonfirmasi temuan kami dalam outcome ibu yang buruk. Namun, analisis tersebut juga menyatakan bahwa peningkatan risiko outcome yang buruk pada neonatal dapat terjadi pada kebanyakan subgroup wanita; wanita yang dilakukan SC terencana untuk indikasi selain kelainan letak. Subgrup tersebut merupakan subgroup yang memiliki profil risiko yang lebih tinggi pada kehamilan pertama, juga pada kehamilan kedua, dibandingkan dengan SC terencana untuk populasi kelainan letak dan populasi SC darurat.

KESIMPULANKami ingin menekankan sekali lagi bahwa merupakan tugas yang penting bagi para dokter kebidanan untuk mengurangi jumlah SC pada persalinan pertama. Meskipun hal yang sama berlaku pada SC darurat pada persalinan pertama, mengurangi angka SC darurat akan lebih sulit karena ada indikasi obstetri sebagai alasannya. Mempertimbangkan revisi guideline Institut Nasional Inggris untuk Kesempurnaan Klinis (NICE) 2011, yang menyatakan bahwa wanita tanpa alasan medis yang tidak menginginkan persalinan pervaginam harus ditawarkan SC, kami berpendapat bahwa risiko yang terjadi menyusul kehamilan selanjutnya bagi ibu dan janinnya seharusnya menjadi topik yang lebih penting dalam konseling saat seorang wanita meminta dilakukan SC terencana.

Rekomendasi praktikPenelitian kami menunjukkan bahwa pernah bersalin sebelum dilakukan SC dapat menurunkan risiko outcome ibu yang buruk seperti ruptur uteri dan perdarahan postpartum pada kehamilan berikutnya. Temuan kami mendukung hipotesis bahwa SC pada uterus yang tebal dapat membawa masalah yang lebih banyak pada persalinan berikutnya, dibanding SC pada uterus yang lebih tipis. Untuk meningkatkan outcome ibu dan anak pada kehamilan berikutnya, penting untuk menyemangati ibu untuk melakukan persalinan pervaginam atau setidaknya percobaan persalinan pada persalinan pertama mereka.SC terencana kadangkala dapat menguntungkan ibu dan anak pada kasus dengan risiko obstetric yang tinggi; namun, karena persalinan berencana jelas memiliki keuntungan logistik, persalinan berencana terutama akan menguntungkan dokter kebidanan dan tim operasi, namun selanjutnya dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan pada kehamilan berikutnya.

Rekomendasi penelitianKarena database kami menyediakan informasi yang luas namun tidak dalam, sehingga masih terdapat banyak pertanyaan yang belum terjawab. Akan menjadi sangat informatif untuk meneliti efek dari timing SC dengan lebih mendetil. Sebagai contoh, apakah terdapat perbedaan antara SC darurat yang dilakukan pada kala I dan kala II dan risikonya pada kehamilan selanjutnya? Atau apakah pengaruh teknik penutupan uterus terhadap risiko-risiko tersebut?Efek merugikan SC pada persalinan pertama lebih nyata kini setelah diteliti dengan baik. Mekanisme di balik efek merugikan tersebut dan perubahan perilaku dokter dan pasien yang diperlukan untuk mengurangi angka SC pada persalinan pertama masih merupakan hal yang perlu diteliti lebih lanjut.

Tabel 1. Karakteristik dasar dari persalinan pertama

Persalinan pertama dengan sectio caesar terencanan = 11.445Persalinan pertama dengan sectio caesar daruratn = 29.664p

Usia ibu30 (27-31) tahun29 (27-32) tahun< 0.0001

Kulit putih10559 (92%)26359 (89%)