reaksi sosial masyarakat adat suku amungme dan kamoro

20
Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro Terhadap Tindakan Pelanggaran HAM PT. Freeport Indonesia yang Difasilitasi Oleh Negara. Alex Shofihara, Muhammad Mustofa Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16400, Indonesia [email protected] Abstrak Setelah secara resmi melakukan eksplorasi pertambangan di Mimika pada awal tahun 1970, PT. Freeport Indonesia secara perlahan melakukan pengambilan secara paksa atas tanah adat dari masyarakat lokal untuk kepentingan usaha mereka. Masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro sebagai suku asli yang merasakan dampak langsung dari aktifitas pertambangan Freeport harus mengalami berbagai tindakan pelanggaran HAM yang berkepanjangan. Setelah sebagian besar tanah adat mereka diambil secara paksa, kedua suku tersebut masih harus mengalami berbagai tindakan kekerasan, penyiksaan bahkan pembunuhan sebagai akibat dari perlawanan mereka dalam usahanya mengambil kembali hak-hak yang telah dirampas oleh perusahaan atas dukungan dari pemerintah. Menghadapi situasi ini, kedua masyarakat adat memutuskan untuk menghadapi Freeport dengan berbagai cara. Reaksi pertama yang dilakukan oleh suku Amungme dan Kamoro dilakukan dengan melakukan perlawanan fisik mulai dari demonstrasi, pemotongan pipa konsentrat, penutupan akses masuk kedalam area pertambangan sampai pembakaran terhadap Bandara Mimika. Atas pertimbangan efektifitas dan jatuhnya banyak korban sebagai akibat dari perlawanan fisik yang telah dilakukan, masyarakat adat melalui lembaga adat dan dibantu oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah hukum dengan menuntut Freeport melalui pengadilan Amerika Serikat. Langkah yang diambil oleh masyarakat ini pada dasarnya telah sesuai dengan perkembangan dunia kontemporer yang telah sejak lama meninggalkan penggunaan tindakan fisik untuk menyelasaikan sebuah permasalahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Joel Handler dalam Theory of Law Reform and Social Change dimana upaya hukum merupakan jalan yang paling efektif untuk dapat melakukan sebuah perubahan sosial. Social Reaction of Amungme and Kamoro Tribe Againts Human Rights Violation By PT. Freeport Indonesia with State Facilitated. Abstract Since officially having exploration in Mimika early 1970, Freeport Indonesia Corporation gradually taking over forcibly the Indigenous land of local community for their interest purposes. The Indigenous people of Amungme and Kamoro as local community who feel the direct effect from Freeport's minning operation having experience human rights violation for a long time. After most of their land be taking over, both of them still be through violence act, torture even murder as result of their resistance againts Freeport. Facing off this situation, both of Indigenous people decided to oppose that corporation with some action. Firstly, Amungme and Kamoro againts Freeport conducted with some physical resistence like demonstration, blocking the entry acces to minning, cutting the concentrate pipe until burning of the airport. Considering of effectivity and many victim which fell in their side cause this physical resistence, the Indegenous people supported by some civil society that concern of this case decided to take legal action to prosecute Freeport through the United Stated Courts. This step which chosen by Indigenous peoples are essentially due with world situation nowadays that have for a long time left physical action to resolve a problem. This case is in line with Joel Handler's idea in the Theory of Law Reform and Social Change, which he said that legal action is most effective way to realized a social change. Keyword : Freeport, Human Rights Violation, Indigenous People, Social Reaction Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Upload: others

Post on 26-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro Terhadap Tindakan Pelanggaran HAM PT. Freeport Indonesia yang Difasilitasi Oleh

Negara.

Alex Shofihara, Muhammad Mustofa

Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16400, Indonesia

[email protected]

Abstrak

Setelah secara resmi melakukan eksplorasi pertambangan di Mimika pada awal tahun 1970, PT. Freeport Indonesia secara perlahan melakukan pengambilan secara paksa atas tanah adat dari masyarakat lokal untuk kepentingan usaha mereka. Masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro sebagai suku asli yang merasakan dampak langsung dari aktifitas pertambangan Freeport harus mengalami berbagai tindakan pelanggaran HAM yang berkepanjangan. Setelah sebagian besar tanah adat mereka diambil secara paksa, kedua suku tersebut masih harus mengalami berbagai tindakan kekerasan, penyiksaan bahkan pembunuhan sebagai akibat dari perlawanan mereka dalam usahanya mengambil kembali hak-hak yang telah dirampas oleh perusahaan atas dukungan dari pemerintah. Menghadapi situasi ini, kedua masyarakat adat memutuskan untuk menghadapi Freeport dengan berbagai cara. Reaksi pertama yang dilakukan oleh suku Amungme dan Kamoro dilakukan dengan melakukan perlawanan fisik mulai dari demonstrasi, pemotongan pipa konsentrat, penutupan akses masuk kedalam area pertambangan sampai pembakaran terhadap Bandara Mimika. Atas pertimbangan efektifitas dan jatuhnya banyak korban sebagai akibat dari perlawanan fisik yang telah dilakukan, masyarakat adat melalui lembaga adat dan dibantu oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah hukum dengan menuntut Freeport melalui pengadilan Amerika Serikat. Langkah yang diambil oleh masyarakat ini pada dasarnya telah sesuai dengan perkembangan dunia kontemporer yang telah sejak lama meninggalkan penggunaan tindakan fisik untuk menyelasaikan sebuah permasalahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Joel Handler dalam Theory of Law Reform and Social Change dimana upaya hukum merupakan jalan yang paling efektif untuk dapat melakukan sebuah perubahan sosial.

Social Reaction of Amungme and Kamoro Tribe Againts Human Rights Violation By PT. Freeport Indonesia with State Facilitated.

Abstract

Since officially having exploration in Mimika early 1970, Freeport Indonesia Corporation gradually taking over forcibly the Indigenous land of local community for their interest purposes. The Indigenous people of Amungme and Kamoro as local community who feel the direct effect from Freeport's minning operation having experience human rights violation for a long time. After most of their land be taking over, both of them still be through violence act, torture even murder as result of their resistance againts Freeport. Facing off this situation, both of Indigenous people decided to oppose that corporation with some action. Firstly, Amungme and Kamoro againts Freeport conducted with some physical resistence like demonstration, blocking the entry acces to minning, cutting the concentrate pipe until burning of the airport. Considering of effectivity and many victim which fell in their side cause this physical resistence, the Indegenous people supported by some civil society that concern of this case decided to take legal action to prosecute Freeport through the United Stated Courts. This step which chosen by Indigenous peoples are essentially due with world situation nowadays that have for a long time left physical action to resolve a problem. This case is in line with Joel Handler's idea in the Theory of Law Reform and Social Change, which he said that legal action is most effective way to realized a social change.

Keyword : Freeport, Human Rights Violation, Indigenous People, Social Reaction

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 2: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

1. Pendahuluan

Secara legal dalam konstitusi negara Indonesia, masyarakat adat dalam setiap suku bangsa

diakui eksistensinya melalui pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).

Dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tersebut, diberikan contoh tentang satuan-satuan

masyarakat hukum adat yang dinyatakan mempunyai hak asal-usul yang harus dihormati

negara, termasuk di dalamnya aturan hukum adat yang berlaku pada masing-masing wilayah

adat. Bahkan khusus untuk ras Melanesia sebagai ras utama suku-suku bangsa di Papua,

negara Indonesia memberikan perhatian khusus dalam bentuk pengakuan akan eksistensi

mereka melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua.

Dalam Undang-Undang tersebut, secara tegas dijelaskan bahwa negara Indonesia mengakui

suku bangsa di Papua sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Meskipun negara Indonesia telah secara tegas mengakui eksistensi dari setiap suku bangsa

yang berada di wilayahnya, namun dalam praktiknya seringkali terjadi benturan yang

melibatkan negara dengan masyarakat adat. Dalam kasus aturan investasi misalnya,

pemerintah Indonesia dengan berlandaskan pada hukum positif, merasa memiliki hak untuk

memanfaatkan setiap tanah yang berada di wilayahnya dengan alasan untuk kepentingan

nasional. Begitu juga sebaliknya, masyarakat adat melalui hukum adatnya, berkeyakinan

memiliki hak penuh atas tanah adat tersebut dan berusaha sekuat tenaga untuk

mempertahankan tanah yang secara turun-temurun menjadi milik mereka. Kondisi inilah yang

kemudian terjadi di Mimika Papua, dimana terjadi konflik yang berkepanjangan antara

Freeport sebagai perusahaan yang memiliki hak konsesi pertambangan yang diberikan negara

dengan masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro yang memiliki hak ulayat atas tanah di

Mimika.

Sejak awal tahun 1970, ketika PT. Freeport Indonesia diputuskan menjadi pemegang hak

konsesi pertambangan dan mulai membangun infrastruktur untuk kebutuhan tambangnya,

kehidupan masyarakat adat yang bertempat tinggal pada area konsesi Freeport mulai

bermasalah. Lahan-lahan yang mereka tempati baik untuk berkebun, membuat kampung dan

berburu semakin sempit. Mereka melihat sendiri bagaimana Freeport dengan leluasanya

membongkar dan menambang gunung-gunung serta mengambil alih sebagian besar lahan

tradisional mereka untuk kepentingan perusahaan. Masyarakat asli, khususnya suku

Amungme juga melihat sendiri bagaimana gunung “keramat” yang mereka percaya sebagai

tempat bersemayamnya leluhur dan jelmaan ibu mereka sudah menjadi rata dan bahkan

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 3: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

menjadi lubang raksasa (LEMASA, 2014). Mudahnya korporasi dalam mengambialih tanah

masyarakat lokal ini menurut penelitian yang dilakukan oleh Luis Willem terjadi karena

lemahnya posisi masyarakat lokal yang kemudian diperparah dengan ketidakhadiran

pemerintah setempat dalam mengatasi permasalahan ini (Willem, 2010 : 22)

Praktik korporasi global Freeport telah menghasilkan keuntungan puluhan triliun rupiah setiap

tahunnya (IMA, 2013). Akan tetapi ironisnya, masyarakat adat yang berada di sekitar

perusahaan hanya menjadi penonton yang justru seringkali mengalami kekerasan, pengusiran,

penganiayaan, serta harus hidup di tengah-tengah lingkungan alam yang rusak parah

(ELSHAM, 2014). Gambaran mengenai akar permasalahan pada wilayah konsesi

pertambangan PT. Freeport Indonesia, secara khusus juga dijelaskan dalam sebuah penelitan

yang dilakukan oleh Global Witness pada tahun 2005 yang berjudul “Global Witness :

Paying For The Freeport mine and the Indonesian security forces”. Dalam penelitian ini

dijelaskan bahwa, permasalahan yang ada pada PT. Freeport Indonesia muncul dikarenakan

perusahaan tersebut menggunakan jasa pengamanan dari pihak militer dan kepolisian guna

mendukung pengamanan yang dilakukan oleh pengamanan swakarsa

Menurut Surat Kepolisian Daerah Papua Nomor B/918/IV/2011 tanggal 19 April 2011

tercatat jumlah aparat gabungan TNI-POLRI yang ditugaskan untuk melakukan pengamanan

areal tambang Freeport mencapai 937 personil (Satgas PAM Objek Freeport, 2012). Aparat

keamanan ini terdiri dari 52 anggota Polda Papua, 72 Polres Mimika, 35 anggota Brigadir

Mobil Detasemen A Jayapura, 141 anggota Brimob Detasemen B Timika, 380 anggota

Brimob Mabes Polri dan 257 anggota TNI. Dari jumlah tersebut, PT. Freeport Indonesia telah

mengeluarkan uang untuk membiayai jasa pengamanan militer dan polisi sebesar 47-59 Miliar

rupiah per tahun (Global Witness, 2005 : 11). Uang sebanyak itu dikeluarkan sebagai

kompensasi untuk membayar barang dan jasa baik berupa barak, angkutan, makanan dan gaji

bagi aparat keamanan.

Hal ini tentu tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan tugas dan fungsi aparat negara

sebagaimana diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No. 2 Tahun 2002

tentang Polri. Penggunaan aparat keamanan untuk menjaga daerah operasi PT. Freeport

Indonesia ini kemudian dianggap sebagai pemicu bagi terjadinya berbagai kasus kekerasan

dan pelanggaran HAM di wilayah operasi pertambangan Freeport. Aparat dengan sistem

persenjataan yang dimilikinya dalam banyak kasus melakukan tindakan represif kepada

masyarakat setempat yang dianggap membahayakan kepentingan PT. Freeport Indonesia

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 4: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

(Widjojo, 2002 : 67). Hal ini pada dasarnya sesuai dengan hasil penelitian dari Victor

Ojakorotu dan Ayo Wetho (2005) yang menjelaskan bahwa masalah keamanan merupakan

private business, dimana pihak yang bisa membayar aparat keamanan akan memperoleh jasa

keamanan (Ojakorotu dan Wetho, 2005). Hal ini kemudian diperkuat oleh penjelasan Deanna

Kemp (2010) dalam penelitiannya yang menjelaskan bahwa terjadinya antara masyarakat

lokal dengan korporasi terjadi dikarenakan perkembangan dari negara sedang berkembang

yang cenderung menjadi “soft state”. Dalam artian, negara tersebut gagal dalam melakukan

tindakan intervensi terhadap perusahaan multinasional.

Saat ini, masyarakat adat suku-suku di Mimika berada dalam posisi yang dilematis dalam

menyikapi keberadaan Freeport. Pertama, pada satu sisi masyarakat adat tetap menyatakan

dengan tegas penolakan mereka terhadap beroperasinya Freeport di Mimika. Namun pada sisi

yang lain, masyarakat juga menyadari posisi mereka yang seakan “dipaksa” bergantung

kepada bantuan yang diberikan Freport setiap tahunnya. Selain itu, masyarakat juga menderita

akibat tekanan ekonomi dari perusahaan. Hal ini dikarenakan sumber penggerak ekonomi

pada wilayah tersebut hampir seluruhnya memiliki kaitan erat dengan Freeport. Masyarakat

adat di Mimika secara perlahan-lahan telah berada dalam level ketergantungan yang akut

terhadap Freeport. Kondisi ini kemudian seringkali dimanfaatkan oleh perusahaan untuk

menekan masyarakat.

2. Tinjauan Teoritis

Greeen dan Ward (2004) yang mengutip pendapat Matthew dan Kauzlarich (2000) kemudian

membagi kejahatan yang melibatkan negara dan korporasi kedalam dua bentuk, yaitu state-

initiated dan state-facilitated. Dalam konteks ini kejahatan negara dan korporasi yang

berbentuk state-initiated terjadi ketika korporasi dipekerjakan oleh pemerintahan suatu negara

untuk melakukan tindakan kejahatan. Dalam kejahatan jenis ini, negara berperan memberikan

perintah untuk melakukan suatu tindakan kejahatan tertentu, sedangkan korporasi hanya

bertindak sebagai pendukung yang memberikan bantuan, khususnya dari segi pendanaan dan

infrastruktur. Dalam hal ini, keduanya memberikan contoh kasus dimana Departemen Energi

Amerika Serikat meminta bantuan dari perusahaan Rockwell Internasional untuk memberikan

fasilitas dan dukungan pendanaan untuk mengembangkan senjata nuklir yang pada akhirnya

digunakan Amerika selama Perang dunia (Green dan Ward, 2004 : 31).

Sedangkan bentuk kejahatan negara dan korporasi yang berupa state-facilitated, berupa

kegagalan pemerintahan suatu negara dalam melakukan pengaturan terhadap aktifitas bisnis

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 5: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

yang dijalankan oleh korporasi yang dalam banyak kasus berbentuk kolusi diantara kedua

institusi tersebut. Dalam konteks ini, negara mengeluarkan regulasi yang menguntungkan bagi

pihak korporasi, termasuk di dalamnya memberikan perlindungan ketika korporasi melakukan

berbagai tindakan ilegal dan kejahatan. Dalam hal ini, keduanya memberikan contoh kasus

yang terjadi pada banyak negara di Amerika Selatan yang dimana negara terlibat secara

langsung melakukan tindakan kekerasan secara brutal terhadap komunitas lokal yang

menentang keberadaan korporasi yang merampas tanah warga untuk kepentingan bisnis

mereka.( Green dan Ward, 2004 : 33).

Peran dari negara baik menginiasi ataupun memberikan fasilitas atas tindakan kejahatan yang

dilakukan oleh korporasi dapat didefinisikan sebagai pelanggaran HAM. Green dan Ward

(2004) yang mengutip pendapat dari Ronald Kramer (1992) menjelaskan bahwa negara yang

bekerja sama dengan korporasi untuk melakukan tindak kejahatan ini tidak lain disebabkan

oleh rendahnya kontrol dan mekanisme penegakan hukum (Green dan Ward, 2004 : 49).

Negara dan korporasi, keduanya bertanggung jawab atas berbagai tindakan pelanggaran HAM

terhadap masyarakat diberbagai belahan di dunia. Korporasi yang melakukan tindakan

pelanggaran HAM justru diberikan dukungan oleh negara dengan pemberian hak imunitas

atas berbagai tindakan ilegal mereka (Green dan Ward, 2004 : 51).

Untuk menjelaskan reaksi dari masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro, penelitian ini

secara khusus menggunakan teori perilaku kolektif yang dijelaskan oleh Gustav Le Bon, Neil

Smleser dan Herbert Blumer serta teori Frustasi-Agresi dari Leonard Berkowitz. Dalam

konteks ini Gustave Le Bon (2002) menjelaskan bahwa perilaku kolektif ini terjadi ketika

sekelompok orang yang melakukan interaksi sosial mencoba merespon suatu situasi yang

tidak terstruktur, ambigu dan tidak stabil. Tindakan atau perilaku yang sebenarnya mengikuti

pola norma tertentu, yang biasanya berlaku pada saat tertentu dan cenderung tidak sama

dengan norma yang sudah lama berlaku di masyarakat. Dalam banyak kasus perilaku kolektif

ini mengandung makna adanya penyimpangan perilaku dimana perilaku menyimpang tersebut

dilakukan oleh suatu kelompok (Le Bon, 2002). Terkait dengan hal ini, melalui Contagion

Theory dalam bukunya yang berjudul “The Crowd. A Study of the Popular Mind”, Le Bon

menjelaskan bahwa apabila satu kerumunan terbentuk, maka akan terjadi penyebaran reaksi

emosional seseorang kepada orang lainnya, bahkan sampai identitas individu dan pribadi atas

dirinya menjadi lenyap, dan yang tinggal hanyalah ciri-ciri umum.

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 6: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

Penjelasan lain terkait dengan perilaku kolektif dilakukan oleh Herbert Blumer. Secara lebih

spesifik dalam bukunya yang berjudul “Symbolic Interactionism, Perspective and Method”,

Blumer (1986) menjelaskan bahwa perilaku kolektif merupakan suatu tindakan yang

seringkali irrasional dan cenderung emosional. Lebih lanjut Blumer menjelaskan bahwa

dalam suatu perilaku kolektif setidaknya harus memenuhi tiga unsur penting. Pertama

tindakan tersebut dilakukan secara bersama oleh sekelompok orang. Kedua bahwa tindakan

kolektif tersebut tidak bersifat rutin. Terakhir tindakan kolektif ini diambil sebagai bagian dari

tanggapan kelompok atas suatu kejadian tertentu. Dalam penjelasan dari teori interaksionis

yang dikembangkan Herbert Blumer (1986) tersebut dapat dijelaskan bahwa tindakan perilaku

kolektif ini disebabkan oleh adanya hasil reaksi melingkar (circular reactions) yang terjadi

dalam situasi konflik atau kerusuhan sosial (Blumer, 1986).

Penjelasan lain terkait dengan perilaku kolektif dilakukan oleh Neil Smelser. Smelser (1962)

menjelaskan bahwa perilaku kolektif menekankan pada perilaku sekelompok orang sebagai

suatu upaya untuk mengubah lingkungan sosial. Tindakan tersebut dilakukan oleh

sekelompok orang yang didasari oleh suatu generalized belief yang dapat diartikan sebagai

sesuatu yang sudah menjadi kepercayaan umum. Dalam menjelaskan proses terjadinya

perilaku kolektif, Smelser menyebutkan bahwa ada enam faktor penyebab terjadinya tindakan

kolektif (Smelser, 1962). Pertama adalah faktor pendorong struktural, yaitu suatu kondisi

struktural masyarakat yang mempunyai potensi bagi timbulnya tingkah laku kolektif.

Semakin heterogen suatu masyarakat, semakin kondusif heterogenitas masyarakat tersebut

bagi munculnya kerusuhan sosial.

Faktor kedua adalah ketegangan struktural, yaitu suatu kondisi ketegangan yang diakibatkan

oleh kenyataan struktur masyarakat sepeti misalnya terjadinya konflik dan kesenjangan.

Ketiga adalah faktor penyebarluasan kepercayaan umum, adalah suatu proses ketika

ketegangan struktural menjadi bermakna bagi para calon pelaku tindakan kolektif. Ketika

suatu kelompok masyarakat merasakan diperlakukan secara tidak adil, mereka akan mencoba

mencari sumber-sumber yang dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas

terjadinya kondisi kete-gangan tersebut. Keempat adalah Faktor pencetus, merupakan faktor

situasional yang menegaskan pendorong struktural. Faktor kelima dalah adanya mobilisasi.

Suatu tindakan kolektif hanya akan bisa terjadi apabila adanya dukungan massa untuk

bertindak. faktor terakhir adalah Keberadaan lembaga pengendalian sosial dimana adanya

lembaga tersebut sangat mempengaruhi terjadi atau tidaknya tindakan kolektif (Smelser,

1962).

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 7: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

Perlawanan fisik yang dilakukan oleh masyarakat suku Amungme dan Kamoro secara tidak

langsung juga dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Frustasi-Agresi dari Leonard

Berkowitz. Berkowitz (1989) dalam teori tersebut menjelaskan bahwa kondisi frustasi yang

dialami oleh seseorang akan menghasilkan beberapa respon. Salah satu diantara respon-

respon tersebut adalah dilakukannya tindakan agresi. Lebih lanjut, Berkowitz (1993)

menjelaskan bahwa frustasi hanya akan menghasilkan tindakan agresi apabila orang yang

mengalami frustasi tersebut berada dalam kondisi terancam dan marah. Selain itu tindakan

agresi bisa terjadi apabila orang yang mengalami frustasi tersebut juga memiliki kekuatan

yang cukup untuk mewujudkannya (Berkowitz, 1989).

3. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena berusaha mendeskripsikan

suatu gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat.Sedangkan untuk desain penelitian

sendiri peneliti menggunakan metode studi kasus dimana dasar analisis dari penelitian ini

berpedoman pada kasus yang terjadi di Mimika Papua dimanan terjadi konflik yang

berkepanjangan antara masyarakat adat setempat dengan PT Freeport Indonesia sebagai

pemegang hak konsesi pertambangan. Penelitian ini dilakukan dibeberapa tempat di

Kabupaten Mimika Papua, yang merupakan area pertambangan PT Freeport Indonesia. Lebih

spesifiknya penelitian dilakukan diberbagai lembaga di Mimika Papua yang meliputi

Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (LEMASA), Lembaga Masyarakat Adat Suku

Kamoro (LEMASKO), Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan (YAHAMAK), Satuan

Tugas Amole selaku pihak yang bertanggung jawab terhadap pengamanan PT. Freeport

Indonesia, Dinas Pendapatan Daerah Mimika, BPS Cabang Mimika serta PT. Freeport sendiri

yang diwakili oleh manajer bidang hak asasi manusia.

Penentuan subjek dan informan penelitian dilakukan secara purposif. Informan dalam

penelitian ini adalah orang-orang yang memahami kasus konflik pelanggaran HAM yang

terjadi di Mimika yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia yang dibantu aparat negara

terhadap masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro.Sedangkan subjek penelitian adalah

pimpinan dari berbagai lembaga yang terkait dengan permasalahan tersebut diantaranya

Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (LEMASA), Lembaga Masyarakat Adat Suku

Kamoro (LEMASKO), Kepala satuan tugas pengamanan Freeport serta perwakilan dari PT

Freeport Indonesia yang diwakili oleh manajer bidang hak asasi manusia.

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 8: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, kajian literatur serta observasi. Wawancara

mendalam dilakukan terhadap subjek kasus dan informan perorangan dengan menggunakan

suatu pedoman pertanyaan sebagai pemandu arah wawancara. Sedangkan kajian literatur pada

dasarnya berupa hasil-hasil penelitian sebelumnya yang memiliki relevansi denga tema yang

menjadi pembahasan dalam penelitian. Data yang diperloeh dari kegiatan turun lapangan

direkam oleh peneliti dalam bentuk rekaman elektronik dan catatan harian yang didalamnya

memuat berbagai informasi diantaranya topik, sumber dan rincian informasi. Terakhir untuk

Analisis data kualitatif melalui tiga proses analisis yaitu reduksi data, penyajian data dan

penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles & Huberman, 2007).

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Sejak pertama kali melakukan eksplorasi tambang di Indonesia pada awal tahun 1970,

Freeport secara konsisten telah melakukan berbagai tindakan kekerasan dan dugaan

pelanggaran hak asasi manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh Giay dan Kambai (2003),

bentrokan antara masyarakat adat dengan aparat keamanan semakin meluas pada tahun 1973.

Hal ini dilatarbelakangi oleh aksi Freeport yang semakin masif dalam menebang hutan dan

melakukan penggusuran terhadap masyarakat yang berada pada wilayah Mulkindi untuk

membangun dan memperluas kota Tembagapura yang akan digunakan sebagai daerah tempat

pemukiman pekerja tambang (Giay dan Kambai, 2003)

Tabel 4.1. Data Kasus Kekerasan dan Dugaan Pelanggaran HAM Pada Area Konsesi

PT. Freeport Indonesia Tahun 1971-1977

No. Tahun Peristiwa Kekerasan Bentuk Kekerasan

1. 1971 Peristiwa Lembah Tsinga Pembunuhan terhadap 50 Orang

Suku Amungme

2. 1972 Peristiwa Mulkindi Pengusiran Paksa dan

Penembakan Masyarakat di Mulikindi

3. 1974 January Agreement 1974 Penggusuran, Pengusiran dan

Penembakan Suku Amungme

4. 1977 Peristiwa Kali Kabur Pembunuhan Terhadap 50 orang

Pendemo.

Sumber : ELSHAM dan YAHAMAK Papua , 2003 (Data telah diolah kembali)

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 9: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

Dari tabel diatas diketahui bahwa, 6 tahun awal beroperasinya PT. Freeport Indonesia di

Mimika menjadi salah satu periode dimana tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM yang

dilakukan oleh Freeport berada pada puncaknya. Dalam kurun waktu tersebut, masyarakat

adat baik suku Amungme maupun Kamoro harus mengalami berbagai tindakan pelanggara

HAM seperti pengusiran, penggusuran, kekerasan sampai pembunuhan.

Kami tau Freeport tidak sedikit bantu kami. Tapi kalo saya sendiri disuruh memilih,

saya mau Freeport berhenti saja. Kami LEMASKO sudah menderita akibat Freeport,

banyak kami punya saudara mati karena ditembak TNI. Tanah kami rusak, kami

susah cari ikan, kami punya sagu mati. Berapa pun bantuan yang Freeport berikan

tak kan bisa kembalikan semua itu. (Hasil Wawancara dengan Wakil LEMASKO

Bapak Robertus Waropea pada 23 Juni 2015)

Hal yang sama juga diungkapkan oleh pihak dari LEMASA. Ketika peneliti melakukan

wawancara dengan LEMASA, diketahui bahwa suku Amungme merupakan pihak yang paling

menderita sebagai dampak kehadiran Freeport di Mimika. Tidak hanya diusir dan mengalami

tindakan kekerasan, mereka juga harus meninggalkan wilayah adat mereka yang dalam

perspektif Amungme merupakan wilayah keramat yang tidak boleh ditinggalkan. Dalam

kepercayaan mereka, meninggalkan wilayah adat merupakan hal yang dilarang secara budaya.

Mereka percaya bahwa malapetaka akan datang ketika anggota suku Amungme meninggalkan

wilayah mereka dan turun ke dataran rendah yang menjadi tempat bagi suku Kamoro.

Ya...Freeport itu memang bantu kami, tapi kalo dibandingkan dari apa yang mereka

ambil dari tanah kami, itu tidak ada apa-apanya. Kami dulu sebelum Freeport datang

tinggal di tempat yang sekarang Tembagapura. Kami hidup cukup dan aman waktu

itu. Mereka bunuh kami punya saudara. Kami minta hak kami yang diambil Freeport

dan Indonesia. Itu sudah. Setelah Freeport datang mereka hancur kan kami punya

rumah, mereka usir dan paksa kami turun dari gunung yang kami anggap sebagai Ibu

kami. Kami tak boleh pergi dari wilayah kami. (Hasil wawancara dengan Ketua

LEMASA Antonius Alomang 24 Juni 2015).

Kritik suku Amungme dan Kamoro terhadap Freeport dan pemerintah Indonesia semakin

keras ketika tuntutan masyarakat kepada Freeport terkait dengan perbaikan terhadap

kehidupan mereka tak juga kunjung dipenuhi. Awal mula konflik ini terjadi ketika tindakan

penyerobotan tanah adat yang dilakukan oleh Freeport justru disahkan oleh pemerintahan

Presiden Suharto. Oleh karena itu, suku Amungme dan Kamoro menyatakan bahwa Freeport

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 10: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

telah melanggar aturan adat mereka, yang artinya Freport sama dengan pencuri yang masuk

ke pekarangan orang lain tanpa restu pemiliknya. Dengan kata lain, Freeport sama sekali tidak

menghargai mereka sebagai masyarakat yang memiliki tata nilai dan sosial untuk mengatur

dan menata sistem sosial, hak milik dan harga diri mereka (LEMASA, 2014).

Setelah mengalami berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM, masyarakat adat suku

Amungme dan Kamoro melakukan berbagai upaya untuk menanggapi berbagai tindakan

tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak LEMASA dan LEMASKO, secara

umum reaksi yang ditunjukkan masyarakat ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, pada

periode awal terjadinya berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM, masyarakat adat di

Mimika selalu menanggapinya dengan menggunakan perjuangan fisik. Berbagai aksi protes

dan demostrasi bahkan tindakan untuk melucuti eksistensi Freeport dipilih sebagai jalan

perjuangan pada waktu itu. Perjuangan secara fisik ternyata bukannya tanpa resiko.

Perlawanan yang pada awalnya ditujukan untuk melawan aksi kekerasan dan berbagai bentuk

pelanggaran HAM ini pada akhirnya justru menciptakan kekerasan dan bentuk pelanggaran

HAM lain, yang pada akhirnya masyarakat adat menjadi korbannya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak LEMASA, awal mula aksi masyarakat adat dalam

merespon berbagai tindakan pelanggran HAM yang dilakukan oleh Freeport dan pemerintah

Indonesia terjadi pada tahun 1971 di Lembah Waa. Aksi ini dilakukan oleh masyarakat adat

untuk menanggapi tindakan pengambilan secara paksa tanah adat dan penggusuran

masyarakat dari tempat tinggalnya oleh Freeport. Aksi ini dilakukan selama beberapa hari

dengan pengawalan ketat aparat keamanan Indonesia. Aksi protes ini kemudian berlanjut pada

tahun 1972. Pada kesempatan ini, masyarakat melakukan protes di Lembah Tsinga, sebuah

tempat yang dipercaya oleh suku Amungme sebagai situs yang keramat. Aksi ini dilakukan

oleh masyarakat adat untuk merespon tindakan Freeport yang dengan mudahnya

menghancurkan situs budaya yang dilestarikan masyarakat adat secara turun-temurun

(LEMASA, 2014). Pada tempat ini, Freeport berencana untuk membangun kota Tembagapura

yang akan dijadikan sebagai tempat tinggal bagi pekerja tambang. Karena kegigihan

masyarakat yang mencoba mengahalangi proses pembangunan, Freeport melalui aparat

keamanan Indonesia membubarkan secara paksa aksi masyarakat ini dengan melakukan

penembakan ke arah para demonstran.

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 11: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

Tabel 4.3. Data Reaksi Masyarakat Adat Suku di Mimika dalam Menanggapi Tindakan

Pelanggara HAM 1971-1991

No. Tahun Peristiwa Deskripsi

1. 1971 Protes Lembah Waa Reaksi masyarakat adat Mimika menanggapi

pengambilan paksa tanah adat dan penggusuran

masyarakat dari tempat tinggalnya.

2. 1972 Protes Lembah Tsinga Reaksi masyarakat adat dalam menolak pengrusakan

situs-situs adat

3. 1974 Memotong Sayur dan

membongkar Koperasi

Freeport

Reaksi masyarakat dalam menanggapi ketidakadilan

ekonomi di Mimika

4. 1977 Pemotongan Pipa Freeport Reaksi masyarakat adat dalam menolak pengambilan

paksa tanah adat serta tindakan kekerasan dan kebrutalan

aparat keamanan.

5. 1991 Membakar Bandara Timika. Reaksi menolak keberadaan Freeport di Mimika dan

menolak tindakan kekerasan aparat keamanan.

Sumber : Elsham Papua, 2003 (Data Telah Diolah Kembali)

Belajar dari pengalaman terdahulu, masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro

memutuskan untuk mengubah strategi yang mereka lakukan dalam menghadapi Freeport.

Masyarakat dengan pertimbangan tingkat efektifitas dan timbulnya banyak korban jiwa

akhirnya mulai meninggalkan berbagai bentuk perjuangan yang menggunakan kekuatan fisik.

Perubahan ini juga dipicu dengan semakin banyaknya anak muda dari kedua suku tersebut

yang mulai terdidik dan tergerakkan hatinya untuk menegakkan keadilan bagi suku mereka.

Langkah pertama untuk memulai aksinya, masyarakat adat kedua suku tersebut berusaha

untuk menolak segala bentuk upaya bantuan yang coba diberikan Freeport kepada mereka.

Penolakan ini dimaksudkan untuk memutus ketergantungan masyarakat kepada Freeport. Hal

ini juga dilakukan untuk menunjukkan kemandirian dan meningkatkan posisi tawar

masyarakat adat dalam pandangan pemerintah dan Freeport.

Benar sekali, jadi mulai sekitar tahun 1996 itu terjadi pengajuan gugatan hukum ke

Freeport terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM yang dirasakan oleh

masyarakat. Jadi gugatan itu berjalan di Amerika di negara bagian Lousiana. (Hasil

wawancara dengan Wakil LEMASA Bapak Bebari 24 Juni 2015).

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 12: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

Tindakan kedua yang dilakukan oleh LEMASA dan LEMASKO dalam menanggapi berbagai

bentuk tindakan pelanggaran HAM dilakukan dengan menghubungi Uskup Jayapura, Mgr.

H.F.M. Munninghoff. Setelah itu, Uskup Jayapura yang didukung oleh beberapa LSM dari

Papua dan Jakarta yang terdiri atas YLBHI, ELSAM, LPPS, INFID, dan Walhi pada 14

Agustus 1995 membantu LEMASA dan LEMASKO untuk menghadap Komnas HAM di

Jakarta (Amiruddin dan Jesus, 2003 : 83). Mereka menyampaikan dan membeberkan

serangkaian kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi pada area konsesi Freeport. Pada

kesempatan itu, para wakil LSM mendesak Komnas HAM untuk turun ke lapangan dan

membentuk tim khusus dalam rangka mencari fakta dan kejelasan dari peristiwa yang telah

dipaparkan oleh Uskup Munninghoff, LEMASA dan LEMASKO

Tabel 4.4. Reaksi Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro Terhadap Tindakan

Pelanggaran HAM 1995-1996

No. Tahun Peristiwa Deskripsi

1. 1995 Menolak Bantuan Dana 1%

Freeport

Masyarakat adat menolak bantuan dana

dari Freeport sebagai bentuk protes mereka

terhadap keberadaan Freeport di Mimika.

2. 1995 Meminta Bantuan Komnas HAM

dan LSM

Pasca terjadinya berbagai tindakan

pelanggaran HAM terhadap masyarakat

adat, LEMASA dan LEMASKO meminta

bantuan Komnas Ham dan LSM untuk

melakukan investigasi.

3 1996 Menggugat Freeport di Pengadilan

Amerika Serikat

Melakukan upaya hukum dengan

menggugat Freepport di negara asalnya.

Sumber : Amiruddin (Elsam), 2004 (Data Telah Diolah Kembali)

Tidak berhenti disana, usaha-usaha masyarakat adat untuk memperoleh keadilan dalam

peristiwa pelanggaran HAM yang menimpa mereka berlanjut pada ranah hukum. Langkah ini

ditempuh setelah semua upaya yang sebelumnya mereka lakukan tidak berhasil. Tidak

tanggung-tanggung, upaya hukum ini dilakukan di Amerika Serikat sebagai negara tempat

perusahaan induk Freeport beroperasi. Upaya hukum melalui pengadilan di Amerika Serikat

ini dilakukan melalui dua pengadilan. Pertama gugatan kepada Freeport atas nama Tom

Beanal diajukan ke Pengadilan Federal (Federal Court). Sementara yang kedua, gugatan atas

nama Yosefa Alomang, diajukan ke Pengadilan Negara Bagian Louisiana (Amiruddin dan

Jesus, 2003 : 135).

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 13: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

Akar dari permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi pada area pertambangan Freeport di

Mimika ini juga dapat dianalisa dengan menggunakan pendekatan kejahatan negara yang

dijelaskan oleh Green dan Ward (2004), yang pada intinya menjelaskan mengenai adanya

hubungan yang erat antara pemerintahan suatu negara dengan korporasi. Dalam

perkembangannya, kejahatan negara terjadi karena adanya kolusi antara negara sebagai

pemilik kekuasaan dibidang politik dan korporasi sebagai pihak yang berkuasa dibidang

ekonomi. Kerjasama jahat diantara kedua institusi ini kemudian menciptakan sebuah dimensi

baru dari kejahatan negara.

Green dan Ward (2004) yang mengutip pendapat Matthew dan Kauzlarich (2000), membagi

kejahatan yang melibatkan negara dan korporasi kedalam dua bentuk, yaitu state-initiated dan

state-facilitated. Dalam konteks ini kasus kejahatan yang melibatkan pemerintah Indonesia

dan PT. Freeport Indonesia dapat dikategorikan sebagai jenis kejahatan negara dan korporasi

dalam bentuk state-facilitated. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kejahatan

negara dan korporasi yang berupa state-facilitated dalam banyak kasus berwujud pada

gagalnya pemerintahan suatu negara dalam melakukan pengaturan terhadap aktifitas bisnis

yang dijalankan oleh korporasi yang melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Apabila dikembalikan pada kasus yang terjadi di Mimika dimana ketika Freeport dengan

justifikasi telah memperoleh hak konsesi pertambangan dengan sewenang-wenang melakukan

tindakan pengusiran, pengambilan secara paksa tanah adat serta kekerasan terhadap

masyarakat yang menentang kehadiran mereka. Dengan tanpa adanya persetujuan sadar dari

masyarakat adat, Freeport yang justru dibantu oleh pemerintah Indonesia memaksa

masyarakat Amungme dan Kamoro untuk pindah dan memberikan tanah mereka untuk

kepentingan bisnis Freeport. Hal ini kemudian semakin memperjelas posisi pemerintah

Indonesia, dimana dalam hal ini mereka justru memberikan ijin dan dukungannya kepada

Freeport yang telah secara jelas melakukan tindakan kejahatan. Hal ini sejalan dengan

pendapat yang dijelaskan oleh Green dan Ward (2004) dimana dalam kejahatan negara

dengan bentuk state-facilitated, pemerintahan sebuah negara seringkali mengeluarkan regulasi

yang menguntungkan bagi pihak korporasi, termasuk di dalamnya memberikan perlindungan

ketika korporasi melakukan berbagai tindakan ilegal dan kejahatan.

Posisi pemerintah Indonesia yang jusru memberikan dukungannya kepada Freeport yang

melakukan tindakan kejahatan ini bukan tanpa alasan. Pada awal beroperasinya Freeport,

kondisi negara Indonesia bisa dikatakan jauh dari stabil. Perubahan gaya kepemimpinan

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 14: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

kepala negara yang kemudian disertai dengan berbagai isu keamanan dan konflik membuat

posisi Indonesia semakin sulit. Dalam situasi seperti ini, untuk memperbaiki perekonomian

negara, pemerintah mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya. Sedangkan

untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan pemerintah cenderung mengedepankan

berbagai tindakan represif. Kondisi ini juga terjadi di Mimika, dimana untuk mendapatkan

bagian keuntungan dari pertambangan yang dijalankan Freeport, pemerintah Indonesia

memberikan dukungan penuh dengan mengirimkan aparat keamanannya. Pemerintah

Indonesia pada masa itu seakan tidak peduli lagi dengan hak-hak yang dimiliki oleh

masyarakat adat setempat terkait kepemilikan tanah maupun kenyamanan dan keselamatan

mereka.

Kondisi diatas dapat dijelaskan melalui pendapat Green dan Ward (2004) yang mengutip

pendapat dari Ronald Kramer (1992) yang menjelaskan bahwa negara yang bekerja sama

dengan korporasi untuk melakukan tindak kejahatan ini tidak lain disebabkan oleh rendahnya

kontrol dan mekanisme penegakan hukum yang dijalankan oleh pemerintahan suatu negara

(Green dan Ward, 2004 : 49). Negara dan korporasi, keduanya bertanggung jawab atas

berbagai tindakan pelanggaran HAM terhadap masyarakat diberbagai belahan di dunia.

Korporasi yang melakukan tindakan pelanggaran HAM justru diberikan dukungan oleh

negara dengan pemberian hak imunitas atas berbagai tindakan ilegal mereka (Green dan

Ward, 2004 : 51).

Perlawanan fisik yang dilakukan oleh masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro sebagai

reaksi atas kekejaman Freeport dan pemerintah Indonesia pada dasarnya sesuai dengan

penjelasan dalam Teori perilaku kolektif. Teori ini pada dasarnya menjelaskan bahwa suatu

tindakan kolektif terjadi sebagai respon kelompok atas kondisi tekanan, ketegangan dan

ketidakadilan. Le Bon (2002) dalam penjelasannya mengatakan bahwa tindakan kolektif yang

dilakukan oleh suatu kelompok tersebut muncul sebagai respon atas situasi yang tidak

terstruktur dan stabil serta cenderung mengancam eksitensi dari kelompok yang bersangkutan.

Apabila kita kembalikan pada kasus perlawanan fisik yang dilakukan oleh masyarakat adat

suku Amungme dan Kamoro, maka kondisi ini sejalan dengan penjelasan dari teori perilaku

yang dijelaskan oleh Le bon diatas. Pada awalnya, tindakan yang dilakukan oleh masyarakat

suku Amungme dan Kamoro yang melakukan perlawanan fisik terhadap Freeport timbul

sebagai respon mereka atas kondisi yang mereka alami pasca beroperasinya Freeport di

wilayah mereka. Masyarakat yang pada awalnya dapat hidup dengan aman dan nyaman, tiba-

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 15: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

tiba harus terusir dan hidup pada lingkungan yang rusak sebagai dampak operasional

Freeport. Kondisi ini yang kemudian mendorong masyarakat adat untuk merespon hal

tersebut melalui berbagai tindakan perlawanan fisik terhadap Freeport dan pemerintah

Indonesia yang direpresentasikan dengan kehadiran aparat keamanan di Mimika.

Kehadiran Freeport yang disertai dengan aparat keamanan Indonesia yang cenderung

mengancam eksistensi dari masyarakat adat ini kemudian memaksa Amungme dan Kamoro

untuk bersama-sama mempertahankan hak-hak mereka, yang kemudian disertai dengan upaya

untuk melakukan gangguan terhadap kegiatan operasional tambang yang dijalankan oleh

Freeport. Berbagai tindakan seperti sabotase properti perusahaan, blokade terhadap akses

masuk kedalam area pertambangan merupakan beberapa hal yang dilakukan masyarakat

sebagai bentuk protes mereka terhadap kehadiran Freeport dan aparat keamanan di Mimika.

Lebih lanjut, perlawanan fisik yang dilakukan oleh masyarakat adat di Mimika ini juga bisa

dijelaskan melalui teori interaksionis yang dikembangkan oleh Herbert Blumer. Blumer dalam

teori tersebut menjelaskan bahwa, munculnya tindakan kolektif pada dasarnya disebabkan

oleh adanya hasil reaksi melingkar (circular reactions) yang terjadi dalam situasi konflik atau

kerusuhan sosial (Blumer, 1986). Dalam konteks ini jelas, bahwa reaksi yang berupa

perlawanan fisik yang dilakukan oleh masyarakat adat di Mimika pada dasarnya merupakan

hasil konflik yang terjadi antara masyarakat adat dengan Freeport yang didukung oleh aparat

keamanan negara Indonesia.

Lebih lanjut Blumer (1986) juga menjelaskan bahwa perilaku kolektif seringkali ditandai

dengan adanya tindakan dari kelompok yang irrasional dan cenderung emosional. Dalam

pandangan masyarakat umum, perlawanan fisik yang lakukan suku Amungme dan Kamoro

terhadap Freeport adalah hal yang dianggap irrasional. Hal ini dikarenakan kedua suku

tersebut melakukan perlawanan terhadap aparat keamanan negara yang secara resmi

ditugaskan untuk menjaga keamanan di area tambang Freeport. Selain itu, tindakan melawan

aparat keamanan yang dilengkapi dengan peralatan dan senjata lengkap juga dianggap kurang

masuk akal untuk dilakukan.

Meskipun seringkali dianggap irrasional, namun semua ini berbeda dalam pandangan suku

Amungme dan Kamoro. Meskipun mereka harus menghadapi aparat keamanan negara,

namun dalam sejarahnya, sebagaimana suku lain di Papua, suku-suku di Mimika memiliki

budaya kekerasan yang berwujud pada perang suku ketika saling berkonflik satu sama lain.

Perang suku menjadi hal yang lazim terjadi di Mimika untuk menyelesaikan masalah. Hal ini

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 16: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

juga terjadi ketika mereka harus berhadapan dengan Freeport. Perlawanan fisik yang mungkin

dianggap irrasional oleh sebagian besar masyarakat lain menjadi hal yang rasional karena

budaya mereka mengakomodir untuk melakukan hal tersebut. Perlawanan fisik tersebut

bersifat emosional mungkin benar, karena sifat spontan sebagai respon mereka atas tindakan

Freeport, namun apabila dikatakan irrasional dalam sudut pandang mereka hal ini bisa jadi

tidak benar.

Sedangkan apabila merujuk pada penjelasan Neil Smelser (1962) bahwa perilaku kolektif

pada dasarnya menekankan pada perilaku kelompok sebagai suatu upaya untuk mengubah

lingkungan sosial yang didasari oleh suatu generalized belief yang dapat diartikan sebagai

sesuatu yang sudah menjadi kepercayaan umum. Apabila dikembalikan pada kasus pada

masyarakat adat di Mimika, hal ini sangat relevan. Pada kasus masyarakat adat di Mimika,

latar belakang perlawanan fisik yang mereka lakukan kepada Freeport pada dasarnya

dilandasi oleh berbagai tekanan yang mereka terima akibat berbagai tindakan perusahaan

yang kemudian menghasilkan generalized belief atau kepercayaan umum bahwa tindakan

Freeport tersebut salah dan harus dilawan.. Setelah mendapatkan hak konsesi pertambangan di

Mimika, Freeport dengan dukungan kekuatan dari aparat keamanan Indonesia melakukan

penggusuran dan pengusiran secara paksa terhadap masyarakat adat dari tempat tinggal dan

tempat hidupnya. Ditambah lagi, masyarakat yang mencoba mengambil tanah mereka juga

seringkali diperlakukan sebagai penjahat dan pada akhinya mengalami tindakan kekerasan

bahkan pembunuhan. Berbagai pengalaman menyakitkan ini yang kemudian menciptakan

frustasi dikalangan masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro sehingga pada akhirnya

mendorong mereka untuk melakukan perlawanan secara fisik kepada Freeport.

Perlawanan fisik yang dilakukan oleh masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro sebagai

reaksi atas kekejaman Freeport dan pemerintah Indonesia juga dapat dijelaskan dengan

menggunakan teori Frustasi-Agresi dari Leonard Berkowitz. Teori ini pada dasarnya

menjelaskan bahwa peningkatan akan kondisi frustasi akan memicu potensi terjadinya agresi

(Berkowitz, 1989). Berdasarkan teori tersebut, semua tindakan agresi berakar pada kondisi

frustasi yang terjadi pada seseorang atau kelompok orang sebagai reaksi atas keberhasilan

aktor lain dalam mencapai tujuan mereka. Oleh karena itu, terjadinya perlawanan fisik oleh

masyarakat merupakan hasil dari kegagalan pencapaian tujuan individu maupun kelompok.

Lebih lanjut, Berkowitz (1989) memberikan penjelasan bahwa reaksi yang berupa perlawan

fisik menjadi hal pertama yang dilakukan oleh seseorang karena tindakan tersebut dianggap

sebagai yang paling cepat dan bisa dilakukan ketika seseorang berusaha melepaskan

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 17: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

ketegangan akibat menerima suatu tekanan. Dalam banyak kasus, respon fisik tersebut juga

dilakukan untuk melawan kondisi ketidakadilan sosial akibat tindakan dari individu yang

memiliki kekuatan atau terlembaga dengan bantuan negara.

Seperti dalam penjelasan teori Frustasi-Agresi diatas, disebutkan bahwa tindakan agresi

cenderung dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang mengalami frustasi. Apabila

dikembalikan pada kasus pada masyarakat adat di Mimika, hal ini sangat relevan. Pada kasus

masyarakat adat di Mimika, latar belakang perlawanan fisik yang mereka lakukan kepada

Freeport pada dasarnya dilandasi oleh kondisi frustasi yang mereka terima akibat berbagai

tindakan perusahaan. Setelah mendapatkan hak konsesi pertambangan di Mimika, Freeport

dengan dukungan kekuatan dari aparat keamanan Indonesia melakukan penggusuran dan

pengusiran secara paksa terhadap masyarakat adat dari tempat tinggal dan tempat hidupnya.

Ditambah lagi, masyarakat yang mencoba mengambil tanah mereka juga seringkali

diperlakukan sebagai penjahat dan pada akhinya mengalami tindakan kekerasan bahkan

pembunuhan. Berbagai pengalaman menyakitkan ini yang kemudian menciptakan frustasi

dikalangan masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro sehingga pada akhirnya mendorong

mereka untuk melakukan perlawanan secra fisik kepada Freeport.

Perubahan sikap dan reaksi masyarakat dalam menanggapi berbagai tindakan pelanggaran

HAM oleh Freeport yang difasilitasi oleh pemerintah Indonesia ini merupakan hal yang

sangat rasional. Masyarakat adat mengubah strategi perlawanan mereka dari yang semula

menggunakan perlawanan fisik untuk kemudian berubah dengan memanfaatkan jalur hukum

ini didasarkan pada pengalaman mereka akan efektifitas dari berbagai tindakan tersebut.

Selain itu, masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro juga mempertimbangan berbagai

kerugian yang harus mereka terima ketika harus menghadapi Freeport dengan menggunakan

kekuatan fisik. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, akhirnya masyarakat mulai

melakukan perlawanan melalui jalur hukum dengan menggugat Freeport pada dua pengadilan

di Amerika Serikat dengan memuat unsur kekerasan dan pelanggaran HAM sebagai dakwaan

utama dalam tuntutannya.

Pemilihan jalur hukum untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi

pada masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro ini pada dasarnya sesuai dengan Theory of

Law Reform and Social Change yang dijelaskan oleh Joel Handler. Joel Handler (1976)

menjelaskan bahwa hukum dianggap sebagai instrumen dalam melakukan perubahan sosial

yang paling efektif karena memiliki tingkat keberhasilan yang paling tinggi dibandingkan

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 18: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

dengan cara lainnya. Dalam penjelasaannya yang kemudian disebut sebagai Theory of Law

Reform and Social Change, Joel Handler (1976) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat lima

variabel yang mempengaruhi keberhasilan upaya hukum sebagai instrumen untuk melakukan

perubahan sosial.

Dari Theory of Law Reform and Social Change yang dijelaskan oleh Joel Handler (1976)

tersebut, maka pemilihan jalur hukum sebagai langkah untuk melakukan perubahan sosial di

Mimika yang dilakukan oleh masyarakat adat tampak sangat rasional. Selama puluhan tahun

berkonflik dengan Freeport, masyarakat adat telah berupaya mereduksi eksistensi dari

perusahaan tersebut dengan jalan perlawanan fisik. Namun dari berbagai bentuk perlawanan

tersebut, masyarakat menilai bahwa berbagai tindakan tersebut justru semakin membuat posisi

mereka semakin lemah dihadapan Freeport dan pemerintah. Dengan berbagai tindakan

masyarakat tersebut, Freeport dan pemerintah Indonesia justru seakan memliki landasan

pembenar untuk melakukan perlawanan balik melalui aparat keamanan. Sebagai dampaknya,

masyarakat harus kehilangan banyak anggota keluarga dan saudara mereka yang meninggal

akibat berbagai konflik tersebut. Masyarakat benar-benar harus menerima kerugian ganda

akibat perlawanan fisik yang mereka lakukan. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan bagi

masyarakat adat, baik secara sosial maupun politik. Menghadapi kondisi ini, masyarakat

dalam hal ini mutlak harus mengubah strategi perlawanan apabila mereka masih ingin

mempertahankan esksitensi dan mengambil kembali hak-hak mereka yang telah dirampas

oleh Freeport dan pemerintah.

5. Simpulan

Penderitaan yang dirasakan oleh suku Amungme dan Kamoro pasca beroperasi Freeport

terjadi ketika masyarakat adat berusaha untuk mengambil kembali hak-hak mereka. Melalui

Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (LEMASA) dan Lembaga Adat Suku Kamoro

(LEMASKO), kedua suku tersebut berusaha untuk berkonfrontasi dengan Freeport. Melalui

berbagai perlawanan fisik mulai dari demonstrasi, pemotongan pipa konsentrat, penutupan

akses jalan masuk area pertambangan sampai pembakaran bandara sebagai upaya untuk

memutus akses keluar dan masuk Mimika telah dilakukan oleh masyarakat adat. Perlawanan

yang dilakukan masyarakat ini kemudian mendapatkan respon dari Freeport melalui aparat

keamanan dengan berbagai tindakan kekerasan, penganiayaan, penyekapan bahkan sampai

pembunuhan terhadap mereka yang dianggap membahayakan kepentingan perusahaan

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 19: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

Selain itu, masalah yang dialami oleh masyarakat adat di Mimika semakin kompleks setiap

harinya. Terlepas dari mereka yang mengalami pengusiran, penggusuran dan kekerasan, saat

ini mereka harus merasakan kesulitan untuk memenuhi kehidupannya akibat tekanan ekonomi

dan ketimpangan sosial. Oleh karena itu, diperlukan asistensi yang konsisten dari LSM dan

lembaga-lembaga lainnya untuk tetap terus mendampingi dan memberikan bantuan terhadap

mereka.

Saat ini yang menjadi concern utama masyarakat adat adalah bagaimana membuat

anggotanya sejahtera dengan tanpa menggantungkan kehidupannya terhadap Freeport.

Mereka sadar bahwa Freeport tidak mungkin selamanya akan beroperasi di Mimika. Dengan

kata lain, mereka tidak bisa selamanya menggantungkan kehidupannya pada bantuan

keuangan yang Freeport berikan setiap tahunnya. Oleh karena itu, Freeport diharapkan dapat

membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan yang bisa menampung masyarakat adat dengan

tanpa harus memiliki kompetensi khusus. Hal ini sebagai salah satu tanggung jawab Freeport

atas kondisi lingkungan Mimika sudah tidak mungkin lagi untuk diolah pasca beroperasinya

pertambangan mereka. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi, ketika suatu saat

Freeport berhenti beroperasi, masyarakat adat tetap bisa survive dan mampu memenuhi

kehidupannya secara mandiri.

Daftar Referensi

Amiruddin dan Jesus, Aderito. (2003). Perjuangan Amungme. Jakarta : Elsam.

Berkowitz, Leonard. (1989). Frustration-aggression hypothesis: Examination and

reformulation. Psychological Bulletin,

Berkowitz, Leonard. (1993). Aggression: Its causes, consequences, and control. New York:

McGraw- Hill.

Blumer, Herbert. (1986). Symbolic Interactionism Perspective and Method. California :

University of California Press.

Giay, Benny dan Kambai, Yafet. (2003). Yosepha Alomang : Pergulatan Seorang Perempuan

Papua Melawan Penindasan. Jayapura : Elsham Papua dan European Commission.

Global Witness. Paying For The Freeport mine and the Indonesian security forces. Special

Reports 2005

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016

Page 20: Reaksi Sosial Masyarakat Adat Suku Amungme dan Kamoro

Green, Penny dan Ward, Tony. (2000). State Crime, Human Rights, And the Limits of

Criminology. London : Social Justice Reports

Green, Penny dan Ward, Tony. (2004). State Crime : Governments, Violence and Corruption.

London : Pluto Press

Handler, F Joel. (1976). Social Reform Groups and Law Reformers. USA : University of

Wisconsin-Madison

Kemp, Deanna. Just Relations and Company–Community Conflict in Mining. Journal of

Business Ethics Tahun 2010 Vol.10. pp 93-109

Le Bon, Gustave. (2002). The crowd : A study of the Popular Mind. Newyork : Dover

Publications Inc.

Miles & Huberman. (2007). Analisis data kualitatif. Jakarta : Penerbit UI.

Ojakorotu, Victor dan Whetho, Ayo. Multinational Corporations and Human Rights Abuses:

A case study of the Movement for the Survival of Ogoni People and Ijaw Youth Council of

Nigeria Tahun 2005.

Smelser J, Neil. (1962). Theory of Collective Behavior. Newyork : The Free Press

Widjojo, S Muridan. Strategi Amungme Untuk Memperoleh Pengakuan di Mimika Papua.

Tesis 2002 : Universitas Indonesia.

Willem, Luis. Mining and Indigenous Peoples in Guatemala: The Local Relevance of Human

Rights. Gent 2010 : Universiteit Gent

Hasil Wawancara dengan Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (LEMASA)

Hasil Wawancara dengan Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (LEMASKO)

Hasil Wawancara dengan ELSHAM Papua.

Reaksi Sosial ..., Alex Shofihara, FISIP UI, 2016