reaksi anafilaktik dan anestesi

27
REAKSI ANAFILAKTIK DAN ANESTESI Robert S. Holzman, MD, FAAP Anafilaksis adalah reaksi alergi yang akut, berat dan berpotensi mengancam nyawa. Kata ‘alergi’ dikemukakan oleh Baron Dr. Clemens von Pirquet pada tahun 1906, digunakan untuk menjelaskan respon biologi kompleks yang bisa menunjang pada penyakit alergi dan imunitas. Konsep ini cukup banyak dipakai bersama pemahaman evolusi kita pada abad berikutnya. Pendahulu neologisme von Pirquet, Portier dan Richet pada tahun 1902 melaporkan bahwa injeksi kedua ekstrak anemone laut terhadap anjing menyebabkan reaksi sistemik yang fatal setelah injeksi pertama yang dilakukan tidak menyebabkan efek observasi yang bermakna. Richet mendesain kata ‘anafilaksis’ dengan mengkombinasikan kata Yunani ana (“kontra terhadap”) dan phylaxis (proteksi) untuk menjelaskan reaksi samping yang mengikuti pemaparan berulang terhadap protein asing berbanding hanya imunisasi, atau profilaksis. Topik ini mengambil pandangan dari anestesiolog sebagai spesialis perioperatif, memfokuskan pada evaluasi preoperatif pada pasien dengan riwayat alergi yang mungkin, diagnosis, intervensi dalam ruang operasi dan lingkungan perioperatif, serta jembatan terhadap evaluasi dan penanganan lanjut pada pasien oleh penanganan utama dari dokter dan spesialis. BIOLOGI DARI AKTIVASI SEL MAST Mengapa beberapa dari kita ditakdirkan mengalami alergi dalam kehidupan sedangkan tidak bagi yang lain? Kita sekarang mengetahui bahwa sistem imun kita dapat memilih dari 2 jalur untuk mengekspresikan reaksi terhadap antigen, meliputi respon imun secara low-grade maupun high-grade (tabel 88-1). Responder low-grade memproduksi antibodi allergen-spesifik IgG1 dan IgG4, dan sel-sel T yang berespon pada alergen dengan proliferasi dan produksi moderat interferon-y, oleh sel T-helper tipe 1 (Th1). Responder high-grade, walau bagaimanapun, mempunyai respon yang lebih besar, dengan meningkatnya produksi antibodi alergen-spesifik IgE, termasuk juga peningkatan kadar serum antibodi IgE spesifik terhadap alergen- alergen umum. Dalam kelompok ini, sitokin diproduksi oleh sel Th2, 1

Upload: makhury-milanisti

Post on 02-Aug-2015

246 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

REAKSI ANAFILAKTIK DAN ANESTESI

Robert S. Holzman, MD, FAAP

Anafilaksis adalah reaksi alergi yang akut, berat dan berpotensi mengancam nyawa. Kata ‘alergi’ dikemukakan oleh Baron Dr. Clemens von Pirquet pada tahun 1906, digunakan untuk menjelaskan respon biologi kompleks yang bisa menunjang pada penyakit alergi dan imunitas. Konsep ini cukup banyak dipakai bersama pemahaman evolusi kita pada abad berikutnya. Pendahulu neologisme von Pirquet, Portier dan Richet pada tahun 1902 melaporkan bahwa injeksi kedua ekstrak anemone laut terhadap anjing menyebabkan reaksi sistemik yang fatal setelah injeksi pertama yang dilakukan tidak menyebabkan efek observasi yang bermakna. Richet mendesain kata ‘anafilaksis’ dengan mengkombinasikan kata Yunani ana (“kontra terhadap”) dan phylaxis (proteksi) untuk menjelaskan reaksi samping yang mengikuti pemaparan berulang terhadap protein asing berbanding hanya imunisasi, atau profilaksis.

Topik ini mengambil pandangan dari anestesiolog sebagai spesialis perioperatif, memfokuskan pada evaluasi preoperatif pada pasien dengan riwayat alergi yang mungkin, diagnosis, intervensi dalam ruang operasi dan lingkungan perioperatif, serta jembatan terhadap evaluasi dan penanganan lanjut pada pasien oleh penanganan utama dari dokter dan spesialis.

BIOLOGI DARI AKTIVASI SEL MAST

Mengapa beberapa dari kita ditakdirkan mengalami alergi dalam kehidupan sedangkan tidak bagi yang lain? Kita sekarang mengetahui bahwa sistem imun kita dapat memilih dari 2 jalur untuk mengekspresikan reaksi terhadap antigen, meliputi respon imun secara low-grade maupun high-grade (tabel 88-1). Responder low-grade memproduksi antibodi allergen-spesifik IgG1 dan IgG4, dan sel-sel T yang berespon pada alergen dengan proliferasi dan produksi moderat interferon-y, oleh sel T-helper tipe 1 (Th1). Responder high-grade, walau bagaimanapun, mempunyai respon yang lebih besar, dengan meningkatnya produksi antibodi alergen-spesifik IgE, termasuk juga peningkatan kadar serum antibodi IgE spesifik terhadap alergen-alergen umum. Dalam kelompok ini, sitokin diproduksi oleh sel Th2, termasuklah IL-4,IL-5, dan IL-13 diproduksi dari sel Th1 berbanding sitokin-sitokin seperti IFN-y dan IL-2.

Aktivasi Mediasi IgE Sel Mast

Molekul-molekul antigenik (biasanya protein) yang bisa menstimulasi produksi antibodi IgE dapat menyebabkan anafilaksis mediasi-IgE setelah sensitisasi awal dan pemaparan yang berulang. Hapten, molekul-molekul yang terlalu kecil untuk menstimulasi respon imun, bisa berikatan pada protein endogen seperti albumin dan menjadi antigen. Setelah diproduksi, IgE terhadap antigen ini menjadi cocok(sesuai) terhadap sel mast jaringan dengan/atau basofil-basofil pada sirkulasi, yang masing-masing mengandung reseptor IgE berafinitas tinggi. (gambar 88-1). Pemaparan ulang pada antigen atau hapten, dengan beberapa cross-link dari permukaan sel antibody IgE, menginduksi aktivasi dari enzim-enzim yang berhubungan dengan membran (membrane-associated), menyebabkan kaskade biokimia kompleks yang menunjang pada influks kalsium ekstraselular dan mobilisasi kalsium

1

Page 2: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

intraselular dengan pelepasan dari mediator-mediator yang berhubungan dengan granul, dan pembentukan mediator-mediator baru dari fosfolipid membran sel.

Sitokin merupakan bahan kimia dengan berat molekul rendah yang memodulasi fungsi sel secara lokal. Sitokin-sitokin yang mempromosi isotype switching IgE (IL-4 dan IL-13) diperbanyak oleh limfosit T dengan profil sitokin Th2. Sel T yang memperbanyak profil sitokin Th1- dengan mensekresi IFN-ɣ- menghambat isotype-switching sel B terhadap sintesa IgE. Sel Th1 dan Th2 masing-masing menghambat perkembangan satu sama lainnya. Apabila produksi IgE meningkat, atopi (diambil dari kata Yunani atopos yang bermaksud ‘keluar dari tempatnya’), ketidakseimbangan rasio antara Th1/Th2 biasanya terjadi. Sitokin-sitokin yang berhubungan dengan Th2, seperti IL-4.IL-5,IL-9 dan IL-13, adalah terkait dengan banyak inflamasi alergi yang kronis. IL-4 dan IL-13 menstimulasi produksi IgE dan vascular cell adhesion molecule 1 (VCAM-1). IL-5 dan IL-9 terlibat dalam perkembangan eosinofil. IL-4 dan IL-9 mempromosi perkembangan dari sel mast. IL-9 dan IL-13 mempromosi respon yang berlebihan pada jalan napas. IL-4, IL-9 dan IL-13 mempromosi overproduksi dari mukus. Dalam waktu itu, eosinofil mencederai permukaan mukosa dengan melepaskan protein dasar yang toksik, leukotrien cysteinyl dan platelet activating factor (PAF). Ia juga merusakkan reseptor muskarinik MK2 inhibitor, yang pasti menyebabkan hiperresponsif jalan napas. IL-5 juga melepaskan eosinofil matang dan belum matang dari sumsum tulang.

Molekul-molekul IgE kemudiannya terikat pada reseptor afinitas tinggi IgE [ Fc epsilon receptor 1 (FceR1)] pada basofil di sirkulasi dan sel mast. Ikatan ini sendiri tidak dapat mencetuskan reaksi alergi; langkah kedua diperlukan. Alergen, oleh karena multivalensinya, akan mengekspresikan banyak epitop yang akan dikenal oleh IgGs dan IgEs yang spesifik. Ikatan multivalensi simultan alergen terhadap beberapa ikatan membrane IgEs menyebabkan agregrasi reseptor, mencetuskan cascade sinyal yang menunjang pada produksi dan pelepasan mediator-mediator alergi dan inflamasi (histamine, leukotrien, chemokin dan sitokin). Pelepasan dari mediator ini adalah cepat (dalam menit) dan dapat menghasilkan gejala secara langsung.

Terdapat keseimbangan dari aktivasi dan penghambatan reseptor permukaan sel (cell-surface receptor), tetapi bagaimana cascade sinyal diperbanyak? FceR1 mempunyai unit ikatan IgE (rantai-alfa) dan unit sinyal (satu rantai-B dan dua rantai-ɣ). Agregasi FceR1 menyebabkan aktivasi dari sitokin kinase yang terikat dengan rantai-B; seterusnya tirosin kinase akan memfosforilasi 2 residual tirosin dalam rantai-ɣ. Tirosin residual ini merupakan gambaran utama dari immunoreceptor tyrosine-based activation motif (ITAM), suatu gambaran akan banyaknya reseptor di sepanjang sistem imun. Setelah fosforilasi, ITAMs dari rantai-ɣ mengaktivasi Syk tyrosine kinase, yang mana, di sepanjang jalur-jalur aktivasi,menyebabkan pelepasan dari mediator-mediator alergi.

Modulasi dari jalur FceR1 ini terjadi melalui penghambatan yang dimediasi oleh IgG receptor Fcg receptor IIb (FcgRIIb). Kompleks bentuk alergen-spesifik IgG bersama alergen yang bisa, dalam waktu yang sama, membentuk suatu jembatan antara FceR1 dan FcgRIIb. Jembatan ini menyebabkan agregasi dari aktivasi FceR1 dengan FcgRIIb inhibitor, yang akan menghambat jalur yang diaktivasi oleh FceR1. Keseimbangan dari aksi berlawanan IgG terhadap IgE ini merupakan mekanisme utama pada desensitasi alergen yang sukses. Dalam fungsi inhibisinya terhadap ITAM, FcgRIIb juga mengandung immunoreceptor tyrosine-based inhibitory motif (ITIM), suatu modifikasi pada versi ITAM yang muncul dalam FceR1.

2

Page 3: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

Menggunakan arsitektur membran ini, molekul kimerik (chimeric) yang didesain untuk berikatan pada masing-masing FcgRIIb dan IgE spesifik yang terikat pada FceR1 telah ditunjukkan dapat menciptakan suatu jembatan dan menghambat reaksi alergi, termasuklah aktivasi mediasi-alergen pada basofil dan sel mast in vitro, termasuk juga pada tikus percobaan. Strategi tersebut tidak hanya menyebabkan profilaksis pada reaksi alergi yang spesifik, tetapi sebagai tambahan, turut dapat menggantikan alergen-elergen yang sudah terikat dengan IgE, yang mana dalam kasus ini bisa membantu dalam terminasi reaksi anafilaktik yang sedang terjadi akibat paparan awal.

Aktivasi Mediasi-Komplemen Sel Mast

Komplemen diidentifikasikan pertama kali sebagai “ ketua (principal)” panas-labil dalam serum yang mengkomplemen antibodi-antibodi dalam pemusnahan bakteri. Komplemen terdiri dari beberapa seri protein plasma dan membran sel yang melakukan lisis pada sasaran yang rentan, dan meningkatkan mediator peptida pada respon inflamasi. Anafilatoksin ini menyebabkan pelepasan mediator basofil pada sel mast, yang secara langsung meningkatkan permeabilitas vaskuler, menyebabkan kontraktilitas otot polos, menyebabkan aktivasi platelet, dan menstimulasi makrofag supaya memproduksi tromboxan. Efeknya hampir identik dengan aktivasi mediasi-IgE sel mast. Kerja dari sistem komplemen sangat menantang; ia menciptakan pertahanan host melalui opsonisasi kemotaksis dan aktivasi leukosit, dan lisis pada bakteri-bakteri dan sel-sel. Ia juga bertindak dengan mengatur respon antibodi dan peningkatan memori imunoligis. Akhirnya, ia akan menyingkirkan bahan-bahan buangan melalui bersihan kompleks imun dari jaringan dan bersihan dari sel-sel apoptotik.

Kaskade komplemen bisa diaktivasi melalui jalur alternatif klasik atau jalur mannate-binding lectin (gambar 88-2). Aktivasi komplemen melalui jalur klasik dimulai melalui ikatan antibodi IgM atau IgG pada antigen, seperti pada reaksi transfusi darah kompatibilitas-ABO. Kompleks heparin-protamine telah ditunjukkan secara vivo dan in vivo untuk mengaktivasi komplemen melalui jalur klasik. Injeksi kompleks imun atau agregat IgG yang sudah terbentuk dapat mengaktivasi komplemen dan menyerupai anafilaksis klinis. Pasien dengan defisiensi antibodi IgA selektif bisa membentuk antibodi IgG anti-IgA setelah menerima beberapa kali transfusi, yang bisa menyebabkan aktivasi komplemen dan reaksi anafilaksis.

Aktivasi komplemen melalui jalur alternatif bisa distimulasi dengan lipopolisakarida (endotoksin), althesin, media radiokontras dan membran yang digunakan pada bypass kardiopulmoner dan dialisis.

Pencetus dari jalur mannose binding-lectin adalah mikroba pada kelompok mannose terminal. Anak dengan infeksi yang rekuren bisa mempunyai kadar mannose-binding lectin yang rendah, yang menjelaskan pentingnya jalur mannose-binding lectin dalam hilangnya antibodi maternal pasif yang didapat (acquired), dan penerimaan pada himpunan imunologi yang matang.

3 jalur yang tertumpu pada lekukan C3, menyebabkan formasi kompleks membran penyerang yang dengan secara langsung memberi afek pada integritas membran-membran sel mast dan sel basofil. Sebagai tambahan, aktivasi komplemen mempunyai peran dalam mengamplifikasi respon antibodi.

3

Page 4: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

Aktivasi Sel-Mast Non Imunologik

Beberapa obat dapat menyebabkan pelepasan mediator sel mast oleh pengaruh non imunogik, yang mana mekanismenya yang jelas masih belum dipahami. Obat yang menyebabkan aktivasi sel mast non imunologik termasuklah opiat (terutama morfin dan codein) dan agen pelumpuh otot seperti atracurium dan D-tobocurarine. Bukti-bukti menunjukkan bahwa pelumpuh otot seperti atracurium, vecuronium dan succinylcholine turut bisa menyebabkan pelepasan mediator sel mast melalui antibodi IgE secara langsung terhadap epitop-epitop ion ammonium tertiana atau quartana.

Mediator-mediator Anafilaksis

Apabila sel mast, basofil dan eosinofil teraktivasi melalui apa saja mekanisme, pelepasan dari mediator menyebabkan atraksi, akumulasi dan aktivasi dari elemen-elemen sel lainnya. Mediator-mediator yang dilepaskan termasuklah yang sudah terbentuk dan disimpan di dalam granul-granul, dan yang baru saja dihasilkan melalui stimulasi yang sesuai. Pelepasan dari mediator-mediator ini bisa menyebabkan berbagai respon patofisiologi, yang bisa menyebabkan reaksi akut maupun kronis. Kompleks alergen, IgE dan reseptor afinitas tinggi terhadap IgE pada permukaan sel mast mencetuskan pelepasan histamin dan triptase yang nonsitotoksik, memerlukan energi sebelum pembentukan yang berhubungan dengan granul, dan mediator leukotrien derivat membran lipid, prostaglandin dan platelet activating factor (PAF). Sel mast memproduksi 3 cysteinyl leukotrien C3, D4 dan E4, yang menyebabkan kontraksi otot polos, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi mukus. Sumber kolateral dari cysteinyl leukotrien adalah eosinofil, makrofag dan monosit. Triptase sel mast mengaktivasi reseptor pada sel endotel dan epitel, yang mana menyebabkan peningkatan regulasi dari molekul-molekul adhesi yang secara selektif mengaktivasi eosinofil dan basofil.

EPIDEMIOLOGI ANAFILAKSIS KETIKA ANESTESI

Penyakit alergi semakin mengalami peningkatan pada negara-negara Barat. Lingkungan bisa berpengaruh besar terhadap peningkatan ini; penyakit alergi adalah lebih jarang pada Jerman Timur berbanding Jerman Barat oleh karena reunifikasi. Penemuan ini mendukung keraguan bahwa apabila pembentukan sistem imun berasal dari antigen mikroba yang menstimulasi sel Th1, istilah yang disebut ‘hipotesis higiene’, suatu peluang untuk memperpanjang sensitasi sel Th2 terjadi. Dengan mempromosi respon Th1, infeksi akan mengurangi tendensi terhadap perkembangan dari penyakit yang berhubungan dengan Th2. Faktor lain yang berpotensi terhadap besarnya respon Th2 pada infant termasuklah diet dan tanggal lahir ketika musim yang banyak sporanya. Lingkungan tambahan yang bisa mempengaruhi seperti infeksi virus, paparan alergen, tembakau dan polusi udara turut memainkan peran. Data epidemiologi menunjukkan peningkatan prevalensi dan beratnya penyakit atopik pada pediatri (asma, ekzema dan rhinitis alergi) pada 15-20 tahun yang lalu.

Anafilaksis ketika alergi mempunyai epidemiologi unik dan merupakan subset dari faktor-faktor etiologi. Insiden anafilaksis ketika anestesi adalah bervariasi dalam magnitud yang ditetapkan

4

Page 5: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

tetapi berkisar antara 0,5 : 10000 dan 16,3 : 10000 (Tabel 88-2). Anafilaksis ketika anestesi secara utamanya adalah pada relaksan otot. Penelitian dari 826 pasien yang dirujuk ke praktek anestesi alergi di Australia setelah periode 17 tahun, menunjukkan reaksi anafilaksis yang berat pada 54%; dalam 59% jumlah tersebut, relaksan otot terlibat. Dari 452 pasien yang dievaluasi di praktek anestesi alergi di Nice, Perancis, 62 pasien mengalami anafilaksis, 57 oleh karena relaksan otot, 4 terhadap latex, dan 1 terhadap gelatin. Dengan menghindari paparan ulang dan menawarkan metode alternatif pada anestesi (seperti blok regional), beberapa reaksi alergi dapat dicegah. Penelitian selama 20 tahun dari literatur berbahasa Inggris dan Perancis (1964-1984) mencatat 975 kasus reaksi serta-merta yang mengancam nyawa, dengan jumlah kasus yang terbanyak adalah akibat relaksan otot (51%) dan obat-obat hipnotik (42,3%). Dalam seri-seri lainnya, bahan yang terlibat adalah relaksan otot (70%), latex (12,6%), hipnotik (3,6%), benzodiazepine (2,0%), opiat (1,7%), koloid (4,7%) dan antibiotik (2,6%). Sekali lagi, proporsi ini masih tetap konsisten dalam survei follow-up dengan kolaborasi institusi-institusi di Perancis, penyebab paling sering anafilaksis masih tetap relaksan otot (58,2%), latex (16,7%) dan antibiotik (15,1%). Rocuronium (43,1%) dan succinylcholine (22,6%) adalah relaksan otot yang paling sering terlibat (tabel 88-3).

Pasien yang bereaksi mempunyai insiden yang tinggi pada alergi, atopi, asma dan reaksi sebelumnya berbanding yang tidak bereaksi, menunjukkan ini merupakan faktor-faktor prediktif yang signifikan. Walaupun riwayat alergi obat ditemukan dalam 37% dari kasus dan atopi dalam 38% kasus, mayoritas dari pasien tidak mempunyai riwayat tersebut, dan mayoritas dari pasien dengan riwayat-riwayat tersebut tidak pula bereaksi. Survei utama yang dikeluarkan di Perancis pada tahun 1990 dan 1991, menunjukkan bahwa dari 1585 pasien dengan rasio 3:1 pada wanita terhadap pria. Reaksi terjadi terutama pada dewasa (80%); 9% terjadi pada anak. Kolaps kardiovaskuler secara konsisten ditunjukkan sebagai masalah yang paling umum, dan bukti mengindikasi bahwa bentuk syok ini adalah berbeda pada tingkat sel dan berpotensi lebih berbahaya dibanding penyebab syok lainnya.

57 kasus reaksi alergi yang mungkin dalam periode perioperatif telah dilaporkan ke Australian Incident Monitoring Study, menunjukkan kurang lebih 3% dari 2000 insiden pertama. 19 antaranya didakwa sebagai “sangat mungkin respon alergi”, yang menunjukkan hampir 1% dari 2000 insiden pertama. Suspek agen kausatif termasuklah obat induksi (38/57), antibiotik (19/57), relaksan non depolarisasi (14/57), opiat (12/57), darah/plasma/Hemaccel (11/57) dan “lainnya” (16/57).

MANIFESTASI KLINIS DARI ANAFILAKSIS

Evaluasi dari penanganan pasien yang mengalami anafilaksis di ruang operasi adalah sangat menantang, biarpun pada dokter yang berpengalaman. Dalam periode perioperatif, pengobatan multipel biasanya diberikan dalam waktu yang berdekatan, menyebabkan faktor-faktor kausatif menjadi lebih sukar untuk diinterpretasi. Pasien biasanya tidak sadar, tertutup dan dingin, situasi yang sering menyembunyikan tanda dan gejala awal dari anafilaksis. Anestetik itu sendiri mengubah pelepasan mediator, mungkin melambatkan pengenalan awal.

5

Page 6: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

Umumnya, simptom biasanya terjadi segera (dalam beberapa menit) setelah diberikan agen kausatif tetapi bisa juga tertunda selama 1-2 jam. Bersama simptom-simptom lainnya, pasien yang sadar biasanya mengeluh timbulnya suatu perasaan tidak nyaman akan bakal terjadi. Organ target utama reaksi anafilaktik pada manusia adalah kulit, sistem gastrointestinal, respirasi dan kardiovaskuler (kolom 88-1). Ketika anestesi umum dan regional atau ketika sedasi dalam, tanda-tanda kardiovaskuler mendominasi.

DIAGNOSA BANDING

Pada pasien yang sadar, anafilaksis paling mudah dibingungkan dengan reaksi vasovagal, yang bisa terjadi apabila pasien kolaps setelah injeksi atau prosedur yang menyakitkan (kolom 88-2). Ketika reaksi vasovagal, pasien terlihat pucat dan mengeluh mual sebelum terjadi syncope, tetapi tidak dilaporkan terjadi pruritus atau sianosis. Kesukaran respirasi tidak terjadi, dan simptom-simptom membaik hampir serta-merta apabila pasien berada dalam posisi supine (berbaring). Reaksi vasovagal biasanya disertai oleh diaforesis profus dan bradikardi, tanpa kemerahan pada wajah, urtikaria, angioedema, pruritus atau wheezing. Diagnosa banding terhadap kolaps secara tiba-tiba termasuklah disarithmia, infark miokard, aspirasi makanan atau benda asing, emboli paru, kejang, hipoglikemia dan strok. Munculnya edema pada laring, terutama apabila disertai nyeri abdomen, diagnosis angioedema herediter harus dipertimbangkan. Globus hystericus dan asma yang palsu harus dipertimbangkan apabila simptom-simptom respirasi muncul. Kondisi-kondisi lain yang dapat menyerupai anafilaksis adalah overdosis obat, cold urtikaria (terutama apabila generalisata), urtikaria idiopatik, tumor karsinoid dan mastositosis sistemik.

PENANGANAN PADA ANAFILAKSIS

Reaksi anafilaksis harus dikenal dengan cepat karena kematian bisa terjadi dalam waktu menit : lebih lama terapi awal ditunda, lebih besar insidensi fatalnya. Penanganan reaksi anafilaksis dapat dibagi kepada terapi awal dan terapi sekunder (kolom 88-3).

Penanganan awal

Apabila mungkin, langkah-langkah harus diambil untuk mengganggu paparan yang lebih lanjut dan absopsi dari agen-agen yang hendak ditangani. Infus intravena yang disuspek alergen harus segera dihentikan serta-merta. Perawatan jalan napas dengan oksigen 100% harus diberikan; oksigenasi yang adekuat harus dipastikan dengan monitoring yang intensif dan kadar analisa gas darah. Sekiranya terdapat masalah pada jalan napas oleh karena edema laring, hendaklah segera diintubasi serta-merta. Sekiranya edema laring muncul, epinefrin aerosol (3 inhalasi 0,16-0,20mg epinefrin per inhalasi dari pengukur dosis inhaler), atau epinefrin dengan nebulizer (8-15 tetes dari 2,25% epinefrin dalam 2ml saline normal) bisa berguna. Jika edema lainnya adalah refrakter terhadap ukuran ini, atau terjadi terlalu cepat, krikotomi jarum kateter atau tindakan krikotirotomi darurat mungkin diperlukan.

6

Page 7: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

Kecurigaan pada reaksi yang berat, penangana intravena harus dilakukan (sekiranya belum tersedia), dan volume intravaskuler harus dipertahankan dengan pemberian kristaloid isotonik (saline normal) atau cairan koloid.

Epinefrin merupakan penunjang dan penanganan farmakologi awal. Dalam kasus hipotensi berat atau obstruksi jalan napas, 0,1ml (100ug dari larutan 1:1000) epinefrin harus diberikan secara intravena, biasanya tidak melebihi total 0,5mg. Tergantung dari kondisi pasien, walaubagaimanapun, dosis yang rendah dan tinggi mungkin diperlukan. Resiko termasuklah disritmia jantung (terutama ketika anestesi menggunakan halotan), infark miokard dan stroke. Dalam kejadian yang langka dimana lini-lini intravena tidak berada pada tempatnya, 0,3ml dari 1:1000 epinefrin dapat diberikan secara subkutan atau intramuskular, atau 10ml dari 1:10000 epinefrin dapat diberikan melalui ETT. Bagaimanapun, apabila pasien dalam keadaan syok, absorpsi epinefrin melalui subkutan atau intramuskular tidak dapat diandalkan. Pada hipotensi persisten, infus katekolamin dapat digunakan. Epinefrin juga dapat membantu sekiranya hipotensi dan bronkospasme masing-masing adalah persisten. Disarankan permulaan dosis epinefrin diberikan dalam kolum 88-3. Jika >8-10ug/menit diperlukan, takikardi mungkin adalah efek samping yng signifikan, dan norepinefrin bisa lebih efektif. Disarankan permulaan dosis norepinefrin adalah 0,05ug/kg/menit (2-4 kg/menit) dan harus dititrasi untuk mempertahankan perfusi jaringan. Dopamin dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah. Dosis 5-20 ug/kg/menit bisa membantu dalam mempertahankan cardiac output, seterusnya mengimprovisasi aliran darah koroner, serebral, renal dan mesenterik.

Agen-agen anestesi volatil yang poten harus tidak dilanjutkan. Agen anestetik mempunyai properti inotropik yang negatif, bisa menurunkan resistensi vaskuler sistemik, dan bisa ikut campur tangan dengan respon kompensasi terhadap hipotensi. Halotan secara spesifik mensensitisasi jantung untuk mensirkulasi katekolamin, yang mana diperlukan untuk penanganan reaksi anafilaktik berat; seterusnya, mengubah agen-agen kepada anestesi bentuk ether seperti isoflurane, sevoflurane atau desflurane mungkin diperlukan.

Penanganan sekunder

Apabila kondisi pasien mulai stabil, pemberian agen farmakologi lainnya mungkin wajar diberikan. Antihistamin seperti difenhidramin akan sangat membantu dalam perbaikan simptomatik pada gatal. Walaupun tidak ada bukti yang menunjukkan keefektifan reseptor H2-anatagonis dalam penanganan anafilaksis, ranitidin (1 mg/kg IV) bisa berguna apabila hipotensi adalah persisten karena vasodilasi perifer bisa dieksaserbasi oleh efek dari histamin pada reseptor H2 di endotel.

Glukokortikoid membantu dalam mencegah reaksi fase lanjut yang potensial dan menangani bronkospasme persisten, tetapi ia tidak segera berefek. Hidrokortison 5mg/kg (permulaan dosis sehingga 200 mg) dan kemudiannya 2,5mg/kg setiap 6 jam atau metilprednisolon 1mg/kg awalnya dan kemudian setiap 6 jam seperti yang diindikasikan dapat diberikan.

Penanganan dengan bikarbonat adalah kontroversial dan mungkin harus direservasi terhadap asidosis yang berat, hiperkalemi, atau digunakan segera setelah intubasi pada gagal jantung yang lama. Status asam-basa harus dimonitor menggunakan kadar analisa gas darah untuk menjadi pedoman pada intervensi terapi yang lebih lanjut.

7

Page 8: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

Respon pada terapi biasanya baik, tetapi biarpun dari kesemua patokan yang disinggung sebelumnya, beberapa pasien tidak dapat berespon dengan cepat. Penanganan anafilaksis mungkin dapat dikomplikasi dengan penggunaan agen-agen B-adrenergik blocker, terutama pada pasien lanjut usia.

MENENTUKAN PENYEBAB DARI REAKSI-REAKSI ANAFILAKTIK

Pasien yang mengalami reaksi anafilaksis terhadap pemberian obat-obat dalam ruang operasi memerlukan evaluasi untuk mengindentifikasi agen-agen panyebab, dan menjadi pedoman untuk seleksi penggunaan obat. Evaluasi dimulai dengan riwayat yang detail, termasuklah penyakit-penyakit pada waktu ini dan riwayat alergi dan anestesi yang didapat sebelumnya. Adalah berguna membuat suatu diagram reaksi sementara pada pasien yang menjelaskan manifestasi klinis dari reaksi dan pengobatan yang didapatkan, termasuklh indikasi, kapan dosis dimulai dan durasi terapi. Informasi yang sama pentingnya termasuklah paparan sebelumnya pada pengobatan yang sama atau yang berhubungan secara struktural, efek setelah tidak melanjutkan obat, respon pada penanganan dan apa saja tes atau tantangan diagnostik. Pengobatan harus dipertimbangkan pada apa saja penyebab yang diketahui untuk mencetuskan anafilaksis. Waktu terdekat pemberian obat pada onset reaksi akut harus didokumentasikan. Umumnya, agen-agen yang telah digunakan secara terus-menerus dalam waktu yang lama sebelum onset dari reaksi akut jarang menjadi implikasi berbanding agen-agen yang baru diberikan. Walaubagaimanapun, dalam periode perioperatif, pasien umumnya mendapatkan banyak pengobatan dalam jangka waktu terdekat, menyebabkan diagnosis hanya melalui riwayat menjadi sulit.

Tes-tes imunodiagnostik

Tes kulit pada reaksi hipersensitifitas segera

Walaupun adalah standar dan umumnya digunakan oleh ahli-ahli alergi dalam diagnosa hipersensitifitas segera terhadap aeroalergen dan Hymenoptera, evaluasi alergi obat adalah terhambat oleh ketidaksediaan metabolit-metabolit obat yang relevan atau reagen-reagen percobaan multivalensi yang sesuai. Tes kulit epidermal masih merupakan yang paling siap tersedia dan umumnya berguna dalam tes diagnostik alergi obat. Tes kulit jelas mempunyai peran dalam evaluasi alergi pada penicilin mediasi-IgE. Tes kulit turut berguna dalam evaluasi alergi terhadap relaksan otot, barbiturat, chymopapain, streptokinase, insulin, latex dan berbagai obat. Protokol spesifik pada tes kulit didokumentasikan dengan baik. Tes kulit harus dilakukan dengan absennya pengobatan yang akan memberi efek pada respon tes kulit (terutama H1 antihistamin, antidepresan trisiklik dan agen-agen simpatomimetik). Kontrol positif (histamin) dan negatif (diluent) yang sesuai harus digunakan.

Tes in vivo lainnya

Delayed (tuberculin-like) skin test mempunyai peran yang kecil dalam evaluasi alergi obat. Patch test bisa saja berguna pada kasus dermatitis kontak.

Tes-tes In Vitro

8

Page 9: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

Kadar total serum IgE

Walaupun peningkatan kadar total serum IgE telah dilaporkan setelah reaksi alergi, kadar antigen spesifik IgE adalah sangat jarang, dan jika ditemukan, membantu dalam menegakkan diagnosis pada reaksi alergi obat.

Assay untuk mengukur aktivasi komplemen

Penaksiran terhadap aktivasi komplemen termasuklah pengukuran penurunan komponen-komponen komplemen (C4, C3 atau komplemen hemolitik total [C1150]), dan peningkatan penghasilan produk-produk aktivasi komplemen (C3a, C4a, C5a dan sebagainya). Sekiranya positif, assay ini bisa mengimplikasi aktivasi komplemen dalam reaksi-reaksi spesifik.

Pelepasan Histamin dan Mediator-mediator Lainnya

Leukosit-leukosit yang telah dicuci (washed leucocyte) yang mengandung basofil-basofil dengan antibodi-antibodi IgE di permukaan selnya melepaskan histamin dan mediator-mediator lainnya apabila diinkubasi dengan antigen-antigen yang relevan. Walaupun assay pelepasan basofil-histamin secara in vitro ini menghindari paparan obat pada pasien, assay ini secara klinis tidak praktis oleh karena memerlukan darah lengkap yang diambil dengan serta-merta sebelum dilakukan tes; menunjukkan tes ini adalah terbatas pada kemampuannya untuk penelitian laboratorium.

Ketika atau tidak lama setelah reaksi alergi, darah dapat diambil dan dianalisis terhadap pelepasan dari berbagai mediator. Urin juga dapat dianalisa terhadap metabolit-metabolit histamin atau prostaglandin D2 (PGD2). Kadar histamin dan PGD2 plasma masih meningkat hanya dalam waktu yang singkat, membatasi penggunaan klinisnya. Pengukuran serum triptase, suatu protease yang dilepaskan secara spesifik dari sel mast, terlihat berguna dalam penaksiran klinis dari reaksi alergi yang dimediasi oleh sel mast. Serum triptase bisa tetap meningkat selama beberapa jam setelah dilepaskan dari sel mast.

Percobaan Radioallergosorbent

Radioallergosorbent test (RAST) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1967. Ia mengukur sirkulasi antibodi IgE yang spesifik terhadap alergen. Prinsip dasar dari RAST cukup ringkas: alergen direkatkan pada suatu fase solid (karbohidrat, piring kertas, dinding polisterine dari tabung uji atau genangan air dari mikrotitier plastik), dan diinkubasi bersama serum yang digunakan dalam studi, ketika pada waktu antibodi spesifik dari kesemua kelas-kelas imunoglobulin sudah terikat. Partikel dicuci, dan inkubasi kedua dilakukan dengan radiolabel, antibodi anti IgE yang sangat spesifik setelah dicuci, radioaktif yang terikat adalah berhubungan langsung dengan antibodi IgE yang spesifik terhadap alergen seperti yang terdapat dalam serum asli. Apabila dilakukan dengan benar, RAST berkorelasi dengan baik pada tes kulit titrasi titik akhir, pelepasan basofil-histamin dan tes-tes provokasi. Hasil dari serum yang diteliti dibandingkan dengan referensi serum positif dan kontrol serum negatif. Tes false-positif bisa terjadi oleh karena tingginya ikatan non spesifik pada kadar total serum IgE yang tinggi, atau teknik tidak dilakukan dengan benar. Tes false-negatif bisa terjadi oleh karena campur tangan dari kadar IgG “blocking antibodies” yang tinggi atau ketidakmampuan untuk memaksimalkan sensifitas assay.

9

Page 10: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

Ahli-ahli anestesiologi harus mendapatkan konsultasi bersama ahli alergi untuk evaluasi tersebut, mereka harus menghindari evaluasi alergi yang tidak formal dan tidak terkontrol yang menggunakan larutan intradermal yang encer atau patch test yang dilakukan tanpa kontrol yang baik.

KEPERLUAN OBAT PADA MASA DEPAN DAN IMUNOTERAPI SPESIFIK

Sekiranya pasien mengalami reaksi alergi terhadap pengobatan pada waktu yang lampau tetapi harus menggunakan kembali pengobatan tersebut, dokter harus mengevaluasi resiko dan manfaat dari pengobatan tersebut dalam bentuk pertanyaan. Sekiranya sama-sama efektif dan obat alternatif untuk reaksi non-silang tersedia, maka ia harus digunakan. Jika obat alternatif gagal, menyebabkan efek samping yang tidak perlu, atau secara jelasnya kurang efektif, maka pemberian obat secara hati-hati menggunakan regimen premedikasi (kolum 88-4) atau protokol desensitisasi (yang diresep oleh ahli alergi) mungkin harus dipertimbangkan.

Regimen-regimen premedikasi (kolum 88-4) telah dites, divalidasi dan digunakan paling sering pada pasien dengan reaksi sebelumnya terhadap media radiokontras yang sekali lagi memerlukan pemberian radiokontras. Reaksi ini tidak dimediasi oleh IgE.

Imunoterapi spesifik, yang terdiri dari pemberian konsentrasi alergen yang ditingkatkan, mempunyai 3 aksi mekanisme : penurunan regulasi sitokin yang diproduksi sel Th2, peningkatan regulasi sitokin yang diproduksi oleh sel Th1, dan peningkatan regulasi dari sel T regulator. Sebagai hasilnya, inflamasi alergi dihambat, sitokin yang mengontrol produksi IgE (IFN-ɣ dan IL 12) meningkat, antibodi IgG-blocking diperkuat, dan sitokin-sitokin yang terlibat dalam hiperresponsif alergen yang spesifik (IL 10 dan TGF-B) meningkat. Imunoterapi spesifik adalah bukan tanpa resiko, anafilaksis menjadi paling menonjol oleh karena ekstrak alergen yang relatif terlalu ringkas atau biasa. Seiring dengan teknologi rekombinan yang menjadi lebih tersedia, isoform hipoallergen dalam imunoterapi bisa meminimalisasi resiko anafilaksis. Strategi-strategi tambahan termasuklah mencetuskan isoform hipoallergen secara alami, vaksin-vaksin DNA, blokade IgE atau sintesisnya, dan mengganggu cascade alergi Th2 yang dependen. Sebagai tambahan, beberapa cara untuk menghambat IL-4 dan IL-5 telah diinvestigasi baru-baru ini. Pemahaman dasar ini memberikan informasi mengenai target pendekatan-pendekatan yang baru dalam penanganan.

REAKSI ANAFILAKTIK SPESIFIK YANG DILIHAT DALAM LINGKUNGAN PERIOPERATIF

Agen-agen Neuromuscular Blocking

Relaksan otot adalah penyebab umum reaksi anafilaksis ketika anestesi, walaupun masih terdapat beberapa perdebatan. Bukti yang mendukung mekanisme mediasi IgE termasuklah tes Prausnitz-Kustner yang positif, studi tentang pelepasan basofil-histamin, penghambatan pelepasan basofil-histamin setelah desensitasi terhadap IgE, dan demonstrasi antibodi IgE spesifik-obat secara in sera dari pasien yang mengalami efek samping terhadap relaksan otot.

10

Page 11: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

Reaktivitas-silang secara in vitro yang ekstensif telah dilaporkan antara relaksan otot dan bahan-bahan lainnya yang mengandung ion ammonium tertiana dan kuartana. Selama bahan-bahan ini ditemukan dalam banyak obat-obat, makanan, kosmetik, disinfektan dan bahan-bahan industri, pasien bisa mengalami desensitisasi melalui kontak lingkungan. Sensitisasi terhadap epitop-epitop ion ammonium telah menjadi bukti tersendiri yang menjelaskan predominasi reaksinya pada wanita. Walaupun insiden yang sebenarnya pada reaksi alergi yang disebabkan oleh relaksan otot adalah tidak diketahui, namun reaksi terhadap relaksan otot terlihat lebih jarang di Amerika Serikat berbanding di Perancis dan Australia.

Hipnotik

Reaksi alergi akut telah dilaporkan setelah pemberian thiobarbiturat, terutama thiopental. Mekanisme yang dianjurkan untuk reaksi thiobarbiturat termasuklah pelepasan mediator yang dicetuskan secara non imunologik dan reaksi-reaksi mediasi IgE. Tes kulit yang serta-merta positif terhadap thiopental telah dilaporkan pada pasien yang mengalami reaksi anafilaksis setelah induksi anestesi umum. RAST thiopental telah dikembangkan, dan pelepasan histamin oleh sel mast terhadap thiopental secara in vitro telah dijelaskan. Nilai-nilai yang prediktif oleh RAST terhadap thiopental masih belum jelas dan memerlukan studi yang lebih lanjut, tetapi tes kulit sepertinya masih berguna.

Anafilaksis terhadap propofol dengan beberapa konfirmasi laboratorium telah dilaporkan hanya pada 2 pasien, tanpa konfirmasi laboratorium (diagnosis preasumsi) adalah pada infant dengan alergi pada telur dan kacang peanut, dan pada 2 pasien dewasa. Salah satunya mengalami cacar makulopapular yang gatal (pruritus maculopapular rash) di sekitar mata (selama 3 bulan) dan satunya lagi yang meninggal akibat kolaps kardiovaskuler, dengan peningkatan kadar serum triptase dan metilhistamin sebelum kematiannya. Walaupun peringatan tentang pemberian propofol pada pasien yang alergi terhadap telur bisa dinyatakan, lecithin didalam emulsi propofol mengandung ethylenediaminetraacetic acid (EDTA) sebagai bahan awet adalah berasal dari kuning telur, yang dipisahkan dari albumin telur yang ditemukan dalam putih telur. Pada mayoritas pasien yang alergi pada telur, albumin telur merupakan protein sensitisasi. Pada emulsi propofol yang menggunakan metabisulfit sebagai bahan awetnya, metabisulfit bisa menjadi komponen alergen. Oleh karena emulsi propofol turut mengandung minyak kacang kedelai, pasien yang alergi tehadap minyak kacang kedelai seharusnya tidak diberikan propofol.

Anestetik lokal

Biarpun pasien umumnya melaporkan “reaksi alergi” terhadap anestetik lokal, reaksi alergi yang sebenarnya terhadap injeksi anestetik lokal adalah sangat jarang. Reaksi samping terhadap anestetik lokal biasanya adalah akibat reaksi-reaksi vasovagal, reaksi toksik (kemungkinan disebabkan injeksi intravena akibat kecelakaan), efek samping dari epinefrin, atau respon-respon psikomotor seperti hiperventilasi. Simptom-simptom toksik biasanya terlibat dalam nervus sentral dan sistem kardiovaskuler, dan bisa menyebabkan gangguan bicara, euforia, pusing, kegirangan, mual, emesis, disorientasi atau konvulsi. Reaksi-reaksi vasovagal biasanya berhubungan dengan bradikardi, keringat, pucat, dan simptom-simptom lainya yang cepat apabila berada dalam posisi supine. Stimulasi simpatik, dari epinefrin selain anxietas, bisa menyebabkan tremor, diaforesis, takikardi dan hipertensi. Adalah jarang, reaksi-reaksi simptom terhadap anestetik lokal konsisten dengan reaksi

11

Page 12: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

mediasi-IgE, seperti urtikaria, bronkospasme dan syok anafilaktik. Sensitifitas mediasi-IgE, pada kasus yang jarang, dilaporkan pada parabens, bahan pengawet yang digunakan dalam anestetik lokal.

Anestetik lokal dibagi kepada 2 kelas kimiawi yang umum, yaitu bahan dasar ester dan amida (kolum 88-5). Yang mengandung ester benzoat bisa bereaksi-silang satu sama lainnya tetapi tidak pada bahan dasar amida. Anestetik lokal dari ester dimetabolisasi kepada para-aminobenzoic acid (PABA); yang mana, anestetik lokal ester bereaksi silang dan muncul bersama alergi atau reaksi hipersensitifitas. Sebagai tambahan, individu yang alergi terhadap obat-obat lain yang dimetabolisasi kepada PABA, seperti pelindung matahari dan bahan awet metilparaben, bisa terjadi reaksi-silang. Sebaliknya, anestetik lokal amino amida umumnya tidak bereaksi silang satu sama lainnya. Anestetik lokal yang mengandung epinefrin bersama antioksidan metabisulfat, bisa saja alergenik oleh karena komponen metabisulfit.

Evaluasi pada pasien dengan riwayat reaksi samping terhadap anestetik lokal harus mengandung riwayat yang lengkap pada episode, tes kulit dan tantangan pengobatan yang telah diberikan. Tes pada anestetik lokal harus sesuai untuk prosedur yang dianjurkan, dan tidak diharapkan untuk terjadi reaksi-silang bersama obat-obat implikasi dalam reaksi sebelumnya. Sekiranya obat yang diberikan sebelumnya tidak diketahui, maka anestetik lokal tipe-amida harus dipilih. Pada pasien dengan kemungkinan ada riwayat terhadap reaksi mediasi IgE atau mungkin sensitif terhadap parabens, maka preparat tanpa parabens haruslah digunakan untuk pengujian, tantangan, dan pengobatan. Preparat dengan epinefrin tidak boleh digunakan untuk pengujian kulit karena mereka mungkin mirip kulit yang positif test dan menyebabkan efek toksik.

Narkotika

Narkotika yang paling sering menyebabkan pelepasan histamin nonimmunologik dimediasi dari sel mast kulit dari anafilaksis. Dalam penelitian in vitro menunjukkan sel-sel mast kulit yang unik sensitif terhadap narkotika, sedangkan gastrointestinal dan sel mast paru-paru dan basofil yang beredar tidak melepaskan histamin saat terkena narkotika. Kebanyakan reaksi induksi opioid adalah self-limited, kulit, dan dibatasi untuk gatal-gatal dan pruritus atau hipotensi ringan diobati dengan pemberian cairan, meskipun beberapa bukti menunjukkan bahwa antibodi IgE dapat dirangsang mengikat yang epitop yang terkandung dalam opioid narcotik. Pelepasan mediator nonimmunologik adalah jauh lebih umum klinis terjadinya selain reaksi yang jarang diinduksi oleh antibody IgE spesifik morfin . Karena kodein, morfin, dan meperidin sering menyebabkan respon kulit positif, tes kulit harus diinterpretasikan secara hati-hati dan harus disertai dengan pengujian kulit subyek kontrol normal.

Antibiotik Antibiotik Penisilin

Di luar ruang operasi tetapi juga dalam lingkup tanggung jawab kami, antibiotik penisilin adalah yang paling umum obat yang menyebabkan alergi reaksi obat (0,7-8% pengobatan kasus). Dari 0,004-0,015% pengobatan berakhir pada anafilaksis, sehingga di 400-800 kematian per tahun di Amerika Serikat. Hanya 10-20% dari pasien yang mengaku alergi terhadap penisilin bereaksi terhadap tes kulit dengan penyebab mayor dan minor. Satu bahan kimia berat molekul rendah, penisilin kovalen harus menggabungkan dengan makromolekul jaringan untuk menghasilkan multivalent hapten-

12

Page 13: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

protein kompleks. Cincin β-laktam, yang membuka secara spontan di bawah kondisi fisiologis , membentuk kelompok-kelompok penicilloyl . Jalur metabolisme lainnya mengakibatkan antigen tambahan faktor penentu yang dikenal sebagai "factor penentu minor" reaksi anafilaksis. Terhadap penisilin biasanya dimediasi oleh antibodi IgE diarahkan terhadap minor penentu, meskipun beberapa reaksi anafilaktik terjadi di pasien dengan hanya IgE antibodi spesifik penicilloyl . Indivdu dengan riwayat reaksi penisilin memiliki 4 - 6 kali lipat meningkat risiko untuk reaksi berikutnya terhadap penisilin dibandingkan dengan mereka yang tidak sebelumnya. Namun, reaksi alergi yang paling serius dan fatal terhadap penisilin dan antibiotik β-laktam terjadi pada individu yang tidak pernah reaksi alergi sebelumnya. Sensitisasi individu ini mungkin telah terjadi dari terapi terakhir mereka tentu saja penisilin atau (kurang mungkin) oleh eksposur lingkungan. Kira-kira 10-20% dari rumah sakit mengklaim pasien riwayat alergi penisilin . Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa banyak dari pasien tersebut baik telah salah dicap sebagai alergi terhadap penisilin atau telah kehilangan sensitivitasnya . Yang paling berguna sepotong informasi tunggal dalam menilai sebuah potensial individu untuk terjadi reaksi ige-mediated adalah kulit uji respon factor penentu mayor dan minor terhadap penisilin. Anafilaksis penisilin belum dilaporkan pada pasien dengan kulit negatif tes. Oleh karena itu, tes kulit negatif menunjukkan bahwa antibiotik penisilin dapat aman diberikan. Sejumlah terbatas pasien dengan tes kulit positif telah diobati dengan dosis terapeutik penisilin. Risiko suatu anafilaksis atau dipercepat rentang reaksi alergi 50-70% pada pasien ini. Seperti oleh karena itu, jika tes kulit positif, antibiotik non-crossreaction yang sama efektifnya harus diganti bila tersedia. Jika obat alternatif gagal, menyebabkan efek samping tidak dapat diterima, atau jelas kurang efektif, maka administrasi penisilin menggunakan suatu desensitisasi protokol untuk mengurangi risiko anafilaksis harus pertimbangkan.

Sefalosporin

Seperti penisilin, sefalosporin memiliki cincin β-laktam (box 88-6). Segera setelah sefalosporin datang ke penggunaan klinis, reaksi alergi yang dilaporkan, dan pertanyaan crossreactivity antara sefalosporin dan penisilin telah didemonstrasikan. Selama yang klinis percobaan awal dengan generasi pertama sefalosporin dan cefamandole, 8,1% pasien dengan riwayat alergi terhadap penisilin memiliki kemungkinan alergi terhadap sefalosporin versus 4,5% pasien tanpa sejarah, jadi standar mengajar adalah untuk menghindari perlakuan dengan sefalosporin bagi mereka dengan mungkin penisilin anafilaksis. Bukti telah mengumpulkan yang rantai samping daripada cincin β-laktam adalah antigen dalam alergi reaksi cephalosporin. Di antara pasien dengan sejarah alergi penisilin, laju reaksi alergi antibiotik lainnya tiga kali dari subjek kontrol. Alergi primer sefalosporin pada pasien non-alergi penisilin- juga telah dilaporkan, namun kejadian yang tepat tidak jelas. Ada bukti ditandai variasi penilaian assesmen, permintaan pengujian penisilin , dan praktek resep antara dokter, bahkan dengan pelaporan pasien anafilaksis terhadap penicillin. Secara umum, pasien dengan kulit yang positif tes untuk setiap pereaksi penisilin atau kompatibel dengan sejarah hipersensitif seharusnya tidak menerima antibiotik sefalosporin generasi pertama kecuali obat alternatif jelas kurang diinginkan.

Dua baru antibiotik kelas β-laktam adalah carbapenems dan onobactams (aztreonam). Cross-reaktivitas antara penisilin dan carbapenems akan diharapkan pada dasar struktur obat. Tidak ada data yang diterbitkan pada alergi terhadap meropenem pada pasien yang alergi terhadap carbapenem atau penisilin. Reaksi alergi ke aztreonam monobactam diperkirakan

13

Page 14: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

melibatkan rantai samping, jadi cross-reaktivitas dengan β laktam lain seharusnya jarang. Investigasi menyarankan cross-reaktivitas lemah antara aztreonam dan antibiotik β-laktam dan menunjukkan aztreonam yang dapat diberikan aman untuk sebagian besar, jika tidak semua, subjek yang alergi penisilin. Crossreactivity antara penisilin dan kedua- atau generasi ketiga sefalosporin (tidak termasuk cefamandole) mungkin tidak lebih dari cross-reaktivitas antara penisilin dan kelas-kelas lain dari antibiotics. Sefalosporin generasi ketiga memiliki risiko yang sangat rendah serius reaksi alergi. Cross-reaktivitas antara penisilin dan sefalosporin dengan rantai samping yang sama lebih sering muncul. Pada pasien dengan alergi diketahui suatu sefalosporin, mengganti sefalosporin lain dengan struktur rantai sisi yang berbeda biasanya aman.

Vankomisin

Hipotensi adalah yang paling serius segera efek samping yang terkait dengan vankomisin. Miokard depression langsung dan pelepasan histamin dimediasi nonimmunologik dilaporkan sebagai mekanisme hipotensi diinduksi vankomisin, dan bukan anafilaksis mediasi IgE. Pada pasien, hipotensi terjadi paling sering ketika obat ini cepat diinfuskan atau diberikan dalam larutan terkonsentrasi. Vankomisin terkait hipotensi yang terjadi mungkin intraoperatively diperburuk dengan menggunakan bersamaan obat lain (misalnya, anestesi) yang menyebabkan vasodilatasi dan / atau memiliki efek negatif. Inotropic selain untuk hipotensi, vankomisin dapat menghasilkan yang "leher merah" atau "manusia merah" sindrom, sebuah warna eritematosa intens badan atas, lengan, dan leher yang mungkin terkait dengan pruritus pada pasien sadar. Vankomisin juga telah dikaitkan dengan kejadian tiba-tiba nyeri berdenyut atau spasme di bagian dada atau parasternal otot tanpa bukti miokard iskemia. Untuk meminimalkan risiko reaksi, vankomisin harus diinfuskan selama sekurang-kurangnya 60 menit dan dalam larutan encer (500 mg/100 ml). Reaksi harus diobati dengan penghentian vankomisin infus, pemberian antihistamin untuk pruritus, dan penggunaan obat dan intervensi yang mengatasi hipotensi tersebut.

Sulfonamid Dan Trimetoprim

Sulfonamid umumnya aman dan sering digunakan untuk profilaksis kronis. Kadang-kadang, mereka menyebabkan reaksi alergi seperti ruam kulit ringan setelah sekitar 1 minggu terapi. Reaksi lifethreatening telah diuraikan pada bayi terinfeksi HIV yang yang reexposed untuk sulfamethoxazoletrimethoprim (SMX-TMP). Stevens- johnson syndrome dan toxic epidermal nekrolisis telah dikaitkan dengan pengobatan SMX-TMP, mungkin dimediasi oleh reaksi kekebalan tubuh yang sama untuk Graft-Versus-Host disease. Beberapa pasien telah akut peka dengan 10 hari atau regimen 48-jam.

Kelas Lainnya Dari Antibiotik

Pengembangan reaksi alergi yang serius terhadap antibiotik non-β-laktam, seperti sebagai aminoglikosida, jarang terjadi. Ruam nonurticarial dapat diobati dengan antihistamin.

14

Page 15: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

Sindrom Alergi Multipel Antibiotik

Sebuah entitas berkembang adalah beberapa antibiotik alergi sindrom, dimana tertentu individu diakui membuat alergi ìgenericî antibodi terhadap berhubungan antibiotics gender perempuan, sejarah reaksi beberapa antibiotik, dan reaksi untuk non steroid obat antiinflamasi tampaknya risiko utama factors.

Radiocontrast Media

Insiden reaksi yang diinduksi oleh radiocontrast media suntikan adalah antara 5% dan 8%. Urticaria, angioedema, mengi, dyspnea, hipotensi, atau kematian terjadi pada 2-3% dari pasien yang menerima intravena atau intraarterial infus. Fatal reaksi setelah administrasi radiocontrast terjadi di sekitar 1:50.000 intravena prosedur, sehingga diperkirakan 500 kematian per tahun. Kebanyakan reaksi mulai 1-3 menit setelah administrasi intravaskuler . Pasien dengan sebelumnya reaksi terhadap media radiocontrast memiliki sekitar 33% (kisaran 17 - 60%) kemungkinan reaksi ulang pada reexposure. Mekanisme yang tepat yang merugikan reaksi radiocontrast media tidak diketahui. Injeksi intravaskular radiocontrast bahan mengaktifkan pelengkap, baik oleh klasik atau jalur alternatif. Oleh krena itu, produksi dari anaphylatoxins dengan berikutnya mast sel dan pelepasan mediator basophil telah disarankan sebagai penyebab reaksi ini. Namun, radiocontrast media mampu merangsang pelepasan nonimmunologic histamin dari sel mast dan basofil bila tidak adanya aktivasi komplemen. The hypertonicity dari bahan tersebut telah disarankan untuk menghasilkan aktivasi mediator nonimmunologic dari sel mast dan basofil. Tidak ada bukti bahwa mekanisme ige-mediated memainkan peran dalam reaksi radiocontrast media. Pretreatment pasien berisiko tinggi dengan prednison oral (50 mg) dan diphenhydramine (50 mg) 1 jam sebelum administrasi radiocontrast mengurangi risiko reaksi terhadap 9% 0,82 hampir semua reaksi pada pasien pretreated adalah tidak ada klinis penting (misalnya, urticaria ringan). Penambahan efedrin oral (25 mg) 1 jam sebelum administrasi radiocontrast (pada pasien tanpa angina, disritmia, atau kontraindikasi lainnya untuk administrasi efedrin) lebih lanjut mengurangi laju reaksi menjadi 3,1%. Premedikasi menggabungkan dengan media kontras nonhyperosmolar mungkin manfaat tambahan dalam mencegah reaksi pada individu yang berisiko tinggi (Kotak 88-4).

Protamine

Sulfat protamine adalah polycationic protein diekstraksi dari semen salmon. Ini digunakan untuk membalikkan antikoagulasi heparin dan menghambat penyerapan sebagian insulin-insulin (NPH dan PZI). Penggunaan protamine secara intravena pada bypass kardiopulmoner, kateterisasi jantung, hemodialisis atau pheresis menyebabkan peningkatan laporan-laporan akan reaksi-reaksi samping yang mengancam nyawa.

Pasien diabetes yang menerima injeksi insulin yang mengandung protamine secara subkutan setiap hari mempunyai 40-50 kali lipat peningkatan resiko reaksi yang mengancam nyawa apabila diberikan protamine secara intravena. Pada pasien yang mendapatkan injeksi protamine-insulin, munculnya serum antiprotamine antibodi IgE adalah faktor resiko yang signifikan terhadap reaksi protamine akut (resiko relatif 95). Lebih-lebih lagi, pasien-pasien yang alergi terhadap protamine bisa turut alergi terhadap insulin yang mengandung protamine (NPH). Kelompok lain yang turut beresiko

15

Page 16: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

terhadap reaksi protamine adalah pria yang menjalani vasektomi. Sebagai tambahan, oleh karena protamine diproduksi dari testis ikan salmon yang matang atau spesies-spesies lain yang berhubungan dengan ikan yang berasal dari famili Salmonidae atau Clupeidae, diperkirakan bahwa individu yang alergi terhadap ikan bisa mempunyai antibodi serum yang berhubungan langsung dengan protamine. Akhirnya, paparan sebelumnya terhadap protamine intravena yang diberikan untuk membalikkan (reversal) antikoagulan heparin bisa meningkatkan resiko reaksi dengan pemberian protamine. Pada bypass kardiopulmoner, faktor-faktor resiko ditemukan berkorelasi dengan reaksi samping yang berdasarkan pemberian protamine, termasuklah pemberian insulin NPH (odd ratio = 8,18 ; 95% confidence interval [CI] 2,08-32,2), alergi ikan (odd ratio = 24,4; CI 1,24-482,3), dan riwayat alergi pada pengobatan non protamine (odd ratio = 2,97; CI 1,25-7,07).

Mekanisme sebenar dimana terjadinya reaksi protamine yang akut belum dipahami secara tuntas. Beberapa reaksi protamine bisa berhubungan dengan aktivasi komplemen, samada melalui kompleks protamine-heparin atau melalui interaksi protamine dan komplemen yang diperbaiki, antibodi anti protamine IgG, menunjang pada elevasi tekanan arteri pulmonalis melalui penghasilan tromboksan.

Preparat topikal

Hipersensitifitas kulit dan ekzema bisa terjadi melalui paparan kronis terhadap preparat topikal. Dari 50 kasus anafilaksis klorhexidine yang dilaporkan, 1/3 antaranya terjadi pada pembedahan. Walaubagaimanapun, resiko perkembangan alergi tipe 1 dan tipe IV terhadap klorhexidine, biarpun dengan paparan setiap hari di tempat kerja oleh pekerja-pekerja di tempat kesehatan di Denmark, sepertinya sangatlah jarang.

Perhatian biasanya diekspresikan mengenai alergi terhadap larutan preparat iodine (yodium) povidone pada pasien dengan riwayat alergi terhadap makanan laut. Perhatian yang sama membahas tentang pasien yang alergi terhadap media radiokontras, karena iodine terdapat pada dua-duanya. Alergen yang bertanggungjawab terhadap sensitasi kemungkinannya adalah komponen povidone dari iodine povidone, molekul carrier pada atom-atom iodine. Kasus pertama yang dilaporkan pada anafilaksis terhadap larutan preparat iodine povidone : lelaki 32 tahun mempunyai hasil yang positif terhadap tes kerokan kulit (prick test) dan intradermal terhadap Betadine dan povidone. Tes aktivasi basofil dan tes pelepasan leukotrien turut positif terhadap Betadine dan povidone. Anak 9 tahun dikonfirmasi mengalami eosinofilia, peningkatan kadar IgE spesifik dan tes kerokan kulit yang positif terhadap iodine povidone. Alergi pada ikan adalah akibat protein M, dan tropomyosin kemungkinannya adalah alergen reaksi-silang dalam berbagai spesies kerang-kerangan.

Transfusi yang berhubungan dengan anafilaksis

Transfusi yang berhubungan dengan anafilaksis, adalah kondisi yang serius dan mengancam nyawa, dan didiskusikan dalam Chapter 85.

Latex dari Karet Alami

16

Page 17: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

Latex dari karet alami terdapat dalam berbagai material, terutama sarung tangan operasi, bertanggungjawab terhadap perubahan drastis pada etiologi syok anafilaktik intraoperatif, meningkat dalam satu siri dari 0,5% pada tahun 1989 kepada kepada 22,3% kasus pada tahun 2002 (tabel 88-3). Walaupun adalah mungkin bahwa koneksi dan paparan terhadap latex tidak pernah dilakukan pada masa lalu, tetapi dengan meningkatnya penggunaan latex secara umum pada aplikasi medis dan non medis, sepertinya telah menyebabkan beberapa perubahan dalam proses pembuatannya yang menunjang pada meningkatnya antigenitas produk-produk latex, terutama sarung tangan.

Latex dari karet alami merupakan suspensi kompleks dari poliisopren, lipid, fosfolipid dan protein. Protein-protein ditemukan dalam 3 status fisik : larut dalam air, ikatan kanji atau ikatan latex, dan terdapat setidaknya 240 protein-protein alergen yang potensial dalam produk latex yang diproses. Kandungan protein dalam sarung tangan latex dapat bervariasi lebih dari 1000 kali lipat terhadap kesemua produk berbeda yang dipasarkan oleh pabrik yang sama, dan 3000 kali lipat pada sarung tangan dari pabrik yang berbeda. Beberapa jumlah bahan kimia, termasuklah bahan awet, accelerator, antioksidan dan vulcanizing compound ditambahkan semasa proses pembuatan untuk menghasilkan produk akhirnya. Walaupun bahan-bahan kimia yang ditambahkan pada latex telah lama berhubungan dengan dermatitis kontak dan reaksi tipe IV, ia hanya diperhatikan setelah terangkum dalam pengawasan universal yang mencemaskan laporan-laporan dari dunia tentang timbulnya urtikaria generalisata, angioedema, obstruksi jalan napas atas dan bawah, dan kolaps kardiovaskuler yang muncul pertama kali. Pasien yang mengalami reaksi-reaksi sistemik yang berat biasanya mempunyai riwayat urtikaria kontak atau angioedema terhadap produk karet seperti sarung tangan atau balon karet, atau atopi.

Beberapa populasi yang termasuk dalam peningkatan resiko yang signifikan terhadap alergi latex. Ini termasuklah pekerja-pekerja di tempat kesehatan, yang mengalami peningkatan pada paparan latex biasanya dalam bentuk sarung tangan, pasien dengan paparan yang sering dan lama pada produk latex seperti kateter, dan pekerja-pekerja di pabrik latex. Pasien dengan meningomyelocele atau anomali urologi kongenital sebagiannya terlihat rentan, dengan estimasi insidensi alergi pada latex rata-ratanya adalah 50%.

Antibodi-antibodi IgE memainkan peran besar dalam imunopatogenesis alergi yang disebabkan latex dan anafilaksis. Diagnosis alergi pada latex dilakukan dengan kombinasi dari riwayat medis, pemeriksaan fisis dan tes in vivo dan in vitro yang bermakna. Walaupun tes kerokan kulit masing-masing adalah sensitif (100%) dan spesifik (99%), metode ini harus dibatasi pada pasien dengan riwayat yang meyakinkan dan hasil tes serologi yang belum pasti karena mungkin menyebabkan reaksi-reaksi sistemik. RAST pada IgE-spesifik-latex direkomendasikan, walaupun ia kurang sensitif berbanding tes kerokan kulit.

Kadar serum triptase dalam periode post anafilaksis serta-merta mungkin berguna dalam mengkonfirmasi diagnosis berdasarkan pada episode klinis.

Nilai-nilai prediksi yang positif terhadap triptase untuk diagnosa anafilaksis adalah 92,6%, dan nilai prediktif yang negatif adalah 54,3%. Tes provokatif terhadap latex dijelaskan dengan meletakkan sarung tangan latex pada tangan yang lembab selama 15 menit dan membandingkan responnya pada lengan satunya lagi yang dibungkus dengan sarung tangan dari vinyl. Tes provokasi harus

17

Page 18: Reaksi Anafilaktik Dan Anestesi

dihindari sekiranya reaksi-reaksi sistemik yang berat terjadi. Berbagai alergi biasanya ditemukan pada pasien yang alergi tehadap latex. Reaksi –silang latex dengan buah-buahan tropika adalah jarang, dan penemuan tersebut dalam riwayat dapat digunakan untuk meningkatkan kecurigaan akan potensi pasien terhadap alergi dari latex.

Pasien yang mengalami reaksi alergi yang serius terhadap latex dan pasien yang beresiko tinggi (seperti pasien dengan meningomyelocele) harus menghindari kontak dengan produk-produk latex. Oleh karena protokol-protokol obat profilaktik terbukti tidak efektif, lingkungan yang aman terhadap penggunaan latex harus dianjurkan. Kotak 88-7 menyediakan checklist dalam menangani pasien yang alergi terhadap latex. Lebih-lebih lagi, pasien yang diidentifikasikan sebagai kelompok pediatrik beresiko tinggi, seperti pada anak dengan defek urologi ketika lahir dan myelomeningocele, harus ditawarkan ruang operasi yang bebas latex semenjak ia lahir, untuk mencegah sensitasi terjadi. American Society of Anesthesiologist telah mengedarkan brosur-brosur yang bisa didapatkan di laman webnya untuk memberi kesimpulan rekomendasi-rekomendasi terkini terhadap ahli-ahli anestesi yang menangani pasien-pasien yang alergi terhadap latex.

PENUTUP DAN IMPLIKASI TERAPI

1. Apabila alergen telah diidentifikasi, strategi klinis yang paling penting adalah menghindari alergen tersebut.Seperti spesialis-spesialis perioperatif, ahli-ahli anestesiologi mempunyai peran penting dalm memahami etiologi, penanganan dan evaluasi pada pasien-pasien reaksi alergi.

2. Epinefrin merupakan obat paling penting yang mudah didapat dan berperan dalam pengaturan profilaksis.Pemberian awal dosis yang sesuai adalah penting untuk hasil yang optimal karena syok anafilaktik bisa lebih berbahaya berbanding bentuk-bentuk syok lainnya. Untuk profilaksis atau attenuasi dari antisipasi respon alergi, protokol-protokol efektif yang ada dapat mengurangi resiko anafilaksis < 0,5%. Berdasarkan terapi primer, adjunktif dan sekunder, penanganan (antihistamin, antikolinergik, B dan alpha-agonis) adalah penting untuk kenyamanan pasien dan mengurangi simptom-simptom dari anafilaksis.

18