referat laringitis akut
TRANSCRIPT
BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
TAHUN AJARAN 2011 - 2012
BAB I
Pendahuluan
Laringitis akut merupakan penyakit yang umum pada anak-anak, mempunyai onset yang
cepat dan biasanya sembuh sendiri. Bila laringitis berlangsung lebih dari 3 minggu maka disebut
laringitis kronik. Laringitis didefinisikan sebagai proses inflamasi yang melibatkan laring dan
dapat disebabkan oleh berbagai proses baik infeksi maupun non-infeksi. Laringitis sering juga
disebut juga dengan ‘croup’. Dalam proses peradangannya laringitis sering melibatkan saluran
pernafasan dibawahnya yaitu trakea dan bronkus. Bila peradangan melibatkan laring dan trakea
maka diagnosis spesifiknya disebut laringotrakeitis, dan bila peradangan sampai ke bronkus
maka diagnosis spesifiknya disebut laringotrakeobronkitis.
BAB II
Epidemiologi
Dari penelitian di Seattle – Amerika (Foy dkk, 1973), didapatkan angka serangan croup
pada bayi usia 0-5 bulan didapatkan 5.2 dari 1000 anak per tahun, pada bayi usia 6-12 bulan
didapatkan 11 dari 1000 anak per tahun, pada anak usia 1 tahun didapatkan 14.9 dari 1000 anak
per tahun, pada anak usia 2-3 tahun didapatkan 7.5 dari 1000 anak per tahun, dan pada anak usia
4-5 tahun didapatkan 3.1 dari 1000 anak per tahun. Dari penelitian di Chapel Hill – NC (Danny
dkk, 1983) didapatkan data-data perbandingannya yaitu 24.3, 39.7, 47, 31.2, dan 14.5, dan dari
data-data tersebut didapatkan 1.26% membutuhkan perawatan di rumahsakit. Di Tuscon – AZ
didapatkan angka serangan croup selama tahun pertama kehidupan 107 kasus dari 961 anak.
Laringitis atau croup mempunyai puncak insidensi pada usia 1-2 tahun. Sebelum usia 6 tahun
laki-laki lebih mudah terserang dibandingkan perempuan, dengan perbandingan
laki-laki/perempuan 1.43:1 (Denny dkk, 1993). Banyak dari kasus-kasus croup timbul pada
musim gugur dimana kasus akibat virus parainfluenza lebih banyak timbul. Pada literatur lain
disebutkan croup banyak timbul pada musim dingin, tetapi dapat timbul sepanjang tahun. Kurang
lebih 15% dari para penderita mempunyai riwayat croup pada keluarganya.
Anatomi Laring
Untuk mengerti patogenesis penyakit laringitis maka kita sebelumnya harus mengetahui
anatomi dari laring. Laring terdiri dari 4 kartilago besar yaitu thyroid, krikoid, arytenoid, dan
epiglotis, dihubungkan dengan otot, ligamen, dan membran fibroelastis dan membran mukus.
Anatomi dari laring pada bayi berbeda dari orang dewasa, dan perbedaan tersebut membuat bayi
lebih rentan pada infeksi saluran nafas atas. Laring pada neonatus terletak tinggi pada leher.
Epiglotisnya lebih sempit, berbentuk omega, dan posisinya vertikal. Submukosa dari area
subglotis merupakan daerah tersempit dari laring, tidak berserabut, menyebabkan ikatan yang
lebih longgar dari membran mukus dibanding orang dewasa, memudahkan terjadinya akumulasi
dari edema. Sebagai tambahan, kartilago yang menyokong saluran udara dari bayi bersifat lunak,
sehingga dapat menyebabkan saluran nafas collapse selama inspirasi. Saluran nafas dari neonatus
berukuran 5-6 mm di diameter pada titik tersempitnya, yaitu cincin krikoid, sehingga bayi berada
pada resiko tinggi terhadap gagal nafas.
Gambar 2.1. anatomi saluran nafas & anatomi laring (dari depan) & anatomi laring (dari dalam)
Etiologi
Etiologi dari laringitis akut yaitu penggunaan suara berlebihan, gastro esophago reflux
disease (GERD), polusi lingkungan, terpapar dengan bahan berbahaya, atau bahan infeksius yang
membawa kepada infeksi saluran nafas atas. Bahan infeksius tersebut lebih sering virus tetapi
dapat juga bakterial. Jarang ditemukan radang dari laring disebabkan oleh kondisi autoimun
seperti rematoid artritis, polikondritis berulang, granulomatosis Wagener, atau sarkoidosis.
Virus yang sering menyebabkan laringitis akut antara lain virus parainfluenza tipe 1
sampai 3 (75% dari kasus), virus influenza tipe A dan B, ‘respiratory syncytial virus’ (RSV).
Virus yang jarang menyebabkan laringitis akut antara lain adenovirus, rhinovirus,
coxsackievirus, coronavirus, enterovirus, virus herpes simplex, reovirus, virus morbili (measles),
virus mumps.
gambar 2.2. Virus Parainfluenza.
gambar 2.3. Virus Influenza.
gambar 2.4. Adenovirus.
gambar 2.5. Measles Virus atau Paramyxovirus.
Bakteri walaupun jarang tetapi dapat juga menyebabkan laringitis akut, antara lain
Haemophilus influenzae type B, Staphylococcus aureus, Corynebacterium diphtheriae,
Streptococcus group A, Moraxella chatarralis, Escherichia coli, Klebsiella sp., Pseudomonas
sp., Chlamydia trachomatis, Mycoplasma pneumoniae, Bordatella pertussis, dan sangat jarang
Coccidioides dan Cryptococcus. C. diphtheriae harus dicurigai sebagai kuman penyebab
terutama bila anak belum diimmunisasi, karena C. diphtheriae dapat meyebabkan membranous
obstructive laryngitis.
gambar 2.6. Haemophilus influenza.
gambar 2.7. Staphylococcus aureus.
gambar 2.8. Streptococcus pneumoniae.
gambar 2.9. Corynebacterium diphtheriae.
Selain virus dan bakteri laringitis juga dapat disebabkan juga oleh jamur, antara lain
Candida albicans, Aspergilus sp., Histoplasmosis dan Blastomyces. Histoplasma dan
Blastomyces dapat menyebabkan laringitis sebagai komplikasi dari infeksi sistemik.
gambar 2.10. Candida albicans.
Patofisiologi
Laringitis akut merupakan inflamasi dari mukosa laring dan pita suara yang berlangsung
kurang dari 3 minggu. Parainfluenza virus, yang merupakan penyebab terbanyak dari laringitis,
masuk melalui inhalasi dan menginfeksi sel dari epitelium saluran nafas lokal yang bersilia,
ditandai dengan edema dari lamina propria, submukosa, dan adventitia, diikuti dengan infitrasi
selular dengan histosit, limfosit, sel plasma dan lekosit polimorfonuklear (PMN). Terjadi
pembengkakan dan kemerahan dari saluran nafas yang terlibat, kebanyakan ditemukan pada
dinding lateral dari trakea dibawah pita suara. Karena trakea subglotis dikelilingi oleh kartilago
krikoid, maka pembengkakan terjadi pada lumen saluran nafas dalam, menjadikannya sempit,
bahkan sampai hanya sebuah celah. Daerah glotis dan subglotis pada bayi normalnya sempit, dan
pengecilan sedikit saja dari diameternya akan berakibat peningkatan hambatan saluran nafas
yang besar dan penurunan aliran udara. Seiring dengan membesarnya diameter saluran nafas
sesuai dengan pertumbuhan maka akibat dari penyempitan saluran nafas akan berkurang.
Sumbatan aliran udara pada saluran nafas atas akan berakibat terjadinya stridor dan kesulitan
bernafas yang akan menuju pada hipoksia ketika sumbatan yang terjadi berat. Hipoksia dengan
sumbatan yang ringan menandakan keterlibatan saluran nafas bawah dan ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi akibat sumbatan dari saluran nafas bawah atau infeksi parenkim paru atau
bahkan adanya cairan.
Gejala Klinis dan Diagnosis
Laringitis ditandai dengan suara yang serak, yang disertai dengan puncak suara (vocal
pitch) yang berkurang atau tidak ada suara (aphonia), batuk menggonggong, dan stridor inspirasi.
Dapat terjadi juga demam sampai 39-40, walaupun pada beberapa anak dapat tidak terjadi.
Gejala tersebut ditandai khas dengan perburukan pada malam hari, dan sering berulang dengan
intensitas yang menurun untuk beberapa hari dan sembuh sepenuhnya dalam seminggu. Gelisah
dan menangis sangat memperburuk gejala-gejalanya. Anak mungkin memilih untuk duduk atau
dipegangi tegak. Pada anak yang lebih dewasa penyakitnya tidak begitu parah. Pada anggota
keluarga lainnya mungkin didapatkan penyakit saluran pernafasan yang ringan. Kebanyakan
pasien hanya bergejala stridor dan sesak nafas ringan sebelum mulai sembuh. Gejala tersebut
sering disertai dengan gejala-gejala seperti pilek, hidung tersumbat, batuk dan sakit menelan.
Pada kebanyakan pasien gejala tersebut timbul 1 sampai 3 hari sebelum gejala sumbatan jalan
nafas terjadi.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan suara yang serak, coryza, faring yang meradang
dan frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai pernafasan cuping hidung,
retraksi suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor yang terus menerus, dan anak bisa
sampai megap-megap (air hunger). Bila terjadi sumbatan total jalan nafas maka akan didapatkan
hipoksia dan saturasi oksigen yang rendah. Bila hipoksia terjadi, anak akan menjadi gelisah dan
tidak dapat beristirahat, atau dapat menjadi penurunan kesadaran atau sianosis. Dan kegelisahan
dan tangisan dari anak dapat memperburuk stridor akibat dari penekanan dinamik dari saluran
nafas yang tersumbat. Dari penelitian didapatkan bahwa frekuensi pernafasan merupakan
petunjuk yang paling baik untuk keadaan hipoksemia. Pada auskultasi suara pernafasan dapat
normal tanpa suara tambahan kecuali perambatan dari stridor. Kadang-kadang dapat ditemukan
mengi yang menandakan penyempitan yang parah, bronkitis, atau kemungkinan asma yang
sudah ada sebelumnya.
Dengan laringoskopi sering didapatkan kemerahan pada laring yang difus bersama
dengan pelebaran pembuluh darah dari pita suara. Pada literatur lain disebutkan gambaran
laringoskopi yang pucat, disertai edema yang berair dari jaringan subglotik. Kadang dapat
ditemukan juga bercak-bercak dari sekresi. Dari pergerakan pita suara dapat ditemukan asimetris
dan tidak periodik. Sebetulnya pemeriksaan rontagen leher tidak berperan dalam penentuan
diagnosis, tetapi dapat ditemukan gambaran staplle sign (penyempitan dari supraglotis) pada foto
AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral, walaupun kadang gambaran tersebut tidak
didapatkan. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, kecuali didapatkan eksudat maka dapat
dilakukan pemeriksaan gram dan kultur dengan tes sensitivitas. Tetapi kultur virus positif pada
kebanyakan pasien. Dari darah didapatkan lekositosis ringan dan limfositosis.
gambar 2.11. gambaran laringoskopi dari laringitis akut.
gambar 2.12. gambaran rontagen laringitis akut, gambaran steeple sign, dibandingkan dengan gambaran rontgen normal.
Terapi
pasien dengan laringitis harus ditangani dengan tenang dan dengan sikap yang
menentramkan hati, karena emosi atau marah akan memperburuk keadaan distress pernafasan
anak. Kebanyakan pasien mengalami hipoksemia, sehingga oksigenisasi harus dilakukan dan
diberikan oksigen yang dilembabkan. Oksigenisasi dapat dinilai pertama-tama dengan cara
oximetry pulse noninvasif untuk meminimalkan ketidaknyamanan dan memaksimalkan
ketenangan pasien. Bila distres pernafasan parah dan tidak responsif terhadap perawatan pertama
makan harus diukur tekanan gas darah arteri untuk menilai hiperkapnia dan asidosis respiratori.
Tetapi harus diingat bahwa PaCO2 normal dapat tidak menggambarkan keparahan penyakit
karena sumbatan dapat terjadi tiba-tiba. Bila terjadi hiperkapnea maka kebanyakan pasien
membutuhkan jalan nafas buatan.
Pemberian makan pada pasien harus mempertimbangkan keparahan pernyakitnya. Pada
pasien yang keadaannya gawat maka tidak boleh diberikan makan dan harus diberikan cairan
intravena untuk mempertahankan rehidrasi.
Nebulisasi epinefrin rasemic sementara dapat memperbaiki distres pernafasan, dengan
efek dalam ½ jam dari pemberian aerosol dan hilang efeknya setelah 2 jam. Namun tidak ada
bukti bahwa penggunaan epinefrin rasemic merubah dasar penyakit dari laringiti, tetapi
penggunaannya telah memperkecil perlunya saluran nafas buatan. Epinefrin rasemic dapat
diberikan sering, sampai setiap setengah jam bila diperlukan untuk melegakan distres
pernafasan. Epinefrin resemic diberikan dalam dosis 0.25 ml dari larutan 2.25% untuk setiap 5
kg Berat badan, sampai dosis maksimum 1.5 ml. Epinefrin rasemic ini harus diberikan dengan
nebulisasi dalam oksigen, karena dapat menyebabkan perburukan sementara dari ketidaksesuaian
ventilasi dan perfusi dalam paru-paru. Irama jantung dan nadi harus dimobitor dan obat harus
dihentikan bila terjadi aritmia. Bila tidak terdapat epinefrin rasemic maka dapat digunakan
epinefrin saja dengan dosis 5 ml larutan 1:1000 ternyata manjur setara 0,5 efinefrin rasemic
2.25% yang dilarutkan dengan 4.5 ml normal saline dalam memperbaiki distres pernafasan pada
laringitis. Efeknya juga hilang dalam 2 jam seperti resemic epinefrin.
Pengguanaan kortikosteroid dalam terapi laringitis menimbulkan kontroversi. Pada
awalnya penelitian yang menilai kemanjuran steroid menggunakan metodologi yang salah dan
menggunakan dosis yang kecil. Lalu bukti-bukti mucul bahwa dosis steroid setara dengan 100
mg kortisol atau 0,3 mg/kg dexametason dapat jadi efektif mengurangi keparahan laringitis
dalam 12 dan 24 jam. Penelitian lebih lanjut menemukan bahwa kemanjuran dari penggunaan
dosis tunggal parenteral 0.6 mg/kg deksametason dalam mengurangi gejala dan mempercepat
kesembuhan, juga mengurangi kebutuhan perawatan intensif dan intubasi endotrakeal. Pada
pasien yang memerlukan intubasi, penggunaan prednisolon 2 mg/kg.hari telah menunjukan
mempercepat extubasi. Dalam sebuah penelitian pada 120 pasien dengan laringitis yang sedang,
penggunaan dexamethasone secara oral dengan dosis 0.15, 0.3 dan 0.6 mg/kg sama efektifnya
untuk menghilangkan gejala dan kebutuhan nebulisasi epinefrin. Malah, pertimbangan untuk
menggunakan dexamethasone pada pasien dengan laringitis yang parah sekarang
direkomendasikan oleh ‘Committee of Infectious Disease of the American Academy of
Paediatrics’, ‘The Infectious Diseases and Immunization Comittee of the Canadian Paediatric
Society’, dan ‘the Respiratory Committee of the Paediatric Societ of New Zealand. Penelitian
terakhir lebih difokuskan kepada pengguanaan steroid nebulisasi. Budesonide nebulisasi dengan
dosis 2 mg telah menunjukkan kemanjuran dalam memperbaiki stridor, batuk, dan berbagai
kegawatan 2 jam setelah pengobatan. Onset yang cepat ini menunjukkan efek steroid pada
permeabilitas vaskular dibandingkan dengan efek anti inflamasi saja. Konsep ini didukung oleh
penelitian lebih baru yang menunjukkan nebulisasi 2 mg budesonide sama efektifnya dengan
nebulisasi 4 mg epinefrin dalam melegakan gejala. Lebih lanjut, nebulisasi 2 mg bunesonide
secara statistik sama manjurnya dengan 0.6 mg/kg dexamethasone per oral dalam mengurangi
gejala, mengurangi kebutuhan nebulisasi epinefrin dan mengurangi lama perawatan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pada anak yang laringitis harus menerima minimal 0.15 sampai 0.6 mg/kg
deksametason dosis tunggal secara peroral, intramuscular, maupun intravena. Dan bukti sekarang
menunjukkan perlunya nebulisasi bunesonide, dengan dosis 2 mg terutama pada keadaan darurat.
Masih tidak diketahui apakah pemberian kortikosteroid berulang aman dan menguntungkan.
Efek samping yang dapat terjadi pada pemakaian kortikosteroid jangka lama antara lain
candidiasis.
Penggunaan helium-oksigen telah berhasil meningkatkan aliran udara pada pasien dengan
obstruksi saluran nafas atas. Kepadatan helium yang rendah mengurangi hambatan aliran udara
yang turbulen.
Selain pengobatan kadang pasien memerlukan juga intubasi endotrakeal. Intubasi harus
dilakukan dengan perhatian penuh, sehingga meminimalkan cedera dan inflamasi saluran nafas.
Tube endotrkea harus ½ sampai 1 ukuran lebih kecil dari ukuran seharusnya berdasarkan usia
pasien (atau seukuran dengan jari kelingking pasien) dan tube dipotong untuk memperpendek
panjangnya dan mengurangi resistensi aliran udara. Setelah diintubasi pasien jarang memerlukan
bantuan ventilator mekanik. Pasien harus diberi oksigen lembab selama diintubasi. Penghisapan
harus diminimalkan untuk mengurangi cedera saluran nafas. Anak dengan laringitis memerlukan
perawatan di rumah sakit untuk 24 jam sampai seminggu atau lebih, dan kriteria pemulangan
pasien harus terjadi perbaikan distres pernafasan dan tidak diperlukan terapi spesifik dalam 24
jam.
Pemberian antibiotik tidak disarankan kecuali hasil kultur menunjukkan adanya
streptococcus, dimana penicillin adalah obat pilihannya.
BAB III
Kesimpulan
Laringitis akut merupakan proses peradangan atau inflamasi yang terjadi pada laring dan
dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab. Penyebab tersering dari laringitis akut ini adalah
virus parainfluenza.
Gejala yang terjadi pada laringitis akut ini adalah batuk yang menggonggong, suara
serak, stridor inspirasi dan sesak nafas, dapat juga disertai dengan demam. Gejala biasanya lebih
berat pada malam hari. Bisa didahului oleh pilek, hidung tersumbat, batuk dan sakit menelan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara serak, coryza, faring yang meradang dan frekuensi
pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai pernafasan cuping hidung, retraksi
suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor terus menerus, megap-megap (air hunger),
hipoksia, saturarsi oksigen yang rendah, dan sianosis. Dari pemeriksaan penunjang bisa
didapatkan pada laringoskopi ditemukan kemerahan pada laring yang difus bersama dengan
pelebaran pembuluh darah dari pita suara, kadang bercak-bercak dari sekresi, pergerakan pita
suara dapat ditemukan asimetris dan tidak periodik. Dari pemeriksaan rontagen leher dapat
ditemukan gambaran staplle sign pada foto AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral.
Dapat dilakukan pemeriksaan gram dan kultur dengan tes sensitivitas. Dari darah didapatkan
lekositosis ringan dan limfositosis.
Pada pasien dengan keadaan gawat tidak boleh diberikan makan dan harus diberikan
cairan intravena untuk mempertahankan rehidrasi. Nebulisasi epinefrin rasemic dapat
memperbaiki distres pernafasan, tetapi bila tidak terdapat epinefrin rasemic maka dapat
digunakan epinefrin saja. Anak yang menderita laringitis harus menerima minimal 0.15 sampai
0.6 mg/kg deksametason dosis tunggal secara peroral, intramuscular, maupun intravena. Dan
bukti sekarang menunjukkan perlunya nebulisasi bunesonide, dengan dosis 2 mg terutama pada
keadaan darurat. Selain pengobatan kadang pasien memerlukan juga intubasi endotrakeal. Pasien
harus diberi oksigen lembab selama diintubasi. Anak dengan laringitis memerlukan perawatan di
rumah sakit. Pemberian antibiotik tidak disarankan kecuali hasil kultur menunjukkan adanya
streptococcus.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustakanya kamu tambahi sama buku pdt dan buku bois mu ya…
1. http://www.emedicine.com/ent/topic353.htm
2. Herry Garna, Heda Melinda D. Nataprawira. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Indonesia:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2005. h 388-392.
3. Kasper, Dennis L. Harrison’s Principles of Internal Medicine, Edisi 16. USA: McGraw Hill.
2005. h 192.
4. Landau, Louis I. Pediatric Respiratory Diseases. USA: Mosby. 1999. h 539-541.
5. Grad, Roni. Acute infections producing upper airway obstruction. Dalam: Kendig’s disorder of
the respiratory tract in children. Edisi 6. USA: W.B. Saunders. 1998. h 447-460
6. Rosevelt, Genie E. Acute Inflammatory Upper Airway Obstruction. Dalam: Nelson Textbook
of Pediatrics. Edisi 17. USA: W.B. Saunders. 2004. h 1405-1408.
7.Soepardi, E.A., Iskandar, N., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, FKUI: Jakarta, 2008
8. http://www.visualsunlimited.com
9. http://www.akh-wien.ac.at/hno/kkentz_de.htm
10. http://www.entorg.net/laryngitis_2.htm