re)italisasi 'ungsi kehumasan di perguruan tinggi...
TRANSCRIPT
183PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
1. Pendahuluan
Dalam konteks keberadaan dan kebermaknaan suatu organisasi, peran komunikasi tidaklah dapat
dikesampingkan atau diabaikan sama sekali. Harris & Nelson (2008) mengungkapkan, bahwa komunikasi
merupakan sebuah proses dalam upaya memahami perspektif masing-masing yang terlibat di dalam atau
dengan siapa organisasi tersebut sekaligus mekanisme kesisteman dalam mengupayakan kesadaran tentang
proses interaksi dan keterkaitan satu sama lain yang berkepentingan dengan organisasi. Kesuksesan
berkomunikasi adalah tercapainya pengertian bersama antara apa yang dikehendaki oleh pengirim pesan
dan yang diterjemahkan oleh penerima pesan. Bell & Martin (2014) menandaskan, dibutuhkan kapasitas
kepemimpinan komunikatif sekaligus komunikasi secara tim dalam rangka memastikan substansi pesan
dipahami oleh semua pihak yang terkait. Hal senada juga diungkapkan oleh Holtzhausen & Zerfass (2013)
akan pentingnya semacam komunikasi strategis yang didesain dan diarahkan untuk menjangkau khalayak
sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Hal ini tentunya akan mempertimbangkan aspek-
aspek seperti siapa pemangku kepentingan yang terlibat, bagaimana pesan tersebut dirancang dan dengan
media apa disampaikan sehingga mewujud pada konsistensi perilaku khalayak sebagaimana yang
diharapkan Holtzhausen & Zerfass (2015).
Mekanisme komunikasi yang dapat menerjemahkan hubungan antara organisasi dengan pemangku
kepentingan atau khalayaknya, salah satunya adalah melalui kehumasan. Hal tersebut dilandasi oleh
konsepsi dasar kehumasan yang melingkupi aspek pertimbangan, perencanaan, kinerja, kepentingan publik,
komunikasi dua arah dan fungsi manajerial (Wilcox, Cameron & Reber, 2015). Kehumasan memampukan
organisasi untuk membangun interaksi yang baik dan berkesinambungan dengan publiknya. Cutlip &
Center (2000) mengungkapkan hakikat dari kehumasan sebagai manajemen yang khas dengan fungsi utama
REVITALISASI FUNGSI KEHUMASAN DI PERGURUAN TINGGI :
STUDI DI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Wisnu Widjanarko dan Tri Nugroho Adi
Staf Pengajar Program Studi S2 Ilmu Komunikasi FISIP UNSOED
e-mail : [email protected]
ABSTRAK:
Kehumasan memiliki makna strategis sebagai upaya membangun, memelihara dan meningkatkan
kualitas hubungan antara suatu organisasi dengan pemangku kepentingannya, termasuk dalam hal
ini perguruan tinggi. Melalui partisipasi dan sinergi dari semua pihak yang terkait, perguruan tinggi
diharapkan dapat berkontribusi dalam mewujudkan keunggulan dalam pendidikan, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat. Salah satu perguruan tinggi yang memiliki lembaga kehumasan adalah
Universitas Jenderal Soedirman yang memiliki tugas melaksanakan kerjasama dan pemberian layanan
informasi serta publikasi. Riset ini mencoba melakukan pengkajian fungsi yang dimandatkan kepada
Bagian Kerjasama dan Hubungan Masyarakat sebagai mekanisme dalam melaksanakan tugas
pokoknya. Menggunakan pendekatan studi kepustakaan, maka didapatkan hasil bahwa aspek
pengelolaan dan analisa pemangku kepentingan belum tercermin sebagai instrumen dalam rangka
memenuhi tugas pokoknya, yang tentunya akan potensial untuk mengurangi kesempatan dalam
mewujudkan hubungan yang baik dan berkelanjutan dengan khalayak. Melalui fungsi pengelolaan
pemangku kepentingan, diharapkan akan dapat membangun kelekatan sekaligus mereduksi friksi
yang tidak konstruktif bagi institusi. Sedangkan melalui fungsi analisa pemangku kepentingan,
diharapkan akan menghasilkan sebuah kajian strategis yang melandasi produksi material informasi
dalam proses komunikasi publik.
Kata Kunci : Kehumasan, Pemangku Kepentingan, Revitalisasi Fungsi, Perguruan Tinggi
184 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
membangun dan mempertahankan kokohnya hubungan yang saling menguntungkan antara suatu lembaga
dengan khalayaknya. Heath (2013) menandaskan bahwa kehumasan tidak semata menyediakan dan
memberikan layanan informasi belaka, melainkan berusaha untuk memberadakan organisasi melalui
informasi yang ada dan dikomunikasikannya, untuk mendapatkan dan membangun reputasi yang postif
dan memenuhi kepentingan kedua belah pihak dalam bingkai saling memberikan kemanfaatan bagi kedua
belah pihak. Dengan kata lain, kehumasan memiliki makna dan peran strategis dalam mewujudkan kualitas
hubungan antara organisasi dengan publiknya. Dia memberikan dampak strategis dan berkelanjutan dalam
dinamika organisasi sekaligus kepentingan pemangku kepentingan.
Organisasi yang membutuhkan fungsi kehumasan sebagai media komunikasi antara organisasi
dengan publiknya diantaranya adalah perguruan tinggi. Berdasarkan Buku Statistik Pendidikan Tinggi
2017, terdapat 3.276 lembaga perguruan tinggi yang melayani 6.924.511 mahasiswa dengan jumlah dosen
sebesar 247.269 orang serta tersebar di seluruh Indonesia. Bila kita melihat luaran kampus adalah pada
lulusan yang berkapasitas, adaptif dan berdayasaing serta hasil-hasil riset akademisi yang kontributif dan
inovatif, maka kita bisa mengatakan bahwa kehumasan sejatinya memiliki peran yang naif bila dia
ditiadakan, khususnya dalam menjembatani relasi antara institusi perguruan tinggi itu sendiri dengan
publik.
Satu dari lebih tiga ribu perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed)
sebuah perguruan tinggi negeri di lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang
berada di Purwokerto, Jawa Tengah. Secara kelembagaan kehumasan, tugas dan fungsi kehumasan
terwadahi dalam unit kerja Bagian Kerjasama dan Hubungan Masyarakat sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 21 Tahun 2014 yang selanjutnya diubah dalam
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No. 10 Tahun 2016 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Universitas Jenderal Soedirman. Tidak hanya itu, untuk memastikan pelaksanaan tugas dan
fungsi, maka diterbitkan Keputusan Rektor Universitas Jenderal Soedirman No. Kept.2806/UN23/OT.02/
2014 tentang Rincian Tugas Unit-Unit Kerja di Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman yang termasuk
di dalamnya adalah rincian tugas di Bagian Kerjasama dan Hubungan Masyarakat. Beranjak dari hal
tersebut, menarik untuk diteliti adalah sejauhmana regulasi yang ada dapat menerjemahkan konsep
kehumasan dalam mendukung pelaksanaan tugas pokok yang dimandatkannya.
2. Tinjauan Pustaka
Kehumasan adalah meniscayakan akan pentingnya elemen komunikasi dalam suatu organisasi. Hal
ini didasarkan bahwa organisasi merupakan kesisteman dan interaksi yang melibatkan adanya hubungan
yang berkaitan dengan kewenangan dan maslahat yang ditimbulkan dari proses tersebut (Barnard, dalam
Champoux, 1996). Adalah Harris & Hartman (2002) yang menjelaskan akan kebutuhan komunikasi dan
informasi dalam suatu organisasi. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Harris & Nelson
(2008) akan pentingnya komunikasi di dalam organisasi. Tidak hanya itu, konsekuensi dari sebuah
organisasi yang merupakan seperangkat relasi antar subsistem di dalam sistem, maka dimensi dan desain
organisasi akan turut serta mempengaruhi performa atau kinerja dari institusi tersebut (George & Jones,
2012)
Dalam konteks inilah, maka dibutuhkan suatu pendekatan strategis dalam kehumasan khususnya
pada aspek perencanaan, mengingatnya sifatnya yang berdampak pada upaya pengembangan organisasi,
khususnya melalui relasi dengan pemangku kepentingannya. Perencaan yang tepat akan membantu manajer
kehumasan dalam mengelola komunikasinya, baik dari aspek taktis maupun strategis. Smith (2005)
memperkenalkan konsep tentang The Nine Steps of Strategic Public Relations yang dibagi dalam empat klaster,
yakni riset dasar, strategi, taktik dan riset evaluatif. Dari keempat klaster tersebut, riset dasar memainkan
peran strategis, karena akan sangat melandasi penyusunan strategi dan taktik serta tentunya menjadi dasar
dari proses evaluasi yang terhadap apa-apa saja yang dilakukan. Riset dasar menjadi kunci penentu, dalam
pengembangan organisasi kehumasan, yang diterjemahkan dalam tugas, fungsi dan kewenangan yang
diterjemahkan dalam program, kegiatan bahkan anggaran.
Dipaparkan Smith, bahwa pada riset dasar, ada tiga tahapan yang terintegrasi dan menjadi satu
kesatuan utuh dalam proses penguatan organisasi, yakni analisa situasi, organisasi dan khalayak. Analisa
situasi meliputi kemampuan membaca rintangan dan peluang yang ada, sekaligus kecermatan dalam
185PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
mengelola isu serta resiko yang berpotensi mengancam kemajuan bahkan keberlangsungan lembaga. Analisa
organisasi meliputi kapasitas dalam menyusun alternatif struktur organisasi, menetapkan standar kinerja
dan instrumen pencapaian kehumasan, mentransformasikan keunikan sebagai milik bersama, memahami
penyebab munculnya hambatan internal yang ada, mengidentifikasi publik yang sesuai dengan kategori
(pendukung, kompetitor dan oponen) hingga memonitoring dan evaluasi informasi terkait situasi eksternal
organisasi. Sedangkan analisa khalayak adalah kemampuan untuk memahami keinginan, ketertarikan,
kebutuhan dan harapan yang terkait dengan isu seputar organisasi dan publik, aksesibilitas dan keterlayanan
informasi bagi publik, perilaku berkomunikasi dari perwakilan publik / pemuka pendapa, referensi
Kepribadian dari perwakilan publik / pemuka pendapat termasuk status ekonomi sosial publik
Selanjutnya, Smith mengungkapkan bahwa aspek formulasi strategi akan menggambarkan
bagaimana secara taktis kerja-kerja kehumasan dapat terealisasikan. Fokus dari strategi kehumasan adalah
penetapan tujuan, yakni bagaimana mengelola reputasi, mengelola hubungan dengan baik serta memastikan
tugas-tugas dapat terlaksana sebagaimana yang telah ditetapkan. Seluruh tujuan tersebut haruslah terukur,
berdampak, menjawab kebutuhan pemangku kepentingan serta yang tidak kalah pentingnya hal tersebut
diterima oleh seluruh elemen organisasi termasuk menghadirkan dimensi ketertantangan tersendiri untuk
mencapainya. Untuk mencapai tersebut, maka salah satunya dengan menggunakan strategi proaktif, berupa
performa organisasi yang merupakan luaran dari target atau penugasan yang ditetapkan.
3. Metodologi
Riset ini menggunakan pendekatan studi kepustakaan dengan melakukan penelaahan terhadap
peraturan yang berkaitan dengan lembaga kehumasan di Universitas Jenderal Soedirman. Subjek penelitian
adalah Bagian Kerjasama dan Hubungan Masyarakat dan objek penelitian adalah peraturan-peraturan
yang memiliki dampak hukum dan kewenangan dalam kaitan tugas pokok dan fungsinya. Teknik
pengumpulan data melalui dokumen tertulis yang memiliki relevansi secara teoretik dan aplikasi
kehumasan. Sedangkan analisa data dilakukan secara interaktif melalui proses reduksi dan penyajian
data serta penarikan kesimpulan.
4. Hasil Penelitian
Dalam perspektif kelembagaan pada pemerintahan, kedudukan bagian adalah manajemen madya
sekaligus pucuk pimpinan di levelnya. Dalam klasifikasi sebagai manajemen madya, karena kedudukannya
sebagai penerjemah dari kebijakan dan strategi yang merepresentasikan kapabilitas dan pencapaian tujuan
institusi. Pada saat yang sama, bagian berada di puncak hirarki jabatan administrasi yang berkewenangan
memimpin penyelenggaraan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan. Dengan
kata lain, maka legitimasi kehumasan dalam wadah bagian yang dipimpin oleh pejabat tertinggi
administrator menunjukkan peran strategis dan kebermaknaan dari unit kerja tersebut di Unsoed.
Keberadaan kelembagaan kehumasan di Unsoed secara definitif dimulai sejak tahun 2009, dengan
diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 25 Tahun 2009 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Universitas Jenderal Soedirman. Dalam peraturan tersebut, Bagian Hubungan Masyarakat
memiliki tugas melaksanakan administrasi kegiatan hubungan masyarakat, yang dalam pelaksanaannnya
diterjemahkan melalui fungsi pelaksanaan kegiatan hubungan masyarakat dan pelayanan informasi.
Selanjutnya, pada tahun 2014, kelembagaan kehumasan di Unsoed mendapatkan perluasan mandat dengan
pengalihan fungsi kerjasama dari Bagian Akademik. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan No. 21 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja yang Universitas Jenderal Soedirman
di mana Bagian Hubungan Masyarakat berubah menjadi Bagian Kerjasama dan Hubungan Masyarakat
yang memiliki tugas melaksanakan kerjasama serta pemberian layanan informasi dan publikasi sebagaimana
diatur dalam Pasal 46 pada peraturan tersebut. Berdasarkan hal itu, , maka kita dapat mengatakan definisi
kehumasan secara penugasan di lingkungan Unsoed adalah pemberian layanan informasi dan publikasi.
Hal ini kemudian dipertegas dalam Pasal 47 yang menyebutkan dalam pelaksanaan tugas tersebut, maka
selain fungsi kerjasama, adalah fungsi-fungsi berupa pemberian layanan informasi dan dokumentasi,
kegiatan publikasi, urusan protokoler dan promosi kegiatan.
Hasil analisis dokumen regulasi menunjukkan bahwa aspek utama luaran kehumasan yakni
membangun dan memelihara hubungan baik dan saling pengertian antara organisasi dengan khalayaknya
186 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
justru belum termunculkan secara eksplisit sebagai tugas yang harus dijalankan. Dalam tugas maupun
fungsi sebagai mekanisme pelaksanaan tugas, tidak dijumpai fungsi komunikasi dengan pemangku
kepentingan, baik internal maupun eksternal. Tidak juga dijumpai fungsi pengelolaan reputasi dan
komunikasi resiko serta krisis. Pula dalam regulasi tersebut belum juga ditemukan fungsi analisa pemangku
kepentingan sebagai think tank dari insitusi untuk mengelola isu hingga menerjemahkannya dalam pesan
hingga memilih kanal komunikasi yang ada. Terdapat kecenderungan lebih dominannya aspek teknis
penyelenggaraan kehumasan belaka, dan terkesan aspek perencanaan, pengembangan, penyeliaan dan
evaluasi kehumasan justru belum terlihat, dan implikasinya adalah bahwa pada aspek pengelolaan dan
aspek analisa terhadap pemangku kepentingan menjadi tidak secara spesifik sebagai fokus dari tugas
yang seharusnya diemban dari unit kerja setingkat bagian. Walhasil ketika tugas utamanya ditetapkan
justru lebih berdimensi teknis, yakni pemberian layanan informasi, maka bagian sebagai yang memimpin
dan mengkoordinasi sub-sub bagian akan menjadi tereduksi bahkan terduplikasi peranannya justru dengan
unit kerja di bawahnya. Padahal, yang dibutuhkan pada unit setingkat bagian adalah aspek manajemen
yang mendukung dan menjamin keberlanjutan organisasi, menjaga dan memelihara kepuasan pemangku
kepentingan serta memastikan bagaimana reputasi dan tata kelola resiko dan krisis dapat mewujudkan
hubungan yang baik dan berkelanjutan itu sendiri.
Padahal peranan pengelolaan pemangku kepentingan di Unsoed sebagai perguruan tinggi sangatlah
strategis, mengingat keragaman publik sekaligus kepentingannya. Dalam dimensi internal, perguruan tinggi
memiliki dua kelompok publik, yakni dosen dan tenaga kependidikan yang karakteristik, kepentingan,
tugas dan orientasi karirnya berbeda meskipun saling melengkapi satu sama lain dan dalam tujuan yang
sama, yakni mewujudkan terselenggaranya tridharma perguruan tinggi. Sedangkan dalam dimensi
eksternal, maka jauh lebih meluas lagi, mulai dari otoritas kewenangan dalam hal ini pemerintah,
masyarakat, media massa, akademisi, industri, kelompok kepentingan, pengguna lulusan, mitra kerjasama
penerima manfaat luaran kampus hingga tentunya mahasiswa sebagai publik eksternal yang paling sentral.
Serupa dengan publik internal, maka hal-hal seperti kebutuhan, karakter serta keinginannya satu sama
lain berbeda, meski pun kesemuanya dipersatukan oleh keinginan untuk mendapatkan pelayanan yang
terbaik dan merasakan kepuasan dalam proses interaksi dengan perguruan tinggi.
Ketiadaan secara spesifik tugas pengelolaan pemangku kepentingan, berdampak pada kejelasan
kewenangan dan ruang lingkup, termasuk potensi tumpang tindih dengan unit kerja lain. Hasil telaahan
menunjukkan, bahwa fungsi kehumasan yang dinisbatkan dalam bentuk pelayanan informasi ternyata
bertumpang tindih dengan sebagian tugas dari Bagian Informasi yang sama-sama di bawah Biro
Perencanaan, Kerjasama, Informasi dan Hubungan Masyarakat, yakni layanan informasi. Padahal, salah
satu dimensi dari pengelolaan pemangku kepentingan adalah penyediaan informasi yang dibutuhkan
oleh publik, sehingga terbangun kesamaan persepsi dan pemenuhan kepentingan atau kebutuhan yang
diperlukan oleh publik tentang organisasi. Dampaknya terasakan secara teknis, yakni hal-hal seperti terkait
keterbukaan informasi publik dan pelayanan terpadu yang rentan diperdebatkan terkait siapa yang memiliki
otoritas atau kewenangannya.
Ikhwal dalam mengelola pemangku kepentingan, sesungguhnya membutuhkan pengetahuan tentang
siapa dan bagaimana publik tersebut. Tentunya, dibutuhkan analisa yang komprehensif mengenai
kepentingan dan kebutuhannya, termasuk perilaku dasar komunikasinya, sehingga dapat secara tepat
memahami mekanisme berkomunikasinya. Oleh karenanya, secara simultan, perlu diidentifikasi opini
atau pendapat khalayak mengenai institusi. Organisasi tidaklah meletakkan publiknya sebagai objek,
melainkan sebagai subjek yang memiliki kemandirian dalam sikap maupun perilakunya. Hal ini didasari
oleh strategisnya makna persepsi pemangku kepentingan terhadap organisasi, terlebih partisipasinya dalam
kemajuan pengembangan institusi. Kondisi terjadi karena pemangku kepentingan adalah yang terdampak
dari suatu luaran organisasi, memiliki rasa kepemilikan dan tentunya berkontribusi pada lembaga. Untuk
itu, maka hubungan timbal balik yang bersifat saling menguntungkan, hakikatnya berdampak pada
kemanfaatan organisasi, dalam hal ini perguruan tinggi.
5. Diskusi
Problem terbesar dari organisasi kehumasan adalah keterjebakan dan tarik-menarik antara aspek
manajemen dan teknis. Padahal, bila merujuk pada Broom’s (1982), sesungguhnya hal tersebut keliru adanya
187PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
mengingat terdapat empat peran kehumasan yang berbeda walau saling berkelindan, yakni sebagai seorang
penentu, fasilitator komunikasi, fasilitator dalam memecahkan permasalahan hingga sebagai teknisi
komunikasi. Artinya, menjadi naif ketika memahami konsep manajemen kehumasan dengan
mengesampingkan aspek teknis, sebagaimana akan menjadi kehilangan arah dan panduan ketika
mengedepankan teknis tanpa aspek perencanaan strategis.
Hal ini tentu saja berlaku perguruan tinggi, termasuk Unsoed sebagai lembaga yang memiliki
pemangku kepentingan yang beragam baik dari karakter maupun kepentingannya. Oleh karenanya,
dibutuhkan suatu penguatan kapasitas kehumasan, khususnya dalam penetapan tugas dan fungsi. Institusi
kehumasan harus memiliki konsepsi strategis yang berdampak pada upaya mendukung terwujudnya visi
dan misi organisasi. Untuk menetapkan tugas dan fungsi suatu lembaga, maka yang terlebih dahulu
dilakukan adalah kemampuan memprediksikan masa depan, kritis, inovatif, akseleratif sekaligus
mempertimbangkan berbagai aspek sehingga luaran kerjanya terukur dan berkesinambungan.
Oleh karenanya, diperlukan kemampuan apa yang disebut oleh Smith (2005) sebagai analisa situasi,
organisasi dan khalayak sebagai dasar untuk menentukan strategi dan taktis. Dalam konteks revitalisasi
tugas dan fungsi kehumasan di Unsoed, aspek strategis dapat dianalogikan sebagai tugas yang menjadi
mandat atau kewenangan di tingkat bagian, sedangkan aspek taktis menjadi wilayah otoritas di sub bagian.
Tahapan awal yang dilakukan adalah melakukan analisa situasi, yakni memahami kekhasan keadaan yang
dihadapi oleh Unsoed, termasuk kejelian dalam membaca situasi yang berpeluang untuk pengembangan
institusi atau berpotensi mengurangi percepatan kemajuan lembaga. Dalam fase ini, maka peran pemimpin
unit kerja di Bagian Kerjasama dan Hubungan Masyarakat Unsoed akan sangat strategis dalam menafsirkan
keadaan, khususnya kecermalatan dalam memahami isu serta sejauhmana dia memiliki kesadaran akan
resiko dan krisis yang rentan terhadap Unsoed.
Tahapan berikutnya adalah analisa organisasi, yakni keinsyafan pimpinan unit dalam memahami
kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh unit kerjanya, serta pemahaman terhadap lingkungan internal
dan eksternal, khususnya dalam proses interaksi dan relasi berbasis kewenangan dan tanggung jawab
yang berhubungan dengan kualitas pekerjaan. Hal ini juga berkaitan dengan identifikasi mengenai struktur,
performa kinerja selama ini serta hambatan dan solusi untuk menyiasati kendala. Selanjutnya, yang tidak
kalah penting adalah mengenal khalayak, dari tipologi, kepentingan dan sejauhmana implikasi strategis
dalam berinteraksi dengan organisasi. Berdasarkan tahapan itulah maka kita baru dapat merumuskan
tugas dan fungsi kehumasan yang menjawab orientasi kehumasan yang sesungguhnya sebagai manajemen
yang khas dalam mengelola hubungan yang baik dan berkelanjutan dengan publik, termasuk membangun
kelekatan sekaligus mereduksi friksi yang tidak konstruktif bagi institusi. Atau dengan kata lain, dibutuhkan
suatu analisa pemangku kepentingan yang diharapkan akan menghasilkan sebuah kajian strategis yang
melandasi produksi material informasi dalam proses komunikasi publik di Unsoed.
Secara ideal, revitalisasi fungsi kehumasan akan berimplikasi pada perubahan struktur organisasi
yang lebih dapat menjawab dinamika dan kepentingan organisasi serta pemangku kepentingannya. Namun
demikian, perubahan organisasi terlebih di instansi pemerintah membutuhkan proses yang panjang, dan
tentunya akan sangat berkaitan dengan keseluruhan organisasi, termasuk karir aparatur dan kebijakan
anggaran. Tentu saja, bukan berarti perubahan tidak dapat dilakukan, melainkan berpendekatan moderat
dengan fokus pada komitmen menerjemahkan tugas yang tertera dalam aturan yang ada dalam fungsi
yang secara spesifik berorientasi kehumasan, yakni pengelolaan dan analisa pemangku kepentingan Ada
pun pengelolaan pemangku kepentingan dapat diwujudkan melalui fungsi komunikasi internal dan
eksternal serta manajemen strategis, sedangkan analisa pemangku kepentingan dapat diwujudkan melalui
promosi, pengelolaan aspirasi publik serta analisa opini publik.
6. Kesimpulan
Revitalisasi fungsi kehumasan di Unsoed adalah sebuah kebutuhan, mengingat kecenderungan
dominansi unsur teknis alih-alih manajerial, potensi multitafsir dan bias atas substansi kehumasan serta
tumpang tindih kinerja dengan unit kerja yang lain atas tugas atau kewenangan yang ada. Hakikat
kehumasan sesungguhnya mewujudkan hubungan yang baik dan berkelanjutan sehingga dapat
menghadirkan persepsi dan partisipasi publik yang positif dan konstruktif serta berdampak strategis bagi
pengembangan lembaga. Unsoed tentunya sangat berkepentingan dengan dukungan dan peran serta
188 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
masyarakat tersebut, khususnya dalam rangka peningkatan kualitas lulusan dan luaran riset dan pengabdian
masyarakat yang terasakan kemanfaatannya di masyarakat. Oleh karenanya, revitalisasi kehumasan melalui
penekanan pada aspek pengelolaan dan analisa pemangku kepentingan, sejatinya merupakan keniscayaan
yang memampukan institusi untuk memahami sekaligus memenuhi kebutuhan pemangku kepentingannya
dan berdampak pada kebermaknaan serta keberlanjutan Unsoed dalam berkontribusi dalam peningkatan
daya saing bangsa.
7. Daftar PustakaBell, R.L & Martin, J.S. (2014). Managerial Communication, Bussiness Expert Press, New York
Champoux, J.E. (1996). Organizational Behavior : Integrating individuals, groups and organization, Routledge,New York
Cutlip, S.M & Center, A.H. (2000). Effective public relations, Prentice Hall, Madison
George, J.M & Jones, G.R. (2012). Understanding and Managing Organizational Behavior 6th Edition, PrenticeHall, New Jersey
Harris, J.O & Hartman, S.J. (2002). Organizational Behavior, Best Business Book, New York
Harris, T.E., & Nelson, M.D., (2008). Applied Organizational Communication : Theory and Practice in a GlobalEnvironment, 3rd Edition, Taylor & Francis, New York
Heath, R.L. (2013). Public Relations. In Heath, R.L. (Ed). Encyclopedia of Public Relations 2nd Edition, SAGE,California
Holtzhausen, D & Zerfas, A. (2015). Strategic Communication : Opportunities and Challenge of The ResearchArea. In Holtzhausen, D & Zerfas, A (Eds). The Routledge Handbook of Strategic Communication, Routledge,New York
_______________________ (2013). Strategic communication—Pillars and perspectives on an alternateparadigm. In K. Sriramesh, A. Zerfass, & J.-N. Kim (Eds.), Current Trends and Emerging Topics in PublicRelations and Communication Management , Routledge New York
Pusdatin Iptek Dikti (2017). Statistik Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi,Jakarta
Smith, R.D. (2005). Strategic Planning for Public Relations, LEA, New Jersey
Wilcox, D.L., Cameron, G.T & Reber, B.H. (2015). Public Relations : Strategis & Tactics 11th edition, Pearson,New York
189PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Pendahuluan
Demokrasi perwakilan atau sering juga disebut demokrasi tak langsung adalah tipe demokrasi
dimana pemerintahan oleh rakyat dilaksanakan melalui mekanisme perwakilan yang dipilih melalui
pemilihan umum. (Held, 2005) Tipe model demokrasi perwakilan inilah yang diadopsi oleh banyak negara
demokrasi saat ini. Faktor semakin kompleksnya pemerintahan, jumlah penduduk dan luas wilayah tidak
lagi memungkinkan diselenggarakannya sistem demokrasi langsung sebagaimana dilakukan di polis-polis
Yunani di masa lampau. Masalah yang kemudian muncul dari sistem perwakilan ini adalah masalah yang
mendasar yang tercakup dalam pertanyaan-pertanyaan berikut ini: pertama, apakah yang disebut sebagai
pemerintahan oleh rakyat itu? Kedua, sejauhmana rakyat bisa melakukan ‘pemerintahan sendiri?’Ketiga,
bagaimana rakyat melaksanakan fungsi ‘pemerintahan oleh rakyat’ itu? (Held, 2005)
Pasca Reformasi di Indonesia, untuk tingkat nasional ada tiga jenis pemilihan umum yang dilakukan
sekali dalam lima tahun. Hal ini ditegaskan dalam pasal 22 E ayat (2) UUD NRI 1945 mengatakan “Pemilihan
umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (UUD NRI
Tahun 1945 Setelah Perubahan Ketiga). Sebagai turunan dari aturan penyelenggaraan pemilu itu disusun
aturan-aturan yang diperlukan.
Secara umum berikut susunan urutan jenis peraturan atau regulasi pemilu di Indonesia:
ABSTRAK:
Salah satu indicator dari system pemerintahan yang demokratis adalah perubahan penguasa (the
ruler) dilaksanakan melalui system pemilihan secara berkala. Sementara itu peserta pemilunya
sebagian besar adalah Partai Politik. Maka, pemilihan umum menjadi indicator utama dalam system
yang demokratis, dan isu penyelenggaraan pemilu sudah dianggap suksesi pemeritahan yang harus
dilakukan semestinya. Dalam hal ini undang-undang sebagai aturan main dalam pemilu adalah hal
yang menentukan nasib partai politik. Salah satu yang menyebabkan Undang-undang selalu berubah
adalah karena kepentingan partai politik yang berbeda-beda. Dan hal ini jugalah yang menyebabkan
perdebatan yang cukup alot dalam pembentukan UU No.7 Tahun 2017. Tulisan ini mengungkap
bagaimana koalisi yang terjadi antarfraksi yang mewakili partai politik dalam pembentukan UU
No.7 tahun 2017. Koalisi dalam pembentukan UU ini adalah hal yang tidak terhindarkan karena
koalisi politik dalam suatu Negara merupakan keniscayaan bagi negara yang menggunakan system
multipartai seperti Indonesia. Dapat dikatakan koalisi menjadi prasyarat karena pemilihan umum
tidak mampu menghasilkan suara mayoritas di parlemen. Kajian ini menarik mengingat selama ini
kajian tentang koalisi lebih banyak dilakukan dalam lingkungan system parlementer daripada system
presidensial. Kajian-kajian yang ada menunjukkan bagaimana koalisi dilakukan untuk membentuk
pemerintahan (Office Driven) dan untuk membahas kebijakan (Policy Driven).
Kata Kunci : Koalisi, Tawar menawar, RUU Pemilu 2017
DINAMIKA KOALISI FRAKSI-FRAKSI DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-
UNDANG NO. 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM
Kartika Lestari Sianipar, Chusnul Mar’iyah
Universitas Indonesia
190 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Idealnya, semua jenis kebijakan dilakukan semata-mata untuk mencapai kesejahteraan publik. Namun
pada akhirnya faktor politik tidak bisa terhindarkan dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk dalam
penyusunan peraturan pemilihan umum di Indonesia. Dalam kebijakan publik secara umum, faktor politik
terjadi karena adanya beragam tafsiran dan pemahaman atas apa itu kesejahteraan umum dan bagaimana
cara mencapainya. Sedangkan dalam politik kebijakan publik mengenai peraturan pemilu, dapat dilihat
bagaimana masing-masing aktor yang terlibat di dalamnya berusaha mendapatkan sistem pemilu yang
paling memungkinkan untuk menjadikan aktor tersebut sebagai pemenang (Kumar, 2002).
RUU Pemilu sering disebut sebagai RUU yang mencerminkan kepentingan kepentingan aktor-aktor
yang terlibat di dalamnya. Hal ini misalnya dikatakan oleh pakar hukum tata negara Jimly Asshidiqie
(Erdianto, 2017), Ray Rangkuti (Fachrudin, 2017) dan Titi Anggraini (Pollycarpus, 2017). Indikatornya
adalah kuatnya perdebatan dalam beberapa isu-isu yang dianggap sensitif. Karena isu-isu sensitif itu,
pengesahan RUU Pemilu sempat tertunda beberapa kali meskipun sudah masuk dalam Pembicaraan
Tingkat II (Sidang paripurna). Pada akhirnya RUU tersebut disahkan pada 20 Juli 2017 dari jadwal
sebelumnya yang direncanakan pengesahannya pada 20 April 2017.
Adapun isu-isu sensitif yang dimaksud adalah sebagai berikut (Tashandra, 2017):
a. Sistem pemilu dimana semula ada upaya dari beberapa partai untuk menggunakan kembali sistem
pemilu proporsional tertutup. Sistem proporsional terbuka dianggap membuat persaingan tidak saja terjadi
antar partai tapi juga internal partai. Sistem ini dianggap meningkatkan biaya politik yang dipicu oleh
potensi politik uang (money politics) (Prastiwi, 2017).
b. Ambang batas pencalonan presiden untuk Pemilu 2019 yang ditetapkan sebesar 20% dari kursi parlemen
atau 25 % suara sah nasional dari hasil Pemilu 2014. Ada dua aspek yang diperdebatkan dalam hal ini:
pertama, aspek besaran ambang batas. Partai-partai kecil keberatan dengan ambang batas yang dianggap
terlalu besar (Waskita, 2017). Sebaliknya, pihak yang mendukung mengkhawatirkan jika presidential
treshold tidak diperbesar maka akan muncul banyak sekali calon dan pemerintahan yang terbentuk tidak
stabil (Tashandra, Nabilla, 2017). Beberapa partai mengusulkan ambang batas 5% bahkan 0% sebagai
tandingan dari keinginan partai-partai besar seperti PDIP dan Golkar yang sebesar 20%. Kedua, aspek
rujukan yang merujuk pada hasil Pemilu 2014. Menurut pihak yang kontra, pemilu 2019 dilakukan secara
serentak sehingga tidak relevan jika memakai hasil Pemilu 2014 sebagai rujukan (Tashandra, Nabilla, 2016).
c. Ambang batas parlemen yang naik menjadi 4% dari sebelumnya 3,5%. Kenaikan ini dinilai memberatkan
bagi partai-partai kecil (Mustakim, 2017).
d. Metode konversi suara dimana ada setidaknya dua pilihan yang metode Saint Lague murni dan Kuota
Hare. Partai-partai besar mendukung metode konversi saint lague murni. Sebaliknya, partai menengah
dan kecil mendukung sistem Kuota-Hare. Konsep mengenai partai menengah dan kecil sendiri dalam hal
191PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
ini lebih merupakan istilah yang diacukan pada jumlah perolehan suara/ kursi pada pemilu nasional.
Istilah ini sendiri belum mapan dalam teori politik Indonesia, misalnya berapa batas perolehan suara untuk
disebut sebagai partai menengah atau partai kecil. Selama ini istilah partai menengah lebih menunjukkan
pada sebutan terhadap partai di luar 3 besar (Baidlowi, 2018). Sedangkan partai kecil diistilahkan dengan
mengacu pada partai-partai yang perolehan suaranya berada di sekitar ambang batas parlemen
(parliamentary threshold/ PT) dan partai yang tidak lolos PT.
e. Alokasi kursi per dapil. Sebelumnya alokasi kursi per dapil adalah 3-10. Untuk 2019, sejumlah fraksi
mengusulkan maksimal 11. Fraksi lain mengusulkan paket 9 wakil. Perdebatan inipun tidak lepas
dari kepentingan partai-partai untuk memaksimalkan kesempatannya agar bisa meloloskan sebanyak-
banyaknya wakil ke DPR.
Menjelang pembicaraan tingkat kedua (Sidang Paripurna) terdapat beberapa paket pilihan (paket)
sebagai berikut.
Sumber: Risalah Sidang Paripurna 14 Juli 2017
Dengan demikian, kasus pembahasan RUU Pemilu ini memberikan petunjuk pada dua hal: pertama,
bahwa ada indikasi kuatnya kepentingan aktor-aktor politik dalam pembahasan; Kedua, adanya indikasi
terjadinya interaksi antar fraksi baik yang berupa negosiasi/ lobby maupun kompetisi. Interaksi antar
partai melibatkan strategi yang melibatkan perhitungan mengenai kekuatan masing-masing fraksi, peluang
perhitungan terhadap keuntungan dari pilihan kebijakan serta konteks sosial politik yang berpengaruh.
192 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Tinjauan Pustaka
Perilaku voting anggota legislatif dalam pembuatan kebijakan publik banyak diamati melalui berbagai
pendekatan dan teori. Salah satu penelitian yang mengamati perilaku anggota legislatif dengan teori ini
dilakukan oleh Clifford Carrubba and Matthew Gabel yang berjudul Legislatif Voting Behavior, Seen and
Unseen: A Theory of Roll-Call Vote Selection. Pada penelitian ini Carubba dan Gabel mencoba menganalisis
implementasi teori roll-call vote yang selama ini dinilai mempunyai beberapa kekurangan antara lain pada
sampel yang cuma satu. Hal ini menurut Carubba dan Gabel menjadikan teori roll-call vote kurang mampu
menjawab prediksi mengenai beberapa aspek, utamanya mengenai kohesi partai itu sendiri. Carubba dan
Gabel kemudian membuat model matematis dengan dasar teori roll-call vote. Hasilnya ditemukan bahwa
jika satu sampel saja yang dipakai untuk menilai kohesi partai dengan teori tersebut, maka kemungkinan
bias seleksi akan terjadi.
Partai yang merupakan institusi birokratis ini mempunyai kepentingan untuk mengendalikan
perilaku anggota legislatif di parlemen dan memastikan loyalitas mereka. Salah satu elemen penting dari
institusi partai tersebut adalah ideologi partai itu sendiri. Oleh karenanya, partai dalam mekanisme
pemilihan roll-call akan memastikan kalau anggota legislatif dari partainya akan mengikuti kebijakan dan
ideologi partai (Meagher, E., & Wielen, R. , 2012).
Perilaku anggota legislatif yang mengikuti ideologi partai ini sejalan dengan strategi non-
utilitarianisme dalam pembentukan koalisi. Ada nilai-nilai tertentu yang menjadi keyakinan partai yang
harus diperjuangkan. Partai-partai yang sejalan ideologi atau kepercayaannya terhadap suatu nilai akan
mempunyai keterhubungan (connectedness) dan biasanya akan cenderung mempunyai keputusan yang
sama mengenai sebuah kebijakan.
Strategi partai adalah bentuk struktur lain yang mempengaruhi perilaku dalam voting. Penelitian
mengenai hal ini juga cukup beragam. Salah satunya adalah penelitian Lebo, M., Adam J. McGlynn, &
Koger, G. Fluktuasi sikap partai mempengaruhi perilaku anggota dalam voting. Selanjutnya sikap partai
dalam sebuah kebijakan juga berpengaruh pada hasil electoral di masa mendatang. Opini dari publik
menentukan strategi partai politik dalam pengambilan keputusan parlemen bersama-sama dengan
pertimbangan lain. Selanjutnya partai berusaha mengendalikan perilaku anggota-anggotanya agar sejalan
dengan strategi yang diambil partai. Jadi, penelitian ini menekankan bahwa seberapa besar perhatian publik
terhadap sebuah kebijakan juga akan mempengaruhi strategi apa yang ingin diambil.
Teori Tawar-Menawar dalam Koalisi (Political Bargaining Theory)
Teori ini merupakan adopsi teori permainan dalam memahami dinamika politik terutama dalam
perkoalisian dan kompetisi. Ada beberapa model dari teori tawar menawar dalam formasi koalisi ini.
Model pertama dikembangkan oleh von Neumann dan Morgenstern. Menurut keduanya, dalam permainan
kerjasama, sekelompok pemain ditetapkan dan sebuah nilai akan diterapkan pada setiap koalisi yang bisa
terbentuk (Eric C. Browne and Peter Rice , 1979).
Von Neumann dan Morgernstern kemudian memperbaiki model ini dengan mengajukan konsep
‘inti’ (core). Dalam model baru ini setiap pemain diasumsikan bersikap rasional sehingga mereka bisa
memutuskan untuk bergabung atau tidak dalam sebuah koalisi dengan dasar perhitungan apa yang bisa
didapatkan dari keputusan tersebut. ‘Inti’ sendiri didefinisikan sebagai seperangkat pembagian imbalan
(payoff) dimana setiap pemain akan mendapatkan imbalan minimal sebanyak nilai mereka dalam kerjasama
tersebut (Eric C. Browne and Peter Rice , 1979).
Model baru von Neumann dan Morgernstern ini sayangnya masih belum memadai karena dalam
banyak kasus ternyata ‘inti’ tidak ada (kosong) dan juga karena imbalan tidak bisa didefinisikan dalam
pengertian memuaskan atau tidak (Eric C. Browne and Peter Rice , 1979). Sebagai jalan keluar dari model
tersebut, diajukan konsep rasionalitas kelompok sebagai ganti rasionalitas individual. Rasionalitas kelompok
adalah bahwa setiap individu akan masuk dalam kelompok yang punya nilai (value) maksimum untuk
memaksimalkan imbalan personal. Perhitungan nilai maksimum kelompok didasarkan pada distribusi
imbalan dari nilai yang ditentukan oleh beberapa kriteri ekosogen dalam model permainan. Jadi,
penekanannya bergeser dari spesifikasi pembagian imbalan khusus kepada pengujian struktur koalisi.
Riker mengajukan ‘Prinsip Ukuran’ untuk menyempurnakan model ini. Menurut Riker:
193PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Jika ada n-orang/pemain, dalam kondisi permainan zero-sum, dimana side-payments dibolehkan,
dengan semua pemain rasional, dan dimana ada informasi sempurna, koalisi yang akan muncul
hanyalah koalisi pemenang minimal (Eric C. Browne and Peter Rice , 1979).
Von Neumann dan Morgernsterns kemudian mengidentifikasi koalisi pemenang minimal. Mereka
mengatakan bahwa koalisi pemenang minimal yang terbentuk adalah koalisi yang mampu memuaskan
harapan awal dari semua partisipan. Sedangkan Gamson mengatakan bahwa koalisi pemenang minimal
akan terbentuk kalau koalisi mampu menyediakan imbalan yang proprosional dengan nilai partisipasi
anggota dalam koalisi.
Dari model-model yang ada terlihat bahwa pusat dari teori tawar menawar terletak pada bahasan
mengenai imbalan (payoffs).
Koalisi Berbasis Kebijakan (Policy-Driven Coalitions)
William Gamson mendefinisikan koalisi sebagai kesepakatan antara dua atau lebih unit sosial untuk
menggunakan sumberdaya bersama untuk mencapai tujuan bersama. Jadi ada beberapa dimensi dari koalisi
yaitu: (1) kesepakatan; (2) penggunaan sumberdaya bersama; (3) tujuan bersama. Definisi Gamson tersebut
menandakan bahwa koalisi bisa terjadi dalam berbagai bidang sehingga teori koalisi sering juga diterapkan
dalam konflik dan penyelesaian konflik. Namun bentuk yang paling sering diacu dalam koalisi adalah
dalam parlemen atau pemerintahan secara umum.
Dalam hal orientasi atau basis koalisi di parlemen/ pemerintahan, Mershon membagi teori-teori
tentang koalisi dalam dua bentuk yaitu berbasis kepentingan jabatan (Office-Driven) dan berbasis
kepentingan dalam kebijakan (Policy-Driven). Dari dua bentuk besar tersebut dibagi lagi menjadi empat
jenis yaitu: (1) Teori berbasis jabatan, bebas pengaruh institusi dan kompetitif (Office-Driven, Institution
Free, Competitif Theories), Teori Koalisi Berbasis Kebijakan, Dipengaruhi Institusi dan Nonkooperatif (Policy-
Driven, Institution-Focused, Noncooperatif) dan Koalisi Berbasis Kebijakan, Bebas Pengaruh Institusi dan
Kooperatif (Policy Driven, Institution Free, Cooperatif Theories).
Pembagian itu berbasiskan pada perhitungan mengenai biaya koalisi dan imbalan yang akan
didapatkan. Secara umum, keduanya didasarkan pada dua strategi yaitu strategi instrumental dan strategi
non-non instrumental. Secara umum memang terdapat tarik ulur antara faktor instrumental yang rasional
dengan faktor non instrumental seperti ideologi. Faktor instrumental adalah faktor pendorong koalisi dengan
perhitungan seberapa besar biaya (cost) yang harus diberikan dengan seberapa besar imbalan yang akan
diterima. Sedangkan faktor instrumental perhitungan biaya koalisi tidak dihitung secara ekonomi namun
bisa secara psikologis, sosiologis atau bahkan ideologis.
Dalam menjelaskan pengaruh pertimbangan non-utilitarian para ahli memakai konsep
keterhubungan (connectedness) (Taylor, 1972). Konsep ini dipakai misalnya oleh Gamson dan Axelrod.
Sedangkan faktor pengaruh institusi dikaji lebih banyak oleh Laver dan Shepsle yang berpendapat bahwa
penentuan koalisi dan keluarannya akan dipengaruhi oleh kondisi dan bentuk pemerintahan. Dengan
memperhatikan kondisi dan bentuk pemerintahan tersebut, bisa diprediksi bagaimana koalisi yang akan
terbentuk dan bagaimana keluarannya.
Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggali data mengenai motivasi, preferensi, sikap dan tindakan
para aktor dalam pembahasan RUU Pemilu baik. Kasus yang dibahas hanya satu kasus, mengindikasikan
bahwa penelitian ini bermaksud untuk menggali secara mendalam kasus yang dimaksud. Oleh karena itu
metode penelitian yang dipakai adalah metode kualitatif.
Hasil Penelitian
Preferensi Aktor-Aktor Atas 5 Isu Utama RUU Pemilu
Aktor, kepentingan/ motivasi dan preferensi adalah salah satu aspek penting dari tarik ulur politik.
Demikian pula dengan konteks social politik. Dalam hal konteks politik, mengingat kebijakan ini mengenai
sistem penyelenggaraan pemilu, maka bahasan akan diarahkan pada kondisi kontekstual yang berpengaruh
pada kepentingan electoral. Partai-partai atau fraksi-fraksi diasumsikan akan selalu melihat dinamika social
194 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
politik masyarakat dan menghubungkannya dengan elektabilitas partai mereka di pemilu mendatang,
dalam hal ini adalah pemilu 2019. Konteks social politik dalam kasus ini berkaitan erat dengan
perkembangan nilai dari masyarakat dan konteks pemerintahan Joko Widodo. Konteks perkembangan
nilai dari masyarakat penting dalam penentuan pangsa suara yang disasar oleh masing-masing partai.
1. Posisi Aktor Utama
Paket-paket yang divoting pada akhir pembahasan meliputi lima masalah utama, yaitu: presidential
threshold, parliamentary threshold, jumlah kursi per dapil, sistem penyelenggaraan pemilu dan sistem konversi
suara. Sebagaimana semua kebijakan publik, politik dari keterpilihan Paket A tersebut berkaitan dengan
tarik ulur kekuatan dalam pembahasan. Untuk membahas tarik ulur kekuatan tersebut, pertama-tama
akan dieksplorasi aktor-aktor beserta preferensi dan kekuatannya. Berikut adalah tabel yang
mengindentifikasi aktor dan kepentingannya dalam pembahasan RUU Pemilu:
Pembagian kelompok kepentingan di tabel di atas relatif sederhana dan mempunyai kelemahan
dalam menjelaskan fragmentasi sikap fraksi-fraksi baik di internal pendukung maupun penentang Paket
A. Terdapat pula kelemahan untuk menjelaskan perubahan sikap dari masing-masing fraksi selama
pembahasan. Hal ini karena tujuan dari tabel di atas adalah untuk menunjukkan posisi umum masing-
masing partai dalam pembahasan.
Joko Widodo (Jokowi) dimasukkan sebagai satu aktor yang terpisah dari PDIP maupun fraksi
pendukung Paket A dikarenakan sebagai berikut: pertama, sebagai presiden yang punya coattail tertentu,
baik positif maupun negatif, Jokowi punya kepentingan sendiri untuk menjadi presiden lagi. Kepentingan
195PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
ini terlepas dari apakah harus didukung oleh PDIP atau tidak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
harus ada pembedaan antara Jokowi dan PDIP sebagai aktor yang berkepentingan dalam pembuatan
kebijakan publik. Dalam kasus ini, Jokowi juga harus dibedakan dengan PDIP meskipun keduanya beririsan
dalam kepentingan. Perbedaan kepentingan Jokowi, sebagaimana disebutkan dalam table 2.1. terutama
adalah dalam hal presidential threshold (PresT). PDIP berkepentingan untuk memberikan batasan tinggi
dalam PresT tapi belum tentu mengajukan Jokowi sebagai calon presiden. Jokowi baru disahkan sebagai
capres dari PDIP pada 23 Februari 2018 atau delapan bulan setelah RUU Pemilu disahkan (Triyogo, 2018).
Sikap Jokowi mirip dengan PDIP. Jokowi mempersiapkan diri jika harus maju tanpa dukungan
PDIP. Meskipun ia merupakan anggota PDIP namun kemungkinan konflik yang tidak bisa diselesaikan
antara dirinya dengan PDIP bisa saja muncul. Kalau itu terjadi, bisa jadi Jokowi tidak akan diusung sebagai
capres dari PDIP. Sosok Jokowi, meskipun fenomenal pada periode ini tapi tidak selalu bisa diterima oleh
internal PDIP secara keseluruhan. Sebagai ikon untuk saat ini memang bisa diterima. Namun untuk menjadi
pemimpin PDIP atau kemudian menjadi seperti Megawati banyak yang masih belum setuju. Dengan
demikian, irisan kepentingan Jokowi dengan PDIP memang besar. Namun, terdapat perbedaan kepentingan
yang mendasar pula
Faktor kedua yang membuat perbedaan antara Jokowi dan PDIP sebagai aktor adalah factor coattail
itu sendiri. Dampak coattail hanya dimiliki oleh Jokowi dan tidak dipunyai oleh PDIP. Setiap keberhasilan
atau kelemahan pemerintahan cenderung diacukan kepada sosok Jokowi daripada PDIP. Apalagi, konteks
social saat kasus ini terjadi adalah terjadinya pembelahan social antara pendukung dan penentang Jokowi.
Proposal RUU Pemilu berasal dari pemerintah. Paket A yang kemudian menjadi paket terpilih juga
berasal dari pemerintah Mengenai partai-partai pendukung Paket A terdapat variasi kedudukan. Dalam
bagian ini mereka disatukan dalam satu kelompok karena terdapat persamaan kepentingan meskipun
pada saat yang sama juga terdapat perbedaan preferensi. Persamaan yang terutama adalah keinginan
untuk mendapatkan dampak positif dari presidential coattail Jokowi bagi perolehan suara. Sedangkan
perbedaannya akan diuraikan lebih lanjut pada bagian selanjutnya. Hal yang sama terjadi pada fraksi-
fraksi atau partai penentang Paket A. Mereka mempunyai kesamaan kepentingan untuk menolak proposal
yang diajukan pemerintah.
Sedangkan partai di luar DPR sangat beragam. Ada beberapa partai yang mendukung Pemerintahan
Jokowi misalnya PSI, Perindo, PKPI dan Partai lain ada yang sering berseberangan dengan pemerintah
seperti PBB. Selain itu ada pula partai-partai baru seperti Partai Berkarya, Partai Garuda yang belum
menentukan pilihan terhadap calon presiden, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait
pemberlakuan Pres-T. Mereka sama-sama punya kepentingan agar punya akses untuk mencalonkan
presiden dan bisa lolos dari parliamentary threshold pada Pemilu 2019.
Civil society diasumsikan mewakili kepentingan masyarakat sipil secara umum. Hal ini karena sifat
opsi-opsi kebijakan yang spesifik dan beberapa merupakan kebijakan yang teknis. Menurut Baumgartner,
kebijakan yang teknis biasanya menuntut keahlian tertentu sehingga hanya pakar yang biasanya mempunyai
perhatian daripada masyarakat secara umum (Howlett, 1997). Beberapa civil society yang ikut terlibat antara
lain Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan dan akademisi-
akademis dari beberapa perguruan tinggi.
2. Sikap Aktor Pada Masing-Masing Isu Opsi
Terdapat lima isu krusial yang menjadi bagian dari opsi-opsi yang ditawarkan, yaitu: parliamentary
threshold, presidential threshold, sistem pemilihan umum, jumlah kursi per daerah pemilihan, metode konversi
suara. Bagian ini akan membahas sikap masing-masing aktor baik internal DPR maupun dari aktor eksternal.
Untuk kemudahan penyajian data, pembahasan akan dilakukan berdasarkan sikap aktor pada masing-
masing isu.
Sistem proporsional terbuka maksudnya ialah pemilih bebas memilih siapa calon yang diunggulkan.
Yang mendapat suara terbanyak akan ditetapkan sebagai calon legislatif terpilih. Sedangkan, sistem terbuka
terbatas tetap pemilih bebas memilih caleg yang diunggulkan namun dibatasi. Jika suara partai atau pemilih
mencoblos nomor atau gambar partai lebih besar dari pada suara caleg secara perseorangan maka yang
196 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
berhak ditetapkan sebagai caleg terpilih adalah kembali berdasarkan nomor urut caleg, karena nomor
urut caleg sudah menggambarkan prioritas partai (Aviani, 2017).
Pemerintah mengusulkan ini karena ada dua sebab: pertama, sistem pemilu terbuka murni banyak
menimbulkan dampak negatif seperti persaingan internal partai dan politik uang yang makin besar; kedua,
menurut Tjahjo Kumolo kedaulatan ada di tangan partai politik (RI B. R., 2017). Sistem pemilu tertutup
ditolak semua fraksi karena dua sebab: pertama, karena sistem tersebut dianggap merupakan bentuk
kemunduran dalam berdemokrasi; kedua, sudah terdapat keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-
23/PUU-VI/2008 bahwa sistem pemilu yang harus dipakai adalah sistem pemilu terbuka (Ikhsanudin,
2016). Namun oleh Perludem sistem pemilu terbuka terbatas adalah tidak demokratis. Sistem ini dianggap
Perludem sebagai bentuk akal-akalan agar dominasi partai atas calon tetap terjaga (Nadlir, Moh., 2017).
3. Preferensi Awal pada Isu Alokasi Kursi Per Dapil
Sikap awal yang beragam pada soal sistem pemilu ini juga ditemui dalam isu selanjutnya, yaitu isu
kursi per dapil. Berikut adalah pendapat awal dari masing-masing aktor mengenai pembagian kursi per
dapil Sikap awal dari fraksi-fraksi dalam isu alokasi kursi per dapil ini sangat beragam. Beberapa fraksi
mengusulkan penambahan kursi hingga 20 kursi, sebagian lain mengusulkan tambahan dapil agar ada
keadilan. Namun ada kesamaan tafsir atas masalah yang terjadi, yaitu:
1) Jumlah penduduk yang meningkat;
2) Adanya ketidaksamaan ‘harga kursi’ di berbagai daerah. Yang disebut sebagai harga kursi
adalah jumlah suara yang dibutuhkan untuk mendapatkan satu kursi. Untuk Dapil Riau misalnya,
dibutuhkan 700 ribu suara untuk mendapatkan satu kursi. Sementara di daerah lain jumlah suara yang
dibutuhkan hanya berkisar puluhan ribu saja.
4. Preferensi Awal Aktor Pada Metode Konversi Suara
Isu selanjutnya adalah isu sistem konversi suara kepada perolehan kursi. Berikut adalah sikap awal
masing-masing fraksi mengenai perhitungan konversi suara:
197PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Sistem pemilu proporsional menuntut adanya sebuah sistem konversi suara. Ini berbeda dengan
sistem distrik dimana pemenang langsung mendapat kursi (winner takes all). Dalam pembahasan RUU
Pemilu pemerintah mengusulkan metode Saint Lague. Usulan ini mendapatkan tanggapan yang beragam
198 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
dari partai-partai. Saint lague sendiri cenderung menguntungkan partai besar. Namun demikian terdapat
fakta menarik bahwa Hanura, Nasdem dan PPP menerima usulan pemerintah tersebut.
Menurut simulasi yang diadakan oleh Perludem, terdapat beberapa kondisi yang mungkin dari
perbedaan model tersebut.
Sumber: http://sinarharapan.net/2016/10/konversi-suara-menjadi-kursi/
Dengan Metode Saint Lague murni prediksi perolehan suara dan kursinya adalah sebagai berikut:
Sumber: http://sinarharapan.net/2016/10/konversi-suara-menjadi-kursi/
Sedangkan dengan metode Saint Lague Modifikasi, hasil pemilu 2014 adalah sebagai berikut:
Tabel 8 tersebut menunjukkan bahwa partai-partai kecil cenderung untuk menyetujui metode Kuota
Hare daripada Saint Lague, baik yang murni maupun modifikasi. Penyimpangan pendapat ada di tiga
partai yaitu Nasdem, Hanura dan PPP yang meskipun secara simulatif hasilnya dirugikan namun justru
mendukung konsep metode Saint Lague Modifikasi yang diajukan pemerintah. Isu metode konversi suara
199PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
ini menjadi salah satu indikasi adanya pengaruh koalisi yang dibentuk di sekitar pemilihan umum presiden
2014 meskipun dalam isu-isu yang lain indikasinya tidak terlalu Nampak.
5. Preferensi Aktor Pada Isu Parliamentary Treshold
Parliamentary threshold juga menjadi isu sensitif bagi partai-partai karena terkait dengan berhasil
tidaknya partai-partai mengirim anggotanya ke DPR. Berikut adalah preferensi awal aktor-aktor dalam
isu ini:
Dari table 9 terlihat bahwa keragaman preferensi aktor-aktor dalam isu ambang batas parlemen.
Keragaman ini merepresentasikan kepentingan elektoral mereka. Pemerintah mengusulkan ambang batas
yang moderat dan konsisten dengan penataan sistem kepartaian. Batas yang signifikan diusulkan oleh
Golkar, yaitu 10%. Jumlah partai yang diinginkan Golkar adalah antara 3-5 partai saja sehingga lebih
200 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
memudahkan dalam proses elektoral. Usulan Golkar ini ditentang oleh sebagian besar partai. Menurut
Fadli Zon dari Partai Gerindra, usulan ini akan memberangus keberadaan partai-partai kecil. Sementara
PPP menilai usulan itu adalah bentuk arogansi partai Golkar.
Ambang batas yang relatif tinggi juga diusulkan oleh Fraksi Nasdem, yaitu 7%. Padahal suara partai
Nasdem pada pemilu 2014 kurang dari 7% dan berdasarkan elektabilitas pada awal tahun 2018 kurang
dari 4%. Menanggapi hal itu, Nasdem menyatakan diri untuk siap tidak lolos dengan ambang batas 7%.
PAN dan Hanura mendorong PT pada tingkat terendah. Ini berbeda dengan preferensi partai lain. PAN
mengusulkan bahwa seharusnya yang disederhanakan fraksi, bukan menetapkan ambang batas parlemen.
Usulan PAN ini menyerupai sistem pemilu pada awal Reformasi. Sedangkan Hanura berpendapat bahwa
ambang batas parlemen tidak relevan lagi dengan konteks politik saat itu. Seperti PAN, Hanura ingin
semua partai dijamin haknya untuk bisa mendapatkan kursi jika menurut perhitungan memang berhak
mendapatkan kursi di DPR.
Secara keseluruhan, memang terdapat rentang ambang batas yang cukup besar, dari 0-10%. Namun
preferensi moderat lebih besar daripada preferensi yang ektrem tinggi maupun ekstrem rendah. Rata-rata
aktor-aktor menginginkan PT sebesar 3,5-5%. Angka moderat itu dianggap mewakili kepentingan untuk
penataan sistem kepartaian. Untuk partai-partai tertentu, angka 3,5-5% tetap dianggap memberatkan dan
tidak relevan tetapi dari hasil pendalaman angka itu tetap masih bisa diterima.
6. Preferensi Aktor Pada Isu Presidential Treshold
Presidential Treshold adalah isu krusial, usulan ini selain didukung oleh Pemerintah dan PDIP juga
didukung oleh Nasdem dan Golkar. Diperkirakan dengan ambang batas PT 20%, jumlah calon presiden
yang mungkin maju hanya sekitar 3 pasangan.
Bagi anggota partai koalisi lain yaitu PPP, syarat bagi calon presiden bahkan harus lebih diperketat.
Angka yang tepat menurut PPP adalah 30%. Menurut Ketua Umum PPP, Rommahurmuzy: “…Tingginya
ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bertujuan untuk memudahkan kepala dan wakil kepala negara
bekerja karena mendapat dukungan kuat dari partai politik di parlemen…” (Administrator, 2017). Angka 30%
sendiri akan makin mengecilkan jumlah calon pasangan presiden-wakil presiden yang mendaftar menjadi
hanya 2 pasangan saja. Dalam hitungan PPP berarti hanya akan ada Jokowi dan lawannya. Siapapun yang
terpilih akan punya basis dukungan yang kuat di DPR.
Menurut PKB, meskipun mereka menerima konsep 20% tapi kisaran yang paling tepat untuk Pres-
T adalah 5%. Secara resmi usulan itu disampaikan pada rapat kerja Pansus RUU Pemilu. Diajukan usulan
itu berkaitan dengan kepentingan PKB untuk mengajukan calon presiden (Hakim, Rahmat Nur, 2017).
201PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Hanura, anggota koalisi yang lain semula mengusulkan Pres-T 0%. Menurut mereka, PresT tidak relevan
untuk dipakai. PAN yang juga anggota koalisi pendukung pemerintah berpendapat sama. Keduanya juga
punya sikap yang sama pada akhir pembahasan, yaitu menerima Pres-T 20%.
Partai Demokrat, Gerindra dan PKS punya kesamaan sikap yaitu menginginkan ambang batas
presidensial 0%. Sama dengan Hanura dan PAN, tiga partai terakhir ini melihat bahwa Pres-T tidak punya
relevansi untuk diterapkan dalam Pemilu 2019 karena sifatnya serentak antara Pileg dan Pilpres. Preferensi
awal ini tidak merupakan bentuk persetujuan dari partai koalisi secara khusus. Namun demikian, ada
consensus tidak tertulis bahwa partai-partai oposisi ingin mereka mempunyai kemudahan dalam
mengajukan calon presiden. Partai-partai di luar DPR juga punya kecenderungan untuk menginginkan
Pres-T hanya sebesar 0%. Hal ini tidak lepas dari keinginan beberapa partai untuk mencalonkan tokohnya
sebagai calon presiden. Partai Berkarya misalnya, ingin mencalonkan Tommy Soeharto sebagai presiden.
Sementara partai lain menekankan pentingnya keserentakan pemilu sebagai faktor tidak relevannya ambang
batas presidensial. Isu ini misalnya diusung oleh Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang.
Proses Pengambilan Keputusan Antar Partai dan Perubahan sikap fraksi-fraksi partai pendukung
pemerintah
1. Pemerintah/ PDIP
Dari table 11 terlihat bahwa ada tiga jenis isu krusial dimana pemerintah /PDIP mengalah, yaitu
untuk sistem pemilu, metode konversi suara dan district magnitude. Untuk isu sistem pemilu diperkirakan
dampaknya tidak terlalu besar bagi PDIP. Demikian pula dalam hal district magnitude. Perhitungan agak
berbeda untuk metode konversi suara dari saint lague modifikasi menjadi saint lague murni. Metode saint
lague modifikasi sesuai dengan simulasi untuk Pemilu 2014 memberikan kursi yang lebih besar daripada
saint lague murni. Pemerintah dan PDIP melunak untuk sistem pemilu karena dalam sistem proporsional
terbuka tetutup mendapat penolakan yang cukup keras dari civil society. Sistem ini dianggap merupakan
akal-akalan oleh partai politik agar partai memperkuat pengaruh pada semua anggota dan anggota legislatif
pada khususnya.
2. Golkar
Tabel 12 menunjukkan bahwa Golkar juga harus melepas tiga preferensi dari sikap awal mereka.
Kepentingan Golkar terutama pada alokasi district magnitude yang 3-8. Dengan pembagian seperti itu,
menurut perhitungan Golkar, Golkar akan meraih persentase yang lebih baik di parlemen. Golkar
mengidentifikasi persebaran suara mereka yang cukup bagus di luar Jawa menjadi dasarnya. Mengenai
parliamentary threshold sebenarnya Golkar menyadari bahwa 10% adalah batas yang sangat tinggi. Untuk
mencapai batas itu biasanya negara demokrasi perlu waktu yang cukup lama. Jadi, Golkar bersedia
menegosiasikan batasan itu. Misi Golkar dalam hal ini adalah hanya untuk memberikan pesan bahwa
penyederhanaan sistem kepartaian harus konsisten.
202 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Sedangkan untuk sistem pemilu, Golkar sejalan dengan keinginan pemerintah/ PDIP yaitu proprosional
terbuka terbatas. Alasannya pun sama dengan pemerintah dan PDIP yaitu untuk menekan dampak buruk
dari system.
3. Nasdem
Nasdem juga mengalami perubahan sikap di tiga isu krusial. Untuk isu sistem pemilu proporsional terbuka
terbatas. Sedangkan dalam hal parliamentary threshold, pesan Nasdem sama dengan pesan yang ingin
disampaikan oleh Golkar yaitu bahwa harus ada konsistensi dalam penataan sistem kepartaian. Target 7%
sendiri bagi Nasdem sebenarnya sangat berat. Namun, “Nasdem siap terdegradasi!” (Nadlir, Moh., 2017).
Sikap Nasdem dalam dua isu itu menampakkan kesan bahwa Nasdem mempertimbangkan pembangunan
demokrasi di Indonesia.
4. PPP
203PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terbatas* Sistem Pemilu Proporsional Terbuka.
·
Table di atas menunjukkan bahwa dalam semua isu, PPP berbeda dengan Paket A. Namun akhirnya PPP
mengikuti Paket A. PPP sebenarnya tidak punya cukup kekuatan untuk memaksakan kepentingannya
dalam forum internal partai pendukung pemerintah.
5. PKB
Dilihat dari table di atas, PKB ternyata juga mengalami perubahan sikap. Dalam hal sistem pemilu, PKB
mengubah dari proprosional terbuka terbatas menjadi sistem proporsional terbuka saja. Dalam hal metode
konversi suara, PKB mengubah dari kuota/ BPP menjadi saint lague murni. Sedangkan dalam Pres-T, PKB
mengubah dari 5% menjadi 10% kursi DPR.
204 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
6. PAN
Perubahan preferensi PAN terjadi di hampir semua isu krusial. Ini menandakan bahwa PAN aktif
melakukan lobi-lobi dengan berbagai pihak. Dalam hal PT, PAN menerima dan bahkan mengusulkan
ambang batas 4%. Sementara untuk Pres-T PAN melunak dengan mengusulkan ambang 10% kursi DPR
dan 15% suara sah nasional. Namun PAN sangat bertahan dengan sistem kuota hare. Secara keseluruhan,
untuk partai-partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah, meskipun pada awalnya relatif difrgen
namun jarak preferensinya tidak besar. Komunikasi di antara mereka juga relatif lebih intensif karena
pengaruh kesamaan sikap di pemerintah.
7. Gerindra
Tabel tersebut menunjukkan bahwa tidak banyak perubahan sikap dari Gerindra. Perubahannya
hanya pada sistem pemilu proporsional terbuka terbatas menjadi sistem proporsional terbuka saja. Secara
keseluruhan Gerindra konsisten untuk menyukseskan kepentingannya. Usul Gerindra yang kemudian
diadopsi dalam keputusan resmi adalah PT yang menjadi 4% dan district magnitude yang 3-10 per dapil
dengan penataan dapil. Konsistensi Gerindra juga ditunjukkan dalam aturan mengenai metode konversi
suara dan Pres-T. Pemerintah bersama fraksi-fraksi pendukungnya pada saat yang sama juga konsisten
dengan keinginan mereka untuk memilih metode saint lague dan Pres-T 20%/25%. Akibatnya kedua
kepentingan ini bersaing. Gerindra mengatakan bahwa usul Pres-T 20%/25% dengan mengacu pada hasil
Pemilu 2014 tidak bisa diterima. Sebaliknya, pemerintah, mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi
mengatakan bahwa usulan itu benar baik dalam pertimbangan politik maupun hukum.
205PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
8. PKS
PKS memiliki kesamaan dengan Gerindra sejak awal, meskipun menurut anggota Pansus dari
masing-masing partai mengatakan tidak ada persetujuan awal. Seperti Gerindra, PKS juga mempunya
perhatian lebih pada isu Pres-T. Jika dilihat secara kesleuruhan, terlihat bahwa isu ini memang jadi inti
dari tarik ulur antara kubu pro-pemerintah dan oposannya.
9. Demokrat
Sama dengan Gerindra dan PKS, preferensi Demokrat ini konsisten. Beberapa usulan Demokrat
juga akhirnya diadopsi dalam kebijakan yang disahkan, yaitu sistem pemilu, penataan dapil dan PT. Untuk
metode konversi suara dan Pres-T Demokrat konsisten dengan usulan mereka. Dari lima paket pilihan
yang diajukan dalam sidang paripurna untuk pengesahan, kemudian terseleksi dua paket, yaitu Paket A
dan Paket B. Menjelang sidang PKB akhirnya setuju untuk memutuskan untuk memilih Paket A. PAN,
anggota partai koalisi lainnya justru pada akhirnya memilih Paket B. Berbeda dengan persaingan antara
partai koalisi dengan oposisi, PAN merasa isu yang tidak bisa diterima adalah metode konversi suara
yang memakai Saint Lague. Pada satu sisi kebutuhan partai menginginkan metode konversi kuota hare,
sedangkan pemerintah dan koalisi bertahan pada sistem saint lague.
Mengenai presidential threshold, PAN tidak begitu keras bertahan. Namun sampai pada menjelang
voting baik koalisi pemerintah maupun kubu oposisi bertahan pada sikap masing-masing. Pada kondisi
seperti itu, PAN harus memutuskan untuk berpihak hingga akhirnya PAN memilih Paket B. Sama dengan
206 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
PAN, PKS justru lebih lunak dalam hal pres-T. PKS menurunkan tawarannya dari 0% menjadi 5% dan
kemudian menjadi 10%.
Dalam beberapa simulasi seperti yang telah diuraikan di atas, dalam voting, jika dilakukan dengan metode
roll-call vote, maka kemungkinan partai oposisi tidak mungkin bisa menang. Bagi berapa anggota partai,
diduga karena itu keempat fraksi mengundurkan diri (walk out) dalam voting.
Kesimpulan
Pembahasan RUU Pemilu ini menarik ditinjau dari beberapa hal: pertama, dalam hal pengaruh
koalisi yang telah ada sebelumnya, yaitu koalisi partai-partai pendukung pemerintah dan koalisi partai-
partai non pendukung pemerintah. Meskipun pada awalnya terdapat variasi preferensi di semua fraksi,
namun pada akhirnya pengaruh perkoalisian tersebut muncul, terutama di akhir-kahir pembahasan hingga
terjadinya voting. Kedua, meskipun muncul 5 isu krusial, namun ada dua isu yang benar-benar menjadi
inti dari perdebatan sehingga muncul perkoalisian di akhir pembahasan yaitu mengenai presidential
threshold dan mengenai metode konversi suara.
Pembahasan RUU Pemilu menggambarkan bagaimana fraksi-fraksi saling berinteraksi untuk
memperjuangkan kepentingannya. Pada mulanya fraksi bertindak secara mandiri untuk memperjuangkan
kepentingan masing-masing. Namun dalam perkembangan selanjutnya, terlihat bahwa kekuatan dominan
mengendalikan jalannya pembuatan keputusan.
Keseluruhan kecenderungan pemihakan menjadi menarik dilihat dari beberapa hal: pertama, dari
segi kronologi keputusan politiknya. Dalam hal ini adalah bagaimana keputusan-keputusan politik partai
atas pilihan sikap selama pembahasan berubah. Setidaknya ada tiga tahap yang ditemukan dalam hal
kronologi keputusan politik ini. Pada awal pembahasan di tingkat I, terdapat variasi preferensi dari semua
fraksi. Beberapa partai pendukung pemerintah bahkan punya sikap yang sangat berbeda dengan proposal
pemerintah dan PDIP. Partai Hanura adalah partai yang mewakili ini. Hanura punya perbedaan sikap di
semua isu krusial yang dibahas. Di kubu non pendukung pemerintah, meskipun sebelumnya tidak ada
perjanjian untuk berkoalisi menghadang proposal pemerintah, perbedaan sikap antar fraksi tidak menonjol.
Hal ini memudahkan bagi mereka untuk saling berkomunikasi.
Tahap kedua adalah tahap pembentukan inti kekuatan oleh pemerintah dan PDIP. Pemerintah
dan PDIP segera mendapatkan dukungan dari Nasdem, Golkar, PPP dan Hanura. Dengan kekuatan ini
dalam semua simulasi perhitungan, pemerintah dan PDIP akan menang jika terjadi voting. Pembentukan
inti kekuatan dukungan ini merupakan tahap krusial dalam pengambilan keputusan pada kebijakan ini.
Dengan pembentukan inti kekuatan ini pemerintahan PDIP sudah bisa dominan dalam menentukan
keluaran dari pembahasan RUU Pemilu.
Dalam tahap kedua ini, pemerintah belum bisa menarik dua fraksi yang partainya mendukung
pemerintah, yaitu PKB dan PAN. PAN berkukuh untuk berpegang pada sistem konversi suara kuota hare.
Sedangkan PKB terus berusaha menyukseskan ambang batas pencalonan presiden agar lebih rendah dari
proposal pemerintah. Selain itu, pemerintah dan PDIP juga berupaya melobi partai lain agar mendukung.
Namun sampai batas akhir partai di luar pemerintah tidak berhasil didapatkan dukungannya.
Tahap terakhir adalah tahap akhir keputusan dimana setiap partai harus memutuskan pilihan
mana yang akan dipilih. Pada tahap ini, pemerintah dan PDIP sudah berhasil mendapatkan dukungan
dari PKB. Dengan perhitungan berdasarkan jumlah kursi DPR, maka PDIP beserta partai pendukung
pemerintah kecuali PAN akan memenangkan Paket A dalam voting.
Kedua, dari segi penentuan preferensi. Dapat dilihat bahwa preferensi fraksi-fraksi disusun dari
berbagai aspek pertimbangan. Pertimbangan pertama adalah kepentingan mereka dalam pemilu
mendatang. Semua partai ingin mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang sedang mereka bahas
sehingga sukses dalam Pemilu 2019. Kesuksesan yang diukur adalah dalam hal pencalonan presiden dan
pemilihan legislatif. Selain faktor instrumental, faktor kedekatan nilai dan identitas sosial ternyata juga
berpengaruh pada penentuan sikap dalam pengambilan keputusan. PAN misalnya, ditemukan mempunyai
207PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
kondisi internal karena beberapa elemennya tidak merasa nyaman dengan sikap untuk mendukung
pemerintah.
Ketiga, perimbangan kekuatan di DPR sangat didominasi oleh partai-partai pendukung Jokowi.
Meskipun pada awalnya preferensinya cenderung divergen, namun pada tahap-tahap akhir pembahasan
sikap fraksi-fraksi makin memusat. Baik dari segi jumlah kursi maupun instrument kekuasaan membuat
Jokowi mampu mengendalikan pilihan-pilihan kebijakan pada tahap akhir. Dari internal partai pendukung
Jokowi membuat ‘inti kekuatan’ untuk mempersempit pilihan-pilihan bagi fraksi partai pendukung
pemerintah. Partai-partai non-pendukung pemerintah pada tahap akhir pembahasan juga berkumpul dan
bekerjasama untuk melawan konsolidasi kekuatan pemerintah. Namun sampai pada voting, kekuatan
partai non-pendukung pemerintah tidak bisa menahan gerakan yang dilakukan oleh partai-partai
pendukung pemerintah. Secara formal pada kedua kubu tidak ada koalisi yang terinstitusi, namun secara
de facto ada koalisi. Indikasi untuk menentukan itu adalah: (1) adanya persetujuan bersama untuk mencapai
kepentingan bersama; (2) adanya penyertaan sumberdaya untuk digunakan untuk mencapai tujuan bersama
tersebut; (3) ada struktur imbalan yang diberikan kepada para partisipan koalisi.
Struktur imbalan yang dimaksud adalah imbalan yang predikitif dan tidak langsung. Prediktif
karena hanya akan didapat di masa depan jika politik perubahan sistem pemilu ini berhasil membuat
pengusung kepentingan berhasil menguasai pemerintahan. Tidak langsung karena hasil dari kebijakan
tidak memberikan imbalan langsung melainkan hanya menciptakan kondisi bagi terciptanya peluang untuk
memenangkan pemilu. Kemenangan pemilu itulah yang akan memberikan imbalan langsung.
Sebagaimana dikemukakan di atas, struktur imbalan yang diberikan berupa imbalan prediktif
dan tidak langsung. Para aktor yang terlibat menyadari bahwa keberhasilan memenangkan pemilu akan
ditentukan oleh banyak variabel, bukan hanya pengaturan sistem pemilu. Untuk kasus Indonesia, selama
beberapa pemerintahan pengaturan pemilu oleh pemerintah dan fraksi partai berkuasa justru membuat
partai lain menang pemilu. Pada tahun 2004 misalnya, PDIP adalah partai yang berkuasa waktu itu, namun
hasil pemilu menunjukkan Golkar dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemenang. Pada tahun 2014,
Demokrat adalah partai berkuasa dan membuat perubahan sistem pemilu, namun PDIP dan Jokowi yang
berhasil memenangkan pemilu. Namun begitu, partai-partai pendukung pemerintah menghitung dengan
variabel-variabel seperti saat ini, Jokowi diprediksi akan menjadi pemenang Pilpres lagi. Dua isu diantara
lima isu krusial sangat mendukung hal itu yaitu metode konversi suara dan pres-T lebih mendukung PDIP
dan Jokowi sebagai petahana daripada untuk pesaing-pesaing baru.
Sedangkan dalam sisi sumberdaya, sumberdaya terpakai dalam kasus ini adalah kursi di DPR.
Beberapa partai pendukung pemerintah ditemukan menyertakan sumberdaya yang tidak proporsional
dengan imbalan yang dipakai. Partai Hanura, Nasdem dan PPP misalnya, menyetujui metode konversi
suara saint lague yang relatif lebih menguntungkan partai-partai besar. Padahal ketiganya termasuk partai
kecil. Dalam beberapa survey bahkan ketiganya punya elektabilitas di bawah PT yang ditetapkan. Hal ini
terjadi karena dalam proses tarik ulur internal, partai-partai kecil tersebut kalah bersaing dengan partai-
partai besar. Untuk beralih mendukung kubu lawan, beberapa partai tidak menunjukkan minat berkaitan
dengan dua hal: (1) prospek elektoral kubu lawan yang relatif masih kalah dengan kubu Jokowi dan PDIP;
(2) beberapa partai mempunyai masalah internal dan ketua partai perlu dukungan pemerintah untuk tetap
memimpin partai versinya. Politik intra-koalisi ini merupakan temuan yang penting dalam kasus ini
Perilaku koalisi secara keseluruhan berbasis pada kepentingan masing-masing partai, pertimbangan
non-instrumentalis dan faktor konteks. Kepentingan elektoral dan kepentingan untuk tetap dalam koalisi
yang memberikan imbalan jabatan mendominasi keputusan fraksi-fraksi partai koalisi. Sedangkan faktor
kepentingan elektoral 2019, kepentingan untuk menjaga loyalitas pangsa pemilih ditemukan pada PKS,
Gerindra dan PAN.
Proses negosiasi terjadi hampir dalam semua isu krusial, kecuali isu presidential threshold dan
metode konversi suara. Ini menandakan bahwa isu tersebut menjadi isu inti dari tarik ulur kubu-kubu
yang terlibat. Suara aktor luar seperti LSM nampak pengaruhnya pada sistem pemilu yang mempertahankan
sistem proporsional terbuka. Suara partai kecil di luar DPR diakomodasi oleh Gerindra dalam tuntutan
terhadap sistem kuota hare.
208 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Edella Schlager and William Blomquist . (1996). A Comparison of Three Emerging Theories of the Policy
Process . Political Research Quarterly, Vol. 49, No. 3, 651-672 .
Robert F. Durant and Paul F. Diehl . (1989). Agendas, Alternatives, and Public Policy: Lessons from the U.S.
Foreign Policy Arena . Journal of Public Policy, Vol. 9, No. 2 , 179-205.
Website:
Administrator. (2017, 01 23). PPP Usulkan Presidential Threshold 30%. Retrieved from http://mediaindonesia.com: http://mediaindonesia.com/read/detail/88799-ppp-usulkan-presidential-threshold-30
Akbar, J. (2018, 01 09). Mengapa Megawati Terus Mengatakan Jokowi Petugas Partai? Retrieved from https://tirto.id: https://tirto.id/mengapa-megawati-terus-mengatakan-jokowi-petugas-partai-cCXi
Alvian, R. A. (2017, 10 18). Siasat Islam-politik mengubah lanskap demokrasi Indonesia. Retrieved from http://theconversation.com: http://theconversation.com/siasat-islam-politik-mengubah-lanskap-demokrasi-indonesia-84148
Amindoni, A. (2017, 07 21). Apa yang perlu Anda ketahui tentang UU Pemilu. Retrieved from ttp://www.bbc.com: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-40678216
Andwika, R. (2017, 01 13). Hanura usul ambang batas parlemen dihapus karena tidak relevan lagi. Retrievedfrom https://www.merdeka.com: https://www.merdeka.com/politik/hanura-usul-ambang-batas-parlemen-dihapus-karena-tidak-relevan-lagi.html
Anggraini, T. (2017, 03 21). STUDI BANDING PANSUS PEMILU OLEH TITI ANGGRAINI. Retrieved fromhttp://perludem.org: http://perludem.org/2017/03/21/studi-banding-pansus-pemilu-oleh-titi-anggraini/
Aviani, N. (2017, 05 12). Sistem Pemilu Mengerucut ke Opsi Terbuka atau Terbuka Terbatas. Retrieved fromhttp://www.mediaindonesia.com: http://www.mediaindonesia.com/read/detail/103030-sistem-pemilu-mengerucut-ke-opsi-terbuka-atau-terbuka-terbatas
Aziz, N. (2017, 04 20). Ketika Anies-Sandi menang dengan kekuatan Islamis. Retrieved from http://www.bbc.com: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39644574
Campbell, J. E. (1986). Presidential Coattails and Midterm Losses in State Legislative Elections. The AmericanPolitical Science Review, Vol. 80, No. 1, 45-63.
Dariyanto, E. (2017, 06 21). Demokrat: Presidential Threshold 20% Itu Logika Sesat. Retrieved from https://news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3536218/demokrat-presidential-threshold-20-itu-logika-sesat
Dariyanto, E. (2017, 01 19). Fadli Zon: Jangan Jegal Partai dengan Ambang Batas Parlemen 10%. Retrieved fromhttps://news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3399910/fadli-zon-jangan-jegal-partai-dengan-ambang-batas-parlemen-10
Detiknews. (2015, 04 16). Effendi Simbolon: Gaya Komunikasi Rini, Andi dan Luhut Nggak Penting. Retrieved05 12, 2018, from https://news.detik.com/berita/2889224/effendi-simbolon-gaya-komunikasi-rini-andi-dan-luhut-nggak-penting
DHF. (2018, 01 7). Target Alumni 212: Kalahkan PDIP, Dukung Gerindra, PKS dan PAN. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional: https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional/20180127135451-32-271995/target-alumni-212-kalahkan-pdip-dukung-gerindra-pks-pan
Dusso, A. (2010). Legislation, Political Context, and Interest Group Behavior. Political Research Quarterly,63(1), 55-67.
DW. (2014, 06 23). Kampanye Hitam Semakin Sengit. Retrieved from http://www.dw.com: http://www.dw.com/id/kampanye-hitam-semakin-sengit/a-17729276
209PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Eldersveld, S. J. (1951). Theory and Method in Voting Behavior Research. American Political Science Association,70-87.
Erdianto, K. (2017, 06 23). Pembahasan RUU Pemilu dan Konflik Kepentingan Partai Politik. Retrieved fromhttps://nasional.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2017/06/23/08262981/pembahasan.ruu.pemilu.dan.konflik.kepentingan.partai.politik
Eric C. Browne and Peter Rice . (1979). A Bargaining Theory of Coalition Formation . British Journal ofPolitical Science, Vol. 9, No. 1 , 67-87.
Fachrudin, F. (2017, 05 19). Pembahasan RUU Pemilu Dinilai Fokus pada Kepentingan Partai. Retrieved fromhttps://nasional.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2017/05/19/17351891/pembahasan.ruu.pemilu.dinilai.fokus.pada.kepentingan.partai.
Faiz, A. (2017, 06 21). RUU Pemilu, PDIP Siap Mediasi Pertemuan Ketua Partai dan Jokowi. Retrieved fromhttps://nasional.tempo.co/: https://nasional.tempo.co/read/886529/ruu-pemilu-pdip-siap-mediasi-pertemuan-ketua-partai-dan-jokowi
Gamson, W. (1961). A Theory of Coalition Formation. American Sociological Review, 26(3), 373-382.
Hakim, R. N. (2017, July 14). Peta Dukungan Parpol terhadap RUU Pemilu. Retrieved from https://nasional.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2017/07/14/12120501/peta-dukungan-parpol-terhadap-ruu-pemilu
Hakim, Rahmat Nur. (2017, 05 18). Jika “Presidential Threshold” 5 Persen, PKB Bakal Usung Capres di Pemilu2019. Retrieved from https://nasional.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2017/05/18/10244651/jika.presidential.threshold.5.persen.pkb.bakal.usung.capres.di.pemilu.2019
Hammond, T., & Miller, G. . (1987). Distant Friends and Nearby Enemies: The Politics of Legislative CoalitionFormation. Public Choice, 53(3), , 277-284.
Held, D. (2005). Models of Democracy. Jakarta: Akbar Tandjung Institute.
Howlett, M. (1997). Issue-Attention and Punctuated Equilibria Models Reconsidered: An EmpiricalExamination of the Dynamics of Agenda-Setting in Canada. Canadian Journal of Political Science /Revue canadienne de science politique, Vol. 30, No. 1, 3-29 .
Ikhsanudin, A. (2016, 11 30). Mendagri: Sistem Pemilu Terbuka Tertutup adalah Jalan Tengah. Retrieved fromhttps://news.detik.com/: https://news.detik.com/berita/d-3358571/mendagri-sistem-pemilu-terbuka-tertutup-adalah-jalan-tengah
Irmasari, D. (2017, 06 15). Mendagri: Kami Sudah Mengalah di RUU Pemilu, Sekarang Giliran DPR. Retrievedfrom https://news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3532155/mendagri-kami-sudah-
mengalah-di-ruu-pemilu-sekarang-giliran-dpr
James E. Campbel. (1986). Presidential Coattails and Midterm Losses in State Legislative Elections . TheAmerican Political Science Review, Vol. 80, No. 1, 45-63 .
JPNN. (2015, 06 27). Jokowi-JK Sejak Awal tak Puas dengan Kabinet Kerja. Retrieved 05 12, 2018, from https://www.jpnn.com/news/jokowi-jk-sejak-awal-tak-puas-dengan-kabinet-kerja
Ketiga, U. N. (n.d.).
Kumar, B. (2002). Critical Issues in Electoral Reforms. The Indian Journal of Political Science 63(1), 73-88.
Kumparan. (2017, 06 20). Demokrat: Presidential Threshold 20% Siasat Menangkan Jokowi di 2019. Retrievedfrom https://kumparan.com: https://kumparan.com/@kumparannews/demokrat-presidential-treshold-20-siasat-menangkan-jokowi-di-2019
Lebo, M., Adam J. McGlynn, & Koger, G. (2007). Strategic Party Government: Party Influence in Congress,1789-2000. American Journal of Political Science, 51(3), 464-481.
LingkarJatim. (2017, 07 22). Sistem Penghitungan Suara “Sainte Lague Murni” Dinilai Memberangus PartaiKecil. Retrieved from https://lingkarjatim.com: https://lingkarjatim.com/politik/sistem-penghitungan-suara-sainte-lague-murni-dinilai-memberangus-partai-kecil/
210 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Lubabah, R. G. (2017, 07 20). RUU Pemilu, PAN buka peluang pilih paket A asal syarat ini dipenuhi. Retrievedfrom https://www.merdeka.com: https://www.merdeka.com/politik/ruu-pemilu-pan-buka-peluang-pilih-paket-a-asal-syarat-ini-dipenuhi.html
Masrifah, S. (2018, 05 01). Politik Legislasi di Indonesia: Studi Kasus Kemenangan Opsi A Pada PembahasanRUU Penyelenggaraan Pemilu 2017. (K. L. Sianipar, Interviewer)
Meagher, E., & Wielen, R. . (2012). The Effects of Party and Agenda Control: Assessing the IdeologicalOrientation of Legislation Directing Bureaucratic Behavior. Political Research Quarterly, 65(3), 669-684.
Meserve, S., Pemstein, D., & Bernhard, W. (2009). Political Ambition and Legislative Behavior in the EuropeanParliament. The Journal of Politics, 71(3), 1015-1032.
Miller, W. E. (1955). Presidential Coattails: A Study in Political Myth and Methodology . The Public OpinionQuarterly, Vol. 19, No. 4 , 353-368 .
Mondak, J., & McCurley, C. (1994). Cognitive Efficiency and the Congressional Vote: The Psychology ofCoattail Voting. Political Research Quarterly, 47(1), 151-175.
Morelli, M. (1991). Demand Competition and Policy Compromise in Legislative Bargaining. The AmericanPolitical Science Review, Vol. 93, No. 4 (, 809-820 .
Mukhriyanto, D. (2018, 05 07). Politik Legislasi di Indonesia: Studi Kasus Kemenenangan Opsi A PadaPembahasan RUU penyelenggaraan pemilu 2017. (K. L. Sianipar, Interviewer)
Mursid, F. (2017, 07 20). Ingin Metode Kuota Hare di RUU Pemilu, Fraksi PAN Pilih Jalan Tengah. Retrievedfrom http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/07/20/ote7a1-ingin-metode-kuota-hare-di-ruu-pemilu-fraksi-pan-pilih-jalan-tengah
Musgrove, P. (1977). The General Theory Of Gerrymandering. In P. Musgrove, Sage Professional Papers InAmerican Politics (p. 5). New York: : Sage Publications.
Mustakim, A. (2017, Februari 9). Pandangan 4 Partai Baru Terkait Ambang Batas Parlemen. Retrieved fromhttps://news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3417475/pandangan-4-partai-baru-terkait-ambang-batas-parlemen
Nadlir, Moh. (2017, 05 12). Sistem Pemilu Terbuka Terbatas Dinilai Tak Demokratis. Retrieved from https://nasional.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2017/05/12/21193231/sistem.pemilu.terbuka.terbatas.dinilai.tak.demokratis
Norris, P. (1995). Introduction: The Politics of Electoral Reform. International Political Science Review/ RevueInternationale De Science Politique, 16(1), 3-8.
Paat, Y. (2017, 04 26). Pemilu 2019, Fraksi Usulkan 579 Kursi di DPR. Retrieved from http://www.beritasatu.com: http://www.beritasatu.com/politik/427261-pemilu-2019-fraksi-usulkan-579-kursi-di-dpr.html
Philip Leifeld and Volker Schneider. (2012). Information Exchange in Policy Networks . American Journal ofPolitical Science, Vol. 56, No. 3 , 731-744 .
Pollycarpus, R. (2017, 05 21). RUU Pemilu Kental Kepentingan. Retrieved from http://www.mediaindonesia.com: http://www.mediaindonesia.com/read/detail/105642-ruu-pemilu-kental-kepentingan
Prastiwi, D. (2017, Januari 18). Alasan Golkar Pilih Sistem Proporsional Tertutup pada Pemilu 2019. Retrievedfrom http://news.liputan6.com/read/2830948: http://news.liputan6.com/read/2830948/alasan-golkar-pilih-sistem-proporsional-tertutup-pada-pemilu-2019
Prawira, A. (2014, 10 22). Pengumuman Menteri Tarik Ulur, Jokowi Tersandera? Retrieved from https://nasional.sindonews.com: https://nasional.sindonews.com/read/914232/12/pengumuman-menteri-tarik-ulur-jokowi-tersandera-1413987074
Randall L. Calvert and John A. Ferejohn. (1983). Coattail Voting in Recent Presidential Elections. The AmericanPolitical Science Review, Vol. 77, No. 2, 407-419 .
211PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
RI, B. R. (2017). Rapat Kerja Ke-1 R I S A L A H RAPAT KERJA PANSUS RANCANGAN UNDANG-UNDANGTENTANG PENYELENGGARAAN PEMILU . Jakarta: Tidak dipublikasikan.
RI, D. (2017). Risalah Raker ke-15 Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu. Jakarta: Tidak Dipublikasikan.
Tambak, R. (2017, 07 04). Utang Meningkat Rakyat Melarat, Tiga Menteri Ini Layak Dicopot. Retrieved fromhttp://politik.rmol.co: http://politik.rmol.co/read/2017/07/04/297784/Utang-Meningkat-Rakyat-Melarat,-Tiga-Menteri-Ini-Layak-Dicopot-
Tashandra, N. (2017). “Ini Penjelasan soal 5 Isu Krusial RUU Pemilu yang Akhirnya “Diketok Palu”. Retrievedfrom https://nasional.kompas.com/read/2017/07/21/08204641: https://nasional.kompas.com/read/2017/07/21/08204641/ini-penjelasan-soal-5-isu-krusial-ruu-pemilu-yang-akhirnya-diketok-palu-.
Tashandra, Nabilla. (2016, September 14). Hanura Nilai Tak Relevan Hasil Pileg 2014 Dipakai untuk UsungCapres 2019. Retrieved from http://nasional.kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2016/09/14/10054841/hanura.nilai.tak.relevan.hasil.pileg.2014.dipakai.untuk.usung.capres.2019
Tashandra, Nabilla. (2017, Januari 10). Presidential Threshold” dan Kekhawatiran Munculnya Banyak Capres.Retrieved from http://nasional.kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2017/01/19/08442251/.presidential.threshold.dan.kekhawatiran.munculnya.banyak.capres
Taufik, M. (2014, 06 15). Survei: Massa NU lebih pilih Jokowi, Muhammadiyah pilih Prabowo. Retrieved fromhttps://www.merdeka.com: https://www.merdeka.com/politik/survei-massa-nu-lebih-pilih-jokowi-muhammadiyah-pilih-prabowo.html
Taylor, M. (1972). On the Theory of Government Coalition Formation , . British Journal of Political Science,2(3), 361-373.
Thorson, G., & Stambough, S. (1995). Anti-Incumbency and the 1992 Elections: The Changing Face ofPresidential Coattails. The Journal of Politics, 57(1), 210-220.
Triyogo, A. W. (2018, 02 23). Megawati Resmi Umumkan Jokowi Sebagai Calon Presiden PDIP 2019. Retrieved05 12, 2018, from https://nasional.tempo.co/read/1063758/megawati-resmi-umumkan-jokowi-sebagai-calon-presiden-pdip-2019
UUD NRI Tahun 1945 Setelah Perubahan Ketiga. (n.d.).
Wardani, H. L. (2017, 04 22). Versi Eep, Ini 5 Faktor Anies-Sandi Menang Telak Lawan Ahok-Djarot. Retrievedfrom https://news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3481435/versi-eep-ini-5-faktor-
anies-sandi-menang-telak-lawan-ahok-djarot
Waskita, F. (2017). Penjelasan Soal Dua Sistem Penghitungan Suara: Sainte Lague Murni Dianggap Habisi PartaiKecil. Retrieved from http://www.tribunnews.com: http://www.tribunnews.com/nasional/2017/07/21/penjelasan-soaldua-sistem-penghitungan-suara-sainte-lague-murni-dianggap-habisi-partai-
Wildansyah, S. (2017, 07 07). Cak Imin: Presidential Threshold 20% Oke Tapi dengan Syarat. Retrieved fromhttps://news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3552319/cak-imin-presidential-threshold-20-oke-tapi-dengan-syarat
Wiwoho, B. (2017, 07 21). PPP Klaim Berhasil Lobi PKB Dukung Opsi A RUU Pemilu. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170720113921-32-229119/ppp-klaim-berhasil-lobi-pkb-dukung-opsi-a-ruu-pemilu
Wiwoho, Bimo. (2017, 07 20). PPP Klaim Berhasil Lobi PKB Dukung Paket A RUU Pemilu. Retrieved fromwww.cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170720113921-32-229119/ppp-klaim-berhasil-lobi-pkb-dukung-opsi-a-ruu-pemilu
213PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
1.Pendahuluan
Public Relation merupakan program yang sangat diperlukan dalam suatu Perusahaan sehingga kerja
di sebuah Perusahaan Public Relation melakukan beberapa job desk dalam suatu Perushaan dengan
beberapa promotion dan kerja yang telah di tentukan dalam sebuah Perusahaan. Public Relation memiliki
peranan penting dalam citra Perusahaan sehingga dalam kegiatanya mencakup tugas internal dan ekternal
dalam pekerjaanya, untuk itu evaluasi sangat di perlukan dalam kinerja Public Relation.
Perhotelan di Indonesia tumbuh pesat sejalan dengan semakin berkembangnya sektor pariwisata,
khususnya di kota Purwokerto Jawa Tengah. Di kota Purwokerto khususnya bisnis hotel meningkat dari
tahun 2014. Dengan munculnya Hotel International yaitu Aston Imperium Purwokerto yang merupakan
chance International sehingga para pemilik modal atau saham ikut dalam bisnis Hotel di Purwokerto, dari
awal 2012 Aston berdiri muncul Hotel baru yang awalnya merupakan Hotel Lokal Dynasty menjadi Horison
dan sekarang menjadi Java Heritage, selain itu muncul pula brand baru yang berasal dari Indonesia Santika
Hotel Purwokerto, Meotel dan lainya selain itu muncul Pula beberapa hotel melati yang memiliki fasilittas
bintang 2 seperti COR, DM, WN Hotel, Amoris, dari munculnya hotel hotel baru di Purwokerto menandakan
bahwa bisnis Hotel makin menjanjikan di kota Purwokerto. Perhotelan merupakan salah satu bisnis yang
masih menjanjikan dan mempunyai potensi besar. Walaupun keadaan negara sekarang yang semakin tak
menentu, bisnis perhotelan masih bisa berjalan dengan lancar.
Dari Latar Belakang di atas maka rumusan masalahnya adalah bagaimana Evaluasi dalam kinerja
Public Relation dalam reputasi Perushaan di Hotel Aston Imperium Purwokerto?
2. Tinjaun Pustaka
Evaluasi Program
Iriantara (2004) mengutip dari Steele yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan proses penilaian
secara sistematis tentang nilai, tujuan efektivitas atau ketepatan sesuatu berdasarkan kriteria dan tujuan
EVALUASI PROGRAM PUBLIC RELATION DALAM REPUTASI PERUSHAAN DI
HOTEL ASTON IMPERIUM PURWOKERTO
Neli S
Prodi Magister Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Jenderal Soedirman
ABSTRAK:
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi program internal dan ekternal Public Relation yang di
lakukan oleh Public Relation di Hotel Aston Imperium Purwokerto – Jawa Tengah. Studi ini peneliti
belum pernah melakukan evaluasi terhadap program Public Relation pada sub bagian humas baik
internal maupun ekternal, Untuk mengevaluasi program internal Public Relation di gunakan model
The Planning Research and Evaluation Process (Pre Process) yang mencakup 5 tahap yakni audit,
settling objectives, strategy and plan, ongoing measurement, results and evaluation. Kelima tahap
tersebut akan melihat apa saja yang menjadi penentu dan bagaimana cara menyusun program,
bagaimana pelaksanaanya dan evaluasi seperti apa yang telah dilakukan. Penelitian ini merupakan
kualitatif dengan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Tipe penelitian adalah
penelitian evaluative, teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, pengumpulan
dokumen dan observasi. Temuan dari penelitian ini adalah ada empat program internal Public Relation
yang berhasil diidentifikasi, yakni bulletin internal, sosialisasi, papan pengumuman dan kliping. Dari
keempat program tersebut yang menjalani audit melalui riset sederhana adalan bulletin dan papan
pengumuman. Semua program direncanakan melalui penyusun keranga acuan kerja.
Kata Kunci : Reputasi Perusahaan, Public Relation, Aston Imperium Purwokerto
214 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
yang sudah ditetapkan sebelumnya. Artinya, dalam evaluasi itu kita memberi makna, tujuan, efektivitas
atau kesesuaian program dengan acuan pada dua hal yakni standar atau kriteria dan tujuan. Menurut
Iriantara (2004,p.148) evaluasi program dalam konteks Public Relations pada dasarnya menggunakan
tahapan atau langkah yang sama dengan langkah evaluasi program lainnya. Yang membedakan hanyalah
jenis dan isi programnya. Dalam mengevaluasi program Public Relations tentu isinya berkaitan dengan
program yang kewenangan merencanakan dan menjalankannya ada pada bagian atau divisi Public Relations
suatu organisasi. Menurut Nor Hadi (2011), tujuan dari evaluasi adalah memperoleh masukan untuk
perencanaan program kegiatan; memperoleh berbagai bahan pertimbangan dalam rangka pengambilan
keputusan, layak atau tidak layak program Public Relations tersebut untuk dilanjutkan; memperoleh
masukan perbaikan program; memperoleh masukan tentang hambatan program yang sedang dilaksanakan;
memperoleh masukan untuk perbaikan; memperoleh rekomendasi dan pelaporan terhadap penyandang
dana (Ardianto, 2011, 225).
Public Relation
Aktivitas public relations sehari-hari adalah menyelenggarakan komunikasi timbal balik (two way
communication) antara perusahaan atau suatu lembaga dengan pihak publik yang bertujuan untuk
menciptakan saling pengertian dan dukungan bagi tercapainya suatu tujuan tertentu, kebijakan, kegiatan
produksi barang atau pelayanan jasa, dan sebagainya, demi kemajuan perusahaan atau citra positif bagi
lembaga bersangkutan (Ruslan, 2007:1).
Menciptakan citra atau publikasi yang positif merupakan prestasi, reputasi dan sekaligus menjadi
tujuan utama bagi aktivitas public relations dalam melaksanakan manajemen kehumasan, membangun
citra atau nama baik lembaga, organisasi atau produk yang di wakilinya. Menurut pendapat Scott M.
Cutlip dan Allen H. Center dalam Ruslan (2002:27) bahwa : “Public Relations adalah fungsi manajemen
yang menilai sikap publik, mengidentifikasikan kebijaksanaan dan tata cara organisasi demi kepentingan
publiknya, serta merencanakan suatu program kegiatan dan komunikasi untuk memperoleh pengertian
dan dukungan publiknya” Public relations adalah sebuah fungsi kepemimpinan dan manajemen yang
membantu pencapaian tujuan sebuah organisasi, membantu mendefinisikan filosofi serta memfasilitasi
perubahan organisasi. Public relations berkomunikasi dengan semua masyarakat internal dan eksternal
yang relevan untuk mengembangkan hubungan yang positif serta menciptakan konsistensi antara tujuan
organisasi dengan harapan masyarakat.
Jefkins dalam bukunya Public Relations (2003:20) menyebutkan beberapa jenis citra (image). Berikut
ini lima jenis citra yang dikemukakan, yakni:
1. Citra bayangan (mirror image). Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi
biasanya adalah pemimpinnya, mengenai anggapan pihak luar tentang organisasinya. 2. Citra yang berlaku
(current image). Suatu citra atau pandangan yang dianut oleh pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi.
3. Citra yang diharapkan (wish image). Suatu citra yang diinginkan oleh pihak manajemen.
4. Citra perusahaan (corporate image). Citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan
sekedar citra antara produk dan pelayanannya.
5. Citra majemuk (multiple image). Banyaknya jumlah pegawai (individu), cabang, atau perwakilan
dari sebuah perusahaan atau organisasi dapat memunculkan suatu citra yang belum tentu sama dengan
citra organisasi atau perusahaan tersebut secara keseluruhan. Public relations merupakan bagian dari proses
perubahan dan pemecahan masalah di dalam organisasi yang dilakukan secara ilmiah.
Langkah proses Public Relation(Wheel Spiining Public Relations Model)
1. Defining the Problem (Fact Finding) atau Pengumpulan Fakta Tahap pertama ini mencakup
penyelidikan dan memantau pengetahuan, opini, sikap dan perilaku pihak-pihak yang terkait dengan dan
dipengaruhi oleh tindakan dan kebijaksanaan organisasi. pada dasarnya ini adalah fungsi inteligen
organisasi.
2. Planning and Programming Informasi yang dikumpulkan dalam langkah pertama digunakan
untuk membuat keputusan tentang program publik, strategi tujuan, tindakan dan komunikasi, taktik, dan
sasaran. Tahap ini akan mempertimbangkan temuan dari langkah dalam membuat kebijakan dan program
organisasi. Tahap kedua ini akan menjawab pertanyaan “
215PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
3. Taking Action and Communicating Tahap ketiga adalah mengimplementasikan program aksi
dan komunikasi yang di desain untuk mencapai tujuan spesifik untuk masingmasing publik dalam rangka
mencapai tujuan program. Pertanyaan dalam tahap ini adalah “Siapa yang harus melakukan dan
menyampaikannya, dan kapan, dimana, dan bagaimana caranya?”.
4. Evaluating the Program Tahap terakhir dalam proses ini adalah melakukan penilaian atas
persiapan, implementasi, dan hasil dari program. Penyesuaian akan dilakukan sembari program
diimplementasi 12 dilanjutkan atau dihentikan setelah menjawab pertanyaan “Bagaimana keadaan kita
sekarang atau seberapa baik tahap yang telah kita lakukan?”
harus tampak di laporan tahunan, brosur dan catalog, peralatan kantor perusahaan, serta kartu
nama. 3. Suasana : ruang fisik yang ditempati organisasi merupakan pencipta citra yang kuat lainnya. 4.
Peristiwa : suatu perusahaan dapat membangun suatu identitas melalui jenis kegiatan yang disponsorinya.
35 Citra yang baik dari suatu organisasi merupakan aset yang sangat penting karena citra mempunyai
suatu dampak persepsi publik dan operasi organisasi dalam berbagai hal. Setiap perusahaan harus
mempunyai citra di masyarakat, dan citra itu sendiri dapat berperingkat baik, sedang, atau buruk. Citra
buruk melahirkan dampak yang negativ bagi operasi bisnis perusahaan dan juga melemahkan kemampuan
perusahaan untuk bersaing.
Reputasi perusahaan
Unsur terpenting dalam dunia bisnis. Sebab baik buruk dalam reputasi perusahaan merupakan
indikator penting dari keberhasilan perusahaan tersebut. Reputasi perusahaan memang suatu yang
kompleks, namun jika dikelola dengan baik akan sangat berharga. Beberapa isu penting dalam manajemen
reputasi dan pandangan masyarakat tentang reputasi. Menurut Afdhal, dalam jurnal Roy Marthin Tarigan
reputasi perusahaan adalah asset yang tidak nyata (intangible asset). Keadaan reputasi akan tergantung
kepada apa yang dilakukan perusahaan sebagai entitas. Lebih jauh dari itu, akan tergantung kepada
komunikasi dan tandatanda yang dipilih untuk diberikan kepada pasar. Simbol dari reputasi, nama
perusahaan, jika dikelola dengan baik, akan mempresentasikan perusahaan agar didukung oleh masyarakat.
Bahkan akan sangat bernilai bagi konsumen
Tujuan Public Relations
Tujuan utama kegiatan public relations adalah membangun kredibilitas dan membangkitkan
motivasi bagi stakeholders perusahaan guna meminimalkan biaya pengeluaran proses transfer komunikasi.
Tujuan kegiatan public relations dapan dikelompokkan sebagai berikut : a. Performance Objective : PR
merupakan kegiatan komunikasi untuk mempresentasikan citra perusahaan kepada publiknya
(stakeholders), melaksanakan serangkaian kegiatan untuk membentuk dan memperkaya identitas dan
citra perusahaan di mata stakeholders. b. Support of Consumer Market Objective : Kegiatan PR dapat
digunakan untuk mengidentifikasi permasalahn yang timbul sehubungan dengan kegiatan komunikasi
yang dilaksanakan oleh perusahaan dengan menitikberatkan pembahasan pada identifikasi tingkat
kesadaran konsumen, sikap dan persepsi konsumen terhadap produk tayangan ditawarkan perusahaan.
Hasil identifikasi tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan perusahaan untu
menerapkan strategi pendekatan yang sesuai.
Dari sekian banyak tugas yang diemban oleh seorang public relations, tujuan yang ingin dicapai
dalam bidang public relations, yaitu komunikasi internal dan komunikasi eksternal. Komunikasi internal
: Memberikan informasi sebanyak dan sejelas mungkin mengenai institusi. Menciptakan kesadaran anggota
mengenai peran institusi dalam masyarakat. Menyediakan sarana untuk memperoleh umpan balik dari
anggotanya. b. Komunikasi eksternal : Informasi yang benar dan wajar mengenai institusi. Kesadaran
mengenai peran institusi dalam tata kehidupan umumnya. Motivasi untuk menyampaikan citra baik.
3.Metedologi Penelitian
Metode yang dilakukan adalah kualitatif yaitu evaluasi terhadap program Public Relation pada sub
bagian humas baik internal maupun ekternal, Untuk mengevaluasi program internal Public Relation di gunakan
model The Planning Research and Evaluation Process (Pre Process) yang mencakup 5 tahap yakni audit, settling
objectives, strategy and plan, ongoing measurement, results and evaluation. Kelima tahap tersebut akan melihat
216 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
apa saja yang menjadi penentu dan bagaimana cara menyusun program, bagaimana pelaksanaanya dan
evaluasi seperti apa yang telah dilakukan. Penelitian ini merupakan kualitatif dengan penelitian kualitatif
dengan menggunakan metode studi kasus. Tipe penelitian adalah penelitian evaluative, teknik pengumpulan
data melalui wawancara mendalam, pengumpulan dokumen dan observasi. Temuan dari penelitian ini
adalah ada empat program internal Public Relation yang berhasil diidentifikasi, yakni bulletin internal,
sosialisasi, papan pengumuman dan kliping. Dari keempat program tersebut yang menjalani audit melalui
riset sederhana adalan bulletin dan papan pengumuman. Semua program direncanakan melalui penyusun
keranga acuan kerja.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi
objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari apada generalisai. (Sugiyono, 2007).
4. Hasil Penelitian/ Analisis
Lokasi Penelitian
Aston Imperium Purwokerto amerupakan satu-satunya hotel bintang 4 di Purwokerto, terletak
di tengah kota Purwokerto antara Jalan Overste Isdiman No.33 Purwokerto dan Jalan Dr Suharso,
dengan kantor pemerintah, rumah sakit, Universitas Jenderal Sudirman yang terkenal dan Wijaya
Kusuma Golf Course yang menjadikan lokasi ini ideal bagi para pebisnis dan delegasi konferensi.
Aston Imperium Purwokerto merupakan Hotel yang terbaik by Tripadvisor dengan berada di tengah
kota Purwokerto, Jawa Tengah ini menjadi lokasi penelitian dalam Jurnal yang berjudul Evaluasi
Program Public Relation yang ada di Aston Imperium Purwokerto dalan reputasi Perusahaan.
Tahap Evaluasi dalam Program Public Relation
Di Aston Imperium Purwokerto memiliki tahap evaluasi di program Public Relation.
Dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan yang ada dalam lingkungan, seorang praktisi PR
harus memiliki tahap-tahap dalam melakukan kegiatannya. Menurut Cutlip dan Center, ada empat proses
public relations. Proses tersebut bersifat dinamis, sehingga setiap unsur yang ada pun berkesinambungan.
Keempat proses tersebut adalah:
1. Research (penelitian)
Seorang praktisi PR harus mengenal gejala dan penyebab permasalahan. Oleh sebab itu, praktisi PR
perlu melibatkan dirinya dalam penelitian dalam pe-ngumpulan fakta. Ia perlu memantau dan membaca
tentang pengertian, opini, sikap, dan perilaku orang-orang yang berkepentingan dan terpengaruhi oleh
tindakan perusahaan. “What’s happening now?” merupakan kata-kata yang menjelaskan tahap ini. Seorang
praktisi PR harus jeli dalam melihat data dan fakta yang erat sangkut pautnya dengan pekerjaan yang
akan digarap. Segala keterangan harus diperoleh selengkap mungkin. Dalam tahap mendefinisikan
penilitian, seorang praktisi PR harus meng-olah data faktual yang telah ada, mengadakan perbandingan,
melakukan pertimbangan, dan menghasilkan penilaian, sehingga dapat diperoleh kesimpulan dan ketelitian
dari data faktual yang telah didapat. Proses PR tidak sesederhana pengumpulan data dan fakta, namun
juga harus mengedepankan pengolahan, penelitian, pengklasifikasian, dan penyusun-an data sedemikian
rupa sehingga memudahkan pemecahan masalah nantinya. Penelitian dalam pencarian data ini dapat
dilakukan dengan cara-cara: survei dan poling, wawancara, focus group discussion, wawancara mendalam,
dan walking around research.
2. Planning (perencanaan)
Setelah tahap penelitian dan pencarian data, praktisi PR melanjutkan ke tahap perencanaan. Dalam
tahap ini, praktisi PR melakukan penyusunan masalah. Ia melakukan pemikiran untuk mengatasi masalah
dan menentukan orang-orang yang akan menggarap masalah nantinya. Perencanaan ini tidak boleh
diabaikan, namun harus dipikirkan secara matang karena turut menentukan suksesnya pekerjaan PR secara
keseluruhan. Perencanaan disusun atas data dan fakta yang telah diperoleh, bukan berdasarkan keinginan
PR. Berdasarkan pada rumusan masalah, dibuat strategi perencanaan dan pengambilan keputusan untuk
217PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
membuat program kerja berdasarkan kebijakan lembaga yang juga disesuaikan dengan kepentingan publik.
Kata kunci dari tahap ini adalah, “What should we do and why?”
3. Action and Communication (aksi dan komunikasi)
Komunikasi sering kali dilakukan berdasarkan asumsi pribadi oleh seorang praktisi PR. Akibatnya,
tindakan tersebut terkadang membawa hasil yang buruk dan tidak disarankan karena akan berisiko pada
citra perusahaan. Tahap ini dilewati untuk mendapatkan jawaban pertanyaan, “How do we do it and say it”.
Tujuan dan objektivitas yang spesifik harus dikaitkan untuk mencapai aksi dan komunikasi yang akan
dilakukan oleh praktisi PR. Ia harus mampu mengkomunikasikan pelak pelaksanaan program sehingga
dapat mempengaruhi sikap publiknya yang kemudian mendorong mereka untuk mendukung pelaksanaan
program tersebut. Selain itu, ia juga harus melakukan aksi dan melakukan kegiatan PR sebaik-baiknya.
Kegiatan aksi ini merupakan kegiatan komunikasi, selayaknya komunikasi kelompok, komunikasi massa,
dan komunikasi organisasional.
4. Evaluation (evaluasi)
Cara untuk mengetahui apakah prosesnya sudah selesai atau belum adalah dengan mengadakan
evaluasi atas langkah-langkah yang telah diambil. Tujuan utama dari evaluasi adalah untuk mengukur
keefektifitasan proses secara keseluruhan. Pada tahap ini, ia pun dituntut untuk teliti dan seksama demi
keakuratan data dan fakta yang telah ada. Akan tetapi, perlu diingat bahwa nama tengah seorang praktisi
PR adalah ‘krisis’. Oleh karena itu, setelah selesai satu permasalahan, tidak menutup kemungkinan untuk
mendapatkan masalah baru lagi. Dengan demikian, tahap ini juga sebagai acuan perencanaan di masa
mendatang. Singkat kata, “How did we do?” menjadi acuan dalam tahap ini.
Reputasi Perusahaan Aston Imperium Purwokerto
Salah satu metode penilaian reputasi suatu organisasi (perusahaan) adalah Harris-Fombrun
Reputation Quetiont, yang didalamnya terdapat elemen dan atribut reputasi korporat, yaitu
1. Emotional Appeal
Good felling about the company, memiliki perasaan yang baik, senang atau cinta terhadap
perusahaan, Admire and respect the company, perasaan kagum dan menghargai perusahaan, Trust the
company, memiliki perasaan percaya kepada perusahaan.
2. Product and Service a. Stands behind products/services, beranggapan bahwa produk ataupun
jasa yang dihasilkan sesuai dengan core bisnisnya, sesuai dengan identitas perusahaannya Offer product/
service that are good value, yaitu beranggapan perusahaan menghasilkan produk ataupun jasa yang
menghasilkan nilai jual.
3. Vision and Leadership a. Has excellent leadership, beranggapan bahwa perusahaan berjalan
dibawah kepemimpinan yang handal. b. Has a clear vission for the future, beranggapan bahwa perusahaan
memiliki visi yang jelas untuk menghadapi tantangan kedepan. c. Recognize/takes advantage of market
opportunities, beranggapan bahwa perusahaan mahir dalam mencari dan memanfaatkan peluang yang
ada.
4. Workplace Environtment a. Ia well managed, beranggapan bahwa perusahaan dikelola dengan
baik. b. Looks like a good company to work for, perusahaan terlihat sebagai tempat yang baik untuk bekerja.
c. Looks like has a good employees, terlihat sebagai perusahaan yang memilik pegawai profesional.
5. Financial Performance a. Record of profitability, beranggapan bahwa catatan kinerja keuangan
perusahaan selama ini menunjukan profitabilitas. b. Look like a low risk invesment, dari kinerja keuangan
perusahaan, membuat perusahaan terlihat sebagai tempat berinvestasi yang rendah resiko. c. Strong prospect
for future growth, dari kinerja keuangan perusahaan, membuat perusahaan terlihat sebagai perusahaan
yang memiliki prospek yang kuat pada perkembangan di masa depan. d. Tends to out performs its
competitors, dari kinerja keuangan perusahaan terlihat bahwa perusahaan cenderung lebih unggul
dibandingkan dengan pesaingnya.
5. Kesimpulan
218 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Aston Imperium Purwokerto melaukan beberap tahap dalam Kegiatan Public Relation, akan tetapi
dalam beberapa hal tersebut ada yang misinformasi dengan beberapa pihak dan untuk reputasi sendiri
Aston ImperiumPurwokerto, dalam pelayanan masih memiliki reputasi yang baik
6. Daftar Pustaka
Elvinaro. (2004). Public Relations. Bandung : Remaja Rosdakarya. Crabtree, Jayne Elizabeth. “Public Relations:The Importance of Community Relationships between Small-businesses and the Community.” California PolytechnicState University.
June 2011: 1-53. Cutlip, S., Center, A. H., & Broom, G. M. 2006. Effective Public Relations (9th ed). New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Greogory, A. 2002. Public Relations dalam Praktik Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga. Hartati, Ninik S.Pd.
Jefkins, frank. 1992. Public Relation. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Kusumastuti, Frida. 2002. Dasar-Dasar HUMAS. Jakarta. Penerbit Ghalia Indonesia
219PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Latar Belakang
Humas merupakan salah satu aspek penting dalam keberlanjutan operasional suatu perusahaan.
Terutama bagi perusahaan-perusahaan besar dengan skala nasional, humas merupakan ‘wajah’ dari
perusahaan yang harus mampu memberikan citra positif terhadap masyarakat. Apalagi jika dikaitkan
dengan bisnis yang dijalankan, tentunya bisnis dituntut untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan
tempatnya berada (Manurung dan Mandalia, 2015: 231). Dalam hal ini, aktivitas kehumasan dapat diukur
melalui muncul atau tidaknya opini di masyarakat (Herimanto, 2007: 130). Artinya, humas dapat
menentukan kesuksesan fungsinya dengan melihat adanya opini publik di masyarakat.
Ketika bicara masalah bisnis, salah satu bisnsi yang terus berkembang tampak pada dunia perbankan.
Dikutip dari metrotvnews.com (diakses pada 25 April 2018) di tahun 2017 saja perbankan tumbuh pesat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini terjadi berkat adanya paket kebijakan baru
serta kebijakan tax amnesty. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan dalam dunia perbankan semakin
pesat setiap tahunnya, terutama pada aspek kredit. Tidak hanya berinovasi melalui produk dan layanannya,
bank-bank di Indonesia menghadapi ketatnya persaingan untuk memenangkan hati nasabah. Layanan
dan program khusus untuk nasabah digencarkan, mulai dari promo gratis biaya administrasi bagi nasabah
dengan transaksi internet banking terbanyak sampai dengan program undian bagi nasabah setia. Hal-hal
tersebut dilakukan tidak hanya di satu instansi bank saja, melainkan banyak dipraktikkan di berbagai
bank yang ada di Indonesia.
Praktik pemberian hadiah, program CSR dan beberapa kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh
bank-bank di Indonesia dapat dipahami sebagai bentuk aktivitas kehumasan. Dalam hal ini, dapat dilihat
bahwa humas memiliki peran penting yang berguna dalam perputaran sistem dan manajemen di suatu
organisasi (Anggoro, 2008: 29). Tidak hanya itu, humas juga memiliki tiga peran penting yaitu sebagai
pemberi penjelasan, fasilitator komunikasi dan fasilitator pemecahan masalah (Lattimore dalam Herlina,
2015: 494). Aktivitas yang dilakukan humas pada sebuah perusahaan juga dilakukan untuk mengelola
reputasi perusahaan di mata masyarakat.
Kurnia, dkk (2013: 2) menyatakan bahwa reputasi merupakan aset yang krusial dimiliki oleh
perusahaan. Reputasi juga menunjukkan keberadaan serta kualitas perusahaan. Dengan demikian, reputasi
yang dimiliki oleh sebuah bank dapat dipahami sebagai hal yang dapat menunjukkan keberadaan bank
PENERAPAN MANAJEMEN STRATEGIK PADA AKTIVITAS KEHUMASAN PANIN
BANK KC PURWOKERTO
Denisa Ramadhanti
Mahasiswa Prodi Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal
Soedirman
ABSTRAK:Dalam sebuah organisasi, humas merupakan salah satu divisi yang memegang peranan penting dalam
aspek operasional. Hal ini juga tampak pada operasional Panin Bank KC Purwokerto. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan manajemen strategik yang dilakukan pada aktivitas
kehumasan Panin Bank KC Purwokerto. Teori Excellence digunakan untuk menganalisa data yang
ditemukan di lapangan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dengan adanya
pengamatan dari lapangan. Hal yang diamati meliputi penerapan SOP pada operasional bank dan
program pemeliharaan hubungan dengan nasabah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
departemen kehumasan Panin Bank KC Purwokerto telah menjalankan mayoritas prinsip standar
Teori Excellence, namun departemen humas belum bisa berdiri sendiri atau menjadi departemen
independen karena adanya keterbatasan sumber daya.
Kata kunci: management strategik, public relation, perbankan
220 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
serta kualitas yang dimiliki oleh bank tersebut. Dalam hal ini, reputasi yang dimiliki perusahaan tidak
harus selalu baik, namun bisa saja sebuah perusahaan memiliki reputasi yang buruk. Namun, sebuah
perusahaan bisa menerapkan usaha untuk membangun reputasi yang baik terhadap bank tersebut.
Salah satu bank berskala nasional yang ada di Kota Purwokerto adalah Panin Bank. Bank yang satu
ini terletak di Jalan Jenderal Soedirman Nomor 61A Purwokerto. Panin Bank memberikan layanan dengan
banyak pilihan bagi nasabah, mulai dari tabungan, depisto, giro dan pinjaman yang ditujukan baik kepada
perorangan maupun korporasi dan sindikasi. Sebagai bank berskala nasional, Panin Bank tentu menghadapi
tantangan untuk menarik dan memperoleh lebih banyak nasabah. Tidak hanya dengan menawarkan produk
perbankan, namun juga dengan menerapkan manajemen startegis yang dapat membangun reputasi
perusahaan.
Sejauh ini, Panin Bank KC Purwokerto sudah menjalankan beberapa program kehumasan walaupun
belum dilakukan secara optimal. Beberapa kegiatan seperti penjualan sembako murah, CSR dan adanya
program Panin Superbonanza. Panin Bank juga menyediakan sebuah platform untuk nasabah yang ingin
mengakses informasi terkait Panin Bank serta program-programnya melalui situs www.panin.co.id. Pihak
manajemen memberikan informasi lengkap mengenai produk, pemberitaan serta beberapa hal terkait
dengan organisasi.
Sementara itu, reputasi Panin Bank dapat dilihat dari beberapa prestasi yang diperoleh. Dilansir
dari www.panin.co.id pada 25 April 2018, prestasi Panin Bank tampak mentereng dengan banyaknya
penghargaan yang diperoleh. Pada 2014, Panin Bank memperoleh penghargaan dari Cards & Electronic
Payments Internaional Asia Trailblazer Awards 2014 sebagai Best Technology Initiative Highly Commended. Pada
tahun yang sama bank ini juga memperoleh penghargaan dari InfoBank Awards atas kinerja keuangan
yang ‘Sangat Bagus’ pada periode 2009-2013. Capaian-capaian Panin Bank tersebut menunjukkan bahwa
bank ini memiliki tempat yang prestisius di masyarakat dan dunia perbankan.
Jika dikaitkan dengan dunia perbankan, reputasi merupakan hal yang penting yang bisa memberikan
pertimbangan bagi calon nasabah dalam mengambil keputusan memilih tempatnya menabung atau
berinvestasi. Reputasi memang merupakan aset yang tidak berwujud, namun reputasi bisa dipahami sebagai
indikator kinerja yang telah dilaksanakan di masa lalu (Nova, 2011: 309). Dalam hal ini, guna membangun
reputasi yang baik di mata masyarakat, sebuah perusahaan wajib menerapkan manajemen kehumasan
yang sesuai. Keberhasilan humas pada sebuah organisasi dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh
manajemennya. Dengan kata lain, humas terikat dengan pihak manajemen dalam menentukan sikap. Untuk
melancarkan praktik manajemen kehumasan yang sesuai, diperlukan strategi komunikasi yang dapat
dipahami sebagai perencanaan manajemen untuk mencapai tujuan tertenu (Effendy 2009: 32).
Dalam kasus Panin Bank KC Purwokerto, penulis ingin mengetahui bagaimana manajemen strategi
yang diterapkan untuk membangun reputasi perusahaan di mata masyarakat. Sebagai sebuah bank berskala
nasional, tentunya Panin Bank memiliki strategi tertentu dalam rangka membangun reputasi yang positif.
Oleh karenanya, penulis ingin mengulas penerapan manajemen srategi pada aktivitas kehumasna yang
dilakukan oleh Panin Bank KC Purwokerto.
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini berbunyi “Bagaimanakah
penerapan manajemen strategik pada aktivitas kehumasan Panin Bank KC Purwokerto?”.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Satori (2011: 23) menyatakan bahwa
penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang dilakukan untuk mengungkap dan mengeksplorasi
fenomena sosial dengan cara mendeskripsikan subjeknya. Metode ini dapat menggambarkan, menjelaskan
dan membangun hubungan dari kategori-kategori dan data yang ditemukan. Hal ini sesuai dengan tujuan
dari studi etnografi komunikasi untuk menggambarkan, menganalisis dan menjelaskan perilaku komunikasi
dari suatu kelompok sosial (Kuswarno, 2008: 86). Dengan metode kualitatif ini, peneliti tidak hanya
mengungkap namun juga melihat lebih jauh mengenai fenomena yang ada di masyarakat.
Informan penelitian dipilih dengan teknik purposive sampling, yaitu dengan memilih informan
berdasarkan tujuan tertentu. Seperti yang diungkapkan Sugiyono (2009: 246), purposive sampling
didefinisikan sebagai teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan
ini termasuk orang-orang yang mengetahui dan memahami informasi yang diperlukan dalam sebuah
221PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
penelitian berdasarkan permasalahan yang tengah diteliti. Oleh karenanya, informan penelitian ini adalah
karyawan Panin Bank KC Purwokerto yang berhubungan dengan konsumen, yaitu frontliner dan marketing.
Data penelitian dikumpulkan dengan metode pengamatan lapangan.
Hasil Penelitian
Dari penelitian yang telah dilaksanakan, terdapat beberapa temuan yang diperoleh dari kondisi
lapangan. Pengamatan dilakukan dengan melihat beberapa aspek yang ada pada operasional Panin Bank
KC Purwokerto. Dalam hal ini, hasil penelitian dibadi menjadi dua aspek. Aspek yang pertama yaitu pada
aspek operasional berdasarkan SOP yang dilakukan di bank, yang dilakukan oleh karyawan operasional.
Sementara itu, aspek kedua adalah aspek yang berhubungan dengan nasabah di luar pelayanan langsung
di bank yang dapat berupa program-program yang diperuntukkan bagi nasabah setia. Berikut ini kedua
jenis pelayanan yang dilaksanakan di Panin Bank KC Purwokerto.
1. Aspek Pelayanan Operasional
Pada aspek ini, pelayanan difokuskan pada pemberian layanan yang terjadi di bank secara langsung,
yaitu ketika nasabah mendatangi kantor bank. Panin Bank KC Purwokerto memiliki beberapa panduan
khusus yang mengatur tentang pelayanan yang diberikan oleh karyawan, terutama pihak front liner kepada
nasabah. Adapun standar interaksi pelayanan untuk nasabah antara lain adalah sebagai berikut:
a.Greeting/sambutan
Karyawan Panin Bank KC Purwokerto diwajibkan untuk memberikan sambutan bagi nasabah yang
datang ke kantor layanan. Ucapan selamat datang merupakan hal yang wajib diberikan oleh satuan
pengamanan, teller dan customer service. Dalam hal ini, karyawan juga wajib memberikan ucapan terima
kasih kepada nasabah yang meninggalkan kantor layanan. Poin penting dalam pemberian layanan bagi
nasabah di kantor layanan adalah keramahan karyawan.
b.Product Knowledge
Karyawan Panin Bank KC Purwokerto wajib memahami produk yang dimiliki oleh perusahaan.
Tidak hanya itu, layanan perusahaan juga merupakan hal yang wajib dipahami oleh setiap karyawan
Panin Bank KC Purwokerto. Pengetahuan mengenai produk dan layanan perusahaan ini dapat sangat
membantu karyawan untuk memberikan informasi yang akurat kepada nasabah yang menanyakan atau
ingin mengetahui secara lebih rinci mengenai produk dan layanan yanga da di perusahaan.
2. Relationship Maintenance/Pemeliharaan Hubungan dengan Nasabah
Untuk memastikan bahwa perusahaan tidak kehilangan nasabah dan terus memiliki keuntungan,
maka Panin Bank KC Purwokerto menjalankan program pemeliharaan hubungan dengan nasabah. Dalam
hal ini, pemeliharaan hubungan dilakukan oleh Divisi Marketing. Pelaksanaan program dilakukan dengan
memberikan kesempatan bagi para nasabah untuk berkumpul (gathering) dan memberikan reward untuk
kesetiaan nasabah yang bersangkutan.
Adapun pemilihan nasabah dalam hal ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Nasabah yang
mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan reward adalah beberapa nasabah priroritas. Kriteria nasabah
prioritas dapat dilihat dari frekuensi transaksi serta saldo tabungan yang besar, di atas rata-rata. Para
nasabah prioritas ini akan mendapatkan banyak keuntungan. Adapun keuntungannya adalah kesempatan
untuk mengikuti gathering dan memperoleh bingkisan ulang tahun.
3. Optimalisasi Penggunaan Media Sosial
Dewasa ini, media sosial menjadi salah satu media yang sangat penting digunakan oleh organisasi
untuk berkomunikasi dengan khalayak. Pada kasus Panin Bank KC Purwokerto, media sosial yang
digunakan untuk proses komunikasi dengan khalayak dioperasikan oleh kantor pusat secara langsung.
Dalam hal ini, beberapa akun media sosial Panin Bank dapat dilihat berupa Facebook dan Instagram.Panin
Bank memberikan beberapa informasi terkait produk, layanan dan promo melalui akun media sosialnya.
Tidak hanya itu, admin akun media sosial juga digunakan untuk berkomunikasi dengan nasabah. Dengan
begitu, nasabah bisa lebih leluasa dalam menjalin hubungan dan berinteraksi dengan pihak Panin Bank.
Pembahasan
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa Panin Bank KC Purwokerto telah menjalankan beberapa
aspek yang sangat vital terkait dengan operasional layanan yang diberikan kepada nasabahnya. Dalam
222 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
hal ini, perusahaan telah menjalankan beberapa hal yang tentunya bisa merengkuh lebih banyak nasabah.
Hal ini selaras dengan anggapan bahwa hubungan masyarakat adalah komunikasi. Bagaimana pun,
komunikasi merupakan salah satu unsur dasar hubungan masyarakat yang mana merupakan sebuah proses
komunikasi dua arah (Moore, 1988: 12). Hal ini tercermin dari penerapan SOP pelayanan bagi nasabah di
kantor layanan. Penerapan standar keramahan merupakan hal yang sangat penting, di mana pihak
perusahaan dan nasabah akan menjalankan komunikasi dua arah. Sebagai contoh, nasabah bisa menerima
penjelasan mengenai produk dan layanan Panin Bank KC Purwokerto dan mendapatkan pelayanan yang
ramah.
Di samping adanya penerapan komunikasi sebagai salah satu aspek hubungan masyarakat, dalam
hal ini pemeliharaan hubungan juga menjadi salah satu bentuk tindakan humas yang pening. Pemeliharaan
hubungan antara perusahaan dengan nasabah merupakan salah satu bentuk perubahan yang dirancang
untuk mencapai tujuan program serta tujuan dari organisasi itu sendiri. Tidak hanya itu, tindakan tersebut
juga dilakukan untuk menjawab kebutuhan dari nasabah atau konsumen (Morissan, 2008: 188). Dengan
adanya program pemeliharaan hubungan dengan nasabah, maka sebuah perusahaan bisa menjalankan
kegiatan operasionalnya secara lancar. Tidak hanya itu, penerapan ini juga bisa menambah lebih banyak
nasabah dan meningkatkan kesetiaan nasabah terhadap Panin Bank KC Purwokerto.
Apabila dikaitkan dengan Teori Excellence, maka humas yang ada di Panin Bank KC Purwokerto
belum bisa dikatakan sebagai perwujudan dari humas yang sesuai dengan 10 prinsip standar efektivitas
kehumasan. Departemen kehumasan sudah menjalankan mayoritas prinsip yang disebutkan pada Teori
Excellence. Namun, dalam hal ini, ada beberapa poin yang tidak dipenuhi oleh humas Panin Bank KC
Purwokerto. Adapun beberapa hal yang tidak dipenuhi adalah kondisi departemen humas di Panin Bank
KC Purwokerto yang tidak independen. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa fungsi kehumasan dilaksanakan
oleh banyak departemen secara terpisah. Sebagai contohnya adalah yang dilakukan oleh front office yang
menjalin hubungan dengan nasabah.
Selain itu, pada poin hubungan dengan publik, fungsi kehumasan dilaksanakan oleh pihak marketing.
Pengadaan acara seperti media gathering serta gathering nasabah prioritas justru dilakukan oleh pihak
marketing. Padahal, pelaksanaan pemeliharaan hubungan tersebut merupakan tugas dari departemen
kehumasan. Hal inilah yang menunjukkan bahwa departemen humas di Panin Bank KC Purwokerto belum
bisa memenuhi 10 prinsip standar eektivitas kehumasan. Tidak hanya itu, hal ini juga menunjukkan bahwa
penerapan Teori Excellence yang notabene terlahir di Amerika Serikat belum bisa diterapkan secara optimal
di organisasi yang berasal dari negara yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda. Beberapa
alasan yang mendasari ketidakcocokan teori ini diterapkan di Indonesia adalah keterbatasan sumber daya
yang dimiliki oleh organisasi atau perusahaan.
Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan. Adapun kesimpulan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Panin Bank KC Purwokerto telah menerapkan SOP pelayanan yang sangat baik kepada nasabah.
Dalam hal ini, nasabah bisa memperoleh layanan yang ramah sesuai dengan standar serta memperoleh
informasi mengenai produk dan layanan bank secara lengkap dan akurat berkat product knowledge yang
dimiliki oleh karyawan.
2. Panin Bank KC Purwokerto sudah memenuhi mayoritas prinsip standar efektivitas keumasan
yang ada pada Teori Excellence sebagai sebuah departemen yang fungsional di sebuah organisasi. Namun,
departemen humas belum bisa berdiri secara mandiri karena ada beberapa aspek yang masih dikerjakan
oleh departemen lainnya seperti pengadaan acara media gathering yang masih dikelola oleh pihak
marketing. Hal ini juga menunjukkan bahwa Teori Excellence yang berasal dari Amerika Serikat belum
bisa diaplikasikan secara optimal di negara lain yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda.
223PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, M. Linggar. 2008. Teori dan Profesi Kehumasan: Serta Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT. BumiAksara.
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Herlina, Sisilia. 2015. “Strategi Komunikasi Humas dalam Membentuk Citra Pemerintahan di Kota Malang”.Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 4 No. 3 2015.
Herimanto, Bambang. 2007. Public Relations dalam Organisasi. Yogyakarta: Santusa.
Kurnia, Indhira Hari, dkk. 2013. “Strategi Humas dalam Meningkatkan Reputasi Sekolah (Studi Kasus diSMA Negeri 1 Surakarta)”. Jupe UNS Vol. I, No. 2 April 2013.
Manurung, Habri Fernando dan Sekar Arum Mandalia. 2015. “Strategi Manajemen Public Relations dalamMenciptakan Citra Positif (Studi Kasus tentang Kegagalan Menjual Ponsel IMO pada PT. INTI Bandung”.E-Proceeding of Management: Vol. 2, No. 2 Agustus 2015.
Moore, H. Frazier. 1988. Hubungan Masyarakat Prinsip, Kasus dan Masalah. Bandung: Rosdakarya.
Morissan. 2008. Manajemen Public Relations Strategi Menjadi Humas Profesional. Jakarta: Kencana.
Nova, Firsan. 2011. Crisis Public Relations. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Internet
www.metrotvnews.com, diakses pada 25 April 2018 pada 18.47.
www.panin.co.id/pages/97/prestasi-dan-reputasi, diakses pada 25 April 2018 pada 16.27.
225PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
PENGAWASAN SUMBER DAYA PERIKANAN SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN
ILLEGAL FISHING DI PERAIRAN KABUPATEN ACEH BARAT
Nodi Marefanda
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Teuku Umar Aceh
Email: [email protected]
ABSTRAK:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengawasan sumber daya perikanan yang
dilakukan dalam upaya pemberantasan illegal fishing di perairan Kabupaten Aceh Barat. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengambilan data yaitu
observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan
indikator Pertama, setting standar Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat hanya menetapkan standar
berupa melakukan kegiatan pengawasan dengan patroli rutin pada setiap tahunnya dengan berkerja
sama dengan instansi terkait lainnya, Establishing Strategic Control Point. Kedua, instansi-instansi terkait
yang bertugas melakukan pengawasan di perairan Kabupaten Aceh Barat tidak menentukan titik-titik
lokasi strategis yang dapat mempermudah proses pelaksanaan pengawasan, melainkan pengawasan
dilakukan pada seluruh perairan Kabupaten Aceh Barat. Ketiga, Checking Performance, indikator yang
digunakan adalah sumber daya manusia (SDM) serta sarana dan prasarana, dan terlihat tidak ada
tenaga pengawas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Aceh Barat yang terlatih dalam
memberantas illegal fishing serta sarana dan prasarana selama ini yang masih jauh dari standar
keberhasilan seperti armada kapal yang tidak memungkinkan untuk melakukan patroli dengan segera
dalam waktu yang bersamaan, serta kelengkapan telekomunikasi antar kapal untuk menunjang informasi
yang akurat dan cepat. Keempat, Correcting Deviation melalui upaya preventif serta melakukan upaya
represif.
Kata Kunci: Aceh Barat, Illegal fishing, Pengawasan.
1. LATAR BELAKANG
Illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing adalah penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan
dan belum di regulasi. IUU fishing melemahkan pengelolaan sumber daya perikanan, sehingga negara
wajib mendukung pemberantasannya. Tanpa pengawasan dan pengendalian di lapangan, praktik illegal
fishing akan semakin liar dan buas. Berhasilnya pengawasan sangat bergantung pada dua hal utama, yaitu
peralatan pengawasan dan manusia pengawas. Kedua hal inilah yang membentuk suatu sistem pengawasan
perikanan (Nikijuluw, 2008). Sarana dan prasarana merupakan unsur yang penting dalam melakukan
kegiatan pengawasan, namun sumber daya manusia juga tidak kalah penting dalam menunjang keberhasilan
pengawasan. Peralatan yang canggih tidak akan berarti tanpa adanya sumber daya manusia yang kompeten,
komitmen dan memiliki kemampuan untuk melakukan pengawasan secara benar dan sesuai dengan aturan.
Tugas pengawasan sumber daya perikanan dan kelautan, diatur dalam Undang-Undang No. 45 Tahun
2009 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004. Pengawasan dilakukan agar sumber
daya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal demi kepentingan perekonomian serta dapat memberantas
perompak ikan di lautan.
Salah satu kabupaten yang menjadi sasaran praktik kegiatan illegal fishing adalah Kabupaten Aceh
Barat, dimana Aceh Barat berada di perairan Samudera Hindia yang menyimpan banyak potensi sumber
daya laut dan perikanan yang begitu besar. Praktik illegal fishing jelas meresahkan masyarakat, khususnya
nelayan lokal. Aksi pencurian ikan oleh nelayan asing yang menggunakan kapal besar dengan fasilitas
modern telah berdampak merugikan keberadaan nelayan lokal karena digunakannya alat tangkap jaring
jenis trawl yang berpengaruh pada berkurangnya hasil tangkapan nelayan lokal. Hal ini dibuktikan dengan
adanya salah satu kasus yang sempat di sorot oleh media online (2014) yang mengatakan bahwa empat
kapal ikan Thailand dan Burma ditangkap aparat gabungan TNI-Polri di perairan Kabupaten Aceh Barat,
12 mil dari bibir pantai Meulaboh dan mengamankan 60 anak buah kapal serta puluhan ton ikan hasil
226 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
tangkapan serta mengamankan empat kapal motor dengan kapasitas 40 Gross Ton (GT) dengan
menggunakan alat tangkap pukat harimau yang dapat merusak ekosistem laut seperti terumbu karang
serta meresahkan nelayan lokal (Metrotvnews.com).
Praktik illegal fishing tidak hanya dilakukan oleh nelayan asing saja, nelayan luar daerah bahkan
nelayan lokal pun turut andil dalam praktik tersebut. Modus yang sering dilakukan yaitu menggunakan
alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Seperti contoh kasus yang terjadi di perairan
Samatiga dan Arongan Lambalek kabupaten Aceh barat, para nelayan menangkap delapan unit boat karena
menggunakan alat tangkap pukat trawl untuk menangkap ikan di wilayah perairan Samatiga dan Arongan
Lambalek. Sebagaimana yang diungkapkan oleh panglima laot Aceh Barat Amiruddin dalam berita Serambi
Indonesia (2017) mengatakan bahwa
Kegiatan illegal fishing yang umum terjadi di perairan Kabupaten Aceh Barat adalah penangkapan
ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang yaitu trawl. Aksi illegal fishing tersebut di tandai dengan
tertangkapnya kapal perikanan tangkap di perairan Kabupaten Aceh barat yang dapat dilihat pada Tabel
1 berikut.
Tabel 1 Jumlah Kasus Illegal Fishing Tahun 2014-2017
No Tahun Jumlah Kasus Keterangan
1 2014 4 -
2 2015 - Pembinaan
3 2016 - Pembinaan
4 2017 6 -
(Sumber: Satuan Polisi Perairan Aceh Barat 2014-2017; diolah kembali)
Jumlah kasus yang terjadi pada tahun 2014 yaitu 4 kasus illegal fishing. Pada tahun 2015 dan 2016
tidak dilakukan penangkapan terhadap pelaku illegal fishing, melainkan hanya dilakukan pembinaan.
Pembinaan tersebut meliputi peringatan dan pendampingan kepada masyarakat nelayan mengenai
pergantian alat tangkap yang ramah lingkungan serta memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga
kelestarian laut. Meskipun telah di lakukan pembinaan terhadap masyarakat nelayan, pada tahun 2017
kasus illegal fishing kembali mengalami kenaikan menjadi 6 kasus.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Pengawasan
Pengawasan adalah proses mengamati, membandingkan tugas pekerjaan yang dibebankan kepada
aparat pelaksana dengan standar yang telah ditetapkan dalam suatu rencana yang sistematis dengan
tindakan kooperatif serta korektif guna menghindari penyimpangan demi tujuan tertentu (Nurmayani,
2009).
Menurut Darwis, Erni dan Bathara (2009: 125), Langkah-langkah dalam proses pengawasan yaitu:
1. Setting Standar (Menetapkan Standar Pengukuran).
2. Establishing Strategic Control Point (Menentukan Titik-Titik Strategis).
3. Checking Performance (Mengecek Prestasi/Kinerja).
4. Correcting Deviation (Membetulkan Penyimpangan).
Pengertian Illegal Fishing
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 1 tentang perikanan menyebutkan bahwa
penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
227PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Penangkapan ikan secara illegal berarti segala bentuk kegiatan penangkapan ikan yang melanggar Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 dan peraturan perundangan lainnya yang masih berlaku.
Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen P2SDKP,
2007) menyatakan bahwa illegal fishing adalah kegiatan perikanan yang melanggar hukum, yaitu kegiatan
penangkapan ikan yang:
1. Dilakukan oleh orang atau kapal asing di suatu perairan yang menjadi yuridiksi suatu negara tanpa izin
dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional.
3. Dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi
pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian atau ketentuan
hukum internasional yang berlaku.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan deskriptif. Penelitian kualitatif adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk membantu
menjelaskan karakteristik objek dan subjek penelitian (Arikunto, 2009)
Teknik Penentuan Informan
Teknik penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan metode Purposive Sampling yaitu teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2013: 300). Informan yang
dipilih dalam penelitian ini adalah:
a. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan
b. Kasi Pengawasan dan Pengendalian Bidang Perikanan Tangkap
c. Kepala Satuan Polisi Perairan Aceh Barat
d. Kepala Urusan Pembinaan Operasional
e. Komandan Pos Angkatan Laut (DANPOSAL) Meulaboh
f. Panglima Laot Aceh Barat
g. Nelayan
Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
2. Wawancara
3. Dokumentasi
Teknik Analisis Data dan Uji Keabsahan Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan langkah-langkah seperti
yang dikemukakan oleh Burhan Bungin (2001), yaitu sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data (Data Collection)
2. Reduksi Data (Data Reduction)
3. Display Data
4. Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan (Conclution Drawing and Verification)
4. HASIL PENELITIAN
Pengawasan Sumber Daya Perikanan dalam Upaya Pemberantasan Illegal Fishing di Perairan Kabupaten
Aceh Barat
Setting Standar (Menetapkan Standar Pengukuran)
Pengawasan hanya bisa dilakukan, apabila perencanaannya ada dan jelas. Akan tetapi oleh karena
perencanaan tersebut amat banyak dan rumit sekali, maka tidak memungkinkan untuk pemerintah
mengawasi segalanya, karena itu langkah pertama dalam controlling ini adalah menetapkan standar
pengukuran. Standar ini harus dapat mewakili dari seluruh program yang di rencanakan. Adapun standar
program sasaran yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat, Satuan Polisi Perairan
Aceh Barat dan Pos TNI Angkatan Laut Meulaboh yang mencakup rencana kegiatan dalam pelaksanaan
pengawasan perikanan adalah melakukan pengawasan perikanan di laut, seperti yang di paparkan oleh
228 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Bapak Erfan selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Bidang Perikanan Tangkap di Dinas
Kelautan dan Perikanan Aceh Barat:
“Dalam pengawasan sumber daya perikanan ada dua yaitu pertama, sumber daya laut dan kedua,
sumber daya umum. Patroli pengawasan sumber daya laut sebanyak 6 kali dan untuk pengawasan sumber
daya umum sebanyak 2 kali dalam setahun. Pengawasan perikanan di laut dilakukan dalam bentuk patroli
tim gabungan yang melibatkan Dinas Kelautan dan Perikanan, Satuan Polisi Air Polres Aceh Barat, Pos
TNI AL Meulaboh dan Panglima Laot (Panglima Laut)”. (Wawancara, 7 Maret 2018)
Bapak Ramadi selaku Komandan Pos TNI Angkatan Laut (Danposal) Meulaboh mengemukakan hal yang
serupa, yakni sebagai berikut:
“Melakukan patroli rutin selain diminta bantuan dari DKP untuk patroli gabungan. Mereka
melibatkan kami untuk melakukan patroli laut bersama dengan Polisi Air, biasa mereka mengundang 2-3
personil kami untuk mem back up dan kami pun mengadakan patroli sendiri. Panglima laot ikut dilibatkan,
tetapi panglima laot tidak selalu ikut, yang jelas rutin itu dalam patroli gabungan yaitu Angkatan Laut,
Polair dan DKP. Tapi Polair bisa bertindak sendiri, kami pun Angkatan Laut patroli sendiri. Untuk patroli
rutin tiap bulan tetapi tidak terbatas sama patroli itu, setiap ada informasi bergerak, tapi untuk patroli
rutin sendiri ada, tetapi untuk berapa kalinya sesuai dengan informasi kerawanan dari nelayan kita termasuk
gabung dengan tim Search and Rescue (SAR)”. (Wawancara, 7 Maret 2018)
Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak Amiruddin selaku Panglima Laot Aceh Barat yang
mengatakan bahwa:
“Kita selalu informasikan kepada masyarakat nelayan untuk memberi informasi kepada kita dimana
dan siapa saja yang melanggar peraturan-peraturan. Kita selalu memantau, itupun bukan semua
masyarakat, hanya masyarakat yang pro terhadap pelarangan pukat tersebut saja. Informasi-informasi
tersebut kita dapat, nanti dalam beberapa bulan kita coba bekerja sama dengan instansi-instansi terkait
seperti POLAIR, TNI Angkatan Laut dan DKP untuk beroperasi.” (Wawancara, 7 Maret 2018)
Establishing Strategic Control Point (Menentukan Titik-Titik Strategis)
Dalam pengawasan tidak mungkin mengecek seluruh aktivitas dalam pelaksanaan, karena menyita
biaya dan waktu yang cukup besar, yang akhirnya menyebabkan inefficiency. Jika hal itu dilakukan akan
menyebabkan maksud pengawasan organisasi mungkin tidak akan tercapai, karena tidak efisien, bisa jadi
biaya yang diperlukan untuk pengawasan lebih besar dibanding kerugian akibat timbulnya penyimpangan.
Karena itulah perlu adanya titik kunci atau wilayah kerja dalam pengawasan perairan Kabupaten Aceh
Barat seperti daerah terjadinya praktik illegal fishing. Namun dalam pelaksanaan pengawasan perairan,
instansi-instansi terkait tidak memiliki titik strategis seperti pernyataan Bapak Erfan selaku Kepala Seksi
Pengawasan dan Pengendalian Bidang Perikanan Tangkap di Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat
mengatakan bahwa:
“Dalam pengawasan kita tidak melihat titik strategis karena pengawasan ini bukan semata-mata
mengawasi alat tangkap tidak ramah lingkungan tapi kita lebih mengarah kepada Illegal Unreported and
Unregulated Fishing, IUU Fishing ini mencakup masalah perizinan, masalah laporan hasil tangkapan dan
alat tangkapnya. Pengawasan kita terpacu di perairan Aceh Barat, ke laut tidak bisa lebih 4 mil dan ke
perbatasan Nagan Raya dengan Aceh Barat dan Aceh Jaya dengan Aceh Barat”. (Wawancara, 7 Maret
2018)
Bapak Ramadi selaku Komandan Pos TNI Angkatan Laut (DANPOSAL) Meulaboh juga
mengatakan bahwa:
“Pos TNI AL Meulaboh mempunyai wilayah kerja yaitu Aceh Barat, Aceh Jaya dan Nagan Raya,
dengan personil yang terbatas wilayah kerja perairannya tiga kabupaten. Perairan yang masih tertangkap
menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yaitu di Kecamatan Johan Pahlawan, Samatiga
dan Suak Seumaseh. Kalau untuk Meurebo sebagian sudah ramah lingkungan. Karena alat apung terbatas
dengan mayoritas nelayan-nelayan menggunakan kapal dibawah 5 Gross Tone (GT), jadi patroli itu hanya
di batas daerah teritorial di bawah 12 mil tidak sampai zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif, kalau
untuk pengawasan zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif kita menginformasikan ke LANAL yang
di Sabang untuk mengirim kapal angkatan laut (KAL) untuk datang ke sini patroli dari Sabang, karena dia
229PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
mampu kapalnya besar, kalau kita hanya memantau nelayan-nelayan kecil saja”. (Wawancara, 7 Maret
2018)
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Bapak Slamet selaku Kepala Satuan Polisi Perairan Aceh Barat,
ia mengatakan bahwa:
“Polair Aceh Barat melakukan pengawasan sampai Aceh Jaya dan Nagan Raya, jadi memang
titiknya kita di Meulaboh. Informan kita nelayan lokal seandainya ada nelayan yang berupaya melakukan
kegiatan-kegiatan illegal. Jadi pengawasan kita karena personilnya terbatas, dibantu oleh informasi dari
nelayan. Kita tidak setiap saat dilaut, pengawasannya dibantu oleh nelayan lokal”. (Wawancara, 12 Maret
2018)
Hal yang serupa juga disampaikan oleh Bapak Samosir selaku Kepala Urusan Pembinaan
Operasional Satuan Polisi Perairan Aceh Barat:
“Biasanya di perbatasan-perbatasan perairan, yaitu perbatasan Nagan Raya dengan Aceh barat
dan perbatasan Aceh Jaya dengan Aceh Barat. Kalau disini kita tertibkan, biasanya mereka larinya ke
perbatasan. Kewenangan polair air 12 mil, jadi di tempat-tempat itulah mereka itu”. (Wawancara, 12 Maret
2018)
Untuk melihat lebih jelas letak lokasi pelaksanaan pengawasan perairan Kabupaten Aceh Barat
dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
4.3. Checking Performance (Mengecek Prestasi/Kinerja)
Langkah selanjutnya di dalam proses controlling adalah mengukur prestasi kerja yang berdasarkan
standar yang telah ditentukan. Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM), sarana dan prasarana merupakan
standar untuk mengetahui kinerja dan pelaksanaan di dalam pengawasan. Adapun kinerja instansi terkait
dalam kegiatan pengawasan sumber daya perikanan belum maksimal untuk memberantas illegal fishing
karena terbatasnya sumber daya manusia serta sarana dan prasarana. Berikut pernyataan yang
dikemukakan oleh Bapak Erfan selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Bidang Perikanan
Tangkap di Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat:
“DKP tidak ada tenaga pengawas, di sini yang ada hanya kasi pengawasan dan pengendalian jadi
dalam menjalankan pengawasan kita melibatkan staf-staf di bidang perikanan tangkap dan sebagian dari
bidang lain yang dibutuhkan. DKP juga mempunyai satu kapal patroli yaitu Napoleon 08 dengan kecepatan
sekitar 12-13 Knot karena kondisi kapal yang tidak pernah di servis”.
Berbeda hal nya dengan TNI Angkatan Laut yang memiliki tenaga pengawas seperti yang
dipaparkan oleh Bapak Ramadi selaku Komandan Pos TNI Angkatan Laut (DANPOSAL) Meulaboh:
230 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
“Jumlah tenaga pengawas di sini 8 orang, yang turun 4 orang dalam pengawasan perairan. Kapal
patroli kami di sini speed boat 1 unit dan raper boat (perahu karet) 1 unit. Kalau kita di sini speed boat biasa,
kalau mengejar buat memancing aja untuk pengawasan nelayan-nelayan kecil, makanya tidak mampu
kalau kita di sini”.
Satuan Polisi Perairan memiliki petugas patroli seperti yang disampaikan oleh Bapak Samosir
selaku Kepala Urusan Pembinaan Operasional Satuan Polisi Perairan Aceh Barat sebagai berikut:
“Kalau petugas patroli minimal 5 orang dan kita menggunakan speed boat, namanya speed C2 menggunakan
dua mesin masing-masing 150 Pk.”.
Berdasarkan hasil wawancara tentang jumlah personil serta sarana dan prasarana Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat, Pos TNI AL Meulaboh dan Satuan Polisi Perairan Aceh Barat sebagai
berikut:
Tabel 2 menunjukkan bahwa terbatasnya personil serta sarana dan prasarana dalam kegiatan
pengawasan menyebabkan tidak maksimalnya kinerja dalam memberantas illegal fishing di perairan
Kabupaten Aceh Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat memiliki 14 personil yang hanya
melibatkan staf-staf di bidang perikanan tangkap, yang seharusnya memiliki tenaga pengawas yang terlatih
dalam kegiatan pengawasan serta memiliki minimal 2 unit speed boat. Pos TNI AL Meulaboh juga memiliki
personil yang terbatas dimana hanya memiliki 4 personil dan 1 unit speed boat dalam pelaksanaan
pengawasan. Idealnya, TNI AL harus memiliki 12 personil serta Kapal Angkatan Laut yang berukuran 26
meter dalam melaksanakan kegiatan pengawasan perairan Kabupaten Aceh Barat. Begitu juga dengan
Satuan Polisi Perairan Aceh Barat yang hanya memiliki 5 personil dan 1 unit speed boat, yang seharusnya
berjumlah 34 personil serta memiliki speed boat minimal 2 unit untuk menjangkau perairan Kabupaten
Aceh Barat. Terbatasnya personil serta sarana dan prasarana yang dimiliki, pemberantasan illegal fishing di
perairan Kabupaten Aceh Barat tidak dapat dilakukan karena masih lemahnya sisi pengawasan yang
dilakukan.
Kegiatan illegal fishing di perairan Kabupaten Aceh Barat mengakibatkan kerusakan habitat dan
biota laut yang dapat mengganggu kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan, serta menghancurkan
perekonomian nelayan. Kerugian akibat illegal fishing tidak hanya dirasakan oleh nelayan saja, namun juga
berdampak pada perekonomian daerah. Kerugian yang dialami tentunya berupa rusaknya biota laut dan
pendapatan perikanan. Namun, tidak ada data yang valid terkait dengan kerugian akibat kegiatan illegal
fishing di perairan Kabupaten Aceh Barat.
Selain melibatkan instansi-instansi terkait dalam pelaksanaan pengawasan perikanan, pemerintah juga
membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) yang melibatkan masyarakat nelayan.
Namun POKMASWAS tersebut tidak efektif karena tidak aktif dalam pelaksanaan pengawasan seperti
yang dikemukakan oleh Bapak Erfan selaku selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Bidang
Perikanan Tangkap di Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat:
“Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) ada tapi tidak ada yang aktif, di Aceh Barat ada sekitar 4
Pokmaswas. Tidak aktif mungkin masih kurangnya keihklasan dan kesadaran dari masyarakat kita serta
tidak ada komunikasi antara kedua belah pihak”. (Wawancara, 7 Maret 2018)
4.4. Correcting Deviation (Membetulkan Penyimpangan)
Pembetulan penyimpangan ini merupakan titik-titik akhir dari proses pengawasan. Langkah
pertama yang dilakukan dalam proses pembetulan penyimpangan adalah menemukan penyebab
penyimpangan. Hal ini merupakan hal yang sangat penting karena pengawasan pada hakikatnya adalah
upaya agar aktivitas yang dilakukan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Adapun
pemaparan menurut Bapak Muhammad Ikbal selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat
mengenai membetulkan penyimpangan baik sebelum maupun sesudah penyimpangan terjadi adalah
sebagai berikut:
“Untuk mengurangi dari pada penangkapan-penangkapan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan,
kita kurangi kalau bisa kita hilangkan. Dengan cara kita lakukan sosialisasi dan tindakan, kalau memang
hasil pemeriksaan menyatakan bahwa dia telah melakukan pelanggaran, bisa dilakukan penindakan hukum,
231PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
bisa juga kalau skalalanya masih kecil kita berikan peringatan salah satunya kita ambil alat tangkap yang
tidak ramah lingkungan”. (Wawancara, 8 Maret 2018)
Senada dengan pernyataan di atas, Bapak Erfan selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Bidang
Perikanan Tangkap di Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat mengatakan bahwa:
“Yang pertama kita memberi pemahaman tentang pentingnya menjaga kelestarian sumber daya perikanan,
dan kemudian juga kita meminta mereka untuk membuat surat pernyataan tidak mengulangi lagi”.
(Wawancara, 7 Maret 2018)
Bapak Ramadi selaku Komandan Pos TNI Angkatan Laut (Danposal) Meulaboh mengatakan bahwa:
“Sebenarnya sekarang sebagian masyarakat Aceh Barat sudah taat sama undang-undang, yang taat itu
daerah Meureubo, menangkap ikan nya sudah memakai jaring ramah lingkungan. Sebagian masih ada
yang memakai trawl, sebagian sudah tertib dan sebagian belum itu seperti Kuala Bubon masih memakai
pukat hela termasuk juga Rundeng, itulah kita sarankan beri pembinaan. Aceh Barat ini dibawah jajaran
Lanal Sabang, di sini monitoring atau pengamat saja. Upaya pengendalian illegal fishing itu dengan patroli
perbatasan, sering patroli rutin, pembinaan kepada masyarakat nelayan. Karena masalah nelayan ini
sebenarnya mata-mata kami armada semut untuk mereka menginformasikan kepada kami bagi kapal-
kapal yang disinyalir melanggar, disinyalir tidak dikenal, disinyalir melakukan illegal fishing untuk
menginformasikan ke kami dan kami akan segera melakukan koordinasi dilanjutkan dengan tindakan,
melaksanakan pengejaran, penangkapan dan pemeriksaan”. (Wawancara, 7 Maret 2018)
Hal yang sama juga di paparkan oleh Bapak Amiruddin selaku Panglima Laot Aceh Barat:
“Upayanya sudah banyak kita coba untuk memusnahkan praktik illegal fishing bahkan ada melakukan
penyitaan dan pembakaran alat tangkap, tetapi belum berhasil. Masyarakat nelayan ini banyak yang salah
pemahaman, karena alat tangkap itu tidak mudah rusak makanya susah untuk memusnahkannya. Kami
habis-habisan dari panglima laot dan Dinas terkait, bahkan Polri dan TNI Angkatan Laut sudah bekerja
sama akan hal itu tapi belum sepenuhnya sukses. Ada beberapa nelayan yang kami tugaskan untuk menjaga
kelestarian laut, contohnya ada masyarakat di Meurebo dan suak seumaseh, itu tugasnya untuk menjaga
informasi bahkan orang tersebut ada yang menangkap langsung bila operasi di daerah-daerah tersebut”.
(Wawancara, 7 Maret 2018)
Bapak Slamet selaku Kepala Satuan Polisi Perairan Aceh Barat juga memaparkan tentang upaya yang
dilakukan pelaku kegiatan illegal fishing adalah sebagai berikut:
“Undang-undang menyatakan tidak boleh melakukan kegiatan illegal fishing namun kebijakan menteri
jangan dilakukan penegakan karena mereka nelayan kecil, tetapi untuk menyikapi hal itu kita melakukan
pembinaan terhadap nelayan baik dengan DKP maupun instansi terkait, apabila mereka menggunakan
alat tangkap yang tidak ramah lingkungan kita lakukan pembinaan berupa apabila setelah bertemu dengan
mereka kita dapati mereka menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan akan dibuat teguran
dengan membuat surat pernyataan, jika tiga kali mereka masih melakukan hal yang sama dan orang yang
sama, maka kita ambil alat tangkapnya. Upayanya juga dengan melakukan pembinaan-pembinaan dari
preventif, preventif dan represif karena membuat himbauan-himbauan dari spanduk”. (Wawancara, 12
Maret 2018)
232 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Hal serupa juga di sampaikan oleh Bapak Samosir selaku Kepala Urusan Pembinaan Operasional Satuan
Polisi Perairan Aceh Barat:
“Tindakan untuk yang berkaitan dengan illegal fishing kita awali dengan preventif, maksudnya
himbauan-himbauan, sosialisasi, memasang spanduk-spanduk di tempat pelelangan ikan (TPI) dan
penyuluhan. Kemudian preventif, preventif itu patroli untuk pencegahan illegal fishing dibarengi dengan
pembinaan. Yang terakhir represif yaitu membuat pernyataan, memotong jaring dan penyitaan alat tangkap
serta penindakan hukum yang ditindak lanjuti oleh kejaksaan”. (Wawancara, 12 Maret 2018)
Adapun sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat nelayan tentang penggunaan alat tangkap yang
ramah lingkungan seperti yang di paparkan oleh Bapak Mardi salah satu nelayan Kecamatan Meureubo
sebagai berikut:
“Kalau sosialisasi tentang larangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan itu
ada dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dan instansi lain. Kami di sini menggunakan alat tangkap
jaring dan tidak ada lagi yang menggunakan pukat harimau”. (Wawancara, 8 Maret 2018)
5. DISKUSI
Pengawasan Sumber Daya perikanan dalam Upaya Pemberantasan Illegal fishing di Perairan Kabupaten
Aceh Barat
Pengawasan sumber daya perikanan yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan perikanan di kawasan
perairan Kabupaten Aceh Barat telah melibatkan berbagai instansi dan satuan. Sesuai dengan aturan
perundang-undangan yang ada, yakni ketentuan Pasal 73 UU No.45 Tahun 2009, wewenang pengawasan
dan penegakan hukum di perairan kabupaten Aceh Barat diberikan pada tiga instansi yaitu Dinas Kelautan
dan Perikanan (DKP), Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dan Kepolisian Negara RI
(Polair). Pada dasarnya pengawasan bertujuan agar tujuan yang sudah ditetapkan sesuai dengan harapan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa pengawasan sumber daya
perikanan di perairan Kabupaten Aceh Barat menunjukkan masih mengalami kelemahan, hal ini akibat
sarana yang tersedia tidak sebanding dengan luas wilayah kerja dalam pelaksanaan pengawasan yakni
meliputi seluruh perairan Kabupaten Aceh Barat. Luasnya wilayah kerja dalam pelaksanaan pengawasan
tidak efektif karena tidak fokus pada lokasi-lokasi yang sering terjadi kegiatan illegal fishing seperti
Kecamatan Johan Pahlawan dan Kecamatan Samatiga. Adapun jumlah personil yang terbatas dan tidak
adanya tenaga pengawas yang terlatih juga sangat berpengaruh terhadap kurang maksimalnya kinerja
instansi-instansi terkait dalam pelaksanaan pengawasan untuk memberantas illegal fishing di perairan
Kabupaten Aceh Barat. Pengukuran pengawasan sumber daya perikanan dapat dilihat berdasarkan
indikator setting standar (menetapkan standar pengukuran), establishing strategic control point (menentukan
titik-titik strategis), checking performance (mengecek prestasi/kinerja) dan correcting deviation (membetulkan
penyimpangan).
Setting Standar (Menetapkan Standar Pengukuran)
Menetapkan standar dalam melaksanakan suatu kegiatan adalah langkah awal dalam pencapaian
tujuan suatu organisasi. Dengan adanya penetapan standar pengukuran dalam suatu organisasi, maka
dapat mengukur suatu tingkat keberhasilan yang dilaksanakan oleh organisasi. Hal tersebut tidak terkecuali
berlaku pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat. Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, tidak ada ditetapkannya standar pengukuran khusus dalam hal pelaksanaan kegiatan
selama ini oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat.
Jika dilihat dari sektor ketentuan dalam pelakasanaan kegiatan, Dinas Kelautan dan Perikanan
Aceh Barat hanya menetapkan standar berupa melakukan kegiatan pengawasan dengan patroli rutin pada
setiap tahunnya dengan berkerja sama dengan instansi terkait lainnya. Hal itu dilakukan atas dasar upaya
memperkuat jaringan kerja. Adapun uraian standar kerja yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan
Aceh Barat adalah sebagai berikut:
1 Mengadakan patroli rutin
Pelaksanaan pengawasan dalam bentuk patroli yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengelilingi
wilayah perairan Aceh Barat. Namun hal ini tidak berbanding maksimal dengan hasil yang didapatkan,
karena hal itu hanya dilakukan dengan armada kapal yang hanya ada satu. Patroli rutin sebagaimana
233PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
yang dimaksudkan disini adalah patroli yang telah terjadwalkan sebelumnya yakni pelaksanaan 6 kali
patroli rutin dalam 1 tahun.
2 Mengadakan patroli gabungan
Patroli gabungan yang dilakukan oleh pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat dianggap
kurang maksimal, karena personil yang dibutuhkan masih kurang memadai. Selain itu. Dinas Kelautan
dan Perikanan Aceh Barat dalam melakukan pengawasan tidak hanya bekerja secara sendirian, melainkan
pengawasan tersebut juga dilakukan bersama-sama dengan instansi-instansi terkait lainnya seperti TNI
AL dan Satuan Polisi Perairan. Kerja sama yang dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh Barat
dalam upaya pengawasan dengan instansi terkait terbilang baik karena hal itu akan menjadikan kekuatan
lebih bagi armada yang berpatroli di perairan wilayah Aceh Barat, namun pada kenyataannya pihak dinas
memiliki kelemahan pada personil yang dimiliki.dan armada yang kurang memadai.
Establishing Strategic Control Point (Menentukan Titik-Titik Strategis)
Menentukan titik-titik strategis merupakan langkah yang penting dalam proses pengawasan karena
tidak mungkin untuk mengecek seluruh aktivitas pelaksanaan pengawasan yang akan dapat menyita biaya
dan waktu yang cukup besar. Jika hal itu dilakukan akan menyebabkan tujuan pengawasan mungkin
tidak akan tercapai. Pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh instansi-instansi terkait yaitu Dinas
Kelautan dan Perikanan, TNI AL dan Satuan Polisi Perairan bertujuan agar praktik illegal fishing dapat
diberantas.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan yang difokuskan pada
wilayah-wilayah yang masih sering terjadi praktik illegal fishing. Namun berdasarkan hasil penelitian di
lapangan, instansi-instansi terkait yang bertugas melakukan pengawasan di perairan Kabupaten Aceh
Barat tidak menentukan titik-titik lokasi strategis yang dapat mempermudah proses pelaksanaan
pengawasan, melainkan pengawasan dilakukan pada seluruh perairan Kabupaten Aceh Barat. Kegiatan
tersebut dapat menyita waktu dan biaya yang cukup besar. Pada dasarnya, dengan armada kapal yang
belum memadai selama ini, seharusnya pemerintah dapat memfokuskan titik patroli atau pengawasan
pada daerah-daerah yang tingkat pelanggarannya tinggi seperti di kawasan perbatasan antar kabupaten
dan kecamatan yang masih sering terjadi kegiatan illegal fishing.
Checking Performance (Mengecek Prestasi/Kinerja)
Kinerja adalah suatu hasil pencapaian kerja yang telah dilakukan baik individu maupun kelompok/
organisasi dalam kurun waktu tertentu yang diukur berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan.
Adapun indikator yang menjadikan pengukuran kinerja pada pembahasan ini yaitu sumber daya manusia
(SDM), serta sarana dan prasarana kegiatan Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat dan instansi terkait
lainnya.
Melihat dari sudut pandang sumber daya manusia yang dimiliki oleh Dinas Kelautan dan Perikanan
Aceh Barat dalam pelaksanaan pengawasan sumber daya perikanan, tidak adanya tenaga pengawas yang
terlatih berpengaruh terhadap kurang maksimalnya kinerja dalam memberantas illegal fishing di perairan
Kabupaten Aceh Barat. Instansi-instansi terkait lainnya seperti TNI AL dan Satuan Polisi Perairan juga
memiliki jumlah personil yang terbatas, sehingga menjadi suatu hambatan dalam pelaksanaan pengawasan.
Sumber daya manusia yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Aceh Barat dalam upaya menangani
kasus illegal fishing selama ini masih jauh dari harapan.
Sedangkan jika dilihat berdasarkan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan serta instansi terkait lainnya juga masih kurang memadai, sehingga pelaksanaan pengawasan
sumber daya perikanan dalam upaya pemberantasan illegal fishing di perairan Kabupaten Aceh Barat
tidak berjalan optimal. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa untuk mendapatkan hasil yang optimal
dalam pelaksanaan kegiatan pemberantasan illegal fishing, pemerintah harus mempertimbangkan kembali
terhadap sarana dan prasarana serta kelengkapan porsonil untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Dalam
kasus yang terjadi di wilayah perairan Aceh Barat masih terdapat banyak nelayan yang melanggar aturan
dalam melaksanakan kegiatannya di laut seperti penggunaan pukat harimau yang masih sangat tinggi. Di
sini peran pemerintah sangat dibutuhkan, terutama untuk menumbuhkan kesadaran, rasa peduli dan
tanggung jawab para nelayan untuk keberlangsungan kegiatan mereka di masa yang akan datang.
234 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Ketersediaan sarana dan prasarana selama ini yang masih jauh dari standar keberhasilan yang
optimal menjadikan permasalahan tersendiri oleh pemerintah setempat, seperti armada kapal yang tidak
memungkinkan untuk melakukan patroli dengan segera dalam waktu yang bersamaan, serta kelengkapan
telekomunikasi antar kapal untuk menunjang informasi yang akurat dan cepat.
Correcting Deviation (Membetulkan Penyimpangan)
Membetulkan penyimpangan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam
upaya akhir untuk menjadikan masyarakat menyadari akan pentingnya pelaksanaan aturan yang telah
ditetapkan. Pada dasarnya, penyimpangan yang terjadi di lingkungan nelayan dalam kegiatan mereka
yang melakukan illegal fishing adalah akibat kurangnya kesadaran dan kepedulian para nelayan tersebut
untuk keberlansungan kegiatannya di masa yang akan datang.
Penyimpangan aturan yang terjadi adalah suatu hal yang harus ditanggapi segera oleh pihak
pemerintah, karena hal tersebut akan sangat berdampak pada kerusakan lingkungan yang diakibatkannya.
Adapun penyimpangan yang sering terjadi selama ini di wilayah perairan Kabupaten Aceh Barat yakni
penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian, upaya yang dilakukan oleh pihak pemerintah dalam membetulkan
penyimpangan yang terjadi selama ini yaitu:
1 Upaya preventif yaitu upaya-upaya awal untuk mencegah terjadinya praktik illegal fishing melalui
pendekatan sosial dan pendekatan kemasyarakatan dengan cara memberikan himbauan-himbauan dan
sosialisasi kepada masyarakat nelayan tentang pentingnya menjaga kelestarian sumber daya perikanan.
2 Upaya represif yaitu tindak lanjut dari upaya preventif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum
terjadinya praktik illegal fishing oleh pelaku yang tidak bertanggung jawab dengan cara melakukan patroli
rutin bekerja sama dengan instansi lain yang terkait dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat
nelayan mengenai larangan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan sehingga timbul
kesadaran taat aturan.
3 Upaya kuratif merupakan tindakan terakhir yang dilakukan dalam upaya pemberantasan illegal fishing
yakni upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana/kejahatan yang tindakannya berupa
memberikan peringatan berupa membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi lagi kegiatan illegal
fishing, memotong atau menyita alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan melakukan penangkapan
serta penindakan hukum terhadap pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran sesuai dengan
peraturan perundang-undangan untuk selanjutnya di serahkan kepada Kejaksaan dan diproses lebih lanjut.
Kinerja pemerintah dalam upaya membetulkan penyimpangan yang terjadi selama ini telah cukup baik,
namun tidak bisa di pungkiri bahwa pelanggaran selalu terjadi walaupun pihak pemerintah telah melakukan
sosialisasi kepada para nelayan.
6. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Kegiatan illegal fishing di perairan Kabupaten Aceh Barat diantaranya melakukan penangkapan ikan dengan
menggunakan alat tangkap yang di larang oleh pemerintah seperti trawl. Pengawasan sumber daya
perikanan dalam pemberantasan illegal fishing di perairan Kabupaten Aceh Barat menunjukkan masih
mengalami kelemahan, hal ini akibat sarana yang tersedia tidak sebanding dengan luas wilayah kerja
dalam pelaksanaan pengawasan yakni meliputi seluruh perairan Kabupaten Aceh Barat. Jumlah personil
yang terbatas dan tidak adanya tenaga pengawas yang terlatih juga sangat berpengaruh terhadap kurang
maksimalnya kinerja instansi-instansi terkait dalam pelaksanaan pengawasan untuk memberantas illegal
fishing di perairan Kabupaten Aceh Barat. Akan tetapi, dalam hal membetulkan penyimpangan yang terjadi
sudah baik karena adanya upaya pencegahan dan penindakan hukum bagi pelaku illegal fishing di perairan
Kabupaten Aceh Barat.
235PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
DAFTAR PUSTAKA
Anthony, Robert N dan Vijay Govindarajan. 2005. Sistem Pengendalian Manajemen, Edisi Sebelas. Jakarta:Salemba Empat.
Arikunto, Suharsimi. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Rieneka Cipta.
Berita Harian Online Serambi Indonesia. 2017. Nelayan Tangkap 8 Kapal Trawl. http://aceh.tribunnews.com/2017/02/24/nelayantangkap-8-kapal-trawl. Diakses Pada 17 September 2017.
Darwis, Erni Yulinda dan Lamun Bathara. 2009. Dasar-Dasar Manajemen. Pekanbaru: Universitas Riau.
Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. 2007. IndonesiaPlan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. Jakarta:DepartemenKelautan dan Perikanan.
Fahmi, Arif. 2014. Masuk Wilayah RI, 4 Kapal Thailand Ditangkap. http://m.metrotvnews.com/news/daerah/nN98jx5K-masuk-wilayah-ri-4-kapal-thailand-ditangkap (Online). Diakses Pada 17 September 2017.
Hamid. 2007. Penangkapan Ikan Dengan Bahan Peledak. Jakarta: Gramedia.
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodelogi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Ivan, Bob. 2014. Illegal Fishing Dikawasan Perairan Kepulauan Bangka Belitung (Studi Kasus Penangkapan IkanTanpa Dokumen yang Sesuai). Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 10, No. 2, November 2014.
Mahmuddin. 2004. Manajemen Dakwah Rasulullah. Jakarta: Restu Illahi.
Manullang. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba Empat.
Miles, MB & Hubberman. 2007. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhammad, Simela Victor. 2012. Illegal Fishing di Perairan Indonesia: Permasalahan dan Upaya PenanganannyaBilateral di Kawasan. Jurnal Politica Vol. 3, No. 1, Mei 2012.
Mukhtar, Rahmat. 2017. Optimalisasi Potensi Kelautan dan Perikanan Aceh. http://www.pikiranmerdeka.co/news/optimalisasi-potensi-kelautan dan-perikanan-aceh/. Diakses Pada 17 September 2017
Muyadi. 2007. Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen. Jakarta: Salemba Empat.
Naim, Armain. 2010. Pengawasan Sumber Daya Perikanan dalam Penanganan Illegal Fishing di Perairan ProvinsiMaluku Utara. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Vol. 3 Edisi 2 (Oktober2010).
Narbuko, Cholid, dan Ahmadi. 2004. Metodelogi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara
Nikijuluw, V. (2008). Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal (Blue Water Crime). Jakarta: PT. PustakaCidesindo.
Nurmayani. 2009. Hukum Administrasi Daerah. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2016 tentang JalurPenangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan NegaraRepublik Indonesia.
Peter Salim, 2003, The Contemporary English Indonesian Dictionary. Jakarta: Modern English Press.
Simbolon, Maringan Masry. 2004. Dasar-Dasar Administrasi Dan Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Setiadi, Elly M & Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiolog: Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial,Teori, Aplikasi dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D Cet. 16). Bandung:Alfabeta.
Sukandarrumidi. 2008. Dasar-Dasar Penulisan Proposal Penelitian (Petunjuk Praktis untuk Peneliti Pemula).Bandung: Gadjah Mada University Press.
236 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Sule, Ernie Tisnawati dan Saefullah, Kurniawan. Pengantar Manajemen. Jakarta: Kencana Prenada MediaGroup.
Supriadi, Asep. 2013. Strategi Operasi Pengawasan Terhadap Illegal Fishing Berdasarkan Posisi Rumpon di LautMaluku Oleh Kapal Pengawas Perikanan. Tesis Ilmu Kelautan Bidang Minat Manajeman Perikanan: UniversitasTerbuka. Jakarta.
Suyanto, Bagong & Sutinah. 2006. Metodologi Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan. Ed. Pertama.Cet. Kedua. Kencana. Jakarta.
Soehartono, Irawan. 2008. Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial danIlmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Sofwan, Muhammad. 2014. Pengawasan Pemerintah Daerah Terhadap Illegal Fishing(Studi Kasus KabupatenRokan Hilir Provinsi Riau Tahun 2012). Skripsi Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik: Universitas Riau. Jom FISIP Vol. 1 No. 2, Oktober 2014.
Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 TentangPerikanan.
Ukas, Maman. 2006. Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi. Bandung: Agni.
237PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
PROSPEK DAN PERAN MEDIA KOMUNITAS DALAM PENANGGULANGANWOMEN TRAFFICKING DI INDONESIA
Cici Eka Isawahyuningtyas
Dosen tetap di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila
E-mail: [email protected]
ABSTRAK:
Penanggulangan women trafficking dapat dilakukan dengan literasi media dan pendidikan melalui
saluran media komunitas, dimana setiap anggota komunitas di dalamnya dapat memperoleh informasi
yang dibutuhkan dan menyalurkan aspirasinya secara luas. Media komunitas menawarkan akses dan
ruang publik, khususnya bagi calon pekerja migrant perempuan. Penanggulangan Women trafficking
telah dilakukan melalui berbagai strategi dengan melibatkan banyak pihak, baik pemerintah maupun
non pemerintah, di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini karena trafficking telah menjadi isu
penting dan perhatian masyarakat dunia. Sayangnya, meskipun berbagai upaya telah dilakukan tetapi
kasus perdagangan manusia khususnya yang melibatkan perempuan dan anak justru menunjukkan
tren peningkatan. Media komunitas sebagai media alternatif yang dikelola oleh komunitas dan
berorientasi pada kepentingan komunitas mampu menjadi alat perjuangan dalam memberdayakan
anggota komunitas dan mencegah terjadinya trafficking. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
prospek dan peran media komunitas di Indonesia dalam menanggulangi women trafficking. Penelitian
ini dilakukan secara kualitatif dengan melakukan kajian literatur melalui analisis meta pada artikel
jurnal ilmiah terkait isu media komunitas dan women trafficking.
Kata kunci: media komunitas; women trafficking; peran & prospek media; ruang publik
Latar Belakang
Women trafficking telah ditempatkan sebagai isu penting dalam berbagai perbincangan di tingkat
global. Berbagai organisasi internasional dan non pemerintah juga telah melakukan upaya untuk
menanggulangi perdagangan perempuan dan menjukkan pada dunia bagaimana kasus trafficking telah
sangat menghawatirkan. Di era komunikasi bermedia saat ini, media massa memainkan peranan penting
dalam menentukan bagaimana trafficking akan dimaknai khalayak.
Terkait dengan liputan media tentang trafficking, terdapat dua frame yang biasanya digunakan
oleh media. Pertama, frame tanggung jawab pemerintah, menyarankan bahwa trafficking adalah tanggung
jawab pemerintah dan dapat ditanggulangi dengan memberikan hukuman tegas bagi para pelaku
perdagangan manusia. Frame kedua, yaitu tanggung jawab masyarakat, frame ini menyarankan bahwa
masyarakat dan kelompok organisasi non pemerintah seharusnya bertanggung jawab dalam mengatasi
masalah trafficking dan mendorong organisasi swasta untuk meningkatkan kepedulian pada persoalan
dan memberikan dukungan kepada korban (Alexandre, Sha, at.al., 2014). Jika saja kedua frame tersebut
digunakan secara bersama oleh media dalam pemberitaannya tentukan persoalan trafficking ini dapat
segera tersolusikan. Sayangnya, media seringkali tidak objektif dan berpihak kepada kelompok kepentingan
tertentu dalam memberitakan trafficking. Media masih menempatkan dirinya sebagai penentu wacana
tentang trafficking. Sebagai agen sosial media massa seharusnya aktif dalam mengkonstruksi berbagai
permasalahan sosial dan bagaimana masyarakat seharusnya merespon situasi tersebut (Simoes & Peca,
2009).
Media massa mainstream dengan segala kemampuan yang dimilikinya telah gagal dalam
menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat. Media massa juga gagal menjalankan fungsinya
sebagai media pendidikan, khususnya bagi calon pekerja migrant sehingga mereka dapat terhindar dari
jerat perdagangan manusia atau yang lebih dikenal sebagai human trafficking. Bahkan Amerika Serikat
saja, negara yang dianggap paling terbuka dengan kebebasan berekspresi dan berbeda pendapat masih
gagal dalam menempatkan isu perdagangan manusia sebagai agenda publik. Hal ini terjadi karena liputan
238 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
media masih lemah dalam memberitakan trafficking, khususnya dalam menumbuhkan perhatian dan
kepedulian masyarakat dunia tentang isu-isu perdagangan manusia (UN.GIFT, 2006). Meskipun frame
berita yang dihasilkan lebih fokus memberitakan korban perempuan tetapi trafficking masih ditempatkan
dalam bingkai kriminal, minim diskusi tentang faktor-faktor resiko dan solusi agar terhindar dari
perdagangan manusia (Sobel, 2016).
Di Indonesia sendiri, pemberitaan tentang perdagangan manusia masih menunjukkan situasi
serupa. Lampung Post misalnya, masih melihat perdagangan manusia sebagai berita kriminal dan
pemberitaan yang dihasilakn pun belum dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat
terhadap kasus perdagangan manusia (Handayani, 2011). Padahal dilihat dari data yang ada, kasus
perdagangan manusia yang berhasil diidentifikasi jumlahnya sudah sangat memprihatinkan. Bahkan,
Indonesia menempati urutan tertinggi sebagai negara yang warga negaranya paling banyak menjadi korban
trafficking.
Human trafficking, khususnya pada perempuan dan anak telah meningkat signifikan setiap
tahunnya, International Labour Organization atau ILO memperkirakan bahwa di tingkat global 4.5 juta
orang telah menjadi korban perdagangan manusia, dimana 98 % diantaranya adalah perempuan dan anak.
Setiap tahunnya diperkirakan terjadi 500.000-600.000 korban baru perdagangan seks pada perempuan
dan anak (Orme & Ross-Sheriff, 2015). Menurut catatan International Organization for Migration (IOM)
pada periode Maret 2005 hingga Desember 2014 jumlah korban human trafficking di Indonesia yang sudah
teridentifikasi mencapai 6.651 orang. Angka tersebut adalah yang terbesar diantara negara lainnya di dunia
atau sekitar 92.46%. Dengan rincian korban perempuan usia anak 950 orang dan perempuan usia dewasa
mencapai 4.888 orang. Sedangkan korban Pria usia anak 166 dan pria dewasa 647. Situasi tersebut
menunjukkan bahwa korban terbesar dari human trafficking atau 82 % adalah perempuan.
Global Slaventary Index (2014) menyatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan korban
perdagangan manusia yang cukup besar, diproyeksikan sekitar 700.000 orang telah dikirimkan ke luar
negeri dengan berbagai modus, baik sebagai pekerja seks komersial, pekerja anak, adopsi illegal, pernikahan
pesanan, narkoba, dll. Jumlah tersebut adalah 11.3 % dari total jumlah pekerja migrant di Indonesia. Di
tengah tingginya angka perdagangan manusia, Indonesia justru menjadi negara yang paling buruk dalam
menangani kasus tersebut (Arivia, 2007). Women trafficking adalah fenomena dunia dimana perempuan
seringkali dipaksa dan dieksploitasi secara seksual. Setiap tahun jutaan perempuan telah dipaksa dalam
prostitusi, perbudakan, dan kawin paksa. Korban trafficking tidak hanya mengalami gangguan kesehatan
fisik tetapi juga merasan dampak emosional yang besar dan bisa berakibat pada krisis identitas (Acharya,
2016).
Situasai tersebut terjadi karena banyak dari pekerja migrant kita yang berpendidikan rendah dan
tidak memiliki kemampuan baca tulis dengan baik. Mereka juga memiliki pengetahuan minim mengenai
kondisi di luar negeri sehingga tidak mampu bersaing dengan tenaga kerja asing lainnya. Akibatnya, mereka
seringkali hanya dijadikan sebagai pekerja kasar dengan gaji rendah, bahkan sebagai budak seksual karena
tidak memiliki keterampilan yang memadai (Febriani, 2011 & Noeswantari, 2011)
Kampanye anti trafficking yang dilakukan media banyak dipengaruhi oleh dinamika yang ada di
dalamnya. Perempuan secara simblolik seringkali dikonstruksikan secara negatif, dengan citra berperilaku
menyimpang, korban trafficking dan glamour. Sistem media yang masih bias gender sehingga menutup
ruang bagi terciptanya counter wacana tentang peran gender. Ini artinya penting bagi perempuan untuk
mendapatkan akses pada ruang publik dalam hal ini adalah melalui media komunitas (Simoes & Peca,
2009).Oleh itu, media komunitas diharapkan mampu memberikan jaminan bagi terbukanya akses dan
ruang publik dalam praktik diskusi yang independen dan terbuka.
Media komunitas lahir sebagai media alternatif yang mengusung keberagaman kepemilikan dan
mendorong keberagaman isi. Melalui keberagaman kepemilikan inilah setiap masyarakat, dalam hal ini
para calon pekerja migrant dan kelompok masyarakat yang peduli dengan isu-isu women trafficking pada
buruh migrant bisa melakukan kontrol dan berpartisipasi secara langsung baik sebagai pengelola maupun
sebagai khalayak. Mengingat hanya melalui media komunitaslah upaya edukasi dan desiminasi informasi
terkait isu trafficking yang seringkali luput dar perhatian media mainstream dapat dilakukan.
Media komunitas adalah alat penting dalam upaya memerdekakan manusia dan media. Hal ini karena
kepemilikan media komunitas diletakkan di level lokal dimana masyarakat luas dapat berpartisipasi secara
239PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
lebih mudah dibandingkan dengan media mainstream. Bahkan di banyak negara media komunitas dilihat
sebagai media alternatif, dimana setiap anggota masyarakat di dalamnya memiliki akses secara luas
(Magpanthong and McDaniel, 2011). Akses dan partisipasi luas dari anggota komunitas ini penting
mengingat bagaimana media membingkai isu sosial dapat mempengaruhi bagaimana khalayak melihat
dan mempercayai bagaimana suatu persoalan seharusnya diselesaikan.
Selanjutnya, mengingat secara konseptual women trafficking memiliki banyak makna maka women
trafficking dalam kajian ini dipahami sebagai aktivitas pengiriman dan rekrutmen perempuan dan anak di
peringkat antar negara atau internasional baik secara sukarela maupun dengan paksaan, untuk tujuan
kerja paksa, seksual, domestik, dll. Termasuk didalamnya perekrutan, penjualan, pengiriman, penerimaan
perempuan dan anak melalui penipuan dengan tujuan untuk kerja paksa (Akor, 2011).
Tujuan dan Metode Penelitian
Penelitian ini umumnya bertujuan untuk mengetahui prospek dan peran radio komunitas dalam
penanggulangan women trafficking di Indonesia dengan melakukan kajian literatur ilmiah melalui meta
analisis pada jurnal ilmiah yang dipublikasikan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir atau pada
tahun 2008 hingga 2018 sejumlah 28 artikel. Adapun pertanyaan minor dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana literatur ilmiah membincangkan konsep media komunitas?
2. Bagaimana tren fokus penelitian ilmiah tentang media komunitas dan women trafficking?
3. Bagaimana prospek dan peran media komunitas dalam penanggulangan women trafficking?
Pencarian artikel jurnal ilmiah internasional dilakukan pada bulan Juni 2018 melalui EBSCOhost,
ProQuest dan ScienceDirect. Untuk tingkat nasional pencarian dilakukan melalui Google Schoolar di bulan
yang sama. Artikel ilmiah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang mengandung judul, abstrak
dan artikel penuh (full papers). Pencarian artikel ilmiah dilakukan secara online dengan menggunakan kata
kunci, diantaranya adalah Community media (Radio, televisi dan broadcasting) dan human and women
trafficking. Untuk memperluas jumlah dan ruang lingkup artikel yang digunakan, maka kreteria penentuan
artikel tidak dibatasi hanya yang menggunakan kedua kata kunci tersebut, tetapi termasuk juga yang
menggunakan salah satu dari dua kata kunci tersebut.
Temuan Penelitian dan Pembahasan
Memaknai Media Komunitas
Media komunitas umumnya dimaknai sebagai media yang membuka ruang bagi komunitas untuk
melakukan akses dan partisipasi. Menurut Nassanga (2009) Media komunitas adalah media yang digunakan
oleh komunitas untuk tujuan apapun yang diputuskan oleh komunitas. Media komunitas adalah media
dimana anggota komunitas memiliki akses untuk mendapatkan informasi, pendidikan dan hiburan ketika
mereka mengaksesnya. Media komunitas adalah media dimana anggota komunitas berperan sebagai
perencana, produser dan performer. Terkait dengan akses dan partisipasi, media komunitas dikelola secara
mandiri oleh anggota komunitas. Artinya anggota komunitas dapat secara independen mengambil
keputusan tentang bagaimana media mereka akan dijalankan dan pelayanan apa yang akan diberikan.
Media komunitas dioperasikan di dalam suatu komunitas, untuk komunitas, berbicara tentang
komunitas, dan oleh komunitas. Sebuah komunitas dapat mencakup teritorial atau geografis; yaitu kota,
desa, distrik atau pulau. Komunitas juga dapat merujuk pada kelompok orang yang memiliki kesamaan
ketertarikan dan mereka tidak harus berada dalam wilayah atau teritorial yang sama. Sebagai
konsekuensinya media komunitas dapat dikelola atau dikontrol oleh sebuah kelompok, oleh gabungan
kelompok atau orang seperti perempuan, anak-anak, petani, pelaut, kelompok etnik, dll. Hal yang
membedakan media komunitas dengan media lainnya adalah tingginya tingkat partisipasi anggota
komunitas di dalam aspek manajemen dan produksi program. Individu anggota komunitas dan institusi
lokal adalah sumber utama yang mendukung operasional media komunitas (Seneviratne, 2011).
Tiga kata kunci utama yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi apakah suatu media dapat
dikategorikan sebagai media komunitas adalah interaksi sosial yang berlangsung, adanya kesamaan
karakteristik dan nilai-nilai yang dibangun dan dapat diidentifikasi secara geografis (Karp, Stone, & Yoel,
1991 dalam Magpanthong and McDaniel, 2011). Tujuan utama dari media komunitas adalah menyediakan
240 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
kesempatan bagi anggota komunitas untuk menjadi bagian dari suara komunitas (Hollander, Stappers, &
Jankowski, 2002 dalam Magpanthong and McDaniel, 2011).
Media komunitas lebih dari sebuah media, media komunitas bisa dilihat sebagai suatu kegiatan
pengorganisasian sosial dan hubungan sosial. Media komunitas adalah 90 % komunitas dan 10 % media.
Media komunitas bisa diidentifikasi sebagai komunitas geografis maupun komunitas kepentingan.
Karakteristik media komunitas adalah sebagai berikut;
· Memiliki skala produksi kecil daripada media mainstream. Media komunitas lebih dekat pada
komunitasnya dibandingkan dengan media mainstream.
· Mereka yang berpartisipasi dalam organisasi pada dasarnya adalah para sukarelawan dari komunitas
tersebut dan bukan para profesional penuh waktu atau full tme.
· Lebih berorientasi pada keuntungan anggota komunitas dibandingkan keuntungan bagi para pemangku
kepentingan (International Communication Association, 2018).
Mengacu pada beragamnya wacana dan pendekatan yang bisa digunakan dalam memaknai media
komunitas Carpentier, Lie & Servaes (2003) melihat media komunitas dengan mengelompokkan menjadi
tiga pendekatan sebagai berikut:
Pendekatan I: Melayani Suatu Komunitas
Pendekatan yang pertama ini ditekankan pada konsep “komunitas” sehingga aspek geografis
menjadi sesuatu yang penting (posisi geografis dimana media komunitas berada). Pendekatan ini menjelasan
hubungan antara “medium” dan “komunitas” atau kepada siapa media komunitas itu disiarkan. Pendekatan
ini memaknai komunitas secara luas dan dibedakan dengan masyarakat. Komunitas ditandai dengan
hadirnya hubungan manusia yang erat dan kongkrit karena kesamaan identitas kolektif. Komunitas
dibedakan dari masyarakat karena masyarakat tidak mengidentifikasi hubungan antar kelompok.
Komunitas merujuk kepada aspek geografis dan etnisitas sebagai struktur pembangun identitas kolektif
atau hubungan antar kelompok. Kata komunitas pertama kali diperkenalkan melalui istilah komunitas
kepentingan dengan menekankan faktor kesamaan kepentingan dalam membangun suatu komunitas.
Komunitas disini tidak hanya dibentuk oleh faktor geografis tetapi termasuk juga komunitas dunia maya
seperti komunitas virtual atau online, komunitas kepentingan (kesamaan) maupun komunitas makna.
241PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Pendekatan II: Komunitas Media sebagai alternatif dari Media Mainstream
Pendekatan ini memaknai media komunitas dengan merujuk pada konsep media alternatif dan
ditekankan pada perbedaan antara media komunitas dengan media mainstream. Media alternatif disini
adalah media komunitas dan dilihat sebagai pelengkap dari media mainstram. Pada pendekatan ini media
alternatif dijelaskan memiliki hubungan yang tidak baik dengan media mainstream. Artinya media alternatif
ini memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang bertolak belakang dari media mainstream. Adapun karakteristik
dari media alternatif atau media komunitas dalam pendekatan ini adalah sebagai berikut:
Pendekatan III: Menghubungkan Media Komunitas dengan Masyarakat Sipil
Pada pendekatan ini kedudukan media komunitas bebas dari dukungan dan bantuan dari negara
dan pasar. Media komunitas dilihat sebagai bagian dari masyarakat sipil. Hal ini karena masyarakat sipil
dianggap mampu membebaskan individu dari kekerasan dan dominasi kekuasaan. Pendekatan ini juga
melihat perlunya memperjuangkan kebebasan bagi setiap individu dan kelompok sehingga dapat
mengekspesikan aspirasi sosial mereka. Pendekatan ini melihat bahwa kebebasan dalam berkomunikasi
tidak akan terwujud tanpa adanya keberagaman media komunikasi non pemerintah dan adanya kesadaran
akan kebutuhan intelektual dan politik dalam mewujudkan demokrasi. Dengan memaknai media komunitas
sebagai bagian dari masyarakat sipil media komunitas dapat menjadi suara ketiga dari media pemerintah
maupun swasta komersiil.
Selanjutnya, media komunitas dilihat memiliki nilai atau value perjuangan yang berbeda dengan
media mainstream. Untuk melihat nilai-nilai yang terkandung dalam suatu media komunitas dapat dilihat
dari enam aspek yaitu; Akses, Keberagaman, Alternatif, independen, representasi dan partisipasi (Order,
2015). Untuk lebih jelasnya, dijabarkan sebagai berikut;
Tren dan Fokus Penelitian Sebelumnya
242 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Penelitian tentang media komunitas pada umumnya lebih difokuskan pada aspek isi dan proses produksi
media dan seringkali melupakan kompenen penting lainnya, yaitu khalayak sasaran, khususnya terkait
dengan isu partisipasi khalayak pada media komunitas (Guo, 2017). Pada aspek proses produksi media
penelitian Magpanthong and McDaniel (2011) mempertanyakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
pengambilan keputusan oleh para pengambil kebijakan di radio komunitas (Thailand dan Malaysia)? dan
apa pertimbangan politik yang mempengaruhi lahirnya kebijakan tentang radio komunitas?
Masih di level produksi penelitian tentang posisi perempuan dibalik produksi radio dan televisi
komunitas mempertanyakan bagaimana perempuan pemilik media komunitas memasuki pasar
broadcasting (Amerika Serikat), bertahan di pasar dan berkonstribusi kepada komunitas mereka? Penelitian
ini juga mempertanyakan bagaimana kebijakan komunikasi, ekonomi, dan politik yang seksis
menyingkirkan perempuan dari kepemilikan media? (Byerly, 2011). Apa keuntungan dan tantangan dari
insight journalism dan interaksi antar anggota komunitas (Inggris). Penelitiaan ini meneliti kombinasi media
komunitas dengan partisipatori desain digital dengan dukungan penduduk lokal untuk menghasilkan
media lama dan baru sebagai output yang didistribusikan pada melalui media (Blum-Ross, 2013).
Ditinjau dari aspek konten atau isi media, penelitian mempertanyakan frame media tentang isu
trafficking, bagaimana media pemberitaan membingkai sex trafficking (Thailand) dan bagaimana landscape
media mempengaruhi bagaimana publik dan pengambil kebijakan memahami dan merespon isu tersebut
(Sobel, 2016). Penelitian sebelumnya juga mempertanyakan keuntungan dan tantangan dari insight journalism
dan interaksi antar komunitas (Inggris). Penelitiaan ini meneliti kombinasi media komunitas dengan
partisipatori desain digital dengan dukungan penduduk lokal untuk menghasilkan media lama dan baru
sebagai output yang dipertunjukan secara lokal (Blum-Ross, 2013).
Ditinjau dari aspek peran media komunitas mempertanyakan bagaimana media komunitas berperan
dalam mewujudkan perdamaian pada wilayah yang sedang dilanda konflik (Syprus). Bagaimana media
komunitas mengembangkan strategi resolusi konflik untuk mencegah tindakan antagonis yang dialakukan
oleh masyarakat (Carpentier & Doudaki, 2014).
Terkait dengan media komunitas dan pemberdayaan masyarakat mempertanyakan tentang tentang
peran radio komunitas (Sri Lanka) dalam memfasilitasi komunitasnya untuk mengakses siaran udara
(Seneviratne, 2011). Mengidentifikasi peran media komunitas (Austria) terkait dengan isu-isu di sektor
publik dan komersiil dan persepsi masyarakat terhadap peran sosial dari media komunitas. Penelitian
tersebut didasarkan pada asumsi bahwa legal dokumen mempengaruhi perebuhan sosial dan merupakan
barometer pengetahuan masyarakat terhadap konsep dan norma-norma (Seethaler & Beaufort, 20017).
Selanjutnya terkait dengan platform media yang digunakan mempertanyakan apakah media
komunitas digital memiliki kesamaan dengan platform media lainnya (media mainstream) ditinjau dari
aspek fungsi media komunitas (kebutuhan, kepentingan dan motivasi) dan ruang komunikasi (fleksibel
dalam tujuan dan isi media) (Korkonosenko & Berezhnaia, 2017).
Prospek dan Peran Radio Komunitas dalam Penanggulangan Women trafficking
Berbeda dengan media mainstream, media komunitas terbukti mampu menjalankan perannya
dalam memberikan pengetahuan, menumbuhkan kesadaran, termasuk dalam penanggulangan trafficking.
Penelitian tentang peran media di Inggris, Canada dan Amerika menunjukkan bahwa media komunitas
memberikan peran yang signifikan dalam penanggulangan trafficking, diantaranya dengan memberikan
rekomendasi kebijakan anti trafficking kepada pemerintah. Media di negara tersebut juga mampu
membangun kepekaan dan kepedulian masyarakat terhadap persoalan trafficking (Kelly, at,.all, 2014).
Penelitian tentang peran radio komunitas di Bangladesh dalam mencegah perdagangan manusia dan migrasi
berbahaya (Siraj, 2012) menemukan bahwa radio komunitas bermanfaat bagi pendengar karena telah
memberikan peringatan tentang perdagangan manusia dan migrasi berbahaya. Program yang dimiliki
radio komunitas berguna dan efektif sehingga pendengar berpendapat bahwa program yang ada perlu
dilanjutkan. Pendengar radio merasa bahwa isu-isu yang diangkat membuat mereka lebih peduli terhadap
persoalan perdagangan manusia dan migrasi berbahaya dan menemukan solusi dari persoalan tersebut.
Media komunitas juga terbukti memiliki peranan penting dalam mewujudkan resolusi konflik dan
menciptakan lebih banyak kesempatan bagi terciptanya saling kesepahaman dan harmoni. Hal ini karena
idiologi demokrasi partisipatori yang dimiliki oleh media komunitas dapat menciptakan keberagaman
243PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
dan dialog yang merupakan prasyarat dari resolusi konflik dan rekonsiliasi. Media komunitas terbuka
terhadap perbedaan pendapat dalam suatu masyarakat, menjadi tempat pertemuan para aktor yang terlibat
konflik dengan mengijinkan mereka untuk bekerja sama dalam memproduksi konten media atau terlibat
dalam projek tertentu sehingga menghasilkan wacana yang berbeda dari media mainstream (Carpentier &
Doudaki, 2014).
Di Indonesia sendiri penelitian tentang peran media komunitas dan trafficking, menunjukkan bahwa
radio komunitas mampu mengakomodasi isu-isu perempuan dengan baik, khususnya terkait dengan
kekerasan, TKW dll. Hanya saja media masih dianggap belum berhasil dalam melakukan edukasi dan
memberikan solusi tepat untuk mengatasi proplematika kaum perempuan (Riyadi, 2012). Penelitian Lilis
(2013) menemukan bahwa Radio Komunitas mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk
mewujudkan masyarakat Madani. Masyarakat juga menyadari pentingnya saluran komunikasi yang bebas
dari dominasi kepentingan. Syamsiah dan Herawati (2013) menemukan bahwa radio komunitas berperan
dalam menciptakan masyarakat madani yang memiliki kemampuan literasi media, mampu menciptakan
tatanan, nilai persamaan dan menjunjung identitas lokal (Melati, 2013).
Penelitian tentang emansipatori radio komunitas dalam penanggulangan perdagangan perempuan
di Jawa Barat menunjukkan bahwa radio komunitas melakukan emansipatori melalui media informasi
dan forum diskusi publik dengan mengakomodasi isu-isu tentang perdagangan perempuan. Penanganan
trafficking dilakukan melalui program media advokasi baik melalui penanganan langsung maupun
membuka posko pengaduan masyarakat. Tindakan advokasi dibuktikan dengan banyaknya korban
trafficking yang berhasil ditangani oleh radio komunitas (Melati, 2016).
Kehadiran media komunitas mampu menggerakkan partisipasi akar rumput dalam proses politik. Media
mainstream yang hanya memiliki sedikit interaksi dan umpan balik terbukti tidak penting dan tidak ideal
bagi pemberdayaan akar rumput sehingga dibutuhkan alternatif media partisipatori. Media komunitas
adalah jawaban dari kebutuhan tersebut atau dianggap efektif dalam memenuhi kebutuhan pemberdayaan
akar rumput (Ghosh, 2010).
Peran media komunitas dalam penanggulangan women trafficking tercipta karena media komunitas
memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan media mainstream. Media komunitas umumnya
dijalankan dalam ruang informal dengan tujuan, isi, dan cara berkomunikasi yang lebih fleksibel. Terkait
dengan cara berkomunikasinya dengan anggota komunitas, media komunitas memiliki kesamaan dengan
media mainstream, yaitu didesain dengan khalayak yang tersegmentasi untuk memperkuat semangat
persatuan (Rusia). Konten media komunitas juga merefleksikan aktivitas offline atau kegiatan nyata dari
anggota komunitas (Korkonosenko & Berezhnaia, 2017).
Penelitian di Sri Lanka (Seneviratne, 2011) menunjukkan bahwa radio komunitas memberikan
kesempatan bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya. Hal ini karena isu-isu yang relevan dengan
masyarakat diangkat sebagai tema siaran radio sehingga masyarakat dapat melihat potensi dan tanggung
jawab mereka dalam mewujudkan tujuan pembangunan. Media komunitas juga terbukti memenuhi peran
dalam mendorong dan memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam berbagai diskusi publik dan
turut dalam membangun lingkungan mereka. Seperti media mainstream lainnya media komunitas tidak
hanya diharapkan berkontribusi dalam mewujudkan keberagaman pasar tetapi juga mampu
merepresentasikan keberagaman masyarakat (Seethaler & Beaufort, 2017). Komuniti media juga terbukti
masih relevan di era digital. Meskipun media komunitas belum mampu melawan mainstream media dan
media mainstream juga banyak beralih ke media online. Khalayak masih melihat media komunitas sebagai
media yang paling dipercaya (Guo, 2017).
Selanjutnya, terkait dengan partisipasi perempuan dalam produksi media komunitas menunjukkan
bahwa sebagaian besar perempuan memiliki media komunitas dari warisan, hanya sebagian keci yang
berhasil mendirikannya sendiri. Mereka memiliki keinginan kuat untuk melayani komunitas, tidak
mendapatkan dukungan regulasi dan berada dalam lingkungan industri yang membatasi perempuan untuk
meningkatkan pengalaman dan akses pada kapital untuk sukses dalam menghadapi persaingan (Byerly,
2011).
244 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Kesimpulan
Media komunitas memiliki peran signifikan dalam penanggulangan trafficking karena media
komunitas mampu membangun kepekaan dan kepedulian masyarakat, memberikan peringatan bahaya
trafficking, dan memberikan solusi bagi khalayak untuk terhindar dari trafficking. Hal ini karena media
komunitas membuka ruang bagi terselenggaranya diskusi publik dengan mengakomodasi isu-isu tentang
perdagangan perempuan dengan menggerakkan partisipasi akar rumput karena sifatnya yang partisipatori,
dijalankan dalam ruang informal dengan tujuan, isi, dan cara berkomunikasi yang lebih fleksibel Penanganan
trafficking dilakukan melalui program media advokasi baik melalui penanganan langsung maupun
membuka posko pengaduan masyarakat. Tindakan advokasi dibuktikan dengan banyaknya korban
trafficking yang berhasil ditangani oleh radio komunitas.
Daftar Pustaka
Alexandre, Kelly; Sha, Chyntia, & Pollock, Jhon. C, at.all. (2014). Cross-national coverage of human trafficking:a community structure approach. (pp. 160-174). Roudledge. Journal of communication.
Arivia, Gadis. (2007). Women for peace; perempuan untuk perdamaian Indonesia. Depok. Filsafat UI Press.
Acharya, Arun Kumar. (2016). Trafficking of women for sexual exploitation in Mexico and their identity crisis.(pp. 322-336). Routledge. International Review of Sociology.
Akor, Linus. (2011). Trafficking of women in Nigeria: causes,consequences and the way forward. (pp. 89-110).Corvinus Journal of Sociology and Social Policy.
Blum-Ross, Alicia. (2013). Community media and design: insight journalis as a method for innovation. (pp.173-192). Journal of Media Practice.
Byerly, Carolyn M. (2011). Behind the scene of women’s broadcast ownership. (pp. 24-42). Roudledge. The HowardJournal of Communication.
Carpenter, Nico, & Doudaki, Vala. (2014). Community media for reconciliation: a Cypriot case study. (pp.415-432. Journal of Communication Culture and Critique.
Carpentier, Nico; Lie, Rico, & Servaes, Jan. (2003). Community media; muting the democratic media discourse?(pp.51-68). EBSCO. Journal of Media and Cultural Studies.
Febriani. (2013). Quality education and skill of Indonesian labor towards equality wages in foreign countries. (pp.203-213). Jurnal Ekonomi Pembangunan.
Ghosh, Juhmur. (2010). Community Media: Its prospect and role as a participatory communication media in WestBangal Panchayat system. Indian. Global Media Journal.
Guo, Lei. (2017). Exploring the link between community radio and the community: a study of audience participationin alternative media practices. (pp. 112-1300). International Communication Association. Communication,Culture, and Critique.
Handayani, Dwi Wahyuni. (2009). Studi analisis berita dan opini surat kabar Lampung Post tentang perdaganganperempuan dan anak kurun waktu satu tahun. (pp. 411-417). Prosiding.
Korkonosenko, S & Berezhnaia, M. (2017). Community media online: research approaches and practices offunctioning (case of ethnic media). (pp.370-380). Instituto Federal de Rio Grande do norte. HOLOS.
Lilis Ch., dkk. (2013). Mengusung masyarakat madani melalui radio komunitas. (pp. 145-154). Jurnal Mimbar.
Magpatong, Chalisa and McDaniel, Drew. (2011). Media democratization in the crossroads: community radio inThailand and Malaysia. (pp. 116-128). Routledge. Journal of Radio and Audio Media.
Melati, Citra. (2016). Kajian emansipatoris radio komunitas dalam penanggulangan women trafficking. SkripsiDiterbitkan. Jakarta. Fikom. Universitas Pancasila.
Nassanga, Goretti Linda. (2009). An assessment of the changing community media parameters in East Africa. (pp.42-57). Afican Journalism Studies.
245PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Noeswantari., dkk. (2011). Mencegah trafficking melalui prosedur penempatan dan perlindungan tenaga kerjaIndonesia. (pp. 162-175). Pusat Studi Hak Asasi Manusia.
Order, Simon. (2015). Towards a contingency-based approach to value for community radio. (pp. 122-138). JournalInternational Studies in Broadcast & Audio Media.
Orme, Julie & Ross-Sherif, Fariyal. (2015). Sex trafficking: policies, programs and services. (pp. 287-294). OxfordUniversity Press. National Association of Social Workers.
Simoes, Rita Basilio & Peca, Marta. (2009). Gender trouble in the public sphere: mainstream press discourses of sextrafficking. (pp. 83-110). Journal Media and Journalism.
Siraj, Satil. (2012). Exploring the prospects of community radio in Bangladesh in preventing human trafficking andunsave migrations: a study on radio Mahananda 98.98 FM. Pakistan. Global Media Journal.
Seethaler, Josef & Beaufort, Maren. (2017). Community media and broadcast journalism in Austria: legal andfunding provisions as indicators for the perception of the media’s societal roles. (pp.173-194). Radio Journal.:international Studies in Broadcast & Audio Media.
Seneviratne, Kalinga. (2011). Community radio via public service broadcasting: the Kothmale Model. (pp. 129-138). Routledge. Journal of Radio and Audio Media.
Sobel, Meghan. (2016). Sex trafficking in Thai media: a content analysis of issue framing. (pp. 6126-6147).International Journal of Communication.
Syamsiah dan Herawati. (2013). Akses Informasi terbuka melalui radio berbasis masyarakat sebagai saranamembangun masyarakat madani di Indonesia.
Riyadi., dkk. (2010). Pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan dalam siaran radio SPHM serta dampaknyaterhadap perempuan di kota Makasar. Jurnal Ilmu Komunikasi.
247PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANTARA TERAPIS DENGAN PASIEN ANAK
TERLAMBAT BICARA (SPEECH DELAY) (STUDI KASUS KLINIK TUMBUH
KEMBANG ANAK MY LOVELY CHILD (MLC) KOTA PADANG)
Zumiarti
PENDAHULUAN
Kehadiran anak dalam sebuah keluarga merupakan kebahagiaan tersendiri bagi orang tua.
Perkembangan seorang anak pertama kali dimulai dari lingkungan keluarga dan interaksi antara anak
dengan orang tua. Sejak dini anak harus disiapkan untuk dapat berkembang secara optimal sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya, namun tidak setiap anak terlahir dalam kondisi normal. Beberapa anak
terlahir dengan kondisi mengalami hambatan dan keterbatasan, di antaranya adalah anak terlambat bicara.
Menurut dokter spesialis anak, dr. Anna Tjandra, Sp. A(K), dalam artikel www.family.fimela.com,
speech delay merupakan kasus keterlambatan berbicara pada anak. Dikatakan terlambat apabila kemampuan
perkembangan anak memiliki keterlambatan dengan rentang lebih dari tiga bulan dari perkembangan
yang seharusnya. Anna juga menjelaskan, normalnya perkembangan kemampuan berbicara anak dimulai
sejak usia tiga bulan dengan mengeluarkan suara. Umur empat bulan, anak biasanya mulai bubbling. Lalu,
menjelang sebelas bulan biasanya dia dapat menirukan kata yang persis diucapkan orang sekitarnya. Baru
di usia 12 bulan anak mulai mengucapkan sekaligus mengerti arti kata.
Sementara itu, kemampuan mengumpulkan kosa kata dan merangkai kalimat dimulai saat anak
menginjak dua tahun. Bila perkembangan si anak berbeda jauh dengan tahap-tahap ini, bisa jadi dia
mengalami speech delay. Speech delay pada anak tidak bisa dianggap enteng. Kasus speech delay semakin
bertambah tiap tahunnya. Bahkan, menurut situs pendidikan Sekolah123 pada http://health.kompas.com/
read/2014/05/12/1640161/10.Alasan.Anak.Perlu.Lepas.dari.Gadge,sekitar 5-10 persen anak usia sekolah
saat ini mengalami keterlambatan berbicara.
Akhir-akhir ini dunia terapi menggunakan teknik penyembuhan yang disebut Komunikasi
Terapeutik (Therapeutic Communication). Dengan metode ini pasien sebagai komunikan diarahkan begitu
rupa sehingga terjadi pertukaran pesan yang dapat menimbulkan hubungan sosial yang
bermanfaat.Komunikasi terapeutik digunakan untuk mencapai beberapa tujuan seperti penyusunan kembali
kepribadian, penemuan makna dalam hidup, penyembuhan gangguan emosional, penyesuaian terhadap
masyarakat, pencapaian kebahagiaan dan kepuasan, pencapaian aktualisasi diri, peredaan kecemasan,
serta penghapusan tingkah laku maladaptif dan belajar pola-pola tingkah laku adaptif.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi
interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar terapis dengan pasien. Komunikasi
terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, namun harus direncanakan, disengaja, dan
merupakan tindakan profesional.
Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama antara
perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien. Komunikasi terapeutik bertujuan membantu
pasien dalam memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran, serta dapat mengambil tindakan
yang efektif untuk pasien. Pengalaman ilmu untuk menolong sesama memerlukan kemampuan khusus
dan kepedulian sosial yang besar. Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan
memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya.
Dalam ilmu terapeutik dijelaskan bahwa satu temuan yang secara konsisten muncul dari bukti penelitian
adalah bahwa hubungan terapeutik menyumbang bagian penting dari perubahan terapeutik yang dicapai.
Sehingga terapi wicara yang dilaksanakan untuk anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan
keterlambatan bicara diyakini dapat membantu perkembangan anak-anak dalam berbicara. Sebagian besar
komunikasi penting yang berlangsung dalam sesi terapi adalah nonverbal, disampaikan dalam isyarat,
postur, nada suara, dan sejenisnya.
Sehubungan dengan kajian dalam penelitian ini mengenai komunikasi interpersonal pada anak
speech delay, maka komunikasi interpersonal dalam penelitian ini menggunakan komunikasi keperawatan
yang disebut dengan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik menurut Mundakir (2006) adalah
248 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi. Seorang terapis dapat membantu klien
mengatasi masalah yang dihadapinya melalui komunikasi, bertujuan untuk menyelesaikan masalah pasien,
dengan maksud dapat merubah perilaku pasien menuju kesembuhan. Maksud dari kesembuhan untuk
anak speech delay adalah adanya perubahan respon saat anak speech delay berkomunikasi dengan orang
lain.
Komunikasi terapeutik adalah merupakan hubungan interpersonal antara terapis dan klien, dalam
hal ini terapis dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman
emosional klien (Stuart & Sundeen, 1998). Makin terbuka pasien dalam mengungkapkan perasaannya.
Pasien merasa lebih nyaman dan aman saat mengungkapkan perasaanya, mulai dari apa yang pasien
rasakan hingga apa yang pasien inginkan dari terapis. Pasien makin cenderung untuk meneliti perasaannya
secara mendalam bersama penolongnya (terapis).
Banyaknya pasien-pasien anak yang rutin diterapi di klinik-klinik tumbuh kembang anak yang
dilayani oleh Dokter Spesialis Anak, Psikolog Anak, Dokter Rehab Medik dan Terapis yang menangani
kasus ini membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam, pola komunikasi seperti apa yang diterapkan
terapis terhadap pasien anak yang mengalami keterlambatan berbicara sehingga mencapai perkembangan
berbicara yang cukup signifikan.
Setelah mengamati dan mempelajari fakta dan informasi yang ada, maka penulis merasa tepat
untuk memilih lokasi penelitian di Klinik Tumbuh Kembang Anak My Lovely Child, Kota Padang karena
rata-rata pasien anak speech delay setelah diobservasi oleh pihak klinik, berjumlah hampir 65% dari total
pasien secara keseluruhan dan selebihnya keterlambatan dari segi motorik halus maupun kasar serta
pertumbuhan yang tidak signifikan.
My Lovely Child (MLC) yang berdiri sejak tahun 2012 ini; beralamat di Jl. Perintis Kemerdekaan
nomor 19 Kota Padang, merupakan klinik tumbuh kembang anak dengan penanganan komprehensif oleh
dokter Spesialis Anak, dan Sub Spesialis Anak. Klinik ini selain menyediakan konsultasi anak sakit dengan
Dokter Spesialis Anak, juga melakukan kegiatan–kegiatan skrining dan pemeriksaan untuk tumbuh
kembang serta layanan terapi dan fasilitas yang terintegrasi untuk mengembangkan potensi dan kapasitas
anak, terutama anak berkebutuhan khusus.
Aktivitas utama klinik adalah praktek bersama dokter Spesialis Anak, skirining pendengaran, skrining
tumbuh kembang, terapi wicara, terapi sensori integrasi, terapi okupasi, fisioterapi, konseling, dll. Adapun
tenaga ahli yang bekerja di klinik MLC terdiri dari 6 orang dokter spesialis, 2 orang dokter umum, 2 orang
psikolog anak, 4 orang suster, 3 orang tenaga administrasi, 10 orang terapis, 2 orang apoteker, 1 orang
petugas kebersihan. Klinik MLC memiliki visi menjadi pusat layanan tumbuh kembang anak yang
terkemuka di Sumatera Barat.
Pada ilmu kesehatan dan terapi, ilmu komunikasi menjadi sangat penting karena komunikasi
merupakan alat dalam melaksanakan proses terapi. Menurut Stuart dalam asuhan terapi, komunikasi
ditujukan untuk mengubah perilaku klien dalam mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Komunikasi
terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan dipusatkan untuk
kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik mengarah pada bentuk komunikasi interpersonal. Dalam
pengertiannya, komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara terapis dengan pasien,
dalam hubungan ini terapis dan pasien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka
memperbaiki pengalaman emosional pasien (Stuart G.W, 1995).
Adapun hambatan dalam melakukan komunikasi terapeutik adalah resistens, transferens, dan
kontertransferens. Resistens merupakan upaya klien untuk tidak menyadari aspek dari penyebab cemas
atau kegelisahan yang dialami. Ini juga merupakan keengganan alamiah atau penghindaran secara verbal
yang dipelajari. Transference merupakan respon tak sadar berupa perasaan atau perilaku terhadap terapis
yang sebetulnya berawal dari berhubungan dengan orang-orang tertentu yang bermakna baginya pada
waktu dia masih kecil (Stuart dan Sundeen, 1995). Reaksi transference membahayakan untuk proses
terapeutik hanya bila hal ini diabaikan dan tidak ditelaah oleh perawat. Kontertransferens merujuk pada
respons emosional spesifik oleh terapis terhadap pasien yang tidak tepat dalam isi konteks hubungan
terapeutik atau ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Respons emosional yang berlebihan itu disebut
kontertransferens.
249PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Komunikasi interpersonal seperti yang diungkapkan oleh Devito dalam (Liliweri, 1991:13)
merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang
dengan efek dan umpan balik yang bersifat langsung. Setiap orang memerlukan hubungan interpersonal
terutama untuk dua hal yaitu perasaan dan ketergantungan. Perasaan mengacu pada hubungan yang
bersifat emosional intensif, sementara ketergantungan mengacu pada instrumen interpersonal seperti
mencari kedekatan, membutuhkan bantuan, serta kebutuhan berteman dengan orang lain yang juga
dibutuhkan untuk kepentingan mempertahankan hidup.
Dalam komunikasi interpersonal tidak hanya tertuju pada pengertian melainkan ada fungsi dari
komunikasi antar pribadi itu sendiri. Fungsi itu terkait dengan berusaha meningkatkan hubungan insani,
menghindari dan mengatasi konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu serta berbagi pengetahuan
dan pengalaman dengan orang lain (Hafied Cangara : 2007). Komunikasi interpersonal berfungsi
meningkatkan hubungan kemanusiaan diantara pihak-pihak yang melakukan komunikasi seperti mengatasi
konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan
orang lain (Cangara, 2004:33).
Istilah pola komunikasi biasa disebut juga sebagai model tetapi maksudnya sama, yaitu sistem
yang terdiri atas berbagai komponen yang berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan pendidikan
keadaan masyarakat. Pola komunikasi menurut (Efendy, 1986) adalah proses yang dirancang untuk
mewakili kenyataan keterpautannya unsur-unsur yang di cakup beserta keberlangsungannya, guna
memudahkan pemikiran secara sistematik dan logis.
Menurut Hurlock (1978:194-196) bahwa “apabila tingkat perkembangan bicara berada dibawah
tingkat kualitas perkembangan bicara anak yang umurnya sama yang dapat diketahui dari ketepatan kata,
maka hubungan sosial anak akan terhambat sama halnya apabila keterampilan bermain mereka dibawah
keterampilan bermain teman sebayanya”. Maksudnya ialah apabila perkembangan bahasa anak berbeda
dengan tingkat perkembangan bahasa anak lain seusianya maka anak akan mengalami hambatan dalam
interaksi sosialnya.
Anak terlambat bicara (speech delay) dikategorikan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK),
dikarenakan membutuhkan penanganan khusus dalam penanganannya. Dengan karakteristik khusus yang
berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakampuan mental, emosi,
atau fisik. Anak berkebutuhan khusus adalah klasifikasi untuk anak dan remaja yang secara fisik, psikologis,
dan sosial mengalami masalah serius dan menetap. Faktor penyebab anak terlambat bicara dapat terjadi
pada beberapa periode kehidupan anak, yaitu sebelum kelahiran, selama proses kelahiran, dan setelah
kelahiran (Baihaqi:2006).
Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena dengan bentuk penelitian ini
memungkinkan penulis untuk dapat menggambarkan objek penelitian secara holistik berdasarkan realitas
sosial yang ada di lapangan. Menurut Bodgan dan Taylor (dalam Moleong, 2007: 3). Subjek yang akan
diteliti dalam penelitian ini adalah terapis di Klinik Tumbuh Kembang Anak My Lovely Child (MLC), Jl.
Perintis Kemerdekaan no. 19, Kota Padang. Objek penelitian ini ini adalah pasien anak terlambat bicara
(speech delay). Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Lokasi
penelitian ini mengambil cakupan wilayah Kota Padang dengan memusatkan penelitian di Klinik Tumbuh
Kembang Anak My Lovely Child (MLC), Jl. Perintis Kemerdekaan no. 19, Padang.
Hasil dan Pembahasan
Pola Komunikasi Satu Arah
Dalam hal proses kemampuan dalam berbicara, anak pada awalnya diberikan stimulus berupa
informasi yang sebanyak-banyaknya. Informasi yang diserap tersebut, memenuhi bank kosakata yang ada
pada otak anak. Sehingga tersimpan dalam memory. Segala macam instruksi, penjabaran bentuk benda,
dan rasa dari indera peraba dan pendengaran anak ikut terstimulasi dengan pola komunikasi satu arah
yang menggunakan media terapi ini.
Pada hal ini, otomatis terjadi jenis komunikasi verbal dan non verbal. Bagaimana terapis melakukan terapi
dengan menggunakan media terapi berupa alat ronce dan mempraktekkan bagaimana cara meronce dengan
250 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
baik, tercipta komunikasi non verbal. Lalu terapis mengucapkan kata-kata instruksi, bagaimana cara
meronce dengan baik merupakan cara komunikasi verbal yang diungkapkan terapis melalui lisan.
Dalam sesi kegiatan terapi, observasi umum menunjukkan bahwa komunikasi dua arah yang dilakukan
oleh terapis terhadap pasien terlambat berbicara sudah terbangun dengan baik. Tapi menurut terapis, ada
kalanya anak yang diterapi masih belum bisa mengeluarkan kosakata, jadi hanya diam mendengarkan
deskripsi dan informasi dari terapis. Sehingga pola komunikasi dua arah tidak terbangun. Dalam
kesempatan lain, penulis menemukan konsep pola komunikasi dua arah yang dibangun oleh terapis dalam
melakukan sesi terapi terhadap pasien anak terlambat berbicara.
Pola Komunikasi Multi Arah
Anak yang terlambat berbicara, cenderung lebih aktif daripada anak biasanya. Susah berkonsentrasi,
berlari-larian dan tidak mau diam. Tidak jarang pasien juga memanjat dan membongkar benda-benda
yang ditemuinya di sekitar. Sehingga dibutuhkan perlakuan khusus bagi anak terlambat bicara.
Argumen Teoritisnya, bahwa pola komunikasi multi arah ini akan menghemat waktu si terapis dalam
menyampaikan materi terapi jika anak diterapi bersama. Selain itu penulis pun berasumsi awal, bahwa
banyak keuntungan yang akan didapat dari pola komunikasi multi arah ini, salah satunya yaitu antara
satu pasien dengan pasien-pasien lainnya dapat berinteraksi dan tidak bosan dalam ruangan terapi. Tetapi
asumsi penulis ini dipatahkan oleh terapis dengan menjawab hasil wawancara:
“Anak speech delay beda cara menstimulasinya dalam berkomunikasi. Semua hal, cara dan perlakuan juga kita lakukan
secara khusus. Dimulai dari ruangan yang berukuran kecil, supaya anak bisa fokus dulu ke terapis. Kalau anak sudah
fokus ke terapis, sudah merasa nyaman, baru terapis bisa memulai sesi terapi dengan mengajak anak bermain dulu.
Misal mengajak anak bermain papan angka, puzzle, dan lain sebagainya. Kalau anak diterapi dalam jumlah banyak,
bakalan gak efektif. Karena pasti konsentrasi mereka akan buyar. Untuk menghadapi satu anak saja, sudah cukup
sulit dan butuh penanganan yang khusus. Sehingga satu anak dengan anak yang lain harus dipisahkan. Kita harus
menterapi satu lawan satu. Terapis satu orang dengan pasien satu orang. Dengan cara ini aja kita udah cukup sulit.
Gak kebayang kalau anak dalam jumlah banyak, ya bisa-bisa lari-larian semua anak-anaknya kemana-mana, gak
bakal bisa diatur, apalagi diterapi”.Ucap terapis wicara sambil tersenyum pada saat diwawancara oleh penulis.
Wawancara kepada terapi perilaku (behavior) di Klinik My Lovely Child (MLC), Hermila Sari, S.Psi saat
ditemui pada hari Senin, 17 Juli 2017 di sela-sela jadwal terapi. Penulis mempertanyakan, kenapa pada
saat diterapi, anak tidak berada di dalam satu ruangan terapi dengan jumlah yang lebih banyak.
Misalkan tiga anak atau lebih dengan satu terapis sebagai komunikator. Beliau menjelaskan bahwa:
“Pasien anak yang diterapi disini memiliki berbagai macam penyebab, kenapa dia terlambat bicara. Paling banyak sih
karena kebanyakan dibiarkan orang tua nya bermain sendiri. Kurang diajak bersosialisasi. Kalau pasien seperti ini
hanya butuh banyak diajak interaksi dan bermain pada saat sesi terapi. Insya Allah hasil terapi nya akan lebih cepat
terlihat. Tapi ada juga anak terlambat bicara yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti down syndrome, autis,
ADHD, dan lain-lain. Nah jenis anak seperti ini harus kita klasifikasi, Bu. Gak bisa digabung juga dengan anak yang
penyebab terlambat berbicaranya berbeda. Karena akan mempengaruhi perilaku mereka juga. Fokusnya itu yang sulit
didapat. Bersama-sama melakukan terapi, dengan pasien berjumlah banyak, saya rasa memang bukan cara yang baik.
Malah sama sekali tidak boleh dipakai dalam melakukan terapi. Akan sia-sia usaha terapis dalam mendapatkan perhatian
anak. Kalau konsentrasi sulit didapat, gimana mau interaksi sama pasiennya. Ini aja saya menterapi anak, dengan
meja dan kursi kecil khusus ini. Supaya anak gak kemana-mana dan bisa fokus dulu ke saya.”
Demikian penjelasan dari terapis perilaku (behavior) yang ditemui penulis saat itu. Dalam hal ini
penulis menganalisis bahwa memang pola komunikasi multi arah tidak dapat dipakai dalam metode terapi
anak terlambat bicara. Setelah penulis melihat dan mengamati bagaiman mereka sulitnya berinteraksi
dengan anak terlambat berbicara ini, tentu pola komunikasi ini tidak akan efektif digunakan oleh terapi.
Maksud dan tujuan terapi tidak akan tercapai dan tidak akan membuahkan hasil dalam melakukan terapi.
Sehingga apa yang diusahakan terapis tidak akan mencapai tujuannya dengan baik.
Proses Komunikasi yang Dilakukan Terapis Saat Melakukan Terapi Terhadap Pasien Anak Terlambat
Berbicara (Speech Delay)
Pola komunikasi yang diterapkan terapis dalam melakukan terapi pada pasien anak terlambat
bicara (speech delay), ditemukan sebuah proses ataupun langkah demi langkah apa saja yang dilakukan
251PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
terapi pada saat melakukan terapi pada pasien anak terlambat bicara. Pada setiap proses komunikasi,
akan ditemukan cara berkomunikasi verbal yang diungkapkan dengan kata-kata dan komunikasi non
verbal, yaitu dilakukan dengan gerakan tubuh, mimik wajah, lirikan mata, juga jarak antara pasien dan
terapis.
Proses Komunikasi Psikologis
Proses komunikasi psikologis terjadi pada diri terapis dan pasien anak terlambat bicara. Ketika
seorang terapis berniat akan menyampaikan suatu pesan kepada pasien anak dalam sesi terapi, maka
dalam dirinya terjadi suatu proses. Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek, yakni isi pesan dan lambang.
Isi pesan pada umumnya adalah pemikiran, sedangkan lambang umumnya adalah bahasa.
Dari segi psikologis ini pun terbagi menjadi dua aspek, yaitu persuasif yang digunakan sebagai usaha
terapis dalam membujuk ataupun merayu pasien dalam melakukan terapi tersebut. Terkadang anak sedang
tidak dalam kondisi perasaan hati yang baik. Menolak melakukan terapi, ataupun tidak mau mengikuti
instruksi terapis.
Dalam proses komunikasi psikologi persuasif ini, penulis menilai dan menganalisis bahwa proses
ini merupakan langkah awal dalam melakukan sesi terapi. Dalam mendapatkan perhatian anak, terapis
dituntut untuk sabar dalam membujuk ataupun merayu anak untuk memasuki ruangan, memulai sesi
terapi dengan gembira, dan lain sebagainya. Berbagai cara harus dilakukan terapi dengan membujuk anak,
missal dengan mengalihkan perhatian anak yang sedang bad mood kepada benda lain agar anak bisa
menstabilkan emosinya. Terapis memang dituntut untuk melakukan proses ini dengan baik.
Di samping itu, proses komunikasi psikologi juga dinilai dari aspek empati. Bagaiman terapis dapat ikut
merasakan apa yang dirasakan pasien. Misalkan pasien cemas karena baru mengenal terapis sehingga
merasa takut berada berdua di dalam ruangan terapis, maka terapis harus ikut merasakan apa yang
dirasakan pasien. Terapis harus bisa memposisikan dirinya seolah-olah berada pada posisi pasien. Sehingga
terapis seolah-olah ikut merasakan apa yang dirasakan oleh pasien.
Upaya berempati biasanya terjadi dalam sesi terapi. Upaya berempati tersebut dilakukan dalam
proses komunikasi psikologi. Hal ini cukup besar pengaruhnya bagi kelancaran proses terapi. Dikarenakan
anak pada hakikatnya tidak bisa dipaksa. Usia anak-anak merupakan fase bermain tanpa adanya rasa
tertekan dan rasa tidak nyaman terhadap lingkungan sekitar. Sehingga penulis berkesimpulan bahwa,
proses awal dalam sebuah terapi adalah bagaimana menciptakan rasa percaya antara terapis dan pasien.
Percaya bahwa terapis dapat memberikan rasa aman dan rasa nyaman kepada pasien. Bagaimana pasien
dapat menikmati setiap proses terapi, sehingga terapis pun dengan mudah menyampaikan materi terapi.
Proses komunikasi primer merupakan penyampaian pikiran oleh terapis kepada pasien menggunakan
lambang sebagai media atau saluran. Media atau saluran disini yaitu bahasa. Bagaimana terapis dalam
menstimulasi anak dengan memberi penjelasan melalui bahasa secara verbal, demi menyampaikan materi
terapi. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa pada setiap sesi terapi, tentu menggunakan bahasa, ungkapan
kata-kata yang bermakna dari terapis secara verbal yang diucapkan kepada pasien.
Proses komunikasi secara primer dalam terapi ini menggunakan bahasa sebagai media, yang
merupakan komunikasi yang disampaikan secara verbal. Lambang atau symbol yang dipergunakan sebagai
media primer dalam proses komunikasi yang digunakan terapis ialah bahasa sebagai proses komunikasi
utama. Adapun gambar, isyarat, warna dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan
pikiran dan perasaan terapis kepada pasien ataupun sebaliknya, merupakan proses komunikasi primer
berbentuk non verbal.
Bahasa merupakan yang paling banyak digunakan untuk menerjemahkan pikiran terapis kepada
pasien. Isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya, hanya dapat mengomunikasikan hal-hal tertentu saja
(sangat terbatas). Maka dari itu, penulis menyetujui apa yang disampaikan oleh terapis wicara tersebut.
Proses Komunikasi Sekunder merupakan proses penyampaian pesan oleh terapis kepada pasien dengan
menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.
Pada sesi terapi, terapis mengajak pasien bermain dengan melatih motorik kasar pada anak.
Pola komunikasi sekunder ini adalah hal yang selalu dilakukan terapis pada saat sesi terapi. Terapi
selalu dilakukan dengan menggunakan alat terapi sebagai media ataupun saluran untuk memudahkan
pasien dalam menerima materi terapi. Adapun mainan yang dijadikan media terapi bertujuan untuk alat
252 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
bantu utama dalam penyampaian sesi terapi. Selain itu, media ini juga dapat menarik minat anak-anak
dalam terapi dan memberikan pemahaman visual kepada anak. Walaupun tidak dilihat wujud asli benda
yang diceritakan terapis kepada anak, namun dengan alat peraga sebagai media terapi ini sangat efektif
dalam membantu pemahaman anak dalam memperkaya pengetahuan dan menambah kosakata anak.
Proses secara linear adalah proses penyampaian pesan dalam penyampaian materi terapi oleh terapis
kepada pasien anak terlambat bicara (speech delay) sebagai titik terminal. Komunikasi linear ini berlangsung
baik dalam situasi komunikasi tatap muka (face-to-face communication) maupun situasi komunikasi bermedia
(mediated communication). Dalam semua sesi terapi yang ditemu menggunakan proses komunikasi linear
ini. Dimana terapis dan pasien bertemu dan saling berhadap-hadapan dan menggunakan media terapi
seperti alat musik, boneka, alat-alat transportasi, papan magnet, sebagai alat bantu dalam penyampaian
materi terapi.
Dalam terapi ini munculnya proses komunikasi linear ataupun proses komunikasi yang dilakukan
dengan tatap muka. Berikutnya, sesi terapi yang diamati penulis, pada saat melakukan proses penyampaian
materi terapi, terapis dan pasien anak terlihat duduk berhadapan pada matras yang terletak di lantai.
Proses komunikasi linear merupakan proses komunikasi yang cukup penting dalam menstimulasi anak
terlambat bicara. Dikarenakan anak terlihat fokus dan merasa diperlakukan istimewa dengan segenap
perhatian terapis tertuju padanya. Anak akan lebih mudah memahami dan menerima konsep-konsep terapi
yang diajarkan terapis pada saat melakukan terapi. Timbulnya rasa kedekatan antara pasien dan terapis
pada saat melakukan proses komunikasi ini. Sehingga segala macam instruksi dan pengajaran yang
diberikan terapis akan lebih mudah diserap oleh pasien anak.
Proses komunikasi secara sirkular adalah terjadinya feedback ataupun umpan balik, yaitu terjadinya
arus dari terapis kepada pasien anak. Oleh karena itu ada kalanya umpan balik tersebut mengalir dari
pasien anak kepada terapis, yang disebut sebagai “response” atau tanggapan pasien anak terhadap pesan
dalam penyampaian materi terapi yang diterima dari terapis.
Anak yang sudah bisa diajak bekerja sama, mencerna segala bentuk instruksi terapis akan lebih
mudah merangsang motorik halus dan motorik kasarnya. Dimulai dari indera peraba, indera pendengaran,
dan indera penglihatannya. Anak akan merasakan, otot-otot tubuhnya bekerja lebih kuat untuk kegiatan
fisik seperti memanjat, berlari, menendang bola, menaiki tangga-tangga untuk menuju ke puncak
seluncuran, dan lain sebagainya.
Dalam terapi ini, adanya proses komunikasi yang disampaikan terapis kepada Farhan dengan
menggunakan proses komunikasi sirkular, yaitu penjelasan serta contoh yang diberikan terapis, mendapat
response dari pasien anak dengan mencoba melakukan hal yang sama dilakukan oleh terapis dengan gerak
tubuh dan ekspresi wajah dalam bentuk non verbal dan memberikan response berupa kata-kata yang
ditunjukkan pasien anak kepada terapis dengan cara verbal.
Komunikasi sirkular dalam adanya feed back ataupun response dari pasien merupakan tahap akhir
dari proses komunikasi untuk membuat proses komunikasi ini berjalan ideal. Dimulai dari terapis
menyampaikan materi terapi, lalu pasien anak sebagai komunikan mulai mencoba memahami makna-
makna yang diucapkan oleh terapis.
Selanjutnya terapis menggunakan media terapi berupa alat peraga seperti jepitan warna warni,
kolam yang diisi air, kertas bergambar, papan titian untuk melatih keseimbangan dan lain sebagainya.
Melalui alat ini pun sangat membantu anak dalam menyerap segala informasi yang diberikan terapis.
Selain itu, alat peraga juga digunakan untuk mendapatkan perhatian anak kepada terapis agar sesi terapi
dapat berlangsung dengan baik. Terapi yang dilakukan secara tatap muka langsung dengan posisi dekat
antara terapis dan pasien akan membuat terapi berjalan efektif.
Maka idealnya, adanya response dari pasien anak terhadap terapis, sehingga proses komunikasi
sirkular tercipta. Jika sudah sampai ke tahapan proses komunikasi ini, tidak dapat dipungkiri bahwa terapi
akan berjalan dengan ideal. Maksud dan tujuan terapi akan terlaksana dan tercipta dengan baik. Tinggal
menunggu hasil evaluasi jangka panjang, apakah pasien memiliki perkembangan setelah berapa lama
terapi dibandingkan saat pertama kali pasien datang untuk melakukan terapi di Klinik My Lovely Child
(MLC).
253PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Hambatan yang Dihadapi Terapis Dalam Melakukan Terapi Kepada Pasien Anak Terlambat Berbicara
(Speech Delay)
Hambatan Resistens
Hambatan Resistens merupakan upaya pasien untuk tidak menyadari aspek dari penyebab cemas
atau kegelisahan yang dialami. Ini juga merupakan keengganan alamiah atau penghindaran secara verbal
yang dipelajari. Pasien yang resistens biasanya menunjukkan ambivalensi antara menghargai tetapi juga
menghindari pengalaman yang menimbulkan cemas padahal hal ini merupakan bagian normal dalam
proses terapeutik. Resistens ini sering akibat dari ketidaksesuaian pasien untuk berubah ketika kebutuhan
untuk berubah telah dirasakan.
Ekspresi yang tidak bisa mereka ungkapkan, akan diungkapkan melalui rasa amuk dan kecewa
terhadap terapis karena tidak bisa menangkap maksud dan keinginannya sehingga akan berupaya menyakiti
dirinya dan orang lain. Biasanya kejadian ini akan berlangsung 5-10 menit. Tergantung kondisi perasaan
anak pada saat itu. Sehingga terapis mengalami hambatan dalam berkomunikasi kepada pasien anak.
Susah sekali mendapatkan dan mengembalikan anak dalam kondisi mood yang baik. Adanya hambatan
komunikasi resistens disini yang membuat terapi tidak dapat menyampaikan materi terapi dengan
sempurna.
Dalam yang ditemukan penulis di lapangan, banyak juga anak yang menangis sampai sesi terapi
berakhir. Menolak diajak terapi. Tetapi pada awal proses terapi, biasanya anak mengalami fase ini. Sampai
anak benar-benar nyaman dengan lingkungan terapi, baru mau diajak berkomunikasi untuk diterapi. Penulis
setuju dengan sikap terapis bahwa segala kegiatan yang akan dilakukan dengan anak, tidak bisa dipaksakan
sesuai dengan teori yang ada. Tetapi lebih kepada melihat mood dan situasi anak pada saat itu. Bagaimana
anak dibuat merasa nyaman dulu, walau terkadang terapis masih tetap kewalahan menghadapi berbagai
macam anak dengan berbagai macam karakter dan diagnosa penyakit penyebab anak terlambat berbicara
dari dokter.
Hambatan Transferens merupakan respon tak sadar berupa perasaan atau perilaku terhadap terapis
yang sebetulnya berawal dari berhubungan dengan orang-orang tertentu yang bermakna baginya pada
waktu dia masih kecil. Pada jenis hambatan ini tidak ditemukan di lapangan oleh penulis pada jenis sesi
terapi apapun di Klinik My Lovely Child (MLC). Baik dari kelas terapi wicara, terapi sensori integrasi, dan
terapi perilaku (behavior).
Hambatan Kontertransferens merujuk pada respons emosional spesifik oleh terapis terhadap pasien
yang tidak tepat dalam isi konteks hubungan terapeutik atau ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Terapis
terkadang tidak menyadari bahwa apa yang telah di lakukan itu nantinya merugikan kedua belah pihak.
Terapis biasanya terpancing oleh sikap pasien yang berlebihan, baik sikap terlalu baik maupun sikap yang
terlalu buruk sehingga terapis merespons dengan emosi yang berlebihan juga.
Respons emosional yang berlebihan itu disebut kontertransferens. Dalam rentang jangka waktu
penelitian, penulis tidak menemukan jenis hambatan kontertransferens dalam sesi terapi yang ada di Klinik
Tumbuh Kembang Anak My Lovely Child (MLC), baik dari kelas terapi wicara, terapi sensori integrasi dan
terapi perilaku (behavior). Terapis dapat mengendalikan emosi dan perilakunya di hadapan pasien dengan
baik tanpa ikut terpancing dengan reaksi pasien pada saat diterapi.
Kesimpulan
Pola komunikasi yang digunakan terapis dalam menstimulasi pasien anak yang mengalami
keterlambatan berbicara menggunakan pola komunikasi satu arah dan dua arah. Penelitian ini mendukung
teori pola komunikasi yang dikemukakan oleh Efendy. Bahwa, pola komunikasi terdiri atas 3 macam,
yaitu: pola komunikasi satu arah, pola komunikasi dua arah dan pola komunikasi multi arah.
Proses komunikasi yang dilalukan terapis saat melakukan terapi pada anak terlambat bicara,
menggunakan proses komunikasi secara psikologis dengan persuasif dan empati. Lalu secara mekanis,
melakukan proses komunikasi secara primer, skunder, linear dan sirkular. Secara konseptual temuan
penelitian ini, menguatkan teori Efendy tersebut yang secara keseluruhan poin-poin ini digunakan terapis
pada saat terapi terhadap pasien anak terlambat bicara (speech delay). Hal ini pun bersamaan dilakukan
selama sesi terapi dengan menggunakan komunikasi secara verbal dan non verbal yang dikemukakan
secara teoritis oleh Atep Adya Barata.
254 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018
Hambatan komunikasi yang ditemui terapis dalam sesi terapi wicara, terapi perilaku (behavior) dan
terapi sensori integrasi mendapatkan hambatan resistens yang mendukung teori Stuart dan Sundeen. Di
Klinik My Lovely Child (MLC), hanya ditemukan jenis hambatan resistens saja. Sedangkan hambatan
transferens dan kontertransferens tidak ditemukan selama proses terapi berlangsung.
DAFTAR PUSTAKAArikunto.S. 2002. Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan Proposal.Jakarta : PT Rineka Cipta
Baihaqi, MIF & M. Sugiarman. 2006. Memahami dan Membantu Anak ADHD. Bandung: Refika Aditama
Bittner, John. R. 1985. Broadcasting and Telecommunication, An Introduction. New Jersey: Prentice-Hall
Bungin, Burhan. 2003. Analisa Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah PenguasaanModel Aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Cangara, Hafid. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup.
Cangara, Hafid. 2007. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Efendy, Onong U. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: CV. Remaja Rosdakarya.
Efendy, Onong U. 1989. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hurlock B., Elizabeth.1978. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Liliweri, Alo. 1991. Komunikasi Antarpribadi. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Liliweri, Alo. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Kesehatan. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Miles, M. B., dan Huberman. 1984. Qualitative Data Analysis : A Sourbook of New Methos. California : Sage.
Moleong, Lexy J, 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Mundakir. 2006. Komunikasi Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sundeen, G. W. S. & S. J. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Stuart, G.W & Sundeen S.J.(1995). Principles and Practise of Psychiatric Nursing. St. Louis: Mosby Year Book.
Suryani. 2005. Komunikasi Terapeutik Teori & Praktek. Jakarta: EGC.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Bandung: Alfabeta.
Website
http://www.speechdelay.com diakses (23 Oktober 2017)
http://health.kompas.com/read/2014/05/12/1640161/10.Alasan.Anak.Perlu.Lepas.dari.Gadget, diakses tanggal 28Februari 2017
http://family.fimela.com/bayi-balita/tumbuh-kembang/orangtua-dan-gadget-sebabkan-anak-telat-bicara-140203r-page2.html, diakses tanggal 12 Februari 2017
http://gemarullyana.blogspot.co.id/2012/11/komunikasi-non-verbal.html, diakses tanggal 10 Juli 2017
Disertasi
Anggadewi M. 1993. Variabel-variabel Pengasuhan yang “Nurturant” Untuk Perkembangan Kognitif Bayi 6-12
bulan. Disertasi. Jakarta: F.Psi UI.