refrat rheumatoid arthritis

59
BAB I PENDAHULUAN Rheumatoid arthritis atau radang sendi merupakan suatu penyakit yang dapat terjadi pada semua kelompok ras dan etnik di dunia ini merupakan suatu penyakit autoimun yang mempengaruhi sendi-sendi tubuh antara lain sendi pada tangan, kaki, leher, panggul, pergelangan kaki dan organ internal lainnya. Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun akibat reaksi antigen antibodi. Antibodi merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap bakteri, virus, dan sel-sel asing lainnya yang dilakukan oleh sel darah putih. Pada rheumatoid arthritis, sel antibodi akan menghadapi sel antibodi yang telah berubah sifat menjadi antigen dan mulai menyerang sendi atau organ internal lainnya, sehingga terjadinya kerusakan dan peradangan (inflamasi) pada sendi tersebut. Radang sendi ini sebenarnya terjadi pada lapisan membran sinovial. Membran sinovial yang meradang akan mengeluarkan cairan yang banyak mengandung sel makrofag limfosit T. Sel makrofag limfosit T ini dapat merusak tulang dan mendesak cairan sinovial sehingga akan mengakibatkan timbulnya rasa nyeri atau sakit pada persendian. Penyebab radang sendi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. 1

Upload: putu-ratih-wijayanthi

Post on 11-Aug-2015

548 views

Category:

Documents


26 download

DESCRIPTION

ra

TRANSCRIPT

Page 1: Refrat Rheumatoid Arthritis

BAB I

PENDAHULUAN

Rheumatoid arthritis atau radang sendi merupakan suatu penyakit yang dapat

terjadi pada semua kelompok ras dan etnik di dunia ini merupakan suatu penyakit

autoimun yang mempengaruhi sendi-sendi tubuh antara lain sendi pada tangan, kaki,

leher, panggul, pergelangan kaki dan organ internal lainnya. Rheumatoid arthritis

adalah penyakit autoimun akibat reaksi antigen antibodi. Antibodi merupakan

mekanisme pertahanan tubuh terhadap bakteri, virus, dan sel-sel asing lainnya yang

dilakukan oleh sel darah putih. Pada rheumatoid arthritis, sel antibodi akan

menghadapi sel antibodi yang telah berubah sifat menjadi antigen dan mulai

menyerang sendi atau organ internal lainnya, sehingga terjadinya kerusakan dan

peradangan (inflamasi) pada sendi tersebut. Radang sendi ini sebenarnya terjadi pada

lapisan membran sinovial. Membran sinovial yang meradang akan mengeluarkan

cairan yang banyak mengandung sel makrofag limfosit T. Sel makrofag limfosit T ini

dapat merusak tulang dan mendesak cairan sinovial sehingga akan mengakibatkan

timbulnya rasa nyeri atau sakit pada persendian. Penyebab radang sendi sampai

sekarang belum diketahui dengan pasti.

1

Page 2: Refrat Rheumatoid Arthritis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Rheumatoid arthritis adalah inflamasi sistemik kronik yang menyerang

beberapa sendi dan termasuk gangguan auto-imun (hipersensitivitas tipe III).

Proses inflamasi ini terutama mempengaruhi lapisan sendi (membran sinovial),

tetapi dapat juga mempengaruhi organ tubuh lainnya.

Rheumatoid arthritis dapat menyebabkan sinovitis, serositis (inflamasi

pada permukaan lapisan sendi, perikardium, dan pleura), nodul rheumatoid, dan

vaskulitis bila proses ini terus-menerus dapat menyebabkan penghancuran

tulang rawan artikular dan ankylosis. Sel-sel radang rheumatoid arthritis dapat

juga menyebar ke paru-paru, perikardium, pleura, sklera, lesi nodular, jaringan

subkutan di bawah kulit. Meskipun penyebab rheumatoid arthritis tidak

diketahui, namun peranan auto-imunitas sangat penting terjadinya proses

inflamasi kronik.

Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak tulang dan

kartilago. Sel radang melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan

kartilago, sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi,

yang menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan bergerak.

Predileksi peradangan sinovium adalah persendian tangan dan kaki, lutut, bahu,

leher, panggul.

2.2 Epidemiologi

Artritis reumatoid merupakan penyakit yang jarang pada laki-laki

dibawah umur 30 tahun. Insiden penyakit ini memuncak pada umur 60-70

2

Page 3: Refrat Rheumatoid Arthritis

tahun. Pada wanita, prevalensi penyakit ini meningkat dari pertengahan abad

ke-20 dan konstan pada level umur 45-65 tahun dengan masa puncak 65-75

tahun.

Prevalensi dari artritis reumatoid mendekati 0,8 % dari populasi (kisaran

0,3 - 2,1%), wanita terkena tiga kali lebih sering dibandingkan dengan laki-laki.

Prevalensi penyakit ini meningkat dengan umur, dan jenis kelamin,

perbedaannya dikurangi pada kelompok usia tua. Penyakit ini menyerang

orang-orang di seluruh dunia dari berbagai suku bangsa. Onset dari penyakit ini

sering pada dekade ke-empat dan ke-lima dari kehidupan.

2.3 Faktor Risiko

1) Transfusi darah

2) Usia 25-45 tahun

3) Jenis kelamin perempuan : laki-laki = 2 : 1

4) Faktor genetik autoimun

5) Suku berkulit putih, penduduk asli Amerika (Yakima, Chippewa, or

Inuit)

6) Berat badan obesitas

7) Kopi dan rokok

2.4 Etiologi

Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui. Dikatakan bahwa

artritis reumatoid mungkin merupakan manifestasi dari respon terhadap agen

infeksius pada orang-orang yang rentan secara genetik. Karena distibusi artritis

reumatoid yang luas, hal ini menimbulkan hipotesis bahwa jika penyebabnya

adalah agen infeksius, maka organisme tersebut haruslah tersebar secara luas.

3

Page 4: Refrat Rheumatoid Arthritis

Beberapa kemungkinan agen penyebab tersebut diantaranya termasuk

mikoplasma, virus Epstein-Barr (EBV), sitomegalovirus, parvovirus, dan virus

rubella, tetapi berdasarkan bukti-bukti, penyebab ini ataupun agen infeksius

yang lain yang menyebabkan artritis reumatoid tidak muncul pada penderita

artritis reumatoid.

Walaupun etiologi dari artritis reumatoid belum diketahui, namun

nampaknya multifaktorial. Terdapat kerentanan genetik yang jelas, dan

penelitian pada orang kembar mengindikasikan indeks sekitar 15-20%.

Sebanyak 70% dari pasien artrirtis reumatoid ditemukan human leucocyte

antigen-DR4 (HLA-DR4), sedangkan faktor lingkungan seperti merokok dan

agen infeksius dikatakan memiliki peranan penting pada etiologi, namun

kontribusinya sampai saat ini belum terdefinisikan.

2.5 Patofisiologi

Arthritis rheumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang terjadi pada

individu rentan setelah respon imun terhadap antigen pemicu yang tidak

diketahui. Agen pemicunya adalah bakteri, mikoplasma, atau virus yang

menginfeksi sendi atau mirip sendi secara antigenik. Biasanya respon

antibody awal terhadap mikroorganisme diperantarai oleh IgG. Walaupn

respon ini berhasil menghancurkan mikroorganisme, individu yang

mengalami AR mulai membentuk antibody lain, biasanya oleh IgM atau IgG,

terhadap antibody IgG awal. Antibody yang ditujukan ke komponen tubuh

sendiri ini disebut faktor rheumatoid (Rheumatoid factor/ RF). RF menetap di

kapsul sendi sehingga menyebabkan inflamasi kronis kerusakan jaringan

(Corwin, 2009).

Antibody RF berkembang dan melawan IgG untuk membentuk

kompleks imun. IgG sebagai antibody alami tidak cukup kemudian tubuh

4

Page 5: Refrat Rheumatoid Arthritis

membentuk antibody (RF) yang melawan antibody itu sendiri (IgG) dan

akibatnya terjadi transformasi IgG menjadi antigen atau protein luar yang

harus dimusnahkan. Makrofag dan limfosit menghasilkan sebuah proses

pathogenesis dari respon imun untuk antigen yang tidak spesifik. Bentuk

kompleks imun antigen-antibodi ini menyebabkan pengaktifan sistem

complement dan pembebasan enzim lisosom dari leukosit. Kedua reaksi ini

menyebabkan inflamasi.

Kompleks imun yang tersimpan didalam membrane synovial atau

lapisan superficial kartilago, adalah pagositik yang terdiri atas

polimorphonuklear (PMN) leukosit, monosit, dan limfosit. Pagositik

menonaktifkan kompleks imun dan menstimulasi produksi enzim additional

(radikal oksigen, asam arasidonik) yang menyebabkan hyperemia, edema,

bengkak, dan menebalkan membrane synovial (Black & Hawks, ).

Hipertropi synovial menyebabkan aliran darah tersumbat dan lebih

lanjut manstimulasi nekrosis sel dan respon inflamasi. Sinovium yang

menebal menjadi ditutup oleh jaringan granular inflamasi yang disebut panus.

Panus dapat menyebar keseluruh sendi sehingga menyebabkan inflamasi dan

pembentukan jaringan parut lebih lanjut. Proses ini secara lambat akan

merusak tulang dan menimbulkan nyeri hebat deformitas (Corwin, 2009).

Pannus menutupi kartilago dan kemudian masuk ke tulang sub

chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan

pada nutrisi kartilago artikuer. Kartilago menjadi nekrosis.

Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan

sendi. Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara

permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis).

Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah

dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian. Invasi dari

tulang sub chondrial bisa menyebkan osteoporosis setempat.

5

Page 6: Refrat Rheumatoid Arthritis

6

Page 7: Refrat Rheumatoid Arthritis

7

Page 8: Refrat Rheumatoid Arthritis

2.6 Gejala Klinik

Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita

artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang

bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang bervariasi.

1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan

menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.

2. Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi di

tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal.

Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.

8

Page 9: Refrat Rheumatoid Arthritis

3. Kekakuan pagi hari, selama lebih dari satu jam: dapat bersifat generalisata

tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan

kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung

selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam

4. Artritis erosif: merupakan ciri khas dari penyakit ini pada gambaran

radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi

tulang.

5. Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan

perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi

metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah

beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat

protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dan subluksasi

metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan mengalami

pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak

ekstensi.

6. Nodul-nodul rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada

sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang

paling sering dari deformitas ini adalah bursa olecranon (sendi siku) atau

sepanjang permukaan ekstensor dari lengan. Walaupun demikan, nodul-

nodul ini dapat juga timbul pada tempat lainnya. Adanya nodul-nodul ini

biasanya merupakan petunjuk dari suatu penyakit yang aktif dan lebih

berat.

7. Manifestasi ekstra-artikular; artritis reumatoid juga dapat menyerang

organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis),

mata, dan pembuluh darah dapat rusak.

Bila ditinjau dari stadium, maka pada RA terdapat tiga stadium yaitu:

a. Stadium sinovitis

9

Page 10: Refrat Rheumatoid Arthritis

Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial

yang ditandai adanya hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat

istirahat maupun saat bergerak, bengkak, dan kekakuan.

b. Stadium destruksi

Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial

terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi

tendon. Selain tanda dan gejala tersebut diatasterjadi pula perubahan

bentuk pada tangan yaitu bentuk jari swan-neck.

c. Stadium deformitas

Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan

berulang kali, deformitas dan ganggguan fungsi secara menetap.

Perubahan pada sendi diawali adanya sinovitis, berlanjut pada

pembentukan pannus, ankilosis fibrosa, dan terakhir ankilosis tulang.

Kerusakan fungsi pada sendi yang mengalami rheumatoid arthritis

diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan pada sendi berdasarkan

klasifikasi Steinbroker yaitu;

Stadium I : hasil radiografi menunjukkan tidak adanya kerusakan pada

sendi.

Stadium II : terjadi osteoporosis dengan atau tanpa kerusakan tulang

yang ringan disertai penyempitan pada ruang sendi.

Stadium III : terjadi kerusakan pada kartilago dan tulang tertentu dengan

penyempitan ruang sendi; sehingga terjadi perubahan bentuk sendi.

Stadium IV : imobilisasi menyeluruh pada sendi karena menyatunya

tulang-tulang dengan sendi.

10

Page 11: Refrat Rheumatoid Arthritis

Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis

reumatoid dari American Rheumatism Association tahun 1987

Tabel 1: 1987 Revised American Rheumatism Association Criteria for the

Classification of Rheumatoid Arthritis

Kriteria Definisi

1.

Kekakuan pagi

hari

Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi,

lamanya setidaknya 1 jam

2. Artrit

is pada tiga atau

lebih area sendi

Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan

peradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14

kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri

proksimal interfalangs (PIP), metacarpofalangs (MCP),

pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan

sendi metatarsofalangs (MTP)

3. Artrit

is pada sendi

tangan

Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan,

sendi MCP atau sendi PIP

4. Artrit

is simetris

Secara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama

pada kedua bagian tubuh

5. Nodu

l-nodul reumatoid

Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau

permukaan regio ekstensor atau regio juksta-artikular

6. Seru

m faktor

reumatoid

Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor

reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya

positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal

7. Perub Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada

11

Page 12: Refrat Rheumatoid Arthritis

ahan radiografik

radiografik tangan dan pergelangan tangan

posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi

terlokalisasi yang tegas pada tulang.

Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien

memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah

berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis,

tidak dikeluarkan pada kriteria ini.

2.7 Dasar Diagnosis

2.7.1 Anamnesis

1) Riwayat penyakit, diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif dan

kronologis, tanyakan faktor yang memperberat penyakit dan hasil

pengobatan untuk mengurangi keluhan penyakit.

2) Umur, penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi

frekuensi penyakit terdapat pada kelompok umur tertentu, misalnya

penyakit rheumatoid arthritis lebih banyak ditemukan pada usia lanjut.

3) Jenis kelamin, penyakit rheumatoid arthritis lebih banyak diderita oleh

wanita daripada pria, dengan perbandingan 3:1

4) Nyeri sendi, nyeri merupakan keluhan utama pada pasie dengan

reumatik. Pasien sebaiknya diminta untuk menjelaskan lokasi nyeri

serta penyebarannya. Pada pasien RA, nyeri yang paling berat terjadi

dipagi hari, membaik disiang hari, dan sedikit lebih berat dimalam

hari.

5) Kaku sendi, merupakan rasa reperti diikat, pasien merasa sukar untuk

menggerakkan sendinya. Keadaan ini biasanya akibat desakan cairan

yang berada disekitar jaringan yang mengalami inflamasi.

12

Page 13: Refrat Rheumatoid Arthritis

6) Bengkak sendi dan deformitas, pasien sering mengalami bengkak

sendi, perubahan warna, perubahan bentuk, dan perubahan posisi

struktur ekstremitas (dislokasi atau sublukasi).

7) Disabilitas dan handicap, disabilitas terjadi apabila suatu jaringan,

organ atau sistem tidak dapat berfungsi secara adekuat. Handicap

adalah apabila disabilitas menyebabkan aktivitas sehari-hari

terganggu, termasuk aktivitas sosial.

8) Gejala siskemik, penyakit sendi inflamator baik yang disertai maupun

tidak disertai keterlibatan multisystem akan menyebabkan peningkatan

reaktan fase akut seperti peninggian LED atau CRP. Selain itu akan

disertai dengan gejala siskemik seperti panas, penurunan berat badan,

kelelahan, lesu dan mudah terangsang. Kadang-kadang pasien

mengeluh hal yang tidak spesifik, seperti merasa tidak enak badan.

Pada orang tua disertai dengan gangguan mental.

9) Gangguan tidur dan depresi, gangguan tidur dapat disebabkan oleh

adanya nyeri kronik, terbentuknya reaksi reaktan, obat antiinflamasi

nonsteroid.

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada sistem musculoskeletal meliputi:

Inspeksi pada saat diam

Inspeksi pada saat gerak

Palpasi

a) Gaya berjalan yang abnormal pada pasien RA yaitu pasien akan segera

mengangkat tungkai yang nyeri atau deformitas, sementara tungkai

yang nyeri akan lebih lama diletakkan dilantai, biasanya diikuti oleh

gerakan lengan yang asimetris, disebut gaya berjalan antalgik.

13

Page 14: Refrat Rheumatoid Arthritis

b) Sikap/fostur badan, pasien akan berusaha mengurangi tekanan

artikular pada sendi yang sakit dengan mengatur posisi sendi tersebut

senyaman mungkin, biasanya dalam posisi pleksi.

c) Deformitas, akan lebih terlihat pada saat bergerak

d) Perubahan kulit, kemerahan disertai deskuamasi pada kulit di sekitar

sendi menunjukkan adanya inflamasi pada sendi.

e) Kenaikan suhu sekitar sendi, menandakan adanya proses inflamasi di

daerah sendi tersebut

f) Bengkak sendi, bisa disebabkan oleh cairan, jaringan lunak, atau

tulang.

g) Nyeri raba

h) Pergerakan, sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak

sendi pada semua arah.

i) Krepitus, merupakan bunyi berderak yang dapat diraba sepanjang

gerakan struktur yang diserang.

j) Atropi dan penurunan kekuatan otot

k) Ketidakstabilan

l) Gangguan fungsi, gangguan fungsi sendi dinilai dengan observasi pada

penggunaan normal, seperti bangkit dari kursi atau kekuatan

menggenggam

m) Nodul, sering ditemukan pada berbagai atropi, umumnya ditemukan

pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku, tumit belakang,

sacrum)

n) Perubahan kuku, adanya jari tabuh, thimble pitting onycholysis atau

serpihan darah

o) Pemeriksaan sendi satu persatu, meliputi pemeriksaan rentang

pergerakan sendi, adanya bunyi krepitus dan bunyi lainnya.

14

Page 15: Refrat Rheumatoid Arthritis

p) Rheumatoid arthritis mempengaruhi berbagai organ dan sistem

lainnya, yaitu:

1) Kulit: nodul subkutan (nodul rheumatoid) terjadi pada banyak

pasien dengan RA yang nilai RF nya normal, sering lebih dari

titik-titik tekanan (misalnya, olekranon. Lesi kulit dapat

bermanifestasi sebagai purpura teraba atau ulserasi kulit.

2) Jantung: morbiditas dan mortalitas kardiovaskular yang meningkat

pada pasien dengan RA. Faktor risiko non tradisional tampaknya

memainkan peran penting. Serangan jantung , disfungsi miokard,

dan efusi perikardial tanpa gejala yang umum, dan gejala

perikarditis konstriktif jarang. Miokarditis, vaskulitis koroner,

penyakit katup, dan cacat konduksi kadang-kadang diamati.

3) Paru: RA mempengaruhi paru-paru dalam beberapa bentuk,

termasuk efusi pleura , fibrosis interstisial, nodul (Caplan

sindrom), dan obliterans bronchiolitis-pengorganisasian

pneumonia.

4) GI: keterlibatan usus, seperti dengan keterlibatan ginjal,

merupakan komplikasi sekunder akibat efek obat-obatan,

peradangan, dan penyakit lainnya. Hati sering terkena pada pasien

dengan sindrom Felty (yaitu splenomegali, dan neutropenia).

5) Ginjal: Ginjal biasanya tidak terpengaruh oleh RA langsung.

Umumnya akibat pengaruh, termasuk karena obat-obat (misalnya,

obat anti-inflammatory peradangan (misalnya, amyloidosis ), dan

penyakit yang terkait (misalnya, sindrom Sjögren dengan kelainan

tubulus ginjal).

6) Vascular: lesi vasculitik dapat terjadi di organ mana saja namun

yang paling sering ditemukan di kulit. Lesi dapat hadir sebagai

purpura gamblang, borok kulit, atau infark digital.

15

Page 16: Refrat Rheumatoid Arthritis

7) Hematologi: Sebagian besar pasien aktif memiliki penyakit

anemia kronis, termasuk anemia normokromik-normositik,

trombositosis, dan eosinofilia, meskipun yang terakhir ini jarang

terjadi. Leukopenia ditemukan pada pasien dengan sindrom Felty.

8) Neurologis: biasanya saraf jeratan, seperti pada saraf median di

carpal, lesi vasculitik, multipleks mononeuritis, dan myelopathy

leher rahim dapat menyebabkan konsekuensi serius neurologis.

9) Okular: keratoconjunctivitis sicca adalah umum pada orang

dengan RA dan sering manifestasi awal dari sindrom Sjögren

sekunder. Mata mungkin juga episkleritis , uveitis, dan scleritis

nodular yang dapat menyebabkan scleromalacia.

Pada artritis reumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan

deformitas boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal

interfalangs (DIP) dan fleksi pada sendi proksimal interfalangs (PIP).

Deformitas yang lain merupakan kebalikan dari deformitas boutonniere, yaitu

deformitas swan-neck, dimana juga terjadi hiperekstensi dari sendi PIP dan

fleksi dari sendi DIP. Jika sendi metakarpofalangs telah seutuhnya rusak,

sangat mungkin untuk menggantinya dengan protesa silikon.

16

Page 17: Refrat Rheumatoid Arthritis

2.7.3 Pemeriksaan Laboratorium

a. Tanda peradangan, seperti LED dan CRP, berhubungan dengan aktivitas

penyakit, selain itu, nilai CRP dari waktu ke waktu berkorelasi dengan

kemajuan radiografi.

b. Parameter hematologi termasuk jumlah CBC dan analisis cairan

sinovial.

c. Jumlah sel darah lengkap (anemia, trombositopenia, leukositosis,

leucopenia).

d. Analisis cairan sinovial

1) Inflamasi cairan sinovial (WBC count > 2000/μL) hadir dengan

jumlah WBC umumnya dari 5,000-50,000 / uL.

2) Biasanya, dominasi neutrofil (60-80%) yang diamati dalam cairan

sinovial (kontras dengan dominasi sel mononuklear di sinovium).

3) Karena cacat transportasi, kadar glukosa cairan pleura, perikardial,

dan sinovial pada pasien dengan RA sering rendah dibandingkan

dengan kadar glukosa serum.

e. Parameter imunologi meliputi autoantibodies (misalnya RF, anti-RA33,

anti-PKC, antibodi antinuclear).

f. Rheumatoid factor Rheumatoid Faktor, RF ditemukan pada sekitar 60-

80% pasien dengan RA selama penyakit mereka, tetapi kurang dari 40%

pasien dengan RA dini.

g. Antibodi Antinuclear: Ini adalah hadir di sekitar 40% pasien dengan RA,

namun hasil tes antibodi terhadap antigen subset paling nuklir negatif.

h. Antibodi yang lebih baru (misalnya, anti-RA33, anti-PKC): Penelitian

terbaru dari antibodi anti-PKC menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas

sama atau lebih baik daripada RF, dengan peningkatan frekuensi hasil

17

Page 18: Refrat Rheumatoid Arthritis

positif di awal RA. Kehadiran kedua-anti antibodi PKC dan RF sangat

spesifik untuk RA. Selain itu, anti-PKC antibodi, seperti halnya RF,

menunjukkan prognosis yang buruk.

2.7.4 Foto Polos

Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada

pemeriksaan radiologis kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi, setelah

sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan

ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada

tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya

irreversibel.

Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan

periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi

sendi dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa

jaringan lunak yang biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek

ulnar pergelangan tangan atau pada olekranon, namun adakalanya terlihat

diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini

berkembang sekitar 20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi

pada penyakit lain, sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis.

18

Page 19: Refrat Rheumatoid Arthritis

Artritis erosif yang mengenai tulang karpal dan sendi metakarpofalangs

A : Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B : Erosi komplit pada pergelangan tangan

19

Page 20: Refrat Rheumatoid Arthritis

C : Swelling dan erosi pada sendi MTP 5. D : Nodul subkutaneus multipel pada tangan

2.7.5 CT-Scan

Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalam

mendiagnosis artritis reumatoid. Walaupun demikian, CT scan berguna dalam

memperlihatkan patologi dari tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di tangan

yang sangat baik dievaluasi dengan kombinasi dari foto polos dan MRI.

CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memiliki

kerugian dalam hal radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk

mengindikasikan letak destruksi tulang dan stabilitas tertinggi tulang secara

tepat, seperti pada pengaturan pre-operatif atau pada tulang belakang.

2.7.6 USG

Sonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi

tinggi digunakan untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada artritis

reumatoid. Efusi dari sendi adalah hipoekhoik, sedangkan hipertrofi pada

sinovium lebih ekhogenik. Nodul-nodul reumatoid terlihat sebagai cairan

20

Page 21: Refrat Rheumatoid Arthritis

yang memenuhi area kavitas dengan pinggiran yang tajam. Erosi tulang dapat

terlihat sebagai irregularitas pada korteks hiperekhoik. Komplikasi dari

arthritis reumatoid, seperti tenosinovitis dan ruptur tendon, juga dapat

divisualisasikan dengan menggunakan ultrasonografi. Hal ini sangat berguna

pada sendi MCP dan IP. Tulang karpal dan sendi karpometakarpal tidak

tervisualisasi dengan baik karena konfigurasinya yang tidak rata dan

lokasinya yang dalam.

Erosi (tanda panah) pada sendi metakarpofalangs pada penderita artritis reumatoid (A)

bidang longitudinal (B) bidang transverse. M, kaput metakarpal dan P, falangs.

(A) Gambaran normal bagian longitudinal dari sendi metakarpofalangs. (B) Sendi

metakarpofalangs pada pasien artritis reumatoid. FP, bantalan lemak; M dan MC,kaput

metakarpal; P, falangs; S, sinovitis.

Sonografi telah digunakan dalam mendiagnosis artritis reumatoid

dengan tujuan meningkatkan standar yang tepat untuk radiografi

21

Page 22: Refrat Rheumatoid Arthritis

konvensional. Ultrasonografi, terkhusus dengan menambahkan amplitude

color doppler (ACD) Imaging, juga menyediakan informasi klinis yang

berguna untuk dugaan artritis reumatoid. ACD imaging telah diaplikasikan

untuk artritis reumatoid dengan tujuan mengevaluasi manifestasi dari

hiperemia pada peradangan jaringan sendi. Hiperemia sinovial merupakan ciri

patofisiologi yang fundamental untuk artritis reumatoid.

2.7.7 MRI

Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran yang

baik dengan penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak,

kerusakan kartilago, dan erosi tulang-tulang yang dihubungkan dengan artritis

reumatoid.

koronal T1-weighted pada sendi metakarpofalangs 2-4, memperlihatkan erosi radial yang luas

pada kaput metakarpal 2 dan 3.

Diagnosis awal dan penanganan awal merupakan manajemen utama

pada artritis reumatoid. Dengan adanya laporan mengenai sensitivitas MRI

dalam mendeteksi erosi dan sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk

perubahan edema tulang, hal itu menandakan bahwa MRI merupakan

penolong untuk mendiagnosis awal penyakit artritis reumatoid. MRI juga

22

Page 23: Refrat Rheumatoid Arthritis

memberikan gambaran yang berbeda pada abnormalitas dari artritis

reumatoid, sebagai contoh, erosi tulang, edema tulang, sinovitis, dan

tenosinovitis.

2.8 Diagnosis Banding

2.8.1 Gout Arthritis

Gout merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan

meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Gout dapat bersifat

primer maupun sekunder. Gout primer merupakan akibat langsung dari

pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan eksresi

asam urat, sedangkan gout sekunder disebabkan oleh pembentukan asam urat

yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obatan

tertentu.

Pada artritis gout akut, terjadi pembengkakan yang mendadak dan

nyeri yang luar biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki, sendi

metatarsofalangeal. Artritis bersifat monoartrikular dan menunjukkan tanda-

tanda peradangan lokal. Mungkin terdapat demam dan peningkatan sejumlah

leukosit. Serangan dapat dipicu oleh pembedahan, trauma, obat-obatan,

alkohol, atau stres emosional. Sendi-sendi lain dapat terserang, termasuk sendi

jari tangan, lutut, mata kaki, pergelangan tangan, dan siku.

23

Page 24: Refrat Rheumatoid Arthritis

Pembengkakan dan erosi pada sendi PIP-5

2.8.2 Osteoarthritis

Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini

bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh

adanya deteorisasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang

baru pada permukaan persendian. Gambaran klinis osteoartritis umumnya

berupa nyeri sendi, terutama apabila sendi bergerak atau menanggung beban.

Nyeri tumpul ini berkurang bila sendi digerakkan atau bila memikul beban

tubuh. Dapat pula terjadi kekakuan sendi setelah sendi tersebut tidak

digerakkan beberapa lama, tetapi kekakuan ini akan menghilang setelah

digerakkan. Kekakuan pada pagi hari, jika terjadi, biasanya hanya bertahan

selama beberapa menit, bila dibandingkan dengan kekakuan sendi di pagi hari

yang disebabkan oleh artritis reumatoid yang terjadi lebih lama.

24

Page 25: Refrat Rheumatoid Arthritis

Penyempitan celah sendi medial yang asimetrik

Tabel 2: Perbandingan artritis reumatoid dengan diagnosa banding

berdasarkan temuan radiologi

25

Page 26: Refrat Rheumatoid Arthritis

Gambaran

Radiologi

Artritis

ReumatoidGout Osteoartritis

Soft tissue swellingPeriartrikular,

simetrisEsentrik, tophi

Intermitten, tidak

sejelas yang lain

Subluksasi Ya Tidak biasa Kadang-kadang

MineralisasiMenurun di

periartrikularBaik Baik

Kalsifikasi TidakKadang-kadang

pada tophiTidak

Celah sendi MenyempitBaik hingga

menyempitMenyempit

Erosi Tidak

Punched out

dengan garis

sklerotik

Ya, pada

intraartikular

Produksi tulang TidakMenjalar ke tepi

korteksYa

SimetriBilateral,

simetriAsimetri Bilateral, simetri

LokasiProksimal ke

distal

Kaki,

pergelangan kaki,

tangan dan siku

Distal ke proksimal

Karakteristik yang

membedakanPoliartrikular

Pembentukan

kristal

Seagull appearance

pada sendi

interfalangeal

2.9 Penatalaksanaan

26

Page 27: Refrat Rheumatoid Arthritis

Tujuan terapi rheumatoid arthritis, yaitu :

1. Menghilangkan gejala peradangan/inflamasi yang aktif baik lokal

maupun sistemik.

2. Mencegah terjadinya kerusakan pada jaringan.

3. Mencegah terjadinya deformitas atau kelainan bentuk sendi dan menjaga

fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik.

4. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang mengalami

AR agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.

Adapun penatalaksanaan dari artritis reumatoid adalah sebagai berikut:

1. Obat-obatan

a. Non-steroid anti-inflammatoy drugs (NSAID)

NSAID antara lain, aspirin, ibuprofen, ketoprofen dan diklofenac

juga obat selektif baru nabumeton dan meloxicam yang sangat berguna

untuk mengurangi peradangan dengan menghalangi proses produksi

mediator peradangan. Tepatnya, obat ini menghambat sintetase

prostaglandin atau siklooksigenase. Enzim-enzim ini mengubah asam

lemak sistemik andogen, yaitu asam arakidonat menjadi prostaglandin,

prostasiklin, tromboksan dan radikal-radikal oksigen. Obat standar yang

sudah dipakai sejak lama dalam kelompok ini adalah aspirin.

Selain aspirin, NSAID yang lain juga dapat menyembuhkan artritis

reumatoid. Produksi dari prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan ini

memberikan efek analgesik, anti-inflamasi, dan anti-piretik.

Golongan NSAIDs tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi

tulang rawan (kartilago) dan tulang sendi akibat proses kerusakan dari AR.

Penggunaan jangka panjang dianjurkan dengan penambahan suatu

penghambat asam lambung (omeprazol, lansaprazol, pantoprazol) guna

mencegah terjadinya tukak lambung.

27

Page 28: Refrat Rheumatoid Arthritis

Salisilat

Kelompok obat ini merupakan cikal bakal berkembangnya OAINS.

Salisilat menimbulkan efek analgesia, anti inflamasi, dan anti piretik dengan

menekan produksi prostaglandin dan tromboksan dengan menghambat

siklooksigenase (Cox-1 dan Cox-2). Oleh karena itu salisilat dan turunannya

disebut juga dengan OAINS konvensional, karena tak selektif terhadap salah

satu tipe siklooksigenase.

OAINS, asam asetil salisilat, lebih dikenal sebagai antiplatelet pada

dosis rendah ketimbang sebagai pengobatan gejala arthritis. Namun

turunannya, yaitu diflunisal biasa digunakan untuk meredakan gejala arthritis.

Efek analgesia diflunisal muncul 1 jam setelah pemberian dan efek maksimal

dicapai setelah 2-3 jam. Namun, kelompok salisilat ini berbahaya terhadap

saluran cerna.

Arylalkanoic Acid

Kelompok ini yang kerap dikenal dalam pengobatan arthritis di

antaranya adalah indometasin dan diklofenak. Keduanya diindikasikan

mengatasi gejala arthritis dan gout ( ankylosing spondylitis, rheumatoid

arthritis, arthritic gout, osteoarthritis, juvenile arthritis, dan pseudogout).

Indometasin merupakan turunan indol metilat dengan efek lebih kuat

dibanding aspirin. Kekuatan ini tak lain berasal dari 2 mekanisme tambahan di

samping menghambat pembentukan prostaglandin. Modus kerja tambahan ini

mencakup inhibisi motilitas leukosit polimorfonuklear, seperti halnya kolkisin

dan melepaskan fosforilasi oksidatif pada mitokondria kartilago, seperti

layaknya salisilat. Akhirnya kedua mekanisme ini memperkuat efek analgesia

dan antiinflamasi indometasin.

28

Page 29: Refrat Rheumatoid Arthritis

Meski cukup superior, namun sebagai OAINS nonselektif,

indometasin tak lepas dari efek samping yang cukup serius. Di antaranya

adalah komplikasi pada saluran cerna dan gangguan mental ringan yang

reversibel. Oleh karena itu, obat ini tidak boleh diberikan untuk mengatasi

nyeri ringan dan sederhana. Indometasin sebaiknya diberikan sesuai indikasi

klinisnya.

Mengingat efek samping tersebut, maka indometasin tidak boleh

diberikan untuk pasien dengan tukak GI aktif. Penggunaan indometasin harus

dibatasi dan dilakukan secara hati-hati pada pasien dengan kolitis bertukak,

epilepsi, parkinson, dan gangguan mental. Belum ada data tentang efektivitas

dan keamanan indometasin pada anak, jadi sebaiknya indometasin tidak

diberikan pada anak usia 14 tahun ke bawah. Indometasin juga tidak boleh

diberikan pada ibu hamil karena bisa dengan mudah melewati plasenta.

Serupa dengan indometasin, diklofenak tampaknya juga merupakan

OAINS yang superior dan unik. Selain menghambat siklooksigenase, ada

evidence bahwa diklofenak juga mengintervensi jalur lipooksigenase sehingga

mengurangi pembentukan leukotrien. Leukotrien merupakan pro-

inflammatory autacoid. Tak hanya itu, diklofenak disinyalir juga menghambat

fosfolipase A2. Mekanisme tambahan ini diduga menjadi sumber kekuatan

diklofenak. Jadi wajar saja bila obat ini juga dikenal sebagai OAINS yang

superior.

Kerja diklofenak yang menginhibisi siklooksigenase, ternyata juga

menurunkan prostaglandin di epitel lambung. Akibatnya epitel jadi lebih

sensitif mengalami korosif oleh asam lambung. Ini pulalah yang menjadi efek

samping utama diklofenak. Tapi bagusnya, diklofenak memiliki

kecenderungan (sekitar 10 kali) menghambat COX-2 dibandingkan dengan

29

Page 30: Refrat Rheumatoid Arthritis

COX-1. Itu sebabnya keluhan GI akibat penggunaan diklofenak lebih rendah

ketimbang indometasin dan aspirin. Alhasil diklofenak dikenal sebagai

OAINS yang bisa ditoleransi dengan baik. Dari 20% pasien yang mengalami

efek samping pada penggunaan diklofenak jangka panjang, hanya 2% yang

akhirnya menghentikan pengobatan.

2-Arylpropionic acid (profen)

Profen merupakan salah satu kelompok OAINS yang sangat banyak

digunakan. Ibuprofen dan ketoprofen, misalnya, digunakan secara luas hampir

disebagian besar negara di dunia. Ibuprofen dosis rendah (200 mg dan

terkadang 400 mg) dan ketoprofen 12,5 mg dapat diperoleh tanpa resep atau

over the counter (OTC) untuk mengatasi sakit kepala, nyeri haid, demam, dan

nyeri ringan lainnya. Dosis lebih tinggi digunakan untuk mengatasi nyeri

sedang seperti gejala arthritis.

Keputusan untuk melempar ibuprofen dan ketoprofen ke pasar OTC

tak lain karena obat ini relatif aman pada dosis rendah. Di antara semua

OAINS nonselektif, ibuprofen menunjukkan efek samping pada GI paling

rendah. Tapi untuk dosis di atas preparat OTC, penggunaannya harus tetap

diawasi atau diresepkan (maksimum 3200 mg per hari). Pasalnya, pemberian

ibuprofen dosis tinggi dalam jangka panjang dikaitkan dengan peningkatan

risiko infark miokard.

Berbeda dengan kedua anggota profen yang telah disebut di atas,

penggunaa naproxen dan ketorolak malah harus diawasi secara ketat. Seperti

OAINS lain, kedua obat ini bisa menimbulkan gangguan pada GI. Bahkan

ketorolak bisa menyebabkan retensi cairan dan edema. Karenanya,

penggunaan ketorolak hanya diperbolehkan untuk jangka waktu pendek

30

Page 31: Refrat Rheumatoid Arthritis

(maksimal tiga hari). Ketorolak tak diindikasikan untuk mengatasi gejala

arthritis.

Sedangkan naproxen biasa diindikasikan untuk mengatasi gejala

arthritis. Agar bisa memberikan efek memadai, naproxen membutuhkan dosis

yang lebih tinggi ketimbang OAINS lain (dosis minimal 200 mg), dengan

loading dose 550 mg. Meski demikian, naproxen terikat baik dengan albumin

sehingga waktu paruhnya lebih panjang, yakni 12 jam per dosis.

Coxib

Awalnya, COX-2 selective inhibitors atau coxib dikembangkan untuk

menghindari efek samping pada saluran cerna yang umum dijumpai pada

penggunaan OAINS nonselektif. Tapi seperti yang telah dijelaskan di atas,

ternyata beberapa coxib ditemukan berisiko terhadap kardiovaskular. Meski

demikian, beberapa konsensus tetap menggunakan obat golongan ini dengan

mempertimbangkan risk and benefit-nya.

Potensi coxib dibedakan berdasarkan selektifitasnya. Coxib yang lebih

baru (valdecoxib, etoricoxib, lumiracoxib) menghambat COX-2 lebih selektif

dari celecoxib atau rofecoxib. Bagaimana relevansi klinis dari peningkatan

selektivitas ini masih belum jelas.

Celecoxib dan valdecoxib sama-sama memiliki suatu ikatan

sulfonamida, yakni suatu metabolit aktif dari prodrug parecoxib. Uji klinis

memperlihatkan bahwa kedua obat ini efektif mengatasi OA dan RA. Pada uji

juga terlihat, insiden ulser gastrik dan duodenum secara endoskopi pada

pasien yang menggunakan obat ini lebih rendah secara bermakna ketimbang

pasien yang menerima OAINS nonselektif. Namun valdecoxib tak

seberuntung celecoxib. Pada 2005 silam, valdecoxib ditarik secara sukarela

31

Page 32: Refrat Rheumatoid Arthritis

dari beberapa market utama terkait dengan efek reaksi kulit yang serius.

Menurut FDA, setidaknya 7 pasien dengan atau tanpa riwayat alergi

sulfonamide meninggal.

Sementara rofecoxib dan etoricoxib sama-sama memiliki suatu gugus

sulfon. Tapi rofecoxib mesti ditarik dari peredaran lantaran terkait dengan

risiko kardiovaskularnya. Etoricoxib, generasi lebih baru, kini tengah

menjalani uji klinis fase III/IV. Sejak penarikan rofecoxib, FDA lebih hati-

hati dan meminta data tambahan tentang efikasi dan keamanan etoricoxib

sebelum di-approval.

Menurut hasil uji yang telah berjalan, etoricoxib memiliki efikasi yang

sama dengan diklofenak 50 mg tiga kali sehari atau naproksen 50 mg dua kali

sehari untuk OA atau RA, dan sebanding atau unggul terhadap naproksen

1000 mg per hari untuk pasien RA. Etoricoxib memiliki tingkat lesi lambung

dan duodenum yang dilihat dengan endoskopik lebih rendah ketimbang

ibuprofen, dan memiliki risiko yang lebih kecil mengalami gangguan saluran

cerna serius (perforasi, ulser, dan pendarahan (PUB)) daripada OAINS

nonselektif. Etoricoxib relatif memliki waktu paruh yang panjang, sekitar 22

jam.

Di antara semua coxib yang telah dikembangkan, lumiracoxib tampaknya

paling selektif untuk inhibisi COX-2 (rasio COX-2/COX-1 500). Secara

struktural, lumiracoxib merupakan analog lemah dari asam fenilasetat dan

berefek sama dengan diklofenak. Lumiracoxib memiliki yang paruh yang

sangat singkat (3–6 jam). Uji klinis memperlihatkan lumiracoxib 100–400 mg

per hari efektif pada pasien OA dan RA, dengan risiko komplikasi saluran

cerna yang lebih rendah secara signifikan ketimbang OAINS nonselektif.

b. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD)

32

Page 33: Refrat Rheumatoid Arthritis

Kelompok obat-obatan ini termasuk metotrexat, senyawa emas, D-

penicilamine, antimalaria, dan sulfasalazine. Walaupun tidak memiliki

kesamaan kimia dan farmakologis, pada prakteknya, obat-obat ini

memberikan beberapa karakteristik.

Pemberian obat ini baru menjadi indikasi apabila NSAID tidak dapat

mengendalikan artritis reumatoid. Beberapa obat-obatan yang telah

disebutkan sebelumnya tidak disetujui oleh U.S Food and Drugs

Administration untuk dipakai sebagai obat artritis reumatoid. Tujuan

pengobatan dengan obat-obat kerja lambat ini adalah untuk mengendalikan

manifestasi klinis dan menghentikan atau memperlambat kemajuan

penyakit.

Sulfasalazine (Azulfidine) adalah obat oral yang digunakan dalam

perawatan penyakit peradangan usus besar yang ringan sampai beratnya

sedang, seperti ulcerative colitis dan penyakit Crohn. Azulfidine digunakan

untuk merawat rheumatoid arthritis dalam kombinasi dengan obat-obat anti

peradangan. Azulfidine umumnya ditolerir dengan baik. Efek-efek sampingan

yang umum termasuk ruam (rash) dan gangguan lambung. Karena Azulfidine

terbentuk dari senyawa-senyawa sulfa dan salicylate, maka harus dihindari

oleh pasien-pasien dengan alergi-alergi sulfa yang diketahui.

Methotrexate adalah suatu obat penekan imun. Ia dapat

mempengaruhi sumsum tulang dan hati, bahkan jarang menyebabkan sirosis.

Semua pasien-pasien yang mengkonsumsi methotrexate memerlukan tes-tes

darah secara teratur untuk memonitor jumlah-jumlah darah dan tes-tes darah

fungsi hati.

Garam-garam emas (Gold salts) telah digunakan untuk merawat

rheumatoid arthritis sepanjang kebanyakan abad yang lalu. Gold thioglucose

33

Page 34: Refrat Rheumatoid Arthritis

(Solganal) dan gold thiomalate (Myochrysine) diberikan dengan suntikan,

awalnya pada suatu dasar mingguan untuk berbulan-bulan sampai bertahun-

tahun. Emas oral, auranofin (Ridaura), diperkenalkan pada tahun sembilan

belas delapan puluhan (1980s). Efek-efek sampingan dari emas (oral dan yang

disuntikan) termasuk ruam kulit (skin rash), luka-luka mulut, kerusakan ginjal

dengan kebocoran protein dalam urin, dan kerusakan sumsum tulang dengan

anemia dan jumlah sel putih yang rendah. Pasien-pasien yang menerima

perawatan emas dimonitor secara teratur dengan tes-tes darah dan urin. Emas

oral dapat menyebabkan diare.

D-penicillamine (Depen, Cuprimine) dapat bermanfaat pada pasien-

pasien yang terpilih dengan bentuk-bentuk rheumatoid arthritis yang

progresif. Efek samping adalah serupa dengan yang dari emas, yaitu demam,

kedinginan, luka-luka mulut, suatu rasa metal/logam dalam mulut, ruam kulit,

kerusakan ginjal dan sumsum tulang, gangguan lambung, dan mudah memar.

Pasein-pasien pada obat ini memerlukan tes-tes darah dan urin yang rutin. D-

penicillamine jarang dapat menyebabkan gejala-gejala dari penyakit-penyakit

autoimun lain.

Obat-obat penekan imun adalah obat-obat sangat kuat yang menekan

sistim imun tubuh. Sejumlah obat-obat penekan imun digunakan untuk

merawat rheumatoid arthritis. Obat-obat penekan imun termasuk methotrexate

(Rheumatrex, Trexall) seperti yang digambarkan diatas, azathioprine

(Imuran), cyclophosphamide (Cytoxan), chlorambucil (Leukeran), dan

cyclosporine (Sandimmune). Karena efek-efek sampingan yang berpotensi

serius, obat-obat penekan imun (lain daripada methotrexate) umumnya

dicadangkan untuk pasien-pasien dengan penyakit yang sangat agresif atau

mereka yang dengan komplikasi-komplikasi peradangan rheumatoid yang

serius, seperti peradangan pembuluh darah (vasculitis). Pengecualian adalah

34

Page 35: Refrat Rheumatoid Arthritis

methotrexate, yang tidak seringkali dikaitkan dengan efek-efek sampingan

yang serius dan dapat secara hati-hati dimonitor dengan pengujian darah.

Methotrexate telah menjadi suatu obat baris kedua yang disukai sebagai

akibatnya.

Obat-obat penekan imun dapat menekan fungsi sumsum tulang dan

menyebabkan anemia, suatu jumlah sel putih yang rendah, dan jumlah-jumlah

platelet yang rendah. Suatu jumlah putih yang rendah dapat meningkatkan

risiko infeksi-infeksi, dimana suatu jumlah platelet yang rendah dapat

meningkatkan risiko perdarahan. Methotrexate jarang dapat menjurus pada

sirosis hati dan reaksi-reaksi alergi pada paru. Cyclosporin dapat

menyebabkan kerusakan ginjal dan hipertensi (tekanan darah tinggi). Karena

efek-efek sampingan yang berpotensi serius, obat-obat penekan imun

digunakan dalam dosis-dosis rendah, biasanya dalam kombinasi dengan agen-

agen anti peradangan.

2. Terapi glukokortikoid

Terapi glukokortikoid sistemik dapat memberikan efek untuk terapi

simptomatik pada penderita artritis reumatoid. Prednison dosis rendah (7,5

mg/hari) telah menjadi terapi suportif yang berguna untuk mengontrol gejala.

Walaupun demikian, bukti-bukti terbaru mengatakan bahwa terapi

glukokortikoid dosis rendah dapat memperlambat progresifitas erosi tulang.

3. Operasi

Tindakan operasi bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan bentuk sendi

yang cacat dan untuk menghilangkan sinovium yang rusak sehingga sinovium

baru dapat terbentuk, transfer tendon bisa memperbaiki fungsi bila telah putus.

Operasi memiliki peranan penting dalam penanganan penderita artritis

reumatoid dengan kerusakan sendi yang parah. Meskipun artroplastia dan

penggantian total sendi dapat dilakukan pada beberapa sendi, prosedur yang

35

Page 36: Refrat Rheumatoid Arthritis

paling sukses adalah operasi pada pinggul, lutut, dan bahu. Tujuan realistik dari

prosedur ini adalah mengurangi nyeri dan mengurangi disabilitas.

Tindakan operasi yang lain, yaitu sinovektomi terbuka dan radikal,

sehingga mempunyai resiko antara lain pendarahan, penggunaan anastesi,

infeksi pada sendi artifisial, bekuan darah, dan sendi artifisial yang tidak cocok.

Pemulihan pasca tindakan operasi membutuhkan waktu hingga 2 minggu rawat

inap di rumah sakit. Rehabilitasi sendi pasca tindakan operasi memerlukan

waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan.

36

Page 37: Refrat Rheumatoid Arthritis

2.10 Komplikasi

Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan

ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti

inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit

( disease modifying antirhematoid drugs, DMARD ) yang menjadi faktor

penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis reumatoid.

Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga

sukar dibedakan antara akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya

berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan

neuropati iskemik akibat vaskulitis.

37

Page 38: Refrat Rheumatoid Arthritis

2.11 Prognosis

Beberapa tampakan klinis pada pasien artritis reumatoid nampaknya

memiliki nilai prognostik. Remisi dari aktivitas penyakit cenderung lebih

banyak terjadi pada tahun pertama. Jika aktivitas penyakit berlangsung lebih

dari satu tahun biasanya prognosis buruk. Wanita kulit putih cenderung

memiliki sinovitis yang lebih persisten dan lebih erosif dibanding pria.

Harapan hidup rata-rata orang dengan artritis reumatoid memendek 3-7

tahun dari orang normal. Peningkatan angka mortalitas tampaknya terbatas pada

pasien dengan penyakit sendi yang lebih berat, sehubungan dengan infeksi dan

perdarahan gasrointestinal. Faktor yang dihubungkan dengan kematian dini

mencakup disabilitas, durasi dan tingkat keparahan penyakit, penggunaan

glukokortikoid, umur onset, serta rendahnya status sosio-ekonomi dan

pendidikan.

38

Page 39: Refrat Rheumatoid Arthritis

BAB III

KESIMPULAN

1) Rheumatoid arthritis adalah inflamasi sistemik kronik yang menyerang beberapa

sendi dan termasuk gangguan auto-imun (hipersensitivitas tipe III). Proses

inflamasi ini terutama mempengaruhi lapisan sendi (membran sinovial), tetapi

dapat juga mempengaruhi organ tubuh lainnya.

2) Faktor risiko rheumatoid arthritis yaitu transfusi darah, usia, jenis kelamin

(perempuan : laki-laki = 2: 1), faktor genetik, suku, rokok dan kopi.

3) Gejala umum yang terjadi adalah pada sendi terjadi pembengkakan, warna

kemerahan, terasa hangat, bila ditekan terasa lunak dan disertai rasa sakit.

4) Dasar diagnosis rheumatoid arthritis antara lain anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium, foto polos, USG, CT-Scan, MRI.

5) Diagnosis banding rheumatoid arthritis yaitu gout arthritis dan osteoarthritis

6) Penatalaksaannya yaitu dengan NSAIDs, DMARD, Glukokortikoid, dan operasi.

39

Page 40: Refrat Rheumatoid Arthritis

DAFTAR PUSTAKA

Lipsky, Peter E. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper LK, Fauci AS, Longo DL,

Braunwald E, Hauser SL, and Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal

Medicine 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.p.1968-76

Kent PD and Matteson EL, editors. Clinical Feature and Differential Diagnosis. In:

St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1 st ed. New

York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.11-23

Snaith, Michael L. ABC of Rheumatology 3rd ed. London: BMJ Books; 2004.p.50-5

Sommer OF, Kladosek A, Weiller V, Czembirek H, Boeck M, and Stiskal S.

Rheumatoid Arthritis: A Practical Guide to State-of-the-Art Imaging, Image

Interpretation, and Clinical Implications. Austria: RadioGraphics; 2005.p.381-398

Eisenberg RL and Johnson NM, editors. Comprehensive Radiographic Pathology 4th

ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2003.p.1134-5

Coote A and Haslam P, editors. Crash Course Rheumatology and Orthopaedics 1st ed.

New York : Mosby; 2004.p.51-9

Waugh A and Grand A, editors. Rose and Wilson Anatomy and Physiology in Health

and Illness 9th ed. Edinburg: Churchill Livingstone; 2001.p.414-5

Cothran Jr RL and Matinez S, editors. Radiographic Findings. In: St.Clair EW,

Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1st ed. New York:

Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.80-9

40