renol hamonangan simatupang

139
TESIS KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR RENOL HAMONANGAN SIMATUPANG PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Upload: lythuy

Post on 10-Dec-2016

272 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Renol Hamonangan Simatupang

TESIS

KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN

MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN

INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR

RENOL HAMONANGAN SIMATUPANG

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 2: Renol Hamonangan Simatupang

TESIS

KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN

MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN

INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR

RENOL HAMONANGAN SIMATUPANG

NIM 1014108104

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 3: Renol Hamonangan Simatupang

KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN

MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN

INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

`

RENOL HAMONANGAN SIMATUPANG

NIM 1014108104

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 4: Renol Hamonangan Simatupang

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 5 JANUARI 2015

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. IB. Gde Sudjana, SpAn, KAO, M.Si dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn.KAR

NIP. 19550711 198312.1.001 NIP .19730123 200801.1.006

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof.Dr.dr.Wimpie I Pangkahila, SpAnd,FAACS Prof.Dr.dr.A.A. Raka

Sudewi, SpS(K)

NIP. 194612131971071001 NIP. 195902151985102001

Page 5: Renol Hamonangan Simatupang

Tesis Ini Telah Diuji Pada

Tanggal 5 Januari 2015

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,

Nomor 029/ UN. 14.4/ HK/ 2014 Tertanggal 2 Januari 2015

Pembimbing I : dr. Ida Bagus Gde Sudjana, SpAn, MSi

Pembimbing II : dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn. KAR

Penguji : 1. Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO

2. dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC

3. dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV. SH

Page 6: Renol Hamonangan Simatupang

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan

Yang Maha Esa, karena hanya atas anugerah-Nya, tugas penyusunan tesis ini

dapat terselesaikan. Karya tulis ini selain merupakan suatu karya akhir juga

dilatarbelakangi suatu keinginan dan harapan bagi perkembangan keilmuan di

bidang Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif.

Kepada Prof. Dr. dr.Ketut Suastika, SpPD, KEMD, selaku Rektor Universitas

Udayana, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas

perkenannya memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan

pendidikan spesialis di Universitas Udayana.

Kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K), MKes, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana, penulis juga mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya atas perkenannya memberikan kesempatan menjalani dan

menyelesaikan pendidikan spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Kepada dr. I Nyoman Semadi, SpB, SpBTKV,selaku Ketua TKP PPDS I

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih atas

kesempatan yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan program

pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes, selaku Direktur Utama RSUP

Sanglah, penulis menyampaikan terimakasih atas kesempatan yang diberikan

untuk menjalani pendidikan dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah

Denpasar.

Page 7: Renol Hamonangan Simatupang

Kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS(K), selaku Direktur Program

Pasca Sarjana Universitas Udayana, penulis menyampaikan terima kasih karena

telah diberikan kesempatan untuk menjalani program magister pada program studi

ilmu biomedik, program pascasarjana Universitas Udayana.

Kepada dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC, selaku Kepala Bagian Anestesiologi

dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis

mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan,

inspirasi dan motivasi yang telah diberikan selama penulis mengikuti program

pendidikan dokter spesiali sini.

Kepada dr. Ida Bagus Gde Sujana, SpAn, MSi, selaku Sekretaris Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, serta

selaku pembinbing satu, penulis mengucapkan terimakasih dan rasa hormat

setinggi-tingginya atas bimbingan, semangat, inspirasi dan motivasi baik selama

penulis menyusun karya akhir ini maupun selama penulis mengikuti program

pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO, selaku Ketua

Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima

kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas keteladanan dan bimbingan

yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan tesis dan menempuh program

pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada dr. I Made Gede Widnyana, SpAn, MKes, KAR, selaku Sekretaris

Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima

Page 8: Renol Hamonangan Simatupang

kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas bimbingan yang telah

diberikan selama penulis menempuh program pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn.KAR, selaku pembimbing

dua, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas

bimbingan, semangat, inspirasi dan motivasi yang telah diberikan dalam penulisan

dan penyusunan karya akhir ini.

Kepada dr. I Wayan Sukra, SpAn, KIC, penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya atas kemurahan hatinya dengan tidak mengenal lelah

memberikan bimbingan dan landasan berpikir tentang ilmu dasar anestesi.

Kepada semua guru: dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV, SH; dr. I Gusti

Putu Sukrana Sidemen, SpAn, KAR; dr. I Gede Budiarta, SpAn, KMN; Dr. dr. I

Wayan Suranadi, SpAn, KIC; Dr. dr.I Putu Pramana Suarjaya, SpAn, MKes,

KNA, KMN; dr.Putu Agus Surya Panji, SpAn, KIC; dr. I Wayan Arya biantara,

SpAn, KIC; dr. I Ketut Wibawa Nada, SpAn, KAKV; dr. Dewa Ayu Mas Shintya

Dewi, SpAn; dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, SpAn, KAR; dr. IGAG Utara

Hartawan, SpAn, MARS; dr.Pontisomaya Parami, SpAn, MARS; dr. I Putu

Kurniyanta, SpAn; dr. Kadek Agus Heryana Putra, SpAn; dr. Cynthia Dewi

Sinardja, SpAn, MARS; dr. Made Agus Kresna Sucandra, SpAn; dr. Ida Bagus

Krisna Jaya Sutawan, SpAn, MKes dan dr. Tjahya Aryasa EM, SpAn, penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya atas bimbingan yang telah

diberikan selama menjalani program pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid, selaku pembimbing

statistik, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan

Page 9: Renol Hamonangan Simatupang

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan statistik dalam penyusunan

penelitian ini.

Kepada semua senior dan rekan–rekan residen anestesi, penulis mengucapkan

terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penulis menjalani

program pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada Ibu Ni Ketut Santi Diliani, SH dan seluruh staf karyawan di Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih atas semua

bantuannya selama menjalani program pendidikan dokter spesialis ini, kepada

segenap penata anestesi, paramedis dan seluruh karyawan yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu yang telah membantu selama proses pendidikan ini.

Kepada kedua orang tua, Bapak A. Simatupang dan Ibu St. N. br.

Simanungkalit (Alm.) yang telah merawat dan membesarkan penulis dengan kasih

sayang yang tanpa pamrih serta penuh kesabaran memberikan dukungan semangat

dan doa supaya penulis dapat menjalani dan menyelesaikan studi ini dengan baik,

penulis menghaturkan terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Istri tercinta, Lestari Naomi

Lydia Pandiangan, S.si, M.si serta anakku terkasih Maleakhi Joseph Samuel

Simatupang atas pengertian dan pengorbanan yang diberikan selama penulis

menjalani masa pendidikan.

Serta terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya kepada seluruh

pasien yang menjadi “sumber ilmu” selama penulis menjalani proses pendidikan

spesialisasi ini.

Page 10: Renol Hamonangan Simatupang

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan berkat dan rahmat-Nya

kepada semua pihak yang tertulis di atas maupun yang tidak tertulis, yang tidak

bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama proses

pendidikan dan penyusunan tesis ini.

Denpasar, Desember 2014

dr. Renol Hamonangan Simatupang

Page 11: Renol Hamonangan Simatupang

ABSTRAK

KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN MALLAMPATI

SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN INTUBASI DI RUMAH SAKIT

SANGLAH DENPASAR

Renol Hamonangan Simatupang

Penyebab terbanyak dalam kasus kesulitan intubasi diakibatkan oleh

karena kesulitan dalam memvisualisasi laring. tidak adanya faktor anatomi

tunggal yang dapat menentukan kemudahan dalam melakukan laringoskopi

sehingga diperlukan kombinasi beberapa tes atau prediktor. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui akurasi dari kombinasi upper lip bite test (ULBT)

dengan mallampati untuk memprediksi sulit visualisasi laring (DVL, difficult

visualization of the larynx) yang menjadi faktor utama kesulitan intubasi.

Metode: penelitian ini menggunakan uji diagnostik yang dilaksanakan di

Instalasi Bedah Sentral (IBS) dan Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSUP sanglah

Denpasar periode November sampai Desember 2014. Dua jenis pemeriksaan

praanestesi pada subyek penelitian ini dikorelasikan dengan skor Cormack-

Lehane sebagai baku emas. Data dianalisis dengan uji diagnostik menggunakan

tabel 2x2 dan kurva ROC (Receiver Operating Characteristic).

Kami mengkorelasikan secara paralel dua prediktor sulit intubasi pada 322

pasien dewasa yang menjalani anestesi umum. Pada analisis data di dapat korelasi

yang baik dari ULBT dan Mallampati dengan nilai sensitivitas 73,51%,

Spesifisitas 96,5%, Nilai Prediksi Positif (NPP) 84,7% dan Nilai Prediksi Negatif

(93,2%). Nilai AUC pada kurva ROC didapatkan 85% (95% IK; 79,6% - 90,4%).

Kesimpulan: ULBT dan Mallampati memiliki korelasi yang baik sebagai

prediktor kesulitan intubasi.

Kata kunci: ULBT, skor Mallampati, Cormack-Lehane, prediktor sulit intubasi

Page 12: Renol Hamonangan Simatupang

ABSTRACT

CORRELATION OF UPPER LIP BITE TEST ( ULBT ) WITH

MALLAMPATI AS A PREDICTOR OF DIFFICULT INTUBATION IN

SANGLAH HOSPITAL

Renol Hamonangan Simatupang

The most common cause of difficult intubation because of difficulty in

visualizing of the larynx . the absence of a single anatomic factors that can

determine to do Laryngoscopy easily, so it needs combination some tests or

predictors . This study aims to determine the accuracy of a combination of the

upper lip bite test ( ULBT ) with Mallampati to predict difficult visualization of

the larynx (DVL) , difficult visualization of the larynx is a major factor difficult

intubation .

Methods : This study used a diagnostic test that is carried out in the

Central Operating Installation ( IBS ) and the Emergency installation of Sanglah

Hospital period November to December 2014. Two types praanestesi examination

on the subject of this study correlated with the Cormack - Lehane score as the

gold standard . Data were analyzed by using a diagnostic test 2x2 table and ROC

curve (Receiver Operating Characteristic).

We correlate the two predictors in parallel difficult intubation in 322

adult patients undergoing general anesthesia . In the data analysis, there are good

correlation of ULBT and Mallampati with sensitivity 73.51 %, specificity 96.5 %,

positive predictive value ( NPP ) 84.7 % and a negative predictive value (93.2 %).

AUC values from ROC curve obtained 85 % ( 95 % CI ; 79.6 % - 90.4 % ).

Conclusion : ULBT and Mallampati have good correlation as a predictor of

difficult intubation.

Keywords : ULBT , Mallampati score , Cormack - Lehane , Predictor of difficult

intubation.

Page 13: Renol Hamonangan Simatupang

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM .......................................................................................... i

PRASYARAT GELAR .................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................... ....... iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.............................................................. . v

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................ vi

UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................. vii

ABSTRAK ....................................................................................................... xii

ABSTRACT..................................................................................................... xiii

DAFTAR ISI .................................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xix

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xx

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xxi

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxiii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 5

1.3.1 Tujuan Umum ................................................................. 5

1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................ 5

1.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 6

. 1.4.1 Bagi Peneliti .................................................................... 6

Page 14: Renol Hamonangan Simatupang

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan ................................................ 6

1.4.3 Bagi Pelayanan Masyarakat ............................................ 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 7

2.1 Anatomi Jalan Napas Atas............................................... .......... 10

2.1.1 Hidung Dan Mulut................................................ .......... 11

2.1.2 Faring................................................................... ........... 11

2.1.3 Laring............................................................................... 12

2.1.4 Persarafan ........................................................................ 18

2.1.5 Suplai Darah .................................................................... 20

2.2 Evaluasi Jalan Napas ................................................................. 21

2.2.1 Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik .................................... 21

2.2.2 Ruang Orofaringeal ........................................................... 22

2.2.3 Sub Mandibular Complience ........................................... 23

2.2.4 Body Hiatus ....................................................................... 23

2.2.5 Membran Krikoid Dan Krikotirotomi ............................... 24

2.3 Prediktor Kemungkinan Sulit Intubasi ........................................ 25

2.3.1 LEMON atau MELON...................................................... 25

2.3.2 LM-MAP ........................................................................... 28

2.3.3 Fours D (4D) ..................................................................... 29

2.3.4 Wilson Risk Score ............................................................. 29

2.3.5. Magboul 4MS ................................................................... 30

2.4 Skor Cormack-Lehane ................................................................. 30

2.5 Upper Lip Bite Test (ULBT) ....................................................... 31

Page 15: Renol Hamonangan Simatupang

2.6 Laringoskop Macintosh ............................................................... 32

2.7 Posisi Pemeriksaan ...................................................................... 35

2.8 Penelitian Diagnostik ................................................................... 35

2.8.1 Desain Penelitian Diagnostik ............................................ 36

2.8.2 Baku Emas (Gold Standard) ............................................. 37

2.8.3 Indeks ................................................................................ 38

2.8.4 Analisa Penelitian Diagnostik ........................................... 38

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN

HIPOTESIS PENELITIAN .................................................................. 40

3.1 Kerangka Berpikir ....................................................................... 40

3.2 Kerangka Konsep ........................................................................ 42

3.3 Hipotesis Penelitian ..................................................................... 42

BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................... 43

4.1 Rancangan Penelitian .................................................................. 43

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 43

4.3 Penentuan Sumber Data ............................................................... 43

4.3.1 Populasi Target.................................................................. 43

4.3.2 Populasi Terjangkau .......................................................... 43

4.3.3 Tehnik Pengambilan Sampel............................................. 44

4.4 Perhitungan Besar Sampel ........................................................... 44

4.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ....................................................... 46

4.5.1 Kriteria Inklusi .................................................................. 46

4.5.2 Kriteria Eksklusi................................................................ 46

Page 16: Renol Hamonangan Simatupang

4.6 Alat Dan Bahan Kerja .................................................................. 47

4.6.1 Alat yang Digunakan......................................................... 47

4.6.2 Bahan Yang Digunakan .................................................... 47

4.7 Cara Kerja .................................................................................... 47

4.8 Alur Penelitian ............................................................................. 49

4.9 Definisi Operasional Variabel ..................................................... 50

4.10 Analisis Data................................................................................ 52

4.11 Etika Penelitian ........................................................................... 53

BAB V HASIL PENELITIAN ......................................................................... 54

5.1 Data Karakteristik sampel ........................................................... 54

5.2 Analisis Uji Diagnostik ............................................................... 55

5.2.1 Analisis Skor ULBT Sebagai Prediktor Kesulitan

Intubasi .............................................................................. 58

5.2.2 Analisis Skor Malampati Sebagai Prediktor Kesulitan

Intubasi .............................................................................. 59

5.2.3 Analisis Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati

Secara Paralel .................................................................... 61

5.2.4 Analisis Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati

Secara Seri ......................................................................... 63

BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................. 65

6.1 ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi.................................. 65

6.2 Mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi.......................... 67

6.3 Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara Paralel .. 68

Page 17: Renol Hamonangan Simatupang

6.4 Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara Seri ....... 69

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 72

7.1 Simpulan ...................................................................................... 72

7.2 Saran ........................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 73

LAMPIRAN ........................................................................................... 76

Page 18: Renol Hamonangan Simatupang

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Algoritme Kesulitan Jalan Napas ASA ......................................... 9

Gambar 2.2 Anatomi Jalan Napas Atas ............................................................ 11

Gambar 2.3 Struktur Pembentuk Laring ........................................................... 14

Gambar 2.4 Jaras Sensorik Jalan Napas ............................................................ 19

Gambar 2.5 Derajat Skor MallampatI ............................................................... 27

Gambar 2.6 Skor Derajat Cormack-Lehane ...................................................... 31

Gambar 2.7 Kelas Upper Lip Bite Test (ULBT)............................................... 32

Gambar 2.8 Blade Laringoskop macintosh ....................................................... 34

Gambar 3.1 Kerangka Konsep .......................................................................... 42

Gambar 4.1 Alur Penelitian............................................................................... 49

Gambar 5.1 Kurva ROC Skor ULBT Terhadap Skor Cormack-Lehane .......... 59

Gambar 5.2 Kurva ROC Skor Mallampati Terhadap Skor Cormack-Lehane .. 61

Gambar 5.3 Kurva ROC Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati

Secara Paralel Terhadap Skor Cormack-Lehane............................ 62

Gambar 5.4 Kurva ROC Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati

Secara Seri Terhadap Skor Cormack-Lehane ................................. 64

Page 19: Renol Hamonangan Simatupang

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Skor Magboul 4 MS .......................................................................... 30

Tabel 5.1 Gambaran karakteristik sampel ......................................................... 55

Tabel 5.2 Kategori korelasi prediktor secara paralel ........................................ 56

Tabel 5.3 Rekategori korelasi prediktor secara paralel ..................................... 56

Tabel 5.4 Kategori korelasi prediktor secara seri.............................................. 57

Tabel 5.5 Gambaran karakteristik sampel ......................................................... 57

Tabel 5.6 Tabel 2 x 2 Skor ULBT..................................................................... 58

Tabel 5.7 Analisis ROC Skor ULBT ................................................................ 59

Tabel 5.8 Tabel 2 x 2 Skor Mallampati............................................................. 60

Tabel 5.9 Analisis ROC Skor Mallampati ........................................................ 61

Tabel 5.10 Tabel 2 x 2 Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara

Paralel ............................................................................................... 62

Tabel 5.11 Analisis ROC Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara

Paralel Terhadap Skor Cormack-Lehane ........................................... 63

Tabel 5.12 Tabel 2 x 2 Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara

Seri .................................................................................................... 63

Tabel 5.13 Analisis ROC Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara

Seri Terhadap Skor Cormack-Lehane ................................................ 64

Page 20: Renol Hamonangan Simatupang

DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA

SINGKATAN

4D : Dentition Distortion Disproportion Dysmobility

4MS : Mallampati Measurement Movement Malformation

ASA : American Society of Anesthesiologist

AUC : Area Under the Curve

BB : Berat Badan

CI : Confidence Interval

dkk : dan kawan-kawan

DVL : Difficult Visualization of the Larynx

EKG : Elektrokardiografi

EVL : Easy Visualization of the Larynx

FRC : Functional residual Capacity

G : Gauge

HNM : Head and Neck Movement

IIG : Inter-Incisor Gap

IL : Internal Laringeal

IMT : Indeks Massa Tubuh

KG : Kilogram

LEMON : Look Evaluate Mallampati Obstruction Neck

LITBANG : Penelitian dan Pengembangan

LMA : Laringeal Mask Airway

Page 21: Renol Hamonangan Simatupang

LM-MAP : Look Mallampati Measure Atlanto Pathological

MAC : Minimal Aleveoli Consentration

Mg : Milligram

MMT : Modified Mallampati Test

N : Besar Sampel

NPP : Nilai Prediksi Positif

NPN : Nilai Prediksi Negatif

p : Presisi

RL : Recurrent Laringeal

RHTMD : Ratio of height to thyromental distance

ROC : Receiver Operating Characteristic

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SD : Standar Deviasi

Sen : Sensitivitas

SL : Superior Laringeal

TMD : Thyromental Distance

ULBT : Upper Lip Bite Test

VB : Variabel Bebas

Zα : Tingkat Kemaknaan

Page 22: Renol Hamonangan Simatupang

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 : Surat Keterangan Kelaikan Etik ............................................ 76

Lampiran 2 : Surat Ijin Uji Klinik .............................................................. 77

Lampiran 3 : Jadwal Penelitian ................................................................... 78

Lampiran 4 : Rincian Informasi .................................................................. 79

Lampiran 5 : Formulir Persetujuan Tindakan ............................................. 81

Lampiran 6 : Pencatatan Hasil Evaluasi Penelitian..................................... 82

Lampiran 7 : Tabulasi Data Penelitian ........................................................ 89

Lampiran 8 : Hasil Analisis Data ................................................................ 101

Page 23: Renol Hamonangan Simatupang

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manejemen jalan napas merupakan suatu tugas yang sangat penting dan

menjadi tanggung jawab dasar bagi seorang anesthesiologis. Pertukaran gas yang

tidak adekuat akibat kegagalan mempertahankan jalan napas dapat berakibat fatal

bagi keselamatan pasien. Hingga saat ini dalam manejemen jalan napas, intubasi

endotrakea dengan menggunakan laringoskop menjadi gold standard untuk

mempertahankan keadekuatan jalan napas. Tehnik intubasi endotrakea ini dapat

membahayakan keselamatan pasien bila tidak dilakukan antisipasi yang baik dan

benar sebelumnya (Stringer KR,dkk, 2002).

Kesulitan dalam memvisualisasi

laring (DVL, Difficult visualization of the larynx) selama proses laringoskopi

merupakan salah satu hal yang dapat menggagalkan intubasi endotrakea

(Benumof JL, 1991).

Penyebab terbanyak dalam kasus kesulitan intubasi diakibatkan oleh

karena kesulitan dalam memvisualisasi laring. Hingga saat ini, pengklasifikasian

untuk memvisualisasi laring masih menggunakan skor dari Cormack-Lehane.

Telah dilaporkan bahwa insiden kesulitan laringoskopi ataupun intubasi

endotrakea pada pasien yang akan menjalani pembiusan bervariasi dari 1,5%

sampai 8% (Mohan K. dkk, 2013). dimana dilaporkan untuk kesulitan intubasi

sebesar 1-4% pada Cormack Lehane derajat III, sedangkan kegagalan intubasi

sebesar 0,05-0,35% pada derajat III dan IV (Benumof JL, 1994).

Page 24: Renol Hamonangan Simatupang

Sementara Insiden terjadinya kesulitan dalam visualisasi laring (DVL)

pada penelitian yang dilakukan Eka, 2014 di RSUP sanglah didapatkan angka

sebesar 15,7%. Lebarnya variasi yang didapatkan mungkin dipengaruhi oleh

beberapa faktor misalnya umur dan perbedaan etnis atau penggunaan laringoskop

yang berbeda (Eka, 2014).

American Society of Anesthesiologist (ASA) tahun 2005 telah melaporkan

masalah kerusakan otak permanen dan kematian pada anestesi paling banyak

disebabkan oleh masalah pada jalan napas (32% dari seluruh kerusakan otak

permanen dan kematian yang terkait anestesi) dimana kesulitan intubasi menjadi

penyebab terbesar pertama dari seluruh masalah pada jalan napas (26%) (Lohom

G, 2003).

Adanya data yang melaporkan besarnya biaya yang ditimbulkan oleh

masalah yang terjadi akibat kesulitan intubasi menjadi tantangan yang harus

benar-benar diperhatikan oleh anesthesiologis. Dari data tahun 1961-1996

Domino melaporkan pada ASA Closed Claims Database terdapat 266 kasus (6%)

yang berkaitan dengan jalan napas dengan rerata klaim pembayaran sebesar

$26.250 dimana 103 kasus (39%) diantaranya merupakan masalah kesulitan

intubasi. Besarnya biaya ini menjadi masalah baru bagi kita bila kita tidak

mengantisipasi dengan baik sebelumnya (Cheney, FW, 2002).

Meskipun telah banyak kemajuan yang sudah dibuat, dan telah banyak

metode yang telah teruji digunakan untuk menjawab teka-teki kesulitan

laringoskopi intubasi, dimana diantaranya : tes mallampati (MMT, Modified

Mallampati Test), inter-incisor gap (IIG), thyromental distance (TMD), head and

Page 25: Renol Hamonangan Simatupang

neck movement (HNM), ratio of height to thyromental distance (RHTMD) dan

upper lip bite test (ULBT), namun semuanya itu tidak boleh dipercaya secara

utuh. Hal ini disebabkan oleh latar belakang dari karateristik populasi, ras, suku,

budaya serta negara yang berbeda-beda dimana studi tersebut dilakukan.

Kerangka wajah dan jaringan lunak pada berbagai ras di dunia memiliki variasi

susunan yang berbeda. Hal ini diperkirakan berpengaruh terhadap hasil prediktor

yang baik untuk suatu ras. Sehingga prediksi intubasi yang dilakukan di berbagai

negara juga menghasilkan variasi yang sangat banyak.

Saat ini penilaian dengan mallampati dan upper lip bite test (ULBT)

dipercaya sebagai tehnik yang mudah dan sederhana dilakukan untuk

memprediksi kesulitan laringoskopi intubasi endotrakeal (ZH Khan, dkk, 2009).

Penilaian mallampati telah banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan

intubasi. Penilaian berdasarkan struktur anatomi rongga mulut ini dipercaya

sebagai penilaian yang cukup mudah dalam meprediksi kesulitan laringoskopi

intubasi (Lee A,dkk, 2006). Namun dari beberapa studi menyimpulkan nilai dari

skrining tes mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi adalah terbatas

apabila digunakan sebagai prediktor tunggal. Pada tahun 2011, Lundstrom dkk.

Mempublikasikan sebuah penelitian meta-analisis, yang telah menganalisa 55

studi dan melibatkan 177.088 pasien, dimana didapatkan hanya 35% pasien

dengan kesulitan intubasi yang diidentifikasi sebagai mallampati III atau IV.

Nilai sensitivitas dari penelitan meta-analisis ini 0,35 dan nilai spesifisitas 0,39

dengan area dibawah kurva ROC (receiver operating characteristic) sebesar 0,75

(LH.Lundstrom,dkk, 2011). Pada penelitian meta-analisis lainnya, yang

Page 26: Renol Hamonangan Simatupang

dipublikasikan pada tahun 2005, Shiga telah menganalisa 31 studi dengan

melibatkan 41.193 pasien terhadap uji Mallampati dan mendapatkan nilai

sensitivitas 0,49 dan nilai spesifisitas 0,86 dan area di bawah kurva ROC (receiver

operating characteristic) 0,82, dengan prevalensi sulit intubasi 5,7 % (IK 95%,

OR 2,0) (Toshiya Shiga, 2005).

Upper lip bite test (ULBT) dipercaya sebagai tehnik terbaru yang sangat

sederhana. Tehnik ini diperkenalkan oleh Khan pada tahun 2003. Timbulnya

tehnik ini didasari pada jarak dan keleluasaan daripada pergerakan mandibula

dengan komposisi daripada gigi yang memiliki peranan yang sangat penting

dalam memfasilitasi laringoskopi intubasi (ZH Khan, dkk, 2009). Salimi pada

tahun 2008 mempublikasikan hasil penelitian terhadap 350 pasien, dan

menemukan bahwa upper lip bite test (ULBT) merupakan prediktor yang baik

untuk kesulitan laringoskopi intubasi dengan sensitivitas 70,0% dan spesifisitas

93,3%, positive predivtive value 39,0% dan negative predictive value 98,1% serta

accuracy mencapai 92,6%. Sementara itu Jain Shah dkk. pada tahun 2013 telah

mempublikasikan hasil penelitian terhadap 480 pasien dewasa dan menemukan

upper lip bite test (ULBT) sebagai prediktor yang memiliki sensitivitas,

spesifisitas, positive predictive value, negative predictive value, dan likehood ratio

yang sangat tinggi (74,63%; 91,53%; 58,82%; 95,7%; 31,765) dibandingkan

dengan multivariasi airway assessment test lainnya (P.Jain Shah, 2013).

Dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya didapat kesimpulan bahwa

nilai dari tes skrining untuk sulit intubasi adalah terbatas bila hanya menggunakan

satu tes tunggal, dengan kata lain tidak ada faktor anatomi tunggal yang dapat

Page 27: Renol Hamonangan Simatupang

menentukan kemudahan dalam melakukan laringoskopi sehingga diperlukan

kombinasi beberapa tes atau prediktor untuk menambah nilai diagnosis (Rudim

Domi, 2009).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi dari kombinasi upper lip

bite test (ULBT) dengan skor mallampati untuk memprediksi sulit visualisasi

laring (DVL, difficult visualization of the larynx) yang nantinya akan diterapkan

pada pasien-pasien di RSUP Sanglah Denpasar

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka rumusan

masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Apakah ULBT dan Mallampati secara sendiri-sendiri akurat digunakan sebagai

model diagnostik prediktor sulit intubasi? dan Apakah Korelasi ULBT dan

Mallampati akurat digunakan sebagai model diagnostik prediktor sulit intubasi?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui tingkat akurasi indikator dari korelasi ULBT dan mallampati

sebagai prediktor dalam menilai kesulitan visualisasi laring pada pasien-pasien

yang menjalani pembedahan di RSUP Sanglah Denpasar.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui sensitifitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi

negatif dan luas daerah di bawah kurva ROC (Receiver Operating

Characteristic) dari ULBT dan mallampati sebagai prediktor sulit

Page 28: Renol Hamonangan Simatupang

visualisasi laring pada laringoskopi direk pada pasien-pasien yang akan

menjalani proses pembedahan di RSUP Sanglah Denpasar.

2. Mengetahui pertambahan nilai diagnostik prediktor bila dilakukan

penggabungan antara prediktor ULBT dengan mallampati.

3. Mengetahui model diagnostik yang dianjurkan untuk memprediksi sulit

visualisasi laring

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Penelitian ini akan menambah pengetahuan dan pengalaman melakukan

penelitian, sekaligus menambah kemampuan manajerial serta komunikasi

interpersonal dengan masyarakat pada umumnya.

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat menunjukkan data dan informasi yang berharga tentang

pemeriksaan praanesthesi rutin yang akurat dalam mengantisipasi kemungkinan

sulit intubasi terhadap pasien-pasien yang akan menjalani pembedahan dengan

anestesi umum di RSUP Sanglah Denpasar. Data yang dihasilkan juga bisa

menjadi data dasar atas penelitian-penelitian selanjutnya yang memiliki hubungan

dengan penelitian ini.

1.4.3 Bagi Pelayanan Masyarakat

Diharapkan dapat meningkatkan antisipasi kemungkinan sulit intubasi dan

mencegah kejadian komplikasi akibat ketidaksiapan menghadapi kegagalan

intubasi sehingga kualitas pelayanan anestesia pada umumnya dan keamanan pada

pasien khususnya dapat ditingkatkan.

Page 29: Renol Hamonangan Simatupang

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum

diperlukan teknik intubasi endotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik

memasukkan suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan bagian atas.

Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan jalan

nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah

terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk

ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea,

membersihkan saluran trakeobronkial. Untuk menjalankan anesthesia yang aman

maka kompetensi yang paling penting adalah pengelolaan jalan napas (Hagberg

dkk., 2005).

Menurut ASA, Jalan nafas sulit (difficult airway) adalah dimana seorang

ahli anesthesiologi yang berpengalaman dalam sebuah situasi klinis mengalami

kesulitan dalam memberikan ventilasi sungkup muka dan kesulitan melakukan

intubasi trakea ataupun mengalami situasi keduanya. Terjadinya morbiditas akibat

anestesi (kerusakan gigi, aspirasi paru, trauma jalan nafas, trakeostomi tanpa

antisipasi sebelumnya, anoxic brain injury, cardiopulmonary arrest dan kematian)

merupakan akibat serius dari kesulitan atau kegagalan dalam manejemen jalan

napas (Benumof, 1991; Cheney,2002; Hagberg dkk., 2005).

Kesulitan ventilasi sungkup muka adalah suatu keadaan dimana seorang

ahli anesthesiologi yang tidak didampingi oleh asisten gagal dalam

mempertahankan SpO2 lebih dari 90% dengan menggunakan oksigen 100% serta

Page 30: Renol Hamonangan Simatupang

ventilasi sungkup muka dengan tekanan positif dengan SpO2 lebih dari 90%

sebelum dilakukan tindakan anesthesia atau keadaan dimana seorang ahli

anesthesiologi tidak mampu untuk mencegah atau mengembalikan ventilasi yang

tidak adekuat pada saat ventilasi sungkup muka tekanan positif tanpa didampingi

asisten (Gal, 2005).

Defenisi dari sulit intubasi (difficult tracheal intubation) itu sendiri adalah

suatu keadaan dimana dibutuhkannya 3 kali kesempatan untuk berhasil

memasukkan pipa endotrakea dengan laringoskop konvensional atau bila

menggunakan satuan waktu maka sulit intubasi adalah keadaan dimana

keberhasilan memasukkan pipa endotrakea memerlukan waktu lebih dari 10 menit

(Latto, 1997).

American Society of Anesthesiologist (ASA) tahun 2005 telah melaporkan

masalah kerusakan otak permanen dan kematian pada anestesi paling banyak

disebabkan oleh masalah pada jalan napas (32% dari seluruh kerusakan otak

permanen dan kematian yang terkait anestesi) dimana kesulitan intubasi menjadi

penyebab terbesar pertama dari seluruh masalah pada jalan napas (26%) (Lohom

G, 2003).

Adanya data yang melaporkan besarnya biaya yang ditimbulkan oleh

masalah yang terjadi akibat kesulitan intubasi menjadi tantangan yang harus

benar-benar diperhatikan oleh anesthesiologist.

Page 31: Renol Hamonangan Simatupang

Gambar 2.1. Algoritme kesulitan jalan napas (ASA, 2003).

Page 32: Renol Hamonangan Simatupang

Dari data tahun 1961-1996 Domino melaporkan pada ASA Closed Claims

Database terdapat 266 kasus (6%) yang berkaitan dengan jalan napas dengan

rerata klaim pembayaran sebesar $26.250 dimana 103 kasus (39%) diantaranya

merupakan masalah kesulitan intubasi. Besarnya biaya ini menjadi masalah baru

bagi kita bila kita tidak mengantisipasi dengan baik sebelumnya (Cheney, FW,

2002).

Oleh karena itu, pengelolaan jalan napas yang baik merupakan hal yang

sangat penting untuk diperhatikan demi keselamatan pasien dalam menjalani

operasi. Sehingga diperlukan pengetahuan anatomi dan fisiologi jalan napas

dengan sebaik-baiknya serta kemampuan yang baik dalam mengevaluasi

kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan jalan napas. Begitu juga dibutuhkan

kemampuan yang baik dalam menggunakan alat-alat untuk tatalaksana jalan napas

serta pemahaman untuk mengaplikasikan algorithm difficult airway management

dari ASA.

2.1 Anatomi Jalan Napas Atas

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung

yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring

(parsoralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya,

tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring.

Page 33: Renol Hamonangan Simatupang

Gambar 2.2. Anatomi jalan napas atas (Morgan, 2006).

2.1.1. Hidung dan mulut

Hidung dan mulut merupakan jalan pertama udara memasuki tubuh.

Dengan panjang dari lubang hidung ke nasofaring sekitar 10-14 cm pada orang

dewasa. Fossa nasal dibatasi oleh konka inferior, media dan superior. Konka

inferior membatasi ukuran tube yang dapat masuk ke lubang hidung bila

dilakukan intubasi nasal. Setiap fossa nasal memiliki 60 cm area untuk

menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk. (Applegate, 2004; Larson

2006).

2.1.2. Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,

yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian

Page 34: Renol Hamonangan Simatupang

anterior kolum vertebra (Arjun S Joshi, 2011). Kantong ini mulai dari dasar

tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke

atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan

berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan

laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan

dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang

lebih 14 cm. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia

faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal (Rusmarjono

dan Bambang Hermani, 2007).

Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring)

(Arjun S Joshi, 2011). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, selaput lendir

(mukosa blanket) dan otot (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).

2.1.3. Laring

Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas dan

terletak setinggi vertebra cervicalis IV-VI, dimana pada anak-anak dan wanita

letaknya relatif lebih tinggi. Bentuk laring menyerupai limas segitiga terpancung

dengan bagian atas lebih terpancung dan bagian atas lebih besar dari bagian

bawah. Batas atas laring adalah aditus laring sedangkan batas kaudal kartilago

krikoid.

Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang (os hioid) dan beberapa

tulang rawan, baik yang berpasangan ataupun tidak. Komponen utama pada

struktur laring adalah kartilago tiroid yang berbentuk seperti perisai dan

Page 35: Renol Hamonangan Simatupang

kartilagokrikoid. Os hioid terletak disebelah superior dengan bentuk huruf U dan

dapat dipalpasi pada leher depan serta lewat mulut pada dinding faring lateral.

Dibagian bawah os hioid ini bergantung ligamentum tirohioid yang terdiri dari

dua sayap / alae kartilago tiroid. Sementara itu kartilago krikoidea mudah teraba

dibawah kulit yang melekat pada kartilago tiroidea lewat kartilago krikotiroid

yang berbentuk bulat penuh. Pada permukaan superior lamina terletak pasangan

kartilago aritinoid ini mempunyai dua buah prosesus yakni prosesus vokalis

anterior dan prosesus muskularis lateralis (Boies, 1997).

Pada prosesus vokalis akan membentuk 2/5 bagian belakang dari korda

vokalis sedangkan ligamentum vokalis membentuk bagian membranosa atau

bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan superior korda

vokalis suara membentuk glotis. Kartilago epiglotika merupakan struktur garis

tengah tunggal yang berbentuk seperti bola pimpong yang berfungsi mendorong

makanan yang ditelan kesamping jalan nafas laring. Selain itu juga terdapat dua

pasang kartilago kecil didalam laring yang mana tidak mempunyai fungsi yakni

kartilago kornikulata dan kuneiformis (Boies, 1997)

2.1.3.1 Kartilago laring

Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :

1. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :

Kartilago Tiroidea, 1 buah

Kartilago Krikoidea, 1 buah

Kartilago Aritenoidea, 2 buah

Page 36: Renol Hamonangan Simatupang

2. Kartilago minor, terdiri dari :

Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah

Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah

Kartilago Epiglotis, 1 buah (Ballenger, 1993)

Gambar 2.3. Struktur pembentuk laring (Morgan, 2006).

• Kartilago Tiroidea

Kartilago Tiroidea merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk

dinding anterior dan lateral laring, dan merupakan kartilago yang terbesar. Terdiri

dari 2 sayap(alaetiroidea)berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya

tetapi bersatu di bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan

disebut Adam’s Apple.

Page 37: Renol Hamonangan Simatupang

Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita 120

derajat. Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau ineiseura

tiroidea, dimana di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan

dengan os hyoid oleh ligamentum tiroidea, sedangkan di bagian bawah

membentuk kornu inferior yang berhubungan dengan permukaan posterolateral

dari kartilago krikoidea dan membentuk artikulasio krikoidea.Dengan adanya

artikulasio ini memungkinkan kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di

sebelah dalam perisai kartilago tiroidea terdapat bagian dalam laring, yaitu : pita

suara, ventrikel, otot-otot dan ligamenta,kartilago aritenoidea, kuneiforme serta

kornikulata (Ballenger, 1993).

Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur

yang berjalan oblik dari bawah kornu superior ketuberkulum inferior. Alur ini

merupakan tempat perlekatan muskulus sternokleidomastoideus, muskulus

tirohioideus danmuskulus konstriktor faringeus inferior (Ballenger, 1993).

Permukaan dalamnya halus tetapi pertengahan antara incisura tiroidea dan

tepi bawah kartilago tiroidea perikondriumnya tipis, merupakan tempat perlekatan

tendokomisura anterior. Tangkai epiglotis melekat 1 cm diatasnya

olehligamentum tiroepiglotika. Kartilago ini mengalami osifikasi pada umur 20–

30 tahun (Ballenger, 1993).

• Kartilago Krikoidea

Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan

kartilago hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alasnya

terdapat di belakang. Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit daripada

Page 38: Renol Hamonangan Simatupang

bagian posterior. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya

dengan kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui

artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I

melalui ligamentum krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat dilakukan tindakan

trakeostomi, krikotomi atau koniotomi pada konus elastikus (Ballenger, 1993).

Kartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI-

VII dan pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III-IV. Kartilago ini

mengalami osifikasi setelah kartilago tiroidea.

• Kartilago Aritenoidea

Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang

kartilago berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago

krikoidea, sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan

rotasi. Dasar dari piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis

yang merupakan tempat melekatnya muskulus krikoaritenoidea yang terletak di

posterolateral, dan di bagian anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya

ujung posterior pita suara. Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke

prosesus vokalis. Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan

berinsersi pada garis tengah kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian

membranosa atau vibratorius pada pita suara. Tepi dan permukaan atas dari pita

suara ini disebut glottis (Scott, 1997). Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke

arah dalam dan luar dengan sumbu sentralnya tetap, karena ujung posterior pita

suara melekat pada prosesus vokalis dari aritenoid maka gerakan kartilago ini

Page 39: Renol Hamonangan Simatupang

dapat menyebabkan terbuka dan tertutupnya glotis. Kalsifikasi terjadi pada dekade

ke 3 kehidupan (Ballenger, 1993).

• Kartilago Epiglotis

Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding

anterior aditus laringeus tangkainya disebut petioles dan dihubungkan oleh

ligamentum tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara.

Sedangkan bagian atas menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring

sehingga membatasi basis lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi

sebagai pembatas yang mendorong makanan ke sebelah laring (Ballenger, 1993).

• Kartilago Kornikulata

Kartilago ini merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago

Santorini dan merupakan kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam plika

ariepiglotika (Ballenger, 1993).

• Kartilago Kuneiforme

Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan kartilago

kecil yang terletak di dalam plika ariepiglotika (Ballenger, 1993).

2.1.3.2 Pita suara

Pita suara menonjol dari dinding lateral laring ke arah tengah glottis. Pita

suara ini diregangkan dan diatur posisinya oleh beberapa otot spesifik yang ada

pada laring. Tepat disebelah dalam setiap pita terdapat ligament elastik yang kuat

yang disebut sebagai ligamen vokalis. Ligamen ini melekat disebelah anterior dari

kartilago tiroid yang besar. Disebelah posterior, ligamen vokalis terlekat pada

Page 40: Renol Hamonangan Simatupang

prosesus vokalis dari kedua kartilago krikoid. Pita suara dapat direganggkan baik

oleh rotasi kartilago tiroid kedepan maupun oleh rotasi posterior dari kartilago

aritenoid, yang diaktivasi oleh otot-otot yang meregang dari kartilago tiroid dan

kartilago aritenoid ke kartilago krikod (Guyton and Hall, 2007).

.

2.1.4 Persarafan

Jalur saraf sensoris saluran nafas atas berasal dari saraf kranialis. Selaput

mukosa hidung bagian anterior diinervasi oleh cabang ophtalmikus (V1) dari saraf

trigeminus (nervus ethmoidalis anterior) dan pada bagian posterior oleh cabang

maxillaris (V2) (nervus sphenopalatina). Nervus palatina memberikan jaras

sensoris dari nervus trigeminus pada permukaan superior and inferior palatum

durum dan palatum molle. Nervus lingualis (cabang mandibularis (V3) nervus

trigeminus) dan nervus glossofaring (saraf kranial kesembilan) menginervasi 2/3

anterior dan sepertiga posterior dari lidah. Cabang dari nervus facialis (VII) dan

glossofaring memberikan sensasi rasa ke daerah lidah tersebut. Nervus

glossofaring juga menginervasi atap faring, tonsil, dan permukaan bawah dari

palatum molle. Nervus vagus (saraf kranial kesepuluh) menginervasi daerah jalan

nafas di bawah epiglotis. Cabang nervus laringeus superior dari nervus vagus

terbagi menjadi jaras eksternal (motorik) dan jaras internal (sensoris) yang

memberikan saraf sensoris ke daerah laring antara epiglotis dan pita suara.

Cabang lain dari nervus vagus, nervus laringeus rekurent, menginervasi daerah

laring di bawah pita suara dan trachea (Morgan, 2006).

Page 41: Renol Hamonangan Simatupang

Gambar 2.4. Jaras sensorik jalan nafas (Morgan, 2006)

Otot-otot laring diinervasi oleh nervus rekurent laringeus kecuali otot

krikotiroid, yang diinervasi nervus laringeus eksternal (motorik), cabang dari

nervus laringeus superior. Otot krikoaritenoid posterior berfungsi sebagai

abduktor pita suara, sedangkan krikoaritenoid sebagai adduktor. Fonasi

merupakan suatu proses yang berlangsung simultan dan kompleks dari beberapa

otot laring. Kerusakan pada saraf motorik yang menginervasi laring

mengakibatkan berbagai jenis gangguan bicara. Denervasi unilateral pada otot

krikotiroid mengakibatkan gejala klinis yang susah ditemukan. Bilateral palsy

pada nervus laringeus superior mengakibatkan suara serak dan pita suara yang

mudah lelah. Tetapi hal ini tidak mengganggu kontrol jalan nafas.

Page 42: Renol Hamonangan Simatupang

Paralisis unilateral dari nervus laringeus rekurent mengakibatkan

terjadinya paralisis pada daerah pita suara ipsilateral, yang ditandai dengan adanya

penurunan dari kualitas suara. Dengan asumsi bahwa nervus laringeus superior

berfungsi dengan baik, paralisis akut dari nervus laringeus rekurent bilateral

mengakibatkan terjadinya stridor dan distress pernafasan, akibat dari menetapnya

tekanan oleh otot krikotiroid. Masalah jalan nafas jarang terjadi pada kerusakan

kronis dari nervus laringeus rekurent bilateral, karena adanya berbagai mekanisme

kompensasi (misalnya, atrofi dari otot-otot laring)

Cedera nervus vagus bilateral mempengaruhi baik nervus laringeus

superior dan nervus laringeus rekurent. Oleh karena itu, denervasi nervus vagus

bilateral mengakibatkan flasiditas dan midposisi dari pita suara, hal yang sama

terjadi pada pemberian suksinil kolin. Pada pasien ini, jarang terjadi masalah pada

jalan nafas walaupun terjadi gangguan berat pada proses fonasi (Morgan, 2006).

2.1.5. Suplai darah

Suplai darah pada laring berasal dari cabang-cabang arteri tiroid. Arteri

krikotiroid berasal dari arteri tiroid superior yang merupakan cabang pertama dari

arteri karotis eksternal, arteri ini berjalan melintasi membran krikotiroid atas, yang

memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroid superior

berjalan sepanjang tepi lateral membran krikotiroid. Ketika akan melakukan

krikotirotomi, anatomi arteri tiroid dan arteri krikotiroid harus diperhatikan

dengan baik tetapi hal ini jarang mempengaruhi saat pelaksanaannya. Cara yang

Page 43: Renol Hamonangan Simatupang

terbaik adalah tetap berada pada garis tengah, yaitu di antara kartilago tiroid dan

kartilago krikoid.

2.2. Evaluasi jalan napas

2.2.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Riwayat jalan nafas pasien harus dievaluasi untuk menentukan ada

tidaknya faktor medis, bedah maupun anestesi yang berpengaruh terhadap

manajemen jalan nafas. Pasien yang sebelumnya memiliki masalah dengan

manjemen jalan nafas harus diinformasikan kepadanya masalah jalan nafas yang

dialaminya, alasan mengapa itu terjadi, bagaimana intubasi trakheal dilakukan,

serta bagaimana implikasinya terhadap anestesi selanjutnya. Catatan anestesi

sebelumnya harus berisi deskripsi permasalahan jalan nafas yang dihadapi. Teknik

manjemen jalan nafas apa yang digunakan dan apakah teknik tersebut sukses atau

tidak dikerjakan. Penelitian mengenai variabel anatomis dan implikasinya untuk

manajemen jalan nafas sulit, menunjukkan bahwa tes ini jika dikerjakan sendiri –

sendiri memiliki sensitivitas, spesifitas dan postive predictive value yang rendah.

Korelasi akan lebih baik jika sejumlah tes ini dikombinasikan. Sejumlah tes ini

didasarkan pada pemeriksaan oropharyngeal space, mobilitas leher,

submandibular space, dan submandibular compliance. Sejumlah penyakit

kongenital dan dapatan memiliki korelasi dengan manajemen jalan nafas

(Latto,1997).

Page 44: Renol Hamonangan Simatupang

2.2.2 Ruang orofaringeal (oropharyngeal space)

Mallampati menyarankan sebuah sistem klasifikasi (Mallampati Score)

untuk menghubungkan antara tampilan oropharyngeal space dengan kemudahan

laringoskopi direk (direct laryngoscopy) dan intubasi trakeal. Pemeriksaan ini

dilakukan dengan kepala pasien dalam posisi netral, membuka mulut maksimal,

dan menjulurkan lidah tanpa fonasi. Jika Mallampati yang dijumpai selain I dan

II, pasien diperintahkan untuk melakukan fonasi.

Terdapat korelasi antara skor malampati dengan apa yang terlihat saat

dilakukan laringoskopi direk, dan kemudahan dilakukan intubasi. Penampakan

saat dilakukan laringoskopi diklasifikasikan berdasarkan skor Cormack dan

Lehane.

Bersama dengan klasifikasi Mallampati, jarak antar gigi seri, ukuran dan

posisi gigi pada maksila dan mandibula serta bentuk palatum harus dievaluasi.

Jarak antar gigi seri yang kurang dari 3 cm berkorelasi dengan kesulitan untuk

mendapatkan gambaran yang jelas saat laringoskopi direk. Mandibula yang

menonjol atau mundur juga berkaitan dengan tampilan laringoskopi yang kurang

baik. Overbite juga berakibat pada pengurangan celah antar gigi seri yang efektif

ketika kepala dan leher pasien telah diposisikan secara optimal untuk dilakukan

laringoskopi direk. Rahang yang kecil akan mengurangi pharyngeal space (lidah

terposisikan lebih posterior) dan akan mengurangi ruang yang akan ditempati

jaringan lunak yang akan digeser selama laringoskopi direk. Ini menyebabkan

struktur glotis akan lebih anterior pada pandangan saat dilakukan laringoskopi

direk. Sejumlah sindrom genetik dan penyakit dapatan dapat mengurangi

Page 45: Renol Hamonangan Simatupang

pharyngeal space dan akan sulit dievaluasi pada pemeriksaan fisik (Morgan,

2006).

2.2.3 Submandibular Complience

Submandibular space merupakan area dimana jaringan lunak faring akan

digeser untuk mendapatkan gambaran saat dilakukan laringoskopi direk. Segala

sesuatu yang mengurangi ukuran space ini atau mengurangi compliance jaringan

akan menurunkan jumlah pergeseran ke anterior yang dapat dicapai, Angina

Ludwig’s, tumor, radiasi, jairngan ikat, luka bakar, dan operasi daerah leher

sebelumnya merupakan kondisi – kondisi yang dapat menurunkan compliance

submandibular (Morgan, 2006).

2.2.4 Body Hiatus

Obesitas sering dikaitkan dengan peningkatan insiden kesulitan

pengelolaan jalan nafas, Pengaturan posisi yang benar, dengan meletakkan wedge-

shaped bolster (bantal guling berbentuk baji) di punggung pasien, dapat

menciptakan sniffing position yang lebih optimal. Meskipun demikian, masalah

penurunan functional residual capacity (FRC) dengan makin menyempitnya

rentang waktu untuk terjadinya desaturasi oksigen arteri serta kesulitan ventilasi

dengan sungkup muka hingga penurunan compliance masih dapat djumpai

(Morgan, 2006).

Page 46: Renol Hamonangan Simatupang

2.2.5 Membran Krikotiroid Dan Krikotirotomi

Ketika akses jalan napas dari mulut atau hidung gagal atau tidak tersedia

(contoh, trauma maksilofacial, faringeal, laringeal, patologis atau deformitas),

akses emergensi via ekstrathoracic trakhea adalah rute yang mungkin terhadap

jalan napas. Klinisi harus terbiasa dengan teknik alternative oksigenasi dan

ventilasi ini.

Krikotirotomi adalah membentuk saluran napas melalui membran

krikotiroid. Membran krikotiroid memberikan perlindungan di ruang krikotiroid.

Membran ini, berukuran 9 mm x 3mm, terdiri dari jaringan kekuningan yang

elastis yang terletak tepat di bawah jaringan subkutan kulit dan di daerah wajah.

Membran ini terletak di daerah anterior leher, yang berbatasan dengan kartilago

tiroid di superior dan kartilago krikoid di inferior. Membran ini dapat dirasakan

1-1,5 jari di bawah tonjolan laringeal (thyroid notch, atau Adam’s apple). Sebagai

alternatif pada pasien dengan kartilago tiroid yang tidak menonjol, identifikasi

kartilago tiroid bisa dilakukan dengan melakukan palpasi pada sternal notch

kemudian susuri ke arah leher atas hingga teraba kartilago yang lebih lebar dan

lebih tinggi jika dibandingkan dengan kartilago yang teraba sebelumnya. Dua

pertiga atas dari membran ini dilalui oleh anastomosis dari arteri krikothiroid

superior kiri dan kanan yang berjalan secara horisontal. Di tengah membran

terdapat suatu tonjolan yang disebut conus elasticus, dan dua tonjolan besar

lainnya yang terletak di daerah lateral, yang lebih tipis dan melekat di mukosa

laring. Akibat adanya variasi anatomis terhadap jalannya pembuluh vena dan

arteri serta letaknya yang berdekatan dengan plika vokalis ( yaitu 0,9 cm di atas

Page 47: Renol Hamonangan Simatupang

ligamen teratas), maka disarankan bahwa segala bentuk insisi dan pungsi terhadap

membran ini, dapat dilakukan pada sepertiga bawah dan diarahkan ke posterior

(Stoelting, 2007).

Walaupun krikotirotomi adalah prosedur pilihan pada situasi emergensi, ini

juga dapat diterapkan pada situasi tertentu ketika adanya akses terbatas ke trakhea

(contoh kyphoscoliosis cervical yang berat).

2.3 Prediktor Kemungkinan Sulit Intubasi

Setelah anamnesis maka dilakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik

dapat membantu mengidentifikasi pasien yang berpotensial untuk terjadinya

kesulitan intubasi.

Ada beberapa cara dalam mengidentifikasi sebanyak mungkin resiko akan

terjadinya kesulitan intubasi dan laringoskopi yaitu dengan teknik :

a. LEMON atau MELON

b. LM MAP

c. 4D

d. Wilson Rick Scale

e. Magboul 4M

2.3.1 L E M O N atau MELON

L (Look externally)

Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada

hal-hal yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi

Page 48: Renol Hamonangan Simatupang

seperti trauma pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek,

mandibula yang kecil.

E (Evaluate 3-3-2)

Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang menemukan jarak thyromental

Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula

terhadap posisi laring. Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm,

kemungkinan sulit untuk dilakukan intubasi. Evaluasi buka mulut juga penting.

Pasien normal bisa membuka mulutnya dengan jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak

thyromental direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara ujung mentum dan

tulang hioid dan 2 jari antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan 3-3-2 :

Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral

angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah

ketika laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan dengan

peningkatan kesulitan.

Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan

dasar lidah. Bila lebih dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar

lidah, sehingga mungkin menyulitkan dalam hal visualisasi glotis.

M (Mallampaty score)

Penilaian Mallampati merupakan sebuah sistem klasifikasi (Mallampati

Score) untuk menghubungkan antara tampilan oropharyngeal space dengan

kemudahan laringoskopi direk (direct laryngoscopy) dan intubasi trakeal. Skor

Mallampati merupakan rasio ukuran lidah terhadap faring. Pemeriksaan ini

dilakukan dengan kepala pasien dalam posisi netral, membuka mulut maksimal,

Page 49: Renol Hamonangan Simatupang

dan menjulurkan lidah tanpa fonasi. Oleh Samsoon dan Young skor mallapati

telah dimodifikasi menjadi 4 kategori berdasarkan struktur faring menjadi:

1. Kelas I : tampak palatum molle, palatum durum, uvula, pillar tonsil

anterior dan posterior.

2. Kelas II : tampak palatum molle, palatum durum dan uvula

3. Kelas III : tampak palatum molle dan dasar uvula

4. Kelas IV : tak tampak palatum molle

Kelas I dan II dihubungkan dengan kemudahan dalam intubasi, sedangkan

kelas III dan IV dikaitkan dengan tingkat kesulitan intubasi, bahkan kelas IV

mempunyai rasio kegagalan melebihi 10%.

Gambar 2.5. Derajat skor Mallampati (Mallampati dkk., 1985)

Page 50: Renol Hamonangan Simatupang

O (Obstruction)

Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan

sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya obstruksi

yaitu muffled voice (hot potato voice), adanya kesulitan menelan ludah (karena

nyeri atau obstruksi) dan adanya stridor.

N (Neck mobility)

Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu

kesulitan dalam intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi

atlanto-oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan

kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi

daripada sendi atlanto-oksipital. Aksis oral, faring dan laring menjadi satu garis

lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai normalnya adalah 35 derajat (Magboul

M, 2004).

2.3.2 LM-MAP

L (Look for external face deformities)

M (Mallampati)

M (Measure 3-3-2-1 fingers)

A (Atlanto-occipital extension)

P (Pathological obstructive conditions) (Magboul M, 2004).

Page 51: Renol Hamonangan Simatupang

2.3.3 Fours D (4D)

D (Dentition, evaluasi keadaan gigi-geligi)

D (Distortion, evaluasi apakah ada edema, darah, muntahan, tumor, infeksi)

D (Disproportion, evaluasi dagu pendek, leher gemuk, mulut kecil, lidah besar)

D (Dysmobility, evaluasi tyromental joint, cervical spine) (Magboul M, 2004).

2.3.4 Wilson Risk Score

Weight (0 = <90 kg, 1 = 90-110 kg, 2 = >110 kg)

Head and neck movement (0 = >90°, 1 = 90°, 2 = <90°)

Jaw movement (0=IG >5 cm, SL >0 ; 1=IG <5 cm, SL=0 ; 2=IG <5 cm ,SL <0)

Receding mandible (0=normal, 1=moderate, 2=severe)

Buck teeth (0=normal, 1=moderate, 2=severe)

Total maximum 10 points (Magboul M, 2004).

Page 52: Renol Hamonangan Simatupang

2.3.5 Magboul 4 MS

Tabel 2.1. skor Magboul 4 MS (Magboul M, 2004).

Score 1 2 3 4

Mallampati Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4

Measurement 3 mouth open 3 thyromental 2 hypomental 1 sublaxation

Movement Left Right Flexion extension

Malformation Skull : hidro

and

microcephalus

Teeth : buck,

protruded,

loose teeth

and macro-

micro

mandibles

Obstruction :

due to

obesity, short

bull neck and

swelling

around the

head and

neck

Pathplogy :

Craniofacial

abnormalities

and syndrome

: treacher

Collins,

Goldenhars,

Pierre Robin,

Waardenburg

syndromes

Total 4 4 4 4

2.4 Skor Cormack - Lehane

Pada tahun 1984 Cormack dan Lehane membuat suatu skala dengan

memakai visualisasi yang masih terlihat dengan laringoskop. Derajat Cormack-

Lehane berdasarkan visualisasi laringoskopi :

Grade 1 : Semua bukaan pita suara terlihat

Grade 2 : Hanya posterior glotis yang terlihat

Grade 3 : Hanya ujung epiglotis yang dapat terlihat

Grade 4 : Epiglotis tidak terlihat, hanya palatum molle yang terlihat

Page 53: Renol Hamonangan Simatupang

Gambar 2.6. Skor derajat Cormack-Lehane (Cormack and Lehane, 1985.)

Dikatakan bahwa Cormack-Lehanne derajat 2 atau 3 memerlukan

beberapa kali upaya intubasi atau penggantian bilah dengan insiden 100 sampai

dengan 1800 dari 10.000 pasien atau 1%-8%. Sedangkan derajat 3 Cormack-

Lehanne memiliki insiden 100-400 dari 10.000 pasien atau 1%-4%. Insiden

terjadinya kegagalan intubasi pada Cormack-Lehanne derajat 3 atau 4 berkisar 5

sampai 35 dari 10.000 pasien atau 0,05%-0,35% (Benunof, 1991).

2.5 Upper Lips Bite Test (ULBT)

Upper lip bite test (ULBT) dipercaya sebagai tehnik terbaru yang sangat

sederhana. Tehnik ini diperkenalkan oleh Zahid Hussain Khan pada tahun 2003.

Timbulnya tehnik ini didasari pada jarak dan keleluasaan daripada pergerakan

mandibula dengan komposisi daripada gigi yang memiliki peranan yang sangat

penting dalam memfasilitasi laringoskopi intubasi (Khan, 2009).

Page 54: Renol Hamonangan Simatupang

Upper lip bite test adalah menilai kemampuan pasien untuk menutupi

mukosa atas bibir dengan incisor bawah. Dibagi menjadi tiga kelas :

Kelas I : Lower incisors dapat menjangkau bibir atas, diatas

vermilion line.

Kelas II : Lower incisors dapat menjangkau bibir atas, dibawah

vermilion line.

Kelas III : lower incisors tidak dapat menjangkau bibir atas

Gambar 2.7. Kelas upper lip bite test (ULBT) (Khan 2009).

2.6 Laringoskop Macintosh

Laringoskop adalah alat yang digunakan untuk mengangkat lidah dan

epiglotis supaya glotis dapat terlihat. Alat ini terbagi atas gagang dan bilah.

Gagang berisi batere yang berguna untuk menyalakan sumber penerangan.

Sedangkan bilah mempunyai bola lampu di sepertiga ujungnya.

Page 55: Renol Hamonangan Simatupang

Bentuk bilah sebenarnya terbagi atas 2 bentuk yaitu bentuk melengkung

(laringoskop Macintosh) dan bentuk lurus (laringoskop Miller). Diantara 2 bentuk

bilah ini yang paling sering dipakai adalah bentuk Macintosh, dikatakan bahwa

bentuk ini paling gampang digunakan bahkan oleh seseorang yang mempunyai

pengalaman intubasi orotrakeal yang sedikit. Banyak mengatakan bahwa bentuk

ini memerlukan lebih sedikit kekuatan lengan bawah dibandingkan dengan yang

bentuk lurus.

Cara pakai laringoskop Macintosh ini adalah dengan menempatkan ujung

bilah Macintosh pada valekula sehingga secara tidak langsung akan mengangkat

epiglotis sehingga pita suara akan tampak.

Bilah laringoskop Macintosh terdapat beberapa ukuran dari mulai nomor 2

sampai nomor 4. Ukuran bilah nomor 2 digunakan untuk usia 3 sampai 6 tahun.

Bilah nomor 3 digunakan untuk anak-anak mulai usia 6 tahun, untuk wanita, dan

laki-laki ukuran sedang. Bilah nomor 4 digunakan untuk laki-laki ukuran besar.

Kekurangan atau kelemahan dari laringoskop Macintosh ini adalah bahwa

pada beberapa keadaan seperti pasien dengan tulang servikal yang tidak stabil,

pasien dengan gerakan sendi temporo mandibular yang terbatas atau yang

mempunyai kelainan jalan napas atas, laringoskopi direk dengan laringoskop

konvensional sukar atau bahkan tidak mungkin dilakukan.

Page 56: Renol Hamonangan Simatupang

Gambar 2.8. Blade laringoskop Macintosh (Dorsch, 2007).

Dalam melakukan intubasi, waktu yang tepat sangat menentukan dalam

mulusnya intubasi yang kita lakukan. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila

kedalaman anestesia yang telah tercapai. Kedalaman anestesia yang telah tercapai,

ditandai dengan tidak terjadinya respon terhadap jaw thrust. Sedangkan tanda lain

seperti relaksasi rahang, henti napas, dan mudah dilakukan ventilasi dengan

facemask, merupakan tanda yang tidak pasti. Kehilangan kontak verbal dan reflek

bulu mata adalah tanda-tanda yang dapat diandalkan. Laringoskopi yang

dilakukan oleh orang yang belum berpengalaman akan berpengaruh pada

visualisasi pita suara dan berpengaruh pada waktu yang dibutuhkan untuk

mencapai visualisasi yang diharapkan seperti pada orang yang telah

berpengalaman.

Page 57: Renol Hamonangan Simatupang

2.7 Posisi Pemeriksaan

Pada penelitian awal dengan menggunakan Mallampati skor, pemeriksaan

dilakukan dengan cara pasien duduk. Kemudian pemeriksaan ULBT dilakukan

dengan cara pasien berbaring terlentang diatas alas yang datar.

Pertimbangan dari pemilihan pasien dengan cara baring terlentang

berdasarkan beberapa alasan. Pertama, mengevaluasi jalan napas dengan posisi

seperti akan melaksanakan intubasi dengan memakai laringoskop adalah cara

yang ideal, hal ini dikarenakan sifat tulang hioid yang bebas bergerak,

kemungkinan untuk terjadinya perubahan dimensi dan posisi oleh karena efek

gravitasi menjadi suatu pertimbangan (Sutthiprapaporn, 2008).

Skor Mallampati di nilai dengan menggunakan klasifikasi Mallampati.

Pasien duduk dengan mulut terbuka maksimal, lidah menjulur dan tanpa fonasi.

Kelas 1 dan 2 diperkirakan mudah dilakukan laringoskopi. Kelas 3 dan 4

diperkirakan sulit untuk dilakukan laringoskopi (Mallampati dkk., 1985).

Upper lip bite test (ULBT) dinilai dengan menggunakan skor ULBT.

pasien berbaring terlentang diatas alas yang datar, kemudian dinilai kemampuan

pasien untuk menutupi mukosa atas bibir dengan incisor bawah. Kelas 1 dan 2

diperkirakan mudah untuk dilakukan laringoskopi, sedangkan kelas 3 diperkirakan

sulit untuk dilakukan laringoskopi (Khan, 2009).

2.8 Penelitian Diagnostik

Penelitian diagnostik meneliti tentang bagaimana cara mendiagnosis

penyakit, cara mudah untuk memahaminya adalah dengn mengingat prinsip utama

Page 58: Renol Hamonangan Simatupang

penelitian diagnositik tersebut, yaitu “pelaksanaan penelitian diagnostik meniru

praktek dokter sehari-hari ketika melakukan langkah-langkah untuk mendiagnosis

pasien”. Dalam praktek sehari-hari seorang dokter memutuskan untuk memilih

suatu pemeriksaan jika pemeriksaan tersebut mempunyai keunggulan relatif

terhadap pemeriksaan lain. Keunggulan tersebut dapat berupa nilai diagnostic

yang lebih tinggi, harga yang lebih terjangkau, tidak memerlukan keahlian khusus,

tersedia dengan mudah, pemeriksaan lebih sederhana, pemeriksaan lebih tidak

beresiko, atau hasil pemeriksaan lebih cepat. Salah satu atau lebih dari alas an

tersebut harus menjadi latar belakang mengapa suatu penelitian diagnostik

dilakukan (M.Sopyudin, 2009).

2.8.1 Desain penelitian diagnostik

Desain penelitian diagnostik adalah desain potong lintang (cross

sectional), dimana pengambilan data untuk setiap subjeknya dilakukan pada satu

unit waktu. Dari segi desain, terdapat dua kesalahan yang sering terjadi. Pertama,

menamakan desain uji diagnostik sebagai desain kohort/prospektif. Kedua,

menggunakan desain kasus control (case control) untuk penelitian diagnostik.

Kesalahan pertama disebabkan karena persepsi bahwa rangkaian

pemeriksaan diagnostic dilakukan pada waktu yang berbeda sehingga dinamakan

sebagai desain kohort. Pendapat ini dapat diluruskan dengan dua cara. Pertama,

seandainya persepsi tersebut benar, maka tidak aka nada penelitian potong lintang

(cross sectional) karena tidak aka nada data yang benar-benar diambil pada waktu

yang sama. Kedua, yang dimaksud dengan waktu yang sama pada penelitian

Page 59: Renol Hamonangan Simatupang

potong lintang adalah “satu unit waktu”. Unit waktu bias saja detik, menit, jam,

hari bahkan bulan.

Kesalahan kedua. Desain kasus kontrol berpengaruh pada prior

probability dari penelitian. Satu-satunya faktor yang mempengaruhi prior

probability pada penelitian diagnostic adalah prevalensi penyakit. Semakin tinggi

prevalensi penyakit, semakin tinggi pula prior probability nya. Apabila desain

kasus kontrol digunakan pada penelitian diagnostic, maka prevalensi penyakit

ditentukan oleh perbandingan kasus dengan kontrol. Apabila perbandingan kasus

dengan kontrol 1:1 maka prevalensi penyakit menjadi sebesar 50%. Padahal fakta

sebenarnya bisa saja prevalensi penyakit bukan 50%. Apabila perbandingan kasus

dengan control 1:3 maka prevalensi penyakit menjadi sebesar 25%. Padahal fakta

sebenarnya bias saja prevalensi penyakit bukan 25% (M.Sopyudin, 2009).

2.8.2 Baku emas (Gold standard) atau reference standard

Pada setiap penelitian diagnostik, harus ada baku emas atau reference

standard. Baku emas adalah pemeriksaan yang dijadikan sebagai rujukan akhir

untuk menentukan apakah pasien menderita suatu penyakit atau tidak. Bila hasil

pemeriksaan adalah positif, maka kita menerima bahwa hasil pemeriksaan adalah

positif. Bila hasil pemeriksaan negative, maka kita menerima bahwa hasil

pemeriksaan adalah negative. Baku emas harus independen terhadap hasil

pemeriksaan indeks. Artinya tidak boleh ada komponen indeks. Misalnya, jika

pada suatu penelitian baku emasnya adalah hasil pemeriksaan darah, maka pada

indeks tidak boleh ada pemeriksaan gula darah (M.Sopyudin, 2009).

Page 60: Renol Hamonangan Simatupang

2.8.3 Indeks

Dalam penelitian diagnostik, pemeriksaan yang sedang diteliti dinamakan

sebagai indeks. Syarat dari sebuah indeks adalah mempunyai nilai diagnostik yang

lebih rendah daripada baku emas, bukan salah satu komponen dari baku emas, dan

mempunyai kelebihan relative terhadap indeks lain atau terhadap baku emas.

Kelebihan relatif tersebut dilihat dari segi nilai diagnostik, kemudahan, kemampu-

laksanaan, kecepatan, atau harga/biaya yang lebih rendah (M.Sopyudin, 2009).

2.8.4 Analisa penelitian diagnostik

Terdapat tiga cara untuk menganalisis penelitian diagnostik yaitu analisis

tabel 2x2, analisis kurva Receiver Operatung Characteristic (ROC), dan analisis

multivariat berjenjang. Dengan tabel 2x2 kita akan memperoleh nilai sensitivitas,

sfesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif, rasio

kemungkinan negative, dan akurasi. Dengan metode ROC, akan diperoleh area

under the curve (AUC), serta titik potong yang direkomendasikan. Dengan titik

potong tersebut, kita dapat memperoleh keluaran seperti yang diperoleh analisa

tabel 2x2. Analisa berjenjang dilakukan dengan menggunakan analisa multivariat

regresi logistik.

Titik potong (Cut off point) adalah nilai batas antara normal dan abnormal,

atau nilai batas hasil uji positif dan hasil uji negatif. Dalam menentukan titik

potong ini harus dilakukan tawar-menawar, karena peningkatan sensitivitas akan

menyebabkan penurunan spesifisitas dan sebaliknya. Dalam tawar-menawar ini

peneliti harus memperhatikan kepentingan uji diagnostik tersebut, apakah uji

Page 61: Renol Hamonangan Simatupang

tersebut lebih dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis penyakit ataukah untuk

menyingkirkan penyakit.

Receiver Operating Characteristic (ROC) merupakan suatu cara untuk

menentukan titik potong dalam suatu uji diagnostik, berupa grafik yang

menggambarkan tawar menawar antara sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas

digambarkan pada ordinat Y sedangkan (1-spesifisitas) digambarkan pada aksis

X. garis diagonal terdiri atas titik dengan nilai sensitivitas = 1-spesifisitas. Makin

dekan kurva ROC ke garis diagonal, makin buruk hasilnya. Titik potong yang

terbaik adalah titik terjauh di sebelah kiri atas garis diagonal.

Setelah hasil uji diagnostik diketahui normal atau abnormal, maka langkah

selanjutnya adalah menentukan ada atau tidak adanya penyakit. Nilai prediksi

positif adalah probabilitas seseorang menderita penyakit apabila uji diagnostiknya

positif. Sedangkan nilai prediksi negatif adalah probabilitas seseorang tidak

menderita penyakit apabila uji diagnostiknya negatif.

Setelah itu dilanjutkan dengan analisis berjenjang untuk melihat model

diagnostik yang bermakna serta variabel demografi dan prediktor yang

independen terhadap variabel terikat. Ini dilakukan dengan menggunakan analisis

multivariat regresi logistik dengan hasil keluaran berjenjang (M.Sopyudin, 2009).

Page 62: Renol Hamonangan Simatupang

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir

Kerangka wajah dan jaringan lunak pada berbagai ras di dunia memiliki

variasi susunan yang besar. Hal ini diperkirakan memiliki pengaruh terhadap hasil

prediktor yang baik untuk suatu ras. Sehingga prediksi intubasi yang dilakukan di

berbagai negara juga menghasilkan variasi yang sangat banyak.

Intubasi (pemasangan pipa endotrakea) adalah salah satu cara untuk

mempertahankan keadekuatan pertukaran gas. Teknik ini merupakan bentuk

manajemen jalan napas yang juga bermanfaat untuk mencegah aspirasi dan

memberikan ventilasi mekanik. Namun, jika prosedur intubasi yang dilakukan

tiba-tiba mengalami kesulitan dan tidak diantisipasi sebelumnya dapat

membahayakan nyawa pasien dan bahkan menyebabkan kematian. Salah satu hal

yang dapat menggagalkan intubasi

endotrakea adalah kesulitan dalam

memvisualisasikan laring dengan laringoskop.

Sulit intubasi adalah suatu keadaan dimana dibutuhkannya 3 kali

kesempatan untuk berhasil memasukkan pipa endotrakea dengan laringoskop

konvensional atau bila menggunakan satuan waktu maka sulit intubasi adalah

keadaan dimana keberhasilan memasukkan pipa endotrakea memerlukan waktu

lebih dari 10 menit

Page 63: Renol Hamonangan Simatupang

Sulit visualisasi laring (DVL) adalah penyebab terbanyak kesulitan

intubasi. Klasifikasi untuk memvisualisasi laring yaitu dengan memakai skor

Cormack–Lehane. Oleh Cormack-Lehanne derajat 1 dan 2 diasosiasikan sebagai

intubasi yang mudah sedangkan derajat 3 dan 4 diasosiasikan sebagai intubasi

yang sulit.

Penelitian-penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa nilai dari tes

skrining untuk sulit intubasi adalah terbatas bila hanya menggunakan satu tes saja

secara tunggal, dengan kata lain tidak ada faktor anatomi tunggal yang dapat

menentukan kemudahan dalam melakukan laringoskopi sehingga diperlukan

kombinasi beberapa tes atau prediktor untuk menambah nilai diagnosis.

Upper lip bite test (ULBT) merupakan prediktor terbaru sebagai teknik

yang sangat sederhana untuk memprediksi kesulitan intubasi. Upper lip bite test

(ULBT) adalah menilai kemampuan pasien untuk menutupi mukosa atas bibir

dengan incisor bawah.

Skor Mallampati menilai rasio ukuran lidah atau faring, dinilai dengan

cara pasien duduk dengan posisi wajah menghadap ke depan, mulut dibuka

maksimal dan lidah dijulurkan keluar tanpa mengeluarkan suara, untuk

memprediksi kesulitan visualisasi laring.

Belum ada satu landasan anatomi yang dilaporkan memiliki akurasi untuk

prediktor kesulitan intubasi, sehingga menyebabkan tidak adanya indeks

multifaktorial yang diperoleh dengan satu pengukuran.

Page 64: Renol Hamonangan Simatupang

3.2 Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.3. Hipotesis Penelitian

ULBT dan mallampati memiliki Korelasi yang baik bila dikombinasikan

sebagai model diagnostik prediktor sulit intubasi pada pasien-pasien yang akan

menjalani operasi di RSUP Sanglah Denpasar.

Demografi :

- Usia

- Tinggi badan

- Berat badan

- Indeks massa

tubuh

Kesulitan Intubasi

Skor

Mallampatiati

Skor

ULBT

Laringoskopi

Visualisasi Laring

Baku emas: Cormack-Lehane

Page 65: Renol Hamonangan Simatupang

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan uji diagnostik terhadap dua jenis pemeriksaan

preoperasi yang dibandingkan dengan standar emas pemeriksaan laringoskopi

direk untuk memprediksi kesulitan visualisasi laring.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Rawat Darurat

RSUP Sanglah, dari bulan November 2014 sampai Desember 2014, setelah

mendapat persetujuan panitia tetap penilai etik penelitian FK UNUD RSUP

Sanglah dan persetujuan tertulis dari pasien yang telah mendapat penjelasan

mengenai tujuan dan manfaat penelitian.

4.3. Penentuan Sumber Data

4.3.1 Populasi Target

Target Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien dewasa yang akan

menjalani operasi berencana dengan anestesia umum di ruang operasi Instalasi

Bedah Pusat, yang memenuhi kriteria penerimaan.

4.3.2. Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau adalah semua pasien dewasa yang akan menjalani

operasi berencana dengan anestesia umum dengan pemasangan pipa endotrakeal

Page 66: Renol Hamonangan Simatupang

di ruang operasi Instalasi Bedah Pusat RSUP Sanglah Denpasar dari bulan

November 2014 sampai Desember 2014.

4.3.3 Tehnik Pengambilan Sampel

Dari populasi terjangkau diambil sampel penelitian secara consecutive

sampling.

4.4. Perhitungan Besar Sampel

Jumlah sampel minimal pada penelitian diagnostik berjenjang ini dihitung

menggunakan rumus besar sampel untuk analisis diagnostik dengan keluaran

model berjenjang.

1. Role of thumb

N = 10-50 x VB, dimana VB adalah variabel bebas.

N = 10-50 x 2 = 20 -100 subjek

2. Rule of thumb dengan faktor koreksi

N = 10 x VB/p

Jumlah variabel bebas adalah 2 variabel.

Nilai p ditentukan dari prevalensi kesulitan penilaian laring yaitu berdasarkan

penelitian Eka 15,7%, sehingga N = 10 x 2/0.157 = 128 subjek

3. Tiap variable dihitung dengan pendekatan bivariat, dengan menggunakan

rumus keluaran tabel 2 x 2.

untuk mallampati :

Page 67: Renol Hamonangan Simatupang

Keterangan:

n : besar sampel

sen : sensitivitas yang didapatkan pada penelitian sebelumnya, dimana

Jain Shah (2013), mendapatkan sensitivitas mallampati 70,15%.

Zα : tingkat kemaknaan, ditetapkan sebesar 1,96

d : presisi penelitian, ditetapkan sebesar 0,05

Dari perhitungan didapatkan jumlah sampel : 322 subjek.

Dengan cara yang sama untuk ULBT :

Keterangan:

n : besar sampel

sen : sensitivitas yang didapatkan pada penelitian sebelumnya, dimana

Jain Shah (2013), mendapatkan sensitivitas ULBT 74,63%

Zα : tingkat kemaknaan, ditetapkan sebesar 1,96

d : presisi penelitian, ditetapkan sebesar 0,05

Didapatkan jumlah sampel : 291 subyek.

Berdasarkan dari seluruh perhitungan diatas, besar sampel yang diperlukan

adalah 322 subyek, karena merupakan hasil perhitungan sampel terbesar, yaitu

sampel yang dihasilkan oleh rumus ketiga.

Page 68: Renol Hamonangan Simatupang

4.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

4.5.1. Kriteria Inklusi

a. Pasien yang menjalani operasi berencana dengan anestesia umum

pemasangan pipa endotrakea.

b. Pasien berusia 16-65 tahun.

c. Pasien status fisik ASA 1 atau 2.

d. Setuju mengikuti penelitian dan menandatangani informed consent.

4.5.2. Kriteria Eksklusi

a. Pasien dengan kemungkinan sulit ventilasi.

b. Pasien dengan resiko terjadinya perdarahan yang tinggi akibat tindakan

laringoskopi.

c. Pasien dengan trauma jalan napas.

d. Adanya keterbatasan membuka mulut < 3 cm.

e. Adanya tumor pada jalan nafas.

f. Pasien luka bakar akut dengan trauma inhalasi

g. Pasien dengan gangguan gerakan daerah leher.

h. Pasien dengan gigi depan atas menonjol.

i. Pasien dengan ketebalan bibir atas >14 mm.

j. Pasien dengan infeksi saluran napas atas.

k. Pasien dengan kelainan anatomi/ sindrom (lidah besar, leher pendek,

micrognathia, prognatishme).

Page 69: Renol Hamonangan Simatupang

4.6. Alat dan Bahan Kerja

4.6.1. Alat yang Digunakan

a. Alat monitor EKG

b. Alat pemantauan tekanan darah non invasif otomatis,

c. Alat monitor oksimeter

d. Spuit 2,5 cc, 5 cc dan 10 cc.

e. Sarung tangan

f. Set laringoskopi (Macintosh) dan bilah nomor 3 dan nomor 4

g. Alat tulis dan formulir penelitian

h. Selang infus, kanula vena ukuran 20 G atau 18 G

4.6.2. Bahan Yang Digunakan

a. Cairan infus Ringer Laktat

b. Obat premedikasi Midazolam

c. Analgetik Fentanyl

d. Obat induksi Propofol

e. Obat pelumpuh otot Atracurium

4.7. Cara Kerja

a. Penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan dari komite etik

penelitian kedokteran FK UNUD dan RSUP Sanglah

b. Pasien yang terseleksi diberikan penjelasan tentang tata cara penelitian

dan diminta menandatangani surat persetujuan penelitian

Page 70: Renol Hamonangan Simatupang

c. Dilakukan penilaian pasien berdasarkan kriteria penerimaan dan

pengeluaran.

d. Pasien dinilai skor Mallampati dan skor ULBT pada saat kunjungan

praanesthesi diruangan.

e. Pasien dinilai skor Mallampati dengan posisi duduk, menjulurkan lidah

tanpa mengeluarkan suara dengan pandangan lurus ke depan.

f. Penilaian ULBT dengan posisi berbaring terlentang.

g. Setelah penderita berbaring di atas meja operasi, dipasang monitor

tekanan darah, EKG dan oksimeter, pemasangan jalur infus jika belum

terpasang.

h. Diberikan premedikasi midazolam 0,05 mg/kg BB, analgetik fentanil 2-

3 mcg/kgBB. Satu menit kemudian dilakukan induksi dengan Propofol

2-3mg/kgBB. Setelah reflex bulu mata hilang, dilakukan bantuan

ventilasi dengan oksigen 100 % Anestesia volatil memakai isofluran

dengan MAC 1%. Kemudian diberikan atracurium 0,5 mg/kg BB.

Laringoskopi dilakukan setelah dinilai kedalaman anestesia telah

adekuat yaitu rahang lemas dan tidak ada respon motorik pada

pengangkatan rahang atau 3 menit setelah pemberian Atracurium.

i. Laringoskopi dilakukan oleh residen anestesiologi semester 5-6 (pin

hijau), dengan memakai laringoskop Macintosh nomor yang sesuai

sampai ujung bilah pada valekula dan kemudian diangkat hingga pita

suara terlihat.

j. Dilakukan penilaian skor Cormack Lehane tanpa menekan krikoid.

Page 71: Renol Hamonangan Simatupang

4.8. Alur penelitian

Gambar 4.1. Alur Penelitian

Pasien dengan anastesia umum yang memenuhi kriteria

penerimaan, dan telah mendapat inform consent

Preoperasi di ruang rawat atau triase Bedah

Di kamar bedah

- Pemasangan alat monitor (EKG, Saturasi O2, Tensimeter)

Pemasangan jalur intravena ;

- Persiapan mesin anesthesia dan obat obatan darurat

Induksi anestesia

Sedasi Midazolam 0,05 mg

Fentanil 2-3 mcg / Kg BB

Induksi dengan Propofol 2 mg/Kg BB

Setelah pasien tertidur diberikan Atracurium 0,5

mg/KgBB, Oksigenasi 100% dengan isofluran atau

sevofluran dengan MAC 1%

Setelah 3 menit

Visualisasi laring dengan laringoskopi direk

menggunakan bilah Macintosh ukuran yang sesuai tanpa

penekanan krikoid

Intubasi pipa endotrakea

Analisis data

Penilaian skor Mallampati

Penilaian skor Upper lip Bite test (ULBT)

Page 72: Renol Hamonangan Simatupang

4.9. Definisi Operasional Variabel

a. Laringoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk

memvisualisasikan pita suara dengan memakai laringoskop

b. Intubasi adalah suatu tindakan untuk memasang pipa endotrakea

c. Kesulitan intubasi adalah adanya kesulitan dalam memasukkan

pipa endotrakea ke dalam trakea setelah dilakukan usaha sebanyak

3 kali. Atau atau lebih 10 menit usaha percobaan dengan

menggunakan laringoskop konvensional yang dilakukan oleh

dokter anestesiologi yang berpengalaman. Kesulitan intubasi

didasarkan atas kesulitan visualisasi laring yang diwakili oleh

Cormack-Lehane derajat 3 dan 4.

d. Posisi laringoskopi dengan sniffing position yaitu posisi pada saat

laringoskopi dengan kepala berada diatas bantal (leher fleksi

terhadap dada) dengan kepala ekstensi terhadap leher, akan

membuat semua aksis (aksis oral, aksis faring dan aksis laring)

dalam 1 garis lurus.

e. Pelaku laringoskopi adalah residen anestesiologi anestesiologi

minimal semester 5-6 (pin hijau)

f. Status fisik : ASA I adalah pasien sehat organik, fisiologik,

psikiatrik dan biokimia, sedangkan ASA II adalah pasien dengan

penyakit sistemik ringan atau sedang.

Page 73: Renol Hamonangan Simatupang

g. Upper lip bite test adalah menilai kemampuan pasien untuk

menutupi mukosa atas bibir dengan incisor bawah. Dibagi menjadi

tiga :

Kelas I : Lower incisors dapat

menjangkau bibir atas,

diatas vermilion line

Kelas II : Lower incisors dapat

menjangkau bibir atas,

dibawah vermilion line

Kelas III : Lower incisors tidak dapat menjangkau bibir

Atas

Prediksi kesulitan intubasi di asosiasikan pada Skor III.

h. Skor Mallampati yang merupakan rasio ukuran lidah atau faring,

dinilai dengan cara pasien duduk dengan posisi wajah menghadap

ke depan, mulut dibuka maksimal dan lidah dijulurkan keluar tanpa

mengeluarkan suara, terdiri atas :

Kelas I : Tampak palatum molle, palatum durum,

uvula, pillar tonsil anterior dan posterior

Kelas II : Tampak palatum molle, palatum durum

dan uvula

Kelas III : Tampak palatum molle dan dasar uvula

Klas IV : Tak tampak palatum molle

Prediksi kesulitan intubasi di asosiasikan pada kelas III dan IV.

Page 74: Renol Hamonangan Simatupang

i. Status fisik : ASA I adalah pasien sehat organik, fisiologik,

psikiatrik dan biokimia, sedangkan ASA II adalah pasien dengan

penyakit sistemik ringan atau sedang.

j. Skor Cormack-Lehane adalah skor yang membagi gambaran laring

atas pada saat laringoskopi :

Derajat 1 : Pita suara terlihat semua

Derajat 2 : Tampak sebagian glotis atau aritenoid

Derajat 3 : Hanya terlihat epiglotis

Derajat 4 : Tidak terlihat epiglotis bahkan glotis

k. Umur adalah usia yang tercatat di Rekam Medis.

l. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang tercatat di Rekam Medis.

m. Berat badan adalah berat badan yang tercatat pada evaluasi pra-

anastesi dalam satuan kilogram.

n. Indeks massa tubuh adalah perhitungan berat badan dalam

kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter.

4.10. Analisis Data

Hasil pengamatan dicatat pada formulir, yang selanjutnya ditabulasi dan

dianalisis. Langkah-langkah analisis dimulai dengan melakukan analisis terhadap

variabel demografis yang ada dengan hasil berupa rerata dan nilai median,

kemudian dilanjutkan dengan analisis masing-masing variabel utama dengan

keluaran sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif.

Page 75: Renol Hamonangan Simatupang

Selanjutnya juga akan dianalisis dengan kurva ROC dengan keluaran

berupa area under the curve (AUC) dan titik potong (cutoff point). Selanjutnya

dilakukan analisa hubungan antar variabel.

Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram dan

dianalisis menggunakan program stata SE 12.1.

4.11. Etika Penelitian

Penelitian ini telah mendapat ijin dan kelaikan etik atau ethical clearance

dari Unit Penelitian dan Pengembangan atau Litbang Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar No:

1471/UN.14.2/Litbang/2014 tertanggal 03 Desember 2014. Penelitian ini juga

telah mendapat ijin dari Rumah Sakit Pusat Sanglah Denpasar untuk melakukan

penelitian di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar tertanggal 08

Desember 2014 No: LB.02.01/II.C5.D12/17548/2014.

Page 76: Renol Hamonangan Simatupang

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan uji diagnostik bertingkat pada pasien dengan

rentang usia 16-65 tahun yang menjalani operasi dengan anestesia umum

pemasangan pipa endotrakeal yang dilaksanakan di ruang operasi Instalasi Bedah

Sentral dan Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

Penilaian ULBT dan Mallampati dilakukan pada saat preoperasi di ruangan rawat

dan penilaian Cormack-Lehane dilakukan pada saat laringoskopi di kamar

operasi.

Total sampel yang diambil sebanyak 322 pasien yang memenuhi kriteria

inklusi sebagai subyek penelitian, serta bersedia mengikuti penelitian dan setuju

menandatangani informed consent. Pengambilan sampel berlangsung pada periode

November 2014 sampai Desember 2014.

5.1 Data Karakteristik Sampel

Total sampel 322 orang, terdiri atas 153 (47,5%) orang laki-laki dan 169

(52,4%) orang perempuan dengan rerata usia + SD adalah 42,2 +13,8 tahun, rerata

berat badan + SD adalah 59,3 + 10,3 kg, rerata tinggi badan + SD adalah 161,1 +

7,4 cm dan rerata indeks massa tubuh + SD adalah 22,7 + 3,0 kg/m2.

Gambaran karakteristik sampel ditunjukkan pada tabel 5.1. Dimana data

kuantitatif disajikan dalam bentuk rerata + SD dan data kualitatif disajikan dalam

bentuk frekuensi (persentase). Umur, berat badan, tinggi badan dan indeks massa

Page 77: Renol Hamonangan Simatupang

tubuh merupakan data kuantitatif, sedangkan yang digolongkan sebagai data

kualitatif adalah jenis kelamin.

Tabel 5.1 Gambaran karakteristik sampel

Karakteristik sampel Nilai

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

153 (47,5%)

169 (52,4%)

Usia 42,2 +13,8

Berat badan 59,3 + 10,3

Tinggi badan 161,1 + 7,4

Indeks massa tubuh 22,7 + 3,0

5.2 Analisis Uji Diagnostik

Pada penelitian ini Skor ULBT 1 dan 2 dianggap sebagai prediktor mudah

intubasi, sedangkan ULBT 3 dianggap sebagai prediktor sulit intubasi. Pada

penelitian ini kelompok skor ULBT 1 dan 2 didapatkan EVL sebanyak 254 orang

(78,9%), sedangkan DVL sebanyak 49 orang (15,2%). Pada kelompok skor ULBT

3 tidak didapatkan EVL (0 orang) sedangkan DVL sebanyak 19 orang (5,9%).

Skor Mallampati 1 dan 2 dianggap sebagai prediktor mudah intubasi,

sedangkan 3 dan 4 dianggap sebagai prediktor sulit intubasi. Pada kelompok skor

Mallampati 1 dan 2 didapatkan EVL sebanyak 245orang (76,1%), sedangkan

DVL sebanyak 21 orang (6,5%). Pada kelompok skor Mallampati 3 dan 4

didapatkan EVL sebanyak 9 orang (2,8%) sedangkan DVL sebanyak 47 orang

(14,6%).

Pada penelitian ini didapatkan skor Cormack-Lehane yang terbanyak

adalah Cormack-Lehane 1 sebanyak 132 orang (40,9%), Cormack-Lehane 2

sebanyak 122 orang (37,9%), Cormack-Lehane 3 sebanyak 54 orang (16,8%) dan

Page 78: Renol Hamonangan Simatupang

Cormack-Lehane 4 sebanyak 14 orang (4,3%). Mudah dalam visualisasi laring

(EVL) didefinisikan sebagai skor Cormack-Lehane 1-2 didapatkan 254 orang

(78,8%), sedangkan sulit dalam visualisasi laring (DVL) didefinisikan sebagai

skor Cormack-Lehane 3-4 sebanyak 68 orang (21,1%).

Pada korelasi secara paralel yang menjadi kategori inti adalah apabila

ditemukan salah satu prediktor sulit dalam visualisasi laring (ULBT 3 atau

Mallampati 3 dan 4) maka kesimpulannya adalah sulit dalam visualisasi laring

(Cormack-Lehane 3 dan 4). Kategori korelasi prediktor secara paralel dapat dilihat

pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Kategori korelasi prediktor secara paralel

Kategori ULBT Mallampati Cormack-Lehane

0 EVL EVL EVL

1 EVL/DVL DVL/EVL DVL

2 DVL DVL DVL

Untuk mendapatkan cutoff point, kategori ini harus di sederhanakan

kembali menjadi 2 kategori, sehingga kategori yang hasilnya sama (kategori 1 dan

kategori 2) digabung menjadi satu, sehingga didapatkan kategori korelasi secara

paralel seperti pada table 5.3.

Tabel 5.3 Rekategori korelasi prediktor secara paralel

Kategori ULBT Mallampati Cormack-Lehane

0 EVL EVL EVL

1 EVL/DVL/DVL DVL/EVL/DVL DVL

Page 79: Renol Hamonangan Simatupang

Pada penelitian ini, pada kelompok Kategori 0 didapatkan EVL sebanyak

245orang (76,1%), sedangkan DVL sebanyak 18 orang (5,6%). Pada kelompok

kategori 1 didapatkan EVL sebanyak 9 orang (2,8%) sedangkan DVL sebanyak

50 orang (15,5%).

Pada korelasi secara seri yang menjadi kategori inti adalah apabila

ditemukan salah satu prediktor mudah dalam visualisasi laring (ULBT 1 dan 2

atau Mallampati 1 dan 2) maka kesimpulannya adalah mudah dalam visualisasi

laring (Cormack-Lehane 1 dan 2). Kategori korelasi prediktor secara seri dapat

dilihat pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Kategori korelasi prediktor secara seri

Kategori ULBT Mallampati Cormack-Lehane

0 EVL EVL EVL

1 EVL/DVL DVL/EVL EVL

2 DVL DVL DVL

Untuk mendapatkan cutoff point, kategori ini harus di sederhanakan

kembali menjadi 2 kategori, sehingga kategori yang hasilnya sama (kategori 0 dan

kategori 1) digabung menjadi satu menjadi kategori 0, dan kategori 2 menjadi

kategori 1, sehingga didapatkan kategori korelasi secara seri seperti pada tabel

5.5.

Tabel 5.5 Rekategori korelasi prediktor secara seri

Kategori ULBT Mallampati Cormack-Lehane

0 EVL/EVL/DVL EVL/DVL/EVL EVL

1 DVL DVL DVL

Page 80: Renol Hamonangan Simatupang

Pada korelasi secara seri ini, pada kelompok skor korelasi 0 didapatkan

EVL sebanyak 254 orang (78,9%), sedangkan DVL sebanyak 52 orang (16,1%).

Pada kelompok skor korelasi 1 tidak didapatkan EVL (0 orang) sedangkan DVL

sebanyak 16 orang (5%).

5.2.1 Analisis skor ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi

Skor ULBT 1 dan 2 dianggap sebagai prediktor mudah intubasi,

sedangkan ULBT 3 dianggap sebagai prediktor sulit intubasi. Pada kelompok

skor ULBT 1 dan 2 didapatkan EVL sebanyak 254 orang (78,9%), sedangkan

DVL sebanyak 49 orang (15,2%). Pada kelompok skor ULBT 3 tidak didapatkan

EVL (0 orang) sedangkan DVL sebanyak 19 orang (5,9%).

Melalui uji diagnostik dengan tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas

sebesar 27,9% (95% CI: 17,7-40,1%), spesifisitas 100% ( 95% CI: 98,6-100%),

NPP 100% (95% CI: 82.4-100%) dan NPN 83,8% ( 95% CI: 79,2-87.8%). Tabel

2x2 dari skor ULBT digambarkan pada tabel 5.5

Tabel 5.6 Tabel 2 x 2 skor ULBT

Klasifikasi Cormack-Lehane Total

Sulit Tidak sulit

Skor ULBT Sulit 19 0 19

Tidak sulit 49 254 303

Total 68 254 322

Nilai sensitivitas : 27,9% (95% CI: 17,7-40,1%)

Nilai spesifisitas : 100% ( 95% CI: 98,6-100%)

Nilai prediksi positif (NPP) : 100% (95% CI: 82.4-100%)

Nilai prediksi negatif (NPN) : 83,8% ( 95% CI: 79,2-87.8%)

Page 81: Renol Hamonangan Simatupang

Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 63,9% (95% CI: 58,6-69.3%).

Kurva ROC skor ULBT terhadap skor Cormack-Lehane digambarkan pada

gambar 5.1.

Gambar 5.1 Kurva ROC skor ULBT terhadap skor Cormack-Lehane

Tabel 5.7 Analisis ROC skor ULBT

Objects

ROC

Area

Std.

Error

Asymtotic Normal (95% CI )

Lower bound Upper bound

322 0,6397 0,0274 0,58598 0,69343

5.2.2 Analisis skor Mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi

Skor Mallampati 1 dan 2 dianggap sebagai prediktor mudah intubasi,

sedangkan 3 dan 4 dianggap sebagai prediktor sulit intubasi. Pada kelompok skor

Mallampati 1 dan 2 didapatkan EVL sebanyak 245orang (76,1%), sedangkan

Page 82: Renol Hamonangan Simatupang

DVL sebanyak 21 orang (6,5%). Pada kelompok skor Mallampati 3 dan 4

didapatkan EVL sebanyak 9 orang (2,8%) sedangkan DVL sebanyak 47 orang

(14,6%).

Melalui uji diagnostik dengan tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas

sebesar 69,1% (95% CI: 56,7-79,8%), spesifisitas 96,5% ( 95% CI: 93,4-98,4%),

NPP 83,9% ( 95% CI: 71,7-92,4%) dan NPN 92,1% (95% CI: 88,2-95%). Tabel

2x2 dari skor mallampati digambarkan pada tabel 5.5

Tabel 5.8 Tabel 2 x 2 skor Mallampati

Klasifikasi Cormack-Lehane Total

Sulit Tidak sulit

Skor

Mallampati

Sulit 47 9 56

Tidak sulit 21 245 266

Total 68 254 322

Nilai sensitivitas : 69,1% (95% CI: 56,7-79,8%)

Nilai spesifisitas : 96,5% ( 95% CI: 93,4-98,4%)

Nilai prediksi positif (NPP) : 83,9% ( 95% CI: 71,7-92,4%)

Nilai prediksi negatif (NPN) : 92,1% (95% CI: 88,2-95%)

Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 82,8% (95% CI: 77,1-88,4%).

Kurva ROC skor Mallampati terhadap skor Cormack-Lehane digambarkan pada

gambar 5.2.

Page 83: Renol Hamonangan Simatupang

Gambar 5.2 Kurva ROC skor Mallampati terhadap skor Cormack-Lehane

Tabel 5.9 Analisis ROC skor Mallampati

Objects

ROC

Area

Std.

Error

Asymtotic Normal (95% CI )

Lower bound Upper bound

322 0,8279 0,0288 0,77140 0,88435

5.2.3 Analisis Korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel

Pada penelitian ini, pada kelompok skor korelasi 0 didapatkan EVL

sebanyak 245orang (76,1%), sedangkan DVL sebanyak 18 orang (5,6%). Pada

kelompok skor korelasi 1 didapatkan EVL sebanyak 9 orang (2,8%) sedangkan

DVL sebanyak 50 orang (15,5%).

Melalui uji diagnostik dengan tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas

sebesar 73,5% (95% CI: 61,4-83,5%), spesifisitas 96,5% ( 95% CI: 93,4-98,4%),

NPP 84,7% ( 95% CI: 73-92,8%) dan NPN 93,2% (95% CI: 89,4-95,9%). Tabel

Page 84: Renol Hamonangan Simatupang

2x2 dari korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel digambarkan

pada tabel 5.7

Tabel 5.10 Tabel 2x2 korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel

Klasifikasi Cormack-Lehane Total

Sulit Tidak sulit

Skor

korelasi

parallel

Sulit 50 9 59

Tidak sulit 18 245 263

Total 68 254 322

Nilai sensitivitas : 73,5% (95% CI: 61,4-83,5%)

Nilai spesifisitas : 96,5% ( 95% CI: 93,4-98,4%)

Nilai prediksi positif (NPP) : 84,7% ( 95% CI: 73-92,8%)

Nilai prediksi negatif (NPN) : 93,2% (95% CI: 89,4-95,9%)

Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 85% (95% CI: 79,6-90,4%).

Kurva ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel terhadap

skor Cormack-Lehane digambarkan pada gambar 5.3.

Gambar 5.3 Kurva ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara

paralel terhadap skor Cormack-Lehane

Page 85: Renol Hamonangan Simatupang

Tabel 5.11 Analisis ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara

paralel terhadap skor Cormack-Lehane

Objects

ROC

Area

Std.

Error

Asymtotic Normal (95% CI )

Lower bound Upper bound

322 0,8499 0,0276 0,79590 0,90396

5.2.4 Analisis Korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara seri

Pada penelitian ini, pada kelompok skor korelasi 0 didapatkan EVL

sebanyak 254 orang (78,9%), sedangkan DVL sebanyak 52 orang (16,1%). Pada

kelompok skor korelasi 1 tidak didapatkan EVL (0 orang) sedangkan DVL

sebanyak 16 orang (5%).

Melalui uji diagnostik dengan tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas

sebesar 23,5% (95% CI: 14,1-35,4%), spesifisitas 100% ( 95% CI: 98,6-100%),

NPP 100% ( 95% CI: 79,4-100%) dan NPN 33% (95% CI: 78,3-87%). Tabel 2x2

dari korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara seri digambarkan pada

tabel 5.7

Tabel 5.12 Tabel 2 x 2 korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara seri

Klasifikasi Cormack-Lehane Total

Sulit Tidak sulit

Skor

korelasi

parallel

Sulit 16 0 16

Tidak sulit 52 254 306

Total 68 254 322

Nilai sensitivitas : 23,5% (95% CI: 14,1-35,4%)

Nilai spesifisitas : 100% ( 95% CI: 98,6-100%)

Nilai prediksi positif (NPP) : 100% ( 95% CI: 79,4-100%)

Nilai prediksi negatif (NPN) : 33% (95% CI: 78,3-87%)

Page 86: Renol Hamonangan Simatupang

Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 61,8% (95% CI: 56,7-66,8%).

Kurva ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara seri terhadap

skor Cormack-Lehane digambarkan pada gambar 5.4.

Gambar 5.4 Kurva ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara

seri terhadap skor Cormack-Lehane

Tabel 5.13 Analisis ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara

seri terhadap skor Cormack-Lehane

Objects

ROC

Area

Std.

Error

Asymtotic Normal (95% CI )

Lower bound Upper bound

322 0,6176 0,0259 0,56686 0,66843

Page 87: Renol Hamonangan Simatupang

BAB VI

PEMBAHASAN

Sensitivitas dan nilai prediksi positif pada suatu prediktor sulit intubasi

seharusnya memiliki nilai yang tinggi, sehingga memiliki tingkat akurasi yang

tinggi juga untuk mengidentifikasi semua pasien-pasien yang diduga akan

mengalami kesulitan intubasi. Pada penelitian ini didapatkan Insiden terjadinya

kesulitan dalam visualisasi laring (DVL) sebesar 21,1%, hasil ini sesuai dengan

penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Lee pada tahun 2006, dimana pada 9

penelitian yang melibatkan 14.438 pasien dan didapatkan insiden DVL sebesar 6-

27% (Lee, 2006). Bila hasil ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Eka (2014) dapat disimpulkan angka insiden DVL di RSUP

Sanglah Denpasar sebesar 15,7%. Lebarnya variasi yang didapatkan bias saja

dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya karateristik sampel yang berbeda atau

pelaksana laringoskopi yang berbeda-beda.

6.1 ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi

Pada penelitian ini, cutoff point berdasarkan kriteria dari skor ULBT.

Untuk prediksi EVL adalah skor ULBT 1 dan 2, sedangkan prediksi DVL adalah

skor ULBT 3. Hasil penelitian ini, yang dilakukan melalui uji diagnostik dengan

tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas sebesar 27,9% (95% CI: 17,7-40,1%),

spesifisitas 100% ( 95% CI: 98,6-100%), NPP 100% (95% CI: 82.4-100%) dan

Page 88: Renol Hamonangan Simatupang

NPN 83,8% ( 95% CI: 79,2-87.8%), sedangkan dari kurva ROC didapat nilai

AUC sebesar 63,9%.

Hasil ini jauh berbeda dengan hasil penelitian Salimi pada tahun 2008 dan

Jain Shah pada tahun 2013 dimana Salimi mempublikasikan hasil penelitian

terhadap 350 pasien, dan menemukan bahwa upper lip bite test (ULBT)

merupakan prediktor yang baik untuk kesulitan laringoskopi intubasi dengan

sensitivitas 70,0% dan spesifisitas 93,3%, NPP 39,0% dan NPN 98,1%.

Sementara itu Jain Shah dkk. telah mempublikasikan hasil penelitian terhadap 480

pasien dewasa dan menemukan upper lip bite test (ULBT) sebagai prediktor yang

memiliki sensitivitas, spesifisitas, NPP, dan NPN (74,63%; 91,53%; 58,82%;

95,7%).

Perbedaan hasil dari penelitian ini dibandingkan dengan hasil yang

dilakukan Salimi dan Jain Shah dihubungkan dengan struktur kraniofasial yang

berbeda dari populasi sampel.

Susunan kerangka wajah dan jaringan lunak pada ras Melayu memiliki

perbedaan dengan ras Kaukasus, Israel, Cina, Korea, India Utara dalam analisis

sefalometrik (Munandar, 1992). Pada penelitian ini bila didapatkan hasil ULBT

kelas 1 dan 2 yang masuk kategori EVL sebanyak 254 orang (78,9%), sedangkan

DVL sebanyak 49 orang (15,2%), maka disarankan untuk menggunakan prediktor

lain untuk meningkatkan keakuratan dalam visualisasi laring. Pada kelompok skor

ULBT 3 tidak didapatkan EVL (0 orang) sedangkan DVL sebanyak 19 orang

(5,9%), dengan pengertian bila didapatkan ULBT dengan skor 3 maka bisa di

simpulkan bahwa memang benar akan didapatkan kesulitan visualisasi laring.

Page 89: Renol Hamonangan Simatupang

Dengan hasil uji diagnostik pada ULBT yang dilakukan pada penelitian

ini, dimana didapatkan nilai sensitivitas sebesar 27,9%, spesifisitas sebesar 100%

dan nilai NPP sebesar 100% serta dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar

63,9%, maka dapat disimpulkan bahwa ULBT adalah prediktor yang lemah

sebagai prediktor kesulitan intubasi di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.

6.2 Mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi

Penilaian mallampati telah banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan

intubasi. Penilaian berdasarkan struktur anatomi rongga mulut ini dipercaya

sebagai penilaian yang cukup mudah dalam meprediksi kesulitan laringoskopi

intubasi

Cut off point penelitian ini didapat berdasarkan kriteria dari skor

Mallampati. Dimana untuk prediksi EVL adalah skor Mallampati 1 dan 2,

sedangkan prediksi DVL adalah skor Mallampati 2 dan 3.

Pada uji diagnostik dari skor Mallampati, penelitian sebelumnya yang

dilakukan Jain Shah pada tahun 2013, mendapat hasil sensitivitas sebesar 70,4%,

Spesifisitas sebesar 61%, NPP sebesar 22,6%, dan NPN sebesar 92,6%.

Sementara penelitian ini mendapatkan nilai sensitivitas sebesar 69,1%, spesifisitas

96,5%, NPP 83,9% dan NPN 92,1%, sedangkan Dari kurva ROC didapat nilai

AUC sebesar 82,8%.

Namun pada penelitian yang dilakukan Huh pada populasi Korea

mendapatkan hasil dari nilai sensitivitas sebesar 12%, spesifisitas sebesar 94%,

NPP sebesar 20% dan NPN sebesar 88%. Sedangkan penelitian yang dilakukan

Page 90: Renol Hamonangan Simatupang

oleh Salomo dan Efendi mendapatkan hasil dari sensitivitas sebesar 10,7%,

spesifisitas sebesar 99,3%, NPP sebesar 60% dan NPN sebesar 91%.

Adanya Hasil sensitivitas yang berbeda dari masing-masing penelitian

kemungkinan dihubungkan dengan struktur kraniofasial yang berbeda masing-

masing populasi sampel serta penentuan dari cut off point yang berbeda dari

masing-masing penelitian.

Dengan hasil uji diagnostik pada Mallampati yang dilakukan pada

penelitian ini, dimana didapatkan nilai sensitifitas sebesar 69,1%, spesifisitas

sebesar 96,5%, dan NPP sebesar 83,9% serta dari kurva ROC didapat nilai AUC

sebesar 82,8%, maka dapat disimpulkan bahwa Mallapati adalah prediktor yang

baik sebagai prediktor kesulitan intubasi di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.

6.3 Korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel

Untuk ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi, penelitian ini

mendapatkan hasil sensitivitas sebesar 27,9% (95% CI: 17,7-40,1%), spesifisitas

100% ( 95% CI: 98,6-100%), NPP 100% (95% CI: 82.4-100%) dan NPN 83,8%

(95% CI: 79,2-87.8%), sedangkan Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar

63,9%.

Sedangkan untuk Mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi,

penelitian ini mendapatkan hasil sensitivitas sebesar 69,1%, spesifisitas 96,5%,

NPP 83,9% dan NPN 92,1%, sedangkan Dari kurva ROC didapat nilai AUC

sebesar 82,8%.

Page 91: Renol Hamonangan Simatupang

Dari hasil analisa korelasi secara paralel didapatkan hasil dari sensitivitas

sebesar 73,5%, spesifisitas sebesar 96,5%, NPP sebesar 84,7% dan NPN sebesar

93,2%, sedangkan dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 85%. Ini berarti

terjadi penambahan nilai diagnostik terhadap ULBT dan Mallampati apabila

dilakukan korelasi antara kedua prediktor kesulitan intubasi ini.

Hal ini sangat sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rudim Domi, 2009,

bahwa nilai dari tes skrining untuk sulit intubasi adalah terbatas bila hanya

menggunakan satu tes tunggal, dengan kata lain tidak ada faktor anatomi tunggal

yang dapat menentukan kemudahan dalam melakukan laringoskopi sehingga

diperlukan kombinasi beberapa tes atau prediktor untuk menambah nilai

diagnosis.

Dengan hasil korelasi paralel pada uji diagnostik ULBT dengan

Mallampati yang dilakukan pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa

korelasi keduanya adalah prediktor yang baik sebagai prediktor kesulitan intubasi

di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.

6.4 Korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara Seri

Dari hasil analisa korelasi secara seri didapatkan hasil dari sensitivitas

sebesar 23,5%, spesifisitas sebesar 100%, NPP sebesar 100% dan NPN sebesar

33%, sedangkan dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 61,8%.

Dari hasil ini dapat dilihat bahwa terjadi penurunan nilai dari sensitivitas

korelasi antara ULBT dengan Mallampati. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara

Page 92: Renol Hamonangan Simatupang

menentukan cut off point antara kedua bentuk korelasi yaitu korelasi secara paralel

dan korelasi secara seri.

Validitas diagnostik dari 2 prediktor sulit intubasi didapatkan Skor

Mallampati lebih baik dibandingkan skor ULBT. Walaupun nilai sensitivitas

mallampati tidak terlalu signifikan, namun dari hasil penelitian ini Mallampati

masih lebih baik dari ULBT. Penilaian Mallampati merupakan sebuah sistem

klasifikasi (Mallampati Score) untuk menghubungkan antara tampilan

oropharyngeal space dengan kemudahan laringoskopi direk (direct laryngoscopy)

dan intubasi trakeal. Skor Mallampati merupakan rasio ukuran lidah terhadap

faring. Sedangkan skor ULBT merupakan tehnik yang didasari pada jarak dan

keleluasaan daripada pergerakan mandibula dengan komposisi daripada gigi yang

memiliki peranan yang sangat penting dalam memfasilitasi laringoskopi intubasi.

Disini struktur dari kraniofasial sari setiap suku bangsa maupun ras memiliki

peranan yang sangat penting.

ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi tidak terlalu signifikan

berpengaruh pada susunan kerangka wajah dan jaringan lunak pada ras Melayu,

tetapi kemungkinan mempunyai nilai lebih apabila digunakan sebagai prediktor

kesulitan intubasi pada susunan kerangka wajah dan jaringan lunak pada ras yang

ada di Asia selatan dan Timur tengah.

Kurva ROC merupakan tawar menawar antara sensitivitas dan spesifisitas,

dimana luas daerah dibawah kurva (AUC) berkisar antara 0 sampai 1. Nilai AUC

mendekati 1 memiliki nilai validasi diagnostik yang paling baik.

Page 93: Renol Hamonangan Simatupang

Interpretasi nilai AUC dari kedua tes praanestesi untuk prediktor kesulitan

intubasi, untuk ULBT dengan nilai AUC 63,9% adalah lemah sebagai prediktor

sulit intubasi. Skor Mallampati dengan nilai AUC 82,8% adalah baik sebagai

prediktor sulit intubasi. Sedangkan ketika kedua prediktor yaitu ULBT dan

Mallampati dikorelasikan secara paralel didapatkan nilai AUC sebesar 85% yang

berarti adalah sangat baik sebagai prediktor sulit intubasi. Sedangkan ketika

ULBT dan Mallampati dikorelasikan secara seri didapatkan nilai AUC sebesar

61,8%, yang berarti adalah lemah sebagai prediktor intubasi.

Kelebihan penelitian ini adalah didapatkannya hasil nilai validitas

diagnostik yang baik dari hasil korelasi antara ULBT dengan Mallampati secara

paralel. Dengan tingkat akurasi korelasi yang jauh lebih baik dari prediktor

tunggal diharapkan model gabungan prediktor sulit intubasi ini nantinya dapat

diterapkan pada populasi pasien di RSUP Sanglah Denpasar, dengan harapan

dapat meningkatkan kualitas pelayanan anestesi pada umumnya dan patient safety

khususnya.

Pada penelitian ini didapatkan beberapa keterbatasan. Pertama, sebaran

populasi sampel lebih di dominasi oleh pasien di RSUP Sanglah Denpasar,

sehingga generalisasi ke populasi pasien Indonesia masih membutuhkan

penelitian lebih lanjut. Kedua, memerlukan kerjasama dari relawan penelitian

untuk melakukan ekstensi yang maksimal sehingga memperkecil kemungkinan

kesalahan

Page 94: Renol Hamonangan Simatupang

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian ini maka dapat diambil simpulan bahwa

ULBT dan mallampati memiliki nilai diagnostik yang kurang baik dan nilai

diagnostik prediktor paling baik didapatkan bila dilakukan korelasi secara

paralel antara prediktor ULBT dengan Mallampati.

7.2 Saran

1. Diperlukan penelitian lebih lanjut yang bersifat multi center sehingga data

yang diperoleh dapat dijadikan sebagai data yang dapat diterapkan untuk

seluruh populasi yang ada di di seluruh Indonesia .

2. Diperlukan penelitian dengan mengkombinasikan dengan prediktor

kesulitan intubasi yang lain untuk memperbaiki prediktor kesulitan

intubasi yang sudah ada.

Page 95: Renol Hamonangan Simatupang

DAFTAR PUSTAKA

Applegate R.L. 2004. Airway management. Dalam: Hines, R.L., penyunting.

Adult Perioperative Anesthesia. Philadelphia: Elsevier Mosby. p. 168-82.

Ballenger, J.J., 2009. Acute inflammation of the Nose and Face. Dalam:

Ballenger, J.J. and Snow, J.B. (eds.) Otorhinolaryngology-Head and Neck.

15th

ed.Baltimore, Philadelphia: Williams and Wilkins. p. 125-128.

Benumof JL. 1991. Management of difficult airway – with special emphasis on

awake tracheal intubation. Anesthesiology ; 75: p. 1087-1110.

Benumof JL. 1994. Difficult laryngoscopy: obtaining the best view. Can J

Anaesth ; 41 : 361–5.

Boies L, Adams G, Higler P. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: p. 135-142.

Cheney FW. 2002. Changing Trends in Anesthesia-Related Death and Permanent

Brain Damage. ASA Newsletter; 66(6): p. 6-8.

Cormack, R.S., Lehane, J. 1984. Difficult Tracheal Intubation in Obstetrics.

Anaesthesia; 39: 1105-11.

Dorsch Jerry A, Dorch Susan E. 2007. Understanding Anesthesia Equipment.

Lippincott Williams And wilkins. Fifth Edition. P. 525.

Eka W. 2014. Uji Diagnostik Tinggi Tiromental Sebagai Prediktor sulit Intubasi

Dibandingkan Dengan Skor Mallampat, Jarak Tiromental Dan Jarak

Sternomental Pada Operasi Elektif. Universitas Udayana. p. 62.

Gal, T.J. 2005. Airway Management. Dalam: Miller, R.D., penyunting. Miller’s

Anesthesia. Edisi ke-6. Philadelphia: Churchill Livingstone. p. 1617-52.

Guyton AC and JE Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9. Jakarta:

EGC. p.

Hagberg, C., Georgi, R., Krier, C. 2005. Complication of managing the airway.

Best Practice & Reserch Clinical Anaesthesiology; 19 (4): 641-59.

Page 96: Renol Hamonangan Simatupang

Hussain, M. 2011. Cephalometric evaluation for Malaysian Malay by Steiner

Analysis. Scientific Research and Essay. Volume 6(3); h.627-34.

Jain Shah P, Prasad Dubey K, Prakash Yadav J. 2013. Predictive Value of Upper

Lip Bite test and ratio of height to Thyromental Distance compared to

Other Multivariate Airway Assesment Test for Difficul Laringoscopy in

Apparently Normal Patien. Journal of Anesthesiology Clinical

Pharmacology; 29(2): p. 191-195.

Khan ZH, Kashfi A, Ebrahimkhani E. 2003. A Comparison of the Upper Lip Bite

Test (a Simple New Technique) with Modified Mallampati Classification

in Predicting Difficulty in Endotracheal Intubation: A Prospective Blinded

Styudy. Anesthesia and Analgesia; 96:595-9.

Khan ZH, Mohammadi M, Rasouli MR, Farrokhnia F, Khan RH. 2009. The

Diagnostic Value of the Upper Lip Bite Test Combined With Sternomental

Distance, Thyromental Distance, and Interincisor Distance for Prediction

of Easy Laryngoscopy and Intubation : Prospective Study. Anesthesia and

Analgesia; 109 (3) : p.822-824.

Larson C.P. 2006. Airway Management. Dalam: Morgan, G.E, Mikhail, M.S.,

Murray, M.J., penyunting. Clinical Anesthesiology. Edisi ke-4. New York:

McGraw-Hill. p. 91-116.

Latto IP, Vaughan, R.S. 1997. Management of Difficult Intubation. Dalam:

Difficulties in Tracheal Intubation. New York: W.B. Saunders Company

Ltd. p.107-60.

Lee A Fischer, Ghatge S, Carin A H. 2006. Evidence-Based Practice of

Anesthesiology; 2nd

Ed. p.101-113.

Lohom G. Ronayne. 2003. Prediction of Difficult Tracheal Intubation. European

Journal of Anaesthesiology; p. 31-36.

Lundstrom LH, Vester-Andersen M, Moller AM, Charuluxananan S. 2011. Poor

Prognostic Value of the Modified Mallampati Score : A Meta-Analysis

Involving 177.088 Patients. BJA; 107(5): p. 659-667.

Magboul M. Ali. 2004. Magboul: The Dilemma of Airway Assessment and

Evaluation. Journal of Anesthesiology. 10 (1).

Page 97: Renol Hamonangan Simatupang

Mallampati, S.R., Gatt, S.P., Gugino, L.D., Desai, S.P., Waraksa, B., Freberger,

D., Liu, P.L. 1985. A Clinical Sign to predict Difficult Tracheal

Intubation: A Prospective Study. Can Anaesth Soc J; 32(4): 429-34.

Mohan K, Mohana R. 2013. Comparison of Upper Lip Bite Test With

Thyromental Distance For Predicting Difficulty In Endotracheal Intubation

: A Prospective Study. Asian Journal of Biomedical and Pharmaceutical

Sciences; 3(22), p. 62-65.

Morgan GE. 2006. Airway Management In Clinical Anesthesiology, 4th

ed, New

York : Mcgraw hill: p. 91-115

Munandar, S. 1992. Cephalometric Analysis of Deutero-Malay Indonesian.

Department of preventive dentistry faculty of dentistry university of

Sydney.

Proops, D.W., 1997. The Mouth and Related Faciomaxillary Structures. Dalam :

Scott Brown’s Otolaryngology. Vol 1. Basic Sciences. 6th

Ed. Butterworth-

Heinemann. Oxford. p. 1-23.

Roberts and Hedges. 2013.Clinical Procedures In Emergency Medicine, sixth

edition. Elsevier Saunders, Philadelphia. p. 65

Rudin Domi. 2009. A Comparison of Wilson Sum Score and Combination

Mallampati, Thyromental and Sternomental Distances for Predicting

Difficult Intubation. Albania Macedonian Journal of Medical Sciences;

2(2):141-14.

Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007. Dalam: Efiaty A.S., Nurbaiti I., Jenny

B. dan Ratna D.R.. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala & Leher. Jakarta, 2007. Edisi ke-6: p. 212-215; 217-218.

Sopyudin Dahlan M. 2009. Penelitian Diagnostik, Seri Evidence based medicine

5. Jakarta ; Salemba medika. p. 3-17

Stringer KR, Bajenov S, Yentis SM, 2002. Training in airway management.

Anaesthesia; 57: p.967-983.

Page 98: Renol Hamonangan Simatupang

Sutthiprapaporn P, Tanimoto K, Ohtsuka M, Nagasaki T, Iida Y, Katsumata A.

2008. Positional changes of oropharyngeal structures due to gravity in the

upright and supine positions. Dentomaxillofacial Radiology, 37: p.130‒

136.

Toshiya Shiga. 2005. Predicting Difficult Intubation in Apparently Normal

Patients. Anesthesiology 2005; 103:429–37.

Lampiran 1

Page 99: Renol Hamonangan Simatupang

Lampiran 2

Page 100: Renol Hamonangan Simatupang

Lampiran 3

Page 101: Renol Hamonangan Simatupang

JADWAL PENELITIAN

No

Kegiatan

Jul

2014

Agu

2014

Sep

2014

Okt

2014

Nov

2014

Des

2014

Jan

2015

1. Pembuatan

Proposal

2. Seminar Proposal

3. Koreksi/Ijin

Penelitian

4. Pelaksanaan

Penelitian

5. Pengolahan data

6. Seminar hasil

7. Penyempurnaan

hasil

8. Ujian Tesis

Page 102: Renol Hamonangan Simatupang

9. Penyempurnaan

Tesis

Lampiran 4

INFORMASI

Penjelasan mengenai penelitian KORELASI UPPER LIP BITE TEST

(ULBT) DENGAN MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN

INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR

Di RSUP Sanglah Denpasar saat ini tengah dilakukan penelitian oleh tim

peneliti dari Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana. Penelitian ini berjudul Korelasi Upper Lip Bite Test (ULBT) dengan

Mallampati Sebagai Prediktor Kesulitan Intubasi Di Rumah Sakit Sanglah

Denpasar.

Bapak/ Ibu/Saudara/ Saudari akan menjalani pembedahan di ruang instalasi

bedah RSUP Sanglah Denpasar dengan prosedur standar untuk anestesi umum

intubasi pipa endotrakea. Apabila bapak/ibu setuju, bapak/ibu akan ikut serta

dalam penelitian ini, kami akan melakukan penilaian skor Upper Lip Bite Test

(ULBT) dan penilaian skor Mallapati. Dimana pada penilaian Upper Lip Bite Test

(ULBT), kami akan meminta bapak/ibu untuk menggigit/menjangkau bibir atas

dengan menggunakan gigi bagian bawah. Sedangkan pada penilaian mallampati

Page 103: Renol Hamonangan Simatupang

kami akan meminta bapak/ibu untuk membuka mulut sambil menjulurkan lidah.

Kedua pemeriksaan/penilaian diatas dilakukan sebelum bapak/ibu masuk kamar

operasi dan bertujuan untuk memprediksi kesulitan memasukkan pipa endotrakeal

pada saat proses anesthesia.

Apabila bapak/ibu bersedia ikut serta dalam penelitian ini kami ucapkan

terima kasih, tidak akan ada tambahan biaya diluar biaya perawatan yang

seharusnya, dan kerahasiaan identitas bapak/ibu akan kami jaga dengan cara

mencantumkan hanya inisial saja.

Tidak ada paksaan untuk ikut atau menolak diikutsertakan dalam penelitian

ini. Bila bapak/ibu bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini, kami ucapkan

banyak terima kasih yang sebesar-besarnya dan bila tidak bersedia, tidak akan

mengurangi kualitas pelayanan yang kami berikan.

Terima kasih.

Hormat kami,

Peneliti

(dr. Renol H. Simatupang)

Catatan: nomer telepon peneliti yang dapat dihubungi 081396533280

Page 104: Renol Hamonangan Simatupang

Lampiran 5

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN UJI KLINIK

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ..................................................................................

Umur/Kelamin : ..................................................................................

Alamat : ..................................................................................

Pekerjaan : ..................................................................................

Page 105: Renol Hamonangan Simatupang

Nomor telepon : ..................................................................................

Nomor KTP/SIM : ..................................................................................

Setelah memperoleh penjelasan selengkap-lengkapnya dari peneliti tentang

tujuan, manfaat serta risiko penelitian ini serta semua pertanyaan saya telah

dijawab dengan jelas oleh dokter peneliti, dengan ini memberikan:

PERSETUJUAN

Untuk ikut serta/mengikutsertakan saya sendiri* /istri* /ibu* /mertua* /saudara*/

anak saya:

Nama : ..................................................................................

Umur/Kelamin : ..................................................................................

Alamat : ..................................................................................

Pekerjaan : ..................................................................................

Nomer telepon : ..................................................................................

Nomer KTP/SIM : ..................................................................................

Dalam penelitian di kamar operasi RSUP Sanglah Denpasar, yang berjudul:

Korelasi Upper Lip Bite Test (ULBT) dengan Mallampati Sebagai Prediktor

Kesulitan Intubasi Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.

. Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya tanpa

paksaan dari pihak manapun.

Denpasar, ........................2014*

Penanggung jawab penelitian, Yang membuat pernyataan,

Page 106: Renol Hamonangan Simatupang

(dr. Renol H. Simatupang) (................................................)

Saksi dari Rumah Sakit Saksi dari keluarga pasien

(.........................................) (..............................................)

*Lingkari & coret yang lain

Lampiran 6

LEMBAR PENELITIAN

KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN MALLAMPATI

SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN INTUBASI DI RUMAH SAKIT

SANGLAH DENPASAR

Data Umum

1. No sampel : ...........................................................................................

2. No Rekam Medis : ...........................................................................................

3. Nama : ...........................................................................................

4. Umur : ...........................................................................................

5. Jenis kelamin : ............................................................................................

6. Tingkat pendidikan : ...........................................................................................

7. Tanggal : ...........................................................................................

Data Khusus

1. Diagnosis : ...........................................................................................

Page 107: Renol Hamonangan Simatupang

2. Jenis Operasi : ...........................................................................................

3. Berat Badan : ............kg

4. Tinggi badan : ............cm

5. IMT : ............kg/m2

6. Status Fisik ASA : ...........................................................................................

Prosedur kerja :

1. Penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian

kedokteran FK UNUD dan RSUP Sanglah. Pasien yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi ditetapkan sebagai sampel.

2. Setelah mendapatkan penjelasan dan pasien setuju dilanjutkan dengan

menandatangani persetujuan penelitian.

Page 108: Renol Hamonangan Simatupang

3. Dilakukan evaluasi penilaian skor Upper Lip Bite Test (ULBT) dan Skor

Mallampati.

4. Upper Lip Bite test (ULBT) : berupa kemampuan lower incisor

menjangkau bibir atas, dengan kalsifikasi :

Kelas I : Lower incisors dapat menjangkau bibir atas, diatas

vermilion line.

Kelas II : Lower Incisors dapat menjangkau bibir atas,

dibawah vermilion line.

Kelas III : lower incisors tidak dapat menjangkau bibir atas

Gambar 1. Kelas Skor ULBT

Posisi pemeriksaan untuk menilai Upper Lip bite test (ULBT) ini dapat

dilakukan dengan posisi pasien berbaring.

5. Skor Mallampati : merupakan rasio ukuran lidah atau faring, dinilai

dengan cara pasien duduk dengan posisi wajah menghadap ke depan,

Page 109: Renol Hamonangan Simatupang

mulut dibuka maksimal dan lidah dijulurkan keluar tanpa mengeluarkan

suara, terdiri atas :

Kelas I: Tampak palatum molle, palatum durum, uvula, pillar tonsil

anterior dan posterior

Kelas II : Tampak palatum molle, palatum durum dan uvula

Kelas III : Tampak palatum molle dan dasar uvula

Kelas IV : Tak tampak palatum molle

Posisi pemeriksaan : Pasien duduk dengan mulut terbuka maksimal, lidah

menjulur dan tanpa fonasi

6. Subyek dipuasakan selama 8 jam.

7. Sampai di ruang persiapan instalasi bedah RSUP Sanglah Denpasar,

dilakukan pencatatan identitas kembali, kemudian dilakukan pemasangan

infus dengan cairan kristaloid, kecepatan pemberian sesuai kebutuhan

cairan pemeliharaan sesuai berat badan pasien.

8. Setelah itu pasien dibawa ke ruang operasi, dipindahkan ke meja operasi.

9. Pasang monitor tekanan darah non invasif, EKG, pulse oxymetry.

10. Diberikan premedikasi midazolam 0,05 mg/kg BB, analgetik fentanil 2-3

mcg/kgBB. Satu menit kemudian dilakukan induksi dengan Propofol 2-

3mg/kgBB. Setelah reflex bulu mata hilang, dilakukan bantuan ventilasi

dengan oksigen 100 % Anestesia volatil memakai isofluran dengan MAC

1%. Kemudian diberikan atracurium 0,5 mg/kg BB. Laringoskopi

dilakukan setelah dinilai kedalaman anestesia telah adekuat yaitu rahang

Page 110: Renol Hamonangan Simatupang

lemas dan tidak ada respon motorik pada pengangkatan rahang atau 3

menit setelah pemberian Atracurium.

11. Laringoskopi dilakukan oleh residen anestesi pin hijau, dengan memakai

laringoskop Macintosh nomor yang sesuai sampai ujung bilah pada

valekula dan kemudian diangkat hingga pita suara terlihat.

12. Dilakukan penilaian skor Cormack Lehane tanpa menekan krikoid.

13. Skor Cormack-Lehane adalah skor yang membagi gambaran laring atas

pada saat laringoskopi :

Derajat 1 : Pita suara terlihat semua

Derajat 2 : Tampak sebagian glotis atau aritenoid

Derajat 3 : Hanya terlihat epiglotis

Derajat 4 : Tidak terlihat epiglotis bahkan glotis

Page 111: Renol Hamonangan Simatupang

PENCATATAN HASIL EVALUASI

Skor Mallampati

I / II / III / IV

Skor ULBT

I / II / III

Skor Cormack-Lehane

I / II / III / IV

Efek samping yang timbul : ADA / TIDAK*

Page 112: Renol Hamonangan Simatupang

Observer : ....................................

*Lingkari & coret yang lain

Lampiran 7

TABULASI DATA PENELITIAN : KORELASI UPPER LIP BITE TEST DENGAN MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR

KESULITAN INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR

No Inisial Umur (th) JK Berat badan

(kg)

Tinggi badan

(m)

BMI ULBT Mallampati Cormack-

Lehane

1 IMS 42 1 70 1.65 25.71 1 2 1

2 VPR 41 2 66 1.65 24.24 2 2 3

3 INS 28 1 60 1.7 20.76 1 1 2

4 IWN 59 1 60 1.65 22.04 2 2 2

5 Wt 47 1 52 1.6 20.31 2 2 2

6 JKS 21 2 50 1.5 22.22 1 1 1

7 IWM 41 1 45 1.6 17.58 1 2 1

8 IWK 56 1 80 1.68 28.34 1 1 1

9 YW 52 2 41 1.55 17.07 2 2 2

10 MR 42 1 62 1.7 21.45 2 2 2

Page 113: Renol Hamonangan Simatupang

11 DL 44 1 94 1.8 29.01 2 2 2

12 Jai 41 1 70 1.7 24.22 1 2 1

13 KMu 29 2 70 1.7 24.22 2 2 2

14 IDC 28 2 66 1.6 25.78 1 1 1

15 Bad 46 2 60 1.6 23.44 2 2 2

16 INW 49 2 65 1.65 23.88 2 2 2

17 NWA 24 2 50 1.5 22.22 3 3 3

18 AH 49 1 60 1.65 22.04 2 2 2

19 NMY 31 2 65 1.58 26.04 2 3 4

20 GAS 39 2 62 1.6 24.22 2 2 2

21 DAN 36 2 62 1.58 24.84 2 2 2

22 NNR 46 2 60 1.65 22.04 2 2 2

23 IWW 48 1 65 1.6 25.39 1 1 1

24 NMA 26 2 55 1.6 21.48 2 2 3

25 NNT 64 2 60 1.55 24.97 2 2 2

26 IKM 64 1 45 1.6 17.58 1 2 1

27 INy 32 1 50 1.6 19.53 2 2 2

28 GDS 32 1 50 1.6 19.53 2 3 3

29 NKN 20 2 60 1.65 22.04 1 2 2

30 NKR 21 2 42 1.5 18.67 1 1 1

31 SL 18 1 45 1.46 21.11 2 1 2

32 NNS 65 2 52 1.6 20.31 2 2 3

33 NWA 56 2 65 1.6 25.39 2 3 3

34 MR 39 1 60 1.65 22.04 1 2 2

35 IGL 64 1 60 1.7 20.76 1 2 1

36 Su 34 2 55 1.55 22.89 2 2 1

37 MdD 53 2 70 1.65 25.71 2 2 2

38 NKR 51 2 40 1.5 17.78 2 3 4

39 IWS 56 1 80 1.7 27.68 2 2 3

Page 114: Renol Hamonangan Simatupang

40 IGS 33 1 60 1.6 23.44 2 1 2

41 NWT 48 2 50 1.55 20.81 2 2 3

42 NKR 51 2 45 1.6 17.58 2 2 3

43 NWS 61 2 45 1.5 20.00 2 3 3

44 NKs 34 2 72 1.6 28.13 2 2 2

45 IPA 29 1 70 1.69 24.51 3 3 3

46 NNK 41 2 64 1.56 26.30 2 2 2

47 IMB 56 1 65 1.65 23.88 2 2 2

48 IWG 53 1 80 1.55 33.30 2 3 3

49 LSA 59 2 65 1.58 26.04 1 2 2

50 WA 55 1 75 1.65 27.55 1 2 2

51 IKY 49 1 70 1.7 24.22 2 3 3

52 NYY 47 2 65 1.65 23.88 2 2 2

53 NKS 35 2 40 1.5 17.78 1 2 1

54 IAK 43 2 51 1.55 21.23 2 3 3

55 NNW 57 2 55 1.6 21.48 1 1 1

56 NWa 51 1 60 1.65 22.04 1 2 2

57 Haf 23 2 35 1.4 17.86 1 1 1

58 NKA 27 2 53 1.61 20.45 2 2 2

59 CHS 32 1 97 1.78 30.61 1 3 2

60 DS 39 1 60 1.73 20.05 2 1 2

61 Sug 46 1 75 1.7 25.95 2 2 2

62 INT 61 1 65 1.75 21.22 2 2 2

63 INK 62 1 65 1.71 22.23 2 3 3

64 NNK 55 2 60 1.55 24.97 1 2 2

65 INL 60 1 60 1.65 22.04 2 1 1

66 PhL 65 1 58 1.6 22.66 2 2 2

67 RMa 22 2 55 1.6 21.48 1 1 1

68 BAJ 16 2 55 1.6 21.48 2 1 1

Page 115: Renol Hamonangan Simatupang

69 Dah 26 1 50 1.6 19.53 1 1 1

70 NKS 37 2 65 1.7 22.49 1 2 1

71 PDB 58 1 65 1.75 21.22 2 2 3

72 IGA 18 1 78 1.76 25.18 2 2 2

73 NNR 19 2 45 1.55 18.73 2 2 2

74 NWP 63 2 50 1.55 20.81 2 2 2

75 ASa 22 1 50 1.55 20.81 2 1 2

76 IGA 29 2 55 1.55 22.89 2 3 2

77 IWD 44 1 58 1.6 22.66 2 1 2

78 NKM 58 2 50 1.5 22.22 2 3 3

79 IKM 20 2 65 1.65 23.88 1 2 2

80 LPS 28 2 66 1.65 24.24 1 1 1

81 AUA 40 2 45 1.6 17.58 2 2 2

82 PtB 21 1 58 1.65 21.30 2 2 2

83 NSK 54 2 60 1.65 22.04 2 3 3

84 PtS 32 1 60 1.65 22.04 2 2 2

85 SRD 44 2 65 1.56 26.71 1 2 2

86 MdW 51 1 75 1.75 24.49 2 3 3

87 Sun 44 2 60 1.65 22.04 2 2 2

88 NMS 29 2 55 1.55 22.89 1 2 2

89 MeA 65 2 100 1.6 39.06 2 3 3

90 NNR 63 2 50 1.55 20.81 2 2 1

91 INR 43 1 70 1.7 24.22 2 2 2

92 Hal 55 2 50 1.6 19.53 1 2 1

93 IWW 19 1 50 1.64 18.59 2 2 1

94 DGG 17 1 65 1.65 23.88 2 1 1

95 JeA 35 2 55 1.55 22.89 2 3 3

96 INS 54 1 70 1.65 25.71 2 3 3

97 INK 54 1 60 1.65 22.04 2 3 3

Page 116: Renol Hamonangan Simatupang

98 IKK 42 1 60 1.65 22.04 1 2 2

99 NKA 41 2 60 1.6 23.44 2 3 3

100 InS 35 1 70 1.65 25.71 3 4 4

101 LuD 51 1 60 1.5 26.67 2 2 1

102 IWn 61 1 75 1.75 24.49 2 3 3

103 IWs 50 1 65 1.65 23.88 2 3 3

104 IMK 51 2 50 1.5 22.22 1 2 1

105 MB 54 1 60 1.7 20.76 2 2 2

106 KM 54 1 60 1.65 22.04 2 3 2

107 NNR 32 2 50 1.5 22.22 1 2 2

108 GAD 46 2 55 1.6 21.48 2 2 3

109 NG 55 1 70 1.7 24.22 2 2 2

110 MD 65 1 60 1.65 22.04 3 2 4

111 AW 19 1 65 1.5 28.89 1 2 2

112 TS 19 1 55 1.65 20.20 2 2 2

113 Sw 41 2 75 1.65 27.55 2 3 3

114 IWP 60 1 45 1.5 20.00 1 2 2

115 IKR 60 1 60 1.68 21.26 2 1 3

116 NWM 42 2 70 1.65 25.71 2 1 2

117 IKS 51 2 60 1.55 24.97 2 3 2

118 NAL 19 2 45 1.55 18.73 2 2 1

119 PYF 16 1 70 1.75 22.86 1 1 1

120 IMS 47 1 75 1.7 25.95 2 3 2

121 NLB 65 2 40 1.45 19.02 1 2 1

122 MV 35 2 50 1.55 20.81 2 1 1

123 Fl 46 2 60 1.65 22.04 1 1 1

124 NLS 29 2 55 1.55 22.89 3 1 3

125 NS 19 1 52 1.65 19.10 2 1 1

126 NKS 40 2 80 1.65 29.38 2 3 2

Page 117: Renol Hamonangan Simatupang

127 GTA 25 1 65 1.65 23.88 2 2 2

128 Wh 43 1 60 1.6 23.44 1 1 1

129 TDM 50 2 55 1.6 21.48 2 2 1

130 NNS 56 2 45 1.55 18.73 1 2 2

131 KGG 27 1 60 1.7 20.76 2 1 1

132 INM 64 1 55 1.7 19.03 1 2 2

133 PKS 20 1 55 1.65 20.20 2 2 1

134 ASK 25 2 65 1.6 25.39 1 1 2

135 KDW 29 1 65 1.68 23.03 2 2 3

136 Sd 32 1 56 1.7 19.38 2 1 1

137 WPS 30 1 55 1.67 19.72 1 1 1

138 INB 37 1 70 1.65 25.71 2 2 3

139 SKM 47 1 43 1.5 19.11 3 3 4

140 KS 59 1 55 1.6 21.48 2 2 1

141 NWP 61 2 80 1.6 31.25 3 3 3

142 NMW 64 2 50 1.55 20.81 2 2 3

143 MM 51 1 55 1.6 21.48 2 2 3

144 EP 28 1 55 1.65 20.20 2 2 2

145 MP 59 1 60 1.6 23.44 1 2 2

146 WM 62 1 60 1.65 22.04 1 2 2

147 WS 36 2 52 1.6 20.31 2 2 1

148 NLK 33 2 65 1.6 25.39 2 1 1

149 MI 48 2 65 1.6 25.39 2 1 2

150 MS 42 1 50 1.6 19.53 2 2 1

151 KA 41 2 50 1.6 19.53 1 1 1

152 INT 58 1 45 1.55 18.73 2 2 1

153 KDW 43 2 55 1.6 21.48 1 1 1

154 DNS 62 2 65 1.6 25.39 2 2 1

155 IGS 64 1 70 1.65 25.71 3 2 3

Page 118: Renol Hamonangan Simatupang

156 Sf 19 1 66 1.6 25.78 2 2 1

157 GKM 49 2 45 1.5 20.00 1 1 1

158 INS 51 1 50 1.6 19.53 1 1 1

159 INM 40 1 57 1.6 22.27 2 2 1

160 Sw 41 2 65 1.65 23.88 2 2 1

161 Mn 65 2 50 1.55 20.81 1 1 1

162 GNS 57 2 50 1.55 20.81 3 3 3

163 NWB 64 2 50 1.5 22.22 2 2 2

164 IWK 47 2 55 1.55 22.89 1 1 1

165 NNS 46 2 50 1.45 23.78 1 2 1

166 Hs 47 2 50 1.55 20.81 2 2 1

167 WS 36 1 80 1.7 27.68 3 3 4

168 My 39 1 74 1.7 25.61 1 2 2

169 MU 22 2 40 1.5 17.78 2 2 1

170 DM 53 1 60 1.6 23.44 2 2 1

171 NMF 52 2 60 1.6 23.44 1 2 1

172 EN 38 2 45 1.55 18.73 1 1 1

173 NLR 45 2 50 1.6 19.53 1 2 1

174 Mj 31 2 55 1.6 21.48 2 2 1

175 IBW 57 1 55 1.6 21.48 2 2 2

176 NKE 38 2 60 1.65 22.04 2 1 1

177 NC 48 1 65 1.65 23.88 1 1 1

178 IMP 57 1 60 1.75 19.59 1 2 1

179 Pj 58 2 67 1.51 29.38 2 2 2

180 SNA 33 2 55 1.6 21.48 2 1 1

181 MW 57 2 60 1.55 24.97 2 2 2

182 Nn 39 2 53 1.65 19.47 2 1 1

183 NKS 41 2 50 1.48 22.83 1 1 1

184 Nj 39 2 51 1.65 18.73 1 1 1

Page 119: Renol Hamonangan Simatupang

185 MWt 57 2 60 1.55 24.97 2 2 3

186 SNA 33 2 55 1.6 21.48 2 1 1

187 Pd 58 2 70 1.51 30.70 2 1 2

188 IMP 57 1 60 1.75 19.59 1 2 1

189 INC 48 1 65 1.65 23.88 2 1 1

190 NKE 38 2 60 1.65 22.04 2 1 1

191 BW 37 1 55 1.6 21.48 1 2 2

192 Mj 31 2 55 1.6 21.48 1 2 1

193 NLR 45 2 50 1.6 19.53 1 2 1

194 EN 38 2 45 1.55 18.73 2 1 1

195 MMF 52 2 60 1.6 23.44 2 2 1

196 DM 53 1 60 1.6 23.44 2 2 1

197 MU 22 2 45 1.5 20.00 1 2 1

198 MD 39 1 74 1.7 25.61 2 2 2

199 WS 36 1 80 1.7 27.68 3 4 4

200 Hf 47 2 50 1.55 20.81 1 2 1

201 Mh 39 2 60 1.58 24.03 1 1 1

202 ING 31 1 60 1.65 22.04 1 2 1

203 NKD 34 2 55 1.6 21.48 2 1 1

204 NLD 22 2 50 1.6 19.53 2 1 1

205 IWS 51 1 66 1.72 22.31 3 3 4

206 GMO 50 1 60 1.65 22.04 2 2 1

207 Ht 54 2 50 1.55 20.81 1 1 1

208 MTD 52 1 85 1.73 28.40 3 3 4

209 NNS 34 2 66 1.6 25.78 2 2 2

210 INR 48 2 55 1.5 24.44 2 2 2

211 LWA 21 2 50 1.62 19.05 2 1 1

212 MD 18 1 45 1.5 20.00 1 1 1

213 RM 23 2 49 1.5 21.78 1 2 1

Page 120: Renol Hamonangan Simatupang

214 IWS 63 1 75 1.65 27.55 1 3 2

215 Gn 18 1 45 1.5 20.00 1 1 2

216 KR 48 1 68 1.65 24.98 2 2 3

217 DK 33 1 60 1.6 23.44 2 2 2

218 SH 31 1 60 1.65 22.04 1 1 1

219 GAM 33 2 55 1.6 21.48 2 1 1

220 TML 61 2 75 1.6 29.30 2 2 2

221 IAG 30 2 60 1.55 24.97 2 1 1

222 HRS 18 2 53 1.4 27.04 2 2 2

223 NYS 45 1 50 1.65 18.37 2 2 2

224 SrA 36 2 50 1.6 19.53 1 1 2

225 KmR 60 1 45 1.55 18.73 2 3 2

226 NRB 20 1 60 1.8 18.52 1 2 2

227 NNS 34 2 66 1.6 25.78 3 3 3

228 MdO 50 1 60 1.65 22.04 2 2 1

229 LAH 51 2 65 1.65 23.88 1 3 3

230 Nyr 28 1 70 1.75 22.86 2 1 1

231 DAY 39 2 67 1.67 24.02 1 2 1

232 PBP 18 1 55 1.6 21.48 1 2 1

233 NNP 40 2 50 1.55 20.81 1 1 1

234 RaL 41 2 70 1.65 25.71 1 2 2

235 KtS 26 1 70 1.7 24.22 2 2 2

236 NLG 41 2 55 1.65 20.20 1 2 2

237 ArS 63 2 50 1.55 20.81 1 1 1

238 KDP 18 2 40 1.5 17.78 1 1 1

239 TY 31 2 50 1.5 22.22 1 1 2

240 KtL 63 2 45 1.5 20.00 2 2 1

241 INL 44 1 50 1.6 19.53 2 3 3

242 JrM 48 1 60 1.65 22.04 2 3 3

Page 121: Renol Hamonangan Simatupang

243 ABA 27 1 75 1.65 27.55 2 2 2

244 WyH 36 2 50 1.55 20.81 1 2 1

245 NgS 31 1 65 1.71 22.23 2 2 2

246 Nya 39 1 80 1.78 25.25 1 2 1

247 MdU 48 1 70 1.6 27.34 1 2 2

248 KoW 22 1 60 1.7 20.76 2 3 3

249 AFC 41 1 70 170 0.00 2 2 1

250 GAS 36 2 50 1.6 19.53 1 1 1

251 GNA 43 2 52 160 0.00 1 1 1

252 DGS 57 1 75 1.75 24.49 2 2 1

253 Md 33 1 60 1.6 23.44 2 2 2

254 NWA 40 2 55 1.55 22.89 2 2 2

255 IPT 52 2 68 1.56 27.94 1 2 2

256 AR 50 2 60 1.6 23.44 2 2 2

257 PO 47 1 65 1.65 23.88 1 2 2

258 NJ 59 1 60 1.65 22.04 1 2 2

259 KMS 20 1 70 1.65 25.71 2 2 1

260 NKK 64 2 72 1.65 26.45 2 1 2

261 LA 24 2 55 1.55 22.89 2 2 1

262 IMA 39 1 85 1.75 27.76 2 3 2

263 NNT 48 2 60 1.55 24.97 2 1 2

264 IKA 38 2 55 1.6 21.48 2 1 1

265 WS 35 1 60 1.7 20.76 2 2 2

266 WM 65 2 40 1.5 17.78 1 2 2

267 Sw 46 2 50 1.5 22.22 1 2 1

268 NMS 58 2 45 1.5 20.00 2 2 1

269 NMD 40 2 75 1.65 27.55 1 2 2

270 NKD 40 2 42 1.43 20.54 1 2 1

271 NNW 64 2 56 1.5 24.89 1 2 3

Page 122: Renol Hamonangan Simatupang

272 INB 31 1 60 1.65 22.04 2 2 3

273 Mas 49 1 46 166 0.00 2 2 2

274 Kr 22 2 47 1.58 18.83 2 2 2

275 NMS 41 2 65 1.58 26.04 2 3 3

276 IMA 18 1 65 1.7 22.49 2 1 1

277 Sh 48 1 58 1.65 21.30 1 2 2

278 IWS 41 1 60 1.7 20.76 2 1 1

279 ASP 18 1 65 1.65 23.88 2 2 1

280 MDO 18 2 50 1.55 20.81 1 1 1

281 KtN 56 2 56 1.5 24.89 1 1 1

282 NiL 32 2 50 1.6 19.53 3 4 3

283 MaG 49 2 55 1.6 21.48 2 3 3

284 MdR 55 1 60 1.7 20.76 3 4 4

285 WyK 61 1 70 1.7 24.22 2 3 4

286 Nsu 57 2 45 1.5 20.00 3 3 3

287 Mis 45 1 70 1.65 25.71 2 3 3

288 NyS 54 1 70 1.65 25.71 2 2 2

289 WyR 38 2 70 1.6 27.34 2 1 1

290 NaP 45 2 60 1.55 24.97 2 1 2

291 PAA 17 2 55 1.6 21.48 2 2 1

292 KtW 43 1 60 1.6 23.44 1 2 2

293 DAY 39 2 67 1.67 24.02 2 2 1

294 INR 28 1 70 1.75 22.86 2 2 1

295 IWS 19 1 60 1.6 23.44 1 2 1

296 NWS 65 2 65 1.6 25.39 1 2 2

297 NKR 40 2 49 1.5 21.78 3 3 4

298 NRB 20 1 62 1.8 19.14 1 2 2

299 IWS 35 1 60 1.65 22.04 1 1 1

300 IMM 58 1 65 1.65 23.88 2 3 4

Page 123: Renol Hamonangan Simatupang

301 ASA 18 1 70 1.7 24.22 1 1 1

302 NNL 53 2 50 1.55 20.81 1 2 1

303 INO 57 1 75 1.68 26.57 2 3 3

304 Nh 39 2 50 1.5 22.22 1 1 1

305 NS 45 1 75 1.7 25.95 1 2 1

306 LI 40 2 50 1.55 20.81 2 1 1

307 NNS 47 2 45 1.55 18.73 2 2 2

308 Sp 25 1 60 1.65 22.04 2 3 3

309 NMD 18 2 45 1.55 18.73 1 1 1

310 NPN 19 2 55 1.7 19.03 2 1 1

311 IKP 46 1 60 1.7 20.76 2 2 1

312 NMN 63 2 59 1.55 24.56 2 2 2

313 INL 44 1 50 1.6 19.53 2 2 2

314 NKL 63 2 45 1.5 20.00 1 2 1

315 PIW 44 1 80 1.75 26.12 1 2 2

316 WyR 65 1 70 1.65 25.71 2 2 1

317 BeK 36 1 50 1.55 20.81 2 2 2

318 SuN 44 2 60 1.65 22.04 2 2 2

319 HjS 63 2 75 1.6 29.30 2 2 3

320 MdW 52 1 75 1.66 27.22 1 1 2

321 KtU 57 2 58 1.5 25.78 3 3 4

322 KtW 43 1 60 1.6 23.44 1 2 2

Page 124: Renol Hamonangan Simatupang
Page 125: Renol Hamonangan Simatupang
Page 126: Renol Hamonangan Simatupang
Page 127: Renol Hamonangan Simatupang
Page 128: Renol Hamonangan Simatupang
Page 129: Renol Hamonangan Simatupang

Lampiran 8

HASIL ANALISIS DATA

. sum umurth

Variable | Obs Mean Std. Dev. Min

Max

-------------+------------------------------------------------

--------

umurth | 322 42.23913 13.7857 16

65

Page 130: Renol Hamonangan Simatupang

. tab jk

JK | Freq. Percent Cum.

------------+-----------------------------------

Laki-laki | 153 47.52 47.52

Perempuan | 169 52.48 100.00

------------+-----------------------------------

Total | 322 100.00

. sum beratbadankg

Variable | Obs Mean Std. Dev. Min

Max

-------------+------------------------------------------------

--------

beratbadankg | 322 59.3354 10.30044 35

100

. sum tinggibadanm

Variable | Obs Mean Std. Dev. Min

Max

-------------+------------------------------------------------

--------

tinggibadanm | 322 1.611894 .0746486 1.4

1.8

.

. sum imt

Variable | Obs Mean Std. Dev. Min

Max

-------------+------------------------------------------------

--------

imt | 322 22.74476 3.053267 16.69328

39.0625

. tab ulbt

ULBT | Freq. Percent Cum.

------------+-----------------------------------

1 | 114 35.40 35.40

2 | 189 58.70 94.10

3 | 19 5.90 100.00

------------+-----------------------------------

Total | 322 100.00

. tab mallampati

Mallampati | Freq. Percent Cum.

------------+-----------------------------------

1 | 85 26.40 26.40

Page 131: Renol Hamonangan Simatupang

2 | 181 56.21 82.61

3 | 52 16.15 98.76

4 | 4 1.24 100.00

------------+-----------------------------------

Total | 322 100.00

. tab cormacklehane

Cormack-Leh |

ane | Freq. Percent Cum.

------------+-----------------------------------

1 | 132 40.99 40.99

2 | 122 37.89 78.88

3 | 54 16.77 95.65

4 | 14 4.35 100.00

------------+-----------------------------------

Total | 322 100.00

. tab kat_ulbt

kat_ulbt | Freq. Percent Cum.

------------+-----------------------------------

Mudah | 303 94.10 94.10

Sulit | 19 5.90 100.00

------------+-----------------------------------

Total | 322 100.00

. tab kat_mp

kat_mp | Freq. Percent Cum.

------------+-----------------------------------

Mudah | 266 82.61 82.61

Sulit | 56 17.39 100.00

------------+-----------------------------------

Total | 322 100.00

. tab kat_cormack

kat_cormack | Freq. Percent Cum.

------------+-----------------------------------

Mudah | 254 78.88 78.88

Sulit | 68 21.12 100.00

------------+-----------------------------------

Total | 322 100.00

. tab kat_ulbt kat_cormack, col row

+-------------------+

| Key |

|-------------------|

| frequency |

| row percentage |

| column percentage |

+-------------------+

Page 132: Renol Hamonangan Simatupang

| kat_cormack

kat_ulbt | Mudah Sulit | Total

-----------+----------------------+----------

Mudah | 254 49 | 303

| 83.83 16.17 | 100.00

| 100.00 72.06 | 94.10

-----------+----------------------+----------

Sulit | 0 19 | 19

| 0.00 100.00 | 100.00

| 0.00 27.94 | 5.90

-----------+----------------------+----------

Total | 254 68 | 322

| 78.88 21.12 | 100.00

| 100.00 100.00 | 100.00

. diagt kat_cormack kat_ulbt

kat_cormac | kat_ulbt

k | Pos. Neg. | Total

-----------+----------------------+----------

Abnormal | 19 49 | 68

Normal | 0 254 | 254

-----------+----------------------+----------

Total | 19 303 | 322

True abnormal diagnosis defined as kat_cormack = 1 (labelled

Sulit)

[95%

Confidence Interval]

--------------------------------------------------------------

-------------

Prevalence Pr(A) 21% 17%

26%

--------------------------------------------------------------

-------------

Sensitivity Pr(+|A) 27.9% 17.7%

40.1%

Specificity Pr(-|N) 100% 98.6%

100%

ROC area (Sens. + Spec.)/2 .64 .586

.693

--------------------------------------------------------------

-------------

Likelihood ratio (+) Pr(+|A)/Pr(+|N) . .

.

Likelihood ratio (-) Pr(-|A)/Pr(-|N) .721 .621

.836

Odds ratio LR(+)/LR(-) . 25.3

.

Page 133: Renol Hamonangan Simatupang

Positive predictive value Pr(A|+) 100% 82.4%

100%

Negative predictive value Pr(N|-) 83.8% 79.2%

87.8%

--------------------------------------------------------------

-------------

Missing values or confidence intervals may be estimated

using the -sf- or -sf0- options.

. roctab kat_cormack kat_ulbt, detail graph

Detailed report of sensitivity and specificity

--------------------------------------------------------------

----------------

Correctly

Cutpoint Sensitivity Specificity Classified

LR+ LR-

--------------------------------------------------------------

----------------

( >= Mudah ) 100.00% 0.00% 21.12%

1.0000

( >= Sulit ) 27.94% 100.00% 84.78%

0.7206

( > Sulit ) 0.00% 100.00% 78.88%

1.0000

--------------------------------------------------------------

----------------

ROC -Asymptotic

Normal--

Obs Area Std. Err. [95% Conf.

Interval]

-----------------------------------------------------

---

322 0.6397 0.0274 0.58598

0.69343

. tab kat_mp kat_cormack, col row

+-------------------+

| Key |

|-------------------|

| frequency |

| row percentage |

| column percentage |

+-------------------+

| kat_cormack

kat_mp | Mudah Sulit | Total

-----------+----------------------+----------

Mudah | 245 21 | 266

| 92.11 7.89 | 100.00

Page 134: Renol Hamonangan Simatupang

| 96.46 30.88 | 82.61

-----------+----------------------+----------

Sulit | 9 47 | 56

| 16.07 83.93 | 100.00

| 3.54 69.12 | 17.39

-----------+----------------------+----------

Total | 254 68 | 322

| 78.88 21.12 | 100.00

| 100.00 100.00 | 100.00

. diagt kat_cormack kat_mp

kat_cormac | kat_mp

k | Pos. Neg. | Total

-----------+----------------------+----------

Abnormal | 47 21 | 68

Normal | 9 245 | 254

-----------+----------------------+----------

Total | 56 266 | 322

True abnormal diagnosis defined as kat_cormack = 1 (labelled

Sulit)

[95%

Confidence Interval]

--------------------------------------------------------------

-------------

Prevalence Pr(A) 21% 17%

26%

--------------------------------------------------------------

-------------

Sensitivity Pr(+|A) 69.1% 56.7%

79.8%

Specificity Pr(-|N) 96.5% 93.4%

98.4%

ROC area (Sens. + Spec.)/2 .828 .771

.884

--------------------------------------------------------------

-------------

Likelihood ratio (+) Pr(+|A)/Pr(+|N) 19.5 10.1

37.8

Likelihood ratio (-) Pr(-|A)/Pr(-|N) .32 .224

.457

Odds ratio LR(+)/LR(-) 60.9 26.5

140

Positive predictive value Pr(A|+) 83.9% 71.7%

92.4%

Negative predictive value Pr(N|-) 92.1% 88.2%

95%

--------------------------------------------------------------

-------------

Page 135: Renol Hamonangan Simatupang

. roctab kat_cormack kat_mp, detail graph

Detailed report of sensitivity and specificity

--------------------------------------------------------------

----------------

Correctly

Cutpoint Sensitivity Specificity Classified

LR+ LR-

--------------------------------------------------------------

----------------

( >= Mudah ) 100.00% 0.00% 21.12%

1.0000

( >= Sulit ) 69.12% 96.46% 90.68%

19.5065 0.3202

( > Sulit ) 0.00% 100.00% 78.88%

1.0000

--------------------------------------------------------------

----------------

ROC -Asymptotic

Normal--

Obs Area Std. Err. [95% Conf.

Interval]

-----------------------------------------------------

---

322 0.8279 0.0288 0.77140

0.88435

. tab pararel kat_cormack, col row

+-------------------+

| Key |

|-------------------|

| frequency |

| row percentage |

| column percentage |

+-------------------+

| kat_cormack

pararel | Mudah Sulit | Total

-----------+----------------------+----------

Mudah | 245 18 | 263

| 93.16 6.84 | 100.00

| 96.46 26.47 | 81.68

-----------+----------------------+----------

Sulit | 9 50 | 59

| 15.25 84.75 | 100.00

| 3.54 73.53 | 18.32

-----------+----------------------+----------

Total | 254 68 | 322

| 78.88 21.12 | 100.00

| 100.00 100.00 | 100.00

Page 136: Renol Hamonangan Simatupang

. diagt kat_cormack pararel

kat_cormac | pararel

k | Pos. Neg. | Total

-----------+----------------------+----------

Abnormal | 50 18 | 68

Normal | 9 245 | 254

-----------+----------------------+----------

Total | 59 263 | 322

True abnormal diagnosis defined as kat_cormack = 1 (labelled

Sulit)

[95%

Confidence Interval]

--------------------------------------------------------------

-------------

Prevalence Pr(A) 21% 17%

26%

--------------------------------------------------------------

-------------

Sensitivity Pr(+|A) 73.5% 61.4%

83.5%

Specificity Pr(-|N) 96.5% 93.4%

98.4%

ROC area (Sens. + Spec.)/2 .85 .796

.904

--------------------------------------------------------------

-------------

Likelihood ratio (+) Pr(+|A)/Pr(+|N) 20.8 10.8

40

Likelihood ratio (-) Pr(-|A)/Pr(-|N) .274 .185

.408

Odds ratio LR(+)/LR(-) 75.6 32.4

176

Positive predictive value Pr(A|+) 84.7% 73%

92.8%

Negative predictive value Pr(N|-) 93.2% 89.4%

95.9%

--------------------------------------------------------------

-------------

. roctab kat_cormack pararel , detail graph

Detailed report of sensitivity and specificity

--------------------------------------------------------------

----------------

Correctly

Cutpoint Sensitivity Specificity Classified

LR+ LR-

--------------------------------------------------------------

----------------

Page 137: Renol Hamonangan Simatupang

( >= Mudah ) 100.00% 0.00% 21.12%

1.0000

( >= Sulit ) 73.53% 96.46% 91.61%

20.7516 0.2744

( > Sulit ) 0.00% 100.00% 78.88%

1.0000

--------------------------------------------------------------

----------------

ROC -Asymptotic

Normal--

Obs Area Std. Err. [95% Conf.

Interval]

-----------------------------------------------------

---

322 0.8499 0.0276 0.79590

0.90396

. tab seri kat_cormack, col row

+-------------------+

| Key |

|-------------------|

| frequency |

| row percentage |

| column percentage |

+-------------------+

| kat_cormack

seri | Mudah Sulit | Total

-----------+----------------------+----------

Mudah | 254 52 | 306

| 83.01 16.99 | 100.00

| 100.00 76.47 | 95.03

-----------+----------------------+----------

Sulit | 0 16 | 16

| 0.00 100.00 | 100.00

| 0.00 23.53 | 4.97

-----------+----------------------+----------

Total | 254 68 | 322

| 78.88 21.12 | 100.00

| 100.00 100.00 | 100.00

. diagt kat_cormack seri

kat_cormac | seri

k | Pos. Neg. | Total

-----------+----------------------+----------

Abnormal | 16 52 | 68

Normal | 0 254 | 254

-----------+----------------------+----------

Total | 16 306 | 322

Page 138: Renol Hamonangan Simatupang

True abnormal diagnosis defined as kat_cormack = 1 (labelled

Sulit)

[95%

Confidence Interval]

--------------------------------------------------------------

-------------

Prevalence Pr(A) 21% 17%

26%

--------------------------------------------------------------

-------------

Sensitivity Pr(+|A) 23.5% 14.1%

35.4%

Specificity Pr(-|N) 100% 98.6%

100%

ROC area (Sens. + Spec.)/2 .618 .567

.668

--------------------------------------------------------------

-------------

Likelihood ratio (+) Pr(+|A)/Pr(+|N) . .

.

Likelihood ratio (-) Pr(-|A)/Pr(-|N) .765 .67

.872

Odds ratio LR(+)/LR(-) . 20

.

Positive predictive value Pr(A|+) 100% 79.4%

100%

Negative predictive value Pr(N|-) 83% 78.3%

87%

--------------------------------------------------------------

-------------

Missing values or confidence intervals may be estimated

using the -sf- or -sf0- options.

. roctab kat_cormack seri , detail graph

Detailed report of sensitivity and specificity

--------------------------------------------------------------

----------------

Correctly

Cutpoint Sensitivity Specificity Classified

LR+ LR-

--------------------------------------------------------------

----------------

( >= Mudah ) 100.00% 0.00% 21.12%

1.0000

( >= Sulit ) 23.53% 100.00% 83.85%

0.7647

( > Sulit ) 0.00% 100.00% 78.88%

1.0000

Page 139: Renol Hamonangan Simatupang

--------------------------------------------------------------

----------------

ROC -Asymptotic

Normal--

Obs Area Std. Err. [95% Conf.

Interval]

-----------------------------------------------------

---

322 0.6176 0.0259 0.56686

0.66843