re)italisasi 'ungsi kehumasan di perguruan tinggi...

72
183 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018 1. Pendahuluan Dalam konteks keberadaan dan kebermaknaan suatu organisasi, peran komunikasi tidaklah dapat dikesampingkan atau diabaikan sama sekali. Harris & Nelson (2008) mengungkapkan, bahwa komunikasi merupakan sebuah proses dalam upaya memahami perspektif masing-masing yang terlibat di dalam atau dengan siapa organisasi tersebut sekaligus mekanisme kesisteman dalam mengupayakan kesadaran tentang proses interaksi dan keterkaitan satu sama lain yang berkepentingan dengan organisasi. Kesuksesan berkomunikasi adalah tercapainya pengertian bersama antara apa yang dikehendaki oleh pengirim pesan dan yang diterjemahkan oleh penerima pesan. Bell & Martin (2014) menandaskan, dibutuhkan kapasitas kepemimpinan komunikatif sekaligus komunikasi secara tim dalam rangka memastikan substansi pesan dipahami oleh semua pihak yang terkait. Hal senada juga diungkapkan oleh Holtzhausen & Zerfass (2013) akan pentingnya semacam komunikasi strategis yang didesain dan diarahkan untuk menjangkau khalayak sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Hal ini tentunya akan mempertimbangkan aspek- aspek seperti siapa pemangku kepentingan yang terlibat, bagaimana pesan tersebut dirancang dan dengan media apa disampaikan sehingga mewujud pada konsistensi perilaku khalayak sebagaimana yang diharapkan Holtzhausen & Zerfass (2015). Mekanisme komunikasi yang dapat menerjemahkan hubungan antara organisasi dengan pemangku kepentingan atau khalayaknya, salah satunya adalah melalui kehumasan. Hal tersebut dilandasi oleh konsepsi dasar kehumasan yang melingkupi aspek pertimbangan, perencanaan, kinerja, kepentingan publik, komunikasi dua arah dan fungsi manajerial (Wilcox, Cameron & Reber, 2015). Kehumasan memampukan organisasi untuk membangun interaksi yang baik dan berkesinambungan dengan publiknya. Cutlip & Center (2000) mengungkapkan hakikat dari kehumasan sebagai manajemen yang khas dengan fungsi utama REVITALISASI FUNGSI KEHUMASAN DI PERGURUAN TINGGI : STUDI DI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN Wisnu Widjanarko dan Tri Nugroho Adi Staf Pengajar Program Studi S2 Ilmu Komunikasi FISIP UNSOED e-mail : [email protected] ABSTRAK: Kehumasan memiliki makna strategis sebagai upaya membangun, memelihara dan meningkatkan kualitas hubungan antara suatu organisasi dengan pemangku kepentingannya, termasuk dalam hal ini perguruan tinggi. Melalui partisipasi dan sinergi dari semua pihak yang terkait, perguruan tinggi diharapkan dapat berkontribusi dalam mewujudkan keunggulan dalam pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Salah satu perguruan tinggi yang memiliki lembaga kehumasan adalah Universitas Jenderal Soedirman yang memiliki tugas melaksanakan kerjasama dan pemberian layanan informasi serta publikasi. Riset ini mencoba melakukan pengkajian fungsi yang dimandatkan kepada Bagian Kerjasama dan Hubungan Masyarakat sebagai mekanisme dalam melaksanakan tugas pokoknya. Menggunakan pendekatan studi kepustakaan, maka didapatkan hasil bahwa aspek pengelolaan dan analisa pemangku kepentingan belum tercermin sebagai instrumen dalam rangka memenuhi tugas pokoknya, yang tentunya akan potensial untuk mengurangi kesempatan dalam mewujudkan hubungan yang baik dan berkelanjutan dengan khalayak. Melalui fungsi pengelolaan pemangku kepentingan, diharapkan akan dapat membangun kelekatan sekaligus mereduksi friksi yang tidak konstruktif bagi institusi. Sedangkan melalui fungsi analisa pemangku kepentingan, diharapkan akan menghasilkan sebuah kajian strategis yang melandasi produksi material informasi dalam proses komunikasi publik. Kata Kunci : Kehumasan, Pemangku Kepentingan, Revitalisasi Fungsi, Perguruan Tinggi

Upload: lammien

Post on 02-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

183PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

1. Pendahuluan

Dalam konteks keberadaan dan kebermaknaan suatu organisasi, peran komunikasi tidaklah dapat

dikesampingkan atau diabaikan sama sekali. Harris & Nelson (2008) mengungkapkan, bahwa komunikasi

merupakan sebuah proses dalam upaya memahami perspektif masing-masing yang terlibat di dalam atau

dengan siapa organisasi tersebut sekaligus mekanisme kesisteman dalam mengupayakan kesadaran tentang

proses interaksi dan keterkaitan satu sama lain yang berkepentingan dengan organisasi. Kesuksesan

berkomunikasi adalah tercapainya pengertian bersama antara apa yang dikehendaki oleh pengirim pesan

dan yang diterjemahkan oleh penerima pesan. Bell & Martin (2014) menandaskan, dibutuhkan kapasitas

kepemimpinan komunikatif sekaligus komunikasi secara tim dalam rangka memastikan substansi pesan

dipahami oleh semua pihak yang terkait. Hal senada juga diungkapkan oleh Holtzhausen & Zerfass (2013)

akan pentingnya semacam komunikasi strategis yang didesain dan diarahkan untuk menjangkau khalayak

sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Hal ini tentunya akan mempertimbangkan aspek-

aspek seperti siapa pemangku kepentingan yang terlibat, bagaimana pesan tersebut dirancang dan dengan

media apa disampaikan sehingga mewujud pada konsistensi perilaku khalayak sebagaimana yang

diharapkan Holtzhausen & Zerfass (2015).

Mekanisme komunikasi yang dapat menerjemahkan hubungan antara organisasi dengan pemangku

kepentingan atau khalayaknya, salah satunya adalah melalui kehumasan. Hal tersebut dilandasi oleh

konsepsi dasar kehumasan yang melingkupi aspek pertimbangan, perencanaan, kinerja, kepentingan publik,

komunikasi dua arah dan fungsi manajerial (Wilcox, Cameron & Reber, 2015). Kehumasan memampukan

organisasi untuk membangun interaksi yang baik dan berkesinambungan dengan publiknya. Cutlip &

Center (2000) mengungkapkan hakikat dari kehumasan sebagai manajemen yang khas dengan fungsi utama

REVITALISASI FUNGSI KEHUMASAN DI PERGURUAN TINGGI :

STUDI DI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Wisnu Widjanarko dan Tri Nugroho Adi

Staf Pengajar Program Studi S2 Ilmu Komunikasi FISIP UNSOED

e-mail : [email protected]

ABSTRAK:

Kehumasan memiliki makna strategis sebagai upaya membangun, memelihara dan meningkatkan

kualitas hubungan antara suatu organisasi dengan pemangku kepentingannya, termasuk dalam hal

ini perguruan tinggi. Melalui partisipasi dan sinergi dari semua pihak yang terkait, perguruan tinggi

diharapkan dapat berkontribusi dalam mewujudkan keunggulan dalam pendidikan, penelitian dan

pengabdian kepada masyarakat. Salah satu perguruan tinggi yang memiliki lembaga kehumasan adalah

Universitas Jenderal Soedirman yang memiliki tugas melaksanakan kerjasama dan pemberian layanan

informasi serta publikasi. Riset ini mencoba melakukan pengkajian fungsi yang dimandatkan kepada

Bagian Kerjasama dan Hubungan Masyarakat sebagai mekanisme dalam melaksanakan tugas

pokoknya. Menggunakan pendekatan studi kepustakaan, maka didapatkan hasil bahwa aspek

pengelolaan dan analisa pemangku kepentingan belum tercermin sebagai instrumen dalam rangka

memenuhi tugas pokoknya, yang tentunya akan potensial untuk mengurangi kesempatan dalam

mewujudkan hubungan yang baik dan berkelanjutan dengan khalayak. Melalui fungsi pengelolaan

pemangku kepentingan, diharapkan akan dapat membangun kelekatan sekaligus mereduksi friksi

yang tidak konstruktif bagi institusi. Sedangkan melalui fungsi analisa pemangku kepentingan,

diharapkan akan menghasilkan sebuah kajian strategis yang melandasi produksi material informasi

dalam proses komunikasi publik.

Kata Kunci : Kehumasan, Pemangku Kepentingan, Revitalisasi Fungsi, Perguruan Tinggi

184 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

membangun dan mempertahankan kokohnya hubungan yang saling menguntungkan antara suatu lembaga

dengan khalayaknya. Heath (2013) menandaskan bahwa kehumasan tidak semata menyediakan dan

memberikan layanan informasi belaka, melainkan berusaha untuk memberadakan organisasi melalui

informasi yang ada dan dikomunikasikannya, untuk mendapatkan dan membangun reputasi yang postif

dan memenuhi kepentingan kedua belah pihak dalam bingkai saling memberikan kemanfaatan bagi kedua

belah pihak. Dengan kata lain, kehumasan memiliki makna dan peran strategis dalam mewujudkan kualitas

hubungan antara organisasi dengan publiknya. Dia memberikan dampak strategis dan berkelanjutan dalam

dinamika organisasi sekaligus kepentingan pemangku kepentingan.

Organisasi yang membutuhkan fungsi kehumasan sebagai media komunikasi antara organisasi

dengan publiknya diantaranya adalah perguruan tinggi. Berdasarkan Buku Statistik Pendidikan Tinggi

2017, terdapat 3.276 lembaga perguruan tinggi yang melayani 6.924.511 mahasiswa dengan jumlah dosen

sebesar 247.269 orang serta tersebar di seluruh Indonesia. Bila kita melihat luaran kampus adalah pada

lulusan yang berkapasitas, adaptif dan berdayasaing serta hasil-hasil riset akademisi yang kontributif dan

inovatif, maka kita bisa mengatakan bahwa kehumasan sejatinya memiliki peran yang naif bila dia

ditiadakan, khususnya dalam menjembatani relasi antara institusi perguruan tinggi itu sendiri dengan

publik.

Satu dari lebih tiga ribu perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed)

sebuah perguruan tinggi negeri di lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang

berada di Purwokerto, Jawa Tengah. Secara kelembagaan kehumasan, tugas dan fungsi kehumasan

terwadahi dalam unit kerja Bagian Kerjasama dan Hubungan Masyarakat sebagaimana diatur dalam

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 21 Tahun 2014 yang selanjutnya diubah dalam

Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No. 10 Tahun 2016 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Universitas Jenderal Soedirman. Tidak hanya itu, untuk memastikan pelaksanaan tugas dan

fungsi, maka diterbitkan Keputusan Rektor Universitas Jenderal Soedirman No. Kept.2806/UN23/OT.02/

2014 tentang Rincian Tugas Unit-Unit Kerja di Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman yang termasuk

di dalamnya adalah rincian tugas di Bagian Kerjasama dan Hubungan Masyarakat. Beranjak dari hal

tersebut, menarik untuk diteliti adalah sejauhmana regulasi yang ada dapat menerjemahkan konsep

kehumasan dalam mendukung pelaksanaan tugas pokok yang dimandatkannya.

2. Tinjauan Pustaka

Kehumasan adalah meniscayakan akan pentingnya elemen komunikasi dalam suatu organisasi. Hal

ini didasarkan bahwa organisasi merupakan kesisteman dan interaksi yang melibatkan adanya hubungan

yang berkaitan dengan kewenangan dan maslahat yang ditimbulkan dari proses tersebut (Barnard, dalam

Champoux, 1996). Adalah Harris & Hartman (2002) yang menjelaskan akan kebutuhan komunikasi dan

informasi dalam suatu organisasi. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Harris & Nelson

(2008) akan pentingnya komunikasi di dalam organisasi. Tidak hanya itu, konsekuensi dari sebuah

organisasi yang merupakan seperangkat relasi antar subsistem di dalam sistem, maka dimensi dan desain

organisasi akan turut serta mempengaruhi performa atau kinerja dari institusi tersebut (George & Jones,

2012)

Dalam konteks inilah, maka dibutuhkan suatu pendekatan strategis dalam kehumasan khususnya

pada aspek perencanaan, mengingatnya sifatnya yang berdampak pada upaya pengembangan organisasi,

khususnya melalui relasi dengan pemangku kepentingannya. Perencaan yang tepat akan membantu manajer

kehumasan dalam mengelola komunikasinya, baik dari aspek taktis maupun strategis. Smith (2005)

memperkenalkan konsep tentang The Nine Steps of Strategic Public Relations yang dibagi dalam empat klaster,

yakni riset dasar, strategi, taktik dan riset evaluatif. Dari keempat klaster tersebut, riset dasar memainkan

peran strategis, karena akan sangat melandasi penyusunan strategi dan taktik serta tentunya menjadi dasar

dari proses evaluasi yang terhadap apa-apa saja yang dilakukan. Riset dasar menjadi kunci penentu, dalam

pengembangan organisasi kehumasan, yang diterjemahkan dalam tugas, fungsi dan kewenangan yang

diterjemahkan dalam program, kegiatan bahkan anggaran.

Dipaparkan Smith, bahwa pada riset dasar, ada tiga tahapan yang terintegrasi dan menjadi satu

kesatuan utuh dalam proses penguatan organisasi, yakni analisa situasi, organisasi dan khalayak. Analisa

situasi meliputi kemampuan membaca rintangan dan peluang yang ada, sekaligus kecermatan dalam

185PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

mengelola isu serta resiko yang berpotensi mengancam kemajuan bahkan keberlangsungan lembaga. Analisa

organisasi meliputi kapasitas dalam menyusun alternatif struktur organisasi, menetapkan standar kinerja

dan instrumen pencapaian kehumasan, mentransformasikan keunikan sebagai milik bersama, memahami

penyebab munculnya hambatan internal yang ada, mengidentifikasi publik yang sesuai dengan kategori

(pendukung, kompetitor dan oponen) hingga memonitoring dan evaluasi informasi terkait situasi eksternal

organisasi. Sedangkan analisa khalayak adalah kemampuan untuk memahami keinginan, ketertarikan,

kebutuhan dan harapan yang terkait dengan isu seputar organisasi dan publik, aksesibilitas dan keterlayanan

informasi bagi publik, perilaku berkomunikasi dari perwakilan publik / pemuka pendapa, referensi

Kepribadian dari perwakilan publik / pemuka pendapat termasuk status ekonomi sosial publik

Selanjutnya, Smith mengungkapkan bahwa aspek formulasi strategi akan menggambarkan

bagaimana secara taktis kerja-kerja kehumasan dapat terealisasikan. Fokus dari strategi kehumasan adalah

penetapan tujuan, yakni bagaimana mengelola reputasi, mengelola hubungan dengan baik serta memastikan

tugas-tugas dapat terlaksana sebagaimana yang telah ditetapkan. Seluruh tujuan tersebut haruslah terukur,

berdampak, menjawab kebutuhan pemangku kepentingan serta yang tidak kalah pentingnya hal tersebut

diterima oleh seluruh elemen organisasi termasuk menghadirkan dimensi ketertantangan tersendiri untuk

mencapainya. Untuk mencapai tersebut, maka salah satunya dengan menggunakan strategi proaktif, berupa

performa organisasi yang merupakan luaran dari target atau penugasan yang ditetapkan.

3. Metodologi

Riset ini menggunakan pendekatan studi kepustakaan dengan melakukan penelaahan terhadap

peraturan yang berkaitan dengan lembaga kehumasan di Universitas Jenderal Soedirman. Subjek penelitian

adalah Bagian Kerjasama dan Hubungan Masyarakat dan objek penelitian adalah peraturan-peraturan

yang memiliki dampak hukum dan kewenangan dalam kaitan tugas pokok dan fungsinya. Teknik

pengumpulan data melalui dokumen tertulis yang memiliki relevansi secara teoretik dan aplikasi

kehumasan. Sedangkan analisa data dilakukan secara interaktif melalui proses reduksi dan penyajian

data serta penarikan kesimpulan.

4. Hasil Penelitian

Dalam perspektif kelembagaan pada pemerintahan, kedudukan bagian adalah manajemen madya

sekaligus pucuk pimpinan di levelnya. Dalam klasifikasi sebagai manajemen madya, karena kedudukannya

sebagai penerjemah dari kebijakan dan strategi yang merepresentasikan kapabilitas dan pencapaian tujuan

institusi. Pada saat yang sama, bagian berada di puncak hirarki jabatan administrasi yang berkewenangan

memimpin penyelenggaraan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan. Dengan

kata lain, maka legitimasi kehumasan dalam wadah bagian yang dipimpin oleh pejabat tertinggi

administrator menunjukkan peran strategis dan kebermaknaan dari unit kerja tersebut di Unsoed.

Keberadaan kelembagaan kehumasan di Unsoed secara definitif dimulai sejak tahun 2009, dengan

diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 25 Tahun 2009 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Universitas Jenderal Soedirman. Dalam peraturan tersebut, Bagian Hubungan Masyarakat

memiliki tugas melaksanakan administrasi kegiatan hubungan masyarakat, yang dalam pelaksanaannnya

diterjemahkan melalui fungsi pelaksanaan kegiatan hubungan masyarakat dan pelayanan informasi.

Selanjutnya, pada tahun 2014, kelembagaan kehumasan di Unsoed mendapatkan perluasan mandat dengan

pengalihan fungsi kerjasama dari Bagian Akademik. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan No. 21 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja yang Universitas Jenderal Soedirman

di mana Bagian Hubungan Masyarakat berubah menjadi Bagian Kerjasama dan Hubungan Masyarakat

yang memiliki tugas melaksanakan kerjasama serta pemberian layanan informasi dan publikasi sebagaimana

diatur dalam Pasal 46 pada peraturan tersebut. Berdasarkan hal itu, , maka kita dapat mengatakan definisi

kehumasan secara penugasan di lingkungan Unsoed adalah pemberian layanan informasi dan publikasi.

Hal ini kemudian dipertegas dalam Pasal 47 yang menyebutkan dalam pelaksanaan tugas tersebut, maka

selain fungsi kerjasama, adalah fungsi-fungsi berupa pemberian layanan informasi dan dokumentasi,

kegiatan publikasi, urusan protokoler dan promosi kegiatan.

Hasil analisis dokumen regulasi menunjukkan bahwa aspek utama luaran kehumasan yakni

membangun dan memelihara hubungan baik dan saling pengertian antara organisasi dengan khalayaknya

186 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

justru belum termunculkan secara eksplisit sebagai tugas yang harus dijalankan. Dalam tugas maupun

fungsi sebagai mekanisme pelaksanaan tugas, tidak dijumpai fungsi komunikasi dengan pemangku

kepentingan, baik internal maupun eksternal. Tidak juga dijumpai fungsi pengelolaan reputasi dan

komunikasi resiko serta krisis. Pula dalam regulasi tersebut belum juga ditemukan fungsi analisa pemangku

kepentingan sebagai think tank dari insitusi untuk mengelola isu hingga menerjemahkannya dalam pesan

hingga memilih kanal komunikasi yang ada. Terdapat kecenderungan lebih dominannya aspek teknis

penyelenggaraan kehumasan belaka, dan terkesan aspek perencanaan, pengembangan, penyeliaan dan

evaluasi kehumasan justru belum terlihat, dan implikasinya adalah bahwa pada aspek pengelolaan dan

aspek analisa terhadap pemangku kepentingan menjadi tidak secara spesifik sebagai fokus dari tugas

yang seharusnya diemban dari unit kerja setingkat bagian. Walhasil ketika tugas utamanya ditetapkan

justru lebih berdimensi teknis, yakni pemberian layanan informasi, maka bagian sebagai yang memimpin

dan mengkoordinasi sub-sub bagian akan menjadi tereduksi bahkan terduplikasi peranannya justru dengan

unit kerja di bawahnya. Padahal, yang dibutuhkan pada unit setingkat bagian adalah aspek manajemen

yang mendukung dan menjamin keberlanjutan organisasi, menjaga dan memelihara kepuasan pemangku

kepentingan serta memastikan bagaimana reputasi dan tata kelola resiko dan krisis dapat mewujudkan

hubungan yang baik dan berkelanjutan itu sendiri.

Padahal peranan pengelolaan pemangku kepentingan di Unsoed sebagai perguruan tinggi sangatlah

strategis, mengingat keragaman publik sekaligus kepentingannya. Dalam dimensi internal, perguruan tinggi

memiliki dua kelompok publik, yakni dosen dan tenaga kependidikan yang karakteristik, kepentingan,

tugas dan orientasi karirnya berbeda meskipun saling melengkapi satu sama lain dan dalam tujuan yang

sama, yakni mewujudkan terselenggaranya tridharma perguruan tinggi. Sedangkan dalam dimensi

eksternal, maka jauh lebih meluas lagi, mulai dari otoritas kewenangan dalam hal ini pemerintah,

masyarakat, media massa, akademisi, industri, kelompok kepentingan, pengguna lulusan, mitra kerjasama

penerima manfaat luaran kampus hingga tentunya mahasiswa sebagai publik eksternal yang paling sentral.

Serupa dengan publik internal, maka hal-hal seperti kebutuhan, karakter serta keinginannya satu sama

lain berbeda, meski pun kesemuanya dipersatukan oleh keinginan untuk mendapatkan pelayanan yang

terbaik dan merasakan kepuasan dalam proses interaksi dengan perguruan tinggi.

Ketiadaan secara spesifik tugas pengelolaan pemangku kepentingan, berdampak pada kejelasan

kewenangan dan ruang lingkup, termasuk potensi tumpang tindih dengan unit kerja lain. Hasil telaahan

menunjukkan, bahwa fungsi kehumasan yang dinisbatkan dalam bentuk pelayanan informasi ternyata

bertumpang tindih dengan sebagian tugas dari Bagian Informasi yang sama-sama di bawah Biro

Perencanaan, Kerjasama, Informasi dan Hubungan Masyarakat, yakni layanan informasi. Padahal, salah

satu dimensi dari pengelolaan pemangku kepentingan adalah penyediaan informasi yang dibutuhkan

oleh publik, sehingga terbangun kesamaan persepsi dan pemenuhan kepentingan atau kebutuhan yang

diperlukan oleh publik tentang organisasi. Dampaknya terasakan secara teknis, yakni hal-hal seperti terkait

keterbukaan informasi publik dan pelayanan terpadu yang rentan diperdebatkan terkait siapa yang memiliki

otoritas atau kewenangannya.

Ikhwal dalam mengelola pemangku kepentingan, sesungguhnya membutuhkan pengetahuan tentang

siapa dan bagaimana publik tersebut. Tentunya, dibutuhkan analisa yang komprehensif mengenai

kepentingan dan kebutuhannya, termasuk perilaku dasar komunikasinya, sehingga dapat secara tepat

memahami mekanisme berkomunikasinya. Oleh karenanya, secara simultan, perlu diidentifikasi opini

atau pendapat khalayak mengenai institusi. Organisasi tidaklah meletakkan publiknya sebagai objek,

melainkan sebagai subjek yang memiliki kemandirian dalam sikap maupun perilakunya. Hal ini didasari

oleh strategisnya makna persepsi pemangku kepentingan terhadap organisasi, terlebih partisipasinya dalam

kemajuan pengembangan institusi. Kondisi terjadi karena pemangku kepentingan adalah yang terdampak

dari suatu luaran organisasi, memiliki rasa kepemilikan dan tentunya berkontribusi pada lembaga. Untuk

itu, maka hubungan timbal balik yang bersifat saling menguntungkan, hakikatnya berdampak pada

kemanfaatan organisasi, dalam hal ini perguruan tinggi.

5. Diskusi

Problem terbesar dari organisasi kehumasan adalah keterjebakan dan tarik-menarik antara aspek

manajemen dan teknis. Padahal, bila merujuk pada Broom’s (1982), sesungguhnya hal tersebut keliru adanya

187PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

mengingat terdapat empat peran kehumasan yang berbeda walau saling berkelindan, yakni sebagai seorang

penentu, fasilitator komunikasi, fasilitator dalam memecahkan permasalahan hingga sebagai teknisi

komunikasi. Artinya, menjadi naif ketika memahami konsep manajemen kehumasan dengan

mengesampingkan aspek teknis, sebagaimana akan menjadi kehilangan arah dan panduan ketika

mengedepankan teknis tanpa aspek perencanaan strategis.

Hal ini tentu saja berlaku perguruan tinggi, termasuk Unsoed sebagai lembaga yang memiliki

pemangku kepentingan yang beragam baik dari karakter maupun kepentingannya. Oleh karenanya,

dibutuhkan suatu penguatan kapasitas kehumasan, khususnya dalam penetapan tugas dan fungsi. Institusi

kehumasan harus memiliki konsepsi strategis yang berdampak pada upaya mendukung terwujudnya visi

dan misi organisasi. Untuk menetapkan tugas dan fungsi suatu lembaga, maka yang terlebih dahulu

dilakukan adalah kemampuan memprediksikan masa depan, kritis, inovatif, akseleratif sekaligus

mempertimbangkan berbagai aspek sehingga luaran kerjanya terukur dan berkesinambungan.

Oleh karenanya, diperlukan kemampuan apa yang disebut oleh Smith (2005) sebagai analisa situasi,

organisasi dan khalayak sebagai dasar untuk menentukan strategi dan taktis. Dalam konteks revitalisasi

tugas dan fungsi kehumasan di Unsoed, aspek strategis dapat dianalogikan sebagai tugas yang menjadi

mandat atau kewenangan di tingkat bagian, sedangkan aspek taktis menjadi wilayah otoritas di sub bagian.

Tahapan awal yang dilakukan adalah melakukan analisa situasi, yakni memahami kekhasan keadaan yang

dihadapi oleh Unsoed, termasuk kejelian dalam membaca situasi yang berpeluang untuk pengembangan

institusi atau berpotensi mengurangi percepatan kemajuan lembaga. Dalam fase ini, maka peran pemimpin

unit kerja di Bagian Kerjasama dan Hubungan Masyarakat Unsoed akan sangat strategis dalam menafsirkan

keadaan, khususnya kecermalatan dalam memahami isu serta sejauhmana dia memiliki kesadaran akan

resiko dan krisis yang rentan terhadap Unsoed.

Tahapan berikutnya adalah analisa organisasi, yakni keinsyafan pimpinan unit dalam memahami

kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh unit kerjanya, serta pemahaman terhadap lingkungan internal

dan eksternal, khususnya dalam proses interaksi dan relasi berbasis kewenangan dan tanggung jawab

yang berhubungan dengan kualitas pekerjaan. Hal ini juga berkaitan dengan identifikasi mengenai struktur,

performa kinerja selama ini serta hambatan dan solusi untuk menyiasati kendala. Selanjutnya, yang tidak

kalah penting adalah mengenal khalayak, dari tipologi, kepentingan dan sejauhmana implikasi strategis

dalam berinteraksi dengan organisasi. Berdasarkan tahapan itulah maka kita baru dapat merumuskan

tugas dan fungsi kehumasan yang menjawab orientasi kehumasan yang sesungguhnya sebagai manajemen

yang khas dalam mengelola hubungan yang baik dan berkelanjutan dengan publik, termasuk membangun

kelekatan sekaligus mereduksi friksi yang tidak konstruktif bagi institusi. Atau dengan kata lain, dibutuhkan

suatu analisa pemangku kepentingan yang diharapkan akan menghasilkan sebuah kajian strategis yang

melandasi produksi material informasi dalam proses komunikasi publik di Unsoed.

Secara ideal, revitalisasi fungsi kehumasan akan berimplikasi pada perubahan struktur organisasi

yang lebih dapat menjawab dinamika dan kepentingan organisasi serta pemangku kepentingannya. Namun

demikian, perubahan organisasi terlebih di instansi pemerintah membutuhkan proses yang panjang, dan

tentunya akan sangat berkaitan dengan keseluruhan organisasi, termasuk karir aparatur dan kebijakan

anggaran. Tentu saja, bukan berarti perubahan tidak dapat dilakukan, melainkan berpendekatan moderat

dengan fokus pada komitmen menerjemahkan tugas yang tertera dalam aturan yang ada dalam fungsi

yang secara spesifik berorientasi kehumasan, yakni pengelolaan dan analisa pemangku kepentingan Ada

pun pengelolaan pemangku kepentingan dapat diwujudkan melalui fungsi komunikasi internal dan

eksternal serta manajemen strategis, sedangkan analisa pemangku kepentingan dapat diwujudkan melalui

promosi, pengelolaan aspirasi publik serta analisa opini publik.

6. Kesimpulan

Revitalisasi fungsi kehumasan di Unsoed adalah sebuah kebutuhan, mengingat kecenderungan

dominansi unsur teknis alih-alih manajerial, potensi multitafsir dan bias atas substansi kehumasan serta

tumpang tindih kinerja dengan unit kerja yang lain atas tugas atau kewenangan yang ada. Hakikat

kehumasan sesungguhnya mewujudkan hubungan yang baik dan berkelanjutan sehingga dapat

menghadirkan persepsi dan partisipasi publik yang positif dan konstruktif serta berdampak strategis bagi

pengembangan lembaga. Unsoed tentunya sangat berkepentingan dengan dukungan dan peran serta

188 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

masyarakat tersebut, khususnya dalam rangka peningkatan kualitas lulusan dan luaran riset dan pengabdian

masyarakat yang terasakan kemanfaatannya di masyarakat. Oleh karenanya, revitalisasi kehumasan melalui

penekanan pada aspek pengelolaan dan analisa pemangku kepentingan, sejatinya merupakan keniscayaan

yang memampukan institusi untuk memahami sekaligus memenuhi kebutuhan pemangku kepentingannya

dan berdampak pada kebermaknaan serta keberlanjutan Unsoed dalam berkontribusi dalam peningkatan

daya saing bangsa.

7. Daftar PustakaBell, R.L & Martin, J.S. (2014). Managerial Communication, Bussiness Expert Press, New York

Champoux, J.E. (1996). Organizational Behavior : Integrating individuals, groups and organization, Routledge,New York

Cutlip, S.M & Center, A.H. (2000). Effective public relations, Prentice Hall, Madison

George, J.M & Jones, G.R. (2012). Understanding and Managing Organizational Behavior 6th Edition, PrenticeHall, New Jersey

Harris, J.O & Hartman, S.J. (2002). Organizational Behavior, Best Business Book, New York

Harris, T.E., & Nelson, M.D., (2008). Applied Organizational Communication : Theory and Practice in a GlobalEnvironment, 3rd Edition, Taylor & Francis, New York

Heath, R.L. (2013). Public Relations. In Heath, R.L. (Ed). Encyclopedia of Public Relations 2nd Edition, SAGE,California

Holtzhausen, D & Zerfas, A. (2015). Strategic Communication : Opportunities and Challenge of The ResearchArea. In Holtzhausen, D & Zerfas, A (Eds). The Routledge Handbook of Strategic Communication, Routledge,New York

_______________________ (2013). Strategic communication—Pillars and perspectives on an alternateparadigm. In K. Sriramesh, A. Zerfass, & J.-N. Kim (Eds.), Current Trends and Emerging Topics in PublicRelations and Communication Management , Routledge New York

Pusdatin Iptek Dikti (2017). Statistik Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi,Jakarta

Smith, R.D. (2005). Strategic Planning for Public Relations, LEA, New Jersey

Wilcox, D.L., Cameron, G.T & Reber, B.H. (2015). Public Relations : Strategis & Tactics 11th edition, Pearson,New York

189PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Pendahuluan

Demokrasi perwakilan atau sering juga disebut demokrasi tak langsung adalah tipe demokrasi

dimana pemerintahan oleh rakyat dilaksanakan melalui mekanisme perwakilan yang dipilih melalui

pemilihan umum. (Held, 2005) Tipe model demokrasi perwakilan inilah yang diadopsi oleh banyak negara

demokrasi saat ini. Faktor semakin kompleksnya pemerintahan, jumlah penduduk dan luas wilayah tidak

lagi memungkinkan diselenggarakannya sistem demokrasi langsung sebagaimana dilakukan di polis-polis

Yunani di masa lampau. Masalah yang kemudian muncul dari sistem perwakilan ini adalah masalah yang

mendasar yang tercakup dalam pertanyaan-pertanyaan berikut ini: pertama, apakah yang disebut sebagai

pemerintahan oleh rakyat itu? Kedua, sejauhmana rakyat bisa melakukan ‘pemerintahan sendiri?’Ketiga,

bagaimana rakyat melaksanakan fungsi ‘pemerintahan oleh rakyat’ itu? (Held, 2005)

Pasca Reformasi di Indonesia, untuk tingkat nasional ada tiga jenis pemilihan umum yang dilakukan

sekali dalam lima tahun. Hal ini ditegaskan dalam pasal 22 E ayat (2) UUD NRI 1945 mengatakan “Pemilihan

umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan

Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (UUD NRI

Tahun 1945 Setelah Perubahan Ketiga). Sebagai turunan dari aturan penyelenggaraan pemilu itu disusun

aturan-aturan yang diperlukan.

Secara umum berikut susunan urutan jenis peraturan atau regulasi pemilu di Indonesia:

ABSTRAK:

Salah satu indicator dari system pemerintahan yang demokratis adalah perubahan penguasa (the

ruler) dilaksanakan melalui system pemilihan secara berkala. Sementara itu peserta pemilunya

sebagian besar adalah Partai Politik. Maka, pemilihan umum menjadi indicator utama dalam system

yang demokratis, dan isu penyelenggaraan pemilu sudah dianggap suksesi pemeritahan yang harus

dilakukan semestinya. Dalam hal ini undang-undang sebagai aturan main dalam pemilu adalah hal

yang menentukan nasib partai politik. Salah satu yang menyebabkan Undang-undang selalu berubah

adalah karena kepentingan partai politik yang berbeda-beda. Dan hal ini jugalah yang menyebabkan

perdebatan yang cukup alot dalam pembentukan UU No.7 Tahun 2017. Tulisan ini mengungkap

bagaimana koalisi yang terjadi antarfraksi yang mewakili partai politik dalam pembentukan UU

No.7 tahun 2017. Koalisi dalam pembentukan UU ini adalah hal yang tidak terhindarkan karena

koalisi politik dalam suatu Negara merupakan keniscayaan bagi negara yang menggunakan system

multipartai seperti Indonesia. Dapat dikatakan koalisi menjadi prasyarat karena pemilihan umum

tidak mampu menghasilkan suara mayoritas di parlemen. Kajian ini menarik mengingat selama ini

kajian tentang koalisi lebih banyak dilakukan dalam lingkungan system parlementer daripada system

presidensial. Kajian-kajian yang ada menunjukkan bagaimana koalisi dilakukan untuk membentuk

pemerintahan (Office Driven) dan untuk membahas kebijakan (Policy Driven).

Kata Kunci : Koalisi, Tawar menawar, RUU Pemilu 2017

DINAMIKA KOALISI FRAKSI-FRAKSI DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-

UNDANG NO. 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM

Kartika Lestari Sianipar, Chusnul Mar’iyah

Universitas Indonesia

[email protected]

190 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Idealnya, semua jenis kebijakan dilakukan semata-mata untuk mencapai kesejahteraan publik. Namun

pada akhirnya faktor politik tidak bisa terhindarkan dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk dalam

penyusunan peraturan pemilihan umum di Indonesia. Dalam kebijakan publik secara umum, faktor politik

terjadi karena adanya beragam tafsiran dan pemahaman atas apa itu kesejahteraan umum dan bagaimana

cara mencapainya. Sedangkan dalam politik kebijakan publik mengenai peraturan pemilu, dapat dilihat

bagaimana masing-masing aktor yang terlibat di dalamnya berusaha mendapatkan sistem pemilu yang

paling memungkinkan untuk menjadikan aktor tersebut sebagai pemenang (Kumar, 2002).

RUU Pemilu sering disebut sebagai RUU yang mencerminkan kepentingan kepentingan aktor-aktor

yang terlibat di dalamnya. Hal ini misalnya dikatakan oleh pakar hukum tata negara Jimly Asshidiqie

(Erdianto, 2017), Ray Rangkuti (Fachrudin, 2017) dan Titi Anggraini (Pollycarpus, 2017). Indikatornya

adalah kuatnya perdebatan dalam beberapa isu-isu yang dianggap sensitif. Karena isu-isu sensitif itu,

pengesahan RUU Pemilu sempat tertunda beberapa kali meskipun sudah masuk dalam Pembicaraan

Tingkat II (Sidang paripurna). Pada akhirnya RUU tersebut disahkan pada 20 Juli 2017 dari jadwal

sebelumnya yang direncanakan pengesahannya pada 20 April 2017.

Adapun isu-isu sensitif yang dimaksud adalah sebagai berikut (Tashandra, 2017):

a. Sistem pemilu dimana semula ada upaya dari beberapa partai untuk menggunakan kembali sistem

pemilu proporsional tertutup. Sistem proporsional terbuka dianggap membuat persaingan tidak saja terjadi

antar partai tapi juga internal partai. Sistem ini dianggap meningkatkan biaya politik yang dipicu oleh

potensi politik uang (money politics) (Prastiwi, 2017).

b. Ambang batas pencalonan presiden untuk Pemilu 2019 yang ditetapkan sebesar 20% dari kursi parlemen

atau 25 % suara sah nasional dari hasil Pemilu 2014. Ada dua aspek yang diperdebatkan dalam hal ini:

pertama, aspek besaran ambang batas. Partai-partai kecil keberatan dengan ambang batas yang dianggap

terlalu besar (Waskita, 2017). Sebaliknya, pihak yang mendukung mengkhawatirkan jika presidential

treshold tidak diperbesar maka akan muncul banyak sekali calon dan pemerintahan yang terbentuk tidak

stabil (Tashandra, Nabilla, 2017). Beberapa partai mengusulkan ambang batas 5% bahkan 0% sebagai

tandingan dari keinginan partai-partai besar seperti PDIP dan Golkar yang sebesar 20%. Kedua, aspek

rujukan yang merujuk pada hasil Pemilu 2014. Menurut pihak yang kontra, pemilu 2019 dilakukan secara

serentak sehingga tidak relevan jika memakai hasil Pemilu 2014 sebagai rujukan (Tashandra, Nabilla, 2016).

c. Ambang batas parlemen yang naik menjadi 4% dari sebelumnya 3,5%. Kenaikan ini dinilai memberatkan

bagi partai-partai kecil (Mustakim, 2017).

d. Metode konversi suara dimana ada setidaknya dua pilihan yang metode Saint Lague murni dan Kuota

Hare. Partai-partai besar mendukung metode konversi saint lague murni. Sebaliknya, partai menengah

dan kecil mendukung sistem Kuota-Hare. Konsep mengenai partai menengah dan kecil sendiri dalam hal

191PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

ini lebih merupakan istilah yang diacukan pada jumlah perolehan suara/ kursi pada pemilu nasional.

Istilah ini sendiri belum mapan dalam teori politik Indonesia, misalnya berapa batas perolehan suara untuk

disebut sebagai partai menengah atau partai kecil. Selama ini istilah partai menengah lebih menunjukkan

pada sebutan terhadap partai di luar 3 besar (Baidlowi, 2018). Sedangkan partai kecil diistilahkan dengan

mengacu pada partai-partai yang perolehan suaranya berada di sekitar ambang batas parlemen

(parliamentary threshold/ PT) dan partai yang tidak lolos PT.

e. Alokasi kursi per dapil. Sebelumnya alokasi kursi per dapil adalah 3-10. Untuk 2019, sejumlah fraksi

mengusulkan maksimal 11. Fraksi lain mengusulkan paket 9 wakil. Perdebatan inipun tidak lepas

dari kepentingan partai-partai untuk memaksimalkan kesempatannya agar bisa meloloskan sebanyak-

banyaknya wakil ke DPR.

Menjelang pembicaraan tingkat kedua (Sidang Paripurna) terdapat beberapa paket pilihan (paket)

sebagai berikut.

Sumber: Risalah Sidang Paripurna 14 Juli 2017

Dengan demikian, kasus pembahasan RUU Pemilu ini memberikan petunjuk pada dua hal: pertama,

bahwa ada indikasi kuatnya kepentingan aktor-aktor politik dalam pembahasan; Kedua, adanya indikasi

terjadinya interaksi antar fraksi baik yang berupa negosiasi/ lobby maupun kompetisi. Interaksi antar

partai melibatkan strategi yang melibatkan perhitungan mengenai kekuatan masing-masing fraksi, peluang

perhitungan terhadap keuntungan dari pilihan kebijakan serta konteks sosial politik yang berpengaruh.

192 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Tinjauan Pustaka

Perilaku voting anggota legislatif dalam pembuatan kebijakan publik banyak diamati melalui berbagai

pendekatan dan teori. Salah satu penelitian yang mengamati perilaku anggota legislatif dengan teori ini

dilakukan oleh Clifford Carrubba and Matthew Gabel yang berjudul Legislatif Voting Behavior, Seen and

Unseen: A Theory of Roll-Call Vote Selection. Pada penelitian ini Carubba dan Gabel mencoba menganalisis

implementasi teori roll-call vote yang selama ini dinilai mempunyai beberapa kekurangan antara lain pada

sampel yang cuma satu. Hal ini menurut Carubba dan Gabel menjadikan teori roll-call vote kurang mampu

menjawab prediksi mengenai beberapa aspek, utamanya mengenai kohesi partai itu sendiri. Carubba dan

Gabel kemudian membuat model matematis dengan dasar teori roll-call vote. Hasilnya ditemukan bahwa

jika satu sampel saja yang dipakai untuk menilai kohesi partai dengan teori tersebut, maka kemungkinan

bias seleksi akan terjadi.

Partai yang merupakan institusi birokratis ini mempunyai kepentingan untuk mengendalikan

perilaku anggota legislatif di parlemen dan memastikan loyalitas mereka. Salah satu elemen penting dari

institusi partai tersebut adalah ideologi partai itu sendiri. Oleh karenanya, partai dalam mekanisme

pemilihan roll-call akan memastikan kalau anggota legislatif dari partainya akan mengikuti kebijakan dan

ideologi partai (Meagher, E., & Wielen, R. , 2012).

Perilaku anggota legislatif yang mengikuti ideologi partai ini sejalan dengan strategi non-

utilitarianisme dalam pembentukan koalisi. Ada nilai-nilai tertentu yang menjadi keyakinan partai yang

harus diperjuangkan. Partai-partai yang sejalan ideologi atau kepercayaannya terhadap suatu nilai akan

mempunyai keterhubungan (connectedness) dan biasanya akan cenderung mempunyai keputusan yang

sama mengenai sebuah kebijakan.

Strategi partai adalah bentuk struktur lain yang mempengaruhi perilaku dalam voting. Penelitian

mengenai hal ini juga cukup beragam. Salah satunya adalah penelitian Lebo, M., Adam J. McGlynn, &

Koger, G. Fluktuasi sikap partai mempengaruhi perilaku anggota dalam voting. Selanjutnya sikap partai

dalam sebuah kebijakan juga berpengaruh pada hasil electoral di masa mendatang. Opini dari publik

menentukan strategi partai politik dalam pengambilan keputusan parlemen bersama-sama dengan

pertimbangan lain. Selanjutnya partai berusaha mengendalikan perilaku anggota-anggotanya agar sejalan

dengan strategi yang diambil partai. Jadi, penelitian ini menekankan bahwa seberapa besar perhatian publik

terhadap sebuah kebijakan juga akan mempengaruhi strategi apa yang ingin diambil.

Teori Tawar-Menawar dalam Koalisi (Political Bargaining Theory)

Teori ini merupakan adopsi teori permainan dalam memahami dinamika politik terutama dalam

perkoalisian dan kompetisi. Ada beberapa model dari teori tawar menawar dalam formasi koalisi ini.

Model pertama dikembangkan oleh von Neumann dan Morgenstern. Menurut keduanya, dalam permainan

kerjasama, sekelompok pemain ditetapkan dan sebuah nilai akan diterapkan pada setiap koalisi yang bisa

terbentuk (Eric C. Browne and Peter Rice , 1979).

Von Neumann dan Morgernstern kemudian memperbaiki model ini dengan mengajukan konsep

‘inti’ (core). Dalam model baru ini setiap pemain diasumsikan bersikap rasional sehingga mereka bisa

memutuskan untuk bergabung atau tidak dalam sebuah koalisi dengan dasar perhitungan apa yang bisa

didapatkan dari keputusan tersebut. ‘Inti’ sendiri didefinisikan sebagai seperangkat pembagian imbalan

(payoff) dimana setiap pemain akan mendapatkan imbalan minimal sebanyak nilai mereka dalam kerjasama

tersebut (Eric C. Browne and Peter Rice , 1979).

Model baru von Neumann dan Morgernstern ini sayangnya masih belum memadai karena dalam

banyak kasus ternyata ‘inti’ tidak ada (kosong) dan juga karena imbalan tidak bisa didefinisikan dalam

pengertian memuaskan atau tidak (Eric C. Browne and Peter Rice , 1979). Sebagai jalan keluar dari model

tersebut, diajukan konsep rasionalitas kelompok sebagai ganti rasionalitas individual. Rasionalitas kelompok

adalah bahwa setiap individu akan masuk dalam kelompok yang punya nilai (value) maksimum untuk

memaksimalkan imbalan personal. Perhitungan nilai maksimum kelompok didasarkan pada distribusi

imbalan dari nilai yang ditentukan oleh beberapa kriteri ekosogen dalam model permainan. Jadi,

penekanannya bergeser dari spesifikasi pembagian imbalan khusus kepada pengujian struktur koalisi.

Riker mengajukan ‘Prinsip Ukuran’ untuk menyempurnakan model ini. Menurut Riker:

193PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Jika ada n-orang/pemain, dalam kondisi permainan zero-sum, dimana side-payments dibolehkan,

dengan semua pemain rasional, dan dimana ada informasi sempurna, koalisi yang akan muncul

hanyalah koalisi pemenang minimal (Eric C. Browne and Peter Rice , 1979).

Von Neumann dan Morgernsterns kemudian mengidentifikasi koalisi pemenang minimal. Mereka

mengatakan bahwa koalisi pemenang minimal yang terbentuk adalah koalisi yang mampu memuaskan

harapan awal dari semua partisipan. Sedangkan Gamson mengatakan bahwa koalisi pemenang minimal

akan terbentuk kalau koalisi mampu menyediakan imbalan yang proprosional dengan nilai partisipasi

anggota dalam koalisi.

Dari model-model yang ada terlihat bahwa pusat dari teori tawar menawar terletak pada bahasan

mengenai imbalan (payoffs).

Koalisi Berbasis Kebijakan (Policy-Driven Coalitions)

William Gamson mendefinisikan koalisi sebagai kesepakatan antara dua atau lebih unit sosial untuk

menggunakan sumberdaya bersama untuk mencapai tujuan bersama. Jadi ada beberapa dimensi dari koalisi

yaitu: (1) kesepakatan; (2) penggunaan sumberdaya bersama; (3) tujuan bersama. Definisi Gamson tersebut

menandakan bahwa koalisi bisa terjadi dalam berbagai bidang sehingga teori koalisi sering juga diterapkan

dalam konflik dan penyelesaian konflik. Namun bentuk yang paling sering diacu dalam koalisi adalah

dalam parlemen atau pemerintahan secara umum.

Dalam hal orientasi atau basis koalisi di parlemen/ pemerintahan, Mershon membagi teori-teori

tentang koalisi dalam dua bentuk yaitu berbasis kepentingan jabatan (Office-Driven) dan berbasis

kepentingan dalam kebijakan (Policy-Driven). Dari dua bentuk besar tersebut dibagi lagi menjadi empat

jenis yaitu: (1) Teori berbasis jabatan, bebas pengaruh institusi dan kompetitif (Office-Driven, Institution

Free, Competitif Theories), Teori Koalisi Berbasis Kebijakan, Dipengaruhi Institusi dan Nonkooperatif (Policy-

Driven, Institution-Focused, Noncooperatif) dan Koalisi Berbasis Kebijakan, Bebas Pengaruh Institusi dan

Kooperatif (Policy Driven, Institution Free, Cooperatif Theories).

Pembagian itu berbasiskan pada perhitungan mengenai biaya koalisi dan imbalan yang akan

didapatkan. Secara umum, keduanya didasarkan pada dua strategi yaitu strategi instrumental dan strategi

non-non instrumental. Secara umum memang terdapat tarik ulur antara faktor instrumental yang rasional

dengan faktor non instrumental seperti ideologi. Faktor instrumental adalah faktor pendorong koalisi dengan

perhitungan seberapa besar biaya (cost) yang harus diberikan dengan seberapa besar imbalan yang akan

diterima. Sedangkan faktor instrumental perhitungan biaya koalisi tidak dihitung secara ekonomi namun

bisa secara psikologis, sosiologis atau bahkan ideologis.

Dalam menjelaskan pengaruh pertimbangan non-utilitarian para ahli memakai konsep

keterhubungan (connectedness) (Taylor, 1972). Konsep ini dipakai misalnya oleh Gamson dan Axelrod.

Sedangkan faktor pengaruh institusi dikaji lebih banyak oleh Laver dan Shepsle yang berpendapat bahwa

penentuan koalisi dan keluarannya akan dipengaruhi oleh kondisi dan bentuk pemerintahan. Dengan

memperhatikan kondisi dan bentuk pemerintahan tersebut, bisa diprediksi bagaimana koalisi yang akan

terbentuk dan bagaimana keluarannya.

Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggali data mengenai motivasi, preferensi, sikap dan tindakan

para aktor dalam pembahasan RUU Pemilu baik. Kasus yang dibahas hanya satu kasus, mengindikasikan

bahwa penelitian ini bermaksud untuk menggali secara mendalam kasus yang dimaksud. Oleh karena itu

metode penelitian yang dipakai adalah metode kualitatif.

Hasil Penelitian

Preferensi Aktor-Aktor Atas 5 Isu Utama RUU Pemilu

Aktor, kepentingan/ motivasi dan preferensi adalah salah satu aspek penting dari tarik ulur politik.

Demikian pula dengan konteks social politik. Dalam hal konteks politik, mengingat kebijakan ini mengenai

sistem penyelenggaraan pemilu, maka bahasan akan diarahkan pada kondisi kontekstual yang berpengaruh

pada kepentingan electoral. Partai-partai atau fraksi-fraksi diasumsikan akan selalu melihat dinamika social

194 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

politik masyarakat dan menghubungkannya dengan elektabilitas partai mereka di pemilu mendatang,

dalam hal ini adalah pemilu 2019. Konteks social politik dalam kasus ini berkaitan erat dengan

perkembangan nilai dari masyarakat dan konteks pemerintahan Joko Widodo. Konteks perkembangan

nilai dari masyarakat penting dalam penentuan pangsa suara yang disasar oleh masing-masing partai.

1. Posisi Aktor Utama

Paket-paket yang divoting pada akhir pembahasan meliputi lima masalah utama, yaitu: presidential

threshold, parliamentary threshold, jumlah kursi per dapil, sistem penyelenggaraan pemilu dan sistem konversi

suara. Sebagaimana semua kebijakan publik, politik dari keterpilihan Paket A tersebut berkaitan dengan

tarik ulur kekuatan dalam pembahasan. Untuk membahas tarik ulur kekuatan tersebut, pertama-tama

akan dieksplorasi aktor-aktor beserta preferensi dan kekuatannya. Berikut adalah tabel yang

mengindentifikasi aktor dan kepentingannya dalam pembahasan RUU Pemilu:

Pembagian kelompok kepentingan di tabel di atas relatif sederhana dan mempunyai kelemahan

dalam menjelaskan fragmentasi sikap fraksi-fraksi baik di internal pendukung maupun penentang Paket

A. Terdapat pula kelemahan untuk menjelaskan perubahan sikap dari masing-masing fraksi selama

pembahasan. Hal ini karena tujuan dari tabel di atas adalah untuk menunjukkan posisi umum masing-

masing partai dalam pembahasan.

Joko Widodo (Jokowi) dimasukkan sebagai satu aktor yang terpisah dari PDIP maupun fraksi

pendukung Paket A dikarenakan sebagai berikut: pertama, sebagai presiden yang punya coattail tertentu,

baik positif maupun negatif, Jokowi punya kepentingan sendiri untuk menjadi presiden lagi. Kepentingan

195PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

ini terlepas dari apakah harus didukung oleh PDIP atau tidak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

harus ada pembedaan antara Jokowi dan PDIP sebagai aktor yang berkepentingan dalam pembuatan

kebijakan publik. Dalam kasus ini, Jokowi juga harus dibedakan dengan PDIP meskipun keduanya beririsan

dalam kepentingan. Perbedaan kepentingan Jokowi, sebagaimana disebutkan dalam table 2.1. terutama

adalah dalam hal presidential threshold (PresT). PDIP berkepentingan untuk memberikan batasan tinggi

dalam PresT tapi belum tentu mengajukan Jokowi sebagai calon presiden. Jokowi baru disahkan sebagai

capres dari PDIP pada 23 Februari 2018 atau delapan bulan setelah RUU Pemilu disahkan (Triyogo, 2018).

Sikap Jokowi mirip dengan PDIP. Jokowi mempersiapkan diri jika harus maju tanpa dukungan

PDIP. Meskipun ia merupakan anggota PDIP namun kemungkinan konflik yang tidak bisa diselesaikan

antara dirinya dengan PDIP bisa saja muncul. Kalau itu terjadi, bisa jadi Jokowi tidak akan diusung sebagai

capres dari PDIP. Sosok Jokowi, meskipun fenomenal pada periode ini tapi tidak selalu bisa diterima oleh

internal PDIP secara keseluruhan. Sebagai ikon untuk saat ini memang bisa diterima. Namun untuk menjadi

pemimpin PDIP atau kemudian menjadi seperti Megawati banyak yang masih belum setuju. Dengan

demikian, irisan kepentingan Jokowi dengan PDIP memang besar. Namun, terdapat perbedaan kepentingan

yang mendasar pula

Faktor kedua yang membuat perbedaan antara Jokowi dan PDIP sebagai aktor adalah factor coattail

itu sendiri. Dampak coattail hanya dimiliki oleh Jokowi dan tidak dipunyai oleh PDIP. Setiap keberhasilan

atau kelemahan pemerintahan cenderung diacukan kepada sosok Jokowi daripada PDIP. Apalagi, konteks

social saat kasus ini terjadi adalah terjadinya pembelahan social antara pendukung dan penentang Jokowi.

Proposal RUU Pemilu berasal dari pemerintah. Paket A yang kemudian menjadi paket terpilih juga

berasal dari pemerintah Mengenai partai-partai pendukung Paket A terdapat variasi kedudukan. Dalam

bagian ini mereka disatukan dalam satu kelompok karena terdapat persamaan kepentingan meskipun

pada saat yang sama juga terdapat perbedaan preferensi. Persamaan yang terutama adalah keinginan

untuk mendapatkan dampak positif dari presidential coattail Jokowi bagi perolehan suara. Sedangkan

perbedaannya akan diuraikan lebih lanjut pada bagian selanjutnya. Hal yang sama terjadi pada fraksi-

fraksi atau partai penentang Paket A. Mereka mempunyai kesamaan kepentingan untuk menolak proposal

yang diajukan pemerintah.

Sedangkan partai di luar DPR sangat beragam. Ada beberapa partai yang mendukung Pemerintahan

Jokowi misalnya PSI, Perindo, PKPI dan Partai lain ada yang sering berseberangan dengan pemerintah

seperti PBB. Selain itu ada pula partai-partai baru seperti Partai Berkarya, Partai Garuda yang belum

menentukan pilihan terhadap calon presiden, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait

pemberlakuan Pres-T. Mereka sama-sama punya kepentingan agar punya akses untuk mencalonkan

presiden dan bisa lolos dari parliamentary threshold pada Pemilu 2019.

Civil society diasumsikan mewakili kepentingan masyarakat sipil secara umum. Hal ini karena sifat

opsi-opsi kebijakan yang spesifik dan beberapa merupakan kebijakan yang teknis. Menurut Baumgartner,

kebijakan yang teknis biasanya menuntut keahlian tertentu sehingga hanya pakar yang biasanya mempunyai

perhatian daripada masyarakat secara umum (Howlett, 1997). Beberapa civil society yang ikut terlibat antara

lain Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan dan akademisi-

akademis dari beberapa perguruan tinggi.

2. Sikap Aktor Pada Masing-Masing Isu Opsi

Terdapat lima isu krusial yang menjadi bagian dari opsi-opsi yang ditawarkan, yaitu: parliamentary

threshold, presidential threshold, sistem pemilihan umum, jumlah kursi per daerah pemilihan, metode konversi

suara. Bagian ini akan membahas sikap masing-masing aktor baik internal DPR maupun dari aktor eksternal.

Untuk kemudahan penyajian data, pembahasan akan dilakukan berdasarkan sikap aktor pada masing-

masing isu.

Sistem proporsional terbuka maksudnya ialah pemilih bebas memilih siapa calon yang diunggulkan.

Yang mendapat suara terbanyak akan ditetapkan sebagai calon legislatif terpilih. Sedangkan, sistem terbuka

terbatas tetap pemilih bebas memilih caleg yang diunggulkan namun dibatasi. Jika suara partai atau pemilih

mencoblos nomor atau gambar partai lebih besar dari pada suara caleg secara perseorangan maka yang

196 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

berhak ditetapkan sebagai caleg terpilih adalah kembali berdasarkan nomor urut caleg, karena nomor

urut caleg sudah menggambarkan prioritas partai (Aviani, 2017).

Pemerintah mengusulkan ini karena ada dua sebab: pertama, sistem pemilu terbuka murni banyak

menimbulkan dampak negatif seperti persaingan internal partai dan politik uang yang makin besar; kedua,

menurut Tjahjo Kumolo kedaulatan ada di tangan partai politik (RI B. R., 2017). Sistem pemilu tertutup

ditolak semua fraksi karena dua sebab: pertama, karena sistem tersebut dianggap merupakan bentuk

kemunduran dalam berdemokrasi; kedua, sudah terdapat keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-

23/PUU-VI/2008 bahwa sistem pemilu yang harus dipakai adalah sistem pemilu terbuka (Ikhsanudin,

2016). Namun oleh Perludem sistem pemilu terbuka terbatas adalah tidak demokratis. Sistem ini dianggap

Perludem sebagai bentuk akal-akalan agar dominasi partai atas calon tetap terjaga (Nadlir, Moh., 2017).

3. Preferensi Awal pada Isu Alokasi Kursi Per Dapil

Sikap awal yang beragam pada soal sistem pemilu ini juga ditemui dalam isu selanjutnya, yaitu isu

kursi per dapil. Berikut adalah pendapat awal dari masing-masing aktor mengenai pembagian kursi per

dapil Sikap awal dari fraksi-fraksi dalam isu alokasi kursi per dapil ini sangat beragam. Beberapa fraksi

mengusulkan penambahan kursi hingga 20 kursi, sebagian lain mengusulkan tambahan dapil agar ada

keadilan. Namun ada kesamaan tafsir atas masalah yang terjadi, yaitu:

1) Jumlah penduduk yang meningkat;

2) Adanya ketidaksamaan ‘harga kursi’ di berbagai daerah. Yang disebut sebagai harga kursi

adalah jumlah suara yang dibutuhkan untuk mendapatkan satu kursi. Untuk Dapil Riau misalnya,

dibutuhkan 700 ribu suara untuk mendapatkan satu kursi. Sementara di daerah lain jumlah suara yang

dibutuhkan hanya berkisar puluhan ribu saja.

4. Preferensi Awal Aktor Pada Metode Konversi Suara

Isu selanjutnya adalah isu sistem konversi suara kepada perolehan kursi. Berikut adalah sikap awal

masing-masing fraksi mengenai perhitungan konversi suara:

197PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Sistem pemilu proporsional menuntut adanya sebuah sistem konversi suara. Ini berbeda dengan

sistem distrik dimana pemenang langsung mendapat kursi (winner takes all). Dalam pembahasan RUU

Pemilu pemerintah mengusulkan metode Saint Lague. Usulan ini mendapatkan tanggapan yang beragam

198 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

dari partai-partai. Saint lague sendiri cenderung menguntungkan partai besar. Namun demikian terdapat

fakta menarik bahwa Hanura, Nasdem dan PPP menerima usulan pemerintah tersebut.

Menurut simulasi yang diadakan oleh Perludem, terdapat beberapa kondisi yang mungkin dari

perbedaan model tersebut.

Sumber: http://sinarharapan.net/2016/10/konversi-suara-menjadi-kursi/

Dengan Metode Saint Lague murni prediksi perolehan suara dan kursinya adalah sebagai berikut:

Sumber: http://sinarharapan.net/2016/10/konversi-suara-menjadi-kursi/

Sedangkan dengan metode Saint Lague Modifikasi, hasil pemilu 2014 adalah sebagai berikut:

Tabel 8 tersebut menunjukkan bahwa partai-partai kecil cenderung untuk menyetujui metode Kuota

Hare daripada Saint Lague, baik yang murni maupun modifikasi. Penyimpangan pendapat ada di tiga

partai yaitu Nasdem, Hanura dan PPP yang meskipun secara simulatif hasilnya dirugikan namun justru

mendukung konsep metode Saint Lague Modifikasi yang diajukan pemerintah. Isu metode konversi suara

199PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

ini menjadi salah satu indikasi adanya pengaruh koalisi yang dibentuk di sekitar pemilihan umum presiden

2014 meskipun dalam isu-isu yang lain indikasinya tidak terlalu Nampak.

5. Preferensi Aktor Pada Isu Parliamentary Treshold

Parliamentary threshold juga menjadi isu sensitif bagi partai-partai karena terkait dengan berhasil

tidaknya partai-partai mengirim anggotanya ke DPR. Berikut adalah preferensi awal aktor-aktor dalam

isu ini:

Dari table 9 terlihat bahwa keragaman preferensi aktor-aktor dalam isu ambang batas parlemen.

Keragaman ini merepresentasikan kepentingan elektoral mereka. Pemerintah mengusulkan ambang batas

yang moderat dan konsisten dengan penataan sistem kepartaian. Batas yang signifikan diusulkan oleh

Golkar, yaitu 10%. Jumlah partai yang diinginkan Golkar adalah antara 3-5 partai saja sehingga lebih

200 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

memudahkan dalam proses elektoral. Usulan Golkar ini ditentang oleh sebagian besar partai. Menurut

Fadli Zon dari Partai Gerindra, usulan ini akan memberangus keberadaan partai-partai kecil. Sementara

PPP menilai usulan itu adalah bentuk arogansi partai Golkar.

Ambang batas yang relatif tinggi juga diusulkan oleh Fraksi Nasdem, yaitu 7%. Padahal suara partai

Nasdem pada pemilu 2014 kurang dari 7% dan berdasarkan elektabilitas pada awal tahun 2018 kurang

dari 4%. Menanggapi hal itu, Nasdem menyatakan diri untuk siap tidak lolos dengan ambang batas 7%.

PAN dan Hanura mendorong PT pada tingkat terendah. Ini berbeda dengan preferensi partai lain. PAN

mengusulkan bahwa seharusnya yang disederhanakan fraksi, bukan menetapkan ambang batas parlemen.

Usulan PAN ini menyerupai sistem pemilu pada awal Reformasi. Sedangkan Hanura berpendapat bahwa

ambang batas parlemen tidak relevan lagi dengan konteks politik saat itu. Seperti PAN, Hanura ingin

semua partai dijamin haknya untuk bisa mendapatkan kursi jika menurut perhitungan memang berhak

mendapatkan kursi di DPR.

Secara keseluruhan, memang terdapat rentang ambang batas yang cukup besar, dari 0-10%. Namun

preferensi moderat lebih besar daripada preferensi yang ektrem tinggi maupun ekstrem rendah. Rata-rata

aktor-aktor menginginkan PT sebesar 3,5-5%. Angka moderat itu dianggap mewakili kepentingan untuk

penataan sistem kepartaian. Untuk partai-partai tertentu, angka 3,5-5% tetap dianggap memberatkan dan

tidak relevan tetapi dari hasil pendalaman angka itu tetap masih bisa diterima.

6. Preferensi Aktor Pada Isu Presidential Treshold

Presidential Treshold adalah isu krusial, usulan ini selain didukung oleh Pemerintah dan PDIP juga

didukung oleh Nasdem dan Golkar. Diperkirakan dengan ambang batas PT 20%, jumlah calon presiden

yang mungkin maju hanya sekitar 3 pasangan.

Bagi anggota partai koalisi lain yaitu PPP, syarat bagi calon presiden bahkan harus lebih diperketat.

Angka yang tepat menurut PPP adalah 30%. Menurut Ketua Umum PPP, Rommahurmuzy: “…Tingginya

ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bertujuan untuk memudahkan kepala dan wakil kepala negara

bekerja karena mendapat dukungan kuat dari partai politik di parlemen…” (Administrator, 2017). Angka 30%

sendiri akan makin mengecilkan jumlah calon pasangan presiden-wakil presiden yang mendaftar menjadi

hanya 2 pasangan saja. Dalam hitungan PPP berarti hanya akan ada Jokowi dan lawannya. Siapapun yang

terpilih akan punya basis dukungan yang kuat di DPR.

Menurut PKB, meskipun mereka menerima konsep 20% tapi kisaran yang paling tepat untuk Pres-

T adalah 5%. Secara resmi usulan itu disampaikan pada rapat kerja Pansus RUU Pemilu. Diajukan usulan

itu berkaitan dengan kepentingan PKB untuk mengajukan calon presiden (Hakim, Rahmat Nur, 2017).

201PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Hanura, anggota koalisi yang lain semula mengusulkan Pres-T 0%. Menurut mereka, PresT tidak relevan

untuk dipakai. PAN yang juga anggota koalisi pendukung pemerintah berpendapat sama. Keduanya juga

punya sikap yang sama pada akhir pembahasan, yaitu menerima Pres-T 20%.

Partai Demokrat, Gerindra dan PKS punya kesamaan sikap yaitu menginginkan ambang batas

presidensial 0%. Sama dengan Hanura dan PAN, tiga partai terakhir ini melihat bahwa Pres-T tidak punya

relevansi untuk diterapkan dalam Pemilu 2019 karena sifatnya serentak antara Pileg dan Pilpres. Preferensi

awal ini tidak merupakan bentuk persetujuan dari partai koalisi secara khusus. Namun demikian, ada

consensus tidak tertulis bahwa partai-partai oposisi ingin mereka mempunyai kemudahan dalam

mengajukan calon presiden. Partai-partai di luar DPR juga punya kecenderungan untuk menginginkan

Pres-T hanya sebesar 0%. Hal ini tidak lepas dari keinginan beberapa partai untuk mencalonkan tokohnya

sebagai calon presiden. Partai Berkarya misalnya, ingin mencalonkan Tommy Soeharto sebagai presiden.

Sementara partai lain menekankan pentingnya keserentakan pemilu sebagai faktor tidak relevannya ambang

batas presidensial. Isu ini misalnya diusung oleh Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang.

Proses Pengambilan Keputusan Antar Partai dan Perubahan sikap fraksi-fraksi partai pendukung

pemerintah

1. Pemerintah/ PDIP

Dari table 11 terlihat bahwa ada tiga jenis isu krusial dimana pemerintah /PDIP mengalah, yaitu

untuk sistem pemilu, metode konversi suara dan district magnitude. Untuk isu sistem pemilu diperkirakan

dampaknya tidak terlalu besar bagi PDIP. Demikian pula dalam hal district magnitude. Perhitungan agak

berbeda untuk metode konversi suara dari saint lague modifikasi menjadi saint lague murni. Metode saint

lague modifikasi sesuai dengan simulasi untuk Pemilu 2014 memberikan kursi yang lebih besar daripada

saint lague murni. Pemerintah dan PDIP melunak untuk sistem pemilu karena dalam sistem proporsional

terbuka tetutup mendapat penolakan yang cukup keras dari civil society. Sistem ini dianggap merupakan

akal-akalan oleh partai politik agar partai memperkuat pengaruh pada semua anggota dan anggota legislatif

pada khususnya.

2. Golkar

Tabel 12 menunjukkan bahwa Golkar juga harus melepas tiga preferensi dari sikap awal mereka.

Kepentingan Golkar terutama pada alokasi district magnitude yang 3-8. Dengan pembagian seperti itu,

menurut perhitungan Golkar, Golkar akan meraih persentase yang lebih baik di parlemen. Golkar

mengidentifikasi persebaran suara mereka yang cukup bagus di luar Jawa menjadi dasarnya. Mengenai

parliamentary threshold sebenarnya Golkar menyadari bahwa 10% adalah batas yang sangat tinggi. Untuk

mencapai batas itu biasanya negara demokrasi perlu waktu yang cukup lama. Jadi, Golkar bersedia

menegosiasikan batasan itu. Misi Golkar dalam hal ini adalah hanya untuk memberikan pesan bahwa

penyederhanaan sistem kepartaian harus konsisten.

202 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Sedangkan untuk sistem pemilu, Golkar sejalan dengan keinginan pemerintah/ PDIP yaitu proprosional

terbuka terbatas. Alasannya pun sama dengan pemerintah dan PDIP yaitu untuk menekan dampak buruk

dari system.

3. Nasdem

Nasdem juga mengalami perubahan sikap di tiga isu krusial. Untuk isu sistem pemilu proporsional terbuka

terbatas. Sedangkan dalam hal parliamentary threshold, pesan Nasdem sama dengan pesan yang ingin

disampaikan oleh Golkar yaitu bahwa harus ada konsistensi dalam penataan sistem kepartaian. Target 7%

sendiri bagi Nasdem sebenarnya sangat berat. Namun, “Nasdem siap terdegradasi!” (Nadlir, Moh., 2017).

Sikap Nasdem dalam dua isu itu menampakkan kesan bahwa Nasdem mempertimbangkan pembangunan

demokrasi di Indonesia.

4. PPP

203PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terbatas* Sistem Pemilu Proporsional Terbuka.

·

Table di atas menunjukkan bahwa dalam semua isu, PPP berbeda dengan Paket A. Namun akhirnya PPP

mengikuti Paket A. PPP sebenarnya tidak punya cukup kekuatan untuk memaksakan kepentingannya

dalam forum internal partai pendukung pemerintah.

5. PKB

Dilihat dari table di atas, PKB ternyata juga mengalami perubahan sikap. Dalam hal sistem pemilu, PKB

mengubah dari proprosional terbuka terbatas menjadi sistem proporsional terbuka saja. Dalam hal metode

konversi suara, PKB mengubah dari kuota/ BPP menjadi saint lague murni. Sedangkan dalam Pres-T, PKB

mengubah dari 5% menjadi 10% kursi DPR.

204 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

6. PAN

Perubahan preferensi PAN terjadi di hampir semua isu krusial. Ini menandakan bahwa PAN aktif

melakukan lobi-lobi dengan berbagai pihak. Dalam hal PT, PAN menerima dan bahkan mengusulkan

ambang batas 4%. Sementara untuk Pres-T PAN melunak dengan mengusulkan ambang 10% kursi DPR

dan 15% suara sah nasional. Namun PAN sangat bertahan dengan sistem kuota hare. Secara keseluruhan,

untuk partai-partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah, meskipun pada awalnya relatif difrgen

namun jarak preferensinya tidak besar. Komunikasi di antara mereka juga relatif lebih intensif karena

pengaruh kesamaan sikap di pemerintah.

7. Gerindra

Tabel tersebut menunjukkan bahwa tidak banyak perubahan sikap dari Gerindra. Perubahannya

hanya pada sistem pemilu proporsional terbuka terbatas menjadi sistem proporsional terbuka saja. Secara

keseluruhan Gerindra konsisten untuk menyukseskan kepentingannya. Usul Gerindra yang kemudian

diadopsi dalam keputusan resmi adalah PT yang menjadi 4% dan district magnitude yang 3-10 per dapil

dengan penataan dapil. Konsistensi Gerindra juga ditunjukkan dalam aturan mengenai metode konversi

suara dan Pres-T. Pemerintah bersama fraksi-fraksi pendukungnya pada saat yang sama juga konsisten

dengan keinginan mereka untuk memilih metode saint lague dan Pres-T 20%/25%. Akibatnya kedua

kepentingan ini bersaing. Gerindra mengatakan bahwa usul Pres-T 20%/25% dengan mengacu pada hasil

Pemilu 2014 tidak bisa diterima. Sebaliknya, pemerintah, mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi

mengatakan bahwa usulan itu benar baik dalam pertimbangan politik maupun hukum.

205PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

8. PKS

PKS memiliki kesamaan dengan Gerindra sejak awal, meskipun menurut anggota Pansus dari

masing-masing partai mengatakan tidak ada persetujuan awal. Seperti Gerindra, PKS juga mempunya

perhatian lebih pada isu Pres-T. Jika dilihat secara kesleuruhan, terlihat bahwa isu ini memang jadi inti

dari tarik ulur antara kubu pro-pemerintah dan oposannya.

9. Demokrat

Sama dengan Gerindra dan PKS, preferensi Demokrat ini konsisten. Beberapa usulan Demokrat

juga akhirnya diadopsi dalam kebijakan yang disahkan, yaitu sistem pemilu, penataan dapil dan PT. Untuk

metode konversi suara dan Pres-T Demokrat konsisten dengan usulan mereka. Dari lima paket pilihan

yang diajukan dalam sidang paripurna untuk pengesahan, kemudian terseleksi dua paket, yaitu Paket A

dan Paket B. Menjelang sidang PKB akhirnya setuju untuk memutuskan untuk memilih Paket A. PAN,

anggota partai koalisi lainnya justru pada akhirnya memilih Paket B. Berbeda dengan persaingan antara

partai koalisi dengan oposisi, PAN merasa isu yang tidak bisa diterima adalah metode konversi suara

yang memakai Saint Lague. Pada satu sisi kebutuhan partai menginginkan metode konversi kuota hare,

sedangkan pemerintah dan koalisi bertahan pada sistem saint lague.

Mengenai presidential threshold, PAN tidak begitu keras bertahan. Namun sampai pada menjelang

voting baik koalisi pemerintah maupun kubu oposisi bertahan pada sikap masing-masing. Pada kondisi

seperti itu, PAN harus memutuskan untuk berpihak hingga akhirnya PAN memilih Paket B. Sama dengan

206 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

PAN, PKS justru lebih lunak dalam hal pres-T. PKS menurunkan tawarannya dari 0% menjadi 5% dan

kemudian menjadi 10%.

Dalam beberapa simulasi seperti yang telah diuraikan di atas, dalam voting, jika dilakukan dengan metode

roll-call vote, maka kemungkinan partai oposisi tidak mungkin bisa menang. Bagi berapa anggota partai,

diduga karena itu keempat fraksi mengundurkan diri (walk out) dalam voting.

Kesimpulan

Pembahasan RUU Pemilu ini menarik ditinjau dari beberapa hal: pertama, dalam hal pengaruh

koalisi yang telah ada sebelumnya, yaitu koalisi partai-partai pendukung pemerintah dan koalisi partai-

partai non pendukung pemerintah. Meskipun pada awalnya terdapat variasi preferensi di semua fraksi,

namun pada akhirnya pengaruh perkoalisian tersebut muncul, terutama di akhir-kahir pembahasan hingga

terjadinya voting. Kedua, meskipun muncul 5 isu krusial, namun ada dua isu yang benar-benar menjadi

inti dari perdebatan sehingga muncul perkoalisian di akhir pembahasan yaitu mengenai presidential

threshold dan mengenai metode konversi suara.

Pembahasan RUU Pemilu menggambarkan bagaimana fraksi-fraksi saling berinteraksi untuk

memperjuangkan kepentingannya. Pada mulanya fraksi bertindak secara mandiri untuk memperjuangkan

kepentingan masing-masing. Namun dalam perkembangan selanjutnya, terlihat bahwa kekuatan dominan

mengendalikan jalannya pembuatan keputusan.

Keseluruhan kecenderungan pemihakan menjadi menarik dilihat dari beberapa hal: pertama, dari

segi kronologi keputusan politiknya. Dalam hal ini adalah bagaimana keputusan-keputusan politik partai

atas pilihan sikap selama pembahasan berubah. Setidaknya ada tiga tahap yang ditemukan dalam hal

kronologi keputusan politik ini. Pada awal pembahasan di tingkat I, terdapat variasi preferensi dari semua

fraksi. Beberapa partai pendukung pemerintah bahkan punya sikap yang sangat berbeda dengan proposal

pemerintah dan PDIP. Partai Hanura adalah partai yang mewakili ini. Hanura punya perbedaan sikap di

semua isu krusial yang dibahas. Di kubu non pendukung pemerintah, meskipun sebelumnya tidak ada

perjanjian untuk berkoalisi menghadang proposal pemerintah, perbedaan sikap antar fraksi tidak menonjol.

Hal ini memudahkan bagi mereka untuk saling berkomunikasi.

Tahap kedua adalah tahap pembentukan inti kekuatan oleh pemerintah dan PDIP. Pemerintah

dan PDIP segera mendapatkan dukungan dari Nasdem, Golkar, PPP dan Hanura. Dengan kekuatan ini

dalam semua simulasi perhitungan, pemerintah dan PDIP akan menang jika terjadi voting. Pembentukan

inti kekuatan dukungan ini merupakan tahap krusial dalam pengambilan keputusan pada kebijakan ini.

Dengan pembentukan inti kekuatan ini pemerintahan PDIP sudah bisa dominan dalam menentukan

keluaran dari pembahasan RUU Pemilu.

Dalam tahap kedua ini, pemerintah belum bisa menarik dua fraksi yang partainya mendukung

pemerintah, yaitu PKB dan PAN. PAN berkukuh untuk berpegang pada sistem konversi suara kuota hare.

Sedangkan PKB terus berusaha menyukseskan ambang batas pencalonan presiden agar lebih rendah dari

proposal pemerintah. Selain itu, pemerintah dan PDIP juga berupaya melobi partai lain agar mendukung.

Namun sampai batas akhir partai di luar pemerintah tidak berhasil didapatkan dukungannya.

Tahap terakhir adalah tahap akhir keputusan dimana setiap partai harus memutuskan pilihan

mana yang akan dipilih. Pada tahap ini, pemerintah dan PDIP sudah berhasil mendapatkan dukungan

dari PKB. Dengan perhitungan berdasarkan jumlah kursi DPR, maka PDIP beserta partai pendukung

pemerintah kecuali PAN akan memenangkan Paket A dalam voting.

Kedua, dari segi penentuan preferensi. Dapat dilihat bahwa preferensi fraksi-fraksi disusun dari

berbagai aspek pertimbangan. Pertimbangan pertama adalah kepentingan mereka dalam pemilu

mendatang. Semua partai ingin mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang sedang mereka bahas

sehingga sukses dalam Pemilu 2019. Kesuksesan yang diukur adalah dalam hal pencalonan presiden dan

pemilihan legislatif. Selain faktor instrumental, faktor kedekatan nilai dan identitas sosial ternyata juga

berpengaruh pada penentuan sikap dalam pengambilan keputusan. PAN misalnya, ditemukan mempunyai

207PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

kondisi internal karena beberapa elemennya tidak merasa nyaman dengan sikap untuk mendukung

pemerintah.

Ketiga, perimbangan kekuatan di DPR sangat didominasi oleh partai-partai pendukung Jokowi.

Meskipun pada awalnya preferensinya cenderung divergen, namun pada tahap-tahap akhir pembahasan

sikap fraksi-fraksi makin memusat. Baik dari segi jumlah kursi maupun instrument kekuasaan membuat

Jokowi mampu mengendalikan pilihan-pilihan kebijakan pada tahap akhir. Dari internal partai pendukung

Jokowi membuat ‘inti kekuatan’ untuk mempersempit pilihan-pilihan bagi fraksi partai pendukung

pemerintah. Partai-partai non-pendukung pemerintah pada tahap akhir pembahasan juga berkumpul dan

bekerjasama untuk melawan konsolidasi kekuatan pemerintah. Namun sampai pada voting, kekuatan

partai non-pendukung pemerintah tidak bisa menahan gerakan yang dilakukan oleh partai-partai

pendukung pemerintah. Secara formal pada kedua kubu tidak ada koalisi yang terinstitusi, namun secara

de facto ada koalisi. Indikasi untuk menentukan itu adalah: (1) adanya persetujuan bersama untuk mencapai

kepentingan bersama; (2) adanya penyertaan sumberdaya untuk digunakan untuk mencapai tujuan bersama

tersebut; (3) ada struktur imbalan yang diberikan kepada para partisipan koalisi.

Struktur imbalan yang dimaksud adalah imbalan yang predikitif dan tidak langsung. Prediktif

karena hanya akan didapat di masa depan jika politik perubahan sistem pemilu ini berhasil membuat

pengusung kepentingan berhasil menguasai pemerintahan. Tidak langsung karena hasil dari kebijakan

tidak memberikan imbalan langsung melainkan hanya menciptakan kondisi bagi terciptanya peluang untuk

memenangkan pemilu. Kemenangan pemilu itulah yang akan memberikan imbalan langsung.

Sebagaimana dikemukakan di atas, struktur imbalan yang diberikan berupa imbalan prediktif

dan tidak langsung. Para aktor yang terlibat menyadari bahwa keberhasilan memenangkan pemilu akan

ditentukan oleh banyak variabel, bukan hanya pengaturan sistem pemilu. Untuk kasus Indonesia, selama

beberapa pemerintahan pengaturan pemilu oleh pemerintah dan fraksi partai berkuasa justru membuat

partai lain menang pemilu. Pada tahun 2004 misalnya, PDIP adalah partai yang berkuasa waktu itu, namun

hasil pemilu menunjukkan Golkar dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemenang. Pada tahun 2014,

Demokrat adalah partai berkuasa dan membuat perubahan sistem pemilu, namun PDIP dan Jokowi yang

berhasil memenangkan pemilu. Namun begitu, partai-partai pendukung pemerintah menghitung dengan

variabel-variabel seperti saat ini, Jokowi diprediksi akan menjadi pemenang Pilpres lagi. Dua isu diantara

lima isu krusial sangat mendukung hal itu yaitu metode konversi suara dan pres-T lebih mendukung PDIP

dan Jokowi sebagai petahana daripada untuk pesaing-pesaing baru.

Sedangkan dalam sisi sumberdaya, sumberdaya terpakai dalam kasus ini adalah kursi di DPR.

Beberapa partai pendukung pemerintah ditemukan menyertakan sumberdaya yang tidak proporsional

dengan imbalan yang dipakai. Partai Hanura, Nasdem dan PPP misalnya, menyetujui metode konversi

suara saint lague yang relatif lebih menguntungkan partai-partai besar. Padahal ketiganya termasuk partai

kecil. Dalam beberapa survey bahkan ketiganya punya elektabilitas di bawah PT yang ditetapkan. Hal ini

terjadi karena dalam proses tarik ulur internal, partai-partai kecil tersebut kalah bersaing dengan partai-

partai besar. Untuk beralih mendukung kubu lawan, beberapa partai tidak menunjukkan minat berkaitan

dengan dua hal: (1) prospek elektoral kubu lawan yang relatif masih kalah dengan kubu Jokowi dan PDIP;

(2) beberapa partai mempunyai masalah internal dan ketua partai perlu dukungan pemerintah untuk tetap

memimpin partai versinya. Politik intra-koalisi ini merupakan temuan yang penting dalam kasus ini

Perilaku koalisi secara keseluruhan berbasis pada kepentingan masing-masing partai, pertimbangan

non-instrumentalis dan faktor konteks. Kepentingan elektoral dan kepentingan untuk tetap dalam koalisi

yang memberikan imbalan jabatan mendominasi keputusan fraksi-fraksi partai koalisi. Sedangkan faktor

kepentingan elektoral 2019, kepentingan untuk menjaga loyalitas pangsa pemilih ditemukan pada PKS,

Gerindra dan PAN.

Proses negosiasi terjadi hampir dalam semua isu krusial, kecuali isu presidential threshold dan

metode konversi suara. Ini menandakan bahwa isu tersebut menjadi isu inti dari tarik ulur kubu-kubu

yang terlibat. Suara aktor luar seperti LSM nampak pengaruhnya pada sistem pemilu yang mempertahankan

sistem proporsional terbuka. Suara partai kecil di luar DPR diakomodasi oleh Gerindra dalam tuntutan

terhadap sistem kuota hare.

208 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Edella Schlager and William Blomquist . (1996). A Comparison of Three Emerging Theories of the Policy

Process . Political Research Quarterly, Vol. 49, No. 3, 651-672 .

Robert F. Durant and Paul F. Diehl . (1989). Agendas, Alternatives, and Public Policy: Lessons from the U.S.

Foreign Policy Arena . Journal of Public Policy, Vol. 9, No. 2 , 179-205.

Website:

Administrator. (2017, 01 23). PPP Usulkan Presidential Threshold 30%. Retrieved from http://mediaindonesia.com: http://mediaindonesia.com/read/detail/88799-ppp-usulkan-presidential-threshold-30

Akbar, J. (2018, 01 09). Mengapa Megawati Terus Mengatakan Jokowi Petugas Partai? Retrieved from https://tirto.id: https://tirto.id/mengapa-megawati-terus-mengatakan-jokowi-petugas-partai-cCXi

Alvian, R. A. (2017, 10 18). Siasat Islam-politik mengubah lanskap demokrasi Indonesia. Retrieved from http://theconversation.com: http://theconversation.com/siasat-islam-politik-mengubah-lanskap-demokrasi-indonesia-84148

Amindoni, A. (2017, 07 21). Apa yang perlu Anda ketahui tentang UU Pemilu. Retrieved from ttp://www.bbc.com: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-40678216

Andwika, R. (2017, 01 13). Hanura usul ambang batas parlemen dihapus karena tidak relevan lagi. Retrievedfrom https://www.merdeka.com: https://www.merdeka.com/politik/hanura-usul-ambang-batas-parlemen-dihapus-karena-tidak-relevan-lagi.html

Anggraini, T. (2017, 03 21). STUDI BANDING PANSUS PEMILU OLEH TITI ANGGRAINI. Retrieved fromhttp://perludem.org: http://perludem.org/2017/03/21/studi-banding-pansus-pemilu-oleh-titi-anggraini/

Aviani, N. (2017, 05 12). Sistem Pemilu Mengerucut ke Opsi Terbuka atau Terbuka Terbatas. Retrieved fromhttp://www.mediaindonesia.com: http://www.mediaindonesia.com/read/detail/103030-sistem-pemilu-mengerucut-ke-opsi-terbuka-atau-terbuka-terbatas

Aziz, N. (2017, 04 20). Ketika Anies-Sandi menang dengan kekuatan Islamis. Retrieved from http://www.bbc.com: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39644574

Campbell, J. E. (1986). Presidential Coattails and Midterm Losses in State Legislative Elections. The AmericanPolitical Science Review, Vol. 80, No. 1, 45-63.

Dariyanto, E. (2017, 06 21). Demokrat: Presidential Threshold 20% Itu Logika Sesat. Retrieved from https://news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3536218/demokrat-presidential-threshold-20-itu-logika-sesat

Dariyanto, E. (2017, 01 19). Fadli Zon: Jangan Jegal Partai dengan Ambang Batas Parlemen 10%. Retrieved fromhttps://news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3399910/fadli-zon-jangan-jegal-partai-dengan-ambang-batas-parlemen-10

Detiknews. (2015, 04 16). Effendi Simbolon: Gaya Komunikasi Rini, Andi dan Luhut Nggak Penting. Retrieved05 12, 2018, from https://news.detik.com/berita/2889224/effendi-simbolon-gaya-komunikasi-rini-andi-dan-luhut-nggak-penting

DHF. (2018, 01 7). Target Alumni 212: Kalahkan PDIP, Dukung Gerindra, PKS dan PAN. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional: https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional/20180127135451-32-271995/target-alumni-212-kalahkan-pdip-dukung-gerindra-pks-pan

Dusso, A. (2010). Legislation, Political Context, and Interest Group Behavior. Political Research Quarterly,63(1), 55-67.

DW. (2014, 06 23). Kampanye Hitam Semakin Sengit. Retrieved from http://www.dw.com: http://www.dw.com/id/kampanye-hitam-semakin-sengit/a-17729276

209PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Eldersveld, S. J. (1951). Theory and Method in Voting Behavior Research. American Political Science Association,70-87.

Erdianto, K. (2017, 06 23). Pembahasan RUU Pemilu dan Konflik Kepentingan Partai Politik. Retrieved fromhttps://nasional.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2017/06/23/08262981/pembahasan.ruu.pemilu.dan.konflik.kepentingan.partai.politik

Eric C. Browne and Peter Rice . (1979). A Bargaining Theory of Coalition Formation . British Journal ofPolitical Science, Vol. 9, No. 1 , 67-87.

Fachrudin, F. (2017, 05 19). Pembahasan RUU Pemilu Dinilai Fokus pada Kepentingan Partai. Retrieved fromhttps://nasional.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2017/05/19/17351891/pembahasan.ruu.pemilu.dinilai.fokus.pada.kepentingan.partai.

Faiz, A. (2017, 06 21). RUU Pemilu, PDIP Siap Mediasi Pertemuan Ketua Partai dan Jokowi. Retrieved fromhttps://nasional.tempo.co/: https://nasional.tempo.co/read/886529/ruu-pemilu-pdip-siap-mediasi-pertemuan-ketua-partai-dan-jokowi

Gamson, W. (1961). A Theory of Coalition Formation. American Sociological Review, 26(3), 373-382.

Hakim, R. N. (2017, July 14). Peta Dukungan Parpol terhadap RUU Pemilu. Retrieved from https://nasional.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2017/07/14/12120501/peta-dukungan-parpol-terhadap-ruu-pemilu

Hakim, Rahmat Nur. (2017, 05 18). Jika “Presidential Threshold” 5 Persen, PKB Bakal Usung Capres di Pemilu2019. Retrieved from https://nasional.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2017/05/18/10244651/jika.presidential.threshold.5.persen.pkb.bakal.usung.capres.di.pemilu.2019

Hammond, T., & Miller, G. . (1987). Distant Friends and Nearby Enemies: The Politics of Legislative CoalitionFormation. Public Choice, 53(3), , 277-284.

Held, D. (2005). Models of Democracy. Jakarta: Akbar Tandjung Institute.

Howlett, M. (1997). Issue-Attention and Punctuated Equilibria Models Reconsidered: An EmpiricalExamination of the Dynamics of Agenda-Setting in Canada. Canadian Journal of Political Science /Revue canadienne de science politique, Vol. 30, No. 1, 3-29 .

Ikhsanudin, A. (2016, 11 30). Mendagri: Sistem Pemilu Terbuka Tertutup adalah Jalan Tengah. Retrieved fromhttps://news.detik.com/: https://news.detik.com/berita/d-3358571/mendagri-sistem-pemilu-terbuka-tertutup-adalah-jalan-tengah

Irmasari, D. (2017, 06 15). Mendagri: Kami Sudah Mengalah di RUU Pemilu, Sekarang Giliran DPR. Retrievedfrom https://news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3532155/mendagri-kami-sudah-

mengalah-di-ruu-pemilu-sekarang-giliran-dpr

James E. Campbel. (1986). Presidential Coattails and Midterm Losses in State Legislative Elections . TheAmerican Political Science Review, Vol. 80, No. 1, 45-63 .

JPNN. (2015, 06 27). Jokowi-JK Sejak Awal tak Puas dengan Kabinet Kerja. Retrieved 05 12, 2018, from https://www.jpnn.com/news/jokowi-jk-sejak-awal-tak-puas-dengan-kabinet-kerja

Ketiga, U. N. (n.d.).

Kumar, B. (2002). Critical Issues in Electoral Reforms. The Indian Journal of Political Science 63(1), 73-88.

Kumparan. (2017, 06 20). Demokrat: Presidential Threshold 20% Siasat Menangkan Jokowi di 2019. Retrievedfrom https://kumparan.com: https://kumparan.com/@kumparannews/demokrat-presidential-treshold-20-siasat-menangkan-jokowi-di-2019

Lebo, M., Adam J. McGlynn, & Koger, G. (2007). Strategic Party Government: Party Influence in Congress,1789-2000. American Journal of Political Science, 51(3), 464-481.

LingkarJatim. (2017, 07 22). Sistem Penghitungan Suara “Sainte Lague Murni” Dinilai Memberangus PartaiKecil. Retrieved from https://lingkarjatim.com: https://lingkarjatim.com/politik/sistem-penghitungan-suara-sainte-lague-murni-dinilai-memberangus-partai-kecil/

210 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Lubabah, R. G. (2017, 07 20). RUU Pemilu, PAN buka peluang pilih paket A asal syarat ini dipenuhi. Retrievedfrom https://www.merdeka.com: https://www.merdeka.com/politik/ruu-pemilu-pan-buka-peluang-pilih-paket-a-asal-syarat-ini-dipenuhi.html

Masrifah, S. (2018, 05 01). Politik Legislasi di Indonesia: Studi Kasus Kemenangan Opsi A Pada PembahasanRUU Penyelenggaraan Pemilu 2017. (K. L. Sianipar, Interviewer)

Meagher, E., & Wielen, R. . (2012). The Effects of Party and Agenda Control: Assessing the IdeologicalOrientation of Legislation Directing Bureaucratic Behavior. Political Research Quarterly, 65(3), 669-684.

Meserve, S., Pemstein, D., & Bernhard, W. (2009). Political Ambition and Legislative Behavior in the EuropeanParliament. The Journal of Politics, 71(3), 1015-1032.

Miller, W. E. (1955). Presidential Coattails: A Study in Political Myth and Methodology . The Public OpinionQuarterly, Vol. 19, No. 4 , 353-368 .

Mondak, J., & McCurley, C. (1994). Cognitive Efficiency and the Congressional Vote: The Psychology ofCoattail Voting. Political Research Quarterly, 47(1), 151-175.

Morelli, M. (1991). Demand Competition and Policy Compromise in Legislative Bargaining. The AmericanPolitical Science Review, Vol. 93, No. 4 (, 809-820 .

Mukhriyanto, D. (2018, 05 07). Politik Legislasi di Indonesia: Studi Kasus Kemenenangan Opsi A PadaPembahasan RUU penyelenggaraan pemilu 2017. (K. L. Sianipar, Interviewer)

Mursid, F. (2017, 07 20). Ingin Metode Kuota Hare di RUU Pemilu, Fraksi PAN Pilih Jalan Tengah. Retrievedfrom http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/07/20/ote7a1-ingin-metode-kuota-hare-di-ruu-pemilu-fraksi-pan-pilih-jalan-tengah

Musgrove, P. (1977). The General Theory Of Gerrymandering. In P. Musgrove, Sage Professional Papers InAmerican Politics (p. 5). New York: : Sage Publications.

Mustakim, A. (2017, Februari 9). Pandangan 4 Partai Baru Terkait Ambang Batas Parlemen. Retrieved fromhttps://news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3417475/pandangan-4-partai-baru-terkait-ambang-batas-parlemen

Nadlir, Moh. (2017, 05 12). Sistem Pemilu Terbuka Terbatas Dinilai Tak Demokratis. Retrieved from https://nasional.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2017/05/12/21193231/sistem.pemilu.terbuka.terbatas.dinilai.tak.demokratis

Norris, P. (1995). Introduction: The Politics of Electoral Reform. International Political Science Review/ RevueInternationale De Science Politique, 16(1), 3-8.

Paat, Y. (2017, 04 26). Pemilu 2019, Fraksi Usulkan 579 Kursi di DPR. Retrieved from http://www.beritasatu.com: http://www.beritasatu.com/politik/427261-pemilu-2019-fraksi-usulkan-579-kursi-di-dpr.html

Philip Leifeld and Volker Schneider. (2012). Information Exchange in Policy Networks . American Journal ofPolitical Science, Vol. 56, No. 3 , 731-744 .

Pollycarpus, R. (2017, 05 21). RUU Pemilu Kental Kepentingan. Retrieved from http://www.mediaindonesia.com: http://www.mediaindonesia.com/read/detail/105642-ruu-pemilu-kental-kepentingan

Prastiwi, D. (2017, Januari 18). Alasan Golkar Pilih Sistem Proporsional Tertutup pada Pemilu 2019. Retrievedfrom http://news.liputan6.com/read/2830948: http://news.liputan6.com/read/2830948/alasan-golkar-pilih-sistem-proporsional-tertutup-pada-pemilu-2019

Prawira, A. (2014, 10 22). Pengumuman Menteri Tarik Ulur, Jokowi Tersandera? Retrieved from https://nasional.sindonews.com: https://nasional.sindonews.com/read/914232/12/pengumuman-menteri-tarik-ulur-jokowi-tersandera-1413987074

Randall L. Calvert and John A. Ferejohn. (1983). Coattail Voting in Recent Presidential Elections. The AmericanPolitical Science Review, Vol. 77, No. 2, 407-419 .

211PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

RI, B. R. (2017). Rapat Kerja Ke-1 R I S A L A H RAPAT KERJA PANSUS RANCANGAN UNDANG-UNDANGTENTANG PENYELENGGARAAN PEMILU . Jakarta: Tidak dipublikasikan.

RI, D. (2017). Risalah Raker ke-15 Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu. Jakarta: Tidak Dipublikasikan.

Tambak, R. (2017, 07 04). Utang Meningkat Rakyat Melarat, Tiga Menteri Ini Layak Dicopot. Retrieved fromhttp://politik.rmol.co: http://politik.rmol.co/read/2017/07/04/297784/Utang-Meningkat-Rakyat-Melarat,-Tiga-Menteri-Ini-Layak-Dicopot-

Tashandra, N. (2017). “Ini Penjelasan soal 5 Isu Krusial RUU Pemilu yang Akhirnya “Diketok Palu”. Retrievedfrom https://nasional.kompas.com/read/2017/07/21/08204641: https://nasional.kompas.com/read/2017/07/21/08204641/ini-penjelasan-soal-5-isu-krusial-ruu-pemilu-yang-akhirnya-diketok-palu-.

Tashandra, Nabilla. (2016, September 14). Hanura Nilai Tak Relevan Hasil Pileg 2014 Dipakai untuk UsungCapres 2019. Retrieved from http://nasional.kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2016/09/14/10054841/hanura.nilai.tak.relevan.hasil.pileg.2014.dipakai.untuk.usung.capres.2019

Tashandra, Nabilla. (2017, Januari 10). Presidential Threshold” dan Kekhawatiran Munculnya Banyak Capres.Retrieved from http://nasional.kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2017/01/19/08442251/.presidential.threshold.dan.kekhawatiran.munculnya.banyak.capres

Taufik, M. (2014, 06 15). Survei: Massa NU lebih pilih Jokowi, Muhammadiyah pilih Prabowo. Retrieved fromhttps://www.merdeka.com: https://www.merdeka.com/politik/survei-massa-nu-lebih-pilih-jokowi-muhammadiyah-pilih-prabowo.html

Taylor, M. (1972). On the Theory of Government Coalition Formation , . British Journal of Political Science,2(3), 361-373.

Thorson, G., & Stambough, S. (1995). Anti-Incumbency and the 1992 Elections: The Changing Face ofPresidential Coattails. The Journal of Politics, 57(1), 210-220.

Triyogo, A. W. (2018, 02 23). Megawati Resmi Umumkan Jokowi Sebagai Calon Presiden PDIP 2019. Retrieved05 12, 2018, from https://nasional.tempo.co/read/1063758/megawati-resmi-umumkan-jokowi-sebagai-calon-presiden-pdip-2019

UUD NRI Tahun 1945 Setelah Perubahan Ketiga. (n.d.).

Wardani, H. L. (2017, 04 22). Versi Eep, Ini 5 Faktor Anies-Sandi Menang Telak Lawan Ahok-Djarot. Retrievedfrom https://news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3481435/versi-eep-ini-5-faktor-

anies-sandi-menang-telak-lawan-ahok-djarot

Waskita, F. (2017). Penjelasan Soal Dua Sistem Penghitungan Suara: Sainte Lague Murni Dianggap Habisi PartaiKecil. Retrieved from http://www.tribunnews.com: http://www.tribunnews.com/nasional/2017/07/21/penjelasan-soaldua-sistem-penghitungan-suara-sainte-lague-murni-dianggap-habisi-partai-

Wildansyah, S. (2017, 07 07). Cak Imin: Presidential Threshold 20% Oke Tapi dengan Syarat. Retrieved fromhttps://news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3552319/cak-imin-presidential-threshold-20-oke-tapi-dengan-syarat

Wiwoho, B. (2017, 07 21). PPP Klaim Berhasil Lobi PKB Dukung Opsi A RUU Pemilu. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170720113921-32-229119/ppp-klaim-berhasil-lobi-pkb-dukung-opsi-a-ruu-pemilu

Wiwoho, Bimo. (2017, 07 20). PPP Klaim Berhasil Lobi PKB Dukung Paket A RUU Pemilu. Retrieved fromwww.cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170720113921-32-229119/ppp-klaim-berhasil-lobi-pkb-dukung-opsi-a-ruu-pemilu

212 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

213PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

1.Pendahuluan

Public Relation merupakan program yang sangat diperlukan dalam suatu Perusahaan sehingga kerja

di sebuah Perusahaan Public Relation melakukan beberapa job desk dalam suatu Perushaan dengan

beberapa promotion dan kerja yang telah di tentukan dalam sebuah Perusahaan. Public Relation memiliki

peranan penting dalam citra Perusahaan sehingga dalam kegiatanya mencakup tugas internal dan ekternal

dalam pekerjaanya, untuk itu evaluasi sangat di perlukan dalam kinerja Public Relation.

Perhotelan di Indonesia tumbuh pesat sejalan dengan semakin berkembangnya sektor pariwisata,

khususnya di kota Purwokerto Jawa Tengah. Di kota Purwokerto khususnya bisnis hotel meningkat dari

tahun 2014. Dengan munculnya Hotel International yaitu Aston Imperium Purwokerto yang merupakan

chance International sehingga para pemilik modal atau saham ikut dalam bisnis Hotel di Purwokerto, dari

awal 2012 Aston berdiri muncul Hotel baru yang awalnya merupakan Hotel Lokal Dynasty menjadi Horison

dan sekarang menjadi Java Heritage, selain itu muncul pula brand baru yang berasal dari Indonesia Santika

Hotel Purwokerto, Meotel dan lainya selain itu muncul Pula beberapa hotel melati yang memiliki fasilittas

bintang 2 seperti COR, DM, WN Hotel, Amoris, dari munculnya hotel hotel baru di Purwokerto menandakan

bahwa bisnis Hotel makin menjanjikan di kota Purwokerto. Perhotelan merupakan salah satu bisnis yang

masih menjanjikan dan mempunyai potensi besar. Walaupun keadaan negara sekarang yang semakin tak

menentu, bisnis perhotelan masih bisa berjalan dengan lancar.

Dari Latar Belakang di atas maka rumusan masalahnya adalah bagaimana Evaluasi dalam kinerja

Public Relation dalam reputasi Perushaan di Hotel Aston Imperium Purwokerto?

2. Tinjaun Pustaka

Evaluasi Program

Iriantara (2004) mengutip dari Steele yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan proses penilaian

secara sistematis tentang nilai, tujuan efektivitas atau ketepatan sesuatu berdasarkan kriteria dan tujuan

EVALUASI PROGRAM PUBLIC RELATION DALAM REPUTASI PERUSHAAN DI

HOTEL ASTON IMPERIUM PURWOKERTO

Neli S

Prodi Magister Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Jenderal Soedirman

ABSTRAK:

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi program internal dan ekternal Public Relation yang di

lakukan oleh Public Relation di Hotel Aston Imperium Purwokerto – Jawa Tengah. Studi ini peneliti

belum pernah melakukan evaluasi terhadap program Public Relation pada sub bagian humas baik

internal maupun ekternal, Untuk mengevaluasi program internal Public Relation di gunakan model

The Planning Research and Evaluation Process (Pre Process) yang mencakup 5 tahap yakni audit,

settling objectives, strategy and plan, ongoing measurement, results and evaluation. Kelima tahap

tersebut akan melihat apa saja yang menjadi penentu dan bagaimana cara menyusun program,

bagaimana pelaksanaanya dan evaluasi seperti apa yang telah dilakukan. Penelitian ini merupakan

kualitatif dengan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Tipe penelitian adalah

penelitian evaluative, teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, pengumpulan

dokumen dan observasi. Temuan dari penelitian ini adalah ada empat program internal Public Relation

yang berhasil diidentifikasi, yakni bulletin internal, sosialisasi, papan pengumuman dan kliping. Dari

keempat program tersebut yang menjalani audit melalui riset sederhana adalan bulletin dan papan

pengumuman. Semua program direncanakan melalui penyusun keranga acuan kerja.

Kata Kunci : Reputasi Perusahaan, Public Relation, Aston Imperium Purwokerto

214 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

yang sudah ditetapkan sebelumnya. Artinya, dalam evaluasi itu kita memberi makna, tujuan, efektivitas

atau kesesuaian program dengan acuan pada dua hal yakni standar atau kriteria dan tujuan. Menurut

Iriantara (2004,p.148) evaluasi program dalam konteks Public Relations pada dasarnya menggunakan

tahapan atau langkah yang sama dengan langkah evaluasi program lainnya. Yang membedakan hanyalah

jenis dan isi programnya. Dalam mengevaluasi program Public Relations tentu isinya berkaitan dengan

program yang kewenangan merencanakan dan menjalankannya ada pada bagian atau divisi Public Relations

suatu organisasi. Menurut Nor Hadi (2011), tujuan dari evaluasi adalah memperoleh masukan untuk

perencanaan program kegiatan; memperoleh berbagai bahan pertimbangan dalam rangka pengambilan

keputusan, layak atau tidak layak program Public Relations tersebut untuk dilanjutkan; memperoleh

masukan perbaikan program; memperoleh masukan tentang hambatan program yang sedang dilaksanakan;

memperoleh masukan untuk perbaikan; memperoleh rekomendasi dan pelaporan terhadap penyandang

dana (Ardianto, 2011, 225).

Public Relation

Aktivitas public relations sehari-hari adalah menyelenggarakan komunikasi timbal balik (two way

communication) antara perusahaan atau suatu lembaga dengan pihak publik yang bertujuan untuk

menciptakan saling pengertian dan dukungan bagi tercapainya suatu tujuan tertentu, kebijakan, kegiatan

produksi barang atau pelayanan jasa, dan sebagainya, demi kemajuan perusahaan atau citra positif bagi

lembaga bersangkutan (Ruslan, 2007:1).

Menciptakan citra atau publikasi yang positif merupakan prestasi, reputasi dan sekaligus menjadi

tujuan utama bagi aktivitas public relations dalam melaksanakan manajemen kehumasan, membangun

citra atau nama baik lembaga, organisasi atau produk yang di wakilinya. Menurut pendapat Scott M.

Cutlip dan Allen H. Center dalam Ruslan (2002:27) bahwa : “Public Relations adalah fungsi manajemen

yang menilai sikap publik, mengidentifikasikan kebijaksanaan dan tata cara organisasi demi kepentingan

publiknya, serta merencanakan suatu program kegiatan dan komunikasi untuk memperoleh pengertian

dan dukungan publiknya” Public relations adalah sebuah fungsi kepemimpinan dan manajemen yang

membantu pencapaian tujuan sebuah organisasi, membantu mendefinisikan filosofi serta memfasilitasi

perubahan organisasi. Public relations berkomunikasi dengan semua masyarakat internal dan eksternal

yang relevan untuk mengembangkan hubungan yang positif serta menciptakan konsistensi antara tujuan

organisasi dengan harapan masyarakat.

Jefkins dalam bukunya Public Relations (2003:20) menyebutkan beberapa jenis citra (image). Berikut

ini lima jenis citra yang dikemukakan, yakni:

1. Citra bayangan (mirror image). Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi

biasanya adalah pemimpinnya, mengenai anggapan pihak luar tentang organisasinya. 2. Citra yang berlaku

(current image). Suatu citra atau pandangan yang dianut oleh pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi.

3. Citra yang diharapkan (wish image). Suatu citra yang diinginkan oleh pihak manajemen.

4. Citra perusahaan (corporate image). Citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan

sekedar citra antara produk dan pelayanannya.

5. Citra majemuk (multiple image). Banyaknya jumlah pegawai (individu), cabang, atau perwakilan

dari sebuah perusahaan atau organisasi dapat memunculkan suatu citra yang belum tentu sama dengan

citra organisasi atau perusahaan tersebut secara keseluruhan. Public relations merupakan bagian dari proses

perubahan dan pemecahan masalah di dalam organisasi yang dilakukan secara ilmiah.

Langkah proses Public Relation(Wheel Spiining Public Relations Model)

1. Defining the Problem (Fact Finding) atau Pengumpulan Fakta Tahap pertama ini mencakup

penyelidikan dan memantau pengetahuan, opini, sikap dan perilaku pihak-pihak yang terkait dengan dan

dipengaruhi oleh tindakan dan kebijaksanaan organisasi. pada dasarnya ini adalah fungsi inteligen

organisasi.

2. Planning and Programming Informasi yang dikumpulkan dalam langkah pertama digunakan

untuk membuat keputusan tentang program publik, strategi tujuan, tindakan dan komunikasi, taktik, dan

sasaran. Tahap ini akan mempertimbangkan temuan dari langkah dalam membuat kebijakan dan program

organisasi. Tahap kedua ini akan menjawab pertanyaan “

215PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

3. Taking Action and Communicating Tahap ketiga adalah mengimplementasikan program aksi

dan komunikasi yang di desain untuk mencapai tujuan spesifik untuk masingmasing publik dalam rangka

mencapai tujuan program. Pertanyaan dalam tahap ini adalah “Siapa yang harus melakukan dan

menyampaikannya, dan kapan, dimana, dan bagaimana caranya?”.

4. Evaluating the Program Tahap terakhir dalam proses ini adalah melakukan penilaian atas

persiapan, implementasi, dan hasil dari program. Penyesuaian akan dilakukan sembari program

diimplementasi 12 dilanjutkan atau dihentikan setelah menjawab pertanyaan “Bagaimana keadaan kita

sekarang atau seberapa baik tahap yang telah kita lakukan?”

harus tampak di laporan tahunan, brosur dan catalog, peralatan kantor perusahaan, serta kartu

nama. 3. Suasana : ruang fisik yang ditempati organisasi merupakan pencipta citra yang kuat lainnya. 4.

Peristiwa : suatu perusahaan dapat membangun suatu identitas melalui jenis kegiatan yang disponsorinya.

35 Citra yang baik dari suatu organisasi merupakan aset yang sangat penting karena citra mempunyai

suatu dampak persepsi publik dan operasi organisasi dalam berbagai hal. Setiap perusahaan harus

mempunyai citra di masyarakat, dan citra itu sendiri dapat berperingkat baik, sedang, atau buruk. Citra

buruk melahirkan dampak yang negativ bagi operasi bisnis perusahaan dan juga melemahkan kemampuan

perusahaan untuk bersaing.

Reputasi perusahaan

Unsur terpenting dalam dunia bisnis. Sebab baik buruk dalam reputasi perusahaan merupakan

indikator penting dari keberhasilan perusahaan tersebut. Reputasi perusahaan memang suatu yang

kompleks, namun jika dikelola dengan baik akan sangat berharga. Beberapa isu penting dalam manajemen

reputasi dan pandangan masyarakat tentang reputasi. Menurut Afdhal, dalam jurnal Roy Marthin Tarigan

reputasi perusahaan adalah asset yang tidak nyata (intangible asset). Keadaan reputasi akan tergantung

kepada apa yang dilakukan perusahaan sebagai entitas. Lebih jauh dari itu, akan tergantung kepada

komunikasi dan tandatanda yang dipilih untuk diberikan kepada pasar. Simbol dari reputasi, nama

perusahaan, jika dikelola dengan baik, akan mempresentasikan perusahaan agar didukung oleh masyarakat.

Bahkan akan sangat bernilai bagi konsumen

Tujuan Public Relations

Tujuan utama kegiatan public relations adalah membangun kredibilitas dan membangkitkan

motivasi bagi stakeholders perusahaan guna meminimalkan biaya pengeluaran proses transfer komunikasi.

Tujuan kegiatan public relations dapan dikelompokkan sebagai berikut : a. Performance Objective : PR

merupakan kegiatan komunikasi untuk mempresentasikan citra perusahaan kepada publiknya

(stakeholders), melaksanakan serangkaian kegiatan untuk membentuk dan memperkaya identitas dan

citra perusahaan di mata stakeholders. b. Support of Consumer Market Objective : Kegiatan PR dapat

digunakan untuk mengidentifikasi permasalahn yang timbul sehubungan dengan kegiatan komunikasi

yang dilaksanakan oleh perusahaan dengan menitikberatkan pembahasan pada identifikasi tingkat

kesadaran konsumen, sikap dan persepsi konsumen terhadap produk tayangan ditawarkan perusahaan.

Hasil identifikasi tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan perusahaan untu

menerapkan strategi pendekatan yang sesuai.

Dari sekian banyak tugas yang diemban oleh seorang public relations, tujuan yang ingin dicapai

dalam bidang public relations, yaitu komunikasi internal dan komunikasi eksternal. Komunikasi internal

: Memberikan informasi sebanyak dan sejelas mungkin mengenai institusi. Menciptakan kesadaran anggota

mengenai peran institusi dalam masyarakat. Menyediakan sarana untuk memperoleh umpan balik dari

anggotanya. b. Komunikasi eksternal : Informasi yang benar dan wajar mengenai institusi. Kesadaran

mengenai peran institusi dalam tata kehidupan umumnya. Motivasi untuk menyampaikan citra baik.

3.Metedologi Penelitian

Metode yang dilakukan adalah kualitatif yaitu evaluasi terhadap program Public Relation pada sub

bagian humas baik internal maupun ekternal, Untuk mengevaluasi program internal Public Relation di gunakan

model The Planning Research and Evaluation Process (Pre Process) yang mencakup 5 tahap yakni audit, settling

objectives, strategy and plan, ongoing measurement, results and evaluation. Kelima tahap tersebut akan melihat

216 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

apa saja yang menjadi penentu dan bagaimana cara menyusun program, bagaimana pelaksanaanya dan

evaluasi seperti apa yang telah dilakukan. Penelitian ini merupakan kualitatif dengan penelitian kualitatif

dengan menggunakan metode studi kasus. Tipe penelitian adalah penelitian evaluative, teknik pengumpulan

data melalui wawancara mendalam, pengumpulan dokumen dan observasi. Temuan dari penelitian ini

adalah ada empat program internal Public Relation yang berhasil diidentifikasi, yakni bulletin internal,

sosialisasi, papan pengumuman dan kliping. Dari keempat program tersebut yang menjalani audit melalui

riset sederhana adalan bulletin dan papan pengumuman. Semua program direncanakan melalui penyusun

keranga acuan kerja.

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi

objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai kunci, teknik

pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil

penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari apada generalisai. (Sugiyono, 2007).

4. Hasil Penelitian/ Analisis

Lokasi Penelitian

Aston Imperium Purwokerto amerupakan satu-satunya hotel bintang 4 di Purwokerto, terletak

di tengah kota Purwokerto antara Jalan Overste Isdiman No.33 Purwokerto dan Jalan Dr Suharso,

dengan kantor pemerintah, rumah sakit, Universitas Jenderal Sudirman yang terkenal dan Wijaya

Kusuma Golf Course yang menjadikan lokasi ini ideal bagi para pebisnis dan delegasi konferensi.

Aston Imperium Purwokerto merupakan Hotel yang terbaik by Tripadvisor dengan berada di tengah

kota Purwokerto, Jawa Tengah ini menjadi lokasi penelitian dalam Jurnal yang berjudul Evaluasi

Program Public Relation yang ada di Aston Imperium Purwokerto dalan reputasi Perusahaan.

Tahap Evaluasi dalam Program Public Relation

Di Aston Imperium Purwokerto memiliki tahap evaluasi di program Public Relation.

Dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan yang ada dalam lingkungan, seorang praktisi PR

harus memiliki tahap-tahap dalam melakukan kegiatannya. Menurut Cutlip dan Center, ada empat proses

public relations. Proses tersebut bersifat dinamis, sehingga setiap unsur yang ada pun berkesinambungan.

Keempat proses tersebut adalah:

1. Research (penelitian)

Seorang praktisi PR harus mengenal gejala dan penyebab permasalahan. Oleh sebab itu, praktisi PR

perlu melibatkan dirinya dalam penelitian dalam pe-ngumpulan fakta. Ia perlu memantau dan membaca

tentang pengertian, opini, sikap, dan perilaku orang-orang yang berkepentingan dan terpengaruhi oleh

tindakan perusahaan. “What’s happening now?” merupakan kata-kata yang menjelaskan tahap ini. Seorang

praktisi PR harus jeli dalam melihat data dan fakta yang erat sangkut pautnya dengan pekerjaan yang

akan digarap. Segala keterangan harus diperoleh selengkap mungkin. Dalam tahap mendefinisikan

penilitian, seorang praktisi PR harus meng-olah data faktual yang telah ada, mengadakan perbandingan,

melakukan pertimbangan, dan menghasilkan penilaian, sehingga dapat diperoleh kesimpulan dan ketelitian

dari data faktual yang telah didapat. Proses PR tidak sesederhana pengumpulan data dan fakta, namun

juga harus mengedepankan pengolahan, penelitian, pengklasifikasian, dan penyusun-an data sedemikian

rupa sehingga memudahkan pemecahan masalah nantinya. Penelitian dalam pencarian data ini dapat

dilakukan dengan cara-cara: survei dan poling, wawancara, focus group discussion, wawancara mendalam,

dan walking around research.

2. Planning (perencanaan)

Setelah tahap penelitian dan pencarian data, praktisi PR melanjutkan ke tahap perencanaan. Dalam

tahap ini, praktisi PR melakukan penyusunan masalah. Ia melakukan pemikiran untuk mengatasi masalah

dan menentukan orang-orang yang akan menggarap masalah nantinya. Perencanaan ini tidak boleh

diabaikan, namun harus dipikirkan secara matang karena turut menentukan suksesnya pekerjaan PR secara

keseluruhan. Perencanaan disusun atas data dan fakta yang telah diperoleh, bukan berdasarkan keinginan

PR. Berdasarkan pada rumusan masalah, dibuat strategi perencanaan dan pengambilan keputusan untuk

217PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

membuat program kerja berdasarkan kebijakan lembaga yang juga disesuaikan dengan kepentingan publik.

Kata kunci dari tahap ini adalah, “What should we do and why?”

3. Action and Communication (aksi dan komunikasi)

Komunikasi sering kali dilakukan berdasarkan asumsi pribadi oleh seorang praktisi PR. Akibatnya,

tindakan tersebut terkadang membawa hasil yang buruk dan tidak disarankan karena akan berisiko pada

citra perusahaan. Tahap ini dilewati untuk mendapatkan jawaban pertanyaan, “How do we do it and say it”.

Tujuan dan objektivitas yang spesifik harus dikaitkan untuk mencapai aksi dan komunikasi yang akan

dilakukan oleh praktisi PR. Ia harus mampu mengkomunikasikan pelak pelaksanaan program sehingga

dapat mempengaruhi sikap publiknya yang kemudian mendorong mereka untuk mendukung pelaksanaan

program tersebut. Selain itu, ia juga harus melakukan aksi dan melakukan kegiatan PR sebaik-baiknya.

Kegiatan aksi ini merupakan kegiatan komunikasi, selayaknya komunikasi kelompok, komunikasi massa,

dan komunikasi organisasional.

4. Evaluation (evaluasi)

Cara untuk mengetahui apakah prosesnya sudah selesai atau belum adalah dengan mengadakan

evaluasi atas langkah-langkah yang telah diambil. Tujuan utama dari evaluasi adalah untuk mengukur

keefektifitasan proses secara keseluruhan. Pada tahap ini, ia pun dituntut untuk teliti dan seksama demi

keakuratan data dan fakta yang telah ada. Akan tetapi, perlu diingat bahwa nama tengah seorang praktisi

PR adalah ‘krisis’. Oleh karena itu, setelah selesai satu permasalahan, tidak menutup kemungkinan untuk

mendapatkan masalah baru lagi. Dengan demikian, tahap ini juga sebagai acuan perencanaan di masa

mendatang. Singkat kata, “How did we do?” menjadi acuan dalam tahap ini.

Reputasi Perusahaan Aston Imperium Purwokerto

Salah satu metode penilaian reputasi suatu organisasi (perusahaan) adalah Harris-Fombrun

Reputation Quetiont, yang didalamnya terdapat elemen dan atribut reputasi korporat, yaitu

1. Emotional Appeal

Good felling about the company, memiliki perasaan yang baik, senang atau cinta terhadap

perusahaan, Admire and respect the company, perasaan kagum dan menghargai perusahaan, Trust the

company, memiliki perasaan percaya kepada perusahaan.

2. Product and Service a. Stands behind products/services, beranggapan bahwa produk ataupun

jasa yang dihasilkan sesuai dengan core bisnisnya, sesuai dengan identitas perusahaannya Offer product/

service that are good value, yaitu beranggapan perusahaan menghasilkan produk ataupun jasa yang

menghasilkan nilai jual.

3. Vision and Leadership a. Has excellent leadership, beranggapan bahwa perusahaan berjalan

dibawah kepemimpinan yang handal. b. Has a clear vission for the future, beranggapan bahwa perusahaan

memiliki visi yang jelas untuk menghadapi tantangan kedepan. c. Recognize/takes advantage of market

opportunities, beranggapan bahwa perusahaan mahir dalam mencari dan memanfaatkan peluang yang

ada.

4. Workplace Environtment a. Ia well managed, beranggapan bahwa perusahaan dikelola dengan

baik. b. Looks like a good company to work for, perusahaan terlihat sebagai tempat yang baik untuk bekerja.

c. Looks like has a good employees, terlihat sebagai perusahaan yang memilik pegawai profesional.

5. Financial Performance a. Record of profitability, beranggapan bahwa catatan kinerja keuangan

perusahaan selama ini menunjukan profitabilitas. b. Look like a low risk invesment, dari kinerja keuangan

perusahaan, membuat perusahaan terlihat sebagai tempat berinvestasi yang rendah resiko. c. Strong prospect

for future growth, dari kinerja keuangan perusahaan, membuat perusahaan terlihat sebagai perusahaan

yang memiliki prospek yang kuat pada perkembangan di masa depan. d. Tends to out performs its

competitors, dari kinerja keuangan perusahaan terlihat bahwa perusahaan cenderung lebih unggul

dibandingkan dengan pesaingnya.

5. Kesimpulan

218 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Aston Imperium Purwokerto melaukan beberap tahap dalam Kegiatan Public Relation, akan tetapi

dalam beberapa hal tersebut ada yang misinformasi dengan beberapa pihak dan untuk reputasi sendiri

Aston ImperiumPurwokerto, dalam pelayanan masih memiliki reputasi yang baik

6. Daftar Pustaka

Elvinaro. (2004). Public Relations. Bandung : Remaja Rosdakarya. Crabtree, Jayne Elizabeth. “Public Relations:The Importance of Community Relationships between Small-businesses and the Community.” California PolytechnicState University.

June 2011: 1-53. Cutlip, S., Center, A. H., & Broom, G. M. 2006. Effective Public Relations (9th ed). New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Greogory, A. 2002. Public Relations dalam Praktik Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga. Hartati, Ninik S.Pd.

Jefkins, frank. 1992. Public Relation. Jakarta. Penerbit Erlangga.

Kusumastuti, Frida. 2002. Dasar-Dasar HUMAS. Jakarta. Penerbit Ghalia Indonesia

219PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Latar Belakang

Humas merupakan salah satu aspek penting dalam keberlanjutan operasional suatu perusahaan.

Terutama bagi perusahaan-perusahaan besar dengan skala nasional, humas merupakan ‘wajah’ dari

perusahaan yang harus mampu memberikan citra positif terhadap masyarakat. Apalagi jika dikaitkan

dengan bisnis yang dijalankan, tentunya bisnis dituntut untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan

tempatnya berada (Manurung dan Mandalia, 2015: 231). Dalam hal ini, aktivitas kehumasan dapat diukur

melalui muncul atau tidaknya opini di masyarakat (Herimanto, 2007: 130). Artinya, humas dapat

menentukan kesuksesan fungsinya dengan melihat adanya opini publik di masyarakat.

Ketika bicara masalah bisnis, salah satu bisnsi yang terus berkembang tampak pada dunia perbankan.

Dikutip dari metrotvnews.com (diakses pada 25 April 2018) di tahun 2017 saja perbankan tumbuh pesat

dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini terjadi berkat adanya paket kebijakan baru

serta kebijakan tax amnesty. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan dalam dunia perbankan semakin

pesat setiap tahunnya, terutama pada aspek kredit. Tidak hanya berinovasi melalui produk dan layanannya,

bank-bank di Indonesia menghadapi ketatnya persaingan untuk memenangkan hati nasabah. Layanan

dan program khusus untuk nasabah digencarkan, mulai dari promo gratis biaya administrasi bagi nasabah

dengan transaksi internet banking terbanyak sampai dengan program undian bagi nasabah setia. Hal-hal

tersebut dilakukan tidak hanya di satu instansi bank saja, melainkan banyak dipraktikkan di berbagai

bank yang ada di Indonesia.

Praktik pemberian hadiah, program CSR dan beberapa kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh

bank-bank di Indonesia dapat dipahami sebagai bentuk aktivitas kehumasan. Dalam hal ini, dapat dilihat

bahwa humas memiliki peran penting yang berguna dalam perputaran sistem dan manajemen di suatu

organisasi (Anggoro, 2008: 29). Tidak hanya itu, humas juga memiliki tiga peran penting yaitu sebagai

pemberi penjelasan, fasilitator komunikasi dan fasilitator pemecahan masalah (Lattimore dalam Herlina,

2015: 494). Aktivitas yang dilakukan humas pada sebuah perusahaan juga dilakukan untuk mengelola

reputasi perusahaan di mata masyarakat.

Kurnia, dkk (2013: 2) menyatakan bahwa reputasi merupakan aset yang krusial dimiliki oleh

perusahaan. Reputasi juga menunjukkan keberadaan serta kualitas perusahaan. Dengan demikian, reputasi

yang dimiliki oleh sebuah bank dapat dipahami sebagai hal yang dapat menunjukkan keberadaan bank

PENERAPAN MANAJEMEN STRATEGIK PADA AKTIVITAS KEHUMASAN PANIN

BANK KC PURWOKERTO

Denisa Ramadhanti

Mahasiswa Prodi Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal

Soedirman

ABSTRAK:Dalam sebuah organisasi, humas merupakan salah satu divisi yang memegang peranan penting dalam

aspek operasional. Hal ini juga tampak pada operasional Panin Bank KC Purwokerto. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan manajemen strategik yang dilakukan pada aktivitas

kehumasan Panin Bank KC Purwokerto. Teori Excellence digunakan untuk menganalisa data yang

ditemukan di lapangan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dengan adanya

pengamatan dari lapangan. Hal yang diamati meliputi penerapan SOP pada operasional bank dan

program pemeliharaan hubungan dengan nasabah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa

departemen kehumasan Panin Bank KC Purwokerto telah menjalankan mayoritas prinsip standar

Teori Excellence, namun departemen humas belum bisa berdiri sendiri atau menjadi departemen

independen karena adanya keterbatasan sumber daya.

Kata kunci: management strategik, public relation, perbankan

220 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

serta kualitas yang dimiliki oleh bank tersebut. Dalam hal ini, reputasi yang dimiliki perusahaan tidak

harus selalu baik, namun bisa saja sebuah perusahaan memiliki reputasi yang buruk. Namun, sebuah

perusahaan bisa menerapkan usaha untuk membangun reputasi yang baik terhadap bank tersebut.

Salah satu bank berskala nasional yang ada di Kota Purwokerto adalah Panin Bank. Bank yang satu

ini terletak di Jalan Jenderal Soedirman Nomor 61A Purwokerto. Panin Bank memberikan layanan dengan

banyak pilihan bagi nasabah, mulai dari tabungan, depisto, giro dan pinjaman yang ditujukan baik kepada

perorangan maupun korporasi dan sindikasi. Sebagai bank berskala nasional, Panin Bank tentu menghadapi

tantangan untuk menarik dan memperoleh lebih banyak nasabah. Tidak hanya dengan menawarkan produk

perbankan, namun juga dengan menerapkan manajemen startegis yang dapat membangun reputasi

perusahaan.

Sejauh ini, Panin Bank KC Purwokerto sudah menjalankan beberapa program kehumasan walaupun

belum dilakukan secara optimal. Beberapa kegiatan seperti penjualan sembako murah, CSR dan adanya

program Panin Superbonanza. Panin Bank juga menyediakan sebuah platform untuk nasabah yang ingin

mengakses informasi terkait Panin Bank serta program-programnya melalui situs www.panin.co.id. Pihak

manajemen memberikan informasi lengkap mengenai produk, pemberitaan serta beberapa hal terkait

dengan organisasi.

Sementara itu, reputasi Panin Bank dapat dilihat dari beberapa prestasi yang diperoleh. Dilansir

dari www.panin.co.id pada 25 April 2018, prestasi Panin Bank tampak mentereng dengan banyaknya

penghargaan yang diperoleh. Pada 2014, Panin Bank memperoleh penghargaan dari Cards & Electronic

Payments Internaional Asia Trailblazer Awards 2014 sebagai Best Technology Initiative Highly Commended. Pada

tahun yang sama bank ini juga memperoleh penghargaan dari InfoBank Awards atas kinerja keuangan

yang ‘Sangat Bagus’ pada periode 2009-2013. Capaian-capaian Panin Bank tersebut menunjukkan bahwa

bank ini memiliki tempat yang prestisius di masyarakat dan dunia perbankan.

Jika dikaitkan dengan dunia perbankan, reputasi merupakan hal yang penting yang bisa memberikan

pertimbangan bagi calon nasabah dalam mengambil keputusan memilih tempatnya menabung atau

berinvestasi. Reputasi memang merupakan aset yang tidak berwujud, namun reputasi bisa dipahami sebagai

indikator kinerja yang telah dilaksanakan di masa lalu (Nova, 2011: 309). Dalam hal ini, guna membangun

reputasi yang baik di mata masyarakat, sebuah perusahaan wajib menerapkan manajemen kehumasan

yang sesuai. Keberhasilan humas pada sebuah organisasi dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh

manajemennya. Dengan kata lain, humas terikat dengan pihak manajemen dalam menentukan sikap. Untuk

melancarkan praktik manajemen kehumasan yang sesuai, diperlukan strategi komunikasi yang dapat

dipahami sebagai perencanaan manajemen untuk mencapai tujuan tertenu (Effendy 2009: 32).

Dalam kasus Panin Bank KC Purwokerto, penulis ingin mengetahui bagaimana manajemen strategi

yang diterapkan untuk membangun reputasi perusahaan di mata masyarakat. Sebagai sebuah bank berskala

nasional, tentunya Panin Bank memiliki strategi tertentu dalam rangka membangun reputasi yang positif.

Oleh karenanya, penulis ingin mengulas penerapan manajemen srategi pada aktivitas kehumasna yang

dilakukan oleh Panin Bank KC Purwokerto.

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini berbunyi “Bagaimanakah

penerapan manajemen strategik pada aktivitas kehumasan Panin Bank KC Purwokerto?”.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Satori (2011: 23) menyatakan bahwa

penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang dilakukan untuk mengungkap dan mengeksplorasi

fenomena sosial dengan cara mendeskripsikan subjeknya. Metode ini dapat menggambarkan, menjelaskan

dan membangun hubungan dari kategori-kategori dan data yang ditemukan. Hal ini sesuai dengan tujuan

dari studi etnografi komunikasi untuk menggambarkan, menganalisis dan menjelaskan perilaku komunikasi

dari suatu kelompok sosial (Kuswarno, 2008: 86). Dengan metode kualitatif ini, peneliti tidak hanya

mengungkap namun juga melihat lebih jauh mengenai fenomena yang ada di masyarakat.

Informan penelitian dipilih dengan teknik purposive sampling, yaitu dengan memilih informan

berdasarkan tujuan tertentu. Seperti yang diungkapkan Sugiyono (2009: 246), purposive sampling

didefinisikan sebagai teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan

ini termasuk orang-orang yang mengetahui dan memahami informasi yang diperlukan dalam sebuah

221PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

penelitian berdasarkan permasalahan yang tengah diteliti. Oleh karenanya, informan penelitian ini adalah

karyawan Panin Bank KC Purwokerto yang berhubungan dengan konsumen, yaitu frontliner dan marketing.

Data penelitian dikumpulkan dengan metode pengamatan lapangan.

Hasil Penelitian

Dari penelitian yang telah dilaksanakan, terdapat beberapa temuan yang diperoleh dari kondisi

lapangan. Pengamatan dilakukan dengan melihat beberapa aspek yang ada pada operasional Panin Bank

KC Purwokerto. Dalam hal ini, hasil penelitian dibadi menjadi dua aspek. Aspek yang pertama yaitu pada

aspek operasional berdasarkan SOP yang dilakukan di bank, yang dilakukan oleh karyawan operasional.

Sementara itu, aspek kedua adalah aspek yang berhubungan dengan nasabah di luar pelayanan langsung

di bank yang dapat berupa program-program yang diperuntukkan bagi nasabah setia. Berikut ini kedua

jenis pelayanan yang dilaksanakan di Panin Bank KC Purwokerto.

1. Aspek Pelayanan Operasional

Pada aspek ini, pelayanan difokuskan pada pemberian layanan yang terjadi di bank secara langsung,

yaitu ketika nasabah mendatangi kantor bank. Panin Bank KC Purwokerto memiliki beberapa panduan

khusus yang mengatur tentang pelayanan yang diberikan oleh karyawan, terutama pihak front liner kepada

nasabah. Adapun standar interaksi pelayanan untuk nasabah antara lain adalah sebagai berikut:

a.Greeting/sambutan

Karyawan Panin Bank KC Purwokerto diwajibkan untuk memberikan sambutan bagi nasabah yang

datang ke kantor layanan. Ucapan selamat datang merupakan hal yang wajib diberikan oleh satuan

pengamanan, teller dan customer service. Dalam hal ini, karyawan juga wajib memberikan ucapan terima

kasih kepada nasabah yang meninggalkan kantor layanan. Poin penting dalam pemberian layanan bagi

nasabah di kantor layanan adalah keramahan karyawan.

b.Product Knowledge

Karyawan Panin Bank KC Purwokerto wajib memahami produk yang dimiliki oleh perusahaan.

Tidak hanya itu, layanan perusahaan juga merupakan hal yang wajib dipahami oleh setiap karyawan

Panin Bank KC Purwokerto. Pengetahuan mengenai produk dan layanan perusahaan ini dapat sangat

membantu karyawan untuk memberikan informasi yang akurat kepada nasabah yang menanyakan atau

ingin mengetahui secara lebih rinci mengenai produk dan layanan yanga da di perusahaan.

2. Relationship Maintenance/Pemeliharaan Hubungan dengan Nasabah

Untuk memastikan bahwa perusahaan tidak kehilangan nasabah dan terus memiliki keuntungan,

maka Panin Bank KC Purwokerto menjalankan program pemeliharaan hubungan dengan nasabah. Dalam

hal ini, pemeliharaan hubungan dilakukan oleh Divisi Marketing. Pelaksanaan program dilakukan dengan

memberikan kesempatan bagi para nasabah untuk berkumpul (gathering) dan memberikan reward untuk

kesetiaan nasabah yang bersangkutan.

Adapun pemilihan nasabah dalam hal ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Nasabah yang

mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan reward adalah beberapa nasabah priroritas. Kriteria nasabah

prioritas dapat dilihat dari frekuensi transaksi serta saldo tabungan yang besar, di atas rata-rata. Para

nasabah prioritas ini akan mendapatkan banyak keuntungan. Adapun keuntungannya adalah kesempatan

untuk mengikuti gathering dan memperoleh bingkisan ulang tahun.

3. Optimalisasi Penggunaan Media Sosial

Dewasa ini, media sosial menjadi salah satu media yang sangat penting digunakan oleh organisasi

untuk berkomunikasi dengan khalayak. Pada kasus Panin Bank KC Purwokerto, media sosial yang

digunakan untuk proses komunikasi dengan khalayak dioperasikan oleh kantor pusat secara langsung.

Dalam hal ini, beberapa akun media sosial Panin Bank dapat dilihat berupa Facebook dan Instagram.Panin

Bank memberikan beberapa informasi terkait produk, layanan dan promo melalui akun media sosialnya.

Tidak hanya itu, admin akun media sosial juga digunakan untuk berkomunikasi dengan nasabah. Dengan

begitu, nasabah bisa lebih leluasa dalam menjalin hubungan dan berinteraksi dengan pihak Panin Bank.

Pembahasan

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa Panin Bank KC Purwokerto telah menjalankan beberapa

aspek yang sangat vital terkait dengan operasional layanan yang diberikan kepada nasabahnya. Dalam

222 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

hal ini, perusahaan telah menjalankan beberapa hal yang tentunya bisa merengkuh lebih banyak nasabah.

Hal ini selaras dengan anggapan bahwa hubungan masyarakat adalah komunikasi. Bagaimana pun,

komunikasi merupakan salah satu unsur dasar hubungan masyarakat yang mana merupakan sebuah proses

komunikasi dua arah (Moore, 1988: 12). Hal ini tercermin dari penerapan SOP pelayanan bagi nasabah di

kantor layanan. Penerapan standar keramahan merupakan hal yang sangat penting, di mana pihak

perusahaan dan nasabah akan menjalankan komunikasi dua arah. Sebagai contoh, nasabah bisa menerima

penjelasan mengenai produk dan layanan Panin Bank KC Purwokerto dan mendapatkan pelayanan yang

ramah.

Di samping adanya penerapan komunikasi sebagai salah satu aspek hubungan masyarakat, dalam

hal ini pemeliharaan hubungan juga menjadi salah satu bentuk tindakan humas yang pening. Pemeliharaan

hubungan antara perusahaan dengan nasabah merupakan salah satu bentuk perubahan yang dirancang

untuk mencapai tujuan program serta tujuan dari organisasi itu sendiri. Tidak hanya itu, tindakan tersebut

juga dilakukan untuk menjawab kebutuhan dari nasabah atau konsumen (Morissan, 2008: 188). Dengan

adanya program pemeliharaan hubungan dengan nasabah, maka sebuah perusahaan bisa menjalankan

kegiatan operasionalnya secara lancar. Tidak hanya itu, penerapan ini juga bisa menambah lebih banyak

nasabah dan meningkatkan kesetiaan nasabah terhadap Panin Bank KC Purwokerto.

Apabila dikaitkan dengan Teori Excellence, maka humas yang ada di Panin Bank KC Purwokerto

belum bisa dikatakan sebagai perwujudan dari humas yang sesuai dengan 10 prinsip standar efektivitas

kehumasan. Departemen kehumasan sudah menjalankan mayoritas prinsip yang disebutkan pada Teori

Excellence. Namun, dalam hal ini, ada beberapa poin yang tidak dipenuhi oleh humas Panin Bank KC

Purwokerto. Adapun beberapa hal yang tidak dipenuhi adalah kondisi departemen humas di Panin Bank

KC Purwokerto yang tidak independen. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa fungsi kehumasan dilaksanakan

oleh banyak departemen secara terpisah. Sebagai contohnya adalah yang dilakukan oleh front office yang

menjalin hubungan dengan nasabah.

Selain itu, pada poin hubungan dengan publik, fungsi kehumasan dilaksanakan oleh pihak marketing.

Pengadaan acara seperti media gathering serta gathering nasabah prioritas justru dilakukan oleh pihak

marketing. Padahal, pelaksanaan pemeliharaan hubungan tersebut merupakan tugas dari departemen

kehumasan. Hal inilah yang menunjukkan bahwa departemen humas di Panin Bank KC Purwokerto belum

bisa memenuhi 10 prinsip standar eektivitas kehumasan. Tidak hanya itu, hal ini juga menunjukkan bahwa

penerapan Teori Excellence yang notabene terlahir di Amerika Serikat belum bisa diterapkan secara optimal

di organisasi yang berasal dari negara yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda. Beberapa

alasan yang mendasari ketidakcocokan teori ini diterapkan di Indonesia adalah keterbatasan sumber daya

yang dimiliki oleh organisasi atau perusahaan.

Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan. Adapun kesimpulan

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Panin Bank KC Purwokerto telah menerapkan SOP pelayanan yang sangat baik kepada nasabah.

Dalam hal ini, nasabah bisa memperoleh layanan yang ramah sesuai dengan standar serta memperoleh

informasi mengenai produk dan layanan bank secara lengkap dan akurat berkat product knowledge yang

dimiliki oleh karyawan.

2. Panin Bank KC Purwokerto sudah memenuhi mayoritas prinsip standar efektivitas keumasan

yang ada pada Teori Excellence sebagai sebuah departemen yang fungsional di sebuah organisasi. Namun,

departemen humas belum bisa berdiri secara mandiri karena ada beberapa aspek yang masih dikerjakan

oleh departemen lainnya seperti pengadaan acara media gathering yang masih dikelola oleh pihak

marketing. Hal ini juga menunjukkan bahwa Teori Excellence yang berasal dari Amerika Serikat belum

bisa diaplikasikan secara optimal di negara lain yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda.

223PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, M. Linggar. 2008. Teori dan Profesi Kehumasan: Serta Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT. BumiAksara.

Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Herlina, Sisilia. 2015. “Strategi Komunikasi Humas dalam Membentuk Citra Pemerintahan di Kota Malang”.Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 4 No. 3 2015.

Herimanto, Bambang. 2007. Public Relations dalam Organisasi. Yogyakarta: Santusa.

Kurnia, Indhira Hari, dkk. 2013. “Strategi Humas dalam Meningkatkan Reputasi Sekolah (Studi Kasus diSMA Negeri 1 Surakarta)”. Jupe UNS Vol. I, No. 2 April 2013.

Manurung, Habri Fernando dan Sekar Arum Mandalia. 2015. “Strategi Manajemen Public Relations dalamMenciptakan Citra Positif (Studi Kasus tentang Kegagalan Menjual Ponsel IMO pada PT. INTI Bandung”.E-Proceeding of Management: Vol. 2, No. 2 Agustus 2015.

Moore, H. Frazier. 1988. Hubungan Masyarakat Prinsip, Kasus dan Masalah. Bandung: Rosdakarya.

Morissan. 2008. Manajemen Public Relations Strategi Menjadi Humas Profesional. Jakarta: Kencana.

Nova, Firsan. 2011. Crisis Public Relations. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Internet

www.metrotvnews.com, diakses pada 25 April 2018 pada 18.47.

www.panin.co.id/pages/97/prestasi-dan-reputasi, diakses pada 25 April 2018 pada 16.27.

224 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

225PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

PENGAWASAN SUMBER DAYA PERIKANAN SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN

ILLEGAL FISHING DI PERAIRAN KABUPATEN ACEH BARAT

Nodi Marefanda

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Teuku Umar Aceh

Email: [email protected]

ABSTRAK:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengawasan sumber daya perikanan yang

dilakukan dalam upaya pemberantasan illegal fishing di perairan Kabupaten Aceh Barat. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengambilan data yaitu

observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan

indikator Pertama, setting standar Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat hanya menetapkan standar

berupa melakukan kegiatan pengawasan dengan patroli rutin pada setiap tahunnya dengan berkerja

sama dengan instansi terkait lainnya, Establishing Strategic Control Point. Kedua, instansi-instansi terkait

yang bertugas melakukan pengawasan di perairan Kabupaten Aceh Barat tidak menentukan titik-titik

lokasi strategis yang dapat mempermudah proses pelaksanaan pengawasan, melainkan pengawasan

dilakukan pada seluruh perairan Kabupaten Aceh Barat. Ketiga, Checking Performance, indikator yang

digunakan adalah sumber daya manusia (SDM) serta sarana dan prasarana, dan terlihat tidak ada

tenaga pengawas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Aceh Barat yang terlatih dalam

memberantas illegal fishing serta sarana dan prasarana selama ini yang masih jauh dari standar

keberhasilan seperti armada kapal yang tidak memungkinkan untuk melakukan patroli dengan segera

dalam waktu yang bersamaan, serta kelengkapan telekomunikasi antar kapal untuk menunjang informasi

yang akurat dan cepat. Keempat, Correcting Deviation melalui upaya preventif serta melakukan upaya

represif.

Kata Kunci: Aceh Barat, Illegal fishing, Pengawasan.

1. LATAR BELAKANG

Illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing adalah penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan

dan belum di regulasi. IUU fishing melemahkan pengelolaan sumber daya perikanan, sehingga negara

wajib mendukung pemberantasannya. Tanpa pengawasan dan pengendalian di lapangan, praktik illegal

fishing akan semakin liar dan buas. Berhasilnya pengawasan sangat bergantung pada dua hal utama, yaitu

peralatan pengawasan dan manusia pengawas. Kedua hal inilah yang membentuk suatu sistem pengawasan

perikanan (Nikijuluw, 2008). Sarana dan prasarana merupakan unsur yang penting dalam melakukan

kegiatan pengawasan, namun sumber daya manusia juga tidak kalah penting dalam menunjang keberhasilan

pengawasan. Peralatan yang canggih tidak akan berarti tanpa adanya sumber daya manusia yang kompeten,

komitmen dan memiliki kemampuan untuk melakukan pengawasan secara benar dan sesuai dengan aturan.

Tugas pengawasan sumber daya perikanan dan kelautan, diatur dalam Undang-Undang No. 45 Tahun

2009 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004. Pengawasan dilakukan agar sumber

daya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal demi kepentingan perekonomian serta dapat memberantas

perompak ikan di lautan.

Salah satu kabupaten yang menjadi sasaran praktik kegiatan illegal fishing adalah Kabupaten Aceh

Barat, dimana Aceh Barat berada di perairan Samudera Hindia yang menyimpan banyak potensi sumber

daya laut dan perikanan yang begitu besar. Praktik illegal fishing jelas meresahkan masyarakat, khususnya

nelayan lokal. Aksi pencurian ikan oleh nelayan asing yang menggunakan kapal besar dengan fasilitas

modern telah berdampak merugikan keberadaan nelayan lokal karena digunakannya alat tangkap jaring

jenis trawl yang berpengaruh pada berkurangnya hasil tangkapan nelayan lokal. Hal ini dibuktikan dengan

adanya salah satu kasus yang sempat di sorot oleh media online (2014) yang mengatakan bahwa empat

kapal ikan Thailand dan Burma ditangkap aparat gabungan TNI-Polri di perairan Kabupaten Aceh Barat,

12 mil dari bibir pantai Meulaboh dan mengamankan 60 anak buah kapal serta puluhan ton ikan hasil

226 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

tangkapan serta mengamankan empat kapal motor dengan kapasitas 40 Gross Ton (GT) dengan

menggunakan alat tangkap pukat harimau yang dapat merusak ekosistem laut seperti terumbu karang

serta meresahkan nelayan lokal (Metrotvnews.com).

Praktik illegal fishing tidak hanya dilakukan oleh nelayan asing saja, nelayan luar daerah bahkan

nelayan lokal pun turut andil dalam praktik tersebut. Modus yang sering dilakukan yaitu menggunakan

alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Seperti contoh kasus yang terjadi di perairan

Samatiga dan Arongan Lambalek kabupaten Aceh barat, para nelayan menangkap delapan unit boat karena

menggunakan alat tangkap pukat trawl untuk menangkap ikan di wilayah perairan Samatiga dan Arongan

Lambalek. Sebagaimana yang diungkapkan oleh panglima laot Aceh Barat Amiruddin dalam berita Serambi

Indonesia (2017) mengatakan bahwa

Kegiatan illegal fishing yang umum terjadi di perairan Kabupaten Aceh Barat adalah penangkapan

ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang yaitu trawl. Aksi illegal fishing tersebut di tandai dengan

tertangkapnya kapal perikanan tangkap di perairan Kabupaten Aceh barat yang dapat dilihat pada Tabel

1 berikut.

Tabel 1 Jumlah Kasus Illegal Fishing Tahun 2014-2017

No Tahun Jumlah Kasus Keterangan

1 2014 4 -

2 2015 - Pembinaan

3 2016 - Pembinaan

4 2017 6 -

(Sumber: Satuan Polisi Perairan Aceh Barat 2014-2017; diolah kembali)

Jumlah kasus yang terjadi pada tahun 2014 yaitu 4 kasus illegal fishing. Pada tahun 2015 dan 2016

tidak dilakukan penangkapan terhadap pelaku illegal fishing, melainkan hanya dilakukan pembinaan.

Pembinaan tersebut meliputi peringatan dan pendampingan kepada masyarakat nelayan mengenai

pergantian alat tangkap yang ramah lingkungan serta memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga

kelestarian laut. Meskipun telah di lakukan pembinaan terhadap masyarakat nelayan, pada tahun 2017

kasus illegal fishing kembali mengalami kenaikan menjadi 6 kasus.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Pengawasan

Pengawasan adalah proses mengamati, membandingkan tugas pekerjaan yang dibebankan kepada

aparat pelaksana dengan standar yang telah ditetapkan dalam suatu rencana yang sistematis dengan

tindakan kooperatif serta korektif guna menghindari penyimpangan demi tujuan tertentu (Nurmayani,

2009).

Menurut Darwis, Erni dan Bathara (2009: 125), Langkah-langkah dalam proses pengawasan yaitu:

1. Setting Standar (Menetapkan Standar Pengukuran).

2. Establishing Strategic Control Point (Menentukan Titik-Titik Strategis).

3. Checking Performance (Mengecek Prestasi/Kinerja).

4. Correcting Deviation (Membetulkan Penyimpangan).

Pengertian Illegal Fishing

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 1 tentang perikanan menyebutkan bahwa

penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan

dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,

mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.

227PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Penangkapan ikan secara illegal berarti segala bentuk kegiatan penangkapan ikan yang melanggar Undang-

Undang Nomor 45 Tahun 2009 dan peraturan perundangan lainnya yang masih berlaku.

Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen P2SDKP,

2007) menyatakan bahwa illegal fishing adalah kegiatan perikanan yang melanggar hukum, yaitu kegiatan

penangkapan ikan yang:

1. Dilakukan oleh orang atau kapal asing di suatu perairan yang menjadi yuridiksi suatu negara tanpa izin

dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional.

3. Dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi

pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian atau ketentuan

hukum internasional yang berlaku.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan

pendekatan deskriptif. Penelitian kualitatif adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk membantu

menjelaskan karakteristik objek dan subjek penelitian (Arikunto, 2009)

Teknik Penentuan Informan

Teknik penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan metode Purposive Sampling yaitu teknik

pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2013: 300). Informan yang

dipilih dalam penelitian ini adalah:

a. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan

b. Kasi Pengawasan dan Pengendalian Bidang Perikanan Tangkap

c. Kepala Satuan Polisi Perairan Aceh Barat

d. Kepala Urusan Pembinaan Operasional

e. Komandan Pos Angkatan Laut (DANPOSAL) Meulaboh

f. Panglima Laot Aceh Barat

g. Nelayan

Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi

2. Wawancara

3. Dokumentasi

Teknik Analisis Data dan Uji Keabsahan Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan langkah-langkah seperti

yang dikemukakan oleh Burhan Bungin (2001), yaitu sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data (Data Collection)

2. Reduksi Data (Data Reduction)

3. Display Data

4. Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan (Conclution Drawing and Verification)

4. HASIL PENELITIAN

Pengawasan Sumber Daya Perikanan dalam Upaya Pemberantasan Illegal Fishing di Perairan Kabupaten

Aceh Barat

Setting Standar (Menetapkan Standar Pengukuran)

Pengawasan hanya bisa dilakukan, apabila perencanaannya ada dan jelas. Akan tetapi oleh karena

perencanaan tersebut amat banyak dan rumit sekali, maka tidak memungkinkan untuk pemerintah

mengawasi segalanya, karena itu langkah pertama dalam controlling ini adalah menetapkan standar

pengukuran. Standar ini harus dapat mewakili dari seluruh program yang di rencanakan. Adapun standar

program sasaran yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat, Satuan Polisi Perairan

Aceh Barat dan Pos TNI Angkatan Laut Meulaboh yang mencakup rencana kegiatan dalam pelaksanaan

pengawasan perikanan adalah melakukan pengawasan perikanan di laut, seperti yang di paparkan oleh

228 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Bapak Erfan selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Bidang Perikanan Tangkap di Dinas

Kelautan dan Perikanan Aceh Barat:

“Dalam pengawasan sumber daya perikanan ada dua yaitu pertama, sumber daya laut dan kedua,

sumber daya umum. Patroli pengawasan sumber daya laut sebanyak 6 kali dan untuk pengawasan sumber

daya umum sebanyak 2 kali dalam setahun. Pengawasan perikanan di laut dilakukan dalam bentuk patroli

tim gabungan yang melibatkan Dinas Kelautan dan Perikanan, Satuan Polisi Air Polres Aceh Barat, Pos

TNI AL Meulaboh dan Panglima Laot (Panglima Laut)”. (Wawancara, 7 Maret 2018)

Bapak Ramadi selaku Komandan Pos TNI Angkatan Laut (Danposal) Meulaboh mengemukakan hal yang

serupa, yakni sebagai berikut:

“Melakukan patroli rutin selain diminta bantuan dari DKP untuk patroli gabungan. Mereka

melibatkan kami untuk melakukan patroli laut bersama dengan Polisi Air, biasa mereka mengundang 2-3

personil kami untuk mem back up dan kami pun mengadakan patroli sendiri. Panglima laot ikut dilibatkan,

tetapi panglima laot tidak selalu ikut, yang jelas rutin itu dalam patroli gabungan yaitu Angkatan Laut,

Polair dan DKP. Tapi Polair bisa bertindak sendiri, kami pun Angkatan Laut patroli sendiri. Untuk patroli

rutin tiap bulan tetapi tidak terbatas sama patroli itu, setiap ada informasi bergerak, tapi untuk patroli

rutin sendiri ada, tetapi untuk berapa kalinya sesuai dengan informasi kerawanan dari nelayan kita termasuk

gabung dengan tim Search and Rescue (SAR)”. (Wawancara, 7 Maret 2018)

Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak Amiruddin selaku Panglima Laot Aceh Barat yang

mengatakan bahwa:

“Kita selalu informasikan kepada masyarakat nelayan untuk memberi informasi kepada kita dimana

dan siapa saja yang melanggar peraturan-peraturan. Kita selalu memantau, itupun bukan semua

masyarakat, hanya masyarakat yang pro terhadap pelarangan pukat tersebut saja. Informasi-informasi

tersebut kita dapat, nanti dalam beberapa bulan kita coba bekerja sama dengan instansi-instansi terkait

seperti POLAIR, TNI Angkatan Laut dan DKP untuk beroperasi.” (Wawancara, 7 Maret 2018)

Establishing Strategic Control Point (Menentukan Titik-Titik Strategis)

Dalam pengawasan tidak mungkin mengecek seluruh aktivitas dalam pelaksanaan, karena menyita

biaya dan waktu yang cukup besar, yang akhirnya menyebabkan inefficiency. Jika hal itu dilakukan akan

menyebabkan maksud pengawasan organisasi mungkin tidak akan tercapai, karena tidak efisien, bisa jadi

biaya yang diperlukan untuk pengawasan lebih besar dibanding kerugian akibat timbulnya penyimpangan.

Karena itulah perlu adanya titik kunci atau wilayah kerja dalam pengawasan perairan Kabupaten Aceh

Barat seperti daerah terjadinya praktik illegal fishing. Namun dalam pelaksanaan pengawasan perairan,

instansi-instansi terkait tidak memiliki titik strategis seperti pernyataan Bapak Erfan selaku Kepala Seksi

Pengawasan dan Pengendalian Bidang Perikanan Tangkap di Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat

mengatakan bahwa:

“Dalam pengawasan kita tidak melihat titik strategis karena pengawasan ini bukan semata-mata

mengawasi alat tangkap tidak ramah lingkungan tapi kita lebih mengarah kepada Illegal Unreported and

Unregulated Fishing, IUU Fishing ini mencakup masalah perizinan, masalah laporan hasil tangkapan dan

alat tangkapnya. Pengawasan kita terpacu di perairan Aceh Barat, ke laut tidak bisa lebih 4 mil dan ke

perbatasan Nagan Raya dengan Aceh Barat dan Aceh Jaya dengan Aceh Barat”. (Wawancara, 7 Maret

2018)

Bapak Ramadi selaku Komandan Pos TNI Angkatan Laut (DANPOSAL) Meulaboh juga

mengatakan bahwa:

“Pos TNI AL Meulaboh mempunyai wilayah kerja yaitu Aceh Barat, Aceh Jaya dan Nagan Raya,

dengan personil yang terbatas wilayah kerja perairannya tiga kabupaten. Perairan yang masih tertangkap

menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yaitu di Kecamatan Johan Pahlawan, Samatiga

dan Suak Seumaseh. Kalau untuk Meurebo sebagian sudah ramah lingkungan. Karena alat apung terbatas

dengan mayoritas nelayan-nelayan menggunakan kapal dibawah 5 Gross Tone (GT), jadi patroli itu hanya

di batas daerah teritorial di bawah 12 mil tidak sampai zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif, kalau

untuk pengawasan zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif kita menginformasikan ke LANAL yang

di Sabang untuk mengirim kapal angkatan laut (KAL) untuk datang ke sini patroli dari Sabang, karena dia

229PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

mampu kapalnya besar, kalau kita hanya memantau nelayan-nelayan kecil saja”. (Wawancara, 7 Maret

2018)

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Bapak Slamet selaku Kepala Satuan Polisi Perairan Aceh Barat,

ia mengatakan bahwa:

“Polair Aceh Barat melakukan pengawasan sampai Aceh Jaya dan Nagan Raya, jadi memang

titiknya kita di Meulaboh. Informan kita nelayan lokal seandainya ada nelayan yang berupaya melakukan

kegiatan-kegiatan illegal. Jadi pengawasan kita karena personilnya terbatas, dibantu oleh informasi dari

nelayan. Kita tidak setiap saat dilaut, pengawasannya dibantu oleh nelayan lokal”. (Wawancara, 12 Maret

2018)

Hal yang serupa juga disampaikan oleh Bapak Samosir selaku Kepala Urusan Pembinaan

Operasional Satuan Polisi Perairan Aceh Barat:

“Biasanya di perbatasan-perbatasan perairan, yaitu perbatasan Nagan Raya dengan Aceh barat

dan perbatasan Aceh Jaya dengan Aceh Barat. Kalau disini kita tertibkan, biasanya mereka larinya ke

perbatasan. Kewenangan polair air 12 mil, jadi di tempat-tempat itulah mereka itu”. (Wawancara, 12 Maret

2018)

Untuk melihat lebih jelas letak lokasi pelaksanaan pengawasan perairan Kabupaten Aceh Barat

dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

4.3. Checking Performance (Mengecek Prestasi/Kinerja)

Langkah selanjutnya di dalam proses controlling adalah mengukur prestasi kerja yang berdasarkan

standar yang telah ditentukan. Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM), sarana dan prasarana merupakan

standar untuk mengetahui kinerja dan pelaksanaan di dalam pengawasan. Adapun kinerja instansi terkait

dalam kegiatan pengawasan sumber daya perikanan belum maksimal untuk memberantas illegal fishing

karena terbatasnya sumber daya manusia serta sarana dan prasarana. Berikut pernyataan yang

dikemukakan oleh Bapak Erfan selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Bidang Perikanan

Tangkap di Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat:

“DKP tidak ada tenaga pengawas, di sini yang ada hanya kasi pengawasan dan pengendalian jadi

dalam menjalankan pengawasan kita melibatkan staf-staf di bidang perikanan tangkap dan sebagian dari

bidang lain yang dibutuhkan. DKP juga mempunyai satu kapal patroli yaitu Napoleon 08 dengan kecepatan

sekitar 12-13 Knot karena kondisi kapal yang tidak pernah di servis”.

Berbeda hal nya dengan TNI Angkatan Laut yang memiliki tenaga pengawas seperti yang

dipaparkan oleh Bapak Ramadi selaku Komandan Pos TNI Angkatan Laut (DANPOSAL) Meulaboh:

230 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

“Jumlah tenaga pengawas di sini 8 orang, yang turun 4 orang dalam pengawasan perairan. Kapal

patroli kami di sini speed boat 1 unit dan raper boat (perahu karet) 1 unit. Kalau kita di sini speed boat biasa,

kalau mengejar buat memancing aja untuk pengawasan nelayan-nelayan kecil, makanya tidak mampu

kalau kita di sini”.

Satuan Polisi Perairan memiliki petugas patroli seperti yang disampaikan oleh Bapak Samosir

selaku Kepala Urusan Pembinaan Operasional Satuan Polisi Perairan Aceh Barat sebagai berikut:

“Kalau petugas patroli minimal 5 orang dan kita menggunakan speed boat, namanya speed C2 menggunakan

dua mesin masing-masing 150 Pk.”.

Berdasarkan hasil wawancara tentang jumlah personil serta sarana dan prasarana Dinas Kelautan

dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat, Pos TNI AL Meulaboh dan Satuan Polisi Perairan Aceh Barat sebagai

berikut:

Tabel 2 menunjukkan bahwa terbatasnya personil serta sarana dan prasarana dalam kegiatan

pengawasan menyebabkan tidak maksimalnya kinerja dalam memberantas illegal fishing di perairan

Kabupaten Aceh Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat memiliki 14 personil yang hanya

melibatkan staf-staf di bidang perikanan tangkap, yang seharusnya memiliki tenaga pengawas yang terlatih

dalam kegiatan pengawasan serta memiliki minimal 2 unit speed boat. Pos TNI AL Meulaboh juga memiliki

personil yang terbatas dimana hanya memiliki 4 personil dan 1 unit speed boat dalam pelaksanaan

pengawasan. Idealnya, TNI AL harus memiliki 12 personil serta Kapal Angkatan Laut yang berukuran 26

meter dalam melaksanakan kegiatan pengawasan perairan Kabupaten Aceh Barat. Begitu juga dengan

Satuan Polisi Perairan Aceh Barat yang hanya memiliki 5 personil dan 1 unit speed boat, yang seharusnya

berjumlah 34 personil serta memiliki speed boat minimal 2 unit untuk menjangkau perairan Kabupaten

Aceh Barat. Terbatasnya personil serta sarana dan prasarana yang dimiliki, pemberantasan illegal fishing di

perairan Kabupaten Aceh Barat tidak dapat dilakukan karena masih lemahnya sisi pengawasan yang

dilakukan.

Kegiatan illegal fishing di perairan Kabupaten Aceh Barat mengakibatkan kerusakan habitat dan

biota laut yang dapat mengganggu kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan, serta menghancurkan

perekonomian nelayan. Kerugian akibat illegal fishing tidak hanya dirasakan oleh nelayan saja, namun juga

berdampak pada perekonomian daerah. Kerugian yang dialami tentunya berupa rusaknya biota laut dan

pendapatan perikanan. Namun, tidak ada data yang valid terkait dengan kerugian akibat kegiatan illegal

fishing di perairan Kabupaten Aceh Barat.

Selain melibatkan instansi-instansi terkait dalam pelaksanaan pengawasan perikanan, pemerintah juga

membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) yang melibatkan masyarakat nelayan.

Namun POKMASWAS tersebut tidak efektif karena tidak aktif dalam pelaksanaan pengawasan seperti

yang dikemukakan oleh Bapak Erfan selaku selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Bidang

Perikanan Tangkap di Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat:

“Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) ada tapi tidak ada yang aktif, di Aceh Barat ada sekitar 4

Pokmaswas. Tidak aktif mungkin masih kurangnya keihklasan dan kesadaran dari masyarakat kita serta

tidak ada komunikasi antara kedua belah pihak”. (Wawancara, 7 Maret 2018)

4.4. Correcting Deviation (Membetulkan Penyimpangan)

Pembetulan penyimpangan ini merupakan titik-titik akhir dari proses pengawasan. Langkah

pertama yang dilakukan dalam proses pembetulan penyimpangan adalah menemukan penyebab

penyimpangan. Hal ini merupakan hal yang sangat penting karena pengawasan pada hakikatnya adalah

upaya agar aktivitas yang dilakukan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Adapun

pemaparan menurut Bapak Muhammad Ikbal selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat

mengenai membetulkan penyimpangan baik sebelum maupun sesudah penyimpangan terjadi adalah

sebagai berikut:

“Untuk mengurangi dari pada penangkapan-penangkapan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan,

kita kurangi kalau bisa kita hilangkan. Dengan cara kita lakukan sosialisasi dan tindakan, kalau memang

hasil pemeriksaan menyatakan bahwa dia telah melakukan pelanggaran, bisa dilakukan penindakan hukum,

231PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

bisa juga kalau skalalanya masih kecil kita berikan peringatan salah satunya kita ambil alat tangkap yang

tidak ramah lingkungan”. (Wawancara, 8 Maret 2018)

Senada dengan pernyataan di atas, Bapak Erfan selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Bidang

Perikanan Tangkap di Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat mengatakan bahwa:

“Yang pertama kita memberi pemahaman tentang pentingnya menjaga kelestarian sumber daya perikanan,

dan kemudian juga kita meminta mereka untuk membuat surat pernyataan tidak mengulangi lagi”.

(Wawancara, 7 Maret 2018)

Bapak Ramadi selaku Komandan Pos TNI Angkatan Laut (Danposal) Meulaboh mengatakan bahwa:

“Sebenarnya sekarang sebagian masyarakat Aceh Barat sudah taat sama undang-undang, yang taat itu

daerah Meureubo, menangkap ikan nya sudah memakai jaring ramah lingkungan. Sebagian masih ada

yang memakai trawl, sebagian sudah tertib dan sebagian belum itu seperti Kuala Bubon masih memakai

pukat hela termasuk juga Rundeng, itulah kita sarankan beri pembinaan. Aceh Barat ini dibawah jajaran

Lanal Sabang, di sini monitoring atau pengamat saja. Upaya pengendalian illegal fishing itu dengan patroli

perbatasan, sering patroli rutin, pembinaan kepada masyarakat nelayan. Karena masalah nelayan ini

sebenarnya mata-mata kami armada semut untuk mereka menginformasikan kepada kami bagi kapal-

kapal yang disinyalir melanggar, disinyalir tidak dikenal, disinyalir melakukan illegal fishing untuk

menginformasikan ke kami dan kami akan segera melakukan koordinasi dilanjutkan dengan tindakan,

melaksanakan pengejaran, penangkapan dan pemeriksaan”. (Wawancara, 7 Maret 2018)

Hal yang sama juga di paparkan oleh Bapak Amiruddin selaku Panglima Laot Aceh Barat:

“Upayanya sudah banyak kita coba untuk memusnahkan praktik illegal fishing bahkan ada melakukan

penyitaan dan pembakaran alat tangkap, tetapi belum berhasil. Masyarakat nelayan ini banyak yang salah

pemahaman, karena alat tangkap itu tidak mudah rusak makanya susah untuk memusnahkannya. Kami

habis-habisan dari panglima laot dan Dinas terkait, bahkan Polri dan TNI Angkatan Laut sudah bekerja

sama akan hal itu tapi belum sepenuhnya sukses. Ada beberapa nelayan yang kami tugaskan untuk menjaga

kelestarian laut, contohnya ada masyarakat di Meurebo dan suak seumaseh, itu tugasnya untuk menjaga

informasi bahkan orang tersebut ada yang menangkap langsung bila operasi di daerah-daerah tersebut”.

(Wawancara, 7 Maret 2018)

Bapak Slamet selaku Kepala Satuan Polisi Perairan Aceh Barat juga memaparkan tentang upaya yang

dilakukan pelaku kegiatan illegal fishing adalah sebagai berikut:

“Undang-undang menyatakan tidak boleh melakukan kegiatan illegal fishing namun kebijakan menteri

jangan dilakukan penegakan karena mereka nelayan kecil, tetapi untuk menyikapi hal itu kita melakukan

pembinaan terhadap nelayan baik dengan DKP maupun instansi terkait, apabila mereka menggunakan

alat tangkap yang tidak ramah lingkungan kita lakukan pembinaan berupa apabila setelah bertemu dengan

mereka kita dapati mereka menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan akan dibuat teguran

dengan membuat surat pernyataan, jika tiga kali mereka masih melakukan hal yang sama dan orang yang

sama, maka kita ambil alat tangkapnya. Upayanya juga dengan melakukan pembinaan-pembinaan dari

preventif, preventif dan represif karena membuat himbauan-himbauan dari spanduk”. (Wawancara, 12

Maret 2018)

232 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Hal serupa juga di sampaikan oleh Bapak Samosir selaku Kepala Urusan Pembinaan Operasional Satuan

Polisi Perairan Aceh Barat:

“Tindakan untuk yang berkaitan dengan illegal fishing kita awali dengan preventif, maksudnya

himbauan-himbauan, sosialisasi, memasang spanduk-spanduk di tempat pelelangan ikan (TPI) dan

penyuluhan. Kemudian preventif, preventif itu patroli untuk pencegahan illegal fishing dibarengi dengan

pembinaan. Yang terakhir represif yaitu membuat pernyataan, memotong jaring dan penyitaan alat tangkap

serta penindakan hukum yang ditindak lanjuti oleh kejaksaan”. (Wawancara, 12 Maret 2018)

Adapun sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat nelayan tentang penggunaan alat tangkap yang

ramah lingkungan seperti yang di paparkan oleh Bapak Mardi salah satu nelayan Kecamatan Meureubo

sebagai berikut:

“Kalau sosialisasi tentang larangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan itu

ada dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dan instansi lain. Kami di sini menggunakan alat tangkap

jaring dan tidak ada lagi yang menggunakan pukat harimau”. (Wawancara, 8 Maret 2018)

5. DISKUSI

Pengawasan Sumber Daya perikanan dalam Upaya Pemberantasan Illegal fishing di Perairan Kabupaten

Aceh Barat

Pengawasan sumber daya perikanan yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan perikanan di kawasan

perairan Kabupaten Aceh Barat telah melibatkan berbagai instansi dan satuan. Sesuai dengan aturan

perundang-undangan yang ada, yakni ketentuan Pasal 73 UU No.45 Tahun 2009, wewenang pengawasan

dan penegakan hukum di perairan kabupaten Aceh Barat diberikan pada tiga instansi yaitu Dinas Kelautan

dan Perikanan (DKP), Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dan Kepolisian Negara RI

(Polair). Pada dasarnya pengawasan bertujuan agar tujuan yang sudah ditetapkan sesuai dengan harapan.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa pengawasan sumber daya

perikanan di perairan Kabupaten Aceh Barat menunjukkan masih mengalami kelemahan, hal ini akibat

sarana yang tersedia tidak sebanding dengan luas wilayah kerja dalam pelaksanaan pengawasan yakni

meliputi seluruh perairan Kabupaten Aceh Barat. Luasnya wilayah kerja dalam pelaksanaan pengawasan

tidak efektif karena tidak fokus pada lokasi-lokasi yang sering terjadi kegiatan illegal fishing seperti

Kecamatan Johan Pahlawan dan Kecamatan Samatiga. Adapun jumlah personil yang terbatas dan tidak

adanya tenaga pengawas yang terlatih juga sangat berpengaruh terhadap kurang maksimalnya kinerja

instansi-instansi terkait dalam pelaksanaan pengawasan untuk memberantas illegal fishing di perairan

Kabupaten Aceh Barat. Pengukuran pengawasan sumber daya perikanan dapat dilihat berdasarkan

indikator setting standar (menetapkan standar pengukuran), establishing strategic control point (menentukan

titik-titik strategis), checking performance (mengecek prestasi/kinerja) dan correcting deviation (membetulkan

penyimpangan).

Setting Standar (Menetapkan Standar Pengukuran)

Menetapkan standar dalam melaksanakan suatu kegiatan adalah langkah awal dalam pencapaian

tujuan suatu organisasi. Dengan adanya penetapan standar pengukuran dalam suatu organisasi, maka

dapat mengukur suatu tingkat keberhasilan yang dilaksanakan oleh organisasi. Hal tersebut tidak terkecuali

berlaku pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat. Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan, tidak ada ditetapkannya standar pengukuran khusus dalam hal pelaksanaan kegiatan

selama ini oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat.

Jika dilihat dari sektor ketentuan dalam pelakasanaan kegiatan, Dinas Kelautan dan Perikanan

Aceh Barat hanya menetapkan standar berupa melakukan kegiatan pengawasan dengan patroli rutin pada

setiap tahunnya dengan berkerja sama dengan instansi terkait lainnya. Hal itu dilakukan atas dasar upaya

memperkuat jaringan kerja. Adapun uraian standar kerja yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan

Aceh Barat adalah sebagai berikut:

1 Mengadakan patroli rutin

Pelaksanaan pengawasan dalam bentuk patroli yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengelilingi

wilayah perairan Aceh Barat. Namun hal ini tidak berbanding maksimal dengan hasil yang didapatkan,

karena hal itu hanya dilakukan dengan armada kapal yang hanya ada satu. Patroli rutin sebagaimana

233PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

yang dimaksudkan disini adalah patroli yang telah terjadwalkan sebelumnya yakni pelaksanaan 6 kali

patroli rutin dalam 1 tahun.

2 Mengadakan patroli gabungan

Patroli gabungan yang dilakukan oleh pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat dianggap

kurang maksimal, karena personil yang dibutuhkan masih kurang memadai. Selain itu. Dinas Kelautan

dan Perikanan Aceh Barat dalam melakukan pengawasan tidak hanya bekerja secara sendirian, melainkan

pengawasan tersebut juga dilakukan bersama-sama dengan instansi-instansi terkait lainnya seperti TNI

AL dan Satuan Polisi Perairan. Kerja sama yang dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh Barat

dalam upaya pengawasan dengan instansi terkait terbilang baik karena hal itu akan menjadikan kekuatan

lebih bagi armada yang berpatroli di perairan wilayah Aceh Barat, namun pada kenyataannya pihak dinas

memiliki kelemahan pada personil yang dimiliki.dan armada yang kurang memadai.

Establishing Strategic Control Point (Menentukan Titik-Titik Strategis)

Menentukan titik-titik strategis merupakan langkah yang penting dalam proses pengawasan karena

tidak mungkin untuk mengecek seluruh aktivitas pelaksanaan pengawasan yang akan dapat menyita biaya

dan waktu yang cukup besar. Jika hal itu dilakukan akan menyebabkan tujuan pengawasan mungkin

tidak akan tercapai. Pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh instansi-instansi terkait yaitu Dinas

Kelautan dan Perikanan, TNI AL dan Satuan Polisi Perairan bertujuan agar praktik illegal fishing dapat

diberantas.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan yang difokuskan pada

wilayah-wilayah yang masih sering terjadi praktik illegal fishing. Namun berdasarkan hasil penelitian di

lapangan, instansi-instansi terkait yang bertugas melakukan pengawasan di perairan Kabupaten Aceh

Barat tidak menentukan titik-titik lokasi strategis yang dapat mempermudah proses pelaksanaan

pengawasan, melainkan pengawasan dilakukan pada seluruh perairan Kabupaten Aceh Barat. Kegiatan

tersebut dapat menyita waktu dan biaya yang cukup besar. Pada dasarnya, dengan armada kapal yang

belum memadai selama ini, seharusnya pemerintah dapat memfokuskan titik patroli atau pengawasan

pada daerah-daerah yang tingkat pelanggarannya tinggi seperti di kawasan perbatasan antar kabupaten

dan kecamatan yang masih sering terjadi kegiatan illegal fishing.

Checking Performance (Mengecek Prestasi/Kinerja)

Kinerja adalah suatu hasil pencapaian kerja yang telah dilakukan baik individu maupun kelompok/

organisasi dalam kurun waktu tertentu yang diukur berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan.

Adapun indikator yang menjadikan pengukuran kinerja pada pembahasan ini yaitu sumber daya manusia

(SDM), serta sarana dan prasarana kegiatan Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat dan instansi terkait

lainnya.

Melihat dari sudut pandang sumber daya manusia yang dimiliki oleh Dinas Kelautan dan Perikanan

Aceh Barat dalam pelaksanaan pengawasan sumber daya perikanan, tidak adanya tenaga pengawas yang

terlatih berpengaruh terhadap kurang maksimalnya kinerja dalam memberantas illegal fishing di perairan

Kabupaten Aceh Barat. Instansi-instansi terkait lainnya seperti TNI AL dan Satuan Polisi Perairan juga

memiliki jumlah personil yang terbatas, sehingga menjadi suatu hambatan dalam pelaksanaan pengawasan.

Sumber daya manusia yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Aceh Barat dalam upaya menangani

kasus illegal fishing selama ini masih jauh dari harapan.

Sedangkan jika dilihat berdasarkan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Dinas Kelautan dan

Perikanan serta instansi terkait lainnya juga masih kurang memadai, sehingga pelaksanaan pengawasan

sumber daya perikanan dalam upaya pemberantasan illegal fishing di perairan Kabupaten Aceh Barat

tidak berjalan optimal. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa untuk mendapatkan hasil yang optimal

dalam pelaksanaan kegiatan pemberantasan illegal fishing, pemerintah harus mempertimbangkan kembali

terhadap sarana dan prasarana serta kelengkapan porsonil untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Dalam

kasus yang terjadi di wilayah perairan Aceh Barat masih terdapat banyak nelayan yang melanggar aturan

dalam melaksanakan kegiatannya di laut seperti penggunaan pukat harimau yang masih sangat tinggi. Di

sini peran pemerintah sangat dibutuhkan, terutama untuk menumbuhkan kesadaran, rasa peduli dan

tanggung jawab para nelayan untuk keberlangsungan kegiatan mereka di masa yang akan datang.

234 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Ketersediaan sarana dan prasarana selama ini yang masih jauh dari standar keberhasilan yang

optimal menjadikan permasalahan tersendiri oleh pemerintah setempat, seperti armada kapal yang tidak

memungkinkan untuk melakukan patroli dengan segera dalam waktu yang bersamaan, serta kelengkapan

telekomunikasi antar kapal untuk menunjang informasi yang akurat dan cepat.

Correcting Deviation (Membetulkan Penyimpangan)

Membetulkan penyimpangan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam

upaya akhir untuk menjadikan masyarakat menyadari akan pentingnya pelaksanaan aturan yang telah

ditetapkan. Pada dasarnya, penyimpangan yang terjadi di lingkungan nelayan dalam kegiatan mereka

yang melakukan illegal fishing adalah akibat kurangnya kesadaran dan kepedulian para nelayan tersebut

untuk keberlansungan kegiatannya di masa yang akan datang.

Penyimpangan aturan yang terjadi adalah suatu hal yang harus ditanggapi segera oleh pihak

pemerintah, karena hal tersebut akan sangat berdampak pada kerusakan lingkungan yang diakibatkannya.

Adapun penyimpangan yang sering terjadi selama ini di wilayah perairan Kabupaten Aceh Barat yakni

penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

Berdasarkan hasil penelitian, upaya yang dilakukan oleh pihak pemerintah dalam membetulkan

penyimpangan yang terjadi selama ini yaitu:

1 Upaya preventif yaitu upaya-upaya awal untuk mencegah terjadinya praktik illegal fishing melalui

pendekatan sosial dan pendekatan kemasyarakatan dengan cara memberikan himbauan-himbauan dan

sosialisasi kepada masyarakat nelayan tentang pentingnya menjaga kelestarian sumber daya perikanan.

2 Upaya represif yaitu tindak lanjut dari upaya preventif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum

terjadinya praktik illegal fishing oleh pelaku yang tidak bertanggung jawab dengan cara melakukan patroli

rutin bekerja sama dengan instansi lain yang terkait dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat

nelayan mengenai larangan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan sehingga timbul

kesadaran taat aturan.

3 Upaya kuratif merupakan tindakan terakhir yang dilakukan dalam upaya pemberantasan illegal fishing

yakni upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana/kejahatan yang tindakannya berupa

memberikan peringatan berupa membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi lagi kegiatan illegal

fishing, memotong atau menyita alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan melakukan penangkapan

serta penindakan hukum terhadap pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran sesuai dengan

peraturan perundang-undangan untuk selanjutnya di serahkan kepada Kejaksaan dan diproses lebih lanjut.

Kinerja pemerintah dalam upaya membetulkan penyimpangan yang terjadi selama ini telah cukup baik,

namun tidak bisa di pungkiri bahwa pelanggaran selalu terjadi walaupun pihak pemerintah telah melakukan

sosialisasi kepada para nelayan.

6. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

Kegiatan illegal fishing di perairan Kabupaten Aceh Barat diantaranya melakukan penangkapan ikan dengan

menggunakan alat tangkap yang di larang oleh pemerintah seperti trawl. Pengawasan sumber daya

perikanan dalam pemberantasan illegal fishing di perairan Kabupaten Aceh Barat menunjukkan masih

mengalami kelemahan, hal ini akibat sarana yang tersedia tidak sebanding dengan luas wilayah kerja

dalam pelaksanaan pengawasan yakni meliputi seluruh perairan Kabupaten Aceh Barat. Jumlah personil

yang terbatas dan tidak adanya tenaga pengawas yang terlatih juga sangat berpengaruh terhadap kurang

maksimalnya kinerja instansi-instansi terkait dalam pelaksanaan pengawasan untuk memberantas illegal

fishing di perairan Kabupaten Aceh Barat. Akan tetapi, dalam hal membetulkan penyimpangan yang terjadi

sudah baik karena adanya upaya pencegahan dan penindakan hukum bagi pelaku illegal fishing di perairan

Kabupaten Aceh Barat.

235PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

DAFTAR PUSTAKA

Anthony, Robert N dan Vijay Govindarajan. 2005. Sistem Pengendalian Manajemen, Edisi Sebelas. Jakarta:Salemba Empat.

Arikunto, Suharsimi. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Rieneka Cipta.

Berita Harian Online Serambi Indonesia. 2017. Nelayan Tangkap 8 Kapal Trawl. http://aceh.tribunnews.com/2017/02/24/nelayantangkap-8-kapal-trawl. Diakses Pada 17 September 2017.

Darwis, Erni Yulinda dan Lamun Bathara. 2009. Dasar-Dasar Manajemen. Pekanbaru: Universitas Riau.

Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. 2007. IndonesiaPlan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. Jakarta:DepartemenKelautan dan Perikanan.

Fahmi, Arif. 2014. Masuk Wilayah RI, 4 Kapal Thailand Ditangkap. http://m.metrotvnews.com/news/daerah/nN98jx5K-masuk-wilayah-ri-4-kapal-thailand-ditangkap (Online). Diakses Pada 17 September 2017.

Hamid. 2007. Penangkapan Ikan Dengan Bahan Peledak. Jakarta: Gramedia.

Herdiansyah, Haris. 2010. Metodelogi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Ivan, Bob. 2014. Illegal Fishing Dikawasan Perairan Kepulauan Bangka Belitung (Studi Kasus Penangkapan IkanTanpa Dokumen yang Sesuai). Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 10, No. 2, November 2014.

Mahmuddin. 2004. Manajemen Dakwah Rasulullah. Jakarta: Restu Illahi.

Manullang. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba Empat.

Miles, MB & Hubberman. 2007. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muhammad, Simela Victor. 2012. Illegal Fishing di Perairan Indonesia: Permasalahan dan Upaya PenanganannyaBilateral di Kawasan. Jurnal Politica Vol. 3, No. 1, Mei 2012.

Mukhtar, Rahmat. 2017. Optimalisasi Potensi Kelautan dan Perikanan Aceh. http://www.pikiranmerdeka.co/news/optimalisasi-potensi-kelautan dan-perikanan-aceh/. Diakses Pada 17 September 2017

Muyadi. 2007. Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen. Jakarta: Salemba Empat.

Naim, Armain. 2010. Pengawasan Sumber Daya Perikanan dalam Penanganan Illegal Fishing di Perairan ProvinsiMaluku Utara. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Vol. 3 Edisi 2 (Oktober2010).

Narbuko, Cholid, dan Ahmadi. 2004. Metodelogi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara

Nikijuluw, V. (2008). Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal (Blue Water Crime). Jakarta: PT. PustakaCidesindo.

Nurmayani. 2009. Hukum Administrasi Daerah. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2016 tentang JalurPenangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan NegaraRepublik Indonesia.

Peter Salim, 2003, The Contemporary English Indonesian Dictionary. Jakarta: Modern English Press.

Simbolon, Maringan Masry. 2004. Dasar-Dasar Administrasi Dan Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Setiadi, Elly M & Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiolog: Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial,Teori, Aplikasi dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D Cet. 16). Bandung:Alfabeta.

Sukandarrumidi. 2008. Dasar-Dasar Penulisan Proposal Penelitian (Petunjuk Praktis untuk Peneliti Pemula).Bandung: Gadjah Mada University Press.

236 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Sule, Ernie Tisnawati dan Saefullah, Kurniawan. Pengantar Manajemen. Jakarta: Kencana Prenada MediaGroup.

Supriadi, Asep. 2013. Strategi Operasi Pengawasan Terhadap Illegal Fishing Berdasarkan Posisi Rumpon di LautMaluku Oleh Kapal Pengawas Perikanan. Tesis Ilmu Kelautan Bidang Minat Manajeman Perikanan: UniversitasTerbuka. Jakarta.

Suyanto, Bagong & Sutinah. 2006. Metodologi Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan. Ed. Pertama.Cet. Kedua. Kencana. Jakarta.

Soehartono, Irawan. 2008. Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial danIlmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Sofwan, Muhammad. 2014. Pengawasan Pemerintah Daerah Terhadap Illegal Fishing(Studi Kasus KabupatenRokan Hilir Provinsi Riau Tahun 2012). Skripsi Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik: Universitas Riau. Jom FISIP Vol. 1 No. 2, Oktober 2014.

Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 TentangPerikanan.

Ukas, Maman. 2006. Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi. Bandung: Agni.

237PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

PROSPEK DAN PERAN MEDIA KOMUNITAS DALAM PENANGGULANGANWOMEN TRAFFICKING DI INDONESIA

Cici Eka Isawahyuningtyas

Dosen tetap di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila

E-mail: [email protected]

ABSTRAK:

Penanggulangan women trafficking dapat dilakukan dengan literasi media dan pendidikan melalui

saluran media komunitas, dimana setiap anggota komunitas di dalamnya dapat memperoleh informasi

yang dibutuhkan dan menyalurkan aspirasinya secara luas. Media komunitas menawarkan akses dan

ruang publik, khususnya bagi calon pekerja migrant perempuan. Penanggulangan Women trafficking

telah dilakukan melalui berbagai strategi dengan melibatkan banyak pihak, baik pemerintah maupun

non pemerintah, di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini karena trafficking telah menjadi isu

penting dan perhatian masyarakat dunia. Sayangnya, meskipun berbagai upaya telah dilakukan tetapi

kasus perdagangan manusia khususnya yang melibatkan perempuan dan anak justru menunjukkan

tren peningkatan. Media komunitas sebagai media alternatif yang dikelola oleh komunitas dan

berorientasi pada kepentingan komunitas mampu menjadi alat perjuangan dalam memberdayakan

anggota komunitas dan mencegah terjadinya trafficking. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui

prospek dan peran media komunitas di Indonesia dalam menanggulangi women trafficking. Penelitian

ini dilakukan secara kualitatif dengan melakukan kajian literatur melalui analisis meta pada artikel

jurnal ilmiah terkait isu media komunitas dan women trafficking.

Kata kunci: media komunitas; women trafficking; peran & prospek media; ruang publik

Latar Belakang

Women trafficking telah ditempatkan sebagai isu penting dalam berbagai perbincangan di tingkat

global. Berbagai organisasi internasional dan non pemerintah juga telah melakukan upaya untuk

menanggulangi perdagangan perempuan dan menjukkan pada dunia bagaimana kasus trafficking telah

sangat menghawatirkan. Di era komunikasi bermedia saat ini, media massa memainkan peranan penting

dalam menentukan bagaimana trafficking akan dimaknai khalayak.

Terkait dengan liputan media tentang trafficking, terdapat dua frame yang biasanya digunakan

oleh media. Pertama, frame tanggung jawab pemerintah, menyarankan bahwa trafficking adalah tanggung

jawab pemerintah dan dapat ditanggulangi dengan memberikan hukuman tegas bagi para pelaku

perdagangan manusia. Frame kedua, yaitu tanggung jawab masyarakat, frame ini menyarankan bahwa

masyarakat dan kelompok organisasi non pemerintah seharusnya bertanggung jawab dalam mengatasi

masalah trafficking dan mendorong organisasi swasta untuk meningkatkan kepedulian pada persoalan

dan memberikan dukungan kepada korban (Alexandre, Sha, at.al., 2014). Jika saja kedua frame tersebut

digunakan secara bersama oleh media dalam pemberitaannya tentukan persoalan trafficking ini dapat

segera tersolusikan. Sayangnya, media seringkali tidak objektif dan berpihak kepada kelompok kepentingan

tertentu dalam memberitakan trafficking. Media masih menempatkan dirinya sebagai penentu wacana

tentang trafficking. Sebagai agen sosial media massa seharusnya aktif dalam mengkonstruksi berbagai

permasalahan sosial dan bagaimana masyarakat seharusnya merespon situasi tersebut (Simoes & Peca,

2009).

Media massa mainstream dengan segala kemampuan yang dimilikinya telah gagal dalam

menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat. Media massa juga gagal menjalankan fungsinya

sebagai media pendidikan, khususnya bagi calon pekerja migrant sehingga mereka dapat terhindar dari

jerat perdagangan manusia atau yang lebih dikenal sebagai human trafficking. Bahkan Amerika Serikat

saja, negara yang dianggap paling terbuka dengan kebebasan berekspresi dan berbeda pendapat masih

gagal dalam menempatkan isu perdagangan manusia sebagai agenda publik. Hal ini terjadi karena liputan

238 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

media masih lemah dalam memberitakan trafficking, khususnya dalam menumbuhkan perhatian dan

kepedulian masyarakat dunia tentang isu-isu perdagangan manusia (UN.GIFT, 2006). Meskipun frame

berita yang dihasilkan lebih fokus memberitakan korban perempuan tetapi trafficking masih ditempatkan

dalam bingkai kriminal, minim diskusi tentang faktor-faktor resiko dan solusi agar terhindar dari

perdagangan manusia (Sobel, 2016).

Di Indonesia sendiri, pemberitaan tentang perdagangan manusia masih menunjukkan situasi

serupa. Lampung Post misalnya, masih melihat perdagangan manusia sebagai berita kriminal dan

pemberitaan yang dihasilakn pun belum dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat

terhadap kasus perdagangan manusia (Handayani, 2011). Padahal dilihat dari data yang ada, kasus

perdagangan manusia yang berhasil diidentifikasi jumlahnya sudah sangat memprihatinkan. Bahkan,

Indonesia menempati urutan tertinggi sebagai negara yang warga negaranya paling banyak menjadi korban

trafficking.

Human trafficking, khususnya pada perempuan dan anak telah meningkat signifikan setiap

tahunnya, International Labour Organization atau ILO memperkirakan bahwa di tingkat global 4.5 juta

orang telah menjadi korban perdagangan manusia, dimana 98 % diantaranya adalah perempuan dan anak.

Setiap tahunnya diperkirakan terjadi 500.000-600.000 korban baru perdagangan seks pada perempuan

dan anak (Orme & Ross-Sheriff, 2015). Menurut catatan International Organization for Migration (IOM)

pada periode Maret 2005 hingga Desember 2014 jumlah korban human trafficking di Indonesia yang sudah

teridentifikasi mencapai 6.651 orang. Angka tersebut adalah yang terbesar diantara negara lainnya di dunia

atau sekitar 92.46%. Dengan rincian korban perempuan usia anak 950 orang dan perempuan usia dewasa

mencapai 4.888 orang. Sedangkan korban Pria usia anak 166 dan pria dewasa 647. Situasi tersebut

menunjukkan bahwa korban terbesar dari human trafficking atau 82 % adalah perempuan.

Global Slaventary Index (2014) menyatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan korban

perdagangan manusia yang cukup besar, diproyeksikan sekitar 700.000 orang telah dikirimkan ke luar

negeri dengan berbagai modus, baik sebagai pekerja seks komersial, pekerja anak, adopsi illegal, pernikahan

pesanan, narkoba, dll. Jumlah tersebut adalah 11.3 % dari total jumlah pekerja migrant di Indonesia. Di

tengah tingginya angka perdagangan manusia, Indonesia justru menjadi negara yang paling buruk dalam

menangani kasus tersebut (Arivia, 2007). Women trafficking adalah fenomena dunia dimana perempuan

seringkali dipaksa dan dieksploitasi secara seksual. Setiap tahun jutaan perempuan telah dipaksa dalam

prostitusi, perbudakan, dan kawin paksa. Korban trafficking tidak hanya mengalami gangguan kesehatan

fisik tetapi juga merasan dampak emosional yang besar dan bisa berakibat pada krisis identitas (Acharya,

2016).

Situasai tersebut terjadi karena banyak dari pekerja migrant kita yang berpendidikan rendah dan

tidak memiliki kemampuan baca tulis dengan baik. Mereka juga memiliki pengetahuan minim mengenai

kondisi di luar negeri sehingga tidak mampu bersaing dengan tenaga kerja asing lainnya. Akibatnya, mereka

seringkali hanya dijadikan sebagai pekerja kasar dengan gaji rendah, bahkan sebagai budak seksual karena

tidak memiliki keterampilan yang memadai (Febriani, 2011 & Noeswantari, 2011)

Kampanye anti trafficking yang dilakukan media banyak dipengaruhi oleh dinamika yang ada di

dalamnya. Perempuan secara simblolik seringkali dikonstruksikan secara negatif, dengan citra berperilaku

menyimpang, korban trafficking dan glamour. Sistem media yang masih bias gender sehingga menutup

ruang bagi terciptanya counter wacana tentang peran gender. Ini artinya penting bagi perempuan untuk

mendapatkan akses pada ruang publik dalam hal ini adalah melalui media komunitas (Simoes & Peca,

2009).Oleh itu, media komunitas diharapkan mampu memberikan jaminan bagi terbukanya akses dan

ruang publik dalam praktik diskusi yang independen dan terbuka.

Media komunitas lahir sebagai media alternatif yang mengusung keberagaman kepemilikan dan

mendorong keberagaman isi. Melalui keberagaman kepemilikan inilah setiap masyarakat, dalam hal ini

para calon pekerja migrant dan kelompok masyarakat yang peduli dengan isu-isu women trafficking pada

buruh migrant bisa melakukan kontrol dan berpartisipasi secara langsung baik sebagai pengelola maupun

sebagai khalayak. Mengingat hanya melalui media komunitaslah upaya edukasi dan desiminasi informasi

terkait isu trafficking yang seringkali luput dar perhatian media mainstream dapat dilakukan.

Media komunitas adalah alat penting dalam upaya memerdekakan manusia dan media. Hal ini karena

kepemilikan media komunitas diletakkan di level lokal dimana masyarakat luas dapat berpartisipasi secara

239PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

lebih mudah dibandingkan dengan media mainstream. Bahkan di banyak negara media komunitas dilihat

sebagai media alternatif, dimana setiap anggota masyarakat di dalamnya memiliki akses secara luas

(Magpanthong and McDaniel, 2011). Akses dan partisipasi luas dari anggota komunitas ini penting

mengingat bagaimana media membingkai isu sosial dapat mempengaruhi bagaimana khalayak melihat

dan mempercayai bagaimana suatu persoalan seharusnya diselesaikan.

Selanjutnya, mengingat secara konseptual women trafficking memiliki banyak makna maka women

trafficking dalam kajian ini dipahami sebagai aktivitas pengiriman dan rekrutmen perempuan dan anak di

peringkat antar negara atau internasional baik secara sukarela maupun dengan paksaan, untuk tujuan

kerja paksa, seksual, domestik, dll. Termasuk didalamnya perekrutan, penjualan, pengiriman, penerimaan

perempuan dan anak melalui penipuan dengan tujuan untuk kerja paksa (Akor, 2011).

Tujuan dan Metode Penelitian

Penelitian ini umumnya bertujuan untuk mengetahui prospek dan peran radio komunitas dalam

penanggulangan women trafficking di Indonesia dengan melakukan kajian literatur ilmiah melalui meta

analisis pada jurnal ilmiah yang dipublikasikan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir atau pada

tahun 2008 hingga 2018 sejumlah 28 artikel. Adapun pertanyaan minor dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana literatur ilmiah membincangkan konsep media komunitas?

2. Bagaimana tren fokus penelitian ilmiah tentang media komunitas dan women trafficking?

3. Bagaimana prospek dan peran media komunitas dalam penanggulangan women trafficking?

Pencarian artikel jurnal ilmiah internasional dilakukan pada bulan Juni 2018 melalui EBSCOhost,

ProQuest dan ScienceDirect. Untuk tingkat nasional pencarian dilakukan melalui Google Schoolar di bulan

yang sama. Artikel ilmiah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang mengandung judul, abstrak

dan artikel penuh (full papers). Pencarian artikel ilmiah dilakukan secara online dengan menggunakan kata

kunci, diantaranya adalah Community media (Radio, televisi dan broadcasting) dan human and women

trafficking. Untuk memperluas jumlah dan ruang lingkup artikel yang digunakan, maka kreteria penentuan

artikel tidak dibatasi hanya yang menggunakan kedua kata kunci tersebut, tetapi termasuk juga yang

menggunakan salah satu dari dua kata kunci tersebut.

Temuan Penelitian dan Pembahasan

Memaknai Media Komunitas

Media komunitas umumnya dimaknai sebagai media yang membuka ruang bagi komunitas untuk

melakukan akses dan partisipasi. Menurut Nassanga (2009) Media komunitas adalah media yang digunakan

oleh komunitas untuk tujuan apapun yang diputuskan oleh komunitas. Media komunitas adalah media

dimana anggota komunitas memiliki akses untuk mendapatkan informasi, pendidikan dan hiburan ketika

mereka mengaksesnya. Media komunitas adalah media dimana anggota komunitas berperan sebagai

perencana, produser dan performer. Terkait dengan akses dan partisipasi, media komunitas dikelola secara

mandiri oleh anggota komunitas. Artinya anggota komunitas dapat secara independen mengambil

keputusan tentang bagaimana media mereka akan dijalankan dan pelayanan apa yang akan diberikan.

Media komunitas dioperasikan di dalam suatu komunitas, untuk komunitas, berbicara tentang

komunitas, dan oleh komunitas. Sebuah komunitas dapat mencakup teritorial atau geografis; yaitu kota,

desa, distrik atau pulau. Komunitas juga dapat merujuk pada kelompok orang yang memiliki kesamaan

ketertarikan dan mereka tidak harus berada dalam wilayah atau teritorial yang sama. Sebagai

konsekuensinya media komunitas dapat dikelola atau dikontrol oleh sebuah kelompok, oleh gabungan

kelompok atau orang seperti perempuan, anak-anak, petani, pelaut, kelompok etnik, dll. Hal yang

membedakan media komunitas dengan media lainnya adalah tingginya tingkat partisipasi anggota

komunitas di dalam aspek manajemen dan produksi program. Individu anggota komunitas dan institusi

lokal adalah sumber utama yang mendukung operasional media komunitas (Seneviratne, 2011).

Tiga kata kunci utama yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi apakah suatu media dapat

dikategorikan sebagai media komunitas adalah interaksi sosial yang berlangsung, adanya kesamaan

karakteristik dan nilai-nilai yang dibangun dan dapat diidentifikasi secara geografis (Karp, Stone, & Yoel,

1991 dalam Magpanthong and McDaniel, 2011). Tujuan utama dari media komunitas adalah menyediakan

240 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

kesempatan bagi anggota komunitas untuk menjadi bagian dari suara komunitas (Hollander, Stappers, &

Jankowski, 2002 dalam Magpanthong and McDaniel, 2011).

Media komunitas lebih dari sebuah media, media komunitas bisa dilihat sebagai suatu kegiatan

pengorganisasian sosial dan hubungan sosial. Media komunitas adalah 90 % komunitas dan 10 % media.

Media komunitas bisa diidentifikasi sebagai komunitas geografis maupun komunitas kepentingan.

Karakteristik media komunitas adalah sebagai berikut;

· Memiliki skala produksi kecil daripada media mainstream. Media komunitas lebih dekat pada

komunitasnya dibandingkan dengan media mainstream.

· Mereka yang berpartisipasi dalam organisasi pada dasarnya adalah para sukarelawan dari komunitas

tersebut dan bukan para profesional penuh waktu atau full tme.

· Lebih berorientasi pada keuntungan anggota komunitas dibandingkan keuntungan bagi para pemangku

kepentingan (International Communication Association, 2018).

Mengacu pada beragamnya wacana dan pendekatan yang bisa digunakan dalam memaknai media

komunitas Carpentier, Lie & Servaes (2003) melihat media komunitas dengan mengelompokkan menjadi

tiga pendekatan sebagai berikut:

Pendekatan I: Melayani Suatu Komunitas

Pendekatan yang pertama ini ditekankan pada konsep “komunitas” sehingga aspek geografis

menjadi sesuatu yang penting (posisi geografis dimana media komunitas berada). Pendekatan ini menjelasan

hubungan antara “medium” dan “komunitas” atau kepada siapa media komunitas itu disiarkan. Pendekatan

ini memaknai komunitas secara luas dan dibedakan dengan masyarakat. Komunitas ditandai dengan

hadirnya hubungan manusia yang erat dan kongkrit karena kesamaan identitas kolektif. Komunitas

dibedakan dari masyarakat karena masyarakat tidak mengidentifikasi hubungan antar kelompok.

Komunitas merujuk kepada aspek geografis dan etnisitas sebagai struktur pembangun identitas kolektif

atau hubungan antar kelompok. Kata komunitas pertama kali diperkenalkan melalui istilah komunitas

kepentingan dengan menekankan faktor kesamaan kepentingan dalam membangun suatu komunitas.

Komunitas disini tidak hanya dibentuk oleh faktor geografis tetapi termasuk juga komunitas dunia maya

seperti komunitas virtual atau online, komunitas kepentingan (kesamaan) maupun komunitas makna.

241PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Pendekatan II: Komunitas Media sebagai alternatif dari Media Mainstream

Pendekatan ini memaknai media komunitas dengan merujuk pada konsep media alternatif dan

ditekankan pada perbedaan antara media komunitas dengan media mainstream. Media alternatif disini

adalah media komunitas dan dilihat sebagai pelengkap dari media mainstram. Pada pendekatan ini media

alternatif dijelaskan memiliki hubungan yang tidak baik dengan media mainstream. Artinya media alternatif

ini memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang bertolak belakang dari media mainstream. Adapun karakteristik

dari media alternatif atau media komunitas dalam pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Pendekatan III: Menghubungkan Media Komunitas dengan Masyarakat Sipil

Pada pendekatan ini kedudukan media komunitas bebas dari dukungan dan bantuan dari negara

dan pasar. Media komunitas dilihat sebagai bagian dari masyarakat sipil. Hal ini karena masyarakat sipil

dianggap mampu membebaskan individu dari kekerasan dan dominasi kekuasaan. Pendekatan ini juga

melihat perlunya memperjuangkan kebebasan bagi setiap individu dan kelompok sehingga dapat

mengekspesikan aspirasi sosial mereka. Pendekatan ini melihat bahwa kebebasan dalam berkomunikasi

tidak akan terwujud tanpa adanya keberagaman media komunikasi non pemerintah dan adanya kesadaran

akan kebutuhan intelektual dan politik dalam mewujudkan demokrasi. Dengan memaknai media komunitas

sebagai bagian dari masyarakat sipil media komunitas dapat menjadi suara ketiga dari media pemerintah

maupun swasta komersiil.

Selanjutnya, media komunitas dilihat memiliki nilai atau value perjuangan yang berbeda dengan

media mainstream. Untuk melihat nilai-nilai yang terkandung dalam suatu media komunitas dapat dilihat

dari enam aspek yaitu; Akses, Keberagaman, Alternatif, independen, representasi dan partisipasi (Order,

2015). Untuk lebih jelasnya, dijabarkan sebagai berikut;

Tren dan Fokus Penelitian Sebelumnya

242 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Penelitian tentang media komunitas pada umumnya lebih difokuskan pada aspek isi dan proses produksi

media dan seringkali melupakan kompenen penting lainnya, yaitu khalayak sasaran, khususnya terkait

dengan isu partisipasi khalayak pada media komunitas (Guo, 2017). Pada aspek proses produksi media

penelitian Magpanthong and McDaniel (2011) mempertanyakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

pengambilan keputusan oleh para pengambil kebijakan di radio komunitas (Thailand dan Malaysia)? dan

apa pertimbangan politik yang mempengaruhi lahirnya kebijakan tentang radio komunitas?

Masih di level produksi penelitian tentang posisi perempuan dibalik produksi radio dan televisi

komunitas mempertanyakan bagaimana perempuan pemilik media komunitas memasuki pasar

broadcasting (Amerika Serikat), bertahan di pasar dan berkonstribusi kepada komunitas mereka? Penelitian

ini juga mempertanyakan bagaimana kebijakan komunikasi, ekonomi, dan politik yang seksis

menyingkirkan perempuan dari kepemilikan media? (Byerly, 2011). Apa keuntungan dan tantangan dari

insight journalism dan interaksi antar anggota komunitas (Inggris). Penelitiaan ini meneliti kombinasi media

komunitas dengan partisipatori desain digital dengan dukungan penduduk lokal untuk menghasilkan

media lama dan baru sebagai output yang didistribusikan pada melalui media (Blum-Ross, 2013).

Ditinjau dari aspek konten atau isi media, penelitian mempertanyakan frame media tentang isu

trafficking, bagaimana media pemberitaan membingkai sex trafficking (Thailand) dan bagaimana landscape

media mempengaruhi bagaimana publik dan pengambil kebijakan memahami dan merespon isu tersebut

(Sobel, 2016). Penelitian sebelumnya juga mempertanyakan keuntungan dan tantangan dari insight journalism

dan interaksi antar komunitas (Inggris). Penelitiaan ini meneliti kombinasi media komunitas dengan

partisipatori desain digital dengan dukungan penduduk lokal untuk menghasilkan media lama dan baru

sebagai output yang dipertunjukan secara lokal (Blum-Ross, 2013).

Ditinjau dari aspek peran media komunitas mempertanyakan bagaimana media komunitas berperan

dalam mewujudkan perdamaian pada wilayah yang sedang dilanda konflik (Syprus). Bagaimana media

komunitas mengembangkan strategi resolusi konflik untuk mencegah tindakan antagonis yang dialakukan

oleh masyarakat (Carpentier & Doudaki, 2014).

Terkait dengan media komunitas dan pemberdayaan masyarakat mempertanyakan tentang tentang

peran radio komunitas (Sri Lanka) dalam memfasilitasi komunitasnya untuk mengakses siaran udara

(Seneviratne, 2011). Mengidentifikasi peran media komunitas (Austria) terkait dengan isu-isu di sektor

publik dan komersiil dan persepsi masyarakat terhadap peran sosial dari media komunitas. Penelitian

tersebut didasarkan pada asumsi bahwa legal dokumen mempengaruhi perebuhan sosial dan merupakan

barometer pengetahuan masyarakat terhadap konsep dan norma-norma (Seethaler & Beaufort, 20017).

Selanjutnya terkait dengan platform media yang digunakan mempertanyakan apakah media

komunitas digital memiliki kesamaan dengan platform media lainnya (media mainstream) ditinjau dari

aspek fungsi media komunitas (kebutuhan, kepentingan dan motivasi) dan ruang komunikasi (fleksibel

dalam tujuan dan isi media) (Korkonosenko & Berezhnaia, 2017).

Prospek dan Peran Radio Komunitas dalam Penanggulangan Women trafficking

Berbeda dengan media mainstream, media komunitas terbukti mampu menjalankan perannya

dalam memberikan pengetahuan, menumbuhkan kesadaran, termasuk dalam penanggulangan trafficking.

Penelitian tentang peran media di Inggris, Canada dan Amerika menunjukkan bahwa media komunitas

memberikan peran yang signifikan dalam penanggulangan trafficking, diantaranya dengan memberikan

rekomendasi kebijakan anti trafficking kepada pemerintah. Media di negara tersebut juga mampu

membangun kepekaan dan kepedulian masyarakat terhadap persoalan trafficking (Kelly, at,.all, 2014).

Penelitian tentang peran radio komunitas di Bangladesh dalam mencegah perdagangan manusia dan migrasi

berbahaya (Siraj, 2012) menemukan bahwa radio komunitas bermanfaat bagi pendengar karena telah

memberikan peringatan tentang perdagangan manusia dan migrasi berbahaya. Program yang dimiliki

radio komunitas berguna dan efektif sehingga pendengar berpendapat bahwa program yang ada perlu

dilanjutkan. Pendengar radio merasa bahwa isu-isu yang diangkat membuat mereka lebih peduli terhadap

persoalan perdagangan manusia dan migrasi berbahaya dan menemukan solusi dari persoalan tersebut.

Media komunitas juga terbukti memiliki peranan penting dalam mewujudkan resolusi konflik dan

menciptakan lebih banyak kesempatan bagi terciptanya saling kesepahaman dan harmoni. Hal ini karena

idiologi demokrasi partisipatori yang dimiliki oleh media komunitas dapat menciptakan keberagaman

243PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

dan dialog yang merupakan prasyarat dari resolusi konflik dan rekonsiliasi. Media komunitas terbuka

terhadap perbedaan pendapat dalam suatu masyarakat, menjadi tempat pertemuan para aktor yang terlibat

konflik dengan mengijinkan mereka untuk bekerja sama dalam memproduksi konten media atau terlibat

dalam projek tertentu sehingga menghasilkan wacana yang berbeda dari media mainstream (Carpentier &

Doudaki, 2014).

Di Indonesia sendiri penelitian tentang peran media komunitas dan trafficking, menunjukkan bahwa

radio komunitas mampu mengakomodasi isu-isu perempuan dengan baik, khususnya terkait dengan

kekerasan, TKW dll. Hanya saja media masih dianggap belum berhasil dalam melakukan edukasi dan

memberikan solusi tepat untuk mengatasi proplematika kaum perempuan (Riyadi, 2012). Penelitian Lilis

(2013) menemukan bahwa Radio Komunitas mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk

mewujudkan masyarakat Madani. Masyarakat juga menyadari pentingnya saluran komunikasi yang bebas

dari dominasi kepentingan. Syamsiah dan Herawati (2013) menemukan bahwa radio komunitas berperan

dalam menciptakan masyarakat madani yang memiliki kemampuan literasi media, mampu menciptakan

tatanan, nilai persamaan dan menjunjung identitas lokal (Melati, 2013).

Penelitian tentang emansipatori radio komunitas dalam penanggulangan perdagangan perempuan

di Jawa Barat menunjukkan bahwa radio komunitas melakukan emansipatori melalui media informasi

dan forum diskusi publik dengan mengakomodasi isu-isu tentang perdagangan perempuan. Penanganan

trafficking dilakukan melalui program media advokasi baik melalui penanganan langsung maupun

membuka posko pengaduan masyarakat. Tindakan advokasi dibuktikan dengan banyaknya korban

trafficking yang berhasil ditangani oleh radio komunitas (Melati, 2016).

Kehadiran media komunitas mampu menggerakkan partisipasi akar rumput dalam proses politik. Media

mainstream yang hanya memiliki sedikit interaksi dan umpan balik terbukti tidak penting dan tidak ideal

bagi pemberdayaan akar rumput sehingga dibutuhkan alternatif media partisipatori. Media komunitas

adalah jawaban dari kebutuhan tersebut atau dianggap efektif dalam memenuhi kebutuhan pemberdayaan

akar rumput (Ghosh, 2010).

Peran media komunitas dalam penanggulangan women trafficking tercipta karena media komunitas

memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan media mainstream. Media komunitas umumnya

dijalankan dalam ruang informal dengan tujuan, isi, dan cara berkomunikasi yang lebih fleksibel. Terkait

dengan cara berkomunikasinya dengan anggota komunitas, media komunitas memiliki kesamaan dengan

media mainstream, yaitu didesain dengan khalayak yang tersegmentasi untuk memperkuat semangat

persatuan (Rusia). Konten media komunitas juga merefleksikan aktivitas offline atau kegiatan nyata dari

anggota komunitas (Korkonosenko & Berezhnaia, 2017).

Penelitian di Sri Lanka (Seneviratne, 2011) menunjukkan bahwa radio komunitas memberikan

kesempatan bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya. Hal ini karena isu-isu yang relevan dengan

masyarakat diangkat sebagai tema siaran radio sehingga masyarakat dapat melihat potensi dan tanggung

jawab mereka dalam mewujudkan tujuan pembangunan. Media komunitas juga terbukti memenuhi peran

dalam mendorong dan memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam berbagai diskusi publik dan

turut dalam membangun lingkungan mereka. Seperti media mainstream lainnya media komunitas tidak

hanya diharapkan berkontribusi dalam mewujudkan keberagaman pasar tetapi juga mampu

merepresentasikan keberagaman masyarakat (Seethaler & Beaufort, 2017). Komuniti media juga terbukti

masih relevan di era digital. Meskipun media komunitas belum mampu melawan mainstream media dan

media mainstream juga banyak beralih ke media online. Khalayak masih melihat media komunitas sebagai

media yang paling dipercaya (Guo, 2017).

Selanjutnya, terkait dengan partisipasi perempuan dalam produksi media komunitas menunjukkan

bahwa sebagaian besar perempuan memiliki media komunitas dari warisan, hanya sebagian keci yang

berhasil mendirikannya sendiri. Mereka memiliki keinginan kuat untuk melayani komunitas, tidak

mendapatkan dukungan regulasi dan berada dalam lingkungan industri yang membatasi perempuan untuk

meningkatkan pengalaman dan akses pada kapital untuk sukses dalam menghadapi persaingan (Byerly,

2011).

244 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Kesimpulan

Media komunitas memiliki peran signifikan dalam penanggulangan trafficking karena media

komunitas mampu membangun kepekaan dan kepedulian masyarakat, memberikan peringatan bahaya

trafficking, dan memberikan solusi bagi khalayak untuk terhindar dari trafficking. Hal ini karena media

komunitas membuka ruang bagi terselenggaranya diskusi publik dengan mengakomodasi isu-isu tentang

perdagangan perempuan dengan menggerakkan partisipasi akar rumput karena sifatnya yang partisipatori,

dijalankan dalam ruang informal dengan tujuan, isi, dan cara berkomunikasi yang lebih fleksibel Penanganan

trafficking dilakukan melalui program media advokasi baik melalui penanganan langsung maupun

membuka posko pengaduan masyarakat. Tindakan advokasi dibuktikan dengan banyaknya korban

trafficking yang berhasil ditangani oleh radio komunitas.

Daftar Pustaka

Alexandre, Kelly; Sha, Chyntia, & Pollock, Jhon. C, at.all. (2014). Cross-national coverage of human trafficking:a community structure approach. (pp. 160-174). Roudledge. Journal of communication.

Arivia, Gadis. (2007). Women for peace; perempuan untuk perdamaian Indonesia. Depok. Filsafat UI Press.

Acharya, Arun Kumar. (2016). Trafficking of women for sexual exploitation in Mexico and their identity crisis.(pp. 322-336). Routledge. International Review of Sociology.

Akor, Linus. (2011). Trafficking of women in Nigeria: causes,consequences and the way forward. (pp. 89-110).Corvinus Journal of Sociology and Social Policy.

Blum-Ross, Alicia. (2013). Community media and design: insight journalis as a method for innovation. (pp.173-192). Journal of Media Practice.

Byerly, Carolyn M. (2011). Behind the scene of women’s broadcast ownership. (pp. 24-42). Roudledge. The HowardJournal of Communication.

Carpenter, Nico, & Doudaki, Vala. (2014). Community media for reconciliation: a Cypriot case study. (pp.415-432. Journal of Communication Culture and Critique.

Carpentier, Nico; Lie, Rico, & Servaes, Jan. (2003). Community media; muting the democratic media discourse?(pp.51-68). EBSCO. Journal of Media and Cultural Studies.

Febriani. (2013). Quality education and skill of Indonesian labor towards equality wages in foreign countries. (pp.203-213). Jurnal Ekonomi Pembangunan.

Ghosh, Juhmur. (2010). Community Media: Its prospect and role as a participatory communication media in WestBangal Panchayat system. Indian. Global Media Journal.

Guo, Lei. (2017). Exploring the link between community radio and the community: a study of audience participationin alternative media practices. (pp. 112-1300). International Communication Association. Communication,Culture, and Critique.

Handayani, Dwi Wahyuni. (2009). Studi analisis berita dan opini surat kabar Lampung Post tentang perdaganganperempuan dan anak kurun waktu satu tahun. (pp. 411-417). Prosiding.

Korkonosenko, S & Berezhnaia, M. (2017). Community media online: research approaches and practices offunctioning (case of ethnic media). (pp.370-380). Instituto Federal de Rio Grande do norte. HOLOS.

Lilis Ch., dkk. (2013). Mengusung masyarakat madani melalui radio komunitas. (pp. 145-154). Jurnal Mimbar.

Magpatong, Chalisa and McDaniel, Drew. (2011). Media democratization in the crossroads: community radio inThailand and Malaysia. (pp. 116-128). Routledge. Journal of Radio and Audio Media.

Melati, Citra. (2016). Kajian emansipatoris radio komunitas dalam penanggulangan women trafficking. SkripsiDiterbitkan. Jakarta. Fikom. Universitas Pancasila.

Nassanga, Goretti Linda. (2009). An assessment of the changing community media parameters in East Africa. (pp.42-57). Afican Journalism Studies.

245PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Noeswantari., dkk. (2011). Mencegah trafficking melalui prosedur penempatan dan perlindungan tenaga kerjaIndonesia. (pp. 162-175). Pusat Studi Hak Asasi Manusia.

Order, Simon. (2015). Towards a contingency-based approach to value for community radio. (pp. 122-138). JournalInternational Studies in Broadcast & Audio Media.

Orme, Julie & Ross-Sherif, Fariyal. (2015). Sex trafficking: policies, programs and services. (pp. 287-294). OxfordUniversity Press. National Association of Social Workers.

Simoes, Rita Basilio & Peca, Marta. (2009). Gender trouble in the public sphere: mainstream press discourses of sextrafficking. (pp. 83-110). Journal Media and Journalism.

Siraj, Satil. (2012). Exploring the prospects of community radio in Bangladesh in preventing human trafficking andunsave migrations: a study on radio Mahananda 98.98 FM. Pakistan. Global Media Journal.

Seethaler, Josef & Beaufort, Maren. (2017). Community media and broadcast journalism in Austria: legal andfunding provisions as indicators for the perception of the media’s societal roles. (pp.173-194). Radio Journal.:international Studies in Broadcast & Audio Media.

Seneviratne, Kalinga. (2011). Community radio via public service broadcasting: the Kothmale Model. (pp. 129-138). Routledge. Journal of Radio and Audio Media.

Sobel, Meghan. (2016). Sex trafficking in Thai media: a content analysis of issue framing. (pp. 6126-6147).International Journal of Communication.

Syamsiah dan Herawati. (2013). Akses Informasi terbuka melalui radio berbasis masyarakat sebagai saranamembangun masyarakat madani di Indonesia.

Riyadi., dkk. (2010). Pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan dalam siaran radio SPHM serta dampaknyaterhadap perempuan di kota Makasar. Jurnal Ilmu Komunikasi.

246 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

247PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANTARA TERAPIS DENGAN PASIEN ANAK

TERLAMBAT BICARA (SPEECH DELAY) (STUDI KASUS KLINIK TUMBUH

KEMBANG ANAK MY LOVELY CHILD (MLC) KOTA PADANG)

Zumiarti

PENDAHULUAN

Kehadiran anak dalam sebuah keluarga merupakan kebahagiaan tersendiri bagi orang tua.

Perkembangan seorang anak pertama kali dimulai dari lingkungan keluarga dan interaksi antara anak

dengan orang tua. Sejak dini anak harus disiapkan untuk dapat berkembang secara optimal sesuai dengan

kemampuan yang dimilikinya, namun tidak setiap anak terlahir dalam kondisi normal. Beberapa anak

terlahir dengan kondisi mengalami hambatan dan keterbatasan, di antaranya adalah anak terlambat bicara.

Menurut dokter spesialis anak, dr. Anna Tjandra, Sp. A(K), dalam artikel www.family.fimela.com,

speech delay merupakan kasus keterlambatan berbicara pada anak. Dikatakan terlambat apabila kemampuan

perkembangan anak memiliki keterlambatan dengan rentang lebih dari tiga bulan dari perkembangan

yang seharusnya. Anna juga menjelaskan, normalnya perkembangan kemampuan berbicara anak dimulai

sejak usia tiga bulan dengan mengeluarkan suara. Umur empat bulan, anak biasanya mulai bubbling. Lalu,

menjelang sebelas bulan biasanya dia dapat menirukan kata yang persis diucapkan orang sekitarnya. Baru

di usia 12 bulan anak mulai mengucapkan sekaligus mengerti arti kata.

Sementara itu, kemampuan mengumpulkan kosa kata dan merangkai kalimat dimulai saat anak

menginjak dua tahun. Bila perkembangan si anak berbeda jauh dengan tahap-tahap ini, bisa jadi dia

mengalami speech delay. Speech delay pada anak tidak bisa dianggap enteng. Kasus speech delay semakin

bertambah tiap tahunnya. Bahkan, menurut situs pendidikan Sekolah123 pada http://health.kompas.com/

read/2014/05/12/1640161/10.Alasan.Anak.Perlu.Lepas.dari.Gadge,sekitar 5-10 persen anak usia sekolah

saat ini mengalami keterlambatan berbicara.

Akhir-akhir ini dunia terapi menggunakan teknik penyembuhan yang disebut Komunikasi

Terapeutik (Therapeutic Communication). Dengan metode ini pasien sebagai komunikan diarahkan begitu

rupa sehingga terjadi pertukaran pesan yang dapat menimbulkan hubungan sosial yang

bermanfaat.Komunikasi terapeutik digunakan untuk mencapai beberapa tujuan seperti penyusunan kembali

kepribadian, penemuan makna dalam hidup, penyembuhan gangguan emosional, penyesuaian terhadap

masyarakat, pencapaian kebahagiaan dan kepuasan, pencapaian aktualisasi diri, peredaan kecemasan,

serta penghapusan tingkah laku maladaptif dan belajar pola-pola tingkah laku adaptif.

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan

kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi

interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar terapis dengan pasien. Komunikasi

terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, namun harus direncanakan, disengaja, dan

merupakan tindakan profesional.

Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama antara

perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien. Komunikasi terapeutik bertujuan membantu

pasien dalam memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran, serta dapat mengambil tindakan

yang efektif untuk pasien. Pengalaman ilmu untuk menolong sesama memerlukan kemampuan khusus

dan kepedulian sosial yang besar. Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan

memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya.

Dalam ilmu terapeutik dijelaskan bahwa satu temuan yang secara konsisten muncul dari bukti penelitian

adalah bahwa hubungan terapeutik menyumbang bagian penting dari perubahan terapeutik yang dicapai.

Sehingga terapi wicara yang dilaksanakan untuk anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan

keterlambatan bicara diyakini dapat membantu perkembangan anak-anak dalam berbicara. Sebagian besar

komunikasi penting yang berlangsung dalam sesi terapi adalah nonverbal, disampaikan dalam isyarat,

postur, nada suara, dan sejenisnya.

Sehubungan dengan kajian dalam penelitian ini mengenai komunikasi interpersonal pada anak

speech delay, maka komunikasi interpersonal dalam penelitian ini menggunakan komunikasi keperawatan

yang disebut dengan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik menurut Mundakir (2006) adalah

248 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi. Seorang terapis dapat membantu klien

mengatasi masalah yang dihadapinya melalui komunikasi, bertujuan untuk menyelesaikan masalah pasien,

dengan maksud dapat merubah perilaku pasien menuju kesembuhan. Maksud dari kesembuhan untuk

anak speech delay adalah adanya perubahan respon saat anak speech delay berkomunikasi dengan orang

lain.

Komunikasi terapeutik adalah merupakan hubungan interpersonal antara terapis dan klien, dalam

hal ini terapis dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman

emosional klien (Stuart & Sundeen, 1998). Makin terbuka pasien dalam mengungkapkan perasaannya.

Pasien merasa lebih nyaman dan aman saat mengungkapkan perasaanya, mulai dari apa yang pasien

rasakan hingga apa yang pasien inginkan dari terapis. Pasien makin cenderung untuk meneliti perasaannya

secara mendalam bersama penolongnya (terapis).

Banyaknya pasien-pasien anak yang rutin diterapi di klinik-klinik tumbuh kembang anak yang

dilayani oleh Dokter Spesialis Anak, Psikolog Anak, Dokter Rehab Medik dan Terapis yang menangani

kasus ini membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam, pola komunikasi seperti apa yang diterapkan

terapis terhadap pasien anak yang mengalami keterlambatan berbicara sehingga mencapai perkembangan

berbicara yang cukup signifikan.

Setelah mengamati dan mempelajari fakta dan informasi yang ada, maka penulis merasa tepat

untuk memilih lokasi penelitian di Klinik Tumbuh Kembang Anak My Lovely Child, Kota Padang karena

rata-rata pasien anak speech delay setelah diobservasi oleh pihak klinik, berjumlah hampir 65% dari total

pasien secara keseluruhan dan selebihnya keterlambatan dari segi motorik halus maupun kasar serta

pertumbuhan yang tidak signifikan.

My Lovely Child (MLC) yang berdiri sejak tahun 2012 ini; beralamat di Jl. Perintis Kemerdekaan

nomor 19 Kota Padang, merupakan klinik tumbuh kembang anak dengan penanganan komprehensif oleh

dokter Spesialis Anak, dan Sub Spesialis Anak. Klinik ini selain menyediakan konsultasi anak sakit dengan

Dokter Spesialis Anak, juga melakukan kegiatan–kegiatan skrining dan pemeriksaan untuk tumbuh

kembang serta layanan terapi dan fasilitas yang terintegrasi untuk mengembangkan potensi dan kapasitas

anak, terutama anak berkebutuhan khusus.

Aktivitas utama klinik adalah praktek bersama dokter Spesialis Anak, skirining pendengaran, skrining

tumbuh kembang, terapi wicara, terapi sensori integrasi, terapi okupasi, fisioterapi, konseling, dll. Adapun

tenaga ahli yang bekerja di klinik MLC terdiri dari 6 orang dokter spesialis, 2 orang dokter umum, 2 orang

psikolog anak, 4 orang suster, 3 orang tenaga administrasi, 10 orang terapis, 2 orang apoteker, 1 orang

petugas kebersihan. Klinik MLC memiliki visi menjadi pusat layanan tumbuh kembang anak yang

terkemuka di Sumatera Barat.

Pada ilmu kesehatan dan terapi, ilmu komunikasi menjadi sangat penting karena komunikasi

merupakan alat dalam melaksanakan proses terapi. Menurut Stuart dalam asuhan terapi, komunikasi

ditujukan untuk mengubah perilaku klien dalam mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Komunikasi

terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan dipusatkan untuk

kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik mengarah pada bentuk komunikasi interpersonal. Dalam

pengertiannya, komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara terapis dengan pasien,

dalam hubungan ini terapis dan pasien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka

memperbaiki pengalaman emosional pasien (Stuart G.W, 1995).

Adapun hambatan dalam melakukan komunikasi terapeutik adalah resistens, transferens, dan

kontertransferens. Resistens merupakan upaya klien untuk tidak menyadari aspek dari penyebab cemas

atau kegelisahan yang dialami. Ini juga merupakan keengganan alamiah atau penghindaran secara verbal

yang dipelajari. Transference merupakan respon tak sadar berupa perasaan atau perilaku terhadap terapis

yang sebetulnya berawal dari berhubungan dengan orang-orang tertentu yang bermakna baginya pada

waktu dia masih kecil (Stuart dan Sundeen, 1995). Reaksi transference membahayakan untuk proses

terapeutik hanya bila hal ini diabaikan dan tidak ditelaah oleh perawat. Kontertransferens merujuk pada

respons emosional spesifik oleh terapis terhadap pasien yang tidak tepat dalam isi konteks hubungan

terapeutik atau ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Respons emosional yang berlebihan itu disebut

kontertransferens.

249PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Komunikasi interpersonal seperti yang diungkapkan oleh Devito dalam (Liliweri, 1991:13)

merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang

dengan efek dan umpan balik yang bersifat langsung. Setiap orang memerlukan hubungan interpersonal

terutama untuk dua hal yaitu perasaan dan ketergantungan. Perasaan mengacu pada hubungan yang

bersifat emosional intensif, sementara ketergantungan mengacu pada instrumen interpersonal seperti

mencari kedekatan, membutuhkan bantuan, serta kebutuhan berteman dengan orang lain yang juga

dibutuhkan untuk kepentingan mempertahankan hidup.

Dalam komunikasi interpersonal tidak hanya tertuju pada pengertian melainkan ada fungsi dari

komunikasi antar pribadi itu sendiri. Fungsi itu terkait dengan berusaha meningkatkan hubungan insani,

menghindari dan mengatasi konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu serta berbagi pengetahuan

dan pengalaman dengan orang lain (Hafied Cangara : 2007). Komunikasi interpersonal berfungsi

meningkatkan hubungan kemanusiaan diantara pihak-pihak yang melakukan komunikasi seperti mengatasi

konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan

orang lain (Cangara, 2004:33).

Istilah pola komunikasi biasa disebut juga sebagai model tetapi maksudnya sama, yaitu sistem

yang terdiri atas berbagai komponen yang berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan pendidikan

keadaan masyarakat. Pola komunikasi menurut (Efendy, 1986) adalah proses yang dirancang untuk

mewakili kenyataan keterpautannya unsur-unsur yang di cakup beserta keberlangsungannya, guna

memudahkan pemikiran secara sistematik dan logis.

Menurut Hurlock (1978:194-196) bahwa “apabila tingkat perkembangan bicara berada dibawah

tingkat kualitas perkembangan bicara anak yang umurnya sama yang dapat diketahui dari ketepatan kata,

maka hubungan sosial anak akan terhambat sama halnya apabila keterampilan bermain mereka dibawah

keterampilan bermain teman sebayanya”. Maksudnya ialah apabila perkembangan bahasa anak berbeda

dengan tingkat perkembangan bahasa anak lain seusianya maka anak akan mengalami hambatan dalam

interaksi sosialnya.

Anak terlambat bicara (speech delay) dikategorikan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK),

dikarenakan membutuhkan penanganan khusus dalam penanganannya. Dengan karakteristik khusus yang

berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakampuan mental, emosi,

atau fisik. Anak berkebutuhan khusus adalah klasifikasi untuk anak dan remaja yang secara fisik, psikologis,

dan sosial mengalami masalah serius dan menetap. Faktor penyebab anak terlambat bicara dapat terjadi

pada beberapa periode kehidupan anak, yaitu sebelum kelahiran, selama proses kelahiran, dan setelah

kelahiran (Baihaqi:2006).

Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena dengan bentuk penelitian ini

memungkinkan penulis untuk dapat menggambarkan objek penelitian secara holistik berdasarkan realitas

sosial yang ada di lapangan. Menurut Bodgan dan Taylor (dalam Moleong, 2007: 3). Subjek yang akan

diteliti dalam penelitian ini adalah terapis di Klinik Tumbuh Kembang Anak My Lovely Child (MLC), Jl.

Perintis Kemerdekaan no. 19, Kota Padang. Objek penelitian ini ini adalah pasien anak terlambat bicara

(speech delay). Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Lokasi

penelitian ini mengambil cakupan wilayah Kota Padang dengan memusatkan penelitian di Klinik Tumbuh

Kembang Anak My Lovely Child (MLC), Jl. Perintis Kemerdekaan no. 19, Padang.

Hasil dan Pembahasan

Pola Komunikasi Satu Arah

Dalam hal proses kemampuan dalam berbicara, anak pada awalnya diberikan stimulus berupa

informasi yang sebanyak-banyaknya. Informasi yang diserap tersebut, memenuhi bank kosakata yang ada

pada otak anak. Sehingga tersimpan dalam memory. Segala macam instruksi, penjabaran bentuk benda,

dan rasa dari indera peraba dan pendengaran anak ikut terstimulasi dengan pola komunikasi satu arah

yang menggunakan media terapi ini.

Pada hal ini, otomatis terjadi jenis komunikasi verbal dan non verbal. Bagaimana terapis melakukan terapi

dengan menggunakan media terapi berupa alat ronce dan mempraktekkan bagaimana cara meronce dengan

250 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

baik, tercipta komunikasi non verbal. Lalu terapis mengucapkan kata-kata instruksi, bagaimana cara

meronce dengan baik merupakan cara komunikasi verbal yang diungkapkan terapis melalui lisan.

Dalam sesi kegiatan terapi, observasi umum menunjukkan bahwa komunikasi dua arah yang dilakukan

oleh terapis terhadap pasien terlambat berbicara sudah terbangun dengan baik. Tapi menurut terapis, ada

kalanya anak yang diterapi masih belum bisa mengeluarkan kosakata, jadi hanya diam mendengarkan

deskripsi dan informasi dari terapis. Sehingga pola komunikasi dua arah tidak terbangun. Dalam

kesempatan lain, penulis menemukan konsep pola komunikasi dua arah yang dibangun oleh terapis dalam

melakukan sesi terapi terhadap pasien anak terlambat berbicara.

Pola Komunikasi Multi Arah

Anak yang terlambat berbicara, cenderung lebih aktif daripada anak biasanya. Susah berkonsentrasi,

berlari-larian dan tidak mau diam. Tidak jarang pasien juga memanjat dan membongkar benda-benda

yang ditemuinya di sekitar. Sehingga dibutuhkan perlakuan khusus bagi anak terlambat bicara.

Argumen Teoritisnya, bahwa pola komunikasi multi arah ini akan menghemat waktu si terapis dalam

menyampaikan materi terapi jika anak diterapi bersama. Selain itu penulis pun berasumsi awal, bahwa

banyak keuntungan yang akan didapat dari pola komunikasi multi arah ini, salah satunya yaitu antara

satu pasien dengan pasien-pasien lainnya dapat berinteraksi dan tidak bosan dalam ruangan terapi. Tetapi

asumsi penulis ini dipatahkan oleh terapis dengan menjawab hasil wawancara:

“Anak speech delay beda cara menstimulasinya dalam berkomunikasi. Semua hal, cara dan perlakuan juga kita lakukan

secara khusus. Dimulai dari ruangan yang berukuran kecil, supaya anak bisa fokus dulu ke terapis. Kalau anak sudah

fokus ke terapis, sudah merasa nyaman, baru terapis bisa memulai sesi terapi dengan mengajak anak bermain dulu.

Misal mengajak anak bermain papan angka, puzzle, dan lain sebagainya. Kalau anak diterapi dalam jumlah banyak,

bakalan gak efektif. Karena pasti konsentrasi mereka akan buyar. Untuk menghadapi satu anak saja, sudah cukup

sulit dan butuh penanganan yang khusus. Sehingga satu anak dengan anak yang lain harus dipisahkan. Kita harus

menterapi satu lawan satu. Terapis satu orang dengan pasien satu orang. Dengan cara ini aja kita udah cukup sulit.

Gak kebayang kalau anak dalam jumlah banyak, ya bisa-bisa lari-larian semua anak-anaknya kemana-mana, gak

bakal bisa diatur, apalagi diterapi”.Ucap terapis wicara sambil tersenyum pada saat diwawancara oleh penulis.

Wawancara kepada terapi perilaku (behavior) di Klinik My Lovely Child (MLC), Hermila Sari, S.Psi saat

ditemui pada hari Senin, 17 Juli 2017 di sela-sela jadwal terapi. Penulis mempertanyakan, kenapa pada

saat diterapi, anak tidak berada di dalam satu ruangan terapi dengan jumlah yang lebih banyak.

Misalkan tiga anak atau lebih dengan satu terapis sebagai komunikator. Beliau menjelaskan bahwa:

“Pasien anak yang diterapi disini memiliki berbagai macam penyebab, kenapa dia terlambat bicara. Paling banyak sih

karena kebanyakan dibiarkan orang tua nya bermain sendiri. Kurang diajak bersosialisasi. Kalau pasien seperti ini

hanya butuh banyak diajak interaksi dan bermain pada saat sesi terapi. Insya Allah hasil terapi nya akan lebih cepat

terlihat. Tapi ada juga anak terlambat bicara yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti down syndrome, autis,

ADHD, dan lain-lain. Nah jenis anak seperti ini harus kita klasifikasi, Bu. Gak bisa digabung juga dengan anak yang

penyebab terlambat berbicaranya berbeda. Karena akan mempengaruhi perilaku mereka juga. Fokusnya itu yang sulit

didapat. Bersama-sama melakukan terapi, dengan pasien berjumlah banyak, saya rasa memang bukan cara yang baik.

Malah sama sekali tidak boleh dipakai dalam melakukan terapi. Akan sia-sia usaha terapis dalam mendapatkan perhatian

anak. Kalau konsentrasi sulit didapat, gimana mau interaksi sama pasiennya. Ini aja saya menterapi anak, dengan

meja dan kursi kecil khusus ini. Supaya anak gak kemana-mana dan bisa fokus dulu ke saya.”

Demikian penjelasan dari terapis perilaku (behavior) yang ditemui penulis saat itu. Dalam hal ini

penulis menganalisis bahwa memang pola komunikasi multi arah tidak dapat dipakai dalam metode terapi

anak terlambat bicara. Setelah penulis melihat dan mengamati bagaiman mereka sulitnya berinteraksi

dengan anak terlambat berbicara ini, tentu pola komunikasi ini tidak akan efektif digunakan oleh terapi.

Maksud dan tujuan terapi tidak akan tercapai dan tidak akan membuahkan hasil dalam melakukan terapi.

Sehingga apa yang diusahakan terapis tidak akan mencapai tujuannya dengan baik.

Proses Komunikasi yang Dilakukan Terapis Saat Melakukan Terapi Terhadap Pasien Anak Terlambat

Berbicara (Speech Delay)

Pola komunikasi yang diterapkan terapis dalam melakukan terapi pada pasien anak terlambat

bicara (speech delay), ditemukan sebuah proses ataupun langkah demi langkah apa saja yang dilakukan

251PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

terapi pada saat melakukan terapi pada pasien anak terlambat bicara. Pada setiap proses komunikasi,

akan ditemukan cara berkomunikasi verbal yang diungkapkan dengan kata-kata dan komunikasi non

verbal, yaitu dilakukan dengan gerakan tubuh, mimik wajah, lirikan mata, juga jarak antara pasien dan

terapis.

Proses Komunikasi Psikologis

Proses komunikasi psikologis terjadi pada diri terapis dan pasien anak terlambat bicara. Ketika

seorang terapis berniat akan menyampaikan suatu pesan kepada pasien anak dalam sesi terapi, maka

dalam dirinya terjadi suatu proses. Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek, yakni isi pesan dan lambang.

Isi pesan pada umumnya adalah pemikiran, sedangkan lambang umumnya adalah bahasa.

Dari segi psikologis ini pun terbagi menjadi dua aspek, yaitu persuasif yang digunakan sebagai usaha

terapis dalam membujuk ataupun merayu pasien dalam melakukan terapi tersebut. Terkadang anak sedang

tidak dalam kondisi perasaan hati yang baik. Menolak melakukan terapi, ataupun tidak mau mengikuti

instruksi terapis.

Dalam proses komunikasi psikologi persuasif ini, penulis menilai dan menganalisis bahwa proses

ini merupakan langkah awal dalam melakukan sesi terapi. Dalam mendapatkan perhatian anak, terapis

dituntut untuk sabar dalam membujuk ataupun merayu anak untuk memasuki ruangan, memulai sesi

terapi dengan gembira, dan lain sebagainya. Berbagai cara harus dilakukan terapi dengan membujuk anak,

missal dengan mengalihkan perhatian anak yang sedang bad mood kepada benda lain agar anak bisa

menstabilkan emosinya. Terapis memang dituntut untuk melakukan proses ini dengan baik.

Di samping itu, proses komunikasi psikologi juga dinilai dari aspek empati. Bagaiman terapis dapat ikut

merasakan apa yang dirasakan pasien. Misalkan pasien cemas karena baru mengenal terapis sehingga

merasa takut berada berdua di dalam ruangan terapis, maka terapis harus ikut merasakan apa yang

dirasakan pasien. Terapis harus bisa memposisikan dirinya seolah-olah berada pada posisi pasien. Sehingga

terapis seolah-olah ikut merasakan apa yang dirasakan oleh pasien.

Upaya berempati biasanya terjadi dalam sesi terapi. Upaya berempati tersebut dilakukan dalam

proses komunikasi psikologi. Hal ini cukup besar pengaruhnya bagi kelancaran proses terapi. Dikarenakan

anak pada hakikatnya tidak bisa dipaksa. Usia anak-anak merupakan fase bermain tanpa adanya rasa

tertekan dan rasa tidak nyaman terhadap lingkungan sekitar. Sehingga penulis berkesimpulan bahwa,

proses awal dalam sebuah terapi adalah bagaimana menciptakan rasa percaya antara terapis dan pasien.

Percaya bahwa terapis dapat memberikan rasa aman dan rasa nyaman kepada pasien. Bagaimana pasien

dapat menikmati setiap proses terapi, sehingga terapis pun dengan mudah menyampaikan materi terapi.

Proses komunikasi primer merupakan penyampaian pikiran oleh terapis kepada pasien menggunakan

lambang sebagai media atau saluran. Media atau saluran disini yaitu bahasa. Bagaimana terapis dalam

menstimulasi anak dengan memberi penjelasan melalui bahasa secara verbal, demi menyampaikan materi

terapi. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa pada setiap sesi terapi, tentu menggunakan bahasa, ungkapan

kata-kata yang bermakna dari terapis secara verbal yang diucapkan kepada pasien.

Proses komunikasi secara primer dalam terapi ini menggunakan bahasa sebagai media, yang

merupakan komunikasi yang disampaikan secara verbal. Lambang atau symbol yang dipergunakan sebagai

media primer dalam proses komunikasi yang digunakan terapis ialah bahasa sebagai proses komunikasi

utama. Adapun gambar, isyarat, warna dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan

pikiran dan perasaan terapis kepada pasien ataupun sebaliknya, merupakan proses komunikasi primer

berbentuk non verbal.

Bahasa merupakan yang paling banyak digunakan untuk menerjemahkan pikiran terapis kepada

pasien. Isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya, hanya dapat mengomunikasikan hal-hal tertentu saja

(sangat terbatas). Maka dari itu, penulis menyetujui apa yang disampaikan oleh terapis wicara tersebut.

Proses Komunikasi Sekunder merupakan proses penyampaian pesan oleh terapis kepada pasien dengan

menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.

Pada sesi terapi, terapis mengajak pasien bermain dengan melatih motorik kasar pada anak.

Pola komunikasi sekunder ini adalah hal yang selalu dilakukan terapis pada saat sesi terapi. Terapi

selalu dilakukan dengan menggunakan alat terapi sebagai media ataupun saluran untuk memudahkan

pasien dalam menerima materi terapi. Adapun mainan yang dijadikan media terapi bertujuan untuk alat

252 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

bantu utama dalam penyampaian sesi terapi. Selain itu, media ini juga dapat menarik minat anak-anak

dalam terapi dan memberikan pemahaman visual kepada anak. Walaupun tidak dilihat wujud asli benda

yang diceritakan terapis kepada anak, namun dengan alat peraga sebagai media terapi ini sangat efektif

dalam membantu pemahaman anak dalam memperkaya pengetahuan dan menambah kosakata anak.

Proses secara linear adalah proses penyampaian pesan dalam penyampaian materi terapi oleh terapis

kepada pasien anak terlambat bicara (speech delay) sebagai titik terminal. Komunikasi linear ini berlangsung

baik dalam situasi komunikasi tatap muka (face-to-face communication) maupun situasi komunikasi bermedia

(mediated communication). Dalam semua sesi terapi yang ditemu menggunakan proses komunikasi linear

ini. Dimana terapis dan pasien bertemu dan saling berhadap-hadapan dan menggunakan media terapi

seperti alat musik, boneka, alat-alat transportasi, papan magnet, sebagai alat bantu dalam penyampaian

materi terapi.

Dalam terapi ini munculnya proses komunikasi linear ataupun proses komunikasi yang dilakukan

dengan tatap muka. Berikutnya, sesi terapi yang diamati penulis, pada saat melakukan proses penyampaian

materi terapi, terapis dan pasien anak terlihat duduk berhadapan pada matras yang terletak di lantai.

Proses komunikasi linear merupakan proses komunikasi yang cukup penting dalam menstimulasi anak

terlambat bicara. Dikarenakan anak terlihat fokus dan merasa diperlakukan istimewa dengan segenap

perhatian terapis tertuju padanya. Anak akan lebih mudah memahami dan menerima konsep-konsep terapi

yang diajarkan terapis pada saat melakukan terapi. Timbulnya rasa kedekatan antara pasien dan terapis

pada saat melakukan proses komunikasi ini. Sehingga segala macam instruksi dan pengajaran yang

diberikan terapis akan lebih mudah diserap oleh pasien anak.

Proses komunikasi secara sirkular adalah terjadinya feedback ataupun umpan balik, yaitu terjadinya

arus dari terapis kepada pasien anak. Oleh karena itu ada kalanya umpan balik tersebut mengalir dari

pasien anak kepada terapis, yang disebut sebagai “response” atau tanggapan pasien anak terhadap pesan

dalam penyampaian materi terapi yang diterima dari terapis.

Anak yang sudah bisa diajak bekerja sama, mencerna segala bentuk instruksi terapis akan lebih

mudah merangsang motorik halus dan motorik kasarnya. Dimulai dari indera peraba, indera pendengaran,

dan indera penglihatannya. Anak akan merasakan, otot-otot tubuhnya bekerja lebih kuat untuk kegiatan

fisik seperti memanjat, berlari, menendang bola, menaiki tangga-tangga untuk menuju ke puncak

seluncuran, dan lain sebagainya.

Dalam terapi ini, adanya proses komunikasi yang disampaikan terapis kepada Farhan dengan

menggunakan proses komunikasi sirkular, yaitu penjelasan serta contoh yang diberikan terapis, mendapat

response dari pasien anak dengan mencoba melakukan hal yang sama dilakukan oleh terapis dengan gerak

tubuh dan ekspresi wajah dalam bentuk non verbal dan memberikan response berupa kata-kata yang

ditunjukkan pasien anak kepada terapis dengan cara verbal.

Komunikasi sirkular dalam adanya feed back ataupun response dari pasien merupakan tahap akhir

dari proses komunikasi untuk membuat proses komunikasi ini berjalan ideal. Dimulai dari terapis

menyampaikan materi terapi, lalu pasien anak sebagai komunikan mulai mencoba memahami makna-

makna yang diucapkan oleh terapis.

Selanjutnya terapis menggunakan media terapi berupa alat peraga seperti jepitan warna warni,

kolam yang diisi air, kertas bergambar, papan titian untuk melatih keseimbangan dan lain sebagainya.

Melalui alat ini pun sangat membantu anak dalam menyerap segala informasi yang diberikan terapis.

Selain itu, alat peraga juga digunakan untuk mendapatkan perhatian anak kepada terapis agar sesi terapi

dapat berlangsung dengan baik. Terapi yang dilakukan secara tatap muka langsung dengan posisi dekat

antara terapis dan pasien akan membuat terapi berjalan efektif.

Maka idealnya, adanya response dari pasien anak terhadap terapis, sehingga proses komunikasi

sirkular tercipta. Jika sudah sampai ke tahapan proses komunikasi ini, tidak dapat dipungkiri bahwa terapi

akan berjalan dengan ideal. Maksud dan tujuan terapi akan terlaksana dan tercipta dengan baik. Tinggal

menunggu hasil evaluasi jangka panjang, apakah pasien memiliki perkembangan setelah berapa lama

terapi dibandingkan saat pertama kali pasien datang untuk melakukan terapi di Klinik My Lovely Child

(MLC).

253PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Hambatan yang Dihadapi Terapis Dalam Melakukan Terapi Kepada Pasien Anak Terlambat Berbicara

(Speech Delay)

Hambatan Resistens

Hambatan Resistens merupakan upaya pasien untuk tidak menyadari aspek dari penyebab cemas

atau kegelisahan yang dialami. Ini juga merupakan keengganan alamiah atau penghindaran secara verbal

yang dipelajari. Pasien yang resistens biasanya menunjukkan ambivalensi antara menghargai tetapi juga

menghindari pengalaman yang menimbulkan cemas padahal hal ini merupakan bagian normal dalam

proses terapeutik. Resistens ini sering akibat dari ketidaksesuaian pasien untuk berubah ketika kebutuhan

untuk berubah telah dirasakan.

Ekspresi yang tidak bisa mereka ungkapkan, akan diungkapkan melalui rasa amuk dan kecewa

terhadap terapis karena tidak bisa menangkap maksud dan keinginannya sehingga akan berupaya menyakiti

dirinya dan orang lain. Biasanya kejadian ini akan berlangsung 5-10 menit. Tergantung kondisi perasaan

anak pada saat itu. Sehingga terapis mengalami hambatan dalam berkomunikasi kepada pasien anak.

Susah sekali mendapatkan dan mengembalikan anak dalam kondisi mood yang baik. Adanya hambatan

komunikasi resistens disini yang membuat terapi tidak dapat menyampaikan materi terapi dengan

sempurna.

Dalam yang ditemukan penulis di lapangan, banyak juga anak yang menangis sampai sesi terapi

berakhir. Menolak diajak terapi. Tetapi pada awal proses terapi, biasanya anak mengalami fase ini. Sampai

anak benar-benar nyaman dengan lingkungan terapi, baru mau diajak berkomunikasi untuk diterapi. Penulis

setuju dengan sikap terapis bahwa segala kegiatan yang akan dilakukan dengan anak, tidak bisa dipaksakan

sesuai dengan teori yang ada. Tetapi lebih kepada melihat mood dan situasi anak pada saat itu. Bagaimana

anak dibuat merasa nyaman dulu, walau terkadang terapis masih tetap kewalahan menghadapi berbagai

macam anak dengan berbagai macam karakter dan diagnosa penyakit penyebab anak terlambat berbicara

dari dokter.

Hambatan Transferens merupakan respon tak sadar berupa perasaan atau perilaku terhadap terapis

yang sebetulnya berawal dari berhubungan dengan orang-orang tertentu yang bermakna baginya pada

waktu dia masih kecil. Pada jenis hambatan ini tidak ditemukan di lapangan oleh penulis pada jenis sesi

terapi apapun di Klinik My Lovely Child (MLC). Baik dari kelas terapi wicara, terapi sensori integrasi, dan

terapi perilaku (behavior).

Hambatan Kontertransferens merujuk pada respons emosional spesifik oleh terapis terhadap pasien

yang tidak tepat dalam isi konteks hubungan terapeutik atau ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Terapis

terkadang tidak menyadari bahwa apa yang telah di lakukan itu nantinya merugikan kedua belah pihak.

Terapis biasanya terpancing oleh sikap pasien yang berlebihan, baik sikap terlalu baik maupun sikap yang

terlalu buruk sehingga terapis merespons dengan emosi yang berlebihan juga.

Respons emosional yang berlebihan itu disebut kontertransferens. Dalam rentang jangka waktu

penelitian, penulis tidak menemukan jenis hambatan kontertransferens dalam sesi terapi yang ada di Klinik

Tumbuh Kembang Anak My Lovely Child (MLC), baik dari kelas terapi wicara, terapi sensori integrasi dan

terapi perilaku (behavior). Terapis dapat mengendalikan emosi dan perilakunya di hadapan pasien dengan

baik tanpa ikut terpancing dengan reaksi pasien pada saat diterapi.

Kesimpulan

Pola komunikasi yang digunakan terapis dalam menstimulasi pasien anak yang mengalami

keterlambatan berbicara menggunakan pola komunikasi satu arah dan dua arah. Penelitian ini mendukung

teori pola komunikasi yang dikemukakan oleh Efendy. Bahwa, pola komunikasi terdiri atas 3 macam,

yaitu: pola komunikasi satu arah, pola komunikasi dua arah dan pola komunikasi multi arah.

Proses komunikasi yang dilalukan terapis saat melakukan terapi pada anak terlambat bicara,

menggunakan proses komunikasi secara psikologis dengan persuasif dan empati. Lalu secara mekanis,

melakukan proses komunikasi secara primer, skunder, linear dan sirkular. Secara konseptual temuan

penelitian ini, menguatkan teori Efendy tersebut yang secara keseluruhan poin-poin ini digunakan terapis

pada saat terapi terhadap pasien anak terlambat bicara (speech delay). Hal ini pun bersamaan dilakukan

selama sesi terapi dengan menggunakan komunikasi secara verbal dan non verbal yang dikemukakan

secara teoritis oleh Atep Adya Barata.

254 PROSIDING SEMINAR NASIONAL FISIP UNSOED 2018

Hambatan komunikasi yang ditemui terapis dalam sesi terapi wicara, terapi perilaku (behavior) dan

terapi sensori integrasi mendapatkan hambatan resistens yang mendukung teori Stuart dan Sundeen. Di

Klinik My Lovely Child (MLC), hanya ditemukan jenis hambatan resistens saja. Sedangkan hambatan

transferens dan kontertransferens tidak ditemukan selama proses terapi berlangsung.

DAFTAR PUSTAKAArikunto.S. 2002. Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan Proposal.Jakarta : PT Rineka Cipta

Baihaqi, MIF & M. Sugiarman. 2006. Memahami dan Membantu Anak ADHD. Bandung: Refika Aditama

Bittner, John. R. 1985. Broadcasting and Telecommunication, An Introduction. New Jersey: Prentice-Hall

Bungin, Burhan. 2003. Analisa Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah PenguasaanModel Aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Cangara, Hafid. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup.

Cangara, Hafid. 2007. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Efendy, Onong U. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: CV. Remaja Rosdakarya.

Efendy, Onong U. 1989. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Hurlock B., Elizabeth.1978. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Liliweri, Alo. 1991. Komunikasi Antarpribadi. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Liliweri, Alo. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Kesehatan. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Miles, M. B., dan Huberman. 1984. Qualitative Data Analysis : A Sourbook of New Methos. California : Sage.

Moleong, Lexy J, 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Mundakir. 2006. Komunikasi Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sundeen, G. W. S. & S. J. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Stuart, G.W & Sundeen S.J.(1995). Principles and Practise of Psychiatric Nursing. St. Louis: Mosby Year Book.

Suryani. 2005. Komunikasi Terapeutik Teori & Praktek. Jakarta: EGC.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Bandung: Alfabeta.

Website

http://www.speechdelay.com diakses (23 Oktober 2017)

http://health.kompas.com/read/2014/05/12/1640161/10.Alasan.Anak.Perlu.Lepas.dari.Gadget, diakses tanggal 28Februari 2017

http://family.fimela.com/bayi-balita/tumbuh-kembang/orangtua-dan-gadget-sebabkan-anak-telat-bicara-140203r-page2.html, diakses tanggal 12 Februari 2017

http://gemarullyana.blogspot.co.id/2012/11/komunikasi-non-verbal.html, diakses tanggal 10 Juli 2017

Disertasi

Anggadewi M. 1993. Variabel-variabel Pengasuhan yang “Nurturant” Untuk Perkembangan Kognitif Bayi 6-12

bulan. Disertasi. Jakarta: F.Psi UI.