reeferat pneumokoniosis
TRANSCRIPT
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
1/16
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi dan industri berdampak pula pada kesehatan.
Industri menimbulkan polusi udara baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja
sehingga mempe ngaruhi sistem respirasi. Berbagai kelainan saluran napas dan
paru pada pekerja dapat terjadi akibat pengaruh debu, gas ataupun asap yang
timbul dari proses industri .1 Pneumokoniosis merupakan salah satu penyakit
utama akibat kerja, terjadi hampir di seluruh dunia dan merupakan masalah yang
mengancam para pekerja. Data World Health Organi zation (WHO) tahun 1999
menunjukkan bahwa terdapat 1,1 juta kematian oleh penyakit akibat kerja di
seluruh dunia, 5% dari angka tersebut adalah pneumokoniosis. Pada survei yang
dilakukan di Inggris secara rutin yaitu surveillance of work related and
occupational respiratory disease (SWORD) menunjukkan pneumokoniosis hampir
selalu menduduki peringkat 3-4 setiap tahun. 1
Pneumokoniosis sudah dikenal lama sejak manusia mengenal proses
penambangan mineral. Berbagai jenis debu mineral dapat menimbulkan
pneumokoniosis. 3,4,5 Debu asbes dan silika serta batubara merupakan penyebab
utama pneumokoniosis. Debu mineral lainnya dapat juga menyebabkan
pneumokoniosis. Pneumokoniosis baru tampaksecara klinis dan radiologis setelah
pajanan debu ber langsung 20-30 tahun. 4,5
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
2/16
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu pneumo berarti
paru dan konis berarti debu. Terminologi pneumokoniosis pertama kali
digunakan untuk menggambarkan penyakit paru yang berhubungan dengan
inhalasi debu mineral .3 Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan berbagai
keadaan berikut: 6,7
1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika
(silikosis), asbes (asbestosis) dan timah (stannosis)
2. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara
3. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis)
Istilah pneumokoniosis seringkali hanya dihubungkan dengan inhalasi debu
anorganik. Definisi pneumoconiosis adalah deposisi debu di dalam paru dan
terjadinya reaksi jaringan paru akibat deposisi debu tersebut. 4,7 International
Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu
kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang menyebabkan
reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan debu di paru
adalah fibrosis. Istilah pneumokoniosis ini dibatasi pada kelainan reaksi non-
neoplasma akibat debu tanpa memasukkan asma, penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) dan pneumonitis hipersensitif walaupun kelainan tersebut dapat terjadi
akibat pajanan debu dalam jangka lama. 3
2.2. Epidemiologi
Data prevalensi pneumokoniosis bervariasi pada tiap negara di dunia. Data
SWORD di Inggris tahun 1990-1998 menunjukkan kasus pneumokoniosis sebesar
10%. Di Kanada, kasus pneumokoniosis pada tahun 1992-1993 sebesar 10%,
sedangkan data di Afrika Selatan tahun 1996-1999 sebesar 61%. 5 Jumlah kasus
kumulatif pneumokoniosis di Cina dari tahun 1949-2001 mencapai 569 129 dan
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
3/16
16
sampai tahun 2008 mencapai 10 963 kasus.10 Di Amerika Serikat, kematian
akibat pneumokoniosis tahun 1968-2004 mengalami penurunan, pada tahun 2004
ditemukan sebanyak 531 kasus kematian. 4 Silikosis, asbestosis dan
pneumokoniosis batubara merupakan jenis pneumokoniosis terbanyak. Data di
Australia tahun 1979-2002 menyebutkan, terdapat >1000 kasus pneumokoniosis
terdiri atas 56% asbestosis, 38% silikosis dan 6% pneumokoniosis batubara. 6
Prevalensi pneumokoniosis batubara di berbagai pertambangan di Amerika
Serikat dan Inggris bervariasi (2,5-30%) tergantung besarnya kandungan batubara
pada daerah pertambangan tersebut. Studi surveilans yang dilakukan di Michigan,
Amerika Serikat, antara tahun 1987 hingga 1995 menunjukkan bahwa 60% lebih
dari 577 pekerja pabrik/ pertambangan yang telah bekerja selama minimal 20
tahun menderita silikosis. Tahun 1996 silikosis dilaporkan terjadi pada 60 orang
dari 1072 pekerja pabrik mobil. Risiko penyakit ini meningkat seiring dengan
lama pajanan terhadap partikel silika. Sebanyak 12% pekerja dengan masa kerja
lebih dari 30 tahun menderita silikosis. 7 Data prevalensi pneumokoniosis nasional
di Indonesia belum ada. Data yang ada adalah penelitian-penelitian berskala kecil
pada berbagai industri yang berisiko terjadi pneumokoniosis. Dari beberapa
penelitian tersebut ditemukan prevalensi pneumokoniosis bervariasi 0,5-9,8%.
Penelitian Darmanto et al. di tambang batubara tahun 1989 menemukan
prevalensi pneumokoniosis batubara sebesar 1,15%. 7 Data penelitian di Bandung
tahun 1990 pada pekerja tambang batu menemukan kasus pneu-mokoniosis
sebesar 3,1%. Penelitian oleh Bangun et al. tahun 1998 pada pertambangan batu
di Bandung menemukan kasus pneumokoniosis sebesar 9,8%. 6 Kasmara (1998)
pada pekerja semen menemukan kecurigaan pneumokoniosis 1,7%. Penelitian
OSH center tahun 2000 pada pekerja keramik menemukan silikosis sebesar 1,5%. 1
Penelitian Pandu et al. di pabrik pisau baja tahun 2002 menemukan 5% gambaran
radiologis yang diduga pneumoko niosis. Damayanti et al. pada pabrik semen
menemukan kecurigaan pneumokoniosis secara radiologis sebesar 0,5%. 1
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
4/16
16
2.3. Jenis Pneumokoniosis
Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya, pajanan
asbes menyebabkan asbestosis, debu silika berhubungan dengan silikosis, debu
batubara menye babkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain. 3 Secara ringkas
beberapa yang dikategorikan pneumoconiosis berdasarkan jenis debu
penyebabnya terlihat pada tabel 1.
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
5/16
16
2.4. Patogenesis
Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneu mokoniosis adalah
partikel debu dan respons tubuh mokoniosis adalah partikel debu dan respons
tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut. Komposisi kimia,
sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi
pneumokoniosis. Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveolar
memegang peranan penting dalam patogenesis pneumokoniosis. Debu berbentuk
quartz lebih sitotoksik dibandingkan yang sulit larut. Sifat kimiawi permukaan
partikel debu yaitu aktivitas radikal bebas dan kandunganbesi juga merupakan hal
yang terpenting pada patogenesispneumokoniosis. 2
Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons makrofag alveolar
terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh
makrofag dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel
debu. 2 Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu.
Jika pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi
awal. Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas
bawah. Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena
dapat menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak
diketahui. Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan
menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang
minimal. 6,7 Debu inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh
makrofag karena umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi
oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke
jaringan limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada
debu yang bersifat sitoktoksik, partikel debu yang difagositosis makrofag akan
menyebabkan kehancuran makrofag tersebut yang diikuti dengan fibrositosis. 2
Menurut Lipscomb, 2 partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk
mengeluarkan produk yang merupakan mediator suatu respons peradangan dan
memulai proses blast dan deposisi kolagen. Mediator yang paling banyak berperan
pada patogenesis pneumokoniosis adalah Tumor Necrosis Factor (TNF)- ,
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
6/16
16
Interleukin (IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming growth
factor (TGF)- . Sebagian besar mediator tersebut sangat penting untuk proses
fibrogenesis. 5 Mediator makrofag penting yang bertanggung jawab terhadap
kerusakan jaringan, pengumpulan sel dan stimulasi pertumbuhan fibroblast
adalah 2:
Radikal oksigen/spesies oksigen reaktif dan protease. Leukotrien LTB4 dan IL-8 yang bersifat kemotaksis terhadap leukosit. Sitokin IL-1, TNF- , fibronektin, PDGF dan IGF -1 yang berperan dalam
fibrogenesis.
Sitokin telah terbukti berperan dalam pathogenesis pneumokoniosis. Pappas 2
merangkum sitokin yang dihasilkan oleh makrofag alveolar dalam merespons
partikel debu yang masuk ke paru yang selanjutnya menyebabkan fibrosis pada
jaringan intertisial paru. Sitokin ini terdiri dari atas faktor fibrogenesis seperti
TNF- , PDGF, IGF -1 dan fibronektin serta faktor proinflamasi seperti LBT4, IL-
8, IL-6, MIP1a. Disamping proses fagositosis debu oleh makrofag alveolar, yang
lebih penting adalah interstisialisasi partikel debu tersebut. Bila partikel debu telah
difagositosis oleh makrofag dan ditransfer ke sistem mukosilier maka proses
pembersihan debu yang masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil.
Hilangnya integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag
alveolar merupakan kejadian awal proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila
partikel debu telah masuk dalam interstitial maka nasibnya ditentukan oleh
makrofag interstitial, difagositosis untuk kemudian di transfer ke kelenjar getah
bening mediastinum atau terjadi sekresi mediator inflamasi kronik pada
interstitial. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1
menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah pneumokoniosis. 2 Sifat toksisitas
debu menentukan reaksi jaringan yang terjadi pada pneumokoniosis. 2 Debu silika
dan asbes mempunyai efek biologis yang sangat kuat. Reaksi parenkim dapat
berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis, fibrosis difus pada
asbestosis dan pembentukan makula dengan emfisema fokal akibat debu batubara.
Gambaran fibrotik campuran dan tidak beraturan terjadi pada pajanan debu
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
7/16
16
campuran. 6,7 Empat gambaran respons patologi terlihat pada pneumokoniosis
yaitu fibrosis interstisial, fibrosis nodular, fibrosis nodular dan interstisial serta
emfisemafokal dan pembentukan makula. 4
2.5. Diagnosa
Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala
klinis. Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis
pneumokoniosis. Pertama, pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang
dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten
yang mendukung. Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang teliti mengenai
kadar debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri
serta kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja. Gejala
seringkali timbul sebelum kelainan radiologis seperti batuk produktif yang
menetap dan atau sesak napas saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun
setelah pajanan. Kedua, gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan
radiologi dapat membantu menentukan jenis pneumokoniosis. Gejala dan tanda
gangguan respirasi serta abnormalitas faal paru sering ditemukan pada
pneumokoniosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis pneumokoniosis.
Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai
pneumokoniosis. Pneumokoniosis kemungkinan mirip dengan penyakit interstisial
paru difus seperti sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau interstitial
lung disease (ILD) yang berhubungan dengan penyakit kolagen vaskular. 5
Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu dalam
diagnosis pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan
analisis debu penyebab.
1. Pemeriksaan Radiologi
Foto Toraks
Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut International Labour
Organization (ILO) untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus
yang terjadi. Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan epidemiologik penyakit
paru akibat kerja dan mungkin untuk membantu interpretasi klinis.3
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
8/16
16
Perselubungan pada pneumokoniosis dibagi dua golongan yaitu perselubungan
halus dan kasar. Klasifikasi standar ILO tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
9/16
16
Berbagai Jenis Utama Bayangan Paru. 2
a. Penampakan normal
Paru tampak translusen dengan hanya memperlihatkan cabang- cabang arteri dan
vena pulmonalis. Tidak terdapat bayangan lain. 2
Gambar 2.1. Lapangan Paru Normal
b. Bayangan Retikuler/intertisial
Bayangan ini dihasilkan oleh penebalan jaringan di sekeliling alveolus, interstisial
paru, dan divisualisasi sebagai pola percabangan liniear halus dan kasar. Berbagai
kondisi yang biasa menyebabkan bayangan seperti ini adalah fibrosis paru dan
Pneumokoniosis.
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
10/16
16
Gambar 2.2. Bayangan Interstisial paru
c. Bayangan Nodular
Bayangan nodular dibentuk oleh lesi opak sferis diskret kecil berdiameter 1-5
mm. penyebabnya termasuk : tuberculosis milier, pneumoconiosis, sarkoidosis,
neoplasma, karsinomatosis milier dari tiroid, melanoma dan sebagainya. 2
Gambar 2.3. Bayangan Nodular
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
11/16
16
Gambar Pneumokoniosis dan Pajanan Asbestos
Gambar 2.4. Pneumokoniosis pada pekerja tambang batu bara;
terdapat nodular kasar.
Gambar 2.5. Plak-plak kalsifikasi pleura pada pajanan asbestos (tanda panah)
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
12/16
16
Computed Tomography (CT) scan
Computed tomography (CT) scan bukan merupakan bagian dari klasifikasi
pneumokoniosis secara radiologi. Pemeriksaan CT mungkin sangat bermanfaat
secara individual untuk memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang terjadi,
menilai luasnya emfisema dan perubahan pleura atau menilai ada tidaknya
nekrosis atau abses yang bersamaam dengan opasiti yang ada. 5 High resolution
CT (HRCT) lebih sensitif dibanding radiologi konvensional untuk evaluasi
abnormalitas parenkim pada asbestosis, silikosis dan pneumokoniosis lainnya.
Gambaran paling sering HRCT pada pneumokoniosis adalah nodular
sentrilobular atau high attenuation pada area percabangan seperti gambaran lesi
bronkiolar. Fibrosis interstisial mungkin bermanifestasi bronkiektasis traksi,
sarang tawon/honey comb atau hyperattenuation. Gambaran HRCT yang khas
pada silikosis,pneumokoniosis batubara dan asbestosis adalah terdapat opasitas
halus (small nodular opacities) yang predominan pada zona paru atas (upper
zone). Gambaran opasitas halus pada HRCT ada 2 karakteristik (1) ill-defined fine
branching lines dan (2) well-defined discrete nodules. Asbestosis menunjukkan
gambaran garis penebalan interlobular dan intralobular, opasitas subpleura atau
curvilinier dan honey comb, predominan terdistribusi pada basal paru. Gambaran
HRCT pada jenis pneumokoniosis lainnya bervariasi dan tidak spesifik, masing-
masing mempunyai karakteristiksendiri. 7
2. Pemeriksaan Faal Paru
Pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu studi epidemiologi
pekerja yang terpajan debu dan diagnosis penyakit paru akibat kerja. Pemeriksaan
faal paru memerlukan pemeriksaan volume paru dengan spirometri dan
pemeriksaan kapasitas difusi (DLco), 5 namun tidak selalu tersedia. Pemeriksaan
faal paru juga diperlukan untuk menilai hendaya yang telah terjadi. 3,5 Pada
pneumokoniosis dapat ditemukan nilai faal paru normal atau bisa juga terjadi
obstruksi, restriksi ataupun campuran. 3 Sebagian besar penyakit paru difus yang
disebabkan debu mineral berhubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi
fibrosis di parenkim paru. Pada kasus dengan fibrosis interstisial yang luas
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
13/16
16
umumnya terjadi penurunan kapasitas difusi. 7 Inflamasi, fibrosis dan distorsi
pada saluran napas dengan konsekuensi terjadi obstruksi saluran napas dapat
ditemukan pada beberapa kondisi. Karena tingginya prevalensi perokok pada
populasi pekerja industri, sering sulit dibedakan apakah obstruksi yang terjadi
karena efek debu terinhalasi atau efek rokok. 6
3. Analisis Debu Penyebab
Pada kondisi tertentu, diperlukan diagnosis pasti pajanan bahan di lingkungan
kerja dengan analisis bahan biologi (sputum, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsi
transbronkial atau biopsi paru terbuka) untuk melihat debu mineral atau produk
metabolismenya. 3 Pemeriksaan BAL membantu menegakkan diagnosis. Pada
pemeriksaan BAL dapat terlihat debu di dalam makrofag dan jenis debu
kemungkinan dapat diidentifikasi menggunakan mikroskop elektron. Pada kasus
asbestosis dapat ditemukan serat asbes dan asbestos body (AB) pada pemeriksaan
BAL. 5 AB adalah bahan yang terbentuk secara intraselular dan berasal dari
satu atau lebih makrofag alveolar yang bereaksi dengan serat asbes. Penemuan
AB menjadi stndar baku emas penegakkan diagnosis asbestosis. 6 Pada silikosis,
makrofag yang ditemukan dalam BAL berisi partikel granit yang semakin lama
riwayat pajanan terhadap debu granit maka akan semakin banyak ditemukan
makrofag tersebut. Selain itu, nodul silikotik dapat ditemukan pada pemeriksaan
histopatologi silikosis. 1
2.6. Tata Laksana
Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun
berkurang progresivitasnya hanya dengan menjauhi pajanan. Tata laksana medis
umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. 3 Tidak ada pengobatan yang
efektif yang dapat menginduksi regresi kelainan ataupun menghentikan
progesivitas pneumokoniosis. Pencegahan merupakan tindakan yang paling
penting. Regulasi dalam pekerjaan dan kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak
lama terutama di negara industri dan terus dilakukan dengan perbaikan-perbaikan.
Pada bentuk pneumokoniosis subakut dengan manfaat yang didapat untuk efek
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
14/16
16
jangka panjangnya terutama jika bahan penyebab masih ada di paru. Menjaga
kesehatan dapat dilakukan seperti berhenti merokok, pengobatan adekuat
dilakukan bila dicurigai terdapat penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan
pencegahan infeksi dengan vaksinasi dapat dipertimbangkan.
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
15/16
16
BAB III
KESIMPULAN
Pneumokoniosis merupakan keadaan yang disebabkan oleh inhalasi debu ke
dalam paru. Pasien memiliki riwayat pajanan terhadap debu. Berbagai jenis debu
mineral dapat menimbulkan pneumokoniosis. 3,4,5 Debu asbes dan silika serta
batubara merupakan penyebab utama pneumokoniosis. Debu mineral lainnya
dapat juga menyebabkan pneumokoniosis. Pneumokoniosis baru tampaksecara
klinis dan radiologis setelah pajanan debu ber langsung 20-30 tahun.Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya, pajanan
asbes menyebabkan asbestosis, debu silika berhubungan dengan silikosis, debu
batubara menye babkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain.
Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala klinis.
Tetapi ada beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu dalam
diagnosis pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan
analisis debu penyebab.
Pada gambaran radiologis tergantung pada apakah debu bersifat aktif atau
inaktif. Debu aktif misalnya dari debu silica dan batu bara merupakan penyebab
fibrosis paru difus yang poten, pada tahap awal gambaran yang khas berupa nodul
paru berukuran kecil. Debu inaktif misalnya besi oksida, kalsium dan barium pola
nodular halus, akibat deposit partikel debu. Dan debu organic, pajanan terhadap
debu organic juga dapat menyebabkan fibrosis paru misalnya paru pecinta burung,
paru petani;rumput, debu gula tebu, dan sebagainya.
-
7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS
16/16
16
DAFTAR PUSTAKA
1.
Susanto, DA. 2011. Pneumoconiosis. Journal Indonesia MedicalAssociation. 61(12): 503-510.
2. Patel, RP. 2007. Lecture Notes Radiologi. Pneumokoniosis. Erlangga.
Jakarta, Indonesia. Hal 28,29,49-51
3. Mangunnegoro H, Yunus F. Diagnosis penyakit paru kerja. In: Yunus F,
Rasmin M, Hudoyo A, Mulawarman A, Swidarmoko B, editor.
Pulmonologi klinik. 1st Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1992. p. 05-
42
4. Ngurah Rai IB. Pneumokoniosis. Patogenesis dan gangguan fungsi In:
Abdullah A, Patau J, Susilo HJ, Saleh K, Tabri NA, Mappangara, et al.
Naskah lengkap pertemuan ilmiah khusus (PIK) X Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia. Makassar: Sub-bagian paru Bagian Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003. p. 183-216
5. Cowie RL, Murray JF, Becklake MR. Pneumoconiosis. In: Mason RJ,
Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of Respiratory
Medicine. 4th Ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. p. 1748-82.
6. Morgan WKC. The depotition and clearance of dust from the lungs.
Their role in etiology of occupational lung disease. In: Morgan WKC,
Seaton A, editors. Occupational lung disease. 3 rd ed. Philadelphia: WB
Saunders Company; 1995. p. 111-26.
7. Demedts M, Nemey B, Elnes P. Pneumoconioses. In: Gibson GJ,
Gedder DM, Costales U, Sterk PJ, Cervin B, editor. Respiratory
Medicine. 3rd ed. London: Elsevier Science; 2003. p. 675-92.