resolusi konflik sosial, muliadi kurdi

6
Resolusi Konflik Sosial Adat Penyelesaian Konflik Sosial yang Murah Meriah di Aceh Oleh Muliadi Kurdi. S.Ag, M.Ag Anggota Pengurus MAA Bidang Hukum Adat Provinsi Aceh Konflik berasal dari kata kerja latin configere, yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok), di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Maka secara sosial konflik merupakan peristiwa yang wajar di tengah-tengah masyarakat, karena perbedaan nilai, persepsi, kebiasaan, dan kepentingan di antara berbagai kelompok masyarakat. Selama masyarakat masih memiliki kepentingan, kehendak, idiologi, tata nilai dan kebiasaan-kebiasaan, maka konflik tidak mungkin bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, konflik merupakan suatu keniscayaan yang selalu terjadi di masyarakat. Keterbukaan dan keseriusan antarpihak yang bertikai merupakan cara penanganan konflik yang perlu dikedepankan. Adanya data dan informasi yang jujur dan dapat dipahami oleh para pihak yang bertikai merupakan syarat bagi terjalinnya komunikasi dalam menyelesaikan setiap konflik. Menjaga setiap tata nilai dan meminimalisir terjadi konflik adalah adanya kematangan sebuah komunitas masyarakat, yang merupakan elemen-elemen atau unsur-unsur dalam mengelola kepentingan– kepentingan yang ada. Hal itu akan dapat memberikan kematangan berfikir dan mengubah pola pikir masyarakat menuju masyarakat yang lebih matang dan mandiri, sehingga konflik akan membawa kepada klarifikasi pilihan–pilihan dan kekuatan untuk mencari 1

Upload: zier

Post on 05-Jul-2015

88 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Resolusi Konflik Sosial, Muliadi Kurdi

Resolusi Konflik Sosial

Adat Penyelesaian Konflik Sosialyang Murah Meriah di Aceh

Oleh Muliadi Kurdi. S.Ag, M.AgAnggota Pengurus MAA Bidang Hukum Adat Provinsi Aceh

Konflik berasal dari kata kerja latin configere, yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok), di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Maka secara sosial konflik merupakan peristiwa yang wajar di tengah-tengah masyarakat, karena perbedaan nilai, persepsi, kebiasaan, dan kepentingan di antara berbagai kelompok masyarakat. Selama masyarakat masih memiliki kepentingan, kehendak, idiologi, tata nilai dan kebiasaan-kebiasaan, maka konflik tidak mungkin bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, konflik merupakan suatu keniscayaan yang selalu terjadi di masyarakat.

Keterbukaan dan keseriusan antarpihak yang bertikai merupakan cara penanganan konflik yang perlu dikedepankan. Adanya data dan informasi yang jujur dan dapat dipahami oleh para pihak yang bertikai merupakan syarat bagi terjalinnya komunikasi dalam menyelesaikan setiap konflik.

Menjaga setiap tata nilai dan meminimalisir terjadi konflik adalah adanya kematangan sebuah komunitas masyarakat, yang merupakan elemen-elemen atau unsur-unsur dalam mengelola kepentingan–kepentingan yang ada. Hal itu akan dapat memberikan kematangan berfikir dan mengubah pola pikir masyarakat menuju masyarakat yang lebih matang dan mandiri, sehingga konflik akan membawa kepada klarifikasi pilihan–pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaiannya. Misalnya, memperkuat komunitas masyarakat melalui gotongroyong desa, saling mengunjungi di saat ditimpa kemalangan, saling memberikan perhatian melalui bantuan, baik berupa bantuan material maupun non material, serta saling menasehati.

Kepada masyarakat perlu ditanamkan kesadaran akan kebanggaan kepada nilai-nilai budaya Aceh, sehingga melahirkan mind set (sikap kejiwaan) akan kepribadian budaya sendiri. Tidak ada dalam budaya Aceh yang Islami membeda-bedakan antara pendatang baru dan masyarakat pribumi, yang miskin dan yang kaya, yang punya tahta dan yang tidak, kaum brahma, santria

1

Page 2: Resolusi Konflik Sosial, Muliadi Kurdi

Resolusi Konflik Sosial

dan sudra. Kesadaran ini harus berasaskan kesatuan dalam membentuk komunitas bersama. Ini dipandang urgen karena pada dasarnya budaya Aceh memang merupakan penjelmaan dari aplikasi budaya Islami dalam masyarakat.

Dalam sebuah pelanggaran terdapat dua pihak yang saling bertikai, pihak pertama (pelaku) dan pihak kedua (korban). Bila pihak pertama memilih diam, maka akan muncul kembali pelanggaran lain yang dilakukan oleh pihak pertama. Sementara bila pihak kedua bereaksi maka pihak kedua yang sebelumnya menjadi korban akan berubah posisi menjadi pelaku pelanggaran lain. Bila rantai pelanggaran ini tidak diputus maka akan menjadi sebuah “chain reaction”(reaksi berantai) yang tidak akan pernah selesai.

Dari itu, makna pemaafan sangat berarti, dalam artian mampu memutuskan rantai-rantai pelanggaran yang kemungkinan akan terus berlanjut. Dalam pengertian ini tindakan memaafkan berfungsi sebagai pengubah hubungan sosial. Pemberian maaf tidak hanya memutus rantai pelanggaran baru tetapi juga menciptakan sebuah hubungan harmonis yang menghilangkan terma “kita” dan “mereka”. Kedua kata tersebut selanjutnya berganti pada “kami”.

Dalam ajaran Islam pemaafan (saling memaafkan) merupakan salah satu bentuk kewajiban dan sarana taqarrub kepada Allah Swt. Memaafkan merupakan kewajiban kaum Muslimin, meski dalam keadaan marah sekalipun (Q.S. al-Syura: 37). Dalam surat al-Syura (40) mengajarkan, “Dan balasan kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahala atsa (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” Masih banyak lagi ayat-ayat lain yang membicarakan bahwa pemberian maaf merupakan perbuatan mulia dan mendapat pahala di sisi Allah.

Pola perilaku Nabi yang dibentuk oleh inti kemaafan, merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran wahyu Tuhan. Rasul selalu memberi pengajaran bahwa pemberian maaf merupakan perbuatan mulia. Dalam sebuah peristiwa yang terjadi ketika seorang wanita Yahudi mencampurkan racun ke dalam makanan Nabi di Khaibar. Ketika wanita itu tertangkap, sahabat meminta persetujuan Nabi untuk membunuhnya, tapi Nabi menolaknya dan memaafkan wanita itu.

Ada beberapa langkah dalam penyelesaian konflik sosial masyarakat. Pertama, Melalui hukum adat. Hukum adat memberi peluang untuk menempuh beberapa jalan dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan tokoh adat dan tokoh masyarakat. Cara ini merupakan salah satu langkah paling tradisional dan mudah

2

Page 3: Resolusi Konflik Sosial, Muliadi Kurdi

Resolusi Konflik Sosial

dimengerti oleh masyarakat dalam menyelesaikan konflik sosial. Kelebihan lain dari pendekatan ini, selain tidak dikenakan biaya juga pihak yang bertikai diyakini tidak akan meninggalkan dendam setelah dilakukan prosesi damai.

Syaratnya, masing-masing pihak yang terlibat konflik benar-benar memahami hakikat obyek yang menjadi sumber pemicu konflik, dan masing-masing pihak juga benar-benar bermaksud menciptakan kedamaian bersama. Masalahnya, sering kali pihak yang terlibat konflik, kurang mengerti hakikat objeknya, sehingga yang muncul sebenarnya adalah pertarungan gengsi. Kalau masing-masing kemudian bertahan pada gengsi dan ketidaktahuannya, maka penyelesaian konflik secara adat yang sebenarnya murah,  menjadi tidak mudah diselesaikan.

Kedua, bersama peutua adat mengumpulkan masing-masing keluarga dalam sturuktur adat dalam rangka penyelesian konflik sosial masyarakat. Ketiga, bersama peutua adat mengelar peradilan hukum adat dalam menyelesaikan konflik sosial dalam masyarakat. Dalam sistem peradilan adat, peutua adat berfungsi sebagai fasilitator dan pembawa kasus persoalan yang dihadapi masyarakat. Pembela sekaligus memberikan beberapa pertimbangan dalam persidangan adat. Keempat, adalah Peusijuek. Terlepas dari adanya pro kontra pendapat ulama tentang tradisi budaya ini, kiranya pemberdayaan kembali budaya peusijuek dalam hakikat asalnya mutlak diperlukan.

Mengenai hal tersebut perlu disadari bahwa pemberdayaan budaya tidak mungkin dilakukan secara paksa, karena ia memiliki dinamika tersendiri. Pemberdayaan budaya memerlukan dua hal penting, yaitu keinsafan tulus yang mengacu pada kesinambungan dan kontimitas serta kemampuan menciptakan hal-hal baru dan membuat inovasi-inovasi. Dalam hal ini kesinambungan dengan masa lalu harus terjadi dalam kerangka sikap kritis untuk menghindari avatisme (obsesi kepada masa lampau). Terkait dengan masalah itu, sebuah adagium yang biasanya digunakan oleh para ulama ushul antara lain, “Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.” Adagium ini mengindikasikan bahwa pemberdayaan budaya memerlukan kecakapan untuk mengelola dinamika ketegangan antara keperluan kepada kelestarian, serta kesinambungan dan kemampuan melakukan inovasi untuk meresponi tuntutan zaman.

Pendekatan peusijuek tentunya dilakukan setelah ada kejelasan damai para pihak yang bertikai. Dalam masyarakat Aceh prosesi peusijuek merupakan salah satu tradisi yang sakral dan dianggap sarat nilai-nilai filosofis. Ketika para pihak yang bertikai dipeusijuek (ditepung tawari), itu pertanda akan

3

Page 4: Resolusi Konflik Sosial, Muliadi Kurdi

Resolusi Konflik Sosial

mengembalikan keharmonisan sosial, dan menghilangkan rasa dendam bagi para pihak yang bertikai. Dalam kaitan dengan penyelesaian kasus pidana, baik berupa pembunuhan maupun penganiayaan, peusijuek ditujukan untuk membina kembali hubungan yang retak akibat terjadinya tindak pidana.

Persiapan peusijuek baik dalam konteks ‘adat meulangga, diyat, sayam’ maupun ‘suloh’ dilakukan oleh pelaku pelanggaran atau keluarganya, dan yang di-peusijuek adalah para pihak yang secara langsung terlibat dalam pelanggaran tersebut. Pelaksanaan ‘peusijuek’ dilakukan oleh Tgk. Imuem (teungku meunasah), Kepala Desa (Keuchik) dan orang yang dihormati di desa.

Kelima, adalah peumat Jaroe (berjabat tangan untuk saling memaafkan) merupakan simbol perbaikan hubungan antara para pihak yang bermasalah, dengan harapan konflik antar mereka berakhir. Oleh karenanya, dalam prosesi peumat jaroe, pihak yang memfasilitasi seperti imuem, keuchik dan pemangku adat mengucapkan kata-kata khusus seperti, “Nyoe kaseb oh no dan bek na dendam le. Nyoe beujeut keu jalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe (Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan menjadi (awal) dari jalinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab ini ajaran agama kita).

Upacara peumat jaroe disaksikan oleh banyak orang yang diundang pada acara kanduri. Urutan kegiatan adat ini dimulai dengan peusijuek, peumat jaroe dan makan bersama (khanduri). Ketiga kegiatan ini merupakan rangkaian perjalanan panjang dari proses penyelesaian kasus pelanggaran dalam kerangka adat Aceh. Peran ulama dan pemangku adat sangat dominan pada acara pra kanduri, peusijuek dan peumat jaroe. Tetapi pasca peusijuek dan peumat jaroe peran mereka secara gradual berkurang. Artinya, keluarga kedua belah pihak yang akan melanjutkan peran untuk menjalin hubungan silaturrahmi sesuai dengan pesan pada upacara peumat jaroe.

Keenam, difasilitasi pihak ketiga. Kalau cara sebelumnya berakhir buntu, disebabkan karena para pihak bertahan pada keinginannya masing-masing, dapat dipilih cara kedua, dimintakan bantuan pihak ketiga sebagai penengah. Dalam lalu lintas hukum, cara ini dikenal dengan istilah Alternatif Dispute Resolution (ADR).  Pihak ketiga yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman sebagai penengah menyelesaikan konflik, akan mengambil beberapa langkah awal sebelum memberikan beberapa alternatif penyelesaian.

Pertama-tama akan dijelaskan beberapa terminologi yang berkaitan dengan penyebab munculnya konflik tersebut.

4

Page 5: Resolusi Konflik Sosial, Muliadi Kurdi

Resolusi Konflik Sosial

Sesudah para pihak memiliki persepsi yang sama, barulah diberikan beberapa pilihan untuk menyelesaikannya. Pada akhirnya yang menentukan pilihan adalah pihak-pihak yang terlibat konflik. Cara ini memang lebih mudah dari cara pertama, tetapi tidak murah.

5