bab i pendahuluan · 2017. 1. 17. · globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti...

23
1 BAB I PENDAHULUAN Perkembangan jaman yang dikenal sebagai era globalisasi saat ini menuntut setiap individu untuk berkomunikasi dengan individu dari berbagai kalangan dan belahan dunia. Bahasa yang paling sering digunakan untuk berkomunikasi di era ini dan dianggap sebagai bahasa Internasional adalah Bahasa Inggris. Demikian juga halnya di Indonesia, melalui pendidikan di jenjang perguruan tinggi, diupayakan memfasilitasi mahasiswa dengan mengajarkan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Salah satunya adalah dengan pengajaran Public Speaking. Melalui matakuliah tersebut, diharapkan dapat membekali para mahasiswa untuk dapat menggunakan Bahasa Inggris dengan baik dan berkomunikasi dihadapan publik dengan lancar. Namun, selama perkuliahan berlangsung, banyak mahasiswa apabila diminta untuk berbicara di depan kelas merasa cemas dan gugup. Untuk itu dalam bab ini penulis akan menjelaskan latar belakang Communication Apprehension pada mahasiswa di kelas Public Speaking di FBS UKSW.

Upload: others

Post on 07-Feb-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Perkembangan jaman yang dikenal sebagai era globalisasi

    saat ini menuntut setiap individu untuk berkomunikasi dengan

    individu dari berbagai kalangan dan belahan dunia. Bahasa yang

    paling sering digunakan untuk berkomunikasi di era ini dan

    dianggap sebagai bahasa Internasional adalah Bahasa Inggris.

    Demikian juga halnya di Indonesia, melalui pendidikan di jenjang

    perguruan tinggi, diupayakan memfasilitasi mahasiswa dengan

    mengajarkan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Salah

    satunya adalah dengan pengajaran Public Speaking. Melalui

    matakuliah tersebut, diharapkan dapat membekali para

    mahasiswa untuk dapat menggunakan Bahasa Inggris dengan

    baik dan berkomunikasi dihadapan publik dengan lancar. Namun,

    selama perkuliahan berlangsung, banyak mahasiswa apabila

    diminta untuk berbicara di depan kelas merasa cemas dan gugup.

    Untuk itu dalam bab ini penulis akan menjelaskan latar belakang

    Communication Apprehension pada mahasiswa di kelas Public

    Speaking di FBS UKSW.

  • 2

    1.1 Latar Belakang

    Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan

    seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,

    pertahanan keamanan, yang didukung dengan perkembangan

    teknologi informasi dan komunikasi. Tidak dapat dipungkiri

    bahwa dunia pendidikan juga merupakan salah satu bidang yang

    terkena dampak dari globalisasi, yang berarti terintegrasinya

    pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia (Admadi &

    Setyaningsih, 2005). Oleh sebab itu diperlukan proses pendidikan

    yang bermutu agar menghasilkan sumber daya manusia yang

    berkualitas, salah satunya melalui pendidikan tinggi di perguruan

    tinggi.

    Perguruan tinggi merupakan satuan pendidikan yang

    menyelenggarakan pendidikan tinggi. Menurut Peraturan

    Pemerintah Pasal 2 Nomor 60 Tahun 1999, tujuan umum

    pendidikan di perguruan tinggi adalah untuk meningkatkan taraf

    pendidikan masyarakat sehingga tercipta masyarakat sejahtera,

    adil dan makmur. Secara khusus, pendidikan di perguruan tinggi

    sangat berperan dalam pembentukan, peningkatan skill dan

    kualitas sumber daya manusia yang nantinya akan terjun di dunia

    kerja, yang salah satunya adalah meningkatkan keterampilan

    dalam berkomunikasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara

    penguasaan bahasa asing sebagai alat komunikasi global, karena

    globalisasi yang memasuki ranah pendidikan adalah bahasa.

    Menanggapi fenomena globalisasi tersebut, berbagai upaya

    dilakukan Pemerintah Indonesia untuk memperlengkapi SDM

  • 3

    yang ada dengan penguasaan Bahasa Asing. Berbagai upaya yang

    dilakukan Pemerintah Indonesia antara lain mengajarkan Bahasa

    Inggris sejak jenjang pendidikan dasar, bahkan di Taman Kanak-

    Kanak dan Kelompok Bermain. Sementara itu, di sekolah-

    sekolah unggulan, Bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa

    pengantar di sebagian atau keseluruhan proses belajar mengajar

    (Harian Kompas 14 Juli 2009, Anonim).

    Oleh sebab itu, sangat penting bagi perguruan tinggi

    untuk memfasilitasi para mahasiswa dengan matakuliah Bahasa

    Inggris. Salah satu kemampuan dasar yang harus dikuasai dalam

    mempelajari Bahasa Inggris adalah Speaking, karena siswa

    diharapkan mampu berkomunikasi dengan baik dengan

    menggunakan bahasa tersebut.

    Sebagaimana yang diungkapkan oleh Florez (1999),

    Speaking merupakan hal yang penting bagi seseorang yang

    belajar Bahasa Inggris agar dapat berpartisipasi secara total dalam

    percakapan Bahasa Inggris. Selain itu, dengan adanya

    pembelajaran Speaking, individu diharapkan dapat berinteraksi

    dan mampu bersaing di era globalisasi. Selanjutnya, Djigunovic

    (2006) menambahkan bahwa Speaking, terutama dengan bahasa

    asing dianggap sebagai suatu skill yang kompleks dan multilevel.

    Selebihnya, tujuan disediakannya matakuliah Speaking adalah

    agar mahasiswa termotivasi untuk berbicara menggunakan bahasa

    asing, khususnya Bahasa Inggris. Salah satu kegiatan yang paling

    sering dilakukan dalam matakuliah Speaking adalah presentasi,

    yang diawali dari mata kuliah Speaking level pertama sampai

    dengan level terakhir. Melalui kegiatan presentasi, mahasiswa

  • 4

    dituntut untuk mampu berbicara dengan baik di hadapan teman-

    temannya dan juga dosen pengampu mata kuliah tersebut

    (Wahyuni, 2014).

    Di kelas Speaking, mahasiswa dituntut untuk melakukan 3

    sampai 4 kali individual presentation dengan tingkat kesulitan

    yang berbeda-beda. Dengan adanya tugas tersebut, tampak bahwa

    mahasiswa merasa cemas dan takut untuk menyampaikan ide atau

    gagasan mereka. Hal tersebut sejalan dengan pendapat MacInnis

    (2006) yang menyatakan bahwa sebagian besar individu lebih

    memilih “mati” daripada harus melakukan presentasi di hadapan

    orang banyak. Hal ini dipertegas oleh Tilton (2002) dengan

    temuan bahwa masyarakat Amerika menggolongkan berbicara di

    depan umum sebagai ketakutan terbesar mereka. Tilton (2002)

    menambahkan, dalam kenyataannya, banyak individu yang

    menyatakan lebih takut untuk berbicara di depan umum

    dibanding ketakutan lainnya seperti kesulitan ekonomi, menderita

    suatu penyakit, bahkan ketakutan terhadap kematian. Ketakutan

    dan kecemasan yang terjadi dalam fenomena tersebut lebih

    dikenal sebagai Communication Apprehension.

    Communication Apprehension merupakan kecemasan

    yang dialami oleh berbagai kalangan. McCroskey (1977)

    menyatakan bahwa 15-20% pelajar Amerika mengalami

    Communication Apprehension. Ternyata, fenomena yang terjadi

    di Amerika tersebut juga terjadi di Indonesia. Apollo (2007)

    melakukan penelitian terhadap siswa SMF Bina Darma Madiun,

    dengan hasil temuan bahwa 65% remaja kelas II SMF Bina

    Farma Madiun mengalami CA.

  • 5

    Selain itu, kecemasan berbicara yang berkaitan dengan

    bahasa asing juga biasa disebut dengan Foreign Language

    Anxiety. Walaupun berkaitan dengan Foreign Language

    Learning, penulis tidak menggunakan istilah Foreign Language

    Anxiety, melainkan tetap menggunakan istilah Communication

    Apprehension (CA). Hal ini dikarenakan CA merupakan istilah

    khusus yang dipakai untuk menggambarkan perasaan cemas yang

    berbeda-beda dan ketakutan pelajar dalam setiap pengalaman

    berbicara menggunakan bahasa asing (Lahtinen, 2013).

    Demikian pula halnya dengan MacIntyre & Gardner

    (1991) yang mengatakan bahwa kecemasan pada seseorang saat

    berkomunikasi dengan orang lain disebut sebagai Communication

    Apprehension (CA). Opt & Loffredo (2000) juga menggunakan

    istilah CA sebagai bentuk dari perasaan takut atau cemas secara

    nyata ketika berbicara di depan orang – orang sebagai hasil dari

    proses belajar sosial. Dengan demikian, belum ada istilah yang

    sepadan untuk CA dalam Bahasa Indonesia. Penulis memilih CA

    sebagai variabel dalam penelitian ini karena adanya fenomena

    yang terjadi dalam dunia pendidikan seperti yang telah

    disebutkan di atas.

    Ada beberapa fenomena yang menarik terkait dengan

    Communication Apprehension. Salah satunya adalah yang

    dialami oleh para mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS)

    Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), yang merasa kuatir

    dan cemas ketika harus berbicara di depan orang banyak atau saat

    melakukan presentasi dalam Bahasa Inggris. Berdasarkan

    fenomena yang terjadi di FBS UKSW tersebut, penulis tertarik

  • 6

    untuk melakukan penelitian di kelas Public Speaking. Beberapa

    alasan diantaranya adalah, mahasiswa yang mengambil mata

    kuliah ini telah berada di tahun kedua atau semester empat dalam

    jenjang perkuliahan dan sudah melewati dua level matakuliah

    Speaking sebelumnya, yaitu Interpersonal Speaking, dan

    Transactional Speaking. Dalam matakuliah Public Speaking,

    mahasiswa dituntut untuk dapat berkomunikasi secara aktif

    selama proses pembelajaran berlangsung. Selain itu, di FBS

    UKSW, para mahasiswa dituntut untuk berkomunikasi dengan

    menggunakan Bahasa Inggris dalam berinteraksi dengan

    lingkungan perkuliahan sehari-hari. Dengan demikian,

    seharusnya dapat dipastikan bahwa mahasiswa telah terbiasa

    berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris.

    Selanjutnya, dalam matakuliah Public Speaking, mahasiswa

    sering mendapatkan tugas untuk melakukan presentasi individu.

    Selain itu, dalam matakuliah Public Speaking, siswa akan

    dihadapkan pada situasi-situasi riil yang mungkin akan mereka

    temui didalam lingkungan sosial dan pekerjaan mereka nantinya.

    Pada dasarnya, melakukan presentasi dalam Bahasa

    Inggris atau berbicara di depan kelas seharusnya merupakan hal

    yang sangat mudah dilakukan oleh mahasiswa FBS UKSW

    karena mereka memang mempelajari Bahasa Inggris secara

    intensif. Namun pada kenyataannya, mereka merasa frustasi,

    kuatir, cemas, dan tertekan ketika harus melakukan presentasi,

    khususnya “oral presentation”. Pernyataan tersebut didukung

    oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Prastiwi (2011)

    terhadap mahasiswa kelas Speaking FBS UKSW, dengan hasil

  • 7

    81,25 % responden merasa kuatir, cemas, dan tertekan ketika

    mereka harus melakukan presentasi atau menyampaikan ide atau

    gagasan mereka.

    Selain itu, pada tahun 2012, saat penulis mengajar

    matakuliah Public Speaking, penulis mengamati bahwa ada

    mahasiswa yang merasa cemas ketika diminta untuk melakukan

    presentasi. Pernyataan tersebut juga didukung oleh data laporan

    penilaian, dari 54 orang mahasiswa yang diamati oleh penulis

    pada saat itu, 46 orang diantaranya, atau 85% dari mahasiswa di

    kelas Public Speaking, mendapat nilai rendah pada aspek

    confidence. Selain itu, pada bulan Oktober 2014, penulis juga

    melakukan observasi di kelas Public Speaking. Pada kesempatan

    itu, selain melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa,

    penulis juga melakukan penyebaran angket kepada 48 mahasiswa

    yang mengambil matakuliah Public Speaking. Dari hasil

    penyebaran angket dan wawancara, diketemukan bahwa 80%

    mahasiswa merasa cemas ketika harus berpresentasi di depan

    kelas. (Tabel 1.1)

    Tabel 1.1 Tingkat CA Mahasiswa FBS UKSW di Kelas Public Speaking

    Tahun Mahasiswa Prosentase Referensi KT KR

    2011 52 12 81, 25% Prastiwi 2011 2012 46 8 85, 10% Observasi 2013 - - - Not available 2014 39 9 81, 25% Observasi

    Keterangan : KT : Kecemasan Tinggi KR: Kecemasan Rendah

    Atas dasar data empirik pada Tabel 1.1 yang

    menunjukkan tingginya eksistensi Communication Apprehension,

  • 8

    maka dapat disimpulkan bahwa ada masalah yang terkait dengan

    CA yang dimiliki mahasiswa dalam berkomunikasi. Oleh sebab

    itu, Communication Apprehension merupakan isu penting yang

    perlu dikaji lebih lanjut.

    Di kelas Public Speaking mahasiswa harus mampu

    berpresentasi dengan baik dan lancar guna mendapatkan nilai

    maksimal. Namun, mahasiswa di tengah-tengah presentasi sering

    kehilangan ide yang hendak disampaikan, sehingga ada yang

    meminta kepada dosen agar diijinkan untuk mengulang presentasi

    dari awal. Ada pula yang ketika perasaan gugup dan cemas

    timbul, mereka selalu mengulang-ulang ide yang hendak

    disampaikan. Aksi yang sering dilakukan antara lain adalah

    memainkan tangan, menggoyangkan kaki, bahkan mengucapkan

    kata “ehmmm” atau ‘er…er..er..’ secara berulang-ulang walaupun

    telah dipahami bahwa hal tersebut tidak penting.

    Hal-hal tersebut diatas sejalan dengan Nevid et al.(1997)

    yang menyatakan bahwa kecemasan berbicara di depan umum

    biasanya ditandai dengan gejala fisik seperti tangan berkeringat,

    jantung berdetak lebih cepat, dan kaki gemetaran. Penulis

    menduga terdapat rasa kuatir dan kurang percaya diri yang

    berlebihan dalam diri mahasiswa yang menyebabkan perilaku

    tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa CA terjadi

    dan dialami oleh individu ketika individu harus berkomunikasi

    ataupun melakukan presentasi di depan umum.

    Walaupun demikian, Communication Apprehension

    bukanlah suatu penyakit komunikasi yang tidak wajar dan setiap

    individu memiliki peluang untuk mengalami CA. Communication

  • 9

    Apprehension akan menjadi tidak wajar apabila terjadi secara

    berlebihan, karena akan berdampak atau berpengaruh dalam

    performa individu.

    Hal tersebut dipertegas dengan beberapa penelitian

    mengenai CA dalam beberapa tahun terakhir ini, antara lain yaitu

    penelitian yang dilakukan oleh MacIntyre & Gardner (1991),

    Kurtus (2001), Thaher (2005), dan Horwitz et al. (2001) dalam

    Lahtinen (2013). CA memiliki peran yang sangat besar dalam

    konsep Language Learning Anxiety sebagaimana diungkapkan

    oleh Horwitz et al. (2001) dalam Lahtinen (2013). Skill yang ada

    kaitannya dengan pembelajaran Bahasa Inggris yang diteliti

    dalam penelitian ini adalah Speaking, karena memiliki kaitan

    yang sangat erat dengan CA. Skala CA yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah Personal Report of Communication

    Apprehension 24 (PRCA-24), yang diciptakan oleh McCroskey

    (1984). Penulis menggunakan PRCA-24 karena alat ukur tersebut

    dapat digunakan untuk mengukur keseluruhan aspek yang hendak

    diteliti oleh penulis.

    Berkaitan dengan fenomena Communication

    Apprehension yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk

    meneliti mengapa mahasiswa cenderung mengalami kecemasan

    ketika melakukan presentasi menggunakan Bahasa Inggris di

    depan kelas, sedangkan para mahasiswa tersebut sudah sangat

    terbiasa berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris.

    Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Communication

    Apprehension merupakan fenomena yang bisa terjadi dimana

    saja, dan salah satunya di FBS UKSW.

  • 10

    Selanjutnya, dalam dunia akademik atau pendidikan,

    Communication Apprehension memiliki dampak yang negatif,

    terutama dalam partisipasi kelas, kesuksesan akademis, dalam

    prestasi dan daya ingat tiap-tiap individu. Siswa dengan CA

    tinggi cenderung menjadi pasif di kelas, dan sering lupa akan apa

    yang hendak disampaikan pada saat berbicara di hadapan orang

    banyak. Erickson & Gardner (1992) menyatakan bahwa siswa

    menengah atas yang memiliki tingkat Communication

    Apprehension yang tinggi memilih untuk tidak melanjutkan ke

    jenjang pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa

    yang memiliki tingkat CA yang rendah. Elliot, et al (2000)

    menyatakan bahwa mahasiswa sering mengalami kecemasan saat

    akan menghadapi ujian ataupun saat harus berbicara di depan

    orang banyak, dan kecemasan tersebut akan memengaruhi

    performansinya. McCroskey (1984) dalam Byers & Weber

    (1995) juga mengatakan bahwa CA menghasilkan pengaruh

    negatif terhadap kehidupan ekonomi, akademis, politik, dan

    sosial individu

    Namun sebaliknya, terdapat beberapa penelitian yang

    menunjukkan bahwa CA tidak serta-merta berdampak negatif

    tetapi juga dapat memberikan kontribusi positif. Hal positif bagi

    mahasiswa yang menyadari memiliki CA tinggi adalah

    mahasiswa tampak lebih mempersiapkan diri dengan baik

    sebelum melakukan presentasi. Communication Apprehension

    dapat memotivasi individu dalam menghadapi hal baru dan

    memberikan rangsangan dalam aspek emosional dalam diri

  • 11

    individu yang mengarahkan perilaku. Hal tersebut dinyatakan

    oleh Scovel (1991, p.18) sebagai berikut:

    “----facilitating anxiety motivates the learner to

    fight the new learning task; it gears the learner

    emotionally for approach behavior. Debilitating

    anxiety, in contrast, motivates the learner to flee the

    new learning task; it stimulates the individual

    emotionally to adopt avoidance behavior.”

    Smith (2003) menambahkan bahwa CA tidak semata-mata

    berdampak negatif tetapi juga berdampak positif. Individu yang

    menyadari bahwa dirinya memiliki CA dapat juga termotivasi

    untuk melakukan persiapan dengan lebih baik sebelum

    melakukan presentasi di depan kelas seperti berlatih dengan lebih

    giat, mempersiapkan diri jauh hari, dan membuat catatan ketika

    melakukan presentasi.

    Hasil pengamatan yang dilakukan oleh penulis selama

    bulan Oktober 2014 menunjukkan bahwa ada mahasiswa dengan

    CA tinggi yang tampak berusaha keras mengatasi kecemasan saat

    berpresentasi dengan membuat catatan. Namun sayangnya, hal ini

    membuat mahasiswa menjadi sangat bergantung pada catatan saja

    atau hanya membaca, sehingga tujuan pembelajaran Speaking

    tidak tercapai. Ada pula mahasiswa yang mengatakan telah

    berlatih dengan keras sejak beberapa hari sebelum berpresentasi,

    tetapi pada kenyataanya masih saja terlihat gugup. Fenomena

    yang terjadi di kelas Public Speaking di FBS UKSW

  • 12

    menunjukkan bahwa dampak negatif lebih dominan dibandingkan

    dampak positif CA.

    Pada umumnya, fokus penelitian dalam Pembelajaran

    Bahasa Asing (Second Language Acquisition) adalah pada hal-hal

    yang berkaitan dengan pengajaran bahasa. Akibatnya, banyak

    penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut dibatasi pada

    pembelajaran dan pengajaran bahasa saja, atau dapat dikatakan

    pembelajaran yang berpusat pada aspek kognitif, dan tidak begitu

    memberikan perhatian pada aspek afektif. Hal tersebut juga

    menjadi salah satu penyebab tingginya tingkat CA individu,

    karena ketika individu berbicara atau berkomunikasi dengan

    menggunakan bahasa asing, mereka harus benar-benar

    menggunakan tata bahasa yang baku dan benar. Barulah pada

    akhir abad keduapuluh, SLA mulai mempelajari peran penting

    antara sikap dan motivasi yang dimiliki individu seperti yang

    dinyatakan oleh Shamas (2006).

    Shamas (2006) menambahkan, bahwa dalam rangka

    mendapatkan proses pemahaman holistik dalam pembelajaran

    bahasa asing, selain kompetensi linguistik yang perlu

    dikembangkan, maka aspek afektif seperti gaya belajar, motivasi,

    dan kepribadian perlu diperhatikan untuk meningkatkan performa

    individu, mendukung kompetensi komunikatifnya, sehingga

    dapat berbicara dalam bahasa asing secara spontan di berbagai

    konteks sosial, dan mengurangi tingkat kemungkinan munculnya

    Communication Aprehension.

    Selanjutnya dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris,

    Djigunovic (2006) menjelaskan bahwa Speaking merupakan skill

  • 13

    yang multilevel dan kompleks, maka diperlukan faktor-faktor

    pendukung untuk dapat berbicara dengan baik. Faktor tersebut

    mencakup pengetahuan mengenai bahasa yang digunakan beserta

    topik yang akan disampaikan, dan kemampuan berbicara dalam

    berbagai situasi yang nyata. Dengan kata lain, dapat dikatakan

    bahwa Speaking tidak hanya memerlukan proses kognitif

    melainkan juga mencakup faktor-faktor afektif.

    Communication Apprehension (CA) yang dialami oleh

    mahasiswa dapat muncul disebabkan oleh beberapa hal seperti

    kurangnya persiapan mahasiswa, keterbatasan kemampuan

    komunikasi, kurangnya pengalaman berkomunikasi di depan

    umum, kepribadian yang introvert, dan juga situasi yang berbeda

    atau baru seperti yang dinyatakan oleh McCroskey (1984) dan

    Miller (2002). Pada suatu kesempatan McCroskey (1977)

    menunjukkan bahwa terdapat dua faktor psikologi dalam

    Communication Apprehension yaitu emosi dan motivasi.

    Thaher (2005) menambahkan bahwa tidak hanya emosi

    dan motivasi saja yang memengaruhi CA dalam konteks Foreign

    Language Learning, tetapi ada beberapa faktor yaitu

    psychological factors, instructional factors, dan sosiocultural

    factors.

    Berkaitan dengan hal tersebut, Khodadady & Khajavy

    (2013) menyatakan bahwa emosi memiliki kaitan yang erat

    dengan afeksi, dan salah satu faktor afeksi dalam CA adalah Self

    Efficacy. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Self Efficacy

    merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan

    Communication Apprehension.

  • 14

    Pada suatu kesempatan, Feist & Feist (2002) juga

    menyatakan bahwa ketika seseorang mengalami ketakutan yang

    tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat stress yang tinggi, maka

    biasanya mempunyai Self Efficacy yang rendah. Sementara

    individu yang memiliki Self Efficay yang tinggi merasa mampu

    dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan

    menganggap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu

    dihindari. Ketika menghadapi tugas yang menekan, dalam hal ini

    berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap

    kemampuan mereka (Self Efficacy) akan memengaruhi cara

    individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan

    (Bandura,1997). Hal ini mencakup perasaan mengetahui apa yang

    dilakukan dan juga secara emosional mampu untuk

    melakukannya.

    Oleh sebab itu, penelitian mengenai Self Efficacy

    penting untuk dilakukan, dengan alasan bahwa Self Efficacy

    merupakan faktor yang sangat memengaruhi keberhasilan

    seseorang untuk berbicara di depan umum atau berpresentasi di

    depan kelas (Speaking). Hal ini penting karena kelancaran

    mahasiswa dalam Speaking akan memengaruhi kelulusannya

    dalam matakuliah Public Speaking.

    Self Efficacy yang akan didiskusikan di dalam penelitian

    ini adalah Foreign Language Learner Self Efficacy, dimana FLL

    Self Efficacy merupakan bagian dari Academic Self Efficacy.

    Sebagaimana diungkapkan oleh Akomolafe (2013), bahwa

    Academic Self Efficacy merupakan penilaian pribadi mengenai

    kemampuan yang dimiliki individu untuk mengolah dan

  • 15

    melaksanakan suatu tindakan dalam serangkaian pelajaran atau

    mata pelajaran untuk mencapai berbagai macam performance

    dalam pendidikan. FLL Self Efficacy juga menjadi salah satu

    faktor penting dari CA dan juga menjadi alat untuk mengukur

    kemampuan individu guna menyelesaikan tugas atau tujuan

    seperti yang diungkapkan oleh Ormrod (2006) dalam Azar

    (2013). Dalam penelitian ini, yang menjadi subyek penelitian

    adalah mahasiswa FBS UKSW. Apabila dilihat dari segi

    pembelajaran Bahasa Inggris, mahasiswa FBS UKSW merupakan

    ‘Foreign Language Learner’. Oleh sebab itu, penulis

    menggunakan istilah Foreign Language Learner Self Efficacy.

    Ada beberapa penelitian berkaitan dengan hubungan

    antara FLL Self Efficacy dengan Communication Apprehension.

    Temuan dari beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan

    bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara Self

    Efficacy dengan CA (Respati, et al, 2008 dan Indi, 2009).

    Maksudnya semakin tinggi Self Efficacy mahasiswa, maka akan

    semakin rendah tingkat CA. Sebaliknya, semakin rendah Self

    Efficacy mahasiswa, maka tingkat CA akan semakin tinggi.

    Namun, hal tersebut berbeda dengan penelitian Cubukcu

    (2008), yang meneliti korelasi antara Self Efficacy dengan CA

    pada 100 siswa dalam program pelatihan guru Bahasa Inggris di

    salah satu universitas di Turki. Hasil penelitian tersebut

    menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara Self Efficacy

    dengan Communication Apprehension.

    Sehubungan dengan adanya perbedaan hasil penelitian pada

    beberapa penelitian sebelumnya mengenai Self Efficacy dan CA,

  • 16

    penulis tertarik untuk menguji kembali hasil-hasil dari penelitian

    sebelumnya.

    Selain FLL Self Efficacy, motivasi juga merupakan faktor

    yang memberikan kontribusi penting dalam berkomunikasi

    (Thaher, 2005). Motivasi menurut Longman Dictionary of

    Contemporary English, mengacu pada alasan mengapa seseorang

    ingin melakukan sesuatu. Schunk, et al. (2010) melihat motivasi

    sebagai sebuah dorongan dan dukungan dalam melakukan sebuah

    aktivitas untuk mencapai tujuan. Motivasi yang dimiliki

    seseorang akan menentukan tindakan yang akan dilakukannya.

    Dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris, motivasi

    yang dimiliki seseorang untuk belajar Bahasa Inggris akan

    mendorong orang tersebut untuk mempelajarinya lebih lanjut.

    Asnawi (2002) menyatakan bahwa motivasi adalah kondisi yang

    berpengaruh dalam membangkitkan, mengarahkan, dan

    memelihara perilaku tiap-tiap individu terhadap suatu aktivitas.

    Sementara itu, menurut Putra (2010), motivasi merupakan satu

    penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau

    mencapai sesuatu tujuan dengan kata lain sebagai rencana atau

    keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan

    hidup.

    Dalam penelitian ini, penulis memilih Motivasi

    Berprestasi sebagai salah satu faktor yang dapat memengaruhi

    CA, karena Motivasi Berprestasi berkaitan erat dengan outcome

    atau performance individu. Seperti yang dinyatakan oleh Thaher

    (2005) bahwa Motivasi Beprestasi merupakan faktor yang sangat

    berperan dalam pembelajaran bahasa asing ataupun bahasa kedua.

  • 17

    Selain itu, Khalek (1994) menyatakan bahwa terdapat

    kemungkinan besar bahwa Motivasi Berprestasi memengaruhi

    kecemasan. Apabila Motivasi Berprestasi individu rendah, maka

    individu tersebut diprediksi memiliki tingkat kecemasan yang

    tinggi. Selanjutnya, Azar (2013) menambahkan bahwa Motivasi

    berprestasi merupakan motivasi yang memiliki andil besar dalam

    pencapaian academic performance mahasiswa. Hal ini sejalan

    dengan kriteria penilaian yang dilakukan dalam matakuliah

    Public Speaking, yaitu untuk mengukur keberhasilan siswa dalam

    berbicara menggunakan Bahasa Inggris, dinilai dari keberhasilan

    dalam berpresentasi atau hasil performance mahasiswa.

    Ada sebagian besar penulis yang menyatakan Motivasi

    Berprestasi dengan pandangan yang berbeda-beda. Atkinson

    (1964) dalam Singh (2011) menjelaskan bahwa Motivasi

    Berprestasi merupakan perbandingan performance tiap individu

    dan juga perlawanan terhadap standar tertentu dalam sebuah

    aktivitas.

    Dalam penelitian ini, penulis tidak menggunakan teori

    motivasi dari Atkinson (1964) dalam Singh (2011), melainkan

    dari McClelland (1985). Dalam kegiatan belajar, Motivasi

    Berprestasi merupakan salah satu faktor pendorong yang bersifat

    internal yang perlu ditingkatkan untuk kemajuan belajar.

    McClelland (1985), menyatakan bahwa Motivasi Berprestasi

    sebagai kecenderungan individu untuk berupaya mengarahkan

    tingkah laku dalam pencapaian prestasi. Selain itu, McClelland

    (1985) mengembangkan teorinya berdasarkan teori kebutuhan

    Maslow, yang dikelompokkan menjadi tiga kebutuhan yaitu

  • 18

    kebutuhan akan pencapaian, kebutuhan akan afiliasi, dan

    kebutuhan akan kekuasaan.

    Selanjutnya, ada berbagai penelitian yang dilakukan oleh

    peneliti sebelumnya mengenai hubungan antara Motivasi

    Berprestasi dengan Communication Apprehension. Beberapa

    penelitian menemukan bahwa Motivasi Berprestasi memiliki

    hubungan yang positif dan signifikan dengan performance dalam

    pembelajaran bahasa asing. Hal tersebut didukung oleh beberapa

    penelitian yang antara lain dilakukan oleh Putra (2010) dengan,

    Budiawan (2008), Yusuf (2011), dan Azar (2013), yang

    menyatakan bahwa Motivasi Berprestasi berkorelasi positif dan

    signifikan dengan keberhasilan berpresentasi atau performance

    dalam pembelajaran bahasa asing.

    Sebaliknya, hasil temuan berbeda ditemukan oleh

    Baharudin (2013) dan Ray (1990), yang menyatakan bahwa

    Motivasi Berprestasi tidak memiliki hubungan dengan

    Communication Apprehension (CA). Temuan ini

    mengindikasikan bahwa Motivasi Berprestasi tidak memiliki

    korelasi dengan CA.

    Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tersebut, penting

    bagi penulis untuk meneliti motivasi terutama Motivasi

    Berprestasi mahasiswa kelas Speaking FBS UKSW, karena

    motivasi merupakan salah satu fondasi dari kemampuan

    berkomunikasi baik dalam komunikasi interpersonal, group,

    ataupun komunikasi massa. Selain itu, dalam kaitannya dengan

    Foreign Language Learning, motivasi berfungsi sebagai kendali

    dan pengurang CA dalam diri individu seperti yang dinyatakan

  • 19

    oleh Schunk (1995). Selain itu, Khodadady & Khajavy (2013)

    menyatakan bahwa motivasi merupakan salah satu faktor afektif

    yang penting yang memengaruhi pembelajaran bahasa.

    Dalam penelitian ini, penulis mengaitkan hasil-hasil

    penelitian sebelumnya yang menggunakan istilah performance.

    Hal ini disebabkan karena CA memiliki kaitan dengan

    performance. Keberhasilan seseorang dalam penguasaan

    Speaking di hadapan orang banyak (berpresentasi) dalam konteks

    pembelajaran Bahasa Inggris dapat dinilai dalam bentuk

    performance. Performance merupakan skill atau kemampuan dan

    pengetahuan yang dimiliki individu yang seharusnya dapat

    berfungsi secara efektif dalam kehidupan sosial. Performance

    berarti tampil di depan umum, yang mana dalam konteks

    pembelajaran Bahasa Inggris di kelas Public Speaking berarti

    melakukan presentasi di depan kelas, dihadapan dosen pengampu

    dan mahasiswa lainnya (Thaher, 2005).

    Dari kondisi atau fenomena dan juga penelitian

    sebelumnya, penulis tertarik untuk memilih Motivasi Berprestasi

    sebagai variabel dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan

    Motivasi Berprestasi merupakan salah satu aspek penting yang

    harus dimiliki seseorang apabila mereka ingin memiliki

    kompetensi berbicara yang baik. Selain itu, dalam kaitannya

    dengan Foreign Language Learning, motivasi berfungsi sebagai

    kendali dan pengurang CA dalam diri individu seperti yang

    dinyatakan oleh Schunk (1995). Selain itu, Khodadady &

    Khajavy (2013) menyatakan bahwa motivasi merupakan salah

  • 20

    satu faktor afektif yang penting yang memengaruhi pembelajaran

    bahasa.

    Selain faktor-faktor yang telah diuraikan, perbedaan jenis

    kelamin juga telah menjadi fokus dalam beberapa penelitian

    mengenai Communication Apprehension. Elliot & Chong (2004)

    menyebutkan bahwa perbedaan jenis kelamin merupakan salah

    satu faktor yang dapat memengaruhi CA, dimana wanita memiliki

    CA yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Temuan Elliot &

    Chong (2004) sejalan dengan penelitian Johnson dan Faunce

    (1973). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Johnson & Faunce

    (1973) menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan memiliki

    tingkat Communication Apprehension yang lebih tinggi

    dibandingkan dengan mahasiswa laki-laki. Temuan ini

    mengindikasikan bahwa ada perbedaan tingkat CA apabila

    ditinjau dari jenis kelamin. Artinya, tingkat CA laki-laki bisa

    lebih tinggi maupun lebih rendah dari perempuan.

    Sebaliknya, dalam penelitian yang dilakukan oleh Thaher

    (2005) ditemukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat

    Communication Apprehension antara laki-laki dan perempuan

    [(0,731 > 0,05), t-hitung < t-tabel (0,344 < 1,96)]. Dengan kata

    lain, tingkat CA laki-laki dan perempuan adalah sama.

    Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk

    meneliti Self Efficacy dan juga Motivasi Berprestasi mahasiswa

    terutama dalam kaitannya dengan pembelajaran Bahasa Inggris

    sebagai bahasa asing. Penulis ingin meneliti adakah hubungan

    antara FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi yang dimiliki

    siswa dengan CA dalam berpresentasi. Penelitian mengenai FLL

  • 21

    Self Efficacy, Motivasi Berprestasi dan Communication

    Apprehension juga pernah dilakukan oleh Mettasari (2013).

    Penelitian yang dilakukan oleh Mettasari (2013) menemukan

    bahwa hasil koefisien korelasi berganda diperoleh sebesar R=

    0,772 dengan nilai signifikansi 0,000 (p< 0,05), yang artinya ada

    hubungan antara SE, MB dengan CA.

    Tidak lepas dari penelitian-penelitian yang telah

    dilakukan, penulis ingin menguji kembali adakah hubungan

    antara Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi dengan CA dalam

    Foreign Language Learning. Adapun hasil penelitian ini

    diharapkan dapat membantu mahasiswa untuk menyadari

    tingkatan Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi yang mereka

    miliki. Dengan demikian, siswa yang memiliki tingkat FLL Self

    Efficacy dan Motivasi Berprestasi yang rendah dapat menaikkan

    tingkat FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi mereka. Hal

    ini diharapkan dapat menurunkan tingkat Communication

    Apprehension yang mereka miliki dan meningkatkan

    performance mereka di kelas Speaking.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka

    yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:

    1. Adakah hubungan signifikan antara FLL Self Efficacy

    dan Motivasi Berprestasi dengan Communication

    Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking

    FBS UKSW?

  • 22

    2. Adakah interaksi antara Foreign Language Self

    Efficacy dan jenis kelamin terhadap Communication

    Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking

    FBS UKSW?

    3. Adakah interaksi antara Motivasi Berprestasi dan jenis

    kelamin terhadap Communication Apprehension

    mahasiswa di kelas Public Speaking di FBS UKSW?

    4. Adakah perbedaan signifikan Communication

    Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking

    FBS UKSW ditinjau dari jenis kelamin?

    1.3 Tujuan Penulisan

    Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka

    tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

    1. Menentukan hubungan antara FLL Self Efficacy dan

    Motivasi Berprestasi dengan Communication

    Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking

    FBS UKSW.

    2. Menentukan interaksi FLL Self Efficacy dan jenis

    kelamin dengan Communication Apprehension

    mahasiswa di kelas Public Speaking FBS UKSW.

    3. Menentukan interaksi Motivasi Berprestasi dan jenis

    kelamin dengan Communication Apprehension

    mahasiswa di kelas Public Speaking FBS UKSW.

    4. Menentukan perbedaan Communication

    Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking

    FBS UKSW ditinjau dari jenis kelamin.

  • 23

    1.4 Manfaat penelitian

    Merujuk pada tujuan penelitian di atas, maka penelitian

    ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

    1.4.1 Manfaat Teoritis:

    Dapat memperkaya konsep serta pola pikir individu

    tentang hubungan FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi

    dengan Communication Apprehension. Selain itu, kiranya

    penelitian ini dapat memberikan kontribusi pikir khususnya

    dalam bidang psikologi pendidikan, serta menguji kembali

    beberapa teori yang berhubungan dengan FLL Self Efficacy,

    Motivasi Berprestasi, dan Communication Apprehension.

    1.4.2 Manfaat Praktis:

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

    praktis antara lain:

    a. Sebagai kontribusi positif bagi lembaga-lembaga

    pendidikan dimana pun, secara khusus FBS UKSW.

    b. Memberikan informasi dan masukan positif bagi FBS

    UKSW untuk dapat mengembangkan materi yang dapat

    meningkatkan kualitas mahasiswa agar lebih

    meningkatkan kemampuan dalam hal public speaking.

    c. Memberikan kontribusi pikir kepada FBS UKSW

    mengenai pentingnya FLL Self Efficacy dan Motivasi

    Berprestasi di kelas Public Speaking

    d. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman

    atau referensi untuk penelitian berikutnya yang sejenis.