referat mata revisi eksotropia
DESCRIPTION
aksdjfksdajf sdakjf asdkjfas djfasdfjeiortu3 43trethjkhfj sdahfkasjd fkaksdjfksdajf sdakjf asdkjfas djfasdfjeiortu3 43trethjkhfj sdahfkasjd fkaksdjfksdajf sdakjf asdkjfas djfasdfjeiortu3 43trethjkhfj sdahfkasjd fkjhsfkhsd fasldhfksdahTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Mata merupakan salah satu organ sensoris yang berfungsi sebagai organ penglihatan.
Agar dapat melihat, mata harus menangkap pola pencahayaan di lingkungan sebagai
“gambar/bayangan optis” di suatu lapisan sel peka sinar, retina, seperti kamera nondigital
menangkap bayangan pada film. Seperti film yang dapat diproses menjadi salinan visual dari
bayangan asli, citra tersandi di retina disalurkan melalui serangkaian tahap pemrosesan visual
yang semakin rumit hingga akhirnya secara sadar dipersepsikan sebagai kemiripan visual dari
bayangan asli.1,5
Mata secara keseluruhan dapat berfungsi secara optimal berkat adanya susunan penting
struktur-struktur yang membentuk bola mata. Gangguan pada salah satu struktur penting
mungkin dapat sangat berpengaruh pada fungsi utama mata sebagai organ penglihatan dengan
manifestasi yang berbeda-beda, tergantung dari struktur mana yang terganggu. 1,5
Mata memiliki otot-otot ekstraokular memegang peranan penting pada sistem visual, baik
untuk penyesuaian statis binocular alignment yang diperlukan untuk stereopsis maupun bagi
pergerakan dinamis untuk mempertahankan target visual pada fovea.1 Terdapat 7 otot
ekstraokular yaitu empat otot rektus, dua otot oblik, dan satu otot levator palpebra superior.
Posisi primer terjadi pada saat mata dan kepala berada dalam keadaan lurus ke depan. Bola mata
biasanya dapat digerakkan sekitar 50° pada tiap-tiap arah dari posisi primer, akan tetapi mata
hanya bergerak 15-20° dari posisi primer sebelum terjadi gerakan kepala.2
1
Keempat otot rektus berorigo di posterior orbita pada annulus Zinn di sekeliling kanalis
optik dan bagian inferior fissura orbitalis superior.1 Otot rektus medial dan lateral adalah otot
rektus horisontal. Otot rektus medial berjalan sepanjang dinding orbita medial dan berinsersi 5.3
mm dari limbus. Otot rektus lateral berjalan sepanjang dinding lateral orbita dan berinsersi 6.9
mm dari limbus. Otot rektus vertikal terdiri dari otot rektus superior dan inferior. Otot rektus
superior berjalan ke anterior di atas bola mata, kemudian ke lateral membentuk sudut 23° dengan
aksis visual pada posisi primer, dan berinsersi 7.9 mm dari limbus. Otot rektus inferior berjalan
ke anterior, ke bawah, kemudian ke lateral di sepanjang dasar orbita, membentuk sudut 23°
dengan aksis visual pada posisi primer, dan berinsersi 6.8 mm dari limbus. Dimulai dari otot
rektus medial, inferior, lateral, dan otot rektus superior, tendon otot rektus ini akan berinsersi
semakin menjauhi limbus. Jika dari insersi ini ditarik suatu garis imajiner maka akan
menghasilkan bentuk spiral yang disebut spiral of Tillaux.
Gambar 1. Spiral of Tillaux.dikutip dari kepustakaan 1
Otot oblik superior berorigo di apeks orbita di atas annulus Zinn dan berjalan ke anterior
dan superior sepanjang dinding superomedial orbita. Tendon otot oblik superior membentuk
sudut 51° dengan aksis visual pada posisi primer. Tendon otot oblik superior berinsersi pada
2
kuadran posterosuperior bola mata, di sebelah lateral bidang midvertikal, di bawah otot rektus
superior.1
Otot oblik inferior berorigo dari periosteum tulang maksila, di posterior rima orbita. Otot
ini berjalan ke lateral, superior, dan posterior, kemudian ke inferior otot rektus inferior dan
berinsersi di bawah otot rektus lateral. Otot oblik inferior membentuk sudut 51° dengan aksis
visual pada posisi primer. Otot levator palpebra superior muncul dari apeks orbita di atas annulus
Zinn, berjalan ke anterior di atas otot rektus superior dan menjadi aponeurosis di daerah forniks
superior.
Saraf okulomotor akan menginervasi otot rektus superior, inferior, medial, otot oblik
inferior, serta otot levator palpebra superior. Divisi inferior menginervasi rektus medial, inferior,
dan otot oblik inferior. Divisi superior menginervasi otot rektus superior dan otot levator
palpebra superior. Otot oblik superior diinervasi oleh saraf troklearis sedangkan otot rektus
lateral diinervasi oleh saraf abdusen.2
Masing-masing otot ekstraokular mendapat suplai darah dari cabang muskular medial dan
lateral arteri oftalmika. Cabang medial mensuplai darah otot rektus inferior dan medial serta otot
oblik inferior, sedangkan cabang lateral menvaskularisasi otot rektus superior dan lateral, otot
oblik superior dan otot levator palpebra superior.
Terdapat 3 aksis utama pada mata yaitu aksis y, x, dan z yang pertama kali diperkenalkan
oleh Fick tahun 1854. Aksis y adalah aksis anteroposterior dan berhimpitan dengan garis fiksasi.
Bidang median bola mata terletak sepanjang aksis y. Aksis x dan z terletak perpendikular
terhadap aksis y. Aksis x adalah aksis horisontal dan aksis z adalah aksis vertikal. Aksis
3
horisontal dan vertikal terletak pada Listing’s plane. Listing’s plane adalah bidang pada orbita
yang melewati pusat rotasi dari bola mata dan mengandung dua aksis rotasi utama. 5,23
Gambar 2. Aksis rotasi bola mata dan Listing’s plane.dikutip dari kepustakaan 23
Duksi adalah gerak satu mata. Duksi di sekitar aksis vertikal (aksis z) menghasilkan gerak
mata aduksi dan abduksi. Rotasi dengan pusat aksis horisontal (aksis x) menghasilkan gerak mata
vertikal yaitu gerak elevasi dan depresi. Rotasi dengan pusat aksis y disebut dengan sikloduksi.
Rotasi dengan sumbu sagital ke arah nasal disebut insikloduksi sedangkan ke arah temporal
disebut eksikloduksi.
Versi adalah gerak kedua mata dengan arah yang sama. Vergens adalah gerak kedua mata
dengan arah yang berlawanan. Kontraksi otot mata akan menghasilkan gerakan bola mata. Otot-
otot yang memproduksi suatu gerakan disebut otot agonis sedangkan otot yang menghasilkan
gerakan dengan arah yang berlawanan disebut otot antagonis. Sebagai contoh, otot rektus medial
beraksi sebagai aduktor sedangkan otot rektus lateral beraksi sebagai abduktor sehingga kedua
otot tersebut dikatakan antagonis relatif terhadap satu sama lain.
Otot pada mata yang sama yang menggerakkan bola mata pada arah yang sama disebut
sebagai sinergis. Sebagai contoh, otot rektus superior dan otot oblik inferior beraksi sebagai
4
elevator bola mata dan dikatakan sinergis pada aksi elevasi. Otot pada masing-masing mata juga
dapat beraksi secara sinergis dan disebut sebagai otot yoke. Sebagai contoh, otot rektus medial
mata kanan dan otot rektus lateral mata kiri berfungsi untuk menggerakkan mata ke arah kiri
(levoversi).
Gambar 3. Otot yoke berperan dalam 6 posisi pergerakan bola mata.dikutip dari kepustakaan 23
Terdapat 2 hukum gerakan bola mata yang penting untuk diketahui, yaitu hukum
Sherrington dan hukum Herring. Hukum Sherrington menyatakan bahwa pada saat terdapat
impuls untuk berkontraksi yang diterima oleh otot agonis, maka otot antagonis akan menerima
impuls inhibisi sehingga gerakan bola mata selalu melibatkan kontraksi satu atau lebih otot
ekstraokular dan relaksasi otot antagonisnya.
Hukum Herring menyatakan bahwa pada keadaan normal otot yoke pada kedua mata
selalu menerima inervasi yang sama besar. Hukum ini dapat diterapkan pada gerakan mata
volunter maupun involunter.
Bidang otot dari otot rektus horisontal berkorespondensi dengan bidang horisontal mata.
Pada saat mata berada dalam posisi primer otot rektus horizontal akan berotasi pada aksis z.2
Otot rektus medial dan lateral hanya mempunyai aksi horisontal; di mana aksi otot rektus medial
adalah sebagai aduktor dan otot rektus lateral sebagai abduktor.5,23
5
Pada saat mata berada dalam posisi primer, bidang otot dari otot rektus superior dan
inferior membentuk sudut 23° dengan aksis y.
Gambar 4. Hubungan bidang otot dari otot rektus vertical terhadap aksis rotasi x dan y. dikutip dari
kepustakaan 23
Aksi utama otot rektus superior pada posisi primer adalah untuk elevasi bola mata.
Karena adanya hubungan antara bidang otot dari otot rektus superior dan aksis kardinal rotasi
bola mata, kontraksi otot rektus superior juga menyebabkan aduksi dan insikloduksi.
Pada posisi primer, otot rektus inferior berfungsi sebagai depresor. Selain itu otot rektus
inferior juga menghasilkan gerak eksikloduksi dan aduksi. Fungsi depresor terjadi maksimal saat
bola mata abduksi sekitar 23° dari posisi primer, di mana bidang otot paralel dengan aksis y.
Fungsi sikloduksi maksimal saat bola mata berada dalam keadaan aduksi.
Aksi utama otot oblik superior adalah insikloduksi saat mata pada posisi primer. Karena
hubungannya dengan bidang otot dari tendon oblik superior dan aksis utama rotasi bola mata,
kontraksi otot oblik superior juga menghasilkan depresi dan abduksi. Saat bola mata aduksi,
sudut antara bidang median (aksis y) dan bidang otot berkurang, dan memperkuat fungsi depresi
6
otot oblik superior. Saat mata dalam keadaan abduksi, sudut antara bidang otot dan bidang
median bola mata bertambah, dan memperkuat fungsi sikloduksi otot oblik superior.
Fungsi otot oblik inferior yang utama pada posisi primer adalah menghasilkan
eksikloduksi dan sejumlah kecil elevasi serta abduksi. Fungsi elevasi otot oblik inferior diperkuat
saat aduksi dan fungsi eksikloduksi diperkuat saat abduksi. Fungsi elevasi akan maksimal saat
mata aduksi 51° dan fungsi eksikloduksi maksimal saat mata abduksi sekitar 39°.
Gambar 5. a. Hubungan antara bidang otot dari otot oblik terhadap aksis y; b. Otot oblik superior akan berfungsi insikloduksi sepenuhnya saat mata abduksi sekitar 36°.
Untuk menentukan sudut strabismus digunakan beberapa tes yaitu sebagai berikut :
a. Uji Tutup dan Prisma
Uji tutup terdiri atas 4 bagian, yaitu ;
1. Uji Tutup
Untuk menentukan deviasi yang bermanifestasi (strabismus). Arah gerakan
memperlihatkan arah penyimpangan ( missal : jika mata yang diamati bergerak ke
luar untuk melakukan fiksasi, terdapat esotropia ).
2. Uji Buka Tutup (Cover-Uncover Test)
7
Untuk menilai terjadi interupsi penglihatan binokuler yang menyebabkan deviasi dan
mampu menunjukkan kualitas (eso-,exo-,hiper-) serta sifat/ nature (foria/tropia)
deviasi.
3. Uji Tutup Bergantian (Alternate Cover Testing)
Untuk memperlihatkan deviasi total (heterotropia ditambah heteroforia bila ada juga)
dengan mendisosiasi fusi binocular. Penutup harus dipindahkan dengan cepat dari
satu mata ke mata yang lain untuk mencegah refuse heteroforia.
4. Uji Tutup Bergantian Plus Prisma
Untuk mengukur deviasi secara kuantitatif, diletakkan prisma dengan kekuatan yang
semakin meningkat di depan satu mata sampai terjadi netralisasi gerakan mata pada
uji tutup bergantian.
b. Uji Objektif
1. Metode Hirschberg
Pada mata yang berdeviasi akan terlihat desentrasi pantulan cahaya. Dengan
mempertimbangkan 18 PD untuk setiap millimeter desentrasi, dapat di buat perkiraan
sudut deviasinya.
2. Metode refleks prisma ( uji krimsky ”reverse” )
Pasien melakukan fiksasi terhadap suatu cahaya. Sebuah prisma ditempatkan di depan
mata yang di pilih, dan kekuatan prisma yang diperlukan untuk membuat refleks
cahaya terletak di tengah kornea mata yang strabismus menentukan ukuran sudut
deviasi nya.
BAB II
8
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI EKSOTROPIA 10,11,12
Eksotropia adalah penyimpangan sumbu penglihatan yang dimana salah satu sumbu
penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu penglihatan lainnya menyimpang pada bidang
horizontal ke arah lateral.
Ekstropia lebih jarang dijumpai dibandingkan esotropia, terutama pada masa bayi dan
anak. Insidensnya meningkat secara bertahap seiring dengan usia. Tidak jarang bahwa suatu
tendensi strabismus divergen berawal dari suatu eksoforia yang berkembang menjadi eksotropia
intermiten dan akhirnya menjadi eksotropia yang menetap apabila tidak dilakukan terapi. Kasus-
kasus lain berawal sebagai eksotropia intermiten atau konstan dan tetap stasioner. Seperti halnya
esotropia, pada beberapa kasus mungkin terdapat unsur herediter. Eksoforia dan eksotropia (yang
dianggap sebagai sebuah entitas deviasi divergen) sering diwariskan sebagai ciri autosomal
dominan; salah satu atau kedua orangtua dari seorang anak eksotropia mungkin memperlihatkan
eksotropia atau eksoforia derajat tinggi.
B. ETIOLOGI 10,11,12
Penyebab eksotropia dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
1) Herediter, unsur herediter sangat besar, yaitu trait autosomal dominan.
2) Inervasi, tetapi tidak terdapat abnormalitas yang berarti dalam bidang sensorimotor
3) Anatomi, kelainan untuk rongga orbita misalnya pada penyakit Crouzon
C. KLASIFIKASI 10,11,12
9
1. Eksotropia Intermiten
Intermiten eksotropia adalah eksotropia yang secara intermiten akan bermanifestasi
menjadi eksotropia.15 Intermiten eksotropia merupakan bentuk eksotropia yang paling banyak
terjadi pada anak 16,17,18 dan pada beberapa populasi lebih sering ditemukan daripada esotropia.18
Menurut Hutchinson, intermiten eksotropia ditemukan pada hampir 1 % dari populasi umum.19
Studi populasi di USA menyatakan bahwa intermiten eksotropia terjadi pada 1 dari 185 anak
umur 10 tahun. 17
Hingga saat ini perjalanan penyakit intermiten eksotropia masih belum jelas. Sekitar 80%
penderita intermiten eksotropia akan menunjukkan hilangnya kendali fusi yang progresif dan
terjadi peningkatan eksotropia setelah beberapa bulan atau tahun.15 Studi selama 20 tahun yang
dilakukan oleh Nusz et al menyatakan bahwa deviasi pada intermiten eksotropia akan
menghilang pada 4% subjek dan lebih dari 50% lainnya akan mengalami peningkatan deviasi
sebesar lebih dari 10 D. 20
1.1 Etiopatogenesis
Beberapa teori yang menerangkan kejadian intermiten eksotropi berpendapat bahwa
penyebab deviasi adalah multifaktorial, yang ditentukan oleh faktor anatomi dan faktor mekanik.
Pada saat tidak ada impuls yang menuju otot ekstraokular maka mata akan cenderung berada
dalam keadaan divergence. Pendapat lain mengatakan adanya ketidakseimbangan antara
mekanisme convergence dan divergence.
1.2 Manifestasi Klinis
10
Intermiten eksotropia biasanya pertama kali terdeteksi pada usia kurang dari 5 tahun.2
Penderita intermiten eksotropia cenderung bermanifes pada saat kelelahan, terserang flu, atau
melamun. Penderita intermiten eksotropia dewasa biasanya akan bermanifes pada saat
mengkonsumsi alkohol atau sedativa. Penderita akan mengeluhkan diplopia, sakit kepala,
kesulitan membaca, fotofobia, dan masalah kosmetik saat mata berdeviasi.24 Gejala seperti
penglihatan kabur, asthenopia, nyeri kepala, fotofobia, dan diplopia jarang dikeluhkan kecuali
jika terdapat convergence insufficiency. Jarangnya keluhan gejala ini menandakan mekanisme
supresi yang berkembang dengan baik.
Pada saat mata berada dalam fase foria, penderita mempunyai fusi bifovea yang baik
dengan stereoacuity berkisar antara 40-50 sec of arc.24 Pada saat mata berdeviasi, penderita akan
menunjukkan supresi hemiretina atau supresi retina temporal.24
Gambar 6. A. Penderita intermiten eksotropia menggunakan fusi kedua mata. B. Oklusi mata kanan untuk menghilangkan mekanisme fusi. C. Penderita bermanifes menjadi eksotropia.dikutip dari
kepustakaan 24
Intermiten eksotropia diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan klasifikasi
Duane, yaitu basic type, divergence excess, dan convergence insufficiency. Klasifikasi ini
11
didasarkan pada fusi saat convergence dan divergence dan tergantung pada perbedaan deviasi
jauh dan dekat. 19
Pada basic type, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara deviasi jauh dan dekat,
dan perbedaan deviasi jauh berkisar 10 PD dari deviasi dekat. Penderita basic type intermiten
eksotropia mempunyai AC/A ratio yang normal sehingga deviasi jauh dan dekat adalah sama.
Tipe divergence excess dibagi menjadi dua, yaitu pseudodivergence excess dan true
divergence excess. Pada tipe pseudodivergence excess, deviasi pada fiksasi jauh lebih besar
dibanding fiksasi dekat jika diukur dengan alternate cover test. Apabila dilakukan oklusi satu
mata selama 60 menit untuk menghilangkan tenacious proximal fusion, maka deviasi dekat akan
meningkat hingga sama besar dengan deviasi jauh.2 Tipe ini cukup sering terjadi, lebih dari 80%
penderita dengan tipe divergence excess sebenarnya merupakan pseudodivergence excess.19
Pada tipe divergence excess, deviasi jauh tetap lebih besar dibanding deviasi dekat
setelah dilakukan oklusi satu mata. Beberapa penderita dengan tipe ini mempunyai AC/A ratio
yang tinggi, yang dibuktikan dengan meningkatnya deviasi dekat setelah ditambah dengan lensa
+3.00 D.2
Pada tipe convergence insufficiency deviasi dekat melebihi deviasi jauh, minimal 10 PD.
Jika saat melihat jauh tidak terdapat deviasi atau deviasi yang ada minimal sedangkan saat
melihat dekat terdapat deviasi maka ini disebut true convergence insufficiency. Sebagai contoh,
pada saat melihat jauh ortoforia, saat melihat dekat terjadi deviasi sebesar 15 PD.15
Perjalanan penyakit intermiten eksotropia hingga saat ini masih belum jelas karena tidak
adanya studi prospektif longitudinal dan kurangnya studi retrospektif pada penderita yang tidak
mendapat terapi. Noorden melaporkan bahwa 75% dari 51 pasien yang tidak diberikan terapi
12
menunjukkan progresivitas dalam 3.5 tahun, di mana 9% memburuk, dan 16% sisanya
menunjukkan perbaikan.25 Hiles menyatakan bahwa dalam 11 tahun masa follow up tidak ada
perbedaan deviasi yang signifikan pada 48 subjek, sedangkan 2 orang subjek berkembang
menjadi eksotropia konstan.
Pada kebanyakan kasus intermiten eksotropia tidak akan menunjukkan perbaikan
melainkan akan menetap atau malah menunjukkan perburukan atau progresivitas. Jika fase tropia
meningkat maka supresi yang terjadi juga akan semakin sering dan seiring dengan
progresivitasnya menjadi eksotropia konstan maka fusi juga akan menghilang.24
1.3 Diagnosis
Diagnosis intermiten eksotropia ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
oftalmologis. Pada anamnesis dapat digali onset dan progresivitas deviasi. Pemeriksaan
oftalmologis untuk mengukur sudut deviasi menggunakan prisma dan alternate cover test untuk
fiksasi jauh dan fiksasi dekat dengan target akomodasi. Mengukur sudut deviasi penderita
intermiten eksotropia dapat menjadi masalah tersendiri karena besar sudut terkadang bervariasi
saat diukur dengan uji alternate cover prism. Pada saat penderita kelelahan maka fusi
konvergensi lemah dan akan terukur deviasi yang besar. Sebaliknya, jika penderita berada dalam
keadaan sadar penuh maka fusi konvergensi akan menutupi deviasi yang kecil dan sulit bagi
pemeriksa untuk mengukurnya.24 Pemeriksaan eksotropia intermitten berdasarkan sebagai
berikut :
Observasi : ekstropia tidak menetap, sering kembali normal
Visus : normal
Deviasi : divergen
13
Fusion : melihat 2 objek pada 1 titik
Motility : tidak terdapat tahanan
Duksi dan versi : tidak dapat ke segala arah
Akomodasi : miopia
Fiksasi : nistagmus
Binokular : abnormal
Supresi : diplopia
Refraksi dengan siklopegik: normal
Patch test (oklusi) dapat mengurangi fusi konvergensi karena oklusi satu mata selama 30-
60 menit dapat mengganggu fusi dan deviasi laten akan manifes. Karena kebanyakan penderita
intermiten eksotropia mempunyai fusi konvergensi tonik yang kuat maka harus diukur dengan
prolonged alternate cover test. Jika terdapat perbedaan yang signifikan antara deviasi jauh dan
dekat maka harus dilakukan patch test.24
Teknik pemeriksaan lain adalah prism adaptation test untuk mengetahui deviasi
maksimal sehingga setelah pembedahan tidak terjadi undercorrection.
1.4 Tatalaksana
Tatalaksana intermiten eksotropia meliputi pendekatan bedah dan non bedah. Terapi non
bedah dapat menggunakan koreksi kacamata, pemberian lensa overminus, prisma, oklusi satu
mata, dan orthoptic vision theraphy. Terapi ini dapat digunakan pada penderita dengan sudut
deviasi kecil (≤ 20-25 PD)19, penderita usia sangat muda di mana overkoreksi setelah
pembedahan dapat menimbulkan ambliopia, serta penderita dengan kemungkinan hasil
pembedahan yang buruk. Penderita dengan AC/A ratio tinggi juga dilaporkan cukup responsif
terhadap terapi non bedah.
14
Koreksi kacamata dapat diberikan pada penderita anisometropia, astigmatisme, miopia,
dan hipermetropia karena kesalahan refraksi yang tidak terkoreksi dapat menyebabkan
terganggunya fusi dan terjadinya deviasi yang manifes.19 Proporsi penderita intermiten
eksotropia yang dapat dikoreksi hanya dengan kacamata belum diketahui karena tidak adanya
studi yang dilakukan hingga saat ini. Studi retrospektif selama 6-22 tahun yang dilakukan oleh
Hiles melaporkan bahwa pada 48 subjek penderita intermiten eksotropia yang hanya mendapat
terapi kacamata, 65% subjek menjadi eksoforia, 73% mengalami pengurangan sudut deviasi, dan
4% subjek berkembang menjadi eksotropia konstan.21
Pemberian lensa overminus juga merupakan alternatif lain dan diberikan dengan
kekuatan 2-3 D lebih besar daripada kekuatan lensa minus yang diperlukan. Setelah fusi konstan
diperoleh selama beberapa waktu maka kekuatan lensa overminus dikurangi secara bertahap
hingga nol. Noorden melaporkan asthenopia akomodativa sebagai efek samping terutama pada
anak usia lebih tua dan dewasa. Rutstein melaporkan bahwa 25% subjek mengalami peningkatan
miopia sebesar lebih dari 0.50 D per tahun setelah diberikan lensa -0.50 D hingga -3.75 D. 25
Salah satu keterbatasan lensa overminus ini adalah hanya efektif bila digunakan pada penderita
usia muda dan tidak bermanfaat pada penderita dengan presbiopia.21
Terapi oklusi dapat diberikan mulai dari full-time, yaitu saat penderita bangun hingga
tidur kembali, atau secara parsial yaitu 1 hingga beberapa jam sehari. Terapi ini jarang
digunakan sebagai terapi tunggal dan biasanya diberikan untuk menunda terapi bedah. Freeman
dan Isenberg melaporkan bahwa pada 4-6 jam oklusi yang diberikan selama 6 bulan pada anak
usia 9 bulan hingga 5 tahun, 100% berubah dari heteroforia menjadi orthoforia. Pada follow up
selanjutnya 27% berkembang menjadi eksotropia konstan.15 Secara keseluruhan angka
15
keberhasilan terapi oklusi pada 7 studi yang dilakukan dari tahun 1965 hingga 1989 adalah
37%.21
Pemberian prisma pada intermiten eksotropia dapat dilakukan dan bekerja dengan
mekanisme (1) mengkompensasi eksodeviasi dan mengurangi kebutuhan fusi vergens (demand-
reducing prism) sehingga fusi lebih stabil dan frekuensi deviasi berkurang, (2) menetralkan
seluruh eksodeviasi dan memungkinkan fusi sensori (neutralizing prism), (3) pemberian prisma
base-in dengan kekuatan di atas kekuatan yang dapat menetralkan gerakan pada alternate cover
test (overcompensating base-in prism) sehingga diharapkan terjadi konvergensi dan diplopia
dapat dicegah.21
Demand-reducing prism adalah prisma yang paling sering digunakan meskipun belum
ada studi yang dapat menjelaskan efikasinya. Kekuatan neutralizing prism yang digunakan
adalah nilai antara deviasi jauh dan dekat. Pada kasus di mana nilai prisma pada titik ini tidak
menghilangkan heteroforia pada kedua deviasi, maka dapat digunakan kaca mata dengan
kekuatan prisma yang berbeda pada bagian atas dan bawah lensa minimal selama 6 bulan.
Overcompensating base-in prism digunakan jika prosedur bedah berakibat undercorrection.
Kekuatan prisma yang digunakan minimal 10 PD untuk menggerakkan bayangan retina pada
mata yang berdeviasi dari temporal ke nasal. Prisma ini akan menyebabkan diplopia yang
memaksa penderita untuk mengadakan adaptasi motorik konvergensi (convergent motor
adaptation). Setelah tercapai adaptasi motorik konvergensi sempurna maka kekuatan prisma
dikurangi secara perlahan.
Keseluruhan angka keberhasilan penggunaan prisma pada 8 studi yang dilakukan dari
tahun 1969 hingga tahun 1990 adalah 28%.21 Keunggulan prisma adalah relatif mudah
16
digunakan dan biayanya yang lebih murah jika dibandingkan dengan prosedur bedah.
Keterbatasannya adalah sulit mengontrol komplians penderita dan masalah kosmetik.
Orthopthic vision therapy atau vision training digunakan pada sudut deviasi kecil, kurang
dari 20 PD. Terapi ini berfungsi untuk melatih konvergensi pada penderita tipe convergence
insufficiency. Efikasi terapi ini dilaporkan berkisar antara 43-100%.15,21
Pendekatan bedah pada intermiten eksotropia diindikasikan jika terdapat progresivitas
penyakit, terdapat deviasi lebih dari atau sama dengan 15 PD, dan jika eksotropia bermanifes
lebih dari 50% saat penderita bangun.2,27 Kapan sebaiknya dilakukan tindakan bedah hingga
sekarang masih merupakan kontroversi. Beberapa berpendapat bahwa pembedahan dini perlu
dilakukan untuk mencegah supresi dan anomalous retinal correspondence sementara pendapat
lain mengatakan bahwa overkoreksi yang dapat terjadi setelah pembedahan dapat berakibat
ambliopia dan hilangnya stereopsis.22 Studi yang dilakukan oleh Nishimura menunjukkan
bahwa usia tidak berpengaruh terhadap keberhasilan pembedahan.28 Abroms dkk menyatakan
bahwa pembedahan yang dilakukan pada saat usia penderita kurang dari 7 tahun dan deviasi
masih intermiten serta durasi deviasi yang bermanifes kurang dari 5 tahun, akan mempunyai fusi
sensorik yang lebih baik.2,22
Beberapa prosedur bedah yang dapat digunakan menurut Burian adalah resesi otot rektus
lateral bilateral untuk tipe divergence excess, resesi otot rektus lateral unilateral untuk tipe
simulated divergence excess, reseksi otot rektus medial untuk basic type, dan reseksi otot rektus
medial bilateral untuk tipe convergence insufficiency. Basic type juga memberikan hasil yang
baik dengan kombinasi resesi otot rektus lateral dan reseksi otot rektus medial ipsilateral.2
17
Penderita dengan divergence excess murni sebaiknya diberikan terapi secara konservatif
terlebih jika disertai dengan AC/A ratio yang tinggi. Kasus yang seperti ini biasanya sulit untuk
ditangani karena setelah pembedahan sering terjadi overcorrection yang berkembang menjadi
esotropia persisten dan membutuhkan kacamata bifokal.24
Angka keberhasilan pembedahan untuk mengkoreksi semua tipe intermiten eksotropia
dilaporkan berkisar 60-70%.30-34 Keberhasilan pada studi ini didefinisikan sebagai terjadinya
alignment dalam 10 PD dari orthoforia dan lama follow up rata-rata tidak lebih dari 4.5 tahun.
1.5 Prognosis
Angka keberhasilan terapi intermiten eksotropia sulit diperoleh karena belum adanya
definisi standard untuk keberhasilan, variasi sistem klasifikasi, dan pendekatan terapi yang
multipel. Kushner menyatakan bahwa pseudodivergence excess merupakan indikator prognosis
yang baik. Kebanyakan penderita dengan tipe ini mempunyai angka keberhasilan pembedahan
yang tinggi. AC/A ratio yang tinggi akan memberikan prognosis yang lebih buruk karena
overcorrection yang dapat terjadi setelah pembedahan akan berkembang menjadi esotropia
persisten.
2. Eksotropia Konstan
Eksotropia konstan lebih jarang dibandingkan eksotropia intermiten. Kelainan ini dapat
dijumpai sejak lahir atau muncul belakangan sewaktu eksotropia intermiten berkembang
menjadi eksotropia konstan. Sebagian ekostropia onsetnya mungkin terjadi pada usia lanjut,
terutama setelah kehilangan salah satu mata.
.
2.1 Manifestasi Klinis
18
Derajat eksotropia konstan dapat bervariasi. Lamanya penyakit atau adanya penurunan
penglihatan pada satu mata dapat menjadikan deviasi semakin besar. Aduksi mungkin
terbatas, dan mungkin juga dijumpai hipertropia. Supresi terjadi apabila deviasi didapat pada
usia 6-8tahun, kalau tidak dapat dijumpai diplopia. Bila eksotropia disebabkan oleh
pengelihatan salah satu mata yang sangat buruk, mungkin tidak ada diplopia. Ambliopia
jarang terjadi bila tidak ada anisometropia, dan sering terlihat perpindahan spontan mata yang
melakukan fiksasi.
2.2 Diagnosis
Penegakkan diagnosis eksotropia konstan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan penunjang. Pemeriksaan eksotropia konstan berdasarkan sebagai berikut :
Observasi : ekstropia menetap
Visus : ambliopia
Deviasi : divergen
Fusion : melihat 2 objek pada 1 titik
Motility : terdapat tahanan
Duksi dan versi : tidak dapat ke segala arah
Akomodasi : miopia
Fiksasi : nistagmus
Binokular : abnormal
Supresi : diplopia
Refraksi dengan siklopegik: diplopia
2.3 Tatalaksana 10,11,12,13
19
Hampir selalu diindikasikan tindakan bedah. Pilihan dan jumlah tindakan seperti
yang dijelaskan untuk eksotropia intermiten. Overcorrection ringan pada orang dewasa
dapat menyebabkan diplopia. Sebagian pasien dapat menyesuaikan diri dengan hal ini,
terutama bila mereka telah diberitahu mengenai kemungkinan ini sebelumnya.
Apabila salah satu mata mengalami penurunan penglihatan, prognosis untuk
mempertahankan posisi yang stabil kurang baik, dengan kemungkinan yang besar akan
kambuhnya eksotropia setelah pembedahan. Penatalaksanaan sebagai berikut :
1. Koreksi dari kelainan refraksi, dengan sikloplegia.
2. Hindari ambliopia dengan penetesan atropin atau penutupan pada mata yangsehat.
3. Meluruskan aksis visualis dengan operasi (mata menjadi ortofori).
4. Memperbaiki penglihatan binokuler dengan latihan ortoptik.
Pengobatan dengan koreksi refraksi pada eksotropia merupakan hal yang penting
dan harus dilakukan dengan hati-hati. Bila pasien eksotropia dengan hipermetropia maka
harus diberi kacamata dengan ukuran yang kurang dari seharusnya unutk merangsang
akomodasi dan konvergensi.
Bila pasien menderita miopia maka harus diberi kacamata yang lebih besar
ukurannya dari seharusnya untuk merangsangakomodasi konvergensi.
Namun pada dasarnya pengobatan ialah operasi. Harus dipertimbangkan
sebelumnya hal-hal sebagai berikut:
1. Besarnya sudut deviasi
2. Perbandingan pengukuran deviasi untuk jauh dan dekat.
20
Operasi pada eksotropia tergantung pada jenis eksotropianya, biasanya dilakukan
resesi otot rektus lateral dan reseksi otot rektus medial mata yang sama pada yang
berdeviasi.
BAB III
21
KESIMPULAN
Eksotropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata dimana salah satu
sumbu penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu penglihatan lainnya menyimpang pada
bidang horizontal ke arah lateral. Penyebab Eksotropia adalah hipotoni rektus medius, hipertoni
rektus lateralis, penurunan fungsi penglihatan satu mata pada remaja dan dewasa muda (miop,
kelemahan konvergensi, kelebihan divergensi). Gejala klinis eksotropia adalah posisi bola mata
menyimpang ke arah temporal.
Diagnosis dapat ditegakan dengan anamnesa, inspeksi, pemeriksaan ketajaman
penglihatan, pemeriksaan kelainan refraksi, mengukur sudut deviasi. Penatalaksanaan esotropia
dan eksotropia yaitu pengobatan secara non operatif dan operatif.
Eksotropia intermiten merupakan penyebab lebih dari separuh kasus eksotropia. Dari
anamnesis sering diketahui bahwa kelainan tersebut memburuk secara progresif. Suatu tanda
khas adalah penutupan satu mata dalam cahaya terang. Eksotropia manifes pertama – tama
terlihat pada fiksasi jauh. Pasien biasanya melakukan fusi pada penglihatan dekat, mengatasi
eksoforia bersudut besar atau kecil. Terapi non bedah sebagian besar terbatas pada koreksi
refraksi dan terapi ambliopia. Sebagian besar pasien eksotropia intermiten memerlukan tindakan
bedah bila kontrol terhadap fusinya memburuk.
Eksotropia konstan lebih jarang dibandingkan eksotropia intermiten. Derajat eksotropia
konstan dapat bervariasi. Lamanya penyakit atau adanya penurunan penglihatan pada satu mata.
DAFTAR PUSTAKA
22
1. Coats DK, Olitsky SE. Strabismus Surgery and It’s Complication. In: Surgically
Important Anatomy. Germany: Springer; 2007. p 3-19.
2. American Academy of Ophthalmology staff. Anatomy of the extraocular muscles and
their fascia. In: American Academy of Ophthalmology staff, editor. Pediatric
ophthalmology and strabismus. Basic and clinical science course. Sec 6. San Fransisco:
The Foundation of American Academy of Ophthalmology; 2005-2006. p. 13-28.
3. Riordan-Eva P. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam: Susanto D, editor. Vaughan &
Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC, 2009:14
4. Andrew A. Anatomy and Physiology of the Eye. Diunduh dari:
www.emedicinehealth.com Diakses tanggal: 20 Juni 2015.
5. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2001. Jakarta: EGC, 2001: 171.
6. Guyton, Arthur C. dan Hall, John E. Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC; 2008
7. John R. 2009. Eye Muscles. Diunduh dari: www.marineyes.com/anatomy/muscles.html
Diakses tanggal: 21 Juni 2015.
8. Gergard L, Doris R. Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas: Ocular motility and
strabismus, 2nd edition. New York: Thieme. 2006: 471.
9. Olver J, Cassidy L. Ophtamology At A Glance: Strabismus, 1 st edition. USA: Blackwell
Science. 2005: 48.
10. West Constance E, Asbury Taylor. Strabismus. Dalam: Susanto D, editor. Vaughan &
Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC, 2009: 244
11. Robert P, et all. Optometric Clinical Practice Guideline dalam Care the Patient with:
Strabismus: Esotropia and Exotropia. USA: American Optometric Association. 2011: 8.
23
12. The Eye M.D Association. Esotropia and Exotropia. USA: American Academy Of
Opthalmology. 2012: 19.
13. Gerhard K. Opthalmology. New York: Department of Opthalmology and University Eye
Hospital Ulm Germany. 2000: 459.
14. David F. Pemeriksaan Oftalmologik Dalam: Susanto D, editor. Vaughan & Asbury
Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC, 2009: 28.
15. Wright KW. Color Atlas of Strabismus Surgery: Strategies and Technique. 3 rd ed. USA:
Springer; 2007. p 42-51.
16. Mohney BG, Huffaker RK. Common forms of childhood exotropia. Ophthalmology;
2003;110:2093– 6.
17. Govindan M, Mohney BG, Diehl NN, Burke JP. Incidence and types of childhood
exotropia: a population-based study. Ophthalmology; 2005;112:104–8.
18. Yu CB, Fan DS, Wong VW. Changing patterns of strabismus: a decade of experience in
Hong Kong. Br J Ophthalmol; 2002;86:854–6.
19. Hutchinson A. Intermittent Exotropia. Ophthalomology Clinics of North America; 2001;
14: 399-406.
20. Nusz KJ, Mohney BG, Diehl NN. The Course of Intermittent Exotropia in a Population-
Based Cohort. Ophthalmology; 2006; 113: 1154-1158.
21. Coffey B, Wick B, Cotter S, Scharre J, Horner D. Treatment Options in Intermittent
Exotropia: A Critical Appraisal. Optometry and Vision Science; 1992; 69: 386-404
22. Abroms AD, Mohney BG, Rush DP, Parks MM, Tong PY. Timely Surgery in
Intermittent and Constant Exotropia for Superior Sensory Outcome. Ophthalmology;
2001; 131: 111-116.
24
23. Coats DK, Olitsky SE. Strabismus Surgery and It’s Complication. In: Physiology of Eye
Movements. Germany: Springer; 2007. p 21-25.
24. Wright KW, Siegel PH, Thompson LS. Handbook of Pediatric Strabismus and
Amblyopia. In: Wright KW, editor. Binocular Vision and Introduction to Strabismus.
New York: Springer; 2006. p 70-82.
25. von Noorden GK, Campos EC. Binocular Vision and Ocular Motility: Theory and
Management of Strabismus. 6th ed. St. Louis: Mosby; 2002:356 –76.
26. Rutstein RP, Marsh TW, London R. Changes in Refractive Error for Exotropias Treated
with Overminus Lenses. Optom Vis Sci; 1989; 66: 487-91.
27. Freeman RS, Isenberg SJ. The Use of Part-time Occlusion for Early Onset Unilateral
Exotropia. J Pediatr Ophthalmol Strabismus. 1989; 26: 94-6.
28. Nishimura J, Okino L. Outcome Study of Bilateral Lateral Rectus Recession for
Intermittent Exotropia in Children. Trans Am Ophthalmol. 1997; 95: 433-443.
29. Kushner BJ. Selective Surgery for Intermittent Exotropia Based on Distance/Near
Differences. Arch Ophthalmol; 1998; 116: 324-28.
30. Benish R, Flanders M: The Role of Stereopsis and Early Postoperative Alignment in
Long-term Surgical Results of Intermittent Exotropia. Can J Ophthal; 1994; 29:119-124
31. Ruttum MS. Initial verses Subsequent Postoperative Motor Alignment in Intermittent
Exotropia. J Am Ass Pediatr Ophthalmol Strabismus; 1997;1:88-91.
32. Olitsky SE. Early and Late Postoperative Alignment Following Unilateral Lateral Rectus
Recession for Intermittent Exotropia. J Pediatr Ophthalmol Strabismus;1998; 35: 146-
148.
25
33. Stoller SH, Simon JW, Li ninger LL. Bilateral Lateral Rectus Muscle Recession for
Exotropia: A Survival Analysis. J Pediatr Ophthalmol Strabismus; 1994; 31:89-92.
34. Yildrem C, Mutlu FM, Chen Y, et al: Assessment of Central and Peripheral Fusion and
Near and Distance Stereoacuity in Intermittent Exotropic Patients before and after
Strabismus Surgery. Am J Ophthalmology; 1999; 128:222-230.
26