referat epistaksis

Upload: nadiaappnorman

Post on 10-Jan-2016

67 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Epistaksis

TRANSCRIPT

Makalah

BAB IPENDAHULUAN

Epistaksis atau mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung dan merupakan suatu tanda atau keluhan bukan penyakit. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif. Epistaksis berat, walaupun jarang dijumpai dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal bila tidak segera ditolong.1

Presentasi di Amerika menunjukkan angka 60% epistaksis terjadi pada populasinya, namun jarang sekali menyebabkan kematian. Distribusinya bermacam-macam dengan insiden terbanyak pada usia kurang dari 10 tahun dan lebih dari 50 tahun. Kasus ini terbanyak terjadi pada laki-laki dibanding wanita.2,3Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Kasus - kasus epistaksis kebanyakan terjadi pada daerah anterior septum nasi, dan dapat diatasi dengan kauterisasi. Namun, epistaksis posterior lebih memerlukan pendekatan yang lebih agresif termasuk metode posterior nasal packing dan endoscopic cauterization.1,3Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit dan berhenti sendiri. Penderita sering ketakutan sehingga merasa perlu memanggil dokter. Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan. Pengobatan yang tepat pada kasus epistaksis adalah dilakukan penekanan pada pembuluh darah yang berdarah. Hampir 90% kasus epistaksis anterior dapat diatasi dengan tekanan yang kuat dan terus menerus pada kedua sisi hidung tepat diatas kartilago ala nasi. Bila hal ini tidak berhasil maka diperlukan tindakan-tindakan lain yang perlu dan dapat dilakukan. Sangat penting penetalksanaan yang tepat pada kasusu epistaksis agar tidak terjadi komplikasi atau bahkan kematian. Karena itu akan kita bahas mengenai epistaksis pada makalah ini. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Anatomi Hidung

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan.4

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas: kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.4,5

Gambar 1. Anatomi Hidung4Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista sfenoid.5

Gambar 2. Anatomi Hidung Dalam4Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media.5

Gambar 3. Kompleks Ostiomeatal4Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis yaitu arteri karotis eksterna dan karotis interna. Arteri korotis interna bercabang menjadi arteri etmoid anterior dan posterior. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui: 1) Arteri Sphenopalatina

Cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.52) Arteri palatina desenden

Memberikan cabang arteri palatina mayor yang berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang memperdarahi septum dan dinding lateral superior.5

Gambar 4. Anatomi Vaskularisasi Hidung42.2 Definisi Epistaksis

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang merupakan suatu tanda atau keluhan, bukan penyakit penyakit dasar. Perdarahan dari hidung dapat mengganggu dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif.2,52.3 Etiologi EpistaksisPerdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (Little area). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis sering kali timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.3,4,5,7 Secara Umum penyebab epistaksis dibagi dua yaitu:1. Lokal a. Trauma Epistaksis yang berhubungan dengan tauma biasanya mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis.5 b. Infeksi Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.5 c. Neoplasma Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.5 d. Kelainan kongenital Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease).5 e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum. Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.5

f. Pengaruh lingkungan Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.5

Gambar 5. Gambaran sagital MR pada solitary fibrous tumor dengan masa tumor dan epistaksis dan Gambaran angiogram angiofibroma juvenil dengan obstruksi hidung dan epistaksis42. Sistemik5 a. Kelainan darah Misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia. b. Penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti

pada aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus

dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat,

sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.

c. Infeksi sistemik akut Demam berdarah, demam typhoid, influenza, morbili, demam tifoid. d. Gangguan endokrin Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis,

kadang-kadang beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari hidung

menyertai fase menstruasi.

2.4 Patofisiologi EpistaksisPemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.3,5Secara anatomi, perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai bagian superior hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabang utamanya. Arteri sfenopalatina membawa darah untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan bagian posterior septum. Semua pembuluh darah hidung ini saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Suatu pleksus vaskular di sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa menggabungkan sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau pleksus Kiesselbach. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.5,8 2.5 Anamnesis dan Pemeriksaan FisikPasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.5

Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya perdarahan, frekuensi, lamanya perdarahan, dan riwayat perdarahan hidung sebelumnya. Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan juga megenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan perdarahan misalnya riwayat darah tinggi, arteriosclerosis, koagulopati, diabetes melitus, riwayat perdarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan obat-obatan seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlodipin, serta kebiasaan merokok dan minum-minuman keras.3,5,9 Pada pemeriksaan fisik, epistaksis seringkali sulit dibedakan dengan hemoptisis atau hematemesis. Oleh karena itu, pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa untuk mengobservasi dan mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/5000 1/10000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10-15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.2,3,5

Gambar 6. Obat-obat dan alat-alat yang diperlukan untuk tatalaksana epistaksis4Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.4 Pemeriksaan yang diperlukan berupa:

a) Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat.5 b) Rinoskopi posterior

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung.5

2.6 Talaksanaan EpistaksisTiga prinsip utama dalam tatalaksana epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Aliran darah akan berhenti setelah darah berhasil dibekukan dalam proses pembekuan darah. Pertolongan pertama jika terjadi mimisan adalah dengan memencet hidung bagian depan selama lima sampai dengan sepuluh menit. Selama pemencetan sebaiknya bernafas melalui mulut. Perdarahan ringan biasanya akan berhenti dengan cara ini.2,5,8,9 Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 - 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.5,8 Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping penggantian cairan.9

A. Epistaksis Anterior1. Kauterisasi

Berikan anestesi lokal dengan menggunakan kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidocain 2% topical dengan epinefrin 1:10.000. Tampon ini dimasukkan kedalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5-10 menit untuk memberikan anestesi lokal dan vasokonstriksi. Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat (AgNO3) 20-30% atau dengan asam triklorasetat 10%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada dua septum karena dapat menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat pula dgunakan elektrokauter atau laser.5,9

Gambar 7. Kauterisasi sumber perdarahan42. Tampon Anterior

Apabila kauter tidak dapat mengontrol perdarahan atau bila sumber perdarahan tidak dapat diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan kapas atau kassa yang diberi vaselin atau antibiotik. Tampon ini dipertahankan selama 2-3 hari dan berikan juga antibiotic oral.2,5

Gambar 8. Tampon anterior4B. Epistaksis Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi karena biasanya perdarahan lebih hebat dan sulit dicari sumber perdarahan. Epistaksis posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon posterior atau tampon Bellocq, ballon tamponade, ligasi arteri dan embolisasi.5,8

1. Tampon posterior atau tampon Bellocq

Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan ini. Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 3 hari.5,7,8

Gambar 9. Tampon Bellocq42. Tampon balonPemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12-16F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior. Gambar 10. Balon intranasal43. Ligasi Arteri

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung.8,9

a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior m. sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi, m. sternokleido- mastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau nasofaring. Arteri karotis diligasi dengan menggunakan benang 3/0 silk atau linen.7,9 b. Ligasi Arteri Maksilaris EksternaLigasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu dilakukan insisi Caldwell Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium posterior. Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter dan nervehook. Setelah arteri maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya. Setelah itu dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi salap antibiotic selama 24 jam.7c. Ligasi Arteri EtmoidalisPerdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. sebelah anterior n. optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis anterior, dan rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior tidak diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a. etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk menghindari trauma.7

4. Angiografi dan EmbolisasiSokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi perkutan pada a. maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk epistaksis yang persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan kegunaan angiografi dalam menentukan sumber perdarahan. Merland, (1980) melaporkan penggunaan embolisasi untuk pengobatan telangiektasi hemoragik herediter, epistaksis (primer dan traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan penyakit pendarahan. Mereka menjumpai kesulitan dalam melakukan embolisasi a. etmoidalis tetapi tindakan ini lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan ligasi a. maksila interna oleh karena terjadinya obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi embolisasi mencakup paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga sering dijumpai. Beberapa material telah digunakan untuk embolisasi tetapi absorbable gelatin sponge merupakan zat yang paling sering digunakan. Walaupun tekhnik ini masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada penanganan epistaksis dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk operasi.2.7 KomplikasiKomplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau sebagai akibat dari penanganan yang kita lakukan. Akibat dari epistaksis yang hebat dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah yang mendadak dapat menimbulkan iskemi cerebri, insufisiensi koroner dan infark miocard. Bila terjadi hal seperti ini maka penatalaksaan terhadap syok harus segera dilakukan.3Pemasangan tampon anterior dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media dan septikemia. Oleh sebab itu, antibiotik harus diberikan pada pemasangan tampon hidung dan setelah 2-3 hari tampon dicabut. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.5BAB III

KESIMPULAN Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang dapt berlangsung ringan sampai dengan berat dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.Pendarahan ini dapat berhenti sendiri atau sampai harus segera diberi pertolongan. Pada kasus yang berat, pertolongan harus dilakukan di rumah sakit dengan orang yang yang berkompetensi pada bidang ini. Penentuan asal pendarahan pada kasus epistaksis sangat penting karena berkaitan dengan cara penatalaksanaannya. Untuk menghentikan pendarahan ini dapat dilakukan tampon anterior, kauterisasi dan tampon posterior. Komplikasi pada pemasangan tampon anterior adalah sinusitis, air mata berdarah dan septikemia. Sedangkan komplikasi pada pemasangan tampon posterior adalah otitis media, haemotympanum, laserasi palatum molle dan sudut bibir. Apabila terjadi perdarahan aktif pada saat perdarahan pada saat pemasangan tampon posterior maka dilakukan ligasi arteri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Iskandar M. Teknik Penatalaksanaan Epistaksis. In: Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001. pp. 43-462. Corry JK, Timothy C. Management of Epistakxis, 2005.In: http://www.aafp.org/afp/20050115/contents.html3. Nguyen Q. Epistaxis, 2005. In : http://www.emedicine.com/ent/nasal_ and_ sinus_ disease.html4. Elsie K, Vincent I, Nolan J. Epistaksis, Vaskular Anatomy, Origins and Endovaskular Treatment, 1999. In : http://www.ajonline.org/cgi/contents.html5. Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. In: Soepardi EA, Iskandar N (eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. 6th Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.pp.155-59.6. American Family Physician > Vol. 71/No. 2 (January 15, 2005) http://www.aafp.org/afp/20050115/contents.html7. Shah AG, Stachler RJ, Krouse JH. Endoscopic ligation of the sphenopalatine artery as a primary management of severe posterior epistaxis in patiens with coagulopathy. Ear Nose Throat J. 2005. Vol. 84 (5): 296 7. 8. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxix: Identification of common bleeding sites. Laryngodcope, 2005. Vol. 115 (4): 588-909. Yang DZ, Cheng JN, Han J, Shu P, ZhangH. Management of intactable epistaxis and bleeding points laokalization. Zhonghua Er Bi, 2005. Vol. 40 (5): 360 2 PAGE 18