relevansi konsep imam al-gazÂlÎ tentang...
TRANSCRIPT
RELEVANSI KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG
SABAR DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN
DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam
Ilmu Pendidikan Islam
Oleh:
Oleh:
AMIN HUSNI
NIM : 043111103
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Amin Husni
Nim : 043111103
Jurusan/Program Studi : Pendidikan Agama Islam
menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya
saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
.
Semarang, 23 Mei 2011
Deklarator,
Amin Husni
NIM : 043111103
iii
DEPARTEMEN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH JL. Prof. Dr. HAMKA (Kampus ) Ngalian Semarang
Telp. (024) 7601291 Fax.7615387
PENGESAHAN
Naskah skripsi dengan:
Judul : Relevansi Konsep Imam Al-Gazâlî tentang Sabar dalam
Kitab Ihya Ullumuddin dengan Tujuan Pendidikan Islam Nama : Amin Husni
NIM : 043111103
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
telah diujikan dalam sidang munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam
Semarang, Juni 2011
DEWAN PENGUJI
Ketua, Sekretaris,
H. Mursid, M.Ag. Yunita Rakhmawati, MA.
NIP. 19670305 200112 1001 NIP. 19780627 200501 2004
Penguji I, Penguji II,
Drs. H. Mat Solikhin, M.Ag Dr. Ahwan Fanani, M.Ag
NIP. 19600524 199203 1 001 NIP. 19780930 200312 1001
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Darmuin, M.Ag Amin Farih, M.Ag
NIP. 19640424 199303 1 003 NIP. 19710614200003 1 002
iv
NOTA PEMBIMBING Semarang, Juni 2011
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
Assalamua’alaikum Wr.Wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah skripsi dengan:
Judul : RELEVANSI KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ
TENTANG SABAR DALAM KITAB IHYA
ULUMUDDIN DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN
ISLAM
Nama : Amin Husni
NIM : 043111103
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam Sidang Munaqasyah
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pembimbing I,
Drs. Darmuin, M.Ag.
NIP. 19640424 199303 1 003
v
NOTA PEMBIMBING Semarang, Juni 2011
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
Assalamua’alaikum Wr.Wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah skripsi dengan:
Judul : RELEVANSI KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ
TENTANG SABAR DALAM KITAB IHYA
ULUMUDDIN DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN
ISLAM
Nama : Amin Husni
NIM : 043111103
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam Sidang Munaqasyah
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pembimbing II,
Amin Farih, M.Ag
NIP. 19710614200003 1 002
vi
ABSTRAK
Judul : Relevansi Konsep Imam Al-Gazâlî Tentang Sabar dalam Kitab Ihya
Ulumuddin dengan Tujuan Pendidikan Islam Penulis: Amin Husni
NIM : 043111103
Skripsi ini membahas konsep Imam Al-Gazâlî tentang sabar ditinjau
dari tujuan pendidikan Islam. Realita fenomena di masyarakat terjadi suatu
kesenjangan antara teori yang mengharuskan ikhtiar maksimal dengan sabar
diri sepenuhnya tanpa usaha. Studi ini dimaksudkan untuk menjawab
permasalahan bagaimana konsep sabar menurut Imam Al-Gazâlî? Bagaimana
sabar menurut Imam Al-Gazâlî ditinjau dari tujuan pendidikan Islam?
Permasalahan tersebut dibahas melalui studi kepustakaan (library research)
dengan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Dalam
membahas dan menelaah data, penulis menggunakan metode deskriptif
Analisis.
Kajian ini menunjukkan bahwa (1) Menurut Imam Al-Gazali, Allah
telah mensifati orang-orang yang sabar dengan beberapa sifat, Dia menyebut
sabar dalam Al-Qur'an pada lebih dari tujuh puluh tempat. Ketahuilah bahwa
sabar adalah kedudukan dari kedudukan agama dan derajat dari derajat-derajat
orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah. Apabila mengkaji konsep
sabar menurut Imam al-Ghazali sebagaimana telah dikemukakan dalam bab
sebelumnya, maka konsepnya sangat penting dan relevan dengan pendidikan,
kode etik pendidik (guru) dan kode etik peserta didik. Ali bin Abi Thalib
memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam, yang merupakan
kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan. Syarat
yang dimaksud sebagaimana dalam syairnya: "Seorang santri harus tabah
menghadapi ujian dan cobaan. Sebab ada yang mengatakan bahwa gudang
ilmu itu selalu diliputi dengan cobaan dan ujian. Ali bin Abi Thalib, berkata,
"Ketahuilah, kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan bekal enam
perkara, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal,
petunjuk/bimbingan guru, dan waktu yang lama." (2) Hubungan konsep sabar
menurut Imam al-Ghazali dengan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
pendidikan Islam ialah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan
fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju
terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil). Karena itu tujuan pendidikan
Islam adalah terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki wawasan
yang kaffah (utuh/lengkap/menyeluruh). Tujuan terakhir pendididikan Islam
yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. "Kata penyerahan diri
sepenuhnya kepada Allah" dalam bahasa agama disebut tawakkal yang
dicerminkan oleh sikap sabar. Tujuan pendidikan Islam seperti ini sesuai pula
dengan Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam (1977).
vii
TRANSLITERASI ARAB LATIN
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor:158 th. 1987, Nomor:1543b/u/1987
.
t ط a ا
Z ظ b ب
' ع t ت
g غ ś ث
f ف j ج
q ق h ح
k ك kh خ
l ل D د
m م ż ذ
n ن r ر
w و Z ز
h ه S س
, ء Sy ش
y ي ş ص
d ض
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini. Skripsi yang berjudul “RELEVANSI KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ
TENTANG SABAR DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN DENGAN
TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM”, ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Tarbiyah Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini
penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak
sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Suja'i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang.
2. Bapak Drs. Darmuin, M.Ag selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Amin
Farih, M.Ag selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan
waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan
dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Nasirudin, M.Ag selaku Kajur PAI Fakultas Tarbiyah
4. Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan
kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Tarbiyah yang telah memberikan izin dan
layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
6. Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan civitas akademik Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan pelayanan yang
baik serta membantu kelancaran penulisan skripsi ini.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum
mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca
pada umumnya.
ix
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
PERNYATAAN ................................................................................................ ii
PENGESAHAN ................................................................................................ iii
NOTA PEMBIMBING ................................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... vi
TRASLITERASI .............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Penegasan Istilah ......................................................................... 6
C. Perumusan masalah ..................................................................... 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 8
E. Telaah Pustaka ............................................................................ 9
F. Metodologi Penelitian ................................................................. 13
BAB II : LANDASAN TEORI KONSEP SABAR DAN TUJUAN
PENDIDIKAN ISLAM
A. Konsep Sabar …. ............................................................ 15
1. Pengertian Sabar ................................................................. 15
2. Macam-Macam Sabar ............................................................. 16
B. Pendidikan Islam ................................................................. 21
1. Pengertian Pendidikan Islam ................................................... 21
2. Landasan Pendidikan Islam .................................................... 24
3. Tujuan Pendidikan Islam......................................................... 28
BAB III: KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG SABAR
A. Biografi Imam Al-Gazâlî ............................................................ 31
x
1. Latar Belakang Imam Al-Gazâlî ............................................. 31
2. Karya-Karyanya ...................................................................... 35
B. Konsep Imam Al-Gazâlî tentang Sabar dalam
Kitab Ihya 'Ulum al-Din.............................................................. 38
BAB IV: KONSEP SABAR MENURUT IMAM AL-GHAZALI DAN
RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Analisis Pandangan Imam Al-Ghazali tentang Sabar ................. 57
B. Analisis Pandangan Imam Al-Ghazali tentang Sabar Relevansinya
dengan Tujuan Pendidikan Islam ................................................ 61
BAB V : PENUTUP
A. Simpulan ..................................................................................... 80
B. Saran-Saran ................................................................................. 81
C. Penutup ....................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam ialah segala usaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya
menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).1 Karena itu tujuan
pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki
wawasan yang kaffah (utuh/lengkap/menyeluruh).2 Sejalan dengan itu
menurut Arifin tujuan terakhir pendidikan Islam yaitu penyerahan diri
sepenuhnya kepada Allah.3
Menurut seorang tokoh filsuf Islam Ibnu Thufail bahwa manusia yang
terdiri dari badan dan jiwa, yang memiliki akal pikiran, ia selalu menggunakan
akalnya untuk berpikir mengetahui hal-hal yang belum ia ketahui, tetapi akal
tersebut kadang-kadang mengalami kebuntuan dan ketidak mampuan dalam
memahami rahasia Illahi, mengungkap misteri kehidupan dan mengemukakan
dalil-dalil pikiran. Akal yang sehat akan berpikir dengan sendirinya, berupa
kebenaran, kebaikan dan keindahan kedua-duanya dapat bertemu dalam satu
titik tanpa harus diperselisihkan lagi.4
Manusia yang terdiri dua unsur tidak dapat dipisahkan, kedua unsur
tersebut adalah jasad dan jiwa merupakan satu kesatuan. Karena bila
dipisahkan ia bukan manusia lagi.5 Jasad dapat bergerak karena adanya jiwa,
dan jiwa itu adalah tuan daripada jasad, namun kehidupan jasad tidak hanya
bergantung pada jiwa semata hal ini disebut dengan kehidupan ragawi
(lahiriyah), ia membutuhkan yang namanya pakaian, makanan, tempat tinggal,
1Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 28.
2Abdul Mujib dan Yusuf Muzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media,
2007), hlm. 83. 3Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 28.
4Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 163
5Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i Atas Berbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1997), hlm. 282
2
harta kekayaan dan sebagainya. Beda dengan jasad, untuk dapat hidup selalu
dalam kebenaran maka jiwa juga membutuhkan makanan, sementara makanan
yang dibutuhkan jiwa tidak serupa dengan apa yang dimakan oleh jasad,
makanan itu berupa ajaran-ajaran agama, memegang teguh Kalam Suci (Al-
Quran), menjalankan apa-apa yang telah disyari'atkan oleh Sang Maha
Pencipta, dan juga bersabar, yakni sabar dalam menjalankan perintah dan
larangan-Nya, menghadapi musibah dan menerima nikmat-Nya. Kalau kedua
unsur pokok telah terpenuhi kebutuhannya, terdapatlah keseimbangan, maka
kehidupan menjadi lebih tenang tentram dan bahagia. Inilah yang disebut
kepribadian manusia dalam totalitasnya.6
Melihat segala tingkah laku manusia, tokoh Barat yang
mengembangkan teori psikologi humanistik Abraham Maslow, memiliki
asumsi dasar, bahwa tingkah laku manusia dapat ditelaah melalui
kecenderungan dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga bermakna dan
terpuaskan.7
Berkaitan dengan hal itu seorang tokoh tasawuf ulama besar Imam al-
Gazâlî memeta-metakan tingkah laku manusia atau kepribadian (kejiwaan)
manusia ke dalam beberapa dimensi, secara dimensi pada diri manusia
terkumpul empat dimensi kejiwaan:
1. Dimensi ragawi (al-Jism)
2. Dimensi nabati (al-Natiyyah)
3. Dimensi Hewani (al-Hayawaniyyun)
4. Dimensi insani (al-insaniyah).8
Pada dasarnya pengetahuan manusia tentang dirinya secara umum
masih pada tahap awal, pengetahuan itupun menjadi terbatas sebab; pertama,
Pembahasan masalah manusia terlambat dilakukan karena pada mulanya
perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi.
6Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 247 7Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi; Telaah Atas Pemikiran
Psikologi Humanistik Abrahan Maslow, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 76 8Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam; Menuju Psikologi Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dana Yayasan Insani, 2001), hlm. 79
3
kedua, ciri khas akal manusia yang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang
tidak kompleks, ketiga, karena disebabkan multi kompleknya manusia.9
Akhir-akhir ini persaingan kehidupan yang terkotak-kotak pada
bidang-bidang tertentu semakin ketat membuat perjalanan peradaban yang
semakin cepat seperti terjadi sekarang ini menjadikan manusia yang hidup di
dalamnya harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang
terjadi, teknologi makin canggih, krisis ekonomi yang berkepanjangan
membuat perekonomian di masayarakat semakin parah, hingga akhirnya
kelangkaan pangan makin menjadi.
Apabila dipandang dengan kaca mata Islam, tidak terpenuhinya
keinginan-keinginan dalam hidup ini tidak hanya semata-mata karena
kesalahan mekanisme dan prosesnya saja, tetapi selaku umat Islam harus
memiliki keyakinan bahwa dibalik itu semua terdapat kekuatan (ketentuan)
lain yang berasal dari Allah Swt, inilah yang sering dipahami dengan ujian,
cobaan atau musibah dari Allah Swt , sebagaimana firman-Nya dalam Al-
Qur'an Surat Al-Baqarah; Ayat 155
"Dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar" (Q.S. Al-
Baqarah: l55).10
Maka tidak reda-redanya Allah Swt., memberi peringatan kepada
hamba-Nya untuk tabah dan berpegang teguh dalam menghadapi segala
cobaan, sebagaimana Allah Swt., memberi peringatan kepada para Rasul dan
nabi dan pembawa da'wah pada umumnya, bahwa mereka akan berjumpa dan
mengalami bermacam-macam cobaan.11
Dari sini pentingnya konsep sabar
9 Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i Atas Berbagai Persoalan Umat, hlm.278
10Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 99
11 Muhammad Natsir, Fiqhud Da'wah, (Jakarta: Media Da'wah, 2000), hlm. 259
4
diterapkan oleh manusia dalam menyikapi cobaan, ujian, musibah dan
berbagai masalah lainnya.
Dari sekian banyaknya konsep sabar, maka konsep Imam Al-Gazâlî
menarik untuk dikaji. Alasannya karena konsepnya jelas dan lugas. Hal ini
tidak berarti konsep pakar lainnya kurang menarik dan jelas, namun konsep
Imam Al-Gazâlî bisa dijadikan salah satu alternatif.
Menurut Imam Al-Gazâlî, Allah Ta'ala telah mensifati orang-orang
yang sabar dengan beberapa sifat, Dia menyebut sabar dalam Al-Qur'an pada
lebih dari tujuh puluh tempat dan Dia menambah lebih banyak derajat dan
kebaikan dan menjadikannya sebagai buah bagi sabar.12
Ketahuilah bahwa
sabar adalah kedudukan dari kedudukan agama dan derajat dari derajat-derajat
orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah. Dan semua kedudukan
agama itu sesungguhnya dapat tersusun dari tiga perkata yaitu: Ma'rifat, hal
ihwal dan amal perbuatan.13
Dari arti-arti yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kesabaran menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat,
dan pahit, yang harus diterima dan dihadapi dengan penuh tanggung jawab.
Berdasar kesimpulan tersebut, para agamawan merumuskan pengertian sabar
sebagai "menahan diri atau membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai
sesuatu yang baik atau lebih baik (luhur)".14
Orang yang sabar akan mampu
menerima segala macam cobaan dan musibah. Berbagai musibah dan
malapetaka yang melanda Indonesia telah dirasakan masyarakat. Bagi orang
yang sabar maka ia rela menerima kenyataan pahit, sementara yang menolak
dan atau tidak sabar, ia gelisah dan protes dengan nasibnya yang kurang
baik.15
Realita fenomena di masyarakat terjadi suatu kesenjangan antara teori
yang mengharuskan ikhtiar maksimal dengan sabar diri sepenuhnya tanpa
12
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, (Semarang: CV Asy-
Syifa, 1994), hlm. 314. 13
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, hlm. 323. 14
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 165. 15
Achmad Mubarok, Psikologi Qur'ani, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 73.
5
usaha. Dengan kata lain kenyataan menunjukkan bahwa persepsi yang
berkembang di sebagian masyarakat yaitu sabar merupakan bentuk pasrah diri
pada Allah Swt namun tanpa ikhtiar. Persepsi yang keliru ini mengakibatkan
umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak mampu bersaing dengan
dinamika zaman. Kenyataan ini dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.16
Dalam masyarakat bergulir sebuah anggapan bahwa sabar yang
sesungguhnya adalah kepasrahan seorang hamba terhadap Allah SWT tanpa
perlu usaha. Banyak orang yang diam bertopang dagu, mereka beranggapan
bahwa jika sudah menjadi rizkinya maka ia tidak akan kemana-mana.
Sebaliknya apabila bukan rizkinya maka dikejar pun akan lari dan menjauh.
Kekeliruan persepsi dan interpretasi seperti ini merupakan salah satu
fenomena ketidakmampuan manusia itu dalam berkompetisi di tengah-tengah
masyarakat yang makin kompleks.17
Konsep sabar perspektif Imam al-Gazâlî mempunyai hubungan yang
erat dengan tujuan pendidikan. Dengan kata lain bahwa konsep Imam al-
Gazâlî berkaitan pula dengan pendidikan karena dalam pendidikan dibutuhkan
kesabaran. Pendidik harus sabar dalam mentransfer ilmu dan peserta didik
harus sabar dalam mempelajari dan mendalami ilmu. Apabila mengkaji
konsep sabar menurut Imam al-Gazâlî, maka konsepnya sangat penting dan
relevan dengan pendidikan, kode etik pendidik (guru) dan kode etik peserta
didik.
Dalam mengungkapkan konsep sabar Imam al-Ghazali muncul suatu
masalah yaitu apakah konsepnya ada kesesuaian dengan tujuan pendidikan
Islam, jika sesuai sejauhmana hubungannya dengan pendidik dan peserta
didik.
Bertitik tolak dari keterangan dan masalah tersebut mendorong peneliti
mengangkat tema ini sebagaimana tersebut sebelumnya.
16
Achmad Mubarok, Psikologi Qur'ani, hlm. 73. 17
Yunan Nasution, Pegangan Hidup, 3, (Solo: Ramadhani, 1999), hlm. 187.
6
B. Penegasan Istilah
Agar pembahasan tema dalam skripsi ini menjadi terarah, jelas dan
mengena yang dimaksud, maka perlu dikemukakan batasan-batasan judul
yang masih perlu mendapatkan penjelasan secara rinci.
1. Sabar
Sabar (al-shabru) menurut bahasa adalah menahan diri dari keluh
kesah. Bersabar artinya berupaya sabar. Ada pula al-shibru dengan meng-
kasrah-kan shad artinya obat yang pahit, yakni sari pepohonan yang pahit.
Menyabarkannya berarti menyuruhnya sabar. Bulan sabar, artinya bulan
puasa. Ada yang berpendapat, "Asal kalimat sabar adalah keras dan kuat.
Al-Shibru tertuju pada obat yang terkenal sangat pahit dan sangat tak enak.
Al Ushmu'i mengatakan, "Jika seorang lelaki menghadapi kesulitan secara
bulat, artinya ia menghadapi kesulitan itu secara sabar. Ada pula al-shubru
dengan men-dhamah-kan shad, tertuju pada tanah yang subur karena
kerasnya. Ada pula yang berpendapat, "Sabar itu diambil dari kata
mengumpulkan. memeluk, atau merangkul. Sebab, orang yang sabar itu
yang merangkul atau memeluk dirinya dari keluh-kesah. Ada pula kata
shabrah yang tertuju pada makanan. Pada dasarnya, dalam sabar itu ada
tiga arti. menahan, keras, mengumpulkan, atau merangkul, sedang lawan
sabar adalah keluh-kesah.18
2. Tujuan Pendidikan Islam
Dalam pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
18
Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami, terj. Dadang
Sobar Ali. (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 342.
7
mandiri. dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.19
Dalam konteksnya dengan pendidikan Islam, menurut Arifin,
tujuan pendidikan Islam secara filosofis berorientasi kepada nilai-nilai
islami yang bersasaran pada liga dimensi hubungan manusia selaku
"khalifah" di muka bumi, yaitu sebagai berikut.
a. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan
Tuhannya.
b. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang
dengan masyarakatnya.
c. Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan
memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan
kesejahteraan hidupnya dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan
ubudiahnya kepada Allah, dengan dilandasi sikap hubungan yang
harmonis pula.20
Para pakar pendidikan Islam Muhammad Athiyah al-Abrasyi telah
sepakat bahwa tujuan dari pendidikan serta pengajaran bukanlah
memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka
ketahui. melainkan: a. Mendidik akhlak dan jiwa mereka; b. Menanamkan
rasa keutamaan (fadhilah): c. Membiasakan mereka dengan kesopanan
yang tinggi; d. Mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci
seluruhnya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Dengan demikian,
tujuan pokok dari pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi ialah
mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Semua mata pelajaran
haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak, setiap pendidik haruslah
memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-
19
Undang-Undang RI No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: BP.
Cipta Jaya, 2003), hlm. 7. 20
Muzayyin Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 121
8
lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi,
sedangkan. akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.21
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka yang menjadi
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep sabar menurut Imam Al-Gazâlî?
2. Bagaimana sabar menurut Imam Al-Gazâlî ditinjau dari tujuan pendidikan
Islam?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai. dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep sabar menurut Imam Al-Gazâlî
2. Untuk mengetahui sabar menurut Imam Al-Gazâlî ditinjau dari tujuan
pendidikan Islam
b. Manfaat Penelitian
Nilai guna yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Bagi peneliti, dengan meneliti konsep sabar, maka akan menambah
pemahaman yang lebih mendalam melalui studi pemikiran Imam Al-
Gazâlî
2. Hasil dari pengkajian dan pemahaman tentang konsep sabar sedikit
banyak akan dapat membantu dalam pencapaian tujuan dalam
membentuk pribadi yang sempurna yaitu yang beriman, berilmu dan
beramal shaleh.
21
Muhammad 'Athiyyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Al-lslamiyyah, Terj. Abdullah Zakiy
alKaaf. "Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam", (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 13.
9
3. Penulisan ini sebagai bagian dari usaha untuk menambah khazanah
ilmu pengetahuan di Fakultas Tarbiyah pada umumnya dan jurusan
pendidikan agama Islam khususnya.
E. Telaah Pustaka
Sepanjang pengetahuan peneliti, dalam penelitian di perpustakaan
IAIN Walisongo belum ditemukan skripsi yang judulnya sama menyangkut
sabar. Demikian pula berdasarkan browsing internet dalam hal tesis pasca
sarjana belum ditemukan adanya judul yang sama. Sedangkan yang ada hanya
membahas tokoh Imam Al-Gazâlî tetapi dalam tema yang sangat berbeda
sehingga tidak ada sama sekali hubungannya dengan tema sabar dalam
perspektif pendidikan Islam. Namun demikian sejauh yang peneliti ketahui
telah banyak penelitian yang membahas konsep sabar namun belum ada yang
menyentuh dan menganalisis pemikiran Imam Al-Gazâlî ditinjau dari tujuan
pendidikan Islam.
Skripsi yang disusun Rizal Muttaqin (NIM: 1100094) jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan Islam dengan judul Implikasi Sabar dalam
Mencegah Penyakit Stres Pemikiran al-Ghazali (Tinjauan Konseling Islam),
skripsi ini menitikberatkan pembahasan pada bimbingan dan konseling Islam
dalam mencegah penyakit stress. Temuan skripsi ini adalah bahwa sabar dapat
mencegah penyakit stress.22
Skripsi yang disusun oleh Ernawati (NIM: 4103063) dengan judul
Sabar dalam Perspektif Imam al-Ghazali Ditinjau dari Kesehatan Mental.
Konsep Imam al-Ghazali yang menyuruh manusia untuk sabar sangat relevan
dengan kesehatan mental karena dengan sabar maka dapat membentuk
manusia yang bermental sehat. Al-Quran mengajak kaum muslimin agar
berhias diri dengan kesabaran. Sebab, kesabaran mempunyai faedah yang
besar dalam membina jiwa, memantapkan kepribadian, meningkatkan
22
Rizal Muttaqin, Implikasi Sabar dalam Mencegah Penyakit Stres Pemikiran al-Ghazali
(Tinjauan Konseling Islam) (Skripsi Fakultas Dakwah, tidak diterbitkan, IAIN Walisongo
Semarang).
10
kekuatan manusia dalam menahan penderitaan, memperbaharui kekuatan
manusia dalam menghadapi berbagai problem hidup, beban hidup, musibah,
dan bencana, serta menggerakkan kesanggupannya untuk terus-menerus
berjihad dalam rangka meninggikan kalimah Allah SWT. Apabila seseorang
bersabar dalam memikul kesulitan dan musibah hidup, bersabar dalam
gangguan dan permusuhan orang lain, bersabar dalam beribadah, dan taat
kepada Allah SWT, maka mentalnya akan sehat. Sabar dalam melawan
syahwat, bersabar dalam bekerja dan berkarya, ia tergolong orang yang
memiliki kepribadian yang matang, seimbang, paripurna, kreatif, dan aktif.
Selain itu, ia juga menjadi orang yang terlindung dari kegelisahan dan aman
dari gangguan-gangguan kejiwaan.23
Skripsi yang disusun Retno Wahyunigsih (NIM 4197027/AF) dengan
judul: Hubungan Kausalitas Sabar dan Takdir dalam Perspektif Jabariyah
dan Qadariyah. Pada intinya penulis skripsi ini menjelaskan bahwa yang
menjadi rumusan masalah adalah bagaimana hubungan antara sabar dan takdir
dam perspektif Jabariyah dan Qadariyah. Metode penelitian ini menggunakan
metode komparasi dan hermeneutic. Menurut penyusun skripsi ini, kekeliruan
umum orang terhadap sabar dan takdir itu ialah segala nasib baik dan buruk
seseorang. atau muslim/kafirnya manusia, telah ditetapkan secara pasti oleh
Allah. Manusia adalah ibarat robot Allah. Maka segala kenyataan hidup
haruslah diterima apa adanya dengan sabar. Dengan begitu manusia harus
sabar dalam arti menerima apa yang terjadi pada dirinya tanpa reserve.
Kekeliruan ini misalnya terdapat dalam pendirian kaum Jabariyah, dimana
menurutnya manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan
kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak
mutlak Tuhan. Konsep Jabariyah cenderung memaknai sabar secara
berlebihan dan inilah bagian paham yang memukul umat Islam dalam
berkompetisi' dengan dunia Barat. Menurut paham ini manusia tidak hanya
23
Ernawati, Sabar dalam Perspektif Imam al-Ghazali Ditinjau dari Kesehatan Mental
(Skripsi Fakultas Ushuluddin, tidak diterbitkan, IAIN Walisongo Semarang)
11
bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai
bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Sebaliknya kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai
kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya.
Menurut paham Qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan
sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Konsep ini pada
hakekatnya menafikan konsep sabar. Dengan demikian dalam paham tersebut
bahwa Allah ta'ala tidak mengetahui segala apa jua pun yang diperbuat oleh
manusia dan tidak pula yang diperbuat oleh manusia itu dengan kudrat dan
iradah Allah Ta'ala. Bahkan manusialah yang mengetahui serta mewujudkan
segala apa yang diamalkannya itu dan semuanya dengan kudrat iradat manusia
sendiri. Tuhan sama sekali tidak campur tangan di dalam membuktikan
amalan-amalan itu.
Abdullah bin Umar ad-Dumaiji (guru besar Fakultas Dakwah dan
Ushuluddin Universitas Ummul Qura) dalam disertasinya yang berjudul at-
Tawwakal Alallah wa Alaqatuhu bi al-Asbab dan diterjemahkan oleh
Kamaluddin. menjelaskan bahwa sikap manusia terhadap perkara sabar ini
amat beraneka ragam. di antara mereka ada sekelompok manusia yang telah
takluk dengan kehidupan materi yang melampaui batas hingga menimbulkan
kesengsaraan seperti yang telah terjadi pada masa-masa terakhir ini, hal yang
membawa mereka amat menggantungkan hidup dengan harta di mana untuk
mendapatkannya harus dengan permusuhan dan tumpahan darah, demi harta
manusia rela mengunci akal dan hati yang ada dalam dirinya. Sikap seperti ini
amat jelas pengaruhnya pada hati yaitu hati menjadi asing untuk sabar,
keterasingan ini mengendalikan manusia untuk tidak mau mensucikan jiwanya
dengan mengingat Allah; mereka hanya mengandalkan otak dan merasa
bangga dengan apa yang mereka miliki yang berupa pengetahuan. Mereka
hanya melihat kehidupan dunia yang dengannya mereka mendapatkan
12
ketenangan hidup, mereka lupa atau melupakan bahwa Allah akan melupakan
mereka sebagaimana mereka melupakan Allah.24
Sebaliknya. di antara manusia ada yang merasa puas dengan duduk
berdiam diri, senang menunda-nunda pekerjaan, kemalasan dan kebodohan
menyelimuti diri mereka, walaupun demikian mereka tetap mencari-cari
alasan atau dalih untuk membenarkan apa yang mereka lakukan dengan dalih
bahwa mereka sabar pada kehendak Allah, mereka menganggap bahwa sabar
adalah meninggalkan sarana dan usaha, yang mendatangkan keuntungan
materi atau harta. Singkatnya mereka sudah merasa puas dengan rizki yang
didapat dari orang lain dan dari sedekah-sedekah yang mereka terima, mereka
hidup di sudut-sudut kehidupan dan terpencil dari dinamika kehidupan.
Sejalan dengan temuan tersebut, As'-Syarif dalam disertasinya yang
berjudul al-lbadah al-Qalhiyah wa Atsaruhu fi Hayalil Mu'minin menguraikan
pengaruh-pengaruh sabar. Menurutnya, sabar memberikan pengaruh yang
sangat besar, antara lain: ketenangan, ketenteraman, kekuatan, kemuliaan,
ridla dan harapan. Akan tetapi menurutnya untuk meraih sabar memiliki
sejumlah rintangan, dan rintangan-rintangan inilah yang menghambat sabar,
antara lain: bodoh terhadap Allah dan keagunganNya, terpedaya oleh nafsu.
bersandar kepada makhluk, cinta kepada kehidupan duniawi dan terpedaya
olehnya.
Skripsi yang disusun Mahfudz Yasin (Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo) berjudul: Analisis Dakwah terhadap Konsep Tawakal T.M. Hasbi
ash Shiddiqie. Pada intinya dijelaskan bahwa Relevansi konsep tawakal T.M.
Hasbi ash Shiddiqie dengan dakwah yaitu da'i sebagai ujung tombak syiar
Islam dapat meluruskan kesalahan dalam memaknai tawakal. Merujuk pada
kondisi seperti ini tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dakwah memiliki
nilai yang sangat urgen dalam memperkuat jati din dan mental bangsa ini.
Dapat dipertegas bahwa tawakal mempunyai kaitan yang erat dengan dakwah.
Tawakal tidak dapat dipisahkan dengan dakwah, karena masih banyak orang
24
http://www. ad-Dumaiji oocities.org/fauzy70/para/p043.html, diakses tanggal 29 Juli
2011
13
yang tawakal secara berlebihan, ia terlalu memasrahkan dirinya dalam
berbagai hal namun tanpa ikhtiar atau usaha sama sekali. Tawakal bukan
hanya berserah din melainkan ia perlu usaha dahulu secara maksimal baru
kemudian tawakal. Urgensi dakwah dengan konsep tawakal yaitu dakwah
dapat memperjelas dan memberi penerangan pada mud'u tentang bagaimana
tawakal yang sesuai dengan al-Qur'an dan hadits. Dengan adanya dakwah
maka kekeliruan dalam memaknai tawakal dapat dikurangi.25
Dalam hubungannya dengan bimbingan dan konseling Islam, bahwa
konsep tawakal TM. Hasbi Ash-Shiddiqie dapat dijadikan materi bagi
konselor dalam membimbing dan mengkonsel klien yang belum atau sedang
menghadapi masalah. Karena konsep tawakal TM. Hasbi Ash-Shiddiqie sesuai
asas-asas dan tujuan bimbingan konseling Islam.
Dengan mencermati uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
penelitian terdahulu berbeda dengan penelitian yang penulis susun.
Perbedaannya yaitu penelitian terdahulu belum mengungkap konsep Imam Al-
Gazâlî Ditinjau dari Tujuan Pendidikan Islam.
F. Metodologi Penelitian
Ketepatan menggunakan metode dalam penelitian adalah syarat utama
dalam menggunakan data. Apabila seorang mengadakan penelitian kurang
tepat metode penelitiannya, maka akan mengalami kesulitan, bahkan tidak
akan menghasilkan hasil yang baik sesuai yang diharapkan.
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini menggunakan-jenis penelitian kualitatif. Menurut Arief
Fuchan dan Agus Maimun studi tokoh atau sering disebut juga dengan
penelitian tokoh atau penelitian riwayat hidup individu merupakan salah
satu jenis penelitian kualitatif.26
Analisis ini akan digunakan dalam usaha
mencari dan mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta
25
Mahfudz Yasin berjudul: Analisis Dakwah terhadap Konsep Tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie.
(Skripsi: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, tidak diterbitkan) 26
Arief Fuchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 1
14
menafsirkan data yang sudah ada. Untuk menguraikan secara lengkap,
teratur dan teliti terhadap suatu obyek penelitian, yaitu menguraikan dan
menjelaskan konsep sabar menurut Imam Al-Gazâlî dan hubungannya
dengan tujuan pendidikan Islam. Adapun pendekatan penelitian ini
menggunakan pendekatan pendidikan tasawuf.27
2. Sumber Data
a. Data Primer yaitu sejumlah buku karya Abu Hamid Muhammad al-
Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII.
b. Data Sekunder yaitu sejumlah literatur yang relevan dengan judul ini, di
antaranya: buku-buku, kitab, artikel, internet dan sejumlah data tertulis
lainnya.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, peneliti menempuh langkah-langkah
melalui riset kepustakaan (library research) yaitu penelitian kepustakaan
murni. Metode riset ini dipakai untuk mengkaji sumber-sumber tertulis.
Sebagai data primernya adalah karya tulis Imam al-Gazâlî. Di samping itu
juga tanpa mengabaikan sumber-sumber lain dan tulisan valid yang telah
dipublikasikan untuk melengkapi data-data yang diperlukan. Misalnya
kitab-kitab, buku-buku, dan lain sebagainya yang ada kaitannya dengan
masalah yang penulis teliti sebagai data sekunder.
4. Metode Analisis Data
Dalam membahas dan menelaah data, penulis menggunakan
metode deskriptif analitis yang akan digunakan dalam usaha mencari dan
mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta menafsirkan data
yang sudah ada, Untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti
terhadap suatu obyek penelitian, yaitu menguraikan dan menjelaskan
pemikiran Imam al-Gazâlî tentang sabar dan hubungannya dengan tujuan
pendidikan Islam.
27
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.
235.
15
BAB II
LANDASAN TEORI
KONSEP SABAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Konsep Sabar
1. Pengertian Sabar
Sabar (al-shabru) menurut bahasa adalah menahan diri dari keluh
kesah. Bersabar artinya berupaya sabar. Ada pula al-shibru dengan meng-
kasrah-kan shad artinya obat yang pahit, yakni sari pepohonan yang pahit.
Menyabarkannya berarti menyuruhnya sabar. Bulan sabar, artinya bulan
puasa. Ada yang berpendapat, "Asal kalimat sabar adalah keras dan kuat.
Al-Shibru tertuju pada obat yang terkenal sangat pahit dan sangat tak enak.
Al Ushmu'i mengatakan, "Jika seorang lelaki menghadapi kesulitan secara
bulat, artinya la menghadapi kesulitan itu secara sabar. Ada pula Al-
Shubru dengan men-dhamah-kan shad, tertuju pada tanah yang subur
karena kerasnya.1
Ada pula yang berpendapat, "Sabar itu diambil dari kata
mengumpulkan, memeluk, atau merangkul. Sebab, orang yang sabar itu
yang merangkul atau memeluk dirinya dari keluh-kesah. Ada pula kata
shabrah yang tertuju pada makanan. Pada dasarnya, dalam sabar itu ada
tiga arti, menahan, keras, mengumpulkan, atau merangkul, sedang lawan
sabar adalah keluh-kesah.2
Dari arti-arti yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kesabaran menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit,
berat, dan pahit, yang harus diterima dan dihadapi dengan penuh tanggung
jawab. Berdasar kesimpulan tersebut, para agamawan menurut M. Quraish
Shihab merumuskan pengertian sabar sebagai "menahan diri atau
1Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami, terj. Dadang
Sobar Ali, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 342 2Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami, hlm. 342
16
membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik atau
lebih baik (luhur)".3
Al-Gazâlî mendefinisikan sabar merupakan sutu proses untuk
meninggalkan perbuatan-perbuatan yang penuh dengan nafsu syahwat,
yang dihasilkan oleh suatu keadaan.4 Menurut Imam al-Gazâlî, sabar
adalah kedudukan dari kedudukan agama dan derajat dari derajat-derajat
orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah. Dan semua kedudukan
agama itu sesungguhnya dapat tersusun dari tiga perkata yaitu: "Ma'rifat,
hal ihwal dan amal perbuatan. Ma'rifat adalah pokok dan ia menimbulkan
bal ihwal, dan bal ihwal membuahkan amal perbuatan. Ma'rifat adalah
seperti pohon dan hal ihwal adalah seperti dahan, dan amal perbuatan itu
seperti buah-buahan. Dan ini berlaku pada semua kedudukan orang-orang
yang menempuh jalan menuju Allah Ta'ala. Dan nama iman suatu ketika
tertentu dengan ma'rifat dan suatu ketika disebutkan secara keseluruhan
sebagaimana kami sebutkan pada perbedaan nama iman dan Islam pada
Kitab Kaidah-kaidah Aqidah.5
Terlepas dari pandangan Imam al-Ghazali di atas, namun dapat
disimpulkan bahwa al-Quran mengajak kaum muslimin agar berhias diri
dengan kesabaran. Sebab, kesabaran mempunyai faedah yang besar dalam
membina jiwa, memantapkan kepribadian, meningkatkan kekuatan
manusia dalam menahan penderitaan, memperbaharui kekuatan manusia
dalam menghadapi berbagai problem hidup, beban hidup, musibah, dan
bencana, serta menggerakkan kesanggupannya untuk terus-menerus
berjihad dalam rangka meninggikan kalimah Allah .SWT
2. Macam-Macam Sabar
Dilihat dari lemah dan kuatnya sabar, Imam al-Gazâlî membaginya
ke dalam tiga kategori: pertama, bahwa ia memaksakan penggerak hawa
3 M.Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 165-166.
4Al-Gazâlî, Ihya Ulumuddin, Terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1982), hlm.
275 5Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, (Semarang: CV
Asy-Syifa, 1994), hlm. 323.
17
nafsu, lalu penggerak hawa nafsu itu tidak lagi mempunyai kekuatan
untuk melawan. Kedua, bahwa menanglah penggerak-penggerak hawa
nafsu dan jatuhlah perlawanan penggerak agama, jadi dalam hal ini
kesabaran dapat terkalahkan oleh hawa nafsu yang kemudian
menyebabkan jatuhnya kesabaran, lalu ia menyerahkan dirinya kepada
tentara syetan dan ia tidak berjuang (bermujahadah). Ketiga, bahwa
peperangan itu adalah menjadi hal yang biasa diantara dua tentara, sekali
ia memperoleh kemenangan atas peperangan dan pada waktu yang lain
peperangan itu mengalahkannya.
Uraian kuat dan lemahnya sabar tersebut mengandung suatu
pengertian bahwa terjadinya tarik menarik antara memenuhi hawa nafsu
dan meninggalkannya dengan pilihan sabar. Namun sebagai manusia
biasa, pada suatu waktu hawa nafsu itu mendominasi sehingga manusia
cenderung memenuhi nafsu syahwatnya dan terkadang pula hawa nafsu
itu dapat diredam.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, sabar ini ada tiga macam:
Sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari kedurhakaan kepada Allah,
dan sabar dalam ujian Allah. Dua macam yang pertama merupakan
kesabaran yang berkaitan dengan tindakan yang dikehendaki dan yang
ketiga tidak berkait dengan tindakan yang dikehendaki.6
Menurut Yusuf Qardawi, dalam al-Qur'an terdapat banyak aspek
kesabaran yang dirangkum dalam dua hal yakni menahan diri terhadap
yang disukai dan menanggung hal-hal yang tidak disukai:7
1. Sabar terhadap Petaka Dunia
Cobaan hidup, baik fisik maupun non fisik, akan menimpa
semua orang, baik berupa lapar, haus, sakit, rasa takut, kehilangan
orang-orang yang dicintai, kerugian harta benda dan lain sebagainya.
Cobaan seperti itu bersifat alami, manusiawi, oleh sebab itu tidak ada
6Ibnu Qayyim Jauziyah, Madarijus Salikin, Pendakian Menuju Allah: Penjabaran
Konkrit: Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in, hlm.206. 7Yusuf Qardawi, al-Qur'an Menyuruh Kita Sabar, Terj. Aziz Salim Basyarahil,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1990), hlm. 39.
18
seorangpun yang dapat menghindar. Yang diperlukan adalah
menerimanya dengan penuh kesabaran, seraya memulangkan segala
sesuatunya kepada Allah SWT. Allah berfirman:
Artinya: "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-
orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa.
musibah, mereka mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi
raji'un. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang
sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah/2:
155-157).8
2. Sabar terhadap Gejolak Nafsu
Hawa nafsu menginginkan segala macam kenikmatan hidup,
kesenangan dan kemegahan dunia. Untuk mengendalikan segala
keinginan itu diperlukan kesabaran. Jangan sampai semua kesenangan
hidup dunia itu membuat seseorang lupa diri, apalagi lupa Tuhan. Al-
Qur'an mengingatkan, jangan sampai harta benda dan anak-anak (di
antara yang diinginkan oleh hawa nafsu manusia) menyebabkan
seseorang lalai dari mengingat Allah SWT.
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta.-hartamu
dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
8 Soenayo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 73.
19
Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah
orang-orang yang rugi. " (QS. Al-Munafiqun 63: 9).9
3. Sabar dalam Ta'at kepada Allah SWT
Dalam menta'ati perintah Allah, terutama dalam beribadah
kepada-Nya diperlukan kesabaran. Allah berfirman:
Artinya: "Tuhan langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara
keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam
beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada
seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?"
(QS. Maryam 19: 65).10
Penggunaan kata ishthabir dalam ayat di atas bentuk
mubalaghah dari ishbir menunjukkan bahwa dalam beribadah
diperlukan kesabaran yang berlipat ganda mengingat banyaknya
rintangan baik dari dalam maupun luar diri.11
4. Sabar dalam Berdakwah
Jalan dakwah adalah jalan panjang berliku-liku yang penuh
dengan segala onak dan duri. Seseorang yang melalui jalan itu harus
memiliki kesabaran. Luqman Hakim menasehati puteranya supaya
bersabar menerima cobaan dalam berdakwah.
Artinya: "Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk
9Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahny, hlm. 936.
10 Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 462.
11Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2004), hlm. 134
20
hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS.
Luqman/31:17).12
5. Sabar dalam Perang
Dalam peperangan sangat diperlukan kesabaran, apalagi
menghadapi musuh yang lebih banyak atau lebih kuat. Dalam keadaan
terdesak sekalipun, seorang prajurit Islam tidak boleh lari
meninggalkan medan perang, kecuali sebagai bagian dari siasat perang
(QS. Al-Anfal 8: 15-16). Di antara sifat-sifat orang-orang yang
bertaqwa adalah sabar dalam peperangan:
Artinya: "...dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-
orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang
yang bertaqwa." (QS. Al-Baqarah/2: 177).13
6. Sabar dalam Pergaulan
Dalam pergaulan sesama manusia baik antara suami isteri,
antara orang tua dengan anak, antara tetangga dengan tetangga, antara
guru dan murid, atau dalam masyarakat yang lebih luas, akan ditemui
hal-hal yang tidak menyenangkan atau menyinggung perasaan. Oleh
sebab itu dalam pergaulan sehari-hari diperlukan kesabaran, sehingga
tidak cepat marah, atau memutuskan hubungan apabila menemui hal-
hal yang tidak disukai. Kepada para suami diingatkan untuk bersabar
terhadap hal-hal yang tidak dia sukai pada diri isterinya, karena boleh
jadi yang dibenci itu ternyata mendatangkan banyak kebaikan.14
12
Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 653. 13
Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 70. 14
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, hlm. 135.
21
Artinya: "...Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (QS. An-
Nisa'/4:19).15
Adapun tingkatan orang sabar ada tiga macam: pertama, orang
yang dapat menekan habis dorongan hawa nafsu hingga tidak ada
perlawanan sedikitpun, dan orang itu bersabar secara konstan. Mereka
adalah orang yang sudah mencapai tingkat shiddiqin. Kedua; Orang yang
tunduk total kepada dorongan hawa nafsunya sehingga motivasi agama
sama sekali tidak dapat muncul. Mereka termasuk kategori orang-orang
yang lalai (alghofilun). Ketiga; Orang yang senantiasa dalam konflik
antara dorongan hawa nafsu dengan dorongan keberagamaan. Mereka
adalah orang yang mencampuradukkan kebenaran dengan kesalahan.16
Secara psikologis, tingkatan orang sabar dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu: Pertama; orang yang sanggup meninggalkan dorongan syahwat.
Mereka termasuk kategori orang-orang yang bertaubat (at taibin). Kedua;
orang yang ridla (senang/puas) menerima apa pun yang ia terima dari
Tuhan, mereka termasuk kategori zahid. Ketiga; orang yang mencintai apa
pun yang diperbuat Tuhan untuk dirinya, mereka termasuk kategori
shidddiqin.17
3. Keutamaan Sabar
Seorang mukmin yang sabar tidak akan berkeluh kesah dalam
menghadapi segala kesusahan yang menimpanya serta tidak akan menjadi
lemah atau jatuh gara-gara musibah dan bencana yang menderanya. Allah
SWT telah mewasiatkan .kesabaran kepadanya serta mengajari bahwa apa
15
Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 116. 16
Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, hlm. 74. 17
Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, hlm.75.
22
pun yang menimpanya pada kehidupan dunia hanyalah merupakan cobaan
dari-Nya supaya diketahui orang-orang yang bersabar.18
Kesabaran mengajari manusia ketekunan dalam bekerja serta
mengerahkan kemampuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan amaliah dan
ilmiahnya. Sesungguhnya sebagian besar tujuan hidup manusia, baik di
bidang kehidupan praksis misalnya sosial, ekonomi, dan politik maupun dl
bidang penelitian ilmiah, membutuhkan banyak waktu dan banyak
kesungguhan. Oleh sebab itu, ketekunan dalam mencurahkan
kesungguhan serta kesabaran dalam menghadapi kesulitan pekerjaan dan
penelitian merupakan karakter penting untuk meraih kesuksesan dan
mewujudkan tujuan-tujuan luhur.19
Sifat sabar dalam Islam menempati posisi yang istimewa. Al-
Qur'an mengaitkan sifat sabar dengan bermacam-macam sifat mulia
lainnya. Antara lain dikaitkan dengan keyakinan (QS. As-Sajdah 32: 24),
syukur (QS. Ibrahim 14:5), tawakkal (QS. An-Nahl 16:41-42) dan taqwa
(QS. Ali 'Imran 3:15-17). Mengaitkan satu sifat dengan banyak sifat mulia
lainnya menunjukkan betapa istimewanya sifat itu. Karena sabar
merupakan sifat mulia yang istimewa, tentu dengan sendirinya orang-
orang yang sabar Juga menempati posisi yang istimewa. Misalnya dalam
menyebutkan orang-orang beriman yang akan mendapat surga dan
keridhaan Allah SWT, orang-orang yang sabar ditempatkan dalam urutan
pertama sebelum yang lain-lainnya.20
Perhatikan firman Allah berikut ini:
18
Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur'an, Terapi Qur'ani dalam
Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, Terj. Zaka al-Farisi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005),
hlm. 467. 19
Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur'an, Terapi Qur'ani dalam
Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, hlm. 471. 20
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2004), hlm. 138.
23
Artinya: "Katakanlah" "Inginkan aku kabarkan kepadamu apa yang lebih
baik dari yang demikian itu". Untuk orang-orang yang bertaqwa,
pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan ada pula
pasangan-pasangan yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan
Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. Yaitu orang-orang
yang berdo'a: "Ya Tuhan Kami, sesungguhnya kami telah
beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah
kami dari siksa neraka. Yaitu orang-orang yang sahar, yang
benar, yang tetap ta'at, yang menafkahkan hartanya (di jalan
Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur." (QS. Ali
'Imran 3:15-17).21
Di samping itu, setelah menyebutkan dua belas sifat hamba-hamba
yang akan mendapatkan kasih sayang dari Allah SWT (dalam Surat Al-
Furqan 25: 63-74), Allah SWT menyatakan bahwa mereka akan
mendapatkan balasan surga karena kesabaran mereka. Artinya untuk dapat
memenuhi dua belas sifat-sifat tersebut diperlukan kesabaran.22
( Artinya: "Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi
(dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut
dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya". (QS.
Al-Furqan/25: 75).23
Di samping segala keistimewaan itu, sifat sabar memang sangat
dibutuhkan sekali untuk mencapai kesuksesan dunia dan Akhirat. Seorang
mahasiswa tidak akan dapat berhasil mencapai gelar kesarjanaan tanpa
sifat sabar dalam belajar. Seorang peneliti tidak akan dapat menemukan
21
Soenayo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.77. 22
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, hlm. 139. 23
Soenayo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 569.
24
penemuan-penemuan ilmiah tanpa ada sifat sabar dalam penelitiannya.
Demikianlah seterusnya dalam seluruh aspek kehidupan.24
Lawan dari sifat sabar adalah al-jaza'u yang berarti gelisah, sedih,
keluh kesah, cemas dan putus asa, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
Artinya: "...Sama saja bagi kita, mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali
kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri." (QS.
Ibrahim/14: 21).25
Artinya: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi
kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan
apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang
yang mengerjakan shalat." (QS. Al-Ma'arij/70: 19-22).26
Ketidaksabaran dengan segala bentuknya adalah sifat yang tercela.
Orang yang dihinggapi sifat ini, bila menghadapi hambatan dan
mengalami kegagalan akan mudah goyah, berputus asa dan mundur dari
medan perjuangan. Sebaliknya apabila mendapatkan keberhasilan juga
cepat lupa diri. Menurut ayat di atas, kalau ditimpa kesusahan dia
berkeluh kesah, kalau mendapat kebaikan ia amat kikir. Semestinyalah
setiap Muslim dan Muslimah menjauhi sifat yang tercela ini.27
B. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Maulana Muhammad Ali dalam bukunya The Religion of Islam
menegaskan bahwa Islam mengandung arti dua macam, yakni (1)
mengucap kalimah syahadat; (2) berserah diri sepenuhnya kepada
24
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, hlm. 139. 25
Soenayo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.383.. 26
Soenayo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.974. 27
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, hlm. 140.
25
kehendak Allah.28
Pengertian tersebut jika diawali kata pendidikan
sehingga menjadi kata "pendidikan Islam" maka terdapat berbagai
rumusan.
Menurut Arifin, pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi
tentang proses kependidikan yang bersifat progresif menuju ke arah
kemampuan optimal anak didik yang berlangsung di atas landasan nilai-
nilai ajaran Islam.29
Sementara Achmadi memberikan pengertian,
pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada
padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai
dengan norma Islam.30
Abdur Rahman Saleh memberi pengertian juga tentang pendidikan
Islam yaitu usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah
kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai
khalifah Allah di bumi dalam pengabdiannya kepada Allah.31
Menurut
Abdurrahman an-Nahlawi, pendidikan Islam adalah penataan individual
dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk taat pada Islam dan
menerapkannya secara sempurna di dalam kehidupan individu dan
masyarakat. Pendidikan Islam merupakan kebutuhan mutlak untuk dapat
melaksanakan Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah.
Berdasarkan makna ini, maka pendidikan Islam mempersiapkan diri
manusia guna melaksanakan amanat yang dipikulkan kepadanya. Ini
berarti, sumber-sumber Islam dan pendidikan Islam itu sama, yakni yang
terpenting, al-Qur’an dan Sunnah Rasul.32
28
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, (USA: The Ahmadiyya Anjuman
Ishaat Islam Lahore, 1990), hlm. 4. 29
M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 4. 30
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.
28-29. 31
Abdur Rahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi,
(Jakarta: PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hlm. 2-3. 32
Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam
Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: CV.Diponegoro, 1996), hlm. 41.
26
Dilihat dari konsep dasar dan operasionalnya serta praktek
penyelenggaraannya, maka pendidikan Islam pada dasarnya mengandung
tiga pengertian:
Pertama, pendidikan Islam adalah pendidikan menurut Islam atau
pendidikan Islami, yakni pendidikan yang difahami dan dikembangkan
dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber
dasarnya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam pengertian yang pertama
ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang
mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber
dasar tersebut atau bertolak dari spirit Islam.
Kedua, pendidikan Islam adalah pendidikan ke-Islaman atau
pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau
ajaran dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan hidup) dan
sikap hidup seseorang. Dalam pengertian yang kedua ini pendidikan islam
dapat berwujud (1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu
lembaga untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam
menanamkan dan menumbuh-kembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya;
(2) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau
lebih yang dampaknya adalah tertanamnya dan atau tumbuh-kembangnya
ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.33
Ketiga, pendidikan Islam adalah pendidikan dalam Islam, atau
proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan
berkembang dalam realitas sejarah umat Islam. Dalam pengertian ini,
pendidikan Islam dalam realitas sejarahnya mengandung dua
kemungkinan, yaitu pendidikan Islam tersebut benar-benar dekat dengan
idealitas Islam atau mungkin mengandung jarak atau kesenjangan dengan
idealitas Islam.34
Walaupun istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami secara
berbeda, namun pada hakikatnya merupakan satu kesatuan dan mewujud
33
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm. 23-24. 34
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, hlm. 23-24.
27
secara operasional dalam satu sistem yang utuh. Konsep dan teori
kependidikan Islam sebagaimana yang dibangun atau dipahami dan
dikembangkan dari al-Qur’an dan As-sunnah, mendapatkan justifikasi dan
perwujudan secara operasional dalam proses pembudayaan dan pewarisan
serta pengembangan ajaran agama, budaya dan peradaban Islam dari
generasi ke generasi, yang berlangsung sepanjang sejarah umat Islam.35
Kalau definisi-definisi itu dipadukan tersusunlah suatu rumusan
pendidikan Islam, yaitu: pendidikan Islam ialah mempersiapkan dan
menumbuhkan anak didik atau individu manusia yang prosesnya
berlangsung secara terus-menerus sejak ia lahir sampai meninggal dunia.
Yang dipersiapkan dan ditumbuhkan itu meliputi aspek jasmani, akal, dan
ruhani sebagai suatu kesatuan tanpa mengesampingkan salah satu aspek,
dan melebihkan aspek yang lain. Persiapan dan pertumbuhan itu diarahkan
agar ia menjadi manusia yang berdaya guna dan berhasil guna bagi dirinya
dan bagi umatnya, serta dapat memperoleh suatu kehidupan yang
sempurna.
Dengan melihat keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa pendidikan Islam adalah segenap upaya untuk mengembangkan
potensi manusia yang ada padanya sesuai dengan al-Qur'an dan hadis.
2. Landasan Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam dapat dibedakan kepada; (1) Dasar ideal,
dan (2) Dasar operasional.36
Dasar ideal pendidikan Islam adalah identik dengan ajaran Islam
itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-Qur'an dan
Hadits. Kemudian dasar tadi dikembangkan dalam pemahaman para ulama
dalam bentuk :
35
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 30. 36
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam , (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 54.
28
(1) Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagaimana dikatakan Manna Khalil al-Qattan dalam
kitabnya Mabahis fi Ulum al-Qur'an adalah mukjizat Islam yang kekal dan
mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia
diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad Saw untuk
mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta
membimbing mereka ke jalan yang lurus.37
Semua isi Al-Qur’an
merupakan syari’at, pilar dan azas agama Islam, serta dapat memberikan
pengertian yang komprehensif untuk menjelaskan suatu argumentasi
dalam menetapkan suatu produk hukum, sehingga sulit disanggah
kebenarannya oleh siapa pun.38
(2) Sunnah (Hadis)
Dasar yang kedua selain Al-Qur'an adalah Sunnah Rasulullah.
Amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW dalam proses perubahan
hidup sehari-hari menjadi sumber utama pendidikan Islam karena Allah
SWT menjadikan Muhammad sebagai teladan bagi umatnya. Firman Allah
SWT.
"Di dalam diri Rasulullah itu kamu bisa menemukan teladan yang
baik..." (Q.S.Al-Ahzab:21).39
Muhammad 'Ajaj al-Khatib dalam kitabnya Usul al-Hadis 'Ulumuh
wa Mustalah menjelaskan bahwa as-sunnah dalam terminologi ulama'
hadis adalah segala sesuatu yang diambil dari Rasulullah SAW., baik yang
berupa sabda, perbuatan taqrir, sifat-sifat fisik dan non fisik atau sepak
37
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, (Mansurat al-A'sr al-Hadis,
1973), hlm. 1. 38
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, Terj. M.Thohir dan
Team Titian Ilahi, (Yogyakarta: Dinamika,1996), hlm. 16. 39
Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 402.
29
terjang beliau sebelum diutus menjadi rasul, seperti tahannuts beliau di
Gua Hira atau sesudahnya.40
(3) Perkataan, Perbuatan dan Sikap Para Sahabat
Pada masa Khulafa al-Rasyidin sumber pendidikan dalam Islam
sudah mengalami perkembangan. Selain Al-Qur'an dan Sunnah juga
perkataan, sikap dan perbuatan para sahabat. Perkataan mereka dapat
dipegang karena Allah sendiri di dalam Al-Qur'an yang memberikan
pernyataan.
Firman Allah:
"Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam di
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik Allah ridho kepada mereka dan
mereka pun ridho kepada Allah dan Allah menjadikan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya,
mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar".
(Q.S. Al-Taubah: 100) 41
Dalam Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, Ibnu Katsir menerangkan bahwa
Allah Swt. menceritakan tentang rida-Nya kepada orang-orang yang
terdahulu masuk Islam dari kalangan kaum Muhajirin, Ansar, dan orang-
orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah rida kepada
mereka, untuk itu Dia menyediakan bagi mereka surga-surga yang penuh
dengan kenikmatan dan kenikmatan yang kekal lagi abadi.42
40
Muhammad 'Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis 'Ulumuh wa Mustalah, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1989), hlm. 19. 41
Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 532 42
Isma'il ibn Katsir al-Qurasyi Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azim, (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 1978), Jilid 11, hlm. 9.
30
Firman Allah SWT:
"Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
hendaklah kamu bersama-sama dengan orang yang benar." (Q.S.
Al-Taubah: 119)43
Ibnu Katsir menerangkan bahwa jujurlah kalian dan tetaplah kalian
pada kejujuran, niscaya kalian akan termasuk orang-orang yang jujur dan
selamat dari kebinasaan serta menjadikan bagi kalian jalan keluar dari
urusan kalian.44
(4) Ijtihad
Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Usûl al-Fiqh
mengemukakan bahwa ijtihad artinya adalah upaya mengerahkan seluruh
kemampuan dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan.
Ijtihad menurut ulama usul ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang
menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang
bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.45
Sehubungan
dengan itu, Nicolas P.Aghnides dalam bukunya, The Background
Introduction to Muhammedan Law menyatakan sebagai berikut:
The word ijtihad means literally the exertion of great efforts in order
to do a thing. Technically it is defined as "the putting forth of every
effort in order to determine with a degree of probability a question of
syari'ah."It follows from the definition that a person would not be
exercising ijtihad if he arrived at an 'opinion while he felt that he
could exert himself still more in the investigation he is carrying out.
This restriction, if comformed to, would mean the realization of the
utmost degree of thoroughness. By extension, ijtihad also means the
opinion rendered. The person exercising ijtihad is called mujtahid.
and the question he is considering is called mujtahad-fih.46
43
Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 534 44
Isma'il ibn Katsir al-Qurasyi Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azim, Jilid 11, hlm. 95. 45
Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, (Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958), hlm.
379. 46
Nicolas P. Aghnides, The Background Introduction To Muhammedan Law, New
York: Published by The Ab. "Sitti Sjamsijah" (Publishing Coy Solo, Java, with the authority –
license of Columbia University Press), hlm. 95
31
Perkataan ijtihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh
melaksanakan sesuatu. Secara teknis diartikan mengerahkan setiap
usaha untuk mendapatkan kemungkinan kesimpulan tentang suatu
masalah syari'ah". Dari definisi ini maka seseorang tidak akan
melakukan ijtihad apabila dia telah mendapat suatu kesimpulan
sedangkan dia merasa bahwa dia dapat menyelidiki lebih dalam
tentang apa yang dikemukakannya. Pembatasan ini akan berarti suatu
penjelmaan bagi suatu penyelidikan yang sedalam-dalamnya. Jika
diperluas artinya maka ijtihad berarti juga pendapat yang
dikemukakan. Orang yang melakukan ijtihad dinamai mujtahid dan
persoalan yang dipertimbangkannya dinamai mujtahad-fih.
Dari pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa ijtihad adalah
berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan daya kemampuan
intelektual serta menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi,
yaitu al-Qur'an dan hadis.
3. Tujuan Pendidikan Islam
Dalam pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.47
Menurut Arifin, pendidikan Islam secara filosofis berorientasi
kepada nilai-nilai islami yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan
manusia selaku "khalifah" di muka bumi, yaitu sebagai berikut.
a. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan
Tuhannya.
47
Undang-Undang RI No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta:
BP. Cipta Jaya, 2003), hlm. 7.
32
b. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang
dengan masyarakatnya.
c. Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan
memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan
kesejahteraan hidupnya dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan
ubudiahnya kepada Allah, dengan dilandasi sikap hubungan yang
harmonis pula.48
Para pakar pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi telah
sepakat bahwa pendidikan serta pengajaran bukanlah memenuhi otak anak
didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, melainkan:
a. Mendidik akhlak dan jiwa mereka; b. Menanamkan rasa keutamaan
(fadhilah); c. Membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi; d.
Mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya
dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Dengan demikian, tujuan pokok
dari pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi ialah mendidik budi
pekerti dan pembentukan jiwa. Semua mata pelajaran haruslah
mengandung pelajaran-pelajaran akhlak, setiap pendidik haruslah
memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-
lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi,
sedangkan, akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.49
Menurut Ahmad Tafsir, tujuan umum pendidikan Islam ialah a.
Muslim yang sempurna, atau manusia yang takwa, atau manusia beriman,
atau manusia yang beribadah kepada Allah; b. muslim yang sempurna itu
ialah manusia yang memiliki: a) Akalnya cerdas serta pandai; b)
jasmaninya kuat; c) hatinya takwa kepada Allah; d) berketerampilan; e)
mampu menyelesaikan masalah secara ilmiah dan filosofis; f) memiliki
48
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm.
121. 49
Muhammad 'Athiyyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Al-Islamiyyah, Terj. Abdullah Zakiy
al-Kaaf, "Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam", (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 13.
33
dan mengembangkan sains; i) memiliki dan mengembangkan filsafat; h)
hati yang berkemampuan berhubungan dengan alam gaib.50
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah untuk membangun dan membentuk
manusia yang berkepribadian Islam dengan selalu mempertebal iman dan
takwa sehingga bisa berguna bagi bangsa dan agama.
50
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004), hm. 50 – 51.
34
BAB III
KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG SABAR
A. Biografi Imam Al-Gazâlî
1. Latar Belakang Imam Al-Gazâlî
Al-Gazâlî (1058 – 1111 M), nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta'us Ath-Thusi Asy-
Syafi'i Al-Gazâlî.1 Secara singkat, dipanggil Al-Gazâlî atau Abu Hamid
Al-Gazâlî. la dipanggil Al-Gazâlî karena dilahirkan di kampung Ghazlah,
suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah
kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Menurut As-Subki sebagaimana dikutip Solihin bahwa ayah Al-
Gazâlî adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat
menyenangi ulama dan sering aktif menghadiri majelis-majelis pengajian.
Menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Gazâlî dan adiknya yang
bernama Ahmad kepada seorang sufi.2 Kepada sufi itu dititipkan sedikit
harta, seraya berkata dalam wasiatnya:
"sesungguhnya aku menyesal sekali dikarenakan aku tidak belajar
menulis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak
kudapatkan itu melalui dua putraku ini."4
Sufi tersebut menjalankan isi wasiat itu dengan cara mendidik dan
mengajar keduanya. Suatu hari ketika harta titipannya habis dan sufi itu
1Pradana Boy, Filsafat Islam: Sejarah, Aliran dan Tokoh, (Malang: UMM Press,
2003), hlm. 175. 2Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), hlm.
111. 3Abd Halim Mahmud, Penyelamat Dari Kesesatan, Terj. Abdullah Zakiy Al-Kaaf,
(Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 37. 4Abd Halim Mahmud, Penyelamat Dari Kesesatan, hlm. 37.
35
tidak mampu lagi memberi makan keduanya ia menyarankan pada kedua
anak titipan tersebut untuk belajar di madrasah sekaligus menyambung
hidup mereka dengan mengelola madrasah tersebut.5
Di madrasah tersebut, Al-Gazâlî mempelajari ilmu fiqh kepada
Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian al-Gazâlî memasuki
sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan di sinilah ia berguru kepada
Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/1086 M) hingga menguasai
ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan retorika
perdebatan.
Selama berada di Naisabur, Al-Gazâlî tidak saja belajar kepada Al-
Juwaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori
tamsawuf kepada Yusuf An-Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan
praktik tasawuf kendatipun hal itu belum mendatangkan pengaruh berarti
dalam hidupnya.
Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar ia
kuasai, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut, dan ia
mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya.
Karena kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuluki Al-Gazâlî
dengan sebutan Bahr Mu'riq (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan
dan keluasan wawasan berpikir yang dimiliki Al-Gazâlî membuatnya
menjadi populer. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa diam-
diam di hati Imam Haramain timbul rasa iri.6
Setelah Imam Haramain wafat (478 H./1086 M.), Al-Gazâlî pergi
ke Baghdad, tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (w.
485 H/1091 M). Kota ini merupakan tempat berkumpul sekaligus
diselenggarakannya perdebatan-perdebatan antarulama terkenal. Sebagai
seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing untuk
melibatkan diri dalam perdebatan-perdebatan itu. Dalam perdebatan-
5Abd Halim Mahmud, Penyelamat Dari Kesesatan, hlm. 40
6Imam Haramain timbul rasa iri hingga ia mengatakan: "Engkau telah memudarkan
ketenaranku padahal aku masih hidup, apakah aku mesti menahan diri padahal ketenaranku
telah mati."
36
perdebatannya, ternyata ia sering mengalahkan para ulama ternama
sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Gazâlî.7
Sejak saat itu nama Al-Gazâlî menjadi termasyhur di kawasan
Kerajaan Saljuk. Kemasyhuran itu menyebabkannya dipilih oleh Nizham
Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah, Baghdad,
pada tahun 483 H/1090 M," meskipun usianya baru 30 tahun. Selain
mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif mengadakan diskusi dengan para
tokoh paham golongan-golongan yang berkembang waktu itu.
Di balik kegiatan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran,
semua itu menimbulkan pergolakan dalam dirinya karena tidak
memberikan kepuasan batinnya. Untuk itulah, ia memutuskan untuk
melepaskan jabatan dan pengaruhnya lalu meninggalkan Baghdad menuju
Syiria, Palestina, kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran. Setelah
memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian
ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19
Desember 1111 Masehi," atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505
Hijriah, dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.
Karya-karya tulis yang ditinggalkan Al-Gazâlî menunjukkan
keistimewaanya sebagai seorang pengarang yang produktif. Dalam seluruh
masa hidupnya, baik sebagai penasihat kerajaan maupun sebagai guru
besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis8 di Naisabur maupun
setelah berada dalam keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang.
Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan Al-Gazâlî mencapai
300 buah. la mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di
Naisabur. Waktu yang ia pergunakan untuk mengarang terhitung selama
tiga puluh tahun. Dengan perhitungan ini, setiap tahun ia menghasilkan
karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil, meliputi beberapa
7A.Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), hlm. 215
8Yang dimaksud skeptis di sini yaitu Al-Gazâlî ketika dalam proses pencarian
kebenaran ia mengalami keraguan terhadap kebenaran ilmu yang selama ini ia yakini sebagai
kebenaran.
37
lapangan ilmu pengetahuan, antara lain: filsafat dan ilmu kalam, fiqh,
ushul fiqh, tafsir, tasawuf, dan akhlak.
Karya-karyanya itu membuat Al-Gazâlî tidak mungkin diingkari
sebagai seorang pemikir kelas jagad yang amat berpengaruh. Kalangan
Islam sendiri banyak yang menilai bahwa dalam hal ajaran, ia adalah
orang kedua yang paling berpengaruh sesudah Rasulullah SAW. sendiri.
Mungkin berlebihan, tetapi banyak unsur yang mendukung kebenaran
penilaian serupa itu. Uniknya lagi, pemikiran keagamaannya tidak hanya
berpengaruh di kalangan Islam, tetapi juga di kalangan agama Yahudi dan
Kristen. "Titisan" Al-Gazâlî dalam pemikiran Yahudi tampil dalam pribadi
filosof Yahudi besar, Musa bin Maymun (Moses the Maimonides). Karya-
karyanya yang amat penting dalam sejarah perkembangan Filsafat Yahudi
itu dapat sepenuhnya dibaca di bawah sorotan pemikiran Al-Gazâlî.
Di kalangan Kristen abad pertengahan, pengaruh Al-Gazâlî
merembes melalui filsafat Bonaventura. Sama dengan Musa bin Maymun,
Bonaventura pun dipandang sebagai "titisan" Kristen dari Al-Gazâlî. Lebih
jauh, pandangan-pandangan tasawuf Al-Gazâlî juga memperoleh
salurannya dalam mistisisme Kristen (Katolik) melalui Ordo Fransiscan,
sebuah ordo yang karena banyak menyerap ilmu pengetahuan Islam,
memiliki orientasi ilmiah yang lebih kuat dibandingkan ordo-ordo lainnya,
seperti diungkapkan dalam novel abest seller-nya Umberto Eco, The Name
of the Rose
Dunia Islam mengenal Al-Gazâlî sebagai sosok ulama yang sangat
alim dan berilmu tinggi sehingga diberi gelar kehormatan dengan sebutan
Hujjatul Islam (pembela Islam).9 Dia adalah ulama besar dalam bidang
agama. Dia termasuk salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran
agama secara keseluruhan. Barangkali Al-Gazâlî dan Shalahuddin al-
Ayyubi adalah orang yang paling disukai oleh orang-orang Nasrani di
Barat karena keduanya dianggap sebagai orang muslim yang paling dekat
9Abdillah F Hassan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara, 2004),
hlm. 193
38
dengan orang Kristen.10
Dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya,
Al-Gazâlî dapat menjadikan sunnah, filsafat dan sufisme menjadi satu
aturan yang harmonis dan seimbang.11
Harus diakui juga bahwa banyak literatur yang menyebutkan jasa-
jasa Al-Gazâlî bagi peradaban Islam. Cyrill Glasse, misalnya,
menyebutkan, "Peradaban Islam telah mencapai kematangannya berkat Al-
Gazâlî." Suatu penilaian yang banyak mendapat dukungan. Namun,
tidaklah demikian pandangan lawan-lawannya. Sebagai mana layaknya
dalil umum bahwa tidak ada manusia yang sempurna, Al-Gazâlî pun tidak
lepas dari kekurangan.
2. Karya-Karyanya
Adapun karya-karya Al-Gazâlî dapat dijelaskan bahwa Al-Faqih
Muhammad ibnul Hasan bin Abdullah al- Husaini al-Wasithy dalam
kitabnya, ath-Thabaqatul Aliyah fi Manaqibi asy-Syafi'iyah, menyebutkan
ada 98 judul kitab karya Al-Gazâlî. Sedangkan as-Subky dalam kitabnya,
ath-Thabaqat asy-Syafi'iyah, menyebutkan ada 58 judul karyanya. Thasy
Kubra Zadah menyebutkan dalam bukunya, Miftahus Sa'adah wa
Misbahus Siyadah, jumlah karyanya mencapai 80 judul kitab. la
menambahkan bahwa buku dan risalah-risalahnya mencapai ratusan,
bahkan sulit dihitung. Tidak mudah bagi orang yang ingin mengenal
nama-nama kitabnya. Bahkan pernah dikatakan, Al-Gazâlî memiliki seribu
minus satu karya. Walaupun hal tersebut bertentangan dengan adat
kebiasaan, namun orang yang mengenal kondisi Al-Gazâlî sebenarnya,
bisa jadi akan membenarkan informasi tersebut. Abdurrahman Badawi
mengikutsertakan jumlah dan nama-nama kitab Al-Gazâlî dalam bukunya,
10
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003), hlm. 177 11
Muhammad Iqbal, 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah, (Jakarta: Intimedia &
Ladang Pustaka, 2001), hlm. 115
39
Muallifatul Gazâlî, sebanyak 487 judul. Di antara karya-karya itu bisa
disebutkan di sini.12
a. Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam
1. Maqashid al-Falasifah (Tujuan Para Filosof)
2. Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filosof)
3. Al-Iqtishad fi al-I'tiqad (Moderasi Dalam Aqidah)
4. Al-Muqidz minal-Dhalal (Pembebas Dari Kesesatan)
5. Al-Maqshad al-Asna fi Ma'ani Asma'illah al-Husna (Arti Nama-
Nama Tuhan),
6. Faisahal al-Tafriqah bain al-Islam wa al-Zindiqah (Perbedaan
Islam dan Atheis)
7. Al-Qisthas al-Mustaqim (Jalan Untuk Menetralisir Perbedaan
Pendapat)
8. Al-Mustadziri (Penjelasan-penjelasan)
9. Hujjah al-Haq (Argumen Yang Benar)
10. Mufahil al-Hilaf fi Ushul al-Din (Pemisah Perselisihan dalam
Prinsip-Prinsip Agama)
11. Al-Muntaha fi 'ilmi al-Jidal (Teori Diskusi)
12. Al-Madznun bihi 'ala ghairi Ahlihi (Persangkaan Pada yang Bukan
Ahlinya)
13. Mihaq al-Nadzar (Metode Logika)
14. Asraru ilm al-Din (Misteri Ilmu Agama)
15. Al-Arbain fi Ushul al-Din (40 Masalah Pokok Agama)
16. Iljam al-Awwam fi Ilm al-Kalam (Membentengi Orang Awam dari
Ilmu Kalam)
17. Al-Qaul al-Jamil fi Raddi 'ala Man Ghayyar al-Injil (Jawaban jitu
untuk Menolak Orang yang Mengubah Injil)
18. Mi'yar al-Ilmi (Kriteria Ilmu)
12
Yusuf al-Qardhawi, Pro-Kontra Pemikiran Al-Gazâlî, Terj. Achmad Satori Ismail,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hlm. 189
40
19. Al-Intishar (Rahasia-Rahasia Alam)
20. Itsbat al-Nadzar (Pemantapan Logika)
b. Kelompok Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh
1. Al-Basith (Pembahasan Yang Mendalam)
2. Al-Wasith (Perantara)
3. Al-Wajiz (Surat-Surat Wasiat)
4. Khulashah al-Mukhtashar (Inti Sari Ringkasan Karangan)
5. Al-Mankhul (Adat Kebiasaan)
6. Syifa' al-'Alil fi al-Qiyas wa al-Ta'wil (Terapi yang Tepat pada
Qiyas dan Ta'wil)
7. Al-Dzari'ah ila Makarim al-Syari'ah (Jalan Menuju Kemuliaan
Syari'ah)
c. Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf
1. Ihya 'Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama)
2. Mizan al-'Amal (Timbangan Amal)
3. Kimya' al-Sa'âdah (Kimia Kebahagiaan)
4. Misykat al-Anwar (Relung-relung Cahaya)
5. Minhaj al-'Abidin (Pedoman Orang yang Beribadah)
6. Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyfi Ulum al-Akhirah (Mutiara
Penyingkap Ilmu Akhirat)
7. Al-Anis fi al-Wahdah (Lembut-Lembut dalam Kesatuan)
8. Al-Qurabah ila Allah 'Azza wa Jalla (Pendekatan Diri pada Allah)
9. Akhlaq al-Abrar wa Najat al-Asyrar (Akhlak Orang-Orang Baik
dan Keselamatan dari Akhlak Buruk)
10. Bidayah al-Hidayah (Langkah Awal Mencapai Hidayah)
11. Al-Mabadi wal al-Ghayah (Permulaan dan Tinjauan Akhir)
12. Talbis al-Iblis (Tipu Daya Iblis)
13. Nashihat al-Muluk (Nasihat untuk Raja-Raja)
14. Al-Ulum al-Ladduniyah (Risalah Ilmu Ketuhanan)
41
15. Al-Risalah al-Qudsiyah (Risalah Suci)
16. Al-Ma'khadz (Tempat Pengambilan)
17. Al-Amali (Kemuliaan)
d. Kelompok Ilmu Tafsir
1. Yaqut al-Ta'wil fi Tafsir al-Tanzil (Metode Ta'wil dalam
Menafsirkan al-Qur'an)
2. Jawahir al-Qur'an (Rahasia-Rahasia al-Qur'an).
B. Konsep Imam Al-Gazâlî tentang Sabar dalam Kitab Ihya 'Ulum al-Din
Al-Gazâlî mendefinisikan sabar merupakan suatu proses untuk
meninggalkan perbuatan-perbuatan yang penuh dengan nafsu syahwat, yang
dihasilkan oleh suatu keadaan.13
Menurut Imam al-Gazâlî, sabar adalah
kedudukan dari kedudukan agama dan derajat dari derajat-derajat orang-orang
yang menempuh jalan menuju Allah. Dan semua kedudukan agama itu
sesungguhnya dapat tersusun dari tiga perkata yaitu: "Ma'rifat, hal ihwal dan
amal perbuatan. Ma'rifat adalah pokok dan ia menimbulkan bal ihwal, dan bal
ihwal membuahkan amal perbuatan. Ma'rifat adalah seperti pohon dan hal
ihwal adalah seperti dahan, dan amal perbuatan itu seperti buah-buahan. Dan
ini berlaku pada semua kedudukan orang-orang yang menempuh jalan menuju
Allah Ta'ala. Dan nama iman suatu ketika tertentu dengan ma'rifat dan suatu
ketika disebutkan secara keseluruhan sebagaimana kami sebutkan pada
perbedaan nama iman dan Islam pada Kitab Kaidah-kaidah Aqidah.14
Kebutuhan akan sifat dan sikap sabar berlaku umum dalam berbagai
hal. Hal-hal yang bertolak belakang dengan ajakan hawa nafsu imam al-Gazâlî
membaginya menjadi dua macam, yaitu:
1. Sabar badaniyah
13Abu Hamid Muhammad Al-Gazâlî, Ihya Ulumuddin, Terj. terj. Moh.Zuhri,
dkk, (Jakarta: CV. Faizan, 1982), hlm. 275 14
Abu Hamid Muhammad Al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, terj. Moh.Zuhri,
dkk, (Semarang: CV Asy-Syifa, 1994), hlm. 323.
42
Seperti menahan kepayahan badan setelah banyak mengerjakan amal
ibadah. Atau menahan penderitaan, misalnya sabar atas pukulan yang
ditimpakan kepadanya. Sabar yang demikian ini terpuji jika sesuai dengan
syara'. Jika tidak sesuai, misalnya sabar melihat orang Islam dianiaya
orang kafir, atau sabar melihat al-Qur'an dihinakan orang: maka sabar
yang demikian ini dilarang dan dicela di dalam agama Islam, yang harus
dihindari.
2. Sabar kejiwaan (nafs)
Sabar kejiwaan ini bermacam-macam, misalnya:
- Sabar menahan syahwat perut dan farji (kemaluan). Kesabaran ini
disebut Iffah.
- Tenang di dalam menerima cobaan, maka ini disebut sabar. Kesabaran
ini selalu dilawan oleh sifat suka menggerutu.
- Sabar di dalam keadaan kaya, maka kesabaran ini disebut keteguhan
jiwa.
- Keteguhan jiwa ini selalu dilawan oleh sifat angkuh, sombong.
- Sabar di dalam peperangan atau pertempuran, maka kesabaran ini
disebut pemberani. Namun keberanian itu selalu dilawan oleh sifat
penakut (jubun).
- Sabar menahan marah, maka kesabaran ini disebut penyantun. Tetapi
sifat penyantun selalu dilawan oleh sifat suka uring-uringan.
- Sabar di dalam menghadapi bencana yang menyedihkan dan
menyesatkan hati, maka kesabaran ini disebut lapang dada. Akan
tetapi sifat ini selalu dilawan oleh kebosanan dan kegelisahan.
- Sabar menahan ucapan maka kesabaran ini disebut pandai menyimpan
rahasia.
- Sabar di dalam menahan berlebih-lebihan, maka kesabaran ini disebut
zuhud, sifat ini selalu dilawan dengan sifat tamak.
43
- Sabar dalam menerima pembagian sedikit dari Allah, maka kesabaran
ini disebut qonaah. Tetapi sifat ini selalu dilawan dengan sifat
serakah.15
1. Keutamaan Sabar
Allah Ta'ala telah mensifati orang-orang yang sabar dengan
beberapa sifat, Dia menyebut sabar dalam Al-Qur'an pada lebih dari tujuh
puluh tempat dan Dia menambah lebih banyak derajat dan kebaikan dan
menjadikannya sebagai buah bagi sabar.16
Maka Allah Azza wa Jalla berfirman:
Artinya: "Dan kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-
pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami
ketika mereka sabar… " (QS. As Sajdah: 24).17
Berdasarkan pemikiran Imam Ghazali tentang keutamaan sabar
memiliki aktualisasi untuk membangun paradigma yang relevan dengan
kebutuhan diri manusia. Jadi maksud Imam Ghazali bahwa sabar memiliki
sejumlah keutamaan yang tidak kalah dengan keutamaan lain dan
memiliki tingkat yang tinggi dalam membangun manusia yang utama..
2. Hakikat Sabar dan Artinya
Ketahuilah bahwa sabar adalah kedudukan dari kedudukan agama
dan derajat dari derajat-derajat orang-orang yang menempuh jalan menuju
Allah. Dan semua kedudukan agama itu sesungguhnya dapat tersusun dari
tiga perkata yaitu: "Ma'rifat, hal ihwal dan amal perbuatan. Ma'rifat
adalah pokok dan ia menimbulkan bal ihwal, dan bal ihwal membuahkan
amal perbuatan. Ma'rifat adalah seperti pohon dan hal ihwal adalah seperti
15
Abu Hamid Muhammad Al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, terj. Moh.Zuhri,
dkk, (Semarang: CV Asy-Syifa, 1994), hlm. 324. 16
Abu Hamid Muhammad Al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, terj. Moh.Zuhri,
dkk, (Semarang: CV Asy-Syifa, 1994), hlm. 314. 17
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 662.
44
dahan, dan amal perbuatan itu seperti buah-buahan. Dan ini berlaku pada
semua kedudukan orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah
Ta'ala. Dan nama iman suatu ketika tertentu dengan ma'rifat dan suatu
ketika disebutkan secara keseluruhan sebagaimana kami sebutkan pada
perbedaan nama iman dan Islam pada Kitab Kaidah-kaidah Aqidah.18
Demikian pula sabar itu tidak dapat sempurna kecuali ma'rifat
yang mendahului dan dengan keadaan yang berdiri tegak. Maka sabar
secara hakekat adalah ibarat dari ma'rifat itu. Dan amal perbuatan adalah
seperti buah-buahan yang keluar dari padanya. Dan ini tidak dapat
diketahui kecuali dengan mengetahui cara menyusun antara malaikat,
manusia dan binatang. Maka sabar adalah ciri khas manusia dan demikian
itu tidak tergambar pada binatang dan malaikat. Adapun pada binatang,
maka karena kekurangannya dan adapun pada malaikat, maka karena
kesempurnaannya.
Penjelasannya adalah bahwa binatang-binatang itu dikuasai oleh
bawa nafsu syahwat dan ia tunduk padanya, maka tidak ada yang
membangkitkan bagi binatang untuk bergerak dan diam kecuali nafsu
syahwat dan tidak ada padanya kekuatan yang dapat memukulnya dan
menolaknya dari apa yang dituntutnya sehingga tetapnya kekuatan itu
dalam menghadapi nafsu syahwat itu dinamakan sabar. 19
Adapun para malaikat, maka mereka semata-mata rindu kepada
hadhirat Tuhan dan merasa bahagia dengan derajat berdekatan dengan-
Nya dan mereka tidak dikuasai oleh nafsu syahwat yang memalingkan
yang mencegah dan padanya sehingga memerlukan kepada memukul apa
yang memalingkannya dari hadhirat Tuhan Yang Maha Agung dengan
tentara lain yang dapat mengalahkan hal-hal yang memalingkan.
Adapun manusia, maka sesungguhnya ia diciptakan pada
permulaan waktu kecilnya dalam keadaan kurang seperti binatang yang
tidak diciptakan padanya selain nafsu syahwat makan yang ia
18
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 323. 19
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 324
45
perlukannya, kemudian tampak padanya nafsu syahwat bermain dan
berbias, kemudian nafsu syahwat nikah secara tertib. Dan tidak ada pada
manusia kekuatan sabar sama sekali karena sabar adalah ibarat dari
tetapnya tentara dalam menghadapi tentara yang lain yang terjadi
peperangan antara keduanya karena berlawanan apa yang dituntut
keduanya dan apa yang dikehendaki keduanya. Dan tidak pada anak selain
tentara hawa nafsu sebagaimana yang ada pada binatang. Tetapi Allah
Ta'ala dengan karuniaNya dan kelapangan kemurahanNya memuliakan
anak Adam dan mengangkat derajat mereka dari derajat binatang lalu Dia
mewakilkan anak kecil tersebut ketika sempurna pribadinya dengan
mendekati dewasa kepada dua malaikat yang salah satunya memberi
petunjuk kepadanya dan yang lain memberi kekuatan kepadanya, lalu ia
menjadi berbeda dengan bantuan dua malaikat tersebut dari binatang dan
ia tertentu dengan dua sifat yaitu ma'rifat kepada Allah Ta'ala dan ma'rifat
kepada Rasul-Nya, dan ma'rifat (mengenal) kemaslahatan-kemaslahatan
yang berkaitan dengan akibat.20
Dan semua itu berhasil dari malaikat yang kepadanya petunjuk dan
pengenalan. Binatang itu tidak mempunyai ma'rifat dan tidak mempunyai
petunjuk kepada kemaslahatan akibat, tetapi kepada apa yang dituntut oleh
nafsu syahwatnya pada waktu seketika saja. Karena itu binatang tidak
mencari kecuali sesuatu yang lezat. Adapun obat yang berguna beserta ia
mendatangkan bahaya pada waktu seketika, maka binatang itu tidak
mencarinya dan tidak mengenalnya.
Maka manusia dengan cabaya petunjuk menjadi mengerti bahwa
mengikuti nafsu syahwat mempunyai akibat yang tidak disukai. Tetapi
petunjuk ini tidak cukup selama ia tidak mempunyai kemampuan untuk
meninggalkan apa yang mendatangkan bahaya. Banyak sesuatu yang
mendatangkan bahaya yang diketahui oleh manusia seperti penyakit yang
bertempat padanya umpamanya, tetapi ia tidak mempunyai kemampuan
untuk menolaknya, maka ia memerlukan kepada kemampuan dan
20
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 325.
46
kekuatan yang dapat mendorong kepada menyembelih nafsu syahwat, lalu
ia menyerangnya dengan kekuatan tersebut sehingga dapat memutuskan
permusuhan bawa nafsu dari dirinya, lalu Allah mewakilkan manusia
kepada malaikat lain yang membetulkannya, menolongnya dan memberi
kekuatan kepadanya dengan tentara-tentara yang diketahuinya. Dan dia
menyuruh tentara ini untuk memerangi tentara nafsu syahwat, maka sekali
tentara ini lemah dan sekali kuat. Demikian itu menurut pertolongan Allah
Ta'ala kepada hamba-Nya dengan ta'yid (pemberian kekuatan).
Sebagaimana petunjuk-petunjuk juga berbeda-beda pada makhluk dengan
perbedaan yang tidak dapat dihitung.21
Maka hendaklah kami menamakan sifat ini yang membedakan
manusia dengan binatang dalam mengalahkan nafsu syahwat dan
memaksanya "penggerak agama" dan hendaklah kami menamakan
tuntutan nafsu syahwat dengan apa yang dikehendaki olehnya "penggerak
bawa nafsu."
Dan hendaklah mengerti bahwa peperangan itu terjadi antara
penggerak agama dan penggerak bawa nafsu, dan peperangan antara
keduanya adalah silih berganti kemenangan, dan medan pertempuran ini
adalah hati hamba, dan bala bantuan penggerak agama adalah dari
malaikat yang menolong tentara Allah Ta'ala dan bala bantuan penggerak
nafsu syahwat adalah dari syaitan yang menolong musuh-musuh Allah
Ta'ala.
Maka sabar adalah ibarat dari tetapnya penggerak agama dalam
menghadapi penggerak nafsu syahwat. Kalau sabar itu tetap sehingga
mengalahkan nafsu syahwat dan terus-menerus menentangnya, maka ia
telah menolong tentara Allah dan ia dimasukkan dalam kelompok orang-
orang sabar. Kalau penggerak agama itu membiarkan dan lemah sehingga
ia dikalahkan oleh nafsu syahwat dan ia tidak sabar untuk menolaknya,
maka ia dimasukkan dalam golongan pengikut syaitan.
21
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 326.
47
Jadi, meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diinginkan oleh
nafsu syahwat adalah perbuatan yang dihasilkan oleh keadaan yang
dinamakan sabar yaitu: tetapnya penggerak agama yang tengah
menghadapi penggerak nafsu syahwat.
Dan tetapnya penggerak agama adalah keadaan yang dihasilkan
oleh ma'rifat (pengertian) dengan memusuhi nafsu syahwat dan
melawannya untuk sebab-sebab kebahagiaan di dunia dan di akherat.
Apabila keyakinannya kuat maksudnya: Ma'rifatnya yang dinamakan
"iman" yaitu: keyakinan bahwa nafsu syahwat adalah musuh yang
memotong jalan menuju Allah Ta'ala, niscaya penggerak agama kuat dan
apabila tetapnya penggerak agama kuat, niscaya perbuatan-perbuatan itu
sempurna dengan bertentangan terhadap apa yang dituntut oleh nafsu
syahwat.22
Maka meninggalkan nafsu syahwat tidak dapat sempurna kecuali
dengan kekuatan penggerak agama yang berlawanan dengan penggerak
nafsu syahwat. Dan kekuatan ma'rifat dan iman dapat mengkejikan akibat
nafsu syahwat dan kejelekan akibatnya. Kedua malaikat inilah yang
menanggung kedua tentara ini dengan izin Allah Ta'ala dan ditundukkan
keduanya oleb-Nya. Kedua malaikat tersebut termasuk malaikat-malaikat
yang mencatat amal perbuatan manusia. Keduanya adalah malaikat yang
ditugaskan kepada setiap orang dari anak-anak Adam.
3. Sabar itu Separoh dari Iman
Ketahuilah bahwa iman pada suatu kali dalam mengatakannya
secara mutlak khusus kepada macam-macam tasdiq (pembenaran dalam
hati) kepada pokok-pokok agama dan suatu kali khusus kepada amal
perbuatan yang shaleh yang timbul dari tashdiq-tashdiq tersebut dan
kadang-kadang dikatakan secara mutlak kepada keduanya.23
22
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 326. 23
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 333.
48
Dan ma'rifat-ma'rifat itu mempunyai bab-bab dan karena kata-kata
iman itu meliputi keduanya (pembenaran dan amal shaleh), maka iman itu
ada tujuh puluh bab lebih. Dan perbedaan arti-arti iman secara mutlak
telah kami sebutkannya pada Kitab Kaidah-Kaidah dari Rubu' Ibadah.
Tetapi sabar itu setengah dari iman dengan dua pemikiran atas
tuntutan dua arti secara mutlak:
Pemikiran Pertama: Iman itu dikatakan secara mutlak kepada
tasdiq dan amal shaleh semuanya. Maka iman mempunyai dua rukun yang
pertama adalah keyakinan dan yang kedua adalah sabar.
Yang dimaksudkan dengan keyakinan adalah ma'rifat-ma'rifat
yang pasti yang dihasilkan dengan petunjuk Allah Ta'ala terhadap hamba-
Nya kepada pokok-pokok agama.
Dan yang dimaksudkan dengan sabar adalah amal perbuatan
disebabkan tuntutan keyakinan karena keyakinan memberi pengertian
kepadanya bahwa perbuatan maksiat adalah membawa bahaya dan thaat
membawa manfaat dan tidak mungkin meninggalkan maksiat dan rajin
melakukan thaat kecuali dengan sabar yaitu: memakai penggerak agama
dalam menundukkan penggerak hawa nafsu dan malas. Maka sabar itu
setengah dari iman dengan pemikiran ini.24
Kesimpulan yang dapat diambil dari konsep Imam Ghazali bahwa
sabar merupakan refleksi dari keimanan seseorang. Tidak bisa disebut
beriman jika seseorang belum mampu bersikap sabar, karena sabar
merupakan perwujudan dari perjuangan manusia dalam memahami
hakikat agama. Itulah sebabnya sabar merupakan sebagian dari iman.
Sabar masuk dalam kerangka keimanan bukan hanya masuk dalam
dimensi akhlak.
4. Nama-Nama yang menjadi Baru Bagi Sabar dengan Dikaitkan
kepada Sesuatu yang Disabari
Ketahuilah bahwa sabar itu ada dua macam:
24
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 334.
49
Pertama: Badaniah seperti menanggung kesulitan dengan badan
dan tetap teguh atas kesulitan.
Dan itu adakalanya dengan perbuatan seperti mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan yang berat adakalanya dari ibadah atau dari lainnya,
dan adakalanya dengan menahan seperti sabar dari pukulan yang keras,
sakit yang berat dan luka-luka yang parah.
Demikian itu kadang-kadang terpuji apabila sesuai dengan agama.
Tetapi sabar yang terpuji lagi sempurna adalah macam yang lain yaitu
sabar dalam jiwa dari keinginan-keinginan thabiat dan tuntutan-tuntutan
hawa nafsu.
Kemudian sabar ini, kalau sabar itu dari nafsu syahwat perut dan
kemaluan, maka dinamakan iffah (penjagaan diri) dan kalau sabar dalam
menanggung yang tidak disukai, maka nama-namanya berbeda-beda
menurut manusia disebabkan perbedaan apa yang tidak disukai yang
dikuasai oleh sabar.
Kalau sabar dalam menghadapi musibah, maka terbatas dengan
nama sabar. Dan yang berlawanan dengannya adalah keadaan yang
dinamakan keluh kesah dan gelisah, yaitu yang mendorong kepada hawa
nafsu secara mutlak supaya terlepas dalam mengeraskan suara, memukul
pipi, mengoyakkan saku baju dan lainnya.25
Kalau sabar dalam menanggung kekayaan, maka dinamakan
"menahan diri." Dan yang berlawanan dengannya adalah keadaan yang
dinamakan "sombong." Dan kalau sabar itu dalam peperangan, maka
dinamakan "berani." dan yang berlawanan dengannya adalah "penakut."
Dan kalau sabar itu dalam menahan amarah dan marah, maka dinamakan
"murah hati." Dan yang berlawanan dengannya adalah "penyesalan diri."
Dan kalau sabar itu dalam menghadapi zaman yang celaka lagi
membosankan, maka dinamakan "lapang dada." Dan yang berlawanan
dengannya adalah bosan; jemu dan sempit dada."
25
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 336.
50
Dan kalau sabar itu dalam menyembunyikan perkataan, maka
dinamakan "menyimpan rahasia" dan pelakunya dinamakan "penyimpan
rahasia." Dan kalau sabar itu dari berlebihan dalam penghidupan, maka
dinamakan "zuhud." Dan yang berlawanan dengannya adalah "rakus,"
Dan kalau sabar itu atas kadar yang sedikit dari keuntungan, maka
dinamakan qana'ah (suka menerima seadanya) dan yang berlawanan
dengannya adalah ' 'lahap.' 26
Berdasarkan uraian di atas, maka konsep Imam Ghazali
mengandung arti bahwa sabar memiliki makna yang luas. Sabar dalam
mengendalikan harta benda, sabar dalam memelihara kewajiban terhadap
anak, sabar dalam memberi nafkah, sabar dalam mengarungi berbagai
cobaan dan malapetaka.
5. Bagian-Bagian Sabar menurut Perbedaan Kuat dan Lemahnya
Ketahuilah bahwa penggerak agama dikaitkan dengan penggerak
hawa nafsu mempunyai tiga keadaan. 27
Keadaan Pertama : Bahwa penggerak agama dapat menundukkan
penggerak hawa nafsu sehingga tidak tersisa bagi penggerak hawa nafsu
itu kekuatan dan ia dapat sampai kepadanya dengan kekalnya sabar. Dan
pada waktu ini dikatakan: "Barang siapa sabar, niscaya memperoleh." Dan
orang-orang yang sampai kepada tingkat ini adalah sedikit, maka pasti
mereka adalah orang-orang (benar) yang dekat dengan Tuhannya, yang
mereka berkata: "Allah itu Tuhan kami". Kemudian mereka beristiqomah
(lurus). Mereka telah terus-menerus menempuh jalan yang lurus, mereka
tegak lurus di atas jalan yang lurus, hati mereka tenang atas tuntutan
penggerak agama dan kepada mereka pemanggil memanggil:
26
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 337. 27
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 338.
51
Artinya: "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang puas lagi diridhainya."(QS. Fajar : 27-
28).28
Keadaan Kedua : bahwa hal-hal yang mendorong kepada hawa
nafsu lebih kuat dan perlawanan penggerak agama jatuh secara
keseluruhan lalu ia menyerahkan dirinya kepada tentara syaitan dan ia
tidak berjuang karena keputus-asaannya dari mujahadah (perlawanan).
Mereka adalah orang-orang yang lalai dan mereka adalah yang terbanyak.
Mereka telah diperbudak oleh nafsu syahwat mereka, dan celaka mereka
lebih kuat atas mereka, lalu mereka diputuskan sebagai musuh-musuh
Allah dalam hati mereka yang itu adalah rahasia dari rahasia-rahasia Allah
dan urusan dari urusan-urusan Allah.29
Mereka adalah orang-orang yang membeli kehidupan dunia
dengan kehidupan akhirat. Maka jual beli mereka rugi dan dikatakan
kepada orang yang bermaksud memberi petunjuk kepada mereka:
Artinya: "Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang.
berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini
kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh
pengetahuan mereka." (QS. An Najm: 29 - 30).30
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setiap orang memiliki
kesabaran yang berbeda. Mungkin pada orang tertentu dalam menghadapi
masalah tidak sabar, namun masalah tersebut jika mengena pada orang
lain, bisa jadi ia sabar dalam memecahkan masalah tersebut, karena itu
sabar memiliki tingkatan. Manusia dalam menjalani sabar pun bertingkat-
tingkat.
28
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 1057. 29
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 339. 30
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 871.
52
6. Tempat Dugaan yang Membutuhkan Kepada Sabar dan bahwa
Hamba Itu Tidak Terlepas dari Sabar dalam Suatu Keadaan
Apapun.
Ketahuilah, bahwa semua apa yang ditemui oleh hamba dalam
kehidupan ini itu tidak terlepas dari dua macam:
Pertama: Yang sesuai dengan hawa nafsunya.
Yang lain : Yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya, bahkan ia
tidak menyukainya.31
Hamba itu memerlukan kepada sabar pada masing-masing dari dua
macam tersebut. Dan hamba itu dalam keadaannya itu tidak terlepas dari
salah satu diantara dua macam ini atau dari kedua-duanya.
Jadi, hamba itu tidak dapat terlepas sama sekali dari sabar.
Macam yang pertama: Apa yang sesuai dengan hawa nafsu yaitu:
kesehatan, keselamatan, harta, kedudukan, banyak keluarga, luasnya
sebab-sebab, banyaknya pengikut dan penolong dan semua kelezatan
dunia.
Alangkah perlunya hamba kepada sabar atau semua perkara ini,
sesungguhnya kalau hamba itu tidak dapat menahan dirinya dari terlepas
dan kecenderungan kepada perkara-perkara itu dan bersungguh-sungguh
dalam kelezatannya yang mubah, niscaya demikian itu mengeluarkannya
kepada kesombongan dan durhaka. Sesungguhnya manusia itu akan
durhaka kalau ia melihat dirinya serba cukup sehingga sebagian orang
yang ahli ma'rifat berkata: "Bencana itu orang mu'min sabar atasnya. Dan
kesehatan-kesehatan yang sempurna itu tidak sabar atasnya kecuali orang
yang siddiq."
Sahl berkata: "Sabar atas kesehatan yang sempurna itu lebih berat
dari pada sabar atas bencana."
Tatkala pintu-pintu dunia terbuka kepada para shahabat ra., maka
berkata: "Kita telah diuji dengan fitnah kesengsaraan, maka kita sabar dan
31
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 344.
53
kita diuji dengan fitnah kesenangan, maka kita tidak sabar. Karena itu
Allah memperingatkan hamba-hambaNya dari fitnah harta, isteri dan
anak.32
Allah Ta'ala berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu
dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat
Allah… (QS. al-Munafiqun: 9).33
Kesimpulan yang dapat diambil dari konsep Imam Ghazali diatas
yaitu keadaan bagaimana pun manusia tidak terlepas dari apa yang
dinamakan sabar. Kehidupan tidak selalu enak, suka duka silih berganti.
Kebahagiaan dan penderitaan akan menerpa pada setiap orang. Kadar dan
maknanya saja yang berbeda. Hal itu tergantung pada persepsi manusia.
7. Obat Sabar dan Sesuatu yang Dapat Menolong untuk Bersabar
Ketahuilah bahwa yang menurunkan penyakit adalah yang
menurunkan obat dan menjanjikan sembuh. Sabar itu walaupun berat atau
tercegah, maka menghasilkannya itu mungkin dengan obat campuran dari
ilmu dan amal. Maka ilmu dan amal adalah campuran-campuran yang
dipakai untuk menyusun obat-obat bagi penyakit-penyakit hati semuanya.
Tetapi setiap penyakit memerlukan kepada ilmu yang lain dan amal yang
lain. Dan sebagaimana bagian-bagian sabar itu bermacam-macam, maka
bagian-bagian penyakit yang mencegah sabar itu bermacam-macam pula.
Dan apabila penyakit-penyakit bermacam-macam, maka pengobatannya
bermacam-macam pula karena arti pengobatan adalah melawan penyakit
dan mencegahnya. Dan mencukupi demikian itu termasuk yang panjang
keterangannya. .Tetapi kami mengetahui jalan pada sebagian contoh-
contoh.34
32
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 345. 33
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 936. 34
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 368.
54
Maka kami berkata bahwa apabila orang memerlukan kepada sabar
dan nafsu syahwat bersetubuh umpamanya dan nafsu syahwat telah
menguasainya di mana ia tidak dapat menahan kemaluannya atau ia dapat
menahan kemaluannya, tetapi tidak dapat menahan diri kemaluannya, atau
dapat menahan diri kemaluannya tetapi tidak dapat menahan hati dan
jiwanya. Karena nafsu syahwat senantiasa membisikannya dengan
tuntutan-tuntutan nafsu syahwat dan demikian itu memalingkannya dari
kerajinan dzikir, berfikir dan amal-amal yang shaleh. Maka kami
menjawab bahwa telah terdahulu kami terangkan bahwa sabar adalah
ibarat dari bergulatnya pendorong agama dengan pendorong hawa nafsu.
Dan masing-masing dari dua orang yang bergulat kami kehendaki bahwa
salah satunya dapat mengalahkan yang lain. Maka tidak ada jalan bagi
kami padanya selain memperkuat siapa yang mempunyai tangan di atas
dan melemahkan yang lain. 35
Maka di sini kita harus memperkuat pendorong agama dan
melemahkan pendorong hawa nafsu.
Adapun pendorong nafsu syahwat, maka jalan melemahkannya
adalah tiga perkara:
Pertama : Bahwa kita memandang kepada bahan makanan
pokoknya yaitu: makanan-makanan yang baik yang menggerakkan nafsu
syahwat dan segi macamnya dan dari segi banyaknya. Maka tidak boleh
tidak memutuskannya dengan puasa yang terus-menerus beserta sederhana
ketika berbuka dengan makanan yang sedikit mengenai diri makanan itu
serta lemah mengenai jenisnya.
Maka menjaga diri dari daging dan makanan-makanan yang
membangkitkan nafsu syahwat.
Kedua: Memutuskan sebab-sebab yang membangkitkan nafsu
syahwat seketika. Sesungguhnya pendorong nafsu syahwat itu dapat
bangkit dengan memandang kepada tempat dugaan nafsu syahwat. Karena
memandang itu dapat menggerakkan hati dan hati itu menggerakkan nafsu
35
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 369.
55
syahwat. Memutuskan pendorong hawa nafsu ini dapat berhasil dengan
mengasingkan diri dan menjaga diri dari tempat dugaan jatuhnya
pandangan kepada gambar-gambar yang menimbulkan nafsu syahwat dan
lari dari padanya secara keseluruhan.
Itu adalah panah yang diluruskan oleh syaitan yang terkutuk dan
tidak ada perisai untuk menangkisnya kecuali memejamkan pelupuk mata
atau lari dari tempat sasaran lemparannya. Maka sesungguhnya syaitan
yang terkutuk melempar panah beracun tersebut dari busur gambar-
gambar. Apabila kamu berbalik melempar dari tempat sasaran gambar-
gambar, niscaya anak panahnya tidak mengenaimu.
Ketiga: Menghibur diri dengan yang diperbolehkan dari jenis yang
kamu senangi. Demikian itu dengan nikah. Sesungguhnya setiap apa yang
disenangi oleh thabiat, maka pada hal-hal yang diperbolehkan terdapat apa
yang tidak memerlukan kepada hal-hal yang diharamkan.
Dan ini adalah pengobatan yang sangat berguna bagi kebanyakan
orang. Sesungguhnya memutuskan makanan dapat melemahkan
perbuatan-perbuatan yang lain, kemudian memutuskan makanan kadang-
kadang tidak dapat mengalahkan nafsu syahwat bagi kebanyakan orang
laki-laki.
Ini adalah tiga sebab, maka pengobatan pertama yaitu:
memutuskan makanan adalah menyerupai memutuskan makanan dari
binatang yang keras kepala dan dari anjing yang diajari berburu agar ia
lemah lalu kekuatannya jatuh.36
Pengobatan kedua itu menyerupai menyembunyikan daging dari
anjing dan menyembunyikan gandum dari binatang sehingga perutnya
tidak bergerak disebabkan melihatnya. Pengobatan ketiga itu menyerupai
menghibur diri dengan sesuatu yang sedikit dari apa yang dicenderungi
oleh thabiatnya sehingga tersisa beserta nafsu syahwat kekuatan yang
dapat bersabar untuk mendidiknya.
Adapun memperkuat pendorong agama itu dengan dua jalan:
36
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 370.
56
Pertama : Memberi makan kepadanya dengan segala macam
faedah mujahadah dan buahnya mengenai agama dan dunia. Demikian itu
dengan memperbanyak berfikir tentang hadits-hadits yang telah kami
sebutkan mengenai keutamaan sabar dan baik akibat sabar di dunia dan di
akhirat dan memperbanyak berfikir tentang atsar: bahwa pahala sabar atas
bencana itu lebih banyak dari apa yang telah hilang dan sesungguhnya ia
dengan sebab demikian adalah diinginkan nikmatnya dengan musibah.
Karena telah hilang dari padanya apa yang tidak kekal bersamanya selain
masa hidup dan telah berhasil baginya apa yang kekal setelah kematiannya
selama-lamanya.
Barang siapa yang menyerahkan yang hina untuk memperoleh
yang berharga, maka tidak seyogyanya ia sedih karena hilangnya yang
hina itu seketika.
Dan ini termasuk bab ma'rifat dan itu termasuk iman, maka iman
itu sekali lemah dan sekali kuat. Kalau iman kuat, maka pendorong agama
kuat dan dibangkitkannya dengan sekuat-kuatnya dan kalau ia lemah,
maka ia melemahkan pendorong agama itu.
Dan sesungguhnya kekuatan iman itu diibaratkan dengan
keyakinan. Dan keyakinan itu yang menggerakkan kepada kemauan sabar
yang kuat. Dan sedikit-sedikitnya apa yang diberikan kepada manusia
adalah keyakinan dan kemauan sabar yang kuat.
Kedua: bahwa pendorong agama biasa bergulat dengan pendorong
hawa nafsu secara bertahap sedikit demi sedikit sehingga ia memperoleh
lezatnya kemenangan dengan bergulat itu lalu ia berani untuk bergulat dan
niatny a kuat dalam bergulat dengannya.
Sesungguhnya membiasakan diri dan melatih diri dengan
pekerjaan-pekerjaan yang berat itu mengokohkan kekuatan-kekuatan yang
menimbulkan pekerjaan-pekerjaan itu. Karena itu bertambah kekuatan
(nilai-nilai) petani-petani dan orang-orang yang berperang. Dan secara
global kekuatan orang-orang yang melatih diri dengan pekerjaan-
pekerjaan yang berat itu melebihi kekuatan penjahit-penjahit, pembuat-
57
pembuat minyak wangi, orang-orang ahli fiqih dan orang-orang yang
shaleh. Demikian itu karena kekuatan mereka tidak diperkuat dengan
latihan itu. Maka pengobatan pertama itu menyerupai keinginan-keinginan
orang yang bergulat dengan pemberian pakaian ketika menang dan
dijanjikan dengan macam-macam kemuliaan.37
Sebagaimana Fir'aun
menjanjikan kepada ahli-ahli sihirnya ketika ia membujuk mereka untuk
berhadapan dengan Nabi Musa As. di mana ia berkata:
Artinya: …"Kalau demikian sesungguhnya kamu sekalian benar-
benar akan menjadi orang yang didekatkan kepadaku."
(QS. Asy Syu'ara: 42).38
Pengobatan kedua itu menyerupai pembiasan anak kecil yang
dikehendaki agar ia bergulat dan berperang dengan melakukan sebab-
sebab demikian secara langsung sejak kecil sehingga ia jinak dengannya,
berani kepadanya dan kemauannya kuat padanya.
Maka barang siapa meninggalkan mujahadah dengan sabar secara
keseluruhan, niscaya pendorong agama padanya lemah dan tidak kuat
menghadapi nafsu syahwat walaupun nafsu syahwat itu lemah. Dan
barang siapa membiasakan melawan hawa nafsunya, niscaya ia telah
mengalahkannya manakala ia menghendaki. Ini adalah jalan pengobatan
pada semua macam sabar dan tidak mungkin menyempurnakannya. Dan
sesungguhnya berat-beratnya segala macam sabar adalah mencegah bathin
dari suara hati. Dan demikian itu sangat berat atas orang yang
mengerjakan semata-mata untuk sabar dengan mencegah semua nafsu
syahwatnya yang zhahir (tampak), memilih mengasingkan diri dan duduk
untuk muraqabah dzikir dan berfikir, maka sesungguhnya bisikan syaitan
senantiasa menariknya dari sudut ke sudut.
37
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 371. 38
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 572.
58
Kemudian semua itu tidak cukup selama cita-cita tidak menjadi
satu cita-cita yaitu: Allah Ta'ala. Kemudian kalau demikian telah
menguasai hati, maka demikian itu tidak cukup selama tidak ada baginya
jalan di dalam fikiran dan berjalan-jalan dengan bathin di alam malakut
langit dan bumi, keajaiban-keajaiban ciptaan Alah dan segala pintu-pintu
ma'rifat.
Sehingga apabila demikian itu telah menguasai atas hatinya,
niscaya kesibukannya dengan demikian dapat menolak syaitan dan
bisikannya. Dan kalau ia tidak mempunyai perjalanan dengan bathin,
maka tidak dapat menyelamatkannya kecuali oleh wirid-wirid yang
bersambung lagi tertib pada setiap saat dari membaca Al-Qur'an, dzikir-
dzikir dan shalat-shalat. Dan di samping demikian ia memerlukan kepada
memaksakan hati akan kehadirannya. Sesungguhnya berfikir dengan
bathin adalah yang menenggelamkan hati bukan wirid-wirid itu.39
Kemudian apabila ia telah melakukan demikian itu semuanya,
maka tidak selamat baginya dari semua waktunya kecuali sebagiannya.
Karena ia tidak terlepas pada semua waktunya dari kejadian-kejadian yang
baru, lalu menyibukkannya dari berfikir dan dzikir seperti sakit, takut,
disakiti oleh orang dan penganiayaan dari orang yang bercampur. Karena
ia tidak dapat terlepas dari bercampur dengan orang yang menolongnya
dalam sebagian bab penghidupan. Maka ini adalah satu dari macam-
macam yang menyibukkan itu.40
Adapun macam kedua, maka itu adalah hal yang penting dari pada
macam yang pertama. Yaitu: kesibukannya dengan makanan, pakaian dan
sebab-sebab penghidupan. Karena mempersiapkan demikian itu juga
memerlukan kepada kesibukan kalau diurus sendiri. Dan itu kalau diurus
oleh orang lain, maka ia tidak terlepas dari kesibukan hati dengan orang
yang mengurusnya.
39
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 372. 40
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 373.
59
Kemudian setelah memutuskan semua hubungan, kebanyakan
waktunya tidak dapat selamat baginya kalau bencana atau kejadian tidak
menyerangnya. Pada waktu-waktu itulah hati bersih, dan fikiran
dipermudah baginya dan tersingkap dari rahasia-rahasia Allah Ta'ala pada
alam malakut langit dan bumi apa yang ia tidak mampu pada seperseratus
pada waktu yang lama jikalau ia disibukkan hatinya dengan hubungan-
hubungan. Sampai kepada ini adalah setinggi-tingginya ma'qam
(kedudukan) yang mungkin dicapai dengan bekerja dan usaha keras.
Adapun banyaknya apa yang tersingkap dan jumlahnya apa yang
datang dari kasih sayang Allah pada segala keadaan dan segala amal
perbuatan, maka demikian itu berlaku seperti berlakunya rizqi, yaitu:
menurut rizqi. Kadang-kadang usaha sedikit dan buruan yang diperoleh
banyak dan kadang-kadang usaha lama dan keberuntungan sedikit. Dan
pegangan di balik usaha ini adalah atas tarikan dari tarikan-tarikan Tuhan
Yang Maha Pengasih. Sesungguhnya itulah yang menghadapi segala amal
perbuatan manusia dan jin dan demikian itu tidak dengan kemauan
hamba.41
Kesimpulan yang dapat diambil dari konsep Imam Ghazali yaitu
sesuatu yang dapat menolong sabar di antaranya adalah salat, zikir,
membaca al-Qur'an beserta maknanya. Sabar tidak bisa tumbuh begitu
saja, melainkan ia harus diperjuangkan. Sabar tanpa diperjuangkan maka
kesabaran tidak akan tertanam dalam diri manusia. Kesabaran
memerlukan sarana pembantu. Sabar memerlukan ibadah, perbuatan-
perbuatan yang baik. Sabar harus mampu mengosongkan diri sifat-sifat
tercela dan mampu mengisi dari sifat-sifat terpiuji.
41
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 374.
60
BAB IV
KONSEP SABAR MENURUT IMAM Al-GAZÂLÎ
DAN RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Analisis Pandangan Imam Al-Gazâlî tentang Sabar
Menurut pendapat penulis bahwa jalan-raya yang dilalui dalam
kehidupan ini tidak selamanya datar. Tapi, adakalanya mendaki dan menurun,
kadang-kadang jalan itu bertaburan dengan onak dan duri. Adakalanya
manusia mendapat nikmat dan adakalanya pula ditimpa kesusahan atau
musibah. Ada saat tertawa dan ada waktu menangis; ada masa bahagia dan ada
waktu menderita; adakalanya menang dan adakalanya kalah, dan lain-lain
sebagainya. Ini adalah hukum-alam, sunnatullah.
Berdasarkan hal itu, maka menurut penulis bahwa dalam tiap-tiap
keadaan dan situasi itu haruslah dihadapi dengan sikap jiwa yang telah
digariskan oleh Al-Quran. Sudah dijelaskan bahwa tatkala mendapat nikmat
dan bahagia, manusia haruslah bersyukur. Sekarang, apabila mendapat
kesusahan atau ditimpa bencana (musibah) haruslah bersikap sabar.
Kesusahan dan musibah itu bermacam-macam. Adakalanya berbentuk tekanan
jiwa, kemiskinan, kehilangan harta, kematian anak dan lain-lain. Semua
kesusahan itu adalah merupakan cobaan.
Berangkat dari keterangan tersebut, maka menurut penulis bahwa
konsep Imam al-Gazâlî menjadi bagian penting untuk kehidupan manusia
terutama ketika ditimpa cobaan.
Imam al-Gazâlî memberikan penjelasan secara rinci tentang jenis
kesabaran yang dibutuhkan di dalam melaksanakan amal saleh. la mengatakan
bahwa orang yang taat membutuhkan kesabaran dalam ketaatannya dalam tiga
hal, yaitu: (1) Sebelum melaksanakan amal, yaitu memperbaiki niat, ikhlas,
menahan diri dari riya dan faktor-faktor yang merusak amal, dan membulatkan
tekad untuk menunaikannya; (2) Sewaktu beramal, yakni tidak melupakan
Allah pada saat menunaikan amal, tidak bermalas-malas dalam merealisasikan
61
adab, sunat, dan ketentuannya hingga selesai; dan (3) Setelah selesai
menunaikan amal, yakni menahan diri dari merusak amal dan menonjolkan
amal tersebut untuk didengar dan disaksikan, serta menahan diri untuk
memandang amal dengan rasa kagum dan semua hal yang membatalkan amal
dan meruntuhkan nilainya.
Selanjutnya, kalau diperhatikan dengan seksama rangkaian ayat al-
Qur'an yang terdapat pada surat al-Furqan dari ayat 63 hingga 75, maka di
sana dapat ditemukan rincian sejumlah amal yang membutuhkan kesabaran,
baik sebagai kekuatan untuk melaksanakan amal itu, maupun sebagai kualitas
yang harus mewarnai amal tersebut.
Amal dalam hal ini dibedakan atas dua macam, yaitu amal yang
sifatnya aktif dalam melakukan sesuatu yang positif dan amal yang sifatnya
menahan diri dari perkara yang tergolong negatif. Rincian amal yang
dimaksud, yaitu:
a. Berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa
mereka, maka mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung
keselamatan (ayat 63)
b. Melaksanakan salat tahajud pada malam hari (ayat 64)
c. Berdoa agar dijauhkan dari azab Jahanam (ayat 65)
d. Tidak berlebihan dan tidak kikir dalam membelanjakan hartanya (ayat 67)
e. Tidak menyembah selain Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan
kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina (ayat 68),
f. Tidak memberikan kesaksian palsu dan bila bertemu dengan orang-orang
yang melakukan perbuatan yang tidak berfaedah, mereka menjaga
kehormatan diri mereka (ayat 72)
g. Apabila diberi peringatan akan ayat-ayat Tuhan, mereka tidak bersikap tuli
dan buta (ayat 73)
h. Berdoa agar diberi keturunan yang menyenangkan hati dari istri-istri
mereka dan menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa (ayat 74).
Setelah rangkaian ayat di atas, maka ayat selanjutnya dari surat al-
Furqan memberikan penjelasan akan balasan yang akan diberikan kepada
62
mereka berkat kesabaran mereka. Ayat yang dimaksud yaitu: "Mereka itulah
orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena
kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan
selamat di dalamnya (Q 25:75).
Sejumlah amal yang disebutkan pada rangkaian ayat di atas dapat
dibedakan atas dua macam, yaitu amal yang bersifat lahir dan amal yang
bersifat batin. Semuanya membutuhkan kesabaran. Dengan demikian,
kesabaran pun dapat dibedakan atas dua macam, yaitu lahir dan batin.
Kesabaran lahir mencakup: (1) kesabaran dalam menjalankan kewajiban
dalam berbagai keadaan, seperti susah dan senang, sehat sejahtera dan
mendapat cobaan; (2) kesabaran atas segala apa yang dilarang oleh Allah
Ta'ala; dan (3) kesabaran dalam menjalankan anjuran (sunat) dan amal
kebaikan yang dapat mendekatkan diri seorang hamba kepada tujuan
hidupnya, yaitu Allah 'Azza wa Jalla.
Adapun kesabaran batin adalah kesabaran dalam menerima siapa saja
yang datang membawa berita kebenaran berupa nasehat atau apa saja yang
hakikatnya merupakan seruan Rasulullah SAW. Pembagian lain dari
kesabaran diistilahkan oleh Imam al-Gazâlî dengan badani (fisik) dan nafsi
(psikis). Jenis kesabaran yang pertama mencakup ketekunan dalam
mengerjakan pekerjaan yang berat, seperti ibadah; dan menanggung kesulitan
seperti pukulan yang keras, penyakit yang keras, dan luka yang parah. Jenis
kesabaran yang kedua adalah menahan diri dari keinginan yang bersumber
dari naluri dan tuntutan hawa nafsu. Di antara kedua macam kesabaran itu,
maka al-Gazâlî mengisyaratkan bahwa yang disebut terakhir itu lebih berat.
Konsep kesabaran dari pemikiran Imam al-Gazâlî sangat penting
dalam kehidupan seorang peserta didik dan pendidik, karena pendidik dan
peserta didik membutuhkan kesabaran dalam mencapai tujuan yang
diharapkan yaitu peserta didik dalam menuntut ilmu butuh kesabaran,
demikian pula pendidik dalam mentransfer ilmu butuh kesabaran. Tanpa
kesabaran maka tidak akan berhasil sesuai dengan harapan.
63
Sehubungan dengan itu, Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi
peserta didik dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan
dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan. Syarat yang dimaksud
sebagaimana dalam syairnya:
"Seorang santri harus tabah menghadapi ujian dan cobaan. Sebab ada
yang mengatakan bahwa gudang ilmu itu selalu diliputi dengan
cobaan dan ujian. Ali bin Abi Thalib, berkata, "Ketahuilah, kamu tidak
akan memperoleh ilmu kecuali dengan bekal enam perkara, yaitu:
cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk/bimbingan
guru, dan waktu yang lama."
Adapun cara memilih guru /kiai carilah yang alim, yang bersifat wara',
dan yang lebih tua. Sebagaimana Abu Hanifah memilih kiai Hammad bin Abi
Sulaiman, karena beliau (Hammad) mempunyai kriteria/sifat-sifat tersebut.
Maka Abu Hanifah mengaji ilmu kepadanya. Abu Hanifah berkata, "Beliau
adalah seorang guru berakhlak mulia, penyantun, dan penyabar. Aku
bertahan mengaji kepadanya hingga aku seperti sekarang itu." 2
Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan/ketekunan adalah pokok
dari segala urusan. Tapi jarang sekali orang yang mempunyai sifat-sifat
tersebut, sebagaimana kata sebuah syair yang artinya, setiap orang pasti
mempunyai hasrat memperoleh kedudukan/martabat yang mulia, namun
jarang sekali orang yang mempunyai sifat sabar, tabah, tekun, dan ulet."
Ada yang berkata, bahwa keberanian adalah kesabaran menghadap
kesulitan dan penderitaan. Oleh karena itu, seorang santri harus berani
bertahan dan bersabar dalam mengaji kepada seorang guru dan dalam
1Syaikh Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-Ta’allum, Terj. Abdul Kadir al-
Jufri, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 23. 2 Syaikh Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-Ta’allum, hlm. 19.
64
membaca sebuah kitab. Tidak meninggalkannya sebelum tamat/selesai. Tidak
pindah-pindah dari satu guru ke guru yang lain. Dari satu ilmu ke ilmu yang
lain. Padahal ilmu yang dipelajari belum ia kuasai, juga tidak pindah-pindah
dari satu daerah ke daerah lain, supaya waktunya tidak terbuang sia-sia.3
Mencari ilmu itu harus sabar. Pelan-pelan tapi kontinyu, sabar inilah
pokok yang penting dari segala sesuatu.4 Rasulullah Saw. bersabda,
"Sesungguhnya Allah itu mencintai sesuatu yang luhur/tinggi dan membenci
sesuatu yang rendah." Dikatakan oleh seorang penyair, "Janganlah kau
tergesa-gesa ingin mencapai sesuatu tapi cobalah terus bersabar (ulet), karena
sabar itu ibarat api yang dapat melunakkan tongkat dari besi."5
B. Analisis Pandangan Imam Al-Gazâlî tentang Sabar Relevansinya dengan
Tujuan Pendidikan Islam
Apabila mengkaji konsep sabar menurut Imam al-Gazâlî sebagaimana
telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini, maka konsepnya sangat penting
dan relevan dengan pendidikan, kode etik pendidik (guru) dan kode etik
peserta didik. Ditinjau dari aspek pendidikan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia. Sebagai suatu
kegiatan yang sadar akan tujuan, maka dalam pelaksanaannya berada dalam
suatu proses yang berkesinambungan dalam setiap jenis dan jenjang
pendidikan.6 Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar anak didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
3 Syaikh Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-Ta’allum, hlm. 22.
4 Syaikh Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-Ta’allum, hlm. 42.
5 Syaikh Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-Ta’allum, hlm. 44.
6Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka cipta, 200) hlm. 22.
65
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.7
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar untuk mewujudkan manusia seutuhnya dengan selalu mengembangkan
potensi yang ada pada setiap peserta didik. Semuanya bermuara kepada
manusia, sebagai suatu proses pertumbuhan dan perkembangan secara wajar
dalam masyarakat yang berbudaya. Dengan demikian dapat dirumuskan
bahwa pendidikan adalah suatu proses alih generasi, yang mampu
mengadakan transformasi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan budaya kepada
generasi berikutnya agar dapat menatap hari esok yang lebih baik.
Pendidikan memiliki kode etik yang berhubungan dengan kode etik
pendidik (guru) dan kode etik peserta didik.
Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan
kemanusiaan (hubungan relationship) antara pendidik dan peserta didik, orang
tua peserta didik, koleganya, serta dengan atasannya. Suatu jabatan yang
melayani orang lain selalu memerlukan kode etik. Demikian pula jabatan
pendidik mempunyai kode etik tertentu yang harus dikenal dan dilaksanakan
oleh setiap pendidik. Bentuk kode etik suatu lembaga pendidikan tidak harus
sama, tetapi secara intrinsik mempunyai kesamaan konten yang berlaku
umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan
kewibawaan identitas pendidik.
Menurut Ibnu Jama'ah, yang dikutip oleh Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakkir, etika pendidik terbagi atas tiga macam, yaitu:
1. Etika yang terkait dengan dirinya sendiri. Pendidik dalam bagian ini
paling tidak memiliki dua etika, yaitu (1) memiliki sifat-sifat keagamaan
(diniyyah) yang baik, meliputi patut dan tunduk terhadap syariat Allah
dalam bentuk ucapan dan tindakan, baik yang wajib maupun yang sunnah;
senantiasa membaca Al-Qur'an, zikir kepada-Nya baik dengan hati
maupun lisan; memelihara wibawa Nabi Muhammad; dan menjaga
7Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003, (Jakarta: BP.Cipta Jaya, 2003), hlm. 4.
(DEPDIKNAS, 2003: 163)
66
perilaku lahir dan batin; (2) memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia
(akhlaqiyyah), seperti menghias diri (tahalli) dengan memelihara diri,
khusyu', rendah hati, menerima apa adanya, zuhud, dan memiliki daya dan
hasrat yang kuat.
2. Etika terhadap peserta didiknya. Pendidik dalam bagian ini paling tidak
memiliki dua etika, yaitu: (1) sifat-sifat sopan santun (adabiyyah), yang
terkait dengan akhlak yang mulia seperti di atas; (2) sifat-sifat
memudahkan, menyenangkan, dan menyelamatkan (muhniyyah).
3. Etika dalam proses belajar-mengajar. Pendidik dalam bagian ini paling
tidak mempunyai dua etika, yaitu: (1) sifat-sifat memudahkan,
menyenangkan, dan menyelamatkan (muhniyyah); (2) sifat-sifat seni,
yaitu sent mengajar yang menyenangkan sehingga peserta didik tidak
merasa bosan.8
Dalam merumuskan kode etik, al-Gazâlî lebih menekankan betapa
berat kode etik yang diperankan seorang pendidik daripada peserta
didiknya. Kode etik pendidik terumuskan sebanyak 17 bagian, sementara
kode etik peserta didik hanya 11 bagian. Hal itu terjadi karena guru dalam
konteks ini menjadi segala-galanya, yang tidak saja menyangkut
keberhasilannya dalam menjalankan profesi keguruannya, tetapi juga
tanggungjawabnya di hadapan Allah SWT. kelak. Adapun kode etik
pendidik yang dimaksud adalah:9
1. Menerima segala problem peserta didik dengan hati dan sikap yang
terbuka dan tabah.
2. Bersikap penyantun dan penyayang (QS. ali Imran: 159).
3. Menjaga kewibawaan dan kehormatannya dalam bertindak.
4. Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama. (QS.
al-Najm: 32).
5. Bersifat rendah hati ketika menyatu dengan sekelompok masyarakat
(QS. al-Hijr: 88).
8Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana,
2006), hlm. 98. 9 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu pendidikan Islam., hlm. 99.
67
6. Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia.
7. Bersifat lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat
IQ-nya rendah, serta membinanya sampai pada taraf maksimal.
8. Meninggalkan sifat marah dalam menghadapi problem peserta
didiknya.
9. Memperbaiki sikap peserta didiknya, dan bersikap lemah lembut
terhadap peserta didik yang kurang lancar bicaranya.
10. Meninggalkan sifat yang menakutkan pada peserta didik, terutama
pada peserta didik yang belum mengerti atau mengetahui.
11. Berusaha memerhatikan pertanyaan-pertanyaan peserta didik,
walaupun pertanyaannya itu tidak bermutu dan tidak sesuai dengan
masalah yang diajarkan.
12. Menerima kebenaran yang diajukan oleh peserta didiknya.
13. Menjadikan kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan,
walaupun kebenaran itu datangnya dari peserta didik.
14. Mencegah dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang
membahayakan (QS. al-Baqarah: 195).
15. Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus-menerus
mencari informasi guna disampaikan pada peserta didik yang akhirnya
mencapai tingkat taqarrub kepada Allah SWT. (QS. al-Bayyinah: 5).
16. Mencegah peserta didik mempelajari ilmu fardlu kifayah (kewajiban
kolektif, seperti ilmu kedokteran, psikologi, ekonomi dan sebagainya)
sebelum mempelajari ilmu fardlu 'ain (kewajiban individual, seperti
akidah, syariah, dan akhlak).
17. Mengaktualisasikan informasi yang diajarkan pada peserta didik (QS.
al-Baqarah; 44, as-Shaf: 2-3).10
Dalam bahasa yang berbeda, Muhammad Athiyah Al-Abrasyi
menentukan kode etik pendidik dalam pendidikan Islam sebagai berikut:
10
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu pendidikan Islam, hlm. 100.
68
1. Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik,
sehingga ia menyayangi peserta didiknya seperti menyayangi anaknya
sendiri.
2. Adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik. Pola
komunikasi dalam interaksi dapat diterapkan ketika terjadi proses belajar-
mengajar. Pola komunikasi dalam pendidikan dapat dilakukan dengan tiga
macam, yaitu komunikasi sebagai aksi (interaksi searah), komunikasi
sebagai interaksi (interaksi dua arah) dan komunikasi sebagai transaksi
(interaksi multiarah). Tentunya untuk mewujudkan tujuan pendidikan
Islam yang maksimal harus digunakan komunikasi yang transaksi,
sehingga suasana belajar menjadi lebih aktif antara pendidik dan peserta
didik, antara peserta didik dan pendidik, dan antara peserta didik dengan
peserta didik.
3. Memperhatikan kemampuan dan kondisi peserta didiknya. Pemberian
materi pelajaran harus diukur dengan kadar kemampuannya.
4. Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta
didik, misalnya hanya memprioritaskan anak yang memiliki IQ tinggi.
5. Mempunyai sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan.
6. Ikhlas dalam menjalankan aktivitasnya, tidak banyak menuntut hal yang di
luar kewajibannya.
7. Dalam mengajar supaya mengaitkan materi satu dengan materi lainnya
(menggunakan pola integrited curriculum).
8. Memberi bekal peserta didik dengan ilmu yang mengacu pada masa
depan, karena ia tercipta berbeda dengan zaman yang dialami oleh
pendidiknya.
9. Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat,
tanggung jawab, dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta
mempunyai rencana yang matang untuk menatap masa depan yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh.11
11
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu pendidikan Islam, hlm. 100
69
Adapun sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban
yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik secara
langsung maupun tidak langsung yaitu:
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT.,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk
menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela
(takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahalli) (perhatikan
QS. al-An'am: 162, al-Dzariyat: 56).
2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi
(QS. adh-Dhuha: 4). Artinya, belajar tak semata-mata untuk mendapatkan
pekerjaan, tapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi
mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan manusia dan
Allah SWT.
3. Bersikap tawadlu' (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan
pribadi untuk kepentingan pendidiknya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia bijak
dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidiknya, termasuk juga
bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
4. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran,
sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh
dan mendalam dalam belajar.
5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrawi
maupun untuk duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela
(madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah,
sementara ilmu tercela akan menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan
permusuhan antar sesamanya.
6. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang
mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu
yang fardlu 'am menuju ilmu yang fardlu kifayah (QS. al-Insyiqaq: 19).
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang
lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan
secara mendalam. Dalam konteks ini, spesialisasi jurusan diperlukan agar
70
peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus (QS. al-Insyirah:
7).
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari,
sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
9. Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai
makhluk Allah SWT., sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu
yang bermanfaat dapat membahagiakan, menyejahterakan, serta memberi
keselamatan hidup dunia akhirat.
11. Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya
orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode
madzab yang diajarkan oleh pendidik-pendidik pada umumnya, serta
diperkenankan bagi peserta didik untuk mengikuti kesenian yang baik.
Menurut analisis penulis bahwa konsep sabar perspektif Imam al-
Gazâlî mempunyai hubungan yang erat dengan tujuan pendidikan. Dengan
kata lain bahwa konsep Imam al-Gazâlî berkaitan pula dengan pendidikan
karena dalam pendidikan dibutuhkan kesabaran. Pendidik harus sabar dalam
mentransfer ilmu dan peserta didik harus sabar dalam mempelajari dan
mendalami ilmu.
Sabar sudah menjadi model perilaku dalam menghadapi musibah,
fenomenanya yaitu banyak musibah yang melanda negara Indonesia, mulai
dari persoalan banjir, letusan gunung, gempa bumi dan masih banyak lagi.
Bagi yang sabar maka orang yang ditimpa musibah akan menerima kenyataan
ini dengan lapang dada. Sedangkan bagi yang tidak sabar, maka akan putus
asa.
Sabar jika anggota keluarga meninggal dunia yaitu tidak meratapi terus
menerus dan ia pasrah dengan keyakinan segala sesuatu kembali kepada Allah
Swt. Indikator sabar menurut Imam al-Gazâlî yaitu mampu menahan diri dari
rasa putus asa, berserah diri kepada Allah Swt., tidak mengeluh, tenang, segala
sesuatu dianggap terpulang kembali kepada Allah Swt.
71
Hikmah sabar yaitu seorang mukmin yang sabar tidak akan berkeluh
kesah dalam menghadapi segala kesusahan yang menimpanya serta tidak akan
menjadi lemah atau jatuh gara-gara musibah dan bencana yang menderanya.
Allah SWT. telah mewasiatkan .kesabaran kepadanya serta mengajari bahwa
apa pun yang menimpanya pada kehidupan dunia hanyalah merupakan cobaan
dari-Nya supaya diketahui orang-orang yang bersabar.
Kesabaran mengajari manusia ketekunan dalam bekerja serta
mengerahkan kemampuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan amaliah dan
ilmiahnya. Sesungguhnya sebagian besar tujuan hidup manusia, baik di bidang
kehidupan praksis misalnya sosial, ekonomi, dan politik maupun dl bidang
penelitian ilmiah, membutuhkan banyak waktu dan banyak kesungguhan.
Oleh sebab itu, ketekunan dalam mencurahkan kesungguhan serta kesabaran
dalam menghadapi kesulitan pekerjaan dan penelitian merupakan karakter
penting untuk meraih kesuksesan dan mewujudkan tujuan-tujuan luhur.12
Sifat sabar dalam Islam menempati posisi yang istimewa. Al-Qur'an
mengaitkan sifat sabar dengan bermacam-macam sifat mulia lainnya. Antara
lain dikaitkan dengan keyakinan (QS. As-Sajdah 32: 24), syukur (QS. Ibrahim
14:5), tawakkal (QS. An-Nahl 16:41-42) dan taqwa (QS. Ali 'Imran 3:15-17).
Mengaitkan satu sifat dengan banyak sifat mulia lainnya menunjukkan betapa
istimewanya sifat itu. Karena sabar merupakan sifat mulia yang istimewa,
tentu dengan sendirinya orang-orang yang sabar Juga menempati posisi yang
istimewa. Misalnya dalam menyebutkan orang-orang beriman yang akan
mendapat surga dan keridhaan Allah SWT, orang-orang yang sabar
ditempatkan dalam urutan pertama sebelum yang lain-lainnya. Perhatikan
firman Allah berikut ini:
12
Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-Qur'an, Terapi Qur'ani dalam
Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, Terj. Zaka al-Farisi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005),
hlm. 312.
72
Artinya: "Katakanlah" "Inginkan aku kabarkan kepadamu apa yang lebih
baik dari yang demikian itu". Untuk orang-orang yang bertaqwa,
pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan ada pula
pasangan-pasangan yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan
Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. Yaitu orang-orang
yang berdo'a: "Ya Tuhan Kami, sesungguhnya kami telah
beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah
kami dari siksa neraka. Yaitu orang-orang yang sahar, yang
benar, yang tetap ta'at, yang menafkahkan hartanya (di jalan
Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur." (QS. Ali
'Imran 3:15-17).13
Di samping itu, setelah menyebutkan dua belas sifat hamba-hamba
yang akan mendapatkan kasih sayang dari Allah SWT (dalam Surat Al-Furqan
25: 63-74), Allah SWT menyatakan bahwa mereka akan mendapatkan balasan
surga karena kesabaran mereka. Artinya untuk dapat memenuhi dua belas
sifat-sifat tersebut diperlukan kesabaran.
( Artinya: "Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi
(dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut
dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya". (QS.
Al-Furqan/25: 75).14
Di samping segala keistimewaan itu, sifat sabar memang sangat
dibutuhkan sekali untuk mencapai kesuksesan dunia dan Akhirat. Seorang
mahasiswa tidak akan dapat berhasil mencapai gelar kesarjanaan tanpa sifat
sabar dalam belajar. Seorang peneliti tidak akan dapat menemukan penemuan-
13
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 75. 14
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 559.
73
penemuan ilmiah tanpa ada sifat sabar dalam penelitiannya. Demikianlah
seterusnya dalam seluruh aspek kehidupan.
Lawan dari sifat sabar adalah al-jaza'u yang berarti gelisah, sedih,
keluh kesah, cemas dan putus asa, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
Artinya: "...Sama saja bagi kita, mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali
kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri." (QS.
Ibrahim/14: 21).15
Artinya: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi
kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan
apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang
yang mengerjakan shalat." (QS. Al-Ma'arij/70: 19-22).16
Ketidaksabaran dengan segala bentuknya adalah sifat yang tercela.
Orang yang dihinggapi sifat ini, bila menghadapi hambatan dan mengalami
kegagalan akan mudah goyah, berputus asa dan mundur dari medan
perjuangan. Sebaliknya apabila mendapatkan keberhasilan juga cepat lupa
diri. Menurut ayat di atas, kalau ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, kalau
mendapat kebaikan ia amat kikir. Semestinyalah setiap Muslim dan Muslimah
menjauhi sifat yang tercela ini.
Apabila mengkaji konsep Imam al-Gazâlî tentang sabar, maka dapat
dikatakan bahwa konsepnya sangat relevan dengan kondisi saat ini. Menurut
Muhammad Utsman Najati bahwa sabar merupakan indikator jiwa yang stabil
karena dalam sabar tersirat kemampuan individu memikul kesulitan hidup,
tegar dalam menghadapi berbagai bencana dan cobaan hidup. Ia tidak menjadi
lemah, tidak terpuruk, dan tidak diliputi keputusasaan. Orang yang sanggup
15
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 380. 16
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 975.
74
menghadapi berbagai cobaan dan situasi sulit dengan kesabaran adalah orang
yang memiliki kepribadian paripurna. Dalam banyak ayat, Allah Ta'ala telah
berpesan untuk bersikap sabar.
Artinya: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu' (QS. Al-Baqarah: 45).17
Sabar itu haruslah diterapkan dalam segala bidang-kehidupan. Tidak
hanya dalam menghadapi malapetaka (musibah) saja. Itu hanyalah merupakan
salah satu diantara bidang-bidang itu. Sebagai contoh pada bidang-bidang
mana harus diterapkan sikap sabar itu, dijelaskan di dalam Al-Quran
Sabar itu harus diterapkan paling tidak pada lima macam, yaitu :
1) Sabar dalam beribadat
Sabar mengerjakan ibadat ialah dengan tekun mengendalikan diri
melaksanakan syarat-syarat dan tata-tertib ibadah itu. Dalam
pelaksanaannya perlu diperhatikan tiga hal, yaitu;
a. Sebelum melakukan ibadah. Harus dibuhul niat yang suci ikhlas,
semata-mata beribadah karena taat kepada Allah;
b. Sedang melakukan ibadah. Janganlah lalai memenuhi syarat-syarat,
jangan malas mengerjakan tata-tertibnya. Seumpama mengerjakan
shalat, janganlah melakukan sembahyang "cotok ayam'', yaitu seperti
ayam yang sedang mencotok padi, main cepat-cepat dan kilat saja.
Yang dikerjakan hanya yang wajib-wajibnya saja, sedang yang
sunnat-sunnat ditinggalkan. Pada hal tidak ada yang akan diburu atau
yang mendesak.
c. Sesudah selesai beribadah. Jangan bersikap ria, menceriterakan ke kiri
dan ke kanan tentang ibadah atau amal yang dikerjakan, dengan
maksud supaya mendapat sanjungan dan pujian manusia.
2) Sabar ditimpa malapetaka.
17
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 72.
75
Sabar ditimpa malapetaka atau musibah ialah teguh hati ketika
mendapat cobaan, baik yang berbentuk kemiskinan, maupun berupa
kematian, kejatuhan, kecelakaan, diserang penyakit dan lain-lain
sebagainya. Kalau malapetaka itu tidak dihadapi dengan kesabaran, maka
akan terasa tekanannya terhadap jasmaniah maupun rohaniah. Badan
semakin lemah dan lemas, hati semakin kecil. Timbullah kegelisahan,
kecemasan, panik dan akhirnya putus-asa. Malah kadang-kadang ada pula
yang nekad dan gelap mata mengambil putusan yang tragis, seumpama
membunuh diri.
3) Sabar terhadap kehidupan dunia.
Sabar terhadap kehidupan dunia (as-shabru 'aniddunya) ialah sabar
terhadap tipudaya dunia, jangan sampai terpaut hati kepada kenikmatan
hidup di dunia ini. Dunia ini adalah jembatan untuk kehidupan yang abadi,
kehidupan akhirat. Banyak orang yang terpesona terhadap kemewahan
hidup dunia. Dilampiaskannya hawa nafsunya, hidup berlebih-lebihan,
rakus, tamak dan lain-lain sehingga tidak memperdulikan mana yang halal
dan mana yang haram, malah kadang-kadang merusak dan merugikan
kepada orang lain.
Kehidupan di dunia ini janganlah dijadikan tujuan, tapi hanya
sebagai alat untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal.
Memang, tabiat manusia condong kepada kenikmatan hidup lahiriah,
kehidupan yang nyata dilihat oleh mata dan dinikmati oleh indera-indera
yang lain. Tak ubahnya seperti orang yang meminum air laut, semakin
diminum semakin haus. Untuk ini diperlukan kesabaran menghadapinya.
4) Sabar terhadap maksiat.
Sabar terhadap maksiat ini ialah mengendalikan diri supaya jangan
melakukan perbuatan maksiat. Tarikan untuk mengerjakan maksiat itu
sangat kuat sekali mempengaruhi manusia, sebab senantiasa digoda dan
didorong oleh iblis. Iblis itu bertindak laksana kipas yang terus menerus
pengipas-ngipas api yang kecil, sehingga akhirnya menjadi besar
76
merembet dan menjilat-jilat ke tempat lain. Kalau api sudah semakin
besar, maka sukar lagi memadamkannya.
Sabar terhadap maksiat itu bukanlah mengenai diri sendiri saja,
tapi juga mengenai diri orang yang lain. Yaitu, berusaha supaya orang lain
juga jangan sampai terperosok ke jurang kemaksiatan, dengan melakukan:
amar makruf, nahi munkar. Yakni, menyuruh manusia melakukan
kebaikan dan mencegahnya dari perbuatan yang salah dan buruk.
5) Sabar dalam perjuangan.
Sabar dalam perjuangan ialah dengan menyadari sepenuhnya,
bahwa setiap perjuangan mengalami masa up and dawn, masa-naik dan
masa-jatuh, masa-menang dan masa-kalah. Kalau perjuangan belum
berhasil, atau sudah nyata mengalami kekalahan, hendaklah berlaku sabar
menerima kenyataan itu. Sabar dengan arti tidak putus harapan, tidak
patah semangat. Harus berusaha menyusun kekuatan kembali, melakukan
introspeksi (mawasdiri) tentang sebab-sebab kekalahan dan menarik
pelajaran daripadanya.
Jika perjuangan berhasil atau menang, harus pula sabar mengendalikan
emosi-emosi buruk yang biasanya timbul sebagai akibat kemenangan itu,
seperti sombong, congkak, berlaku kejam, membalas dendam dan lain-lain.
Sabar disini harus diliputi oleh perasaan syukur.
Apabila sesuatu perjuangan dikendalikan oleh sifat kesabaran, maka
dengan sendirinya akan timbul ketelitian, kewaspadaan, usaha-usaha yang
bersifat konsolidasi dan lain-lain. Orang yang tidak sabar dalam perjuangan
kerap kali mundur di tengah jalan atau setelah sampai di medan juang, kalah
sebelum mengangkat senjata dalam medan tempur
Al-Quran mengajak kaum muslimin agar berhias diri dengan
kesabaran. Sebab, kesabaran mempunyai faedah yang besar dalam membina
jiwa, memantapkan kepribadian, meningkatkan kekuatan manusia dalam
menahan penderitaan, memperbaharui kekuatan manusia dalam menghadapi
berbagai problem hidup, beban hidup, musibah, dan bencana, serta
77
menggerakkan kesanggupannya untuk terus-menerus berjihad dalam rangka
meninggikan kalimah Allah SWT.
Seorang mukmin yang sabar tidak akan berkeluh kesah dalam
menghadapi segala kesusahan yang menimpanya serta tidak akan menjadi
lemah atau jatuh gara-gara musibah dan bencana yang menderanya. Allah
SWT. telah mewasiatkan .kesabaran kepadanya serta mengajari bahwa apa
pun yang menimpanya pada kehidupan dunia hanyalah merupakan cobaan
dari-Nya supaya diketahui orang-orang yang bersabar.
Kesabaran mengajari manusia ketekunan dalam bekerja serta
mengerahkan kemampuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan amaliah dan
ilmiahnya. Sesungguhnya sebagian besar tujuan hidup manusia, baik di bidang
kehidupan misalnya sosial, ekonomi, dan politik maupun dl bidang penelitian
ilmiah, membutuhkan banyak waktu dan banyak kesungguhan. Oleh sebab itu,
ketekunan dalam mencurahkan kesungguhan serta kesabaran dalam
menghadapi kesulitan pekerjaan dan penelitian merupakan karakter penting
untuk meraih kesuksesan dan mewujudkan tujuan-tujuan luhur.
Apabila seseorang bersabar dalam memikul kesulitan dan musibah
hidup, bersabar dalam gangguan dan permusuhan orang lain, bersabar dalam
beribadah, dan taat kepada Allah SWT, maka mentalnya akan sehat. Sabar
dalam melawan syahwat, bersabar dalam bekerja dan berkarya, ia tergolong
orang yang memiliki kepribadian yang matang, seimbang, paripurna, kreatif,
dan aktif.
Apabila menghubungkan konsep sabar Imam al-Gazâlî terutama dalam
konteks masa kini, maka hal yang dapat diungkap yaitu dunia pendidikan
demikian pesat dan majunya seiring dengan kemajuan informasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan itu banyak
manusia yang sudah memuja atau barangkali diperbudak oleh teknologi
sehingga segalanya dengan semua yang terjadi adalah atas usaha manusia
tanpa ada keterlibatan yang Maha Kuasa. Padahal pendidikan Islam meskipun
sudah turut dikembangkan secara modern, namun akar keagamaan dan akhlak
tidak disingkirkan melainkan terus ditanamkan.
78
Akan tetapi kenyataan lain menunjukkan di tengah kemajuan zaman
dan modernisasi di segala bidang sekaligus juga manusia telah banyak yang
melupakan kekuasaan Allah Swt. Berdasarkan hal itu tingkat keyakinan
manusia dapat dikatakan banyak yang makin menurun atau tipis. Padahal
tujuan pendidikan Islam pada puncaknya adalah pengabdian seorang hamba
kepada Allah Swt. Itulah sebabnya salah seorang ahli pendidikan Islam yaitu
Ahmad Tafsir menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan
peserta didik yang pasrah kepada khaliq-Nya. Pernyataan ini dapat dikaji dari
pernyataannya sebagai berikut: tujuan pendidikan Islam seperti ini sesuai pula
dengan Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam (1977)
berkesimpulan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang
menyerahkan din dan sabar secara mutlak kepada Allah.18
Maulana Muhammad Ah dalam bukunya The Religion of Islam
menegaskan bahwa Islam mengandung arti, dua macam, yakni (1) mengucap
kalimah syahadat; (2) berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah.19
Pengertian tersebut jika diawali kata pendidikan sehingga menjadi kata
"pendidikan Islam" maka terdapat berbagai rumusan.
Menurut M. Arifin, pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi
tentang proses kependidikan yang bersifat progresif menuju ke arah
kemampuan optimal anak didik yang berlangsung di atas landasan nilai-nilai
ajaran Islam.20
Sementara Achmadi memberikan pengertian, pendidikan Islam
adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia
serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia
seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.21
Abdur Rahman Saleh memberi pengertian juga tentang pendidikan
Islam yaitu usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan
18
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan. Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), hlm. 48. 19
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, (USA: The Ahmadiyya Anjuman
Ishaat Islam Lahore, 1990), hlm. 4.
20
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 4. 21
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.
28-29.
79
anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar
mampu mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di
bumi dalam pengabdiannya kepada Allah.22
Menurut Abdurrahman an-
Nahlawi, pendidikan Islam adalah penataan individual dan sosial yang dapat
menyebabkan seseorang tunduk taat pada Islam dan menerapkannya secara
sempurna di dalam kehidupan individu dan masyarakat, Pendidikan Islam
merupakan kebutuhan mutlak untuk dapat melaksanakan Islam sebagaimana
yang dikehendaki oleh Allah. Berdasarkan makna ini, maka pendidikan Islam
mempersiapkan diri manusia guna melaksanakan amanat yang dipikulkan
kepadanya. Ini berarti, sumber-sumber Islam dan pendidikan Islam itu sama,
yakni yang terpenting, al-Qur'an dan Sunnah Rasul.23
Apabila memperhatikan konsep sabar Imam al-Gazâlî, maka tujuan
konsepnya yaitu (1) agar manusia memiliki kemampuan untuk
mengembangkan potensi diri, bermanfaat untuk orang lain dan masyarakat. (2)
membentuk manusia yang berakhlak al-karimah. (3) membentuk manusia
yang cerdas dalam iman dan taqwa.
1. Konsep sabar Imam al-Gazâlî bertujuan agar manusia memiliki
kemampuan untuk mengembangkan potensi diri, bermanfaat untuk orang
lain dan masyarakat.
Tujuan ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam sebagaimana
dikatakan oleh M. Arifin bahwa tujuan pendidikan Islam secara filosofis
berorientasi kepada nilai-nilai islami yang bersasaran pada tiga dimensi
hubungan manusia selaku "khalifah" di muka bumi, yaitu sebagai berikut:
a. menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan
Tuhannya.
b. membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang
dengan masyarakatnya.
22
Abdur Rahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi,
(Jakarta: PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hlm. 2-3. 23
Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam
Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: CV.Diponegoro, 1996), hlm. 41.
80
c. mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan
memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan
kesejahteraan hidupnya dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan
ubudiahnya kepada Allah, dengan dilandasi sikap hubungan yang
harmonis pula.24
Jadi berdasarkan pendapat M. Arifin, maka konsep
Imam al-Gazâlî relevan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu agar
manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri,
bermanfaat untuk orang lain dan masyarakat.
2. Membentuk manusia yang berakhlak al-karimah
Tujuan yang kedua ini sesuai dengan penegasan Athiyah al-
Abrasyi. Para pakar pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi telah
sepakat bahwa tujuan dari pendidikan serta pengajaran bukanlah
memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka
ketahui, melainkan: a. mendidik akhlak dan jiwa mereka; b. menanamkan
rasa keutamaan (fadhilah); c. membiasakan mereka dengan kesopanan
yang tinggi; d. mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci
seluruhnya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Dengan demikian,
tujuan pokok dari pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi ialah
mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Semua mata pelajaran
haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak, setiap pendidik haruslah
memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-
lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi,
sedangkan, akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.25
Dengan demikian berdasarkan pendapat Athiyah al-Abrasyi relevan
dengan tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk manusia yang berakhlak
al-karimah
3. Membentuk manusia yang cerdas dalam iman dan taqwa
24
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm.
121 25
Muhammad 'Athiyyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Al-lslamiyyah, Terj. Abdullah Zakiy
al-Kaaf, "Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam", (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 13.
81
Butir yang ketiga yang menjadi tujuan dari konsep sabar Imam al-
Gazâlî ini senafas dengan pendapat Ahmad Tafsir, menurutnya, tujuan
umum pendidikan Islam ialah a. muslim yang sempurna, atau manusia
yang takwa, atau manusia beriman, atau manusia yang beribadah kepada
Allah; b, muslim yang sempurna itu ialah manusia yang memiliki: (1)
akalnya cerdas serta pandai; (2) jasmaninya kuat; (3) hatinya takwa kepada
Allah; (4) berketerampilan; (4) mampu menyelesaikan masalah secara
ilmiah dan filosofis; (5) memiliki dan mengembangkan sains; (6) memiliki
dan mengembangkan filsafat; (7) hati yang berkemampuan berhubungan
dengan alam gaib.26
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah untuk membangun dan membentuk
manusia yang berkepribadian Islam dengan selalu mempertebal iman dan
takwa sehingga bisa berguna bagi bangsa dan agama.
Pendidikan Islam ialah segala usaha Untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada
padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).27
Karena
itu tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil yang di
dalamnya memiliki wawasan yang kaffah (utuh/lengkap/menyeluruh).28
Sejalan dengan itu menurut Arifin tujuan terakhir pendidikan Islam yaitu
penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah.29
Tujuan pendidikan Islam
seperti ini sesuai pula dengan Konferensi Dunia Pertama tentang
Pendidikan Islam (1977) berkesimpulan bahwa tujuan akhir pendidikan
Islam adalah manusia yang menyerahkan diri secara mutlak kepada
Allah.30
26
Ahmad Tafsir, llmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004), hlm. 50-51. 27
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 28. 28
Abdul Mujib dan Yusuf Muzakir, llmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media,
2007), hlm. 83. 29
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 28. 30
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), hlm. 48.
82
Jadi berdasarkan pendapat Ahmad Tafsir, maka konsep sabar Imam
al-Gazâlî relevan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk
manusia yang cerdas dalam iman dan taqwa.
83
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian dalam bab pertama sampai keempat, maka dapat
diambil kesimpulan:
1. Dalam perspektif Imam al-Ghazali bahwa sabar merupakan suatu konsep
utama yang harus dilalui dan dijalani oleh setiap orang yang beriman.
Kesabaran merupakan ciri khas orang yang mengaku dirinya muslim dan
beriman. Tanpa kesabaran maka seluruh dimensi yang ada dalam diri
manusia itu tidak mungkin dapat dikendalikan. Manusia sebagai makhluk
yang sempurna diberi sejumlah potensi yang harus dikembangkan. Seiring
dengan potensi itu maka manusia diberi nafsu. Masalahnya nafsu itu tidak
bisa ditiadakan namun harus dijinakkan oleh manusia agar nafsu itu dapat
dikendalikan. Salah satu sarana untuk mengendalikan nafsu itu adalah
melalui suatu proses yang disebut sabar.
2. Hubungan konsep sabar menurut Imam al-Gazâlî dengan tujuan
pendidikan Islam sebagai berikut: pendidikan Islam ialah segala usaha
untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya
manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya
(insan kamil). Karena itu tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya
insan kamil yang di dalamnya memiliki wawasan yang kaffah
(utuh/lengkap/menyeluruh). Sejalan dengan itu menurut Arifin tujuan
terakhir pendididikan Islam yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada
Allah. "Kata penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah" dalam bahasa
agama disebut tawakkal yang dicerminkan oleh sikap sabar. Tujuan
pendidikan Islam seperti ini sesuai pula dengan Konferensi Dunia Pertama
tentang Pendidikan Islam (1977) berkesimpulan bahwa tujuan akhir
pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan diri secara mutlak
kepada Allah.
84
B. Saran-saran
Dengan memperhatikan konsep Imam al-Gazâlî tentang sabar, maka
saran yang dapat dikemukakan antara lain: bahwa perlu adanya peningkatan
pemahaman terhadap masyarakat tentang sabar yang pada hakikatnya dapat
membangun manusia seutuhnya. Agar adanya kesamaan dalam pandangan,
maka menjadi tugas ulama dan para pendidik sebagai ujung tombak syi'ar
Islam dalam mensosialisasikan manfaat sabar sebagai sebuah kebutuhan bagi
manusia untuk mengenal dirinya dan pada puncaknya untuk mengenal Yang
Maha Kuasa.
C. Penutup
Tiada puja dan puji yang patut dipersembahkan kecuali kepada Allah
Swt yang dengan karunia dan rahmat-Nya telah mendorong penulis hingga
dapat merampungkan tulisan yang sederhana ini. Dalam hubungan ini sangat
disadari sedalam-dalamnya bahwa tulisan ini dari segi metode apalagi
materinya jauh dari kata sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
Aghnides, Nicolas P., The Background Introduction To Muhammedan Law, (New
York: Published by The Ab. "Sitti Sjamsijah" Publishing Coy Solo, Java,
with the authority – license of Columbia University Press)
Al-Abrasyi, Muhammad 'Athiyyah, al-Tarbiyah Al-Islamiyyah, Terj. Abdullah
Zakiy al-Kaaf, "Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam", (Bandung:
Pustaka Setia, 2003).
Ali, Maulana Muhammad, The Religion of Islam, (USA: The Ahmadiyya
Anjuman Ishaat Islam Lahore, 1990).
al-Khatib, Muhammad 'Ajaj, Usul al-Hadis 'Ulumuh wa Mustalah, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1989).
Al-Qardawi, Yusuf, al-Qur'an Menyuruh Kita Sabar, Terj. Aziz Salim Basyarahil,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1990).
---------, Pro-Kontra Pemikiran Al-Gazâlî, Terj. Achmad Satori Ismail, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1997).
Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2003).
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003).
---------, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003)
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi Dengan Islam; Menuju
Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dana Yayasan Insani,
2001)
Boy, Pradana, Filsafat Islam: Sejarah, Aliran dan Tokoh, (Malang: UMM Press,
2003).
Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif,
(Jakarta: Rineka cipta, 200).
Fuchan, Arief dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Melode Penelitian Mengenai
Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
AlGhazali, Abu Hamid Muhammad, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, (Semarang: CV
Asy-Syifa, 1994).
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1990)
Hassan, Abdillah F, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara, 2004).
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2004).
Iqbal, Muhammad, 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah, (Jakarta: Intimedia
& Ladang Pustaka, 2001).
Jauhari, Muhammad Rabbi Muhammad, Keistimewaan Akhlak Islami, terj.
Dadang Sobar Ali, (Bandung: Pustaka Setia, 2006).
Jauziyah, Ibnu Qayyim, Madarijus Salikin, Pendakian Menuju Allah: Penjabaran
Konkrit: Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in. Terj. Kathur Suhardi,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003).
Mahmud, Abd Halim, Penyelamat Dari Kesesatan, Terj. Abdullah Zakiy Al-Kaaf,
(Bandung: Pustaka Setia, 2001).
Mubarok, Achmad, Psikologi Qur’ani, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001).
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002).
---------, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004).
Muhammad, Hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi; Telaah Atas
Pemikiran Psikologi Humanistik Abrahan Maslow, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002)
Mujib, Abdul, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana,
2006).
Mustofa, A., Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997)
Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam
Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: CV.Diponegoro,
1996).
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)
Najati, Muhammad Utsman, Psikologi dalam al-Qur'an, Terapi Qur'ani dalam
Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, Terj. Zaka al-Farisi, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2005).
Nasution, Yunan, Pegangan Hidup, 3, (Solo: Ramadhani, 1999).
Natsir, Muhammad, Fiqhud Da'wah, (Jakarta: Media Da'wah, 2000).
Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, (Mansurat al-A'sr al-Hadis,
1973).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam , (Jakarta: Kalam Mulia, 1994).
Saleh, Abdur Rahman, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi,
(Jakarta: PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000).
Shihab, M. Quraish, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2007).
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat,(Bandung: Mizan, 1994)
---------, Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i Atas Berbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1997)
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1993).
Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003).
Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006).
---------, llmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004).
Undang-Undang RI No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta:
BP. Cipta Jaya, 2003).
Zahrah, Muhammad Abu, Usûl al-Fiqh, (Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958).
Al-Zarnuji, Syaikh, Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-Ta’allum, Terj. Abdul Kadir al-
Jufri, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995).
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, Terj. M.Thohir dan
Team Titian Ilahi, (Yogyakarta: Dinamika,1996).
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Amin Husni
Tempat / Tanggal Lahir : Semarang, 16 Oktober 1985
Alamat Asal : Jl. Sendangguwa raya RT 9 RW 9 Gemah
Pedurungan Semarang
Pendidikan : - MI Ad-Dainuriyyah lulus th. 1998
- SMP Walisongo 1 Semarang lulus th. 2001
- SMA Sultan Agung 1 Semarang lulus th. 2004
- Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
Angkatan 2004
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Amin Husni
BIODATA DIRI DAN ORANG TUA
Nama : Amin Husni
NIM :
Alamat :
Nama orang tua : Bapak Kasnawi dan Ibu Samiyatun
Alamat :