referat demam tifoid

30
REFERAT TIFOID TOKSIK DISUSUN OLEH: GILANG RAMA PUTRA 1102010112 PEMBIMBING: dr. Shelvi Sp.Pd

Upload: chyndita-arti-pranesya

Post on 22-Dec-2015

53 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT demam tifoid

REFERAT

TIFOID TOKSIK

DISUSUN OLEH:

GILANG RAMA PUTRA

1102010112

PEMBIMBING:

dr. Shelvi Sp.Pd

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RSUD DR. SLAMET GARUTPERIODE 26 MEI – 2 AGUSTUS 2014

Page 2: REFERAT demam tifoid

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya

kami dapat menyelesaikan referat yang berjudul TIOFID TOKSIK dengan baik.

Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan

menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Penyakit Dalam di RSUD Dr.Slamet Garut. Dalam

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Shelvi Sp.Pd selaku dokter pembimbing.

2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Penyakit Dalam RSUD Dr.Slamet Garut.

3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Dr.Slamet Garut.

Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan

bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis. Pada

akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis

mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih

baik di kemudian hari.

Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca,

khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani aplikasi ilmu.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Garut, Juni 2014

Penulis

1

Page 3: REFERAT demam tifoid

DAFTAR ISI

1. COVER……………….…………………………………………………........…....I

2. KATA PENGANTAR….……………………………………….……….....…..... 1

3. DAFTAR ISI………………………………………………………………......…. 2

4. PENDAHULUAN………………………………………………………….....…..3

5. TIFOID TOKSIK....................................................................................................4

5.1 DEFINISI......................................................................................................4

5.2 ETIOLOGI....................................................................................................4

5.3 PATOFISIOLOGI........................................................................................5

5.4 MANIFESTASI KLINIS.............................................................................7

5.5 DIAGNOSIS.................................................................................................8

5.6 TATALAKSANA........................................................................................10

5.7 KOMPLIKASI.............................................................................................13

5.8 PROGNOSIS................................................................................................14

5.9 EPIDEMIOLOGI.........................................................................................14

5.10 PENCEGAHAN...........................................................................................14

6. DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................15

2

Page 4: REFERAT demam tifoid

PENDAHULUAN

Demam typhoid merupakan infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh Salmonella

typhi, atau jenis yang virulensinya lebih rendah yaitu Salmonella paratyphi. Salmonella

adalah kuman gram negatif yang berflagela, tidak membentuk spora, dan merupakan anaerob

fakultatif yang memfermentasikan glukosa dan mereduksi nitrat menjadi nitrit. S.typhi

memiliki antigen H yang terletak pada flagela, O yang terletak pada badan, dan K yang

terletak pada envelope, serta komponen endotoksin yang membentuk bagian luar dari dinding

sel.

Demam tifoid toksik, merupakan salah satu komplikasi ekstraintestinal dari demam

tifoid. Keadaan ini disebut juga sebagai tifoid ensefalopati. Diduga, faktor-faktor sosial

ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, iklim, nutrisi, kebudayaan yang

masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan

angka kematian.

Ensefalopati merujuk pada setiap penyakit degeneratif pada otak. Terkadang, gejala

demam tifoid diikuti oleh suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran

akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, stupor atau koma) dengan atau tanpa

disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas

normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut tifoid toksik, ada juga yang

menyebutnya sebagai demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati atau demam tifoid

dengan toksemia.

3

Page 5: REFERAT demam tifoid

TIFOID TOKSIK

1. DEFINISI

DEMAM TIFOID : Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan dengan bakteremia dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch

TIFOID TOKSIK :

Tifoid toksik merupakan komplikasi dari demam tifoid, bisa juga disebut dengan demam tifoid berat atau tifoid enselofapati. Biasa nya diikuti oleh suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, stupor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal.

Enselofapati itu sendiri adalah Merupakan suatu kondisi disfesiensi otak yang global

yang menyebabkan terjadinya perubahan kesadaran,perubahan tingkah laku dan kejang yang

disebabkan oleh kelainan pada otak maupun diluar otak.kondisi ini mempengaruhi fungsi

ascending reticular activating system dan mengganggu proyeksinya di kortek serebri

sehingga terjadi gangguan kesadaran dan atau kejang.Mekanisme terjadinya disfungsi otak

ini multifaktor,termasuk perubahan aliran darah dan gangguan fungsi neurotransmiter diikuti

gagalnya energi metabolisme dan depolarisasi selular.

2. ETIOLOGI

Penyakit ini disebabkan oleh kuman Salmonella typhosa yang merupakan kuman gram negatif , motil dan tidak menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 70ºC maupun oleh antiseptik.

Bakteri ini mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu:

1. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesik grup.

2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella dan bersifat spesifik spesies.

3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat menghambat prosses aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari proses fagositpsis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin. Salmonella typhosa menghasilkan endotoksin yang merupakan bagian

4

Page 6: REFERAT demam tifoid

terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid. Ketiga antigen diatas didalam tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.

4. Protein membran hialinMerupakan bagian dari dinding sel terluar yang terletak diluar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan linkungan sekitar. Berfungsi sebagai barier fisik yang mengendalikan masuknya zat dan cairan ke dalam membran sitoplasma, dan juga berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin.Sebagian besar terdiri dari protein yang berperan dalam patogenesis demam tifoid dan merupakan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun pejamu.

Bakteri ini terutama berada dalam air dan makanan yang tercemar, karena sumber air minum di beberapa daerah di Indonesia kurang memenuhi syarat. Juga perlu diingat makanan dari penjual makanan di pinggir jalan juga dapat tercemar bakteri S. typhi.

S. typhi dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu dan kotoran kering maupun pada pakaian. Akan tetapi bakteri ini akan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (suhu 63°C).

S. typhi dapat hidup dalam tubuh manusia, dan manusia yang terinfeksi bakteri tersebut dapat mengeksresikannya melalui sekret saluran napas, urin, dan tinja dalam waktu yang sangat bervariasi.

3. PATOFISIOLOGI Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal

dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella Thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat.

Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella Thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu. Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

5

Page 7: REFERAT demam tifoid

Masuknya kuman Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Penularan kuman ini dapat melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi, feces, lalat yang membawa kuman tersebut, dan muntahan dari penderita Typhoid. Sebagian kuman dimusnahkan di lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak (Soegijanto, 2002).

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kuman tersebut mengeluarkan endotoksin yang selanjutnya kuman masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteriemia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa yang selanjutnya akan dilakukan fagositosis. Pada proses fagosit ini, kuman yang dapat difagosit akan mati, sedangkan yang tidak difagosit akan tetap hidup dan menyebabkan bakteriemia kedua.

Kuman yang masuk ke aliran darah akan menyebabkan roseola pada kulit dan lidah hiperemia. Selanjutnya kuman masuk ke dalam usus halus dan menyebabkan peradangan sehingga menimbulkan nausea dan vomitus serta adanya anoreksia masalah tersebut akan menyebabkan intake klien yang tidak adekuat dan kebutuhan nutrisi yang kurang dari tubuh yang bisa menyebabkan diare sehingga diperlukan bedrest untuk mencegah kondisi klien akan menjadi bertambah buruk. Selanjutnya kuman masuk ke dalam hepar yang selanjutnya mengeluarkan endotoksin yang akan merusak hepar sehingga terjadi hepatomegali dan juga mengakibatkan splenomegali yang disertai dengan meningkatnya SGOT/SGPT. Selain itu, kuman dapat menyebar ke hipotalamus yang menekan termoregulasi yang mengakibatkan demam remiten dan hipertermi sehingga klien akan mengalami malaise dan akhirnya mengganggu aktivitasnya (Muttaqin, 2011).

Gambar 1. Patofisiologi tifoid

6

Page 8: REFERAT demam tifoid

4. MANIFESTASI KLINIK

Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan sekali ( sehingga tidak terdiagnosis ), dan dengan gejala yang khas (sindrom demam tifoid) sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gambaran klinis juga bervariasi berdasarkan daerah atau negara, serta menurut waktu.Gambaran klinis di negara berkembang dapat berbeda dengan negara maju dan gambaran klinis tahun 2000 dapat berbeda dengan tahun enam puluhan pada daerah yang sama.

Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid. Beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid diantaranya adalah :

a. Demam Demam atau panas adalah gejala utama Tifoid. Pada awal sakit, demamnya

kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan diarea frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam makintinggi, kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3. Perlu diperhatikan terhadap laporan, bahwa demam yang khas tifoid tersebut tidak selalu ada Tipe demam menjadi tidak beraturan. Hal ini mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.

b. Gangguan Saluran Pencernaan Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering

dan kadang- kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor atau selaput putih), dan pada penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik (nyeri ulu hati), disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering meteorismus dan kontipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.

c. Gangguan Kesadaraan Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan

kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai dan koma atau dengan gejala-gejala. Pada penderita dengan toksik, gejala lebih menonjol.

d. Hepatosplenomegali Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan.

e. Bradikardia relatif dan gejala lain Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang sulit

dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan

7

Page 9: REFERAT demam tifoid

suhu 1 'C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah yang biasanya ditemukan diregio abdomen atas, serta sudamina, serta gejala- gejala klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. pada anak sangat jarang ditemukan malahan lebih sering epitaksis.

5. DIAGNOSIS

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid

dibagi dalam empat kelompok, yaitu:

1. Pemeriksaan darah tepi

Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa

menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis

biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan

limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan

mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak

mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk

dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi

adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam

tifoid (Hoffman, 2002).

Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya

mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%),

leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%) (Darmowandowo, 1998).

2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri salmonella

Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum.

Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan

dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium

berikutnya di dalam urin dan feses (Hardi, et.al, 2002).

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil

negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal

seperti telah mendapat terapi antibiotik, volume darah yang kurang, riwayat vaksinasi

dan saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin

meningkat (Sudoyo et al, 2007).

8

Page 10: REFERAT demam tifoid

3. Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid

dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen s.Typhi maupun

mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini

adalah 1-3 ml yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji

serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi ujia widal, tes tubex,

dan ELISA.

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).

Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan

typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang

digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan

diolah di laboratorium.

Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum

klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien

membuat antibodi atau aglutinin yaitu:

a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh

kuman).

b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel

kuman).

c. Aglutinin K, yang dibuat karena rangsangan antigen K (berasal dari selaput

kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya

untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler.

Metode lain untuk identifikasi bakteri s.Typhi yang akurat adalah mendeteksi

DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri s.Typhi dalam darah dengan teknik

hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain

reaction (PCR) melalui identifikasi antigen K yang spesifik untuk s.Typhi.

9

Page 11: REFERAT demam tifoid

6. TATALAKSANAPenderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus dianggap dan

dirawat sebagai demam tifoid yang secara garis besar ada 3 bagian yaitu :

Perawatan

Diet

Obat

Perawatan

Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta

pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring

sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa lampau. Mobilisasi dilakukan

sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran

yang menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi

demam tifoid yang lain termasuk buang air lkecil dan buang air besar perlu mendapat

perhatian.

Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat bervariasi dan

tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi

selama penyakitnya berjalan.

Diet

Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian

bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita. Banyak

penderita tidak senang dengan diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini

mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa penyembuhan

akan semakin lama.

Beberapa peneliti menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan

penderita dengan memperhatikan segi kualitas dan kuantitas ternyata dapat diberikan dengan

aman. Kualitas makanan disesuikan kebutuhan kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun

mineral serta diusahakan makanan yang rendah atau bebas selulose, menghindari makanan

iritatif sifatnya. Pada penderita dengan gangguan kesadaran pemasukan makanan harus lebih

diperhatikan.

10

Page 12: REFERAT demam tifoid

Pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan yang dapat menekan

turunnya berat badan selama perawatan, masa dirumah sakit sedikit diperpendek, dapat

menekan penurunan kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi kemungkinan kejadian

infeksi lain selama perawatan.

Obat-obatan

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian yang tinggi

sebelum adanya obat-obatan antimikroba, sejak adanya obat antimikroba terutama

kloramfenikol maka angka kematian menurun secara drastis.

Obat-obatan antimikroba yang sering digunakan antara lain:

- Kloramfenikol

- Tiamfenikol

- Kotrimoksasol

- Ampisilin

- Amoksisilin

Kloramfenikol

Kloramfenikol digunakan sebagai drug of choice pada kasus demam tifoid, karena

sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat.

Dilain pihak kekurangan kloramfenikol ialah reaksi hipersensitifitas, reaksi toksik, Grey

sindrom, kolaps, tidak bermanfaat untuk pengobatan karier.

Dosis yang dianjurkann ialah 50-100mg/kgBB/hari serta untuk neonatus sebaiknya

dihindarkan, bila terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB/hr.

Tiamfenikol

Mempunyai efek yang sama dengan kloramfekol. Dengan pemberian tiamfenikol

demam turun setelah 5-6 hari, hanya komplikasi hematologi pada penggunaan tiamfenikol

lebih jarang, sedangkan strain salmonella yang resisten terhadap tiamfenikol. Dosis oral yang

dianjurkan 50-100mg/kgBB/hr.

Kotrimoksasol

Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten

terhadap kloramfenikol, penyerapan diusus cukup baik, kekambuhan pengobatan lebih kecil

dibandingkan kloramfenikol.

11

Page 13: REFERAT demam tifoid

Kelemahannya ialah terjadi skin rash, sindrom Steven Johnson, agranulositosis,

trombositopenia, megaloblastik anemia, hemolisis eritrosit terutama pada penderita defisiensi

G6PD. Dosis oral 30-40 mg/kgBB/hari dari sulfametoxazole dan 6-8 mg/kg BB/hari untuk

trimetroprim, diberikan dalam 2 kali pemberian.

Ampisilin dan Amoksisilin

Merupakan derivat penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama

pada kasus yang resisten dengan kloramfenikol. Ampisilin umumnya lebih lambat

menurunkan demam bila dibandingkan dengan kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk

mengobati karier sert kurang toksisitas.

Kelemahan dapat terjadi skin rash, dan diare. Amoksisilin mempunyai daya

antibakteri yang sama dengan ampisilin, tetapi penyerapan peroral lebih baik, sehingga kadar

obat yang tercapai 2 kali lebih tinggi. Dosis yang dianjurkan ampisilin 100-200 mg/ kg

BB/hari, amoksisilin 100 mg/kgBB/hari

Sefalosporin gen 3

Sefalosporin biasanya bakterisida terhadap bakteri dan bertindak dengan sintesis

mucopeptide penghambat pada dinding sel sehingga penghalang rusak dan tidak stabil.

Mekanisme yang tepat untuk efek ini belum pasti ditentukan, tetapi antibiotik beta-laktam

telah ditunjukkan untuk mengikat beberapa enzim (carboxypeptidases, transpeptidases,

endopeptidases) dalam membran sitoplasma bakteri yang terlibat dengan sintesis dinding sel.

Afinitas yang berbeda bahwa berbagai antibiotic beta-laktam memiliki enzim tersebut (juga

dikenal sebagai mengikat protein penisilin; PBPs) membantu menjelaskan perbedaan dalam

spektrum aktivitas dari obat yang tidak dijelaskan oleh pengaruh beta-laktamase. Seperti

antibiotik beta-laktam lainnya, sefalosporin umumnya dianggap lebih efektif terhadap

pertumbuhan bakteri aktif.

Efek samping :

Reaksi hipersensitifitas dan dermatologi : shock, rash, urtikaria, eritema, pruritis, udema,

• Hematologi : pendarahan, trombositopenia, anemia hemolitik

• Saluran cerna, terutama penggunaan oral : colitis (darah dalam tinja), nyeri lambung, diare,

rasa tidak enak pada lambung, anoreksia, nausea, konstipasi.

• Defisiensi vitamin K : karena sefalosporin menimbulkan efek anti vitamin K.

12

Page 14: REFERAT demam tifoid

• Efek pada ginjal : meningkatnya konsentrasi serum kreatinin, disfungsi ginjal dan toksik

nefropati.

Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2 x 500 mg selama 6 hari: ofloxacin 600

mg/hari selama 7 hari: ceftriaxone 4 gram/hari selama 3 hari).

Quinolon

Pada saat perkembang biakkan kuman ada yang namanya replikasi dan transkripsi dimana terjadi pemisahan double helix dari DNA kuman menjadi 2 utas DNA. Pemisahan ini akan selalu menyebabkan puntiran berlebihan pada double helix DNA sebelum titik pisah.

Hambatan mekanik ini dapat diatasi kuman dengan bantuan enzim DNA girase. Peranan antibiotika golongan Kuinolon menghambat kerja enzim DNA girase pada kuman dan bersifat bakterisidal, sehingga kuman mati.

Golongan antibiotika Kuinolon umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Efek sampingnya yang terpenting ialah pada saluran cerna dan susunan saraf pusat. Manifestasi pada saluran cerna,terutama berupa mual dan hilang nafsu makan, merupakan efek samping yang paling sering dijumpai.

Efek samping pada susunan syaraf pusat umumnya bersifat ringan berupa sakit kepala, vertigo, dan insomnia. Efek samping yang lebih berat dari Kuinolon seperti psikotik, halusinasi, depresi dan kejang jarang terjadi. Penderita berusia lanjut, khususnya dengan arteriosklerosis atau epilepsi, lebih cenderung mengalami efek samping ini.

Enoksasin menghambat metabolisme Teofilin dan dapat menyebabkan peningkatan kadar Teofilin. Siprofloksasin dan beberapa Kuinolon lainnya juga memperlihatkan efek ini walaupun tidak begitu dramatis.

13

Page 15: REFERAT demam tifoid

Tabel 1. Antibiotika pilihan untuk tifoid

14

Page 16: REFERAT demam tifoid

Untuk kasus tifoid toksik, pengobatan antibiotik ini ditambahkan dengan pemberian

deksametason intravena (3mg/kgBB diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan

dengan 1mg/kgBB tiap 6 – 48 jam). Mekanisme aksi deksametason dalam pengobatan

ensefalopati tifoid belum diketahui. Endotoksin yang dikeluarkan oleh S. typhi menstimulasi

makrofag untuk memproduksi monokin, asam arakidonat dan metabolitnya, dan spesies

oksigen bebas yang kemungkinan bertanggung jawan pada terjadinya efek toksik, secara

khusus pada pasien dengan ensefalopati tifoid. Deksametason mungkin menurunkan efek

fisiologis yang ditimbulkan dari produk makrofag dan bertindak sebagai antioksidan sehingga

menurunkan fatalitas. Edema serebelar dan kongesti vena otak sering ditemukan pada

ensefalopati tifoid, dan deksametason diperkirakan berperan dalam menurunkan kondisi ini.

15

Page 17: REFERAT demam tifoid

7. KOMPLIKASIKomplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian:

Komplikasi pada usus halus

Komplikasi diluar usus halus

Komplikasi pada usus halus:

Perdarahan usus

Perforasi usus

Peritonitis

Komplikasi diluar usus halus:

Bronkitis

Bronkopneumonia

Kolesistitis

Meningitis

Miokarditis

Kronik karier Ensofalopati

Ensefalopati merujuk pada seiap penyakit degeneratif pada otak. Terkadang, gejala

demam tifoid diikuti oleh suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran

akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, stupor atau koma) dengan atau tanpa

disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas

normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut tifoid toksik, ada juga yang

menyebutnya sebagai demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati atau demam tifoid

dengan toksemia.

Insidensi ensefalopati tifoid yang dilaporkan bervariasi antara 10-30%. Dalam ketiadaan

terapi yang tepat, case fatality ensefalopati tifoid tinggi, dimana dilaporkan sebanyak 56%.

Ensefalopati tifoid adalah gejala yang kompleks, menunjukkan gejala ensefalopati yang

terjadi selama periode serangan demam tifoid atau setelah penyakit demam tifoid. Istilah

ensefalopati digunakan karena adanya ketiadaan lengkap dari perubahan inflamatorik di otak

atau meninges, walaupun ada patologi sistem saraf yang mengindikasikan, misalnya

peningkatan tekanan intrakranial, dll. Telah diobservasi bahwa ensefalopati tifoid jarang

16

Page 18: REFERAT demam tifoid

terjadi pada orang-orang yang sudah bertumbuh dan lebih sering terjadi pada kelompok usia

lebih muda terutama usia antara 6-14 tahun.

Patogenesis yang jelas mengenai komplikasi ini belum diketahui. Gangguan metabolik,

toksemia, hiperpireksia dan perubahan otak non spesifik seperti edema dan perdarahan telah

menjadi hipotesis sebagai mekanisme yang kemungkinan terjadi. Proses patologis di otak

yang menyebabkan ensefalopati tifoid mungkin berhubungan dengan ensefalomyelitis

diseminata akut.

Manifestasi klinik :

Pasien dengan ensefalopati metabolik tergantung penyebabnya,usia dan keadaan

neural ( misalnya kapasitas untuk kompensasi pada suatu disfungsi),biasanya klinisnya mirip,

berupa penurunan kesadaran, kehilangan intelek progres (dementia), hypereksitasi seperti

dementia agitasi (dilirium) atau kejang (myoclonus general dan multifokal, kejang tonik-

klonik).

8. PROGNOSIS

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan

sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Dengan munculnya komplikasi seperti tifoid

toksik, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi

9. EPIDEMIOLOGITelah diobservasi bahwa ensefalopati tifoid jarang terjadi pada orang-orang yang

sudah bertumbuh dan lebih sering terjadi pada kelompok usia lebih muda terutama usia

antara 6-14 tahun

10. PENCEGAHAN

Usaha pencegahan dapat dibagi atas:

- Usaha terhadap lingkungan hidup

- Usaha terhadap manusia

Usaha terhadap lingkungan hidup:

- Penyediaan air minum yang memenuhi syarat

- Pembuangan kotoran manusia yanmg higienis

- Pembrantasan lalat

- Pengawasan terhadap penjual makanan

17

Page 19: REFERAT demam tifoid

Usaha terhadap manusia:

- Imunisasi

- Menemukan dan mengobati karier

- Pendidikan kesehatan masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

1. Pawito, EU, Demam Tifoid, Ilmu Penyakit Anak Diagnosa dan Penatalaksanaan, ed I,

Jakarta 2002

2. Widodo J. Demam tifoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M,

Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi kelima jilid III. Jakarta: Interna

Publishing; 2009. h.2797-8.

3. Pegues DA, Miller SI. Salmonellosis. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald

E, Hauser SL, Jameson JL, et al. Harrison's infectious disease. USA: McGraw-Hill;

2010. p.522

4. Guyton, Arthur C. & Hall, John E., Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta, 2008

5. Sherwood, Lauralee, Human Physiology : From Cell to System, 7th Edition,

Brooks/Cole Cengage Learning, Canada, 2010

6. Mentri Kesehatan, pedoman pengendalian demam tifoid , KMKRI NOMOR

364/MENKES/SKN/2006

18