referat anestesi
DESCRIPTION
Referat AnestesiTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas referat Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesiologi di
Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo, mengenai “Resistensi Pulmonal dan Sistemik”.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang dihadapi. Namun
penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan,
dorongan, dan bimbingan semua pihak, sehingga kendala - kendala yang penulis hadapi dapat
teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-
besarnya kepada Dr. Sanggam Simanjuntak, SpAn sebagai dokter pembimbing dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesiologi ini.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi saya dan para pembaca pada umumnya. Penulis
menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
diharapkan dari para pembaca.
Jakarta, 4 Agustus 2013
Calvindra Leenesa
(030.08.064)
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….1
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………2
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………........................3
1.1. PENGERTIAN RESISTENSI PULMONAL DAN
SISTEMIK……………………..3
1.2. PENGATURAN SIRKULASI
VASKULAR………………………………………….
BAB II PERKEMBANGAN ALIRAN VASKULAR JANIN DAN BAYI……………………….
2.1. PROSES SIRKULASI DARAH JANIN………………………………………………
2.2. PROSES SIRKULASI DARAH JANIN SETELAH LAHIR…………………………
BAB III PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN RESISTENSI VASKULAR……...
3.1. HIPERTENSI PULMONAL…………………………………………………………..
3.2. COR PULMONALE…………………………………………………………………...
BAB IV KESIMPULAN…………………………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pengertian Resistensi Pulmonal dan Sistemik
Resistensi aliran darah adalah merupakan hambatan aliran darah dalam pembuluh tetapi tidak
dapat diukur dengan cara apapun, sebaliknya retensi harus dihitung dari pengukuran aliran darah
dan perbedaan tekanan anatara 2 titik didalam pembuluh. Bila perbedaan tekanan antara 2 titik
adalah 1 mmHg dan aliran darah ml/detik maka resistensinya dikatakan sebesar 1 satuan
resistensi perifer (PRU).
Resistensi Vaskular Sistemik (SVR) adalah tekanan sirkulasi sistemik yg harus diatasi oleh
ventrikel kiri (LV) untuk memompa darah keseluruh tubuh. Resistensi Pulmonal (PVR) tidak
secara langsung mempengaruhi CO tapi penting, karena ventrikel kanan (RV) harus
memompakan darah tersebut ke sirkulasi pulmonal.
Kecepatan aliran darah yang melalui seluruh sistem sirkulasi sama dengan kecepatan pompa
darah oleh jantung yakni sama dengan curah jantung pada orang dewasa kecepatannya sekitar
100 ml/detik perbedaan tekanan arteri sistemik sampai vena sistemik adalah sekitar 100mmHg,
oleh karena itu resistensi di seluruh sirkulasi sistemik yang disebut resistensi perifer total adalah
sekitar 100/100 atau 1 PRU.
Pada keadaan dimana seluruh pembuluh darah berkonstriksi dengan kuat maka resistensi
perifer total kadang – kadang meningkat menjadi sebesar 4 PRU sebaliknya bila semuia
pembuluh berdilatasi kuat maka resistensi ini dapat menurun sampai sekecil 0.2 PRU. Dalam
sistem paru, tekanan arteri pulmonalis rata-rata adalah 16 mmHg dan tekanan atrium kiri rata-
rata adalah 2 mmHg sehingga selisih tekanan adalah 14 mmHg.
3
1.2. Pengaturan Sirkulasi Vaskular
Zat Vasokonstriktor
Norepinefrin dan Epinefrin
Norepinefrin merupakan vasokontriktor amat kuat, ketika terjadi stress atau ketika olahraga,
system saraf simpatis pada masing-masing jaringan akan melepaskan norepinefrin, yang akan
merangsang jantung dan konstriksi vena dan areteriol.
Epinefrin merupakan vasokonstriktor yang tidak kuat, bahkan menyebabkan vasodilatasi
ringan, missal pada jantung untuk mendilatasi areteri coroner selama peningkatan aktivitas
jantung.
Norepinefrin dan Epinefrin juga disekresikan ke dalam darah oleh saraf simpatis di medulla
adrenal. Akibatnya, menyebabkan efek perangsangan yang hampir sama dengan saraf
parasimpatis. Sehingga terdapat 2 sistem pengaturan, yaitu :
Perangsangan saraf secara langsung
Efek tidak langsung dari norepinefrin atau epinefrin di dalam darah
Angiostensin II
Merupakan vasokontriktor yang kuat untuk mengkonstriksi arteri kecil. Apabila angiostensin
II berada di area yag terisolasi, maka aliran darah akan berkurang. Angiostensin II bekerja
normal pada arteriol untuk meningkatkan tahanan peifer total dan meningkatkan tekanan arteri.
Jadi, hormon berperan secara intergral dalam pengaturan tekanan arteri.
Vasopresin
Dibentuk di sel saraf dalam hipotalamus-hipofisis posterior. Dalam keadaan normal, hanya di
sekresikan dalam jumlah sedikit. Dapat meningkatkan arteri sebesar 60 mmHg. Fungsi, untuk
meningkatkan reabsorpsi air dari tubulus renal dalam darah, serta mengatur volum cairan tubuh.
4
Endotelin
Merupakan Vasokonstriktor kuat dalam pembuluh darah yang rusak. Merupakan ikatan
peptide besar yang terdiri dari 21 asam amino, yang terdapat di sel endotel. Pada saat ada
kerusakan, jejas pada endotel, misal kerusakan yang disebabkan oleh cedera jaringan, setelah
terjadi kerusakan maka pelepasan endotelin lokal dan vasokonstriksi akan membantu mencegah
perdarahan yang berlebihan.
Zat Vasodilator
Bradikinin
Fungsi, menyebabkan dilatasi kuat arteriol dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Dalam
pengaturan aliran darah dan bocornya cairan dari kapiler pada jaringan yang radang, serta
berperan dalam penagturan darah di kulit dan di kelenjar liur, kelenjar gastrointestinal. Asalnya,
kalikrein yang terdapat dalam darah tidak aktif lalu di aktifasi oleh adanya maserasi darah,
radang sehingga kalikrein akan aktif lalu akan bekerja bersama dengan alfa-globulin untuk
mengaktifkan kalidin, lalu kalidin berubah menjadi bradikinin, bradikinin bekerja secara cepat
dan dalam beberapa menit karena akan segera di inkatifkan oleh enzim karboksipeptidasi.
Histamin
Dikeluarkan di jaringan tubuh ketika mengalami kerusakan. Berasal dari sel mast (dalam
jaringan rusak) dan basofil dalam darah. Fungsi, meningkatkan porositas kapiler dengan hebat,
sehingga timbul kebocoran cairan dan protein plasma ke dalam jaringan. Efeknya akan
menimbulkan vasodilatasi local dan edema saat terjadi selama reaksi alergi.
5
BAB II
PERKEMBANGAN ALIRAN VASKULAR JANIN DAN BAYI
Sirkulasi darah janin dalam rahim tidak sama dengan sirkulasi darah pada bayi, anak dan
orang dewasa. Pada janin organ vital untuk metabolisme masih belum berfungsi. Organ tersebut
adalah paru janin dan alat gastrointestinal yang seluruhnya diganti oleh plasenta. Dengan tidak
berfungsinya mekanisme tersebut, harus terdapat mekanisme yang berfungsi sebagai alat ganti
untuk; (1) Paru Janin terjadi pergantian O2 dengan CO2 melalui plasenta sehinggga paru-paru
tidak memerlukan aliran darah (2) Gastro intestinal yang belum berfungsi sebagai alat
penyerapan nutrisi, maka pembuluh darahnya digunakan untuk tumbuh kembang sendiri.
Perbedaan antara sirkulasi darah janin intra uterine dan ekstra uterine; (1) Aliran darah arteri
pulmonalis dari ventrikel kanan, darahnya akan dialirkan menuju aorta melalui arteria duktus
Bothaki (2) Darah dari vena umbilikal melalui hepar langsung menuju vena cava inferior
melalui duktus venous aranthii (3) Darah dari vena cava inferior menuju jantung sebagian
langsung menuju atrium kiri melalui foramen ovale (4) Sebagian menuju ventrikel kiri dan
selanjutnya ke aorta sebagian besar digunakan untuk konsumsi O2 dan nutrisi susunan saraf
pusat jantung.
Faktor-faktor yang mentukan sirkulasi darah janin; (1) Foramen Ovale adalah lubang antara
atrium kanan dan atrium kiri, aliran darahnya dari atrium kanan ke atrium kiri, setelah janin lahir
akan menutup, (2) Duktus Arteriosus Bothalii adalah pembuluh yang menghubungkan arteri
pulmonalis dengan aorta, menutup setelah lahir, (3) Duktus Venousus Aranthii adalah pembuluh
yang berada dalam hepar menuju vena cava inferior, menutup setelah lahir, (4) Vena Umbilcalis
berjumlah dua buah, membawa zat makanan dan O2 dari sirkulasi darah ibu (plasenta) ke
peredaran darah janin, (5) Arteri Umbilicalis berjumlah dua buah, membawa sisa zat makanan
6
dan CO2 dari janin ke sirkulasi darah ibu, pembuluh darah yang menghubungkan vena
umbilikalis dengan vena cava inferior, (6) Palsenta adalah jaringan yang menempel pada
endometrium, tempat pertukaran antara darah janin dengan darah ibu.
2.1. Proses Sirkulasi Darah Janin
(1) Darah janin dialirkan ke plasenta melalui aa umbilicaliesyang membawa bahan makanan
yang berasal dari ibu.
(2) Darah ini akan masuk ke badan janin melalui vena umbilikacalis yang bercabang dua setelah
memasuki dinding perut janin.
(3) Cabang yang kecil akan bersatu dengan vena porta, darahnya akan beredar dalam hati dan
kemudian dianggkut melalui vena cava hepatica kedalam vena cava inferior. Dan cabang satu
lagi ductus venusus aranthii, akhirnya masuk ke vena cava inferior. Sebagian O2 dalam darah
vena umbilikalis akan direabsorbsi sehingga konsentrasi O2 menurun.
(4) Vena cava inferior, langsung masuk ke atrium kanan, darah ini merupakan darah yang
berkonsentrasi tinggi nutrisi dan O2 yang sebahagian menuju ventrikel kanan dan sebahagian
besar menuju atrium kiri melalui foramen ovale.
(5) Dari ventrikel kanan masuk ke paru-paru, tetapi karena paru-paru belum berkembang maka
darah yang tredapat pada arteri pulmonalis dialirkan menuju aorta melalui ductus arteriosus
Bothalli. Darah yang ke paru-paru bukan untuk pertukaran gas tetapi untuk memberi makanan
kepada paru-paru yang sedang tumbuh.
(6) Darah yang berada di aorta disebarkan ke alat-alat badan, tetapi sebelumnya darah menuju
ke aa. hypogastricae ( cabang dari arteri iliaca comunis ) lalu ke aa. Umbilicalles dan
selanjutnya ke plasenta.
(7) Selanjutnya sirkulasi darah janin akan berulang kembali. Menerima nutrisi dan O2 dari
plasenta melalui ductus venousus aranthii, menuju vena cava inferior yang kaya akan O2 dan
nutrisi.
7
Gambar Sirkulasi Darah Janin
2.2. Sirkulasi Darah Janin Setelah Lahir
Pada saat persalinan sebagian besar bayi langsung menangis maka akan terjadi perubahan
besar terhadap sirkulasi darah, diantaranya adalah:
(1) Paru-paru berkembang dengan sempurna dan langsung dapat berfungsi untuk pertukaran O2
dan CO2. Akibat perkembangan paru-paru terjadi perubahan sirkulasi darah diantaranya adalah;
(a) arteri pulmonalis kini langsung mengalirkan darah ke paru sehingga ductus arteriosus
bothalli akan menutup (b) perkembangan paru-paru menyebabkan tekanan negative pada
atrium kiri, karena darah diserahkan langsung oleh ventrikel kanan dan dialirkan menuju paru-
paru yang telah berfungsi (c) akibat tekanan negatif pada atrium kanan, foramen ovale akan
menutup dengan sendirinya dan tidak lagi menjadi tempat aliran darah menuju atrium kiri.
(2) Pemotongan Tali Pusat
a. Tali pusat di potong setelah bayi menangis dengan nyaring sehingga akan menambah jumlah
darah bayi sekitar 50 %.
b. Dengan dilakukannya pemotongan tali pusat berarti perubahan sirkulasi pada bayi telah
berubah menjadi sirkulasi orang dewasa.
8
BAB III
PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN RESISTENSI VASKULAR
PULMONAL DAN SISTEMIK
3.1. Hipertensi Pulmonal
Definisi
Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah
pada pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan pada
saat melakukan aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi pulmonal dapat menjadi penyakit
berat yang ditandai dengan penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung
kanan. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Dr Ernst von Romberg pada tahun 1891.
Hipertensi pulmonal terbagi atas hipertensi pulmonal primer dan sekunder. Hipertensi
pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak diketahui penyebabnya sedangkan
hipertensi pulmonal sekunder adalah hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh kondisi medis
lain. Istilah ini saat ini menjadi kurang populer karena dapat menyebabkan kesalahan dalam
penanganannya sehingga istilah hipertensi pulmonal primer saat ini diganti menjadi Hipertensi
Arteri Pulmonal Idiopatik.
Etiologi
Penyebab tersering dari hipertensi pulmonal adalah gagal jantung kiri. Hal ini disebabkan
karena gangguan pada bilik kiri jantung akibat gangguan katup jantung seperti regurgitasi (aliran
balik) dan stenosis (penyempitan) katup mitral. Manifestasi dari keadaan ini biasanya adalah
terjadinya edema paru (penumpukan cairan pada paru).
Patogenesis
Hipertensi pulmonal dapat menyebabkan pengerasan pembuluh darah pada dan di dalam
paru. Hal ini memperberat kerja jantung dalam memompa darah ke paru. Lama-kelamaan
pembuluh darah yang terkena akan menjadi kaku dan menebal hal ini akan menyebabkan
9
tekanan dalam pembuluh darah meningkat dan aliran darah juga terganggu. Hal ini akan
menyebabkan bilik jantung kanan membesar sehingga menyebabkan suplai darah dari jantung ke
paru berkurang sehigga terjadi suatu keadaan yang disebut dengan gagal jantung kanan. Sejalan
dengan hal tersebut maka aliran darah ke jantung kiri juga menurun sehingga darah membawa
kandungan oksigen yang kurang dari normal untuk mencukupi kebutuhan tubuh terutama pada
saat melakukan aktivitas.
Gejala dan Tanda Klinis
Gejala yang timbul biasanya berupa; sesak nafas yang timbul secara bertahap, kelemahan,
batuk tidak produktif, pingsan atau sinkop, edema perifer (pembengkakan pada tungkai terutama
tumit dan kaki) dan gejala yang jarang timbul adalah hemoptisis (batuk berdarah).
Hipertensi Arteri Pulmonal biasanya tidak disertai gejala orthopnea (sesak nafas akibat
perubahan posisi) atau Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (sesak nafas pada saat tidur). Gejala-
gejala tersebut biasanya timbul pada Hipertensi Vena Pulmonal.
Rasa nyeri akibat hipertensi pulmonal akut dirasakan ditengah-tengah dada seperti digencet
dan diperas dan seringdikacaukan dengan rasa nyeri akibat infark miokard. Bedanyaialah rasa
nyeri akibat hipertensi pulmonal akut tidak menjalar ke bahu, ke punggung dan ke bawah rahang.
Biasanyadirasakan retrosternal dalam dan penderita merasa cemasdan takut akan mati. Rasa
nyeri ini timbul akibat pelebaranpembuluh darah secara mendadak.
10
Tanda hipertensi pulmonal berupa; distensi vena jugularis, impuls ventrikel kanan dominan,
komponen katup paru menguat, S3 jantung kanan, murmur trikuspid, hepatomegali, edema
perifer.
Diagnosis
Untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal, dokter dapat melakukan satu atau lebih tes untuk
mengevaluasi kerja jantung dan paru-paru pasien. Hal ini termasuk X-ray di daerah dada untuk
menunjukkan pembesaran dan ketidaknormalan pembuluh paru-paru, echocardiograms yang
menunjukkan visualisasi jantung, mengukur besar ukuran jantung, fungsi dan aliran darah, dan
mengadakan pengukuran tidak langsung terhadap tekanan di pembuluh paru-paru.
Penatalaksanaan
Pengobatan hipertensi pulmonal bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi jantung kiri dengan
menggunakan obat-obatan seperti : diuretik, beta-bloker dan ACE inhibitor atau dengan cara
memperbaiki katup jantung mitral atau katup aorta (pembuluh darah utama). Pada hipertensi
pulmonal pengobatan dengan perubahan pola hidup, diuretik, antikoagulan dan terapi oksigen
11
merupakan suatu terapi yang lazim dilakukan, tetapi berdasar dari penelitian terapi tersebut
belum pernah dinyatakan bermanfaat dalam mengatasi penyakit tersebut.
Obat-obatan vasoaktif
Obat-obat vasoaktif yang digunakan pada saat ini antara lain adalah antagonis reseptor
endotelial, PDE-5 inhibitor dan derivat prostasiklin. Obat-obat tersebut bertujuan untuk
mengurangi tekanan dalam pembuluh darah paru. Sildenafil adalah obat golongan PDE-5
inhibitor yang mendapat persetujuan dari FDA pada tahun 2005 untuk mengatasi hipertensi
pulmonal
Untuk vasodilatasi pada paru, ada beberapa obat-obatan yang dapat digunakan. Antara
lain Beraprost sodium (Dorner), infus PGI, Injeksi lipo PGE-1, ACE Inhibitor, Antagonis
Kalsium dan Inhalasi NO. Beraprost sodium efeknya tidak hanya sebagai vasodilator, tetapi juga
efek pleiotropik, seperti menghambat agresi platelet, mencegah cedera sel endotel dan
memperbaiki cedera sel endotel.
3.2. Cor Pulmonale
Definisi
Cor pulmonale merupakan suatu keadaan dimana timbul hipertrofi dan dilatasi ventrikel
kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan; timbul akibat penyakit yang menyerang struktur
atau fungsi paru-paru atau pembuluh darahnya. Definisi ini menyatakan bahwa penyakit jntung
kiri maupun penyakit jantung bawaan tidak bertanggung jawab atas patogenesis kor pulmonale.
Cor pulmonale bisa terjadi akut (contohnya, emboli paru-paru masif) atau kronik.
Fungsi Normal dari Sirkulasi Paru-paru.
Sirkulasi paru-paru terletak diantara ventrikel kanan dan kiri untuk tujuan pertukaran gas.
Dalam keadaan normal, aliran darah dalam anyaman vaskuler paru-paru tidak hanya tergantung
12
dari ventrikel kanan tetapi juga dari kerja pompa pada pergerakan pernapasan. Karena sirkulasi
paru-paru normal merupakan sirkulasi yang bertekanan dan resistensi rendah; maka curah
jantung dapat meningkat sampai beberapa kali (seperti yang terjadi pada waktu latihan fisik)
tanpa peningkatan bermakna dari tekanan arteria pulmonalis. Keadaan ini dapat terjadi karena
besarnya kapasitas anyaman vaskuler paru-paru, dimana perfusi normal hanya 25% dalam
keadaan istirahat, serta kemampunan untuk menggunakan lebih banyak pembuluh sewaktu
latihan fisik.
Etiologi dan Patofisiologi
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan cor pulmonale adalah penyakit yang secara
primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-paru berulang, dan penyakit
yang mengganggu aliaran darah paru-paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif.
PPOM terutama jenis bronkitis, merupakan penyebab tersering dari cor pulmonale. Penyakit-
penyakit pernapasan restriktif yang menyebabkan kor pulmonal dapat berupa penyakit-penyakit
”intrinsik” seperti fibrosis paru-paru difus, dan kelainan ”ektrinsik” seperti obesitas yang
ekstrim, kifoskoliosis, atau gangguan neuromuskuler berat yang melibatkan otot-otot pernapasan.
Akhirnya, penyakit vaskuler paru-paru yang mengakibatkan obstruksi terhadap aliran darah dan
cor pulmonale cukup jaran terjadi dan biasanya merupakan akibat dari emboli paru-paru
berulang.
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonale biasanya terjadi peningkatan
resistensi vaskuler paru-paru dan hipertensi pulmonar. Hipertensi pulmonar pada akhirnya
meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan
kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada
peningkatan resistensi vaskuler paru-paru pada arteria dan arteriola kecil.
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru-paru adalah :
1. Vasokontriksi hipoksik dari pembuluh darah paru-paru.
2. Obstruksi dan/atau obliterasi anyaman vaskuler paru-paru.
Mekanisme yang pertama tampaknya paling penting dalam patogenesis kor pulmonale.
Hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis yang merupakan ciri khas dari PPOM bronkitis lanjut
13
adalah contoh yang paling baik untuk menjelaskan bagaimana kedua mekanisme itu terjadi.
Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang lebih kuat untuk menimbulkan
vasokontriksi pulmonar daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan
terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat
terhadap hipoksia akut. Asidosis, hiperkapnea dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam
menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia
dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnea, juga ikut
meningkatkan tekanan arteria paru-paru.
Mekanisme kedua yang turut meningkatkann resistensi vaskuler dan tekanan arteria paru-
paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema dicirikan oleh kerusakan bertahap dari struktur
alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya.
Hilangnya pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler.
Selain itu, pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru-paru juga tertekan dari luar karena
efek mekanik dari volume paru-paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi
anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam
patogenesis cor pulmonale. Kira-kira duapertiga sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler
harus mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteria paru-paru
yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan
penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusi-
ventilasi.
Gejala Klinis
Diagnosis cor pulmonale terutama berdasarkan pada dua kriteria yaitu:
1. Adanya penyakit pernapasan yang disertai hipertensi pulmonal.
2. Bukti adanya hipertrofi ventrikel kanan.
Adanya hipoksemia menetap, hiperkapnea, dan asidosis atau pembesaran ventrikel kanan
pada radiogram menunjukan kemungkinan penyakit paru-paru yang mendasarinya. Adanya
emfisema cenderung mengaburkan gambaran diagnosis kor pulmonale. Dispnea timbul sebagai
gejala emfisema dengan atau tanpa kor pulmonale. Dispnea yang memburuk dengan mendadak
14
atau kelelahan, siknop pada waktu bekerja, atau rasa tidak enak angina pada substernal
mengisyaratkan keterlibatan jantung. Tanda-tanda fisik dari hipertensi pulmonal berupa kuat
angkat sistolik pada area parasternal, mengerasnya bunyi pulmonik kedua,dan bising akibat
insufisiensi katup trikispidalis dan pulmonalis, irama gallop (S3 dan S4) distensi vena jugularis
dengan gelombang A yang menonjol, hepatomegali, dan edema perifer dapat terlihat pada pasien
dengan gagal ventrikel kanan.
Penatalaksanaan
Penanganan cor pulmonle ditujukan untuk memperbaiki hipoksia alveolar (dan vasokontriksi
paru-paru yang diakibatkanya) dengan pemberian oksigen konsentrasi rendah dengan hati-hati.
Pemakaian O2 yang terus menerus dapat menurunkan hipertensi pulmonal, polisitemia, dan
takipnea; memperbaiki keadaan umum, dan mengurangi mortalitas (kersten,1989). Bronkodilator
dan antibiotik membantu meredakan obstruksi aliran udara pada pasien-pasien PPOM (COPD).
Pembatasan cairan yang masuk dan diuretik mengurangi tanda-tanda yang timbul akibat gaagal
ventrikel kanan. Terapi antikoagulansia jangka panjang diperlukan jika terdapat emboli paru-
paru berulang.
15
BAB IV
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
17