rechtidee jurnal hukum, vol.3. no.2 desember 2008,...

12
Rechtidee Jurnal Hukum, Vol.3. No.2 Desember 2008, 93-101 92

Upload: dangtram

Post on 12-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Rechtidee Jurnal Hukum, Vol.3. No.2 Desember 2008, 93-101

92

Rechtidee Jurnal Hukum, Vol.3. No.2 Desember 2008, 93-101

93

Pemberdayaan Perempuan untuk Memperoleh Hak Atas Akses

dan Kontrol pada Penghasilan dalam Proses Bermigrasi ke

Hongkong Umu Hilmy

*)

Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang.

Abstract

For women having much experiences and high income do not guarantee to the

social relationship, included the decision to work in abroad till back to their family. In

every process steps in migrating, most of women are weakened by their family,

instructors and staffs in the locating of the employee, employer and officials at the

airport. Although, among them try to defeat system individually or collectively; from

the inside out or copying strategy. In migration process, besides the individual, the

social structure in a village also weaken the women. This is proved by the larung

activity in which they are forbidden to follow the activity, but the funding must be

covered by them who are working in abroad. The system cannot be changed easily as

the mystical treatments are used to legitimating it.

Key words: powering, women, the rights of access and control, migration

Pendahuluan

Globalisasi merupakan suatu kenyataan

sejarah yang tidak dapat dihindarkan lagi.

Di setiap negara di dunia ini, tidak dapat

menolak terjadinya globalisasi. Karena

globalisasi, pola hubungan internasional

mengalami perubahan dan perkembangan.

Dalam pola hubungan internasional yang

baru ini, ditandai dengan meningkatnya

mobilitas modal, barang dan jasa serta

manusia. Pada pola hubungan yang

demikian itu batas-batas antar negara

kebangsaan menjadi semakin samar, yang

selanjutnya akan membawa implikasi yang

kompleks dalam kehidupan manusia.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004

tentang Penempatan dan Perlindungan

Tenaga Kerja Indonesia (UUPPTKI) di

Luar Negeri dibuat untuk mengatur

interaksi antar manusia dalam hubungan

kerja, khususnya bagi orang yang akan

bekerja di luar negeri. Undang-

_______________ *) Korespondensi : U. Hilmy, Fakultas Hukum,

Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono

No.169 Malang, Telp 0341-553898, E-mail:

[email protected]

undang ini apabila dirinci nampaknya

lebih banyak mengatur tentang tata cara

orang yang bekerja di luar negeri mulai

saat perekrutan, pemberangkatan, saat

bekerja pada majikan, ketika pemulangan

dalam keadaan sehat, sakit maupun ketika

meninggal dunia dari pada tata cara

melindungi Buruh Migran di semua

tahapan proses tersebut.

Pada awalnya laki-laki lebih banyak

yang bekerja di luar negeri. Hal ini terjadi

karena banyak transmigran laki-laki yang

meninggalkan lokasi transmigrasinya

(kebanyakan dari daerah Sumatera dan

Kalimantan) ke daerah-daerah lain yang

memberikan peluang yang dalam hal ini

sebagai penebang pohon dan pekerja

perkebunan kelapa sawit serta tukang

bangunan, pada dekade ‟70-an. Kebutuhan

Buruh Migran Laki-laki berkembang

dengan cepat, merambah ke negara-negara

tetangga, Malaysia dan Singapura. Karena

peluang yang demikian banyak tersebut,

mereka yang bekerja di luar negeri tersebut

mulai merekrut teman-teman, saudara dan

Rechtidee Jurnal Hukum, Vol.3. No.2 Desember 2008, 93-101

94

tetangganya di daerah asalnya di Jawa1.

Tapi hal ini berubah, pada dekade ‟90-an

kesempatan kerja perempuanlah yang

meningkat dengan cepat, karena negara-

negara tujuan bekerja BMP Indonesia telah

”mendapat berkah” dengan adanya

relokasi industri dari negara-negara yang

lebih maju. Pekerjaan di pabrik dan di

bidang jasa mendorong perempuan di

negera tersebut bekerja ke luar rumah dan

mereka kemudian membutuhkan seseorang

yang mengurus rumah tangganya.

Kesempatan kerja sebagai pekerja rumah

tangga (PRT) inilah kemudian yang

diakses oleh perempuan miskin dan

berpendidikan rendah di negara yang lebih

miskin. Perempuan dari Indonesia juga

melakukan hal tersebut.

Dalam pada itu, dalam kondisi nyata, di

setiap tahapan proses bekerja di luar negeri

tersebut, mulai dari pengambilan

keputusan untuk bekerja ke luar negeri

sampai dia pulang kembali ke rumah

tangganya; perempuan tersebut mengalami

pelemahan, sehingga penting untuk

dideskripsikan dan dianalisis2: bagaimana

perempuan dapat menerjemahkan dan

menganalisis kekuatan yang melemah

kan yang mereka hadapi? (kekuasaan,

pelemahan dan pemberdayaan). Kemung-

kinan-kemungkinan pemberdayaan

yang bagaimana yang dibayangkan oleh

perempuan pada kehidupan mereka di

hadapan kekuatan pelemah? (pencarian

jejak pemberdayaan perempuan).

1 Penelitian tentang pengangguran di daerah

Tulungagung dilakukan oleh Tim Peneliti dari Pusat Penelitian Ilmu Sosial bekerjasama dengan Dinas

Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur, setelah krisis

moneter terjadi, data tersebut didapat dari

wawancara dengan Kepala Desa Tanggul

Turus, Kecamatan Tanggul, Kabupaten Tulung

agung. 2 Penelitian ini dilakukan oleh Tim

Peneliti dari Dian Mutiara Women Crisis

Centre dan Solidaritas Perempuan yang

bekerja sama dengan Women’s Empower-

ment in Muslim Contexts (WEMC), di mana

penulis merupakan ketua peneliti di Malang

tentang Perempuan Untuk Memperoleh Hak

Atas Akses dan Kontrol Pada Penghasilan

Dalam Proses Bermigrasi (Studi di Desa

Kedungsalam Kecamatan Donomulyo Kabu-

paten Malang).

Metode

Penelitian ini menggunakan paradigma

critical theory yang ontologinya

berpandangan bahwa realita yang teramati

(virtual reality) merupakan realitas

“semu” yang telah terbentuk oleh proses

sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial,

budaya, dan ekonomi politik. Paradigma

ini membawa konsekuensi epistimologis

transaksional-subyektivitis di mana

hubungan antara peneliti dengan subyek

yang diteliti dijembatani oleh nilai-nilai

tertentu, sehingga pemahaman tentang

suatu relitas itu merupakan value mediated

findings sehingga membawa konsekuensi

lanjutan pada metodologinya, yakni:

partisipatif dan mengutamakan analisis

yang komprehensif kontekstual. Berbagai

teknik pengmbilan data dilakukan: (1) live-

in di rumah 3 narasumber (Yuyun, Nety

dan Suyatun) untuk mengambil data

tentang life-story; (2) FGD yang diadakan

2 kali untuk mendapatkan data tentang

pengambilan keputusan di keluarga saat

mau berangkat serta faktor-faktor

pendorong dan penarik; biaya rekruiting

yang tinggi; saat pemberangkatan dan

kepulangan di Terminal 3 maupun tanpa

Terminal 3; asuransi ketika sakit di tempat

kerja dan penggunaan remittance. Dengan

menggunakan teknik FGD, mereka dapat

mencocokkan pengalaman satu sama lain;

(3) tapi ada hal-hal yang mereka tidak mau

membicarakannya di forum FGD, yaitu

hubungan mereka dengan suaminya; lagi

pula waktu yang terbatas tidak dapat

mengemukakan pengalaman mereka

secara rinci; maka dilakukan wawancara

mendalam.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa

Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo,

Kabupaten Malang, dengan alasan bahwa

kabupaten Malang merupakan kabupaten

ke empat terbesar sebagai daerah pengirim

(sending area); sedangkan Kecamatan

Donomulyo merupakan kecamatan

terbanyak yang BMPnya bekerja di

Hongkong.

Demikian pula Desa Kedungsalam

merupakan desa yang mayoritas

perempuannya bekerja di luar negeri

dengan daerah tujuan Hongkong.

Kabupaten Malang seperti kabupaten-

kabupaten lain di daerah pantai selatan,

Rechtidee Jurnal Hukum, Vol.3. No.2 Desember 2008, 93-101

95

merupakan daerah lahan kering yang

jumlah penduduknya 2.412.570 orang

yang terdiri dari 50,53% laki-laki; 49,47%

perempuan. Mata pencaharian utama dari

penduduknya adalah bertani walaupun

sebagian besar lahannya merupakan

pekarangan atau hutan yang hanya dapat

ditanami dengan tanaman tahunan. Selain

petani sebagian lagi yang jumlahnya cukup

besar adalah menjadi pedagang, pedagang

sayur mayur dan buah di daerah

Kabupaten Malang bagian barat dan timur,

terutama daerah-daerah dataran tinggi,

pedagang hasil pekarangan, perkebunan,

dll. Industri cukup besar diminati

penduduk, terutama di daerah perbatasan

antara kabupaten dan kota dan kebanyakan

industri makanan dan minuman. Selain itu

industri kerajinan dari rotan juga banyak di

beberapa kecamatan.

Demikian pula industri jasa, seperti

hotel, lembaga keuangan bank dan non

bank. Dalam hal keagamaan, Kabupaten

Malang seperti juga daerah-daerah lain,

mayoritas beragama Islam, sebagian kecil

beragama Nasrani dan ada beberapa desa

yang penduduknya beragama Hindu dan

Budha. Di desa penelitian, mayoritas

beragama Islam, tapi kepercayaan yang

mistis masih dianut oleh penduduknya.

Hasil

Pemberdayaan:

Dalam penelitian ini pandangan Mason

(2003a, 2003b) yang menekankan pada

pentingnya konteks sosial (nasional dan

komunitas) bagi pemberdayaan perempuan

disetujui dan digunakan; tapi tidak setuju

dengan pandangan Mason dan Smith

(2003:4)3 yang berpendapat tentang

pengaruh norma terhadap perilaku individu

mengakibatkan terjadinya transformasi

yang berskala besar yang terjadi dari pola-

3 Perbedaan konstruksi pemikiran penelitian

ini dengan Karen Oppenheim Mason berasal dari

keprihatinan kita masing-masing. Ia memikirkan

tentang pengukuran pemberdayaan, yang

berangkat dari asumsi bahwa ‟pemberdayaan‟ sendiri sudah ada untuk diukur. Sementara kita

berkutat pada proses pemberdayaan dan

pelemahan sebagai suatu dinamika yang

berfluktuasi sebagai hasil dari perselisihan-perselisihan kekuasan yang sedang berlangsung.

Perdebatan ini ada pada proposal penelitian WEMC

(terjemahan) tahun 2007.

pola perilaku melibatkan sistem-sistem

yang dikendalikan oleh ideologi dan tidak

hanya merupakan akumulasi perubahan

oleh rasionalitas individu.

Sebaliknya, penelitian ini ingin mem-

perlihatkan bahwa perempuan-perempuan

secara indvidual perlu untuk menjadi

subyek pemberdayaan mereka sendiri, dan

tindakan individu benar-benar dapat

melakukan perubahan, termasuk individu

dan tindakan-tindakan kolektifnya, yang

secara sistematis saling terkait. Pada

akhirnya, ‟transformasi berskala besar dari

pola-pola perilaku‟ adalah hasil pembuatan

keputusan oleh individu-individu yang

bekerja bersama, dan tidak hanya hasil dari

proses-proses struktural pada orang-orang

tertentu

Status dan Kelas Sosial

Status sosial adalah tempat seseorang

secara umum dalam masyarakat

sehubungan dengan orang lain dalam arti

lingkungan pergaulannya, prestisenya,

hak-hak dan kewajibannya (Sutinah dan

Norma, 2004: 151-167). Sedangkan

peranan merupakan aspek dinamis dari

status yang mencakup: (1) norma-norma

yang dihubungkan dengan posisi atau

tempat seseorang dalam masyarakat; (2)

konsep tentang apa saja yang dapat

dilakukan oleh individu dalam masyarakat;

(3) perilaku individu yang penting bagi

struktur sosial masyarakat.

Kelas sosial oleh Suyanto dan Karnaji

(2004, 171) cenderung diartikan sebagai

kelompok yang anggota-anggotanya

memiliki orientasi politik, nilai budaya,

sikap dan perilaku sosial yang secara

umum sama, misalnya kelas sosial di desa

berdasar atas kepemilikan tanah atau

memiliki rumah gedung yang bagus.

Adapun sumber-sumber utama

penstrukturan kelas menurut Giddens &

Held (1987, 42-43) adalah (1) derajat

ketertutupan peluang untuk mobilitas; (2)

sifat pembagian kerja dan (3) sistem

kewenangannya.

Norma dan Sanksi Sosial

Norma merupakan konstruksi-

konstruksi imajinasi dan banyak

dipengaruhi oleh daya kreatif mental

(Wignyosoebroto, 2004:132-135); tapi

norma juga dipengaruhi oleh kenyataan,

jadi norma dan kenyataan saling

Rechtidee Jurnal Hukum, Vol.3. No.2 Desember 2008, 93-101

96

mempengaruhi satu sama lain. Norma

dapat diklasifikasi menjadi: (1) folkways -

kebiasaan, kelaziman yang dilakukan

berulang-ulang sehingga kalau ada orang

yang tidak melakukan yang lainnya

„merasa‟ ada hal yang tidak lazim; (2)

mores - semacam folkways tetapi

dipandang lebih esensial bagi terjaminnya

kesejahteraan masyarakat dan (3) hukum –

merupakan norma yang ditegakkan oleh

lembaga formal, yakni lembaga peradilan;

jadi sanksinya dipaksakan oleh lembaga

formal pula (Wignyosoebroto, 2004: 132).

Migrasi

Migrasi sudah sejak lama terjadi di

Indonesia, yakni sejak zaman Belanda,

karena saat itu Belanda membutuhkan

tenaga kerja untuk perkebunan-perkebunan

mereka di luar Jawa maupun di luar Hindia

Belanda, di Suriname misalnya. Pada masa

pemerintahan Orde Baru migrasi terjadi

karena kegagalan pembangunan (Tjondro-

negoro dalam Syafa‟at, dkk; 2002: 2).

Hal lain yang mendorong terjadinya

migrasi adalah adanya penanaman modal

yang dilakukan oleh negara dunia pertama

ke negara dunia ketiga, berbagai komoditi

dirambah oleh penanam modal tersebut,

dan hal yang sama dilakukan oleh pemodal

Amerika ke Meksiko menurut Kelly (1983,

23-46). Selain itu liberalisasi ini

menjanjikan kesempatan yang setara, adil

dan demokratis antar benua, antar negara,

antar kelas-kelas sosial maupun antar jenis

kelamin (Wichterich, 1998: ix-x); tapi itu

tidak pernah terjadi. Yang terjadi adalah

adanya mobilitas modal yang diikuti

dengan mobilitas tenaga kerja. Tapi

keuntungan perempuan di negara yang

satu mengakibatkan kerugian pada

perempuan di negara yang ditinggal oleh

pemodal.

Tabel 1:

Kekuatan Pelemah Saat Pengambilan Keputusan untuk Bekerja ke Luar Negeri NARA

SUMBER

AKTOR

PELEMAH

1. Yuyun* ”Suami tidak melarang, yang mendorong Yuyun lebih pada karena kemiskinan

2. Nety* ”Bapak ibu tidak mendorong atau melarang”, yang mendorong Nety lebih pada

karena kemiskinan

3. Suyatun Bapaknya anggota NU dan sering belajar di Kyai Subali, sebenarnya tidak suka kalau

ada perempuan bekerja di luar negeri, karena menurut Bapaknya yang wajib bekerja

itu laki-laki, dan dia sudah mencobanya, bekerja di Kalimantan, tapi penghasilannya

tidak cukup (3 bulan hanya dapat mengirim 1,5 juta). Jadi Bapaknya membiarkan

Suyatun bekerja di Hongkong.

Majikannya menyuruh Suyatun kawin dengan anaknya; Bapaknya mencarikan

“suami”, ketika dia hamil karena berpacaran dengan majikannya yang di Malang.

“Suaminya”, yang dicarikan oleh Bapaknya hanya menikahi lalu menghilang.

4. Suwantin Calon mertua tidak setuju Suwantin menikah dengan anaknya, karena keluarga

Suwantin lebih miskin. Suwantin membalasnya dengan mau “diajak” menikah

dengan kakak pacarnya, untuk membalas sakit hati kepada calon mertuanya tersebut.

Pacarnya, yang lebih memilih perempuan dari keluarga yang lebih kaya.

5. Tukini* Tidak ada yang melemahkan, karena kemiskinan maka Tukini bekerja ke LN

6. Yunestutik Suami, melarang keras Yunestutik bekerja di laur negeri.

7. Sutiani* Tidak ada, suami, orang tua dan mertua tidak ada yang melarang atau mendorong,

mereka sepakat Sutiani bekerja ke luar negeri untuk mengatasi kesulitan ekonomi

keluarga, karena penghasilan suaminya tidak cukup.

8. Juwariah* Suami dan orang tuanya sepakat kalau Juwariah bekerja di Hongkong.

9. Suning* Waktu akan bekerja ke luar negeri tidak ada yang menghalangi atau mendorong,

Suning bekerja ke luar negeri karena ingin memperbaiki ekonomi keluarganya.

10. Yanti* Tidak ada

11. Tina Ibunya menyuruh Tina menikah dengan suami saudara perempuannya, ketika saudara

perempuannya meninggal (ganti karang wulu – bahasa Jawa).

Laki-laki dari Pakistan teman kerjanya memaksa dia untuk menikah dengannya.

12. Sri* Tidak ada

13. Sutami* Tidak ada

Sumber: Data Primer saat live-in dan FGD, 2007

Rechtidee Jurnal Hukum, Vol.3. No.2 Desember 2008, 93-101

97

Dari sudut pandang sending-countries –

pola konsumsi dan gaya hidup yang

berubah, juga status sosialnya (Abdul

Haris; 2003: xi-xxiv); selain itu migrasi

juga berpengaruh pada terjadinya

perubahan dan pengalihan hak penguasaan

lahan. Perubahan status sosial–ekonomi -

aktivitas mobilitas penduduk sangat erat

berkaitan dengan terjadinya mobilitas

vertikal atau mobilitas sosial.

Pembahasan

Pelemahan BMP : Pengambilan

Keputusan Bekerja di Luar Negeri

Dalam mengidentifikasi, kemudian

mendeskripsikan dan menganalisis tentang

kekuatan pelemah yang membuat Buruh

Migran Perempuan (BMP) dengan negara

tujuan Hongkong tidak berdaya (dis-

empowered), pertama-tama dipresentasi-

kan tentang siapa aktor dan struktur yang

melemahkan berdasarkan tahapan proses

penempatan, dari pengambilan keputusan

untuk bekerja ke luar negeri sampai

pulang kembali ke rumah mereka.

Kemudian baru menganalisis makna

pemberdayaan dengan bentuknya dalam

kehidupan sehari-harinya.

Pada saat pre-departure, menurut para

narasumber telah terjadi pelemahan pada

sebagian dari mereka, sebagian yang lain

mengatakan tidak ada yang melemahkan,

karena ide perenpuan untuk bekerja ke luar

negeri malah „didukung‟. Pertama-tama

pada saat pengambilan keputusan untuk

bekerja di luar negeri, maka aktor

pelemahnya adalah keluarga dekat mereka,

yakni suami dan atau ibu bapak mereka.

Analisis terhadap pendapat narasumber

adalah sebagai berikut: narasumber

mengalami dan merasakan kesulitan

ekonomi yang berbentuk sulitnya

memenuhi kebutuhan hidup keluarganya,

mereka kemudian mempunyai ide untuk

mengatasinya; yakni bekerja ke luar

negeri. Keadaan yang demikian itu

menyebabkan mereka „menilai‟ bahwa

yang „melarang atau menghalangi‟ mereka

merupakan aktor yang melemahkan dan

yang mendukung itu bukan merupakan

aktor pelemah. Hasil wawancara berikut

menunjukkan hal tersebut:

Hasil wawancara berikut menguatkan

hal tersebut: Karena kondisi ekonomi yang serba

kekurangan, di tahun 1993 dia

memutuskan untuk berangkat ke

Hongkong. Dia memutuskan berangkat

ke Hongkong setelah melihat seorang

temannya berangkat ke negeri asing

tersebut dan berhasil dengan kondisi

ekonominya yang lebih baik dari

sebelum berangkat ke Hongkong (Data

primer dari field-note ketika live-in di

rumah Yuyun)

Dengan segala kekurangan di bidang

ekonomi, pada usia 14 tahun atau setelah

tamat SMP di langsung bekerja, pekerjaan

pertamanya yakni sebagai penjaga toko

sepatu di pasar Kepanjen, Malang. Di

sana dia hanya menunggu toko dan

melayani pembeli toko tersebut. Dia

pindah kerja 5 kali, 4 kali sebagai pelayan

toko, 1 kali di pabrik rokok Dia melihat

beberapa teman, tetangga dan saudaranya

meraih sukses di Hongkong, karenanya

dia mulai tergelitik untuk mencoba hal

yang sama (Nety) - Data primer dari field-

note ketika live-in.

Sebenarnya saya tidak boleh sama suami,

tapi keadaan ekonomi mepet. Lalu saya

kasih pilihan aku apa kamu (suami – red)

yang berangkat? Dulu pernah suami

rencara pergi kerja ke Kalimantan, tapi

gagal. Akhirnya saya yang berangkat.

Kalau orang tua mengijinkan, tidak

pernah melarang (Yunestutik dalam

wawancara).

Saling bermusyawarah, boleh apa tidak.

Tadinya tidak boleh karena ada berita-

berita di televisi. Tapi akhirnya ya

terserah berdoa saja yang penting hati-

hati. Suami saya, saya beri keyakinan

akhirnya boleh. Harus bisa merayu

sampai suami membolehkan dan

mengijinkan.

Sekarang suami sudah tidak boleh, tapi

masih mau kesana lagi (Juwariyah).

Dalam pada itu konteks sosial, nasional

maupun komunitas sesuai dengan pendapat

Mason (2003a, 2003b) yang ada penting

juga untuk dideskripsikan, karena struktur

sosial dan ekonomi tentu saja berpengaruh

terhadap ide sampai keputusan untuk

menanggulangi masalah ekonomi mereka.

Dan pemikiran hal ini ada pula pada

Rechtidee Jurnal Hukum, Vol.3. No.2 Desember 2008, 93-101

98

narasumber, yakni „kemiskinan yang

menekan mereka‟; data sekunder dari

Kabupaten Malang menunjukkan hal itu.

Perekonomian di Kabupaten masih

didominasi oleh sektor pertanian,

walaupun pada 3 (tiga) tahun terakhir ini

mulai menurun, yakni dari 31,26% pada

tahun 2003 menjadi 29,89% pada tahun

2005. Perdagangan, hotel dan restoran

merupakan kegiatan ekonomi yang kedua

setelah pertanian. Kegiatan ini naik terus

walaupun kecil prosentase kenaikannya,

yakni dari 23,49% menjadi 23,70%.

Sedangkan kegiatan ekonomi yang ketiga

adalah industri pengolahan: 17,39%

menjadi 18,56%, dan keempat jasa-jasa:

14,07 menurun menjadi 12,98%. Selain 4

(empat) kegiatan yang prosentasenya

cukup tinggi, kegiatan ekonomi lainnya

berturut-turut dari yang besar ke kecil

adalah: pengangkutan dan komunikasi

(naik); keuangan, persewaan dan jasa

perusahaan (tetap); pertambangan dan

penggalian (tetap); listrik dan air bersih

(naik) (Badan Perencanaan Kab. Malang,

2006: 3)

Kabupaten Malang merupakan

kabupaten yang sangat luas wilayahnya,

yakni 351.456,99 ha. Dari luas wilayah

tersebut, 44.234,35 ha merupakan

pemukiman, 46.449,45 ha merupakan

sawah, 100.221, 42 merupakan pertanian

tanah kering, hutan 117.056,60 ha; sisanya

merupakan kebun hutan, rawa, dll. Jadi

hasil sumber daya alam dari tanah sesuai

dengan luas wilayahnya, baik dari sawah,

pertanian kering maupun hutan.

Dengan data tersebut dapat

dikemukakan bahwa Kabupaten Malang

sebenarnya merupakan kabupaten yang

punya potensi sumber daya alam yang

cukup karena arealnya cukup luas. Tapi

apabila dikaitkan dengan jumlah penduduk

2.350.384 orang pada tahun 2004 dan

meningkat menjadi 2.419.822 orang pada

tahun 2006 dan kebanyakan merupakan

lahan kering, maka potensi pertaniannya

tidak cukup untuk memberikan

penghidupan bagi penduduknya.

Jadi dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa pelemahan yang

terjadi sebenarnya menurut mereka bukan

dari keluarga mereka, melainkan justru

lebih banyak terjadi karena struktur

ekonomi. „Tiadanya kesempatan kerja‟

lebih mendorong BMP untuk bekerja di

luar negeri dari pada „larangan‟ atau

“kekhawatiran akan terjadinya trafiking”

(dengan kalimat, „takut nanti menjadi

pelacur‟) dari suami atau orang tuanya.

Hal ini sesuai dengan tulisan

Tjondronegoro dalam Syafa‟at (2002, 2)

tentang kegagalan pembangunan pertanian

di Indonesia; Kelly (1983, 23-46) tentang

Border Industrialization Program (BIP) di

Meksiko dan faktor pergerakan modal

pada tulisan Wichterich (2000, ix-x).

Selain struktur ekonomi, masalah

struktur sosial yaitu relasi sosial yang

timpang merupakan pelemah yang aktor-

aktornya suami maupun orang tua,

Suwantin dengan suami dan mertuanya,

Suyatun dengan orang tuanya dan Suning

dengan suaminya yang selingkuh, Tina

yang dipaksa ibunya untuk „ganti karang

wulu‟. Jadi struktur sosial yang timpang

berkontestasi dengan struktur ekonomi

melemahkan BMP di desa penelitian.

Struktur sosial di desa penelitian, nilai-

nilai yang mengatur hubungan sosial

antara laki-laki perempuan dalam

perkawinan, maupun antara orang tua

dengan anak merupakan nilai-nilai yang

melingkupi mereka yang percaya kepada

„kekuasaan roh-roh ghaib‟. Hal ini dapat

dibuktikan dengan masih adanya

komunitas di desa yang melakukan

„larung‟ pertemuan dua sungai pada

malam 1 Syuro dan „larung‟ ke laut selatan

pada malam lahirnya Nabi Muhammad

s.a.w. (Maulid Nabi). Jadi di desa

penelitian, kepercayaan terhadap roh-roh

ghaib dan agama Islam bercampur-baur.

Walaupun dalam kepercayaan tersebut

komunitas sangat „menghormati‟ dan

„takut‟ kepada „Nyai Loro Kidul‟ yang

merupakan sosok makhluk halus (Geerts,

1989.; Suyono, 2007)4 dengan wujud

4 Tulisan Geertz yang membahas tentang

kelompok masyarakat abangan, santri dan

priyayi yang punya kepercayaan yang berbeda-

beda dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Tulisan Geertz ini terkait dengan tulisan

Suyono mengenai dunia mistik orang Jawa

yang di desa penelitian walaupun sebagian

sudah menjalankan agama Islam tapi

kepercayaan mereka terhadap roh-roh halus

Rechtidee Jurnal Hukum, Vol.3. No.2 Desember 2008, 93-101

99

perempuan; ternyata hal tersebut tidak

serta merta dalam dunia nyata komunitas

memberikan kedudukan yang lebih pada

perempuannya. Perempuan di desa

Kedungsalam sama dengan perempuan di

desa-desa lain, merupakan subordinat laki-

laki dalam berbagai hal.

Di Penampungan

Saat di penampungan aktor pelemah

yang „berkuasa‟ terhadap BMP adalah

guru (instruktur) dan staf PJTKI. Jadi hal

ini sesuai dengan pendapat Giddens (1987:

42-43) batas kelas tergantung pada

peluang untuk mobilitas; sifat pembagian

kerjanya dan sistem kewenangan dalam

perusahaan; karena pemilik perusahaan

jarang hadir dalam proses-proses

pendidikan dan pelatihan, maka guru dan

staflah yang berkuasa „mewakilinya‟.

Mereka sangat berkuasa terutama bagi

calon BMP yang pertama kali hendak

berangkat bekerja ke luar negeri. Calon-

calon BMP ini sangat takut kalau mereka

konflik dengan guru dan/atu staf akan

berpengaruh terhadap keputusan PJTKI

memberangkatkan, memperlama pembe-

rangkatannya atau malah tidak

memberangkatkan sama sekali.

Rekomendasi guru dan/atau staf sangat

diperhitungkan.

Narasumber yang diwawancarai pada

FGD5 menyatakan bahwa mereka tidak

memiliki keberanian untuk melawan

petugas penampungan. Alasannya adalah

karena adanya kekhawatiran tidak

diberangkatkan jika membangkang atau

melakukan protes. Hal ini secara tegas

diakui Yanti sebagai berikut: Waktu saya pertama kali ingin bekerja ke

Hong Kong ya saya ditampung juga. Tapi

waktu itu saya serba takut. Takut kalau

protes di penampungan takut tidak

diberangkatkan. Tapi kalau keberangkatan

yang kedua, saya gak takut untuk protes.

Karena saya sudah punya pengalaman.

Jadi, waktu keberangkatan kedua, saya

nggak membayar lagi uang jaminan.

Perlawanan yang dilakukan oleh Yanti

dibenarkan oleh Sri, Suwantin maupun

peserta FGD lainnya dalam forum.

masih banyak mempengaruhi pikiran maupun

perilaku kesehariannya. 5 FGD tanggal 16 November 2007.

Mereka menjadi punya kekuatan melawan

ketika sudah berpengalaman. Karena BMP

yang sudah pernah ke Hongkong (bukan

pertama kali) sudah lebih paham pada

aturan mana yang memang wajib dia

lakukan dan mana yang bukan

kewajibannya. Strategi mereka adalah

dengan mempertahankan pendapat mereka

yang mereka anggap benar (berhadapan

dengan staf secara langsung).

Di Terminal 3

Terminal didirikan dengan maksud

untuk melindungi BMP dari pemerasan,

maksud tersebut tercapai tapi tidak lama.

Beberapa waktu kemudian di Terminal 3

ternyata malah merupakan tempat untuk

melakukan pemerasan oleh orang

(kebanyakan laki-laki) terhadap BMP.

Terminal 3 makin lama makin merupakan

tempat pengucilan bagi BMP yang mau ke

luar maupun dari luar negeri. Kalau mau

keluar mereka diminta uang terpaksa

memberi supaya ‟tidak dipersulit‟ kalau

mau masuk mereka ‟membawa banyak

uang hasil kerjanya‟.

Di Negara Tujuan

Pengalaman BMP di negara tujuan

bervariasi, tapi ada beberapa hal yang

dianggap penting yang dideskripsikan,

yakni potongan gaji, relasi sosial dan atau

struktur kekuasaan majikan terhadap BMP

dan asuransi yang digunakan BMP ketika

mengalami sakit. Potongan gaji berbeda

satu dengan yang lain, ada yang 3 bulan

ada yang 7 bulan, gajinya juga berbeda

walaupun dalam 1 periode yang sama,

tergantung dengan keputusan majikan dan

„perlawanan‟ dari BMP. Sedangkan

hubungan sosial dengan majikan

tergantung pada umur (yang tua, majikan

Juwariyah, mengalah padanya), tapi

kebanyakan tidak. Hal ini juga sesuai

dengan pendapat pendapat Giddens (1987:

42-43) batas kelas tergantung pada

peluang untuk mobilitas; sifat pembagian

kerjanya dan sistem kewenangan dalam

perusahaan, walaupun dalam hal ini

majikan BMP bukan struktur birokrasi

perusahaan, melainkan perorangan atau

keluarga.

Hal penting lain yakni ketika BMP

sakit, masih juga ada yang membayar

Rechtidee Jurnal Hukum, Vol.3. No.2 Desember 2008, 93-101

100

biaya sendiri, tidak dicover dengan

asuransi, jadi dalam hal ini masih juga

tergantung pada relasi sosial antara BMP

dengan majikan dan PJTKI dan staf dari

perusahaan asuransi yang mengcover

risiko kesehatan mereka. Artinya program

asuransi juga tidak dengan mudah dapat

digunakan oleh BMP untuk melindungi

kesehatan mereka ketika mereka bekerja di

negara tujuannya.

Masa Reintegrasi

Tahap terakhir, yakni ketika kembali ke

rumah, BMP mengalamai berbagai hal

yang melemahkan pula; ada yang

suaminya selingkuh lalu mengajukan

gugatan cerai (Suning); ada yang

membakar kasurnya karena menurut

informasi dari saudaranya, perempuan

selingkuhannya dibawa ke kamar di

rumahnya (Suwantin).

Selain itu penggunaan remittance

sering tidak ada kuasa bagi diri BMP,

kalaupun uang itu tetap dipegangnya

(Suyatun) tapi ketika ada adiknya sakit, dia

wajib membayar biayanya, ketika adiknya

tidak bekerja, dia harus memberi modal,

walaupun usahanya kemudian gagal. Tapi

yang lain ada yang dikelola bersama.

Pemberdayaan: dari Insiatif Individu ke

Kolektif

Pengalaman dan keberhasilan para

saudara, sanak famili, teman dan tetangga,

merupakan faktor pendorong yang kuat

bagi BMP untuk „berani‟ bekerja di luar

negeri. Data menunjukkan bahwa Tukini,

Juwariyah dan Sutinah merupakan „kadang

katut‟ – saudara karena perkawinan.

Informasi tentang peraturan, kebijakan,

perlindungan tidak didapat karena dinas

yang bertanggung jawab tidak

melaksanakan kewajibannya. Lagi pula

kebanyakan pendidikan formalnya SD,

tapi „pengalaman‟ membuat BMP punya

inisiatif untuk menghindar dan melawan

kekuasaan pelemah (sumber: data primer

dari Suwantin, Tina, Suning, Juwariyah,

Yuyun, Yunestutik; 2007).

Di rumah tangga

Kalau Suwantin, Suning dan Tina

„melawan‟, tidak demikian dengan

Suyatun. Suyatun tidak mampu melawan

karena kehamilan dengan majikannya

(yang di Malang) membuat dia dikucilkan

karena melanggar „mores‟

(Wignyosoebroto; 2004). Jadi Suyatun

hanya menyalahkan dirinya ketika dia

hamil dan majikannya yang sangat dia

cintai tidak menikahinya, seperti pada

umumnya perempuan yang oleh

masyarakat selalu dipersalahkan kalau

sampai hamil.

Di Penampungan

Kalau BMP berangkat untuk pertama

kalinya, mereka tidak berani „melawan‟

terhadap instruktur (guru) dan staf; tapi

yang ketika mereka berangkat untuk kedua

kalinya, mereka tidak mau lagi

dipersalahkan semena-mena. Staf tidak

„berani lagi‟ memperlakukan BMP

seenaknya. Kalau guru tidak lagi mereka

jumpai karena mereka tidak lagi mengikuti

pendidikan dan pelatihan. Mereka telah

punya posisi tawar dengan mereka-mereka

yang ada di PJTKI atau di penampungan.

Di Bandara

Sebagian BMP memberi uang karena

takut tidak diberangkatkan, sebagian

menghindar dengan menyembunyikan

uang miliknya, sebagian yang lain

„melawan‟ dengan tidak mau memberi.

Jadi „keselamatan‟ mereka tergantung pada

keberanian melawan atau melaksanakan

strategi-strategi lain yang didapat

berdasarkan pengalaman masing-masing

ataupun berdasarkan pengalaman teman-

teman mereka yang berhasil.

Di Negara Tujuan

Potongan gaji yang besar terjadi karena

informasi bahwa ada biaya rekruting dari

majikan seringkali tidak diketahui oleh

BMP. Kalaupun tahu, mereka juga tidak

tahu harus kemana melaporkan hal itu,

kalaupun melaporkan apakah ada instansi

pemerintah yang ditugasi mengawasi mau

menyelesaikannya; merupakan masalah

yang mereka hadapi dalam proses

penempatan. Hal yang demikian itu masih

ditambah lagi dengan pengawasan dari

pemerintah tidak dilakukan. Jadi menurut

Freidmann (1977, 30) substansi

peraturannya ada, tapi penegak hukumnya

tidak menjalankan dan budaya hukum

Rechtidee Jurnal Hukum, Vol.3. No.2 Desember 2008, 93-101

101

penegak hukum dan masyarakatnya

berbeda. Selain masalah potongan gaji,

masalah asuransi juga tidak dilaksanakan

dengan baik. Apakah asuransi diberikan,

terutama kalau BMP sakit di negara tujuan

atau tidak, seluruhnya tergantung pada

„kebaikan‟ majikannya. Hal ini juga karena

informasi yang tidak diberikan,

pengawasan yang tidak dilakukan dan

tempat claim tidak ada.

Masa Reintegrasi

Tidak seperti tulisan Widati (2002, 21-

27) yang mengatakan bahwa bagi

perempuan yang marjinal, perkawinan

hanya merupakan suatu kelaziman dan

siklus kehidupan mereka. Dalam

kehidupan BMP perkawinan merupakan

hal yang penting, sehingga cerai

merupakan hal yang tabu (mores) dan oleh

karenanya mereka mempertahankannya,

apalagi selingkuh yang diketahui oleh

masyarakat. Karena itu „pembolehan‟ ke

lokalisasi merupakan pilihan sulit bagi

BMP, ini inisiatif untuk mempertahankan

perkawinan mereka (Djuwariyah,

Suwantin, Tina, Suning; 2007).

Keberanian Suning ini tidak berbeda

dengan artikel Hilmy (2005, 112-136)

yang mengemukakan bahwa Solihah juga

„berani bercerai‟ ketika suaminya menikah

lagi saat dia di Hongkong. Lagi pula data

ini ditunjang dengan data dari Pengadilan

Agama tingkat Kabupaten, dimana yang

cerai gugat jumlahnya 2 kali gugat talak

(Ayu Ota, 2007). Semua yang dilakukan

oleh para BMP merupakan keberanian-

keberanian dari dalam diri BMP sendiri

yang kemudian digunakan untuk

mempertahankan diri dan hak-haknya

dalam proses bekerja ke luar negeri.

Tindakan-tindakan mereka masih

merupakan tindakan individu, karena

dilakukan secara sendiri-sendiri. Tapi satu

dengan yang lain saling memberitahukan

dan saling belajar, sehingga keberanian

yang satu dapat dikopi (copying strategy)

oleh yang lain.

Walaupun demikian ada pula BMP

yang sudah punya pengalaman untuk

mengorganisir teman-temannya ketika di

Hongkong (Juwariah 2007). Dia

mengorganisir sekelompok temannya

untuk melaksanakan pengajian ketika libur

(hari Sabtu di Victoria Park). Hal yang

sama dia lanjutkan saat telah kembali di

desanya. Seminggu sekali mereka

melakukan pengajian tersebut. Lagi pula

setelah Program WEMC ini dilaksanakan,

FGD beberapa kali dilakukan, ada satu-dua

BMP yang tidak ikut diundang selama

FGD, meminta diundang untuk

berkelompok. Pada FGD yang kedua

kalinya, para BMP semua mulai

mengemukakan masalah mereka dan mulai

mengajak teman-temannya untuk mencari

cara menyelesaikannya.

Penutup

Kesimpulan

Dari pembahasan tersebut dapat

disimpulkan sebagai berikut: BMP

mengalami pelemahan dalam proses

bekerja ke luar negeri, mulai dari saat

pengambilan keputusan untuk bekerja

sampai kembali lagi ke rumah.

Pelemahnya ada di setiap tahapan proses

dan dilakukan oleh para individu yang

ditunjang dengan adanya struktur sosial

dan budaya yang tidak adil bagi

perempuan.

Walaupun di desa penelitian punya

kepercayaan mistis yang memuja dan takut

kepada makhluk halus yang berjenis

kelamin perempuan (Nyai Loro Kidul),

tetapi struktur sosial di desa tersebut sama

dengan di desa-desa yang lain, yakni

masih patriarkhi. Dalam melakukan

persembahan (larung) ada bagian yang

perempuan dilarang untuk berpartisipasi.

Dalam struktur sosial yang demikian,

sebagian besar BMP telah berdaya untuk

melakukan „perlawanan‟ secara individual.

Namun demikian perlawanan mereka

berpotensi menuju kolektif, karena telah

ada upaya untuk mengorganisirnya

walaupun ketika mereka berorganisasi

masih diisi dengan pengajian, belum

mengkaji masalah-masalah yang

melemahkan mereka dan bagaimana

mengubah keadaan yang melemahkan

tersebut menjadi kuat dan mandiri.

Saran

Berdasarkan kesimpulan

direkomendasikan: bahwa potensi tersebut

harus dikembangkan untuk menolong diri

mereka sendiri dan kelompok mereka yang

Rechtidee Jurnal Hukum, Vol.3. No.2 Desember 2008, 93-101

102

sudah bersusah payah untuk mencari

nafkah ke luar negeri. Pertemuan rutin

sebaiknya mulai diadakan. Dalam

pertemuan-pertemuan itulah, para BMP

didorong untuk mencatat dan menganalisis

pengalaman-pengalaman mereka dan

strategi perlawanan mereka untuk

mengubah keadaan yang melemahkan

menjadi kekuatan dan kemandirian baik di

bidang sosial maupun ekonomi mereka,

baik di rumah tangga mereka maupun pada

proses mereka bekerja di luar negeri.

Pertemuan rutin ini direkomendasikan

untuk menjadi suatu organisasi yang

nantinya dikembangkan secara kuantita

maupun kualitas dan berjaringan bersama-

sama organisasi-organisasi sesama buruh

migran, dan organisasi kemasyarakatan

yang lain atau organisasi non pemerintah

dalam memperjuangkan hak-hak

perempuan pada umumnya dan BMP

khususnya.

DAFTAR RUJUKAN

Anthony Giddens & David Held; editor;

1987; “Strukturisasi Kelas dan

Kesadaran Kelas” dalam buku

Perdebatan Klasik dan

Kontemporer mengenai Kelompok,

Kekuasaan dan Konflik diterjemahkan Verdi R. Hadiz

Penerbit: Rajawali Pers, Jakarta.

Geertz, Clifford; 1989; Abangan, Santri,

Priyayi Dalam Masyarakat Jawa;

Terjemahan Aswab Mahasin dan

disunting Bur Rasuanto; Penerbit

Pustaka Jaya, Jakarta Pusat.

Haris, Abdul; 2003; Kucuran Keringat

dan Derap Pembangunan (jejak

migran dalam pembangunan

daerah); Penerbit Pustaka Pelajar;

Yogjakarta.

Hilmy, Umu; 2005: “Poligami di Kalangan

Buruh Perempuan(studi pada buruh

industri dan buruh migran)” dalam

Wacana Poligami di Indonesia; PT

Mizan Pustaka; Bandung.

Kelly, Maria Patricia Fernandes; 1983;

For We Are old, I And My People;

State University of New York Press,

Albany.

Keppi Sukesi, dkk; 2004; Buku Statistik

Gender dan Analisis Kabupaten

Malang, Propinsi Jawa Timur.

Narwoto, Dwi; 2006; Sosiologi Teks

Pengantar Dan Terapan; Jakarta;

Kencana Predana Media Group.

Prawatya, Ayu Ota; 2007; “Perlindungan

Hukum Bagi Buruh Perempuan

Migran Indonesia Dalam Kaitannya

dengan Cerai Talak dan Cerai Gugat:

Studi di kecamatan Gondanglegi

Kabupaten malang dan Pengadilan

Agama Kabupaten Malang”; Skripsi

yang tidak dipublikasikan; FH

Unibraw.

Riris W. Widati; 2002; “Perkawinan di

Kalangan Perempuan Marjinal”;

Jurnal Perempuan. Syafa‟at, dkk.; 2002: Menggagas

Kebijakan Pro TKI: model

kebijakan perlindungan TKI ke

Luar Negeri di Kabupaten Blitar;

Lappera Pustaka Utama, Yogjakarta.

Suyono; R.P.Capt; Dunia Mistik Orang

Jawa, roh, ritual, benda magis;

Penerbit LKIS; Yogyakarta.

Tim Peneliti PPHG FH UNIBRAW; 2002;

„‟Pengkajian Trafficking Terhadap

Perempuan dan Anak di Jawa

Timur‟‟; Laporan Penelitian yang

diselenggarakan atas kerjasama antara

Kantor Kementerian Pemberdayaan

Perempuan Republik Indonesia

dengan Pusat Pegembangan Hukum

dan Gender Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya; Malang.

Tim Peneliti PPIS UNIBRAW; 1997;

„‟Dampak Krisis Ekonomi Terhadap

Ketenagakerjaan di Jawa Timur‟‟;

Laporan Penelitian; PPIS - Lembaga

Penelitian UNIBRAW.

Tjondronegoro, 1990; “Revolusi Hijau dan

Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa”;

Prisma, Nomor 2.

Welch, Carol; 2000; Panduan Mengenai

IMF, terjemahan Wahyu Basyir,

INFID, Jakarta.

Wichterich, Christa; 2000; The Globalized

Woman: report from a future of

inequality; Translated by Patrick

Camiller; Spinifex Press; Australia.

Wignyosoebroto, Soetandyo dan Suyanto,

Bagong; 2004; “Pengendalian atau

Kontrol Sosial” dalam Sosiologi Teks

Rechtidee Jurnal Hukum, Vol.3. No.2 Desember 2008, 93-101

103

Pengantar dan Terapan; edited J.

Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto;

Penerbit Kencana Predana Media

Group; Jakarta.