resensi buku-never ending journey of buntoro
DESCRIPTION
Resensi buku yang isinya mrp kisah sukses Buntoro sebagai pendiri Mega Andalan Kalasan (MAK), produsen alat-alat rumah sakit.Buku yang bagus untuk mereka yang suka tentang entrepreneurship.TRANSCRIPT
Nasionalisme dan Tanggungjawab sosial Bisnis Buntoro
Judul Buku : Never Ending Journey of Buntoro Penulis : Teguh Sri Pambudi Penerbit : Mega Abadi Press, Yogyakarta, 2004 Tebal Buku : xix + 172 halaman Harga : Rp 60.800
“Saat kita benar-benar menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk
membantu meraihnya.”
Sejak dahulu pembangunan selalu menciptakan dualisme bagi sejarah perkembangan
umat manusia, yakni efek positif maupun efek negatif. Dalam bidang industri dan bisnis,
proses pembangunan usaha yang mencakup pembangunan fisik dan internal perusahaan,
merupakan unarguable track-record tersendiri bagi para pelaku bisnis (wirausahawan)
dalam menjalankan usahanya.
Di dunia ini, banyak kisah mengenai sepak terjang para wirausahawan yang
didokumentasikan ke dalam bentuk buku ataupun tulisan-tulisan di surat kabar, dan selalu
menarik untuk kita simak. Sebutlah tokoh-tokoh seperti Henry Ford yang memberi brand
bagi industri otomotif di Amerika, Ray Kroc dengan McDonald’s-nya, hingga Konosuke
Matsushita yang sukses bersama Panasonic. Mereka terkenal akan kegigihannya dalam
menangkap peluang-peluang baru, menciptakan peningkatan kualitas hidup bagi
masyarakat sekitar, dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi nama baik
negaranya di dunia internasional. Di Indonesia, buku Never Ending Journey of Buntoro
secara lantang menyebutkan: Buntoro, seorang wirausahawan nasionalis dengan PT
Mega Andalan Kalasan-nya (PT MAK) tidak kalah hebatnya dengan para tokoh
wirausahawan dunia, dan memberi warna baru bagi produk domestik dalam kancah
industri nasional yang sejak dulu didominasi produk-produk asing.
Secara garis besar, buku dengan tebal sebanyak 172 halaman ini, memuat kisah
inspiratif mengenai perjalanan usaha Buntoro yang juga seorang industrialis, yang
berambisi untuk membangun masyarakat industrialis Indonesia yang mandiri dan
kompeten. Menurutnya, tujuan tersebut dapat dicapai dengan mensejajarkan industri
1
Indonesia dengan negara-negara maju, yakni dengan cara menciptakan industri mesin
yang dapat menunjang aktivitas industri Indonesia lainnya. Dimulai dengan keikutsertaan
Buntoro dalam industri bumper, dilanjutkan dengan intervensinya dalam menyelamatkan
perusahaan yang tengah dilanda krisis, hingga akumulasi kesuksesan dari banyak
milestone yang menghasilkan nafas dan kehidupan baru bagi perusahaan hospital
equipment yang dipimpinnya (PT MAK), Never Ending Journey menjanjikan segudang
elemen segar bagi perkembangan industri domestik. Selain itu, buku ini juga
memperlihatkan bahwa konstruksi wacana bisnis dan industri kita yang masih didominasi
oleh pemikiran gaya bengkel (workshop) dan faktor oportunis semata, di samping
kapasitas perusahaan-industri Indonesia yang memang sudah pada tahap manufaktur dan
sebagai produsen vital bagi kebutuhan hidup masyarakat luas. Pertanyaan yang kemudian
timbul adalah sudah seberapa jauh buku ini mengupas hal tersebut?
Selama ini, sudah banyak tulisan yang memuat tentang perjalanan kesuksesan
seorang wirausahawan, tapi sedikit bahkan jarang yang memuat tentang kritik
representasi-verbal, naratif, maupun visual, yang peka terhadap kompleksitas hubungan
antara dunia politik, dunia bisnis dan industri. Inilah yang ingin ‘digebrak’ oleh Teguh
Sri Pambudi (TSP) dengan tokoh nyata seorang Buntoro. Hal ini dapat kita lihat pada
pandangan Buntoro terhadap krisis moneter tahun 1998 : “Tampilan besar-besaran
ekonomi sebagai hasil dari manipulasi yang dilakukan pemerintah selama sepuluh tahun
terakhir telah berhasil membangkitkan optimisme yang berlebihan di kalangan dunia
usaha…” (hal 104-105). Selain itu bukankah kalau ditelaah lebih jauh kisah-kisah yang
banyak berbicara mengenai pergumulan hidup semacam ini, cenderung terjebak ke dalam
bentuk romantisme dan melahirkan banyak pembicaraan diskursif?
TSP dengan gaya penulisan narrative journalism-nya memaparkan kisah
perjalanan Buntoro dengan angle yang cukup luas dan dilengkapi dengan konstruksi
wacana modernitas, di mana setiap pemaparan naratif dibingkai dengan logika besar dan
teori/dalil-dalil moderen. Pembuktian akan hal ini dapat terlihat jelas dari caranya
membangun ilustrasi perusahaan maupun iklim cerita Buntoro dengan komparasi dari
pihak-pihak asing. Seperti dikemukakannya di halaman 27 : “…Dalam konteks ini, ada
satu kisah bisnis yang menarik. Sony adalah satu-satunya perusahaan yang…” Bahkan
tidak hanya itu, impian Buntoro untuk membangun masyarakat industrialis yang
2
dimasukkan TSP ke dalam beberapa babakan ide cerita, semakin memperkuat cerita ini
menjadi sebuah reflektor terhadap konteks narasi umum (paradigma industri umum).
Inilah yang kemudian membuat cerita ini tidak terjebak dalam bentuk romantisme dan
terhindar dari kesan diskursif.
Di satu sisi, buku ini berfokus pada perjalanan usaha hidup-mati Buntoro dengan
PT MAK-nya, tapi di sisi lain buku ini juga memuat cita-cita, pandangan-pandangan
kritis dan kritik sosial Buntoro yang perlu dicermati pula. Tetapi, nilai sebenarnya dari
buku ini tidak terletak semata-mata pada kisah ‘romantis’ perjalanan Buntoro dan PT
MAK. Untaian cerita yang terbagi dalam 12 bab yang saling berkesinambungan ini,
melahirkan semacam pandangan fundamental seorang wirausahawan yang berani keluar
dari pakem untuk menyelamatkan dan membangun perusahaannya, lengkap dengan
manajemen serta proses pembangunan fisik dan internal PT MAK, yang tentunya dapat
diimplementasikan pada perusahaan-perusahaan lain. TSP tidak lupa mengutip materi-
materi pendukung dari berbagai sumber sebagai penguat ilustrasi cerita. Bahasanya juga
mudah dicerna. Tidak hanya itu, aspek historis dan politis yang keberadaannya tidak tak
mempengaruhi kinerja perusahaan-industri, juga dimasukkan secara detil dan pintar.
Time frame pun terjalin rapih. Sehingga pada akhir cerita, proses yang demikian panjang
dapat kita pilah ke dalam tahap-tahap yang jelas dan pembaca pun bisa menarik
kesimpulan yang diharapkan inspiratif dan bermanfaat. Meskipun kadang gaya bahasa
yang digunakan terlalu bombastis, namun secara keseluruhan buku ini telah berhasil
mendokumentasikan dinamika PT MAK yang memberikan trademark dan paradigma
baru bagi produk domestik dalam persaingan di pasar nasional.
Buku ini sangat cocok bagi para calon wirausahawan yang membutuhkan
inspirasi dalam membangun usahanya dan haus akan kesempurnaan konsep-konsep
fundamental bisnis dan industri sejati, juga bagi para pelaku bisnis-industri (profesional)
dan masyarakat luas yang ingin memahami/mendalami esensi mengenai pentingnya
hubungan antara jiwa bisnis-industrialis dan nasionalisme.
DENIS L. TORUAN, Alumnus Program S-1 Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Mandarin,
Universitas Indonesia
3