relevansi pancasila sebagai ideologi bangsa di era reformasi dan globalisasi
DESCRIPTION
Relevansi Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Di Era Reformasi Dan GlobalisasiTRANSCRIPT
Relevansi Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Di Era Reformasi dan
Globalisasi
Pendahuluan
Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan selama
penjajahan, kemudian dilanjutkan dengan era perebutan dan mempertahankan kemerdekaan sampai
hingga era pengisian kemerdekaan menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan
jamannya. Kondisi dan tuntutan yang berbeda tersebut ditanggapi oleh Bangsa Indonesia
berdasarkan kesamaan nilai–nilai perjuangan bangsa yang senantiasa tumbuh dan berkembang.
Kesamaan nilai–nilai ini dilandasi oleh jiwa, tekad, dan semangat kebangsaan. Kesemuanya itu
tumbuh menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya Negara Kesatuan
RepublikIndonesia dalam wadah Nusantara.
Semangat perjuangan bangsa yang telah ditunjukkan pada kemerdekaan 17 Agustus 1945
tersebut dilandasi oleh keimanan serta ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan keikhlasan
untuk berkorban. Landasan perjuangan tersebut merupakan nilai–nilai perjuangan Bangsa
Indonesia. Semangat inilah yang harus dimiliki oleh setiap warga negara Republik Indonesia. Selain
itu nilai–nilai perjuangan bangsa masih relevan dalam memecahkan setiap permasalahan dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta terbukti keandalannya.
Secara resmi, Pancasila diterapkan sebagai dasar negara yang didokumentasikan beberapa
kali karena berbagai dinamika politik dan kebangsaan di usianya yang belia. Rumusan Pertama
Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada tanggal 22 Juni 1945. Rumusan kedua di dalam Pembukaan
UUD 18 Agustus 1945.Rumusan ketiga di dalam Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia
Serikat tanggal 27 Desember 1949. Rumusan keempat di dalam Mukaddimah Undang Undang
Dasar Sementara tanggal 15 Agustus 1950. Dan rumusan kelima, rumusan kedua yang dijiwai oleh
rumusan pertama Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Perjalanan Pancasila sebagai dasar negara tak pernah
sepi dari berbagai ancaman dan penyimpangan. Di masa Soekarno misalnya, Pancasila dibuntuti
oleh kelompok komunis yang hendak mengganti dasar negara tanpa Tuhan (negara komunis).
Haluan politik Soekarno yang lebih condong ke Soviet pada waktu itu, menjadi jembatan emas
kelompok-kelompok komunis untuk melegitimasi aksi-aksinya.Termasuk juga dugaan adanya
campur tangan intelijen Amerika Serikat yang memang tidak senang dengan haluan politik
antikolonial Soekarno, yang notabenenya merupakan sekutu Amerika merupakan negeri-negeri
penjajah.Pancasila dijadikan korban, termasuk Soekarno sebagai Presiden RI pada waktu itu
berupaya mendrive Pancasila untuk kepentingan politiknya. Inilah sejarah awal suramnya
perjalanan Pancasila yang telah dirumuskan melalui perdebatan marathon dan alot sebagai buah
pemikiran founding father bangsa. Bahkan Soekarno secara akomodatif namun penuh muatan
politik, menggagas konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis), adalah sesuatu yang tidak
mungkin terjadi.
Tetapi nilai–nilai perjuangan itu kini telah mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semangat perjuangan bangsa telah mengalami
penurunan pada titik yang kritis. Hal ini disebabkan antara lain oleh pengaruh globalisasi.
Globalisasi ditandai oleh kuatnya pengaruh lembaga–lembaga kemasyarakatan
internasional, negara–negara maju yang ikut mengatur percaturan politik, ekonomi, sosial budaya,
serta pertahanan dan keamanan global. Disamping itu, isu global yang meliputi demokratisasi, hak
asasi manusia, dan lingkungan hidup turut pula mempengaruhi keadaan nasional. Globalisasi juga
ditandai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dibidang
informasi, komunikasi, dan transportasi. Hingga membuat dunia menjadi transparan seolah–olah
menjadi sebuah kampung tanpa mengenal batas negara.
Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan manusia. Tetapi
pada umumnya meliputi arena ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi
dimensi perdagangan, produksi, investasi, ideologi organisasi, pasar uang, dan pasar kerja. Pada
arena politik mempengaruhi kedaulatan negara, fokus pemecahan masalah, organisasi internasional,
hubungan internasional, dan politik budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap
kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap
persantaian (leisurescape).
Relevansi Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Di Era Reformasi dan Globalisasi
Reformasi di Indonesia telah banyak melahirkan perubahan-perubahan signifikan yang
terjadi dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik bahkan dalam dunia pendidikan. Masyarakat
meyakini bahwa perubahan yang terjadi membawa nilai-nilai sebagai upaya untuk membawa
bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Ketika reformasi berjalan begitu cepat, paradigma
masyarakat juga begitu cepat meyakini nilai-nilai baru yang berkembang ditengah masyarakat
sebagai pengganti nilai-nilai lama. Namun tidak ada upaya penakaran yang obyektif apakah nilai-
nilai lama tersebut dianggap usang dan perlu dinegasikan. Sementara nilai-nilai baru tersebut juga
tidak ada yang mampu menjustifikasi sebagai nilai-nilai yang harus dipegang. Salah satu perubahan
nilai yang signifikan adalah kasus radikalisme dan pemahaman ideologi masyarakat yang tidak lagi
menempatkan Pancasila sebagai dasar tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah ideologi Pancasila masih relevan untuk era
reformasi saat ini mengingat dari berbagai aspek kehidupan telah terjadi perubahan yang amat besar
jika dibandingakan dengan masa dahulu saat Pancasila disusun dan ditetapkan sebagai ideologi dan
dasar Negara. Apakah “ideologi” semacam Pancasila dan Wawasan Kebangsaan masih relevan di
era globalisasi dan demokratisasi yang nyaris tanpa batas dewasa ini? Dalam lingkungan strategis
baik nasional, regional, maupun global yang begitu cepat berubah, membuat ideologi Pancasila dan
Wawasan Kebangsaan—jika tidak diaktualisasikan dalam kondisi kekinian—semakin sulit dan
marjinal dalam menghadapilingkungan strategis yang selalu berubah. Prof. Dr. Azyumardi Azra,
dalam Jurnal Negarawan, Tahun 2007 memaparkan ada beberapa latar belakang yang menyebabkan
ideologi Pancasila dan Wawasan Kebangsaan semakin marjinal dalam kehidupan kebangsaan
dewasa ini.
Pertama, Pancasila terlanjur “tercemar” karena kebijakan pemerintah Orde Baru yang
menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya.
Pemerintah Orde Baru mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan
secara paksa melalui Penataran P4.
Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden B.J. Habibie tentang
Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Penghapusan ini memberikan peluang bagi
adopsi asas-asas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama (religious-based ideology).
Pancasila jadinya cenderung tidak lagi menjadi common platform dalam kehidupan politik.
Ketiga, desentralisasi dan otonomi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan
sentimen kedaerahan, yang jika tidak diantisipasi bukan tidak mungkin menumbuhkan sentimen
local-nationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam proses ini,
Pancasila baik sengaja maupun by implication kian kehilangan posisi sentralnya; dan wawasan
kebangsaan akan tergerus oleh semangat kedaerahan yang akan mengembalikan jarum jam sejarah
ke abad 19 sebelum Sumpah Pemuda digulirkan;
Keempat, di era reformasi, pembicaran tentang Pancasila seolah-olah menjadi tabu.
Berbicara tentang Pancasila seakan-akan berbicara tentang Orde Baru. Berbicara tentang Pancasila
seolah-olah kembali ke zaman indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P-4).
Di era reformasi sekarang ini, demokrasi makin mekar. Kebebasan tumbuh, dan hak-hak
asasi manusia mendapatkan penghormatan yang tinggi. Namun, semuanya itu menimbulkan
masalah baru. Atas nama reformasi dan demokratisasi, seringkali sebagian masyarakat tidak lagi
memaknai Pancasila, UUD 1945, Wawasan Kebangsaan, dan Bhinneka Tunggal Ika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara secara utuh. Keinginan memisahkan diri dari wilayah NKRI
dari sebagian kelompok masyarakat, seolah mendapat angin di era reformasi ini. Untuk itu, ke
depan, perlu terus dibangun dan dikembangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
secara harmonis dan seimbang, di mana demokrasi dan kebebasan makin hidup, disertai kepatuhan
kepada pranata hukum (rule of law), toleransi, serta etika dan aturan main yang disepakati bersama.
Untuk menjawab pertanyaan diatas maka diperlukan kembali suatu pemahaman, pemaknaan, dan
telaah yang lebih dalam terhadap karakteristik, sifat dan isi dari Pancasila itu sendiri.
Pancasila merupakan suatu ideologi (science of ideas atau weltaanschaung) yang dapat
bersifat dogmatik. Ideologi merupakan sistem pemikiran yang besifat power
oriented,totalitarianism oriented, dogmatism oriented dan establishment oriented. Sebagai ideologi
yang dapat diterima semua orang, berarti Pancasila merupakan ideologi yang bersifat terbuka.
Sebagai ideologi Pancasila memiliki dimensi-dimensi :
Realitas
Yaitu pemahaman situasi sosial yang sedang dihadapi sebagai masa lampau. Bahwa nilai-
nilai ideologi itu bersumber dari nilai-nilai riil yang hidup didalam masyarakat Indonesia. Nilai-
nilai itu benar-benar telah dijalankan, diamalkan, dan dihayati sebagai nilai dasar bersama. Kelima
nilai dasar Pancasila itu kita temukan dalam suasana atau pengamalan kehidupan masyarakat
bangsa kita yang bersifat kekeluargaan, kegotongroyongan, atau kebersamaan.
Idealisme
Yaitu usaha memberi gambaran situasi sosial baru yang ingin diciptakan. Bahwa suatu
ideologi perlu mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan. Ideologi
tidak sekedar mendeskripsikan atau menggambarkan hakikat manusia dan kehidupannya, namun
juga memberi gambaran ideal masyarakat sekaligus memberi arah pedoman yang ingin dituju oleh
masyarakat tersebut.
Fleksibilitas
Yaitu penyusunan program umum yang kondisional dan situasional yang menggariskan
langkah-langkah untuk mencapai situasi yang baru yang dikehendakinya. Bahwa suatu ideologi
perlu mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan. Ideologi tidak
sekedar mendeskripsikan atau menggambarkan hakikat manusia dan kehidupannya, namun juga
memberi gambaran ideal masyarakat sekaligus memberi arah pedoman yang ingin dituju oleh
masyarakat tersebut. (Wahana 1993:86).
Sebagai ideologi yang terbuka, Pancasila dianggap siap beradaptasi dengan perkembangan
zaman dimana informasi sudah tidak terbendung lagi, Pancasila tetep mampu menjadi ideologi yang
relevan, tidak terbatas waktu dan tergerus zaman. Persoalan yang sering mengemuka mengenai
perdebatan Pancasila pada dasarnya tidak terletak pada nilai-nilai melainkan pada cara memberi
maknanya. Oleh karena itu Pancasila sebagai Ideologi sudah final, hanya bagaimana cara kita
sebagai bangsa Indonesia menjalankan “syariat” Pancasila secara konsekuen. Faktor yang
mendorong pemikiran mengenai keterbukaan ideologi Pancasila adalah sebagai berikut:
Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat yang
berkembang secara cepat.
Kenyataan menunjukkan, bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup dan beku dikarenakan
cenderung meredupkan perkembangan dirinya.
Pengalaman sejarah politik kita di masa lampau.
Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat abadi
dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan
nasional.
Keterbukaan ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam penerapannya yang berbentuk
pola pikir yang dinamis dan konseptual dalam dunia modern. Kita mengenal ada tiga tingkat nilai,
yaitu nilai dasar yang tidak berubah, nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang
dapat berubah sesuai keadaan dan nilai praktis berupa pelaksanaan secara nyata yang
sesungguhnya. Nilai-nilai Pancasila dijabarkan dalam norma – norma dasar Pancasila yang
terkandung dan tercermin dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai atau norma dasar yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945 ini tidak boleh berubah atau diubah. Karena itu adalah pilihan dan
hasil konsensus bangsa yang disebut kaidah pokok dasar negara yang fundamental (Staats
fundamenteal norm). Perwujudan atau pelaksanaan nilai-nilai instrumental dan nilai-nilai praktis
harus tetap mengandung jiwa dan semangat yang sama dengan nilai dasarnya.
Kebenaran pola pikir seperti yang terurai di atas adalah sesuai dengan ideologi yang memiliki tiga
dimensi penting yaitu Dimensi Realitas, Dimensi Idealisme dan Dimensi Fleksibilitas.
Pancasila sebagai Dasar Sistem Filsafat Bangsa hendaknya dikembangkan sebagai filsafat
kritikal, karena Pancasila sebagai ideologi terbuka harus dapat dikembangkan sejalan dengan
perkembangan pemikiran umat manusia dan peradaban. Pancasila bukan sebuah ideologi
konservatif, namun sebuah ideologi terbuka yang progresif, yang mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan pemikiran umat manusia, sekaligus mampu memberikan kritik-kritik yang mendasar
terhadap hal-hal atau pemikiran yang tidak fungsional. Salah satu karakter suatu budaya ialah selalu
beradaptasi dengan seluruh perubahan manusia dan peradaban (Y.A. Cohen, 1964). Pancasila
bukanlah suatu sistem filsafat yang tertutup dan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dan
peradaban. Pancasila memiliki daya sesuai dan adaptasi yang tinggi, karena Pancasila sebagai
sumber daya nilai yang sangat mendasar dan universal.
Tidak ada yang salah dengan Pancasila. Pemaknaan yang keliru selama ini adalah buah
kebijakan dan bukan sesuatu yang melekat, karena nilai-nilai Pancasila sendiri adalah sesuatu yang
universal, yang pada dasarnya merupakan penjelmaan dari suara nurani tentang kewajiban ber-
Tuhan sebagai sesuatu hak yang paling asasi, penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan,
indahnya kebersamaan dengan persatuan, menghargai dan mendahulukan atau pro kerakyatan dan
hikmah serta mendeklarasikan pula penghargaan, penghormatan dan perjuangan untuk keadilan
yang egalitarian. Nilai-nilai seperti ini sangat berharga untuk membangun suatu komunitas sosial
bersama.
Sebagai salah satu contoh fenomena yang pernah terjadi dan bersinggungan dengan hal ini
adalah kasus kebhinekaan. Sangat sering terjadi ketegangan sosial dan perdebatan tentang berbagai
masalah terutama tentang pluralisme dan kebijakan yang berkenaan atau menyentil rasa
kebhinekaan.Polemik berkenaan tentang RUU APP misalnya dan konsistensi menjadikan Pancasila
sebagai falsafah atau ideologi negara telah mengemuka di ruang publik. Pro dan kontra diikuti
dengan ketegangan-ketegangan masalah show of force semakin sering terjadi. Ada yang merasa
benar, ada yang merasa unggul, ada yang merasa terdiskriminasikan dan adapula yang merasa
terancam seperti yang di paparkan oleh Imdadun Rahmat, bahwa salah satu hal yang menjadi
kontroversi dari RUU APP adalah penyeragaman nilai dan standar etika. Ukuran susila dan asusila
milik satu golongan dipaksakan untuk menjadi ukuran kesopanan bagi semua golongan bangsa
ini.Pengertian porno dan tidak porno dibangun dari keyakinan, paradigma dan perspektif tunggal.
Bagi bangsa yang plural baik dari sisi budaya, adat maupun agama ini uniformisasi nilai dan etika
tidak saja akan menimbulkan masalah, tetapi juga memantik rasa ketidakadilan dan akhirnya bisa
muncul problem sektarianisme dan primordialisme yang sempit.
Dalam masalah ini, Pancasila menemukan momentumnya. Pancasila kembali harus
dimunculkan sebagai suatu nilai yang sedapat mungkin masih diterima bersama selama Indonesia
masih ada. Sesungguhnya Pancasila masih bisa diupayakan menjadi acuan nation state kita yang
meletakkan seluruh kepentingan pada posisi yang sama yakni kesetaraan sebagai hal yang utama
bagi eksistensi Indonesia. Di tengah situasi politik dan ekonomi yang teramat rentan, nilai-nilai
multikulturalisme yang ada pada Pancasila menjadi faktor penyelamat negara-bangsa. Sekarang
Pancasila seharusnya kembali menjadi suatu milik bersama mulai dari pengkajian sebagai wacana
bersama, pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara
terus-menerus sampai merumuskan paradigma baru pemikiran dan pemaknaan Pancasila sehingga
tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pancasila menjadi penting bagi bagi
pluralisme Indonesia.
Pancasila dalam Sistem Ekonomi ditengah terjangan dan jeratan sistem liberalis-kapitalistik
saat ini, ketika kita kembali terjajah secara ekonomi, nilai-nilai suatu sistem seperti apa yang
mampu menjatidirikan negara-bangsa ini. Sejatinya, sistem ekonomi Indonesia adalah sistem
ekonomi yang mestinya berbasis kerakyatan, bukan sistem yang cenderung melegalisasi liberalisme
dan kapitalisme global.Meskipun pasca reformasi terkadang kita enggan untuk mengenali kembali
atau memaknai kembali sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis Pancasila sebagai idea
moral.Namun jika diletakkan Pancasila sebagai spirit dasar ekonomi kerakyatan, tidak ada yang
salah. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Edi Swasono, bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah
sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, sistem ekonomi yang harus
memuat dan berlandaskan pada berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme.
Kemanusiaan yang adil dan beradab, artinya sistem ekonomi yang tidak mengenal pemerasan atau
eksploitasi.Persatuan Indonesia, berarti sistem ekonomi ini mengedepankan kebersamaan, asas
kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi. Kerakyatan, yang tentulah
maksudnya untuk mengutamakan kehidupan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak. Serta
Keadilan Sosial, sebuah sistem ekonomi yang mesti menjamin adanya persamaan atau emansipasi,
kemakmuran masyarakat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang.
Penutup
Pancasila masih sangat relevan sebagai ideologi bangsa di era reformasi dan globlaisasi, hal
ini mengacu pada sifat Pancasila sebagai ideologi yang terbuka, tidak konservatif, dan merupakan
suatu sumber nilai yang sangat mendasar dan universal. Pancasila merupakan sebuah ideologi
terbuka yang progresif, yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan pemikiran umat
manusia, sekaligus mampu memberikan kritik-kritik yang mendasar terhadap hal-hal atau
pemikiran yang tidak fungsional. Salah satu karakter suatu budaya ialah selalu beradaptasi dengan
seluruh perubahan manusia dan peradaban. Penyelesaian masalah mengenai relevansi Pancasila ini
berdasar bukan hanya kepada nilai-nilai apa saja yang terkandung, tetapi juga mengenai pemaknaan
atau penafsiran dari sumber nilai pada Pancasila dalam mengatasi berbagai permasalahan bangsa di
era reformasi dan globalisasi ini. Perlu penyegaran kembali di dalam melaksanakan cita-cita yang
terkandung dalam Pancasila, yang sebenarnya juga merupakan tantangan bagi kita semua. Karena
kembali pada dasar penetapanya sebagai ideologi, Pancasila merupakan kontrak sosial yang telah
disepakati yang memuat nilai luhur demi mencapai tujuan bersama semua rakyat Indonesia.
Daftar Pustaka
Anugrah, Dadan. 2008. Pancasila dan Implementasinya. Universitas Mercubuana. Jakarta
Hidayati, Noor Arifah. 2012. Masih Relevankah Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Di Era
Globalisasi Ini. Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Dan Komputer Amikom Yogyakarta
Sangganagara, Harjoko.2008. Pancasila di Tengah Globalisasi. __.
Sujana, Naya. 2010. Aksiologi Kritikal Terhadap Semangat Dan Ideologi Kebangsaan
Indonesia Dalam Arus Globalisasi. Ecxellence with Morality: Mutiara Jatidiri
Universitas Airlangga dan Identitas Kebangsaan. Bayu Media. Malang
Wildan, Dadan. 2009. Pendidikan Wawasan Kebangsaan di Era Reformasi Gelombang Kedua
Untuk Mewujudkan Visi Indonesia 2025. Jurnal Sekretariat Negara RI No. 14
PENDIDIKAN PANCASILA
“Relevansi Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Di Era Reformasi dan
Globalisasi ”
DISUSUN OLEH :
Nama : Septian Vidya Pangastiti
NIM : 115130101111041
Dosen Pengampu Mata Kuliah:
Haru Permadi, SH
PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014