regionalisme asitektur.docx
TRANSCRIPT
KONTEKSTUAL ARSITEKTUR REGIONAL
I. Pendahuluan
Seni bangunan sebenarnya adalah suatu bidang kesenian yang amat cocok untuk dapat
mempertinggi rasa kebanggaan dan identitas suatu bangsa. Wujudnya sangat fisik dan
Iokasinya di kota-kota besar yang sering dikunjungi oleh bangsa-bangsa dari seluruh
penjuru mata angin, sehingga dapat tampak dan luar. Sifat khasnya bisa mudah ditonjolkan
sedangkan mutunyapun mudah dapat diobservasi. Sumber untuk mengembangkan sifat-
sifat khas dalam seni bangunan Indonesia dapat dicari di dalam seni bangunan dari suku-
suku bangsa di daerah atau alam Indonesia seluruhnya, sedangkan pengembangan mutu
ditentukan oleh standar ilmu arsitektur. Gaya nasional yang benar-benar bisa kita
dibanggakan sebenarnya belum ditemukan oleh arsitek-arsitek kita. Banyak gedung baru di
berbagai kota di Indonesia belum memperlihatkan suatu kepribadian yang kuat walaupun
usaha untuk mengolah unsur tertentu dari seni arsitektur Indonesia sudah dicoba
(Koentjaraningrat, 1974). Pada kesempatan lain, Josef Prijotomo menyatakan bahwa suatu
karya arsitektur dapat dirasakan dan dilihat sebagai karyl yang bercorak Indonesia bila
karya ini mampu untuk: a. Membangkitkan perasaan dan suasana ke-Indonesiaan lewat
rasa dan suasana b. Menampilkan unsur dan komponen arsitektural yang nyata-nyata
nampak corak kedaerahannya, tetapi tidak hadir sebagai tempelan atau tambahan ("topi")
saja. Perbincangan tentang arsitektur tidak dapat lepas dari perbincangan dua kutub
arsitektur yaitu Arsitektur masa lampau (lama) dan Arstitektur masa kini (baru). Arsitektur
masa Iampau diwakili oleh arsitektur vernakular, tradisional, maupun klasik. Arsitektur masa
kini diwakili oleh arsitektur modern, post-modern, dan lain-Iainnya.
Lahirnya Regionalisme
Bermula dari munculnya Arsitektur Modern yang berusaha meninggalkan masa lampaunya,
meninggalkan ciri serta sifat-sifatnya. Pada periode berikutnya mulai timbul usaha untuk
mempertautkan antara yang lama dan yang baru akibat adanya krisis identitas pada
arsitektur. Aliran-aliran tersebut antara lain adalah tradisionalisme, regionalisme, dan post-
modernisme.
Regionalisme diperkirakan berkembang sekitar tahun 1960 (Jenks, 1977). Sebagai salah
satu perkembangan Arsitektur Modern yang mempunyai perhatian besar pada ciri
kedaerahan, aliran ini tumbuh terutama di negara berkembang. Ciri kedaerahan yang
dimaksud berkaitan erat dengan budaya setempat, iklim, dan teknologi pada saatnya
(Ozkan, 1985). Secara prinsip, tradisionalisme timbul sebagai reaksi terhadap adanya tidak
adanya kesinambungan antara yang lama dan yang baru (Curtis, 1985). Regionalsime
merupakan peleburan/ penyatuan antara yang lama dan yang baru (Curtis,1985).
Sedangkan Postmodern berusaha menghadirkan yang lama dalam bentuk universal (Jenks,
1977) Menurut William Curtis, Regionalisme diharapkan dapat menghasilkan bangunan
yang bersifat abadi, melebur atau menyatu antara yang lama dan yang baru, antara regional
dan universal. Kenzo Tange menjelaskan bahwa Regionalisme selalu melihat ke belakang,
tetapi tidak sekedar menggunakan karakteristik regional untuk mendekor tampak bangunan.
Arsitektur Tradisional mempunyai lingkup regional sedangkan Arsitektur Modern mempunyai
lingkup universal. Dengan demikian maka yang menjadi ciri utama regionalisme adalah
menyatunya Arsitektur Tradisional dan Arsitektur Modern.
Timbul suatu pertanyaan, apa saja yang mungkin dikaitkan sehingga Arsitektur Masa
Lampau (AML) dan Arsitektur Masa Kini (AMK) keduanya secara visual luluh menjadi satu
kesatuan. Menurut Wondoamiseno, kemungkinan-kemungkinan pengkaitan tersebui adalah:
a. Tempelan elemen AML pada AMK
b. Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK
c. Elemen fisik AML tidak terlihat jelas dalam AMK
d. Ujud AML mendominasi AMK
e. Ekspresi ujud AML menyatu di dalam AML
Untuk dapat mengatakan bahwa AML menyatu di dalam AMK, maka AML dan AMk
secara visual harus merupakan kesatuan (unity). Kesatuan yang dimaksud adalah kesatuar
dalam komposisi arsitektur. Apabila yang dimaksud menyatu bukan menyatu secara visual
misalnya kwalitas abstrak bangunan yang berhubungan dengan perilaku manusia, make
secara penilaian dapat dengan menggunakan observasi langsung maupun tidak langsung.
Untuk mendapatkan kesatuan dalam komposisi arsitektur ada tiga syarat utamr yaitu
adanya :
a. Dominasi
Dominasi yaitu ada satu yang menguasai keseluruhan komposisi. Dominasi dapa dicapai
dengan menggunakan warna, material, maupun obyek-obyek pembentul komposisi itu
sendiri.
b. Pengulangan
Pengulangan di dalam komposisi dapat dilakukan dengan mengulang bentuk, warna
tekstur, maupun proporsi. Didalam pengulangan dapat dilakukan dengan berbagai iram<
atau repetisi agar tidak terjadi kesenadaan (monotone).
c. Kesinambungan dalam komposisi
Kesinambungan atau kemenerusan adalah adanya garis penghubung maya (imaginer yang
menghubungkan perletakan obyek-obyek pembentuk komposisi.
Melalui regionalisme diharapkan dapat menghasilkan bangunan yang bersifat abadi
melebur atau menyatu antara yang lama dan yang baru, antara regional dan universal
Konsep ini merupakan alternatif terhadap tantangan bagi arsitek Indonesia dalan
menciptakan arsitektur yang "berjati diri". Kreatifitas arsitek dan perencana kota dituntut
untuk mampu mendisain bangunan yang mengakomodas semangat lokal sekaligus global.
Aplikasi disain yang mampu mencerminkan buday, setempat sekaligus mengadopsi
teknologi terbaru. Dengan demikian melalui arsitektur mampu ditumbuhkan rasa
kebanggaan daerah sekaligus nasionalisme.
II. REGIONALISME ARSITEKTUR
Saat kita mencari arti kata Regionalisme kita akan membuat asumsi dengan menyebut
Region dan Isme, Region adalah Daerah dan Isme adalah paham. Memang tidak salah,
namun kurang tepat. Regionalisme bukan suatu wujud dari sikap kedaerahan namun
muncul sebagai akibat dari koreksi terhadap maraknya penyeragaman wujud bangunan di
seluruh dunia sehingga kita tidak lagi mengenal lagi mana budaya kita, dan mana budaya
tetangga kita. Artinya kita tidak mengenal lagi mana budaya asli daerah/ Negara kita
dengan Daerah/ Negara lain. Akibatnya banyak sekali salah kaprah dalam menentukan/
memutuskan segala sesuatu dalam membangun, seperti desain bangunan, bahan
bangunan, pola – pola ruang,dsb. Mereka tinggal dalam kotak – kotak dari beton dengan
atas nama modern, efisiensi, efisiensi,dll, dan toh akhirnya kembali mencoba
mendefinisikan kembali arti makna ideruang, bentuk,dsb yang kemudian mencoba
melahirkan satu misi baru dalam berarsitektur, yakni yang disebut dengan arsitektur
Regionalis/ regionalisme dalam arsitektur.
1. Pengertian Regionalisme dalam Arsitektur
Regionalisme dalam arsitektur merupakan sutu gerakan dalam arsitektur yang
menganjurkan penampilan bangunan yang merupakan hasil senyawa dari internasionalisme
dengan pola cultural dan teknologi modern dengan akar, tata nilai dan nuansa tradisi yang
masih di anut oleh masyarakat setempat. Adapun ciri – ciri daripada arsitektur regionalis
adalah sebagai berikut :
Menggunakan bahan bangunan local dengan teknologi modern
Tanggap dalam mengatasi pada kondisi iklim setempat
Mengacu pada tradisi, warisan sejarah serta makna ruang dan tempat
Mencari makna dan substansi cultural, bukan gaya/ style sebagai produk akhir.
Kemunculannya juga bukan merupakan ledakan daripada sikap emosional sebagai
respon dari ketidak berhasilan dari arsitektur modern dalam memenuhi keinginan masing –
masing individu di dunia, akan tetapi lebih pada proses pencerahan dan evaluasi terhadap
kesalahan – kesalahan pada masa arsitektur modern.
2. Misi Regionalisme dalam Arsitektur
Regionalisme dalam hal ini mempunyai suatu misi yakni mengembalikan benang merah,
suatu kesinambungan masa dahulu dengan masa sekarang dan masa sekarang dengan
masa yang akan datang melalui kekhasan budaya yang dimiliki serta untuk mengimbangi
dari kerusakan budaya akibat dari berbagai macam kekuatan sistem produksi baik
rasionalisme, birokrasi, pengembangan skala besar maupun internasional style (Andy
Siswanto,Ir., Msc. M. Arch dan Eko Budiharja, Prof. Ir., Msc., 1997, 130).
3. Sasaran Regionalisme dalam Arsitektur
Adapun sasaran daripada Arsitektur Regionalis ini adalah Masayarakat, Para Aktor
Pembangun Arsitektur dan Perkotaan baik swasta maupun aparat birokrasi pemerintah.
a. Sasaran bagi Masyarakat yang akan membangun Kepada masyarakat di harapkan
memiliki sensifitas dalam membangun maupun menilai lingkungan di sekitarnya, yakni
dengan :
o Penampilan bangunan rumahnya sedikit banyak mencerminkan adanya
regionalisme
o Memberikan penilaian positif dan mendukung bangunan yang terdapat paham
regionalisme
b. Sasaran bagi Arsitek bangunan dan perkotaan.
Sebesar apapun gerakan regionalisme tetap saja, stake holder dalam hal ini pemerintah
merupakan penentu kebijakan tertinggi. oleh sebab itulah perlu usaha upaya guna
menyamakan persepsi bersama antara aktor pembangun swasta maupun birokrasi
pemerintah sehingga tercipkan suatu persamaan gerak dan pacuan dalam
memboomingkan gagasan regionalisme ini.
c. Sasaran bagi Tim jati diri Arsitektur.
Tim jati diri merupakan tim yang memiliki kompetensi kerja dan wawasan yang cukup
tinggi di harapkan mampu memberikan arahan yang tepat dalam proses gerakan
Arsitektur Regionalisme ini.
4. Maksud dan Tujuan Regionalisme dalam Arsitektur
Maksud dan tujuan daripada regionalisme dalam arsitektur ini adalah untuk menciptakan
arsitektur yang kontekstual yang tanggap terhadap kondisi lokal. Setiap tempat dan ruang
tertentu memiliki potensi fisik, sosial, dan ekonomi dan secara kultur memiliki batas – batas
arsitektral maupun sejarah. Dengan demikian arsitektur regionalis seperti halnya arsitektur
tropis, senantiasa mengacu pada tradisi, warisan sejarah serta makna ruang dan tempat.
5. Arah Gerakan Regionalisme
Gerakan Regionalisme secara pragmatis dapat disimpulkan bahwa gerakan ini
mengarah pada pemenuhan kepuasan dan ekspresi jati diri yang mengacu pada masa lalu,
sekarang dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu perlu ada definisi yang mengarahkan
ini sehingga memiliki batas kebijakan yang dapat dipertanggung jawabkan seperti halnya
idealisme yang telah dibangun.
Tidak bertentangan dengan konsep pembangunan berkelanjutan
Gerakan Regionalisme ini di tujukan selain berbicara pada tataran aspek konseptual
yang berhubungan engan aspek budaya setempat, desain bangunan, simbolisasi,
ornamen, dsb juga berbicara pada tataran upaya dan strategi guna membuat bangunan
ini bertahan sepanjang kurun waktu tertentu sehingga dapat menjadi contoh pada masa
mendatang.
Hal ini bisa dilakukan dengan memilih bahan – bahan bangunan yang tanggap terhadap
kondisi iklim lokal daerah yang berbeda – beda antara satu dengan yang lain,
pengatasan desain bangunan dan teknologi yang di pakai serta kondisi kenyaman ruang
dan bangunan sehingga selain awet juga tidak terjadi disfungsi kegiatan di dalamnya
bahkan ditinggalkan oleh penghuninya.
Perangkai budaya masa lalu, sekarang dan masa depan
Gerakan Regionalisme pada bangunan ini merupakan supaya upaya bagaimana suatu
bangunan dapat dimaknai bukan saat dimana bangunan itu di buat/ kontemporer akan
tetapi bagaimana bangunan itu dapat dimaknai keberadaannya dan tetap kontekstual
sampai kapanpun. bagaimana upaya yang dilakukan? yakni dengan memasukkan unsur
sejarah yang memberikan makna monumental di dalamnya, dimana hal ini adalah unsur
yang mampu membangkitkan semangat serta kesadaran identitas daerahnya, dengan
dipadukan dengan gaya internasional dan teknologi modern yang mampu memberikan
makna serta nilai – nilai universal dan rasional, hal ini adalah unsur yang mampu
memberikan gairah kesepahaman universal dan persamaan budaya internasional.
Menurut Andy Siswanto, “dalam melihat definisi dari kritikus Kenneth Frampton dalam
jurnal Perspecta, Yale University (20 -11-1982) mengandung pengertian bahwa Ekspresi
rehioanlisme di tunjang oleh taraf kemakmuran yang memadai atau dengan kata lain, di
butuhkan biaya yang tinggi karena di tunjang dengan tekanik yang modern”.
Artinya bahwa dalam membangun pola – pola gerakan regionalisme dalam bangunan ini
mempunyai konsekuensi pada besarnya anggaran yang di keluarkan guna memenuhi
aspek – aspek/ syarat – syarat yang harus di penuhi dalam membangun bangunan yang
memuat ciri – ciri regionalis ini seperti dalam pemilihan bahan bangunan, teknik yang di
pakai, desain bangunan yang tidak hanya asal – asalan, namun di dasarkan pada sebuah
sikap penuh idealisme serta dapat di pertanggung jawabkan.
Arah Gerakan Regionalisme di Indonesia
Kita bisa melihat di sekeliling kita, bahwa bangunan yang kemudian di sebut sebagai
bangunan yang memuat aspek – aspek regionalisme adalah bangunan – bangunan dengan
bahan serta teknik modern yang beratapkan joglo atau limasan, jadi seolah – seolah
penggolongan bangunan ini hanya di dasarkan pada bentuk luar bangunan serta ragam
budaya tradisional yang di tawarkan dan telah dimilki oleh masyarakat sebelumnya.
Menurut Eko Budiharjo(1997), arus regionalisme di Indonesia seolah masih tergantung
pada vernakularisme. gerakan regionalisme di Indonesia juga masih cenderung hanya
meniru bentuk fisik, ragam dan gaya – gaya tradisional yang sudah di miliki oleh masyarakat
setempat.
III. KONSEP DAN PRINSIP RANCANG PEMIKIRAN PARA ARSITEK TERHADAP
ARSITEKTUR REGIONALISME.
Secara geografis, setiap wilayah/region memiliki ciri kedaerahan yang berbeda-beda,
bergantung pada budaya setempat, iklim dan teknologi yang ada. Karenanya, setiap arsitek
di berbagai daerah di seluruh dunia pun memiliki pemikiran tersendiri atas sebuah teori
regionalisme. Regionalisme bukan sebuah gaya, melainkan sebuah aliran pemikiran
tentang arsitektur
WilliamCurtis seorang sejarahwan Willian Curtis melihat Regionalisme dalam arsitektur
sebagai respon alami terhadap hegemoni Barat yang berusaha menciptakan suatu
arsitektur yang lunak dan mirip (serupa) didalam pengembangan pusat-pusat urban (kota)
yang sangat cepat di Dunia Ketiga. William Curtis yang merefleksikan jalan pemikiran ini,
mencatat bahwa disana ada momentum pertemuan suasana hati yang menolak reproduksi
yang fasih menurut formula internasional dan yang sekarang mencari kontinuitas di dalam
tradisi lokal.
Rapoport menyatakan bahwa Regionalisme meliputi “berbagai tingkat daerah” dan
“kekhasan”, dia menyatakan bahwa secara tidak langsung identitas yang diakui dalam hal
kualitas dan keunikan membuatnya berbeda dari daerah lain. Hal ini memungkinkan
mengapa arsitektur Regional sering diidentifikasikan dengan Vernakuler, yang berarti
sebuah kombinasi antara arsitektur lokal dan tradisional ( asli ).
Frampton ( dalam bukunya Modern Architecture and the Critical Present, 1982 )
Regionalisme tidak bermaksud menunjukkan Vernakuler sebagai suatu hasil hubungan
interaksi iklim, budaya, dan hasil karya manusia, akan tetapi lebih pada mengidentifikasikan
Regional yang tujuannya telah dihadirkan kembali dan disediakan dalam jumlah tertentu.
Regionalisme tertentu, pendefinisiannya pada hasil eksplisit atau implisit antara masyarakat
dan pernyataan arsitektural, maka antara kondisi awal ekspresi regional tidak hanya
kemakmuran lokal tetapi juga rasa yang kuat akan identitas.
Peter Buchanan( dalam bukunya The Architectural Review, Mei 1983 )
Regionalisme adalah kesadaran diri yang terus menerus, atau pencapaian kembali, dari
identitas formal atau simbolik. Berdasar atas situasi khusus dan budaya lokal mistik,
regionalisme merupakan gaya bahasa menuju kekuatan rasional dan umum arsitektur
modern. Seperti budaya lokal itu sendiri regionalisme lebih sedikit diperhatikan dengan hasil
secara abstrak dan rasional. Dan lebih dengan penambahan fisik, lebih dalam dan nuansa
pengalaman hidup.
Rory Spence dalam sebuah artikel yang berjudul “ The Concept of Regionalism Today :
Sydney and Melbourne considered as contrasting phenomena “ ( Transition : Discourse on
Architecture, July 1985 ), Rory menyatakan bahwa : Regionalisme dalam arsitektur
merupakan bagian dari seluruh pengarahan kembali atas kualitas hidup, sebagai
penentangan terhadap penghapusan paham perluasan ekonomi dan kemajuan material
dalam hal pembiayaan. Hal ini lebih memusatkan perhatian pada para pengguna bangunan
daripada penyediaan perluasan ekonomi dan material. Seharusnya hal ini juga dibedakan
dengan jelas dari keraguan yang berlebihan atas sebuah konsep arsitektur nasional.
Chris Abel, dalam Perubahan Regional ( The Architectural Review, November 1986 )
menyatakan bahwa : Regionalisme berusaha untuk melihat kembali arsitektur Modernisme
yang nampak, yaitu secara berkesinambungan dalam memberi tempat antara bentuk
bangunan masa lalu dengan masa sekarang.
Kenza Boussora (Algeria) berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Boussora dapat
disimpulkan bahwa tujuan dari regionalisme, dalam beberapa kasus, kemunculannya tidak
dapat diterapkan, karena adanya ketidaksesuaian atau ketidakcocokan antara tujuan dan
hubungan secara khusus yang mana sebuah bangunan didirikan. Boussora mengambil
contoh-contoh permasalahan di Algeria yang mana tidak sesuai dengan tujuan dari
regionalisme. Dua diantaranya adalah seperti yang disebutkan dibawah ini:
Bagaimana untuk mencapai keselarasan (kesesuaian) dengan sumber-sumber dimana
tidak mencukupi untuk merespon kebutuhan dengan cepat bagi penyediaan perluasan
bangunan.
Sebagian besar proyek digambarkan dalam literatur pada regionalisme sebagai sebuah
bangunan kecil terutama bangunan individu dalam plural area. Masalahnya bahwa
arsitektur modern telah mencoba untuk memecahkan permasalahan yang ada di Algeria;
yaitu, bagaimana menyediakan sejumlah besar tipe-tipe bangunan yang berbeda, bagian-
bagian rumah secara cepat dan rendah biaya pada penyediaannya.
Tan Hock Beng, dalam bukunya Tropical Architecture and Interiors : Tradition-Based
design of Indonesia-Malaysia-Singapore-Thailand ( 1994) menyatakan bahwa :
Regionalisme dapat didefinisikan sebagai suatu kesadaran untuk membuka kekhasan
tradisi dalam merespon terhadap tempat dan iklim, kemudian melahirkan identitas formal
dan simbolik ke dalam bentuk kreatif yang baru menurut cara pandang tertentu dari pada
lebih berhubungan dengan kenyataan pada masa itu dan berakhir pada penilaian manusia.
Hanya ketika kita mengenali bahwa tradisi kita merupakan sebuah warisan yang berevolusi
sepanjang zaman akan dapat menemukan keseimbangan antara identitas regional dan
internasional. Para arsitek perlu untuk memutuskan prinsip yang mana masih layak untuk
saat ini dan bagaimana cara yang terbaik untuk menyatukan metode persyaratan untuk
bangunan modern dan metode konstruksi pada umumnya.
Pada kenyataannya ada beberapa pandangan yang jelas sekali dan ada yang tidak jelas.
Pada awalnya regionalisme telah dihubungkan pada “pandangan identitas” ( Frampton, dan
Buchanan ). Pengertian ini timbul karena keterpaksaan menerima tekanan modernisme
yang menciptakan “universalism” (Buchanan); melalaikan “kualitas kehidupan” (Spence)
atau “jiwa ruang”(Yang); dan mengambil “kesinambungan” (Abel). Arsitektur tradisional tidak
menyatu dalam desain modern. Karena arsitektur tradisional mungkin memiliki karakteristik
sendiri untuk setiap wilayah; menciptakan kualitas kehidupan ‘terbaik’ dalam sebuah
masyarakat tradisional dan menjadi sangat responsif atas kondisi geografis dan iklim dalam
suatu tempat tertentu; dan menunjukkan sebuah kesinambungan dalam hasil karya
arsitektural dari masa lalu ke masa kini. Tapi bukanlah suatu cara yang sederhana untuk
mengangkat arsitektur tradisional. Pengangkatan arsitektur tradisional ke dalam desain
modern membutuhkan pengertian yang luas dan terbuka atas budaya internasional
(Chardirji).
Berdasarkan hal diatas arsitektur regional oleh para arsitek di atas dapat disimpulkan
sebuah definisi yang lebih lengkap yang mana definisi ini dapat diterima untuk segala
jaman, yaitu definisi menurut Tan Hock Beng. Berdasarkan definisi Tan Hock Beng dapat
diklasifikasikan dalam 6 strategi regionalisme, yaitu :
Memperlihatkan identitas tradisi secara khusus berdasarkan tempat/daerah dan iklim.
Memperlihatkan identitas secara formal dan simbolik ke dalam bentuk baru yang lebih
kreatif.
Mengenalnya sebagai tradisi yang sesuai untuk segala zaman.
Menemukan kebenaran yang seimbang antara identitas daerah dan internasional.
Memutuskan prinsip mana yang masih layak/patut untuk saat ini (aktual).
IV. PENDEKATAN TEORITIS DALAM MENGANALISIS REGIONALISME
Dalam tulisan Andrew Hurrell yang berjudul “The Regional Dimension in International
Relations Theory” dijelaskan bahwa dalam mempelajari secara teoritis interaksi
antarnegara, level analisis dalam tingkat regional seringkali dikesampingkan walaupun
perkembangan regional secara substantif dirasa sangat penting. Kondisi tersebut dapat
diubah ketika karakter pembangunan juga berubah menjadi tidak lagi menitik beratkan pada
power dan kepentingan masing-masing negara. Selain itu diperlukan pula adanya kategori
perbedaan wilayah (region). Pada dasarnya upaya untuk mengembangkan aspek teoritis
dalam analisis regionalisme sangat terbuka lebar jika merujuk pada karakteristik
regionalisme itu sendiri yang cenderung tidak stabil dan tidak determinis. Dalam proses
interaksi dalam regionalisme terdapat berbagai logika yang saling berkompetisi dan tidak
ada titik henti tunggal. Jadi, interaksi dalam tataran regional sangat kompleks,
multidimensional, dan menyangkut interaksi ekonomi, politik, maupun budaya yang
multiproses. Dengan demikian, upaya pengkonstruksian teori sangat terbuka lebar.
Perspektif dalam Menentukan Tujuan dan Fungsi Regionalisme
Regionalisme dianggap penting karena region1 merupakan wadah paling tepat dan
paling mungkin untuk menerima perubahan dan mengintensifkan resistensi dari tekanan
kompetisi kapitalisme global. Menurut perspektif realis, ketidaksetaraan kekuatan (unequal
power) dapat menciptakan logika yang tidak mendukung pasar kapitalis, oleh karena itu
regionalisme digunakan untuk menciptakan kesetaraan kekuasaan. Sedangkan perspektif
kontra-realisme menyatakan bahwa regionalisme merupakan sarana untuk memahami
kondisi sosial-ekonomi yang berubah yang akan mengubah karakter, lingkup, dan arena
kompetisi kekuasaan.
Kedua perspektif tersebut hampir serupa dengan penggolongan perspektif statis dan
rasionalis-institusioanlis. Bagi penganut perspektif statis, institusi regional dan internasional
berada pada level pertukaran transnasional dan sarana komunikasi. Institusi menjadi harus
bersinggungan dengan kompleksitas dilema yang muncul dari aksi kolektif sebagai
konsekuensi dari integrasi dan interdependensi dalam region tersebut.
Region dipahami sebagai daerah tempat berlangsungnya regionalisme. Region dapat
berupa wilayah yang memiliki batas geografis maupun sebatas konstruksi sosial yang
ditentukan oleh anggotanya.
Dalam konteks ini, institusi berperan sebagai penghasil solusi bersama (generated
solution). Sedangkan dalam perspektif rasionalis-institusionalis, institusi dipandang sebagai
entitas yang mempengaruhi perilaku negara (state behavior) dengan menciptakan
lingkungan yang rasional bagi negara untuk saling bekerja sama.
Bagi negara yang cenderung berada dalam posisi lemah dalam organisasi regional,
Hurrell menjelaskan fungsi regionalisme adalah sebagai institusi pembentuk peraturan dan
prosedur. Selain itu, institusi tersebut juga membuka “voice opportunities” atau kesempatan
dan hak yang sama dalam berpendapat, membuka peluang membentuk koalisi yang lebih
kuat, dan membuka wadah politis untuk membangun koalisis baru. Sedangkan bagi negara
yang relatif kuat, regionalisme berfungsi sebagai tempat untuk menjalankan strategi, tempat
untuk mewadahi hegemoni, dan tempat untuk melegitimasi power.
Sedangkan dalam tulisannya yang lain, “Regionalism in Theoretical Perspective”,
Hurrell menekankan pentingnya teori untuk menjelaskan definisi, konsep, dan kategori
regionalisme. Pada prinsipnya Hurrell membagi regionalisme menjadi lima kategori, yaitu
regionalisasi, kesadaran regional dan identitas, kerjasama regional antar negara, integrasi
regional yang merupakan pengembangan dari negara, dan kohesi regional.
Regionalisasi merupakan perkembangan integrasi sosial dalam sebuah wilayah yang
kerapkali tidak secara langsung dalam interaksi sosial dan ekonomi. Regionalisasi tidak
berdasarkan kebijakan yang secara sadar dibuat oleh negara maupun bukan sekumpulan
negara dan pola regionalisasi tidak harus berdasarkan batas negara. Sedangkan kesadaran
regional dan identitas menekankan pada sense of belonging atau rasa memiliki antar
entitas-entitas yang terlibat di dalamnya. Kerapkali regionalisme jenis ini didasari oleh
persamaan identitas dan identifikasi terhadap identitas itu sendiri sehingga kerapkali
menimbulkan diferensiasi dan kategorisasi. Misalnya saja penggolongan masyarakat
muslim dan non-muslim, serta masyarakat Eropa dan bukan Eropa. Kerjasama regional
antar negara merupakan regionalisme yang terbentuk sebagai upaya untuk merespon
tantangan eksternal. Dalam regionalisme ini ditekankan adanya koordinasi untuk
menentukan posisi regional dalam sistem internasional. Di lain sisi, integrasi regional
menekankan pada pengurangan atau bahkan usaha untuk menghilangkan batas antar
negara. Dalam konteks ini bukan batas geografis yang ingin dihilangkan, namun batas
interaksi seperti batasan pajak ekspor dan impor. Regionalisme yang terakhir, kohesi
regional, bisa jadi merupakan gabungan dari keempat regionalisme sebelumnya yang
membentuk unit regional yang terkonsolidasi. Pembentukan kohesi regional dapat
dilatarbelakangi oleh keinginan untuk membentuk organisasi regional yang supranasional
untuk memperdalam integrasi ekonomi dan membentuk rezim serta membentuk hegemoni
regional yang kuat.
Pendekatan Teoritis pada Level Sistem Interaksi
Berdasarkan proses dalam politik global, Hurrell menganalisis regionalisme
berdasarkan level atau tingkat interaksinya, yaitu secara sistemik, regionalisme dan
interdependensi pada tingkat regional, dan teori pada level domestik. Untuk menganalisis
interaksi dalam ketiga level sitem utersebut, digunakan dua teori, yaitu teori neo-realisme
dan teori interdependensi struktural dan globalisasi. Teori neo-realisme menekankan pada
anarkisme sistem internasional dan kompetisi power serta politik dalam mencapai
kepentingan. Berdasarkan perspektif ini, organisasi regional dipandang melalui kacamata
politis sebagai upaya untuk membentuk aliansi bersama untuk merespon tantangan
eksternal. Oleh karena penekanan perspektif ini pada politik dan power, maka hegemoni
menjadi penting.
Sedangkan teori interdependensi struktural dan globalisasi memandang bahwa
perubahan karakter dari sebuah sistem merupakan dampak dari perubahan ekonomi dan
teknologi, sekaligus globalisasi. Jadi, perspektif ini menekankan pada perubahan sistem
yang menyebabkan meningkatnya interdependensi antar negara sehingga regionalisme
perlu dibentuk untuk mendapatkan kepentingan yang diinginkan. Selain itu, globalisasi
ekonomi dan teknologi juga merupakan katalis bagi terciptanya regionalisme.
Pada tingkat regional, digunakan analsis menggunakan teori neo-fungsionalisme, neo-
liberal institusionalisme, dan konstruktivisme. Kedua teori pertama melihat regionalisme
sebagai respon fungsional yang dilakukan oleh negara untuk menyelesaikan masalah yang
diciptakan oleh adanya interdependensi regional dan menekankan pada peran strategis
institusi regional dalam mengembangkan kepaduan regional. Sedangkan teori
konstruktivisme menekankan pada hubungan antara saling ketergantungan material dan
pemahaman bersama atas identitas dan komunitas dari suatu bentuk regionalisme itu
sendiri.
Sedangkan pada level domestik digunakan pendekatan regionalisme dan koherensi
negara, tipe rezim dan demokratisasi, serta teori konvergen. Ketiga teori tersebut pada
dasarnya menekankan pada cara-cara untuk mengartikulasikan dan mengembangkan
kepenting nasional pada tingkat regional dengan tujuan untuk memperbesar peluang
tercapainya kepentingan tersebut. Peluang akan semakin besar ketika kepentingan nasional
tersebut dapat diperjuangkan menjadi kepentingan regional. Dalam teori pada level
domestik termasuk juga analisis terhadap unsur-unsur dari dalam negara yang menjadi
katalis terbentuknya regionalisme, seperti demokratisasi dan pembentukan rezim.
Regionalisme adalah Kerjasama Mutual
Bahasan Hurrell dalam kedua tulisannya tersebut sebenarnya sangat konstruktif dan
analitis. Dalam perspektif Hurrell, regionalisme terbentuk sebagai respon terhadap
tantangan dari luar. Namun bagaimana dengan tantangan dari dalam (intra-regional)?
Saya secara pribadi sepakat dengan segala kebaikan dan manfaat pembentukan
regionalisme yang disampaikan oleh Hurrell. Akan tetapi, bukan tidak mungkin jika
kemudian dalam organisasi regional tersebut muncul hegemoni, yaitu hegemon dari
organisasi regional itu sendiri. Berdasarkan perspektif realis, hegemoni menjadi sebuah
unsur yang penting dalam upaya mewujudkan kepentingan nasional. Hurrell (2005:51)
sendiri juga menyebutkan bahwa bagi negara yang relatif kuat, institusi regional menjadi
tempat untuk mengaktualisasikan strategi, tempat mewadahi hegemoni, dan untuk
melegitimasi power. Memang organisasi berbeda dengan rezim. Organisasi memiliki
landasan hukum yang mengikat yang mengatur kesetaraan antar anggotanya, sedangkan
rezim hanya berdasarkan norma dan prinsip yang secara sukarela disepakati dan ditaati
bersama. Rezim memang lebih memungkinkan terciptanya hegemon dalam institusi. Akan
tetapi, bukan berarti tidak mungkin terdapat hegemon dalam organisasi regional.
Perlu ditekankan bahwa pemaksaan power dan hegemoni sudah berbeda bentuknya
seperti pada era Perang Dingin maupun Perang Dunia. Penetrasi pengaruh sudah lebih
halus dan melalui aspek-aspek vital, seperti keamanan dan ekonomi. Contohnya saja,
dalam organisasi internasional semacam Dewan Keamanan PBB, yang berlandaskan
hukum, dominasi hegemoni Amerika Serikat dengan hak veto-nya masih terasa. Dalam
organisasi regional seperti NAFTA pun AS juga menekankan hegemoninya. Bukankah
akhirnya organisasi regional menjadi alat hegemon untuk menguasai “sebagian dunia”
(region-nya) untuk kemudian melancarkan hegemoninya pada area yang lebih luas? Jadi,
menurut saya dalam organisasi regional yang menginginkan persamaan pun masih terdapat
kelas seperti teori Karl Marx maupun teori sistem Wallerstein.
V. RUMAH TRADISIONAL ACEH (RUMOH ACEH)
Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah
panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah
Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan
seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu
(rumah dapur).
Rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang miliki tinggi beragam sesuai dengan
arsitektur si pembuatnya, namun pada kebiasaannya memiliki ketinggian sekitar 2,5 - 3
meter dari atas tanah. Terdiri dari tiga atau lima ruangan di dalamnya, untuk ruang utama
sering disebut dengan rambat.
Merombak rumoh Aceh terbilang tidak begitu susah, misalnya saja ingin menambah
ruangan dari tiga menjadi lima, maka tinggal menambahkan atau menghilangkan tiang
bagian yang ada pada sisi kiri atau kanan rumah. Karena bagian ini yang sering disebut
dengan seuramoe likot (serambi belakang) dan seuramoe reunyeun (serambi bertangga),
yakni bagian tempat masuk ke rumoh Aceh yang selalu menghadap ke timur.
Rumoh Aceh yang bertipe tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan untuk tipe lima ruang
memiliki 24 tiang. Bahkan salah satu rumoh Aceh (peninggalan tahun 1800-an) yang berada
di persimpangan jalan Peukan Pidie, Kabupaten Sigli, milik dari keluarga Raja-raja Pidie,
Almarhum Pakeh Mahmud (Selebestudder Pidie Van Laweung) memiliki 80 tiang, sehingga
sering disebut dengan rumoh Aceh besar. Ukuran tiang-tiang yang menjadi penyangga
utama rumoh Aceh sendiri berukuran 20 - 35 cm.
Salah satu bagian yang juga penting pada rumoh Aceh adalah tangga. Biasanya, tangga
rumah terletak di bawah rumah. Setiap orang harus menyundul pintu dengan kepala supaya
terbuka dan bisa masuk. Jumlah anak tangganya, selalu ganjil. Satu lagi yang khas dari
rumoh Aceh adalah bangunan tersebut dibuat tanpa paku. Tata letak dan bagian-bagian
dari Rumoh Aceh Lainnya :
Seuramou-keu (serambi depan) , yakni ruangan yang berfungsi untuk menerima
tamu laki-laki, dan terletak di bagian depan rumah. Ruangan ini juga sekaligus
menjadi tempat tidur dan tempat makan tamu laki-laki.
Seuramou-likoot (serambi belakang), fungsi utama ruangan ini adalah untuk
menerima tamu perempuan. Letaknya di bagian belakang rumah. Seperti serambi
depan, serambi ini juga bisa sekaligus menjadi tempat tidur dan ruang makan tamu
perempuan.
Rumoh-Inong (rumah induk), letak ruangan ini di antara serambi depan dan serambi
belakang. Posisinya lebih tinggi dibanding kedua serambi tersebut. Rumah induk ini
terbagi menjadi dua kamar. Keduanya dipisahkan gang atau disebut juga rambat
yang menghubungkan serambi depan dan serambi belakang.
Rumoh-dapu (dapur), biasanya letak dapur berdekatan atau tersambung dengan
serambi belakang. Lantai dapur sedikit lebih rendah dibanding lantai serambi
belakang.
Seulasa (teras), teras rumah terletak di bagian paling depan. Teras menempel
dengan serambi depan.
Kroong-padee (lumbung padi), berada terpisah dari bangunan utama, tapi masih
berada di pekarangan rumah. Letaknya bisa di belakang, samping, atau bahkan di
depan rumah.
Keupaleh (gerbang), sebenarnya ini tidak termasuk ciri umum karena yang
menggunakan gerbang pada umumnya rumah orang kaya atau tokoh masyarakat.
Gerbang itu terbuat dari kayu dan di atasnya dipayungi bilik.
Tamee (tiang), kekuatan tiang merupakan tumpuan utama rumah tradisional ini.
Tiang berbentuk kayu bulat dengan diameter 20-35 cm setinggi 150-170 cm itu bisa
berjumlah 16, 20, 24, atau 28 batang. Keberadaan tiang-tiang ini memudahkan
proses pemindahan rumah tanpa harus membongkarnya.
Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri.
Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi beberapa
persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya
pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat), pengadaan kenduri,
pengadaan kayu pilihan, dan sebagainya.
Di Banda Aceh Rumoh Aceh peninggalan lama yang masih dipertahankan adalah bekas
Istana Sultan Iskandar Muda yang kini menjadi Pendopo kediaman resmi Gubernur
Nanggroe Aceh Darussalam. Selain itu, Meuseum Nanggroe Aceh Darussalam yang
dibangun tahun 1970-an, berbentuk Rumoh Aceh. Romoh Aceh yang asli juga memiliki
lumbung padi, dan balai-balai di halamannya. Seiring perkembangan zaman yang menuntut
semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan
dan perawatan rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang
membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah rumoh Aceh semakin hari semakin
sedikit
VI. KONTEKSTUAL REGIONALISME DALAM MUSEUM TSUNAMI ACEH
Bangunan ini dirancang oleh Ridwan kamil, beliau adalah seorang Sarjana Teknik
Arsitektur dari Institut Teknologi Bandung dan mendapat beasiswa S2 serta berhasil meraih
gelar Master of Urban Design dari College of Environmental Design, University of California,
Barkeley di Amerika Serikat. Beliau lahir di Bandung pada tanggal 4 Oktober 1971.pak
Ridwan Kamil atau yang lebih sering disapa Emil merupakan anak kedua dari lima
bersaudara. Sejak kecil beliau suka berimajinasi, suka membaca komik dan melihat foto-
foto berbagai kota sepulang ayahnya dari luar negeri. Saat ini beliau menjabat sebagai
ketua dari Bandung Creative City Forum dan sebagai dosen Arsitektur ITB. Dan bersama
Urbane (Urban Evolution) yang didirikan pada tahun 2004, beliau banyak menghasilkan
karya arsitektur di berbagai negara, seperti Singapura, Thailand, Bahrain, Cina dan tentu
saja Indonesia. Sejak tahun 2004 hingga 2009 beliau telah meraih 12 penghargaan di
Bidang Desain Arsitektur dalam lingkup Asia. Beberapa contoh proyek yang ditanganinya di
antaranya Marina Bay Waterfront Master di Singapura, Sukhotai Urban Resort Master Plan
di Bangkok, Ras Al Kaimah Waterfront Master di Qatar, juga district 1 Saigon South
Residential Master Plan di Saigon, Shao Xing Waterfront Masterplan (China), Beijing CBD
Master plan, dan Guangzhou Science City Master Plan. Tak hanya di negara lain, di
Indonesia, tepatnya Jakarta, pak Ridwan kamil juga menggarap Superblock Project untuk
Rasuna Epicentrum. Dari luas lahan sebesar 12 hektar tersebut, dibangun Bakrie Tower,
Epicentrum Walk, perkantoran, retail, dan waterfront.
Desain Museum tsunami aceh mengambil konsep “rumoh aceh as ascape hill buildings”
yang ditonjolkan dengan bangunan yang berbentuk panggung, selayaknya rumoh aceh
dimana bagian bawah bangunan digunakan sebagai area publik untuk beriteraksi dengan
tetangga memalui ngumpul melaksanakan suatu kegiatan seperti menganyam dan
sebagainya, demikian pula museum tsunami aceh harapannya bagian bawah bangunan
bisa menjadi ruang publik yang terbuka untuk siapa saja dan kapan saja sehingga terjadi
suatu interaksi yang baik antar sesama masyarakat, disamping space tersebut juga bisa
menjadi taman kota yang baru. Seperti disampaikan Ridwan Kamil, desain Tsunami
Memorial ini mengambil ide dasar dari rumah panggung Aceh karena dapat sebagai contoh
kearifan arsitektur masa lalu dalam merespon tantangan dan bencana alam. Begitu pula
dengan bentuk bukit penyelelamatan pada bangunan merupakan antisipasi terhadap
bahaya tsunami di masa datang.
Gambar diatas adalah gambar potongan museum tsunami aceh, disana bisa terlihat
bentuk bangunan yang panggu dan sedikit berbukit. bukit buatan ini dimaksudkan sebagai
tempat evakuasi apabila bencana tsunami datang lagi atau banjir nah apabila bukit ini
mencukupi untuk menjadi tempat evakuasi maka bagian atap bangunan juga bisa
digunakan sebagai tempat evakuasi, dan hal ini merupakan suatu nilai spesial untuk
bangunan Museum Tsunami Aceh, karena dia tidak hanya berfungsi sebagai sebuah
musem tsunami tetapi juga bisa menjadi sebagai tempat evakuasi ketika bencana.
Eksterior bangunan terutama dekoratif kulit luar bangunan terinspirasi dari salah satu
gerakan yang ada dalam tari saman, sehingga penerapan beberapa konten lokal pada
bangunan ini menjadi nilai tambah tersendiri dan biasa berbaur dengan mudah dengan
lingkungan masyarakat aceh.
Bangunan megah Museum Tsunami tampak dari luar seperti kapal besar yang sedang
berlabuh. Sementara di bagian bawah terdapat kolam ikan. Museum ini merupakan satu-
satunya di Indonesia dan tidak mustahil akan menjadi museum tsunami dunia. Sedangkan
mengenai bentuk denah bangunan yang menyerupai gelombang laut, itu merupakan
analogi dan sekaligus sebagai pengingat akan bahaya tsunami. Sementara konsep tarian
khas Aceh yang ada pada bangunan, menurut Emil sebagai lambang dari kekompakan dan
kerjasama antar manusia yang kemudian diterjemahkan menjadi kulit bangunan eksterior.
Di dalam bangunan juga terdapat ruang berbentuk sumur silinder yang menyorotkan cahaya
ke atas sebagai simbol hubungan manusia dengan Tuhannya. Tidak ketinggalan ia juga
membangun sebuah taman terbuka bagi masyarakat yang bisa diakses dan dipergunakan
setiap saat sebagai respon terhadap konteks urban.
Efek Psikologis Ruang
Untuk membangkitkan kenangan lama akan tragedi tsunami. Tata letak ruangan di
dalam museum dirancang secara khusus. Emil menjelaskan, urut-urutan (sequence) ruang
di bangunan yang harus dilalui pengunjung dirancang secara seksama. Hal ini untuk
menghasilkan efek psikologis yang lengkap tentang persepsi manusia akan bencana
tsunami. Untuk mewujudkannya ruang dirancang dalam tiga zona yakni: spaces of
memory; spaces of hope dan spaces of relief.
Pada zona spaces of memory direalisasikan dalam tsunami passage dan Memorial Hall.
Area penerima tamu (tsunami passage) di museum ini berupa koridor sempit berdinding
tinggi dengan air terjun yang bergemuruh untuk mengingatkan betapa menakutkannya
suasana di saat terjadinya tsunami. Sedangkan Memorial Hall merupakan area di bawah
tanah yang menjadi sarana interaktif untuk mengenang sejarah terjadinya tsunami. Pada
Aceh Memorial Hall ini juga dilengkapi dengan pencahayaan dari lubang-lubang sebuah
reflecting pool yang berada di atasnya. Sedangkan pada zona spaces of hope diwujudkan
dalam bentuk Blessing Chamber dan Atrium of Hope. Blessing Chamber merupakan ruang
transisi sebelum memasuki ruang-ruang kegiatan non memorial. Ruang ini berupa sumur
yang tinggi dengan ribuan nama-nama korban terpatri di dinding. Sumur ini diterangi oleh
skylight berbentuk lingkaran dengan kaligrafi Allah SWT sebagai makna hadirnya harapan
bagi masyarakat Aceh.
Sementara atrium of hope berupa ruang atrium yang besar sebagai simbol dari harapan
dan optimisme menuju masa depan yang lebih baik. Pengunjung akan menggunakan ramp
melintasi kolam dan atrium untuk merasakan suasana hati yang lega. Atrium dengan
refelecting pool ini bisa diaskes secara visual kapan saja namun tidak bisa dilewati secara
fisik.
Untuk zona spaces of relief diterjemahkan dalam the hill of light dan escape roof. The hill
of light merupakan taman berupa bukit kecil sebagai sarana penyelamatan awal terhadap
tsunami. Taman publik ini dilengkapi dengan ratusan tiang obor yang juga dirancang untuk
meletakkan bunga dukacita sebagai tanda personal space. Jika seluruh obor dinyalakan
maka bukit ini akan dibanjiri oleh lautan cahaya. Sangat personal sekaligus komunal.
Sedang escape roof merupakan atap bangunan yang dirancang berupa rooftop yang bisa
ditanami rumput atau lansekap. Atap ini juga dirancang sebagai area evakuasi bilamana di
kemudian hari terjadi bencana banjir dan tsunami.