referat ilmu penyakit dalam tb hiv

112
Referat Ilmu Penyakit Dalam Bagian Penyakit Paru TB-Paru pada Orang dengan HIV-AIDS (ODHA) Dokter Pembimbing : dr. Anthony. D. Tulak, SpP, FCCP Disusun oleh : Lina Pratiwi NIM 03009136 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD KOTA BEKASI PERIODE 15 SEPTEMBER- 7 DESEMBER 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI 1

Upload: linapratiwi825

Post on 25-Oct-2015

67 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Penyakit Paru TB HIV Interna Bekasi

TRANSCRIPT

Referat Ilmu Penyakit Dalam

Bagian Penyakit Paru

TB-Paru pada Orang dengan HIV-AIDS (ODHA)

Dokter Pembimbing :

dr. Anthony. D. Tulak, SpP, FCCP

Disusun oleh :

Lina Pratiwi

NIM 03009136

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD KOTA BEKASI

PERIODE 15 SEPTEMBER- 7 DESEMBER 2013

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

1

LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi referat dengan judul

“TB-Paru pada Orang dengan HIV-AIDS (ODHA)”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan

kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi periode 15

September 2013 – 7 Desember 2013.

Jakarta, 19 Oktober 2013

dr. Anthony. D. Tulak, SpP, FCCP

2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan perlindunganNya

dalam proses penyusunan referat ini hingga selesai. Referat berjudul TB-Paru pada Orang dengan HIV-

AIDS (ODHA) ini disusun sebagai salah satu syarat penilaian selama kepaniteraan klinik di bagian ilmu

penyakit dalam RSUD Bekasi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Anthony. D. Tulak SpP, FCCP sebagai dokter

pembimbing, rekan-rekan sesama koasisten interna RSUD Bekasi dan semua pihak yang turut serta

berperan memberikan doa, semangat dan membantu kelancaran dalam proses penyusunan referat ini.

Saya berharap semoga referat ini dapat berguna bagi yang membacanya khususnya rekan sejawat dalam

hal menambah wawasan dan pemahaman mengenai koinfeksi penyakit Tb-paru pada pasien dengan

HIV/AIDS.

Penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam hal pengetikan kata-kata maupun isi

dalam referat ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran untuk

melengkapi kekurangan referat ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Bekasi, 19 Oktober 2013

Lina Pratiwi

Ko-asisten Ilmu Penyakit Dalam RSUD Bekasi

3

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan............................................................................................................. 2

Kata Pengantar..................................................................................................................... 3

Daftar isi.............................................................................................................................. 4

BAB I Pendahuluan............................................................................................................. 6

BAB II Tuberkulosis

2.1 Definisi ......................................................................................................................... 8

2.2 Epidemiologi ................................................................................................................ 8

2.3 Biomolekuler M. Tuberkulosis ........................................................................ 8

2.4 Patogenesis ...................................................................................................... 10

2.5 Klasifikasi Tuberkulosis................................................................................... 13

2.6 Diagnosis ......................................................................................................... 15

2.7 Pengobatan Tuberkulosis ................................................................................. 23

2.8 Komplikasi ....................................................................................................... 32

2.9 DOTS ............................................................................................................... 33

BAB III HIV/ AIDS

3.1 Definisi dan Sejarah HIV/ AIDS ..................................................................... 35

3.2 Epidemiologi ................................................................................................... 36

3.3 Etiologi .......................................................................................................... 37

3.4 Cara Penularan ................................................................................................. 38

3.5 Patogenesis dan Patofisiologi .......................................................................... 41

3.6 Manifestasi Klinis ............................................................................................ 46

3.7 Diagnosis ......................................................................................................... 50

3.8 Stadium Klinis.................................................................................................. 54

3.9 Penatalaksanaan

3.10 Prognosis

BAB IV Tuberkulosis Paru pada Penderita HIV/ AIDS

4.1 Definisi ............................................................................................................ 63

4.2 Epidemiologi .................................................................................................... 63

4.3 Patogenesis Ko Infeksi TB-HIV ...................................................................... 64

4.4 Diagnosis ........................................................................................................ 66

4.5 Penatalaksanaan ............................................................................................... 69

4.6 Komplikasi ....................................................................................................... 77

4.7 Prognosis ......................................................................................................... 77

BAB V Kesimpulan ............................................................................................................ 78

BAB VI Daftar Pustaka ...................................................................................................... 79

4

5

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Tuberkulosis (TB) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar selama

berabad-abad. Pelaksanaan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif untuk pencegahan dan

pengendalian TB secara bermakna telah banyak menurunkan beban penyakit secara global. Tetapi,

munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya pengendalian TB secara global.1

Peningkatan prevalensi HIV di Regional Asia Tenggara yang 40 persen dari populasinya telah terinfeksi

dengan Mycobacterium tuberculosis (MTB), jika tidak segera ditanggulangi dapat mengancam upaya

pengendalian TB. HIV meningkatkan epidemi TB dengan beberapa cara.. Telah diketahui bahwa HIV

merupakan faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif baik pada orang yang baru

terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. Risiko terjadinya TB pada orang dengan ko-infeksi

HIV/TB berkisar antara 5 – 10% per tahun. HIV meningkatkan angka kekambuhan TB, baik disebabkan

oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen. Peningkatan kasus TB pada ODHA akan meningkatkan

risiko penularan TB pada masyarakat umum dengan atau tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan HIV terkait

TB melebihi pelaksanaan sepenuhnya dari DOTS, karena juga mencakup pencegahan infeksi HIV sejak

awal, pencegahan berkembangnya infeksi TB laten menjadi penyakit aktif serta ketentuan dan

penyediaan pengobatan dan perawatan HIV/AIDS.

TB dapat terjadi pada tahap awal infeksi HIV ketika jumlah CD4 masih di atas 200 sel/µL.

Kebanyakan kasus HIV dengan TB memperlihatkan gambaran klinis TB paru yang tidak khas, dengan

meningkatnya supresi imun terkait HIV maka gambaran klinis TB berubah dan lebih sulit untuk

didiagnosis. Selanjutnya kemungkinan besar akan terjadi peningkatan kasus TB paru dengan Basil Tahan

Asam (BTA) negatif dan ekstra-paru. Indonesia menempati ranking ketiga dalam prevalensi TB di dunia.

Namun berbeda dengan negara-negara lain dengan angka prevalensi TB yang tinggi, Indonesia belum

menghadapi epidemi HIV/AIDS, yang merupakan salah satu faktor resiko utama penyebaran TB.

Angka prevalensi HIV orang dewasa tahun 2005 adalah 0.1%, dan pada tahun 2004 terdapat 275

kasus baru TB per 100.000. Sejak tahun 1999, surveilans sentinel di antara kelompok berisiko tinggi di

beberapa daerah menunjukkan peningkatan jumlah infeksi HIV. Pada akhir tahun 2005 kematian akibat

AIDS mencapai 5500 jiwa.6 Melihat kecederungan epidemiologi TB dan HIV/AIDS di Indonesia

sebagaimana diuraiakan di atas, muncul kekhawatiran akan ancaman epidemi ganda (dual epidemics)

yang telah melanda beberapa negara berkembang terutama di benua Afrika. Epidemi HIV akan

memperparah epidemi TB karena HIV akan meningkatkan risiko terjadinya reaktivasi TB laten dan lebih

rentan akan infeksi baru TB karena imunitas yang rendah. Infeksi HIV merupakan faktor risiko

terpenting berkembangnya infeksi Mycobacterium tuberculosis menjadi penyakit TB. Risiko untuk

terkena penyakit TB pada penderita HIV positif meningkat 50% dibanding mereka yang tidak terinfeksi

HIV. Sampai saat ini sepertiga dari kasus HIV positif di dunia mempunyai koinfeksi dengan TB.

6

Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1987,

yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang sedang berlibur ke Bali. Sebenarnya sebelum itu, yaitu

pada tahun 1985 telah ditemukan kasus yang gejalanya sangat sesuai dengan HIV/AIDS dan hasil tes

ELISA tiga kali diulang dinyatakan positif. Tetapi tes Western Blot hasilnya negative, sehinga tidak

dilaporkan. Kasus kedua ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien

hemofilia. Di Indonesia sendiri, jumlah ODHA terus meningkat. Data terakhir pada tahun 2008

menunjukkan bahwa jumlah ODHA di Indonesia telah mencapai 22.664 orang.5 Menurut UNAIDS,

Indonesia merupakan Negara dengan pertunbuhan epidemik tercepat di Asia. Pada tahun 2007

menempati urutan ke-99 di dunia, namun karena pemahaman dari gejala penyakit dan stigmata social

masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan dilakukan pengobatan.

7

BAB II

TUBERKULOSIS PARU

2.1 DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium

tuberculosis complex.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada

tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai  Global

Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis

pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia

telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di

Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk

terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir dua kali lebih besar dari Asia tenggara

yaitu 350 per 100.000 pendduduk.1  Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari

dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian

akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per

100.000 penduduk. Angka mortalitas tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk,

prevalens HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan

Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB.1 Di

Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan

penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh

kalangan usia.

2.3 BIOMOLEKULER M.Tuberculosis

Morfologi dan Struktur Bakteri

8

Gambar Mycobacyterium Tuberculosis

Sumber Gambar: Mycobacterium Tuberculosis. Available at: http://stateschronicle.com/human-animals-source-tuberculosis-tb-study-4327.html. Accessed on: 21 October 2013

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora

dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm.

Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun

utama dinding sel M. tuberculosis  ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa

dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi.

Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang

(C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan

oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh

jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada

dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti

arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel

yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.

tuberculosisbersifat tahan asam, yaitu apabila sekali

diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan

zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol.

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan

sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein.

2.4 PATOGENESIS

A. Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru

sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang

primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari

sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).

Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis

regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.

Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum).

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang

perkapuran di hilus)

9

3. Menyebar dengan cara :

a) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu

suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus

yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan,

dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang

tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang

atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau

tertelan

c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan

tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara

spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan

menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis

tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan

tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan

sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan:

i. Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak

setelah mendapat ensefalomeningitis ataupun tuberkuloma ) atau

ii. Meninggal.

Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

B. Tuberkulosis Post Primer atau Tuberculosis Pasca Primer atau Tuberculosis Sekunder

Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer,

biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-

macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan

sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena

dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang

umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya

berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai

berikut :

10

1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan

jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk

perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan

menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul

dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian

dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:

Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini akan

mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas.

Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.

Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali,

mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.

Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh

dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai

kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate

shaped).

Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer dan perjalanan penyembuhannya

11

2.5 KLASIFIKASI TUBERCULOSIS

A. TUBERKULOSIS PARU

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.

1. KLASIFIKASI TB PARU

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.2

1.1 Berdasar hasil pemeriksaan dahak  (BTA), TB paru dibagi atas:

1. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak  menunjukkan hasil BTA positif.

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak  menunjukkan BTA positif dan kelainan

radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak  menunjukkan BTA positif dan biakan positif

2. Tuberkulosis paru BTA (-):

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan

radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif

1.2 Berdasarkan tipe pasien. Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

Ada beberapa tipe pasien yaitu :

1. Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

2. Kasus kambuh (relaps), adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian

kembali  lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif atau

perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll)

TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten

menangani kasus tuberkulosis

3. Kasus defaulted atau drop out, adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan

tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

12

4. Kasus gagal, adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif

pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.

5. Kasus kronik, adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai

pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

6. Kasus Bekas TB :

Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi

paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang

menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.2

Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT

2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.

B.

TUBERKULOSIS EKSTRA PARU

Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain. Diagnosis

sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus

yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan

konsisten dengan TB ekstraparu aktif.

2.6DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis atau

jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.

2.6.1 Gejala klinik 

13

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala

sistemik, bila organ yang terkena adalah  paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal

sesuai organ yang terlibat)

1. Gejala respiratorik :

a.   Batuk > 2  minggu

b.   Batuk darah

c.   Sesak napas

d.   Nyeri dada

Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup

berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus

belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang

pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke

luar

2. Gejala Sistemik

a. Demam

b. Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan

menurun

3. Gejala tuberkulosis ekstraparu

Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis

tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada

meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat

gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.2

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.  Pada permulaan

(awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.  Kelainan

paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1

dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6).  Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara

lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,

14

diafragma dan mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari

banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang

melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosis,

terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis

tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”

Gambar Paru : apeks lobus superior dan apeks lobus inferior

Sumber Gambar: Tuberkulosis Paru. Available at:

www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html. Accessed on: 22 October 2013

2.6.3 Pemeriksaan Bakteriologik

1. Bahan pemeriksasan

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang

sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal

dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan

bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage atau BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi

jarum halus atau BJH).4

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

a) Sewaktu atau spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

b) Pagi (keesokan harinya)

c) Sewaktu atau spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3  hari

berturut-turut.

15

Bahan pemeriksaan atau spesimen yang berbentuk cairan  dikumpulkan atau ditampung

dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah

pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas

objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat

sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat

ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam

pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium,

harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan

laboratorium Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik atau tempat pelayanan pasien,

spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.

Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain

Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor

cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces

dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan mikroskopik dan

biakan.4

3. Pemeriksaan mikroskopik:

a.Mikroskopik biasa: Pewarnaan Ziehl-Nielsen

b. Mikroskopik fluoresensi: Pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk

screening)

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :

1. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif → BTA positif

2. 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali, kemudian bila 1 kali positif, 2

kali negatif →  BTA positif

3. bila 3 kali negatif → BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO).

Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease):

1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

16

2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan

3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+) 

5. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

5. Pemeriksaan biakan kuman

Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan

cara:

Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh

Agar base media : Middle brook

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat

mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than

tuberculosis (MOTT).5 Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan

melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran

dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul

2.6.4 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-

lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran

bermacam-macam bentuk (multiform).  Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif

a) Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior  lobus atas paru dan

segmen superior lobus bawah

b) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular

c) Bayangan bercak milier

d)  Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

a) Fibrotik

b) Kalsifikasi

c) Schwarte atau penebalan pleura

17

Luluh paru  (destroyed Lung ) :

a) Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya

secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis,

ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau

penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.

b) Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses penyakit

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai

berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :

a) Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak

lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di ataschondrostemal junction dari

iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra

torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti

b) Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

2.6.5 Pemeriksaan khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang

dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada

beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.

1. Pemeriksaan  BACTEC: Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode

radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan

CO2 yang akan dideteksi growth indexnya  oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu

alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan

melakukan uji kepekaan (dikutip dari 13)

Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan  Mycobacteria Growth Indicator

Tube (MGIT).4

2. Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat

mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan

teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai,

kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.

Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan

18

tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar  internasional. Apabila hasil

pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang ke arah diagnosis TB,

maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB. Pada

pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru

maupun ekstraparu sesuai dengan  organ yang terlibat.

3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.l. :

a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons humoral

berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara

lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama. 

b. ICT

Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologi untuk

mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik

TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran

sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut

diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2

antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang

akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum

akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG

terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan

membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit

terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.6

c. Mycodot

Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini

menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat

yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum

pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam

jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan

warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah

d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

19

Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang

terjadi. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi

harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang

terdeteksi.

e. Uji serologi yang baru / IgG TB.

 Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi antibodi IgG

dengan antigen spesifik  untuk Mycobacterium tuberculosis.Uji IgG berdasarkan

antigen mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa  dan kombinasi lainnya

akan menberikan tingkat  sensitiviti dan spesifisiti yang dapat diterima untuk

diagnosis. Di luar negeri, metode imunodiagnosis ini lebih sering digunakan untuk

mendiagnosis TB ekstraparu, tetapi tidak cukup baik untuk diagnosis  TB pada anak.

Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.

2.6.6 Pemeriksaan Penunjang lain

a. Analisis Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien

efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang

mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta

pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.6

b. Pemeriksaan histopatologi jaringan

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.

Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat

diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :

1. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)

2. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen

Silverman)

3. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans

thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka).

4. Otopsi

20

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin

dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk

pemeriksaan histologi.

c. Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang

menunjukkan indikator yang spesifik

untuk tuberkulosis.  Laju endap darah

( LED) jam pertama dan kedua dapat

digunakan sebagai indikator

penyembuhan pasien. LED sering

meningkat pada proses aktif, tetapi laju

endap darah yang normal tidak

menyingkirkan tuberkulosis.

Limfositpun kurang spesifik.

d. Uji tuberkulin

Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada

infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan

prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji

tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik

penyakit kurang berarti pada orang dewasa.  Uji

ini akan mempunyai makna bila didapatkan

konversi, bula atau apabila kepositivan dari uji

yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan

infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan

hasil negatif.

Skema alur diagnosis TB paru pada orang

dewasa

2.7 PENGOBATAN TUBERKULOSIS

21

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan

4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.2

A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat yang dipakai:

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

INH

Rifampisin

Pirazinamid

Streptomisin

Etambutol

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2):

Kanamisin

Amikasin

Kuinolon

Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam klavulanat

Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain:

o Kapreomisin

o Sikloserino

o PAS (dulu tersedia)

o Derivat rifampisin dan INH

Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

3. Kemasan

Obat tunggal, obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin, pirazinamid

dan etambutol.

Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC). Kombinasi dosis tetap ini

terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.

4. Dosis OAT

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk

menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan

22

strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union

Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan

paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998.

Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel.

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal

2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang

tidak disengaja

3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar

4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit

5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan

monoterapi

Tabel Jenis dan Dosis OAT

Obat

Dosis(Mg/KgBB/Hari)

Dosis yg dianjurkan DosisMaks (mg)

Dosis (mg) / berat badan (kg)

Harian (mg/ kgBB / hari)

Intermitten (mg/Kg/BB/kali)

< 40 40-60

>60

R 8-12 10 10 600 300 450 600

H 4-6 5 10 300 150 300 450

Z 20-30 25 35 750 1000

1500

E 15-20 15 30 750 1000

1500

S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB

750 1000

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan

oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non

toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping

serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.

Tabel Dosis Obat Antituberkulosis Kombinasi Dosis Tetap

Fase intensif Fase lanjutan

2 bulan 4 bulan

23

BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu

RHZE150/75/400/27

5

RHZ150/75/40

0

RHZ150/150/50

0

RH150/7

5

RH150/150

30-3738-5455-70>71

2345

2345

2345

2345

2345

B. Paduan Obat Anti Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks menunjukkan lesi luas

Paduan obat yang dianjurkan: 2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE/ 6HE atau

2 RHZE / 4R3H3. Paduan ini dianjurkan untuk:

TB paru BTA (+), kasus baru

TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru)

Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi

TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal. Paduan obat yang

dianjurkan: 2 RHZE/ 4 RH atau 6 RHE atau 2 RHZE/ 4 R3H3

2. TB paru kasus kambuh. Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES/ 1

RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji

resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.

3. TB Paru kasus gagal pengobatan. Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan

obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan

15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada

fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji

resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.

Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal

Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru

4. TB Paru kasus putus berobat. Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai

pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :

a. Berobat > 4 bulan

24

BTA saat ini negatif, klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka

pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis

lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga

kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai

dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan

yang lebih lama.

BTA saat ini positif Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih

kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama

b. Berobat < 4 bulan.

Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat

dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama

Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan

Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap OAT.

5. TB Paru kasus kronik

a. Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan

RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi

(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2

seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.

b. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup

c. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan

d. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru

25

C. Efek Samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun

sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya

efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan

atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT

dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun

sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan

terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang

terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping ringan dan dapat diatasi

dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

2. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis ialah:

1. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

2. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare

3. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

1. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan

penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

26

2. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini

terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya

telah menghilang

3. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas.

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur.

Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini

harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada

keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat

menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi

dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi

kulit yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta

warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung

pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30

mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam

beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak

karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan

dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan

dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan

gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging

(tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera

dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat

keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi

hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah

dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan

27

sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini

mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr. Streptomisin dapat menembus sawar plasenta

sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran

janin.

Tabel Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya

Efek sampingKemungkinan

PenyebabTatalaksana

Minor OAT diteruskan

Tidak nafsu makan, mual, sakit perut RifampisinObat diminum malam sebelum tidur

Nyeri sendi PyrazinamidBeri aspirin atau allopurinol

Kesemutan sampai rasa terbakar di kaki INHBeri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100 mg perhari

Warna kemerahan pada air seni RifampisinBeri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa

Mayor Hentikan obat

Gatal dan kemerahan pada kulit Semua jenis OATBeri antihistamin dan dievaluasi ketat

Tuli StreptomisinStreptomisin dihentikan

Gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus)

StreptomisinStreptomisin dihentikan

Ikterik / Hepatitis Imbas Obat (penyebab lain disingkirkan)

Sebagian besar OAT

Hentikan semua OAT sampai ikterik menghilang dan boleh diberikan hepatoprotektor

Muntah dan confusion (suspected drug-induced pre-icteric hepatitis)

Sebagian besar OATHentikan semua OAT dan lakukan uji fungsi hati

Gangguan penglihatan EtambutolHentikan etambutol

Kelainan sistemik, termasuk syok dan Rifampisin Hentikan

28

purpura rifampisin

D. Pengobatan Suportif atau Simtomatik

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan

tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan

tambahan atau suportif atau simptomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala

atau keluhan.5

1. Pasien rawat jalan

a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada

prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit

komorbidnya)

b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas atau demam

c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan

lain.

2. Pasien rawat inap

Indikasi rawat inap

1. TB paru disertai keadaan atau komplikasi sebagai berikut:

a) Batuk darah masif

b) Keadaan umum buruk

c) Pneumotoraks

d) Empiema

e) Efusi pleura masif atau bilateral

f) Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

2. TB di luar paru yang mengancam jiwa:

a) TB paru milier

b) Meningitis TB

Pengobatan suportif atau simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi

rawat.

E. Terapi Pembedahan

lndikasi operasi

1. Indikasi mutlak

29

Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif

Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif

Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara

konservatif.

2. lndikasi relatif

Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang

Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan

Sisa kaviti yang menetap.

F. Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)

• Bronkoskopi

• Punksi pleura

• Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

2.8 KOMPLIKASI

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam

masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.

Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah:

Batuk darah

Pneumotoraks

Luluh paru

Gagal napas

Gagal jantung

Efusi pleura

2.9 DIRECTLY  OBSERVED TREATMENT  SHORT COURSE 

World Health Organization (WHO) telah memperkenalkan strategi DOTS (directly observed

treatment short course), WHO menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan

tuberculosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS yang telah teruji ampuh di berbagai Negara.6

Pelayanan DOTS di rumah sakit dan puskesmas harus melakukan KIE tentang HIV selama

pengobatan CTB dan pada saat rujukan jika layanan HIV tersebut tidak tersedia di puskesmas. DOTS

mengandung lima komponen :

30

1. Adanya jaminan komitmen pemerintah untuk menanggulangi tuberkulosis di suatu negara.

2. Penemuan kasus dengan pemeriksaan mikroskopik, utamanya dilakukan pada mereka yang

datang ke fasilitas kesehatan karena keluhan paru dan pernapasan. Pendekatan ini desebut

passive care finding.

3. Pemberian obat yang diawasi secara langsung, atau dikenal istilah DOT (directly observed

treatment). Pasien diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, obat yang diberikan harus

sesuai standar dan diberikan seyogyanya secara gratis pada seluruh pasien tuberkulosis yang

menular dan yang kambuh. Setelah makan obat 2 atau 3 bulan tidak jarang keluhan pasien telah

menghilang, dan merasa dirinya telah sehat, dan menghentikan pengobatannya. Karena itu harus

ada sistem yang menjamin pasien mau menyelelasaikan seluruh pengobatannya (Dibutuhkan

PMO (Pengawas Minum Obat)).

4. Jaminan tersedianya obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu.

5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baik

a) Pemberian obat dilakukan dalam jangka waktu yang pendek di bawah pengawasan langsung

PMO (Pengawas Minum Obat)

b) Persyaratan dan tugas PMO, antara lain:

i. Bersedia membantu dengan sukarela penderita TBC selama 6 bulan

ii. Ditetapkan sebelum pelaksanaan DOT dilakukan, dan harus hadir di Pusat pelayanan

kesehatan untuk mendapatkan pelatihan singkat tentang DOT.

iii. Mengantar jemput OAT 1x/2x seminggu bila pasien tidak dapat datang untuk

mengambilnya

iv. Mengantar jemput pemeriksaan ulang dahak pada bulan 2, 5, dan 6 pengobatan

v. Merujuk bila ada efek samping obat

vi. Memastikan pasien TBC minum obat secara teratur

Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO:

a) Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan

penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak

mampu

b) Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan TB-HIV,

DOTS-PLUS dan pendekatan-pendekatan lain yang relevan

31

c) Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain

dan pelayanan umum

d) Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan nonpemerintah dengan

pendekatan berdasarkan Public-Private  Mix (PPM) untuk mematuhi International Standards

of TB Care

e) Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada

pemeliharaan kesehatan yang efektif

f) Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik

dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program

32

BAB III

HIV AIDS

3.1 Definisi dan Sejarah HIV/ AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan

tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih

yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4

sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya

nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang

seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan

sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan

sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama

akan semakin menurun bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol.7

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan

gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh

manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan

penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya

berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.

HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup.

Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan.

Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri,

parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency

virus (HIV). AIDS ini bukan merupakan suatu penyakit saja, tetapi merupakan gejala-gejala penyakit

yang disebabkan oleh infeksi berbagai jenis mikroorganisme seperti, infeksi bakteri, virus, jamur,

bahkan timbulnya keganasan akibat menurunnya daya tahan tubuh penderita. Pada 5 Juni 1981, kasus

pertama AIDS dilaporkan di Los Angeles pada lima orang laki-laki homoseksual yang menderita

Pneumonia Pneumocystis carinii (PPC) dan infeksi opotunistik lainnya Pada tahun 1983, ilmuwan

Prancis, Luc Montagnier (Institut Pasteur, Paris) mengisolasi virus dari pasien dengan gejala

33

limfadenopati dan menemukan virus HIV dan virus ini dinamakan lymphadenopathy assosiated virus

(LAV). Pada tahun 1984, Gallo (National Institute of Health, USA) menemukan virus human T

lymphotropic virus (HTLV-III) yang juga menyebabkan AIDS. LAV dan HTLV-III adalah virus

penyebab HIV yang sama dan dikenal sebagai HIV-1.

3.2 Epidemiologi HIV/ AIDS

Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta orang dan yang

terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan 15.000 pasien per

hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah

sekitar 7,4 juta pada tahun 2005. Menurut catatan Departemen Kesehatan, pada tahun 2005 terdapat

4.186 kasus AIDS dengan 305 di antaranya berasal dari Jawa Barat. Jumlah orang yang terinfeksi

HIV/AIDS di dunia pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 33,4 juta orang. Sebagian besar (31,3

juta) adalah orang dewasa dan 2,1 juta anak di bawah 15 tahun Saat ini, dilaporkan adanya

pertambahan kasus baru setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien meninggal karena AIDS di

Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan dan di setiap propinsi ditemukan adanya

ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau AIDS.7

Infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok

risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar ODHA berasal dari

kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara

heteroseksual dan pengguna narkotika semakin. Jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS di dunia

pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 33,4 juta orang. Sebagian besar (31,3 juta) adalah orang

dewasa dan 2,1 juta anak di bawah 15 tahun. Saat ini AIDS adalah penyebab kematian utama di

Afrika sub Sahara, dimana paling banyak terdapat penderita HIV positif di dunia (26,4 juta orang

34

Tahun 2006

Tahun 2007

Tahun 2008

Tahun 2009

Tahun 2010

05000

10000

Grafik ODHA di Indonesia 5 tahun terakhir

Jumlah orang dengan HIV AIDS di Indonesia

yang hidup dengan HIV/AIDS), diikuti oleh Asia dan Asia Tenggara dimana terdapat 6,4 juta orang

yang terinfeksi. Lebih dari 25 juta orang telah meninggal sejak adanya endemi HIV/AIDS. Sampai

dengan akhir Maret 2005, tercatat 6.789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih

sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan

jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang.

3.3 Etiologi HIV/AIDS

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang

termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Retrovirus berdiameter 70-130 nm. Masa inkubasi virus ini

selama sekitar 10 tahun . Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya, atau

kapsul viral, terdiri dari lemak lapis ganda yang banyak mengandung tonjolan protein. Duri-duri ini

terdiri dari dua glikoprotein yaitu gp120 dan gp41. Terdapat suatu protein matriks yang disebut gp17

yang mengelilingi segmen bagian dalam membran virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein

kapsid yang disebut p24. Di dalam kapsid terdapat dua untai RNA identik dan molekul preformed

reverse transcriptase, integrase dan protease yang sudah terbentuk. Reverse transcriptase adalah enzim

yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk ke sel sasaran Strukturnya

tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang

melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4

pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam

terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA

dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme).

Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi

berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara

kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia

adalah grup HIV-1.

Adapun struktur HIV yaitu bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut ‘envelope’ dan di

bagian dalam terdapat sebuah inti (CORE), sebagai berikut:

1. Envelope. HIV bergaris tengah 1/10.000 mm

dan mempunyai bentuk bulat seperti bola.

Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri

35

dari dua lapisan molekul lemak yang disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia ketika

partikel virus yang baru terbentuk dengan membentuk tonjolan dan lepas dari sel tersebut.

Selubung virus terisi oleh protein yang berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan (rata-rata)

protein HIV komplek yang menonjol dari permukaan selubung. Protein ini disebut env, terdiri

atas sebuah tutup (cap) terbuat dari 3-4 molekul GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan sebuah batang

yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41 sebagai rangka struktur dalam envelope virus.7

2. Inti atau CORE. Dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang berbentuk

peluru yang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan protein virus lainnya, P 24. Capsid

mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV, yang masing-masing memiliki 9 gen dari virus. Tiga

diantaranya gag, pol dan env, mengandung informasi yang diperlukan untuk membuat protein

terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya mengkode protein gp 160 yang dipecah

oleh enzim virus untuk membentuk gp 120 dan gp 41, yang merupakan komponen env. Tiga

buah gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan, vif, vpr, dan vpu mengandung informasi

yang diperlukan untuk memproduksi protein yang mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu

sel, membuat turunan virus baru atau menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh nef

misalnya menyebabkan virus dapat melakukan replikasi secara efisien sacara efisien dan protein

yang dikode oleh vpu berpengaruh terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang diinfeksi.

Inti HIV juga mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein nucleocapsid HIV, dan 3

buah enzim yang berperan dalam langkah berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu: REVERSE,

TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan PROTASE. Protein HIV lainnya adalah P17 atau matriks

HIV, terletak antara inti dan envelope.

3.4 Cara Penularan

3.4.1 Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual merupakan

penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi (penularan seksual merupakan cara infeksi yang

paling utama diseluruh dunia, yang berperan lebih dari 75% dari semua kasus penularan HIV).

Penularan seksual ini dapat terjadi dengan hubungan seksual genitogenital ataupun anogenital antara

heteroseksual ataupun homoseksual. Risiko seorang wanita terinfeksi dari laki-laki yang seropositif

lebih besar jika dibandingkan seorang laki-laki yang terinfeksi dari wanita yang seropositif.

36

Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari

setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada

pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering

berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi

terinfeksi virus HIV.8

1. Homoseksual

Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS,

berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenital

merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra

seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan

dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat

berhubungan secara anogenital.

2. Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada

promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun

wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

3.4.2 Transmisi Non Seksual

1. Transmisi Parenteral

1.1 Transmisi ini sebagai akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat

tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkoba suntik yang

menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga

terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih

dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%. Hal ini terkait penyalah

guna obat-obat intravena. Penggunaan jarum suntik secara bersama-sama dan bergantian

semakin meningkatkan prevalensi HIV/AIDS pada pengguna narkotika. Di negara maju,

wanita pengguna narkotika jarum suntik menjadi penularan utama pada populasi umum

melalui pelacuran dan transmisi vertikal kepada anak mereka.

1.2 Darah atau Produk Darah. Transfusi darah dan produk darah. HIV dapat ditularkan

melalui pemberian whole blood, komponen sel darah, plasma dan faktor-faktor

37

pembekuan darah. Kejadian ini semakin berkurang karena sekarang sudah dilakukan tes

antibodi-HIV pada seorang donor. Apabila tes antibodi dilakukan pada masa sebelum

serokonversi maka antibodi-HIV tersebut tidak dapat terdeteksi. Transmisi melalui

transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah

tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor

telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah

adalah lebih dari 90%.8

2. Transmisi Transplasental

Maternofetal. Sebelum ditemukan HIV, banyak anak yang terinfeksi dari darah

ataupun produk darah atau dengan penggunan jarum suntik secara berulang. Sekarang ini,

hampir semua anak yang menderita HIV/AIDS terinfeksi melalui transmisi vertikal dari ibu

ke anak. Diperkirakan hampir satu pertiga (20-50%) anak yang lahir dari seorang ibu

penderita HIV akan terinfeksi HIV. Peningkatan penularan berhubungan dengan rendahnya

jumlah CD4 ibu. Infeksi juga dapat secara transplasental, tetapi 95% melalui transmisi

perinatal. Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko

sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui.

Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

3. Pemberian ASI. Peningkatan penularan melalui pemberian ASI pada bayi adalah 14%. Di

negara maju, ibu yang terinfeksi HIV tidak diperbolehkan memberikan ASI kepada bayinya.

Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikaitkan dengan faktor resiko dilapor sampai dengan

Desember 2010

38

Faktor Resiko AIDS

Heteroseksual/HeterosexuaL 12717

Homo-Biseksual/Homo-Bisexual 724

Transfusi Darah/Blood Transfusion 48

Transmisi Perinatal/Perinatal Trans. 628

Tak Diketahui/Unknown 772

4. Petugas kesehatan sangat berisiko terpapar bahan infeksius termasuk HIV. Berdasarkan

data yang didapat dari 25 penelitian retrospektif terhadap petugas kesehatan, didapatkan rata-

rata risiko transmisi setelah tusukan jarum ataupun paparan perkutan lainnya sebesar 0,32%

atau terjadi 21 penularan HIV setelah 6.498 paparan, dan setelah paparan melalui mukosa

sebesar 0,09%.

Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik melalui ciuman

maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat

inhibitor terhadap aktivitas HIV.8 Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak

dapat ditularkan antara lain:

1. Kontak fisik.

Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan udara yang

sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular. Bersalaman,

berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan

menyebabkan seseorang tertular.

2. Memakai milik penderita

Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja penderita

HIV/AIDS tidak akan menular.

3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.

4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

3.5. Patogenesis dan Patofisiologi HIV/ AIDS

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical, horizontal dan

transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai benda

tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan

mukosa yang intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam

sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama

dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti

panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk,

39

dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada vase ini terjadi penurunan CD4 dan

peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi,

kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load

secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4

secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat pada

kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS.

Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target HIV

adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp 120 HIV

perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit,

makrofag, Langerhan’s, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV

memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5, beberapa reseptor lain yang memiliki peran

adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel

target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV

termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk

dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan

menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh

ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double stran

DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom

host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif

untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai

keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host

teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain maka sel akan memicu nuclear factor

sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR (Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen

tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi

replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme

lain., misalnya bakteri, jamur, protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling

cepat menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA.

Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur berfungsi

sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA mengalami translasi

40

menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti

beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian

polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti virus baru

dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang

lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam

satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru.

Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari

waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah Limfosit T-CD4 melalui

beberapa mekanisme:

1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya

penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus yang tidak terintegritasi dengan

nucleus akan menggangu sintesis makromolekul.

2. Syncytia formation, yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan limfosit

T-CD4 yang tidak terinfeksi.

3. Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat menyebabkan

disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal sekitarnya.

4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk mengeliminasi

sel yang terinfeksi.

5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan reseptor CD4

Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui

apoptosis.

Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4 secara

dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi. Semua

mekanisme tersebut menyebabkan penurunan system imun, sehingga pertahanan individu terhadap

mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi sekunder

sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan

gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya.

41

Gambar Patogenesis Infeksi HIV

Sumber Gambar: HIV/ AIDS. Available at:

whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf.Accessed on: 22 Ocotober 2013.

Respon Imun Terhadap Infeksi HIV

Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang intensif. Sel-sel

B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein virus. Ditemukan antibodi

netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan bagian eksternal gp41. Deteksi anti bodi

adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya, enzime-linked immunosorbent assay [ELISA]). Di

dalam darah dijumpai kelas antibodi imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin M (IgM), tetapi

seiring dengan menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap tinggi sepanjang

infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi  utama yang digunakan dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV

dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV

dalam 6 bulan setelah pajanan. Namun, antibodi HIV tidak menetralisasikan HIV atau menimbulkan

perlindungan terhadap infeksi lebih lanjut.

Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+, limposit T CD+ diaktifkan oleh sel

penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin-2 (IL-2), yang

membantu merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi  menjadi sel plasma. Sel-sel plasma

ini kemudian menghasilkan imunoglobuin yang spesifik untuk antigen yang merangsangnya. Sitokin

IL-2 hanyalah salah satu dari banyak sitokin yang memengaruhi respons imun baik humoral maupun

42

selular. Walaupun tingkat kontrol, ekspresi, dan potensi fungsi sitokin dalam infeksi HIV masih terus

diteliti, namun sitokin jelas penting dalam aktivitas intrasel. Sebagai contoh, penambahan sitokin IL-

12 (faktor stimulasi sel NK) tampaknya melawan penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti yang

terjadi pada infeksi HIV. Sel-sel NK adalah sel yang penting karena dalam keadaan normal sel-sel

inilah yang mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus dengan mengeluarkan

perforin yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.8

Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan mengeluarkan

perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel CD8 sangat hebat pada awal infeksi

HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di dalam limfosit CD4+. Penekanan ini terbukti

bervariasi tidak saja di antara orang yang berbeda tetapi juga pada orang yang sama seiring dengan

perkembangan penyakit. Aktivitas antivirus sel CD8 menurun seiring dengan perkembangannya

penyakit. Dengan semakin beratnya penyakit, jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai

hipotesis tentang penyebab penurunan bertahap tersebut akan dibahas berikut ini.

Fungsi regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular tidak terbantahkan. Limfosit

CD4+ mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar proses-proses misalnya produksi

imunoglobulin dan pengaktivan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik yang dihasilkan

oleh limfosit CD4+-IL-2 dan interferon gama berperan penting dalam imunitas selular. Pada kondisi

normal, limfosit CD4+ mengeluarkan interferon gama yang menarik makrofag dan mengintensifkan

reaksi imun terhadap antigen. Namun, apabila limfosit CD4+ tidak berfungsi dengan benar maka

produksi interferon gama akan menurun. IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel

plasma tetapi juga pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi-diri populasi limfosit

CD4+.8

Walaupun mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum diketahui, namun dapat

diajukan argumen-argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptosis, anergi, pembentukan

sinsitium, dan lisis sel. Antibodi-dependent, complement-mediated cytotoxicity (ADCC, sitotoksisitas

yang dependen antibodi dan diperantarai oleh komplemen) mungkin salah satu efek imun humoral

yang membantu menyingkirkan limfosit CD4+ yang terinfeksi oleh HIV. Antibodi terhadap dua

glikoprotein, gp120 dan gp41, menginduksi ADCC. Sel-sel seperti sel NK kemudian bertindak untuk 

mematikan sel yang terinfeksi.

43

Perkembangan klinis

AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum yang

dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”. Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi penularan dan

pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi (misalnya, homozigot dengan gen

CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut.

Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan. Namun,

pasien ini bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase ini

disebut “window period” (“masa jendela”). Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat

timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.9

Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif.

Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis infeksiosa yang

berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam

makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan

pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV dengan kadar tinggi di darah perifer. Kadar

limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk pasien

yang bersangkutan.

Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik. Pada

awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali mendekati normal. Namun, kadar

limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan waktu. Selama fase infeksi ini, baik virus

maupun antibodi virus ditemukan di dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus

berlangsung di jaringan limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode laten

walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten.9

Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya telah turun di

bawah 300 sel /µ. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi dan gejala ini berlanjut

sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS . CDC telah mendefinisikan penyakit-

penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini

44

Bagan Perjalanan Penyakit HIV/ AIDS

3.6 Manifestasi Klinis

Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara HIV dan sistem imun:

1. Fase akut. Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia, demam,

ruam dan kadang-kadang meningitis aseptik. Pada fase ini terdapat produksi virus dalam jumlah

yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara khas

disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Segera setelah hal itu terjadi, muncul respon imun

yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang

waktu 3 hingga 17 minggu setelah pajanan) dan melalui munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang

spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal.9

Namun, berkurangnya jumlah virus dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya

replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan.

2. Fase kronis.Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini, sebagian besar

sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun. Para pasien tidak

45

menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten dan banyak penderita yang

mengalami infeksi opotunistik ringan, seperti sariawan (Candida) atau herpes zoster. Replikasi

virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan

kehilangan CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun yang

besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Setelah melewati periode yang

panjang dan beragam, pertahanan pejamu mulai menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan

jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat

3. Fase kritis. Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang sangat

merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan

mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare; jumlah sel

CD4+ menurun di bawah 500 sel/µL. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para pasien

mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder dan atau manifestasi neurologis

(disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS). Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS

tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang

terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200 sel/µL sebagai pengidap

AIDS. Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang

menimbulkan gejala-gejala yang berkaitan dengan HIV atau AIDS.

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan infeksi

oportunistik :

1. Manifestadi tumor diantaranya

a) Sarkoma kaposi, kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi

kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi

pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.

b) Limfoma ganas, terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan

kurang lebih 1 tahun.

2. Manifestasi Infeksi Oportunistik diantaranya

2.1. Manifestasi pada Paru-paru

2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)

46

Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-paru

PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.

2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)

Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat

menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30%

penderita AIDS.

2.1.3. Mycobacterium Avilum

Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.

2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis

Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke

organ lain diluar paru.

2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal

Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.

4 Manifestasi Neurologis

Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada fase

akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati

dan neuropari perifer.

Selain pengelompokan manifestasi klinis diatas, pengelompokan gejala juga dapat dibagi sebagai

berikut.

1. Gejala Konstitusi

Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita mengalami paling sedikit

dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau lebih. Gejala tersebut berupa:

Demam terus menerus lebih dari 37°C.

Kehilangan berat badan 10% atau lebih.

Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah bening di luar

daerah inguinal.

Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus menerus.

2. Gejala Neurologi

47

Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beranekaragam seperti kelemahan otot,

kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa, psikosis dan

dapat sampai koma (gejala radang otak).

3. Gejala Infeksi

Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan penderita sudah sangat lemah

sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi, misalnya:

a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP)

PCP merupakan infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada penderita AIDS (80%).

Disebabkan parasit sejenis protozoa yang pada keadaan tanpa infeksi HIV tidak

menimbulkan sakit berat. Pada penderita AIDS, protozoa ini berkembang pesat sampai

menyerang paru-paru yang mengakibatkan pneumonia. Gejala yang ditimbulkannya

adalah batuk kering, demam dan sesak nafas. Pada pemeriksaan ditemukan ronkhi kering.

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya P.carinii pada bronkoskopi yang disertai

biopsi transbronkial dan lavase bronkoalveolar.

b. Tuberkulosis

Infeksi Mycobacterium tuberkulosis pada penderita AIDS sering mengalami

penyebaran luas sampai keluar dari paru-paru. Penyakit ini sangat resisten terhadap

obat anti tuberkulosis yang biasa. Gambaran klinis TBC pada penderita AIDS tidak

khas seperti pada penderita TBC pada umumnya. Hal ini disebabkan karena tubuh

sudah tidak mampu bereaksi terhadap kuman. Diagnosis ditegakkan berdasarkan

hasil kultur.

c. Toksoplasmosis

Penyebab ensefalitis lokal pada penderita AIDS adalah reaktivasi Toxoplasma gondii,

yang sebelumnya merupakan infeksi laten. Gejala dapat berupa sakit kepala dan panas,

sampai kejang dan koma. Jarang ditemukan toksoplasmosis di luar otak.

d. Infeksi Mukokutan. Herpeks simpleks, herpes zoster dan kandidiasis oris merupakan

penyakit paling sering ditemukan. Infeksi mukokutan yang timbul satu jenis atau beberapa

jenis secara bersama. Sifat kelainan mukokutan ini persisten dan respons terhadap

pengobatan lambat sehingga sering menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaannya.

4. Gejala Tumor

48

Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalam Sarkoma Kaposi dan limfoma

maligna non-Hodgkin.

3.7 Diagnosis HIV/AIDS

3.7.1 Anamnesis

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap ODHA saat kunjungan pertama kali ke

sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar

mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV,

dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya. Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV

AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA.

Faktor risiko infeksi HIV

Penjaja seks laki-laki atau perempuan

Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)

Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial

Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)

Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah

Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Seorang dewasa dianggap menderita AIDS bila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi

pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor yang berkaitan

dengan 1 gejala minor, dan gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak

berkaitan dengan infeksi HIV, atau ditemukan sarcoma Kaposi atau pneumonia yang mengancam jiwa

yang berulang. Karena banyak negara berkembang, yang belum memiliki fasilitas pemeriksaan

serologi maupun antigen HIV yang memadai, maka WHO menetapkan kriteria diagnosis

AIDS sebagai berikut:

Gejala Mayor :

1. Berat badan turun lebih dari 10 % dalam 1 bulan

2. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan

49

3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bukan

4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi

5. Demensia atau ensefalopati HIV

Gejala Minor :

1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan

2. Dermatitis generalisata yang gatal

3. Herpes Zooster berulang

4. Kandidiasis Orofaring

5. Herpes Simpleks kronis progresif

6. Limfadenopati generalisata

7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

3.7.2 Pemeriksaan fisik

3.7.3 Pemeriksaan Penunjang

50

Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan diagnosis

dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal fluid) penderita.

Pemeriksaan khusus untuk HIV :

1. Tes AntibodI HIV

Tes ini berfungsi untuk mendeteksi antibody terhadap HIV. Tes ini dapat dilakukan dengan

menggunakan tiga cara, yaitu ELISA (Enzyme Link Immunobinding Assay), Aglutinasi, dan juga dot

blot. Bahan yang digunakan adalah serum, cairan plasma, darah, dan juga liur. Metode yang paling

sering digunakan adalah ELISA. Tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan bila menggunakan

tes Ab ini, karena pada infeksi HIV, terdapat masa jendela atau window period. Masa jendela adalah

keadaan dimana jumlah Ab yang terbentuk belum cukup untuk dapat terdeteksi di dalam darah,

padahal virus telah masuk di dalam tubuh, oleh karena itu hasilnya akan menunjukkan negatif.

Biasanya antibody dapat terdeteksi kurang lebih 4-8 minggu setelah infeksi. Apabila tingkat

kecuringaan terhadap pasien tinggi, tes ini harus diulang 3 bulan lagi.9

1.1 ELISA (enzyme linked immunosorbent assay). ELISA digunakan untuk menemukan

antibodi. Kelebihan teknik ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100%.

Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah

menggunakan antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap envelope dan core.

1.2 Western Blot. Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari

suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya

protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai

makna klinik, seperti gp120 dan gp41. Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu

99,6% - 100%. Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24

jam.

51

1.3 PCR (Polymerase Chain Reaction).

Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV

pada bayi, pada saat zat antibodi

maternal masih ada pada bayi dan

menghambat pemeriksaan secara

serologis maupun status infeksi individu

yang seronegatif pada kelompok risiko

tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk

HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah

untuk HIV-2. Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan imunophenotyping yaitu

dengan flow cytometry dan cell sorter. Prinsip flowcytometry dan cell

sorting(fluorescence activated cell sorter, FAST) adalah menggabungkan kemampuan

alat untuk mengidentifasi karakteristik permukaan setiap sel dengan kemampuan

memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi menurut karakteristik masing-

masing secara otomatis melalui suatu celah, yang ditembus oleh seberkas sinar laser.

Setiap sel yang melewati berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat

oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul

pada permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan

menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu dapat

mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-masing

dalam suatu populasi campuran.

2. Deteksi antigen, dapat berfungsi untuk :

Deteksi dini pada neonatus ( 18 bulan )

Untuk pasien dengan seronegatif tetapi dengan riwayat terpapar terhadap HIV

Deteksi Antigen hanya dapat dilakukan dan terdeteksi saat pasien :

Jumlah Ag > Ab : pada stadium dini

: pada stadium lanjut dimana Ab tidak terbentuk lagi.

3.8 Stadium Klinis

52

Penilaian Klinis

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi penentuan

stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu,

mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan,

mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan

lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi.

Stadium Klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik),

stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS). Bersama

dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk

memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.

Penilaian Imunologi

Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status imunitas

ODHA dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan pengobatan ARV. Tes

CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa

meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau

menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV.

Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC) dapat digunakan sebagai

indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai

respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV.

Stadium klinis HIV menurut WHO

Stadium 1 Asimptomatik

Tidak ada penurunan berat badan

Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan

Penurunan BB 5-10%

ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis

Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)

53

Ulkus mulut berulang

Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)

Dermatitis seboroik

Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang

Penurunan berat badan > 10%

Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan

Kandidosis oral atau vaginal

Oral hairy leukoplakia

TB Paru dalam 1 tahun terakhir

Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)

TB limfadenopati

Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut

Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)

Sindroma wasting HIV

Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang

Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.

Kandidosis esophageal

TB Extraparu*

Sarkoma kaposi

Retinitis CMV*

Abses otak Toksoplasmosis*

Encefalopati HIV

Meningitis Kriptokokus*

Infeksi mikobakteria non-TB meluas

3.9 Penatalaksanaan HIV/AIDS

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun data selam

8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan menggunakan

54

kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini

akibat infeksi HIV.

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).

b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi

HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma,

kanker serviks.

c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan

pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup

dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat

ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral (ARV)

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:

Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin, zalsitabin,

stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir

Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan

nevirapin

Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.

55

No Nama Golongan Fungsi

1 NRTI (nucleoside reverse-

transcriptase inhibitor )

penghambat kuat enzim reversetranscriptase dari

RNA menjadi DNA yang terjadi sebelum penggabungan

DNA virus dengan kromosom sel inang.

2 NNRTI (non-nucleoside reverse-

transcriptase inhibitor (NNRTI)

menghambat aktivitas enzim reverse-transcriptase

dengan mengikat secara langsung tempat yang aktif

pada enzim tanpa aktivasi sebelumnya.

3 PI (Protease Inhibitor ) menghambat enzim protease HIV yang dibutuhkan

untuk memecah prekursor poliprotein virus dan

membangkitkan fungsi protein virus.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat antiretroviral

akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi penilaian terhadap

kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya

(terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial,

dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat

keputusan untuk memulai terapi ARV.

Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai terapi

ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan

sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.

Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel di bawah ini.

Terapi pada ODHA dewasa

Stadium

KlinisBila tersedia pemeriksaan CD4

Jika tidak tersedia

pemeriksaan CD4

1Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200

Terapi ARV tidak diberikan

2 Bila jumlah total limfosit <1200

3

Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan terapi

sebelum CD4 <200/mm3.

Pada kehamilan atau TB:

Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil dengan CD4

350

Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan CD4

<350 dengan TB paru atau infeksi bakterial berat

Terapi ARV dimulai tanpa

memandang jumlah limfosit total

4 Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru

dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit

yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan).

2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat

ditentukan.

56

3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4 tidak

dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini

tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4,

ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda

lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.9

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah

sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat

apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di

atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum

CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat

CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu

pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB

paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun

dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja

didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian

klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral

load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi.

Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang aktif.

Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu. Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada

lagi terapi yang efektif selain perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV

sebaiknya diberikan sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis,

demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian

ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek

samping obat dan juga untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.

Tabel Golongan Obat dan Dosis ARV

Golongan obat Dosis

Nukleosida TI (NsTI)

Abakavir (ABC)

Didanosin (ddI)

Lamivudin (3TC)

Stavudin (d4T)

200mg 2x/hr atau 400mg 1x/hr

250 mg 1x/hr (BB<60kg)

150mg 2x/hr atau 300mg 1x/hr

40mg 2x/hr (30mg 2x/hai bila BB<60kg)

57

Zidovudin (ZDV,AZT) 300mg 2x/hr

Nukleotida RTI

TDF 300mg 1x/hr

Non nukleosida (NNRTI)

Efavienz (EFV)

Nevirapine (NVP)

600mg 1x/hr

200mg 1x/hr untuk 14 hr kemudian 200mg

2x/hr

Protease Inhibitor

Indinavir / ritonavir (IDV/r)

Lopinavir/ ritonavir (LPV/r)

Nelvinafir (NFV)

Saquinavir / ritonavir (SQV/r)

Ritonavir (RTV/)

800mg/100mg 2x/hr

400mg / 100mg 2x/hr

1250mg 2x/hr

1000mg/100mg 2x/hr atau 1600mg/200mg

x/hr

Kapsul 100mg larutan oral 400mg/5ml

Panduan Kombinasi Obat ARV

Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang dianjurkan oleh

WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau HAART. Kombinasi ini

dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi

dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera

diikuti oleh resistensi.

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2 NRTI dan 1

NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan

stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ).

Tabel Terapi ARV Kombinasi

58

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC + NVP.

Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan anemia. Pada

kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih

disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis

laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat

digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan

Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan

masing-masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan:

59

Sindrom Pemulihan Imunitas (Immun Reconstitution Syndrome = IRIS)

Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama terapi ARV.

Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup atau mati) dari pasien yang baru

memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi

merupakan sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang mulai terapi

ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3. Berikut table pedoman

tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.

60

Tabel Keunggulan dan Kekurangan ARV

Tabel Pedoman Tatalaksana IRIS

Tabel Definisi Kegagalan Terapi

secara klinis dan kriteria CD4

pada ODHA.

Obat ARV juga diberikan pada

beberapa kondisi khusus seperti

pengobatan profilaksis pada orang

yang terpapar dengan cairan tubuh

yang mengandung HIV (post

exposure prophylaxis.

3.10 Prognosis HIV/AIDS

61

Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS

meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien terinfeksi HIV

yang tetap sehat secara klinis dan imunologis.

62

BAB IV

TUBERKULOSIS PARU PADA PENDERITA HIV/ AIDS

4.1 Definsi

Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan

organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah saluran

pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB

menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil

tuberkel dari seseorang yang terinfeksi.2

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS

dengan cara menyerang T helper atau CD4, terutama limfosit T, yang dapat menyebabkan

penurunan imunitas seluler dan peningkatan terjadinya infeksi oportunistik. AIDS (Acquired

Immunodeficiency Syndrome) adalah tahap akhir dari infeksi HIV yang memiliki satu atau

lebih infeksi oportunistik dan keganasan dengan jumlah CD4 sel T kurang dari 200 sel per

mm3. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB.

Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity),

sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan

akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV

meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat

akan meningkat pula.

4.2 Epidemiologi

Pada akhir tahun 2000 terdapat sekitar 11,5 juta penderita HIV yang terinfeksi M.

Tuberkulosis. 70% adalah penderita berada di sub-sahara Afrika, 20% berada di Asia

Tenggara, 4% di Amerika latin dan Carribian. Penderita TB-HIV usia 15-49 tahun pada akhir

tahun 2000. Pada Tahun 2010, dari 8,8 juta orang yang terinfeksi TB, 1,1 juta diantaranya

mengidap HIV. Data Kementrian Kesehatan per Juni 2011 menunjukkan jumlah pengidap

AIDS mencapai 26.400 orang dan lebih dari 66.600 orang telah terinfeksi HIV positif.10

63

4.3 Patogenesis Dampak Infeksi HIV terhadap

Paru

Makrofag dan limfosit alveoler yang terdapat di permukaan epitel alveoli adalah sel defender

utama parenkim paru.2 Terinfeksinya makrofag dan limfosit alveoler oleh HIV (paparan endogen)

merupakan proses krusial pada patogenesis penyakit paru pada AIDS. Molekul CD4 pada permukaan

sel merupakan receptor untuk masuknya HIV dan untuk masuknya virus ke dalam sel diperlukan

kerjasama dengan ko-reseptor kemokin. CCR5 adalah ko-reseptor yang digunakan untuk menginfeksi

makrofag oleh strain monoscytetropic (M-tropic), namun tidak untuk menginfeksi limfosit dan

sebaliknya CXCR4 atau fusin untuk strain lymphocyte-tropic (L-tropic) Makrofag alveoler

merupakan reservoir HIV yang utama. Hal ini dibuktikan dengan terdeteksinya HIV reverse

transcriptase dari hasil Bronchoalveolar Lavage (BAL). Pada paru, CD4 ini terdapat pada permukaan

makrofag alveoler dan ko-reseptor yang paling berperan adalah CCR5 walaupun terdapat pula

ekspresi CXCR4. Infeksi oleh strain M-tropic dapat diblokir oleh CC chemokines RANTES,

macrophage inflammatory protei dan yang berperan sebagai ligand CCR5. Seiring dengan

perkembangan infeksi HIV, maka peran strain M-tropic digantikan oleh T-tropic, disertai penurunan

yang cepat status imunologik penderita. Sebagai reaksi defensif lokal paru terhadap masuknya virus:

dengan bantuan limfosit CD4 (T-helper), maka limfosit CD8 yang merupakan efektor system imunitas

seluler, membunuh sel yang terinfeksi HIV melalui cytotoxic T-cell lymphocyte (CTL) CD8. Sel

limfosit sitotoksik CD8 ini akan aktif dan berproliferasi sebagai respon terhadap adanya epitope virus

HIV, sehingga menekan replikasi virus secara langsung Walaupun telah ada mekanisme penekanan

64

Tabel Jumlah orang yang terkena TB – HIV

di dunia

ini, namun replikasi virus tetap berlangsung (mekanismenya masih belum jelas) sehingga terjadi

destruksi dan penurunan jumlah dan kualitas CD4, selanjutnya menyebabkan respon CTL CD8

menjadi suboptimal (secara in vitro, tidak dapat melakukan lisis sel target dengan baik) CD4/ CD8

pada paru lebih kecil dibandingkan darah perifer. Pada beberapa penderita menunjukkan symptom

pulmonologis sebagai akibat influks limfosit CD8 ke sel paru (lymphoid interstitial pneumonitis),

dimana hal ini berkorelasi dengan tingginya viral load. Namun pada tahap lanjut jumlah limfosit CD8

ini juga mengalami penurunan.

Didapatkan bahwa abnormalitas sel B terjadi pada masa-masa awal infeksi sebelum

terpengaruhnya fungsi sel T) dengan gangguan pembentukan antibodi sebagai respon terhadap

mitogen dan gangguan inisiasi sistesis antibodi secara normal sebagai respon terhadap antigen.

Penurunan konsentrasi IgG pada paru kemungkinan akibat gangguan kemampuan makrofag alveoler

dalam merangsang sekresi IgG dari sel B.14 Mekanisme defensif lainnya adalah surfaktan paru

(disekresi oleh sel epitel alveolar tipe II) yang secara fisiologis berguna untuk menurunkan tegangan

permukaan sehingga memudahkan reinflasi pada setiap akhir ekspirasi. Surfaktan tersusun atas

kompleks fosfolipid dan protein spesifik, sel-sel bronkoalveoler juga terdapat didalamnya.Surfaktan

menekan proses oksidatif dan produksi beberapa jenis sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF alfa (sitokin-

sitokin yang merangsang replikasi virus HIV), menghambat aktivasi limfosit sehingga menghambat

replikasi virus HIV. Paparan terhadap infeksi mikroorganisme tertentu akan merangsang produksi

TNF oleh makrofag alveoler, berikutnya TNF akan mengaktifkan replikasi virus HIV sekaligus

mengganggu sistesis protein surfaktan, dan akhirnya terjadi deplesi natural antiviral factor pada paru

Bagan Perjalanan TB Primer

65

Bagan Perjalanan Tuberculosis Post-Primer

4.4. Diagnosis TB HIV

Gejala klinis pada pasien HIV/AIDS dengan TB

Riwayat Penyakit Dahulu dan Riwayat Kehidupan Pribadi:11

1. Riwayat seks dengan berganti-ganti pasangan

2. Riwayat infeksi menular seksual

3. Riwayat pemakaian narkotika secara suntikan

4. Herpes zoster yang meninggalkan scar

5. Riwayat pneumonia

6. Infeksi bakteri seperti sinusitis, bakteriemia, dan lain-lain

7. Riwayat TB

Gejala:

1. Penurunan berat badan (>10 kg atau >20% dari berat badan semula)

2. Diare (lebih dari 1 bulan)

3. Batuk berdahak (lebih dari 3 minggu)

4. Sesak nafas

5. Nyeri dada

6. Malaise, lemah

7. Penurunan nafsu makan

8. Keringat malam

9. Demam

Tanda (Pemeriksaan Fisik):

66

1. Herpes zoster scar

2. Sarcoma Kaposi

3. Pembesaran KGB

4. Oral candidiasis

5. Pada pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda konsolidasi: Perkusi redup, terdapat

ronkhi basah atau kering

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium:

Cara penegakan diagnosis TB pada ODHA tidak berbeda dengan yang bukan ODHA.

Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada ODHA sekitar 50% dan tes tuberkulin

hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran TB paru pada ODHA dengan CD4>200

sel/µL tidak berbeda dengan non – HIV. Berikut beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat

ditemuakan pada penderita TB pada ODHA:12

1. Pemeriksaan sputum yaitu apabila BTA positif (sekurang-kurangnya 2 dari 3

spesimen sputum)

2. Pemeriksaan darah dengan hasil HIV reaktif dan pemeriksaan CD4 yang nilainya

kurang dari normal

Jenis PemeriksaanInfeksi dini (CD4

>200/mm3

Infeksi lanjut (CD4<200/mm3)

Sputum mikroskopis Sering positif Sering negatif

TB ekstra pulmonal Jarang Umum atau banyak

Mikobakteriemia Tdak ada Ada

Tubekulin Positif Negatif

Foto thoraksaktivasi TB, kaviti di

puncakTipikal pimer TB milier

atau intestisial

Adenopati hilus atau mediastinum

Tidak ada Ada

Efusi pleura Tidak ada Ada

67

Pemeriksaan Penunjang Radiologi:

Gambaran radiologi pada penderita TB HIV dapat menentukan derajat

immunocompromise. Pada immunocompromise sedang, akan terlihat gambaran radiologi TB

paru pada umumnya, sedangkan pada immunocompromise berat maka akan terlihat gambaran

yang atipikal.

Jadi, TB paru

merupakan jenis infeksi yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi HIV awal dengan

jumlah median CD4 > 300 sel/mikroL, sedangkan TB ekstraparu atau diseminata dijumpai pada

ODHA dengan jumlah CD4 yang lebih rendah. Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk

kronik lebih dari 3 minggu, demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih,

berkeringat pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB ekstra paru yang

tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi pleura dan osteomielitis. Sayangnya,

gambaran klinis TB pada ODHA seringkali tidak khas dan sangat bervariasi sehingga menegakkan

diagnosis menjadi lebih sulit. Diagnosis definitif TB pada ODHA adalah dengan ditemukannya

M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan

ditemukannya BTA pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi

4.5 Penatalaksanaan TB dengan HIV

Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien

TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai

HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB.

Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar

WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution

68

(Kewaspadaan Keamanan Universal). Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu

dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).12

Pasien HIV-AIDS dengan TB ekstrapulmo, maka harus perhatikan dahulu, apakah pasien

sudah diberikan terapi ARV (Antiretroviral Virus) atau belum, dan apakah pasien sudah

mengkonsumsi OAT (Obat Anti TB) atau belum. Masalah koinfeksi Tuberkulosis dengan HIV

merupakan masalah yang sering dihadapi di Indonesia. Pada prinsipnya, pemberian OAT pada ODHA

tidak berbeda dengan pasien HIV negatif. Interaksi antar OAT dan ARV terutama dengan

hepatotoksiknya. Pada ODHA yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian OAT harus

disesuaikan dengan kondisinya.

Tabel Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV

CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan

CD4 <200/

mm3

Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV

segera setelah terapi TB dapat ditoleransi

(antara 2 minggu hingga 2 bulan)

Paduan yang mengandung EFV (AZT

atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800

mg/hari).

Setelah OAT selesai maka bila perlu

EFV dapat diganti dengan NVP.

Bila NVP terpaksa harus digunakan

disamping OAT, maka dapat dilakukan

dengan melakukan pemantauan fungsi

hati (SGOT/SGPT) secara ketat

Saat mulai ART pada 2 – 8

minggu setelah OAT

CD4 200-350/

mm3Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi TB

CD4 >350/

mm3Mulai terapi TB

Tunda terapi ARV , evaluai

kembali pada saat minggu ke

8 terapi TB dan setelah terapi

TB lengkap

CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV

69

mungkin

diperiksa

mulai 2 – 8 minggu setelah

terapi TB dimulai

Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS. Prinsip

pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah yang cukup dan dosis

serta jangka waktu yang tepat. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena

akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika

tesedia alat suntik sekali pakai yang steril. Desentisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan

karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak

memberikan respon terhadap pengobatan, selain dipikiran terdapatnya resistensi terhadap obat juga

harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS tedapat korelasi antara

imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima

suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum. Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-

HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada. Setiap

pasienn TB-HIV harus diberikan profilaksis Cotrimoksazol dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal)

selama pemberian OAT.13

4.5.1 Indikasi Pemberian ARV pada pasien dengan Tuberculosis Paru yang telah mendapatkan

OAT:

1. Kadar CD4

2. Keberhasilan pengobatan dan paduan OAT yang sedang dilakukan

3. Kepatuhan pengobatan dan efek samping

4. Jika belum diobati dengan ARV pada saat didiagnosis TB, maka keputusan penggunaan ARV

didasarkan atas faktor-faktor berikut ini:

Tabel Pemberian OAT dan ARV Menurut kadar CD4

Waktu Pemberian Regimen OAT dan ARV

Kondisi Rekomendasi

TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB

ekstrapulmonal

Mulai terapi OAT. Segera mulai terapi ARV jika

toleransi terhadap OAT telah tercapai.

70

TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 atau hitung

limfosit total < 1200 sel/mm3

Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai setelah 2

bulan

TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung limfosit

total > 1200 sel/mm3

Mulai terapi TB. Jika memungkinkan monitor

hitung CD4. Mulai ARV sesuai indikasi setelah

terapi TB selesai

Tabel Pemberian OAT dan ARV Menurut gambaran klinis

Gambaran klinis ARV

Adanya TB paru dan tanda HIV advanced,

atau tidak ada perbaikan secara klinis;

adanya TB ekstra paru

Mulai ARV begitu pengobatan TB tidak

disertai efek samping (2-8 minggu OAT)

TB paru BTA negative, berat badan

bertambah dengan pengobatan, tanpa tanda

atau gejala HIV advanced

Mulai ARV setelah OAT fase intensif

selesai

TB paru BTA positif, berat badan

bertambah dengan pengobatan, tanpa tanda

atau gejala HIV advanced

Tunda ARV sampai pengobatan TB selesai

Tabel Efek Samping OAT dan ARV

Efek sampingKemungkinan Penyebab

OAT ARV

Skin rashPirazinamide, Rifampisin,

Rifabutin, INH

Nevirapine, Delavirdine,

Efavirenz, Abacavir

Mual, muntahPirazinamide, Rifampisin,

Rifabutin, INH

Zidovudine, Ritonavir,

Amprenavir, Indinavir

Hepatitis Pirazinamide, Rifampisin, Nevirapine, PI, perbaikan respon

71

Rifabutin, INH

setelah pemberian ARV pada

penderita dengan hepatitis virus

kronik

Leukopenia, anemia Rifabutin, Rifampin Zidovudine

Interaksi obat TB dengan ARV (antiretovirus):

Interaksi antara OAT dan ARV, terutama efek hepatotoksisitasnya, harus sangat

diperhatikan. Pemakaian obat HIV/ AIDS misalanya zidovudin akan meningkatkan

kemungkinan terjadinya efek toksik OAT. Tidak ada interaksi bemakna antara OAT dengan

AV golongan nukleosida, kecuali didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1jam dengan

OAT karena bersifat sebagai buffer antasida. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan

AT golongan non-nukleosida dan inhbitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersamaan

dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin 82%. Rifampisin

dapat menurunkan kadar nevirapin ampai 37% tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan

dosis nevirapin yang direkomendasikan.14

4.5.2 Interaksi antara obat golongan Rifampisin dengan Obat ARV

Saat ini regimen ARV biasanya terdiri dari 3 atau lebih obat dengan tiga kelas yang

berbeda yaitu, nucleoside analogue non nucleoside transcriptase inhibitors (NNRTI), dan

protease inhibitor (PIs). Interaksi antara obat ARV dan Rifampisin terjadi melalui sistem

sitokrom P-450 – 3A yang terdapat pada dinding usus dan hati. Rifampisin merupakan

inducer CYP3A, sehingga dapat menurunkan kadar obat-obatan yang dimetabolisme oleh

sistem enzim tersebut. Kekuatan induksi CYP3A obat-obatan Rifampisin itu berbeda-beda.

Rifampisin merupakan inducer paling kuat, kemudian ada Rifampetine dengan kekuatan

menengah serta Rifabutin yang paling lemah. Protease Inhibitor dan NNRTI dimetabolisme

oleh CYP3A sehingga kadar kedua golongan obat tersebut dalam darah akan dipengaruhi

oleh Rifampisin. Delavirdine dan PI merupakan inhibitor CYP3A sehingga dapat

72

meningkatkan kadar obat-obat yang dimetabolisme oleh sistem enzim ini. Rifabutine

merupakan substrat dari CYP3A sehingga hambatan pada CYP3A akan meningkatkan kadar

Rifabutin hingga mencapai kadar yang toksik. Sedangkan untuk Rifampin dan Rifapentin

walaupun keduanya adalah inducer CYP3A, tetapi bukan merupakan substrat enzim tersebut,

sehingga hambatan pada CYP3A tidak akan mempengaruhi kadar kedua obat tersebut.

4.5.3 Dampak klinis interaksi antara Rifampycin dengan obat antiretrovirus

Beberapa interaksi obat dari kedua golongan obat tersebut dapat menimbulkan efek

yang dramatis sehingga tidak boleh digunakan secara bersama-sama. Rifampin dapat

menyebabkan penurunan kadar obat PIs (kecuali Ritoravir) hingga 75-95%, sehingga

menyebabkan penurunan aktifitas antivirus yang nyata dan akibatnya dapat mempercepat

timbulnya resistensi terhadap PIs tersebut. Selain itu kadar Delavirdine akan menurun hingga

> 90% bila diberikan bersama-sama Rifampin atau Rifabutin sehingga obat antiretrovirus

tersebut tidak boleh digunakan bersama-sama dengan semua golongan Rifamycin. Sebaliknya

Rifabutin bila diberikan dengan dosis standard (300 mg/hari) bersama-sama dengan PIs dapat

menyebabkan peningkatan kadarnya hingga 2-4 kali lipat sehingga menyebabkan efek

samping. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan modifikasi dosis Rifabutin.

4.5.4 Tatalaksana penanganan interaksi antara obat golongan Rifampycin dan obat

antiretrovirus

Jika penderita HIV/AIDS dengan infeksi TB memerlukan obat antiretrovirus maka

untuk pengobatan tuberkulosisnya sebaiknya digunakan Rifabutin. Rifabutin dapat diberikan

bersama dengan obat golongan NNRTIs (kecuali Delavirdine). Rifabutin mempunyai

efektifitas yang sama dengan Rifampin untuk pengobatan tuberkulosis dengan atau tanpa

HIV. Untuk menghindari toksisitas maka dosis harian Rifabutin harus dikurangi menjadi 150

mg/hari bila diberikan bersamaan dengan PI (kecuali Saquinavir).

Pengobatan dengan cara DOTS sangat dianjurkan dengan pemberian Rifabutin secara

intermiten. Pada pemberian Rifabutin secara intermiten yang perlu diperhatikan adalah harus

dihindarkan pemberian dosis yang tidak adekuat. Karena itu pedoman terapi yang saat ini

73

dianjurkan adalah Rifabutin 450 – 600 mg bila diberikan bersama Efavirenz, dan bila

diberikan 2 – 3 kali seminggu bersama dengan PI (kecuali Ritonavir) digunakan dosis 300

mg/hari. Bila diberikan bersama dengan Ritonavir maka dosisnya dikurangi menjadi 150 mg

2 kali seminggu (tanpa Ritonavir dosis ini sebanding dengan Rifabutin 300 mg perhari).

Bila Rifabutin digunakan bersama dengan 2 obat dari golongan PI atau diberikan

bersama dengan PI dan NNRTI akan terjadi interaksi obat yang lebih kompleks sehingga

menimbulkan dampak yang masih harus diteliti lebih lanjut. Untuk sementara ini dosis

Rifabutin yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel.

4.5.6 Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV

Peningkatan jumlah penderita HIV di indonesi membuat pemerintah membuat

“Kebijakan Nasional Kolaborai TB HIV”. Program ini memiliki tujuan umum yaitu

memberikan arah dalam pelaksanaan kolaborasi TB-HIV untuk mengurangi beban TB dan

HIV pada masyarakat akibat kedua penyakit ini.14 Tujuan khusus dari pelaksanaan kolaborasi

TB-HIV:

a) Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV/AIDS

b) Menurunkan beban TB pada ODHA

c) Menurunkan beban HIV pada pasien TB

Pelaksanaan dari program ini terbagi menjadi 3 bagian besar yaitu, membentuk mekanisme

kolaborasi, menurunkan beban TB pada ODHA, dan menurunkan beban HIV pada pasien

TB.

A. Membentuk mekanisme kolaborasi

1. Membentuk kelompok kerja (POKJA) TB HIV di semua lini. Kelompok kerja

TB-HIV dibentuk pada tingkat nasional dan pada tingkat provinsi. Di daerah prioritas,

kelompok kerja dibentuk di tingkat kabupaten/kota dan tingkat UPK (rumah sakit,

puskesmas dan klinik dalam bentuk tim TB-HIV). Koordinator kolaborasi TB-HIV

ditunjuk pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, yang bertugas purna

waktu, harus berasal dari program TB atau program AIDS.

2. Pelaksanaan survailans untuk mengetahui prevalensi HIV diantara pasien TB.

Penetapan UPK DOTS sebagai tempat pelaksanaan surveilans sentinel harus sesuai

74

pedoman yang berlaku (yaitu pada tempat dan dengan metode yang sama). Semua

surveilans dilaksanakan dengan informed consent dari pasien, tes HIV dengan metode

unlinked anonymous dan tetap menghormati prinsip-prinsip etika.

3. Melaksanakan perencanaan bersama TB HIV. Program TB dan HIV/AIDS

memerlukan perencanaan strategis secara bersama untuk melakukan kerjasama secara

sistematis dan berhasil. Mereka harus melengkapi dengan rencana TB-HIV bersama,

atau memperkenalkan komponen TB-HIV pada rencana pengendalian nasional TB

dan rencana pengendalian nasional HIV/AIDS. Peran dan tanggung jawab masing-

masing program dalam pelaksanaan kegiatan TB-HIV yang spesifik pada tingkat

pusat maupun tingkat daerah harus dinyatakan dengan jelas. Perencanaan bersama TB

HIV dilaksanakan dalam bidang-bidang sebagi berikut :

a. Mobilisasi sumber daya untuk TB-HIV

b. Membangun kapasitas TB HIV termasuk pelatihan

c. Kombinasi TB HIV: advokasi, komunikasi program dan mobilisasi sosial

d. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan kolaborasi TB HIV

e. Penelitian operasional untuk meningkatkan kegiatan kolaborasi TB HIV.

4. Monitoring dan evaluasi kegiatan kolaborasi TB HIV

B. Menurunkan beban TB pada ODHA

1. Mengintensifkan penemuan kasus TB

2. Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat orang

terkumpul (Rutan/Lapas, panti rehabilitasi NAPZA)

C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB

1. Menyediakan pelayanan konseling dan tes HIV sukarela (KTS) untuk pasien TB

2. Pencegahan HIV dan infeksi menular seksual.

.

75

BAB V

KESIMPULAN

Acuired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit retrovirus yang ditandai

oleh imunosupresi berat yang menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik. AIDS disebabkan

terutama oleh retrovirus RNA HIV-1 tetapi HIV-2 juga dapat menyebabkan AIDS dan terutama

dijumpai di Afrika Barat. Target utama virus HIV adalah reseptor CD4++ yang terdapat di membran

sel T penolong, serta pada makrofag dan sel dendritik folikel yang terdapat di system saraf dan

jaringan limfoid. Penularan HIV terjadi melaui hubungan seksual (homoseks, heteroseks), transfusi

darah yang mengandung HIV, penyalahgunaan obat terlarang IV, dan secara vertical dari ibu kepada

bayi melalui plasenta atau ASI. Untuk penapisan standart untuk infeksi HIV adalah enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA), dan uji konfirmasi yang tersering adalah western blot. Uji-uji lain

mencakup biakan virus, serta pengukuran antigen p24 dan RNA atau DNA HIV dengan reaksi

berantai polymerase (PCR). Tanda utama infeksi HIV adalah deplesi progresif sel-sel CD4+,

termasuk sel T penolong dan makrofag. Pada system imun yang masih utuh, jumlah normal set T

CD4+ berkisar dari 600-1200/ml atau mm3. Terdapat empat fase infeksi HIV, yaitu infeksi akut

primer (serokonversi), fase asimptomatik, fase asimptomatik dini, fase asimptomatik lanjut. Setelah

fase awal infeksi HIV, individu mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan (masa jendela /

window periode ), tetapi dapat menularkan kepada orang lain.

Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita

HIV/AIDS,akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan oleh

virus, bakteri,protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan.Pengobatan untuk

infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang ditimbulkan.Pengobatan status kekebalan

tubuh dengan menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapatmemperbaiki fungsi sel

limfosit, dan menambah jumlah limfosit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari

pengobatan, perawatan/rehabilitasidan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS

ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART),infeksi opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan

tubuh, simptomatis dan suportif

76

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global Tuberculosis control 2012: epidemiology, strat gy,

financing. WHO/HTM/TB/2012.6. Geneva, Switzerland: WHO; 2012.

2. Isbaniyah F. dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

Jakarta: PDPI; 2011. Available at: www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html. Accessed oh: 18

October 2013.

3. Amin Z. Bahar A. Tuberkulosis Paru. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata

MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006.p. 2230-9

4. Djojodibroto D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009.p. 25-9

5. Misnadiarly. Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan Mikobakterium Atipik.

Jakarta: Dian Rakyat; 2006.p. 1-50

6. Hasan H. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:

Airlangga University Press; 2010

7. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006.p. 2861-2870

8. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders.

In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors.

Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-

Hill.p. 115-8

9. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors.

Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.p. 23-59

10. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 .Available at url:

http://www.aidsindonesia.or.id . Accessed on: 23 October 2013

11. KEMENTERIAN KESEHATAN RI (2011). Rencana Aksi Nasional

TB-HIV. Pengendalian Tuberkulosis 2011–2014. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011.p. 1-45

12. Lan, V.M. Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV) dan Sindrom Imunodefisiensi Didapat

(AIDS). Dalam: Hartanto,H. (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses Penyakit.

Vol I. Ed.6. Jakarta:EGC; 2006. p. 224-245.

13. WHO. TB/ HIV: A ClinicalManual; 2004. Available at:

whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf. Accessed on: 23 October 2013.

77

14. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006.p. 2861-2870

78