rfrat ulkus kornea

17
BAB 1 PENDAHULUAN Penyebab utama kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan, eklamsi, partus lama, dan komplikasi abortus. Menurut survey kesehatan ru tangga (SKRT selama !" tahun angka kematian ibu terutama disebabkan post partum atau masa nifas, sekitar #$% dan $"% kematian karena perda infeksi. Masa nifas masih merupakan masa yang rentan bagi kelangsungan hi ibu baru bersalin. &erdasarkan Survei'emografidan Kesehatan Indonesia (S'KI ""$ angka kematian ibu men)adi * +!"".""" kelahiran hidup dari y sebelumnya sebesar "$ +!"$.""" kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu diantara lainnya disebabkan oleh infeksi masa nifas sebanyak *%, partus l -%, abortus -% dan penyebab lain ! % ( asna/ati, ""0. Menurut Studi Tin 1an)ut Kematian Ibu "!", karena sebagian besar kematian ibu ter)adi pada nifas maka pelayanan kesehatan pada masa nifas sangat berperan penting da upaya menurunkan angka kematian ibu (Kemenkes RI, "! . Infeksi pada masa nifas dapat menyebabkan endometritis yang menyebar ke lapisan uterus lebih dalam dan dapat ter)adi komplikasi yang pada ibu. 2ndometritis postpartum ter)adi selama persalinan dimana bakter berasal dari saluran genital bagian ba/ah naik ke dalam servik uterus. Sebelum masa kema)uan antibiotik, infeksi pada masa nifas merupak suatu penyebab utama dari kematian ibu. Sekarang dengan penggunaan antibi telah ter)adi penurunan angka morbiditas ibu se3ara ta)am. Kombinasi anti 1

Upload: dini-sarassati

Post on 07-Oct-2015

3 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bsnna

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

Penyebab utama kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan, infeksi, eklamsi, partus lama, dan komplikasi abortus. Menurut survey kesehatan rumah tangga (SKRT) selama 10 tahun angka kematian ibu terutama disebabkan post partum atau masa nifas, sekitar 67% dan 70% kematian karena perdarahan dan infeksi. Masa nifas masih merupakan masa yang rentan bagi kelangsungan hidup ibu baru bersalin. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 angka kematian ibu menjadi 228 :100.000 kelahiran hidup dari yang sebelumnya sebesar 307 :107.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu diantara lainnya disebabkan oleh infeksi masa nifas sebanyak 8%, partus lama 5%, abortus 5% dan penyebab lain 12% (Hasnawati, 2009). Menurut Studi Tindak Lanjut Kematian Ibu 2010, karena sebagian besar kematian ibu terjadi pada masa nifas maka pelayanan kesehatan pada masa nifas sangat berperan penting dalam upaya menurunkan angka kematian ibu (Kemenkes RI, 2013).Infeksi pada masa nifas dapat menyebabkan endometritis yang dapat menyebar ke lapisan uterus lebih dalam dan dapat terjadi komplikasi yang serius pada ibu. Endometritis postpartum terjadi selama persalinan dimana bakteri yang berasal dari saluran genital bagian bawah naik ke dalam servik dan mencapai uterus. Sebelum masa kemajuan antibiotik, infeksi pada masa nifas merupakan suatu penyebab utama dari kematian ibu. Sekarang dengan penggunaan antibiotik, telah terjadi penurunan angka morbiditas ibu secara tajam. Kombinasi antibiotik yang dipilih untuk penatalaksanaan endometritis adalah regimen yang aktif menjangkau organisme aerob maupun anaerob yang diperkirakan menjadi penyebab infeksi.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA2.1Endometrium 2.1.1.Anatomi Uterus adalah organ yang terdiri atas suatu korpus, yang terletak di atas penyempitan rongga uterus (orifisium internum uteri), dan suatu struktur silindris di bawah, yakni serviks, yang terletak di bawah orifisium internum uteri. Uterus adalah organ yang memiliki otot yang kuat dengan ukuran panjang 7 cm, lebar 4 cm, dan ketebalan 2,5 cm (Junquera, 2007). Pada setiap sisi dari uterus terdapat dua buah ligamentum broad yang terletak diantara rektum dan kandung kemih, ligamentum tersebut menyangga uterus sehingga posisi uterus dapat bertahan dengan baik. Bagian korpus atau badan hampir seluruhnya berbentuk datar pada permukaan anterior, dan terdiri dari bagian yang cembung pada bagian posterior. Pada bagian atas korpus, terdapat bagian berbentuk bulat yang melintang di atas tuba uterina disebut fundus. Serviks berada pada bagian yang lebih bawah, dan dipisahkan dengan korpus oleh ismus. Sebelum masa pubertas, rasio perbandingan panjang serviks dan korpus kurang lebih sebanding; namun setelah pubertas, rasio perbandingannya menjadi 2 : 1 dan 3 : 1 (Gompel, 2000).2.1.2.Histologi Dari segi histologi, uterus terdiri dari tiga lapisan, yang terdiri dari Junquera, 2007): 1. Lapisan serosa atau peritoneum viseral yang terdiri dari sel mesotelial.2.Lapisan muscular atau miometrium yang merupakan lapisan paling tebal di uterus dan terdiri dari serat otot halus yang dipisahkan oleh kolagen dan serat elastik. Berkas otot polos ini membentuk empat lapisan yang tidak berbatas tegas. Lapisan pertama dan keempat terutama terdiri atas serat yang tersusun memanjang, yaitu sejajar dengan sumbu panjang organ. Lapisan tengah mengandung pembuluh darah yang lebih besar. 3.Lapisan endometrium yang terdiri atas epitel dan lamina propia yang mengandung kelenjar tubular simpleks. Sel sel epitel pelapisnya merupakan gabungan selapis sel sel silindris sekretorus dan sel bersilia. Jaringan ikat lamina propia kaya akan fibroblas dan mengandung banyak substansi dasar. Serat jaringan ikatnya terutana berasal dari kolagen tipe III.Lapisan endometrium dapat dibagi menjadi dua zona yaitu Junquera, 2007):1. Lapisan fungsional yang merupakan bagian tebal dari endometrium. Lapsian ini akan meluruh pada saat terjadinya fase menstruasi. 2. Lapisan basal yang paling dalam dan berdekatan dengan miometrium. Lapisan ini mengandung lamina propia dan bagian awal kelenjar uterus. Lapisan ini berperan sebagai bahan regenerasi dari lapisan fungsional dan akan tetap bertahan pada fase menstruasi. Endometrium adalah jaringan yang sangat dinamis pada wanita usia reproduksi. Perubahan pada endometrium terus menerus terjadi sehubungan dengan respon terhadap perubahan hormon, stromal, dan vaskular dengan tujuan akhir agar nantinya uterus sudah siap saat terjadi pertumbuhan embrio pada kehamilan. Stimulasi estrogen dikaitkan erat dengan pertumbuhan dan proliferasi endometrium, sedangkan progesteron diproduksi oleh korpus luteum setelah ovulasi menghambat proliferasi dan menstimulasi sekresi di kelenjar dan juga perubahan predesidual di stroma (Gompel 2000).2.2 Endometritis postpartum2.2.1DefinisiEndometritis postpartum merupakan peradangan pada lapisan rahim yang disebabkan oleh infeksi yang memasuki uterus selama kelahiran bayi. Ini terjadi sekitar 1% hingga 3% dari kelahiran, dan meningkat hingga sepuluh kali lipat pada kelahiran dengan operasi sectio caesar. Endometritis diklasifikasikan menjadi endometritis onset awal, yaitu infeksi endometrium yang terjadi dalam 48 jam, dan onset lambat yang terjadi dalam waktu lebih dari enam minggu setelah kelahiran (French, 2007). Endometritits merupakan komplikasi yang tersering pada sectio caesar dari pada kelahiran pervaginam. Endometritis setelah kelahiran pervaginam lebih sering terjadi pada wanita hamil dengan kelahiran janin yang tidak baik seperti lahir mati, berat badan lahir yang rendah, kelahiran prematur dan pada ibu dengan bayi yang disertai penyakit serius. Endometritis setelah kelahiran dapat terjadi hingga enam minggu setelah persalinan (Chongsomchai, 2004).2.2.2EpidemiologiEndometritis terjadi sekitar 10% pada wanita yang melahirkan secara sectio caesar dan sekitar 5% pada wanita yang melahirkan secara pervaginam. Sering terjadi pada wanita dengan chorioamnionitis maupun persalinan yang berlangsung lama. Persalinan yang disertai dengan pecahnya membran amnion, menyebabkan bakteri dari vagina naik ke serviks sehingga bakteri mendapatkan jalan menuju rongga uterus (Chongsomchai, 2004). 2.2.3 Faktor Resiko Faktor resiko untuk berkembangnya endometritis diantara lainnya termasuk kelahiran dengan sectio caesar, kelahiran dengan instrumen, persalinan dengan durasi waktu yang lama, pemantauan internal janin, pemeriksaan vagina yang terlalu sering, persalinan prematur, ketuban pecah dini, pelepasan palsenta secara manual, status sosioekonomi yang rendah, infeksi Neisseria gonorrhoeae, Chlamidia trachomatis, dan kolonisasi streptokokus grup B. Pasien dengan mekonium di cairan amnion memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami endometritis, kemungkinan hal ini disebabkan oleh berkembangnya streptokokus grup B dan E.coli yang meningkat pada cairan amnion yang kotor (Muller, 2006) .

2.2.4EtiologiMikroflora endogen vagina yang sehat di karakteristikkan dengan didominasinya bakteri Lactobacillus crispatus, L casei, atau L jensenii. Lactobacilli dengan konsentrasi 106 bakteri/ml cairan vagina atau lebih, sedangkan bakteri lainnya berada pada konsentrasi dibawah 103 bakteri/ml cairan vagina merupakan kondisi ekosistem vagina yang baik. Perbandingan lactobacilli dengan bakteri lainnya sangatlah penting karena sangat besar kemungkinan ketika lactobacilli lebih mendominasi, resiko infeksi lebih kecil. Bakteri Lactobacillus berperan dalam mempertahankan produksi beberapa substansi yang penting dalam mempertahankan kondisi normal vagina, diantaranya sebagai berikut (Faro, 2005): 1) Asam organik, terutama asam laktat, yang mempertahankan pH vagina diantara lebih dari 3,8 dan kurang dari 4,5.2) Hidrogen peroksida, dengan agen oksidator kuat dapat menghancurkan DNA bakteri yang tidak menghasilkan katalase.3) Bakteriocin, suatu protein dengan berat molekul rendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri.Segala hal yang dapat mengubah keseimbangan pH, baik itu meningkatkan atau menurunkan konsentrasi ion hidrogen, dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri selain bakteri lactobacilli dan dapat menekan lactobacilli. Perubahan ekosistem vagina ini menyebabkan peningkatan jumlah dari beberapa bakteri patogen seperti bakterial vaginosis, group B streptokokus, atau E coli (Faro, 2005). Penyebab dari endometritis postpartum adalah kontaminasi dari rongga uterus dengan organisme yang terdapat pada vagina selama persalinan dan kelahiran yang dapat menyerang myometrium. Pada kelahiran sectio caesar dilakukan kultur pada cairan amnion dan ditemukan bakteri yang berhubungan dengan meningkatnya resiko kejadian endometritis seperti streptokokus grup A dan B, bakteri aerob batang gram negatif, Neisseria gonorrhoeae, Mycoplasma hominis, dan beberapa bakteri anaerob. Sedangkan pada kelahiran pervaginam ditemukan organisme yang berhubungan dengan vaginosis bakterial (bakteri anaerob dan Gardnerella vaginalis) dan pada kultur genitalis juga ditemukan bakteri aerob gram negatif (French, 2007). Tabel 1. Bakteri yang merupakan mikroflora vagina endogen

2.2.5PatogenesisEndometritis postpartum terjadi selama persalinan dimana bakteri yang berasal dari saluran genital bagian bawah naik ke dalam servik. Ketika telah terjadi kolonisasi didalam servik, bakteri akan naik ke segmen bagian bawah uterus, berkolonisasi di desidua dan mencapai cairan amnion. Membran amnion ternyata tidak dapat menjadi barier terhadap infeksi cairan amnion ketika bakteri telah berada di kanal endoservikal. Kolonisasi bakteri pada cairan amnion juga dapat terjadi akibat pertumbuhan bakteri pada membran amnion, yang kemudian berpindah melewati membran yang utuh atau menyebabkan membran tersebut ruptur. Melalui produksi kolagenase dan protease, membran amnion dilemahkan dan akhirnya ruptur. Ruptur membran secara spontan dapat terjadi tanpa kolonisasi bakteri, tapi hal ini dapat menyebabkan bakteri berkolonisasi di desidua dan cairan amnion (Faro, 2005). Ketika bakteri dapat mencapai cairan amnion, mereka akan bereproduksi dengan jumlah yang bertambah secara signifikan. Bakteri aerob dan anaerob fakultatif meningkat dari 102 hingga 106 bakteri/ml cairan amnion atau lebih. Sedangkan bakteri obligat anaerob meningkat dari 102 hingga 104 bakteri/ml cairan amnion atau lebih dalam periode lebih dari 12 jam. Jika bakteri gagal berkolonisasi pada desidua, amnionitis masih dapat terjadi dan uterus mungkin saja tidak terinfeksi walaupun pasien tersebut mengalami chorioamnionitis, namun apabila terjadi infeksi pada desidua hal ini akan menyebabkan infeksi pada miometrium dan infeksi ini mungkin saja tidak disadari. Jika pasien mendapatkan antibiotik yang adekuat setelah melahirkan, maka kemungkinan kejadian endometritis postpartum dapat diperkecil. Endometritis postpartum dapat ringan, sedang atau berat, dan dapat berkembang menjadi necrotizing miometritis pada uterus atau necrotizing fasciitis pada dinding abdomen (Faro, 2005).2.2.6Manifestasi KlinisTanda klinis yang terdapat pada endometritis postpartum adalah sebagai berikut (French, 2007).1. Temperatur tubuh yang meningkat 38C2. Takikardi3. Nyeri tekan uterus4. Discharge purulen dari vagina5. Temuan yang berkaitan dengan endometritis lanjut (peritonitis pelvis, abses pelvis, obstruksi usus, nekrosis pada bagian bawah uterus)2.2.7DiagnosisDiagnosis endometritis postpartum berdasarkan adanya demam tanpa penyebab lain, nyeri tekan uterus, lokia purulen atau berbau dan leukositosis merupakan temuan klinis yang sering digunakan dalam mendukung diagnosis endometritis (French, 2007).Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam mendiagnosis endometritis antara lainnya sebagai berikut (Faro, 2005):1. Pemeriksaan hitung diferensial sel darah putih.2. Pemeriksaan pelvis, dimana dilakukan pemeriksaan pada spesimen desidua untuk di isolasi, kultur, dan mengetahui sensitivitas antibiotik.3. Pencitraan (pelvis dan abdominal ultrasonografi atau CT scan) jika ada indikasi.4. Pemeriksaan elektrolit serum, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin, dan glukosa. Glukosa yang normal menunjukkan bahwa sel darah putih dapat memfagositosis bakteri dengan baik, sedangkan hipoglikemia menunjukkan bahwa sepsis bisa saja terjadi dan proses fagositosis dapat terganggu.5. Pasien dengan takipneu atau pernafasan yang memendek harus diperiksa saturasi oksigen. Individu yang memiliki saturasi oksigen yang abnormal harus menjalani pemeriksaan radiografi dada dan gas darah arterial untuk mengidentifikasi jika terdapat atelektasis, pneumonia, atau emboli pulmonal.6. Pemeriksaan kultur darah pada individu yang mengalami gemetar dan kekakuan.

Infeksi pada luka operasi biasanya ditunjukkan oleh satu atau lebih dari karakteristik berikut (Faro,2005):1. Munculnya eritema, menunjukkan terjadinya selulitis.2. Pengerasan, menunjukan bahwa infeksi mengenai jaringan dermis dan subkutan.3. Perubahan pada kulit (sepeti terlihat licin, edema, kulit jeruk) atau terlihat tegang.4. Drainase yang dapat berupa serous, serous berawan, coklat gelap atau seperti teh, serosanguinus, purulen, ataupun berdarah.5. Area yang berubah warna menjadi kehitaman.6. Rasa nyeri yang ekstrim.Infeksi pada luka operasi dapat dilakukan pemeriksaan berupa ultrasonografi atau CT scan untuk mengetahui apakah terdapat pengumpulan cairan, serta dapat dilakukan aspirasi cairan tersebut dengan jarum dan syringe steril. Aspirasi cairan ini bertujuan untuk mengidentifikasi cairan, sehingga dapat membantu dalam penanganan infeksi luka operasi tersebut (Faro, 20005).2.2.8Penatalaksanaana. Endometritis postpartum onset awalEndometritis tipe ini di ciri khaskan dengan infeksi unimikroba dengan nyeri tekan uterus, kegagalan uterus untuk berinvolusi, dan servik yang masih berdilatasi. Beberapa jenis antibiotik yang dapat dipilih antara lain (Faro, 2005):1. Piperacilin/ tazobaktam, 3,375 g secara intravena setiap enam jam, antibiotik ini dapat menjangkau bakteri anaerob fakultatif gram negatif dan gram positif, begitu juga dengan bakteri anaerob obligat gram negatif dan gram positif.2. Ampicilin/ sulbactam 3,1 g setiap enam jam dikombinasikan dengan gentamicin 5 mg/kg berat badan setiap 24 jam.3. Clindamycin 900 mg secara intravena setiap 8 jam, dimana antibiotik ini dapat menjangkau hingga 80% streptokokus grup B, strain Stapilokokus aureus yang resisten methicilin (MRSA), dan anaerob obligat. Dikombinasikan dengan gentamicin 5 mg/kg berat badan setiap 24 jam yang mampu menjangkau bakteri gram negatif anaerob fakultatif serta MRSA.4. Metronidazole 500 mg setiap 8 jam yang dapat menjangkau bakteri gram negatif anaerob fakultatif, dikombinasikan dengan gentamicin 5mh/kg berat badan setiap 24 jam.b. Endometritis postpartum onset lambatEndometritis ini di ciri khaskan dengan infeksi polimikroba yang mana termasuk bakteri anaerob fakultatif maupun obligat. Pilihan antibiotik pada endometritis tipe lambat ini antara lain (Faro, 2005):1. Piperacilin/ tazobactam 3,375 g secara intravena setiap enam jam dikombinasikan dengan getamacin 5 mg/kg berat badan setiap 24 jam. Kombinasi ini mampu menjangkau bakteri gram negatif fakultatif, dan kedua obat ini secara sinergis menjangkau streptokokus grup B dan Enterococci.2. Clindamycin, 900 mg secara intra vena setiap delapan jam dikombinasikan dengan gentamicin 5 mg/kg berat badan setiap 24 jam serta ditambah dengan ampicilin 2 g secara intravena setiap enam jam. Dua jenis antibiotik terakhir beraksi secara sinergis untuk menjangkau Enterococci dan streptokokus grup B.3. Metronidazole 500 mg secara intra vena setiap delapan jam ditambah dengan gentamicin dan ampicilin.

Beberapa regimen antibiotik yang berbeda telah dibandingkan. Sembilan belas penieitian membandingkan clindamycin dan golongan aminoglikosida dengan beberapa regimen antibiotik lainnya. Perbandingan yang telah dilakukan termasuk : aminoglikosida dan penicilin atau ampicilin dibandingkan dengan regimen lain; kombinasi inhibitor beta-laktamase dibandingkan dengan regimen lain; cepalosporin generasi kedua atau ketiga (kecuali cephamycin) dibandingkan dengan regimen lain; cephamycin (cefoxitin atau cefotetan) dibandingkan dengan regimen lain; kombinasi aztreonam dan clindamycin dibandingkan dengan regimen lain; quinolon (ciprofloxacin) dibandingkan dengan regimen lain; dan kombinasi metronidazole dengan gentamicin dibandingkan dengan regimen lain (Schalkwyk, 2010). Dua penelitian telah membandingkan cefoxitin dengan cephamycin lainnya dimana hasilnya adalah masa paruhnya yang lebih panjang. Walaupun sebagian besar regimen-regimen yang terpilih memiliki spektrum patogen yang luas, dan mampu menjangkau bakteri anaerob, terdapat beberapa antibiotik spesifik atau kombinasi regimen seperti ciprofloxacin, amoxicilin, penicilin atau ampicilin dan golongan aminoglikosida, serta golongan cefalosporin seperti cefamandol dan ceftazidim tidak mampu menjangkau grup Bacteroides fragilis dan bakteri anaerob yang resisten penisilin lainnya (French, 2007).Begitu banyak regimen antibiotik yang sudah digunakan dalam penanganan endometritis postpartum, regimen empiris yang dipilih untuk penatalaksanaan endometritis adalah regimen yang aktif menjangkau organisme aerob maupun anaerob yang diperkirakan menjadi penyebab infeksi. Pentalaksanaan biasanya berhasil apabila pemberian obat dilakukan ketika pasien telah bebas demam selama 24 hingga 48 jam. Jangkauan aktivitas dari clindamycin dengan gentamicin membuat regimen ini menjadi pilihan utama sebagai terapi awal, dan telah dipertimbangkan secara luas menjadi gold standard dalam penanganan endometritis. Beberapa penelitian yang telah dikumpulkan merekomendasikan kombinasi dari clindamycin dengan antibiotik golongan aminoglycoside seperti gentamicin, dikarenakan regimen ini dapat menjangkau grup Bacteroides fragilis dan beberapa bakteri anaerob yang resisten terhadap penisilin lainnya (French, 2007). Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa kombinasi klindamisin dan gentamicin dapat mengurangi komplikasi serius endometritis post partum sebesar 30% dibandingkan dengan antibiotik lain walaupun secara statistik tidak begitu signifikan. Dan dari hasil penelitian juga menunjukkan bukti bahwa kombinasi ini dapat menurunkan kegagalan terapi sebesar 44% jika dibandingkan dengan antibiotik lainnya (Chongsomchai, 2004).

2.2.9KomplikasiKomplikasi dari endometritis antara lain sebagai berikut (French, 2007):1. Penyebaran infeksi ke rongga peritonium 2. Peritonitis3. Abses intra abdomen4. Septik tromboflebitis pelvis, dimana dapat berhubungan dengan emboli septik pulmonal yang dapat terjadi walaupun jarang sbagai komplikasi endometritis post partum.

BAB 3KESIMPULANEndometritis postpartum merupakan peradangan pada lapisan rahim yang disebabkan oleh infeksi yang memasuki uterus selama kelahiran bayi. Endometritis diklasifikasikan menjadi endometritis onset awal, yaitu infeksi endometrium yang terjadi dalam 48 jam, dan onset lambat yang terjadi dalam waktu lebih dari enam minggu setelah kelahiran.Endometritis terjadi sekitar 10% pada wanita yang melahirkan secara sectio caesar dan sekitar 5% pada wanita yang melahirkan secara pervaginam. Faktor resiko untuk berkembangnya endometritis diantara lainnya termasuk kelahiran dengan sectio caesar, kelahiran dengan instrumen, persalinan dengan durasi waktu yang lama, pemantauan internal janin, pemeriksaan vagina yang terlalu sering, persalinan prematur, ketuban pecah dini, pelepasan palsenta secara manual, dan status sosioekonomi yang rendah.Penyebab dari endometritis postpartum adalah kontaminasi dari rongga uterus dengan organisme yang terdapat pada vagina selama persalinan dan kelahiran yang dapat menyerang miometrium. Organisme tersebut meliputi streptokokus grup A dan B, bakteri aerob batang gram negatif, Neisseria gonorrhoeae, Mycoplasma hominis, beberapa bakteri anaerob, dan bakteri yang berhubungan dengan vaginosis bakterial (bakteri anaerob dan Gardnerella vaginalis). Endometritis post partum dapat menyebabkan munculnya tanda klinis yang meliputi temperatur tubuh yang meningkat 38C, takikardi, nyeri tekan uterus discharge purulen dari vagina.Penatalaksanaan endometritis post partum, dari beberapa penelitian yang telah dikumpulkan, merekomendasikan kombinasi dari clindamycin dengan antibiotik golongan aminoglycoside seperti gentamicin, dikarenakan regimen ini dapat menjangkau grup Bacteroides fragilis dan beberapa bakteri anaerob yang resisten terhadap penisilin lainnya. Jika endometritis tidak ditatalaksana dengan baik maka komplikasi yang dapat muncul adalah terjadinya penyebaran infeksi ke rongga peritonium, peritonitis, abses intra abdomen dan septik tromboflebitis pelvis.

18