reaksi sosial masyarakat adat suku amungme dan kamoro
TRANSCRIPT
Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro Terhadap Tindakan Pelanggaran HAM PT. Freeport Indonesia yang Difasilitasi Oleh
Negara.
Alex Shofihara, Muhammad Mustofa
Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16400, Indonesia
Abstrak
Setelah secara resmi melakukan eksplorasi pertambangan di Mimika pada awal tahun 1970, PT. Freeport Indonesia secara perlahan melakukan pengambilan secara paksa atas tanah adat dari masyarakat lokal untuk kepentingan usaha mereka. Masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro sebagai suku asli yang merasakan dampak langsung dari aktifitas pertambangan Freeport harus mengalami berbagai tindakan pelanggaran HAM yang berkepanjangan. Setelah sebagian besar tanah adat mereka diambil secara paksa, kedua suku tersebut masih harus mengalami berbagai tindakan kekerasan, penyiksaan bahkan pembunuhan sebagai akibat dari perlawanan mereka dalam usahanya mengambil kembali hak-hak yang telah dirampas oleh perusahaan atas dukungan dari pemerintah. Menghadapi situasi ini, kedua masyarakat adat memutuskan untuk menghadapi Freeport dengan berbagai cara. Reaksi pertama yang dilakukan oleh suku Amungme dan Kamoro dilakukan dengan melakukan perlawanan fisik mulai dari demonstrasi, pemotongan pipa konsentrat, penutupan akses masuk kedalam area pertambangan sampai pembakaran terhadap Bandara Mimika. Atas pertimbangan efektifitas dan jatuhnya banyak korban sebagai akibat dari perlawanan fisik yang telah dilakukan, masyarakat adat melalui lembaga adat dan dibantu oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah hukum dengan menuntut Freeport melalui pengadilan Amerika Serikat. Langkah yang diambil oleh masyarakat ini pada dasarnya telah sesuai dengan perkembangan dunia kontemporer yang telah sejak lama meninggalkan penggunaan tindakan fisik untuk menyelasaikan sebuah permasalahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Joel Handler dalam Theory of Law Reform and Social Change dimana upaya hukum merupakan jalan yang paling efektif untuk dapat melakukan sebuah perubahan sosial.
Social Reaction of Amungme and Kamoro Tribe Againts Human Rights Violation By PT. Freeport Indonesia with State Facilitated.
Abstract
Since officially having exploration in Mimika early 1970, Freeport Indonesia Corporation gradually taking over forcibly the Indigenous land of local community for their interest purposes. The Indigenous people of Amungme and Kamoro as local community who feel the direct effect from Freeport's minning operation having experience human rights violation for a long time. After most of their land be taking over, both of them still be through violence act, torture even murder as result of their resistance againts Freeport. Facing off this situation, both of Indigenous people decided to oppose that corporation with some action. Firstly, Amungme and Kamoro againts Freeport conducted with some physical resistence like demonstration, blocking the entry acces to minning, cutting the concentrate pipe until burning of the airport. Considering of effectivity and many victim which fell in their side cause this physical resistence, the Indegenous people supported by some civil society that concern of this case decided to take legal action to prosecute Freeport through the United Stated Courts. This step which chosen by Indigenous peoples are essentially due with world situation nowadays that have for a long time left physical action to resolve a problem. This case is in line with Joel Handler's idea in the Theory of Law Reform and Social Change, which he said that legal action is most effective way to realized a social change.
Keyword : Freeport, Human Rights Violation, Indigenous People, Social Reaction
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
1. Pendahuluan
Secara legal dalam konstitusi negara Indonesia, masyarakat adat dalam setiap suku bangsa
diakui eksistensinya melalui pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).
Dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tersebut, diberikan contoh tentang satuan-satuan
masyarakat hukum adat yang dinyatakan mempunyai hak asal-usul yang harus dihormati
negara, termasuk di dalamnya aturan hukum adat yang berlaku pada masing-masing wilayah
adat. Bahkan khusus untuk ras Melanesia sebagai ras utama suku-suku bangsa di Papua,
negara Indonesia memberikan perhatian khusus dalam bentuk pengakuan akan eksistensi
mereka melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua.
Dalam Undang-Undang tersebut, secara tegas dijelaskan bahwa negara Indonesia mengakui
suku bangsa di Papua sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Meskipun negara Indonesia telah secara tegas mengakui eksistensi dari setiap suku bangsa
yang berada di wilayahnya, namun dalam praktiknya seringkali terjadi benturan yang
melibatkan negara dengan masyarakat adat. Dalam kasus aturan investasi misalnya,
pemerintah Indonesia dengan berlandaskan pada hukum positif, merasa memiliki hak untuk
memanfaatkan setiap tanah yang berada di wilayahnya dengan alasan untuk kepentingan
nasional. Begitu juga sebaliknya, masyarakat adat melalui hukum adatnya, berkeyakinan
memiliki hak penuh atas tanah adat tersebut dan berusaha sekuat tenaga untuk
mempertahankan tanah yang secara turun-temurun menjadi milik mereka. Kondisi inilah yang
kemudian terjadi di Mimika Papua, dimana terjadi konflik yang berkepanjangan antara
Freeport sebagai perusahaan yang memiliki hak konsesi pertambangan yang diberikan negara
dengan masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro yang memiliki hak ulayat atas tanah di
Mimika.
Sejak awal tahun 1970, ketika PT. Freeport Indonesia diputuskan menjadi pemegang hak
konsesi pertambangan dan mulai membangun infrastruktur untuk kebutuhan tambangnya,
kehidupan masyarakat adat yang bertempat tinggal pada area konsesi Freeport mulai
bermasalah. Lahan-lahan yang mereka tempati baik untuk berkebun, membuat kampung dan
berburu semakin sempit. Mereka melihat sendiri bagaimana Freeport dengan leluasanya
membongkar dan menambang gunung-gunung serta mengambil alih sebagian besar lahan
tradisional mereka untuk kepentingan perusahaan. Masyarakat asli, khususnya suku
Amungme juga melihat sendiri bagaimana gunung “keramat” yang mereka percaya sebagai
tempat bersemayamnya leluhur dan jelmaan ibu mereka sudah menjadi rata dan bahkan
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
menjadi lubang raksasa (LEMASA, 2014). Mudahnya korporasi dalam mengambialih tanah
masyarakat lokal ini menurut penelitian yang dilakukan oleh Luis Willem terjadi karena
lemahnya posisi masyarakat lokal yang kemudian diperparah dengan ketidakhadiran
pemerintah setempat dalam mengatasi permasalahan ini (Willem, 2010 : 22)
Praktik korporasi global Freeport telah menghasilkan keuntungan puluhan triliun rupiah setiap
tahunnya (IMA, 2013). Akan tetapi ironisnya, masyarakat adat yang berada di sekitar
perusahaan hanya menjadi penonton yang justru seringkali mengalami kekerasan, pengusiran,
penganiayaan, serta harus hidup di tengah-tengah lingkungan alam yang rusak parah
(ELSHAM, 2014). Gambaran mengenai akar permasalahan pada wilayah konsesi
pertambangan PT. Freeport Indonesia, secara khusus juga dijelaskan dalam sebuah penelitan
yang dilakukan oleh Global Witness pada tahun 2005 yang berjudul “Global Witness :
Paying For The Freeport mine and the Indonesian security forces”. Dalam penelitian ini
dijelaskan bahwa, permasalahan yang ada pada PT. Freeport Indonesia muncul dikarenakan
perusahaan tersebut menggunakan jasa pengamanan dari pihak militer dan kepolisian guna
mendukung pengamanan yang dilakukan oleh pengamanan swakarsa
Menurut Surat Kepolisian Daerah Papua Nomor B/918/IV/2011 tanggal 19 April 2011
tercatat jumlah aparat gabungan TNI-POLRI yang ditugaskan untuk melakukan pengamanan
areal tambang Freeport mencapai 937 personil (Satgas PAM Objek Freeport, 2012). Aparat
keamanan ini terdiri dari 52 anggota Polda Papua, 72 Polres Mimika, 35 anggota Brigadir
Mobil Detasemen A Jayapura, 141 anggota Brimob Detasemen B Timika, 380 anggota
Brimob Mabes Polri dan 257 anggota TNI. Dari jumlah tersebut, PT. Freeport Indonesia telah
mengeluarkan uang untuk membiayai jasa pengamanan militer dan polisi sebesar 47-59 Miliar
rupiah per tahun (Global Witness, 2005 : 11). Uang sebanyak itu dikeluarkan sebagai
kompensasi untuk membayar barang dan jasa baik berupa barak, angkutan, makanan dan gaji
bagi aparat keamanan.
Hal ini tentu tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan tugas dan fungsi aparat negara
sebagaimana diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No. 2 Tahun 2002
tentang Polri. Penggunaan aparat keamanan untuk menjaga daerah operasi PT. Freeport
Indonesia ini kemudian dianggap sebagai pemicu bagi terjadinya berbagai kasus kekerasan
dan pelanggaran HAM di wilayah operasi pertambangan Freeport. Aparat dengan sistem
persenjataan yang dimilikinya dalam banyak kasus melakukan tindakan represif kepada
masyarakat setempat yang dianggap membahayakan kepentingan PT. Freeport Indonesia
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
(Widjojo, 2002 : 67). Hal ini pada dasarnya sesuai dengan hasil penelitian dari Victor
Ojakorotu dan Ayo Wetho (2005) yang menjelaskan bahwa masalah keamanan merupakan
private business, dimana pihak yang bisa membayar aparat keamanan akan memperoleh jasa
keamanan (Ojakorotu dan Wetho, 2005). Hal ini kemudian diperkuat oleh penjelasan Deanna
Kemp (2010) dalam penelitiannya yang menjelaskan bahwa terjadinya antara masyarakat
lokal dengan korporasi terjadi dikarenakan perkembangan dari negara sedang berkembang
yang cenderung menjadi “soft state”. Dalam artian, negara tersebut gagal dalam melakukan
tindakan intervensi terhadap perusahaan multinasional.
Saat ini, masyarakat adat suku-suku di Mimika berada dalam posisi yang dilematis dalam
menyikapi keberadaan Freeport. Pertama, pada satu sisi masyarakat adat tetap menyatakan
dengan tegas penolakan mereka terhadap beroperasinya Freeport di Mimika. Namun pada sisi
yang lain, masyarakat juga menyadari posisi mereka yang seakan “dipaksa” bergantung
kepada bantuan yang diberikan Freport setiap tahunnya. Selain itu, masyarakat juga menderita
akibat tekanan ekonomi dari perusahaan. Hal ini dikarenakan sumber penggerak ekonomi
pada wilayah tersebut hampir seluruhnya memiliki kaitan erat dengan Freeport. Masyarakat
adat di Mimika secara perlahan-lahan telah berada dalam level ketergantungan yang akut
terhadap Freeport. Kondisi ini kemudian seringkali dimanfaatkan oleh perusahaan untuk
menekan masyarakat.
2. Tinjauan Teoritis
Greeen dan Ward (2004) yang mengutip pendapat Matthew dan Kauzlarich (2000) kemudian
membagi kejahatan yang melibatkan negara dan korporasi kedalam dua bentuk, yaitu state-
initiated dan state-facilitated. Dalam konteks ini kejahatan negara dan korporasi yang
berbentuk state-initiated terjadi ketika korporasi dipekerjakan oleh pemerintahan suatu negara
untuk melakukan tindakan kejahatan. Dalam kejahatan jenis ini, negara berperan memberikan
perintah untuk melakukan suatu tindakan kejahatan tertentu, sedangkan korporasi hanya
bertindak sebagai pendukung yang memberikan bantuan, khususnya dari segi pendanaan dan
infrastruktur. Dalam hal ini, keduanya memberikan contoh kasus dimana Departemen Energi
Amerika Serikat meminta bantuan dari perusahaan Rockwell Internasional untuk memberikan
fasilitas dan dukungan pendanaan untuk mengembangkan senjata nuklir yang pada akhirnya
digunakan Amerika selama Perang dunia (Green dan Ward, 2004 : 31).
Sedangkan bentuk kejahatan negara dan korporasi yang berupa state-facilitated, berupa
kegagalan pemerintahan suatu negara dalam melakukan pengaturan terhadap aktifitas bisnis
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
yang dijalankan oleh korporasi yang dalam banyak kasus berbentuk kolusi diantara kedua
institusi tersebut. Dalam konteks ini, negara mengeluarkan regulasi yang menguntungkan bagi
pihak korporasi, termasuk di dalamnya memberikan perlindungan ketika korporasi melakukan
berbagai tindakan ilegal dan kejahatan. Dalam hal ini, keduanya memberikan contoh kasus
yang terjadi pada banyak negara di Amerika Selatan yang dimana negara terlibat secara
langsung melakukan tindakan kekerasan secara brutal terhadap komunitas lokal yang
menentang keberadaan korporasi yang merampas tanah warga untuk kepentingan bisnis
mereka.( Green dan Ward, 2004 : 33).
Peran dari negara baik menginiasi ataupun memberikan fasilitas atas tindakan kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi dapat didefinisikan sebagai pelanggaran HAM. Green dan Ward
(2004) yang mengutip pendapat dari Ronald Kramer (1992) menjelaskan bahwa negara yang
bekerja sama dengan korporasi untuk melakukan tindak kejahatan ini tidak lain disebabkan
oleh rendahnya kontrol dan mekanisme penegakan hukum (Green dan Ward, 2004 : 49).
Negara dan korporasi, keduanya bertanggung jawab atas berbagai tindakan pelanggaran HAM
terhadap masyarakat diberbagai belahan di dunia. Korporasi yang melakukan tindakan
pelanggaran HAM justru diberikan dukungan oleh negara dengan pemberian hak imunitas
atas berbagai tindakan ilegal mereka (Green dan Ward, 2004 : 51).
Untuk menjelaskan reaksi dari masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro, penelitian ini
secara khusus menggunakan teori perilaku kolektif yang dijelaskan oleh Gustav Le Bon, Neil
Smleser dan Herbert Blumer serta teori Frustasi-Agresi dari Leonard Berkowitz. Dalam
konteks ini Gustave Le Bon (2002) menjelaskan bahwa perilaku kolektif ini terjadi ketika
sekelompok orang yang melakukan interaksi sosial mencoba merespon suatu situasi yang
tidak terstruktur, ambigu dan tidak stabil. Tindakan atau perilaku yang sebenarnya mengikuti
pola norma tertentu, yang biasanya berlaku pada saat tertentu dan cenderung tidak sama
dengan norma yang sudah lama berlaku di masyarakat. Dalam banyak kasus perilaku kolektif
ini mengandung makna adanya penyimpangan perilaku dimana perilaku menyimpang tersebut
dilakukan oleh suatu kelompok (Le Bon, 2002). Terkait dengan hal ini, melalui Contagion
Theory dalam bukunya yang berjudul “The Crowd. A Study of the Popular Mind”, Le Bon
menjelaskan bahwa apabila satu kerumunan terbentuk, maka akan terjadi penyebaran reaksi
emosional seseorang kepada orang lainnya, bahkan sampai identitas individu dan pribadi atas
dirinya menjadi lenyap, dan yang tinggal hanyalah ciri-ciri umum.
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
Penjelasan lain terkait dengan perilaku kolektif dilakukan oleh Herbert Blumer. Secara lebih
spesifik dalam bukunya yang berjudul “Symbolic Interactionism, Perspective and Method”,
Blumer (1986) menjelaskan bahwa perilaku kolektif merupakan suatu tindakan yang
seringkali irrasional dan cenderung emosional. Lebih lanjut Blumer menjelaskan bahwa
dalam suatu perilaku kolektif setidaknya harus memenuhi tiga unsur penting. Pertama
tindakan tersebut dilakukan secara bersama oleh sekelompok orang. Kedua bahwa tindakan
kolektif tersebut tidak bersifat rutin. Terakhir tindakan kolektif ini diambil sebagai bagian dari
tanggapan kelompok atas suatu kejadian tertentu. Dalam penjelasan dari teori interaksionis
yang dikembangkan Herbert Blumer (1986) tersebut dapat dijelaskan bahwa tindakan perilaku
kolektif ini disebabkan oleh adanya hasil reaksi melingkar (circular reactions) yang terjadi
dalam situasi konflik atau kerusuhan sosial (Blumer, 1986).
Penjelasan lain terkait dengan perilaku kolektif dilakukan oleh Neil Smelser. Smelser (1962)
menjelaskan bahwa perilaku kolektif menekankan pada perilaku sekelompok orang sebagai
suatu upaya untuk mengubah lingkungan sosial. Tindakan tersebut dilakukan oleh
sekelompok orang yang didasari oleh suatu generalized belief yang dapat diartikan sebagai
sesuatu yang sudah menjadi kepercayaan umum. Dalam menjelaskan proses terjadinya
perilaku kolektif, Smelser menyebutkan bahwa ada enam faktor penyebab terjadinya tindakan
kolektif (Smelser, 1962). Pertama adalah faktor pendorong struktural, yaitu suatu kondisi
struktural masyarakat yang mempunyai potensi bagi timbulnya tingkah laku kolektif.
Semakin heterogen suatu masyarakat, semakin kondusif heterogenitas masyarakat tersebut
bagi munculnya kerusuhan sosial.
Faktor kedua adalah ketegangan struktural, yaitu suatu kondisi ketegangan yang diakibatkan
oleh kenyataan struktur masyarakat sepeti misalnya terjadinya konflik dan kesenjangan.
Ketiga adalah faktor penyebarluasan kepercayaan umum, adalah suatu proses ketika
ketegangan struktural menjadi bermakna bagi para calon pelaku tindakan kolektif. Ketika
suatu kelompok masyarakat merasakan diperlakukan secara tidak adil, mereka akan mencoba
mencari sumber-sumber yang dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas
terjadinya kondisi kete-gangan tersebut. Keempat adalah Faktor pencetus, merupakan faktor
situasional yang menegaskan pendorong struktural. Faktor kelima dalah adanya mobilisasi.
Suatu tindakan kolektif hanya akan bisa terjadi apabila adanya dukungan massa untuk
bertindak. faktor terakhir adalah Keberadaan lembaga pengendalian sosial dimana adanya
lembaga tersebut sangat mempengaruhi terjadi atau tidaknya tindakan kolektif (Smelser,
1962).
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
Perlawanan fisik yang dilakukan oleh masyarakat suku Amungme dan Kamoro secara tidak
langsung juga dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Frustasi-Agresi dari Leonard
Berkowitz. Berkowitz (1989) dalam teori tersebut menjelaskan bahwa kondisi frustasi yang
dialami oleh seseorang akan menghasilkan beberapa respon. Salah satu diantara respon-
respon tersebut adalah dilakukannya tindakan agresi. Lebih lanjut, Berkowitz (1993)
menjelaskan bahwa frustasi hanya akan menghasilkan tindakan agresi apabila orang yang
mengalami frustasi tersebut berada dalam kondisi terancam dan marah. Selain itu tindakan
agresi bisa terjadi apabila orang yang mengalami frustasi tersebut juga memiliki kekuatan
yang cukup untuk mewujudkannya (Berkowitz, 1989).
3. Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena berusaha mendeskripsikan
suatu gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat.Sedangkan untuk desain penelitian
sendiri peneliti menggunakan metode studi kasus dimana dasar analisis dari penelitian ini
berpedoman pada kasus yang terjadi di Mimika Papua dimanan terjadi konflik yang
berkepanjangan antara masyarakat adat setempat dengan PT Freeport Indonesia sebagai
pemegang hak konsesi pertambangan. Penelitian ini dilakukan dibeberapa tempat di
Kabupaten Mimika Papua, yang merupakan area pertambangan PT Freeport Indonesia. Lebih
spesifiknya penelitian dilakukan diberbagai lembaga di Mimika Papua yang meliputi
Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (LEMASA), Lembaga Masyarakat Adat Suku
Kamoro (LEMASKO), Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan (YAHAMAK), Satuan
Tugas Amole selaku pihak yang bertanggung jawab terhadap pengamanan PT. Freeport
Indonesia, Dinas Pendapatan Daerah Mimika, BPS Cabang Mimika serta PT. Freeport sendiri
yang diwakili oleh manajer bidang hak asasi manusia.
Penentuan subjek dan informan penelitian dilakukan secara purposif. Informan dalam
penelitian ini adalah orang-orang yang memahami kasus konflik pelanggaran HAM yang
terjadi di Mimika yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia yang dibantu aparat negara
terhadap masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro.Sedangkan subjek penelitian adalah
pimpinan dari berbagai lembaga yang terkait dengan permasalahan tersebut diantaranya
Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (LEMASA), Lembaga Masyarakat Adat Suku
Kamoro (LEMASKO), Kepala satuan tugas pengamanan Freeport serta perwakilan dari PT
Freeport Indonesia yang diwakili oleh manajer bidang hak asasi manusia.
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, kajian literatur serta observasi. Wawancara
mendalam dilakukan terhadap subjek kasus dan informan perorangan dengan menggunakan
suatu pedoman pertanyaan sebagai pemandu arah wawancara. Sedangkan kajian literatur pada
dasarnya berupa hasil-hasil penelitian sebelumnya yang memiliki relevansi denga tema yang
menjadi pembahasan dalam penelitian. Data yang diperloeh dari kegiatan turun lapangan
direkam oleh peneliti dalam bentuk rekaman elektronik dan catatan harian yang didalamnya
memuat berbagai informasi diantaranya topik, sumber dan rincian informasi. Terakhir untuk
Analisis data kualitatif melalui tiga proses analisis yaitu reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles & Huberman, 2007).
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Sejak pertama kali melakukan eksplorasi tambang di Indonesia pada awal tahun 1970,
Freeport secara konsisten telah melakukan berbagai tindakan kekerasan dan dugaan
pelanggaran hak asasi manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh Giay dan Kambai (2003),
bentrokan antara masyarakat adat dengan aparat keamanan semakin meluas pada tahun 1973.
Hal ini dilatarbelakangi oleh aksi Freeport yang semakin masif dalam menebang hutan dan
melakukan penggusuran terhadap masyarakat yang berada pada wilayah Mulkindi untuk
membangun dan memperluas kota Tembagapura yang akan digunakan sebagai daerah tempat
pemukiman pekerja tambang (Giay dan Kambai, 2003)
Tabel 4.1. Data Kasus Kekerasan dan Dugaan Pelanggaran HAM Pada Area Konsesi
PT. Freeport Indonesia Tahun 1971-1977
No. Tahun Peristiwa Kekerasan Bentuk Kekerasan
1. 1971 Peristiwa Lembah Tsinga Pembunuhan terhadap 50 Orang
Suku Amungme
2. 1972 Peristiwa Mulkindi Pengusiran Paksa dan
Penembakan Masyarakat di Mulikindi
3. 1974 January Agreement 1974 Penggusuran, Pengusiran dan
Penembakan Suku Amungme
4. 1977 Peristiwa Kali Kabur Pembunuhan Terhadap 50 orang
Pendemo.
Sumber : ELSHAM dan YAHAMAK Papua , 2003 (Data telah diolah kembali)
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
Dari tabel diatas diketahui bahwa, 6 tahun awal beroperasinya PT. Freeport Indonesia di
Mimika menjadi salah satu periode dimana tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh Freeport berada pada puncaknya. Dalam kurun waktu tersebut, masyarakat
adat baik suku Amungme maupun Kamoro harus mengalami berbagai tindakan pelanggara
HAM seperti pengusiran, penggusuran, kekerasan sampai pembunuhan.
Kami tau Freeport tidak sedikit bantu kami. Tapi kalo saya sendiri disuruh memilih,
saya mau Freeport berhenti saja. Kami LEMASKO sudah menderita akibat Freeport,
banyak kami punya saudara mati karena ditembak TNI. Tanah kami rusak, kami
susah cari ikan, kami punya sagu mati. Berapa pun bantuan yang Freeport berikan
tak kan bisa kembalikan semua itu. (Hasil Wawancara dengan Wakil LEMASKO
Bapak Robertus Waropea pada 23 Juni 2015)
Hal yang sama juga diungkapkan oleh pihak dari LEMASA. Ketika peneliti melakukan
wawancara dengan LEMASA, diketahui bahwa suku Amungme merupakan pihak yang paling
menderita sebagai dampak kehadiran Freeport di Mimika. Tidak hanya diusir dan mengalami
tindakan kekerasan, mereka juga harus meninggalkan wilayah adat mereka yang dalam
perspektif Amungme merupakan wilayah keramat yang tidak boleh ditinggalkan. Dalam
kepercayaan mereka, meninggalkan wilayah adat merupakan hal yang dilarang secara budaya.
Mereka percaya bahwa malapetaka akan datang ketika anggota suku Amungme meninggalkan
wilayah mereka dan turun ke dataran rendah yang menjadi tempat bagi suku Kamoro.
Ya...Freeport itu memang bantu kami, tapi kalo dibandingkan dari apa yang mereka
ambil dari tanah kami, itu tidak ada apa-apanya. Kami dulu sebelum Freeport datang
tinggal di tempat yang sekarang Tembagapura. Kami hidup cukup dan aman waktu
itu. Mereka bunuh kami punya saudara. Kami minta hak kami yang diambil Freeport
dan Indonesia. Itu sudah. Setelah Freeport datang mereka hancur kan kami punya
rumah, mereka usir dan paksa kami turun dari gunung yang kami anggap sebagai Ibu
kami. Kami tak boleh pergi dari wilayah kami. (Hasil wawancara dengan Ketua
LEMASA Antonius Alomang 24 Juni 2015).
Kritik suku Amungme dan Kamoro terhadap Freeport dan pemerintah Indonesia semakin
keras ketika tuntutan masyarakat kepada Freeport terkait dengan perbaikan terhadap
kehidupan mereka tak juga kunjung dipenuhi. Awal mula konflik ini terjadi ketika tindakan
penyerobotan tanah adat yang dilakukan oleh Freeport justru disahkan oleh pemerintahan
Presiden Suharto. Oleh karena itu, suku Amungme dan Kamoro menyatakan bahwa Freeport
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
telah melanggar aturan adat mereka, yang artinya Freport sama dengan pencuri yang masuk
ke pekarangan orang lain tanpa restu pemiliknya. Dengan kata lain, Freeport sama sekali tidak
menghargai mereka sebagai masyarakat yang memiliki tata nilai dan sosial untuk mengatur
dan menata sistem sosial, hak milik dan harga diri mereka (LEMASA, 2014).
Setelah mengalami berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM, masyarakat adat suku
Amungme dan Kamoro melakukan berbagai upaya untuk menanggapi berbagai tindakan
tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak LEMASA dan LEMASKO, secara
umum reaksi yang ditunjukkan masyarakat ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, pada
periode awal terjadinya berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM, masyarakat adat di
Mimika selalu menanggapinya dengan menggunakan perjuangan fisik. Berbagai aksi protes
dan demostrasi bahkan tindakan untuk melucuti eksistensi Freeport dipilih sebagai jalan
perjuangan pada waktu itu. Perjuangan secara fisik ternyata bukannya tanpa resiko.
Perlawanan yang pada awalnya ditujukan untuk melawan aksi kekerasan dan berbagai bentuk
pelanggaran HAM ini pada akhirnya justru menciptakan kekerasan dan bentuk pelanggaran
HAM lain, yang pada akhirnya masyarakat adat menjadi korbannya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak LEMASA, awal mula aksi masyarakat adat dalam
merespon berbagai tindakan pelanggran HAM yang dilakukan oleh Freeport dan pemerintah
Indonesia terjadi pada tahun 1971 di Lembah Waa. Aksi ini dilakukan oleh masyarakat adat
untuk menanggapi tindakan pengambilan secara paksa tanah adat dan penggusuran
masyarakat dari tempat tinggalnya oleh Freeport. Aksi ini dilakukan selama beberapa hari
dengan pengawalan ketat aparat keamanan Indonesia. Aksi protes ini kemudian berlanjut pada
tahun 1972. Pada kesempatan ini, masyarakat melakukan protes di Lembah Tsinga, sebuah
tempat yang dipercaya oleh suku Amungme sebagai situs yang keramat. Aksi ini dilakukan
oleh masyarakat adat untuk merespon tindakan Freeport yang dengan mudahnya
menghancurkan situs budaya yang dilestarikan masyarakat adat secara turun-temurun
(LEMASA, 2014). Pada tempat ini, Freeport berencana untuk membangun kota Tembagapura
yang akan dijadikan sebagai tempat tinggal bagi pekerja tambang. Karena kegigihan
masyarakat yang mencoba mengahalangi proses pembangunan, Freeport melalui aparat
keamanan Indonesia membubarkan secara paksa aksi masyarakat ini dengan melakukan
penembakan ke arah para demonstran.
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
Tabel 4.3. Data Reaksi Masyarakat Adat Suku di Mimika dalam Menanggapi Tindakan
Pelanggara HAM 1971-1991
No. Tahun Peristiwa Deskripsi
1. 1971 Protes Lembah Waa Reaksi masyarakat adat Mimika menanggapi
pengambilan paksa tanah adat dan penggusuran
masyarakat dari tempat tinggalnya.
2. 1972 Protes Lembah Tsinga Reaksi masyarakat adat dalam menolak pengrusakan
situs-situs adat
3. 1974 Memotong Sayur dan
membongkar Koperasi
Freeport
Reaksi masyarakat dalam menanggapi ketidakadilan
ekonomi di Mimika
4. 1977 Pemotongan Pipa Freeport Reaksi masyarakat adat dalam menolak pengambilan
paksa tanah adat serta tindakan kekerasan dan kebrutalan
aparat keamanan.
5. 1991 Membakar Bandara Timika. Reaksi menolak keberadaan Freeport di Mimika dan
menolak tindakan kekerasan aparat keamanan.
Sumber : Elsham Papua, 2003 (Data Telah Diolah Kembali)
Belajar dari pengalaman terdahulu, masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro
memutuskan untuk mengubah strategi yang mereka lakukan dalam menghadapi Freeport.
Masyarakat dengan pertimbangan tingkat efektifitas dan timbulnya banyak korban jiwa
akhirnya mulai meninggalkan berbagai bentuk perjuangan yang menggunakan kekuatan fisik.
Perubahan ini juga dipicu dengan semakin banyaknya anak muda dari kedua suku tersebut
yang mulai terdidik dan tergerakkan hatinya untuk menegakkan keadilan bagi suku mereka.
Langkah pertama untuk memulai aksinya, masyarakat adat kedua suku tersebut berusaha
untuk menolak segala bentuk upaya bantuan yang coba diberikan Freeport kepada mereka.
Penolakan ini dimaksudkan untuk memutus ketergantungan masyarakat kepada Freeport. Hal
ini juga dilakukan untuk menunjukkan kemandirian dan meningkatkan posisi tawar
masyarakat adat dalam pandangan pemerintah dan Freeport.
Benar sekali, jadi mulai sekitar tahun 1996 itu terjadi pengajuan gugatan hukum ke
Freeport terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM yang dirasakan oleh
masyarakat. Jadi gugatan itu berjalan di Amerika di negara bagian Lousiana. (Hasil
wawancara dengan Wakil LEMASA Bapak Bebari 24 Juni 2015).
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
Tindakan kedua yang dilakukan oleh LEMASA dan LEMASKO dalam menanggapi berbagai
bentuk tindakan pelanggaran HAM dilakukan dengan menghubungi Uskup Jayapura, Mgr.
H.F.M. Munninghoff. Setelah itu, Uskup Jayapura yang didukung oleh beberapa LSM dari
Papua dan Jakarta yang terdiri atas YLBHI, ELSAM, LPPS, INFID, dan Walhi pada 14
Agustus 1995 membantu LEMASA dan LEMASKO untuk menghadap Komnas HAM di
Jakarta (Amiruddin dan Jesus, 2003 : 83). Mereka menyampaikan dan membeberkan
serangkaian kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi pada area konsesi Freeport. Pada
kesempatan itu, para wakil LSM mendesak Komnas HAM untuk turun ke lapangan dan
membentuk tim khusus dalam rangka mencari fakta dan kejelasan dari peristiwa yang telah
dipaparkan oleh Uskup Munninghoff, LEMASA dan LEMASKO
Tabel 4.4. Reaksi Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro Terhadap Tindakan
Pelanggaran HAM 1995-1996
No. Tahun Peristiwa Deskripsi
1. 1995 Menolak Bantuan Dana 1%
Freeport
Masyarakat adat menolak bantuan dana
dari Freeport sebagai bentuk protes mereka
terhadap keberadaan Freeport di Mimika.
2. 1995 Meminta Bantuan Komnas HAM
dan LSM
Pasca terjadinya berbagai tindakan
pelanggaran HAM terhadap masyarakat
adat, LEMASA dan LEMASKO meminta
bantuan Komnas Ham dan LSM untuk
melakukan investigasi.
3 1996 Menggugat Freeport di Pengadilan
Amerika Serikat
Melakukan upaya hukum dengan
menggugat Freepport di negara asalnya.
Sumber : Amiruddin (Elsam), 2004 (Data Telah Diolah Kembali)
Tidak berhenti disana, usaha-usaha masyarakat adat untuk memperoleh keadilan dalam
peristiwa pelanggaran HAM yang menimpa mereka berlanjut pada ranah hukum. Langkah ini
ditempuh setelah semua upaya yang sebelumnya mereka lakukan tidak berhasil. Tidak
tanggung-tanggung, upaya hukum ini dilakukan di Amerika Serikat sebagai negara tempat
perusahaan induk Freeport beroperasi. Upaya hukum melalui pengadilan di Amerika Serikat
ini dilakukan melalui dua pengadilan. Pertama gugatan kepada Freeport atas nama Tom
Beanal diajukan ke Pengadilan Federal (Federal Court). Sementara yang kedua, gugatan atas
nama Yosefa Alomang, diajukan ke Pengadilan Negara Bagian Louisiana (Amiruddin dan
Jesus, 2003 : 135).
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
Akar dari permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi pada area pertambangan Freeport di
Mimika ini juga dapat dianalisa dengan menggunakan pendekatan kejahatan negara yang
dijelaskan oleh Green dan Ward (2004), yang pada intinya menjelaskan mengenai adanya
hubungan yang erat antara pemerintahan suatu negara dengan korporasi. Dalam
perkembangannya, kejahatan negara terjadi karena adanya kolusi antara negara sebagai
pemilik kekuasaan dibidang politik dan korporasi sebagai pihak yang berkuasa dibidang
ekonomi. Kerjasama jahat diantara kedua institusi ini kemudian menciptakan sebuah dimensi
baru dari kejahatan negara.
Green dan Ward (2004) yang mengutip pendapat Matthew dan Kauzlarich (2000), membagi
kejahatan yang melibatkan negara dan korporasi kedalam dua bentuk, yaitu state-initiated dan
state-facilitated. Dalam konteks ini kasus kejahatan yang melibatkan pemerintah Indonesia
dan PT. Freeport Indonesia dapat dikategorikan sebagai jenis kejahatan negara dan korporasi
dalam bentuk state-facilitated. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kejahatan
negara dan korporasi yang berupa state-facilitated dalam banyak kasus berwujud pada
gagalnya pemerintahan suatu negara dalam melakukan pengaturan terhadap aktifitas bisnis
yang dijalankan oleh korporasi yang melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Apabila dikembalikan pada kasus yang terjadi di Mimika dimana ketika Freeport dengan
justifikasi telah memperoleh hak konsesi pertambangan dengan sewenang-wenang melakukan
tindakan pengusiran, pengambilan secara paksa tanah adat serta kekerasan terhadap
masyarakat yang menentang kehadiran mereka. Dengan tanpa adanya persetujuan sadar dari
masyarakat adat, Freeport yang justru dibantu oleh pemerintah Indonesia memaksa
masyarakat Amungme dan Kamoro untuk pindah dan memberikan tanah mereka untuk
kepentingan bisnis Freeport. Hal ini kemudian semakin memperjelas posisi pemerintah
Indonesia, dimana dalam hal ini mereka justru memberikan ijin dan dukungannya kepada
Freeport yang telah secara jelas melakukan tindakan kejahatan. Hal ini sejalan dengan
pendapat yang dijelaskan oleh Green dan Ward (2004) dimana dalam kejahatan negara
dengan bentuk state-facilitated, pemerintahan sebuah negara seringkali mengeluarkan regulasi
yang menguntungkan bagi pihak korporasi, termasuk di dalamnya memberikan perlindungan
ketika korporasi melakukan berbagai tindakan ilegal dan kejahatan.
Posisi pemerintah Indonesia yang jusru memberikan dukungannya kepada Freeport yang
melakukan tindakan kejahatan ini bukan tanpa alasan. Pada awal beroperasinya Freeport,
kondisi negara Indonesia bisa dikatakan jauh dari stabil. Perubahan gaya kepemimpinan
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
kepala negara yang kemudian disertai dengan berbagai isu keamanan dan konflik membuat
posisi Indonesia semakin sulit. Dalam situasi seperti ini, untuk memperbaiki perekonomian
negara, pemerintah mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya. Sedangkan
untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan pemerintah cenderung mengedepankan
berbagai tindakan represif. Kondisi ini juga terjadi di Mimika, dimana untuk mendapatkan
bagian keuntungan dari pertambangan yang dijalankan Freeport, pemerintah Indonesia
memberikan dukungan penuh dengan mengirimkan aparat keamanannya. Pemerintah
Indonesia pada masa itu seakan tidak peduli lagi dengan hak-hak yang dimiliki oleh
masyarakat adat setempat terkait kepemilikan tanah maupun kenyamanan dan keselamatan
mereka.
Kondisi diatas dapat dijelaskan melalui pendapat Green dan Ward (2004) yang mengutip
pendapat dari Ronald Kramer (1992) yang menjelaskan bahwa negara yang bekerja sama
dengan korporasi untuk melakukan tindak kejahatan ini tidak lain disebabkan oleh rendahnya
kontrol dan mekanisme penegakan hukum yang dijalankan oleh pemerintahan suatu negara
(Green dan Ward, 2004 : 49). Negara dan korporasi, keduanya bertanggung jawab atas
berbagai tindakan pelanggaran HAM terhadap masyarakat diberbagai belahan di dunia.
Korporasi yang melakukan tindakan pelanggaran HAM justru diberikan dukungan oleh
negara dengan pemberian hak imunitas atas berbagai tindakan ilegal mereka (Green dan
Ward, 2004 : 51).
Perlawanan fisik yang dilakukan oleh masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro sebagai
reaksi atas kekejaman Freeport dan pemerintah Indonesia pada dasarnya sesuai dengan
penjelasan dalam Teori perilaku kolektif. Teori ini pada dasarnya menjelaskan bahwa suatu
tindakan kolektif terjadi sebagai respon kelompok atas kondisi tekanan, ketegangan dan
ketidakadilan. Le Bon (2002) dalam penjelasannya mengatakan bahwa tindakan kolektif yang
dilakukan oleh suatu kelompok tersebut muncul sebagai respon atas situasi yang tidak
terstruktur dan stabil serta cenderung mengancam eksitensi dari kelompok yang bersangkutan.
Apabila kita kembalikan pada kasus perlawanan fisik yang dilakukan oleh masyarakat adat
suku Amungme dan Kamoro, maka kondisi ini sejalan dengan penjelasan dari teori perilaku
yang dijelaskan oleh Le bon diatas. Pada awalnya, tindakan yang dilakukan oleh masyarakat
suku Amungme dan Kamoro yang melakukan perlawanan fisik terhadap Freeport timbul
sebagai respon mereka atas kondisi yang mereka alami pasca beroperasinya Freeport di
wilayah mereka. Masyarakat yang pada awalnya dapat hidup dengan aman dan nyaman, tiba-
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
tiba harus terusir dan hidup pada lingkungan yang rusak sebagai dampak operasional
Freeport. Kondisi ini yang kemudian mendorong masyarakat adat untuk merespon hal
tersebut melalui berbagai tindakan perlawanan fisik terhadap Freeport dan pemerintah
Indonesia yang direpresentasikan dengan kehadiran aparat keamanan di Mimika.
Kehadiran Freeport yang disertai dengan aparat keamanan Indonesia yang cenderung
mengancam eksistensi dari masyarakat adat ini kemudian memaksa Amungme dan Kamoro
untuk bersama-sama mempertahankan hak-hak mereka, yang kemudian disertai dengan upaya
untuk melakukan gangguan terhadap kegiatan operasional tambang yang dijalankan oleh
Freeport. Berbagai tindakan seperti sabotase properti perusahaan, blokade terhadap akses
masuk kedalam area pertambangan merupakan beberapa hal yang dilakukan masyarakat
sebagai bentuk protes mereka terhadap kehadiran Freeport dan aparat keamanan di Mimika.
Lebih lanjut, perlawanan fisik yang dilakukan oleh masyarakat adat di Mimika ini juga bisa
dijelaskan melalui teori interaksionis yang dikembangkan oleh Herbert Blumer. Blumer dalam
teori tersebut menjelaskan bahwa, munculnya tindakan kolektif pada dasarnya disebabkan
oleh adanya hasil reaksi melingkar (circular reactions) yang terjadi dalam situasi konflik atau
kerusuhan sosial (Blumer, 1986). Dalam konteks ini jelas, bahwa reaksi yang berupa
perlawanan fisik yang dilakukan oleh masyarakat adat di Mimika pada dasarnya merupakan
hasil konflik yang terjadi antara masyarakat adat dengan Freeport yang didukung oleh aparat
keamanan negara Indonesia.
Lebih lanjut Blumer (1986) juga menjelaskan bahwa perilaku kolektif seringkali ditandai
dengan adanya tindakan dari kelompok yang irrasional dan cenderung emosional. Dalam
pandangan masyarakat umum, perlawanan fisik yang lakukan suku Amungme dan Kamoro
terhadap Freeport adalah hal yang dianggap irrasional. Hal ini dikarenakan kedua suku
tersebut melakukan perlawanan terhadap aparat keamanan negara yang secara resmi
ditugaskan untuk menjaga keamanan di area tambang Freeport. Selain itu, tindakan melawan
aparat keamanan yang dilengkapi dengan peralatan dan senjata lengkap juga dianggap kurang
masuk akal untuk dilakukan.
Meskipun seringkali dianggap irrasional, namun semua ini berbeda dalam pandangan suku
Amungme dan Kamoro. Meskipun mereka harus menghadapi aparat keamanan negara,
namun dalam sejarahnya, sebagaimana suku lain di Papua, suku-suku di Mimika memiliki
budaya kekerasan yang berwujud pada perang suku ketika saling berkonflik satu sama lain.
Perang suku menjadi hal yang lazim terjadi di Mimika untuk menyelesaikan masalah. Hal ini
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
juga terjadi ketika mereka harus berhadapan dengan Freeport. Perlawanan fisik yang mungkin
dianggap irrasional oleh sebagian besar masyarakat lain menjadi hal yang rasional karena
budaya mereka mengakomodir untuk melakukan hal tersebut. Perlawanan fisik tersebut
bersifat emosional mungkin benar, karena sifat spontan sebagai respon mereka atas tindakan
Freeport, namun apabila dikatakan irrasional dalam sudut pandang mereka hal ini bisa jadi
tidak benar.
Sedangkan apabila merujuk pada penjelasan Neil Smelser (1962) bahwa perilaku kolektif
pada dasarnya menekankan pada perilaku kelompok sebagai suatu upaya untuk mengubah
lingkungan sosial yang didasari oleh suatu generalized belief yang dapat diartikan sebagai
sesuatu yang sudah menjadi kepercayaan umum. Apabila dikembalikan pada kasus pada
masyarakat adat di Mimika, hal ini sangat relevan. Pada kasus masyarakat adat di Mimika,
latar belakang perlawanan fisik yang mereka lakukan kepada Freeport pada dasarnya
dilandasi oleh berbagai tekanan yang mereka terima akibat berbagai tindakan perusahaan
yang kemudian menghasilkan generalized belief atau kepercayaan umum bahwa tindakan
Freeport tersebut salah dan harus dilawan.. Setelah mendapatkan hak konsesi pertambangan di
Mimika, Freeport dengan dukungan kekuatan dari aparat keamanan Indonesia melakukan
penggusuran dan pengusiran secara paksa terhadap masyarakat adat dari tempat tinggal dan
tempat hidupnya. Ditambah lagi, masyarakat yang mencoba mengambil tanah mereka juga
seringkali diperlakukan sebagai penjahat dan pada akhinya mengalami tindakan kekerasan
bahkan pembunuhan. Berbagai pengalaman menyakitkan ini yang kemudian menciptakan
frustasi dikalangan masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro sehingga pada akhirnya
mendorong mereka untuk melakukan perlawanan secara fisik kepada Freeport.
Perlawanan fisik yang dilakukan oleh masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro sebagai
reaksi atas kekejaman Freeport dan pemerintah Indonesia juga dapat dijelaskan dengan
menggunakan teori Frustasi-Agresi dari Leonard Berkowitz. Teori ini pada dasarnya
menjelaskan bahwa peningkatan akan kondisi frustasi akan memicu potensi terjadinya agresi
(Berkowitz, 1989). Berdasarkan teori tersebut, semua tindakan agresi berakar pada kondisi
frustasi yang terjadi pada seseorang atau kelompok orang sebagai reaksi atas keberhasilan
aktor lain dalam mencapai tujuan mereka. Oleh karena itu, terjadinya perlawanan fisik oleh
masyarakat merupakan hasil dari kegagalan pencapaian tujuan individu maupun kelompok.
Lebih lanjut, Berkowitz (1989) memberikan penjelasan bahwa reaksi yang berupa perlawan
fisik menjadi hal pertama yang dilakukan oleh seseorang karena tindakan tersebut dianggap
sebagai yang paling cepat dan bisa dilakukan ketika seseorang berusaha melepaskan
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
ketegangan akibat menerima suatu tekanan. Dalam banyak kasus, respon fisik tersebut juga
dilakukan untuk melawan kondisi ketidakadilan sosial akibat tindakan dari individu yang
memiliki kekuatan atau terlembaga dengan bantuan negara.
Seperti dalam penjelasan teori Frustasi-Agresi diatas, disebutkan bahwa tindakan agresi
cenderung dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang mengalami frustasi. Apabila
dikembalikan pada kasus pada masyarakat adat di Mimika, hal ini sangat relevan. Pada kasus
masyarakat adat di Mimika, latar belakang perlawanan fisik yang mereka lakukan kepada
Freeport pada dasarnya dilandasi oleh kondisi frustasi yang mereka terima akibat berbagai
tindakan perusahaan. Setelah mendapatkan hak konsesi pertambangan di Mimika, Freeport
dengan dukungan kekuatan dari aparat keamanan Indonesia melakukan penggusuran dan
pengusiran secara paksa terhadap masyarakat adat dari tempat tinggal dan tempat hidupnya.
Ditambah lagi, masyarakat yang mencoba mengambil tanah mereka juga seringkali
diperlakukan sebagai penjahat dan pada akhinya mengalami tindakan kekerasan bahkan
pembunuhan. Berbagai pengalaman menyakitkan ini yang kemudian menciptakan frustasi
dikalangan masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro sehingga pada akhirnya mendorong
mereka untuk melakukan perlawanan secra fisik kepada Freeport.
Perubahan sikap dan reaksi masyarakat dalam menanggapi berbagai tindakan pelanggaran
HAM oleh Freeport yang difasilitasi oleh pemerintah Indonesia ini merupakan hal yang
sangat rasional. Masyarakat adat mengubah strategi perlawanan mereka dari yang semula
menggunakan perlawanan fisik untuk kemudian berubah dengan memanfaatkan jalur hukum
ini didasarkan pada pengalaman mereka akan efektifitas dari berbagai tindakan tersebut.
Selain itu, masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro juga mempertimbangan berbagai
kerugian yang harus mereka terima ketika harus menghadapi Freeport dengan menggunakan
kekuatan fisik. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, akhirnya masyarakat mulai
melakukan perlawanan melalui jalur hukum dengan menggugat Freeport pada dua pengadilan
di Amerika Serikat dengan memuat unsur kekerasan dan pelanggaran HAM sebagai dakwaan
utama dalam tuntutannya.
Pemilihan jalur hukum untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi
pada masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro ini pada dasarnya sesuai dengan Theory of
Law Reform and Social Change yang dijelaskan oleh Joel Handler. Joel Handler (1976)
menjelaskan bahwa hukum dianggap sebagai instrumen dalam melakukan perubahan sosial
yang paling efektif karena memiliki tingkat keberhasilan yang paling tinggi dibandingkan
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
dengan cara lainnya. Dalam penjelasaannya yang kemudian disebut sebagai Theory of Law
Reform and Social Change, Joel Handler (1976) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat lima
variabel yang mempengaruhi keberhasilan upaya hukum sebagai instrumen untuk melakukan
perubahan sosial.
Dari Theory of Law Reform and Social Change yang dijelaskan oleh Joel Handler (1976)
tersebut, maka pemilihan jalur hukum sebagai langkah untuk melakukan perubahan sosial di
Mimika yang dilakukan oleh masyarakat adat tampak sangat rasional. Selama puluhan tahun
berkonflik dengan Freeport, masyarakat adat telah berupaya mereduksi eksistensi dari
perusahaan tersebut dengan jalan perlawanan fisik. Namun dari berbagai bentuk perlawanan
tersebut, masyarakat menilai bahwa berbagai tindakan tersebut justru semakin membuat posisi
mereka semakin lemah dihadapan Freeport dan pemerintah. Dengan berbagai tindakan
masyarakat tersebut, Freeport dan pemerintah Indonesia justru seakan memliki landasan
pembenar untuk melakukan perlawanan balik melalui aparat keamanan. Sebagai dampaknya,
masyarakat harus kehilangan banyak anggota keluarga dan saudara mereka yang meninggal
akibat berbagai konflik tersebut. Masyarakat benar-benar harus menerima kerugian ganda
akibat perlawanan fisik yang mereka lakukan. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan bagi
masyarakat adat, baik secara sosial maupun politik. Menghadapi kondisi ini, masyarakat
dalam hal ini mutlak harus mengubah strategi perlawanan apabila mereka masih ingin
mempertahankan esksitensi dan mengambil kembali hak-hak mereka yang telah dirampas
oleh Freeport dan pemerintah.
5. Simpulan
Penderitaan yang dirasakan oleh suku Amungme dan Kamoro pasca beroperasi Freeport
terjadi ketika masyarakat adat berusaha untuk mengambil kembali hak-hak mereka. Melalui
Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (LEMASA) dan Lembaga Adat Suku Kamoro
(LEMASKO), kedua suku tersebut berusaha untuk berkonfrontasi dengan Freeport. Melalui
berbagai perlawanan fisik mulai dari demonstrasi, pemotongan pipa konsentrat, penutupan
akses jalan masuk area pertambangan sampai pembakaran bandara sebagai upaya untuk
memutus akses keluar dan masuk Mimika telah dilakukan oleh masyarakat adat. Perlawanan
yang dilakukan masyarakat ini kemudian mendapatkan respon dari Freeport melalui aparat
keamanan dengan berbagai tindakan kekerasan, penganiayaan, penyekapan bahkan sampai
pembunuhan terhadap mereka yang dianggap membahayakan kepentingan perusahaan
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
Selain itu, masalah yang dialami oleh masyarakat adat di Mimika semakin kompleks setiap
harinya. Terlepas dari mereka yang mengalami pengusiran, penggusuran dan kekerasan, saat
ini mereka harus merasakan kesulitan untuk memenuhi kehidupannya akibat tekanan ekonomi
dan ketimpangan sosial. Oleh karena itu, diperlukan asistensi yang konsisten dari LSM dan
lembaga-lembaga lainnya untuk tetap terus mendampingi dan memberikan bantuan terhadap
mereka.
Saat ini yang menjadi concern utama masyarakat adat adalah bagaimana membuat
anggotanya sejahtera dengan tanpa menggantungkan kehidupannya terhadap Freeport.
Mereka sadar bahwa Freeport tidak mungkin selamanya akan beroperasi di Mimika. Dengan
kata lain, mereka tidak bisa selamanya menggantungkan kehidupannya pada bantuan
keuangan yang Freeport berikan setiap tahunnya. Oleh karena itu, Freeport diharapkan dapat
membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan yang bisa menampung masyarakat adat dengan
tanpa harus memiliki kompetensi khusus. Hal ini sebagai salah satu tanggung jawab Freeport
atas kondisi lingkungan Mimika sudah tidak mungkin lagi untuk diolah pasca beroperasinya
pertambangan mereka. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi, ketika suatu saat
Freeport berhenti beroperasi, masyarakat adat tetap bisa survive dan mampu memenuhi
kehidupannya secara mandiri.
Daftar Referensi
Amiruddin dan Jesus, Aderito. (2003). Perjuangan Amungme. Jakarta : Elsam.
Berkowitz, Leonard. (1989). Frustration-aggression hypothesis: Examination and
reformulation. Psychological Bulletin,
Berkowitz, Leonard. (1993). Aggression: Its causes, consequences, and control. New York:
McGraw- Hill.
Blumer, Herbert. (1986). Symbolic Interactionism Perspective and Method. California :
University of California Press.
Giay, Benny dan Kambai, Yafet. (2003). Yosepha Alomang : Pergulatan Seorang Perempuan
Papua Melawan Penindasan. Jayapura : Elsham Papua dan European Commission.
Global Witness. Paying For The Freeport mine and the Indonesian security forces. Special
Reports 2005
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016
Green, Penny dan Ward, Tony. (2000). State Crime, Human Rights, And the Limits of
Criminology. London : Social Justice Reports
Green, Penny dan Ward, Tony. (2004). State Crime : Governments, Violence and Corruption.
London : Pluto Press
Handler, F Joel. (1976). Social Reform Groups and Law Reformers. USA : University of
Wisconsin-Madison
Kemp, Deanna. Just Relations and Company–Community Conflict in Mining. Journal of
Business Ethics Tahun 2010 Vol.10. pp 93-109
Le Bon, Gustave. (2002). The crowd : A study of the Popular Mind. Newyork : Dover
Publications Inc.
Miles & Huberman. (2007). Analisis data kualitatif. Jakarta : Penerbit UI.
Ojakorotu, Victor dan Whetho, Ayo. Multinational Corporations and Human Rights Abuses:
A case study of the Movement for the Survival of Ogoni People and Ijaw Youth Council of
Nigeria Tahun 2005.
Smelser J, Neil. (1962). Theory of Collective Behavior. Newyork : The Free Press
Widjojo, S Muridan. Strategi Amungme Untuk Memperoleh Pengakuan di Mimika Papua.
Tesis 2002 : Universitas Indonesia.
Willem, Luis. Mining and Indigenous Peoples in Guatemala: The Local Relevance of Human
Rights. Gent 2010 : Universiteit Gent
Hasil Wawancara dengan Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (LEMASA)
Hasil Wawancara dengan Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (LEMASKO)
Hasil Wawancara dengan ELSHAM Papua.
Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016