reeferat pneumokoniosis

Upload: dian-cahaya-utami

Post on 03-Apr-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    1/16

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Perkembangan teknologi dan industri berdampak pula pada kesehatan.

    Industri menimbulkan polusi udara baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja

    sehingga mempe ngaruhi sistem respirasi. Berbagai kelainan saluran napas dan

    paru pada pekerja dapat terjadi akibat pengaruh debu, gas ataupun asap yang

    timbul dari proses industri .1 Pneumokoniosis merupakan salah satu penyakit

    utama akibat kerja, terjadi hampir di seluruh dunia dan merupakan masalah yang

    mengancam para pekerja. Data World Health Organi zation (WHO) tahun 1999

    menunjukkan bahwa terdapat 1,1 juta kematian oleh penyakit akibat kerja di

    seluruh dunia, 5% dari angka tersebut adalah pneumokoniosis. Pada survei yang

    dilakukan di Inggris secara rutin yaitu surveillance of work related and

    occupational respiratory disease (SWORD) menunjukkan pneumokoniosis hampir

    selalu menduduki peringkat 3-4 setiap tahun. 1

    Pneumokoniosis sudah dikenal lama sejak manusia mengenal proses

    penambangan mineral. Berbagai jenis debu mineral dapat menimbulkan

    pneumokoniosis. 3,4,5 Debu asbes dan silika serta batubara merupakan penyebab

    utama pneumokoniosis. Debu mineral lainnya dapat juga menyebabkan

    pneumokoniosis. Pneumokoniosis baru tampaksecara klinis dan radiologis setelah

    pajanan debu ber langsung 20-30 tahun. 4,5

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    2/16

    16

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Definisi

    Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu pneumo berarti

    paru dan konis berarti debu. Terminologi pneumokoniosis pertama kali

    digunakan untuk menggambarkan penyakit paru yang berhubungan dengan

    inhalasi debu mineral .3 Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan berbagai

    keadaan berikut: 6,7

    1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika

    (silikosis), asbes (asbestosis) dan timah (stannosis)

    2. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara

    3. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis)

    Istilah pneumokoniosis seringkali hanya dihubungkan dengan inhalasi debu

    anorganik. Definisi pneumoconiosis adalah deposisi debu di dalam paru dan

    terjadinya reaksi jaringan paru akibat deposisi debu tersebut. 4,7 International

    Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu

    kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang menyebabkan

    reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan debu di paru

    adalah fibrosis. Istilah pneumokoniosis ini dibatasi pada kelainan reaksi non-

    neoplasma akibat debu tanpa memasukkan asma, penyakit paru obstruktif kronik

    (PPOK) dan pneumonitis hipersensitif walaupun kelainan tersebut dapat terjadi

    akibat pajanan debu dalam jangka lama. 3

    2.2. Epidemiologi

    Data prevalensi pneumokoniosis bervariasi pada tiap negara di dunia. Data

    SWORD di Inggris tahun 1990-1998 menunjukkan kasus pneumokoniosis sebesar

    10%. Di Kanada, kasus pneumokoniosis pada tahun 1992-1993 sebesar 10%,

    sedangkan data di Afrika Selatan tahun 1996-1999 sebesar 61%. 5 Jumlah kasus

    kumulatif pneumokoniosis di Cina dari tahun 1949-2001 mencapai 569 129 dan

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    3/16

    16

    sampai tahun 2008 mencapai 10 963 kasus.10 Di Amerika Serikat, kematian

    akibat pneumokoniosis tahun 1968-2004 mengalami penurunan, pada tahun 2004

    ditemukan sebanyak 531 kasus kematian. 4 Silikosis, asbestosis dan

    pneumokoniosis batubara merupakan jenis pneumokoniosis terbanyak. Data di

    Australia tahun 1979-2002 menyebutkan, terdapat >1000 kasus pneumokoniosis

    terdiri atas 56% asbestosis, 38% silikosis dan 6% pneumokoniosis batubara. 6

    Prevalensi pneumokoniosis batubara di berbagai pertambangan di Amerika

    Serikat dan Inggris bervariasi (2,5-30%) tergantung besarnya kandungan batubara

    pada daerah pertambangan tersebut. Studi surveilans yang dilakukan di Michigan,

    Amerika Serikat, antara tahun 1987 hingga 1995 menunjukkan bahwa 60% lebih

    dari 577 pekerja pabrik/ pertambangan yang telah bekerja selama minimal 20

    tahun menderita silikosis. Tahun 1996 silikosis dilaporkan terjadi pada 60 orang

    dari 1072 pekerja pabrik mobil. Risiko penyakit ini meningkat seiring dengan

    lama pajanan terhadap partikel silika. Sebanyak 12% pekerja dengan masa kerja

    lebih dari 30 tahun menderita silikosis. 7 Data prevalensi pneumokoniosis nasional

    di Indonesia belum ada. Data yang ada adalah penelitian-penelitian berskala kecil

    pada berbagai industri yang berisiko terjadi pneumokoniosis. Dari beberapa

    penelitian tersebut ditemukan prevalensi pneumokoniosis bervariasi 0,5-9,8%.

    Penelitian Darmanto et al. di tambang batubara tahun 1989 menemukan

    prevalensi pneumokoniosis batubara sebesar 1,15%. 7 Data penelitian di Bandung

    tahun 1990 pada pekerja tambang batu menemukan kasus pneu-mokoniosis

    sebesar 3,1%. Penelitian oleh Bangun et al. tahun 1998 pada pertambangan batu

    di Bandung menemukan kasus pneumokoniosis sebesar 9,8%. 6 Kasmara (1998)

    pada pekerja semen menemukan kecurigaan pneumokoniosis 1,7%. Penelitian

    OSH center tahun 2000 pada pekerja keramik menemukan silikosis sebesar 1,5%. 1

    Penelitian Pandu et al. di pabrik pisau baja tahun 2002 menemukan 5% gambaran

    radiologis yang diduga pneumoko niosis. Damayanti et al. pada pabrik semen

    menemukan kecurigaan pneumokoniosis secara radiologis sebesar 0,5%. 1

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    4/16

    16

    2.3. Jenis Pneumokoniosis

    Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya, pajanan

    asbes menyebabkan asbestosis, debu silika berhubungan dengan silikosis, debu

    batubara menye babkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain. 3 Secara ringkas

    beberapa yang dikategorikan pneumoconiosis berdasarkan jenis debu

    penyebabnya terlihat pada tabel 1.

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    5/16

    16

    2.4. Patogenesis

    Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneu mokoniosis adalah

    partikel debu dan respons tubuh mokoniosis adalah partikel debu dan respons

    tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut. Komposisi kimia,

    sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi

    pneumokoniosis. Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveolar

    memegang peranan penting dalam patogenesis pneumokoniosis. Debu berbentuk

    quartz lebih sitotoksik dibandingkan yang sulit larut. Sifat kimiawi permukaan

    partikel debu yaitu aktivitas radikal bebas dan kandunganbesi juga merupakan hal

    yang terpenting pada patogenesispneumokoniosis. 2

    Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons makrofag alveolar

    terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh

    makrofag dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel

    debu. 2 Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu.

    Jika pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi

    awal. Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas

    bawah. Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena

    dapat menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak

    diketahui. Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan

    menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang

    minimal. 6,7 Debu inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh

    makrofag karena umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi

    oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke

    jaringan limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada

    debu yang bersifat sitoktoksik, partikel debu yang difagositosis makrofag akan

    menyebabkan kehancuran makrofag tersebut yang diikuti dengan fibrositosis. 2

    Menurut Lipscomb, 2 partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk

    mengeluarkan produk yang merupakan mediator suatu respons peradangan dan

    memulai proses blast dan deposisi kolagen. Mediator yang paling banyak berperan

    pada patogenesis pneumokoniosis adalah Tumor Necrosis Factor (TNF)- ,

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    6/16

    16

    Interleukin (IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming growth

    factor (TGF)- . Sebagian besar mediator tersebut sangat penting untuk proses

    fibrogenesis. 5 Mediator makrofag penting yang bertanggung jawab terhadap

    kerusakan jaringan, pengumpulan sel dan stimulasi pertumbuhan fibroblast

    adalah 2:

    Radikal oksigen/spesies oksigen reaktif dan protease. Leukotrien LTB4 dan IL-8 yang bersifat kemotaksis terhadap leukosit. Sitokin IL-1, TNF- , fibronektin, PDGF dan IGF -1 yang berperan dalam

    fibrogenesis.

    Sitokin telah terbukti berperan dalam pathogenesis pneumokoniosis. Pappas 2

    merangkum sitokin yang dihasilkan oleh makrofag alveolar dalam merespons

    partikel debu yang masuk ke paru yang selanjutnya menyebabkan fibrosis pada

    jaringan intertisial paru. Sitokin ini terdiri dari atas faktor fibrogenesis seperti

    TNF- , PDGF, IGF -1 dan fibronektin serta faktor proinflamasi seperti LBT4, IL-

    8, IL-6, MIP1a. Disamping proses fagositosis debu oleh makrofag alveolar, yang

    lebih penting adalah interstisialisasi partikel debu tersebut. Bila partikel debu telah

    difagositosis oleh makrofag dan ditransfer ke sistem mukosilier maka proses

    pembersihan debu yang masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil.

    Hilangnya integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag

    alveolar merupakan kejadian awal proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila

    partikel debu telah masuk dalam interstitial maka nasibnya ditentukan oleh

    makrofag interstitial, difagositosis untuk kemudian di transfer ke kelenjar getah

    bening mediastinum atau terjadi sekresi mediator inflamasi kronik pada

    interstitial. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1

    menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah pneumokoniosis. 2 Sifat toksisitas

    debu menentukan reaksi jaringan yang terjadi pada pneumokoniosis. 2 Debu silika

    dan asbes mempunyai efek biologis yang sangat kuat. Reaksi parenkim dapat

    berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis, fibrosis difus pada

    asbestosis dan pembentukan makula dengan emfisema fokal akibat debu batubara.

    Gambaran fibrotik campuran dan tidak beraturan terjadi pada pajanan debu

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    7/16

    16

    campuran. 6,7 Empat gambaran respons patologi terlihat pada pneumokoniosis

    yaitu fibrosis interstisial, fibrosis nodular, fibrosis nodular dan interstisial serta

    emfisemafokal dan pembentukan makula. 4

    2.5. Diagnosa

    Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala

    klinis. Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis

    pneumokoniosis. Pertama, pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang

    dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten

    yang mendukung. Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang teliti mengenai

    kadar debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri

    serta kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja. Gejala

    seringkali timbul sebelum kelainan radiologis seperti batuk produktif yang

    menetap dan atau sesak napas saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun

    setelah pajanan. Kedua, gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan

    radiologi dapat membantu menentukan jenis pneumokoniosis. Gejala dan tanda

    gangguan respirasi serta abnormalitas faal paru sering ditemukan pada

    pneumokoniosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis pneumokoniosis.

    Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai

    pneumokoniosis. Pneumokoniosis kemungkinan mirip dengan penyakit interstisial

    paru difus seperti sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau interstitial

    lung disease (ILD) yang berhubungan dengan penyakit kolagen vaskular. 5

    Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu dalam

    diagnosis pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan

    analisis debu penyebab.

    1. Pemeriksaan Radiologi

    Foto Toraks

    Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut International Labour

    Organization (ILO) untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus

    yang terjadi. Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan epidemiologik penyakit

    paru akibat kerja dan mungkin untuk membantu interpretasi klinis.3

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    8/16

    16

    Perselubungan pada pneumokoniosis dibagi dua golongan yaitu perselubungan

    halus dan kasar. Klasifikasi standar ILO tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    9/16

    16

    Berbagai Jenis Utama Bayangan Paru. 2

    a. Penampakan normal

    Paru tampak translusen dengan hanya memperlihatkan cabang- cabang arteri dan

    vena pulmonalis. Tidak terdapat bayangan lain. 2

    Gambar 2.1. Lapangan Paru Normal

    b. Bayangan Retikuler/intertisial

    Bayangan ini dihasilkan oleh penebalan jaringan di sekeliling alveolus, interstisial

    paru, dan divisualisasi sebagai pola percabangan liniear halus dan kasar. Berbagai

    kondisi yang biasa menyebabkan bayangan seperti ini adalah fibrosis paru dan

    Pneumokoniosis.

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    10/16

    16

    Gambar 2.2. Bayangan Interstisial paru

    c. Bayangan Nodular

    Bayangan nodular dibentuk oleh lesi opak sferis diskret kecil berdiameter 1-5

    mm. penyebabnya termasuk : tuberculosis milier, pneumoconiosis, sarkoidosis,

    neoplasma, karsinomatosis milier dari tiroid, melanoma dan sebagainya. 2

    Gambar 2.3. Bayangan Nodular

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    11/16

    16

    Gambar Pneumokoniosis dan Pajanan Asbestos

    Gambar 2.4. Pneumokoniosis pada pekerja tambang batu bara;

    terdapat nodular kasar.

    Gambar 2.5. Plak-plak kalsifikasi pleura pada pajanan asbestos (tanda panah)

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    12/16

    16

    Computed Tomography (CT) scan

    Computed tomography (CT) scan bukan merupakan bagian dari klasifikasi

    pneumokoniosis secara radiologi. Pemeriksaan CT mungkin sangat bermanfaat

    secara individual untuk memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang terjadi,

    menilai luasnya emfisema dan perubahan pleura atau menilai ada tidaknya

    nekrosis atau abses yang bersamaam dengan opasiti yang ada. 5 High resolution

    CT (HRCT) lebih sensitif dibanding radiologi konvensional untuk evaluasi

    abnormalitas parenkim pada asbestosis, silikosis dan pneumokoniosis lainnya.

    Gambaran paling sering HRCT pada pneumokoniosis adalah nodular

    sentrilobular atau high attenuation pada area percabangan seperti gambaran lesi

    bronkiolar. Fibrosis interstisial mungkin bermanifestasi bronkiektasis traksi,

    sarang tawon/honey comb atau hyperattenuation. Gambaran HRCT yang khas

    pada silikosis,pneumokoniosis batubara dan asbestosis adalah terdapat opasitas

    halus (small nodular opacities) yang predominan pada zona paru atas (upper

    zone). Gambaran opasitas halus pada HRCT ada 2 karakteristik (1) ill-defined fine

    branching lines dan (2) well-defined discrete nodules. Asbestosis menunjukkan

    gambaran garis penebalan interlobular dan intralobular, opasitas subpleura atau

    curvilinier dan honey comb, predominan terdistribusi pada basal paru. Gambaran

    HRCT pada jenis pneumokoniosis lainnya bervariasi dan tidak spesifik, masing-

    masing mempunyai karakteristiksendiri. 7

    2. Pemeriksaan Faal Paru

    Pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu studi epidemiologi

    pekerja yang terpajan debu dan diagnosis penyakit paru akibat kerja. Pemeriksaan

    faal paru memerlukan pemeriksaan volume paru dengan spirometri dan

    pemeriksaan kapasitas difusi (DLco), 5 namun tidak selalu tersedia. Pemeriksaan

    faal paru juga diperlukan untuk menilai hendaya yang telah terjadi. 3,5 Pada

    pneumokoniosis dapat ditemukan nilai faal paru normal atau bisa juga terjadi

    obstruksi, restriksi ataupun campuran. 3 Sebagian besar penyakit paru difus yang

    disebabkan debu mineral berhubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi

    fibrosis di parenkim paru. Pada kasus dengan fibrosis interstisial yang luas

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    13/16

    16

    umumnya terjadi penurunan kapasitas difusi. 7 Inflamasi, fibrosis dan distorsi

    pada saluran napas dengan konsekuensi terjadi obstruksi saluran napas dapat

    ditemukan pada beberapa kondisi. Karena tingginya prevalensi perokok pada

    populasi pekerja industri, sering sulit dibedakan apakah obstruksi yang terjadi

    karena efek debu terinhalasi atau efek rokok. 6

    3. Analisis Debu Penyebab

    Pada kondisi tertentu, diperlukan diagnosis pasti pajanan bahan di lingkungan

    kerja dengan analisis bahan biologi (sputum, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsi

    transbronkial atau biopsi paru terbuka) untuk melihat debu mineral atau produk

    metabolismenya. 3 Pemeriksaan BAL membantu menegakkan diagnosis. Pada

    pemeriksaan BAL dapat terlihat debu di dalam makrofag dan jenis debu

    kemungkinan dapat diidentifikasi menggunakan mikroskop elektron. Pada kasus

    asbestosis dapat ditemukan serat asbes dan asbestos body (AB) pada pemeriksaan

    BAL. 5 AB adalah bahan yang terbentuk secara intraselular dan berasal dari

    satu atau lebih makrofag alveolar yang bereaksi dengan serat asbes. Penemuan

    AB menjadi stndar baku emas penegakkan diagnosis asbestosis. 6 Pada silikosis,

    makrofag yang ditemukan dalam BAL berisi partikel granit yang semakin lama

    riwayat pajanan terhadap debu granit maka akan semakin banyak ditemukan

    makrofag tersebut. Selain itu, nodul silikotik dapat ditemukan pada pemeriksaan

    histopatologi silikosis. 1

    2.6. Tata Laksana

    Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun

    berkurang progresivitasnya hanya dengan menjauhi pajanan. Tata laksana medis

    umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. 3 Tidak ada pengobatan yang

    efektif yang dapat menginduksi regresi kelainan ataupun menghentikan

    progesivitas pneumokoniosis. Pencegahan merupakan tindakan yang paling

    penting. Regulasi dalam pekerjaan dan kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak

    lama terutama di negara industri dan terus dilakukan dengan perbaikan-perbaikan.

    Pada bentuk pneumokoniosis subakut dengan manfaat yang didapat untuk efek

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    14/16

    16

    jangka panjangnya terutama jika bahan penyebab masih ada di paru. Menjaga

    kesehatan dapat dilakukan seperti berhenti merokok, pengobatan adekuat

    dilakukan bila dicurigai terdapat penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan

    pencegahan infeksi dengan vaksinasi dapat dipertimbangkan.

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    15/16

    16

    BAB III

    KESIMPULAN

    Pneumokoniosis merupakan keadaan yang disebabkan oleh inhalasi debu ke

    dalam paru. Pasien memiliki riwayat pajanan terhadap debu. Berbagai jenis debu

    mineral dapat menimbulkan pneumokoniosis. 3,4,5 Debu asbes dan silika serta

    batubara merupakan penyebab utama pneumokoniosis. Debu mineral lainnya

    dapat juga menyebabkan pneumokoniosis. Pneumokoniosis baru tampaksecara

    klinis dan radiologis setelah pajanan debu ber langsung 20-30 tahun.Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya, pajanan

    asbes menyebabkan asbestosis, debu silika berhubungan dengan silikosis, debu

    batubara menye babkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain.

    Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala klinis.

    Tetapi ada beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu dalam

    diagnosis pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan

    analisis debu penyebab.

    Pada gambaran radiologis tergantung pada apakah debu bersifat aktif atau

    inaktif. Debu aktif misalnya dari debu silica dan batu bara merupakan penyebab

    fibrosis paru difus yang poten, pada tahap awal gambaran yang khas berupa nodul

    paru berukuran kecil. Debu inaktif misalnya besi oksida, kalsium dan barium pola

    nodular halus, akibat deposit partikel debu. Dan debu organic, pajanan terhadap

    debu organic juga dapat menyebabkan fibrosis paru misalnya paru pecinta burung,

    paru petani;rumput, debu gula tebu, dan sebagainya.

  • 7/28/2019 REEFERAT PNEUMOKONIOSIS

    16/16

    16

    DAFTAR PUSTAKA

    1.

    Susanto, DA. 2011. Pneumoconiosis. Journal Indonesia MedicalAssociation. 61(12): 503-510.

    2. Patel, RP. 2007. Lecture Notes Radiologi. Pneumokoniosis. Erlangga.

    Jakarta, Indonesia. Hal 28,29,49-51

    3. Mangunnegoro H, Yunus F. Diagnosis penyakit paru kerja. In: Yunus F,

    Rasmin M, Hudoyo A, Mulawarman A, Swidarmoko B, editor.

    Pulmonologi klinik. 1st Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1992. p. 05-

    42

    4. Ngurah Rai IB. Pneumokoniosis. Patogenesis dan gangguan fungsi In:

    Abdullah A, Patau J, Susilo HJ, Saleh K, Tabri NA, Mappangara, et al.

    Naskah lengkap pertemuan ilmiah khusus (PIK) X Perhimpunan Dokter

    Paru Indonesia. Makassar: Sub-bagian paru Bagian Penyakit Dalam

    Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003. p. 183-216

    5. Cowie RL, Murray JF, Becklake MR. Pneumoconiosis. In: Mason RJ,

    Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of Respiratory

    Medicine. 4th Ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. p. 1748-82.

    6. Morgan WKC. The depotition and clearance of dust from the lungs.

    Their role in etiology of occupational lung disease. In: Morgan WKC,

    Seaton A, editors. Occupational lung disease. 3 rd ed. Philadelphia: WB

    Saunders Company; 1995. p. 111-26.

    7. Demedts M, Nemey B, Elnes P. Pneumoconioses. In: Gibson GJ,

    Gedder DM, Costales U, Sterk PJ, Cervin B, editor. Respiratory

    Medicine. 3rd ed. London: Elsevier Science; 2003. p. 675-92.