review film spotlight

2
SPOTLIGHT: Saat Kebenaran Ditemukan Di Luar Institusi Keagamaan Film “Spotlight” meraih penghargaan Oscar sebagai film terbaik tahun ini. Sayang Cinema XXI tidak memutarnya, sehingga tidak beredar luas. Saya berkesempatan menontonnya di bioskop milik jaringan CGV Blitz yang cuma segelintir jumlahnya. Film ini menceritakan kisah nyata tentang betapa gigihnya kerja para wartawan koran Boston Globe mengungkap kebenaran. Di tahun 2002, empat wartawan yang tergabung dalam tim Spotlight di harian itu diminta melakukan investigasi tentang skandal pelecehan seksual terhadap anak-anak di gereja Katolik. Skandal pedofilia oleh para pastor sudah belasan tahun terjadi. Beberapa korban sudah melapor, namun pelakunya tidak pernah dihukum setimpal. Media sesekali memberitakannya, tetapi cuma sepintas. Hari ini diberitakan, besok dilupakan. Tim Spotlight melakukan investigasi menyeluruh untuk mencari kebenaran. Membuktikan bahwa sistem gereja saat itu menyuburkan terjadinya pedofil. Ini tidak mudah. Para pejabat gereja menutup-nutupi fakta dan tidak mau menyerahkan data-data. Para wartawan ini pun bekerja luar biasa. Berbulan- bulan mereka menemui para narasumber, membongkar tumpukan dokumen arsip publik di perpustakaan, rapat dan berdebat, sampai akhirnya kebenaran terungkap. 600 artikel kasus pedofilia diungkap sepanjang tahun 2002. Pelecehan itu menimpa anak-anak lelaki maupun perempuan. Membuktikan bahwa pedofilia tidak terkait dengan soal homoseks, karena pelakunya bisa juga heteroseks. Terungkapnya kebenaran ini berdampak besar. Para pastor diajukan ke pengadilan. Sistem gereja diubah. Terbongkarnya skandal di Boston memicu munculnya pengakuan-pengakuan lain dari kejahatan serupa yang dilakukan di berbagai negara. Film ini berbicara banyak bagi semua institusi keagamaan. Institusi keagamaan seharusnya bukan cuma bicara tentang “kebenaran teologis”, tetapi juga bicara benar kalau sudah menyangkut realita, data dan fakta. Di jaman melek informasi ini, jika institusi keagamaan menutupi realita, apalagi memalsukan data dan fakta supaya terlihat “kudus dan sempurna” atau supaya cocok dengan pandangan teologinya, akibatnya bisa fatal. Orang-orang yang kritis akan menemukan kebenaran justru di luar institusi keagamaan. Dampaknya akan muncul sikap skeptis dan tidak percaya lagi pada agama itu. Film ini juga berbicara tentang betapa pentingnya sebuah laporan jurnalistik yang benar dan berkualitas. Publik membutuhkan berita dan laporan yang benar-benar didasarkan atas data dan fakta, bukan “apa kata pejabat ini” atau “apa kata organisasi itu.” Pengumpulan data dan fakta ini pun perlu dilakukan secara profesional, obyektif, akuntabel, tanpa agenda tertentu, sehingga laporannya tidak bias. Dewasa ini, di Indonesia,

Upload: putut-riyadi-siswantoro

Post on 11-Jul-2016

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Review Film Spotlight

SPOTLIGHT:Saat Kebenaran Ditemukan Di Luar Institusi Keagamaan

Film “Spotlight” meraih penghargaan Oscar sebagai film terbaik tahun ini. Sayang Cinema XXI tidak memutarnya, sehingga tidak beredar luas. Saya berkesempatan menontonnya di bioskop milik jaringan CGV Blitz yang cuma segelintir jumlahnya.

Film ini menceritakan kisah nyata tentang betapa gigihnya kerja para wartawan koran Boston Globe mengungkap kebenaran. Di tahun 2002, empat wartawan yang tergabung dalam tim Spotlight di harian itu diminta melakukan investigasi tentang skandal pelecehan seksual terhadap anak-anak di gereja Katolik. Skandal pedofilia oleh para pastor sudah belasan tahun terjadi. Beberapa korban sudah melapor, namun pelakunya tidak pernah dihukum setimpal. Media sesekali memberitakannya, tetapi cuma sepintas. Hari ini diberitakan, besok dilupakan.

Tim Spotlight melakukan investigasi menyeluruh untuk mencari kebenaran. Membuktikan bahwa sistem gereja saat itu menyuburkan terjadinya pedofil. Ini tidak mudah. Para pejabat gereja menutup-nutupi fakta dan tidak mau menyerahkan data-data. Para wartawan ini pun bekerja luar biasa. Berbulan-bulan mereka menemui para narasumber, membongkar tumpukan dokumen arsip publik di perpustakaan, rapat dan berdebat, sampai akhirnya kebenaran terungkap. 600 artikel kasus pedofilia diungkap sepanjang tahun 2002. Pelecehan itu menimpa anak-anak lelaki maupun perempuan. Membuktikan bahwa pedofilia tidak terkait dengan soal homoseks, karena pelakunya bisa juga heteroseks. Terungkapnya kebenaran ini berdampak besar. Para pastor diajukan ke pengadilan. Sistem gereja diubah. Terbongkarnya skandal di Boston memicu munculnya pengakuan-pengakuan lain dari kejahatan serupa yang dilakukan di berbagai negara.

Film ini berbicara banyak bagi semua institusi keagamaan. Institusi keagamaan seharusnya bukan cuma bicara tentang “kebenaran teologis”, tetapi juga bicara benar kalau sudah menyangkut realita, data dan fakta. Di jaman melek informasi ini, jika institusi keagamaan menutupi realita, apalagi memalsukan data dan fakta supaya terlihat “kudus dan sempurna” atau supaya cocok dengan pandangan teologinya, akibatnya bisa fatal. Orang-orang yang kritis akan menemukan kebenaran justru di luar institusi keagamaan. Dampaknya akan muncul sikap skeptis dan tidak percaya lagi pada agama itu.

Film ini juga berbicara tentang betapa pentingnya sebuah laporan jurnalistik yang benar dan berkualitas. Publik membutuhkan berita dan laporan yang benar-benar didasarkan atas data dan fakta, bukan “apa kata pejabat ini” atau “apa kata organisasi itu.” Pengumpulan data dan fakta ini pun perlu dilakukan secara profesional, obyektif, akuntabel, tanpa agenda tertentu, sehingga laporannya tidak bias. Dewasa ini, di Indonesia, karya jurnalistik semacam ini langka. Banyak media cuma memberitakan hal-hal bombastis tanpa pikir panjang, karena kejar tayang.

Hari ini, kita membutuhkan institusi keagamaan yang mau terbuka terhadap kebenaran yang berdasarkan atas data dan fakta, bukan cuma kebenaran teologia. Kita juga membutuhkan karya jurnalistik yang bisa mengungkap kebenaran, bukan cuma mengumbar pendapat-pendapat partisan dan picisan.