rekayasa bioreaktor_produksi bioetanol dari tkks_kelompok 4

107
Kelompok 4_Produksi Bioetanol dari Tandan Kosong Kelapa Sawit Rekayasa Bioreaktor UNIVERSITAS INDONESIA TEKNOLOGI BIOPROSES Ines Hariayani (1006775893) Leonardus Wijaya Muslim (1006686540) Mia Sari Setiawan (100661203) Muhammad Saefuddin Nur Halimah (100661286) Rheinard Prasetiva

Upload: nindya-sulistyani

Post on 07-Sep-2015

233 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

k

TRANSCRIPT

Kelompok 4_Produksi Bioetanol dari Tandan Kosong Kelapa Sawit

Kelompok 4_Produksi Bioetanol dari Tandan Kosong Kelapa SawitRekayasa Bioreaktor

Ines Hariayani (1006775893)Leonardus Wijaya Muslim (1006686540)Mia Sari Setiawan (100661203)Muhammad Saefuddin Nur Halimah (100661286)Rheinard PrasetivaUNIVERSITAS INDONESIA

KELAPA SAWITGROUP 5

TEKNOLOGI BIOPROSESDEPARTMEN TEKNIK KIMIAFAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA2013

KATA PENGANTARPuji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esaatas kehendak-Nyalah makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi nilai mata kuliah biomaterial, selain itu juga untuk menambah wawasan dan membagikannya kepada para pembaca.Dalam penyelesaian makalah ini, penulis mengalami beberapa kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan.Namun, berkat bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan, walaupun masih banyak kekurangannya. Karenaitu, sepantasnya jika saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Heri Hermansyah, yang telah memberikan kepercayaan dan kesempatan untuk membuat makalah, juga memberikan pengarahan dan bimbingannya kepada penulis, dan1. Semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.Sebagai mahasiswa yang pengetahuannya belum seberapa dan masih perlu banyak belajar dalam penulisan makalah, saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini dapat menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.Penulis berharap makalah yang sederhana ini dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai rekayasa bioreaktor untuk fermentasi bioetanol dari tandan kosong kelapa swait (TKKS), serta bermanfaat bagi rekan mahasiswa dan semua kalangan masyarakat.Depok, Mei 2013

Daftar Isi

Kata Pengantar.iiDaftar Isi..iiiBAB I PENDAHULUAN...61.1Latar Belakang...61.2Rumusan Masalah...101.3Tujuan Penulisan.....101.4Pembatasan Masalah.......11BAB II LANDASAN TEORI........122.1Produksi Kelapa Sawit di Indonesia....122.2Tandan Kosong Kelapa Sawit, Kelimpahan, dan Permasalahan.....132.3Biomassa Lignoselulosa......142.3.1. Selulosa..........162.3.2. Hemiselulosa.............172.3.3. Lignin.............182.4Produksi Bioetanol..........192.4.1. Proses Produksi Bioetanol.............192.4.2. Deskripsi Proses Produksi Bioetanol dari TKKS..202.4.2.1. Pre-treatment...212.4.2.2. Sakarifikasi Enzimatik.....232.4.2.3. Parameter Proses......25BAB III ISI........283.1Pre-treatment.......283.1.1. Bahan Baku dan Neraca Massa dan Energi.......293.1.2. Volume Bioreaktor Pre-Treatment.......303.1.3. Sizing Bioreaktor Pre-Treatment..........313.2Hidrolisis Enzimatik........313.2.1. Bahan Baku dan Neraca Massa dan Energi......313.2.2. Volume Bioreaktor Hidrolisis..............323.2.3. Sizing Bioreaktor Hidrolisis..........343.3Fermentasi.......363.3.1. Tahap Awal Konversi Karbohidrat Menjadi Etanol....363.3.2. Parameter Proses Fermentasi...............393.3.3. Penentuan Bioreaktor untuk Fermentasi Etanol..............473.3.4. Modelling membran bioreaktor untuk fermentasi etanol menggunakan Zymomonas mobilis 8b ...............573.4 Purifikasi Tahap Lanjut......663.4.1. Deskripsi Proses.......663.4.2. Parameter..................673.4.3. Langkha-langkah..............68BAB IV KESIMPULAN...73DAFTAR PUSTAKA....74

BAB IPENDAHULUANLatar BelakangIndonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi di dunia namun sampai saat ini masih mengimpor bahan bakar minyak (BBM) untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar minyak di sektor transportasi dan energi.Hingga saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar berbasis fosil sebagai sumber energi. Data yang didapat dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa dengan persediaan minyak mentah di Indonesia yaitu sekitar 9 milyar barrel dan dengan laju produksi rata-rata 500 juta barrel per tahun, persediaan tersebut akan habis dalam 18 tahun. Kenaikan harga minyak mentah dunia akhir-akhir ini memberi dampak yang besar pada perekonomian nasional, terutama dengan adanya kenaikan harga BBM.Kenaikan harga BBM secara langsung berakibat pada naiknya biaya transportasi, biaya produksi industri dan pembangkitan tenaga listrik. Dalam jangka panjang impor BBM ini akan makin mendominasi penyediaan energi nasional apabila tidak ada kebijakan pemerintah untuk melaksanakan penganekaragaman energi dengan memanfaatkan energi terbaharukan dan lain-lain. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi dan memenuhi persyaratan lingkungan global, satu-satunya cara adalah dengan pengembangan bahan bakar alternatif ramah lingkungan.Bioetanol merupakan salah satu jenis biofuel (bahan bakar cair dari pengolahan tumbuhan) di samping biodiesel. Bioetanol adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula) yang dilanjutkan dengan proses destilasi. Proses destilasi dapat menghasilkan etanol dengan kadar 95% volume, untuk digunakan sebagai bahan bakar (biofuel) perlu lebih dimurnikan lagi hingga mencapai 99% yang lazim disebut Fuel Grade Etanol (FGE). Pemanfaatan bioetanol, selain dipergunakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak (diversifikasi energi), juga mempunyai keuntungan lain terutama dari segi dampak lingkungan, karena biofuel merupakan bahan bakar yang rendah emisi bahan pencemar (polutan), biodegradable dan tidak beracun. Penggunaan bioetanol juga mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sampai 90 persen. Keuntungan lain dari pemanfaatan energi terbarukan yang bersumber dari biomasa tersebut adalah dapat mendorong penciptaan lapangan kerja di pedesaan, sebagai contoh produksi etanol di Brazil diperkirakan telah menciptakan sekitar 700000 lapangan pekerjaan, termasuk untuk pekerjaan yang tidak memerlukan skill. Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat petani penghasil bahan baku untuk bioetanol yang menggantungkan hidupnya dari hasil panen (Tandan Buah Segar) TBS, industri bio-diesel, juga pemanfaatan bioetanol akan dapat mengurangi atau menghentikan impor minyak solar yang berakibat berkurangnya pembelanjaan luar negeri.Bioetanol terbuat dari minyak nabati yang berasal dari sumber daya yang dapat diperbaharui. Pemilihan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif berbasis pada ketersediaan bahan baku. Minyak rapeseed adalah bahan baku untuk bioetanol di Jerman dan kedelai adalah bahan baku bioetanol di Amerika. Sumber bahan baku pembuatan etanol atau Bio-etanol di Indonesia terdiri atas tanaman-tanaman yang mengandung pati seperti jagung, ubi kayu (ketela pohon atau singkong), ubi jalar, sagu serta tetes tebu. Namun ubi kayu, ubi jalar, serta jagung diperkirakan merupakan sumber-sumber bahan baku etanol yang potensial yang tersebar di seluruh Indonesia.

Tabel 1.1 Luas Lahan Bahan Baku dan Potensi Produksi Etanol menurut Wilayah di Indonesia 2004.

Berdasarkan kebutuhan bahan baku untuk memproduksi satu unit volume etanol, jagung mempunyai efisiensi pemanfaatan yang paling tinggi, yaitu hanya 5 kilogram jagung per liter etanol, dibandingkan dengan ubi kayu dan ubi jalar yang masing-masing memerlukan 6,5 kilogram ubi kayu dan 8 kilogram ubi jalar. Berdasarkan asumsi bahwa semua produksi bahan baku tersebut dibuat etanol, dan perkiraan luas tanaman bahan baku; ubi kayu mempunyai potensi produksi etanol paling tinggi di antara ketiga bahan baku tersebut, yaitu lebih dari 2,3 juta kiloliter (KL). Potensi produksi etanol dari ubi kayu tersebut adalah lebih dari 10 kali lipat potensi produksi etanol dari ubi jalar, dan 1,32 kali lipat potensi produksi etanol dari jagung. Ubi kayu tersebut juga merupakan tanaman yang mudah tumbuh dan tumbuh di seluruh Indonesia, sehingga sosialisasi budidaya penanaman ubi kayu diperkirakan tidak akan menjadi hambatan.

Di Indonesia sendiri kebutuhan bioetanol indonesia terus meningkat tiap tahunnya. Peningkatan kebutuhan biodiesel Indonesia tiap tahun dan proyeksi kebutuhan bioetanol indonesia dapat dilihat pada tabel.

Tabel 1.2 Perkiraan Kebutuhan Energi Pada Sektor Transportasi di Indonesia 2015-2025

Bioetanol bersifat multi-guna karena dicampur dengan bensin pada komposisi berapapun memberikan dampak yang positif.Pencampuran bioetanol absolut sebanyak 10 % dengan bensin (90%), sering disebut Gasohol E-10.Gasohol singkatan dari gasoline (bensin) plus alkohol (bioetanol).Etanol absolut memiliki angka oktan (ON) 117, sedangkan Premium hanya 87-88.Gasohol E-10 secara proporsional memiliki ON 92 atau setara Pertamax.Pada komposisi ini bioetanol dikenal sebagai octan enhancer (aditif) yang paling ramah lingkungan dan di negara-negara maju telah menggeser penggunaan Tetra Ethyl Lead (TEL) maupun Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE). Penggunaan etanol (sebagian atau seluruhnya) pada mesin Otto (bensin) ataupun pada mesin diesel positif menyebabkan kenaikan efisiensi mesin dan turunnya emisi CO, NOx, dan UHC dibandingkan dengan penggunaan gasolin.Ini disebabkan etanol memiliki satu molekul OH dalam susunan molekulnya.Oksigen yang inheren di dalam molekul etanol tersebut membantu penyempurnaan pembakaran antara campuran udara-bahan bakar di dalam silinder. Ditambah dengan rentang keterbakaran (flammability) yang lebar, yakni 4.3 19 vol% (dibandingkan dengan gasoline yang memiliki rentang keterbakaran 1.4 7.6 vol%), pembakaran campuran udara-bahan bakar etanol menjadi lebih baik -ini dipercaya sebagai faktor penyebab relatif rendahnya emisi CO dibandingkan dengan pembakaran udara-gasolin, yakni sekitar 4%. Etanol juga memiliki panas penguapan (heat of vaporization) yang tinggi, yakni 842 kJ/kg.Tingginya panas penguapan ini menyebabkan energi yang dipergunakan untuk menguapkan etanol lebih besar dibandingkan gasolin. Konsekuensi lanjut dari hal tersebut adalah temperatur puncak di dalam silinder akan lebih rendah pada pembakaran etanol dibandingkan dengan gasolin.Rendahnya emisi NO, yang dalam kondisi atmosfer akan membentuk NO2 yang bersifat racun, dipercaya sebagai akibat relatif rendahnya temperatur puncak pembakaran etanol di dalam silinder. Pada rasio kompresi 7, penurunan emisi NOx tersebut bisa mencapai 33% dibandingkan terhadap emisi NOx yang dihasilkan pembakaran gasolin pada rasio kompresi yang sama (Al-Baghdadi, 2003). Dari susunan molekulnya, etanol memiliki rantai karbon yang lebih pendek dibandingkan gasolin (rumus molekul etanol adalah C2H5OH, sedangkan gasolin memiliki rantai C6-C12 (Wikipedia) dengan perbandingan antara atom H dan C adalah 2:1 (Rostrup-Nielsen, 2005).Pendeknya rantai atom karbon pada etanol menyebabkan emisi UHC pada pembakaran etanol relatif lebih rendah dibandingkan dengan gasolin, yakni berselisih hingga 130 ppm (Yuksel dkk, 2004).Namun perlu dicatat bahwa emisi aldehyde lebih tinggi pada penggunaan etanol meski bahaya emisi aldehyde terhadap lingkungan adalah lebih rendah daripada berbagai emisi gasolin . Selain itu, pada prinsipnya emisi CO2 yang dihasilkan pada pembakaran etanol juga akan dipergunakan oleh tumbuhan penghasil etanol tersebut. Sehingga berbeda dengan bahan bakar fosil, pembakaran etanol tidak menciptakan sejumlah CO2 baru ke lingkungan. Terlebih untuk kasus di Indonesia, dimana bensin yang dijual Pertamina masih mengandung timbal (TEL) sebesar 0.3 g/L serta sulfur 0.2 wt% (Website Pertamina), penggunaan etanol jelas lebih baik dari bensin. Seperti diketahui, TEL adalah salah satu zat aditif yang digunakan untuk meningkatkan angka oktan bensin -dan zat ini telah dilarang di berbagai negara di dunia karena sifat racunnya.Beberapa keunggulan yang dapat diperoleh dari bioetanol adalah sebagai berikut: Nilai oktan yang tinggi menyebabkan campuran bahan bakar terbakar tepat pada waktunya sehingga tidak menyebabkan fenomena knocking Emisi gas buang tidak begitu berbahaya bagi lingkungan salah satunya gas CO2 yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan untuk proses fotosintesa serta emisi NO yang rendah Efisiensi tinggi dibanding bensin Bioetanol aman digunakan sebagai bahan bakar, titik nyala etanol tiga kali lebih tinggi dibandingkan bensin. Emisi hidokarbon lebih sedikitAkan tetapi, Etanol murni akan bereaksi dengan karet dan plastik. Oleh karena itu, etanol murni hanya bisa digunakan pada mesin yang telah dimodifikasi.Dianjurkan untuk menggunakan karet fluorokarbon sebagai pengganti komponen karet pada mesin Otto (bensin) konvensional. Selain itu, molekul etanol yang bersifat polar akan sulit bercampur secara sempurna dengan gasolin yang relatif non-polar, terutama dalam kondisi cair. Oleh karena itu modifikasi perlu dilakukan pada mesin yang menggunakan campuran bahan bakar etanol-gasolin agar kedua jenis bahan bakar tersebut bisa tercampur secara merata di dalam ruang bakar.Salah satu inovasi pada permasalahan ini adalah pembuatan karburator tambahan khusus untuk etanol. Pada saat langkah hisap, uap etanol dan gasolin akan tercampur selama perjalanan dari karburator hingga ruang bakar memberikan tingkat pencampuran yang lebih baik. Oleh karena itu, implementasi bahan bakar bioetanol lebih baik dimulai dari pencampuran gasoline dan etanol, bukan dari penggunaan bioetanol 100%. Hal tersebut akan menjamin transisi ke arah bioetanol secara lebih mulus sembari menyiapkan secara lebih matang seandainya era penggunaan bioetanol 100% dipandang sudah tiba.

Rumusan MasalahRumusan masalah yang akan dibatasi pada perancangan bioreaktor ini adalah:1. Seberapa efisienkah penggunaan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) untuk dikonversi menjadi bioetanol?2. Jenis reaktor apakah yang sesuai digunakan untuk produksi bioetanol?3. Aspek apa sajakah yang perlu diperhatikan pada desain bioreaktror yang cocok untuk memproduksi bioetanol?

Tujuan PenulisanTujuan dari pengolahan tandan kosong kelapa sawit menjadi bioetanol adalah:1. Memanfaatkan limbah perkebunan sawit yang kurang termanfaatkan.2. Mengembangkan penggunaan bahan baku berbasis bahan non-makanan dalam mengatasi masalah krisis energi.3. Menciptakan perkembangan energi yang terbarukan.4. Membantu dalam menyediakan kebutuhan bioetanol.

Pembatasan MasalahPembatasan masalah dalam makalah ini adalah proses pembuatan bioetanol berbahan dasar TKKS yaitu biomassa lignoselulostik menghasilkan bioetanol berkemurnian 99,8% yang akan dimanfaatkan lebih lanjut sebagai alternatif bahan bakar minyak (BBM).

BAB IILANDASAN TEORI

2.1. Produksi Kelapa sawit di IndonesiaKelapa sawit (Elaesis guineensis) merupakan salah satu komoditi ekspor dan diproduksi luas di Indonesia, Hingga saat ini kelapa sawit masih menjadi bahan baku utama pembuatan minyak nabati yang saat ini biasa dikonsumsi sebagai minyak goreng, selain itu produk rumah tanggal seperti deterjen, sabun dan kosmetik juga berbahan dasar kelapa sawit. Besarnya produksi kelapa sawit dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan adanya peningkatan luas lahan baru hutan yang dibebaskan menjadi perkebunan kelapa sawit.Indonesia merupakan negara net-exportir minyak sawit dengan tujuan negara seperti Eropa Barat, India, China, dan Jepang. Selama 10 tahun terakhir, konsumsi minyak sawit domestik sekitar 25-30% dari produksi. Konsumsi dan demand yang tinggi akan minyak sawit tentusaja akan berimplikasi pada usaha peningkatan produksi dengan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit. Perkembangan perkebunan kelapa sawit sendiri terus meningkat, saat ini, Sumatera dan Kalimantan menjadi pulau dengan perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia.

Gambar 2.1: Penyebaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia(Sumber: http://regionalinvestment.bkpm.go.id)

Produksi minyak kelapa sawit saat ini diperkirakan lebih dari 45 juta ton produksi minyak kelapa sawit dunia, Indonesia sendiri mampu mengekspor 18 juta ton. Pada tahun 2011 luas perkebunan kelapa sawit mencapai 23.096.541 ha dan meningkat 1,84% di tahun 2012. Menjadi komoditas dengan luas perkebunan terbesar di Indonesia. (Dirjen Perkebunan) Hal ini menunjukkan betapa besarnya produksi kelapa sawit itu sendiri. Beriringan dengan meningkatnya produksi minyak goreng sebagai komoditi utama dari hasil kelapa sawit, menimbulkan dampak lain yaitu muculnya permasalahan lingkungan serta keberadaan limbah kelapa sawit yang hingga kini masih minim pemanfaatannya. Beberapa jenis limbah kelapa sawit adalah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.2, tempurung buah kelapa sawit, serta batang kelapa sawit yang hingga saat ini pemanfaatannya terbatas untuk keperluan furniture, pembuatan karbon aktif, bahan serat, pakan ternak, serta kompos.

Gambar 2.2: Tandan Kosong Kelapa Sawit(Sumber: isroi.com)

2.2 Tandan Kosong Kelapa Sawit, Kelimpahan dan PermasalahanTandan kosong kelapa sawit merupakan produk samping dari industri kelapa sawit. Dari setiap produksi kelapa sawit akan menghasilkan limbah berupa tandang kosong kelapa sawit (23%), cangkang 8%, serat 12%, dan limbah cair 66%. Limbah TKKS pada tahun 2011 mncapai 5.176.842,53 ton (Indriyati, 2008). Dari setiap proses pengolahan 1 ton Tandan Buah Segar akan dihasilkan sebanyak 22-23% TKKS atau sekitar 230 kg. Dengan produksi kelapa sawit yang besar di Indonesia menyebabkan tingginya jumlah TKKS yang dihasilkan dari industri kelapa sawit. Keberadaan limbah TKKS dengan volume yang tinggi tersebut dapat menimbulkan beberapa masalah seperti permasalahan lingkungan karena di industri kelapa sawit, tandan kosong seringkali dibakar atau dibuang begitusaja, hal tersebut dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan seperti timbulnya polusi udara dari asap pembakaran ataupun berkurangnya daya resap air oleh tanah karena timbunan TKKS. Selain itu, timbunan tandan kosong yang membusuk dapat mengundang jenis kumbang yang dapat merusak pohon kelapa sawit di sekitar area pembuangan limbah.Dalam perkembangannya, TKKS sudah mulai dimanfaatkan untuk mengurangi dampak lingkungan dan meningkatkan nlai ekonomis dari TKKS seperti pembuatan papan serat berkerapatan sedang untuk bahan konstruksi, peralatan listrik dan produk panel, juga pembuatan kompos berbasis tandan kosong kelapa sawit dan usaha pengembangan pembangkit listrik tenaga biomassa ataupun dengan memanfaatkan TKKS sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik. Namun hal tersebut mambawa kesulitan tersendiri seperti lamanya waktu proses, fasilitas yang harus disediakan, serta biaya untu pengolahan dan lahan untuk proses pengomposan. TKKS yang telah dikeringkan memiliki kemampuan menyerap air yang tinggi, selanjutnya seringkali dimanfaatkan untuk membuat iklim mikro untuk daerah dengan tanah berpasir yang bisa juga dimanfaatkan untuk pertanian karena kemampuannya yang dapat membantu melarutkan nutrisi dari pupuk anorganik sehingga dapat lebih cepat diserap oleh tumbuhan. Selain untuk keperluan ekonomis, TKKS juga telah digunakan untuk keperluan konservasi air dan tanah yang dilakukan dengan menempatkan tandan kosong pada daerah-daerah dengan topografi bergelombang sampai berbukit, khususnya pada daerah lereng dan punggung bukit. TKKS kemudian dapat berfungsi untuk menahan laju air dan butir-butir tanah yang hanyut pada proses run-off, sehingga kerusakan tanah akibat erosi dapat diminimalisir.Disamping pemanfaatan TKKS sebagai pupuk organik dan komoditi lain, TKKS memiliki potensi lain sebagai bahan dasar untuk pembuatan bioetanol. Hal ini dikarenakan TKKS mengandung komponen yang berguna menjadi substrat untuk dikonversi sebagai bioetanol seperti yang tertera pada Tabel 2.1Tabel 2.1: Kandungan Tandan Kosong Kelapa Sawit (Sudiyani, 2009)Komponen%Berat

Cellulose41,3 46,5

Hemicellulose25,3 33,8

Lignin27,6 32,5

2.3 Biomasa LignosellulosaBiomassa inilah yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol. Lignosellulosa pada dasarnya terdiri dari tiga polimer yaitu cellulose, biopolimer rantai lurus dengan nomoner glukosa.Kedua hemicellulose, biopolimer gula yang tersusun dengan dominasi nomoner pentosa, dan lignin yang merupakan biopolimer kompleks dengan senyawa fenol sebagai monomernya.Berikut adalah ilustrasi dari lignosellulosa.

Gambar 2.3: Lignosellulosa(Sumber: napoer.ac.uk)

Di dalam produksi bioetanol, keberadaan lignin inimerupakansalahsatupembatas yang perlu dibongkar agar gula-gula yang terdapat pada selulosa dan hemiselulosa dapat diakses dan dihidrolisis.Lignin merupakan produk samping atau limbah dalam produksi bioetanol.Kisaran komposisi lignin sekitar 30% pada biomassa lignoselulosa memotivasi pemanfaatan produk samping ini untuk meningkatkan keekonomian bioetanol selulosa.

Gambar 2.4: Struktur lignin

2.3.1 SelulosaSelulosa atau serat banyak terdapat pada bahan-bahan yang berfungsi dalam pembuatan bioetanol seperti TKKS, bagasse, rumput, jagung, dan sampah organik.Hal inilah yang mendasari dapat dipergunakannya TKKS sebagai bahan dasar pembuatan bioetanol.Selain bermanfaat untuk meningkatkan nilai ekonomi, pemanfaatan TKKS juga mendukung upaya pelestarian lingkungan.Terlebih dengan tingkat ketersediaan yang melimpah setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya luas area perkebunan kelapa sawit dan permintaan terhadap CPO.Seperti dilaporkan oleh Dirjen Perkebunan, Limbah TKKS di Indonesia pada tahun 2008 sudah mencapai 20 juta ton.Hal inilah yang menjadikan TKKS begitu potensial untuk dimanfaatkan. Cellulose dengan rumus molekul (C6H10O5)n merupakan polimer penyusun utama dinding sel tumbuhan, Polimernya terdiri dari D-glucose -1,4 yang membentuk rantai panjang tak larut (microfibril). Cellulose merupakan polisakarida yang dihasilkan dari pertautan antara gugus gula.Meskipun hampir semua jenis tumbuhan dapat dikembangkan untuk dijadikan bahan pembuatan etanol, namun TKKS adalah salah satu yang coock untuk dijadikan etanol.Hal ini dikarenakan TKKS bukan merupakan bahan makanan. Hal ini mendukung upaya untuk menurunkan penggunaan bahan makanan sebagai bahan baku energi nasional. Bioetanol berbasis cellulose juga menawarkan banyak keuntungan dibandingkan dengan bahan berbasis pati atau gula. Pertama, merupakan bahan yang berlimpah, merupakan produk samping yang sebenarnya sudah tidak dimanfaatkan untuk keperluan yang baku, dan TKKS tidak dipergunakan sebagai bahan makanan manusia. Hal ini menempatkan TKKS menjadi penting dan potensial untuk menjadi bahan bioetanol.

Gambar 2.5: Gugus organik cellulose(Sumber: http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Clostridium_cellulolyticum_H10)

2.3.2 HemiselulosaHemiselulosa adalah polimer gula kompleks, merupakan bagiand ari lignocellulose.Terdiri dari berbagai macam monomer gula yang saling terikat namun tidak memiliki pola.Untuk komposisi dan strukturnya sangat beragam tergantung pada jenis biomassa.Umumnya, komposisi hemicellulose adalah gula pentosa seperti xilose dan arabinosa, dan terkadang terdiri dari gula berkarbon enam seperti glukosa, manosa dan galaktosa.Monomer gula hemocellulose mudah dikonversi menjadi bioetanol.

Gambar 2.6: Hemicellulose(Sumber: afbhol.ethz.ch)Dibandingkan dengan selulosa, hemiselulosa lebih mudah dihidrolisis untuk mendapatkan monomer-monomer gula penyusunnya.Monomer-monomer gula penyusun hemiselulosa merupakan bahan yang dapat dikonversi menjadi bioetanol. Mempertimbangkan kemampuan metabolisme mikroba yang digunakan dalam proses fermentasi bioteanol, sumber gula heksosa dapat difermentasi bersam glukosa yang dihasilkan dari selulosa, sedangkan gula pentosa perlu difermentasi menjadi bioetanol secara terpisah.

Gambar 2.7: Strukturhemiselulosa2.3.3 LigninLignin tersusun atas jaringan aromatik atau fenol yang terikat secara silang dan tidak berpola, dalam lignocellulose, lignin berperan sebagai pengikat cellulose dan hemicellulose dan penyokon yang memberikan kekuatan struktur pada biomassa.Untuk keperluan produksi bioetanol, lignin menjadi produk samping atau limbah karena harus dibongkat untuk dapat menghidrolisis cellulose dan hemicellulose.

Gambar 2.8: Struktur lignin(Sumber: 2008.igem.org)

Cellulose dan Hemicellulose merupakan komponen yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan bietanol melalui proses fermentasi bioetanol seperti proses berikut

2.4 Proses Pembuatan Bioetanol2.4.1 Proses Produksi Bioetanol Perkembangan bioethanol dimulai dari bioethanol generasi pertama yang memanfaatkan bahan bahan untuk konsumsi pangan sebagai bahan baku bioethanol seperti jagung, pati dan singkong. Namun hal ini menunjukkan kekurangan bioethanol generasi pertama yang malah menjadi pesaing konsumen dalam hal mendapatkan bahan baku bioethanol. Karena itu, selanjutnya muncul bioethanol generasi kedua.Bioetanol generasi kedua berbahan baku limbah hasil perkebunan, kehutanan, dan pertanian. Bioetanol generasi kedua siap menggantikan bensin yang merupakan sumber energi tidak terbarukan. Teknologi bioetanol generasi kedua sedang intensif dikembangkan, terutama oleh Amerika Serikat. Pabrik-pabrik demonstrasi juga sudah dan sedang didirikan di berbagai lokasi di Amerika Utara (antara lain oleh Celunol Corp dengan kapasitas 200 ribu m3/tahun di Louisiana). Uji coba produksi pertama kali sudah dilakukan. Sebanyak 600 kilogram biomassa limbah sawit itu menghasilkan 27 liter bioetanol dengan kadar 99,9 persen. Sebagai informasi, menurut data LIPI di Indonesia ada sekira 710 juta hektare lahan kelapa sawit. Dari sana, jika lahan-lahan kelapa sawit ini menghasilkan satu ton CPO maka akan tersisa sekira 1,1 ton ton TKKS. Maka menurutnya, Indonesia memiliki potensi bahan baku ethanol yang sangat besar dari TKKS tersebut. Pabrik BBN (generasi kedua) ini tak mungkin berskala amat besar (seperti kilang minyak bumi) karena akan terkendala biaya pengumpulan bahan mentah. Namun, kombinasi kedahsyatan biodiversitas, ketersediaan lahan dan juga tenaga kerja membuat Indonesia berpotensi menjadi salah satu sentra produksi BBN dunia.Setelah second generation biofuel, akhirnya munculah paradigma baru mengenai bioenergi ini, yaitu penggunaan alga untuk produksi biodiesel yang bahannya lebih mudah didapat di Indonesia, dan tentunya lebih melimpah di Indonesia. Ini dikenal dengan third generation of biofuel.Ada 2 jenis pembudiayaan alga, yaitu di laut dan didarat.Untuk di laut, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Indonesia memiliki panjang pulang 81.000 Km. Seandainya sepanjang pantai itu dikembangkan alga maka akan membantu tercapainya nergy roadmap mix 2025 akan ekpextasi memenuhi 5% biofuel.

2.4.2 Deskripsi Proses Produksi Bioetanol dari TKKSProses pembuatan bioetanol dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) terdiri dari beberapa proses. Proses pertama adalah proses pre-treatment dimana TKKS yang telah dihancurkan atau dhaluskan, dihilangkan kandungan lignin-nya. Lignin ini dihilangkan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan hidrolisis enzim pada proses sakarifikasi. Sakarifikasi merupakan proses untuk mengubah hemiselulosa menjadi bentuk yang dapat di fermentasi yaitu gula seloulosa atau monosakarida. Proses sakarifikasi ini melibatkan proses hidrolisis enzimatik yang menggunakan enzim selulase. Setelah proses sakarifikasi selesai maka dilanjutkan dengan proses fermentasi. Proses ini merupakan proses dimana monosakarida hasil sakarifikasi diubah menjadi bioetanol dengan bantuan agen penghidrolisis berupa enzim selulase. Hasil dari keluaran proses fermentasi merupakan campuran dari padatan dan cairan. Campuran ini kemudian dipisahkan, sehingga didapatkan cairan yang merupakan bioetanol. Untuk mendapatkan kemurnian diatas 90%, maka bioetanol akan melalui proses purifikasi menggunakan kolom distilasi. Untuk penjelasan lebih lengkap untuk masing-masing proses di atas beserta neraca massa dan rancangan peralatan yang digunakan dapat dilihat di bawah ini.

Gambar 2.9: Bagan Alir Proses Pembuatan Bioetanol

2.4.2.1. Pre-TreatmentProses perlakukan awal bertujuan untuk memecah lignin dan merusak struktur kristalin dari selulosa seperti yang diilustrasikan pada Error! Reference source not found. sehingga struktur biomassa menjadi lebih mudah diakses oleh media penghidrolisis (Mosier, dkk., 2005). Perlakuan awal membantu akses media penghidrolisis dengan memisahkan selulosa dari ikatan lignin-hemiselulosa dan mengurangi kristal selulosa (Balan dkk, 2009). Setelah ikatan lignin di dalam TKKS pecah, maka luas permukaan kontak enzim akan meningkat dengan membengkaknya struktur selulosa, sedangkan gugus asetil pada hemiselulosa akan terdegradasi membentuk xilan sehingga akan didegradasi lebih lanjut menghasilkan xilosa. Dengan pengolahan awal penggunaan enzim dapat dikurangi sehingga dapat menekan biaya operasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses perlakuan perlakuan awal adalah kandungan lignin, ukuran partikel serta kemampuan hidrolisis dari selulosa dan hemiselulosa (Hendriks dan Zeeman, 2009). Proses ini dapat dilakukan dengan berbagai metode, yaitu secara kimia, fisika, maupun biologi sesuai dengan kesesuaian substrat yang akan dihidrolisis dan media penghidrolisis.

Gambar 2.9: Skema tujuan perlakukan awal biomassa lignoselulosa (Sumber: Mosier, dkk., 2005)Penguraian struktur lignoselulosa pada TKKS akan mengekstrak holoselulosa (kandungan -selulosa dan hemiselulosa) yang akan didegradasi lebih lanjut pada tahap hidrolisis. Struktur lignoselulosa membatasi konversi enzimatis dari material lignoselulostik karena lignin yang mengikat dan membatasi interaksi dari holoselulosa di dalamnya dan kristalinitas selulosa. Alasan dari pemilihan metode pre-treatment dengan alkali karena beberapa parameter-parameter yang dibutuhkan pada perlakuan awal (Yang dan Wyman, 2008): Kebutuhan bahan kimia dapat diminimalisasi, Perolehan gula tereduksi dari hemiselulosa (mendekati 100%) dan selulosa (lebih besar dari 90%) yang tinggi, Konsentrasi gula pada proses pretreatment dan fermentasi lebih besar dari 10% agar efisiensi proses downstream dapat terjaga, Reaktor pretreament harus ekonomis (minimalisasi volume dan penggunaan material yang sesuai), Tidak menghasilkan residu yang mengganggu kontinuitas proses pretreatment maupun proses selanjutnya, dan Kebutuhan panas dan energi rendah serta dapat diintegrasikan secara termal dalam proses.Sebelum memasuki tahap pre-treatment, TKKS kering akan dikeringkan dan dihancurkan terlebih dahulu menjadi berukuran 30 mesh sieve yang akan dievaluasi terlebih dahulu pada tahap screening. Proses pre-treatment yang akan digunakan adalah pre-treatment menggunakan alkali. Larutan alkali yang akan digunakan adalah NaOH dengan konsentrasi 1 N dengan perbandingan 12,5% b/w. Perlakuan alkali dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi, yaitu 30oC selama 90 menit. Metode alkali yang digunakan karena beberapa keuntungan dari metode ini, antara lain: Beroperasi pada suhu dan tekanan yang tidak tinggi (hemat energi). Tidak mudah menimbulkan korosi. Degradasi lignin tinggi dengan degradasi kandungan biopolimer lain yang cukup rendah. Perolehan gula pentosa dan heksosa total yang tinggi. Garam yang dihasilkan dapat diambil kembali atau diregenerasi. Proses yang efisien dan tidak memakan waktu lama. Efektif dalam peningkatan kandungan selulosa serta mengurangi kristalinitas.Proses perendaman TKKS kering dalam larutan alkali akan menghancurkan struktur dinding sel dan juga mendegradasi polisakarida yang terdapat pada TKKS. Setelah melalui proses alkali, maka sampel akan difilter untuk memisahkan serat padat yang tidak larut dan bagian terlarut. Bagian padatan tidak terlarut ini akan masuk pada proses lebih lanjut pada hidrolisis enzimatik untuk mendegradasi selulosa menjadi monomer-monomer glukosa, sedangkan bagian terlarut (filtrat) yang diperoleh akan dibuang. Setelah itu, hasil TKKS yang telah di-treatment akan dibilas dengan air hingga tingkat pH-nya mencapai rentang netral lalu dikeringkan pada suhu 105oC hingga beratnya konstan.2.4.2.2 Sakarifikasi EnzimatikSakarifikasi adalah proses hidrolisis untuk memecah polisakarida menjadi monomer-monomer gula terlarut. Sakarifikasi lignoselulosa ditujukan untuk memecah biopolimer gula seperti selulosa dann hemiselulosa menjadi monomer gula yang dapat difermentasi dengan bantuan katalis melalui proses hidrolisis (tahap ini sering juga disebut sebagai tahap hidrolisis) seperti monosakarida glukosa.

Ada dua metoda yang digunakan untuk menghidrolisis biomassa lignoselulolsa, yaitu hidrolisis asam dan enzimatik. Pada proses kali ini hidrolisis yang digunakan adalah hidrolisis enzimatik.Hidrolisis enzimatik digunakan karena hidrolisis enzimatik menghasilkan perolehan gula yang lebih tinggi dari lignoselulosa, teknologi enzimatik lebih banyak dipilih untuk produksi bioetanol lignoselulosa. Namun demikian, harga enzim selulase yang tinggi menjadi salah satu pembatas komersialisasi bioetanol lignoselulosa.Tabel 2.2: Tabel Perbandingan Proses Hidrolisis Asam dan EnzimatisNoVariabelHidrolisis

Asam EncerAsam PekatEnzimatik

1Kondisi hidrolisis ringan (mild)TidakTidakYa

Temperatur rendah (T < 50 C)Tidak ( > 130 C)YaYa

Tekanan atmosferikTidak (>10 bar)YaYa

2Perolehan gula tinggiTidakYaYa

3Terjadi inhibisi produk selama hidrolisisTidakTidakYa

4Terbentuk produk inhibitor fermentasiYaTidakTidak

5Biaya katalis murahYaYaTidak

6Waktu reaksi singkatYa (Menit)Ya (1-6 jam)Tidak

7Rekoveri katalisTidakYaTidak

Hidrolisis biopolimer secara enzimatik menggunakan enzim yang diproduksi oleh sejumlah mikroorganisme yang dapat memecah komponen lignoselulosa menjadi gula. Proses ini biasanya diselenggarakan pada temperatur rendah tetapi membutuhkan waktu reaksi yang lebih lama.Sesuai dengan sifat enzim yang bekerja spesifik, hidrolisis selulosa dan hemiselulosa memerlukan jenis enzim yang berbeda, yaitu enzim selulase dan enzim hemiselulase.Proses hidrolisis selulosa secara enzimatik melibatkan peran selulase. Tahapan kinerja selulase melalui tahap-tahap berikut, yaitu adsorpsi selulase pada permukaan selulosa, biodegradasi selulosa menjadi gula tereduksi, dan desorpsi selulase. Selulase terdiri dari 3 kelas utama enzim yaitu endo-glukanase, ekso-glukanase, dan -glukosidase.Ketiga kelas enzim tersebut memiliki karakteristik kinerja enzim yang berbeda; endo-glukanase menyerang serat selulosa yang memiliki kristalitas rendah serta menghasilkan rantai bebas, ekso-glukanase mendegradasi rantai gula dengan menyingkirkan unit selobiosa pada rantai bebas, dan -glukosidase memotong selobiosa menjadi glukosa. Selulase dapat dihasilkan oleh mikroorganisme dan yang sering dipakai adalah Aspergillus niger.2.4.2.3 Parameter Parameter proses digunakan untuk mengetahui variabel apa saj ayang harus dikontrol untuk mendapatkan kondisi terbaik proses dalam memproduksi suatu produk. Dalam proses ini terdapat lima parameter yang harus diperhatikan untukmendapatkan yield monosakarida yang optimal.i. Pemilihan Kapang Penghasil Enzim SelulaseKapang yang dipilih untuk menghasilkan enzim selulase adalah Aspergilus niger. Pemilihan ini didasarkan karena kemampuan Aspergilus niger untuk mengkonversi selulosa menjadi glukosa dan pentosa. Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan mudah diidentifikasi yang dapat tumbuh dengan cepat, diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat dan pembuatan berapa enzim seperti amilase, pektinase, amiloglukosidase dan sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu 35C-37C (optimum), 6C-8C (minimum), 45C-47C (maksimum) dan memerlukan oksigen yang cukup (aerobik). Aspergillus niger, mempunyai koloni pada medium Cxapeks Dox mencapai diameter 4-5 cm dalam 7 hari. Selain itu, kapang ini bersifat termofilik, tidak terganggu pertumbuhannya karena adanya peningkatan suhu dan dapat hidup dalam kelembaban nisbi sekitar 80%.

ii. TemperaturTemperatur adalah parameter yang sangat diperhatikan dalamm proses kimia yang melibatkan enzim. Hal ini dikarenakan substansi tersebut tidak tahan terhadap suhu tinggi dan akan terdenaturasi pada suhu diatas optimalnya. Pada proses kali, dengan mempertimbangkan enzim selulase yang akan mencerna selulosa pada bubur TKKS maka suhu operasi yang digunakan adalah 30C. Suhu ini berada pada rentang suhu dimana enzim selulase dapat bekerja dengan optimal.

iii. pHParameter ini juga salah satu hal yang penting dalam menentukan kondisii operasi proses. Enzim merupakan suatu protein yang memiliki aktivitas biokimia sebagai katalis suatu reaksi.Kerja enzim sebagai protein dipengaruhi oleh tingkat kondisi pH nya. Aktivitas optimal suatu enzim bergantung pada kondisi pH nya, kondisi pH yang optimum akan membantu enzim dalam mengkatalis suatu reaksi dengan baik. Masing-masing enzim memiliki pH optimum yang berbeda.Enzim tidak dapat bekerja pada pH yang terlalu rendah (asam) atau pH yang terlalu tinggi (basa). Pada pH yang terlalu asam atau basa enzim akan terdenaturasi sehingga sisi aktif enzim akan terganggu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rina pada tahun 2011 menyimpulkan bahwa nilai pH terbaik yang digunakan pada proses sakarifikasi enzimatik dengan menggunakan TKKS dan enzim selulase dari Aspergillus niger adalah 5. Hasil ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh (Selviza, et.al., 2013).Aktivitas enzim ditentukan oleh gugus aktif pada rantai samping enzim. Proses hidrolisis selulosa oleh selulase terjadi pada sisi aktif asam amino glutamat. Fraksi gugus (COOH) dari asam amino glutamat akan bermuatan negatif membentuk (-COO). Apabila jumlah gugus karboksil dari enzim meningkat maka protonasi oksigen glikosidik yang mengawali pembentukan kompleks glikosil enzim akan semakin mudah terjadi karena jumlah dari gugus karboksil dari enzim yang meningkat. Hal ini mempengaruhi aktivitas enzim menjadi meningkat.Aktivitas selulase dihambat oleh muatan fraksi gugus sulfhidril (-SH) dari asam amino sistein.Hal ini mengakibatkan penurunan aktivitas enzim. Peningkatan pH akan menyebabkan kelebihan ion -OH dalam larutan sehingga fraksi gugus aktif sulfhidril (-SH) kehilangan muatan positif membentuk gugus -S-. Hal ini mengakibatkan protonasi yang melibatkan gugus fungsi sulfhidril (-SH) terhambat sehingga interaksi substrat dan enzim tidak dapat berlangsung dengan sesuai dan pembentukan kompleks E-S menjadi terhambat. Kondisi ini mengakibatkan konsentrasi glukosa menurun

iv. Waktu HidrolisisPenurut penelitian yang dilakukan Selviza, et.al pada tahun 2013, konsentrasi glukosa paling tinggi didapatkan setelah melakukan hidrolisis selama 6 jam. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Sanjaya dan Adrianti (2010) yang menghasilkan konsentrasi glukosa tertinggi pada waktu hidrolisis 7 jam.Peningkatan konsentrasi glukosa yang dihasilkan pada waktu hidrolisis 6-7 jam ini menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara enzim selulase dengan substrat yang tinggi. Interaksi antara enzim selulase dengan substrat selulosa akan membentuk kompleks enzim-substrat yang menghasilkan glukosa sebagai produk. Enzim memiliki interaksi dengan substrat yang semakin lama menyebabkan reaksi berjalan lebih maksimal sehingga konsentrasi glukosa yang dihasilkan menjadi lebih tinggi.

BAB IIIISI

Proses pembuatan bioetanol akan mengambil kapasitas sebesar 20,82 ton TKKS per hari. Basis yang telah ditetapkan akan diberlangsungkan pada unit plant yang akan beroperasi berkesinambungan selama 1 tahun. Jadi, selama setahun dengan hari operasi 300 hari, akan memproses 20,82 ton TKKS/hari x 300 hari/tahun = 7,6 Mton TKKS/tahun. Basis ini akan memberikan akumulasi limbah TKKS dengan jumlah setengah dari penghasilan TKKS kering setiap tahunnya, yaitu sebanyak 15,2 Mton TKKS kering. Neraca massanya dapat dilihat di bawah ini.Tabel 3.1: Tabel Kapasitas Produksi Bioreaktor BioetanolProduksi7600000ton TKKS/tahun

0,5% per tahun

Kapasitas20,82ton/hari

Proses Kontinu

Basis perhitungan1jam

Kapasitas produksi0,867ton TKKS/jam

Berikut adalah penjelasan pada masing-masing proses pembuatannya.3.1. Pre-Treatment Pre-treatment yang dilakukan TKKS yang digunakan adalah TKKS kering yaitu limbah perkebunan kelapa sawit.Komposisi dari hemiselulosa, selulosa, dan lignin adalah parameter yang paling penting dalam pembuatan bioetanol.Persentasenya sesuai dengan yang terdapat di tinjauan pustaka (Sudiyani, dkk. 2010).

Tabel 3.2: Komposisi Hemiselulosa, Selulosa, dan Lignin pada TKKS(Sumber: Perkebunan Nusantara VIII, Tangerang, 2010)Komponen%Berat

HoloselulosaHemiselulosa56,4923,24

Selulosa33,25

LigninAirKandungan MinyakEkstraktif, kandungan lain25,838,560,984,19

Hasil dari pre-treatment akan mengurangi kandungan dari lignin dan hemiselulosa sebanyak 45,8% dan 35,6%, sedangkan selulosa akan membesar strukturnya dan kristalinitasnya berkurang memberikan peningkatan pada persentase massa sebesar 18,6%. Kondisi operasi optimum yang digunakan berdasarkan data dari proyek dari LIPI adalah pada suhu 30oC selama 90 menit. Kondisi operasi ini yang diambil karena efisiensinya baik, dimana dengan kenaikan suhu dan waktu tidak akan memberikan laju degradasi yang lebih baik secara signifikan. Inilah salah satu keuntungan dari alkali pre-treatment, yaitu tidak membutuhkan suhu yang ekstrim dan mampu berlangsung dalam waktu yang cukup singkat.Sedangkan setelah proses pengeringan, kandungan air di dalam umpan akan habis.3.1.1. Bahan Baku dan Neraca Massa dan EnergiBahan baku yang dimasukkan ke dalam proses pre-treatment adalah tandan kosong kelapa sawit kering (TKKS kering) bersamaan dengan larutan NaOH 1 N untuk perlakuan alkali. Perlakuan ini akan mempengaruhi kandungan serat di dalam TKKS, seperti ditunjukkan pada tabel di bawah. Pre-treatment menggunakanalkali pre-treatment akan menghasilkan neraca massa sebagai berikut.

Tabel 3.3: Neraca Massa Proses Pre-treatmentKomponenMasukFilterPengeringan

Padatan FiltratUmpanWaste

NaOH6936,0

Selulosa288,3423,36801,0423,3

Hemiselulosa201,5160,640,9160,6

Lignin223,9150,273,8150,2

Air 74,274,274,2

Kandungan Minyak8,58,58,5

Ekstraktif36,336,336,3

Total massa7768,8853,06915,7778,874,2

Total massa7768,87768,8853,0

Pada tabel neraca massa di atas, perlu diperhatikan bahwa memasuki tahap filtrasi, telah dipisah antara padatan dengan larutan yang akan dibuang, sedangkan pada bagian pengeringan, yang dimasukkan hanyalah padatan tidak larut hasil pre-treatment. Hemiselulosa yang tersisa adalah hemiselulosa yang telah terdegradasi menjadi xilan, sehingga siap untuk diproses lebih lanjut untuk fermentasi menjadi bioetanol.3.1.2. Volume Bioreaktor Pre-TreatmentVolume bioreaktor yang dibutuhkan adalah sebesar 17,99 m3 dengan faktor keamanan 20%. Kebutuhannya adalah dengan perbandingan massa TKKS dan larutan NaOH sebesar 12,5% w/v yaitu 6936 kg/jam NaOH dengan 867 kg/jam TKKS kering. Dengan mengalikan data massa jenis (TKKS = 205,71 kg/m3 dan NaOH = 1200 kg/m3), maka:

3.1.3. Sizing Bioreaktor Pre-TreatmentReaktor ini akan mempunyai komponen berupa silinder dan tutup, dimana masing-masing dimensinya antara lain dengan rule of thumb perbandingan diameter dan tinggi tangki (d:Hs) senilai 1:3, dan setengahnya untuk tinggi tutup (Hh) maka ukuran diameternya adalah.

Ukuran untuk reaktor pre-treatment ini adalah berdiameter 3,9 m dengan tinggi silinder (Hs) 1,3 m dan tinggi tutup (Hh) 0,65 m.

3.2. Hidrolisis Enzimatik3.2.1. Bahan Baku dan Neraca Massa dan EnergiUntuk memperoleh hasil yang optimal (konversi mendekati nilai sempurna) maka konfigurasi peralatan proses harus dioptimalkan. Instrumen utama yang digunakan dalam proses ini adalah CSTR. Continuous Stirred-Tank Reactor(CSTR) merupakan suatu tangki reaktor yang digunakan untuk mencampur dua atau lebih bahan kimia dalam bentuk cairan dengan menggunakan pengaduk (mixer).

F3F4F1Gambar 3.1: Reaktor CSTR dalam Proses Hidrolsis Enzimatis

3.2.2 Volume Bioreaktor Proses HidrolisisTabel 3.4: Neraca Massa proses hidrolisisBahan Baku

Stream Masukan(kg/jam)Stream Keluaran(kg/jam)

F1F2F3F4

Selulosa423,3033,8648,466

Air850100577,9587,39

Enzim Selulase0 42,3 40,182,12

Glukosa0076,14589,49

Total1273,3142,3728,13687,466

Reaksi pembentukan bioetanol dari glukosa berlangsung dengan faktor konversi 90%, sehingga perhitungan adalah sebagai berikut:SelulosaAirGlukosa

Mulai423,39500

Bereaksi380,9776,140

Setimbang42,33873,86761, 4

3.2.3 Penghitungan Volume Bioreaktor

Data yang diketahui

Volume reaktor kontinu adalah

Menimbang banyak komponen lain di luar substrat (selulosa) dan enzim, seperti air maka dengan

Volume reaktor total adalah 7,48

Sizing Reaktori. Menentukan Ukuran Tangki Volume tangki, Vaktor keamanan, fk = 20%Volume tangki,

Diameter tangki, dan tinggi tangki, Tinggi silinder: diameter Tinggi head : diameter Dengan, Volume silinder : Volume tutup: Volume tangki, Maka,

Untuk desain digunakan: Diameter tangki= 2,60 m Tinggi silinder, = Tinggi head, = Jadi total tinggi tangki, = ii. Tebal shell dan tutup tangki Tebal shell

Dimana:t =tebal shell (in) c= factor korosi =0,013/tahunR =jari-jari dalam tangki (in) n =umur tangki =10 tahunP =tekanan design (psi)S = allowable stress =18750 psiE =joint efficiency= 0,9 Tekanan hidrostatis,

Tekanan desain,

Tebal shell, t

3.3. FermentasiBioetanol adalah etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi karbohidrat oleh mikroorgansime (bakteri atau yeast/ragi). Dengan kata lain, fermentasi merupakan tahap yang menentukan seberapa banyak etanol yang dihasilkan dai karbohidrat. Oleh sebab itu optimasi proses fermentasi perlu dilakukan, salah satu caranya adalah dengan merekayasa tempat berlangsungnya proses fermentasi yang dinamakan sebagai bioreaktor agar proses tersebut dapat berjalan secara optimal. Parameter-parameter yang mempengaruhi proses fermentasi perlu untuk diketahui untuk mendesain/merancang bioreaktor. Namun sebelum kita membahas lebih lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu tahapan konversi karbohidrat hingga menjadi etanol.

3.3.1. Tahap konversi karbohidrat menjadi etanolFermentasi etanol sendiri dapat dibedakan menjadi 2 secara umum yaitu: 1)Fermentasi aseton butanol etanol (ABE) dan 2)Fermentasi etanol. Kedua fermentasi ini pada dasarnya sama-sama menghasilkan etanol sebagai produk akhirnya tetapi yang membedakannya adalah produk samping selain etanol yang dihasilkan pada akhir reaksi berbeda. Pada fermentasi ABE selain etanol dihasilkan pula aseton dan butanol dengan produk samping berupa gas karbondioksida (CO2), gas hidrogen (H2), asam butirat, dan asam asetat sedangkan fermentasi etanol menghasilkan gas karbondioksida (CO2) sebagai residu. Jenis bakteri yang umumnya digunakan dalam fermentasi ABE adalah Clostridium acetobutylicum yang mampu memproduksi butanol, etanol dan butanol masing-masing dengan perbandingan 6:3:1 (setiap 1 gram glukosa dikonversi menjadi 0.303 gram butanol, 0.155 gram aseton, dan 0.0068 gram aseton dengan produk samping asam asetat, butirat, CO2, dan H2 masing-masing sebesar 0.0086 gram, 0.0084 gram, 0.6954 gram (Volesky dan Votruba, 2002) menggunakan tandan kosong kelapa sawit sebagai sumber produksi glukosa) Fermentasi ABE ini berlangsung selama kurang lebih 22 jam pada suhu 35C dan pH 4.5-5 dengan asupan gas nitrogen (N2). Gambar 3.2: Ilustrasi (a) Mekanisme fermentasi ABE (b) Reaksi fermentasi ABE yang terjadi dalam satu tahap (Sumber: www.responsiblebusiness.eu)

Fermentasi ABE dinilai tidak efektif untuk diterapkan dalam kasus ini sebab produksi etanol menjadi tujuan utama yang akan dicapai oleh penulis. Dengan demikian, penulis akan menggunakan prinsip fermentasi alkoholik (etanol) untuk diterapkan dalam permasalahan ini. Fermentasi etanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae telah diaplikasikan secara luas dalam industri bioetanol. Ada beberapa proses yang terlibat dalam proses konversi glukosa menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae yaitu sebagai berikut:

(1)(3)(2) Gambar 3.3: Mekanisme konversi glukosa menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiaeDari gambar di atas terlihat ada sebelum melalui proses fermentasi etanol, glukosa terlebih dahulu diubah menjadi asam piruvat melalui tahapan glikolisis. Tahapan ini terjadi dengan memecah atom C6 (C6H12O6) menjadi C3 (C3H4O3) dan 2 molekul NADH. Selanjutnya asam piruvat dikonversi menjadi asetaldehid melalui reaksi dekarboksilasi melibatkan enzim pyruvate decarboxylase. Asetaldehid yang dihasilkan akan diproses lebih lanjut oleh enzim alcohol dehydrogenase menjadi etanol dengan mengoksidasi NADH menjadi NAD+. Namun pada kenyataannya tidak semua asam piruvat yang terbentuk difermentasikan menjadi etanol, melainkan sebagian asam piruvat bereaksi secara anaerobik oleh lactic dehydrogenase menjadi asam laktat dimana reaksi tersebut berjalan pada kondisi basa/alkali. Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan distribusi karbon hasil akhir fermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae adalah:Tabel 3.5: Komposisi hasil akhir fermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae (Sumber: Bason, Linda. 2001. Alcoholic Fermentation. University of California: California)KomponenPersentase

Karbondioksida (CO2) dan etanol (C2H5OH)95%

Sel baru (biomassa)1%

Produk lainnya, seperti: asam piruvat, asam asetat, asetaldehida, gliserol, asam laktat4%

Catatan: untuk komposisi produk lainnya akan bergantung pada kondisi fermentasi ketika berlangsung

(3.1)Dengan memahami tahapan yang terlibat dalam konversi karbohidrat menjadi etanol, kita mampu mengkondisikan reaksi agar menghasilkan etanol semaksimal mungkin.

(3.5)(3.4)(3.3)(3.2)(Sumber: Moat, Albert G. 2002. Microbial Physiology. Willey-Liss Inc: US)Kondisi reaksi di atas terjadi apabila proses fermentasi berlangsung dalam kondisi basa yang dikatalisis oleh enzim NAD-linked dehydrogenase.Tabel 3.6: Kondisi optimum kinerja enzim-enzim yang terlibat dalam fermentasi Saccharomyces cerevisiaeEnzimKondisi optimum produksi enzim

Pyruvate decarboxylasepH 6.0 pada suhu 25C

Alcohol dehydrogenasepH 5.4 pada suhu 25C

Lactic dehydrogenasepH 5.0 pada suhu 25C

NAD-linked dehydrogenasepH 8.0 pada suhu 25C

3.3.2. Parameter-parameter yang terlibat dalam proses fermentasiPemahaman mekanisme konversi karbohidrat sederhana menjadi etanol membantu kita untuk lebih memahami faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi etanol. Variabel yang mempengaruhi efisiensi fermentasi etanol oleh mikroorganisme adalah sebagai berikut: Tipe karbohidratTipe karbohidrat yang akan diproses pada tahap fermentasi sangat tergantung dari bahan baku mentah awal yang digunakan dimana pada kasus ini merupakan tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Glukosa merupakan bentuk gula sederhana yang banyak ditemukan setelah proses hidrolisis pada tahap sebelumnya sebab glukosa lebih mudah untuk difermentasikan menjadi etanol dibandingkan dengan bentuk gula sederhana lainnya. Secara tidak langsung, jenis gula sederhana yang akan diproses pada tahap ini akan mempengaruhi laju fermentasi etanol. Selain itu, tidak semua mikroorganisme mampu untuk menggunakan bentuk gula pentosa dan heksosa sebagai sumber energi. Berdasarkan referensi Steve Helle et al., 2004 laju fermentasi etanol terbaik dihasilkan dengan menggunakan xylosa dan glukosa sebagai substrat bagi bakteri/yeast.Pada gambar 3 terlihat bahwa reaksi pembentukan fruktosa-6-pospat pada xylosa melalui pentose phosphate pathway yang selanjutnya akan melalui tahap glikolisis guna menghasilkan asam piruvat yang menjadi reaktan untuk pembentukan etanol pada proses berikutnya. Inilah yang menjadi alasan fermentasi etanol dari xylosa memiliki laju dan efisiensi konversi etanol yang lebih rendah dibandingkan glukosa. Namun peningkatan laju dan efisiensi konversi etanol dari xylosa dapat dilakukan dengan mengatur kondisi endoreaksi yang terlibat oleh sebab itu, banyak penilitian yang menggunakan 2 bioreaktor yang terpisah untuk menangani fermentasi glukosa (heksosa) dan xylosa (pentosa). Pendekatan ini dianggap kurang efektif dan efisien sebab memerlukan instrumen yang lebih banyak dan memerlukan waktu proses yang lama.

Gambar 3.4: Reaksi katalisasi pembentukan xylose menjadi xylulose-5-P (Sumber: Sumber: Duff, Sheldon J.B. 2004. Supplementing Spent Sulfite Liquor wuth Lignocellulosic Hydrolysate to Increase Pentose/Hexose Co-Fermentation Efficiency and ethanol Yield. University of British Columbia : Vancouver)Fermentasi xylosa juga dibatasi oleh keterbatasan jenis mikroorganisme yang mampu mengubah xylosa. Contohnya adalah Saccharomyces cerevisiae yang tidak mampu melakukan fermentasi xylosa namun mampu memfermentasi xylulose walaupun dengan laju yang 20 kali lebih lambat dari konversi glukosa (Gong et al., 1981). Akumulasi 29.6 g/L etanol akan memperlambat laju produksi etanol sekitar 50% dibandingkan fermentasi glukosa (Chiang et al., 1981). Hal ini menunjukkan bahwa laju fermentasi xylosa lebih sensitif terhadap akumulasi produk etanol sehingga diperlukan perlakuan khusus dibanding fermentasi glukosa. Kondisi optimum xylose isomerase pada pH 7, 70C sedangkan untuk fermentasi pada pH 5, 35C, keadaan ini menyulitkan untuk melakukan reaksi isomerisasi dan fermentasi secara simultan namun kondisi pH 6 pada suhu 40C menunjukkan 85% xylose dapat terkonversi menjadi etanol melalui reaksi isomerisasi dan fermentasi secara kontinu (Gong et al., 1981).

Gambar 3.5: Mekanisme konversi xylosa menjadi fruktosa 6-pospat agar diubah menjadi piruvat pada (b) reaksi glikolisis yang digunakan untuk mengkonversikan glukosa menjadi asam piruvat (Sumber: Duff, Sheldon J.B. 2004. Supplementing Spent Sulfite Liquor wuth Lignocellulosic Hydrolysate to Increase Pentose/Hexose Co-Fermentation Efficiency and ethanol Yield. University of British Columbia : Vancouver)

Konsentrasi garamBanyak mikroorganisme bahkan juga organisme memerlukan mineral (Na) sebagai sumber nutrisi. Selain itu, mineral/ion juga diperlukan sebagai kofaktor bagi beberapa enzim agar proses katalis dapat berjalan optimal. Akan tetapi, kelebihan garam di dalam fermentation broth dapat menganggu kinerja enzim dan merusak stuktur membrane sel. Hal ini disebabkan karena konsentrasi garam yang tinggi akan memberikan stress di dalam sel mikroorganisme.

Konsentrasi gula sederhana (osmolaritas) dan produksi etanolMenurut prinsip laju reaksi, semakin besar konsentrasi reaktan maka laju pembentukan produk juga akan semakin besar namun hubungan konsentrasi gula sederhana (glukosa dan xylosa) dan laju fermentasi etanol jauh lebih kompleks. Untuk mencapai laju fermentasi etanol yang optimum maka diperlukan konsentrasi gula pada nilai tertentu dimana tidak terlalu rendah supaya tidak membatasi laju pembentukan etanol namun tidak terlalu tinggi tetapi konsentrasi gula tidak terlalu tinggi untuk menghindari kelebihan kapasitas sel mikroorganisme untuk melakukan fermentasi. Perlunya penentuan konsentrasi gula optimum dikarenakan pada konsentrasi gula tertentu akan dihasilkan etanol pada konsentrasi tertentu pula. Produksi etanol yang berlebihan akan menjadi inhibitor/toksik bagi pertumbuhan mikroorganisme yang dikenal dengan istilah feedback inhibition.Penentuan jumlah konsentrasi gula di dalam fermentation broth (osmolaritas) dan produksi etanol dalam fermentasi akan sangat bergantung pada jenis mikroorganisme yang digunakan dalam tahap ini. Masing-masing mikroorganisme memiliki kemampuan resistansi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi etanol pada fermentation broth. Kemampuan resistansi untuk masing-masing mikroorganisme ini akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Temperatur dan biological stressTemperatur yang tidak sesuai dengan kondisi optimum mikroorganisme akan mengurangi efisiensi produksi etanol sebab produksi enzim dialihkan untuk mensintesis stress protein atau yang lebih dikenal sebagai heat shock protein. Selain itu ditinjau dari aspek biokimia, temperatur yang tidak sesuai dengan kondisi optimum dapat memperlambat atau bahkan menon-aktifkan kinerja enzim. Pada suhu yang sangat tinggi enzim dapat terdenaturasi sedangkan pada suhu yang sangat rendah aktivitas enzim akan berkurang sebab kinetika substrat dan enzim berlangsung dengan lambat.

OksigenOksigen memiliki peranan penting dalam fermentasi etanol sebab keberadaan oksigen akan mempengaruhi jenis produk akhir yang terbentuk dari fermentasi. Pada saat konsentrasi gula rendah, maka keberadaan oksigen mampu mengoksidasi gula menjadi karbondioksida dan air sedangkan pada konsentrasi gula yang relatif tinggi, oxidation pathway akan terhambat sehingga gula tetap terkonversi menjadi etanol walaupun dengan adanya oksigen. Kondisi ini dinamakan sebagai Crabtee effect. Walaupun oksigen dapat menganggu proses fermentasi etanol namun oksigen diperlukan untuk produksi lipid yang bersifat esensial bagi viabilitas mikroorganisme (khususnya yeast). Oleh sebab itu, diperlukan sistem aerasi yang optimum dalam bioreaktor guna meningkatkan produktivitas biomassa mikroorganisme dan laju konsumsi gula yang berdampak pada peningkatan produktivitas etanol (Furukawa et al., 1983). Khusus untuk fermentasi xylosa, laju aerasi sangat menentukan laju dan produktivitas etanol dan xylitol.. Bagi mikroorganisme yang mampu untuk melakukan fermentasi etanol dari xylosa maka pada kondisi aerobik keberadaan gula tidak mampu menghambat respirasi sehingga etanol akan dimetabolisme pada laju aerasi yang tinggi. Namun pada laju aerasi yang sangat rendah, produksi xylitol akan meningkat sedangkan konsentrasi etanol akan menurun disebabkan kekurangannya oksigen yang berperan sebagai penyimbang reaksi reduksi xylosa menjadi xylitol dan oksidasi xylitol menjadi xylulose.

Tekanan osmosisTekanan osmosis menjadi inhibitor ketika konsentrasi solute terlalu tinggi akibat dari penambahan untuk control pH, fermentasim dan penambahan awal menyebabkan gradient osmosis di membran menjadi sangat besar. Hal ini menyebabkan kandungan air dalam mikroorganisme berkurang sehingga diperlukan energi maintenance yang besar untuk memproduksi gliserol yang berperan dalam stabilisasi protein pada dinding mikroorganisme.

Jenis mikroorganismePada umumnya fermentasi heksosa dan pentosa dilakukan secara terpisah sebab kebanyakan mikroorgansime fermentasi tidak mampu melakukan fermentasi heksosa dan pentosa bersamaan. Masing-masing mikroorganisme sendiri memiliki keunggulan dan kekurangan ditinjau dari kemampuan fermentasinya, resistansi/tolerasni terhadap etanol, pH dan suhu optimum untuk fermentasi. Maka penentuan jenis mikroorganisme yang digunakan akan mempengaruhi jenis bioreaktor.Tabel 3.6: Jenis-jenis mikroorganisme yang digunakan dalam fermentasi etanol (Sumber: Aili, Zhang. 2008. Improving Ethanol Yield Through Minimizing Glycerol Yield in Ethanol Fermentation. Tiainjin University: China)SpesiesKarakteristikKeunggulanKerugian

Saccharomyces cerevisiaeRagi fakultatif anaerobik Secara alami fermentasi etanol terjadi Perolehan alkohol tinggi (90%) Toleransi etanol (10% v/v) dan inhibitor tinggi Cocok untuk modifikasi genetik Tidak dapat memfermentasi xylosa dan arabinosa Tidak tahan terhadap temperatur tinggi

Candida shehataeRagi mikro-aerofilik Fermentasi xilosa Toleransi etanol rendah Perolehan etanol rendah Membutuhkan kondisi mikro-aerofilik Tidak melakukan fermentasi xylosa pada pH rendah

Zymomonas mobilisBakteri gram negatif ethanologenic Perolehan etanol tinggi (perolehan teoritik 97%) Toleransi etanol tinggi (14% v/v) Produktivitas etanol tinggi Cocok untuk modifikasi genetik Tidak membutuhkan tambahan oksigen Tidak dapat melakukan fermentasi xylosa Toleransi terhadap inhibitor rendah Rentang pH netral

Pichia stiplisRagi fakultatif anaerobik Memberikan performansi terbaik pada fermentasi xilosa Perolehan etanol 82% Dapat memfermentasi sebagian besar gula tereduksi dari selulosa Rekomendasi selulase pada proses SSF Tidak tahan etanol pada konsentrasi >40g/l Tidak melakukan fermentasi pada pH rendah Sensitif terhadap inhibitor kimiawi Membutuhkan kondisi mikro-aerofilik Reasimilasi etanol yang terbentuk

Pachysolen tannophilusFungi aerobik Fermentasi xilosa Perolehan etanol rendah Membutuhkan kondisi mikro-aerofilik Tidak melakukan fermentasi xilosa pada pH rendah

Esherichia coliBakteri gram negatif mesofilik Mampu fermentasi gula pentosa dan heksosa Cocok untuk modifikasi genetik Represi katabolime mengganggu co-fermentasi Toleransi etanol terbatas Rentang pH dan temperatur pertumbuhan yang sempit Produksi asam organik Stabilitas genetik belum terbukti Toleransi rendah terhadap etanol dan inhibitor

Kluveromyces marxianusRagi termofilik Dapat tumbuh pada temperatur > 52oC Cocok untuk proses SSF/CBP Mengurangi biaya pendinginan Mengurangi kontaminasi Fermentasi rentang fula tereduksi yang lebar Cocok untuk modifikasi genetik Gula berlebih mempengaruhi perolehan etanol Toleransi etanol rendah Fermentasi xylosa rendah Pembentukan xylitol

Thermophilicbacteria: Thermo anaerobacterium Saccharolyticum Thermoanaerobacter ethanolicus Clostridium thermocellumBakteri anaerobik ekstrim Tahan pada temperatur tinggi ekstrim 70oC Cocok untuk proses SSCF/ CBP Fermentasi variasi gula Menunjukkan aktivitas selulolitik Cocok untuk modifikasi genetik Toleransi etanol rendah

3.3.3. Penentuan Bioreaktor Untuk Fermentasi EtanolAda beberapa langkah yang perlu dilakukan sebelum pemilihan bioreaktor untuk fermentasi etanol yaitu: Pemilihan jenis gula sederhana yang akan difermentasiBerdasarkan hasil pre-treatment dan hidrolisis tandan kosong kelapa sawit (TKKS) pada tahap sebelumnya dihasilkan glukosa dan xylosa. Fermentasi yang akan diterapkan untuk memproduksi bioetanol adalah fermentasi heksosa dan pentosa masing-masing berupa glukosa dan xylosa. Penentuan jenis mikroorganisme yang terlibat dalam fermentasi etanolKarakteristik mikroorganisme yang ideal untuk digunakan dalam fermentasi etanol adalah sebagai berikut:1. Meninggalkan residu gula sedikit mungkin atau bahkan tidak ada sama sekaliPoin ini menunjukkan bahwa semua gula terkonversi dalam reaksi fermentasi sehingga etanol yang dihasilkan pun maksimal walaupun sebagian gula diubah menjadi hasil produk lain seperti asam laktat, asam astetat, gliserol, asetaldehida, dan asam piruvat2. Mampu untuk menghasilkan laju fermentasi yang optimumLaju fermentasi yang terlalu rendah menyebabkan produktivitas etanol menjadi rendah selain itu, sulit untuk mengidentifikasi penyebab laju fermentasi yang lambat, apakah dari aspek jenis mikroorganisme yang digunakan ataukah kondisi operasi fermentasi yang tidak optimum. Akan tetapi laju fermentasi yang terlalu cepat juga tidak diharapkan sebab kenaikan temperatur sistem akan besar yang berasal dari pelepasan panas fermentasi etanol (reaksi eksoterm). Peningkatan suhu sistem yang terlalu besar akan menyebabkan pengurangan konsentrasi senyawa volatil dalam kasus ini adalah etanol.3. Memiliki karakteristik kemampuan fermentasi yang dapat diprediksiKarakteristik ini dapat mempermudah kita untuk menganalisis penyebab ketidakefisienan dan ketidakefektifan fermentasi etanol yang sedang berlangsung4. Memiliki jangkauan toleransi etanol yang cukup besarMikroorganisme yang memiliki kemampuan resistansi yang baik terhadap etanol dapat meningkatkan produktivitas etanol khususnya pada fermentasi yang bersifat batch. 5. Memiliki jangkauan toleransi temperatur yang cukup besarMikroorganisme yang mampu berdapatasi pada rentang suhu yang besar merupakan mikroorgansime yang ideal untuk fermentasi etanol sebab pengaturan suhu dapat mengatur laju fermentasi untuk menghasilkan produktivitas etanol yang optimum.6. Mikroorganisme melalui fermentasi etanol menghasilkan produk samping dalam jumlah kecilMikroorganisme fermentasi yang diharapkan adalah mikroorganisme yang menghasilkan rasio produk samping yang sekecil-kecilnya terhadap konsentrasi etanol yang dihasilkan. Produk samping dari fermentasi etanol berupa asam asetat, gliserol, asam laktat, asetaldehida, asam piruvat, dans sebagainya.

(b)(a)Ditinjau dari keenam karakteristik ideal mikroorganisme untuk fermentasi etanol, mikroorganisme yang cocok digunakan dalam kasus ini adalah Zymomonas mobilis. Hal ini dikarenakan hasil teoritis etanol yang dihasilkan mencapai 97% dan kemampuan toleransi terhadap etanol cukup tinggi yaitu sekitar 14% (v/v). Akan tetapi kekurangan Zymomonas mobilis adalah ketidakmampuannya untuk melakukan fermentasi etanol dari xylosa.

Gambar 3.6: (a) Genetically engineered Zymomonas mobilis 8b (b) Mekanisme fermentasi arabinose(Sumber: www.zeably.com)Hal tersebut dapat diatasi dengan merekayasa genetika Zymomonas mobilis untuk mampu melakukan fermentasi glukosa dan xylosa secara bersamaan serta meningkatkan kemampuan resistansinya terhadap inhibitor fermentasi asam asetat. Zymomonas mobilis 8b adalah strain Zymomonas mobilis yang telah diinsersi dengan 4 gen exogenous yaitu xylAslB (fermentasi dari xylosa), araBD (fermentasi dari arabinosa), dan tal/tkt (transadolase atau transketolase) menggunakan plasmid Saccharomyces cerevisiae. Teknik insersi dilakukan dengan metode transposon dimana plasmid harus terdiri dari promoter yang berperan dalam ekspresi stuktural gen dalam bakteri, sekuens yang akan diinsersi (4 gen exogenous), operon yang terletak di dalam sekuens insersi, dan gen transposase yang berada di luar sekuens insersi. Hasilnya adalah rekombinan Zymomonas mobilis 8b yang lebih stabil dibandingkan wild type dengan kemampuan fermentasi glukosa yang meningkat serta dapat memfermentasi arabinosa dan xylosa.Tabel 3.7: Karakteristik umum Zymomonas mobilis 8b (Sumber: Lee, Kyung. The genome-scale metabolic network analysis of Zymomonas mobilis ZM4 explains physiological features and suggests ethanol production strategies. www.microbialcellfactory.com (diakses tanggal 29 April 2013))Karakteristik fisika dan kimia Zymomonas mobilis 8b

Bakteri gram negatif dan fakultatif anaerobikMemiliki mechanical strength yang cukup tinggi dimana pada dinding sel mengandung hopanoidMemiliki kemampuan konversi etanol mencapai 97% (secara teoritis)Toleransi temperatur 25-30

Toleransi etanol mencapai 16% (v/v)Produktivitas etanol yang dihasilkan mencapai 12% (w/v) dengan laju yang lebih cepat dari yeast

Kemampuan resisitansi terhadap asam mencapai 3% (w/v)

Mampu untuk melakukan fermentasi etanol dari glukosa, xylosa, dan arabinosa

Penentuan sistem operasi bioreaktorSistem operasi bioeraktor dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu batch, fed batch, dan continuous. Penentuan sistem operasi bioreaktor mempengaruhi desain bioreaktor yang digunakan sebab hal ini berkaitan dengan cara pengoperasian bioreaktor.Proses fermentasi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu fermentasi cair dan fermentasi padat (solid state fermentation). Fermentasi bioetanol tergolong sebagai fermentasi cair sebab fermentasi etanol berlangsung dengan mengkultivasi mikroorganisme di dalam support yang berada dalam fasa liquid. Akan tetapi fermentasi cair dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi (Bambang, 2010) fermentasi bawah permukaan (submerged fermentation) dan fermentasi permukaan (surface fermentation). Surface fermentation adalah proses fermentasi dilakukan oleh mikroorganisme yang berada di permukaan medium cair fermentasi sedangkan submerged fermentation merupakan fermentasi yang mana mikroorganisme yang terlibat berkembang terendam dalam medium fermentasi. Fermentasi etanol sendiri tergolong sebagai submerged fermentation.

(c)(b)(a)Gambar 3.7: (a) Solid state fermentation (SSF) (b) Surface fermentation (c) Submerged fermentation

Sistem operasi yang dapat diterapkan dalam submerged fermentation sebagai berikut:Tabel 3.8: Sistem operasi yang diterapkan dalam submerged fermentation (Sumber: Susanto, Anto. 2008. Proses fermentasi (Batch, Fed Batch, dan Continuous Process). http://anthosusantho.wordpress.com (diakses tanggal 29 April 2013))Sistem operasiPengertianContohPrinsipKelemahanKeuntungan

BatchFermentasi dimasukkan dengan cara memasukkan media dan inokulum secara bersamaan dalam bioreaktor dan pengambilan produk di akhir fermentasiReaktor batch anaerob dengan volume operasional 4 L pada penutup bioreaktor terdapat 2 buah selang silicon untuk sampling gas dan penambahan substansi, termometer, & pengaduk. Pengaduk untuk reaktor cair menggunakan stirrer. (Soewondo, 2010)Sistem tertutup, tidak ada penambahan media baru, ada penambahan oksigen, aerasi, anti-foam, dan asam-basa untuk kontrol pH Produktivitas etanol rendah akibat adanya akumulasi inhibitor Konsentrasi hasil etanol rendah dan viabilitas mikroorganisme rendah sebab etanol bersifat toksik untuk bakteri Waktu fermentasi yang lama Bahan tersedia pada waktu-waktu tertentu Bahan yang difermentasi dapat berupa kandungan padatan yang tinggi (25%) Bahan berserat/sulit untuk diproses Sterilitas bisa ditingkatkan dimana apabila ada toksik operasi langsung dapat dimatikan

ContinuousPengaliran substrat dan pengambilan produk dilakukan secara terus-menerus setiap setelah diperoleh konsentrasi produk maksimal atau substrat pembatasnya mencapai konsentrasi yang hampir tetap (Rusmana, 2008). Dalam hal ini substrat dan inokulum dapat ditambah secara bersamaan sehingga fase eksponensial dapat diperpanjangMixed flow reactor yang bervolume 1 L dengan kecepatan putar 100 rpm dimana sebelum fermentasi diisi terlebihi dahulu bead sebesar 1/5 volume reaktor, laju alir feed akan disesuaikan dengan variable dilution rate yang ditetapkan (Tontowi, 2010)Sistem fermentor terbuka, penambahan medium baru, ada kultur yang keluar, volume tetap, dan fase fisiologi konstan Produktivitas etanol besar bisa ditingkatkan dengan immobilisasi bakteri/yeast Konsentrasi etanol yang dihasilkan lebih besar Waktu fermentasi singkat karena ketiadaan setting time Waktu tinggal yang cukup singkat sehingga efisiensi konversi etanol tidak sempurna Sterilitas sulit untuk diatur Dapat menyebabkan biofouling dalam reaktor

Fed batchSistem yang menambahkan medium baru secara teratur pada kultur tertutup tanpa mengelurakan hasil kultur di dalam fermentir sehingga volume kultur semakin bertambah (Tri Widjaja, 2010)Kultur inokulum diinokulasi dalam 700 mL media fermentasi dimana penambahan awal substrat dilakukan pada jam ke-24. Volume substrat yang ditambah selama proses sekitar 900 mL dengan laju penambahan 19 mL/jamSistem semi terbuka dimana penambahan substrat/nutrisi namun inokulum tetap Konsentrasi sisa substrat terbatas dan dapat dipertahankan sangat rendah (Rachman, 1989) Mencegah fenomena inhibisi substrat/represi katabolik Sulit melihat fase eksponensial dan fasa stasioner kecuali fase eksponesial pertama (Winarni, 1995) Nilai biomassa yang dihasilkan rendah

Berdasarkan dari penjelasan di atas maka penulis lebih tertarik untuk menerapkan sistem operasi bioreaktor yang kontinu sebab tujuan yang ingin dituju adalah dihasilkannya etanol sebanyak mungkin dengan purifitas yang tinggi.

Gambar 3.8: Prinsip perbedaan dari sistem operasi batch, fed-batch, dan continuous dalam bioreaktor(Sumber: http://www.shroomery.org/forums/showflat.php/Number/18012666)

Penentuan mixing yang ada di dalam bioreaktorPenentuan sistem pencampuran yang ada di dalam bioreaktor sangat penting sebab hal ini akan mempnegaruhi sifat reologi dari fluida (fermentation broth), kerusakan sel Zymomonas mobilis 8b akibat shear yang ditimbulkan dari pencampuran, dan mempercepat laju terjadinya fermentasi itu sendiri.Hal tersebut bergantung semua pada geometri dari impeller, ukuran, dan kecepatan rotasi dari pengaduk yang digunakan namun ditinjau dari fluida yang akan dicampur, maka densitas dan viskositas fluida juga akan sangat mempengaruhi.Mengacu pada jurnal Makomele et al., 2012 dimana fermentasi menggunakan mikroorganisme Zymomonas mobilis yang memiliki mechanical strength yang cukup kuat maka tipe aliran pengadukan yang diharapkan adalah bersifat laminar dengan tingkat turbulensi yang cukup tinggi. Maka pemilihan impeller yang akan digunakan adalah:

Gambar 3.9: Pemilihan dari (a) jenis impeller yang digunakan dalam bioreaktor (b) Susunan impeller paddle yang akan digunakan dalam bioreaktor fermentasi alcohol(Sumber: Mako et al., 2004)Berdasarkan dari tinjauan pustaka yang telah dilakukan maka paddle merupakan jenis impeller yang paling cocok untuk digunakan dalam reaksi fermentasi. Selanjutnya pengoperasian kecepatan paddle impeller akan menentukan hasil akhir yang diinginkan dalam proses fermentasi misal pada kecepatan paddle impeller yang menghasilkan pusaran turbulen maka kondisi akan merusak stuktur dan fungsi sel untuk sistem tanpa aerasi sedangkan untuk sistem aerasi pengadukan yang menimbulkan gelumbung-gelembung pada permukaan liquid dapat merusak sel. Untuk sistem fermentasi kali ini akan digunakan kondisi aerasi oksigen sebab aerasi oksigen diperlukan guna meningkatkan viabilitas dari Zymomonas mobilis 8b.

Jenis bioreaktor yang digunakan dalam fermentasi bioetanolBerdasarkan dari parameter yang telah dibahas sebelumnya maka jenis bioreaktor yang sering digunakan dalam proses fermentasi etanol pada umumnya adalah air lift bioreaktor, stirred tank bioreaktor, immobilized cell bioreaktor, fluidized bed bioreaktor, dan hollow fibre membrane bioreaktor. Masing-masing bioreaktor memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing dalam aplikasinya di dalam skala lab dan industri. Berikut adalah perbandingan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing bioreaktor ditinjau di dalam aplikasi fermentasi etanol.

Tabel 3.9: Jenis-jenis bioreaktor yang digunakan dalam fermentasi etanol pada umumnya (Sumber: Anand, Syanand. 2011. Bioreactor-Classification and Types. http://www.biotecharticles.com/Applications-Article/Bioreactors-Classification-and-Types-794.html (diakses tanggal 29 April 2013))Jenis bioreaktorGambarKelebihanKekurangan

Stirred tank bioreactor Biaya investasi rendah Biaya operasi rendah Pembentukan foam

Air lift bioreactor Rendahnya friksi Energi yang dibutuhkan lebih rendah Secara mekanis mudah untuk dikonstruksi Kendala scale up yang menurunkan peforma Biaya lebih mahal Kesulitan dalam sterilisasi Efisiensi pencampuran relatif rendah

Immobillized bioreactor Bermanfaat untuk enzim intraseluler Mengurangi polusi dan residu Memungkinkan untuk kondisi operasi kontinu Biaya mahal Biasanya untuk preparasi produk dengan berat molekul rendah

Fluidized bed bioreactor Perpindahan massa dan panasnya efisien Pencampuran antara solid, liquid, dan gas dapat dilakukan secara efektif Laju shear yang rendah Mahal Sulit dioperasikan

Hollow fibre membrane bioreactor Produk ekstraseluler terpisah dari sel pada waktu yang bersamaan Scale up mudah dilakukan hanya dengan menambah beberapa unit serat pararel Akumulasi inhibitor fermentasi Pori-pori dapat tersumbat Pertumbuhan mikroorganisme pada bagian lumen dapat merusak dan serat membran

Dengan demikian dari beberapa penjelasan bioreaktor yang ada maka limitasi dari masing-masing bioreaktor masih dapat dirasakan dengan demikian penulis disini mengajukan suatu sistem bioreaktor yang baru yang menggabungkan antara hollow fibre membrane bioreactor dan stirred tank bioreactor yang menunjukkan efisiensi konversi etanol yang tinggi berdasarkan oleh beberapa referensi. Penggabungan kedua jenis bioreaktor ini dinamakan sebagai membrane bioreaktor dengan unit pervaporasi sehingga proses fermentasi berjalan simultan dengan purifikasi dengan tujuan meningkatkan kondisi fermentasi agar tetap optima. Gambar 3.10: Membran bioreaktor(Sumber; www.mikropur.cz)Ada beberapa jenis konfigurasi yang dapat digunakan dalam membrane bioreaktor yaitu internal dan eksternal. Penulis memutuskan untuk menggunakan konfigurasi internal sebab pengontrolan fermentasi dan purifikasi dapat dilakukan lebih intensif.

(a)

(b)Gambar 3.11: (a) Konfigurasi eksternal membrane bioreaktor (b) Konfigurasi internal membrane bioreaktor(Sumber: Mokomele, Thapelo. 2012. Ethanol Production From Xylosa and Glucose by Zymomonas mobilis for Development of Membrane Bioreactor. University of Stellenbotch: South Africa)

3.3.4. Modelling membran bioreaktor untuk fermentasi bioetanol dengan menggunakan Zymomonas mobilis 8b Modelling membrane bioreaktor dilakukan dengan meninjau aspek dari kinetika biologis sel mikroorganisme yang dihasilkan dalam bioreaktor yang terlibat selama proses fermentasi etanol dimana hasil tersebut dapat diketahui ketika massa sel mikroorganisme, konsentrasi awal dan akhir gula diketahui (Znad et al., 2004) . Perkembangan persamaan matematis untuk bioreaktor digunakan untuk fermentasi glukosa, xylosa, dan glukosa/xylosa. Asumsi yang perlu dilakukan dalam perkembangan matematis ini adalah: Temperatur selama fermentasi etanol konstan dan seragam pada fermentation broth Fermentasi dilakukan dengan kondisi jumlah karbon yang terbatas sehingga substrat inhibisi dapat diabaikanDengan demikian persamaan material balance ditinjau dari aspek kinetikanya yang diperoleh untuk substrat, produk, dan biomassa adalah sebagai berikut:

(3.6)g sel h-1Biomassa:

(3.7)g L-1 h-1Glukosa:

(3.8)g L-1 h-1Xylose:

(3.9)g L-1 h-1Etanol:

Berdasarkan dari kapasitas yang telah ditentukan untuk memproduksi sebesar 65,75 kg/jam untuk dihasilkan sedemikian rupa maka diperlukan pengolahan data yang lebih lanjut. Persamaan di atas untuk beberapa komponen merupakan hasil penyerderhanaan dari bentuk persamaan sebagai berikut:

(3.10)

dimana YX/S adalah biomassa yang dihasilkan dari konsumsi substrat YP/S adalah produk yang dihasilkan dari konsumsi substrat ms adalah laju massa spesifik substrat yang dikonsumsi untuk maintenance

(3.11)Kondisi AnerobikHubungan dari persamaan-persamaan tersebut dapat dimodelkan dalam persamaan lau sebagai berikut:

dimana adalah derajat reduksi substrat adalah derajat reduksi biomassa adalah derajat reduksi produk

Tabel 3.10: Parameter substrat, biomassa, dan produk dalam fermentasi etanol (Sumber: Helle, Steve. 2004. Supplementing Spent Sulfite Liquor With Lignocellulosic Hydrolysate to Increase Pentose/Hexose Co-Fermentation Efficiency and Ethanol Yield. University of British Columbia: Vancouver)SenyawaFormulaFormula (C1)MWDerajat reduksi

GlukosaC6H12O6CH2O304

XylosaC5H10O5CH2O304

Zymomonas mobilis 8b-CH1.8O0.5N0.224.64.2

EtanolC2H6OCH3O0.5236

Gliserol C3H8O3CH8/3O30.674.67

XylitolC5H12O5CH2.4O30.44.4

Dari persamaan anaerobik ini maka dapat disubsitusikan ke dalam persamaan neraca massa sebelumnya sehingga dihasilkan sebagai berikut:

(3.12)

(3.13)

(3.14)dimana YX/S dan YP/S masing-masing adalah hasil biomassa berdasarkan substrat yang dikonsumsi dan produk yang terbentuk dalam keadaan anerobik. Hubungan dari YX/S dan YX/P serta ms dan mp adalah sebagai berikut:

(3.15)

Asumsi yang perlu untuk dilakukan adalah rasio jumlah produk hasil fermentasi etanol yang dihasilkan selalu tetap sehingga laju dilusi dari membrane bioreaktor dapat dikalkulasi.

(3.16)Hubungan antara laju pertumbuhan dan substrat dapat dimodelkan dengan persamaan sebagai berikut:

(3.17)Persamaan keduanya dapat digabungkan untuk diperoleh laju pertumbuhan spesifik Zymomonas mobilis 8b:

Berdasarkan jurnal diperoleh parameter-parameter fermentasi etanol dari xylosa dan glukosa sebagai berikut:Tabel 3.11: Parameter fermentasi etanol (Sumber: Helle, Steve. 2004. Supplementing Spent Sulfite Liquor With Lignocellulosic Hydrolysate to Increase Pentose/Hexose Co-Fermentation Efficiency and Ethanol Yield. University of British Columbia: Vancouver)ParameterXylosaGlukosa

max0.06/jam0.22/jam

Ks< 1 g/l5.4 g/l

YX/S0.10 g/g0.12 g/g

YP/S0.37 g/g0.48 g/g

(3.18)Persamaan laju pembentukan biomassa untuk keduanya secara kinetis dapat dimodelkan dengan:Glukosa:

(3.19)Xylosa:Sizing membrane bioreaktorBerdasarakan unit sebelumnya, masukan yang masuk ke dalam membrane bioreaktor ini adalah F4 = 687,466 kg/jam namun karena telah mengalami operasi sentrifugasi diasumsikan bahwa enzim selulase dapat terpisahkan sebesar 100%. Maka laju stream feed yang masuk ke dalam membrane bioreaktor adalah sebagai berikut:Komponen feed streamBesar laju feed stream(kg/jam)

Selulosa8,466

Air87,39

Glukosa589,49

Total685,346

Misalkan X yang merupakan jumlah Zymomonas mobilis 8b yang digunakan sebesar 0,5 kg

EtanolMaka hasil stream out yang dikeluarkan akan terdiri dari etanol dan 5,5% air dari stream mengacu pada jurnal Mokomole et al., 2012 dengan faktor separasi sebesar 58,2. Dengan demikan stream out-nya setelah mengalami membrane separasi adalah:

Dengan ini kita mampu menentukan besar volume dari membrane bioreaktor dengan perhitungan berikut ini berdasarkan residence/process time yang digunakan berdasarkan Mokomole et al., 2012 waktu proses fermentasi heksosa yang optimal adalah 22 jam maka, volume membrane bioreaktor yang diperlukan adalah:

Massa jenis dari campuran glukosa adalah 1 kg/jam sebab pada tahap ini air yang ada di dalam stream yang cukup besar sehingga massa jenis glukosa akan hampir sama dengan massa jenis air.

Menentukan Ukuran Tangki Volume tangki,

(3.20)Vaktor keamanan, fk = 20%Volume tangki,

Diameter tangki, dan tinggi tangki, Tinggi silinder: diameter Tinggi head : diameter Dengan, Volume silinder : Volume tutup: Volume tangki, Maka,

Untuk desain digunakan: Diameter tangki= 3,26 m Tinggi silinder, = Tinggi head, = Jadi total tinggi tangki, = Tebal shell dan tutup tangki Tebal shell

(3.21)

Dimana:t =tebal shell (in) c = factor korosi =0,013/tahunR =jari-jari dalam tangki (in) n =umur tangki =10 tahunP =tekanan design (psi)S = allowable stress =18750 psiE =jointefficiency= 0,9 Tekanan hidrostatis,

Tekanan desain,

Tebal shell, t

Dengan ini diperoleh persamaan berikut ini penentuan volume dari membrane bioreaktor dan memasukkan parameter ke dalam persamaan-persamaan yang terlibat di atas maka akan diperoleh volume bioreaktor sebesar (perhitungan mengacu pada referensi Mokomole et al., 2012).Volume dari membran bioreaktor ini selanjutnya akan didesain lebih lanjut dengan memperhatikan detail seperti diameter lumen dan shell mengacu pada referensi Mokomole et al., 2012 menjadi sebagai berikut:

Gambar 3.12: Desain membrane bioreaktor yang digunakan dalam fermentasi etanol dalam kasus ini(Sumber: Helle, Steve. 2004. Supplementing Spent Sulfite Liquor With Lignocellulosic Hydrolysate to Increase Pentose/Hexose Co-Fermentation Efficiency and Ethanol Yield. University of British Columbia: Vancouver)Membran yang digunakan terbuat dari keramik dengan diameter internal dan panjang masing-masing sebesar 6 x10-3 m dan 250 x 10-3 m yang terdiri dari macroporous support sebesar 6-8 m dan aktif layer pada bagian lumen sebesar 0.2 m. Perbandingan volume antara ruang pervaporasi dan ruang fermentasi adalah 1:1 (Mokomole et al., 2012). Asumsi yang diperlukan dalam permodelan membrane bioreaktor ini adalah:1) Liquid berada di dalam reaktor shell-side ini tercampur secara sempurna dan laju alir pencampuran menyerupai stirred tank reactor2) Transfer massa yang terjadi melalui membrane sel merupakan mekanisme difusi dan konveksi dalam koordinat silinder. Pertumbuhan sel di lain pihakterhambat di dalam macroporous antara ri dan ri + 3) Substrat dan nutrien memiliki laju alir tipe plug flow melalui membran4) Koefisien difusi substrat dan produk melalui lapisan membrane macroporous5) Konsentrasi substrat di lapisan membrane macroporous sama dengan konsentrasi substrat dalam keadaan bulk di dalam reaktor shell-side.

Proses perpindahan yang terlibat bersifat selektif sebab di dalam membrane digunakan liquid yang dapat mengekstraksi etanol saja dengan pelarut isotridecanol yang memiliki konsanta distribusi etanol yang sangat besar.

Gambar 3.13.Proses perpindahan massa etanol dengan tujuan mempurifikasi etanol(Sumber: Helle, Steve. 2004. Supplementing Spent Sulfite Liquor With Lignocellulosic Hydrolysate to Increase Pentose/Hexose Co-Fermentation Efficiency and Ethanol Yield. University of British Columbia: Vancouver)Neraca massa komponen di dalam membrane keramik dalam bioreaktor:

(3.25)(3.24)(3.23)(3.22)

Kondisi operasi yang akan diterapkan dalam membrane bioreaktor ini adalah sebagai berikut:Parameter kinetikKondisi ekperimen yang diterpakan pH 6 dengan suhu 30C

max0.32/jam

YX/S0.0349 g/g

YP/S0.4834 g/g

Maksimum konsentrasi etanol25.58 kg/l

Konversi gula100%

Produktivitas etanol265.5 kg/l/jam

Rentang pH6 5.2

4.4. Purifikasi Tahap Lanjut4.4.1. Deskripsi ProsesPurifikasi merupakan proses pemurnian suatu zat atau dengan cara pemisahan. Pada dasarnya terdapat berbagai macam metode purifikasi. Pada kasus ini, purifikasi yang sesuai dengan etanol sebagai zat yang mudah menguap (volatile) dapat dilakukan purifikasi dengan cara distilasi. Distilasi merupakan pemisahan zat berdasarkan perbedaan titik didih masing-masing komponen. Tujuan dari proses ini yaitu pemurnian bioetanol sebagai produk dari fermentasi. Pemurnian perlu dilakukan karena kebutuhan bioetanol baru dapat digunakan ketika bioetanol tersebut mencapai 98%.

4.4.2. ParameterTerdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi jalannya proses: Jenis tray Jumlah kolom / tray Diameter kolom Ukuran distilasi4.4.3. Langkah-langkahGambar sederhana fraksi uap cair etanol tersebut menerangkan bahwa feed etanol yang masuk ke dalam kolom distilasi akan terjadi proses perubahan fasa berulang. Mula-mula etanol 30% fraksi mol tersebut diuapkan hingga menyetuh kurva kesetimbangan.Kemudian uap tersebut terkondensasi dan menghasilkan fraksi mol etanol yang lebih besar. Perlakukan penguapan dan kondensasi secara berulang hingga mencapai kondisi pada sat titik azeotrop akan menghasilkan fraksi mol etanol 97.2 % (96.5% mass). Purifikasi tidak dapat dilanjutkan disebabkan adanya sifat azeotrop pada dua komponen pada keadaan fraksi tertentu.Sehingga diperlukan distilasi lanjut.

Gambar 3.14: Sistem distilasi etanol/airIkatan hidrogen menyebabkan interaksi molekul polar yang kuat.Ikatan hidrogen dapat memuat molekul lengeket dan membutuhkan kalor yang lebih tinggi untuk melakukan pemisahan.Larutan dengan ikatan hidrogen tersebut biasanya menunjukkan perilaku atau sifat sebagai azeotrop.Seperti pada kasus ini, etanol memiliki atom hidrogen yang langsung berikatan dengan oksigen.Oksigen tersebut masih memiliki dua elektron bebas seperti pada malekul air.Pemecahan ikatan hidrogen antar molekul etanol pun dapat meningkatkan perlekatan ikatan hidrogen antara molekul air dan etanol.Hal tersebut dapat meningkatkan kesulitan pemisahan campuran etanol dengan air.

Distilasi azeotropikAdanya ikatan hidrogen tersebut menyebabkan hasil distilasi sederhana hanya dapat menghasilkan etanol 95.6% w/w. Diperlukan purifikasi lebih lanjut sehingga etanol yang dihasilkan dapat mencapai 99.99%. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan distilasi lanjut menggunakan distilasi azeotropik. Distilasi azeotrop adalah proses pemisahan 2 senyawa yang bersifat azeotrop. Teknik pemisahan komponen ini melibatkan titik didih yang saling berdekatan dengan menambahkan komponen ketiga (entrainer) untuk membentuk titik didih minimal.Biasanya kolom distilasi ini sangat sulit untuk disimulasikan dan dioperasikan.Selain itu memerlukan biaya tambahan untuk penggunaan entrainer tersebut. Pada proses distilasi azeotropik, minimal kemurnian etanol pada inlet feed yaitu 95% karena pada saat tersebut etanol mendekati keadaan azeotrpik.

Gambar 3.15: Vapour-liquid equilibrium plot for the ethanol/water systemSecara umum, proses distilasi azeotropik dengan feed berupa etanol 95.6% dan entrainer berupa propana. Feed tersebut akan masuk kolom distilasi. Pada kolom distilasi terjadi perubahan fase cair uap.Perubahan fasa secara berulang kali menyebabkan fraksi etanol semakin besar.Hasil distilat berupa uap campuran dari ketiga zat tersebut yang kemudian didinginkan menggunakan kondenser.Pada kondenser terdapat aliran berupa aliran balik (reflux) menuju kolom distilasi untuk pemurnian ulang.Sedangkan pada bagian bottom dihasilkan etanol 99.99%.

Gambar 3.16: PFD distilasi azeotropik

4.4.4. ParameterSelain parameter yang terdapat pada distilasi awal, pada distilasi ini pun terdapat parameter tambahan, seperti: Jenis entrainer yang digunakan Besar laju alir feed atau inlet stream Kondisi operasi:Laju masuk feed = Tekanan kolom = 50 psiaSuhu kondenser= titik jenuh pada 44 psia

4.4.5. Langkah-langkah1. Menentukan fraksinasi propana, etanol, air pada setiap proses.

Gambar 3.17: .Residue curve map, n-pentene/ethanol/water by non-random two liquidTabel 3.13: Fraksinasi persen mol distilasi azeotropikKomposisiTop Tray (%)Left Phase (%)DecantRight Phase (%)Reflux

Pentane82,756%0,43%87,88%

Ethanol12,326%23,81%11,60%

Water5,018%75,76%0,52%

2. Penentuan kondisi inlet stream (laju masuk)Sebagai acuan digunakan etanol 89.5%InletTop Tray (%)Left Phase (%)Right Phase (%)

Pentane82,756%0,43%87,88%

Ethanol204,6412,326%23,81%11,60%

Water515,018%75,76%0,52%

3. Neraca massa pada left phase (decant) Laju alir H2O pada left phase = Laju alir masuk H2O

Total laju alir pada decant = air + etanol + pentana pada left phaseInletTop TrayLeft Phase (decant)Right Phase (reflux)product

Pentane0,09301,510,09301,14

Ethanol105,1644,915,1639,75100,00

Water16,4118,2816,411,78

TOTAL364,3421,66342,68

4. Neraca massa pada right phase (reflux) Lever