rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

211
i REKONSTRUKSI IDENTITAS DIRI DAN MASYARAKAT Studi tentang anggota Majelis Tafsir Alquran (MTA) di Blora Jawa Tengah TESIS Diajukan kepada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum.) Oleh: SAEFUDIN AMSA 106 322 003 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2014 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upload: others

Post on 11-Sep-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

i

REKONSTRUKSI IDENTITAS DIRI DAN

MASYARAKAT

Studi tentang anggota Majelis Tafsir Alquran (MTA)

di Blora Jawa Tengah

TESIS

Diajukan kepada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk memperoleh gelar

Magister Humaniora (M.Hum.)

Oleh:

SAEFUDIN AMSA

106 322 003

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2014

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

ii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

iii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

iv

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

v

KATA PENGANTAR

Tema agama dan pengalaman manusia menjadi hal yang menarik bagi saya.

Dalam sejarahnya, agama -baik sebagai institusi atau pengalaman spiritual- banyak

bersinggungan dengan berbagai dimensi dalam kehidupan manusia, antara lain

politik, kekuasaan, ekonomi, seni dan sebagainya. Selama itu pula persinggungan

tersebut menjadi bagian dari proses pembentukan identitas diri manusia.

Dalam beberapa dekade terakhir terjadi perubahan sosial yang berlangsung

begitu cepat. Kehidupan masyarakat global masuk dalam kondisi-kondisi modern dan

menjangkau ke seluruh belahan bumi. Globalisasi –suatu fenomena perubahan yang

terjadi secara cepat dan merupakan ciri dari modernitas- mempengaruhi tatanan

masyarakat serta diri manusia di dalamnya. Agama kemudian menjadi semacam

tempat pelarian, terbukti dari maraknya gerakan atau kelompok keagamaan dengan

berbagai varian, namun memiliki ciri dan agenda yang sama yakni memperbaiki diri

dan masyarakat sebagai respon atas berbagai persoalan sosial yang diakibatkan oleh

globalisasi dan kehidupan modern. Itulah yang menjadi salah satu dasar dari

pembuatan tesis ini yakni keberadaan Majelis Tafsir Al Quran (MTA) sebagai

organisasi Islam puritan dengan struktur organisasi yang kuat mampu berkembang

pesat dan menjangkau masyarakat, terutama di pedesaan.

Sebagai sebuah karya untuk mendapatkan gelar Magister, saya merasa bahwa

tesis ini masih jauh dari target dan harapan. Banyak hal yang tidak maksimal karena

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

vi

berbagai kendala selama proses penelitian atau di tengah proses penulisan. Meski

demikian saya mengapresiasi tesis ini sebagai proses akademis yang akan terus

diperbaiki di masa mendatang. Tesis ini juga merupakan hasil dari kerja keras dan

dukungan berbagai pihak dan kepada mereka semua saya ingin mengucapkan

terimakasih dan mempersembahkan karya ini.

Penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan

kepada seluruh dosen dan karyawan Universitas Sanata Dharma khususnya program

Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB). Secara khusus ucapan terimakasih dan

penghargaan saya sampaikan kepada dosen sekaligus pembimbing tesis yakni Dr. St.

Sunardi. Adalah suatu kebanggaan dan keuntungan tersendiri bagi penulis selama

proses penulisan tesis ini karena mendapat bimbingan dari seorang intelektual

terkemuka dengan reputasi dan keluasan ilmu di bidang humaniora. Terimakasih yang

tulus juga untuk Dr. B Hari Juliawan SJ yang sempat memberi bimbingan di awal

penulisan, juga kepada Dr. FX Baskara T Wardaya SJ, Dr. G Budi Subanar SJ, Dr. A

Budi Susanto SJ, Dr. Haryatmoko SJ, Dr. Hari Susanto SJ, Prof. Dr. A Supratiknya

Dr. Katrin Bandel, Dr. George J Aditjondro, dan seluruh dosen pengampu di IRB.

Terimakasih yang sebesar-besarnya untuk mbak Desi di sekretariat IRB yang terus

mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan tesis dan memberi dukungan sampai

di menit terakhir sebelum ujian.

Tesis ini adalah karya berharga yang bisa saya persembahkan untuk keluarga.

Sembah bakti dan doa penulis kepada almarhum ayahanda KH AF Marzuqi yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

vii

telah mengajarkan dengan caranya sendiri bahwa ilmu pengetahuan adalah

kenikmatan paling lezat di muka bumi ini. Terimakasih dan doa kebaikan untuk

ibunda Hj. ibunda Siti Zaenab yang senantiasa tekun mendaraskan restunya atas

pilihan-pilihan yang saya ambil dalam kehidupan ini. Semoga Allah Swt

melimpahkan kebahagiaan dan ketentraman serta melindungi beliau dari segala mara

bahaya. Terimakasih juga untuk saudara-saudaraku terkasih dan seluruh keponakan

serta kerabat keluarga besar KH AF. Marzuqi untuk doa dan dukungannya.

Lebih khusus lagi, tesis ini saya persembahkan untuk kekasih Ida Fitri

Dianingrum untuk pertemanannya di hari-hari yang panjang selama ini. Juga untuk

kesabaran dan permaklumannya ketika kuliah dan tesis ini mengorbankan banyak

kesempatan dan waktu bersama. Terimakasih untuk bintang kecilku Freya Naury

yang tumbuh besar saat penulis sedang menjalani hari-hari di IRB, juga untuk si kecil

Kafaa Marzuqi yang hadir di tengah proses penulisan tesis ini.

Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada teman-teman seperjuangan

IRB angkatan 2010; mas Windarto yang menjadi satu-satunya hadirin dalam ujian

tesis saya, Zuhdi Sang yang diam-diam saya kagumi, kawan Irfan yang hajinya baru

sekali, Alwi Atma untuk puisi-puisi dahsyatnya, Mas Benny untuk obrolan-obrolan

yang tidak pernah selesai, Gintani dan Lisis yang sering menjadi teman saat terlambat

kuliah, pak Mardison dengan khotbah subversifnya, bang Pongkot yang rajin, bang

Armando yang mengingatkan saya untuk menggambar lagi, juga Nelly dan Nana serta

seluruh teman-teman IRB dari berbagai angkatan lainnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

viii

Ucapan terimakasih yang tulus juga saya sampaikan kepada seluruh warga dan

perangkat desa Balong, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora Jawa Tengah yang

menjadi lokasi penelitian ini. Secara khusus terimakasih kepada Pak Saji selaku

Kamituwo dusun Bangkerep dan keluarga yang telah memberikan persinggahan yang

nyaman dan ramah, serta kepada warga dusun Bangkerep yang dengan tangan dan

hati terbuka menerima keberadaan penulis selama proses penelitian. Terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada pengurus dan keluarga besar Majelis Tafsir Al Quran

(MTA) di dusun Bangkerep maupun MTA Pusat atas kesediannya berbagi informasi

dan pengalaman yang secara langsung terkait dengan penelitian ini.

Selanjutnya terimakasih kepada keluarga besar Jesuit Refugee Service (JRS)

Indonesia yang selama beberapa tahun memberi banyak inspirasi dan energi luar biasa

untuk menjaga keseimbangan antara berkarya dan belajar menganalisis persoalan

kemanusiaan saat ini. Tesis ini juga saya persembahkan kepada kawan-kawan

seperjuangan di Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) seluruh Indonesia,

semoga tetap menjadi militan sambil bekerja. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada

teman-teman dan keluarga besar SOS Children‟s Village Semarang, yang memberi

dukungan di saat-saat akhir tesis ini.

Semarang, 11 September 2014

Saefudin Amsa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

ix

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari fenomena gairah kebangkitan Islam yang

dialami penduduk di sebuah desa di Blora, Jawa Tengah yang bergabung ke dalam

organisasi Islam Puritan yaitu Majelis Tafsir Al Quran (MTA) yang berpusat di Solo,

Jawa Tengah. Fokus tesis ini mencoba mendapatkan informasi mengenai faktor yang

membuat seseorang yang semula meyakini kepercayaan dan melaksanakan praktek-

praktek tradisi lokal berubah menjadi seseorang yang sangat religius dan taat dalam

menjalankan ajaran Islam yang murni yang bersumber dari Al Quran dan Hadits.

Selain itu tesis ini juga mengeksplorasi sejauh mana proses perubahan orientasi

beragama tersebut mempengaruhi identitas diri mereka dalam memaknai dunia yang

ada di sekitar mereka.

Kesimpulan dari tesis ini adalah bahwa perubahan sosial yang terjadi dalam skala

global dan berlangsung amat cepat menjadi alasan dibalik perubahan orientasi

beragama warga di pedesaan Blora tersebut. Fenomena globalisasi sebagai gejala

modernitas telah menghilangkan kepercayaan terhadap nilai-nilai tradisional yang

selama ini dipegang oleh suatu komunitas atau individu dan digantikan dengan cara

lain di mana mereka memperoleh kepastian atau keamanan di tengah berbagai

perubahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, globalisasi juga

berpengaruh terhadap identitas sehingga cara beragama yang lebih ketat dan kaku

merupakan cara untuk meneguhkan identitas individu atau kelompok tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

x

ABSTRACT

This study aims at illustrating the rise of puritan religious movement amongst the

villagers in Blora, Central Java. The research attempts to investigate the supporting

factors of one‟s belief from the local-sincretic religious practice to a pure religious

practice merely based on Quran dan Hadith guidance. Moreover, the research

attempts to explore to what extent the transformation affects their self-identity in

perceiving the surrounding society.

This thesis conclude that the social transformation and the globalization as the main

factors which change the individual‟s and community‟s religious orientation and self-

identity. The researcher‟s argumentation which also being described in hypothesis

that globalization often eliminates people‟s belief on the traditional values and shifts

into the more secure and exact values to live in the global world. In addition,

globalization gives an impact on the self-identity so that tough and firm religious

practices are the preferred way to establish the individual‟s and community‟s identity.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

xi

DAFTAR ISI

COVER i

HALAMAN PENGESAHAN ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA iii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI iv

KATA PENGANTAR v

ABSTRAK ix

ABSTRACT x

DAFTAR ISI xi

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 6

C. Tujuan dan Manfaat 8

D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 9

1. Modernitas dan Globalisasi 16

2. Kepercayaan, Resiko dan Keamanan Ontologis 20

3. De-tradisionalisasi 22

4. Refleksifitas 24

E. Metodologi Penelitian 27

1. Jenis Penelitian 27

2. Subyek dan Wilayah Penelitian 28

3. Jenis dan Sumber Data 29

4. Metode Pengumpulan Data 30

5. Metode Analisis Data 31

BAB II: MTA DAN FENOMENA GERAKAN KEBANGKITAN

ISLAM DALAM KONTEKS GLOBALISASI

A. Pengantar 33

B. MTA dan Dinamika Islam di Tingkat Lokal, Nasional dan

Internasional 36

1. Puritanisme dan Kebangkitan Islam Global 39

2. Orde Baru dan Kebangkitan Islam di Indonesia 46

3. MTA sebagai Gerakan Purifikasi Agama di Tingkat Lokal 58

C. Karakteristik Gerakan dan Model Dakwah MTA 67

1. Doktrin dan Ideologi Organisasi 67

2. Model Kepemimpinan dan Struktur Organisasi 70

3. Kegiatan dan Rekrutmen Anggota 72

4. Pola Interaksi dan Solidaritas Antar Angggota 77

5. Jihad Harta dan Jihad Diri 79

D. Kesimpulan 80

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

xii

BAB III: DINAMIKA BANGKEREP: ANTARA TRADISI, MODERNITAS

DAN PURITANISME

A. Pengantar 82

B. Agama, Tradisi dan Modernitas di Bangkerep 83

1. Kehidupan Sosial Ekonomi Bangkerep 86

2. Bangkerep dan Tradisi Masyarakat Petani 90

3. Perubahan Sosial di Bangkerep 107

C. Awal dan Perkembangan MTA di Bangkerep 110

1. Konflik 110

2. Satu Dusun Dua Masjid 116

3. Antara Ladang dan Warung Kopi: Konflik dan Integrasi

Pasca Konflik 119

4. Konsolidasi MTA Bangkerep sebagai Pusat MTA di Wilayah Blora 122

BAB IV: REKONSTRUKSI IDENTITAS

A. Pendahuluan 132

B. Kondisi-kondisi Modernitas dan Globalisasi serta Pengaruhnya

Terhadap Tatanan Masyarakat Di Bangkerep 134

1. Kapitalisme dan Kebijakan Orde Baru 134

2. Ketika Tradisi Dipertanyakan 137

3. Dari Ikatan Lokal ke Ikatan Komunitas MTA 141

4. Antara Kamituwo dan Ustadz 143

5. Kelahiran Kembali 148

C. Kesadaran akan Resiko, Pencarian Stabilitas dan Keamanan Ontologis 155

1. Doktrin Kemurnian 159

2. Dukungan Ekonomi dan Jaringan Informasi 161

3. Idiom dan Formasi Sosial 166

D. Rekonstruksi Identitas 170

1. Identitas Diri yang Baru 170

2. Dari Diri ke Masyarakat 174

E. Konsekuensi 177

1. Kedisiplinan 177

2. Keuangan 181

3. Dogmatisme baru 184

BAB V: KESIMPULAN 177

DAFTAR PUSTAKA 184

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena meningkatnya gairah keagamaan

di kalangan masyarakat di pedesaan untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran

Islam secara murni (puritan). Fenomena tersebut bisa dilihat dari pesatnya

perkembangan organisasi dakwah Islam yang memiliki misi utama mengajak umat

Islam untuk meninggalkan praktek-praktek keagamaan yang menyimpang atau

dipengaruhi oleh ajaran di luar Islam dengan mengamalkan ajaran Islam sesuai

dengan dua sumber pedoman resmi yaitu Al Quran dan Hadits sekaligus membangun

masyarakat yang berlandaskan kedua hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Fokus penelitian ini ingin mendalami faktor yang mempengaruhi perubahan orientasi

beragama masyarakat Islam di pedesaan yang sebelumnya masih melestarikan

praktek-praktek agama yang bercampur dengan tradisi lokal kemudian mengalami

konversi dalam waktu yang relatif singkat menjadi umat yang teguh mempelajari dan

mengamalkan Islam secara ketat sesuai dengan Al Quran dan Hadits. Selain itu,

penelitian ini juga akan menganalisa pemaknaan identitas mereka sebagai seorang

muslim setelah bergabung dalam organisasi Islam yang bercorak puritan maupun

dalam konteks identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat lokal dan global.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

2

Selama ini pemahaman terhadap perilaku keagamaan masyarakat Islam di

Indonesia mengacu pada seberapa jauh hukum dan prinsip keagamaan menjadi

landasan dalam kehidupan mereka sehari-hari serta ketaatan mereka dalam

menjalankan kegiatan ritual agama. Pendekatan tersebut menghasilkan gambaran

kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan Jawa yang kental dengan budaya

sinkretis, yakni perpaduan antara Islam dengan budaya lokal yang datang dari masa

pra-Islam seperti selametan, sedekah bumi, ruwatan, upacara memperingati hari

kelahiran dan kematian dan berbagai praktek lainnya. Pandangan ini terutama

diwakili oleh Clifford Geertz (1981) dengan konsep trikotomi Abangan, Santri, dan

Priyayi yang menjelaskan bahwa Abangan adalah agama yang dianut oleh sebagian

besar masyarakat Jawa, yakni mereka yang menganut Islam hanya kulit luarnya saja

tetapi dalam keyakinan dan tindakannya dipengaruhi oleh budaya Hindu, Budha dan

Animisme. Abangan mewakili karakter masyarakat Jawa yang beragama Islam tetapi

tidak terlalu taat dalam mempraktekkan ajaran Islam dan sebaliknya masih teguh

memelihara dan menjalankan tradisi-tradisi lokal yang diwarnai oleh pra-Islam seperti

Hindu, Budha dan animisme, dalam hal ini adalah para petani di pedesaan. Sementara

Santri adalah mereka yang berkomitmen menjalankan agama Islam dan diwakili oleh

kalangan pedagang, dan Priyayi merujuk pada kelompok birokrat yang secara

perilaku dekat dengan budaya Abangan. Oleh Geertz, Islam dan tradisi lokal

cenderung diposisikan sebagai entitas yang berlawanan dan tidak mungkin

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

3

bersenyawa dan pada akhirnya akan melahirkan pemahaman tentang Islam yang

mengalami penyimpangan dari keasliannya.1

Meski konsep trikotomi Geertz tidak relevan dengan perubahan situasi sosial

politik maupun pengaruh modernisasi yang mencairkan pembedaan-pembedaan di

masyarakat, realitas di lapangan menunjukkan sebagian besar masyarakat pedesaan di

Jawa masih kurang dalam pemahaman maupun mempraktekkan ajaran Islam dan pada

saat yang sama masih memegang teguh kepercayaan lokal. Pada saat yang sama

reaksi muncul dari gerakan keagamaan yang berupaya melakukan pemurnian Islam

(puritanisme) dan menganggap pemahaman dan praktek sinkretisme sebagai unsur

penyimpangan (bid‟ah), syirik dan takhayul.

Meningkatnya faham keagamaan yang puritan di kalangan masyarakat

pedesaan di Jawa belakangan ini merupakan hal menarik mengingat berbagai kajian

utama menyatakan bahwa gerakan pemurnian agama dari berbagai unsur atau elemen

lokal hanya berkembang di daerah perkotaan atau urban. Ernest Gellner mengatakan

bahwa kota menyediakan basis yang tepat bagi gerakan keagamaan puritan karena

kekakuan (skriptualisme) dalam faham keagamaan membutuhkan kemampuan melek

1 Sementara pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Mark R Woodward (1989) yang

mengemukakan bahwa antara Islam dan budaya lokal terjadi proses akulturasi yakni hubungan yang

saling melengkapi atau saling memberi dan menerima.1 Sementara Niels Mulder (1997) menyatakan

bahwa agama di Asia Tenggara adalah agama yang telah mengalami proses lokalisasi, yakni bahwa

agama asing yang datang dan menyerap tradisi lokal yang sudah ada, termasuk Islam di Indonesia

khususnya Jawa sehingga bisa dikatakan bahwa Islam Jawa hakekatnya adalah Islam yang menyerap

tradisi lokal. Andrew Beatty (1999) dalam penelitiannya di Banyuwangi menjelaskan adanya titik temu

antar masyarakat dengan latar belakang golongan sosio-kultural dan ideologi yang berbeda dalam satu

tradisi berupa slametan.1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

4

huruf.2 Purifikasi merupakan proses rasionalisasi dalam kehidupan para pelakunya,

dan terutama terkait dengan agama dan tradisi (Peacock, 1978); gerakan pemurnian

agama akan mudah beradaptasi dengan masyarakat urban yang menganut pola

hubungan transaksional, birokratis dan rasional (Federspiel, 2001); kota menyediakan

basis yang kuat bagi organisasi keagamaan puritan karena tingkat pendidikan

masyarakatnya yang tinggi (Tamney, 1980).

Secara umum, fenomena meningkatnya gairah keagamaan puritan di pedesaan

tersebut bisa dianalisa melalui tiga kerangka. Pertama, religiusitas yang meningkat

merupakan kelanjutan dari fenomena kebangkitan Islam di Indonesia yang dimulai

pada tahun 1970-an dan kembali menemukan momentum pasca tumbangnya

pemerintah Orde Baru tahun 1998 yang ditandai dengan munculnya berbagai gerakan

atau organisasi Islam. Kedua, perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam waktu

yang relatif cepat (globalisasi) berdampak pada tradisi dan identitas diri individu,

termasuk mereka yang tinggal di wilayah pedesaan. Individu yang berada dalam

pusaran globalisasi mengalami kegamangan, kecemasan dan ketidakamanan yang

membuat mereka mencari cara untuk mengatasi situasi tersebut, yang dalam hal ini

adalah prinsip-prinsip keagamaan yang ketat dan murni yang ditawarkan oleh

organisasi Islam puritan. Ketiga, strategi yang digunakan organisasi Islam puritan

dalam menjalankan dakwahnya mampu menjawab kebutuhan utama masyarakat.

2 Ernest Gellner, Muslim Society, Cambridge: 1981, Cambridge University Press, hal 147

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

5

Kecenderungan meningkatnya faham keagamaan puritan di kalangan

masyarakat pedesaan itu juga yang dialami masyarakat di Blora, Jawa Tengah. Dalam

beberapa tahun terakhir, banyak masyarakat di pedesaan Blora yang bergabung dalam

Majelis Tafsir Al Quran (MTA), sebuah organisasi dakwah yang berpusat di

Surakarta. Fenomena ini menjadi menarik mengingat masyarakat Blora selama ini

dikenal memiliki karakter abangan sinkretis, yang ditandai dengan masih banyaknya

berbagai praktek-praktek seperti sedekah bumi, kesenian Barongan, selamatan desa

atau upacara-upacara siklus kehidupan (kelahiran, pernikahan, kematian). Sementara

Majelis Tafsir Al Quran (MTA) adalah organisasi yang bertujuan mengajak

masyarakat untuk menuju pada kemurnian agama Islam dengan mempelajari Al

Quran dan menggunakannya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kesehariannya, anggota organisasi MTA menunjukkan pemahaman dan

praktek agama yang berbeda sama sekali dengan masyarakat di lingkungan tempat

mereka tinggal. Mereka tidak lagi menjalankan berbagai praktek atau ritual yang

menurut mereka merupakan bentuk penyimpangan sebagai seorang Muslim sejati.

Perubahan orientasi keagamaan tersebut tentu saja mendapat reaksi dari warga lainnya

yang tidak bergabung dengan MTA atau warga yang masih menjalankan berbagai

ritual yang bersumber dari tradisi para leluhur mereka. Pada rentang waktu tahun

2000-2003, terjadi konflik horizontal antara warga yang bergabung dengan MTA dan

warga non-MTA di dusun Bangkerep, Desa Balong, Kecamatan Kunduran,

Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Konflik terjadi karena warga dusun tidak senang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

6

dengan sikap warga anggota MTA yang menolak mengikuti berbagai upacara sedekah

bumi sehabis panen dengan alasan tidak sesuai dengan akidah juga syariat Islam.3

Selain penolakan terhadap penyimpangan dalam ibadah, warga MTA juga

menunjukkan perilaku keseharian dan cara pergaulan yang menurut mereka sesuai

dengan tuntunan Al Quran dan Hadits, antara lain cara berpakaian, relasi laki-laki dan

perempuan, pendidikan keluarga dan solidaritas yang kuat antar sesama anggota. Bagi

mereka, Islam adalah agama sempurna yang memiliki seperangkat aturan yang

lengkap yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dan hanya dengan

berpedoman pada ajaran Islam sebagaimana yang dituntunkan dalam kedua sumber

hukum Islam tersebut secara sungguh-sungguh dan tanpa dipengaruhi oleh ajaran atau

keyakinan lainnya mereka telah menemukan identitas mereka sebagai seorang muslim

sejati.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi

perubahan orientasi beragama masyarakat di pedesaan di Blora dari masyarakat

3 Konflik di dusun Bangkerep ini mendapat banyak perhatian dari berbagai media massa di tanah air.

Selain itu, kasus yang sama juga terjadi di berbagai wilayah lainnya di Jawa. Di Magetan, konflik

terjadi ketika sebagian besar warga desa Ringinagung membubarkan pengajian MTA yang digelar di

rumah salah seorang warga setempat. Seorang tokoh lokal, Wasis, mengatakan bahwa warga resah

sejak adanya pengajian MTA dan tidak bisa menerima ajaran yang yang melarang acara tahlilan,

selametan orang meninggal dan ritual pemakaman lainnya yang sudah menjadi tradisi (Jawa Pos Radar

Madiun, 24 Maret 2008). Konflik antara warga MTA dan non-MTA juga terjadi di Purworejo yang

memicu polemic antara Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj yang menulis artikel yang berjudul

Menyikapi Kegarangan Puritanisme,yang berisi keprihatinan atau “protes” atas tindakan beberapa

orang anggota organisasi MTA yang dianggap melakukan provokasi di sebuah desa di Purworejo, Jawa

Tengah dengan menghalang-halangi warga setempat yang hendak pergi melakukan acara tahlilan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

7

Abangan yakni masyarakat pedesaan yang kurang dalam pemahaman Islam serta

masih kental dalam memelihara tradisi-tradisi lokal menjadi Muslim yang puritan

dalam pengamalan dan praktek keagamaan.

Tujuan dari penelitian tersebut akan dicapai melalui rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Sejauh mana dinamika sosial politik ekonomi berpengaruh terhadap

kehidupan sosial budaya dan keagamaan masyarakat dusun Bangkerep

yang berkarakter tradisional dan masih mempraktekkan praktek-praktek

keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal ?

2. Apa saja faktor-faktor yang berkaitan dengan modernitas dan globalisasi

yang membuat sebagian warga dusun Bangkerep bergabung dengan

organisasi MTA dan dalam praktek kesehariannya meninggalkan praktek

keagamaan dan kebiasaan lokal yang tidak bersumber dari Al Quran dan

Hadits yang sebelumnya mereka lakukan?

3. Bagaimana warga dusun Bangkerep yang bergabung dalam organisasi

MTA memaknai perubahan orientasi beragama mereka serta apa

konsekuensi-konsekensi yang timbul –baik sebagai individu maupun sosial-

dalam konteks keyakinan dan praktek beragama mereka yang mereka

anggap murni (sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Hadits)?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

8

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian:

1. Mengetahui sejauh mana fenomena globalisasi di bidang ekonomi, sosial,

dan budaya berpengaruh terhadap latar belakang perubahan orientasi

keagamaan masyarakat Dusun Bangkerep dari masyarakat yang

sebelumnya masih teguh menjaga tradisi lokal Abangan ke Islam puritan

2. Mengetahui makna perubahan dan konsekuensi individu maupun sosial dari

perubahan orientasi keagamaan masyarakat dusun Bangkerep dalam

konteks identitas baru mereka sebagai umat Islam yang mengamalkan

keyakinan mereka secara murni yang bersumber dari sumber utama Islam,

yaitu Al Quran dan Hadits.

Manfaat Penelitian :

1. Memberi gambaran dan pemahaman tentang pola perubahan orientasi

keagamaan dalam suatu komunitas (dalam relasi mereka dengan dunia.

2. Memberi gambaran sejauh mana globalisasi berdampak pada upaya suatu

komunitas dalam memelihara, mempertahankan atau bahkan meninggalkan

tradisi yang ada di komunitas mereka.

3. Memberi sumbangan pada kajian akademik yang berhubungan dengan

agama, masyarakat dan perubahan-perubahan di tingkatan global.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

9

D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

Wacana kembali ke Al Quran dan Hadits secara murni serta penerapan nilai-

nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan menjadi tema pokok dalam gerakan

Islam di Indonesia maupun global. Dalam berbagai literatur, fenomena tersebut

ditandai dengan munculnya berbagai kelompok yang mengusung tema Islam dengan

bermacam sebutan seperti puritanisme (Robert D Lee, 1997; Khaled Abou El Fadl,

2005), revivalisme (John Esposito, 1992; RH Dekmejian, 1988), fundamentalisme

(Oliver Roy, 1994), Islam politik (Graham R Fuller, 2003) dan sebagainya.

Ide pemurnian Islam yang mendasari fenomena kebangkitan Islam dalam

skala global merujuk pada munculnya gerakan kaum Wahhabi di Arab Saudi yang

terinspirasi dari pemikiran Muhammad ibn Abd al Wahhab (w.1206 H/1792 M).

Gerakan ini sangat gencar dalam memerangi tradisi-tradisi masyarakat Arab yang

mereka anggap bid‟ah (menyimpang) serta berbagai perilaku umat Islam yang tidak

mencerminkan nilai Islami. Gerakan ini kemudian mendasari munculnya gerakan

reformisme oleh Jamaludin Al Afghani (1839-97), Muhammad „Abduh (1849-1905)

dan muridnya Rashid Rida (1865-1935) yang mendukung pemikiran modernisme

dalam Islam. Pada periode berikutnya, pada rentang waktu 1970 sampai 1980, terjadi

fenomena kebangkitan Islam yang berorientasi politik yang dipelopori oleh Hasan Al

Banna yang mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir (1906-1948) ) atau Abu A‟la Al

Mawdudi (1903-1978) yang mendirikan Jama'at-i Islami di Pakistan. Gerakan ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

10

terutama menginginkan penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, terutama di

bidang politik.

Melalui beberapa tahapan dan diwakili oleh munculnya berbagai gerakan atau

kelompok, fenomena kebangkitan Islam global memiliki benang merah yaitu ketika

dihadapkan pada perubahan sosial yang terjadi di masyarakat global. Menurut Ira M

Lapidus, gerakan Islam kontemporer merupakan respon sekaligus reaksi terhadap

kondisi-kondisi modernitas, -sentralisasi kekuasaan negara atau perkembangan

ekonomi kapital serta kemajuan teknologi- di mana penekanan pada nilai-nilai

keislaman bukanlah cara untuk kembali ke masa lalu tetapi sebaliknya usaha untuk

mengatasi persoalan sosial kontemporer dengan cara peneguhan kembali pada nilai-

nilai prinsip dalam Islam (Lapidus: 1997). Sementara Robert D. Lee melihat bahwa

gerakan purifikasi muncul bukan semata karena aspek doktrinal Islam tetapi

dipengaruhi oleh faktor sosio-politik umat Islam di mana kebutuhan penemuan

kembali Islam di negara-negara ketiga merupakan jawaban atas kegagalan

developmentalisme, liberalisme dan modernism, di mana kalangan yang menolak

ketiga isme tersebut berusaha untuk melawan dengan berpegang pada konsep

keotentikan atau kemurnian (Lee, 1997:2-3).

Dalam konteks Indonesia, puritanisme terkait erat dengan tarik-menarik antara

upaya untuk mengembalikan kemurnian ajaran Islam dengan pihak yang bersikap

akomodatif terhadap budaya lokal. Sebagai wilayah dengan keragaman dan kekayaan

budaya, maka Islam dianut oleh masyarakat Indonesia dengan beragam ekspresi,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

11

terutama pemahaman dan praktek Islam yang akomodatif terhadap budaya lokal.

Gerakan puritanisme muncul sebagai reaksi terhadap situasi tersebut, yang dimulai

ketika sejumlah orang Indonesia menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan memiliki

akses terhadap ajaran Islam yang dianggap asli. Kaum puritan ini berupaya untuk

mengajak umat Islam kembali ke sumber dasar utama Islam yakni Al Quran dan

Hadits dan meninggalkan berbagai praktek yang tidak Islami seperti bid‟ah (inovasi),

khurafat (mistisisme) dan takhayul. Dalam perkembangannya gerakan puritanisme

tidak hanya upaya pemurnian Islam dengan dari budaya lokal, tetapi berkembang ke

arah proses revitalisasi Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk politik

praktis.

Kajian tentang gerakan puritanisme yang cukup komprehensif di Indonesia

dijelaskan oleh Yon Machmudi yang menjelaskan gerakan puritanisme di Indonesia

muncul dalam beragam model, yakni revivalisme, modernisme dan konservatisme.

Gerakan revivalisme berupaya melakukan purifikasi tanpa kompromi dalam

menjalankan praktek Islam yang sesuai dengan sumber hukum Islam Al Quran dan

Hadits. Gerakan ini diwakili oleh Gerakan Padri di Sumatera Barat yang dengan keras

menentang adat yang bertentangan dengan Islam termasuk dengan menghukum

siapapun yang menolak menjalankan aturan atau syariat Islam. Pada masa berikutnya

yakni tahun 1923 di Bandung berdiri organisasi Persatuan Islam (Persis) yang

mendeklarasikan sebagai agen pemurnian Islam melalui dakwah dan pendidikan.

Sebagai organisasi kader, Persis berupaya membangun komunitas Islam yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

12

berkomitmen menjalankan Islam secara murni tanpa terkontaminasi elemen di luar

Islam. Sementara kelompok modernis melakukan upaya purifikasi dengan mengajak

umat Islam meninggalkan praktek-praktek non-Islami yang tidak rasional dan

menggunakan Al Quran dan Hadits sebagai dasar untuk menjalani kehidupan di dunia

modern. Di Indonesia kelompok ini direpresentasikan oleh Muhammadiyah yang

berdiri pada tahun 1912 di Yogyakarta. Dengan kata lain penerimaan terhadap

kehidupan modern mensyaratkan ijtihad, yakni penggunaan akal dalam melakukan

tafsir terhadap kedua sumber hukum tersebut. Dalam prakteknya, Muhammadiyah

banyak bergerak di bidang pendidikan dan layanan sosial. Kelompok konservatif

adalah mereka yang berasal dari gerakan revivalis yang bertujuan mempraktekkan

Islam secara ketat sesuai dengan model kehidupan Nabi Muhammad dan sahabatnya.

Mereka juga disebut kelompok Salafi. Mereka menciptakan kantong-kantong

komunitas (enklaf) yang ekslusif untuk hidup sesuai dengan apa yang dicontohkan

Nabi dan sahabatnya, termasuk dalam hal berpakaian, berkeluarga, makan dan

minum. Dalam perkembangannya kemudian muncul kelompok Jamaah Tarbiyah yang

berupaya mempromosikan ajaran Islam dalam berbagai aspek dan mewujudkannya

melalui politik praktis. Jamaah Tarbiyah ini merupakan embrio dari Partai Keadilan

(PK) yang sekarang menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).4

Fokus tesis ini adalah perubahan sosial atau globalisasi sebagai faktor yang

mengubah orientasi beragama dan identitas suatu komunitas atau individu. Hipotesis

4 Yon Machmudi, Islamising Indonesia, The Rise of Jamaah Tarbiyah and The Prosperous Justice

Party., edisi digital library http://press.anu.edu.au/titles/islam-in-southeast-asia/islam_indo_citation/ ,

ANU Press: 2008, hal 53-63

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

13

yang penulis kemukakan adalah bahwa globalisasi menghilangkan kepercayaan

terhadap nilai-nilai tradisional yang selama ini dipegang oleh suatu komunitas atau

individu dan digantikan dengan cara lain di mana mereka memperoleh kepastian atau

keamanan di tengah kehidupan global. Di sisi lain, globalisasi juga berpengaruh

terhadap identitas sehingga cara beragama yang lebih ketat dan kaku merupakan cara

untuk meneguhkan identitas individu atau kelompok tersebut.

Ada beberapa teori yang membahas globalisasi dan identitas, makna dan

dampaknya terhadap masyarakat. Roland Robertson (1992) mengatakan globalisasi

adalah "the compression of the world and the intensification of consciousness of the

world as a whole".5 Globalisasi membuat dunia menjadi tempat yang tunggal dan

menghilangkan otonomi aktor dan segala sesuatu yang berada dalam pusaran

globalisasi dibatasi untuk memposisikan diri dan mendefinisikan identitasnya.6 Oliver

Ray (2007) mengatakan bahwa globalisasi menciptakan dunia yang lebih kompleks

dan cair di mana hidup di era globalisasi menciptakan suatu identitas campuran. John

Tomlinson (1999) menjelaskan bagaimana : “… the globalization of mundane

experience may make a stable sense of “local” cultural identity (including national

identity) increasingly difficult to maintain, as our daily lives become more and more

interwoven with, and penetrated by, influences and experiences that have their origins

far away. 7 Globalisasi juga mengubah koneksi antara identitas dengan tempat

geografis yang sebelumnya saling berkaitan dan mengubah hal tersebut lewat

5 Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture, London: 1992, Sage, hal. 8

6 Roberston, ibid, 29

7 John Tomlison, Localization and Culture, Cambridge: 1999, Polity Press, hal. 113

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

14

penyebaran kebudayaan yang berbeda-beda, mobilisasi orang dari satu tempat ke

tempat lain, serta mekanisme pasar yang memudarkan kebudayaan lokal dan

kemudian mengubah identitas individu. Namun alih-alih menghancurkan, globalisasi

adalah kekuatan penting dalam menumbuhkan identitas kultural.8 Manuel Castells

(1997) mengatakan bahwa kehidupan saat ini dibentuk oleh kecenderungan konflik

antara globalisasi dan identitas.9 Globalisasi menciptakan apa yang disebut „the

widespread surge of powerful expressions of collective identity that challenge

globalization.”10

Identitas menurut Castells adalah sumber makna dan pengalaman.11

Untuk menjelaskan faktor penyebab meningkatnya gairah keagamaan

masyarakat bercorak Abangan di pedesaan menjadi Islam puritan dan pemaknaan

identitas mereka, penelitian ini didasarkan pada pemikiran Anthony Giddens tentang

masyarakat post-tradisional sebagai konsekuensi dari modernitas dan globalisasi yang

mempengaruhi masyarakat dan tradisi yang mereka miliki. Giddens (1991)

mendefinisikan globalisasi sebagai „the intensification of worldwide social relations

which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events

occurring many miles away and vice versa‟. Konsep Giddens mengenai time-space

distanciation menjelaskan bahwa interaksi dan relasi sosial di dunia pada hari ini

tidak tergantung pada kehadiran fisik dalam lokasi tertentu, sejak teknologi

memfasilitasi dan membuat relasi serta interaksi di dunia tidak lagi tergantung pada

8 John Tomlison, Globalization and cultural identity, Held D dan Mc Grew, A, “The Global

Transformations Reader”, Oxford: 2003, Polity Press, hal 269-277. 9 Manuel Castells, The Power of Identity Malden. MA: 1997, Blackwell, hal. 1

10 Castells, ibid, hal 2

11 Castells, ibid, hal 6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

15

kehadiran fisik dalam lokasi tertentu dan membuat hubungan yang semakin erat

antara “…orang lain yang “tidak hadir”, yang secara lokasi berjauhan pada situasi

apappun”12

Dalam Modernity and Self Identity:Self and Society in The Late of Modern

Age (1991), Giddens menjelaskan bahwa modernitas adalah suatu tatanan post-

tradisional di mana pertanyaan “bagaimana seharusnya saya hidup” merupakan

pertanyaan yang harus dijawab dan diputuskan dalam kehidupan sehari-hari tentang

bagaimana berperilaku, pakaian apa yang harus dikenakan, apa yang harus dimakan

dan pertanyaan-pertanyaan lainnya serta bagaimana memaknainya dalam proses

perkembangan identitas diri yang terus berlangsung.13

Masyarakat post-tradisional

adalah masyarakat yang mempertanyakan nilai-nilai dan sudut pandang tradisional;

“Apa yang harus dilakukan? Bagaimana seharusnya bertindak? Harus menjadi apa?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan hal yang penting bagi setiap orang yang

hidup dalam situasi modern.14

Dengan kata lain, masyarakat post-tradisional adalah masyarakat yang

mengalami “ketidakpastian yang diciptakan” sebagai konsekuensi dari modernitas.

Situasi ini merujuk pada ketidakpastian yang dialami manusia dalam kehidupan

sehari-hari sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan serta intervensi

manusia terhadap kehidupan sosial dan alam –terutama melalui kemajuan teknologi

12

Anthony Giddens, The Consequences of Modernity. Cambridge: 1990, Polity Press, hal. 18 13

Anthony Giddens, Modernity and Self Identity:Self and Society in The Late of Modern Age.

Cambridge: 1991, Polity Press, hal. 14 14

Giddens, ibid, 70

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

16

komunikasi- sehingga menciptakan masyarakat kosmopolitan yang terhubung satu

sama lain (globalizing cosmopolitan society) dan pada akhirnya menyebabkan tradisi

yang sebelumnya menjadi pegangan di masyarakat menjadi terbuka untuk

dipertanyakan.15

Lalu ketika globalisasi menghilangkan nilai-nilai tradisional, maka

identitas ”..has to be created and recreated on a more active basis than before”.16

Pada tahap inilah muncul yang disebut oleh Giddens sebagai

fundamentalisme, yakni ketika individu mencari atau menciptakan ulang tradisi lain

sekaligus meneguhkan identitas diri mereka di tengah pusaran globalisasi. Kelompok

fundamentalis menurut Giddens berkeinginan untuk kembali kepada teks-teks suci

dan membacanya secara literal dan berupaya menerapkan doktrin tersebut dalam

kehidupan sosial, politik dan ekonomi.17

Ada beberapa kata kunci dari pemikiran Giddens mengenai masyarakat post-

tradisional yang akan digunakan dalam tesis ini, antara lain; modernitas dan

globalisasi, kepercayaan, resiko dan keamanan ontologis, detradisionalisasi dan

refleksifitas.

1. Modernitas dan Globalisasi

Modernitas menurut Giddens adalah suatu kondisi masyarakat pasca

tradisional yang dicirikan oleh tiga hal, yaitu pemisahan ruang dan waktu;

15

Chantal Mouffe, On The Political, Thinking in Action. Routledge, 2005, hal. 242. 16

Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture, paragraph 28,

diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm. Tulisan ini

merupakan salah satu dari beberapa kuliah Anthony Giddens yang kemudian dibukukan dengan judul

Runaway world: How Globalization Reshaping Our Lives. Di Indonesia diterbitkan dengan judul

Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, terj. Andry Kristiawan S. dan

Yustina Koen S., Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001 17

Giddens, ibid, paragraf 31

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

17

keterlepasan dari institusi sosial yang ditandai dengan adanya pertukaran

simbolik (uang) dan sistem ahli, serta refleksifitas institusi.18

Dalam

masyarakat pramodern, waktu selalu berkaitan dengan ruang dan biasanya

tidak ada ketepatan dalam pengukuran waktu, sementara dalam masyarakat

modern ukuran waktu dibakukan (standardized) dan hubungan antara ruang

dan waktu menjadi terputus.19

Dalam masyarakat pramodern, ruang

ditentukan oleh kehadiran secara fisik, sementara modernitas membuat ruang

dilepaskan dari tempat sehingga memungkinkan orang masih bisa

berhubungan meski berjauhan secara fisik.20

Giddens menyebutkan istilah

phantasmagoric, yaitu “tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus dan

ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh jaraknya dari tempat terjadinya

peristiwa itu”.21

Sementara keterlepasan (disembedding) menurut Giddens berarti

“terangkat”nya hubungan sosial dari konteks lokal dan perubahannya yang

melintasi ruang dan waktu yang tak terbatas.22

Keterlepasan ini terjadi

melalui dua mekanisme, yaitu tanda simbolik dan sistem keahlian.23

Contoh

tanda simbolik yang paling terkenal adalah uang yang memungkinkan setiap

orang berhubungan dalam konteks ekonomi meski berjauhan. Sementara

18

Giddens, Modernity and Identity, 20 19

Ritzer, G & Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Tr. Alimandan. Jakarta:

2004, Kencana, hal. 555 20

Ritzer, Goodman, ibid, 555 21

Ritzer, 555; lihat juga Giddens, Consequences of Modernity, 19 22

Giddens, Consequences of Modernity, 21. 23

Ibid, 22

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

18

sistem keahlian bisa dilihat dari beragamnya profesi seperti pengacara,

dokter, insinyur yang menciptakan mesin dan seterusnya.

Refleksifitas sebagai ciri modernitas bermakna “praktek sosial yang

terus menerus diuji dan diubah berdasarkan informasi yang baru masuk yang

paling praktis dan dengan demikian mengubah ciri modernitas itu”.24

Dengan

kata lain, dunia modern memiliki kecenderungan untuk memahami seluruh

aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh pengalaman diri sendiri dan orang

lain yang mempengaruhi sudut pandang dan pemahaman terhadap dunia itu

sendiri. Konsekuensinya, apa saja menjadi terbuka untuk direfleksikan dan

dipertanyakan, sehingga terjadi ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat

modern.

Dalam tahap selanjutnya, modernitas kemudian menyebar luas.25

Proses penyebarluasan modernitas itu disebut globalisasi, yaitu intensifikasi

atau penguatan relasi-relasi sosial di seluruh dunia yang menyambungkan

lokalitas-lokalitas melalui suatu cara di mana momen-momen yang terjadi di

wilayah yang berjauhan saling mempengaruhi satu sama lain.26

Globalisasi

adalah suatu proses yang mempengaruhi atau secara dialektis berhubungan

dengan aspek kehidupan sehari-hari dari kehidupan manusia, yang disebut

24

Ibid, 38 25

Ibid, 63 26

Ibid, 64

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

19

Giddens sebagai keintiman, yang mempunyai peran penting dalam relasi-

relasi personal yang dipengaruhi oleh situasi-situasi global.27

Selain ekonomi, globalisasi terjadi pada seluruh aspek kehidupan

manusia, baik itu politik, teknologi dan budaya yang tidak terlepas dari

perkembangan teknologi komunikasi yang dimulai sejak akhir abad 1960.28

Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tidak hanya mempermudah

hubungan masyarakat, tetapi juga mengubah keseluruhan kehidupan

masyarakat global sampai pada lingkupnya yang paling kecil, yaitu individu.

Menurut Giddens, globalisasi bukanlah fenomena “diluar sana”, jauh

dan terpencil dari individu, melainkan fenomena “di sini” yang

mempengaruhi kedekatan dan aspek personal dalam kehidupan manusia.29

Sebagai contoh, globalisasi mempengaruhi tatanan keluarga tradisional yang

bertransformasi, seperti misalnya perubahan peran perempuan dalam keluarga

menjadi lebih setara sebagai suatu fenomena yang sangat luar biasa dan

revolusioner dalam sejarah masyarakat.30

Dalam aspek budaya, globalisasi

telah menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan sirkulasi barang-barang dan

konsumsi di seluruh dunia. Fenomena tersebut menurut Giddens bisa dilihat

27

Anthony Giddens, Living in Post Traditional Society, Beck, Giddens & Lash, ed. “Reflexive

Modernization” Cambridge: Polity, 1994, hal. 95 28

Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture, paragraph 12,

diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week1/week1.htm. 29

Ibid, paragraph 17 30

Ibid, paragraph 17

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

20

dari adanya kesamaan minat orang-orang dalam bidang musik, makanan,

fashion, olahraga dan sebagainya.31

2. Kepercayaan (trust), Resiko (risk) dan Keamanan Ontologis (ontological

security).

Kepercayaan merupakan hal penting bagi kehidupan masyarakat

modern. Giddens mendefinisikan kepercayaan sebagai “...kepercayaan

terhadap keandalan (realiability) seseorang atau sistem yang berhubungan

dengan sekumpulan kejadian atau hasil tertentu dan kepercayaan itu

menyatakan keyakinan terhadap kejujuran atas kecintaan orang lain atau

terhadap kebenaran prinsip-prinsip abstrak (pengetahuan teknis)”.32

Dalam

hal ini, kepercayaan terjadi melalui adanya pemisahan ruang dan waktu serta

sistem abstrak (pertukaran simbolik dan keahlian) sebagai ciri modernitas

yang dijelaskan sebelumnya. Sebagai contoh adalah penggunaan uang sebagai

alat tukar yang membutuhkan kepercayaan dari orang-orang yang

menggunakannya.

Pada sisi lain, kepercayaan masyarakat modern juga dibayang-bayangi

oleh resiko. Globalisasi sebagai perluasan modernitas memunculkan

kesadaran terhadap resiko. Menurut Giddens, modernitas adalah kultur yang

beresiko, di mana modernitas pada satu sisi mengurangi resiko pada bidang

31

Anthony Giddens, Sociology, Fifth Edition. Cambridge: 2005, Polity Press, hal. 63 dan 130 32

Giddens, The Consequences of Modernity, hal 34

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

21

dan gaya hidup tertentu tetapi pada saat yang sama memperkenalkan

parameter resiko baru yang sebagian besar tidak pernah dikenal pada era

sebelumnya.33

Resiko menurut Giddens pada bahaya yang secara aktif

diperkirakan berkaitan dengan kemungkinan yang akan terjadi, hanya ada

dalam masyarakat yang berorientasi ke masa depan, yang melihat masa depan

sebagai wilayah yang harus ditaklukkan atau dikuasai, masyarakat yang aktif

berusaha melepaskan dirinya dari masa lalu.34

Konsep resiko menurut

Giddens merupakan pengganti dari berbagai konsep tentang nasib,

keberuntungan atau takdir pada masyarakat tradisional. Ada dua jenis resiko

menurut Giddens, yaitu resiko eksternal yang berasal dari alam, sementara

resiko yang diciptakan mengacu pada dampak yang ditimbulkan oleh

perkembangan ilmu pengetahuan dan campur tangan manusia dalam

kehidupan.35

Kepercayaan yang dibangun masyarakat modern dibutuhkan untuk

meminimalisir resiko yang mungkin timbul dan selanjutnya menciptakan apa

yang disebut Giddens sebagai Keamanan Ontologis (Ontological Security).

Menurut Giddens, keamanan ontologis adalah suatu „keyakinan yang dimiliki

manusia terhadap kontinuitas identitas diri dan stabilnya lingkungan material

33

Giddens, Modernity and Self-Identity, 3-4 34

Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 2 Risk, BBC Reith Lecture, paragraph 7, diambil dari

http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week2/week2.htm 35

Ibid, paragraph 14

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

22

dan sosial yang melingkupi tindakan manusia.36

Menurut Giddens,

pencapaian terhadap kepercayaan dibutuhkan seseorang untuk memelihara

kesejahteraan psikologis dan menghindari kecemasan eksistensial.37

3. Detradisionalisasi.

Dunia saat ini semakin tanpa batas sebagai akibat dari kecanggihan

teknologi informasi dan komunikasi, sehingga masyarakat mendapatkan

banyak informasi. Akibatnya, tradisi yang semula bagi masyarakat menjadi

kerangka tafsir dan pemaknaan terhadap kehidupan menjadi tersisih. Giddens

menyebutnya sebagai proses detradisionalisasi. Detradisionalisasi bukan

berarti hilangnya tradisi, tetapi tradisi masih tetap ada bahkan hidup dan

berkembang dalam konteks yang berbeda.38

Tegasnya, tradisi bukan lagi satu-

satunya dasar pembuatan keputusan. Tradisi mendapatkan-istilah Giddens-

status baru. Kalau orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak

memuaskannya, ia dapat berpaling dan memakai pertimbangan lain dari

sumber lain.39

Tradisi sendiri menurut Giddens berkaitan dengan ingatan –mengutip

Maurice Halbwachs ingatan kolektif. Tradisi melibatkan ritual dan berkaitan

dengan gagasan formulaik tentang kebenaran, memiliki para penjaga dan

36

Giddens Consequence hal 92 37

Giddens, Modernity and Self Identity, hal 38-39 38

Ibid, hal 100 39

I Wibowo, Anthony Giddens, artikel diunduh dari http://www.unisosdem.org/

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

23

memiliki daya ikat terhadap kandungan moral dan emosional. 40

Sumbangan

yang khas dari Giddens tentang tradisi adalah berkaitan dengan ruang dan

waktu. Bagi Giddens, tradisi adalah cara mengontrol waktu melalui tindakan,

atau menghadirkan masa lalu di masa sekarang melalui ritual-ritual. Dengan

kata lain, tradisi adalah cara untuk mengorganisir masa lalu, kini dan masa

depan dalam konteks masyarakat tradisional. Sebaliknya, globalisasi adalah

tindakan mengendalikan ruang dengan cara mengendalikan waktu.

Globalisasi dengan demikian meniadakan jarak, atau menurut Giddens adalah

suatu “tindakan di ruang yang berjauhan”.41

Tradisi menurut Giddens juga media identitas.42

Identitas disini terkait

dengan pemaknaan, baik secara personal atau kolektif. Identitas adalah suatu

proses menciptakan keterhubungan antara masa lalu dengan masa depan yang

akan datang. Dalam semua masyarakat, memelihara identitas personal dalam

kaitannya dengan identitas sosial merupakan kebutuhan utama demi menjaga

keamanan. Ancaman kepada integritas tradisi merupakan ancaman kepada

integritas personal tersebut.43

40

Anthony Giddens, Living in a Post-Traditional Society, 63 41

Ibid, 96 42

Ibid, 80 43

Ibid.,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

24

4. Refleksifitas (reflexifity).

Refleksitas berarti proses diri individu yang melakukan monitoring dan

refleksi atau permenungan terus menerus terhadap berbagai informasi

mengenai berbagai kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupannya.

Menurut Giddens, refleksifitas dalam kehidupan sosial modern, “consists in

the fact that social practices are constantly examined and reformed in the light

of incoming information about those very practices, thus constitutively

altering their character‟ (Anthony Giddens, 1990: 38).

Menurut Giddens, refleksifitas merupakan karakteristik mendasar dari

semua aktifitas manusia. Giddens menyebutkan istilah Tindakan Monitoring

Refleksif (Reflexive Monotoring Action) dalam arti semua manusia selalu

bersentuhan atau berurusan dengan dasar dari setiap tindakannya sebagai

suatu elemen integral dari tindakan tersebut.44

. Monitoring refleksif merujuk

pada kemampuan agen untuk memonitoring tindakan sekaligus konteks dan

latar belakang dari tindakannya tersebut. Monitoring sebagai karakter esensial

dari agen berarti merasionalkan atau mengevaluasi keberhasilan dari setiap

upaya yang dia lakukan. Rasionalisasi dalam hal ini terkait dengan

pengetahuan, merujuk pada kompetensi atau kemampuan agen dalam mencari

alasan dari setiap tindakannya.

44

Giddens, The Consequences of Modernity, hal. 36

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

25

Proses permenungan (reflexivity) ini berpengaruh terhadap

pembentukan identitas. Proses konstruksi identitas diri menurut Giddens

merupakan suatu proyek yang mensyaratkan bahwa identitas senantiasa

dibentuk dan berubah. Identitas diri bukanlah hasil dari sistem tindakan

individu, melainkan sesuatu yang harus terus menerus diciptakan dan

dipelihara dalam tindakan permenungan individu. (Giddens, 1991:52)

Identitas diri menurut Giddens juga bukanlah sifat atau karakter, melainkan

pemahaman permenungan yang dimiliki individu mengenai biografinya

sendiri (Giddens 1991: 53). Identitas seseorang juga tidak bisa ditemukan dari

perilaku atau reaksi terhadap keberadaan liyan, melainkan kemampuan untuk

to keep a particular narrative going. (Giddens 1991: 54). Dengan kata lain

Giddens menekankan pada tantangan yang dihadapi individu dalam hal

banyaknya pilihan yang dihadapi yang kemudian berpengaruh terhadap

identitas diri melalui pembentukan narasi tentang dirinya sendiri. Narasi

mengenai identitas ini terutama berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan

kritis apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukan, dan harus

menjadi siapa. Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut individu berusaha

mengkonstruksi cerita yang saling berkesinambungan di mana „diri

membentuk lintasan perkembangan dari pengalaman masa lalu untuk menuju

masa depan‟(Giddens, 1991:75).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

26

Di sisi lain, refleksifitas menurut Giddens juga cenderung pada

perasaan lebih ke pertimbangan operasional, bagaimana cara untuk ini dan

itu? Proses ini sangat terkait dengan detradisionalisasi yang dijelaskan

sebelumnya. Ketika tujuan dan makna hidup tidak lagi didapat dari kode

tradisional, maka individu berpaling pada hal yang lebih pasti. Pada tahap

kekosongan ini individu mengkonstruksikan dirinya melalui pilihan-pilihan

tujuan kehidupan yang diciptakan kehidupan modern. Dengan kata lain dalam

kehidupan tradisional berbagai kehidupan seperti pekerjaan menikah

pendidikan anak, hiburan dan lainnya diatur secara rutin tetapi penuh makna

melalui kode moral tradisional, tetapi dalam masyarakat yang mengalami

detradisionalisasi semua mekanisme pengaturan sosial terhadap individu

menjadi lemah, dan orang dipaksa menghadapi situasi yang memaksa mereka

membuat pilihan, untuk memutuskan karir, gaya hidup, cara mendidik anak

dan sebagainya. Lalu “…Ketika tradisi tergeser, dan pilihan gaya hidup

merajalela, identitas-diri diciptakan dan dibuat ulang dalam bentuknya yang

lebih aktif dari sebelumnya.”45

Penelitian ini akan dikembangkan dalam kerangka teori tersebut di atas, di

mana perubahan orientasi keagamaan masyarakat di dusun Bangkerep yang memiliki

kencenderungan budaya abangan atau muslim nominal beralih menjadi Muslim

45

Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 3 Tradition, BBC Reith Lecture, paragraph 28, diambil

dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

27

puritan dipahami dalam kerangka sebagai berikut; (1) bahwa perubahan sosial politik

dan ekonomi yang terjadi dalam konteks global dan nasional mempengaruhi tatanan

dan ikatan tradisional di Bangkerep yang selama ini menjadi acuan dalam kehidupan

individu di dalamnya. Proses perubahan sosial tersebut terjadi melalui instrumen-

instrumen yang menjadi ciri dari modernitas dan globalisasi antara lain kebijakan

pembangunan dari negara serta didukung oleh perkembangan teknologi informasi,

komunikasi dan transportasi yang memungkinkan terjadinya perpindahan ide dan

manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. (2) Perubahan tersebut membuat

sekelompok individu di Bangkerep mengalami kegamangan dan mempertanyakan

berbagai tatanan tradisional yang selama ini mereka yakini untuk selanjutnya

menjadikan tradisi lain –dalam hal ini pemahaman dan praktek keagamaan yang

ketat- sebagai upaya mencari stabilitas dan menemukan identitas baru dalam

kehidupan modern saat ini.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini didesain sebagai jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan

pendekatan etnografi. Penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi menuntut

peneliti untuk melihat segala sesuatu yang terjadi, mendengarkan apa yang orang-

orang katakan dan memberikan pertanyaan kepada mereka.46

Pendekatan ini dipilih

46

Hammersley, M & Atkinson, Etnography, Principles in Practice, 2nd

ed. London: 1995, Routledge,

hal. 1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

28

untuk memahami secara mendalam proses perubahan orientasi keagamaan masyarakat

di pedesaan Blora dari semula kaum Abangan yang kurang memahami ajaran Islam

sekaligus masih teguh dalam memelihara tradisi-tradisi lokal menjadi Muslim yang

puritan dalam memahami teks kitab suci dan cenderung tidak toleran terhadap

perbedaan ajaran yang berbeda dengan mereka.

2. Subyek dan Wilayah Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di dusun Bangkerep, Desa Balong, Kecamatan

Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Subyek penelitian adalah warga yang

bergabung dengan organisasi Majelis Tafsir Al Quran (MTA).

Untuk alasan yang nanti akan dikaji, Blora dipilih karena beberapa alasan

sebagai berikut: Pertama, wilayah Kecamatan Kunduran dan Kabupaten Blora pada

umumnya bisa dianggap memiliki karakteristik Abangan, yakni masyarakatnya

beragama Islam tetapi minim dalam pengetahuan tentang agama Islam dan tidak

terlalu kuat dalam menjalankan ibadahnya, sekaligus masih melakukan tradisi-tradisi

yang bersumber dari kepercayaan lokal seperti sedekah bumi, slametan, dan

sebagainya. Secara historis, Blora termasuk Kunduran juga merupakan basis dari

kelompok Nasionalis-Abangan, bahkan wilayah Kunduran menjadi salah satu basis

dari Partai Komunis Indonesia (PKI).47

47

Dalhar Muhammadun dkk, 2004. Tanah berdarah di bumi merdeka : menelusuri luka-luka sejarah

1965-1966 di Blora. Yayasan Advokasi Transformasi Masyarakat (ATMA) Blora, Lembaga Penelitian

dan Aplikasi Wacana (LPAW) Jakarta, Perkumpulan ELSAM

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

29

Kedua, secara khusus Dusun Bangkerep dipilih sebagai wilayah penelitian

karena di satu sisi masih banyak tradisi-tradisi yang dihidupi masyarakat tetapi di sisi

lain di dusun ini pula pertama kali terdapat sekelompok warga yang mengembangkan

organisasi MTA untuk pertama kalinya di kabupaten Blora. Khususnya di dusun

Bangkerep, Desa Balong, terdapat sekitar 50 KK yang sangat militan dalam

menjalankan keyakinannya dan berakibat pada konflik horizontal dengan warga pada

rentang waktu 2000-2003. Meski hanya sebuah dusun kecil, di Bangkerep terdapat

kantor perwakilan MTA untuk tingkat kabupaten dan menjadi pusat kegiatan MTA di

seluruh kabupaten Blora. Menariknya lagi, sebagai jalan keluar akibat konflik dengan

warga setempat, di dusun Bangkerep ini juga warga MTA akhirnya mendirikan

masjid, dan merupakan satu-satunya masjid yang khusus didirikan oleh warga MTA

di Indonesia karena pada umumnya untuk beribadah mereka membaur dengan warga

non-MTA.

3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini akan menggunakan informasi dan data yang diambil dari dua

sumber, yaitu: Pertama, sumber bibliografis dan dokumentasi, yaitu data yang berasal

dari bahan-bahan kepustakaan, baik berupa ensiklopedi, buku-buku, artikel-artikel

karya ilmiah yang dimuat dalam media massa seperti majalah dan surat kabar, serta

jurnal ilmiah maupun laporan-laporan hasil penelitian dan data-data yang diterbitkan

oleh lembaga-lembaga penelitian atau lembaga lainnya yang terkait. Sumber data

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

30

pustaka akan digunakan sebagai titik tolak dalam memahami dan menganalisis

fenomena radikalisme agama. Data bibliografis diposisikan sebagai data sekunder.

Kedua adalah data yang berasal dari field-work; responden, informan,

peristiwa, situasi-kondisi dan fakta yang didapat dari obyek penelitian di lapangan.

Data lapangan ini dikumpulkan dengan beberapa instrumen seperti observasi, dan

wawancara mendalam (indepth interview) dan kuesioner. Data jenis ini akan

diperlakukan sebagai sumber-sumber primer yang mendasari hasil penelitian ini.

Dengan dua macam sumber tersebut, proses dan hasil penelitian ini diharapkan dapat

mengungkap dan menjelaskan alasan perubahan orientasi keagamaan masyarakat di

pedesaan Blora secara lebih obyektif dan komprehensif.

4. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian adalah

sebagai berikut: Pertama, wawancara mendalam. Teknik ini dilakukan terhadap

warga anggota MTA di desa Bangkerep untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan perubahan orientasi beragama dan keikutsertaan mereka dalam

organisasi MTA. Wawancara ini akan dilakukan secara terarah dan intensif. Dalam

hal ini, pokok permasalahan yang ditanyakan berkaitan dengan kehidupan responden,

konsep, persepsi, peranan, kegiatan, dan peristiwa-peristiwa yang dialami berkenaan

dengan fokus yang diteliti. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan warga desa

dusun Bangkerep yang tidak bergabung dengan MTA, tokoh masyarakat, dan pihak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

31

pemerintah di dusun Bangkerep dan sekitarnya untuk menggali data tambahan yang

berkaitan dengan konteks sejarah, tradisi dan kondisi sosial politik di wilayah

tersebut.

Kedua, observasi. Observasi ini dilakukan untuk mengambil data yang terkait

dengan hal-hal sebagaimana dalam wawancara terhadap warga atau tokoh MTA.

Fokus dari observasi ini adalah mengamati tindakan-tindakan, perilaku sosial,

pandangan hidup, serta interaksi mereka dengan lingkungan sekitar mereka.

Pengamatan diarahkan kepada perhatian pada jenis kegiatan dan peristiwa tertentu

yang memberikan informasi dan pandangan yang terkait dengan tema penelitian.

Ketiga, analisa dokumen/dokumentasi. Analisa ini dilakukan untuk

memperoleh data mengenai gambaran keberadaan subyek yang diteliti, di samping

juga untuk melengkapi data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan

wawancara.

5. Metode Analisis Data

Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yaitu

data kualitatif yang diperoleh dari subyek, yaitu warga MTA, menyangkut pandangan

keagamaan dan hal lain yang berkaitan dengan masalah penelitian akan diuji dengan

data-data sekunder. Kesimpulan yang didapat dari analisa data kualitatif ini kemudian

digabungkan dengan data sekunder yang memberi informasi mengenai hubungan

antara perubahan orientasi beragama serta pemaknaannya dengan latar belakang dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

32

informan untuk selanjutnya digunakan untuk menarik kesimpulan akhir dari

penelitian.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

33

BAB II

MTA DAN FENOMENA GERAKAN KEBANGKITAN ISLAM DALAM

KONTEKS GLOBALISASI

A. Pengantar

Setiap hari Minggu pagi, kawasan di Jalan Ronggowarsito Surakarta ramai

dipadati oleh hampir ribuan orang. Laki-laki dan perempuan dengan mengenakan

busana muslim memenuhi sebuah gedung megah berlantai empat yang terletak tepat

di depan Keraton Mangkunegaran, salah satu simbol kekuasaan dan kebudayaan

Jawa di tanah air, selain keraton Surakarta dan Yogyakarta. Kebanyakan dari mereka

datang dari kota-kota di seluruh Jawa Tengah, bahkan hampir dari seluruh Indonesia

untuk menghadiri pengajian Ahad pagi (disingkat Jihad Pagi) yang digelar oleh

Majelis Tafsir Al Quran (MTA), sebuah organisasi Islam yang berpusat di kota

tersebut.

Sebagai organisasi lokal yang berdiri di Surakarta, MTA mengalami

perkembangan yang sangat pesat. Jihad Pagi menjadi salah satu kegiatan penting yang

diselenggarakan oleh MTA. Pengajian tersebut berlangsung mulai jam delapan pagi

sampai tengah hari, dipimpin langsung oleh ketua umum MTA, Ahmad Sukina.

Dalam pengajian tersebut, warga –sebutan untuk anggota MTA- menyimak dan

mencatat pelajaran agama yang disampaikan oleh Ahmad Sukina, dilanjutkan dengan

tanya jawab langsung seputar persoalan keagamaan maupun kehidupan sehari-hari.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

34

Setelah pengajian selesai, acara dilanjutkan dengan konsolidasi dan pertemuan

pengurus MTA dari seluruh Indonesia.48

Majelis Tafsir Al Quran (MTA) adalah organisasi yang berdiri pada 19

September 1972.49

Kegiatan sekaligus tujuan dari organisasi adalah mempelajari dan

mengamalkan Al Quran dan Hadits sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.50

Pendiri MTA adalah seorang ulama sekaligus pedagang yakni Abdullah Thufail

Saputra pada 19 September 1972. Pada 15 September 1992, Abdullah Thufail Saputra

meninggal dan digantikan oleh penerusnya, yaitu Ahmad Sukina.51

Pada 23 Januari

1974, MTA menjadi organisasi resmi dan berkembang secara pesat dan memperoleh

banyak pengikut di hampir seluruh wilayah di Indonesia, terutama pasca tumbangnya

rezim Orde Baru tahun 1998.

Perkembangan MTA tidak terlepas dari situasi sosial politik umat Islam di

Indonesia pada akhir 1960 dan awal 1970. Ustad Thufail Saputra melihat bahwa umat

Islam dipinggirkan karena mereka tidak mempraktekkan Al Quran secara

menyeluruh. Selain itu, menurut Thufail, umat Islam di Indonesia telah menyimpang

dari ajaran Islam dengan melakukan berbagai praktek keagamaan yang bercampur

dengan berbagai tradisi lokal. Satu-satunya cara untuk mencapai kemajuan Islam

adalah dengan mempelajari, memahami dan mengamalkan Al Quran dan Hadits

secara murni dalam seluruh bidang kehidupan.

48

Catatan lapangan, tanggal 9 September 2012 49

www.mta-online.com 50

www.mta-online.com 51

www.mta-online.com

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

35

Sebagai organisasi dakwah, MTA meneguhkan juga memiliki berbagai sarana

untuk memperluas misinya, antara lain melalui lembaga pendidikan baik formal

maupun informal mulai dari pendidikan dasar sampai menengah. Tidak hanya itu,

MTA juga meneguhkan posisinya sebagai organisasi dakwah modern dengan

memiliki stasiun radio sendiri –yang terbukti efektif dalam menyampaikan dakwah

dan menarik pengikut- menerbitkan majalah, buku dan buletin dan sedang

menyiapkan stasiun televisi mereka sendiri.

Hal yang menarik adalah bahwa selain sebagai organisasi dakwah dengan misi

purifikasi, MTA yang berkembang pesat di hampir seluruh Indonesia juga

berkembang menjadi semacam –meminjam istilah Ben Anderson- “komunitas

terbayang” di mana masing-masing warga anggota disatukan oleh beberapa hal.

Pertama, organisasi yang hirarkis dan model kepemimpinan yang sentralistis. Kedua,

sesama warga MTA diatur dalam kode-kode atau prinsip ketat yang mengatur praktek

ibadah maupun perilaku dan kehidupan sehari-hari yang membedakan mereka dari

anggota masyarakat di lingkungan tempat mereka tinggal. Ketiga, kesamaan nasib

berupa penolakan atau ketegangan dengan anggota masyarakat lainnya karena

perbedaan pemahaman serta praktek keagamaan yang tidak mengakomodasi

kepercayaan dan tradisi lokal. Pertentangan atau konflik dengan masyarakat ini terjadi

di hampir seluruh tempat di mana MTA berdiri, baik dalam skala besar dan berujung

pada tindak kekerasan atau dalam bentuk-bentuk seperti ejekan, sindiran atau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

36

anggapan bahwa warga MTA dalam hal keagamaan adalah orang yang berbeda

dengan masyarakat kebanyakan.

Bab II membahas mengenai sejarah berdirinya MTA sebagai organisasi

dakwah puritan dan kaitannya dengan gelombang kebangkitan Islam baik di tingkat

global maupun lokal sebagai konsekuensi dari globalisasi. Gerakan yang berupaya

membangkitkan nilai-nilai keislaman yang murni dan otentik dengan berbagai sebutan

seperti puritanisme, revivalisme, fundamentalisme atau Islam politik adalah respon

sekaligus reaksi terhadap kondisi-kondisi modernitas, -sentralisasi kekuasaan negara

atau perkembangan ekonomi kapital serta kemajuan teknologi- yang menimbulkan

berbagai persoalan sosial di mana penekanan pada nilai-nilai keislaman adalah satu-

satunya cara untuk mengatasi persoalan sosial tersebut.

Di sisi lain, gagasan kebangkitan Islam yang berupaya memperjuangkan Islam

sebagai solusi atas persoalan yang ditimbulkan globalisasi meluas dan memberi

pengaruh yang sama ke berbagai penjuru dunia. Situasi ini menurut Anthony Giddens

merupakan ciri sekaligus akibat dari modernitas, yakni menguatnya ikatan-ikatan

sosial di seluruh dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas yang saling berjauhan

di mana suatu kejadian yang terjadi di satu wilayah dipengaruhi oleh suatu peristiwa

di tempat lain yang jauh jaraknya dan begitu pula sebaliknya. Proses tersebut menurut

Giddens terutama menguat melalui teknologi –terutama komunikasi dan informasi-

juga teknologi transportasi yang memungkinkan manusia terhubung satu sama lain

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

37

dan memungkinkan terjadinya perpindahan ide atau gagasan serta menciptakan

keterhubungan dalam berbagai bidang, baik ekonomi, budaya atau politik.

Dalam konteks ini berdirinya MTA sebagai sebuah organisasi Islam lokal

yang berupaya membangkitkan kembali nilai-nilai keislaman merupakan pengaruh

dari fenomena yang sama yang terjadi di dunia internasional, terutama kebangkitan

Islam yang setidaknya dimulai pada abad 18 di Timur Tengah dan mencapai

puncaknya pada tahun 1970 dan 1980-an. Proses tersebut terjadi sebagai akibat dari

transfer ide dan pemikiran di bidang keagamaan melalui teknologi informasi yang

memungkinkan terjadinya penyebarluasan ide gerakan Islam misalnya media cetak

dan teknologi transportasi yang memungkinkan terjadinya mobilisasi satu orang ke

tempat lain dan memungkinkan mereka menyerap gagasan baru, dalam hal ini adalah

gagasan puritanisme atau kebangkitan Islam yang murni.

Selain itu, berdirinya MTA sebagai organisasi dakwah di Surakarta dibaca

sebagai bagian dari maraknya berbagai gerakan keagamaan yang tumbuh pesat di

awal masa Orde Baru sebagai respon terhadap kebijakan sosial politik dari rezim yang

berupaya menangkal ideologi komunisme sekaligus menjalankan proyek

pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang ditunjang oleh

investasi asing dan industrialisasi. Dalam konteks lokal, MTA muncul dan

berkembang di Surakarta yang menjadi tempat tumbuh suburnya berbagai gerakan

keagamaan baik yang moderat maupun radikal. Selanjutnya ideologi, karakteristik

gerakan, serta strategi dakwah MTA menjadi faktor kunci untuk menarik minat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

38

masyarakat untuk bergabung sehingga organisasi ini mengalami perluasan dan

perkembangan yang cukup pesat, terutama di pedesaan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

39

B. MTA dan Dinamika Islam di Tingkat Lokal, Nasional dan Internasional

1. Puritanisme dan Kebangkitan Islam Global

Munculnya berbagai gerakan yang mengusung ide pemurnian Islam dan

penerapan Islam dalam berbagai aspek kehidupan menandai fenomena kebangkitan

Islam dalam skala global. Fenomena tersebut berlangsung melalui beberapa tahapan

dengan berbagai karakteristik gerakan yang berbeda-beda.

Pada abad 18 muncul sebuah gerakan keagamaan di Arab Saudi yang sangat

gencar dalam memerangi tradisi-tradisi masyarakat Arab yang mereka anggap bid‟ah

(menyimpang) seperti takhayul dan praktek pemujaan sufi serta berbagai perilaku

umat Islam yang tidak mencerminkan nilai Islami.52

Gerakan tersebu disebut Wahhabi

karena mengambil inspirasi dari pemikiran teologis pendirinya yaitu Muhammad ibn

Abd al Wahhab (w.1206 H/1792 M).

Gagasan utama teologi Wahhabi adalah bahwa umat Islam telah melakukan

kesalahan dengan menyimpang dari jalan lurus dan hanya dengan kembali ke (ajaran)

agama yang benar mereka akan mendapat ridha Allah Swt. Dengan semangat untuk

memurnikan agama, ia hendak membebaskan Islam dari semua hal yang

menggerogoti Islam, yaitu tasawuf, doktrin perantara (tawassul), rasionalisme, syiah

dan berbagai ajaran bid‟ah.53

Dalam pandangan kaum Wahhabi, umat Islam harus

kembali kepada Islam yang murni, sederhana, dan lurus murni yang hanya bisa

dicapai melalui penerapan perintah Tuhan secara literal serta mengikuti perilaku Nabi

52

Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Tr. Helmi Mustofa, Jakarta: 2006,

Serambi, hal. 61-62 53

Abou El Fadl, ibid, hal. 61-62

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

40

secara literal, sekaligus dengan ketat melakukan berbagai ritual ibadah secara benar.54

Hanya dengan cara demikian umat Islam akan bangkit dari kebodohan dan

keterbelakangan.

Pemikiran Muhammad Ibn „Abd al Wahab sendiri dikembangkan dari ajaran-

ajaran Taqiyuddin Ibnu Taimiyah (1263-1328) atau Ibnu Taimiyah yang merupakan

pengikut Hambalisme, mazhab paling ketat dari empat mazhab hukum dalam Islam

Sunni.55

Gagasan utama Ibn Taimiyah adalah menganjurkan umat Islam kembali

berpegang pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah sebagaimana yang dilakukan oleh

para generasi Salaf atau generasi yang generasi terbaik yang hidup pada masa Nabi,

yaitu sahabat Nabi. Istilah Salafi inilah yang kemudian digunakan untuk menyebut

kelompok atau gerakan yang berupaya untuk memurnikan ajaran Islam dan kembali

kepada Al Quran dan Hadits Nabi secara kaku dan absolut.56

Beberapa waktu kemudian muncul gerakan Salafisme, yakni sebuah gerakan

yang muncul satu abad setelah Abd al Wahhab memiliki pengaruh kuat di

semenanjung Arab. Gerakan ini dikembangkan oleh sarjana dari Universitas Al Azhar

di Mesir seperti Jamaaludin Al Afghani (1839-97), Muhammad „Abduh (1849-1905)

dan muridnya Rashid Rida (1865-1935).57

Al Azhar saat itu menjadi alternatif

perkembangan keilmuan Islam selain Mekkah (Fox, 2004:3-4). Berbeda dengan

54

Abou el Fadl, ibid, hal. 63 55

Noorhadi Hassan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca Orde

Baru, Jakarta, 2008, Pustaka LP3ES dan KITLV, hal 33 56

Ide pembaruan Ibn Abd‟ Wahhab tersebut menginspirasi berbagai gerakan di berbagai penjuru dunia,

termasuk di nusantara yang dimotori oleh kaum Paderi yang berkenalan dengan ideologi Wahhabi

seusai menunaikan ibadah haji ke Mekkah. 57

Hassan, ibid, hal. 34

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

41

ideologi Wahabisme awal, para pemikir seperti Al Afghani, Abduh dan Ridha

mengembangkan pemikiran mereka tidak semata pada pemurnian Islam dari bid‟ah

dan taqlid, tetapi juga seruan kepada umat Islam ntuk membuka pintu ijtihad,

mendukung kemajuan dan pemikiran modern sebagai syarat untuk meraih kejayaan

Islam yang hilang. (Hassan, 2008: 34).58

Pada awal abad 20, di bawah raja Abdul Aziz bin Su‟ud, ajaran Wahabi secara

resmi menjadi ajaran resmi Kerajaan Arab Saudi.59

Ini merupakan awal mula dari

penyebaran ajaran Wahabi di seluruh dunia. Abdul Aziz ibn Saud berupaya untuk

menjadikan Saudi Arabia sebagai pusat dunia Islam, antara lain dengan mengorganisir

Kongres Dunia Islam yang bertujuan untuk membangun solidaritas antar negara-

negara Islam pada tahun 1926.60

Pada tahun 1962, dibentuk Liga Muslim Dunia

(Muslim World zxLeague/Ar. Rabitat al-„Alam al-Islami) yang kemudian menjadi

lembaga yang menyebarkan faham ini di dunia Islam.61

Penyebaran ideologi Wahhabi yang didukung penuh oleh rezim Saudi Arabia

mengalami puncak keberhasilannya terutama di Timur Tengah akibat kekalahan

58

Di Indonesia, gagasan mereka mengilhami berdirinya berbagai organisasi Islam modern yang

bertujuan untuk mengajak umat Islam kembali pada kemurnian ajaran Islam yang sesuai dengan Al

Quran dan Hadits, antara lain Muhammadiyah pada tahun 1912 dan Persatuan Islam (PERSIS) pada

tahun 1923. Penerimaan kedua organisasi tersebut terhadap modernisme bisa dilihat dari metode

dakwah mereka melalui pendirian sekolah, rumah sakit dan lembaga pendidikan modern lainnya. 59

Jajang Jahroni. Gerakan Salafi di Indonesia: dari Muhammadiyah sampai Laskar Jihad, Mimbar,

Vol. 23, No. 4, 2006, hal. 359-360 60

Hassan, ibid, hal 41 61

Noorhaidi Hasan, Between Transnational Interest and Domestic Politics: Understanding Middle

Eastern Fatwas on Jihad in the Moluccas, Noorhaidi Hasan&Moch Nur Ichwan, ed. “Moving with the

Times: the Dynamics of Contemporary Islam in a Changing Indonesia, Yogyakarta: CISForm UIN

Sunan Kalijaga, 2007, hal. 43

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

42

negara-negara Arab dari Israel dalam perang Arab-Israel pada tahun 1967.62

Penyebaran Wahhabi juga semakin menemukan momentumnya ketika ketika terjadi

booming harga minyak yang membuat Arab Saudi menjadi negara kaya.63

Dengan

dana melimpah, Wahabi berusaha untuk menyebarkan ideologi mereka ke dunia Islam

–termasuk Indonesia- dengan memberi beasiswa, membangun masjid, institusi

pendidikan dan menerbitkan buku.

Pada perkembangan berikutnya, yakni rentang waktu 1970 sampai 1980, dunia

kembali menyaksikan fenomena kebangkitan Islam dengan bentuk yang sedikit

berbeda. Jika kebangkitan Islam abad ke-18 yang dimotori oleh kaum Wahhabi

cenderung menekankan aspek syariat, maka pada kurun waktu tersebut kebangkitan

Islam diwarnai oleh munculnya gerakan yang berupaya mewujudkan syariat Islam

sebagai sebuah ideologi politik (Pipes, 2002:124). Gerakan ini diwakili oleh Hasan Al

Banna (1906-1948) dan Sayyid Qutb (1906-1966) yang mendirikan Ikhwanul

Muslimin di Mesir) atau Abu A‟la Al Mawdudi (1903-1978) yang mendirikan

Jama'at-i Islami di Pakistan. Prinsip utama gerakan Islam politik tersebut adalah

kejayaan Islam akan dicapai jika setiap orang kembali pada ajaran Quran dan Sunah,

mengupayakan syariat Islam, menghindari segala macam praktek keagamaan yang

menyimpang, pembaruan komitmen dalam pemahaman dan perilaku individu sebagai

basis solidaritas bersama, mengupayakan keadilan sosial, kepedulian terhadap orang

miskin, seruan terhadap kaum perempuan kembali ke peran domestik, perjuangan

62

Hassan, ibid, hal. 42 63

Hassan, ibid, hal 42

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

43

untuk mengganti pemerintahan yang korup dan menciptakan negara Islam sebagai

penjaga dan pengontrol moralitas Islami dalam masyarakat Islam. (Lapidus, 1997;

445).

Gagasan mereka menjadi populer, terutama slogan “Islam sebagai solusi”

merujuk pada kemunduran umat Islam yang ditandai dengan kekalahan negara Arab

dalam perang Arab-Israel pada tahun 1967.64

Kekalahan yang menimpa negara-negara

Arab yang dipimpin oleh rezim nasionalis membuat kalangan Islamis bangkit dan

mengupayakan Islam sebagai ideologi alternatif yang mampu mengembalikan

kejayaan Islam dari puing kehancuran.

Kebangkitan Islam semakin menemukan momentumnya ketika terjadi

beberapa peristiwa penting di beberapa negara. Pada tahun 1973 negara-negara Arab

berhasil membalas kekekalahannya dengan memenangkan perang Ramadhan (perang

Yom Kippur versi Israel), yang diikuti dengan embargo minyak Raja Saudi Arabia

Faishal terhadap Israel dan Amerika. Kemudian pada tahun 1977 Jenderal Zia ul-Haq

melakukan kudeta di Pakistan dan mencanangkan program Islamisasi, sementara di

Afghanistan pada tahun 1979 kelompok Islam bangkit melawan invasi Uni Soviet,

hingga berkuasanya Khomeini lewat Revolusi Iran pada tahun 1979.65

Revolusi 1979

yang membawa Ayatollah Khomeini membuat rezim Saudi Arabia yang berideologi

Wahhabi khawatir kalau revolusi tersebut justru akan meruntuhkan kekuasaannya

64

Hassan, ibid hal 42-43 65

Akbar S. Ahmed, Postmodernisme and Islam: Predicament and Promise, Taylor & Francis e-

Library, 2003, hal 33-35.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

44

sendiri sehingga membuat mereka semakin intensif dalam menyebarkan pengaruhnya

ke seluruh dunia.66

Selain di kancah konflik, geliat ini juga terjadi di lapangan intelektual mulai

dari Konferensi dunia tentang pendidikan muslim di Makkah (1977), gagasan tentang

pendidikan Islam oleh Ali Ashraf (1979), ekonomi Islam oleh Khursid Ahmad (1981),

Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of knowledge) oleh Ismail Al-Faruqi

(1982), dan lain-lain.67

Meningkatnya aktifitas keislaman juga terjadi di beberapa

tempat yang jauh dari Timur Tengah sebagai pusat Islam, termasuk Indonesia.

Kebangkitan pada rentang waktu 1970 dan 1980 juga bisa dilihat dari

meningkatnya perilaku keagamaan dengan cara hadir di masjid, menjalankan sholat

dan puasa, penyebaran dakwah melalui publikasi, kegemaran memakai busana dan

nilai-nilai Islami, revitalisasi sufisme dan pernyataan kembali Islam dalam kehidupan

publik yang antara lain ditunjukkan dengan adanya peningkatan orientasi keislaman di

pemerintah maupun organisasi, hukum, perbankan, layanan kesejahteraan sosial,

maupun institusi pendidikan. (Esposito, 1999: 10). Dalam konteks yang lebih luas,

gejala kebangkitan Islam pada periode tersebut adalah upaya membangun kembali

nilai-nilai, praktek, institusi dan hukum Islam secara menyeluruh dalam berbagai

aspek kehidupan umat Islam sekaligus upaya menciptakan kembali etos dan tatanan

sosial yang Islami berdasarkan tatanan Al Quran dan Sunah (Chandra Muzaffar,

1987:2).

66

Hassan, ibid, hal. 43-44 67

Akbar S. Ahmed, ibid

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

45

Penting untuk dicatat bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan

informasi memainkan peran penting bagi persebaran gagasan dan wacana keislaman

sehingga meluas ke banyak tempat. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi

mengubah pola konsumsi di dunia Islam seperti yang digambarkan John Anderson di

mana informasi keagamaan yang semula disampaikan lewat khotbah di mimbar ke

bentuk media cetak seperti buku atau bentuk elektronik seperti kaset dan radio dan

terakhir internet sehingga bisa menjangkau audiens dengan lebih luas. Teknologi

media cetak memungkinkan tokoh-tokoh Islam seperti Rashid Ridha dan Maulana

Maududi menyebarkan gagasannya dalam bentuk buku. Begitu juga kemunculan

media elektronik membuat wacana keislaman bisa diakses dalam kaset audio dan

radio seperti pidato revolusi Ayatullah Khumaini yang bisa didengarkan di setiap

tempat. Kemunculan media elektronik telah mengubah kebiasaan dan interaksi dalam

mengakses masalah keagamaan dari otoritas keagamaan seperti ulama dari semula

bersifat personal menjadi suatu bentuk publikasi.68

Hal tersebut membuat informasi

keagamaan tidak lagi didapat dari otoritas keagamaan dan bisa diakses oleh siapapun

tanpa mempertimbangkan jarak.

68

John W Anderson, New Media, New Publics: Reconfiguring the Public Sphere of Islam, Journal

Social Research, Vol 70, No 3, Fall 2003

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

46

2. Orde Baru dan Kebangkitan Islam di Indonesia

a. Dinamika Islam di Indonesia

Dengan berbagai keragaman ekspresi budaya serta latar belakang etnik, suku

maupun bahasa, maka dalam sejarahnya pemahaman dan praktek Islam di Indonesia

tidak pernah tunggal. Secara umum, dinamika Islam di Indonesia diwarnai oleh

ketegangan antara Islam dengan tradisi lokal. Perbedaan ini mengerucut pada dua

kutub; pertama, Islam ideal atau normatif, yakni Islam yang dipahami dan

dipraktekkan sesuai dengan prinsip yang murni yaitu Al Quran dan Hadits. Kedua,

Islam popular, yakni pemahaman dan praktek Islam yang tidak memiliki landasan

hukum normatif dan biasanya adalah praktek yang disesuaikan dengan tradisi lokal

yang lebih dulu berkembang di masyarakat dan oleh kelompok pertama dianggap

sebagai penyimpangan. 69

Di Jawa, Islam popular bisa ditemukan dari beragam ritual atau upacara

tradisional, seperti ritus kelahiran, perkawinan hingga kematian. Selain itu umumnya

masyarakat Jawa juga mempercayai adanya roh halus, danyang atau kekuatan-

kekuatan gaib yang bersifat baik ataupun buruk yang ada di sekitar mereka. Untuk

menghormati kekuatan gaib tersebut masyarakat Jawa melakukan berbagai upacara

seperti sedekah bumi atau ritual bersih desa sebagai ekspresi syukur atas kebaikan

yang mereka nikmati sekaligus memohon keselamatan dari mara bahaya.

69

J. D. J. Waardenburg, Official and Popular Religion as a Problem in Islamic Studies, dalam Pieter

H. Vrijhof and Jacques Waardenburg, ed. “Official and Popular Religion”., Paris: Mouton Publisher,

1979, hal 340-341.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

47

Dalam kaitan dengan sejarah proses Islamisasi di Indonesia, Islam popular

merujuk pada golongan umat Islam yang cenderung akomodatif terhadap berbagai

keyakinan atau kepercayaan masa lalu serta berbagai tradisi lokal yang sudah diyakini

masyarakat sebelumnya. Yon Machmudi menyebut kelompok ini sebagai kelompok

tradisionalis yang kemudian berkembang menjadi organisasi Islam Nahdlatul Ulama.

Kelompok ini direpresentasikan oleh orang-orang yang belajar Islam di Mekkah pada

pertengahan abad 19 dan kemudian kembali ke nusantara untuk berdakwah di

masyarakat setempat. Mereka membangun pesantren yang menjadi tulang punggung

Islam tradisional di tanah air dengan mengajarkan Islam dari sumber Al Quran,

Hadits, dan teks-teks klasik karangan ulama besar di masa lalu (kitab kuning). Sikap

akomodatif mereka terlihat dari pola dakwah yang tidak serta merta mengubah

praktek-praktek tradisi lokal dan cenderung toleran sepanjang tidak bertentangan

dengan esensi ajaran Islam.

Dengan karakteristik menjalankan ajaran Islam dengan tetap bersikap

akomodatif terhadap keyakinan lokal, kelompok tradisionalis tersebut pada dasarnya

membedakan dirinya dengan kelompok yang sudah ada sebelumnya di kalangan

masyarakat Jawa yaitu Muslim nominal atau Abangan. Menurut Hefner, kaum

Abangan adalah mereka yang memeluk Islam namun tidak mempraktekkan Islam

dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya lebih mengutamakan keyakinan leluhur

serta melakukan berbagai ritual lokal. Hefner menyebut bahwa Abangan pada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

48

mulanya adalah salah satu varian Islam di Jawa yang mencapai kejayaan pada

pertengahan abad ke 18, namun kemudian memudar seiring kebijakan negara.70

Sementara kelompok puritan bercita-cita membersihkan ajaran Islam dari

berbagai unsur yang tidak memiliki dasar dalam Al Quran maupun Hadits. Jejak

puritanisme pertama di tanah air tercatat terjadi di Sumatera yang dimotori oleh kaum

Paderi. Saat itu, tiga ulama asal Minangkabau yaitu Haji Miskin, Haji Abdurrahman

dan Haji Muhammad Arif melakukan ibadah haji ke Mekkah yang saat itu dikuasai

oleh Wahhabi. Ketiganya tertarik dengan ide-ide pemurnian agama dari kaum

Wahhabi dan kemudian mencoba untuk menerapkannya di nusantara. Mereka

mengharamkan tasawuf yang ada di tanah Minangkabau dan segala macam takhayul,

bid‟ah dan khurafat. Mereka juga mewajibkan memelihara jenggot serta memberi

hukuman mati kepada orang yang meninggalkan salat.71

Gerakan tersebut kemudian

dikembangkan oleh kelompok reformis modernis yakni para ulama yang mendapat

pengaruh dari ide pembaharuan yang dimulai oleh sarjana dari Universitas Al Azhar

di Mesir seperti Jamaaludin Al Afghani (1839-1897), Muhammad „Abduh (1849-

1905) dan muridnya Rashid Rida (1865-1935). Di Indonesia, pemikiran sarjana-

sarjana tersebut memberi inspirasi bagi berdirinya berbagai organisasi Islam yang

bertujuan untuk mengajak umat Islam kembali pada kemurnian ajaran Islam yang

70

Robert W Hefner, Where Have all the Abangan Gone? Religionization and the Decline of Non-

Standard Islam in Indonesia dalam Rémy Madinier & Michel Picard, eds.,“The Politics of Religion in

Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali”, Contemporary

Southeast Asia Series, London and New York: Routledge, hal. 71-79

71

Abdurrahman Wahid, ed., Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia,

Jakarta, 2009, LibForAll Foudantion.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

49

sesuai dengan Al Quran dan Hadits, antara lain Muhammadiyah pada tahun 1912 dan

Persatuan Islam (PERSIS) pada tahun 1923. Berbeda dengan santri kolot, kaum

reformis atau disebut santri modern berusaha untuk menghilangkan seluruh elemen

non-Islami untuk mencapai kemurnian Islam.72

Tidak hanya di bidang keagamaan, polaritas yang diakibatkan perbedaan

artikulasi keislaman juga terjadi di bidang politik. Polaritas yang paling tajam dan

akan terus mewarnai situasi sosial politik Indonesia adalah ketika pada tahun 1945

kelompok Islam berupaya untuk menjadikan syariat Islam secara formal ke dalam

undang-undang, terutama adalah isu Piagam Jakarta yang ditentang oleh kelompok

abangan sekuler.73

Polaritas juga tercermin dari hasil Pemilu 1955 sebagai pemilu

pertama dan dianggap paling demokratis, di mana Partai Nasionalis Indonesia

(priyayi-abangan kolot/modern dengan wong cilik-abangan-kolot) berhasil

mengumpulkan 32 persen suara di Jawa, Masyumi (priyayi-santri-modern)

mendapatkan 11 persen suara, sementara Nahdlatul Ulama sebagai perwakilan dari

kelompok Islam tradisional (wong cilik-santri-kolot) mendapatkan 30 persen suara

dan Partai Komunis Indonesia (wong cilik-abangan-kolot/modern) mengumpulkan 27

persen suara. Hasil ini menunjukkan bahwa kaum abangan dan santri kolot masih

mendominasi Jawa.74

72

Hassan, ibid, hal 38 73

Hassan, ibid, hal 39. Salah satu isi dalam piagam Jakarta adalah kalimat yang berbunyi “dengan

keharusan menegakkan syariat Islam bagi pemeluknya”. Kalimat ini kemudian dikeluarkan dari sila

pertama Pancasila. 74

Ricklefs mengembangkan konsepsi Santri Abangan Priyayi-nya Geertz menjadi beberapa kelompok:

priyayi santri, wong cilik-abangan-kolot, priyayi-abangan kolot/modern, dan wong cilik-santri-kolot.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

50

Ketika Orde Baru mulai berkuasa pada tahun 1966, dinamika Islam di

Indonesia diwarnai dengan munculnya berbagai organisasi dan kelompok Islam yang

secara umum memiliki kesamaan agenda yaitu mengajak umat Islam untuk kembali

mengamalkan nilai-nilai Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan. Fenomena ini tidak

hanya terkait dengan kebangkitan Islam di dunia internasional, namun juga berkaitan

dengan dinamika sosial politik di Indonesia selama kurun waktu 1970 sampai 1980-

an, dalam hal ini adalah kebijakan pembangunan dan pasang surut hubungan

pemerintah dengan umat Islam.

b. Islam di masa Orde Baru

Sama seperti fenomena kebangkitan Islam di dunia internasional, fenomena

“kebangkitan Islam” berupa maraknya simbol ataupun aktifitas keagamaan juga

terjadi di Indonesia pada rentang waktu 1970 dan 1980. Hal tersebut terlihat dari

tumbuhnya komunitas-komunitas kecil yang berkeinginan untuk mengikuti perilaku

Nabi Muhammad dan generasi pertama umat Islam (Salafi) yang dianggap ideal dan

murni sekaligus menawarkan alternatif dan perlawanan terhadap nilai dan paham dari

Barat. Komunitas-komunitas tersebut tumbuh melalui kelompok diskusi dan

pengajian di masjid-masjid dan kampus-kampus umum. Ciri khas kelompok ini

adalah penampilan yang Islami, yaitu jilbab panjang bagi perempuan, baju gamis dan

Lihat Merle C. Ricklefs, Six Centuries of Islamization in Java, Nehemia Levtzion, ed. “Conversion to

Islam”, New York: Holmes & Meier Publishers, Inc., 1979, hal 120 dalam Muhammad Ali, Muslim

diversity: Islam and local tradition in Java and Sulawesi, Indonesia, IJIMS, Indonesian Journal of

Islam and Muslim Societies, Volume 1, Number 1, June 2011: 1-35

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

51

jenggot bagi kaum laki-laki.(Hassan, 2006:31). Tidak hanya di perkotaan, gelombang

kesalehan juga terjadi di wilayah pedesaan yang identik dengan budaya abangan pada

tahun 1980 dan 1990-an (Hefner, 2000; 122).

Fenomena kebangkitan gairah keagamaan dan munculnya komunitas-

komunitas dakwah Islam tersebut tidak lepas dari kebijakan depolitisasi Orde Baru

terhadap umat Islam Perlu diingat bahwa kebijakan Orde Baru dibawah

kepemimpinan Soeharto mencanangkan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang

ditandai dengan masuknya investasi asing dan bantuan dari negara-negara industri

maju yang didukung dengan booming minyak pada tahun 1970-an.75

Pasca hancurnya

PKI tahun 1966, Orde Baru merasa bahwa kelompok Islam menjadi kelompok

potensial yang bisa melawan Soeharto, terutama kelompok yang berbasis di akar

rumput karena bisa menghalangi kebijakan pembangunan yang mensyaratkan adanya

demobilisasi politik di masyarakat.76

Soeharto kemudian memberlakukan kebijakan

marginalisasi dan depolitisasi aktor Islam dan organisasi/partai Islam, salah satunya

adalah membatasi aktifitas politik tokoh Islam dan pada tahun 1973 mengeluarkan

kebijakan peleburan atau fusi partai politik Islam ke dalam wadah tunggal yaitu Partai

Persatuan Pembangunan (PPP).77

75

Vedi Hadiz, Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia, CRISE Working Paper No.74, 2010,

Center for Research on Inequality, Human Security and Ethicity, hal. 7 76

Hadiz, ibid, hal. 8 77

Tokoh Islam merasa Orde Baru membatasi kepentingan umat-Islam, ditandai dengan meningkatnya

pengaruh militer dan birokrat yang identik dengan kaum abangan (misal Ali Mortopo) di jajaran

pemerintahan dan kedekatan dengan kelompok bisnis China, juga kelompok Katholik (CSIS). Muncul

aksi-aksi kekerasan seperti Komando Jihad, Bom di Borobudur, juga bom di BCA yang dianggap

sebagai representasi dari kelompok bisnis China pada tahun 1986. Ketegangan Islam Politik dengan

pemerintah Orde Baru meningkat dengan penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal di tahun

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

52

Tersumbatnya saluran politik membuat aktifis-aktifis Islam melakukan

konsolidasi dan membangun basis gerakan melalui strategi dakwah, dalam hal ini

melalui dunia pendidikan dan media massa. Strategi tersebut membuat kelompok-

kelompok Islam berkembang pesat tanpa menimbulkan kecurigaan dari rezim Orde

Baru, terutama di kampus dan kaum menengah perkotaan. Selain itu, pesatnya

berbagai gerakan Islam pada masa tersebut juga didukung oleh sumber daya berupa

aliran dana dari Timur Tengah terutama Arab Saudi pasca booming harga minyak

tahun 1970-an. Dalam hal ini, Arab Saudi berkepentingan membendung kebangkitan

Syiah pasca Revolusi Iran tahun 1979.

Kelompok Islam yang mendapatkan pengaruh langsung dari Timur Tengah

dan kemudian menjadi embrio berbagai kelompok Islam puritan adalah Dewan

Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), organisasi dakwah yang dibentuk oleh

Muhammad Natsir dan para mantan pemimpin Masyumi pada tahun 1967.78

Organisasi ini didirikan sebagai strategi setelah Soeharto yang naik ke tampuk

kekuasaan menolak keinginan Masyumi untuk kembali menjadi partai politik.79

DDI

sebagai perwakilan Rabithah Alam Islami (organisasi yang didanai Arab Saudi)

memberikan beasiswa kepada ratusan mahasiswa Indonesia untuk belajar di Timur

Tengah, terutama Arab Saudi.80

Persinggungan mahasiswa yang belajar di luar negeri

1980-an. Kemudian muncul ICMI pada tahun 1990 –didirikan oleh Habibie- yang dekat dengan

kekuasaan sebagai representasi kelompok Islam birokrat dan teknokrat yang berupaya mengimbangi

Islam politik yang oposan terhadap Orde Baru. Lihat Hadiz, Political Islam 78

Hassan ibid, hal. 45 79

Hassan, ibid 80

Wahid, ed., ibid,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

53

membuat mereka bertentangan dengan genealogi dan ideologi yang sama dengan

Wahhabi seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir.81

Selain itu, DDII juga

berperan dalam mengembangkan lembaga pendidikan yaitu LIPIA (Lembaga Ilmu

Pengetahuan Islam dan Arab) yang mencetak kader-kader yang aktif mengembangkan

faham puritanisme Timur Tengah, serta mendistribusikan berbagai buku karya para

ideolog Islam seperti Hasan Al Banna, Sayyid Qutb, Abu A‟la Al Maududi dan

pemikir-pemikir Islam lainnya yang beraliran Wahhabi.82

Selain depolitisasi, Soeharto juga menerapkan kebijakan ganda terhadap umat

Islam dengan cara menumbuh-suburkan praktik ritual dan kesalehan individu.

Menurut Hefner rezim Orde Baru sangat jeli melihat agama sebagai basis bagi

moralitas publik dan benteng untuk melawan pengaruh liberalisasi Barat dan lawan

dari komunisme.83

Situasi tersebut membuat Orde Baru mengeluarkan kebijakan

building up atau pembinaan keagamaan yang terutama ditujukan di daerah-daerah

abangan di pedesaan.84

Kebijakan tersebut antara lain dilakukan dengan kewajiban

setiap warga negara untuk memeluk agama resmi mnenurut konstitusi, yaitu Islam,

Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Hefner menyebut kebijakan ini sebagai

“religionization”.85

Kebijakan ini memicu konversi besar-besaran masyarakat jawa

81

Wahid, ed. ibid, 82

M Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, Yogyakarta,

2008, LKiS, hal 90-91 83

Robert Hefner, Civil Islam: Muslim and Democratization In Indonesia, Princeton, 2008, Princeton

University Press, hal. 59 84

Hefner, ibid, 84 85

Lihat Robert W Hefner, Where Have all the Abangan Gone? hal. 71-79

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

54

abangan ke islam dan Kristen.86

Selain itu, pemerintah juga mewajibkan pengajaran

agama kepada setiap anak di sekolah-sekolah. Kebijakan ini membuat jumlah umat

Islam berkembang sementara praktek-praktek kelompok Abangan atau Islam nominal

perlahan menghilang.87

Kelas menengah-bawah yang menjadi sasaran dari kebijakan pembinaan

agama inilah yang nantinya mengambil peran besar dalam kebangkitan aktifitas dan

penciptaan kantong-kantong Islam politik di kota-kota besar. Menurut Hassan (2005)

kebijakan pembangunan Orde Baru seperti pemberantasan buta huruf, pembangunan

infrastruktur sekolah-sekolah terutama di desa terpencil yang bersamaan dengan

meningkatnya kemakmuran ekonomi membuat para orang tua bisa menyekolahkan

anak-anak mereka ke perguruan tinggi. Pembangunan infrastruktur jalan, jembatan,

stasiun pembangkit listrik dan pusat kesehatan membuat desa-desa pun terhubung

dengan dunia luar yang memicu gelombang urbanisasi dan meningkatnya tingkat

pendapatan, ditandai dengan kemampuan penduduk desa membeli radio dan televisi

yang memicu pola hidup baru dan konsumerisme. Sementara keluarga mampu bisa

menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi di kota, pemuda-pemuda desa

yang miskin yang tidak bersekolah beramai-ramai meninggalkan desa demi harapan

hidup yang lebih baik dan mendapat pekerjaan sebagaimana yang mereka lihat di

86

Untuk kajian ini baca Robert W Hefner “Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java.”

1987 dalam The Journal of Asian Studies 3:46:533-554 atau Robert W Hefner “The Political Economy

of Islamic Conversion in Modern East Java.” In William R. Roff (ed.), Islam and the Political

Economy of Meaning: Comparative Studies of Muslim Discourse, pp.53-78. Berkeley: University of

California Press 87

Hefner, Civil Islam, hal 84

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

55

media elektronik. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, kebanyakan dari mereka

menjadi buruh pabrik atau pekerja di sektor informal. 88

Pada saat yang kebijakan ekonomi Orde Baru telah menciptakan kesenjangan

sosial dan korupsi. Kebijakan ekonomi Orde Baru sendiri bercirikan industrialisasi,

meningkatnya kelompok pemodal yang kuat (Robison 1986), berkembangnya kelas

pekerja yang berada di perkotaan dengan upah rendah (Hadiz 1997), juga kelas

menengah profesional, serta konsumen yang berorientasi pada gaya hidup (Robison

1993).89

. Pada titik inilah, anak-anak muda baik yang bersekolah di kampus-kampus

atau bekerja di sektor informal menghadapi situasi yang tidak mereka duga seperti

perilaku masyarakat kota yang individualistis, persaingan hidup yang keras,

kesenjangan yang mencolok, gaya hidup yang mewah berbau barat serta godaan

produk-produk yang melambangkan kehidupan modern. Ketidakmampuan mengakses

atau menikmati semua hal tersebut pada akhirnya membuat mereka frustasi dan

membuat apa yang disebut Hassan (2005) sebagai “identitas yang terguncang”. Pada

saat itulah mereka mendapatkan perlindungan dari komunitas-komunitas keagamaan

yang mulai muncul di perkotaan yang menawarkan suasana kehidupan yang sama

sekali berbeda melalui diskusi-diskusi, pengajian yang menawarkan alternatif Islam

sebagai solusi bagi semua persoalan sosial yang mereka hadapi.90

88

Hassan, Laskar jihad, hal. 251-258 89

Vedi R. Hadiz, Political Islam in Post- Authoritarian Indonesia,CRISE WORKING PAPER, No.

74, February 2010, Center for Research on Inequality, Human Security and Ethicity, hal.24 90

Hassan, ibid

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

56

Di akhir tahun 1980-an, kebijakan Orde Baru terhadap umat Islam berubah

drastis. Soeharto mencoba untuk membangun kembali relasi politik dengan

kelompok-kelompok Islam.91

Caranya adalah dengan menekankan penggunaan

simbol-simbol Islam dalam wacana publik dan akomodasi terhadap kekuatan-

kekuatan sosial politik kelompok keagamaan.92

Strategi tersebut oleh para pengamat

merupakan cara Soeharto untuk mengamankan kekuasaannya. Kedekatan tersebut

dimulai dengan didirikannya Pengadilan agama, perbankan Islam serta serta

keputusan presiden untuk kompilasi hukum Islam.93

Bahkan pada tahun 1991

Soeharto menampilkan citra diri sebagai seorang santri Islam dengan menunaikan

ibadah haji ke Mekkah dan mengganti namanya menjadi Haji Muhammad Soeharto.94

Pemerintah juga memberi dukungan finansial untuk membentuk perguruan tinggi

Islam, membangun masjid-masjid, dan kebijakan pengajaran agama di lembaga

pendidikan umum, pencabutan larangan berjilbab di sekolah, serta mendukung

berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)95

pada tahun 1990.

Kebijakan-kebijakan tersebut membuat simbol-simbol dan identitas keislaman tampil

semarak di ruang publik.96

91

Noorhaidi Hasan, Faith and politics: the rise of the Laskar Jihad in the era of transition in

Indonesia, Jurnal Indonesia, No.73, 2002, p.163. 92

Hasan, ibid 162 93

Hasan, ibid 94

Andreas Ufen, Mobilising Political Islam: Indonesia and Malaysia Compared, Journal

Commonwealth & Comparative Politics Vol. 47, No. 3, 308–333, July 2009, hal. 17 95

Ufen, ibid 96

Kebijakan tersebut bukan tanpa maksud mengingat Soeharto kemudian mengajak DDII sebagai mitra

untuk menumpas kelompok oposisi pro-demokrasi yang menjadi ancaman baru bagi Orde Baru

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

57

c. Islam pasca Orde Baru

Kebangkitan Islam kembali menemukan momentumnya ketika rezim Orde

Baru tumbang pada tahun 1998, yang ditandai dengan munculnya berbagai gerakan

atau organisasi Islam dengan berbagai agenda dan model gerakan masing-masing.

Demokratisasi, eforia kebebasan serta tersedianya beragam saluran dan media untuk

menyuarakan aspirasi dimanfaatkan oleh organisasi dan kelompok Islam politik untuk

kembali menunjukkan eksistensinya, baik yang sudah beroperasi secara laten sejak

masa Orde Baru atau kelompok yang sama sekali baru. Tercatat antara lain Majelis

Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad dan kelompok-

kelompok Islam lainnya. Meski muncul dengan berbagai varian model gerakan dan

agenda, secara umum kelompok-kelompok Islam tersebut memiliki kesamaan

karakteristik yang memiliki akar sejarah yang panjang, yakni keinginan untuk

mengedepankan nilai dan praktek Islam dalam kehidupan sehari-hari secara total.

Salah satu organisasi keagamaan dengan perkembangan cukup pesat pasca

1998 adalah Majelis Tafsir Al Quran (MTA). Meskipun berdiri pada tahun 1972 atau

pada saat sedang berlangsungnya fenomena kebangkitan Islam di dunia internasional

sekaligus sebagai respon terhadap kebijakan Orde Baru yang dianggap tidak berpihak

kepada umat Islam, MTA menemukan momentum untuk berkembang dengan pesat di

era pasca Orde Baru yang memungkinkan organisasi ini tumbuh dan berkembang

hingga ke seluruh pelosok Indonesia, terutama di wilayah-wilayah pedesaan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

58

3. MTA sebagai Gerakan Purifikasi Agama di Tingkat Lokal

a. Dinamika sosial keagamaan di Surakarta

Surakarta, sebuah wilayah di Jawa Tengah dikenal memiliki dinamika sosial

keagamaan yang tinggi. Adanya keraton Surakarta dan Mangkunegaran menjadikan

Surakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa. Menariknya, Surakarta juga

memiliki sejarah panjang gerakan radikalisme yang bercorak keagamaan, baik zaman

pra-kemerdekaan maupun pasca reformasi. Selain itu, Surakarta juga menjadi salah

satu pusat tumbuhnya berbagai gerakan dan organisasi yang menggelorakan semangat

nasionalisme di zaman kolonial, termasuk di antaranya organisasi yang bercorak

keagamaan.

Organisasi keagamaan dengan motif keagamaan yang paling terkenal di

Surakarta adalah Sarekat Islam (SI). SI sendiri adalah gerakan nasionalisme bercorak

Islam pertama di nusantara yang berdiri di Surakarta pada tahun 1912. Organisasi

bermotif keagamaan Islam lainnya adalah Tentara Kanjeng Nabi Muhammad

(TNKM) yang bertujuan untuk membela kehormatan Islam, Nabi dan kaum

Muslimin. Organisasi ini didirikan oleh Tjokroaminoto pada tahun 1918 di Surabaya

sebagai reaksi atas sebuah tulisan dalam surat kabar Djawi Hiswara, yang dianggap

melecehkan Islam.97 Pasca revolusi kemerdekaan 1945, Surakarta menjadi basis dari

berbagai laskar-laskar gerilya yang didirikan oleh warga sipil dengan berbagai

97

Seorang anggota SI Surakarta bernama Djojodikoro menulis artikel yang dimuat di surat kabar Djawi

Hiswara. Cuplikan dalam artikel tersebut berbunyi ”Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. gin,

minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium”. Lihat Takashi Siraishi, Zaman Bergerak:

Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta; 1997, Pustaka Utama Grafiti, hal. 143-147

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

59

kepentingan masing-masing, termasuk organisasi dengan motivasi keagamaan dan

jihad yaitu Laskar Sabilillah.98

Pada tahun 1970-an berbagai organisasi Islam yang cenderung bercorak

puritan muncul dan berkembang pesat, seperti Jamaah Islamiyah (yang

direpresentasikan oleh Pesantren Al-Mukmin) Majelis Pengajian Islam

(direpresentasikan oleh pesantren modern Assalam, dan Majelis Tafsir Al-Quran).99

Belakangan, berbagai organisasi Islam muncul dan menunjukkan kecenderungan

orientasi yang lebih radikal dengan isu-isu yang lebih beragam ketika rezim Orde

Baru tumbang pada tahun 1998. Kelompok tersebut antara lain: Laskar Hizbullah

Sunan Bonang, Laskar Jundullah, Laskar Zilfikar, Laskar Salamah, Laskar Teratai

Emas, Laskar Honggo Dermo, Laskar Hamas, Laskar Hawariyyun, Barisan Bismillah,

Gerakan Pemuda Ka‟bah, Brigade Hizbullah, dan Majelis Ta‟lim al-Islah, Forum

Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front

Pemuda Islam Surakarta, HTI, Forum Umat Islam Surakarta, dan Jamaah Anshorut

Tauhid, Laskar Hizbullah Sunan Bonang, Laskar Jundullah, Laskar Zilfikar, Laskar

Salamah, Laskar Teratai Emas, Laskar Honggo Dermo, Laskar Hamas, Laskar

98

Laskar-laskar di Surakarta pada masa pasca Revolusi kemerdekaan 1945 antara lain Barisan Laskar

Banteng (BLR), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Pemberontak Republik Indonesia

(BPRI) serta Laskar Rakyat. Namun yang memainkan peran penting adalah lascar yang didirikan oleh

para pelajar seperti Tentara Pelajar (TP), Pasukan Satria, Laskar Kere, Barisan Polisi Istemewa Sekolah

Menengah Tinggi (BPISMT), Barisan Rakyat Jelata. Pada tahun 1946 muncul berbagai kelompok lokal

di pedesaan seperti Laskar Rakyat Surakarta di Plupuh, Sragen, Pemuda Laskar Rakyat, Pemuda

Penjaga Desa. Lihat Soejatno dan Benedict Anderson, Revolution and Social Tension in Surakarta

1945-1950, Indonesia, Vol.17, April 1974, 99-111, hal. 102 99

Muthoharun Jinan, Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta, Studi tentang Perluasan Gerakan

Majelis Tafsir Al Quran, makalah di Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) 2011 di Bangka

Belitung tanggal 10-13 Oktober 2011

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

60

Hawariyyun, Barisan Bismillah, Gerakan Pemuda Ka‟bah, Brigade Hizbullah, dan

Majelis Ta‟lim al-Islah. Dalam konstelasi lokal Solo, di samping kelompok-kelompok

di atas terdapat juga kekuatan-kekuatan radikal lain seperti Front Pemuda Islam

Surakarta (FPIS), Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM) serta Jamaah Anshrout

Tauhid (JAT).100

Salah satu isu penting yang sering diusung oleh kelompok-kelompok

tersebut adalah isu Kristenisasi.101

b. Latar belakang pendiri dan sejarah perkembangan MTA di Surakarta

Beberapa saat setelah mendirikan DDII, M. Natsir kemudian mengajak

koleganya di Masyumi untuk membangun cabang DDII di seluruh Indonenesia,

termasuk Solo. Dalam sebuah ceramahnya di Solo di akhir 1960-an, dia meminta

kader eks-Masyumi membangun pesantren dan rumah sakit untuk mengkounter

100

Zakiyuddin Baedhawy, Dinamika Radikalisme dan Konflik bersentimen Keagamaan di Surakarta,

Makalah untuk Annual Conference on Islamic Studies ke-10, Banjarmasin 1-4 November 2010 101

Berbagai isu Kristenisasi tersebut antara lain: 1) Anggota Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS)

melakukan mosi pada Pendeta Ahmad Wilson dalam acara dialog interaktif dengan tema “Usaha

Mengatasi Konflik Antarumat Beragama” yang disiarkan oleh Radio PTPN Rasitania Surakarta, 3

Maret 2000 yang menyatakan bahwa sebelum menjadi Muslim, Nabi Muhammad adalah pemeluk

agama Kristen. Pendeta Wilson kemudian diadukan ke Polisi oleh sejumlah tokoh Muslim dan

Anggota DPRD dari PPP, PKB, PK, dan PAN, sehingga radio tersebut terpaksa berhenti mengudara

beberapa hari karena sebagian peralatannya disita oleh Polisi sebagai barang bukti; 2) Pada 29 April

2001, Laskar Hizbullah Surakarta mendatangi sebuah stasiun radio PTPN Rasitania, Solo, untuk

meminta klarifikasi soal pemutaran film berjudul Patriot yang tiketnya di jual oleh radio swasta itu

karena dibarengi pula dengan pembagian angket kuis dan kaset yang berisi ajaran agama Kristen

kepada setiap pengunjungnya. Pemutara film digelar oleh Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia

(LPMI), lembaga gereja Kristen Protestan yang mengkhususkan pembinaan religius pada mahasiswa

dan anak-anak muda; 3) Pada 3 September 2005, Forum Koalisi Umat Islam Surakarta mendatangi dan

menyegel rumah tinggal seorang pendeta, Syarif Hidayatullah di Grogol, Sukoharjo karena si pemilik

ngotot hendak mendirikan gereja di kawasan warga Muslim meski ijin belum keluar (Gatra no. 44,

Senin, 12 September 2005). 4) Poltabes Surakarta meminta kepada pengurus Gereja Kristen Jawa

(GKJ) Manahan di Kota Solo untuk menghentikan program penjualan paket buka seharga Rp 500

dengan alasan demi menjaga kondusivitas setelah menerima pengaduan sejumlah elemen masyarakat

yang tidak setuju dengan kegiatan tersebut (Detiknews, 28 Agustus 2009). Lihat, Baedhowy, ibid

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

61

Kristenisasi yang menjadi isu penting di Solo pada saat itu. Pondok Ngruki, Yayasan

Rumah Sakit Islam (Yarsi) hospital, dan RS Kustati adalah respon dari seruan Natsir

tersebut. Ketika DDII berkembang, sekitar 90 masjid dibangun di Jawa Tengah.102

Pada situasi inilah embrio MTA mulai muncul. Pendiri MTA, Abdullah

Thufail Saputra adalah seorang pendakwah yang juga seorang pedagang batu permata

yang sering berkeliling ke berbagai wilayah di Indonesia. Dalam berbagai perjalanan

dagangnya, ia menyaksikan maraknya praktek-praktek keagamaan di kalangan umat

Islam yang menyimpang dari syariat Islam sekaligus adanya perpecahan dalam tubuh

umat Islam yang terwujud dalam berbagai kelompok atau organisasi.103

Ia aktif

menyampaikan gagasannya agar umat Islam mau kembali ke Al Quran melalui

berbagai ceramah atau pengajian, terutama di masjid Agung Surakarta atau di Balai

Muhammadiyah Surakarta.

Kesempatan Abdullah Thufail untuk menyebarkan gagasannya terbuka luas

mengingat pada saat itu ia bergabung dengan Badan Pelaksana Tabligh, suatu

lembaga yang berfungsi mengkoordinasikan para ulama di Solo yang memberikan

pengajian di masjid-masjid di Sukararta.104

Dalam organisasi ini juga tergabung

Abdullah Sungkar –yang kemudian mendirikan pesantren Al Mukmin Ngruki

bersama Abu Bakar Baasyir- dan Abdullah Marzuki, seorang pengusaha terkenal di

102

Muhammad Wildan, Mapping Radical Islamism In Solo A Study Of The Proliferation Of Radical

Islamism In Central Java, Indonesia, Jurnal Al-Jamiah, Vol. 46 No. 1, 2008, hal. 35-70 103

Majalah Respon, Ustadz Abdullah Thufail Saputro Meski Sakit Tetap Mengisi Pengajian, Edisi 268

XXVI, 20 September – 20 Oktober, 2012, hal 42, diterbitkan oleh Yayasan Majelis Tafsir Al Quran

(MTA) 104

Wawancara dengan Sektretaris I Yayasan MTA, Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

62

Surakarta. Mereka dikenal sebagai tiga tokoh dakwah penting di Surakarta. Mereka

merintis pengajian di beberapa tempat di Surakarta seperti Kebonan Sriwedari,

Punggawan, dan bersama sejumlah aktivis Islam lainnya merintis pengajian rutin

setelah dhuhur di Masjid Agung Surakarta.105

Selain menyelenggarakan pengajian setelah shalat dhuhur di Masjid Agung,

pada tahun 1969 para ulama di Solo meluaskan aktifitas mereka menjadi lebih intensif

dalam bentuk Madrasah Diniyah. Mereka juga membangun radio Radio Dakwah

Islam (RADIS) pada tahun 1967 untuk menjangkau dakwah yang lebih luas.

Belakangan, radio ini dilarang siaran pada tahun 1975 akibat relasi pasang surut Islam

dengan pemerintah.106

Belakangan, Abdullah Thufail tidak lagi bergabung dalam

lembaga tersebut karena adanya perbedaan pendapat dengan tokoh Islam lainnya.107

Dalam perkembangannya, Abdullah Thufail bersama dengan Abdullah

Marzuki –seorang pengusaha yang dikenal sebagai donatur berbagai kegiatan

keagamaan di Surakarta- mengembangkan sebuah organisasi bernama Majlis

Pengajian Islam (MPI).108

Semula organisasi ini merupakan kegiatan pengajian

105

Muthoharun Jinan, S.Ag, M.Ag, Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang

Perluasan Gerakan Majlis Tafsir Al Quran, Makalah Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)

2011 Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011 106

Wildan, ibid 107

Dalam versi lain, pada awalnya, Abdullah Thufail dan Abdullah Sungkar bersama-sama

mengadakan pengajian Masjid Agung, tetapi kemudian mereka berselisih pendapat dan Abdullah

Thufail kemudian keluar dari pengajian tersebut. Belakangan, Abdullah Sungkar bersama dengan Abu

Bakar Baasyir mendirikan Pondok Pesantren Al-Mukmin yang dikenal masyarakat luas sebagai

pesantren yang kerap berseberangan dengan pemerintah, terutama mengenai asas tunggal Pancasila.

Bersama Abdullah Sungkar, Baasyir kemudian mendirikan Jamaah Islamiyah setelah menolak ajakan

Abdullah Thufail bergabung di MTA. Abu Bakar Baasyir dan pesantren Ngruki kemudian dituding

berafiliasi dengan kelompok-kelompok yang ingin mendirikan negara Islam dan terlibat beberapa

tindak terorisme. Lihat Jinan, ibid 108

Jinan, ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

63

Majelis Ta‟lim di Jl. Yosodipuro Punggawan Surakarta yang digelar sejak tahun

1970. Di MPI, Abdullah Thufail bertindak sebagai pimpinan. Belakangan, Abdullah

Thufail keluar dari MPI dan pada tahun 1972 dan mengembangkan organisasinya

sendiri, Majelis Tafsir Al- Quran.

Keputusan Abdullah Thufail untuk berdakwah sendiri terjadi ketika dalam

sebuah pertemuan di Gedung Umat Islam Surakarta yang dihadiri oleh tokoh-tokoh

Islam setempat ia menyampaikan gagasannya untuk menyatukan berbagai lembaga

Islam dalam satu wadah sehingga tidak terpecah-pecah tidak mendapat respon dari

para tokoh Islam lainnya. Abdullah Thufail mengawali kegiatan dakwahnya dengan

mendirikan pengajian tafsir dengan peserta hanya beberapa orang. Dalam

perkembangannya, gagasan-gagasan Abdullah Thufail yang ia sampaikan dalam

pengajiannya segera saja banyak mendapat perhatian dan respon dari masyarakat

karena ketegasannya dalam menanggapi suatu permasalahan. 109

Ia sendiri dikenal

sebagai pendakwah yang ulung dengan kemampuan orasi yang memikat dengan suara

yang lantang dan tegas. Salah satu kisah yang menceritakan ketegasannya ketika

awal-awal membuka pengajian, peserta pengajian yang sudah hadir tidak serta merta

bisa langsung mengaji, tetapi harus menunggu dimulainya pengajian sampai berjam-

jam kemudian hanya untuk mengetahui apakah peserta benar-benar serius untuk

mengikuti pengajian. 110

Selain itu, komitemn yang tinggi juga menjadi ciri dari MTA

109

Majalah Respon, Ustadz Dullah Tutup sang pendiri majlis Dakwah MTA, edisi 268 XXVI 20

September-20 Oktober 2012 hal 11 110

Wawancara dengan Ustadz Suradi, Ketua MTA Perwakilan Blora

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

64

adalah pengajian diselenggarakan dengan presensi kehadiran setiap anggotanya

dengan maksud menjaga komitmen peserta pengajian.

Selain karena kemampuan dakwahnya, jaringan Abdullah Thufail yang luas

sebagai seorang pedagang membuat pengajian yang dirintisnya segera berkembang

dengan pesat.111

Abdullah Thufail kemudian membuka pengajian untuk umum yang

diistilahkan dengan gelombang. karena pada saat itu pemerintah menetapkan bahwa

setiap perkumpulan harus berupa lembaga resmi, maka pengajian tafsir yang didirikan

Abdullah Thufail didaftarkan ke Departemen Sosial dengan nama Majelis Tafsir Al

Quran berbentuk yayasan pada tanggal 23 Januari 1974. 112

Tidak hanya dalam kegiatan dakwah, Abdullah Thufail juga terlibat dalam

beberapa peristiwa penting di Solo. Sesaat setelah peristiwa G30S/PKI pecah pada

tahun 1965, ia aktif dalam gerakan yang melawan aksi kelompok komunis di

Surakarta. Pada tahun 1966 Abdullah Thufail menjadi Ketua Koordinasi Kesatuan

Pemuda Islam (KKPI) sejak tahun 1966-197 yang merupakan gabungan dari berbagai

organisasi di Surakarta, seperti Muhammadiyah, Pemuda Al-Irsyad, Pemuda Anshor,

Pemuda Persatuan Syarikat Islam Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam yang aktif

melawan pengaruh PKI.113

Pada bulan September 1992, Abdullah Thufail meninggal dunia.

Sepeninggalnya, kepemimpinan MTA dilanjutkan oleh Ahmad Sukina. Sukina

111

Jinan, ibid 112

Majalah Respon, Ustadz Dullah Tutup sang pendiri majlis Dakwah MTA, edisi 268 XXVI 20

September-20 Oktober 2012 hal 11 113

Jinan, ibid

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

65

disebut sebagai salah satu murid terbaik Abdullah Thufail Saputra. Ia bergabung

dengan MTA pada tahun 1974 atau dua tahun setelah MTA berdiri.114

Menariknya,

berbeda dengan organisasi Islam lainnya, Sukina menjadi pemimpin organisasi

sekaligus imam MTA dipilih secara musyawarah antar pengurus, bukan melalui

pemilihan. Salah satu yang membuat Sukina dipilih adalah karena kedekatan dan

kesetiaannya dalam mengabdikan diri kepada imam sebelumnya, Abdullah Thufail.115

Sebagai seorang pemimpin sebuah organisasi keagamaan, Sukina hampir tidak

memiliki pengalaman belajar keagamaan dari lembaga pendidikan keagamaan

tradisional, semisal pesantren. Ia lahir di Gawok Sukoharjo, dari pasangan Siti

Sadiyah dan Muhammad Bisri. Kedua orang tuanya dikenal sebagai aktivis Masyumi

dan Muhammadiyah yang giat dalam dakwah Islam. Dalam bidang keagamaan,

Sukina belajar dari kakeknya, Abdullah Manan, seorang aktivis Masyumi di

Surakarta. Menamatkan pendidikan dasar dan menengah di Sragen, Sukina

melanjutkan pendidikan PGA di Surakarta116

dan memperoleh sarjana pendidikan dari

UNS Surakarta.117

Namun dibawah kepemimpinannya, MTA berkembang dengan pesat dan terus

mendapatkan pengikut. Kini, organisasi MTA memiliki 52 perwakilan (setingkat

114

Majalah Respon, Ustadz Drs Ahmad Sukina Membawa MTA Diperhitungkan di Tingkat Nasional,

edisi 268 XXVI 20 September-20 Oktober 2012 hal 43 115

Jinan, ibid 116

Jinan, ibid 117

Syaefudin Zuhri, “Gerakan Purifikasi di Jantung Peradaban Jawa: Studi Tentang Majelis Tafsir Al

Quran (MTA)”, dalam Gerakan Wahhabi di Indonesia (Dialog dan Kritik), Prof. K Yudian Wahyudi,

Ph.D. ed. 2009. Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

66

kabupaten) dan lebih kurang 245 cabang (di bawah kabupaten).118

Jumlah tersebut

masih terus berkembang. Hampir setiap bulan, berbagai perwakilan atau cabang baru

diresmikan.

Salah satu faktor berkembang pesatnya MTA di bawah kepemimpinan Sukina

adalah penggunaan radio sebagai media dakwah. Jangkauan yang luas dan masih

digunakannya radio terutama oleh masyarakat di pedesaan menjadi kekuatan dakwah

MTA menggunakan radio. Banyak cabang baru atau binaan tumbuh di berbagai

daerah yang awalnya hanya mendengar radio.119

Selain itu, MTA juga berkembang

menjadi organisasi yang modern dengan mengembangkan televisi, media online,

majalah, buletin, usaha ekonomi, percetakan, pertokoan serta lembaga pendidikan dari

TK sampai SMA.

Satu hal yang menarik, sebaga organisasi lokal, MTA berhasil menjalin

jaringan dengan berbagai pihak, termasuk dengan tokoh-tokoh nasional dari berbagai

kalangan yang silih berganti hadir dalam berbagai kegiatan MTA, terutama pengajian

Ahad Pagi. Puncaknya adalah ketika presiden SBY datang dan meresmikan gedung

pengajian berlantai empat pada tanggal 9 Februari 2008.120

118

Wawancara dengan Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012 119

Majalah Respon, Ustadz Drs Ahmad Sukina Membawa MTA Diperhitungkan di Tingkat Nasional,

edisi 268 XXVI 20 September-20 Oktober 2012 hal 43 120

Berbagai tokoh yang hadir antara lain Akbar Tanjung, Azwar Anas, Zaenuddin MZ, Din

Syamsuddin, Shalahuddin Wahid, Wiranto, MS Ka‟ban, Surya Dharma Ali dan tokoh-tokoh nasional

lainnya. Majalah Respon, edisi 268, hal 43

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

67

C. Karakteristik Gerakan dan Model Dakwah MTA

1. Doktrin dan Ideologi Organisasi

Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, berdirinya MTA tidak lepas

dari gagasan pendirinya Abdullah Thufail yang melihat kemunduran umat Islam pada

tahun 1960 dan 1970 sebagai akibat dari kurangnya pemahaman dan pengamalan

Islam secara benar. Selain itu, kemunduran tersebut merupakan akibat dari masih

dilakukannya praktek-praktek keagamaan yang bercampur dengan berbagai ajaran

lain. Satu-satunya jalan untuk menuju pada kejayaan Islam adalah dengan

mengamalkan ajaran Islam berdasar Al Quran dan Hadits secara murni dalam seluruh

aspek kehidupan, sekaligus meninggalkan berbagai praktek yang tidak ada sumber

hukumnya.

Dalam konteks gerakan, MTA bisa dikategorikan sebagai gerakan purifikasi

agama yang berupaya menghapus elemen-elemen non-Islami dalam pemahaman dan

praktek keagamaan yang secara umum dipengaruhi oleh pemikiran Ibn abd Wahhab.

Hal tersebut bisa dilihat dari ajaran MTA yang menolak berbagai praktek keagamaan

yang lazim ditemui di masyarakat terutama di pedesaan, seperti ziarah kubur,

slametan, kenduri dan praktek lainnya. menurut MTA, praktek tersebut adalah bid‟ah

karena tidak ditemukan dalilnya baik dalam Al Quran maupun Hadits nabi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

68

MC Ricklefs menggolongkan MTA sebagai organisasi fundamentalis

modernis.121

Tujuan utama organisasi ini adalah mengajak umat Islam mengamalkan

ajaran Islam sesuai dengan Al Quran dan Hadits dengan penafsiran tekstual dan

menolak segala macam bentuk penafsiran kontekstual yang menghasilkan amalan

ibadah yang dianggap bid‟ah yang dikhawatirkan bisa merusak ibadah seseorang.

Sementara menurut Quintan Wiktorowitz dalam konteks kategori gerakan salafi,

MTA tergolong dalam kelompok Salafi purist, yakni tidak berkeinginan untuk

membentuk negara Islam tetapi lebih memilih untuk berdakwah di tingkatan

masyarakat bawah dan berpendapat bahwa jika semua tingkat masyarakat memahami

Syariat Islam dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, Syariat Islam

akan terwujud dengan sendirinya.122

Sekilas, tujuan MTA sama seperti organisasi puritan lainnya di tanah air,

semisal Muhammadiyah atau Persis yang juga mengajak umat Islam meninggalkan

praktek ibadah yang seperti bid‟ah dan khurafat (takhayul).123

Begitu juga dengan

metode dakwah yang mengadopsi gagasan-gagasan yang lebih modern, misalnya

melalui pendirian sekolah serta penggunaan media baik cetak maupun elektronik.

Namun, berbeda dengan organisasi puritan lainnya, MTA memiliki karakteristik yang

khas, antara lain model kepemimpinan yang hirarkis, pola kaderisasi dan keanggotaan

121

MC Ricklefs, Religion, Politics and Social Dynamics in Java: Historical and Contemporary

Rhymes dalam Greg Barton dan Sally White, ed. “Expressing Islam: Religious Life and Politics in

Indonesia”, Singapore, ISEAS, 2008, hal 126-127 122

Ricklefs, ibid, 123

Ahmad Sukina mengatakan bahwa Muhammadiyah terlalu lunak dalam menganjurkan amalan Islam

yang bebas dari bidah kepada anggotanya. Lihat Muhammad Wildan, Mapping Radical Islamism in

Solo: A Study of the Proliferation of Radical Islamism in Central Java, Indonesia, Earlier version of

paper in fellowship at ISIM, Leiden University, the Netherlands in March-April 2007

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

69

yang ketat, serta berbagai aturan yang berfungsi untuk mengatur perilaku sekaligus

membangun loyalitas dan solidaritas organisasi.

Karakteristik MTA tersebut tidak lepas dari peran Abdullah Thufail

membangun semacam kerangka dasar organisasi, yang kemudian menjadi landasan

dari MTA. Beberapa pemikiran MTA tersebut antara lain; pertama, konsep mengenai

imamah dan jama‟ah. Bagi Abdullah Thufail, suatu gerakan atau organisasi umat

Islam harus disatukan oleh baiat dan imamah. Imam merupakan pemimpin yang wajib

diiukuti oleh para jamaah. Kedua, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan umat

Islam dari keterbelakangan adalah dengan kembali mempelajari dan mengamalkan

Al-Quran dan al-Sunnah. Ketiga, agar dakwah Islam Islam bisa terus berkembang

harus dilakukan dengan dua macam jihad, yaitu jihad dengan jiwa dan jihad dengan

harta. Dalam hal ini, pengertian jihad dengan jiwa artinya bersungguh-sungguh

mengerahkan seluruh hidupnya untuk berdakwah.124

Kerangka pemikiran tersebut

mewarnai MTA sebagai sebuah organisasi dakwah sekaligus suatu komunitas dengan

berbagai aturan yang mengikat sekaligus menyatukan warga MTA di seluruh

Indonesia.

Dalam konteks ajaran, MTA menyebut bahwa mereka tidak jauh berbeda

dengan organisasi Islam lainnya. Dalam menafsirkan Al Quran, mereka mengambil

referensi dari buku-buku tafsir yang sudah ada. Buku tafsir Al Quran yang mereka

pelajari berasal dari terbitan Departemen Agama, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu

124

Jinan, ibid

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

70

Abbas, dan Tafsir Al-Maraghi yang secara substansi juga dipakai oleh kebanyakan

umat Islam di Indonesia.

Meski demikian, dalam menafsirkan ayata-ayat Al Quran terlihat bahwa MTA

menafsirkan al Quran sesuai dengan ideologi puritan mereka antara lain melalui

adanya penerbitan tafsir Majelis Tafsir Al Quran yang menunjukkan kentalnya

ideologi puritan mereka.125

Dalam prakteknya, pemahaman mereka terhadap tafsir

tersebut sangat tekstual dan mengabaikan interpretasi diluar apa yang tertulis dari

referensi yang mereka pakai dan didasarkan pada pemahaman utama mereka

mengenai upaya purifikasi agama dari ajaran atau pengaruh di luar Islam. Hal ini

berimplikasi pada pandangan bahwa praktek keagamaan yang dilakukan oleh MTA

adalah benar, sementara yang dilakukan umat Islam di luar MTA salah dan

menyimpang, terutama mereka yang mengamalkan praktek-praktek keagamaan secara

sinkretis.

2. Model Kepemimpinan dan Struktur Organisasi

Salah satu karakter yang membedakan MTA dengan organisasi lain adalah

pola kepemimpinan yang hirarkis dan model keanggotaan yang ketat. Pola tersebut

berfungsi untuk menjaga komitmen terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip Islam sesuai

dengan Al Quran dan Hadits sekaligus membangun solidaritas dan ketaatan terhadap

organisasi sebagai manifestasi dari menjadi seorang muslim yang utuh.

125

Sunarwoto, Antara Tafsir dan Ideologi Telaah Awal atas Tafsir Al Quran MTA, Jurnal Refleksi, Vol

XII No 2 Oktober 2011, hal 128

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

71

Model kepemimpinan MTA terdiri dari kepengurusan yang berjenjang dari

tingkat pusat, kemudian perwakilan (setingkat kabupaten), disusul cabang (setingkat

kecamatan), dan tingkatan paling bawah adalah yaitu kelompok. Pimpinan di masing-

masing tingkatan tidak hanya dalam konteks manajerial, tetapi juga sebagai orang

yang dimintai jawaban atas segala persoalan, baik agama atau kehidupan sosial

ekonomi. Keputusan-keputusan strategis dan instruksi-instruksi yang berkaitan

dengan kemajuan organisasi diambil oleh pengurus pusat dan harus dipatuhi oleh

seluruh anggota sampai di tingkat paling bawah.

Secara hirarkis, pola kepemimpinan MTA dikendalikan oleh kepengurusan

pusat yang berada di Surakarta. Ketua umum bertindak selaku posisi tertinggi di

organisasi sekaligus pada saat yang sama menjadi imam tertinggi yang menjadi

rujukan untuk masalah keagamaan bagi seluruh warga MTA. Dengan demikian, bisa

dikatakan MTA menganut model kepemimpinan yang tunggal dan sentralistik.126

Di

tingkatan selanjutnya adalah perwakilan yang merupakan organisasi setingkat

kabupaten atau wilayah. MTA perwakilan ini membawahi MTA Cabang atau

organisasi setingkat setingkat kecamatan. Kelompok menjadi struktur paling kecil,

yang terdiri dari 3-7 orang.

Dengan pola organisasi yang hirarkis, MTA perwakilan, cabang atau bahkan

kelompok tidak bisa mengambil keputusan penting sendiri-sendiri, tetapi harus

melalui konsultasi dan koordinasi dengan kepengurusan pusat. Begitu juga setiap

126

Jinan, ibid

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

72

persoalan yang dihadapi organisasi atau yang dialami anggota baik untuk urusan

keagamaan maupun persoalan lainnya dipecahkan secara berjenjang di masing-

masing kelompok, lalu jika tidak selesai di bawa ke tingkat cabang, selanjutnya

perwakilan sampai ke pusat.127

Selain itu, model kepemimpinan MTA juga sangat berbeda dengan organisasi

puritan modern lainnya. MTA tidak mengenal pemilihan ketua atau pengurus secara

periodik. Hal tersebut mengikuti pola kepemimpinan nabi dan para sahabat, di mana

pimpinan ditunjuk berdasarkan kapasitas.128

Hal tersebut bisa dilihat dari proses

peralihan kepemimpinan dari Abdullah Thufail ke Ahmad Sukina.

3. Kegiatan dan Rekrutmen Anggota

Sesuai dengan namanya, organisasi dakwah MTA memfokuskan diri pada

kegiatan dakwah untuk mempelajari, memahami dan meinterpretasikan Al Quran.

Dalam berbagai kesempatan, Ahmad Sukina selalu menjelaskan bahwa MTA bukan

organisasi yang menafsirkan Al Quran, melainkan tempat mempelajari Al Quran.

Salah satu kegiatan yang menjadi ciri khas MTA adalah pengajian Ahad Pagi.

Acara ini berlangsung setiap hari minggu di gedung MTA pusat dan dipimpin

langsung oleh ketua umumnya Ahmad Sukina. Peserta adalah anggota MTA dan

masyarakat umum dari berbagai kalangan. Dalam pengajian ini, setiap peserta

mengajukan pertanyaan mengenai persoalan agama maupun persoalan kehidupan

127

Catatan lapangan dan wawancara dengan Ustadz Suradi, ketua MTA perwakilan Blora 128

Wawancara dengan Sekretaris MTA Pusat Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

73

sehari-hari yang dijawab langsung oleh Ahmad Sukina. Pengajian ini menjadi andalan

MTA dalam merekrut anggota karena disiarkan melalui radio satelit dan internet

sehingga bisa menjangkau seluruh wilayah dan mampu diakses semua kalangan,

terutama mereka yang berasal dari pedesaan. Banyak anggota MTA yang mengaku

bergabung dengan MTA setelah mendengar pengajian Ahad Pagi melalui radio.129

Selain pengajian Ahad Pagi yang terbuka untuk umum, MTA juga menggelar

pengajian yang khusus dihadiri oleh para anggotanya. kegiatan ini diselenggarakan

oleh masing-masing cabang, biasanya digelar seminggu sekali dengan guru dari pusat

atau daerah yang sudah mendapat rekomendasi dari pusat. Misalnya di MTA

Perwakilan Blora menggelar pengajian setiap Selasa sore dengan seorang ustadz dari

Surakarta.130

Khusus untuk perwakilan Blora, hanya ada dua orang guru yang bisa

mengajar, yaitu Suradi, ketua MTA perwakilan Blora dan Suwanto yang berasal dari

Bangkerep, Blora.

Selain pengajian khusus anggota di masing-masing perwakilan atau cabang,

ada juga pengajian khushusi, yaitu pengajian yang diselenggarakan khusus untuk

anggota yang dianggap memiliki kapasitas tertentu dan mereka yang telah

membaiatkan diri kepada sang imam (ketua umum) MTA.131

Anggota Khushusi

biasanya mereka adalah pengurus di masing-masing perwakilan atau cabang serta

anggota biasa yang dianggap layak dan memiliki komitmen tinggi atau mereka yang

129

Wawancara dengan Suraji, salah seorang warga MTA berasal dari Purwodadi. tanggal 9 September

2012 di kantor pusat MTA. Ia mengaku mengenal MTA pertama kali dari radio. 130

Catatan lapangan 131

Jinan, ibid, hal 594

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

74

sudah lama bergabung dengan MTA.132

Kegiatan ini diselenggarakan setiap hari

Jumat di kantor pusat MTA. Para peserta terbagi dalam beberapa kelas dan dipimpin

oleh seorang guru.133

Pengajian ini diselenggarakan setiap hari Jumat di kantor pusat

MTA dengan peserta pengurus maupun anggota khusus.

Selain itu, pengajian di MTA memiliki ciri khas. Jika pengajian pada

umumnya tidak ada interaksi langsung atau penceramah berbicara dan pendengar

menyimak, di pengajian MTA –baik pengajian terbuka atau khusus anggota- setiap

setiap orang bebas bertanya persoalan apapun, baik persoalan agama atau kehidupan

sehari-hari. Peserta juga membawa pena, buku catatan dan Al Quran terjemahan.

Dalam pengajian ini juga disebarkan brosur –istilah yang memang disebut oleh MTA-

yang berisi kumpulan ayat al-Quran dan hadis beserta terjemahannya sesuai dengan

tema yang diajarkan pada hari itu yang dikeluarkan secara resmi oleh pengurus MTA

pusat.

Yang menarik dari pengajian tertutup yang dihadiri oleh anggota adalah

adanya presensi atau pengecekan kehadiran anggota. Sebelum seorang ustadz

memulai pengajian, ia selalu menanyakan siapa saja anggota yang tidak hadir berikut

alasannya. Jika selama kurun waktu tertentu seorang anggota tidak hadir tanpa

keterangan yang jelas, ia bisa dikeluarkan dari MTA. Adanya presensi tersebut

dimaksudkan untuk menjaga ketertiban dan komitmen anggota dalam belajar agama,

132

Wawancara Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012 133

Catatan lapangan di kantor perwakilan MTA Blora dan dan kantor pusat MTA Surakarta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

75

karena sebagai anggota MTA mereka punya aturan dan kewajiban yang harus

ditaati.134

Keanggotaan MTA dilandaskan atas pemikiran Abdullah Thufail bahwa agar

berkembang dengan baik umat Islam harus disatukan oleh baiat dan imamah, model

perekrutan keanggotaan MTA dilakukan secara berjenjang dengan baiat atau loyalitas

sebagai syarat untuk masuk ke dalam keanggotaan MTA. Orang yang bergabung

dengan MTA biasa disebut dengan istilah warga. Istilah ini dipilih untuk menghindari

sebutan ”anggota”, karena MTA merupakan Yayasan memiliki pengurus tetapi tidak

memiliki anggota.135

Menurut Suradi, istilah warga merupakan strategi dari ustad

Abdullah Thufail selaku pendiri MTA pada masa Orde Baru karena tidak secara

spesifik menunjukkan identitas keislaman, semisal istilah Jamaah yang pada masa

Orde Baru identik dengan gerakan Islam garis keras.136

Untuk menjadi warga MTA, seseorang harus melalui beberapa tahapan.

Pertama, seorang yang akan bergabung harus terlebih dulu mengikuti pengajian MTA

di tempat dia tinggal terdekat atau mengikuti pengajian Ahad Pagi dengan status

sebagai pendengar (mustami‟). Selanjutnya calon tersebut diharuskan mengikuti

pengajian baik secara berkelompok atau secara pribadi selama beberapa kali. Tahap

berikutnya adalah pembinaan, yaitu tahapan di mana calon yang dinilai serius dalam

mengikuti pengajian calon warga diharuskan mengisi formulir peserta yang berisi data

pribadi, kerelaan menjadi anggota sekaligus menyetujui setiap aturan yang mengikat

134

Wawancara dengan Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September dan catatan lapangan 135

Jinan ,ibid 136

Wawancara dengan Ustadz Suradi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

76

mereka sebagai warga MTA. Aturan yang harus ditaati oleh setiap anggota yang

bergabung dengan MTA adalah: 1)Niat ikhlas menuntut ilmu; 2) Bermujahadah

(bersungguh-sungguh –penulis) untuk memahami pelajaran; 3) Bermujahadah

meyakini dan mengamalkan isi pelajaran tingkat perorangan, rumah tangga dan

masyarakat; 4) Tertib dan bersih dalam berpakaian, sopan dalam pembicaraan di

dalam maupun di luar pengajian; 5) Menjaga ketertiban masuk dan keluar ruang

belajar; 6) Menjaga dan menghindari pergaulan bebas pria dan wanita; 7)

Menyebarluaskan isi pelajaran kepada keluarga dan masyarakat dengan kasih sayang,

tanpa pamrih dan mengharap ridha Allah Swt; 8) Tidak masuk pengajian tiga kali (3x)

berturut-turut tanpa ijin, dinyatakan keluar dari Majlis Tafsir Al Quran. 137

Tahap

ketiga atau terakhir adalah kemantapan, yakni bersamaan dengan proses pembinaan,

kelompok binaan diresmikan menjadi cabang atau tersendiri atau bergabung dengan

cabang yang sudah ada.

Selain kegiatan pengajian Ahad Pagi dan di masing-masing cabang atau

perwakilan, MTA juga menggelar kegiatan yang mungkin tidak ditemui di organisasi

Islam lainnya. antara lain adalah kegiatan Nafar (bahasa arab: rombongan) atau

kegiatan kunjungan silaturahim warga MTA ke wilayah lain yang dilakukan setiap

bulan Ramadhan. Khusus untuk kegiatan ini, seorang warga MTA harus

mendaftarkan dirinya untuk mengikuti kegiatan di tempat lain ke kantor pusat MTA,

di mana pengurus pusat kemudian menentukan penempatan seorang warga. Bisa jadi

137

Sumber dari Lembar Pernyataan Peserta Cabang/Gelombang, Yayasan Majlis Tafsir Al Quran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

77

seorang warga MTA di Blora mengikuti nafar di kota lain, atau bahkan di provinsi

atau pulau lainnya. Dengan demikian, terjadi interaksi dan berbagi pengalaman antar

anggota yang berasal dari wilayah yang berbeda. Selain itu juga terdapat kegiatan

insidental seperti Pengajian Akbar saat peresmian Cabang atau Perwakilan baru, di

mana warga MTA dari seluruh Indonesia datang dan menjadi gambaran kesolidan

organisasi dan pesatnya perkembangan MTA.

4. Pola Interaksi dan Solidaritas Anggota

Jenjang organisasi yang hirarkis, model rekrutmen anggota yang ketat, aturan

yang mengikat, serta berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan secara terjadual

dan rapi telah membuat MTA menjadi organisasi dengan anggota yang memiliki

loyalitas dan ketaatan terhadap pimpinan, solidaritas keanggotaan yang kuat serta

komitmen dan disiplin yang tinggi dalam menjalankan ajaran-ajaran keagamaan

dalam kehidupan sehari-hari.

Interaksi keanggotaan antar warga MTA dijabarkan dalam prinsip yaitu ta‟ruf,

tafahum, dan takaful. Ta‟ruf artinya sesama aggota saling mengenal satu dengan

lainnya. Kemudian Tafahum, artinya saling memahami satu sama lain. Sedangkan

Takaful artinya saling membantu dan bekerja sama. Konsep ini diambil dari

pemikiran ideolog Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna138

Ketiga konsep tersebut

138

Wawancara dengan Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012. Sebagaimana dijelaskan dalam

bagian lain pada bab ini, Hasan Al Banna (1906-1948) adalah ideolog organisasi Ikhwanul Muslimin

yang berdiri di Mesir. Konsep ini ia jabarkan dalam bukunya Majmaatul Rasail atau diterjemahkan

menjadi. Lihat Himpunan Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, ebook tanpa tahun dan penerbit.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

78

terutama diamalkan dalam kelompok yang terdiri dari 5-7 orang, di mana kelompok

berfungsi sebagai ajang untuk mengulang pelajaran sekaligus mengamalkan apa yang

sudah mereka pelajari. Dari kelompok inilah solidaritas dan persaudaraan antar

sesama warga tumbuh dan berkembang karena prinsip dalam Islam setiap umat Islam

adalah bagaikan satu tubuh yang saling berhubungan satu sama lain.139

Dengan konsep tersebut, MTA menggalang jaringan, solidaritas dan loyalitas

anggotanya di berbagai tempat. Setiap warga bisa meminta tolong warga lainnya, baik

dalam persoalan keagamaan atau urusan ekonomi, bisnis, pekerjaan atau urusan

lainnya. Dengan konsep ini maka seorang warga merasa menjadi bagian dari suatu

komunitas besar yang menaungi dirinya baik dari segi keagamaan maupun sosial

ekonomi, yang mana hal tersebut mungkin tidak ia jumpai di luar kelompoknya.

Dengan konsep tersebut, tidak heran jika anggota MTA yang berasal dari

berbagai latar belakang yang berbeda memiliki solidaritas dan kebersamaan yang

tinggi. Mereka memiliki ikatan yang kuat sebagai umat Islam yang memiliki

komitmen untuk mengkaji, memahami dan mengamalkan tuntunan Islam secara

murni. Dalam perkembangannya, solidaritas dan kebersamaan tersebut sangat

berfungsi menguatkan komitmen mereka sebagai muslim puritan di tengah kehidupan

masyarakat di sekitar mereka yang kebanyakan masih menjaga dan menjalankan

berbagai praktek agama yang bercampur tradisi lokal. Di banyak tempat, perilaku

keagamaan yang ketat dan kehidupan sehari-hari yang cenderung berbeda membuat

139

Wawancara dengan Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

79

warga MTA sering mendapat kecaman dari masyarakat lainnya. Namun bagi warga

MTA, hal itu tidak menyurutkan mereka terhadap apa yang mereka yakini, dan

menganggap hal tersebut sebagai konsekuensi yang harus ditanggung demi menjadi

seorang muslim yang utuh (kaffah), yakni muslim yang menjalankan agamanya

berdasar sumber asli, yaitu Al Quran dan Hadits.

5. Jihad Harta dan Jihad Diri

Salah satu konsep paling utama dari MTA adalah mengenai Jihad. Dalam

pandangan MTA, agar dakwah Islam Islam bisa terus berkembang harus dilakukan

dengan dua macam jihad, yaitu jihad dengan jiwa dan jihad dengan harta.

Jihad dengan harta ini menjadi ciri khas MTA yang berbeda dengan organisasi

keagamaan Islam lainnya, yakni berkaitan dengan konsep Zakat dan Infaq. Dalam

pemahaman yang dianut sebagian besar umat Islam di Indonesia, mengeluarkan zakat

harta sebesar 2,5 persen harta merupakan kewajiban jika telah memenuhi jumlah harta

tertentu dalam satu tahun (nishob). Namun di MTA zakat harus dikeluarkan oleh

seluruh anggotanya setiap kali mendapat penghasilan, baik harian maupun bulanan.

Dana yang terkumpul baik di pusat, perwakilan atau cabang dikelola sendiri dan

digunakan sebagai dana untuk membiayai infrastruktur dan operasional untuk

kegiatan-kegiatan MTA yang dimaknai sebagai perjuangan untuk menegakkan agama

Allah, atau jihad fi sabilillah. Dengan cara seperti ini tidak heran jika MTA memiliki

infrastruktur yang lengkap dan modern, seperti gedung megah, sekolah-sekolah, radio

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

80

dan televisi serta untuk membiayai berbagai kegiatan lainnya yang memerlukan dana

cukup besar.

Selain zakat wajib, kegiatan operasional MTA juga didukung dari sumbangan

atau infaq. Sama seperti zakat yang ditekankan sebagai bagian dari perjuangan

menegakkan Islam, infaq atau sumbangan sukarela di MTA menjadi kata kunci yang

selalu di sampaikan kepada warga anggota MTA sebagai bagian tak terpisahkan

dalam menegakkan dakwah Islam.

Sementara konsep Jihad jiwa adalah bersungguh-sungguh mengerahkan seluruh

hidupnya untuk berdakwah. Dalam prakteknya, seluruh anggota MTA dituntut untuk

mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan di cabang, perwakilan atau pusat

baik yang sifatnya rutin seperti pengajian Ahad Pagi atau kegiatan insidental seperti

peresmian-peresmian cabang MTA di seluruh Indonesia termasuk kegiatan Nafar

selama bulan Ramadhan dimana anggota MTA dari satu cabang dikirim ke tempat

lain baik di lokal atau ke seluruh wilayah Indonesia selama satu bulan penuh untuk

belajar agama sekaligus membangun jejaring dengan anggota lainnya.

D. Kesimpulan

Melalui uraian di atas bisa diperoleh gambaran mengenai MTA yang berdiri

pada tahun 1972 di Surakarta atau pada situasi di saat umat Islam di seluruh dunia

sedang bangkit dari keterpurukan sekaligus berupaya meraih kejayaannya kembali

melalui jargon kembali kepada Al Quran dan Sunah. Tumbuh sebagai organisasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

81

dakwah lokal yang bertujuan menyeru umat Islam untuk mengamalkan praktek Islam

yang total sekaligus bebas dari pengaruh dari luar Islam, MTA berkembang pesat di

hampir seluruh Indonesia. Secara khusus, MTA mendapatkan banyak pengikutnya di

pedesaan-pedesaan yang masyarakatnya masih kental dengan berbagai tradisi dan

praktek keagamaan yang bercampur dengan kepercayaan lokal. Blora, terutama di

wilayah pedusunan Bangkerep menjadi salah satu ikon dan gambaran sejarah

perkembangan MTA yang mencakup warga yang awalnya masih kental dengan tradisi

lokal, kemudian melakukan konversi menuju praktek pengamalan yang ketat dan

puritan dengan segala konsekuensi dan identitas baru mereka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

82

BAB III

DINAMIKA BANGKEREP : ANTARA TRADISI, MODERNITAS DAN

PURITANISME

A. Pengantar

Ayo Podho Solat

Kanggo sangu neng akherat

Pitulas rekaat rino wengi ojo telat

Yen jejek solate bakal ngadek agamane

Yen ninggal solate bakal rubuh agamane

Senja itu, alunan irama menggunakan pelantang suara memecah keheningan

di sebuah dusun kecil di Blora, Jawa Tengah. Sholawatan140

yang mengalun merdu

dengan nada menyerupai lagu Jawa populer caping gunung141

tersebut berasal dari

sebuah masjid kecil berdinding semi permanen yang terletak tepat di tengah dusun.

Hampir bersamaan, suara adzan terdengar lantang dari sebuah masjid megah yang

hanya terletak sekitar lima belas meter sebelah barat masjid sebelumnya. Berbeda

dengan sholawatan bercengkok lagu Jawa, adzan dari masjid dengan dinding keramik

tersebut berkumandang tanpa irama.

140

Sholawatan adalah puji-pujian yang dibaca oleh umat Islam kebanyakan di Jawa. Lazimnya dibaca

antara waktu sesudah panggilan adzan dan sebelum iqomat atau pelaksanaan sholat. 141

Lagu Caping Gunung adalah lagu yang populer di masyarakat Jawa yang diciptakan oleh Gesang

dan dipopulerkan Waljinah. Dalam versi aslinya, lirik lagu tersebut berbunyi: /Dhek jaman

berjuang/Njuk kelingan anak lanang/Biyen tak openi/Ning saiki ana ngendi//Jarene wis

menang/Keturutan sing digadang/Biyen ninggal janji/Ning saiki apa lali//Ning gunung/Tak jadongi

sega jagung/Yen mendung/Tak silihi caping gunung//Sukur bisa nyawang/Gunung desa dadi reja/Dene

ora ilang/Gone padha lara lapa/

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

83

Segera saja jalanan dusun yang mulai gelap dipenuhi oleh orang-orang yang

hendak menunaikan sholat Maghrib. Laki-laki, perempuan, anak-anak berjalan

beriringan sambil berbicara hangat satu sama lain menuju masjid kecil dengan

dinding batu dan kayu. Namun, beberapa orang laki-laki terlihat bergegas terburu-

buru menuju masjid yang lebih besar, sebagian dari mereka berjalan tanpa sepatah

katapun.

Lazimnya dalam satu desa hanya terdapat satu masjid dan beberapa mushola.

Tetapi di Bangkerep, dusun kecil yang hanya dihuni oleh sekitar 151 kepala keluarga,

dua masjid yang berdekatan merupakan simbol identitas masing-masing. Masjid

Baitun Nahdliyin dengan bangunan kecil semi permanen dengan alunan sholawatan

bercengkok Jawa tadi digunakan oleh sebagian besar warga Bangkerep untuk

beribadah dan menjadi simbol keharmonisan Islam dengan tradisi lokal. Sementara

Masjid Al Furqon dengan bangunan permanen, berlantai keramik dengan arsitektur

modern tadi adalah masjid yang dibangun oleh warga Bangkerep yang bergabung

dalam organisasi Majelis Tafsir Al Quran (MTA) setempat yang menjadi salah satu

dari pengukuhan kembali identitas baru sebagai muslim yang murni dan utuh (kaffah).

B. Agama, Tradisi dan Modernitas di Bangkerep

Majelis Tafsir Al Quran (MTA) pertama kali berkembang di Blora pada tahun

1990-an di Bangkerep, sebuah dusun kecil yang terletak di Desa Balong, Kecamatan

Kunduran. Seorang warga dusun yang merantau ke Solo bergabung dengan MTA dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

84

kemudian merintis berdirinya MTA sampai kemudian menjadi perwakilan (setingkat

kabupaten) untuk seluruh wilayah Blora.

Blora sendiri adalah sebuah kabupaten yang terletak di pedalaman Jawa

Tengah.142

Secara geografis, Blora terletak di wilayah Pegunungan Kendeng Utara

yang didominasi batuan gamping atau karst yang cocok sebagai habitat pohon jati.

Kawasan karst ini membentang sepanjang garis pantura, meliputi Kabupaten Pati

(bagian selatan), Grobogan (bagian utara), Rembang, Blora, Tuban, Bojonegoro

(bagian utara) dan Lamongan (bagian barat). Karakater tanah yang didominasi tanah

kapur dan berhawa panas membuat tanaman-tanaman yang tidak terlalu banyak

membutuhkan air seperti ubi, jagung, dan tentu saja pohon jati. Karakter tanah yang

kering membuat Blora juga dikenal sebagai penghasil kayu jati terbaik. Karena jati

tersebut, Blora menjadi salah satu wilayah yang paling awal dikuasai oleh kerajaan

Jawa dan baru pada tahun 1749 menjadi wilayah pemerintahan sendiri.143

Curah hujan

yang sedikit dan tanah yang tandus menjadikan Blora sebagai penghasil palawija.

Meski dikenal sebagai wilayah yang kering, namun Blora memiliki kekayaan

alam berupa minyak dan gas yang yang dikelola oleh pihak asing. Salah satu ladang

minyak terbesar di wilayah ini ada di kecamatan Cepu, tempat di mana ladang-ladang

142

Blora berasal dari kata “Belor” yang berarti lumpur, menjadi “Mbeloran” lalu kemudian berubah

menjadi Blora. Secara etimologi Blora berasal dari kata Wai yang berarti air dan Lorah yang berarti

jurang atau tanah rendah. Perubahan penyebutan yang biasa terjadi di masyarakat Jawa antara lain

menyebut “w” dengan “b” sehingga Wailorah menjadi Bailorah, kemudian menjadi Balora dan

akhirnya menjadi Blora. Blora dengan demikian terkait dengan karakteristik geografis yaitu dataran

rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur. Lihat www.blora.go.id 143

Andre Moller, Ramadan in Java, The Joy and Jihad of Ritual Fasting, Department of History and

Anthropology of Religion, Lund University, Swedia, 2005, versi Ebook diterbitkan dan diunduh dari

www.anpere.net , hal. 21

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

85

minyak dikelola oleh Pertamina dan beberapa investor asing seperti Exxon dan

Petrochina. Minyak menjadi pemasukan utama bagi pemerintah Kabupaten Blora.

Selain itu, berbeda dengan karakter masyarakat di pesisir yang lebih Islami –

pantura mendapat ajaran Islam dari Walisongo- Blora memiliki karakter berbeda.

Blora terletak sekitar 30 kilometer jauhnya dari kota pesisir terdekat Rembang dan

dari dua kota wali Kudus dan Tuban. Blora bisa didefinisikan sebagai Jawa yang jauh

dari Keraton.144

Selain itu wilayah Blora juga dikenal dengan gerakan perlawanan

masyarakat Samin, yakni gerakan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang

memungut pajak yang memberatkan mereka yang dipimpin oleh Samin Surosentiko

(1859-1914).

Blora dikenal memiliki kekayaan tradisi dan kebudayaan. Berbagai macam

kesenian, ritual, legenda, mitos menjadi kehidupan sehari-hari warga Blora. Dua

kesenian yang menjadi kebanggan Blora adalah Barongan dan Tayub. Kedua kesenian

khas tersebut lekat dengan mitos dan legenda dan biasanya digelar saat pesta rakyat,

upacara-upacara, peringatan hari besar atau ketika warga menggelar hajatan

pernikahan, atau sunatan. Blora juga dikenal sebagai wilayah Abangan yakni

masyarakatnya beragama Islam tetapi minim dalam pengetahuan tentang agama Islam

dan tidak terlalu kuat dalam menjalankan ibadahnya, sekaligus masih melakukan

tradisi-tradisi yang bersumber dari kepercayaan lokal. Secara historis, wilayah Blora

termasuk Kunduran juga merupakan basis dari kelompok Nasionalis-Abangan,

144

Moller, ibid, hal. 22

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

86

bahkan wilayah Kunduran menjadi salah satu basis dari Partai Komunis Indonesia

(PKI).

1. Kehidupan sosial ekonomi Bangkerep

a. Geografis

Dari jalan utama yang menghubungkan Kabupaten Grobogan dengan Blora,

Bangkerep bisa diljangkau melewati sebuah jalan desa berbatu sejauh lebih kurang

sepuluh kilometer. Secara administratif, Bangkerep merupakan salah satu dari dua

dusun yang masuk wilayah Desa Balong, Kecamatan Kunduran. Dusun lainnya, yang

terletak sebelum Bangkerep –memiliki nama yang sama dengan nama desa- adalah

Dusun Balong.

Desa Balong memiliki luas 648.420 Ha. Secara geografis, dua dusun yakni

Dusun Bangkerep dan Dusun Balong dipisahkan oleh persawahan dan tegalan sejauh

lebih kurang satu kilometer. Sebagian besar wilayah Desa Balong terdiri dari

persawahan, tegalan kering serta dikelilingi oleh hutan jati yang biasa disebut warga

dengan nama hutan Kunduran. Hutan jati menjadi bagian dari kehidupan warga

Dusun Bangkerep dan Dusun Balong. Dulu warga Desa Balong terbiasa menebang

kayu jati untuk dijual kepada para penadah dengan resiko ditangkap aparat. Reformasi

pada tahun 1998 menjadi puncak ketika pada masa itu warga melakukan penjarahan

besar-besaran di hutan jati yang mengelilingi dusun mereka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

87

b. Sosial

Secara umum, Dusun Bangkerep adalah dusun dengan ikatan relasi sosial yang

masih kuat. Hal tersebut terjadi karena antar warga memiliki hubungan kekerabatan

baik ikatan darah atau ikatan perkawinan satu dengan lainnya. Selain itu, kondisi

geografis dusun yang berada dalam satu lokasi memungkinkan terjadinya interaksi

antar warganya. .

Kata Bangkerep sendiri berasal dari kata “kembang kerep” atau yang berarti

bunga “gebang” yang banyak tumbuh di hutan sekitar Bangkerep. Tidak begitu jelas

diketahui kapan dusun ini berdiri. Namun sebagian besar warga Dusun Bangkerep

dulunya bukanlah warga asli. Dusun ini awalnya hanya terdiri dari sekitar 11 kepala

keluarga. Lalu pada tahun 1960-an para warga dari luar dusun mulai berdatangan dan

bermukim di Bangkerep. Sebagian besar pendatang tersebut berasal dari wilayah

Sragen, Jawa Tengah. Tidak ada informasi yang jelas mengenai motif kedatangan

orang-orang dari wilayah Sragen tersebut. Salah satu informasi dari warga

menyebutkan bahwa pada tahun 1960-an ada beberapa orang pendatang dari Sragen

yang membuka lahan di hutan Kunduran yang mengelilingi Dusun Bangkerep.

Karena hasil bercocok tanam yang bagus, warga pendatang tersebut kemudian

mengajak kerabat-kerabatnya di wilayah Sragen untuk bersama-sama menetap dan

mengolah lahan di hutan sekitar Dusun Bangkerep sehingga kemudian berkembang

menjadi sebuah dusun seperti sekarang ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

88

Desa Balong dihuni oleh lebih kurang 1.294 jiwa. 90 persen dari mereka

bermata pencaharian petani, dan sisanya adalah pedagang, pegawai negeri, tentara dan

pekerja lainnya. Secara formal, Islam menjadi satu-satunya agama yang dianut oleh

seluruh warga desa Balong. Khusus untuk Dusun Bangkerep ditinggali oleh sekitar

151 KK atau lebih kurang 500 jiwa.

Hampir seluruh kepala keluarga bermata pencaharian sebagai petani padi dan

palawija, terutama jagung dan singkong. Mayoritas tingkat pendidikan hanya sampai

di sekolah dasar. Sampai tahun 2011, ada dua orang yang melanjutkan kuliah ke

perguruan tinggi, empat warga yang sedang bersekolah di tingkat menengah atas,

kurang dari sepuluh yang bersekolah di tingkat menengah pertama, dan lainnya hanya

bersekolah sampai di tingkat pendidikan dasar.

Tidak ada fasilitas publik satupun di Dusun Bangkerep. Karena semua fasilitas

umum terletak di Dusun Balong, maka anak-anak di Dusun Bangkerep harus

bersekolah atau warga yang ingin mendapatkan layanan kesehatan harus pergi ke

Dusun Balong. Sebagian besar warga tinggal di rumah berdinding papan dan berlantai

tanah. Menempel di sisi rumah atau di pekarangan, terletak kandang sapi atau

kambing, ternak yang menjadi tabungan untuk digunakan saat darurat atau kebutuhan

besar. Dengan swadaya masyarakat, pada tahun 2001, warga baru bisa menikmati

listrik.

Sementara kondisi di Dusun Balong bisa dibilang relatif lebih maju. Rata-rata

tingkat pendidian warga Dusun Balong memiliki tingkat pendidikan warga yang lebih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

89

tinggi dengan beragam jenis mata pencaharian selain petani. Dibandingkan dengan

Dusun Bangkerep, rumah-rumah warga Dusun Balong banyak yang berdinding batu

dengan arsitektur beragam. Selain itu, Dusun Balong juga menjadi pusat

pemerintahan desa, di mana selain terdapat kantor balai desa, juga terdapat berbagai

layanan publik seperti sekolah dasar, Madrasah Diniyah (sekolah sore keagamaan),

serta Polindes (poliklinik desa) dan bidan desa.

c. Ekonomi : Antara tanah tandus dan perantauan

Di penghujung bulan April, tanda-tanda kemarau sudah mulai terasa di Dusun

Bangkerep. Sawah-sawah mulai mengering tak bisa ditanami. Kali kecil dan irigasi

sudah tidak lagi mengalir. Sebagaimana wilayah Blora lainnya, lahan pertanian di

Dusun Bangkerep didominasi oleh tanah tandus dan kering. Hampir seluruh petani di

Dusun Bangkerep menggantungkan kehidupan mereka pada sawah tadah hujan. Masa

panen besar biasanya berlangsung sekitar bulan Februari atau Maret atau di akhir

musim penghujan. Di musim kemarau, jagung menjadi satu-satunya tanaman andalan

warga untuk bertahan hidup.

Kemarau yang menjelang juga menjadi pertanda bahwa sebentar lagi dusun

kecil yang terletak di tengah persawahan dan hutan jati itu akan mulai sepi

ditinggalkan para penghuninya –terutama para lelaki untuk merantau ke kota besar.

Sebagian besar para lelaki merantau ke kota untuk bekerja sebagai buruh bangunan

atau berdagang informal. Surabaya, kota besar yang yang terdekat dengan Blora

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

90

menjadi tujuan utama, sebagian kecil pergi ke Jakarta. Ada juga yang pergi ke luar

pulau Jawa. Mereka yang hendak merantau biasanya pergi dalam rombongan besar

dengan menyewa mobil secara bersama-sama. Laki-laki warga Dusun Bangkerep

yang tidak pergi merantau biasanya adalah mereka yang mengurusi ternak, atau

mereka yang berusia lanjut.

Namun beberapa tahun belakangan ini, warga Bangkerep menemukan

komoditas pertanian yang jauh lebih menguntungkan, yaitu singkong. Dengan masa

panen rata-rata 4-7 bulan dan perawatan yang tidak rumit, hasil yang didapat jauh

lebih besar ketimbang tanaman padi. Sebagai contoh, untuk lahan seluas 0,5 hektar,

warga bisa mendapat sekitar 3-4 juta rupiah sekali panen. Hasil panen biasanya di

ambil oleh tukang tebas yang berasal dari warga sekitar untuk dijual ke tengkulak di

kota Pati, sebagai bahan tepung kanji.

2. Bangkerep dan tradisi masyarakat petani

Sebagaimana umumnya masyarakat Jawa dan khususnya Blora, masyarakat

Dusun Bangkerep masih kental dengan kepercayaan leluhur dan kekuatan gaib seperti

danyang, mbahurekso, arwah leluhur, dan berbagai kekuatan yang tidak kasat mata

lainnya. Kekuatan gaib tersebut diyakini merupakan bagian tak terpisahkan atau satu

kesatuan antara masyarakat, alam dan kekuatan adrikodrati yang ikut berperan dalam

kelangsungan nasib manusia sehingga harus terus dijaga sehingga tercipta suatu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

91

keseimbangan dalam kehidupan.145

Keyakinan terhadap kepercayaan leluhur tersebut

mewujud dalam berbagai ritual seperti sedekah bumi, kepercayaan terhadap danyang

di tempat-tempat keramat, serta ritual siklus kehidupan (kelahiran, pernikahan,

kematian) seperti lek-lekan (begadang semalaman) dalam rangka kelahiran bayi atau

hajatan pernikahan yang dalam beberapa waktu terakhir sudah diwarnai oleh ajaran

Islam. Di sisi lain Dusun Bangkerep bisa dikategorikan sebagai dusun Abangan di

mana mayoritas warganya tidak memiliki pengetahuan keagamaan Islam yang cukup

serta kurang peduli dalam mempraktekkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari

dan pada saat yang sama masih memegang teguh kepercayaan dan menjalankan

berbagai ritual-ritual dari leluhur mereka.

a. Kamituwo dan Modin: dua serangkai penjaga tradisi dusun

Rumah kayu bercat coklat di tengah dusun itu hampir tak pernah sepi. Ada saja

orang yang datang untuk suatu keperluan. Hari itu misalnya, salah seorang warga

datang untuk mengurus perceraian. Ada juga yang datang untuk berkonsultasi

mengenai kapan baiknya mengadakan acara kenduri karena berbenturan dengan

warga lainnya. Sebagian besar warga datang untuk mengurus administrasi

kependudukan atau sekedar menanyakan kepastian program pemerintah yang

menyasar langsung ke warga, seperti misalnya pembagian beras miskin.

145

Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa,

Jakarta, 2003, Gramedia, hal 85

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

92

Rumah itu milik pak Saji, Kamituwo (kepala dusun) Bangkerep. Lelaki berusia

sekitar 40 tahun itu menjadi rujukan warga Bangkerep untuk segala macam urusan.

Dalam struktur masyarakat pedesaan, Kamituwo tidak hanya berfungsi struktural,

tetapi juga kultural. Selain mengurus administrasi seperti pernikahan, kelahiran

maupun perceraian, ia juga bertugas untuk mengurusi hal yang berkaitan dengan

kehidupan sosial dan keagamaan di dusun.

Pak Saji menjadi Kamituwo sejak tahun 2002. Ia dipilih karena satu-satunya

warga berusia tua yang lulus sekolah menengah pertama. Saat pemilihan Kamituwo,

ia melawan bumbung kosong atau satu-satunya calon Kamituwo karena tidak ada

warga lain yang bersedia mencalonkan diri menjadi Kamituwo.

Sama seperti warga Bangkerep lainnya, pak Saji mendapatkan penghasilannya

dari bertani. Sebagai Kamituwo, ia mendapatkan tanah bengkok. Pagi hari ia sudah

mengurus sawah atau melihat tanaman singkongnya. Menjelang siang, ia mencari

rumput untuk dua ekor sapinya. Ia hampir tidak pernah ke kantor balai desa di

Balong, hanya sesekali atau bersamaan dengan jadual piketnya, hari Selasa. “Mboten

wonten damelan wonten mriko. (Tidak ada yang dikerjakan di sana)”, katanya suatu

ketika.

Bu Tuminah, istrinya, menghabiskan waktu dengan mengurus rumah. Sebagai

istri Kamituwo, ia juga berperan dalam kegiatan sosial keagamaan, seperti mengurus

kelompok musik rebana dusun atau kelompok pengajian ibu-ibu. Maulida, anak

perempuannya adalah satu dari sekitar empat anak dusun Bangkerep yang bersekolah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

93

ke sekolah menengah pertama di kota kecamatan. Sementara Kukuh, anak laki-

lakinya masih bersekolah di sekolah dasar di Dusun Balong.

Selain Kamituwo, tokoh berpengaruh lainnya adalah Mbah Nurhasyim, yakni

Modin atau orang yang bertugas mengurusi masalah keagamaan. Meskipun memiliki

jabatan Modin, Mbah Nurhasyim bukan tipe tokoh agama yang memiliki pengetahuan

agama Islam yang luas dan bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang

berkaitan dengan masalah keagamaan. Ia hanya menjadi imam sholat di saat-saat

tertentu saja. Beberapa warga menunjukkan keraguannya pada mbah Nurhasyim,

terutama karena bacaan Qur‟annya yang tidak fasih. Menurut Pak Saji: “Riyen mbah

Modin namung ditunjuk, kowe dadi modin. Nggih namung iso-isonan.” (Dulu mbah

Modin itu ditunjuk, kamu jadi Modin. Ya cuma bisa sedikit-sedikit saja).

Selain Kamituwo dan Modin, sebenarnya ada tokoh kultural lainnya, yaitu

Petengan dan Bayan. Petengan adalah orang yang bertugas menjaga keamanan dusun.

Sementara Bayan adalah semacam juru informasi berkaitan dengan kebijakan desa

atau dusun. Namun sudah puluhan tahun kedua posisi tersebut tidak diisi karena

Dusun Bangkerep tidak memiliki tanah bengkok untuk menggaji orang yang

menduduki kedua jabatan tersebut.

b. Warung kopi : ruang publik dan transaksi ekonomi

Dari warung kopi kehidupan Bangkerep seolah dimulai. Pagi hari ketika

matahari mulai menyiratkan semburat merah di timur, lelaki-lelaki Bangkerep

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

94

bergegas menuju ke sebuah rumah di sebelah selatan dusun. Rumah berukuran luas

dengan bangku dan meja-meja panjang itu berfungsi sebagai warung kopi. Seiring

matahari meninggi, warung mulai ramai didatangi pembeli. Hampir semuanya adalah

lelaki Bangkerep. Gelas-gelas kopi mulai diedarkan. asap rokok mulai mengepul. Dan

obrolan dimulai.

Bagi lelaki Bangkerep, warung kopi adalah tempat untuk memulai segala

kegiatan sebelum pergi ke sawah atau ladang. Selain pagi hari, warung kopi mulai

ramai saat siang hari, ketika panas matahari mulai menyengat. Para petani Bangkerep

beristirahat ke warung kopi untuk kemudian pergi ke sawah atau ladang ketika

matahari tidak lagi menyengat. Malam hari, mereka kembali menghabiskan waktu di

warung kopi sampai larut malam. Terlebih jika ada pertandingan sepak bola atau

wayang di televisi.

Lebih dari sekedar minum kopi, warung kopi menjadi semacam ruang publik

tempat di mana mereka bisa membicarakan hal apapun secara bebas. Situasi politik,

panen, olahraga dan sebagainya. Selain itu, warung kopi adalah tempat melakukan

transaksi ekonomi. Pagi itu misalnya Mbah Nurhasyim membayarkan sejumlah uang

kepada salah seorang warga yang telah membantunya ndodos atau memanen

singkong. Warga lainnya mencari beberapa orang untuk borongan ndodos, atau

sebaliknya warga yang tidak memiliki lahan bisa mencari informasi siapa warga yang

hari itu ndodos untuk kemudian menawarkan jasanya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

95

Tidak hanya itu, warung kopi menyediakan cara melepas penat dengan cara

judi kecil-kecilan. Pada hari-hari tertentu, pemilik warung menyediakan kupon yang

berhadiah rokok. Warga membelinya dan jika beruntung mendapatkan sebungkus

rokok. Judi kecil-kecilan juga dilakukan jika ada pertandingan bola di televisi.

c. Kenduri di bawah beringin

Hari itu, kesibukan tampak terlihat di Dusun Bangkerep. Dari atap rumah-

rumah yang sebagian besar berdinding papan dan berlantai tanah itu mengeluarkan

asap pertanda pemilik rumah memasak istimewa. Warga dusun bersiap menggelar

upacara sedekah bumi sebagai cara untuk mengungkapkan rasa syukur atas panen

melimpah yang mereka terima tahun ini. Acara ini dilaksanakan sekitar satu bulan

setelah panen pertama, dan selalu mengambil hari Rabu dan bertepatan dengan hari

Pahing dalam penanggalan Jawa. Sayur lodeh dan ayam menjadi masakan wajib di

rumah-rumah, selain jajanan pasar yang akan dipersiapkan sebagai pelengkap

upacara.

Menjelang siang, jalanan Bangkerep dipenuhi warga yang membawa

bungkusan atau rantangan makanan untuk diberikan kepada keluarga atau kerabat.

Namun acara belum dimulai. Sekitar jam dua siang, pak Kamituwo Saji memukul

kentongan yang menandakan acara akan segera dimulai. Jalanan di dusun yang

biasanya lengang itu menjadi ramai oleh laki-laki atau perempuan dewasa membawa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

96

tampah berisi nasi yang dibungkus daun jati dan jajanan pasar seperti kue pasung,

lapis, jadah dan lainnya.

Mereka berjalan menuju sebuah tanah lapang kecil di tengah persawahan di

sebelah timur dusun. Di tanah lapang yang hanya berukuran sekitar 20 meter persegi,

tumbuh sebuah pohon beringin tua. Di lokasi inilah acara sedekah bumi akan

dilangsungkan. Menurut cerita, pohon beringin tempat berlangsungnya lokasi sedekah

bumi adalah tempat keramat. Dalam kepercayaan yang umumnya diyakini warga

Bangkerep, lokasi pohon beringin tersebut pada mulanya merupakan kandang kuda

sembrani atau kuda bersayap yang sakti di mana setiap kuda tunggangan atau kuda

penarik dokar yang melewati tempat itu pasti mati. Konon katanya pernah seorang

Adipati Blora pada zaman dahulu secara khusus datang ke dusun Bangkerep hanya

untuk membuktikan mitos tersebut dan akhirnya kuda sang Bupati mati berkelahi

dengan kuda sembrani.

Pak Kamituwo Saji dan Mbah Modin Nurhasyim menjadi orang yang pertama

kali hadir di lokasi upacara. Pak Saji membawa seikat merang yang didalamnya berisi

sejumput kecil garam yang kemudian ia letakkan di bawah pohon beringin. Setelah

membaca doa dengan perlahan, ia lalu membakar merang tersebut. Beberapa orang

warga yang datang belakangan melakukan hal sama, membawa ikatan merang berisi

garam yang dibakar dan diletakkan di bawah pohon beringin.

Di atas tanah yang berumput itu, nasi bungkus daun jati dan jajanan pasar

yang dibawa oleh warga diletakkan bertumpukan satu sama lain. Masing-masing

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

97

orang berebut lauk atau jajanan pasar yang dibawa oleh warga lainnya. Sebagian

besar warga yang memenuhi tanah lapang itu adalah bapak-bapak dan pemuda,

sementara ibu-ibu dan remaja perempuan hanya mengikuti acara dari jalan kampung

yang berjarak sekitar 50 meter dari pohon beringin tersebut.

Acara dimulai dengan pidato Pak Saji yang mengajak warga untuk

memanjatkan doa dan mengucapkan niat acara tersebut sebagai ungkapan rasa syukur

atas panen padi yang mereka dapatkan tahun ini sekaligus untuk berdoa kepada Allah

warga Bangkerep senantiasa diberi keselamatan dan terhindar dari bencana. Setelah

itu, Mbah Modin Nurhasyim memulai doa yang diucapkan dalam campuran antara

bahasa Arab dan Jawa, menyebut arwah-arwah dan danyang dusun. Saat modin

membacakan doa, warga yang hadir terlihat mulai tidak sabar untuk melakukan ritual

yang paling ditunggu, yaitu saling melempar nasi.

Saat modin mengakhiri doa, warga langsung berteriak “Amiiiinnn…!!!”

disusul dengan teriakan “Horeeee….!!!! ” saat itulah ritual yang paling ditunggu

dimulai. Masing-masing orang melempar nasi bungkus atau apa saja yang ada

didekatnya ke udara atau melemparkannya kepada orang lain. Acara yang tadinya

penuh keheningan segera berubah menjadi semacam tawuran kecil dan kumpulan

warga menjadi berhamburan saling menyelamatkan diria masing-masing dengan

berlari meninggalkan lokasi. Acara sedekah bumi siang itupun selesai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

98

d. Ayam panggang di depan jenazah

Sore itu Bangkerep berduka. Salah seorang warganya meninggal dunia. Tidak

ada yang bisa menebak pasti umur mbah Kariyem. Ada yang bilang sembilan puluh

tahun, seratus atau bahkan lebih. Yang pasti ia satu dari beberapa warga paling tua di

Bangkerep.

Pagi harinya, rumah di sebelah timur dusun sudah ramai. Para lelaki

berdatangan mengusung kursi plastik. Sebagian yang lainnya mempersiapkan bambu

untuk mengusung jenazah. Ibu-ibu mempersiapkan ember untuk memandikan

jenazah. Pelayat dari dusun Bangkerep dan dusun sekitar mulai berdatangan.

Menjelang siang, jenazah Mbah Kariyem sudah dimandikan dan terbungkus kafan,

diletakkan di sebuah meja di samping pintu masuk rumah. Tak lama kemudian,

jenazah disholatkan oleh beberapa orang saja. Sebelum sholat dimulai, mbah Modin

meletakkan selembar daun pisang utuh di bawah meja tempat jenazah dibaringkan.

Secara khusus, daun pisang tidak mempunyai makna tertentu, selain sebagai cara

untuk melestarikan kebiasaan orang-orang tua Bangkerep zaman dahulu yang tidak

memiliki tikar dan hanya menggunakan daun pisang sebagai alas untuk menshalatkan

jenazah.

Tiba-tiba terdengar suara “Kajatan…!!! Kajatan…!!!”. Para pelayat yang

tadinya berada di luar rumah masuk memenuhi ruang tengah yang sempit itu. Mereka

melingkar di depan jenazah, mengelilingi beberapa baskom yang ditutupi daun jati. Di

dalam beberapa baskom tersebut tampak ayam panggang, nasi gurih, nasi putih dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

99

berbagai jajanan pasar lainnya. Mbah Nurhasyim selaku modin kemudian memimpin

doa singkat dalam Bahasa Arab dan Jawa dengan menyebutkan permohonan kepada

Allah agar almarhumah mendapat tempat yang baik di sisi Allah serta memberikan

kelancaran saat upacara pemakaman nantinya. Dalam doa tersebut Mbah Nurhasim

juga menyebut para danyang dan para arwah leluhur Bangkerep. Setelah itu, ayam

panggang dan nasi gurih pun dibagikan kepada warga. Sebagian dari mereka langsung

makan tepat di depan jenazah.

Setelah kenduri di depan jenazah selesai, upacara pemberangkatan jenazah di

mulai. Acara dipimpin oleh Kamituwo Dusun Balong yang meminta warga

memaafkan kesalahan almarhumah Mbah Kariyem sebagai bagian dari ajaran Islam

yang berkaitan dengan ikatan atau hubungan antar sesama manusia (Hablum min An

Nas). Sementara untuk urusan hubungan almarhumah Mbah Kariyem dengan Allah

(Hablum Min Allah) hendaknya diserahkan sepenuhnya kepada Allah.

Pak Kamituwo Dusun Balong bertanya,: “Apakah almarhumah beragama

Islam?”

Warga yang hadir pun serentak menjawab:”Islam.”

Pak Kamituwo Dusun Balong kemudian berkata: “Perkara tidak sempurna,

terutama dalam menjalankan ibadah Sholat, biarlah itui menjadi urusan almarhumah

dengan Tuhan. Yang penting kita semua menjadi saksi almarhumah beragama Islam.”

Jenazah Mbah Kariyem kemudian diberangkatkan ke makam yang terletak di

sebelah barat dusun. Sebelum dimakamkan, hanya Mbah Nurhasim yang berdoa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

100

dalam Bahasa Arab dan Jawa, sementara warga lainnya asyik mengobrol dan

bergerombol. Setelah mbah modin selesai berdoa, barulah warga mendekat dan mulai

mengurus pemakaman jenazah. Makam almarhumah Mbah Kariyem diberi bunga,

kendi dan payung di atasnya. Setelah upacara pemakaman selesai perlahan warga pun

satu persatu bergegas pulang meninggalkan pemakaman.

e. Lengo coblong dan tombak pusaka Kiai Singkir

Malam itu rumah Mbah Pono –salah satu kerabat pak Kamituwo- kedatangan

tamu. Seorang remaja berusia belasan tahun datang dengan bagian pergelangan

tangan terbalut perban. Tak perlu mengutarakan maksud kedatangannya, Mbah Pono

tahu apa yang harus dilakukan. Bergegas ia ke masuk ke bagian lain dari rumah itu

dan berbicara dengan seseorang. Saat kembali, seorang perempuan yang nampaknya

istri Mbah Pono mengikuti dari belakang dalam kamar dan kembali dengan membawa

sebuah tas kulit yang sudah kumal.

Dari dalam tas kumal itu istri Mbah Pono mengeluarkan dua buah guci kecil,

botol minyak yang berisi minyak sejenis kayu putih, dan beberapa buah batu. Ia

bertanya pada remaja tersebut penyebab sakit di pergelangan tangannya. Sang remaja

bercerita bahwa ia terjatuh dari sepeda motor beberapa waktu yang lalu. Ia mengaku

sudah berobat ke puskesmas dan berbagai tempat, namun belum ada tanda-tanda

sembuh. Setelah mendengar informasi dari beberapa orang, sang remaja tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

101

akhirnya pergi ke Bangkerep untuk mencari penyembuhan lengo coblong yang

dimiliki mbah Pono.

Lengo coblong adalah model penyembuhan alternatif khas Bangkerep khusus

untuk mengobati patah tulang atau sakit anggota tubuh akibat terkilir. Sesuai dengan

namanya, penyembuhan dilakukan dengan menggunakan lengo atau minyak dan

coblong yang berarti cupu atau guci. Minyak yang digunakan adalah minyak kayu

putih biasa yang tersedia di pasaran. Bagian terpenting dari cara pengobatan ini

adalah guci, di mana anggota tubuh yang sakit dilumuri dengan minyak kayu putih

yang telah dituang sebelumnya ke dalam guci kecil. Meski terlihat sederhana, namun

tidak sembarang orang boleh melakukan praktek penyembuhan ini. Hanya perempuan

yang boleh melakukannya, dan itu pun adalah keturunan langsung dari orang yang

memiliki guci tersebut sebelumnya.

Hal ini berhubungan dengan cerita tentang guci yang dipercaya merupakan

mahkota milik seekor ular besar yang mendiami hutan di sekitar Bangkerep. Menurut

cerita, mbah buyut dari istri Mbah Pono sedang menggembala kambing di hutan. Saat

tertidur, ia bermimpi didatangi oleh seekor ular besar bermahkota guci di kepalanya.

Ular tersebut tinggal di bawah pohon besar di hutan Bangkerep. Mbah Buyut tersebut

kemudian berpuasa selama empat puluh hari untuk mendapatkan guci tersebut dan

akhirnya mendapatkan guci mahkota dari ular besar sesuai dengan yang ia lihat dalam

mimpi. Sejak saat itu ia mewariskan guci tersebut kepada anak cucunya. Istri Mbah

Pono sendiri tidak tahu persis kebenaran tersebut dan mengaku mendapatkan guci dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

102

cerita tersebut dari orang tuanya. Cerita ini dibenarkan oleh Mbah Pariyo, imam

masjid yang dianggap memiliki pengetahuan agama yang cukup di kalangan warga

Bangkerep.

Yang juga unik, pasien yang datang untuk berobat ke tempat Mbah Pono tidak

membayar dalam bentuk uang, melainkan ayam berwarna hitam mulus. Kebetulan

remaja yang berobat tersebut tidak sempat membeli ayam sehingga ia pun membayar

dalam bentuk uang. Meski demikian, sang pasien harus berikrar bahwa ia menitipkan

uang tersebut agar dibelikan ayam berwarna hitam mulus. Di dusun-dusun di sekitar

Bangkerep sendiri cerita dan model pengobatan dengan lengo coblong terkenal karena

kemanjurannya. Hal tersebut membuat banyak pengobatan serupa yang muncul,

meski diyakini lengo coblong yang asli ada di Bangkerep.

Selain cupu, mbah Pono juga memiliki pusaka berupa tombak bernama Kiai

Singkir. Tombak ini terbuat dari kayu tua dengan ujung tajam dari besi yang sudah

berkarat. Bagi masyarakat Bangkerep, tombak ini sangat penting karena dipakai saat

ritual pengantin khas Bangkerep. Sepasang pengantin yang akan menikah di

Bangkerep diharuskan untuk pawai berkeliling dusun dengan diiringi tombak Kiai

Singkir untuk menghindari bala bencana bagi pengantin atau saat acara pernikahan

dilakukan. Selain Kiai Singkir, ritual pengantin di Bangkerep juga unik karena

pengantin laki-laki diharuskan mandi di sumur lanang (bahasa jawa: laki-laki) yang

terletak di sebelah barat dusun dan pengantin perempuan membersihkan diri di sumur

wadon (sebelah timur dusun, belakang rumah Kamituwo). Ritual tersebut terutama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 115: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

103

jika pengantin laki-laki berasal dari Bangkerep, sementara jika yang berasal dari

Bangkerep adalah pengantin perempuan maka ritual tersebut tidak wajib dilakukan.

f. Campursari dan musik rebana Islami

Tak sawang-sawang kowe ayu tenan

Rasane dadi pengen kenalan

Kenalan nang lesehan

Nggone ngadek nganggo klambi abang

Yen ra kleru aku tau ketemu

Nalikane kowe karo kancamu

Mlaku-mlaku karo nnguya ngguyu

Ombenane es jus melon karo susu

Saiki aku uwis ngrasakno

Pacaran karo wong Kertosono

Wajahe koyo arjjuno

Esemane koyo raden gatotkoco

Alunan musik campur sari membelah keheningan malam di Bangkerep. Di

sebuah rumah papan di sebelah selatan dusun, warga Bangkerep berkumpul di bawah

tenda sambil menikmati hidangan dari pak RT yang sedang menikahkan anaknya.

Beberapa lelaki asyik berjoget dengan gerakan meliuk seperti sedang menari tayub.

Tetapi mereka tidak sedang menari di pertunjukan tayub, melainkan pertunjukan

musik rebana Islam Al Anwar yang dibawakan oleh ibu-ibu dengan mengenakan

busana muslim lengkap.

Lagu campur sari yang dinyanyikan oleh kelompok rebana menjadi salah satu

tanda kuatnya karakter Blora di Bangkerep. Lebih dari itu, sedekah bumi di bawah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 116: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

104

pohon beringin, kajatan sebelum upacara penguburan, mitos lengo coblong, ritual

mandi di sumur bagi pengantin menjadi simbol masih kuatnya tradisi lokal bagi

masyarakat Bangkerep. Hal tersebut bersamaan dengan kurangnya pengetahuan dan

pemahaman masyarakat Bangkerep dalam masalah keagamaan.

Mayoritas warga di desa Balong beragama Islam namun memiliki pengetahuan

agama yang masih rendah.146

Selain buta huruf latin, sebagian besar dari mereka juga

buta huruf Arab. Selain Mbah Nurhasyim, salah seorang warga yang dianggap

mengetahui ilmu agama adalah Pak Mus, seorang imam langgar berusia sekitar 50-an

tahun. Ia mendapatkan ilmu agama sewaktu belajar mengaji di Madrasah Diniyah

(sekolah keagamaan sore hari) di Dusun Balong. Namun sebagai orang yang dianggap

memiliki ilmu agama Islam dibanding warga Bangkerep lainnya, Pak Mus lebih

banyak merantau untuk mencari nafkah. Terakhir ia pergi ke Kalimantan menjadi

buruh penebang kayu selama beberapa bulan. Tokoh lainnya adalah Mbah Pariyo

yang bertindak sebagai imam langgar jika pak Mus merantau. Sama seperti warga

Bangkerep lainnya, Mbah Pariyo sehari-harinya menghabiskan waktu di sawah

mengurus sawah dan ladangnya.

Di sisi lain, warga Bangkerep masih kental menjalankan berbagai tradisi

sinkretis dan menggunakan pertimbangan-pertimbangan kosmologis. Berbagai

upacara Slametan baik siklus kehidupan, bersih desa maupun acara-acara yang digelar

pada waktu-waktu tertentu menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat

146

Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November 2002

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 117: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

105

Bangkerep. Upacara siklus kehidupan yang sifatnya individual antara lain lek-lekan

(berkumpul semalam suntuk di rumah orang yang sedang punya hajat), sepasaran

atau selapanan bayi (peringatan 7 hari dan 40 hari setelah kelahiran), serta upacara

selamatan orang meninggal antara lain mitung dino, matangpuluhan, nyatus, nyewu (7

hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari).

Sementara selain upacara sedekah bumi di pohon beringin, upacara komunal

digelar bertepatan dengan peringatan penanggalan Islam dan Jawa misalnya Syuronan

(tahun baru Islam dan Jawa), Mauludan (peringatan kelahiran Nabi Muhammad),

Rejeban atau Ruwahan (perayaan di bulan sebelum memasuki bulan Ramadhan).

Karakter masyarakat Abangan terlihat dari peringatan acara yang tidak digelar di

masjid, tetapi di rumah pak Kamituwo sebagai pemimpin pemerintahan dusun

sekaligus pemimpin kultural. Dalam acara-acara kenduri tersebut, biasanya masing-

masing kepala keluarga membawa nasi tumpeng untuk di makan bersama-sama.

Selain itu, sebagian kecil warga masih menjalankan ritual tertentu –biasanya

berkaitan dengan keselamatan atau kesejahteraan, seperti sesaji di rumah atau sawah

masing-masing. Beberapa warga juga masih memperingati weton atau hari lahir

dengan cara memasak bubur merah dan bubur putih dalam bungkusan daun jati, lalu

mengundang mbah modin untuk didoakan memohon keselamatan dan kesejahteraan.

Seperti misalnya yang dilakukan Mbah Mardi yang menggelar wetonan seusai shalat

magrib di rumahnya. Ia mengundang Pak Kamituwo Saji, Mbah Pono, dan Widodo.

Tukang tanduk (bahasa Jawa: menghidangkan nasi, namun dalam acara ini berarti

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 118: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

106

orang yang mendoakan) adalah Mbah Mus yang kebetulan pulang dari Kalimantan.

Setelah berdoa bersama, bubur merah dan bubur putih yang terbungkus daun jati

dibagikan, namun tidak dimakan di tempat, melainkan dibawa pulang.

Sama seperti desa-desa lain di Blora, Desa Balong juga memiliki kesenian tari

tradisional Barongan. Tarian ini sendiri menjadi ciri khas Kabupaten Blora. Tarian ini

biasanya dimainkan pada acara-cara tertentu, Bentuk kesenian ini mirip dengan reog

Ponorogo, dengan menggunakan bentuk singa sebagai topeng para penarinya.147

Saat

ada acara desa atau peringatan hari kemerdekaan RI, para penari Barongan

melakukan pawai atau arak-arakan berkeliling desa. Di dusun Bangkerep sendiri

terdapat satu kelompok Barongan, namun hanya bermain saat acara-acara tertentu

misalnya upacara hari kemerdekaan bulan Agustus atau ada warga yang menggelar

hajatan.

Karakter Abangan masyarakat Bangkerep juga terlihat dari orientasi politik

mereka. pada masa Orde Baru, Golkar dan PDI mendominasi perolehan suara di

Bangkerep, termasuk di Desa Balong secara keseluruhan. Lalu pada era reformasi,

Partai Demokrat memenangi suara disusul PDI dan Golkar. Bahkan meski warga

Bangkerep secara kultural mengidentifikasikan diri mereka sebagai NU, namun PPP

yang pada masa Orde Baru adalah partai Islam tidak pernah memperoleh suara

147

Pak Saji tidak bisa menjelaskan lebih lanjut tentang cerita di balik kesenian Barongan tersebut. Dari

berbagai referensi yang saya dapat dari internet, kesenian ini berkaitan dengan cerita atau mitos tentang

harimau bernama Singa Lodra di sebuah makam tua di desa Mlangsen Kecamatan Blora Kota, serta

cerita rakyat tentang tokoh bernama Gembong Amijoyo yang bisa menjelma menjadi harimau.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 119: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

107

signifikan. Bahkan pada masa reformasi meski Partai Kebangkitan Islam (PKB) yang

secara historis berafiliasi dengan NU tidak pernah menang di Bangkerep.

3. Perubahan sosial di Bangkerep

Ketika mulai berkuasa di awal tahun 1966, rezim Orde Baru menggalakkan

proyek pembangunan dengan orientasi pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh

investasi asing dan industrialisasi. Demi mendukung agenda tersebut, pemerintah

memerlukan stabilitas sosial dan politik melalui serangkaian kebijakan depolitisasi.

Kebijakan ini merambah terutama di pedesaan-pedesaan pedesaan yang menjadi di

mana aparat birokrasi dan tentara melakukan mobilisasi besar-besaran terhadap

seluruh aparatur desa dan warga negaranya untuk terlibat dalam proyek-proyek

pembangunan

Salah satu yang menjadi program utama adalah dengan menjadikan

pembangunan agama sebagai salah satu bidang yang bisa mendukung terlaksananya

proyek pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Pemilihan

agama sebagai salah satu proyek yang mendukung pertumbuhan ekonomi bukan tanpa

alasan, antara lain untuk menangkal ideologi komunisme di awal berdirinya rezim

sekaligus menjadikan agama sebagai salah satu bidang yang bisa mendukung dan

menyampaikan pesan pembangunan kepada masyarakat.

Situasi tersebut juga terjadi di Bangkerep. Semula Bangkerep adalah dusun

dengan karakteristik tradisi agraris. Warga Bangkerep pada tahun 1960-an masih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 120: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

108

kental menjalankan berbagai tradisi dan menggunakan pertimbangan-pertimbangan

kosmologis. Hampir tidak ada orang yang sholat atau menjalankan ibadah Islam

dengan baik. Bahkan kebiasaan masyarakat desa masih kental dengan kepercayaan

kosmologis, danyang dan sebagainya.

Namun situasi berubah pasca 1965 atau sesaat setelah rezim Orde Baru berdiri.

Kecamatan Kunduran pada saat itu merupakan salah satu wilayah yang menjadi basis

PKI.148

Di Desa Balong sendiri yang menang pada Pemilu tahun 1965 adalah PNI,

PKI, NU. Menurut penuturan Mantan Lurah, sesaat setelah kejadian 1965, berbagai

kebijakan pemerintah mulai merambah Desa Balong. Pemerintah kecamatan

menggelar program penerangan dan penyuluhan keagamaan pasca peristiwa politik di

tahun1965 di desa-desa di Kecamatan Kunduran, termasuk Desa Balong. Beberapa

tahun kemudian, sebagai imbas dari kebijakan tersebut pada tahun 1968 warga

bergotong royong membangun masjid secara swadaya di Dusun Balong.149

Meski

demikian, Dusun Bangkerep bisa dibilang sama sekali masih terisolasi dari kebijakan

tersebut.

Di bidang pendidikan, desa Balong pada tahun 1960-an masih belum terdapat

sekolah dasar. Menurut penuturan Mbah Mantan, sampai sebelum 1979 di desa

Balong hanya ada SD dengan jumlah kelas sebanyak 3 kelas, sehingga banyak anak

melanjutkan sekolahnya naik ke kelas 4 sampai lulus ke sekolah dasar di Kecamatan

Ngawen yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Kecamatan Kunduran. Barulah pada

148

Wawancara Rustamaji, tokoh di Kecamatan Kunduran 149

Wawancara Mbah Mantan Lurah Desa Balong

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 121: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

109

tahun 1979 dibangun SD Inpres dengan lokal sebanyak 6 kelas. Jalan desa sendiri

dbangun pada tahun 1990-an, sementara listrik pada tahun 1994.

Program penyuluhan pemerintah masih berlangsung sampai tahun 1980-an.

Menurut Mbah Mantan, pada waktu itu ada istilah Tilikan Deso yakni program dari

pemerintah kecamatan setiap sebulan sekali di mana petugas dari kecamatan datang

sesuai dengan kualifikasi masing-masing. Dalam kegiatan ini warga diundang ke

kelurahan untuk diberi penyuluhan tentang berbagai bidang. Misalnya petugas

penyuluh agama melakukan pembinaan di bidang keagamaan, petugas pertanian

menyampaikan informasi berkait dengan pertanian serta petugas administrasi

kecamatan menyampaikan hal-hal terkait dengan instruksi pemerintahan.

Berbagai program pemerintah tersebut lambat laun mulai berimbas ke

Bangkerep sebagai bagian dari wilayah administratif Balong. Pada masa tahun-tahun

1990-an, beberapa warga berinisiatif mengaji ke Balong. Mereka kemudian menjadi

cikal bakal berkembangnya Islam di Bangkerep. Salah satu dampak dari proses ini

adalah Mbah Nurhasyim berinisiatif mendirikan langgar kecil di Bangkerep yang

hanya dipakai oleh beberapa orang. Sementara untuk menjalankan shalat Jumat

mereka pergi ke masjid di dusun Balong.

Pada tahun 1990-an, atas inisiatif beberapa warga, sekelompok warga dusun

Bangkerep mengundang kiai dari kecamatan untuk memberi pengetahuan agama.

Pendakwah tersebut berasal dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU) tingkat kecamatan

yang memberi pengajian sebulan sekali kepada warga. Perlahan kegiatan keagamaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 122: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

110

mulai terasa di Bangkerep. Pada tahun 2000, warga mendirikan masjid semi

permanen secara swadana

Belakangan, kegiatan keagamaan mulai menguat, terutama sejak munculnya

organisasi Majelis Tafsir Alquran (MTA) yang berorientasi puritan dan gencar

menolak sinkretisme dan penyimpangan elemen non-Islam. Munculnya organisasi

Islam MTA yang bercorak puritan di Dusun Bangkerep yang masih kental dengan

tradisi-tradisi leluhur pada akhirnya menimbulkan perbedaan pemahaman di bidang

keagamaan yang berujung pada konflik terbuka antar warga dan mewarnai relasi antar

warga di Bangkerep sampai sekarang ini.

C. Awal dan Perkembangan MTA di Bangkerep

1. Konflik

Pada tahun 1987, Tumin, seorang warga Bangkerep yang lama merantau di

Solo pulang ke dusun. Tidak diketahui persis apa pekerjaan atau kegiatan Tumin

selama di perantauan. Tak lama setelah kembali ke dusun, ia kemudian berinisiatif

mengadakan pengajian di langgar dusun. Saat itu, pengajian masih bersifat umum.

Warga Bangkerep yang memang masih kurang dalam pengetahuan agama pun

menyambut baik kegiatan tersebut. Saat itu, sekitar 70 orang mengikuti pengajian

yang diselenggarakan oleh Tumin.

Namun kemudian, mulai tahun 1989 terjadi beda pendapat antara peserta

pengajian dengan materi pengajian yang disampaikan Tumin. Perselisihan mereka

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 123: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

111

antara lain menyangkut soal Qunut (doa saat shalat subuh). Warga yang mendapat

pengaruh dari NU menganggap doa Qunut adalah sunah Nabi, sementara Tumin

mengatakan bahwa hal tersebut tidak ada ajarannya dalam Islam. Begitu juga

mengenai jumlah Tarawih (Shalat Sunah di malam hari di bulan Ramadhan), di mana

warga umumnya melaksanakannya sebanyak 23 rekaat, namun Tumin menganjurkan

sebanyak 11 rekaat. Perbedaan tersebut mengakibatkan banyak anggota keluar dari

pengajian. Namun perbedaan tersebut belum menimbulkan gejolak di masyarakat

pada umumnya.150

Pada tahun 1990-1994, kegiatan pengajian sempat berhenti. Namun Tumin

dan beberapa warga yang menjadi anggota pengajian masih aktif datang ke Solo.

Mereka antara lain Wakidi, kawan dekat Tumin dan Sudipo, salah seorang tokoh

Bangkerep yang juga masih memiliki hubungan kekerabatan. Kemudian pada tahun

1994, pengajian kembali diselenggarakan dan mulai dikenalkan istilah MTA, yang

dilaksanakan di mushola dusun. Pada tahap inilah mulai muncul perbedaan dengan

pemuka agama di dusun dan mulai muncul benih konflik yang nantinya berujung pada

konflik fisik yang mengoyak ketenteraman di dusun kecil tersebut. .

Mulai tahun 2000 warga mulai menunjukkan ketidaksenangannya dengan

jamaah MTA karena ajarannya dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat di

Dusun Bangkerep. Ketidaksenangan tersebut bahkan sampai menimbulkan

perpecahan di keluarga, misalnya ancaman akan menceraikan istri atau tidak

150

Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November

2002

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 124: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

112

mengakui sebagai anak jika ikut MTA.151

Sementara menurut pak Saji, konflik

bermula ketika menyangkut masalah kenduri, karena anggota MTA tidak mau

menerima nasi berkat yang biasa dibagikan setelah selesai kenduri. Keresahan itu

menyebabkan perangkat desa mengumpulkan tokoh dan warga MTA untuk mendapat

pengarahan, tetapi tidak berhasil. Bahkan timbul perselisihan yang berujung pada

bentrok fisik yang terjadi beberapa kali.

Bentrokan pertama terjadi pada bulan September 2001. Saat itu warga

Bangkerep hendak membangun masjid setelah sebelumnya hanya berupa langgar

kecil dari papan. Dalam sebuah pertemuan di balai desa, salah seorang anggota MTA

bernama Wakidi menyinggung asal-usul kayu jati yang digunakan oleh warga dusun

Bangkerep untuk membuat masjid. Pertanyaan tersebut membuat warga dusun

bernama Sarmin dan Bagiyo tersinggung. Oleh warga, pertanyaan Wakidi tersebut

ditafsirkan bahwa warga MTA akan melaporkan kepada pihak kehutanan.

Pasca pertemuan di balai desa, Sarmin dan Bagiyo bermaksud menemui

Wakidi di rumahnya untuk mengklarifikasi pertanyaan Wakidi di Balai Desa. Saat itu

Wakidi kebetulan sedang mengikuti pengajian di rumah anggota MTA lainnya yaitu

Sodipo. Saat menunggu pengajian selesai, banyak warga yang bergabung dengan

Sarmin dan Bagiyo. Lalu ketika pengajian selesai Wakidi pergi ke rumah kakaknya

Kasiyem, sehingga Sarmin dan Bagiyo beserta warga beramai ikut ke rumah Kasiyem

bermaksud menanyakan pernyataan Wakidi soal kayu.

151

Dokumen desa, Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong,

November 2002

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 125: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

113

Namun para anggota MTA menyangka warga hendak membubarkan

pengajian. Lalu terjadi keributan dan bentrok fisik sehingga Bagiyo mengalami luka

serius dan dirawat di rumah sakit. Pihak desa melaporkan ke polsek Kunduran lalu

penanganannya diserahkan ke pihak polsek.152

Pasca kejadian tersebut, beberapa

anggota MTA meninggalkan Bangkerep menuju kantor pusat MTA di Solo. Menurut

versi anggota MTA, mereka diusir dari kampung halamannya, meski menurut warga

dusun tidak ada kasus pengusiran terhadap anggota MTA. Menurut warga dusun, jika

ingin tetap tinggal Bangkerep maka anggota MTA harus menyesuaikan diri dengan

adat istiadat setempat.

Konflik berikutnya terjadi sepanjang tahun 2001-2002. Selang 4 bulan pasca

kejadian pertama, beberapa warga Bangkerep yang juga anggota MTA pergi ke Solo

unruk bekerja, namun warga dusun curiga mereka akan mengembangkan MTA lagi di

Bangkerep. Bulan September 2002, Mbah Modin Nurhasyim dan salah seorang warga

bernama Sarmin menerima undangan dari MTA pusat, tetapi Sarmin dan Nurhasyim

tidak datang ke Solo karena tidak memahami maksud dan tujuan dari undangan

tersebut. Kemudian pada bulan Oktober 2002, beberapa pengurus MTA pusat datang

ke Kecamatan Kunduran untuk mengklarifikasi undangan yang mereka buat kepada

kedua warga Bangkerep tersebut. Camat Kunduran menugaskan seorang stafnya dan

anggota polisi dari Polsek Kunduran bernama Sugito bersama seorang anggota tim

MTA menjemput Sarmin dan Nurhasyim untuk menerima penjelasan dari pengurus

152

Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November 2002

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 126: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

114

MTA mengenai undangan yang mereka sampaikan. Namun oleh Sarmin dan beberapa

warga Bangkerep penjemputan itu ditafsirkan lain sehingga mereka beramai-ramai

datang ke kantor balai desa untuk memberi dukungan moril kepada Nurhasyim dan

Sarmin.

Pasca kejadian tersebut, warga Bangkerep mengadakan pertemuan yang

memutuskan bahwa Wakidi harus pergi dari dusun Bangkerep dan tidak boleh pulang

ke Bangkerep karena menjadi penyebab kekisruhan. Selain Wakidi, anggota MTA

yang lain bisa pulang ke dusun Bangkerep asal bisa menyesuaikan dengan adat

istiadat kembali. Beberapa warga anggota MTA di Solo kemudian pulang antara lain

Sutrisno, Parno, Sarmani, Nyamin Sujak dan Sarno. Sementara Wakidi dan beberapa

warga lainnya sebanyak 24 orang masih berada di Solo.153

Tahun 2003 menjadi pucak eskalasi konflik antara warga Bangkerep dengan

warga anggota MTA. Pada hari sabtu, 13 Desember 2003, anggota MTA Bangkerep

yang sebelumnya berada di Solo (paska konflik sebelumnya) bermaksud pulang

kembali ke Bangkerep. Mereka diantar oleh pengurus MTA dengan menggunakan

beberapa kendaraan, jumlah rombongan lebih kurang 80 orang. Mereka datang tidak

melewati jalan utama desa yang melewati Dusun Balong, tetapi melewati jalan

alternatif yang langsung menuju Dusun Bangkerep. Rombongan tersebut tidak

memberitahukan kedatangannya terlebih dulu kepada perangkat desa, sehingga saat

rombongan tiba dan langsung menuju rumah anggota MTA bernama Loso.

153

Dokumen desa Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 127: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

115

Warga dusun terkejut dan menanyakan maksud kedatangan mereka karena

sebelumnya tidak ada pemberitahuan dari perangkat desa. Warga mengajak warga

MTA untuk pergi ke balai desa di Balong. Namun anggota MTA menolak dengan

alasan mereka pulang ke rumah sendiri sehingga tidak perlu ke balai desa sehingga

terjadi ketegangan dan perkelahian fisik antar mereka. Keadaan tak terkendali karena

massa makin banyak dan warga MTA akhirnya naik kendaraan menuju ke balai desa

dan diarak ke balai desa oleh ratusan warga Bangkerep. Tiba di balai desa, warga

melarang wakil rombongan menemui kepala desa. Namun, kepala desa bersama

aparat keamanan tetap menemui rombongan MTA tersebut dan menyatakan bahwa

dengan alasan keselamatan mereka diminta kembali ke Solo. Warga anggota MTA

pun akhirnya kembali ke Solo.154

Kejadian penolakan warga terhadap warga MTA yang hendak pulang ke

Bangkerep tersebut terjadi sampai tiga kali. Kedua belah pihak bersikukuh dengan

prinsip masing-masing. Di satu sisi, warga tetap bersikeras agar warga MTA mau

menjalankan tradisi. Menurut Pak Kamituwo Saji:

Nek warga, nak gelem kajatan yo ora popo. Mbok teko ngomah berkate

pakakne pitik ora popo. Kono atine kan mboten purun. Sampai matipun

nggak mau”.

(Kalau bagi warga, kalau tidak mau ikut kenduri tidak apa-apa. Kalau sampai

rumah nasinya diberikan kepada ayam pun tidak apa-apa. Mereka anggota

MTA tidak mau. Sampai mati pun tidak mau menerima).

154

Dokumen desa, Laporan penolakan kedatangan warga MTA di dusun Bangkerep oleh warga

setempat, tertanggal 15 September 2003

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 128: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

116

Setelah beberapa kejadian konflik terbuka tersebut, upaya rekonsiliasi dilakukan

oleh aparat keamanan bersama pihak pemerintahan. Berangsur-angsur warga MTA

yang berada di Solo kembali ke Bangkerep, termasuk Wakidi yang dianggap warga

sebagai tokoh MTA di dusun tersebut.

2. Satu Dusun Dua Masjid

Pasca konflik tahun 2003, kehidupan Bangkerep berjalan seperti biasa.

Perselisihan yang berujung bentrokan fisik tidak terjadi lagi. Namun bukan berarti

perbedaan pendapat mengenai hal yang berkaitan dengan praktek keagamaan dan

tradisi selesai begitu saja. Apalagi, perdamaian yang terjadi antara warga MTA dan

warga Bangkerep lebih karena pendekatan keamanan, terutama ancaman pihak

kepolisian yang akan menahan siapapun yang memulai keributan.

Konflik laten antar warga dan warga MTA berujung pada berdirinya Masjid Al

Furqon (bahasa Arab: Pembeda) yang dibangun oleh warga MTA yang hanya

berjarak puluhan meter dari Masjid Baitun Nahdliyin milik warga umum. Dua masjid

dalam satu dusun dengan jarak yang berdekatan merupakan hal yang tidak biasa

dalam kehidupan sosial keagamaan umat Islam, apalagi di dusun kecil seperti

Bangkerep.155

Sementara dalam sejarah MTA, Bangkerep adalah satu-satunya tempat

155

Tempat ibadah dalam Islam biasanya dibedakan dari kapasitas dan fungsinya. Langgar atau mushola

hanya dipakai untuk menjalankan ibadah sholat lima waktu dan digunakan oleh komunitas kecil,

sementara masjid umumnya juga dipakai untuk menjalankan shalat Jumat dan digunakan oleh

komunitas yang besar. Dalam pandangan kitab-kitab keagamaan klasik Islam Sunni yang umumnya

dianut masyarakat Indonesia, salah satu syarat untuk bisa menjalankan sholat Jumat adalah jumlah

jamaah minimal sebanyak 40 orang yang tinggal menetap di tempat berdirinya masjid tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 129: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

117

di seluruh perwakilan atau cabang MTA di seluruh Indonesia yang memiliki masjid

sendiri karena MTA memang tidak pernah memerintahkan warganya untuk

menjalankan ibadah terpisah dari warga dengan faham keagamaan yang berbeda

lainnya.

Berdirinya Masjid Al Furqon milik warga MTA berawal dari masih adanya

warga yang tidak suka dengan pemahaman warga MTA. Saat itu warga MTA masih

menjalankan shalat di masjid Baitun Nahdliyin, namun menurut Wakidi, seringkali

warga MTA mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari beberapa warga.

Misalnya sandal milik warga MTA disembunyikan atau dibuang di selokan depan

masjid. Masjid Baitun Nadhliyin sendiri awalnya bernama Baitun Nur. Ketika konflik

terbuka antara warga dusun dengan warga anggota MTA sedang mencapai

puncaknya, salah seorang kiai NU dari kecamatan mengganti nama masjid menjadi

Masjid Baitun Nahdliyin.

Beberapa waktu kemudian warga dusun secara terang-terangan meminta

warga anggota MTA untuk tidak lagi shalat di Masjid Baitun Nahdliyin. Warga

beralasan karena pemahaman dan praktek keagamaan mereka berbeda sehingga tidak

usah lagi bersama-sama dalam urusan menjalankan ibadah. Atas penolakan tersebut,

warga anggota MTA untuk sementara menjalankan ibadahnya di sebuah rumah yang

menjadi semacam kantor atau pusat kegiatan mereka. Bersamaan dengan itu pula,

pengurus MTA setempat kemudian mengajukan surat pemberitahuan dan perijinan

kepada pihak pemerintah dan kantor urusan agama setempat untuk mendirikan masjid

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 130: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

118

sendiri. Setelah mendapatkan ijin dari pihak berwenang setempat, maka pada tahun

2009 warga MTA pun memiliki masjid sendiri yang diresmikan oleh Ketua Umum

MTA Ahmad Sukina, Ketua MUI Drs. Amidhan, dan Bupati Blora Drs Yudhi

Sanchoyo melalui sebuah acara peresmian dan pengajian yang cukup meriah.

Kontras dengan Masjid Baitun Nahdliyin yang menempati bangunan semi-

permanen sederhana, Masjid Al Furqon berdiri megah dengan model bangunan

modern dan berukuran jauh lebih besar. Berjarak satu rumah dari Masjid Al Furqon

berdiri bangunan lain yang juga besar dan modern yang menjadi kantor Perwakilan

MTA di Blora sekaligus menjadi pusat kegiatan dari organisasi tersebut.

Dengan adanya dua masjid yang saling berdekatan tersebut tak heran terjadi

semacam kontestasi dalam memperebutkan pengaruh dan otoritas keagamaan yang

tercermin dari berbagai kegiatan dan ciri khas di masing-masing masjid. Saat waktu

shalat tiba, panggilan adzan menggunakan pelantang suara terjadi hampir bersamaan.

Namun warga mudah membedakan mana panggilan adzan dari Masjid Baitun

Nahdliyin maupun Al Furqon. Panggilan adzan dari Masjid Baitun Nadliyin beirama

atau menggunakan cengkok seperti adzan pada umumnya, sementara Masjid Al

Furqon tidak memiliki irama dan lebih tegas. Seusai adzan, Muadzin (orang yang

melakukan adzan) di Masjid Baitun Nahdliyin melantunkan bacaan pujian berbahasa

Jawa atau Arab, sementara Masjid Al Furqon menganggap bacaan pujian tidak

memiliki dalil atau tuntunannya dalam Islam.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 131: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

119

Perbedaan lainnya adalah ketika shalat Jumat, Khotib (penceramah) di Masjid

Baitun Nahdliyin menggunakan bahasa Jawa. Sementara Khotib di Masjid Al Furqon

menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu jika di Masjid Baitun Nahdliyin khotbah

Jumat biasanya disampaikan oleh khotib yang berbeda-beda, sementara di masjid

milik warga MTA hanya memiliki satu khotib, yaitu Ustadz Suradi yang merupakan

ketua MTA Perwakilan Blora yang juga warga di dusun tersebut.

3. Antara Ladang dan Warung Kopi: Konflik dan Integrasi Pasca Konflik

Situasi Dusun Bangkerep yang terlihat normal paska konflik beberapa tahun

sebelumnya sebenarnya hanya terjadi di permukaan. Di tingkatan bawah warga

sebenarnya masih memendam konflik. Menurut Pak Kamituwo Saji, meski kelihatan

adem ayem, antara warga dengan warga MTA sebenarnya masih saling plirik-plirikan

(saling curiga satu sama lain). Dalam beberapa hal, situasi tersebut memang bisa

dilihat dalam relasi dan interaksi sehari-hari antara warga dengan warga MTA.

Ketika pihak dusun menggelar sedekah bumi di bawah pohon beringin, Pak

Kamituwo Saji berinisiatif menggelar acara kesenian di malam hari dengan

menampilkan musik rebana yang dimaksudkan untuk menyeimbangkan tradisi dan

nilai keagamaan. Pak Kamituwo meminta seluruh kepala keluarga tanpa kecuali untuk

iuran sebagai biaya sewa peralatan dan keperluan lainnya. Di rumah Pak Kamituwo

Saji, salah seorang ibu yang bertugas menarik iuran melapor bahwa warga anggota

MTA menolak memberikan iuran tersebut, padahal menurutnya kalau ada warga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 132: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

120

anggota MTA sakit atau meninggal mereka tersebut juga mendapat sumbangan dari

warga. Beberapa hari kemudian Wakidi selaku tokoh MTA menemui Pak Kamituwo

Saji untuk menjelaskan bahwa warga MTA tidak akan memberikan dana untuk

keperluan yang masih ada hubungannya dengan sedekah bumi yang menurut MTA

mengandung unsur kemusyrikan. Salah seorang warga, Pak Yatno mengatakan,

“Orang Islam kok dimintai sedekah kok tidak mau. Urusan dipakai untuk apa itu

terserah.” Sementara warga lainnya, Mas Ratno mengatakan bahwa orang MTA itu

tidak bisa hidup bermasyarakat.

Di sisi lain, kedua masjid sebagai pusat ibadah masing-masing selain

membedakan pemahaman keagamaan yang berbeda juga menjadi tempat untuk

bertugar gagasan dalam lingkup internal kelompok tanpa melibatkan pihak lain.

Seusai sholat, warga di Masjid Baitun Nahdliyin bercengkerama sambil berbicara

banyak hal, mulai dari situasi dusun, pertanian, dan sebagainya. Begitu juga dengan

Masjid Al Furqon, di mana warga MTA seusai sholat juga berkumpul dan mengobrol

mengenai peristiwa sehari-hari yang mereka alami.

Tidak hanya masjid yang berbeda, bahkan warung kopi yang di Bangkerep

menjadi ruang publik bersama seolah juga menjadi tempat yang membedakan

orientasi keagamaan mereka. Laki-laki Bangkerep umumnya menghabiskan waktu

mereka di warung kopi di sebelah selatan dusun. Sementara laki-laki anggota MTA

memilih untuk menikmati kopi di sebuah warung yang berdekatan dengan Masjid Al

Furqon milik MTA. Jika warga dusun pada umunya menikmati kopi sambil menonton

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 133: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

121

televisi sampai larut malam, merokok, bahkan berjudi kecil-kecilan, warga anggota

MTA hanya menikmati kopi dan mengobrol seperlunya lalu pulang kembali ke rumah

masing-masing. Bagi warga MTA merokok adalah larangan.

Dalam kesehariannya, jika ada warga anggota MTA yang berpapasan dengan

warga dusun, mereka hanya menyapa tanpa berbicara banyak. Selain itu, sebagaimana

nanti akan dijelaskan di bagian selanjutnya mengenai solidaritas warga MTA, warga

MTA juga memilih untuk meminta tolong kepada warga MTA lainnya, misalnya

pinjam meminjam barang, uang atau kebutuhan lainnya.

Namun dalam beberapa situasi, antara warga dengan warga MTA juga terjadi

proses integrasi dan saling memahami perbedaan masing-masing. Dalam upacara

pemakaman, misalnya dalam pemakaman Mbah Kariyem, warga MTA yang jelas-

jelas menolak kajatan karena tidak ada tuntunannya dalam Islam tetap menunjukkan

solidaritasnya. Warga MTA laki-laki memilih untuk menggali kuburan dengan warga

lainnya sehingga mereka tidak terlibat dalam prosesi kenduri sebelum pemakaman.

Sementara perempuan anggota MTA seusai melayat biasanya langsung pulang ke

rumah masing-masing.

Integrasi juga terjadi dalam transaksi dan mata pencaharian utama, yaitu bertani.

Lazimnya dalam masyarakat, roda ekonomi digerakkan oleh kebutuhan jasa untuk

memanen hasil bumi. Ketika warga hendak ndodos atau memanen ubi jalar, biasanya

menggerakkan tenaga kerja yang cukup banyak, termasuk warga MTA, begitu pula

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 134: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

122

sebaliknya. Obrolan atau saling tolong menolong biasanya terjadi antara warga

dengan warga MTA yang kebetulan sawah atau ladangnya berdekatan.

Selain itu, relasi yang lebih akrab antara warga dengan warga MTA biasanya

juga mudah terjalin antar ibu atau perempuan warga dusun dengan perempuan

anggota MTA. Mereka biasanya berkumpul di gardu dekat rumah Pak Kamituwo Saji

untuk mengobrol dan mengasuh anak dan berbicara satu sama lain dengan akrab dan

hangat.

4. Konsolidasi MTA Bangkerep sebagai Pusat MTA di Wilayah Blora

a. MTA Bangkerep di Tangan Generasi Kedua

Setelah mengalami pasang surut dan penolakan dari masyarakat, MTA di

Bangkerep mengalami perkembangan yang cukup pesat. Meski bertempat di dusun

kecil, saat ini MTA di Bangkerep merupakan pusat dari kegiatan MTA di seluruh

Kabupaten Blora atau dalam struktur organisasi MTA merupakan kantor perwakilan

yang membawahi anggota di seluruh Blora (setingkat kabupaten). Secara resmi, MTA

perwakilan Blora diresmikan pada 24 April 2005 atau tepat dua tahun setelah konflik

dengan warga Bangkerep selesai. Kini MTA perwakilan Blora membawahi tujuh

MTA Cabang (setingkat kecamatan) di seluruh Blora.

Ketua MTA perwakilan Blora saat ini dipegang oleh Suradi yang secara usia

masih cukup muda. Saat konflik sepanjang tahun 2000-2003, Suradi saat itu masih

berumur sekitar 15 tahun dan baru saja lulus SMP. Ia adalah keponakan Wakidi,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 135: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

123

perintis MTA di Bangkerep. Setelah konflik usai, Suradi pergi ke Solo untuk bekerja

dan mengaji di MTA Pusat selama lebih kurang dua tahun. Selaku ketua perwakilan,

Suradi dibantu oleh Suwanto dan Susilo. Suwanto dan Susilo juga masih sangat muda,

beberapa tahun di bawah Suradi. Mereka bertiga merupakan generasi kedua MTA di

Bangkerep, setelah masa Tumin, Wakidi dan Sudipo. Mereka juga memiliki

kesamaan “nasib” yaitu sama-sama masih berusia remaja belasan tahun ketika konflik

antara warga Bangkerep dengan warga MTA terjadi sepanjang tahun 2000-2003.

b. Kehidupan Sehari-hari Warga MTA Bangkerep

Sebagai anggota organisasi keagamaan yang bercorak puritan, seluruh warga

MTA sangat tegas menolak dan meninggalkan berbagai praktek keagamaan sinkretis

yang masih berakar kuat di Bangkerep. Yang paling ditentang adalah sedekah bumi di

bawah pohon beringin, karena selain tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam,

kegiatan tersebut juga mengandung unsur kemusyrikan yang merupakan dosa besar

dalam Islam. Praktek lainnya adalah Tahlilan dan Yasinan (mendoakan orang

meninggal) serta kegiatan ibadah lainnya yang mengandung unsur kepercayaan lokal.

Selain itu, warga MTA di Bangkerep juga terikat dengan berbagai aturan yang

ditetapkan oleh organisasi MTA Pusat. Misalnya, kewajiban hadir di pengajian

dengan konsekuensi dikeluarkan jika tidak hadir tanpa keterangan selama tiga kali

berturut-turut. Warga MTA juga dilarang untuk merokok karena merupakan

perbuatan yang boros dan mengganggu kesehatan. Secara spesifik, aturan dalam MTA

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 136: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

124

melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Dalam kesehariannya,

aturan tersebut sangat dipatuhi oleh warga MTA, misalnya dalam acara resepsi

pernikahan. Saat warga MTA menggelar hajatan pernikahan, tamu laki-laki dan

perempuan dipisahkan oleh hijab atau kain pembatas, sesuatu yang tidak lazim jika

warga Bangkerep atau desa-desa lainnya menggelar hajatan pernikahan atau kenduri

lainnya.

Yang sangat menarik adalah penampilan warga MTA yang relatif berbeda

dengan warga Bangkerep pada umumnya. Warga MTA laki-laki bisa dikenali dari

pakaian mereka yang selalu rapi untuk ukuran dusun, terutama jika hendak melakukan

shalat atau kegiatan pengajian. Menjelang shalat Dzuhur, mereka biasanya mandi dan

membersihkan diri setelah setengah hari berada di sawah atau ladang. Hampir tidak

ada warga MTA yang memakai sarung atau kopiah saat ke masjid atau mengikuti

kegiatan di Majelis, umumnya kemeja dan celana panjang. Penampilan mereka sangat

kontras dengan warga umumnya yang sholat di masjid Baitun Nadhliyin, yang

umumnya mengenakan sarung dan kopiah, sebagian bahkan mengenakan pakaian atau

penampilan fisik yang jauh dari kesan bersih dan rapi.

Selain itu, kaum perempuan di Bangkerep sangat mudah dikenali apakah

mereka warga MTA atau bukan. Warga MTA perempuan bisa dikenali dari jilbab

atau penutup kepala mereka yang cukup lebar dan menutupi hampir separuh tubuh

mereka. Sementara kaum perempuan Bangkerep umumnya tidak mengenakan jilbab

atau kerudung dalam kehidupan sehari-harinya dan hanya dikenakan pada saat acara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 137: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

125

pengajian. Beberapa perempuan Bangkerep memang mengenakan penutup kepala

dalam menjalankan kegiatan sehari-hari -salah satunya istri Pak Kamituwo Saji-

namun umumnya mereka hanya mengenakan kerudung atau jilbab pendek yang hanya

menutupi kepala tanpa menutup tubuh mereka.

c. Dua Pengajian di Hari Selasa

Selasa adalah hari yang sangat sibuk di Bangkerep. Sebagian warga –terutama

warga MTA- mengakhiri kegiatannya di sawah atau ladang lebih awal. Mereka

kemudian menuju ke Majelis atau kantor MTA dengan berpakaian rapi, celana

panjang dan menenteng tas berisi Al Quran, buku tulis dan pulpen.

Seusai sholat berjamaah, kegiatan dimulai dengan kegiatan Tahsinul Quran atau

memperbaiki cara membaca Al Quran. Tidak semua warga MTA mengikuti kegiatan

tersebut dan biasanya hanya diikuti oleh mereka yang belum lancar dalam membaca

Al Quran. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang guru khusus yang ditunjuk oleh

pengurus MTA sendiri.

Acara selanjutnya yang juga merupakan acara inti adalah pengajian cabang,

salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh warga MTA di seluruh Indonesia. Di

masing-masing cabang, biasanya diselenggarakan seminggu sekali dengan jadual

berbeda-beda.

Yang menarik dari pengajian ini adalah metode dan pelaksanaannya yang

dipimpin oleh ustadz yang khusus didatangkan dari MTA pusat. Warga MTA yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 138: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

126

hadir dipisah menurut jenis kelamin. Warga MTA laki-laki berada di sebelah depan,

sementara warga MTA perempuan di belakang dipisahkan dengan kain pembatas.

Selain dari Dusun Bangkerep, mereka juga berasal dari desa lain di sekitar Desa

Balong. Di sebelah depan, sebuah meja dan kursi disediakan untuk Ustadz yang

mengisi pengajian. Seluruh peserta pengajian diwajibkan membawa satu buah buku

tulis, pensil dan Al Quran terjemahan.

Ustadz Ngabdi, berusia sekitar 50-an tahun, menjadi penceramah tetap yang

mengisi pengajian di Bangkerep. Ia merupakan ustadz senior dari Surakarta. Sebelum

memulai pengajian, ia memeriksa daftar kehadiran anggota, dan menanyakan siapa

yang tidak hadir berikut apa alasannya. Pemeriksaan daftar kehadiran di pengajian

cabang dan pengajian khusus merupakan aturan baku di MTA. Bagi warga yang tidak

hadir tiga kali berturt-turut tanpa alasan yang jelas maka ia dikeluarkan dari

keanggotaan MTA. Setelah pemeriksaaan daftar hadir selesai, ustadz Ngabdi

melanjutkan dengan menyampaikan salam dari ketua umum MTA Ahmad Sukina.

Dalam pengajian rutin tersebut, Ustadz Ngabdi membawakan satu topik

tertentu. Ia mengawalinya dengan membaca salah satu ayat Al Quran. Warga

menyimak dengan Al Quran yang dibawanya. Setelah itu Ustadz Ngabdi menjelaskan

keterangan ayat tersebut sementara anggota MTA mencatat di buku masing-masing.

Di bagian akhir pengajian selalu dibuka sesi tanya jawab di mana anggota MTA bebas

bertanya hal apapun, baik masalah keagamaan, keluarga maupun organisasi.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu dijawab dengan merujuk pada dari pedoman

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 139: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

127

atau dalil dari Al Quran dan Hadits atau panduan dari pengurus MTA Pusat, dalam

hal ini ketua umumnya Ahmad Sukina. Pengajian rutin ini biasanya selesai menjelang

magrib.

Saat pengajian cabang di kantor MTA berlangsung, di tempat lain ibu-ibu

Bangkerep juga mengadakan pengajian. Berbeda dengan kegiatan MTA yang

dipusatkan di kantor, pengajian ibu-ibu Bangkerep dilaksanakan bergantian di

masing-masing rumah. Selain itu, jika pengajian cabang di kantor MTA tidak

menggunakan pelantang suara yang mengarah ke luar, maka pengajian ibu-ibu

menggunakan pelantang suara yang bisa didengar dari seluruh penjuru dusun.

Pengajian ini bukan berupa ceramah atau mengkaji materi tertentu, melainkan secara

khusus membaca yasin dan tahlil. Sementara ceramah pengetahuan agama dilakukan

sebulan sekali oleh kiai yang didatangkan dari kecamatan.

d. Pengajian warga MTA Khususi di hari Jumat

Di Dusun Bangkerep tercatat sekitar 30 KK atau hampir 90 warga bergabung

dengan MTA. Namun dari sekian jumlah tersebut, tercatat hanya 13 orang yang

merupakan anggota Khususi, atau anggota khusus yang memiliki kualifikasi di bidang

pengetahuan keagamaan yang lebih serta diukur dari berapa lama seorang anggota

bergabung dibanding anggota lainnya.

Warga anggota MTA yang sudah termasuk dalam kategori Khususi selain

mengikuti pengajian cabang juga mengikuti pengajian Khususi yang diselenggarakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 140: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

128

setiap hari Jumat di kantor pusat MTA di Surakarta. Tepat seusai Sholat Jumat, Suradi

dan anggota MTA lainnya secara berombongan berangkat ke Surakarta menggunakan

mobil milik Sunardi yang juga anggota MTA. Setelah menempuh perjalanan selama

lebih kurang empat jam, mereka tiba di kantor pusat MTA dan segera bergabung

dengan warga Khususi MTA lainnya di seluruh Indonesia. Acara ini berlangsung

sampai menjelang Shalat Maghrib, dan dilanjutkan dengan pertemuan informal antar

anggota. Menjelang dini hari, Suradi dan rombongan biasanya baru sampai di dusun

mereka kembali.

e. Ustadz Muda

Setiap hari Senin, Suradi bersama dengan Suwanto pergi ke Surakarta

menggunakan sepeda motor. Mereka mengikuti pengajian yang diselenggarakan

khusus untuk membina ustadz-ustadz yang mengisi pengajian di wilayahnya masing-

masing.

Selaku pengurus MTA Perwakilan Blora, Suradi dan Suwanto adalah dua warga

yang sudah mendapatkan semacam lisensi dari MTA Pusat untuk mengisi pengajian

di masing-masing cabang di Blora. Tidak heran jika jadual keduanya sangat padat. Di

hari Rabu misalnya, Suradi mengisi pengajian di MTA Cepu dan MTA Kedungtuban

yang berjarak puluhan kilometer dari Bangkerep. Sementara hari Kamis, Suwanto

berceramah di Japah dan Todanan. Belum lagi pengajian binaan, atau tahap persiapan

sebelum menjadi cabang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 141: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

129

Dengan model organisasi yang hirarkis, Suradi dan Suwanto sebagai ustadz

menjadi fenomena yang sangat menarik. Hal ini karena usia keduanya yang masih

sangat muda, sementara warga MTA yang mengikuti pengajian banyak yang berusia

lebih tua dari mereka. Bahkan banyak warga MTA di Blora yang berasal dari

kalangan pejabat maupun birokrat baik di kantor kecamatan maupun kabupaten.

Apalagi Suradi secara formal hanya berpendidikan SMP, meski kemudian

melanjutkan ke Kejar Paket C dan saat ini sedang kuliah di sebuah perguruan tinggi

swasta di Blora. sementara Suwanto juga lulusan SMP, dan sehari-harinya berprofesi

sebagai petani. Selama pengajian, keduanya dipanggil dengan sebutan Ustadz.

f. Pengajian Ahad pagi

Sama seperti warga MTA lainnya, warga MTA Bangkerep juga menghadiri

pengajian Ahad Pagi (Jihad Pagi) yang diselenggarakan di Surakarta. Acara yang

dipimpin langsung oleh ketua umum MTA Ahmad Sukina ini menjadi semacam

puncak pertemuan warga MTA di seluruh Indonesia. Hampir seluruh warga MTA

Bangkerep hadir dalam acara ini bersama-sama dengan warga MTA dari berbagai

cabang di seluruh Kabupaten Blora.

Yang menarik adalah ketika pengajian berlangsung di Surakarta yang juga

disiarkan secara langsung melalui radio MTA FM ke seluruh Indonesia, warga

anggota MTA Bangkerep yang tidak berangkat mengikuti Jihad Pagi juga menyiarkan

siaran radio pengajian tersebut melalui pelantang suara dari masjid MTA hingga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 142: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

130

terdengar ke seluruh dusun. Tidak heran jika pada awalnya warga dusun Bangkerep

lainnya sempat terganggu dan acapkali tersinggung dengan materi pengajian yang

banyak menyoroti berbagai praktek keagamaan yang bercampur dengan tradisi yang

masih banyak terjadi di masyarakat. Namun lama kelamaan, warga dusun

menganggap biasa siaran radio tersebut.

g. Solidaritas dalam Kelompok

Malam sehabis sholat Isya‟ (28/8/2012) saya mengikuti pertemuan kelompok di

rumah Paiman, salah seorang warga MTA yang tinggal di Dusun Balong. Seharusnya

yang datang sebanyak 6 orang, namun 2 dari anggota kelompok ijin karena pergi ke

desa sebelah. Tidak banyak yang dibicarakan pada malam itu, selain informasi bahwa

akan ada gotong royong untuk menyiapkan tempat pelaksanaan pengajian MTA

sekaligus peresmian beberapa cabang MTA yang akan dipusatkan di Blora kota.

Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, perbedaan MTA dibanding

organisasi Islam lainnya adalah model kepemimpinan yang hirarkis dan sentralistik,

serta ditunjang dengan aturan organisasi yang mengikat dan berfungsi untuk menjaga

loyalitas anggotanya. Kelompok adalah tingkatan terkecil dalam struktur organisasi di

MTA di mana setiap kelompok rata-rata terdiri dari 5-7 orang. Setiap kelompok

diharuskan menggelar pertemuan seminggu sekali dengan acara utama berupa

pendalaman materi pengajian, dilanjutkan dengan pengumuman atau informasi dari

organisai, serta diskusi dan tukar pikiran mengenai berbagai hal, terutama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 143: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

131

menyangkut perkembangan organisasi. Pertemuan kelompok ini biasanya digelar

secara bergiliran di rumah masing- anggota kelompok.

Setiap anggota MTA harus bergabung dalam kelompok tanpa kecuali, bahkan

meski ia mempunyai posisi atau jabatan tertentu dalam organisasi. Suwanto misalnya,

meski secara struktur menjadi pengurus dan juga salah satu ustadz yang memiliki hak

untuk memberikan ceramah untuk MTA di seluruh Blora, dia tetap tergabung dalam

kelompok bersama dengan warga MTA lainnya yaitu Paryanto dan Yatmin yang

merupakan warga Dusun Bangkerep serta Yatno dan Paiman yang berasal dari Dusun

Balong.

Selain mengkaji ilmu agama dan sarana untuk berdiskusi, kelompok juga

berfungsi untuk membangun solidaritas antar warga MTA, khususnya dalam

kelompok tersebut, terutama jika ada anggota yang membutuhkan pertolongan, baik

yang sifatnya mendesak seperti sakit, meninggal, butuh pinjaman uang, atau juga

berupa informasi mengenai pekerjaan dan sebagainya. Sebagai contoh, Paiman yang

berprofesi sebagai pemborong hasil bumi berupa padi atau singkong biasanya mencari

informasi tentang siapa saja orang yang akan panen dan menjual hasilnya dari

pertemuan kelompok tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 144: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

132

BAB IV

REKONSTRUKSI IDENTITAS

A. Pendahuluan

Berbagai studi tentang agama dan globalisasi dijelaskan bahwa kemajuan

dunia modern dibarengi dengan gejala tumbuhnya identitas keagamaan dan

meningkatnya gairah keagamaan di beberapa kalangan dengan karakter ortodoks dan

doktrin yang ketat. Modernitas dan globalisasi dengan segala persoalan yang

mengikutinya menciptakan reaksi berupa menguatnya kecenderungan untuk kembali

ke otentisitas teks suci dan menerapkannya dalam berbagai aspek kehidupan sebagai

konsekuensi dari pencarian stabilitas dan identitas diri.

Bab Dua menjelaskan bagaimana globalisasi menciptakan gerakan

kebangkitan Islam dalam skala global sebagai reaksi atas berbagai persoalan sosial

yang muncul. Gerakan tersebut menyebar ke seluruh pelosok dunia melalui instrumen

dari globalisasi yaitu kebijakan negara serta teknologi komunikasi informasi dan

transportasi yang memungkinkan tersebarnya ide dan gagasan mengenai globalisasi.

Sementara Bab Tiga menjelaskan mengenai tatanan tradisional di Dusun Bangkerep

yang secara perlahan mengalami perubahan sosial menuju kondisi-kondisi yang

mengarah pada memudarnya kepercayaan terhadap tradisi lama dan upaya sebagian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 145: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

133

anggota masyarakat untuk beralih ke identitas baru sebagai Muslim yang taat dan

menenerapkannya dalam kehidupan sehari-hari secara ketat.

Bab ini menitikberatkan pada analisa di balik proses bergabungnya sebagian

anggota masyarakat ke organisasi Islam puritan MTA. Fokus dari bab ini adalah

bagaimana kondisi-kondisi modernitas dan persebarannya secara massif atau

fenomena globalisasi berpengaruh terhadap kondisi masyarakat serta identitas diri

individu di dalamnya. Dalam hal ini perubahan-perubahan sosial mengubah ikatan-

ikatan kolektif tradisional di Bangkerep dan pada saat yang sama menciptakan

kegamangan sehingga sebagian anggota memilih untuk bergabung dengan MTA

sebagai upaya pencarian stabilitas dan identitas diri di tengah arus globalisasi. Bagi

warga MTA di Bangkerep, bergabung dengan organisasi MTA bukan sekedar pilihan

untuk menjalankan ajaran Islam yang murni dengan cara melepaskan diri dari

kepercayaan tradisional di masa lalu, tetapi juga untuk menjalani kehidupan dalam

suatu komunitas besar yang dilandasi prinsip dan aturan ketat yang didasarkan dari

Al Quran dan Hadits di tengah dunia yang penuh dengan resiko dan persoalan.

Proses ini bisa dijelaskan dengan pemikiran Giddens mengenai tatanan post-

tradisional, yakni suatu tatanan masyarakat yang mengalami “ketidakpastian yang

diciptakan” sebagai konsekuensi dari modernitas. Dalam tatanan masyarakat post-

tradisional ini individu-individu di dalamnyan berupaya untuk mencari stabilitas dan

kepastian, di mana sebagian dari mereka menemukannya dalam organisasi Majelis

Tafsir Al Quran (MTA) sebagai organisasi keagamaan dengan struktur dan jaringan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 146: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

134

yang kuat yang mampu menyediakan keamanan ontologis bagi keberadaan mereka di

dunia sekarang ini.

B. Kondisi-kondisi Modernitatas dan Globalisasi serta Pengaruhnya Terhadap

Tatanan Masyarakat di Bangkerep

1. Kapitalisme dan Kebijakan Orde Baru

Menilik sejarahnya, dusun Bangkerep pada mula berdirinya adalah dusun

dengan gambaran sebagai komunitas lokal dengan segala tradisi dan kepercayaan

kosmologisnya. Dusun ini juga dicirikan dengan ikatan kekerabatan yang kuat,

rendahnya tingkat pendidikan, homogenitas pekerjaan sebagai buruh petani dan

tinggal di dusun yang relatif terpencil yang memungkinkan mereka tidak memiliki

akses untuk bertemu dengan nilai dan ide baru.

Dalam perkembanganya kemudian perubahan sosial mempengaruhi

karakteristik dusun tersebut, antara lain kebijakan pembangunan negara serta

masuknya nilai yang relatif baru dari luar, dalam hal ini di bidang keagamaan.

Dimulai pada tahun 1970-an, kebijakan depolitisasi pemerintah pusat merambah

Kecamatan Kunduran yang membawahi Desa Balong dan Dusun Bangkerep, antara

lain melalui serangkaian program administrasi pemerintahan dan pertanian maupun

proyek infrastruktur jalan dan sekolah. Dampak langsung dari kebijakan ini adalah

membaiknya tingkat pendidikan warga Desa Balong –termasuk di dalamnya warga

Bangkerep.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 147: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

135

Khusus untuk proyek pembinaan keagamaan yang menjadi program andalan

Orde Baru, proyek ini memberi dampak yang cukup besar bagi masyarakat dusun

Bangkerep. Sebagai upaya menangkal paham komunis, penguasa Orde Baru yang

didukung militer gencar melakukan penyuluhan keagamaan di wilayah-wilayah yang

menjadi basis komunis, termasuk di Blora, termasuk di wilayah Kecamatan Kunduran

yang pada saat itu dianggap dianggap menjadi basis komunis. Para tokoh agama yang

dikoordinasi oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kunduran memberikan

penyuluhan keagamaan setiap satu bulan sekali yang dipusatkan di Desa Balong.

Selain itu pembangunan proyek infrastruktur berupa masjid dan Madrasah Diniyah

(sekolah agama informal di sore hari) memberi dampak bagi tumbuhnya gairah

keagamaan di dusun Balong. Kemudian beberapa warga seperti Wakidi dan Tumin

yang belajar agama di Madrasah Diniyah di Balong dan menjadi orang-orang pertama

yang menghidupkan kegiatan keagamaan di Bangkerep, termasuk menjadi pelopor

berdirinya MTA di Bangkerep. Kehidupan di Bangkerep juga mulai muncul setelah

salah satu warga Dusun Balong yaitu Mbah Mus menikah dengan warga Bangkerep

yang kemudian karena pengetahuan keagamaannya menjadi salah satu orang yang

dituakan di Bangkerep.

Pada tahap berikutnya perkembangan MTA di Bangkerep merupakan bagian

dari fenomena tumbuhnya gairah keagamaan yang cenderung puritan dalam skala

yang lebih luas. Hal tersebut bisa dilihat ketika pada tahun 1987 seorang pemuda

Bangkerep bernama Tumin merantau ke Solo untuk bekerja atau pada tahun-tahun

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 148: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

136

tersebut MTA sebagai sebuah organisasi keagamaan baru saja berdiri di Solo

sekaligus pada masa ketika penguasa Orde Baru sedang gencarnya menggulirkan

agenda pembangunan yang berorientasi pada industri dan memberlakukan berbagai

kebijakan depolitisasi demi tercapainya stabilitas sosial politik. Situasi ini

mencerminkan berjalannya dimensi modernitas yang dimaksud Giddens, yakni ketika

negara menjadi ruang bagi ekspansi kapitalisme dan industrialisme karena negara

memiliki wilayah kekuasaan administratif dan instrumen yang melegitimasi

kekuasaan yaitu kekuatan militer. Dengan kata lain, untuk bisa berkembang dengan

baik, kapitalisme dan industrialisme membutuhkan stabilitas sosial politik dan

keamanan.

Pada tahun 1987, Tumin pulang ke Bangkerep dan berupaya mengembangkan

ajaran Islam yang dia dapatkan dari MTA pusat di Surakarta ke Bangkerep. Ia mulai

mengaktifkan kegiatan keagamaan di mushola dusun dan menggelar pengajian di

tempat tersebut. Apa yang dilakukan Tumin tersebut disambut baik oleh sebagian

warga Bangkerep yang memang pada saat itu mulai menunjukkan minat terhadap

kegiatan keagamaan sebagai dampak langsung dari kebijakan pembinaan mental

keagamaan dari pemerintah.

Dalam konteks ini agenda pembangunan Orde Baru, baik infrastruktur

maupun pembinaan mental keagamaan merupakan apa yang disebut Giddens sebagai

mekanisme pengawasan baik melalui kekuasaan administratif maupun kekerasan

untuk menciptakan ketertundukan masyarakat demi pembangunan. Giddens

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 149: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

137

menyebutnya sebagai pasifikasi internal yakni penundukan negara atas masyarakat

dengan membangun ketaatan hukum dan politik.156

Selain melalui proyek

penyuluhan, kondisi ini bisa dilihat dari intervensi negara ke seluruh wilayah

kehidupan sehari-hari penduduk desa melalui struktur birokrasi, di mana kepala desa

adalah anggota Golkar sebagai mesin birokrasi yang berfungsi menjaga kendali atas

kegiatan-kegiatan desa. Dengan demikian negara muncul sebagai otoritas dominan,

menggantikan bentuk-bentuk tradisional.157

2. Ketika Tradisi Dipertanyakan

Sebagai suatu dusun yang mulanya memiliki karakteristik tradisional,

Bangkerep mengalami proses yang disebut Giddens sebagai proses detradisionalisasi

yakni tersisihnya tradisi yang menjadi kerangka tafsir dan pemaknaan terhadap

kehidupan. Detradisionalisasi terjadi sebagai akibat intervensi dari luar komunitas

yang memungkinkan setiap individu di dalamnya bertemu dan menerima ide baru

yang sama berbeda dengan tradisi dan tatanan yang selama ini mereka hidupi. Dalam

konteks Bangkerep, detradisionalisasi terjadi melalui kebijakan pemerintah terutama

di bidang keagamaan, serta mobilitas dan arus informasi yang member ruang

terjadinya persinggungan beberapa individu dengan organisasi keagamaan lokal,

seperti NU dan Muhammadiyah, dan kemudian MTA.

156

Anthony Giddens, Nation State and Violence, Vol II A contemporar Critique of Historical

Materialism, Polity Press, 1985 157

Hassan, ibid, hal. 253

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 150: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

138

Intervensi dari luar berpengaruh terhadap esensi beberapa ritual di Bangkerep

seperti sedekah bumi. Ritual yang mewakili apa yang disebut tradisi kecil memang

masih dilakukan oleh warga Bangkerep, namun tidak lagi menjadi pertimbangan

untuk mengambil keputusan. Adat istiadat lokal menjadi kebiasaan tak bermakna atau

dalam bahasa Giddens menjadi relic atau semacam museum.

Contoh nyata dari kasus ini sedekah bumi di bawah pohon besar. Sebelumnya,

ritual sedekah bumi identik adalah ritual untuk memohon keselamatan kepada para

danyang dan kekuatan gaib penunggu dusun dengan cara membakar kemenyan dan

merang dan menggunakan doa-doa Jawa. Belakangan sejak kepala dusun dijabat oleh

Pak Saji ia mengganti kemenyan dengan menabur garam di sekeliling pohon beringin.

Ia juga mengganti doa Jawa dengan doa Islam. Perubahan ini diakui pak Kamituwo

sejak adanya beberapa ceramah dari tokoh NU yang sering memberi pengajian rutin

pasca konflik dengan warga MTA. Menurut pak Saji:

Sebelumnya ya menggunakan (kemenyan). Orang-orang tua sudah

meninggal ganti generasinya. Saya menggantinya dengan garam.

Maksudnya ya penolakan. Intinya sama. Kepercayaan. Kan kalau yang

pakai kemenyan dianggap memuja. Ya menghindari, dirintis sedikit

demi sedikit. Doanya ya saya sarankan memakai doa Islam. Dulu saya

tidak tahu, kepercayaan masing-masing orang. Dulu yang tidak bisa

(berdoa) pakai (bahasa) Islam ya pakai (bahasa) Jawa. Kalau yang

orang Jawa tulen ya isinya penolakan roh-roh jahat, roh halus...158

Karakteristik utama detradisionalisasi adalah bukan berarti hilangnya tradisi,

tetapi tradisi menjadi lebih terbuka untuk dipertanyakan untuk kemudian berkembang

158

Terjemahan wawancara dengan Pak Kamituwo Saji, 17 April 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 151: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

139

dalam konteks yang berbeda. Tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan

keputusan sehingga ketika tradisi tidak lagi memberi jawaban yang memuaskan bagi

keberadaan dirinya, seseorang bisa berpaling dan memakai pertimbangan lain dari

sumber lain.159

Hal ini terjadi pada warga Bangkerep yang bergabung dengan MTA,

di mana sebagian besar dari mereka sebelumnya pernah melakukan praktek-praktek

tradisional di dusun mereka. Belakangan mereka kemudian mempertanyakan manfaat

dari berbagai praktek tradisional tersebut. Sedekah bumi, pawai mengarak pengantin,

dan praktek tradisional lainnya tidak lagi dianggap bermanfaat. Sebaliknya mereka

memilikin kebebasan untuk mengkritisi praktik tersebut dan memilih panduan hidup

lain yang lebih sesuai dengan kondisi mereka saat ini dalam bentuk tradisi yang sama

sekali berbeda, yakni Al Quran dan Hadits.

Wakidi adalah orang yang tahu persis bagaimana situasi awal di Bangkerep

yang sepi dari kegiatan agama dan sebaliknya penuh dengan ritual-ritual kosmologis

khas dusun. Ia juga mengakui dulunya ikut mengikuti ritual-ritual tersebut. Namun

setelah berkenalan dengan nilai dari luar dusun, dalam hal ini ajaran MTA yang

dibawa oleh Tumin atau ketika ia mengaji ke Todanan kepada tokoh Muhammadiyah,

secara perlahan ia mempertanyakan praktek-paktek tradisional di Bangkerep. Meski

demikian ia belum sepenuhnya meninggalkan semua praktek tersebut meninggalkan

kebiasaan tersebut meski tidak secara langsung. Wakidi mengatakan:

Tahun 1986 awal saya mulai kenal MTA. Sejarahnya dulu saya dengan

pak Tumin bersama-sama dengan rekan-rekan di sini ngaji di mbah

159

I Wibowo, Anthony Giddens, artikel diunduh dari http://www.unisosdem.org/

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 152: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

140

mantan (Lurah). Pak Tumin ikut orang tua di Solo. Setelah itu karena

ngaji temannya sudah ndak banyak, agak malas, akhirnya akhirnya

saya pindah ke guru dari Todanan namanya pak Iswandi itu 2,5

tahun...bersamaan dengan waktu-waktu itu pak Tumin setiap pulang di

Bangkerep ngomong-ngomong masalah pengajian tapi tidak

mengatakan MTA.Cuma ngaji Quran Sunah. Kan sama kalo waktu itu

saya ngaji dengan Muhammadiyah, sama....ke Solo satu bulan sekali

dua bulan sekali...tahun 1987 saya menikah, sudah ngaji Quran Sunah

itu 1,5 tahun itu sudah bisa menimbang ini baik ini tidak...umumnya

tradisi di masyarakat manten pria diantar ke sendang besar membawa

tumpeng membawa tombak, mandi di situ yang putri di sana...waktu

itu saya sudah berusaha maksimal tidak melaksanakan....Waktu itu

saya masih nimbrung. Tahlilan yasinan masih mengikuti. Ya Cuma

satu itu tidak mau ke sendang itu.160

Begitu juga dengan Suradi. Sejak remaja ia mempelajari agama Islam bersama

pamannya, Wakidi dan kemudian ia mulai kritis dengan berbagai praktek tradisional

di dusunnya. Seperti kegiatan sedekah bumi, menurutnya warga dusun yang

melakukan praktek tersebut sama sekali tidak tahu maksud dan tujuannya. Hal ini

disampaikan Suradi:

Orang tua saya dulu kan tidak solat. Saya sudah mengaji di MTA. Saya

tanya sebenarnya yang di pohon besar kok dilaksanakan itu kenapa?

(Kata bapak) begini, di pohon besar itu ada penunggunya. Yang

mbahurekso. Yang menjaga kampung. Kalau tidak di beri sesaji itu

nanti orang desa bisa kena bendana. Bisa saja tidak panen atau kena

penyakit. Nah (menurut saya) itu kan sudah jelas-jelas mengarah pada

kemusyrikan.161

Suradi juga menceritakan bagaimana ia kritis terhadap pawai mengarak

pengantin ke sumur atau sendang dusun. Ia menceritakan:

160

Terjemahan wawancara dengan Wakidi, MTA, 19 April 2012 161

Terjemahan wawancara dengan Suradi, MTA, 26 April 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 153: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

141

Dulu waktu masih muda ya sering ikut (pawai )mengantar (pengantin).

Semua sudah lengkap. Waktu masih muda sudah lengkap mengikuti

acara-acara itu. Belum tahu (Islam) ya senang. Sesudah tahu ya tapi

masih ikutan, tapi sudah mulai menyepelekan. Dulu saya kalau ada

pawai pengantin itu saya yang disuruh bawa tombak. Tombak itu tidak

boleh dibawa seperti ini. Harus dipegang dengan benar. (Tombak)

tidak boleh mengarah ke bawah. Saya kan kritis. Mulai mengaji. Saya

bertanya: Kenapa harus membawa tombak pak? (Kata bapak) itu dulu

mengantar pengantin ke sumur karena berjaga-jaga kalau ada harimau

atau binatang buas. (Saya bilang) sekarang kan sudah tidak ada

harimau kok masih pakai tombak? (Kata bapak) sudah tidak usah

macam-macam. Lalu tombak saya buat mainan seperti kalau sedang

bermain silat. Saya dimarahi warga. Tidak boleh, nanti kualat. Tombak

dianggap ada penunggunya. Jin atau apa. Tombak dianggep ada yang

menunggu. Jin atau apa. Kalau nanti membawanya tidak benar yang

membawa marah.162

Dengan kata lain, persinggungan dengan berbagai ide atau nilai lain dari luar

dusun membuat sebagian individu merasa menjadi lebih mandiri dan tidak lagi terikat

pada tradisi kosmologis yang pernah ada di kampung mereka. Mereka memiliki

kebebasan untuk merefleksikan dan mengkritisi praktik tradisional dari leluhur dan

memilih mana yang lebih sesuai dengan kondisi mereka saat ini, dalam hal ini adalah

hanya melakukan praktek yang sesuai dengan ajaran agama secara murni dan

memiliki dasar hukum, yaitu Quran dan Hadits.

3. Dari Ikatan Lokal ke Ikatan Komunitas MTA

Ketika warga Bangkerep menggelar tradisi sedekah bumi di bawah pohon

besar, mereka berupaya untuk menghadirkan makna dan nilai komunal yang

162

Terjemahan wawancara dengan Suradi, MTA, 26 April 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 154: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

142

dipercayai leluhur mereka di masa sekarang dengan pengharapan bahwa kehidupan

mereka di masa mendatang, terutama di bidang pertanian akan menjadi lebih baik.

Tradisi ini dilakukan sehabis panen pertama setiap tahunnya di mana seluruh warga

dusun bersama-sama hadir di bawah pohon besar dengan ritual yang dipandu oleh

Kamituwo dan Modin.

Menurut pemikiran Giddens, dalam tatanan masyarakat tradisional dimensi

kehidupan didominasi oleh kehadiran dan aktifitas yang terlokalisasi. Ritual-ritual

yang dilakukan masyarakat Bangkerep adalah cara untuk mengontrol waktu, atau

menghadirkan masa lalu di masa sekarang untuk pengharapan di masa mendatang.

Selain itu, kehidupan warga dusun mensyaratkan kebersamaan di mana setiap orang

hadir dalam setiap kegiatan bersama. Dengan tidak menghadiri suatu kegiatan

tertentu, seseorang dianggap menyalahi kebiasaan atau bahkan tidak lagi menjadi

bagian dari warga dusun. Kehadiran menjadi syarat penting untuk menegaskan

eksistensi seorang warga di dusun Bangkerep. Hal ini disampaikan Ratno, salah

seorang warga Bangkerep yang termasuk sangat vokal menentang kehadiran MTA:

Mereka (warga MTA) itu adalah orang yang tidak bisa hidup

bermasyarakat. Mereka punya aturan sendiri, zakat, iuran-iuran,

baiat.163

Sebaliknya, modernitas ditandai dengan penjarakan ruang dan waktu juga

yang membuat ketidakhadiran mendominasi hubungan perjumpaan antar-pribadi.

Penjarakan ruang dan waktu memungkinkan dibangunnya sarana organisasi modern

163

Terjemahan wawancara dengan Ratno,warga desa, 17 April 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 155: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

143

yang rasional, di mana sebuah organisasi semakin mampu menghubungkan satu

wilayah tertentu dengan wilayah lain di dunia yang saling berjauhan sehingga dengan

demikian organisasi modern dapat menjangkau dan mempengaruhi banyak orang.

Ketika seorang warga anggota MTA di dusun Bangkerep melepaskan diri dari ikatan

tradisional dengan meninggalkan praktik-praktik leluhur mereka, pada saat yang sama

mereka mendefinisikan diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar,

yaitu umat Islam yang melaksanakn ajaran Islam secara murni dan Kaffah.

Struktur hirarkis MTA sebagai organisasi modern memungkinkan

pengendalian anggotanya yang tersebar di seluruh Indonesia termasuk di Bangkerep

melalui berbagai aturan yang ketat. Seorang warga MTA di dusun Bangkerep cukup

menjadi bagian dari komunitas Islam yang murni tanpa harus bertemu dengan

rekannya sesama anggota di tempat lain. Jadi lokalitas dipengaruhi oleh aktifitas di

kejauhan, dan apa yang membentuk lokal itu tidak hadir dalam aktifitas sosial

individu atau masyarakat yang bersangkutan. Jarak ditiadakan antara Bangkerep

dengan Surakarta, karena mereka menjadi satu bagian dari komunitas yang lebih

besar. Sementara berbagai aturan dan kode etik anggota membuat seseorang warga

MTA di Bangkerep mematuhi perintah dari dunia luar dirinya.

4. Antara Kamituwo dan Ustadz

Pak Saji menjadi Kamituwo pada tahun 2002. Sebagai Kamituwo, pak Saji

berperan tidak hanya dalam konteks administrasi, tetapi lebih sebagai status kultural.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 156: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

144

Ia yang memimpin upacara sedekah bumi, bersama dengan mbah Modin. Dalam

konteks tatanan masyarakat tradisional, mereka adalah penjaga (guardian), yakni

orang yang dianggap dan dipercaya memiliki akses terhadap kebenaran dan makna

dari suatu kepercayaan kosmologis tertentu.

Salah satu ciri sekaligus dampak dari modernitas adalah mekanisme

pencabutan (disembedement) yang salah satunya ditandai kemunculan sistem ahli.

Tokoh kultural tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang mempunyai otoritas untuk

mengambil keputusan, justru sebaliknya muncul tokoh yang memiliki keahlian

tertentu. Dalam hal ini ahli direpresentasikan oleh ustadz atau guru yang memiliki

kemampuan dan pengetahuan agama. Di Bangkerep, kehadiran ahli direpresentasikan

oleh Ustadz Suradi dan Ustadz Suwanto, selain di tingkatan pusat adalah ketua MTA

Ustadz Ahmad Sukino. Sebagi pemimpin organisasi, keduanya memiliki otoritas

formal yang menjalankan organisasi dan mengawasi anggotanya selain bertugas untuk

memberi ceramah di Bangkerep dan desa-desa lain yang memiliki anggota MTA.

Dalam konteks ini berlaku apa yang dimaksud Giddens sebagai ciri

modernitas yakni otoritas tradisional sebagai penjaga digantikan oleh Ustadz yang

ahli agama. Ustadz dalam konteks MTA sebagai gerakan purifikasi adalah expert

system. Posisi mereka berbeda dengan kiai dalam arti kultural karena Ustadz lebih

berfungsi sebagai pihak yang menginterpretasikan teks secara harfiah atau literal.

Dalam pandangan Weber, puritanisme adalah rasionalisasi yang ditandai dengan dua

hal, yakni disenchanment yaitu penghilangan semua prosedur magis serta methodism,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 157: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

145

yaitu pencarian jalan hidup yang ketat dan konsisten.164

Seorang puritan adalah orang

yang merasionalkan segala tindakannya dan melepaskan diri dari ritual-ritual non

rasional dan kosmologis, yang disebut Weber sebagai “rationalization of conduct

within the world, but for the sake of the world beyond”.165

Expert system dalam

pandangan Giddnes merefleksikan tema utama dari Pencerahan Eropa yang

didasarkan pada pengetahuan sains dan rasionalitas yang menjinakkan dunia dan

mengatasi dogma tradisi (Giddens, 1991:14-21, 28).

Menurut Giddens, pada dasarnya penjaga dan ahli memilik kesamaan. Namun

ada perbedaan yang tegas antara penjaga dengan ahli. Ketika pak Saji memimpin

sedekah bumi, ia berdoa sambil memegang seikat merang di bawah pohon besar.

Doanya tidak diikuti oleh warga yang lain yang hanya diam menunggu, di mana

dalam hal ini hal ini seorang penjaga adalah otoritas yang memiliki kualitas dan akses

yang tidak dikomunikasikan ke pihak lain, dalam hal ini para pengikut.

Penjaga memiliki karakter yang tidak dimiliki ahli, yakni status, sementara

ahli lebih menitikberatkan pada kompetensi (Giddens, 1994:65). Kamituwo bukan

semata jabatan struktural yang membutuhkan kemampuan manajerial, tetapi juga

orang yang menduduki posisi kultural dan menjadi yang dituakan (sesepuh) di dusun.

Itulah sebabnya dalam konteks kompetensi ada warga sering mempertanyakan

kepemimpinan Pak Kamituwo yang dianggap lamban dalam mengurus suatu masalah.

164

Harry Redner, Ethical Life: The Past and Present of Ethical Culture, Oxford, 2001, Rowman and

Littlefield Publisher, hal. 171-172 165

James Peacock, Muslim Puritans, Reformist Psychology in Southeast Asian Islam,,California, 1978,

University of California Press, hal. 2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 158: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

146

Sementara karakter Ustadz sebagai ahli adalah “kompetensi” dalam hal

keagamaan. Dalam konteks MTA sebagai organisasi hirarkis, Ustadz Suradi yang

pernah belajar agama di MTA meski dalam waktu singkat ditunjuk oleh pimpinan

MTA pusat karena dianggap lebih mumpuni pengetahuan keagamaannya. Ini yang

disebut Giddens di mana posisi ahli bisa dimiliki oleh siapapun yang memiliki waktu

dan sumber daya untuk dilatih menjadi ahli. Selain itu ia memiliki tingkat pendidikan

yang lebih baik dibanding warga MTA lainnya. Tidak hanya mampu menjawab setiap

persoalan keagamaan, ia juga memiliki kemampuan orasi yang baik dalam

meyakinkan pendengarnya.

Lebih jauh lagi posisi Ustadz MTA sebagai sistem ahli dalam konteks

masyarakat modern bisa dilihat dari sistem keahlian yang memiliki ciri ketercabutan,

yakni tidak tergantung pada tempat dan menyebar (decentred) serta akses bukan pada

kebenaran terformulasi melainkan pada pengetahuan. Karakter tidak terpusat

(decentred) bukan berarti bahwa ahli tidak memiliki pusat otoritas, namun dalam hal

ini peran mereka adalah menjaga kode-kode pengetahuan tertentu yang sudah menjadi

kesepakatan. Dalam hal ini para Ustadz berperan untuk menjaga kode-kode yang

sudah digariskan oleh struktur MTA mengenai cara menjalankan Islam secara murni

dan benar. Ciri ketercabutan juga bisa dilihat dari peran Ustadz Suradi dan Suwanto

yang tidak hanya menjadi pemimpin MTA atau berceramah di dusun Bangkerep saja,

tetapi juga berkeliling ke dusun dan desa-desa lain yang memiliki anggota MTA.

Dalam hal ini Giddens mengatakan “...as decentred system, „open‟ to whosever has

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 159: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

147

the time, resources and talent to grasp them, they can be located anywhere. Place is

not in any sense a quality relevant to their validity...”, (Giddens, 1994: 85). Kondisi

ini tentu berbeda dengan posisi Pak Saji selaku Kamituwo atau Mbah Nurhasim

sebagai Modin yang hanya diakui di Bangkerep saja dan tidak bisa menggunakan

otoritasnya di dusun lain.

Giddens menyamakan sistem ahli dengan sistem otoritas rasional-legal dalam

pemikiran Weber yang berlawanan dengan otoritas tradisional dalam konteks di mana

keduanya menggantikan sistem patrimonial. Otoritas rasional-legal melekat pada

organisasi birokratis dan cenderung mengatur disiplin dan kontrol ketat terhadap

organisasi dan anggotanya (Giddens, 1994: 82-83). Dalam hal ini posisi Ustadz

Suradi dan Ustadz Suwanto adalah kepanjangan tangan dari struktur hirarkis pusat

MTA, di mana tugas mereka tidak sekedar sebagai pemimpin agama, melainkan juga

orang yang mengontrol perilaku anggotanya dalam hal pelaksanaan praktek

keagamaan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, jika ada anggota

yang melanggar aturan organisasi, bisa mendapat sanksi sesuai dengan tingkat

kesalahannya. Dalam hal ini Giddens menyebutnya sebagai karakter khas keahlian

yang membedakannya dengan otoritas formal-birokratis atau pemerintah, yakni ahli

mampu mengubah keterampilan menjadi kewajiban.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 160: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

148

5. Kelahiran Kembali

Giddens menyatakan bahwa detradisionalisasi memiliki dampak pada identitas

diri di mana ketika individu tidak lagi memiliki panduan yang jelas dalam hidupnya

maka mereka berupaya menciptakan kembali identitas baru. Proses ini disebut

refleksifitas atau proses ketika individu harus menyaring dan merenungi setiap

informasi dan pengetahuan yang mereka dapatkan dalam era globalisasi yang sesuai

dengan kehidupan mereka dan secara rutin bertindak menurut proses penyaringan

tersebut. Atau dengan kata lain individu harus memilih setiap aspek dalam kehidupan

sehari-hari yang sesuai dengan dirinya sekaligus mampu memberikan alasan mengapa

kita memilih hal tersebut. Dengan cara itulah individu terlibat secara aktif dalam

mengembangkan identitas dirinya sendiri. Refleksifitas juga berarti individu harus

mengkonstruksikan biografinya sendiri.

Pendapat Giddens di atas menjelaskan bagaimana seorang warga Bangkerep

memutuskan untuk bergabung dengan MTA yang secara drastis mengubah identitas

mereka sebagai suatu proses negosiasi yang panjang dengan berbagai pengalaman

dan situasi di sekitarnya. Sebagian dari mereka menganggap bahwa kehidupan

mereka di masa lalu sebelum bergabung dengan MTA adalah masa-masa kegelapan,

merujuk pada kehidupan sehari-hari mereka yang masih penuh dengan praktek atau

ritual yang tidak mereka temukan dasarnya dalam Al Quran dan Hadits. Bagi mereka

situasi tersebut terjadi akibat ketidaktahuan pengetahuan atau ilmu yang mendasari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 161: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

149

tindakan tersebut. Kemudian ketika mereka mendapatkan ilmu agama dari MTA,

mereka mempertanyakan sekaligus meninggalkan praktek tradisional tersebut.

Situasi ini dialami Sudipo (60). Ia termasuk generasi pertama, bahkan perintis

pertama MTA di Bangkerep bersama Wakidi. Lelaki ini mengaku dulunya tidak

hanya melaksanakan praktek tradisional, tetapi juga hal-hal lain yang dilarang agama.

Namun ia menganggap hidupnya berubah setelah bergabung dengan MTA. Sudipo

mengatakan:

Dulu saya ya sudah Islam. Tapi pengertian Islam itu bagaimana saya

belum tahu. Ikut-ikutan saja. Kadang-kadang dulu ya Islam tapi

larangan Islam belum saya tinggalkan. Masih sering berjudi. Lalu

karena sudah dapat pengertian dari saudara saya dari MTA itu, o

ternyata judi itu dilarang, minuman keras dilarang. Tapi minuman

keras saya belum pernah. Kalau main judi ya pernah, tapi kecil-kecilan

saja. Tidak pernah sampai besar. Cuma pada saat ada orang punya

hajat. Lalu begitu datang MTA akhirnya dilarang. Ditunjukkan dasar-

dasarnya di Al Quran. Akhirnya berhenti. Dulu kalau ada orang

kenduri juga ikut. Tapi waktu itu belum tahu. Tapi waktu itu belum

tau. Makanya tadi saya katakan setelah memahami Al Quran dan

isinya bagaimana kita itu mengamalkan.166

Selain itu proses refleksifitas juga terjadi tidak hanya akibat dari pengalaman

hidup di Balong, tetapi juga ketika individu berhadapan dengan situasi dunia modern

di kota besar yang membuat mereka merasa tercerabut dari komunitas mereka

sebelumnya. Proses ini terkait dengan perubahan infrastruktur yang memungkinkan

terjadinya mobilitas dari desa ke kota, baik untuk alasan pekerjaan atau pendidikan.

Dalam situasi ini individu yang terbiasa hidup dalam ikatan komunal dan kental

166

Terjemahan wawancara dengan Sudipo, MTA, 27 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 162: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

150

dengan kegotongroyongan harus berhadapan dengan kondisi masyarakat perkotaan

yang individualistis dan berorientasi pada materi.

Seperti halnya yang dialami oleh Parwanto. Ia termasuk generasi kedua MTA

Bangkerep, bersamaan dengan Suradi, Suwanto dan Susilo. Ia juga salah satu anggota

MTA dusun Bangkerep dengan tingkat pendidikan yang paling tinggi, yaitu SMA.

Ketika MTA mulai berkembang di Bangkerep, Parwanto yang masih remaja diajak

oleh teman-temannya untuk mengaji di MTA. Ia kemudian tidak aktif mengikuti

pengajian karena dilarang oleh orang tuanya dengan alasan ajaran MTA dianggap

menyalahi adat kebiasaan setempat. Parwanto kemudian merantau ke Jakarta selama

beberapa tahun dan bekerja di sebuah perusahaan. Di Jakarta ia bahkan sempat

bersekolah sampai tingkat SMA dengan bantuan biaya dari pimpinan perusahaannya.

Belakangan ia memilih pulang ke dusun Bangkerep dengan alasan bahwa kehidupan

di Jakarta tidak sesuai dengan keyakinannya. Parwanto menjelaskan alasan mengapa

ia tidak betah hidup di Jakarta:

(Alasan) saya pulang dari Jakarta itu gara-gara diterima kerja bersama

dengan banyak perempuan. Terus ditempatkan di mes (asrama) di situ

laki dan perempuan masih muda-muda. Kan saya sedikit-sedikit masih

punya iman. Itu menyesalnya sampai sekarang, waktu berjabatan

tangan. Waktu itu baru pertama ketemu kepala cabang (kantor) itu

perempuan ya mau tidak mau berjabat tangan. Sebenarnya ragu tapi

saya lakukan karena aturannya begitu. Akhirnya saya berfikir kalau

saya seperti ini terus bisa hilang aqidah saya. Akhirnya saya putuskan

pulang. Dan saya melihat masyarakat sudah rusak. Teman-teman saya

waktu SMA perilakunya tidak karuan. Saya tahu persis kehidupan di

Jakarta. Orang sudah tidak kenal agama. Bahkan orang melakukan

pelacuran itu dijaga aparat keamanan.167

167

Terjemahan wawancara dengan Parwanto, MTA, 28 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 163: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

151

Menurut Parwanto, apa yang ia lihat di Jakarta tidak jauh beda dengan

kehidupan di dusun saat ini. Parwanto mengatakan:

Masyarakat saat ini sangat jauh dari apa yang kita lakukan, terutama

dengan kajian di MTA .Saya melihat karena saya sering ke pasar,

orang melakukan maksiat. Orang pasar itu mabuk, berzina itu sudah

biasa. Bahkan lokalisasi di (kecamatan) Kunduran itu ada orang

bercerita itu dengan bangganya. Tanpa merasa berdosa. Tanpa merasa

bersalah. Ketika kita ada orang hajatan itu ada tayub diceritakan „tadi

malam aku berjoget sambal mabuk‟ itu dengan bangganya. Dengan

tidak merasa bersalah berdosa sama sekali. Bahkan seolah-olah sudah

menjadi rutinitas. Pokoknya kalo dihubungkan dengan agama sangat

jauh.168

Situasi yang sama juga dialami oleh Suyatno (40). Ia sendiri tidak tinggal di

Bangkerep, tetapi di dusun Balong. Tetapi Suyatno termasuk generasi pertama MTA

di Bangkerep dan termasuk salah satu dari 12 orang warga Bangkerep yang ikut

bekerja untuk proyek pembangunan MTA di Surakarta dan akhirnya ikut bergabung

dengan MTA. Mata pencaharian Suyatno adalah petani, namun ia lebih banyak

merantau ke Jakarta jika kondisi ekonomi keluarganya sedang memburuk. Biasanya ia

bekerja sebagai buruh bangunan selama seminggu atau satu bulan dan kemudian

pulang kembali ke dusunnya. Di Jakarta ia melihat kondisi kehidupan yang jauh

berbeda dengan apa yang dia lihat di dusun dan membuatnya terbawa arus lingkungan

pekerjaan. Misalnya setelah menerima bayaran ia diajak teman-temannya untuk

minum-minuman keras. Namun setelah ikut bergabung dengan MTA, ia merasa

168

Terjemahan wawancara dengan Parwanto, MTA, 28 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 164: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

152

bahwa apa yang ia lakukan di masa lalu itu jauh dari tuntunan agama. Menurut

Suyatno:

Lingkungan pekerjaan saya itu orangnya ya bermacam-macam.

Kebanyakan kerja proyek, ya Ustadz (Sukino) bilang itu orang kafir.

Karena tidak sholat mengaku Islam. Kalau tidak pandai-pandai

membawa diri ya bisa ikut-ikutan. Habis terima uang bayaran ya pada

mabuk. Itu hal yang biasa. Berjudi. Namanya saja orang tidak mengerti

agama. Saya dulu tidak mengerti agama ya melakukan hal seperti itu.

Saya anggap biasa. Sekarang prinsipnya yang penting dia tidak

mengganggu kita. Kalau kita melihat kemaksiatan itu harusnya sebagai

orang Islam ya mengingatkan. Tapi namanya di Jakarta kalau

mengingatkan hal seperti itu malah sama saja mencari masalah. Saya

biarkan saja.169

Selain itu, karakteristik utama dari refleksifitas menurut Giddens adalah

perasaan yang cenderung pada pertimbangan operasional atau bagaimana cara praktis

melakukan suatu tindakan. Inilah yang didapatkan warga anggota MTA dari

organisasi keagamaan yang bercirikan puritan, di mana segala persoalan harus

memiliki dasar hukum atau dalil. Sebagai sebuah organisasi keagamaan yang

memiliki aturan pengamalan ajaran yang ketat dan disiplin, MTA menyediakan

jawaban atas berbagai pertanyaan menyangkut persoalan kehidupan sehari-hari,

antara lain cara berpakaian, cara menjadi istri yang baik, cara bergaul dengan tetangga

dan sebagainya. Jawaban atas pertanyaan tersebut didapat dari para ahli sebagaimana

Giddens mengatakan bahwa dunia modern modern memberi banyak pilihan yang

menuntut proses refleksifitas sekaligus pada saat yang sama memunculkan sistem ahli

atau para ahli yang menawarkan nasehat praktis atas berbagai pilihan tersebut.

169

Terjemahan wawancara dengan Suyatno, MTA, 28 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 165: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

153

Gambaran refleksifitas yang ditandai dengan ahli yang berperan memberikan

nasehat praktis bisa dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anggota MTA

dalam setiap pengajian rutin. Dalam berbagai pengajian rutin, warga MTA

menanyakan persoalan sehari-hari baik masalah pribadi, relasi dengan orang lain, dan

sebagainya kepada Ustadz Suradi atau Suwanto. Oleh Ustadz, jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu dijelaskan dalam perspektif hitam putih, baik

buruk dan selalu dikembalikan kepada dalil yang ada dalam Al Quran dan Hadits.

Antara lain berikut ini :

Ibu : “Kemarin pada hari Sabtu saya tidak datang gara-gara saya

diajak suami dan keluarga mengikuti menghadiri khitanan

saudara ipar di Blora. Saya tidak tahu dari rumah saya kira

khitanan biasa. Ternyata di sana besar-besaran pakai campursari.

Biduan pakai baju transparan. Hati saya menolak sebenarnya.

Tapi mau pulang jauh. Saya waktu itu melihat hati saya menolak

terus. Saya terpaksa di sana. Saya mau meninggalkan karena itu

kemunkaran. Apakah itu saya termasuk itu munafik?”

Suradi : “Ibu tidak munafik. Tapi salah. Saya menilai salah. Kalau

kembali kepada satu hadits barang siapa melihat kemunkaran

maka ubahlah dengan tanganmu. Jika tidak mampu dengan

lisanmu. Jika tidak mampu maka cukup dengan hatimu. Maka

itulah selemah-lemahnya iman. Selemah-lemahnya iman itu

tidak suka. Tidak sukanya sudah bener. Tapi tanda tidak suka

yang belum nampak. Maka kita meninggalkan, menjauh.

Panjenengan kan bisa dirumah saudara.

Ibu : “Yang saya menyesal itu meninggalkan pengajiannya itu.”

Suradi : “Kalau saya ketua cabang sudah saya hukum.. Campursari itu

tidak masalah. Tapi campur saru- nya itu yang tidak boleh.

Biduan yang pakaiannya di atas lutut. Goyangannya. Disamping

itu ada minuman keras, laki perempuan joget bareng, dalam

Islam tidak boleh.”170

170

Percakapan dalam pengajian khusus ibu-ibu di MTA Cabang Cepu, 26 April 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 166: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

154

Dalam kesempatan lain, seorang warga MTA laki-laki bertanya kepada Ustadz

Suradi mengenai informasi apakah sakit seseorang bisa menebus kesalahan atau dosa

yang dia perbuat:

Warga : “Apa betul kalau seseorang sedang sakit dapat menebus

kesalahan dan dosa-dosa kita. Mohon dijelaskan.”

Ustadz Suradi : “Itu benar. Bahwa apa yang dirasakan sakit yang

diberikan yang diujikan kepadanya itu menjadi Kafaroh

(penebus). Sampai dikatakan Rasulullah. Walau tertusuk duri,

sakitnya kecil. Maka dalam hadits Qudsi dikatakan „Hambaku

yang aku berikan cobaan kepadanya dia tidak sabar, maka

keluarlah dari bumiku.‟ Maka kalau diuji sabar. Sabar itu

menjadi kafaroh dosa-dosa kita. Baik tertusuk duri sekalipun itu

menjadi penebus dosa kita.”171

Dalam pengajian lain, seorang warga MTA laki-laki bertanya kepada Ustadz

Ngabdi mengenai hukum membicarakan kejelekan orang di masa lalu:

Warga : “Orang yang selalu membicarakan kejelekan orang di masa

lalu itu apakah termasuk dengki?”

Ustadz Ngabdi : “Tidak boleh itu. Jangan kita mengungkit amalan

orang yang sudah meninggal. Kecuali kalau itu memang

diberitakan oleh Allah. Setiap hari saya dan anda

membicarakan Firaun dan Karun padahal amalnya tidak baik.

Abu Jahal Abu Lahab. Itu tidak membicarakan kejelekan orang

lain. Tapi kalau misalnya saudara kita atau orang lain tidak usah.

Atau kalau kita mau mencontohkan tidak usah disebut

namanya.”172

Dalam pengajian lain, seorang warga MTA laki-laki bertanya kepada Ustadz

Ngabdi bagaimana membicarakan kejelekan orang lain dengan istri sendiri: :

Warga : “Kalau kita membicarakan kejelekan orang tapi kita

membicarakan dengan istri sendiri bagaimana? Kan dalam

hadits istri itu bagaikan baju kita sendiri? Itu dosa apa tidak?”

171

Percakapan dalam pengajian MTA Cabang Kedung Tuban, 26 April 2012 172

Percakapan dalam pengajian MTA hari Selasa di Bangkerep, 26 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 167: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

155

Ustadz Ngabdi: “Sebaiknya jangan. Apalagi istri tidak tahu diberitahu.

Itu si A senang bohong. Sebaiknya kita tidak usah

membicarakan kejelekan orang lain kepada siapapun. Kecuali

kalau si A itu mau diperbaiki. Anda minta tolong kepada orang

lain yang kira-kira bisa memperbaiki perilakunya. Itu tidak apa-

apa.”173

Dengan kata lain refleksifitas membuat ritual-ritual tradisional yang dulu

pernah memberi makna tidak lagi dianggap mampu memberikan jawaban atas

persoalan praktis dan digantikan oleh aturan atau kepastian yang lebih terlembagakan

dan baku yang mampu memberikan jawaban langsung atas berbagai persoalan yang

dihadapi individu.

.

C. Kesadaran akan Resiko, Pencarian Stabilitas dan Keamanan Ontologis

Upaya pencarian identitas-diri melalui proses refleksifitas pada dasarnya

merupakan kebutuhan individu untuk mencapai keamanan ontologis (ontological

security) yaitu perasaan aman mendasar dalam diri seseorang dalam menjalani

kehidupan dalam hubungannya dengan kontinuitas identitas diri dan kestabilan

lingkungan material dan sosial yang mendasari tindakannya. Perasaan ini untuk

menghilangkan apa yang disebut Giddens sebagai kecemasan eksistensial ketika

modernitas menawarkan berbagai kemudahan tetapi pada saat yang sama juga

memperkenalkan berbagai resiko kehidupan yang tidak pernah ada sebelumnya.

173

Terjemahan percakapan dalam pengajian MTA hari Selasa di Bangkerep, 26 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 168: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

156

Dalam konteks ini maka bisa dilihat alasan utama mengapa ada sebagian

warga Bangkerep yang memilih untuk bergabung dengan MTA, yakni untuk

mendapatkan rasa aman dan menghindar dari kecemasan eksistensial sebagai akibat

dari berbagai persoalan dan perkembangan sosial yang mereka lihat dan mereka alami

dalam kehidupan sehari-hari. Ketika basis identitas lama (keluarga, komunitas,

tradisi) tidak lagi memberikan stabilitas pada individu, mereka berupaya untuk

merekonstruksi kembali identitas-diri mereka dengan mencari basis identitas baru.

Dalam hal ini agama menjadi pilihan untuk mencapai stabilitas. Agama –

sebagaimana nasionalisme- adalah „penanda-identitas‟ yang kuat dalam menyediakan

sumber keamanan dalam masyarakat yang beresiko karena mereka menyediakan „a

picture of security, stability, and simple answers‟ (Kinvall, 2004, 742). Agama

memberikan jawaban bagi kecemasan individu karena agama menyediakan gambaran

totalitas, kesatuan dan keutuhan. Fakta bahwa Tuhan telah menyusun aturan dan

membuatnya susah untuk diperdebatkan membantu individu menghindar dari

tanggung jawab untuk memilih (Kinnvall 2004, 759)

Keamanan ontologis ini berkaitan dengan resiko dan kepercayaan. Warga

yang bergabung dengan MTA menyadari bahwa kehidupan masyarakat saat ini

memiliki resiko yang tidak bisa diprediksi. Perubahan sosial yang terjadi tidak

sepenuhnya mereka pahami dan pada saat yang sama mengancam eksistensi mereka.

Kebanyakan mereka menganggap bahwa persoalan masyarakat saat ini adalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 169: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

157

maksiat yang merajalela dan pengaruh budaya dari luar yang bisa merusak aqidah dan

generasi muda.

Kekhawatiran atas resiko budaya dari luar tersebut misalnya disampaikan oleh

Parwanto sebagai berikut:

“Arus modernisasi sangat cepat dan orang itu untuk maksiat kan

gampang diikuti daripada kebenaran. Terutama budaya. Kalau kota

metropolitan kan sudah biasa. Tapi arus itu sudah sampai ke tingkat

desa dan orang mengikuti gaya barat, rambut di(warnai) pirang,

(badan) tatoan itu kan sudah merusak aqidah. Orang bergandengan

tangan laki perempuan itu bukan muhrimnya itu sudah menjadi hal

wajar. Bukan hal tabu untuk masyarakat pedesaan. Itu kan lambat laun

bahkan tanpa lambat laun akan merusak aqidah. Seperti itu.”174

Kekhawatiran terhadap globalisasi yang merusak aqidah juga disampaikan

oleh Susilo. Hal tersebut utamanya merupakan pengaruh dari kemajuan perangkat

komunikasi dan informasi, dalam hal ini televisi dan :

“Kalau saya melihat sekarang orang atau kehidupan ini semakin kacau.

Karena jauh dari tuntunan. Kenapa jauh dari tuntunan? Sekarang ini

desa Balong moralnya lebih jelek daripada Bangkerep. Padahal

Bangkerep itu orang yang paling jelek waktu itu. Terbalik. Kalo kita

nonton grafik itu berubah perilaku orang-orangnya. Pengaruh televisi

sama telefon seluler. Keadaan gambaran di televisi kan kayak gitu.

Bebas. HP kan bebas. Sekarang anak SD bisa mengoperasikan HP.

Pengaruh. Lha sedangkan usia segitu kan belum bisa mengontrol

nafsu. Sarana paling bagus untuk mesum. Bahkan yang dikatakan film-

film Islami tidak mencerminkan perilaku Islami. Pacaran, begitu

menikah malah cerai. Hampir semua film kayak gitu. Memori anak

gambarannya gitu terus. Berkelahi. Apalagi film anak-anak ini, orang

bisa terbang. Bisa merusak aqidah. Dandanan, kita tahu sendiri. Orang

desa kalau pulang dari kota seperti apa. Perilaku, gaya bicara dan

sopan santun hilang semua. Hampir semua pemuda yang memang

awalnya gak ada pendidikan, aqidahnya kurang, pendidikan agamanya

174

Wawancara dengan Parwanto, 28 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 170: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

158

kurang, keluar ke kota terbawa arus. Bagi yang perempuan, laki-laki

apalagi perempuan. Dia dengan lawan jenis terlalu berani.”175

.

Selain itu menurut Susilo, masyarakat khususnya umat Islam juga terancam

oleh pemikiran. Susilo menyebut misalnya JIL atau Jaringan Islam Liberal.

Sayangnya Susilo menolak ketika ditanyai pendapat soal JIL.

Sementara Suradi mengkhawatirkan mengenai pengaruh pemikiran, dalam hal

ini pluralisme. Menurut Suradi:

Tantangan yang luar biasa pengaruh budaya. Budaya adalah musuh

besar dalam artian negatif yang jelas-jelas merusak. Yang datang dari

barat. Pluralisme kan kalau kita kaji latar belakang mereka itu

pendidikan mereka itu kan mendapatkan pengaruh dari barat.

Pluralisme itu kan menganggap agama itu sama. Terus menganggap

hukum-hukum yang diterapkan dalam Islam itu bukan hukum mutlak.

Yang jelas nampak misalnya jilbab itu bukan sesuatu yang wajib

padahal dalam Quran sudah jelas perintahnya. Mengenai hak

perempuan, itu dikaburkan. Sekarang itu dimunculkan. Itu merusak.

Kalau dalam tatanan negara Islam itu mendapat hukuman. Sudah

keluar dari pemahaman sebenarnya.176

Apa yang disampaikan Suradi di atas mencerminkan pandangan mengenai

bagaimana posisi warga MTA dalam melihat fenomena globalisasi. Bagi mereka,

globalisasi dianggap sebagai ancaman, di mana keterbukaan dan keberagaman

dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Menurut Giddens, parameter resiko ini hanya ada dalam masyarakat yang

berorientasi ke masa depan, yang melihat masa depan sebagai wilayah yang harus

ditaklukkan atau dikuasai, masyarakat yang aktif berusaha melepaskan dirinya dari

175

Terjemahan wawancara dengan Susilo, 26 Juni 2012 176

Terjemahan wawancara dengan Suradi, 29 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 171: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

159

masa lalu. Dengan demikian menjadi MTA bukan sekedar meninggalkan kebiasaan di

masa lalu karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya, tetapi juga

menyadari akan adanya resiko yang akan terjadi di masa depan yang hanya bisa

dihadapi melalui hukum Islam.

Selain itu keamanan ontologis tergantung pada kepercayaan terhadap

keandalan seseorang atau sistem yang berhubungan dengan sekumpulan kejadian atau

hasil tertentu dan kepercayaan itu merupakan keyakinan terhadap kejujuran atas

kecintaan orang lain atau terhadap kebenaran prinsip-prinsip abstrak (pengetahuan

teknis). Dalam hal ini, kepercayaan terjadi melalui kepercayaan terhadap sistem baik

doktrin maupun girarkis yang dibangun oleh MTA sebagai organisasi keagamaan.

Kepastian dan keamanan ontologis didapat warga anggota MTA di dusun

Bangkerep dari beberapa hal, antara lain :

1. Doktrin Kemurnian

Penting untuk dicatat bahwa ketidakhadiran otoritas yang mampu menjelaskan

berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat ikut memberi alasan mengapa sebagian

warga dusun bergabung dengan MTA. Sebagaimana dijelaskan di awal, kehidupan

keagamaan Bangkerep jauh dari kegiatan keagamaan. Meski beragama Islam,

mayoritas dari mereka sama sekali tidak menjalankan praktek Islam, bahkan mbah

Modin yang merupakan tokoh agama dusun pun tidak menjalankan sholat. Baru

setelah ada madrasah Diniyah di dusun Balong, beberapa orang Bangkerep seperti

Wakidi dan Mus belajar agama di sana.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 172: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

160

Maka ketika MTA datang dengan doktrin yang menyeru pada kemurnian

pengamalan yang sesuai dengan Al Quran dan Hadits, sebagian warga Bangkerep

menyambut dengan baik. Seperti dikatakan oleh Yatno:

Materi yang cocok semuanya. Misalnya dari materi tentang Quran dan

Sunah. Dalam Islam nabi sendiri bersabda kutinggalkan dua perkara

padamu yang dengan itu kamu tidak akan tersesat jika berpegang pada

keduanya yaitu Quran Sunah. Dari dulu kan saya sudah kenal hadits

itu. Dari muhammadiyah dari acuan MTA yang semacam itu akhirnya

saya ikuti terus. Islam itu yang ditinggalkan yang diajarkan hanya dua

perkara tadi. Ya memang jadi orang Islam mau tidak mau harus

dipaksa cocok dengan Quran dan Sunah. Kalau kita mau mengikuti

Islam dalam Quran mengikutilah Islam secara keseluruhan mau ndak

mau kita harus mengikuti apa yang dikatakan Quran apa yang

dikatakan Sunah. Prinsip saya seperti itu.177

Sementara menurut Parwanto, ketertarikannya terhadap MTA adalah karena

ketegasan doktrin yang membedakan antara yang benar dan yang salah. Parwanto

mengatakan:

“Kalo MTA itu kalo haq dikatakan haq kalo haram dikatakan haram.

Dan kita itu disuruh memilih. Maksudnya kalau ustadz mengatakan itu

dari dalil, bukan sembarangan omong. Kamu percaya silakan. Tidak

percaya silakan. La ikroha fiddin. Tidak ada paksaan dalam beragama.

Kita itu maksudnya benar-benar disuruh memilih jalan yang lurus atau

jalan yang bengkok. Kalau jalan yang lurus ini. Quran dan hadits. Dan

itu dpperlihatkan semua. Ini halal ini haram tidak ditutup-tutupi.” 178

Hal yang sama juga dikatakan oleh Paiman yang membandingkan MTA

dengan organisasi lain dalam hal pengamalan ajaran. Menurut Paiman:

“Ya karena ajaran yang dikaji itu sesuai dengan ajaran Islam. Berbeda

dengan organisasi lain, istilahnya yang dikaji Quran dan Sunah. Kalo

177

Terjemahan wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012 178

Wawancara dengan Parwanto, 29 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 173: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

161

organisasi lain itu kan omong-omong biasa. Tidak ditunjukkan ini

haditsnya. Ayatnya.179

2. Dukungan Jaringan Ekonomi dan Informasi

Sebagai sebuah organisasi keagamaan yang relatif baru, MTA mendapat

banyak pengikut di Blora. Di Blora sendiri organisasi keagamaan seperti NU dan

Muhammadiyah sudah berkembang cukup lama. Meski di Bangkerep jumlahnya

relatif tetap, namun di seluruh Blora, perkembangan bisa dibilang cukup pesat. Situasi

ini tidak lepas dari model organisasi MTA yang terstruktur secara rapi mulai dari unit

terkecil yaitu individu, kelompok, cabang, perwakilan dan terakhir pimpinan pusat.

Struktur tersebut membentuk jaringan yang kuat sehingga persoalan yang dihadapi di

tingkatan bawah bisa dikendalikan sepenuhnya oleh pimpinan pusat. Begitu juga

sebaliknya pimpinan pusat bisa memberikan berbagai hal yang menjadi kebutuhan

anggota di tingkatan paling bawah.

Dengan struktur tersebut, anggota atau individu mendapatkan rasa aman dalam

segala hal, baik dari sisi keagamaan, ekonomi dan keamanan dalam arti sebenarnya.

Kelompok pada dasarnya merupakan unit terkecil dalam menjaga soliditas dan

solidaritas antar anggota. Selain untuk mengkaji agama, sistem kelompok juga

didesain untuk memastikan individu di dalamnya mendapatkan kebutuhan dan

pertolongan dari anggota lain. Seperti disampaikan oleh Suyatno, bahwa kelompok

179

Wawancara dengan Paiman 29, Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 174: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

162

dalam MTA itu berguna untuk mengetahui keadaan anggota dalam kelompok

tersebut. Suyanto mengatakan:

Misalnya anak saya sakit tidak punya uang mau tidak mau ya saudara

kita sesama MTA yang membantu. Saling bercerita biar kita

memahami saudara kita. Kalau kebetulan ada saudara yang keliru ya

bisa mengingatkan.180

Hal yang sama juga disampaikan Suprih. Menurutnya kelompok bisa menjadi

ruang untuk mencari solusi permasalahan yang dia alami. Menurut Suprih:

“Seperti ini yang namanya Islam itu kebersamaan. Kekompakan dalam

hal ibadah. Dalam menangani suatu permasalahan. Contohnya masalah

dari warga kita mungkin dari yang di sini tidak bisa memecahkan

mungkin saudara kita yang lain kita minta sarannya bagaimana

persoalan ini bisa terselesaikan. Memecahkan persoalan tidak harus

orang banyak, tapi dengan cara seperti itu mungkin yang dipandang

bisa memberi saran, bisa memecahkan persoalan apa yang bisa kita

mintai untuk memecahkan permasalah ke warga MTA dulu.”181

Selain persoalan-persoalan individu, jaringan dengan anggota MTA baik di

dusun Bangkerep atau di tempat lain juga memberi kepastian ekonomi. Anggota MTA

mengaku bahwa mereka mendapat dari beragam pekerjaan dan profesi antar

anggotanya baik dari sesama warga MTA baik di dusun mereka maupun dari warga

MTA yang berada di tempat lain. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Suprih.

Menurutnya, salah satu yang membuatnya tertarik dengan MTA adalah solidaritas

antar anggota yang terutama berguna dalam banyak hal, misalnya pekerjaan. Menurut

Suprih:

180

Terjemahan wawancara dengan Suyanto, 29 Juni 2012 181

Wawancara dengan Suprih, 29 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 175: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

163

“Contohnya saudara kita mungkin punya pekerjaan. Mengenai

pekerjaan kalau dari jauh kita ketemu ada saudara kita yang mungkin

profesinya pekerjaannya banyak membutuhkan tenaga atau mungkin

contohnya membuat kripik nanti bisa saya bawa ke sana. Saya ikut

menjual bisa menjadikan keuntungan. Itu mengenai dunianya. Begitu

juga mengenai akheratnya otomatis kita secara bersama-sama dalam

pengajian mendengar ayat Allah dan kita amalkan. Ibaratnya dalam

majelis itu kita bertemu memahami itu termasuk suatu ibadah yang

tidak ternilai harganya.”182

Secara pragmatis, kepastian ekonomi juga yang menjadi faktor utama di awal

mula bergabungnya sebagian warga MTA Bangkerep. Ketika konflik dengan warga

dusun terjadi, sebagian warga mencari tempat perlindungan ke Surakarta. Di

Surakarta, mereka tidak hanya perlindungan keamanan, tetapi juga mendapatkan

pekerjaan membangun gedung dan asrama MTA sehingga bisa mengirimkan uang

untuk keluarganya di Bangkerep. Tentu saja mereka juga belajar agama di kantor

pusat MTA di Surakarta. Kebetulan pada saat itu kemarau panjang terjadi di

Bangkerep sehingga mengakibatkan banyak warga yang kekurangan makanan. Ketika

melihat sebagian dari warga ada yang pergi ke Surakarta dan mendapatkan pekerjaan,

sebagian warga yang lainnya pun berinisiatif untuk ikut pergi ke Surakarta. Awalnya

mereka hanya bekerja, namun kemudian mereka ikut mengaji dan akhirnya menjadi

anggota MTA.

Suyatno adalah salah satu dari anggota MTA yang bergabung dengan MTA

dengan motif tersebut. Ia mengatakan:

182

Terjemahan wawancara dengan Suprih, 29 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 176: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

164

Dan yang saya kagumi itu waktu pertama kali kita diusir dan pergi ke

kantor pusat itu kenapa kiai-kiai itu mau melayani orang seperti kita.

Saya tadinya kan tidak paham masalah agama. Saya heran. Tapi

setelah mengaji jadi memahami bahwa kalau difikir manusia itu kan

pada dasarnya sama. Yang membedakan kan iman dan taqwa kita. Jadi

memang dipraktekkan betul. Itu yang saya salut. Pertama kecocokan.

Kedua melihat praktek kebersamaan di kantor pusat.183

Yang lebih strategis dari sistem yang di bangun MTA adalah kemudahan

akses informasi, baik yang berkaitan dengan organisasi atau hal lain. Sistem ini

berjalan secara aktif, sehingga setiap informasi dari pimpinan pusat atau sebaliknya

bisa segera diketahui satu sama lain. Menurut Parwanto:

Karena kekuatan jamaah kita kan dari kelompok. Dari kelompok kita

kabarkan ke ketua kelompok. Dari ketua kelompok kita dikabarkan ke

pengurus. Nanti pengurus akan dikabarkan ke pusat. Jadi ada riak

sedikit kan tahu. Gejolak sedikit tahu. Jadi ada alur dari pusat sampai

ke daerah-daerah. Seolah-olah seperti listrik tersalur.184

Selain itu, sistem tersebut juga memungkinkan anggota MTA di dusun

Bangkerep memiliki berbagai macam informasi yang lebih luas ketimbang warga

dusun lainnya tentang kejadian di luar dusun maupun dalam konteks global tanpa

harus mengakses media massa. Sebagai contoh informasi soal Jaringan Islam Liberal,

Pluralisme, Lady Gaga dan informasi lainnya. Menurut Susilo:

Kita punya istilahnya kotak informasi tersendiri yang lain dari yang

lain. Kita kan pembelajarannya kan beda. Ada informasi apa kita

ngerti. Sedangkan (masyarakat dusun) yang ada di sini yang dipelajari

cuma itu tok. Yasinan, tahlilan, manakiban, berjanjinan, maulidan kan

baca kisah begini-begini. Monoton gitu aja. Informasi lain kan banyak.

183

Terjemahan wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012 184

Terjemahan wawancara dengan Parwanto, 28 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 177: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

165

Kalau kita berita apa saja ngerti. Walau kita tidak mengikuti lewat apa

misalnya tidak beli koran, tidak menonton televisi.185

Struktur MTA yang tersebar di banyak tempat juga memungkinkan setiap

anggota memiliki daya mobilitas yang tinggi bisa saling bertemu satu sama lain dalam

berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh MTA. Misalnya peresmian cabang di

desa lain atau bahkan di provinsi lainnya. Warga MTA Bangkerep menganggap

pengalaman bepergian ke tempat-tempat jauh merupakan keuntungan tersendiri

sebagai anggota MTA. Selain itu mereka juga bangga karena bisa bertemu dengan

orang dari berbagai latar belakang yang menjadi anggota dari MTA, bahkan bertemu

dengan orang-orang di kalangan pejabat yang selama ini hanya mereka lihat di

televisi.

Seperti Sudipo yang mengaku pernah pergi ke Solo, Semarang, Wonogiri,

Ngawi, Madiun, Kudus, Ponorogo. Setelah bergabung dengan MTA ia bisa

mendapatkan pengalaman bertemu dengan para tokoh nasional:

Selama saya mengaji di MTA malah sudah berkenalan dengan orang

pejabat tinggi. Seperti Amin Rais, Akbar Tanjung. Bersalaman berkali-

kali. Kalau belum ngaji (di MTA) tidak mungkin.186

Hal yang sama dikemukakan Suprih yang banyak bepergian ke daerah lain dan

bertemu dengan banyak orang setelah bergabung dengan MTA :

“Seperti saya, pergi jauh itu belum pernah. Selama kita ngaji justru

menjadi banyak pengalaman. Tahu daerah Solo, Karanganyar Sragen,

Ibaratnya (kemarin) ayam dikurung. Setelah ngaji banyak pengalaman

185

Terjemahan wawancara dengan Susilo, 26 Juni 2012 186

Terjemahan wawancara dengan Sudipo 27 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 178: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

166

berjumpa dengan staf gubernur. Mungkin kalau belum ngaji ya segan

tapi setelah ngaji walau dengan staf gubernur staf bupati ya biasa.

Sebelum ngaji ya seperti raja dengan rakyat jelata.”187

3. Idiom dan Formasi Sosial

Stabilitas dan kepastian juga didapat anggota MTA dari berbagai idiom atau

bahasa yang digunakan MTA. Dalam konteks ini penting untuk melihat MTA sebagai

gerakan sosial. Dalam definisi David Meyer dan Sidney Tarrow gerakan sosial adalah

(1) gerakan kolektif yang didasarkan atas tujuan dan solidaritas bersama untuk

mengatasi tantangan (2) berada dalam suatu interaksi yang berkelanjutan dengan

kelompok elit, saingan atau musuh dan pemegang otoritas.188

Lebih lanjut Tarrow

mengatakan bahwa gerakan sosial adalah politik perseteruan yang terjadi ketika orang

biasa seringkali kerja sama dengan warga negara yang lebih berpengaruh bersama-

sama menggalang kekuatan dalam konfrontasi kolektif mereka melawan kelompok

elit, pemegang otoritas dan musuh politik.189

Dalam hal ini MTA sebagai aktor gerakan sosial melakukan mobilisasi

terhadap individu melalui berbagai bahasa, idiom atau simbol sehingga dengan

demikian mampu menarik individu-individu untuk berpartisipasi dan mengkonstruksi

mereka dalam suatu identitas dan tindakan kolektif. Dalam teori gerakan sosial hal ini

disebut sebagai proses pembingkaian yakni skema-skema yang memberikan sebuah

187

Wawancara dengan Sudipo 27 Juni 2012 188

Ihsan Ali Fauzi, Sintesis Saling Menguntungkan: Hilangnya “Orang Luar” dan “Orang Dalam”,

Kata Pengantar untuk buku Quintan Wiktorowicz (Ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan

Sosial, Tr. Tim Penerjemah Paramadina, Jakarta. 2012, Yayasan Abad Demokrasi, hal 5 189

Ali Fauzi, ibid, hal. 6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 179: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

167

bahasa dan sarana kognitif untuk memahami pengalaman-pengalaman dan peristiwa-

peristiwa di “dunia luar” yang berguna untuk menghasilkan dan menyebarkan

penafsiran penafsiran gerakan sebagai alat untuk memobilisasi para peserta dan

dukungan. Oleh aktor gerakan sosial, gagasan-gagasan atau kerangka pemahaman

disusun melalui konstruksi-konstruksi gramatikal dan lensa penafsiran yang

menghasilkan makna antar-subyek dan mempermudah tujuan gerakan.190

Salah satu idiom yang dipakai adalah Islam Kaffah. Dalam berbagai studi

tentang gerakan Islam, penggunaa Islam Kaffah ini dipandang sebagai cara untuk

mengatasi persoalan dan masalah sosial yang disebabkan oleh globalisasi atau apa

yang disebut budaya barat, baik yang menyangkut masalah moral atau masalah

kesenjangan sosial. Dengan argumen hanya dengan kembali pada sumber hukum

Islam yang benar maka umat Islam akan kembali pada kejayaan mereka. Menurut

Suradi:

“Kaffah itu bersih. Keseluruhan. Kalau kita lihat secara umum umat

Islam pengamalan mereka masih bercampur dengan budaya-budaya

yang banyak sekali dimana kalau tidak disadari akan merusak

kekaffahan itu sendiri. Islam akan samar-samar. Padahal Allah sudah

memberi hukum itu jelas tapi kejelasan itu akan menjadi kabur ketika

bercampur dengan budaya-budaya yang memang bertabrakan dengan

islam. Dirasakan Islam tapi justru yang negatif akan masuk dan

mewarnai yang positif.”191

Patut disimak bahwa salah satu faktor yang menentukan berhasil tidaknya

sebuah gerakan dalam mengubah potensi mobilisasi menjadi mobilisasi yang

190

Charles Tilly dalam Quintan Wiktorowitz, ibid, 69-71 191

Wawancara dengan Suradi 28, Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 180: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

168

sesungguhnya tergantung pada kemampuan sebuah bingkai untuk mempengaruhi

individu. Dalam hal ini dikenal proses resonansi bingkai (frame resonance) yakni

ketika sebuah bingkai gerakan bersandar pada simbol-simbol, bahasa, dan identitas

identitas budaya lokal lebih mudah dipahami oleh konstituen dan dengan demikian

memperkuat mobilisasi.192

Dalam hal ini Islam Kaffah diikuti dengan idiom Bid‟ah

atau kegiatan yang tidak ada dasarnya dalam Quran dan Sunah. Dalam konteks

tatanan tradisional Bangkerep, idiom ini terkait erat dengan banyaknya praktek seperti

kenduri, yasinan dan tahlilan. Menurut Suyatno alasan yang membuatnya bergabung

dengan MTA adalah karena ajarannya yang mengajarkan keutuhan Islam tanpa

bercampur dengan tradisi lokal:

“Islam secara keseluruhan ya kita mengikuti apa yang diajarkan Quran

dan Sunah dan meninggalkan apa yang dilarang Quran dan Sunah.

Kalau yang diajarkan mungkin secara umum sama seperti (organisasi)

yang lain. Kemudian yang ditinggalkan kan misalnya tradisi, kenduri,

danyang-danyang itu kan diselaraskan dengan Quran kan jelas gak

sampai. Itu kan unsur kemusyrikan yang sangat besar. Itu saya

tinggalkan. Kemudian bid‟ah. Ustad (Sukina) mengatakan semua yang

baru itu namanya bid‟ah dan bid‟ah itu sesat. Akhirnya saya pegang

terus itu. Yang namanya bidah itu kan ajaran-ajaran yang waktu zaman

nabi belum ada kemudian sekarang ada. Saya berusaha semaksimal

mungkin mengerti bid‟ah itu apa. Misalnya niat solat, tahlilan, yasinan,

memang ada haditsnya (tapi) ternyata lemah.”193

Makna Kaffah dalam hal ini mampu memberikan perasaan aman dan

stabilitas, baik dalam konteks persoalan dunia maupun mengatasi kecemasan di hari

akhir sebagai akibat dari kesalahan-kesalahan yang dibuat di masa lalu. Bergabung

192

Tilly, ibid, hal 71 193

Wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 181: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

169

dengan MTA dan mengamalkan agama secara utuh sebagaimana yang mereka pahami

menciptakan rasa tenteram dari dosa yang dibuat pada masa sebelumnya.

Selain itu penggunaan identitas budaya lokal juga bisa dilihat dari penggunaan

istilah “warga” untuk menyebut anggotanya ketimbang “jamaah” yang identik

dengan Islam. Menurut Suradi, hal ini terkait dengan sikap represif Orde Baru yang

mencurigai setiap organisasi yang menggunakan identitas Islam pada masa

kekuasaannya, terutama istilah “Jamaah”. Sementara menurut Sekretaris MTA Pusat

Yoyok Mugiyanto, tidak ada penjelasan atau strategi khusus mengenai penggunaan

istilah “warga” dan istilah tersebut berkembang dengan sendirinya.

Yang paling menarik dari soal penggunaan istilah lokal adalah “pitik ngendog

pitik, emprit ngendoge yo emprit” (ayam bertelurnya ayam, burung emprit bertelurnya

ya telur emprit). Istilah ini terkait dengan jihad harta yang menjadi salah satu landasan

doktrin MTA yakni agar setiap warga MTA bersungguh-sungguh berpartisipasi dalam

kegiatan di jalan Allah, baik dalam Zakat resmi atau Infaq (sumbangan untuk ibadah).

Istilah pitik ngendog pitik emprit ngendog emprit pertama kali dilontarkan oleh Ketua

Umum MTA Ahmad Sukina untuk mengajak warga MTA untuk ikhlas menyumbang

atau berinfaq dalam bentuk uang sesuai dengan kemampuan untuk berbagai kegiatan

operasional baik di MTA Pusat atau di tempat afiliasi masing-masing. Misalnya

ketika MTA Pusat mengumumkan rencana pemasangan pendingin ruangan yang

menelan biaya 2 milyar yang segera direspon oleh anggota MTA di seluruh Indonesia.

Istilah ini selalu dipakai berulang-ulang dan kemudian menjadi populer di MTA

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 182: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

170

termasuk warga MTA di dusun Bangkerep untuk menjelaskan keikhlasan mereka

dalam mengeluarkan biaya untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh MTA

tersebut. Seperti disampaikan oleh Sudipo:

Karena di MTA tidak ada istilah kalau ayam bertelur ayam, kalau sapi

anaknya ya sapi. Bebek bertelur bebek. Burung emprit telurnya ya telur

burung emprit. Tidak ada kamu harus iuran dana sekian. Masing-

masing warga MTA sudah merasa sendiri, saya mampu atau tidak.

Ibaranya saya masih taraf bebek ya bertelurnya telur bebek. Siapa yang

mampu iuran yang tidak mampu ya jangan iuran. Jangan sampai

menekan warganya. Saya orang kecil ditekan sekian tidak ada. Dan itu

sudah merasa sendiri karena setiap hari ngaji.194

D. Rekonstruksi identitas

1. Identitas Diri yang Baru

Suatu malam sehabis sholat Isya‟, saya dan beberapa warga MTA berdiskusi

santai tentang banyak hal di teras masjid. Suprih, salah satu warga MTA baru saja

mengakses berita tentang penemuan piramida Garut di televisi yang katanya

peradabannya lebih tua dari peradabana manapun di bumi ini. Ustadz Suwanto, salah

satu dari dua Ustadz MTA kemudian mengatakan bahwa banyak berita televisi yang

harus dikritisi, selain banyak pengetahuan yang ada. Salah satu contoh yang diajukan

Ustadz Suwanto adalah evolusi Darwin. Menurut Ustadz Suwanto, evolusi Darwin itu

tidak berdasar karena mengatakan manusia berasal dari kera. Sementara Al Quran

tidak ada satupun pendapat mengenai hal tersebut selain manusia dari tanah dan

194

Terjemahan wawancara dengan Sudipo, 27 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 183: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

171

melalui proses penciptaan. Menurutnya, Al Quran sudah pasti benar, sementara kalau

ilmu pengetahuan sudah pasti ada kelirunya.195

Diskusi tersebut menggambarkan adanya perbedaan pola pikir dan tingkat

yang dimiliki warga MTA dibanding warga Bangkerep lainnya. Mereka memiliki

akses pada informasi aktual dibanding warga lainnya yang didapatkan dari jaringan

mereka di MTA, baik di pusat maupun di seluruh Indonesia. Misalnya informasi

terkait dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), pluralisme, Ahmadiyah, Lady Gaga dan

berbagai informasi lainnya. Selain itu mereka juga memiliki kemampuan menganalisa

dan mengkritisi setiap peristiwa yang mereka amati dan mencari landasan rasionalitas

atau disandarkan pada sumber hukum Al Quran dan Hadits. Hal ini berbeda dengan

warga Bangkerep lainnya yang dalam obrolan mereka di warung kopi, masjid, atau

saat kegiatan kolektif masih didominasi oleh tema pekerjaan, pertanian atau peristiwa

umum lainnya.

Dalam konteks identitas, Ricard Jenkins melihat identitas individu

didefinisikan sebagai identitas sosial. Identitas sosial adalah suatu proses individu dan

kolektif membedakan dirinya dalam relasi sosial mereka. Menurut Jenkins identitas

adalah “our understanding of who we are and of who other people are, and

reciprocally, other‟s people understanding of themselves and of others (which

includes us). Dengan demikian identitas sosial adalah suatu proses yang saling

berlawanan satu sama lain. Lebih lanjut Jenkins mengatakan bahwa identitas

195

Catatan lapangan 27 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 184: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

172

bukanlah sesuatu yang jadi, melainkan proses yang terus berlangsung dan dengan

demikian lebih tepat mengatakan proses identifikasi daripada identitas.196

Dalam konteks pemikiran Jenkins, bergabungnya sebagian warga Bangkerep

ke dalam organisasi MTA merupakan proses identifikasi diri mereka yang berbeda

dari lingkungan dan masa lalu mereka. Bagi warga MTA, kemajuan dalam mengakses

informasi yang tidak dimiliki warga lainnya dipandang sebagai hal yang membedakan

diri mereka dengan warga dusun lainnya. Dengan mendapatkan informasi aktual

melalui jaringan MTA, warga MTA Bangkerep merasa lebih modern dan berorientasi

pada masa depan ketimbang menjadi bagian dari orang dusun yang kolot, stagnan dan

hanya berorientasi pada masa lalu sebagai inspirasi. Hal ini disampaikan oleh Susilo

menanggapi soal darimana ia mendapat informasi mengenai JIL:

Bedanya orang belajar kan gitu. Mau gak mau orang ngomong kita

dengarkan. Disamping itu kita juga baca sedikit-sedikit dapat informasi

soal ideology seperti itu. Kan gak mungkin istilahnya kita terus

menerus lugu seperti keadaan masyarakat pada umumnya. Setiap hari

mencangkul, meski kita sendiri ya setiap hari ya pegang cangkul dan

sabit.197

Selain itu jaringan yang luas dengan warga MTA di seluruh Indonesia juga

membuat identitas mereka menjadi berbeda dari identitas mereka sebagai warga desa

biasa. Menurut Parwanto:

Kalo tidak seperti itu ya terus menerus jadi wong ndeso. Cuma ke

ladang. Mencangkul. Tidur...”198

196

Richard Jenkins, Social Identity, Second Edition, Routledge, 2004, hal. 3-5 197

Terjemahan wawancara dengan Susilo 26 Juni 2012 198

Terjemahan wawancara dengan Parwanto, 28 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 185: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

173

Selain itu identitas baru tidak hanya dibisa dilihat dari pola pikir, namun juga

penampilan. Dalam kesehariannya, mereka selalu berpakaian dan berpenampilan rapi.

Bagi anggota MTA perempuan memakai jilbab yang menutupi hampir separo badan.

Hal ini berbeda dengan warga perempuan non-MTA yang hanya beberapa orang saja

yang memakai jilbab dalam kesehariannya. Di siang hari, meski sama-sama bekerja di

sawah atau ladang, warga MTA menyelesaikan pekerjaan mereka lebih cepat untuk

kemudian membersihkan diri dan bersiap menunaikan shalat Zuhur di masjid. Mereka

biasanya bercelana panjang meski tidak ada ketentuan khusus untuk itu. Khusus jika

hari Selasa, sebagian dari mereka ada yang tidak pergi bekerja karena pada hari

tersebut diselenggarakan pengajian di majelis MTA. Menjelang pengajian dimulai,

warga MTA laki-laki berpakaian rapi, laki-laki memakai celana panjang, memakai tas

lengkap dengan alat tulis buku dan pensil dan A Quran terjemahan.

Selain itu identitas baru juga didapat dari kehidupan warga MTA yang didapat

dibatasi oleh aturan-aturan dan kedisiplinan. Selain dilarang melaksanakan kegiatan

praktek tradisional kosmologis, aturan cara berpakaian khusus bagi yang perempuan.

Kehidupan mereka kini terikat oleh aturan yang ketat, hirarkis dengan pimpinan dan

menjadi bagian dari komunitas MTA. Kesadaran untuk berubah menjadi pijakan

dalam perubahan identitas warga MTA. Mereka menganggap proses tersebut sebagai

berpindah (hijrah) dari masa lalu yang diliputi kebodohan akibat meyakini dan

menjalankan praktek tradisional menuju masa sekarang yang lebih beradab karena

dilandasi oleh ajaran Islam. Hijrah juga berarti proses berpindah dari diri yang pada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 186: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

174

masa lalu gemar melakukan tindakan yang dilarang oleh agama menjadi muslim yang

saleh dan taat. Dengan kata lain, makna Hijrah menjadi MTA berarti identitas yang

dulu disandarkan pada ikatan atau guyub sosial yang cair di dusun diganti menjadi

identitas yang dibentuk ulang dari ikatan ketat berbasis agama yang kaku dan ketat.

Inilah yang dimaksud Giddens dengan identitas-diri yang baru pada diri individu

diciptakan dan dibuat ulang dalam bentuk yang lebih aktif dari sebelumnya.

2. Dari Diri ke Masyarakat

Sebagaimana dijelaskan Giddens, pengaruh globalisasi terhadap individu tidak

berarti individu hanya bersifat pasif. Melalui proses refleksitas menegaskan bahwa

dalam kehidupan modern individu dan segenap tindakannya mempengaruhi sistem

sosial yang lebih luas. Giddens mengatakan:

“The day-to-day activities of an individual today are globally

consequential. My decision to purchase a particular item of clothing,

for example, or a specific type of foodstuff, has manifold

implications‟,namely an „extraordinary, and still accelerating,

connectedness between everyday decisions and global

outcomes”(1994: 57–8).

Dengan demikian, bergabung dengan MTA yang penuh aturan tidak berarti

membuat individu tidak berdaya karena hilangnya kebebasan mereka. Sebaliknya

bergabung dengan MTA memiliki dua tujuan. Pertama, memperbaiki diri sendiri

dengan mengamalkan praktek Islam yang sesuai dengan Al Quran dan Sunah. Kedua,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 187: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

175

memperbaiki moral masyarakat agar sesuai dengan kedua sumber hukum tersebut.

Hal ini disampaikan oleh Sudipo:

Ditegakkan pengajian itu membenahi akhlak. Karena kalau tayangan

televisi, kejahatan, anak membunuh orang tua orang tua membunuh

anak istri dibunuh itu kalau akhlak tidak dibenahi apa bisa menjadi

baik. Maka untuk membenahi dari MTA warganya dulu digembleng

supaya akhlak menjadi baik. Karena kalau suatu negara kalau

rakyatnya akhlaknya baik negaranya juga baik. Maka MTA itu

istilahnya membangun akhlak itu dari dasar bukan dari atas. Dari

bawah dulu kita benahi dari akar rumput. 199

Memperbaiki diri dan masyarakat dengan sendirinya mengandaikan adanya

dunia yang terpisah, yaitu dunia yang dibangun atas dasar hukum Al Quran dan Sunah

dan masyarakat umum yang belum mengamalkan Islam secara Kaffah. Dalam

konteks dusun Bangkerep, warga MTA Bangkerep menganggap bahwa kehidupan

mereka dipisahkan oleh aturan MTA yang juga aturan Islam dengan kehidupan warga

dusun yang masih mengamalkan tradisi lokal atau mereka yang masih menjalankan

tindakan yang menjerumus pada kemaksiatan dan dosa. Selain itu bagi warga MTA,

dunia luar juga dianggap penuh kejahatan dan bahaya yang akan merusak keutuhan

dunia internal tempat mereka berada. Hal ini disampaikan Suradi:

“Setan akan senantiasa berusaha mengajak manusia semuanya untuk

mengikuti jalannya. Kalau kita kembali pada kenyataan di zaman

sekarang ini seolah-olah kita dikerumuni oleh tentara tentara musuh

yang sangat luar biasa dari kanan kiri depan belakang musuh yaitu

setan-setan yang senantiasa memerangi kita yang senantiasa melawan

kita karena kita menyampaikan kebenaran, karena senantiasa

berpegang pada kebenaran. Siapa saja yang berpegang pada kebenaran

maka setan setan sangat luar biasa berusaha melawan.” 200

199

Terjemahan wawancara dengan Sudipo, 27 Juni 2012 200

Khutbah Jumat disampaikan Suradi, 20 April 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 188: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

176

Menghadapi dunia yang kacau, maka bagi individu harus bersikap aktif

membuat perubahan, yakni berupaya menjadikan hukum Islam sebagai landasan

dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan individu. Dengan kata lain, bergabung

dengan MTA adalah upaya untuk mengubah diri sendiri dan selanjutnya membuat

perubahan di masyarakat agar mau mengamalkan ajaran dan hukum Islam. Menurut

Suradi:

“Harapan kita itu mengamalkan Islam karena hukum yang sebenarnya

itu kan hukum Allah. Allah kan yang memiliki bumi ini dan

menciptakan seisinya. Yang punya wewenang untuk mengatur atau

membuat kebijakan hukum. Lha saat sekarang ini umat Islam kalau

kita lihat sejarah selesai masa keemasan seolah hukum Islam tidak

pernah disentuh dan tidak pernah dipakai oleh umat Islam karena

ditutup-tutupi oleh hukum-hukum manusia. Harapan kita bagaimana ke

depan itu orang melihat bahwa hanya hukum Allah lah yang bisa

membuat manusia itu baik. Dunia ini baik. Tapi secara sadar. Kalau

ada sekelompok saudara itu pakai kekerasan maka kita tidak. Kalau

MTA memang dituntut untuk mengamalkan hukum Allah itu secara

pribadi di keluarga, kelompok pengajian nanti berkembang pada

manusia memberi contoh pada masyarakat dan sebagainya.”201

Namun berbeda dengan kelompok keagamaan lain, upaya MTA agar hukum

Islam bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat tidak dilakukan

dengan cara kekerasan seperti organisasi lainnya. Bagi MTA yang paling utama

adalah memulai dari individu dan kemudian menjalar ke keluarga dan masyarakat

yang lebih luas. Menurut Suradi:

201

Wawancara dengan Suradi 28 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 189: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

177

“Nah bagaimana manusia di suatu negara katakanlah Indonesia ini

yang mayoritas Islam menyadarkan mereka dalam artian mereka mau

cinta pada hukum yang ada pada dirinya sendiri. Hukum Islam itu

sendiri secara sadar. Sebagaimana Rosululloh pada awalnya di dalam

menyampaikan kebenaran itu juga akarnya mengajak dari orang per

orang, keluarga. Maka itu yang kita harapkan hukum Islam itu bisa

diamalkan dicintai oleh umat Islam tanpa paksaan MTA itu kita tidak

seperti organisasi lain. Dengan kekerasan atau apa. Yang penting kita

memberi contoh yang positif. Baik sikap perbuatan yang istilahnya

sosial kemasyarakatan.”202

E. Konsekuensi

Bagi warga MTA, rekonstruksi identitas dan pencarian stabilitas atau

keamanan ontologis bukannya tanpa konsekuensi. Stabilitas yang mereka terima dari

organisasi juga memberi dampak yang harus mereka alami ketika memilih bergabung

dengan MTA. Konsekuensi-konsekuensi yang diterima oleh warga yang bergabung

dengan MTA tersebut mengacu pada tindakan dan proses yang mereka alami baik

selama menjadi warga MTA sekaligus dalam posisi mereka sebagai warga dusun

dengan karakteristik dan kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari. Dengan kata

lain, berlaku proses refleksifitas yang terus menerus dilakukan oleh warga yang

bergabung dengan MTA terkait dengan semua tindakan yang dia lakukan.

1. Kedisiplinan

Dengan menjadi anggota MTA, seorang warga dusun Bangkerep harus siap

menjalani kehidupan sehari-hari dalam aturan yang ketat yang dikeluarkan pimpinan

MTA pusat. Selain mengatur soal praktek dan tata cara keagamaan, warga MTA juga

202

Wawancara dengan Suradi 28 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 190: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

178

diharuskan hidup dalam aturan-aturan yang terkait dengan pergaulan, berpakaian,

berkeluarga, mata pencaharian dan sebagainya. Bagi warga MTA, kedisiplinan yang

mengekang kebebasan mereka dianggap sebagai konsekuensi dari pilihan mereka.

Paiman mengaku tertarik dengan MTA justru karena kedisiplinan organisasi

yang menurutnya tidak ada di organisasi lain. Sementara di MTA dituntut untuk

mempraktekkan dengan konsekuensi yang cukup berat, seperti dikucilkan. Juga harus

mengaji dan jika tidak mengaji akan dikeluarkan. Paiman mengatakan:

“Kalo saya sudah mengaji di tempat-tempat lain. Tapi menurut saya

sendiri saya rasakan sendiri kurang begitu mantap. Kurang begitu

cocok. Masalahnya kalau di tempat-empat lain itu ngaji ya cuma ngaji

saja. Tidak ada peraturan-peraturan yang harus begini-begini ndak ada.

Pokoknya ngaji ya cuma kumpul-kumpul.”203

Hal yang sama dikemukakan oleh Suyatno. Ia mengaku tertarik mengaji di

MTA karena kedisiplinan dalam pengamalan, terutama amalan yang sudah menjadi

kebiasaan warga dusun. Ia mengatakan:

“Dalam Islam nabi (Muhammad) sendiri bersabda kutinggalkan dua

perkara padamu yang dengan itu kamu tidak akan tersesat jika

berpegang pada keduanya yaitu Quran Sunah. Dari dulu kan saya

sudah kenal hadits itu. Dari Muhammadiyah dari acuan MTA yang

semacam itu akhirnya saya ikuti terus. Islam itu yang ditinggalkan

yang diajarkan hanya dua perkara tadi. Ya memang jadi orang Islam

mau tidak mau harus dipaksa cocok dengan Quran dan Sunah. Kalau

kita mau mengikuti Islam dalam Quran mengikutilah Islam secara

keseluruhan mau ndak mau kita harus mengikuti apa yang dikatakan

Quran apa yang dikatakan Sunah. Prinsip saya seperti itu.”204

203

Wawancara dengan Paiman, 28 Juni 2012 204

Wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 191: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

179

Sementara bagi Susilo, ia sejak awal tidak tertarik mengikuti berbagai

kegiatan ritual dusun. Ia mengatakan:

Bedanya kalau di MTA itu banyak larangannya. Saya memang tidak

senang hura-hura, tidak seneng rame-rame. Kalau melihat tontonan

sama mas Suradi tidak boleh. Kata mas Suradi jangan senang begitu,

tidak baik. Kalau pas ada barongan saat peringatan 17 agustus ya tidak

boleh. Terus disamping itu juga sedekah bumi. Tadi saya katakan

bapak saya setiap menyuruh (ikut kenduri) saya menghilang kemana,

main. Lha kok di sini di MTA kok malah ora entuk. Makanya saya

senang.205

Sistem hirarkis yang mengontrol segenap aspek kehidupan warga tidak

dipandang sebagai sesuatu yang membatasi kebebasan diri, melainkan mampu

menciptakan stabilitas di tengah ketidakpastian hidup. Kedisiplinan tidak dipandang

sebagai hal yang memberatkan, melainkan sebagai alat meneguhkan identitas diri

yang berbeda dari yang lain.

Salah satu aturan kedisiplinan adalah harus mengikuti kegiatan pengajian dan

jika berhalangan hadir harus menyampaikan surat ijin. Sistem ini diberlakukan oleh

pimpinan MTA dengan cara mewajibkan anggota untuk mengisi daftar hadir. Jika

seorang anggota tidak hadir berturut-berturut. Menurut Suradi, aturan absen pada

dasarnya adalah untuk mengontrol dan benar-benar berkomitmen dengan MTA.

Menurut Suradi:

“Adanya daftar hadir itu biar tertib. Biasanya pengajian-pengajian itu

kan tidak terdaftar sehingga masuk dan tidak masuknya tidak terdata.

Maka kita titik beratnya pada keistiqomahan. Seperti barisan. Diatur

rapi. Nah diatur rapi itu kalau kita belum rapi dalam mengatur nanti

205

Terjemahan wawancara dengan Susilo, 26 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 192: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

180

ada salah satu yang keluar dari barusan atau membuat gaduh dalam

barusan kita akan mudah mengetahuinya. Siapa yang membuat gaduh.

Siapa yang keluar barusan. Siapa yang merusak barisan. Keluar dari

barisan itu karena dia tidak taju atau karena dia sengaja mau memecah

barisan. Itu kalau kita ada daftar hadir.”206

Begitu juga dengan konsekuensi jika melanggar aturan bisa dikeluarkan dari

MTA. Menurut Parwanto apa yang menjadi aturan MTA adalah kebijakan yang

dilandaskan pada aturan hukum Islam. Menurut Parwanto:

“Soal dikeluarkan itu karena sudah melanggar norma. Sudah berat.

Kalau cuma tidak masuk tapi ijin gak papa. Masih bisa ditolerir. Kalau

sakit ijin tidak masalah. Tapi kalau sudah dikeluarkan itu karena sudah

tidak mematuhi garis dari MTA. Pokoknya garis dari MTA itu ya dari

Islam itu sendiri. Bukan terus MTA punya hukum. Tapi hukum yang

dipakai MTA itu dari Islam. Al Quran dan Sunah. Melenceng dari

Quran dan Sunah ditegur sekali atau dua kali tetap tidak sadar akhirnya

nanti seperti itu akan merusak ke dalam.”207

Menurut Suradi, orang yang dikeluarkan adalah karena mereka tidak

berkomitmen dengan aturan MTA:

“Itu tidak mengamalkan hasil kajiannya. Kalau orang lain itu sebabnya

karena belum tahu. Tapi kalau ini kan sudah tahu tapi nekad. Nekad itu

berarti suka seperti itu. Kalau memang tidak suka berarti tidak suka

pada pengajian. Lha apa yang kamu suka itu yang kamu lakukan. Kita

memberi kemerdekaan. Tapi jangan sampai nekad ikut bergabung ke

komunitas kita tapi perilakumu keluar dari ketentuan yang sudah ada.

Itu berarti kamu datang itu untuk merusak.”208

Sanksi pelanggaran ini pada dasarnya sangat berat mengingat berhubungan

dengan konsekuensi lainnya yang lebih besar yakni terjadi benturan dengan keyakinan

206

Wawancara dengan Suradi, 26 April 2012 207

Wawancara dengan Parwanto, 29 Juni 2012 208

Wawancara dengan Suradi, 29 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 193: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

181

serta praktek adat istiadat yang masih dilakukan warga dusun lainnya yang berujung

pada konflik terbuka. Ketika seorang warga dusun Bangkerep memutuskan bergabung

dengan MTA biasanya ia tidak memiliki ruang lagi di komunitas dusun, maka jika ia

melakukan pelanggaran dan dikeluarkan dari organisasi MTA maka akan susah

baginya untuk berintegrasi kembali di masyarakat.

Meski demikian konflik justru dianggap sebagai sarana perekat solidaritas

yang meneguhkan stabilitas dan identitas mereka. Konflik dianggap sebagai

konsekuensi dalam upaya mencari stabilitas. Menurut Suprih:

“Justru dengan adanya itu (konflik) dari warga tambah mantap.

Tambah semangat perjuangannya. Lebih semangat kalau ada

rintangan.Ibaratnya bumbu untuk memupuk keimanan. Mungkin kalau

tidak dengan cara itu pengamalannya biasa saja”.209

2. Keuangan

Banyaknya kegiatan yang harus diikuti warga MTA di Bangkerep tentu

membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi jika melihat bahwa mayoritas dari

mereka adalah buruh tani atau pedagang kecil dengan penghasilan yang tidak

menentu.

Pengeluaran terbesar biasanya adalah transportasi untuk mengikuti pengajian

baik Jihad Pagi atau pengajian peresmian cabang di tempat lain. Di Bangkerep, warga

MTA harus mengikuti kegiatan rutin pengajian Selasa, sementara Jumat siang mereka

ke Surakarta sampai malam hari, kemudian hari minggu mengikuti pengajian Ahad

209

Wawancara dengan Suprih, 27 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 194: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

182

Pagi ke Surakarta. Sementara bagi Ustadz Suradi dan Suwanto jadual mereka lebih

padat dari anggota lainnya. Selain itu, pihak MTA pusat juga sering mengadakan

kegiatan yang membutuhkan dana yang berasal dari infaq (iuran yang tidak wajib)

warga MTA di seluruh Indonesia. Misalnya pengadaan AC, stasiun televisi dan radio,

dan infaq lainnya yang meski tidak wajib namun selalu ditekankan sebagai suatu jihad

fi sabilillah atau berjuang di jalan Allah khususnya dengan harta.

Bagi warga MTA, berbagai kegiatan dan dana yang tidak sedikit merupakan

bagian dari perjuangan dalam upaya menjalani Islam secara murni. Menurut Wakidi,

semuanya dijalankan dengan ikhlas, karena rejeki sudah ada yang mengatur yaitu

Allah. Seperti dikatakan oleh Suprih, biaya yang dikeluarkan merupakan suatu

kebanggan tersendiri:

“Kalau sekiranya di dalam hati itu senang dengan Fisabilillah tidak

ada rasa seperti itu. Kalau mendengar himbauan dari pimpinan pusat

untuk pembangunan atau hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan itu

justru senang ada kebanggaan tersendiri.”210

Hal yang sama dikemukakan oleh Suyatno bahwa apa yang selama ini menjadi

aturan dari MTA adalah bagian dari ibadah:

Dasarnya ya itu. Kata Ustadz Ahmad Sukina segala aktifitas yang ada

hubungannya dengan kegiatan pengajian dengan ibadah yang langsung

dengan Allah itu kita mencari ridlonya Allah. Kita berusaha untuk

Lillahi. Jadi biar hati kita itu meninggalkan yang menjadi keseharian

itu menjadi ringan. Jadi ndak ada wah pergi lagi meninggalkan

pekerjaane. Awal-awal hal semacam itu menjadi sesuatu yang lumrah.

Apalagi waktu istri saya belum ngaji diajak mengikuti kegiatan itu

berat. Tapi Alhamdulillah setelah istri ikut ngaji beban berkurang. Jadi

210

Wawancara dengan Suprih, 27 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 195: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

183

enteng. Istri juga memahami sendiri, anak juga ngerti, misalnya ada

kegiatan apa ya siap. Dasarnya ya itu tadi. Berusaha unuk lillahi

ta‟ala.211

Sementara menurut Susilo, bahwa balasan dari Allah jauh lebih berharga

ketimbang waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pengajian, misalnya

kegiatan nafar. Kegiatan nafar adalah kegiatan khas MTA selama bulan Ramadhan di

mana setiap anggota MTA diharuskan tinggal dan belajar agama di kantor MTA

lainnya di seluruh Indonesia. Menurut Susilo:

“Islam Kaffah ya yang mana itu perintah Allah ya kita ikuti. Yang

tidak diperintahkan kita tinggalkan. Istilahnya jangan membawa ego.

Seneng tidak senang kalo itu baik ya kita ikuti, entah itu disisi lain

menyudutkan kita atau membahagiakan kita. Seperti contoh kita

disuruh Nafar. Disisi lain ekonomi kita pas-pasan. Tapi kalo kita

mampu mengapa tidak. Kalau kita pikir kan sesuatu yang mengerikan,

kalo kita sudah punya keluarga punya anak ekonomi pas-pasan,

kebetulan harus keluar Nafar. Mau gak mau. Walaupun (sebenarnya)

tidak keluar juga tidakpapa. Tapi kalau kita mengerti lebih baik keluar

daripada tidak. Hari esok kan masih ada. Disisi lain menyulitkan kita,

di sisi yang lain ada sesuatu yang membahagiakan nanti. Sesuatu yang

tidak nampak. Sesuatu yang tidak ditampakkan oleh Allah. Sesuatu

yang gaib, balasan kan sesuatu yang gaib. Mau gak mau kita harus

yakin.”212

Dengan demikian konsekuensi tersebut justru menjadi semacam peneguhan

bagi para warga Bangkerep yang menjadi anggota MTA. Konsekuensi atau

kehilangan sesuatu pada saat yang sama juga menjadi kepenuhan atau kepuasan bagi

individu yang ada di dalamnya.

211

Terjemahan wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012 212

Wawancara dengan Susilo, 29 Juni 2012

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 196: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

184

3. Dogmatisme baru

Giddens mengatakan bahwa detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi,

tetapi tradisi masih tetap ada namun hidup dan berkembang dalam konteks yang

berbeda. Dalam konteks perubahan yang terjadi di Bangkerep, baik warga dusun atau

warga yang menjadi anggota MTA tentu saja mengalami dan menghadapi suatu

situasi yang sama. Ketika Wakidi dan kawan-kawannya bergabung dengan MTA

yang merupakan organisasi Islam puritan yang birokratis dan terstruktur sekaligus

meyakini doktrin dan menjalankan aturan ketat yang ada didalamnya tidak berarti

bahwa mereka menjadi individu baru yang serta merta hidup dalam pola pikir dan

situasi yang modern. Sebaliknya, berbagai pengalaman warga MTA Bangkerep

mengenai keterlepasan dari masa lalu yang dianggap kolot dan kemudian menarasikan

diri mereka sendiri menjadi “modern” melalui keyakinan, praktek keagamaan serta

keterlibatan dalam jaringan yang dimiliki MTA pada saat yang sama justru

menjadikan mereka hidup dalam bentuk tradisionalisme baru yang lebih dogmatis.

“Menjadi modern” bagi warga MTA pada dasarnya adalah kehidupan yang berada

dalam aturan-aturan ketat dan sanksi yang sepenuhnya dikendalikan oleh otoritas

yang lebih berkuasa atas mereka sendiri, dalam hal ini MTA sebagai organisasi.

Kegiatan organisasi seperti pengajian Ahad Pagi atau pengajian rutin dengan segala

tata caranya pada akhirnya menjadi semacam ritual baru yang harus dijalankan oleh

anggotanya. Dalam kondisi tersebut, ketika seorang warga dusun Bangkerep

memutuskan bergabung dengan MTA untuk mencari stabilitas atau keamanan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 197: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

185

mendasar (ontological security) justru pada saat yang sama ia juga mengalami suatu

bentuk rasa tidak aman yang baru karena berbagai aturan ketat dan sanksi yang

membatasi mereka.

Begitu juga dengan apa yang dialami oleh warga dusun yang tidak bergabung

dengan MTA. Dengan tetap menjalankan ritual yang bersumber dari kepercayaan

lokal tidak berarti bahwa sebagian warga dusun tersebut masih berada dalam

kerangka pikir dan kesadaran tradisional sepenuhnya. Sebagai individu mereka juga

melakukan refleksi atau proses permenungan tentang diri mereka di tengah perubahan

yang terjadi di sekitar mereka. Pada kondisi ini warga dusun yang tidak bergabung

dengan MTA juga merasakan kecemasan dalam menjalani kehidupan dunia luar yang

terus berubah dan berupaya mencari rasa aman mendasar (ontological security).

Penolakan warga dusun Bangkerep atas faham puritan yang dibawa MTA merupakan

manifestasi dari ketakutan terhadap perubahan yang terjadi di sekitar mereka dan

dianggap bisa mengancam stabilitas dan rasa aman yang selama ini mereka miliki.

Dalam konteks tersebut apa yang dialami oleh warga dusun Bangkerep pada

umumnya atau warga lainnya yang menjadi anggota MTA pada dasarnya adalah

bagian dari upaya yang sama mempertahankan suatu kebenaran di mana menurut

Giddens, kebenaran yang terformulasikan adalah titik temu yang menghubungkan

sesuatu yang sakral dengan tradisi.213

Menurut Giddens, tradisi hanya akan bertahan

dalam dua cara; pertama, diartikulasikan dengan makna baru melalui dialog. Kedua,

213

Giddens, Living in Post-Traditional Society, hal. 104

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 198: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

186

tradisi dipertahankan dengan jalan fundamentalisme yakni mempertahankan tradisi

tanpa dialog atau kompromi. 214

Dalam cara yang terakhir ini maka tradisi baik dalam

pengertian “tradisi lokal” atau agama sebagai “tradisi besar” memiliki

kencenderungan untuk jatuh ke dalam lubang yang sama, yaitu dogmatisme. Kondisi

ini terjadi di masa awal kedatangan MTA di Bangkerep maupun dalam

perkembangannya kemudian di mana terjadi konflik terbuka antara warga dusun yang

tidak setuju dengan ajaran MTA melawan warga dusun anggota MTA yang

menganggap bahwa praktek lokal di Bangkerep adalah sesat dan tidak sesuai dengan

tuntunan dari Al Quran dan Hadits.

214

Giddens, ibid, hal. 100

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 199: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

187

BAB V

KESIMPULAN

Argumentasi yang dikemukakan dalam tesis ini adalah bahwa globalisasi

membuat suatu komunitas dan individu kehilangan kepercayaan terhadap nilai-nilai

tradisional yang selama ini mereka yakini dan pada saat yang sama menggantinya

dengan suatu cara atau keyakinan yang memberi kepastian atau keamanan di tengah

kehidupan global. Selain itu globalisasi juga membuat individu berupaya membentuk

ulang identitas mereka dalam suatu komunitas. Dalam hal ini identitas baru tersebut

mereka dapatkan dari kelompok agama yang memiliki aturan yang ketat dan doktrin

serta praktek keagamaan yang diyakini mampu mengatasi berbagai persoalan yang

diakibatkan oleh berbagai perubahan yang terus menerus terjadi di sekitar mereka.

Tesis ini berupaya memotret kondisi masyarakat di suatu pedesaan di Blora

yang pada mulanya bercirikan tradisional dengan karakteristik keagamaan yang

cenderung Abangan yang kemudian mengalami proses perubahan menuju gejala

modernitas yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang terjadi dalam skala dan

intensitas yang luar biasa atau juga disebut sebagai fenomena globalisasi. Globalisasi

sebagai suatu proses saling keterhubungan suatu kejadian di wilayah tertentu dengan

wilayah lain yang saling mempengaruhi, dalam tesis ini digambarkan melalui

kebijakan negara sebagai perpanjangan dari kepentingan kapitalisme global,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 200: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

188

kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi yang memungkinkan terjadinya

perpindahan ide dan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya.

Dusun Bangkerep sebagai sebuah dusun yang pada mulanya dipenuhi dengan

berbagai ritual tradisional sekaligus kurang dalam praktek agama berangsur-angsur

mengalami suatu kondisi modernitas. Kondisi ini merujuk pada apa yang disebut

Giddens sebagai masyarakat post-tradisional yakni masyarakat yang mengalami

ketidakpastian dan mempertanyakan nilai-nilai dan sudut pandang tradisional yang

sebelumnya mereka yakini sebagai konsekuensi dari perubahan sosial yang terjadi di

sekitar mereka. Dengan kata lain tradisi yang sebelumnya menjadi pegangan di

masyarakat menjadi terbuka untuk dipertanyakan dan pada akhirnya individu di

dalamnya mulai mencari cara alternatif dari sumber lain. Kata kunci dari proses ini

adalah apa yang disebut refleksifitas, yakni individu melakukan permenungan dan

mencari alasan atau dasar dari setiap tindakannya sekaligus mengevaluasi

keberhasilan dari setiap upaya yang dia lakukan.

Dalam tesis ini modernitas di Bangkerep dibaca melalui fenomena peralihan

orientasi beragama sebagian warganya yang bergabung dalam suatu organisasi Islam

bercorak puritan yaitu Majelis Tafsir Al Quran (MTA) yang berpusat di Solo. Mereka

yang semula kurang dalam pengetahuan agama dan tidak terlalu taat dalam

menjalankan ajaran Islam sekaligus teguh dalam meyakini kepercayaan tradisional

dan melakukan praktek ritual lokal mulai menunjukkan gairah gairah keagamaan yang

kuat setelah bergabung dengan organisasi tersebut. Dengan kata lain nilai-nilai dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 201: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

189

kepercayaan leluhur mulai dipertanyakan manfaatnya dalam menjawab berbagai

kegelisahan yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.

Proses bergabungnya sebagian warga Dusun Bangkerep ke dalam organisasi

MTA dijelaskan dalam kerangka globalisasi sebagai proses terjalinnya relasi kejadian

dan wilayah dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai sebuah organisasi yang berdiri

pada tahun 1972, kemunculan MTA dengan misi puritanisme merupakan bagian dari

fenomena gelombang kebangkitan Islam dalam skala global pada waktu yang sama di

mana umat Islam di seluruh dunia sedang bangkit dari keterpurukan sekaligus

berupaya meraih kejayaannya kembali melalui jargon kembali kepada Al Quran dan

Sunah..Gerakan kebangkitan Islam skala global ini merupakan lanjutan dari fenomena

yang sama yang terjadi di Timur Tengah pada abad ke 18 yang memberi yang

pengaruh terhadap fenomena yang sama di berbagai belahan dunia dengan agenda

utama merebut kembali kejayaan Islam sekaligus mengedepankan nilai dan praktek

Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Persebaran ide tersebut dipotret

dalam kerangka globalisasi sebagai suatu fenomena menguatnya relasi-relasi sosial di

berbagai wilayah di dunia melalui suatu kejadian yang saling mempengaruhi satu

sama lain. Dalam konteks gerakan kebangkitan Islam skala global ini relasi terjadi

melalui instrument globalisasi, yakni kemajuan teknologi komunikasi transportasi dan

informasi yang memungkinkan terjadinya mobilisasi manusia sehingga

memungkinkan ide-ide baru mengenai Islam bisa diakses oleh umat Islam di berbagai

tempat, termasuk di Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 202: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

190

Di Indonesia, gerakan puritanisme disebarkan oleh kaum Paderi di Sumatera

pada sekitar abad 20 dan memberi pengaruh terhadap munculnya organisasi dengan

misi puritanisme seperti Muhammadiyah dan Persis. Pada tahap selanjutnya fenomena

kebangkitan Islam di Indonesia terjadi pada tahun 1970 dan 1980-an yang

dipengaruhi ketika ide-ide pembaruan Islam dari Hasan Al Banna, Jamaluddin Al

Afghani atau Rasyid Ridha yang kemudian berkembang pesat di Indonesia melalui

berbagai organisasi-organisasi Islam di kampus serta melalui penerbitan buku-buku

dan maupun melalui mahasiswa yang belajar di Timur Tengah saat Orde Baru masih

berkuasa. Kemunculan berbagai organisasi Islam juga dipicu oleh kebijakan Orde

Baru yang berupaya untuk melanggengkan kekuasaan melalui kebijakan depolitisasi

umat Islam serta kebijakan pembangunan infrastruktur dan pembinaan agama

terutama di pedesaan-pedesaan yang memberi ruang bagi munculnya kesadaran Islam

di kalangan masyarakat.

Di Dusun Bangkerep, masuknya MTA juga merupakan bagian yang sama dari

fenomena kebangkitan Islam dalam skala global maupun nasional. Dusun Bangkerep

yang semula kental dengan kepercayaan lokal dan ritual-ritual tradisional secara

perlahan mengalami proses detradisionalisasi yang terutama dimulai ketika di masa

awal pemerintahannya, penguasa Orde Baru menerapkan kebijakan penyuluhan

terutama di bidang keagamaan Islam. Secara perlahan kegiatan agama Islam mulai

muncul di Dusun Bangkerep. Puncaknya adalah ketika sebagian warga Bangkerep

mendapatkan akses kepada organisasi Islam puritan MTA yang berpusat di Surakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 203: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

191

Dengan kata lain mobilisasi manusia mengakibatkan terjadinya perpindahan ide

kebangkitan Islam yang dibawa MTA ke Dusun Bangkerep.

Selain itu sebagian warga Bangkerep yang menjadi anggota MTA memiliki

alasan mengapa mereka tertarik dengan organisasi Islam puritan tersebut dengan

berbagai konsekuensinya. Mereka meyakini bahwa doktrin MTA mengenai Islam

yang Kaffah dan penerapannya dalam segala aspek kehidupan menawarkan jawaban

dari pertanyaan dan kegelisahan mereka di tengah berbagai perubahan yang terjadi di

masyarakat. Warga anggota MTA melihat bahwa masyarakat mengalami kekacauan

yang tergambar dari berbagai perilaku maksiat dan kejahatan sebagai akibat dari tidak

adanya aturan dan panduan dalam menghadapi dunia yang semakin berubah. Aturan

organisasi yang ketat dalam mempraktekkan ajaran Islam tidak dianggap sebagai

pengekangan, melainkan keharusan untuk memperbaiki perilaku masyarakat sekitar

yang semakin hari semakin jauh dari sumber hukum Islam yang utama.

Dalam kesehariannya, warga anggota MTA juga menunjukkan pemahaman

dan praktek agama yang berbeda sama sekali dengan masyarakat di lingkungan

tempat mereka tinggal. Mereka tidak lagi menjalankan berbagai praktek atau ritual

tradisional yang menurut mereka merupakan bentuk penyimpangan sebagai seorang

Muslim sejati. Selain itu warga anggota MTA juga menunjukkan perilaku keseharian

dan cara pergaulan yang menurut mereka sesuai dengan tuntunan Al Quran dan

Hadits, antara lain cara berpakaian, relasi laki-laki dan perempuan, pendidikan

keluarga dan solidaritas yang kuat antar sesama anggota. Bagi mereka, Islam adalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 204: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

192

agama sempurna yang memiliki seperangkat aturan yang lengkap yang mengatur

seluruh aspek kehidupan manusia. Hanya dengan berpedoman pada ajaran Islam

sebagaimana yang dituntunkan dalam kedua sumber hukum Islam tersebut secara

sungguh-sungguh dan tanpa dipengaruhi oleh ajaran atau keyakinan lainnya mereka

telah menemukan identitas mereka sebagai seorang Muslim sejati di tengah

masyarakat yang kental dengan keyakinan tradisional.

Selain itu dengan bergabung menjadi anggota MTA, warga Dusun Bangkerep

juga memiliki kebanggan dan identitas baru sebagai orang yang memiliki kelebihan

dibanding warga dusun lainnya. Keluasan jaringan yang dimiliki MTA membuat

mereka banyak bertemu dengan orang lain dari beragam profesi dan latar belakang

sehingga membuat mereka merasa memiliki kelebihan dibandingkan warga dusun

pada umumnya. Sistem organisasi MTA yang rapi, terstruktur dan hirarkis serta

jaringan komunikasi informasi yang dimiliki organisasi membuat warga Bangkerep

anggota MTA mendapatkan akses informasi yang lebih dibanding warga dusun

lainnya. Dengan kata lain, warga dusun yang menjadi anggota MTA merasa lebih

modern dibandingkan dengan warga dusun lain yang kolot dan hanya bergaul di

lingkungan dusun Bangkerep saja. Selain itu salah satu doktrin MTA mengenai

solidaritas antar anggota juga membuat warga MTA Bangkerep merasa mendapatkan

dukungan secara ekonomi dan mata pencaharian mereka, baik melalui program-

program dari MTA atau dari jaringan antar anggotanya yang tersebar di berbagai

tempat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 205: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

193

Di sisi lain, identitas baru serta berbagai kemudahan akses yang didapatkan

oleh warga dusun yang menjadi anggota MTA tersebut memiliki konsekuensi yaitu

hilangnya kebebasan karena terikat dengan aturan yang ketat baik aturan yang diambil

dari Al Quran dan Hadits ataupun aturan dari organisasi. Warga MTA menjalankan

hidup sehari-hari secara disiplin terutama dalam bidang keagamaan hingga dalam

urusan kehidupan sehari-hari seperti berkeluarga, bekerja, mendidik anak dan

seterusnya. Pelanggaran terhadap aturan yang sudah digariskan organisasi berakibat

pada sanksi yang berat yakni dikeluarkan dari organisasi. Konsekuensi paling besar

ketika seorang warga dusun Bangkerep memutuskan bergabung dengan MTA adalah

benturan dan konflik terbuka dengan warga dusun lainnya yang menentang kehadiran

MTA. Konsekuensi kedua adalah besarnya dana yang harus dikeluarkan setiap

anggota untuk mobilitas organisasi. Hal tersebut tentu kontras dengan kondisi

ekonomi dan mata pencaharian mereka yang sebagian besar adalah buruh tani atau

pedagang kecil. Konsekuensi ketiga adalah terjebak dalam dogmatisme baru. Bagi

warga MTA di Bangkerep, hijrah menuju identitas baru yakni menjadi “modern” dan

lepas dari masa lalu yang kolot pada saat yang sama justru menjadikan mereka hidup

dalam bentuk tradisionalisme baru yang lebih dogmatis karena pada dasarnya

kehidupan mereka berada dalam aturan-aturan ketat dan sanksi yang sepenuhnya

dikendalikan oleh otoritas yang lebih berkuasa atas mereka sendiri, dalam hal ini

MTA sebagai organisasi. Pada akhirnya, keinginan untuk mencari stabilitas atau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 206: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

194

keamanan mendasar (ontological security) berujung pada suatu bentuk rasa tidak

aman yang baru karena berbagai aturan ketat dan sanksi yang membatasi mereka.

Apa yang terjadi di dusun Bangkerep dalam tesis ini memberi gambaran

bahwa setiap komunitas serta individu di dalamnya tidak bisa menghindar dari

perubahan sosial yang terjadi begitu cepat. Ketakutan dan kegamangan terhadap

perubahan tersebut melahirkan upaya pencarian identitas baru melalui berbagai cara.

Lalu ketika ada kelompok atau komunitas baik yang sadar atau tidak sadar berupaya

menolak tradisi dalam pengertian sesuatu yang dianggap kuno melalui cara-cara,

bentuk atau simbol modernitas –organisasi agama yang puritan dan modern- pada

akhirnya akan berpeluang menciptakan bentuk tradisi baru yang lebih kaku dan

dogmatis.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 207: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

195

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Al Banna, Hasan, Majmaatul Rasail: Himpunan Risalah Pergerakan Ikhwanul

Muslimin, ebook tanpa tahun dan penerbit.

Abou El Fadl, Khaled. 2006. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Tr. Helmi

Mustofa. Jakarta: Serambi

Ahmed, Akbar S. 2003. Postmodernisme and Islam: Predicament and Promise.

Taylor & Francis e-Library.

Castells, Manuel. 1997. The Power of Identity. Malden. MA: Blackwell

Gellner, Ernest. 1981. Muslim Society. Cambridge: Cambridge University Press

Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press

----------------------- 1991. Modernity and Self Identity:Self and Society in The Late of

Modern Age. Cambridge: Polity Press

------------------------ 1994. Living in Post Traditional Society, Beck, Giddens & Lash,

ed. “Reflexive Modernization” Cambridge: Polity

----------------------- 2005. Sociology, Fifth Edition. Cambridge: Polity Press

------------------------- 1985. Nation State and Violence, Vol II A contemporar Critique

of Historical Materialism. Polity Press

Hammersley, M & Atkinson. 1995. Etnography, Principles in Practice, 2nd

ed.

London: Routledge

Hassan, Noorhadi. 2008. Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di

Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Pustaka LP3ES dan KITLV

Hefner, Robert W. Where Have all the Abangan Gone? Religionization and the

Decline of Non-Standard Islam in Indonesia dalam Rémy Madinier & Michel Picard,

eds.,“The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 208: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

196

Contention in Java and Bali”, Contemporary Southeast Asia Series, London and New

York: Routledge

Hefner, Robert W. 2008. Civil Islam: Muslim and Democratization In Indonesia.

Princeton: Princeton University Press

Jenkins, Richard. 2004. Social Identity, Second Edition. Routledge

Machmudi, Yon. 2008. Islamising Indonesia, The Rise of Jamaah Tarbiyah and The

Prosperous Justice Party. edisi digital library http://press.anu.edu.au/titles/islam-in-

southeast-asia/islam_indo_citation/ , ANU Press

Moller, Andre. 2005. Ramadan in Java, The Joy and Jihad of Ritual Fasting,

Department of History and Anthropology of Religion, Lund University, Swedia,

2005, versi Ebook diterbitkan dan diunduh dari www.anpere.net

Mouffe, Chantal. 2005. On The Political, Thinking in Action. Routledge

Peacock, James. 1978. Muslim Puritans, Reformist Psychology in Southeast Asian

Islam,,California: University of California Press

Rahmat, M Imdadun. 2008. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung

Parlemen. Yogyakarta: LKiS.

Redner, Harry. 2001. Ethical Life: The Past and Present of Ethical Culture. Oxford:

Rowman and Littlefield Publisher

Ricklefs, MC. 2008. Religion, Politics and Social Dynamics in Java: Historical and

Contemporary Rhymes dalam Barton, G & White, S., ed. “Expressing Islam:

Religious Life and Politics in Indonesia”. Singapore: ISEAS, 2008

Ritzer, G & Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Tr.

Alimandan. Jakarta: Kencana

Robertson, Roland. 1992. Globalization: Social Theory and Global Culture. London:

Sage

Siraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.

Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang

Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 209: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

197

Tomlison, John. 1999. Localization and Culture. Cambridge: Polity Press

--------------------------2003. Globalization and Cultural Identity, dalam Held, D & Mc

Grew, A, “The Global Transformations Reader”. Oxford: Polity Press.

Waardenburg, J. D. J. 1979. Official and Popular Religion as a Problem in Islamic

Studies, dalam Pieter H. Vrijhof dan Jacques Waardenburg, ed. “Official and Popular

Religion”. Paris: Mouton Publisher.

Wahid, Abdurrahman, ed. 2009. Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam

Transnasional di Indonesia. Jakarta: LibForAll Foudantion.

Wiktorowicz, Quintan, ed. 2012. Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial.

Tr. Tim Penerjemah Paramadina. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi

Zuhri, Syaifudin. 200. Gerakan Purifikasi di Jantung Peradaban Jawa: Studi Tentang

Majelis Tafsir Al Quran (MTA), dalam Prof. K Yudian Wahyudi, Ph.D. ed.“Gerakan

Wahabi di Indonesia (Dialog dan Kritik). Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press.

Jurnal

Ali, Muhammad, Muslim diversity: Islam and local tradition in Java and Sulawesi,

Indonesia, IJIMS, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Volume 1,

Number 1, June 2011

Anderson, John W., New Media, New Publics: Reconfiguring the Public Sphere of

Islam, Journal Social Research, Vol 70, No 3, Fall 2003

Baedhawy, Zakiyuddin, Dinamika Radikalisme dan Konflik bersentimen Keagamaan

di Surakarta, Makalah untuk Annual Conference on Islamic Studies ke-10,

Banjarmasin 1-4 November 2010

Hadiz, Vedi R., Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia, CRISE Working

Paper No.74, 2010, Center for Research on Inequality, Human Security and Ethicity

--------------------- Political Islam in Post- Authoritarian Indonesia,CRISE

WORKING PAPER, No. 74, February 2010, Center for Research on Inequality,

Human Security and Ethicity

Hassan, Noorhaidi, Between Transnational Interest and Domestic Politics:

Understanding Middle Eastern Fatwas on Jihad in the Moluccas, Noorhaidi

Hasan&Moch Nur Ichwan, ed. “Moving with the Times: the Dynamics of

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 210: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

198

Contemporary Islam in a Changing Indonesia, Yogyakarta: CISForm UIN Sunan

Kalijaga, 2007

-------------------------------- Faith and politics: the rise of the Laskar Jihad in the era

of transition in Indonesia, Jurnal Indonesia, No.73, 2002

Jahroni, Jajang. Gerakan Salafi di Indonesia: dari Muhammadiyah sampai Laskar

Jihad, Mimbar, Vol. 23, No. 4, 2006

Jinan, Muthoharun, Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang

Perluasan Gerakan Majelis Tafsir Al Quran, Makalah untuk Annual Conference on

Islamic Studies (ACIS) Departemen Agama, 10-13 Oktober 2011

Soejatno & Anderson, Benedict, Revolution and Social Tension in Surakarta 1945-

1950, Indonesia, Vol.17, April 1974

Sunarwoto, Antara Tafsir dan Ideologi Telaah Awal atas Tafsir Al Quran MTA,

Jurnal Refleksi, Vol XII No 2 Oktober 2011

Uffen, Andreas, Mobilising Political Islam: Indonesia and Malaysia Compared,

Journal Commonwealth & Comparative Politics Vol. 47, No. 3, 308–333, July 2009

Wildan, Muhammad, Mapping Radical Islamism In Solo A Study Of The Proliferation

Of Radical Islamism In Central Java, Indonesia, Jurnal Al-Jamiah, Vol. 46 No. 1,

2008, hal. 35-70

Majalah

Majalah RESPON, Edisi 268 XXVI, 20 September – 20 Oktober, 2012, diterbitkan

Yayasan Majelis Tafsir Al Quran (MTA)

Internet

Giddens, Anthony, Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture,

paragraph 12, diambil dari

http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week1/week1.htm

----------------------- Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture,

paragraph 28, diambil dari

http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 211: rekonstruksi identitas diri dan masyarakat

199

------------------------ Runaway World, Lecture 2 Risk, BBC Reith Lecture, paragraph

7, diambil dari

http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week2/week2.htm

----------------------- Runaway World, Lecture 3 Tradition, BBC Reith Lecture,

paragraph 28, diambil dari

http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm

Wibowo, I, Anthony Giddens, artikel diunduh dari http://www.unisosdem.org/

www.mta-online.com

www.blora.go.id

Dokumen

Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong,

November 2002

Dokumen Desa, Laporan penolakan kedatangan warga MTA di dusun Bangkerep

oleh warga setempat, tertanggal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI