re-evangelisasi: tantangan gereja di timor leste …

219
RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE DEWASA INI S K R I P S I Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Oleh: Imaculada Gouveia Leite 021124039 PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007

Upload: others

Post on 24-Mar-2022

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE DEWASA INI

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Imaculada Gouveia Leite 021124039

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007

Page 2: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …
Page 3: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …
Page 4: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

iv

PERSEMBAHAN

Dengan penuh syukur dan cinta yang mendalam kupersembahkan skripsi ini kepada:

Manuel Soares, Ayahanda tercinta sang pendidik hidup dalam melayani

Elisa Soares (almarhumah), Ibunda tercinta sang peneguh harapan hidup

Grandpa, Maun Enço, adik-adik tercinta di Lar de Estudantes St. Inácio de Loyola

serta seluruh keluarga tercinta yang mengiringi perjalanan hidupku

dengan doa dan cinta yang dalam

Page 5: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

v

MOTTO

“ Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku,

untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin;

dan Ia telah mengutus Aku

untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,

dan penglihatan bagi orang-orang buta,

untuk membebaskan orang-orang yang tertindas,

untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”

(Luk 4: 18 -19)

“Janganlah memberi dari kelebihanmu,

karena dengan demikian engkau akan memberi dari sisa-sisamu,

tetapi berilah dari kekuranganmu, karena dengan demikian,

engkau akan memberi dari kelimpahanmu” (Ibu Teresa dari Calcuta)

Page 6: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …
Page 7: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

vii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE DEWASA INI. Pemilihan judul ini berawal dari keprihatinan Gereja Timor Leste akan masyarakat Timor Leste yang mengimani Allah sebagai penyelamat, namun di era pascareferendum mengalami degradasi kehidupan spiritual. Ini ditandai dengan hilangnya nilai-nilai luhur dan tradisi Gereja yang sejak dulu dijunjung dan dipuja-puja oleh sebagian besar masyarakat yang mayoritas beriman Katolik. Tradisi-tradisi seperti devosi kepada Bunda (Na’i Feto) Maria di antaranya doa Rosario (Reza Terço) bersama, ziarah ke gua-gua (grutas) Maria sebagai penghormatan kepada Bunda Maria, devosi kepada Hati Kudus Yesus (DevoÇão do Sagrado CoraÇão de Jesus), kini telah hilang tertelan oleh budaya-budaya yang datang dari barat sebagai akibat dari referendum dan pascareferendum di Timor Leste dalam menentukan nasib bangsanya sendiri.

Permasalahan pokok dalam skripsi ini adalah menguraikan masalah-masalah yang dihadapi Gereja Timor Leste di era pascareferendum, yaitu masalah kaum muda, masalah pendidikan, masalah politik, bahaya sekularisme dan materialisme, serta masalah penghayatan hidup beriman umat. Dalam realita seperti inilah Gereja Timor Leste ditantang untuk mencari alternatif pewartaan baru yakni re-evangelisasi yang merupakan salah satu jalan dalam mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste serta menanggapi berbagai tantangan yang dihadapinya.

Untuk menggali isi seluruh skripsi ini, penulis menggunakan studi pustaka. Seluruh skripsi ini dibagi dalam lima bab. Pertama, pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Kedua, gambaran umum Gereja Timor Leste dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini. Ketiga, model-model Gereja di Timor Leste, dan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste. Keempat, re-evangelisasi sebagai salah satu jalan mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste dan sebagai usaha menanggapi tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste dewasa ini. Kelima, penutup yang merupakan kesimpulan dan saran.

Page 8: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

viii

ABSTRACT

The title of this thesis is RE-EVANGELIZATION: THE CHALLENGE OF THE EAST TIMOR CHURCH AT PRESENT. The chosen title based on the awareness of East Timor Church which the people of God believe that the Lord is their savior, however the post-referendum era has degraded in spiritual life. It can be indicated by the decreasing values in life and the Church tradition which has been respected and loved by all the Catholics in the past. The traditions which are respected, such as: devotion toward Holly Mother (Na’i Feto) Merry, Merry in the blessed Rosary (Reza Terço), devotional visit to sacred caves (Grutas) as a respect to a Holly Mother Merry, the devotional toward the Sacred Heart of Jesus Christ (Devação do Sagrado Coração de Jesus). Those traditions have lost by the western culture as the effect from the referendum and the post-referendum in East Timor in establishing their own destiny. The main problem of this thesis is to explain all the conflicts which have been faced by East Timor Church in the post-referendum era, among them are: the youth problems, educational problems, political problems, the danger condition of secularism and materialism, also the comprehending problem spirituality of the faith of the people. It is in this reality, the Church in East Timor has been challenged to find out the alternative ways to re-evangelization which become one of the paths to perceive problems. To discover all the contents of this thesis, the writer uses literature study. All contents of the thesis have been divided into five chapters. First, the introduction consist the background of the problem, formulation of the problem, objective of the thesis, advantages of the thesis, the writing methods, the writing systems. Second, the general description of East Timor Church and nowadays problems which have been faced by East Timor Church. Third, the models of the Church in East Timor, and the kind of Church which has been dreamt by East Timor Church. Forth, re-evangelization as a path to perceive a Church which dreamt by the East Timor Church and as an effort to response to all the challenges which have been faced by East Timor Church today. Fifth, the conclusion and suggestions are as the closing of the thesis.

Page 9: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

ix

KATA PENGANTAR

Kami tak dapat berjalan, jika tidak dituntun. Kami tak dapat berdiri tegak,

jika tidak ditopang. Kami tak dapat hidup, jika tidak diberi Roh Kehidupan. Maka

sudah sepantasnya penulis menghaturkan segala puji syukur kepada Allah Sang

Sumber Kebijaksanaan dan Cinta, atas berkat-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul RE-EVANGELISASI:

TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE DEWASA INI. Skripsi ini disusun

sebagai salah satu prasyarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan, tuntunan, dukungan dan perhatian, serta bimbingan dari berbagai pihak.

Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa syukur dan

terimakasih yang sebesar-besarnya dan sedalam-dalamnya kepada:

1. Segenap Staf Dosen dan Karyawan/wati Program Studi Pendidikan Kekhususan

Pendidikan Agama Katolik Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik, menuntun,

dan membimbing penulis selama studi sampai terselesaikannya skripsi ini.

2. Drs. FX. Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed., sebagai dosen pembimbing utama

yang telah bersedia meluangkan waktu, penuh kesabaran, setia dan teliti dalam

membimbing dan mengoreksi seluruh skripsi ini.

3. Dra. J. Sri Murtini, M.Si., sebagai penguji II sekaligus dosen wali yang telah

memberikan dukungan, bimbingan, dan kesetiaan mendampingi penulis dalam

menyelesaikan studi di kampus ini.

4. Bpk. YH. Bintang Nusantara, SFK., selaku penguji III yang telah memberikan

saran, perhatian, motivasi, ide-ide dan kritikan demi kemajuan penulis untuk

dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Pe. Domingos da Silva Soares, Pr (grandpa) selaku pembimbing rohani yang

telah bersedia dan setia memberikan bantuan secara materil, moril, pikiran;

Page 10: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

x

mendampingi, memberikan saran-saran, kritikan demi perkembangan

kepribadian penulis, dan memberikan semangat serta keteguhan kepada penulis

untuk senantiasa berjuang dalam menyelesaikan studi.

6. Papá Manuel Soares, Mãe Elisa Soares (almarhumah), Mãe Dina, Apá Luis

(almarhum), Apá Julião da Costa (almarhum), Apá Julião (almarhum), Amá

Joana Maia (almarhumah), Amá Lourdes (almarhumah), Maun no Mana Aguida

Aman, seluruh keluarga tercinta, yang dengan setia mengiringi perjalanan hidup

dan studi penulis dengan doa, harapan, pengorbanan, dan cinta yang begitu besar

sehingga penulis memperoleh kekuatan dan keteguhan dalam menjalani hidup

dan studi hingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Maun Enço (Fr. Lourenço de Jesus Soares, Pr) kakak sekaligus sahabat yang

telah mengajari dan mendidik penulis dalam mencari dan menemukan makna

hidup yang sesungguhnya, memberikan dorongan, serta setia memberikan

semangat untuk terus berjuang dalam menapaki perjalanan hidup penulis.

8. Adik-adik yang tercinta di Lar de Estudantes Santo Ináçio de Loyola-Rumbia,

Dili, Timor Leste yang dengan setia mengiringi studi penulis dengan doa, dan

cinta. Kasih dan cinta selalu.

9. Romo J. Setyakarjana, SJ., bapak Bambang, dan bapak Haryanto selaku staf

perpustakaan IPPAK yang dengan setia melayani dan menyediakan buku-buku

referensi bagi penulis. Terimakasih juga atas komputernya.

10. Seluruh staf perpustakaan Kolsani yang dengan ramah dan setia melayani dan

menyediakan buku-buku referensi bagi penulis. Terimakasih atas kemurahan

hati.

11. Rekan-rekan angkatan 2002/2003, yang telah memberi dinamika hidup dan

semangat dalam menjalin dan merajut tali persaudaraan dan kekeluargaan.

Terimakasih atas persahabatan yang indah ini.

12. Sr. Gratiana, PRR., bapa Tom Jacobs, SJ., Romo J. Setyakarjana, SJ., Sr. Aque,

FdCC cs; Fr. Flori, BHK., Sdri. Yosefina Nitsae, yang telah hadir sebagai

“malaikat penolong” terutama di masa-masa sulit penulis. Terimakasih dan cinta

yang dalam atas dukungan materil dan spiritualnya.

Page 11: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

xi

13. Semua teman-teman yang selalu mendukung dalam kegiatan penulis di kampus

juga di HIMKA.

14. Semua saja yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, yang selama ini

dengan ketulusan hati telah memberikan bantuan dan dorongan hingga

terselesaikannya skripsi ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran maupun kritik yang membangun

guna semakin sempurnanya penulisan ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi

siapa saja yang membacanya.

Yogyakarta, 12 Maret 2007

Penulis

Imaculada Gouveia Leite

Page 12: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

xii

DAFTAR SINGKATAN

A. Daftar Singkatan Kitab Suci

Dalam skripsi ini singkatan Kitab Suci mengikuti daftar singkatan dalam

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Departemen Agama Katolik

Republik Indonesia dalam rangka PELITA. Kitab Suci Perjanjian Lama dan

Perjanjian Baru: Dengan Pengantar dan Catatan (Ende: Arnoldus, 1985/1986).

B. Daftar Singkatan Dokumen Gereja

CA : Centesimus Annus

CT : Catechesi Tradendae

EA : Ecclesia in Asia

EN : Evangelii Nuntiandi

GE : Gravissimum Educationis

GS : Gaudium et Spes

LG : Lumen Gentium

PT : Pacem in Terris

RM : Redemptoris Missio

SRS : Sollicitudo Rei Socialis

C. Daftar Singkatan Lain

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

AITI : Associação para a Integração de Timór a Indonesia

Page 13: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

xiii

APODETI : Associação Popular Democrática de Timór

art. : artikel

ASDT : Associação Social Democrática Timorense

Asgor : Aspal Goreng

Br. : Bruder

CB : Carolus Boromeus

CM : Carmelite Missionaries

CMM : Congregatio Fratrum Beatae Mariae Virginis Mater Misericordiae

dll : dan lain-lain

Dr. : Doktor

Dra. : Doktoranda

Drs. : Doktorandus

dll. : dan lain-lain

dsb. : dan sebagainya

FDCC : Figlia Della Carita Canossiana

FDTL : Força Defesa da Timór Leste

FRETELIN: Frente Revolucionária de Timor Leste Independênte

HIMKA : Himpunan Mahasiswa Kateketik

IQ : Intelligence Quotient

ISMAIK : Instituto Secular Maun Alin iha Kristo

KAS : Keuskupan Agung Semarang

KKN : Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

Page 14: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

xiv

lih. : lihat

MA : Master of Art

MAWI : Majelis Wali Gereja Indonesia

M.Ed : Master of Education

MFA : Movimentos das Forças Armadas

Mgr. : Monsignur

M.Pd : Magister Pendidikan

M.Si : Magister Sosiologi

OCD : Ordinis Carmeliarum Discalcaetorum

OFM : Ordo Fratrum Minorum

OMI : Oblat Maria Imaculata

OP : Ordo Pewarta

OSF : Ordo Santo Fransiskus

OSU : Ordo Santa Ursula

PBB : Perserikatan Bangsa-bangsa

Pe. : Padre (Pastor)

PM : Perdana Menteri

Pr : Presbiterorum / Projo

PRR : Putri Reina Rosari

Puskat : Pusat Kateketik

R.I : Republik Indonesia

RVM : Religius of the Virgin Mary

Sarkem : Pasar kembang

Page 15: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

xv

SAGKI : Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia

SCP : Shared Christian Praxis

SD : Sekolah Dasar

SDB : Serikat Don Bosco

SJ : Serikat Jesus

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

SM : Sebelum Masehi

SMK : Sekolah Menengah Kejuruan

SMU : Sekolah Menengah Umum

SSpS : Servatum Spiritus Sancti

STM : Sekolah Teknik Menengah

SPP : Sekolah Penyuluhan Pertanian

SVD : Serikat Sabda Allah

UDT : União Democrática de Timór

UU : Undang-undang

VOC : Veerenigde Ost indische Company

Page 16: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

xvi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN......................................................................... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN...................................................................... iv

MOTTO.......................................................................................................... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA......................................................... vi

ABSTRAK..................................................................................................... vii

ABSTRACT................................................................................................... viii

KATA PENGANTAR................................................................................... ix

DAFTAR SINGKATAN............................................................................... xii

DAFTAR ISI.................................................................................................. xvi

BAB I: PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG................................................................... 01

B. RUMUSAN PERMASALAHAN.................................................. 08

C. TUJUAN PENULISAN................................................................. 09

D. MANFAAT PENULISAN............................................................. 10

E. METODE PENULISAN................................................................ 11

F. SISTEMATIKA PENULISAN...................................................... 11

Page 17: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

xvii

BAB II: GAMBARAN UMUM GEREJA TIMOR LESTE DAN

PERMASALAHAN ATAU TANTANGAN YANG DIHADAPI OLEH

GEREJA TIMOR LESTE DEWASA INI...................................... 14

A. Gambaran Umum Gereja Timor Leste.......................................... 15

1. Sejarah Perkembangan Gereja Timor Leste.............................. 18

a. Fase Pra-evangelisasi............................................................. 18

b. Fase Pewartaan Awal: Masa Emas......................................... 19

c. Fase Menyiangi dengan Cucuran Air Mata dan Darah.......... 23

d. Fase Pembaharuan Karya Misi di Timor Leste...................... 26

e. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1900 – 1945..................... 28

f. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1946 – 1983..................... 29

g. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1984 – 1996..................... 38

h. Menanti Fajar Merekah.......................................................... 44

1). Masa Pertumbuhan Melonjak............................................ 44

2). Pemekaran Diosis Baucau................................................. 46

2. Gambaran Gereja Timor Leste di Era Pascareferendum............ 50

B. Permasalahan atau Tantangan yang Dihadapi Gereja Timor Leste di

Era Pascareferendum.................................................................... 51

1. Masalah Kaum Muda............................................................. 53

2. Masalah Pendidikan............................................................... 57

3. Masalah Politik...................................................................... 60

4. Bahaya Materialisme dan Sekularisme........................ ......... 63

a. Kontradiksi-kontradiksi Hidup di Timor Leste................... 63

Page 18: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

xviii

b. Sekilas tentang Sekularisme dan Materialisme................. 68

1). Sekularisme.................................................................. 68

2). Materialisme................................................................. 71

5. Penghayatan Hidup Beriman Umat........................................ 75

BAB III: MODEL-MODEL GEREJA TIMOR LESTE DAN GEREJA

YANG DICITA-CITAKAN GEREJA TIMOR LESTE................ 81

A. Model-model Gereja .................................................................... . 82

1. Model-model Gereja menurut Pandangan Avery Dulles........... 82

a. Gereja sebagai Institusi........................................................ 82

b. Gereja sebagai Persekutuan Mistik..................................... 86

c. Gereja sebagai Sakramen Keselamatan............................... 89

d. Gereja sebagai Pewarta....................................................... 92

e. Gereja sebagai Pelayan........................................................ 95

2. Model-model Gereja Timor Leste ........................................... 98

a. Gereja Kaum Miskin ............................................................ 98

b. Gereja sebagai Pejuang Keadilan dan Perdamaian............... 102

c. Gereja sebagai Pelopor Rekonsiliasi.................................... 105

B. Gereja yang Dicita-citakan Gereja Timor Leste ......................... 109

1. Gereja Fungsional: dalam Kristus, demi Kristus.................... 113

2. Gereja Terpusat pada Yesus Kristus ..................................... 115

3. Gereja Secara Hakiki Terarah ke Dunia................................. 118

4. Gereja sebagai Pewarta............................................................. 122

Page 19: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

xix

5. Gereja yang Terbuka untuk Dialog.......................................... 125

6. Gereja yang Mandiri................................................................. 126

7. Gereja yang Anti Kekerasan..................................................... 128

BAB IV: RE-EVANGELISASI SEBAGAI SALAH SATU JALAN

MEWUJUDKAN GEREJA YANG DICITA-CITAKAN GEREJA

TIMOR LESTE DAN USAHA MENANGGAPI TANTANGAN YANG

DIHADAPI OLEH GEREJA TIMOR LESTE DEWASA INI…… 131

A. Beberapa Definisi Evangelisasi....................................................... 132

B. Beberapa Pandangan mengenai Re-evangelisasi............................. 135

C. Unsur-unsur Pokok Re-evangelisasi................................................ 142

1. Subyek Re-evangelisasi............................................................... 142

2. Tujuan Re-evangelisasi................................................................ 143

3. Tantangan-tantangan terhadap Re-evangelisasi........................... 144

4. Syarat-syarat Re-evangelisasi...................................................... 144

5. Upaya-upaya Re-evangelisasi...................................................... 145

D. Makna Re-evangelisasi bagi Gereja Timor Leste............................ 146

E. Re-evangelisasi sebagai Salah Satu Jalan dalam Mewujudkan Gereja

yang Dicita-citakan Gereja Timor Leste.......................................... 150

F. Re-evangelisasi sebagai Usaha Menanggapi Tantangan yang Dihadapi

Gereja Timor Leste Dewasa Ini....................................... 153

1. Kaum Muda.................................................................................. 153

Page 20: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

xx

a). Mengenali dan Memahami Potensi dan Identitas Kaum

Muda.................................................................................... 156

1). Potensi Kaum Muda.......................................... ............ 156

2). Identitas Kaum Muda..................................................... 158

b). Pembinaan dan Pembina yang Diinginkan Kaum

Muda................................................................................... 160

1). Pembinaan sebagai Pelayan............................................ 162

2). Pembinaan sebagai Pendampingan................................. 162

2. Pendidikan................................................................................. 164

3. Politik........................................................................................ 169

4. Bahaya Sekularisme dan Materialisme...................................... 172

5. Penghayatan Hidup Beriman Umat............................................ 173

G. Katekese sebagai Bagian Integral dari Re-evangelisasi.................. 175

H. Contoh Persiapan Katekese............................................................. 176

BAB V: PENUTUP

A. KESIMPULAN.............................................................................. 191

B. SARAN.......................................................................................... 193

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 195

Page 21: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

BAB I

P E N D A H U L U A N

I. LATAR BELAKANG

Bangsa Timor Leste saat ini sedang dalam masa yang ruwet. Masalah

demi masalah datang silih berganti. Tidak ada yang menyangkal bahwa dunia

saat ini berada dalam proses globalisasi. Hal inipun terjadi di negara Timor

Leste. Segala macam segi kehidupan (model pakaian, kecanggihan sarana

telekomunikasi, perdagangan, dan pendidikan) serta dampak-dampaknya

mengglobal dan dirasakan oleh banyak orang. Ironisnya, bersamaan dengan

proses ini terjadi pula degradasi kehidupan spiritual orang-orang yang telah

mengimani Allah sebagai penyelamat, seperti hilangnya nilai-nilai dan tradisi-

tradisi Gereja yang sejak dulu dijunjung tinggi dan dipuja-puja oleh sebagian

besar masyarakat yang mayoritas beriman Katolik. Tradisi-tradisi seperti devosi

kepada Bunda Maria di antaranya Doa Rosario (Reza TerÇo) bersama, ziarah ke

gua-gua (grutas) Maria sebagai penghormatan kepada Bunda (Na’i Feto/Inan)

Maria, devosi kepada Hati Kudus Yesus (DevoÇão do Sagrado CoraÇão de

Jesus), kini telah hilang tertelan oleh budaya-budaya yang datang dari luar

(barat) sebagai akibat dari referendum dan pascareferendum di Timor Leste

dalam menentukan nasib bangsanya sendiri.

Melihat berbagai fenomen ini, secara sepintas kita dapat mengambil

kesimpulan bahwa penyebab dari semua degradasi kehidupan moral ini adalah

pengaruh referendum. Jajak pendapat yang dilaksanakan pada saat menentukan

nasib bangsa Timor Leste menyebabkan mayoritas masyarakat kehilangan harta

Page 22: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

2

bendanya, sehingga dengan situasi seperti itu, memaksa semua masyarakat

untuk terus bekerja tanpa kenal lelah, sehingga waktu untuk aktifitas religius

(Misa, Ibadat Sabda) kurang diperhatikan.

Menghadapi situasi yang serba ruwet seperti terjadinya gap dalam tubuh

tentara Timor Leste; para remaja yang sudah “bersahabat” dengan narkoba;

free-sex yang merupakan warisan new age pascareferendum Timor Leste; kaum

muda yang sebagian besar sudah enggan mengambil bagian dalam kegiatan

hidup menggereja (fenomen ini berdasarkan pengamatan penulis terhadap

sebagian besar mahasiswa Timor Leste yang sedang kuliah di berbagai

Perguruan Tinggi di Yogyakarta), pasutri yang mulai enggan menyerahkan

anak-anaknya dibaptis di Gereja. Gereja dipanggil dan ditantang untuk

menjawab berbagai fenomen ini. Gereja yang mempunyai tugas utama adalah

mewartakan Kabar Gembira kepada semua bangsa (umat) dituntut untuk

mengambil sikap dan berusaha untuk mencari sebuah alternatif dalam menjawab

tantangan-tantangan ini. Fenomena di atas dapat dilihat dan didengar dari

berbagai media seperti radio, televisi, dan surat kabar (Kompas), Majalah

(Hidup, dan Basis) yang belakangan ini menjadi berita yang hangat dibicarakan.

Bangsa Timor Leste di masa pascareferendum menghadapi banyak

perubahan di berbagai macam bidang; bidang sosial, politik, pembangunan,

ekonomi, keagamaan, dan lain-lain. Perubahan ini mengharuskan masyarakat

setempat beradaptasi dengan cara hidup dan pola berpikir yang baru. Di

samping kenyataan bahwa perubahan ini membawa banyak kemajuan, juga ada

beberapa efek negatifnya seperti merosotnya moral masyarakat setempat,

Page 23: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

3

ketidakadilan, penindasan, jurang antara yang kaya dan yang miskin, dan

sebagainya.

Perubahan yang negatif ini berdampak bagi masyarakat luas, baik

instansi pemerintahan maupun Gereja. Masyarakat Timor Leste yang dulu

sering menaruh kepercayaan penuh terhadap pemerintah, kini mereka mulai

merasa kehilangan kepercayaan, karena pengalaman-pengalaman pahit yang

pernah mereka alami, sedangkan terhadap Gereja, sebelum referendum,

masyarakat sangat percaya pada Gereja yaitu kepada para kaum rohaniwan/wati

untuk menyelamatkan mereka. Justru sesudah referendum, banyak masyarakat

yang menganggap dirinya bukan lagi warga Gereja.

Masyarakat Timor Leste yang pada zaman dulu mengagung-agungkan

tradisi, sangat tertarik kepada kebenaran-kebenaran spekulatif (hidup bahagia

bersama Allah) atau tujuan-tujuan akhir hidup, kini tertelan oleh perkembangan

kebudayaan yang baru: sekularisme, konsumerisme, dan hedonisme. Seolah-

olah kebudayaan baru ini “menyulap” pola pikir, pola hidup masyarakat

setempat. Maka tidak heran bila hal-hal yang bercorak rohani/iman dengan

segala macam tradisi dan kepercayaan akan hidup di akhir zaman sulit diterima

oleh mereka.

Gereja sebagai institusi tentu mengalami krisis kepercayaan dan krisis

dalam cara berpastoral. Mengingat masalah yang dihadapi oleh Gereja begitu

kompleks, seperti dalam dunia pendidikan yang tidak memilih Pendidikan

Agama dituangkan dalam Kurikulum Pendidikan (Hidup, edisi 29 Mei 2005:

30-31), adanya unsur pilih kasih dalam memberi jabatan di tubuh tentara

Page 24: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

4

nasional Timor Leste (Kompas, edisi 29 April 2006: 9), ditambah lagi beberapa

fenomen yang telah disebutkan di atas, tentu Gereja dalam menjalankan tugas

misionernya menghadapi berbagai tantangan. Di samping itu, para petugas

pastoralnya pun kurang memiliki pengetahuan (berpendidikan/profesional) yang

cukup dalam hal berpastoral atau dapat dikatakan bahwa tenaga pastoral yang

disediakan oleh Gereja Timor Leste kurang memadai. Meskipun saat ini banyak

para misionaris dari berbagai ordo/tarekat seperti tarekat SVD (Serikat Sabda

Allah), OFM (Ordo Fratrum Minorum), OMI (Oblat Maria Imaculata), OSU

(Ordo Santa Ursula), PRR (tarekat Putri Reina Rosari), CM (kongregasi

Carmelite Missionaries), FDCC (tarekat Kanossian, Figlia Della Carita

Canossiana/Filha da Carita Canossiana), SSpS (Congregatio Servatum Spiritus

Sancti – Suster-suster Abdi Roh Kudus), RVM (Religius of The Virgin Mary),

CB (kongregasi Suster-suster Cintakasih St. Carolus Boromeus), CMM

(Congregatio Fratrum Beatae Mariae Virginis Mater Misericordiae), yang

menjalankan misinya di negara Timor Leste, namun ada juga kendala bagi para

misionaris, yaitu “bahasa” (lingua) setempat yang kurang dipahami dan dikuasai

oleh para misionaris (missionarias).

Fenomen-fenomen tersebut di atas di satu pihak membawa dampak

negatif bagi perkembangan iman Gereja, namun di lain pihak Gereja Timor

Leste juga diajak untuk terbuka mau menerima tantangan ini sebagai suatu hal

yang positif. Hal positif yang pertama; dengan fenomen-fenomen ini, iman

Gereja diuji dalam menjalankan misi perutusannya sebagai pewarta Kerajaan

Allah. Kedua, sebagai refleksi atas karya pastoralnya pada masa silam. Ketiga,

Page 25: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

5

membuka peluang bagi kehidupan menggereja secara baru, terlebih dalam hal

ini penghayatan iman Gereja dari yang lama menuju yang baru. Dan keempat,

agama bukan hanya menjadi sesuatu hal yang bersifat tradisi/adat kebiasaan

yang diperoleh umat dari Gereja, tetapi agama diharapkan menjadi milik umat.

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja semakin sadar bahwa dunia dengan

segala persoalannya dan harapannya merupakan tempat di mana Allah hadir dan

bersabda kepada manusia. Dari sebab itu, persoalan-persoalan sosial, ekonomi,

politik yang dihadapi dunia seluruhnya, di satu sisi merupakan tanggungjawab

dunia itu sendiri, di sisi lain merupakan tanggungjawab Gereja. Dalam Gaudium

et Spes art. 1 dikatakan bahwa: “Kegembiraan dan harapan, duka dan

kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja

yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan

para murid Kristus juga.”

Hal ini berarti Gereja menyadari bahwa seluruh persoalan/pergulatan

manusia beserta segala keprihatinannya termasuk inti perutusan Gereja yang

tidak dapat diabaikan.

Paus Paulus VI dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi art. 14 mengatakan

bahwa:

Gereja mempunyai kesadaran yang hidup mengenai kenyataan bahwa kata-kata Sang Penebus, “Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah”, (Luk 4: 43) berlaku juga sebenarnya untuk Gereja. Gereja dengan senang hati akan menambahkannya bersama-sama Santo Paulus: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Kor 9: 16). Ini merupakan suatu tugas dan perutusan, yang semakin lebih mendesak karena perubahan-perubahan yang meluas dan mendalam di dalam masyarakat zaman

Page 26: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

6

sekarang ini. Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja ada untuk mewartakan Injil, yakni untuk berkotbah dan mengajar, menjadi saluran kurnia rahmat, untuk mendamaikan para pendosa dengan Allah dan untuk mengabadikan kurban Kristus di dalam Misa, yang merupakan kenangan akan kematian dan kebangkitan-Nya yang mulia.

Artinya, Gereja dalam menjalankan tugas perutusannya tidak terlepas

dari apa yang sudah dilaksanakan oleh para rasul seperti Santo Paulus. Gereja

menyadari bahwa “mewartakan Injil adalah tugas utama dan mulia, bahkan

merupakan ciri khas dari eksistensi Gereja”. Gereja ada untuk mewartakan

Kerajaan Allah selayaknya Yesus Kristus sebagai Penginjil pertama dan

terbesar. Gereja hadir untuk mengambil bagian dalam keprihatinan Yesus

Kristus, yakni Kerajaan Allah itu sendiri, maksudnya adalah bahwa semua

orang bisa mengalami keselamatan.

Melihat perkembangan iman dari masyarakat Timor Leste yang mulai

pudar di era pascareferendum, Gereja tidak hanya bertitik tolak dari gambaran

Gereja yang telah diwariskan dari jaman dulu seperti Gereja sebagai institusi

(Dulles, 1987: 32), Gereja sebagai Ibu dan Guru (Lourdes, 2001: 53), tetapi

Gereja Timor Leste mau tidak mau harus mencari suatu alternatif baru dalam

menjawab berbagai fenomen yang menjadi keprihatinan tersendiri bagi

perkembangan Gereja di Timor Leste. Gereja Timor Leste dituntut untuk

mencari suatu bentuk evangelisai yang baru (re-evangelisasi) guna melanjutkan

tugas perutusannya sebagai pewarta Kabar Gembira, sehingga masyarakat

(povo) Timor Leste pada akhirnya bisa mengalami Kerajaan Allah. Hal ini

penting supaya Gereja Timor Leste bisa mengubah pola pewartaan

Page 27: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

7

nya, dan mencari model-model Gereja yang dicita-citakannya (Afra

Siauwarjaya, 1987: 11) dalam menjawab situasi Gereja saat ini. Dalam usaha

menjawab tantangan-tantangan ini, Gereja Timor Leste harus mengusahakan

suatu bentuk evangelisasi yang baru (re-evangelisasi) baik metodenya, caranya

dan semangatnya, supaya pewartaan Injil tepat sasaran dan sesuai dengan

kebutuhan umat setempat.

Seruan Paus Yohanes Paulus II yang pertama kali tentang evangelisasi

baru di hadapan para Uskup di Amerika Latin di Port-au-Prince, Haiti, pada

tanggal 09 Maret 1983 (Suharyo, 1993: 14), secara serius ditanggapi oleh

seluruh Gereja di berbagai belahan dunia. Di antaranya di Indonesia, Amerika

Utara dan Eropa (re-evangelisasi), termasuk Gereja di Timor Leste dengan

didirikannya Komisi Re-evangelisasi pada tahun 2005, yang saat ini dibawahi

oleh Pe. Domingos da Silva Soares, Pr yang merangkap sebagai Vigario

Episcopal Re-evangelizaÇão Diocese Dili, Timor Leste.

Menanggapi seruan evangelisasi baru oleh Paus Yohanes Paulus II dan

beberapa tantangan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini, penulis

terdorong untuk mengangkat re-evangelisasi (evangelisasi baru) sebagai salah

satu jalan dalam mewujudkan Gereja yang dicita-citakan oleh Gereja di Timor

Leste dan menanggapi berbagai tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste

dewasa ini. Sumbangan pemikiran seperti ini diharapkan dapat memberi

masukan kepada seluruh petugas pastoral Gereja (Imam, awam / katekis) untuk

mencari dan menemukan suatu bentuk evangelisasi yang baru dalam

menjalankan tugas pastoralnya sesuai dengan situasi umat setempat.

Page 28: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

8

Berdasarkan deskripsi di atas maka penulis memilih judul skripsi: RE-

EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE DEWASA

INI.

Penulis berharap tulisan ini dapat membantu kita semua dalam mengerti

dan memahami gambaran umum Gereja Timor Leste yang sesungguhnya dan

mengetahui Gereja yang dicita-citakan oleh Gereja di Timor Leste. Mengetahui

tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi Gereja Timor Leste dalam mencari

dan menemukan suatu pola evangelisasi yang baru. Dan pada akhirnya mampu

menemukan re-evangelisasi sebagai salah satu jalan dalam rangka mewujudkan

Gereja yang dicita-citakan oleh Gereja Timor Leste, serta dapat menjawab

tantangan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini.

II. RUMUSAN PERMASALAHAN

Bertitiktolak dari deskripsi latar belakang di atas, permasalahan yang

muncul dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Gambaran umum Gereja Timor Leste dan permasalahan-permasalahan apa

saja yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini?

2. Model-model Gereja seperti apakah yang ada di Gereja Timor Leste dan

Gereja seperti apakah yang hendak dibangun atau dicita-citakan Gereja

Timor Leste di era pascareferendum?

3. Sejauh mana re-evangelisasi dapat mewujudkan Gereja yang dicita-citakan

dan menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste

dewasa ini?

Page 29: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

9

III. TUJUAN PENULISAN

Karya tulis ini berkisar di antara masalah dan keprihatinan yang

dihadapi oleh Gereja pada dewasa ini, khususnya Gereja-gereja di Timor

Leste akibat kondisi bangsa Timor Leste yang saat ini dalam masa yang ruwet

karena berbagai masalah setelah referendum. Dengan situasi seperti ini Gereja

Timor Leste berusaha untuk mencari dan menemukan suatu bentuk

evangelisasi baru (re-evangelisasi) dalam menjalankan tugasnya sebagai

pewarta Kerajaan Allah.

Maka karya tulis ini bertujuan:

1. Memberi wawasan baru bagi penulis dan pembaca mengenai gambaran

umum Gereja Timor Leste dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi

Gereja Timor Leste dewasa ini.

2. Memberi gambaran mengenai model-model Gereja di Timor Leste dan

Gereja yang hendak dibangun atau dicita-citakan Gereja Timor Leste di

era pascareferendum.

3. Sebagai upaya untuk menggali lebih mendalam tentang re-evangelisasi

sebagai salah satu jalan dalam rangka mewujudkan Gereja yang dicita-

citakan Gereja Timor Leste dewasa ini serta menanggapi berbagai

tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste dalam menghadapi situasi

umat Kristiani yang mulai pudar imannya.

4. Karya tulis ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat kelulusan

Strata I Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama

Page 30: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

10

Katolik Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

IV. MANFAAT PENULISAN

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis dan pembaca

mengenai gambaran umum Gereja Timor Leste dan Gereja yang dicita-

citakan Gereja di Timor Leste serta peranannya dalam rangka menghadapi

masalah-masalah atau tantangan-tantangan Gereja Timor Leste dewasa

ini.

2. Dengan mengetahui gambaran, tantangan-tantangan yang dihadapi Gereja

di Timor Leste dewasa ini, penulis dapat memperkembangkan diri untuk

membantu mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste,

melalui evangelisasi baru (=re-evangelisasi) dalam menghadapi situasi

umat di Timor Leste yang saat ini mulai pudar imannya.

3. Memberi sumbangan bagi siapa saja dalam rangka meningkatkan

pengetahuan dan kemampuan untuk mengetahui dan memahami gambaran

Gereja secara umum dan khususnya gambaran umum Gereja Timor Leste

dan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste dalam menghadapi

masalah-masalah atau tantangan-tantangan situasi umat saat ini, dan

menerapkannya dalam tindakan konkret.

Page 31: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

11

V. METODE PENULISAN

Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif-analitis dan

metode interpretatif, yaitu menggambarkan dan menafsirkan keadaan aktual

mengenai situasi konkret Gereja Timor Leste saat ini setelah referendum, serta

tantangan-tantangan yang dihadapinya guna mencari suatu bentuk

evangelisasi yang baru (re-evangelisasi) dalam rangka mewartakan Injil bagi

semua umat yang saat ini mulai pudar imannya.

Dengan pembahasan dan pemaparan isi secara mendalam diharapkan

membantu kita semua memahami gambaran umum Gereja Timor Leste dan

mengetahui Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste, serta

permasalahan-permasalahan atau tantangan yang dihadapinya. Dengan

melihat dan mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada, penulis

mencoba menawarkan re-evangelisasi sebagai salah satu jalan untuk

mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste, dan re-

evangelisasi digunakan Gereja Timor Leste untuk menjawab tantangan yang

dihadapinya. Maka untuk memperoleh data yang aktual, penulis mengadakan

dan mengembangkan kajian pustaka yang mendukung.

VI. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini akan ditulis dalam lima bab. Penulisan akan dimulai dengan

pendahuluan, kemudian akan dipaparkan secara jelas setiap babnya, kemudian

diakhiri dengan penutup berupa kesimpulan dan saran.

Page 32: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

12

Bab I berupa pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan

permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan

sistematika penulisan.

Bab II membahas tentang gambaran umum Gereja Timor Leste dan

permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini, yang akan

dibagi dalam dua bagian di antaranya; sejarah perkembangan Gereja Katolik

di Timor Leste, dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Gereja Timor

Leste di era pascareferendum.

Bab III membicarakan model-model Gereja Timor Leste dan model-

model Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste, yang akan dibagi dalam

dua bagian yaitu bagian pertama adalah model-model Gereja yang terdiri dari

dua sub bagian, di antaranya; model-model Gereja menurut Avery Dulles, dan

model-model Gereja di Timor Leste berdasarkan interpretasi penulis dengan

menganalisa dari sejarah perkembangan Gereja Timor Leste. Bagian kedua

adalah Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste berdasarkan pemikiran

Afra Siauwarjaya.

Bab IV menguraikan re-evangelisasi sebagai salah satu jalan

mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste, serta menjawab

tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste dewasa ini, yang dibagi dalam

enam bagian, di antaranya; beberapa definisi evangelisasi, beberapa

pandangan mengenai re-evangelisasi, unsur-unsur pokok re-evangelisasi,

makna re-evangelisasi bagi Gereja Timor Leste, re-evangelisasi sebagai salah

satu jalan mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste serta

Page 33: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

13

usaha menanggapi tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste dewasa ini,

katekese sebagai bagian integral dari re-evangelisasi, dan contoh persiapan

katekese.

Bab V berupa penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Page 34: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

14

BAB II

GAMBARAN UMUM GEREJA TIMOR LESTE DAN

PERMASALAHAN ATAU TANTANGAN YANG DIHADAPI OLEH

GEREJA TIMOR LESTE DEWASA INI

Dalam bab II ini penulis akan memaparkan secara panjang lebar tentang

gambaran umum Gereja Timor Leste yang mana pada bab I hanya dibicarakan

secara singkat. Pada bab II ini penulis akan membagi pembahasan ini menjadi dua

bagian. Bagian pertama akan memaparkan secara detail tentang gambaran umum

Gereja Timor Leste yang terdiri dari dua sub bagian yakni; sejarah perkembangan

Gereja Timor Leste dan gambaran Gereja Timor Leste di era pascareferendum.

Sub bagian pertama, yakni sejarah perkembangan Gereja Timor Leste akan dibagi

dalam delapan sub-sub bagian, di antaranya; fase pra-evangelisasi, fase pewartaan

awal: masa emas, fase menyiangi dengan cucuran air mata dan darah, fase

pembaharuan karya misi di Timor Leste, situasi Gereja Timor Leste tahun 1900 –

1945, situasi Gereja Timor Leste tahun 1946 – 1983, situasi Gereja Timor Leste

tahun 1983 – 1996, dan menanti fajar merekah. Sub bagian kedua adalah situasi

Gereja Timor Leste di era pascareferendum. Bagian kedua akan membicarakan

tentang permasalahan atau tantangan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste di

era pascareferendum, yang terdiri dari; masalah kaum muda, masalah pendidikan,

masalah politik, bahaya sekularisme dan materialisme, serta masalah penghayatan

hidup beriman umat.

Pembahasan mengenai gambaran umum Gereja Timor Leste dan

permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini

Page 35: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

15

(pascareferendum) merupakan tema yang akan penulis paparkan di bab II ini.

Yang terpenting dalam bab II ini, yakni penulis ingin mengajak pembaca untuk

mengetahui lebih jauh gambaran umum Gereja Timor Leste terutama tentang

sejarah perkembangan Gereja Timor Leste dari awal abad XIV hingga

pascareferendum, dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Gereja

Timor Leste dewasa ini, sehingga pada bab berikutnya (bab III) kita akan

mengetahui model-model Gereja menurut pandangan Avery Dulles ahli dan

model-model Gereja di Timor Leste. Dengan mengetahui gambaran umum Gereja

Timor Leste dan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, serta model-

model Gereja menurut pandangan Avery Dulles dan model-model Gereja di

Timor Leste, kita akan memperoleh gambaran dan menentukan Gereja seperti

apakah yang dicita-citakan oleh Gereja Timor Leste dewasa ini.

Berikut ini akan dikaji lebih mendalam tentang gambaran umum Gereja

Timor Leste dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Timor

Leste, yang menjadi tema pokok dari bab ini.

A. Gambaran Umum Gereja Timor Leste

Kita memerlukan landasan untuk membahas kehidupan umat

beriman di wilayah kita masing-masing: menilai kenyataannya sekarang,

mencari bagaimana seharusnya. Konsili Vatikan II (1962 – 1965) menyajikan

gambaran Gereja secara menyeluruh dalam konstitusi-konstitusi, dekrit-dekrit

serta pernyataan-pernyataannya.

Page 36: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

16

Gereja Katolik pada dasarnya adalah jaringan komunitas-komunitas

yang disatukan oleh pengalaman akan Allah yang ditafsirkan lewat peristiwa

Yesus dari Nazareth baik dalam situasi historis, maupun dalam dimensi

simbolik doktrinernya (Putranto, 2002: 8). Pengalaman dasar ini disambut,

diolah, dan ditafsirkan oleh generasi yang satu sesudah generasi yang lain

dalam konteks perjalanan menyejarah, maka dari itu Gereja pada dasarnya

juga boleh diistilahkan sebagai ”tradisi iman yang hidup”, dari umat yang

bergulat dengan peristiwa Yesus dan mencari maknanya bagi hidupnya.

Gereja Timor Leste sebagai Gereja lokal yang merupakan

pengejawantahan dari Gereja semesta dalam perjalanan sejarahnya, selalu

berusaha untuk tampil sebagai pejuang yang ditandai dengan gugurnya

beberapa martir (seperti Pe. Dewanto, SJ, Pe. Karim, SJ) demi

mempertahankan keadilan dan kebenaran bagi rakyat kecil. Hal ini sesuai

dengan anjuran apostolik Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi (Mewartakan

Injil) art. 78 dikatakan bahwa: ”Setiap pewarta Injil diharapkan menghormati

kebenaran,...pewarta Injil hendaklah seorang pribadi, yang bahkan dengan

menyangkal diri dan menderita senantiasa mencari kebenaran, yang harus

disalurkannya kepada sesama.”

Ini menandakan bahwa Gereja Timor Leste telah mengambil bagian

dalam penderitaan Yesus yakni berani berkorban bahkan mati di kayu Salib

demi membela kebenaran dan keadilan. Berkorban demi rakyat kecil dan

lemah, yang ditindas dan dijajah, yang kehilangan hak-haknya sebagai pribadi

yang utuh sebagai anak-anak Allah, merupakan wujud keterlibatan Gereja

Page 37: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

17

dalam misi Yesus. Gereja Timor Leste menyadari bahwa dalam tugas

perutusannya, ia harus – mau atau tidak, mengalami hal yang serupa seperti

Kristus yang berkorban demi keadilan dan kebenaran.

Gereja Timor Leste juga tampil sebagai pelopor rekonsiliasi

(perdamaian). Hal ini ditandai dengan hadirnya sosok Dom Carlos Filipe

Ximenes Belo, SDB sebagai penyambung lidah dari yang tak bisa bersuara

akibat ”tekanan” dan terbelenggu oleh situasi politik, sosial, ekonomi, dan

lain-lain. Sosok Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB hadir sebagai voice of

the voiseless (suara dari kaum tak bersuara) yang menginginkan ketenangan,

dan kedamaian batin. Ini memberi isyarat bahwa Gereja adalah pengalaman

pembebasan dari situasi terpecah, terpisah dan terbelenggu menuju situasi

pengutuhan, penyatuan, dan kemerdekaan. Dari situasi seperti ketidakadilan,

ketidakpedulian, kekerasan, diskriminasi, prasangka-prasangka sosial, beralih

ke keadilan, solidaritas, dialog, antikekerasan, persaudaraan, dan ketulusan

(Putranto, 2002: 16).

Untuk lebih jelasnya, berikut akan dipaparkan mengenai sejarah

perkembangan Gereja Timor Leste dari abad XIV hingga pascareferendum,

sehingga kita dapat menemukan bagaimana Gereja Timor Leste menempatkan

dirinya dalam berbagai situasi pada periode-periode tersebut.

Page 38: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

18

1. Sejarah Perkembangan Gereja Timor Leste

a. Fase Pra-evangelisasi

Karya misi di pulau Timor dimulai pada abad XIV dan XVI

berbarengan dengan kedatangan para armada Portugis. Pada tahun

1511, Timor ditemukan oleh António de Abreu dengan armada

Companhia Leão dos Mares (Gabungan Singa Laut).

Frei António Taveiro, OP merupakan misionaris pertama yang

melakukan karya di Timor (1512). Kemudian dilanjutkan oleh Frei

António da Cruz, OP (1561). Pendekatan yang digunakan oleh kedua

misionaris ini sangat simpatik, sehingga banyak orang tertarik dan

akhirnya dibaptis. Tunas-tunas iman Katolik mulai tumbuh sampai

tahun 1556. Ketika itu, raja dari Mena (Oecusse) bersama sekitar 5000

orang dibaptis. Kemudian disusul oleh raja Luca (Viqueque) dan

Fatumean (Suai). Peristiwa ini dimanfaatkan oleh para penguasa

kolonial untuk ikut menanamkan pengaruhnya (Gusmão, 1997: 67).

Melihat hal itu, Malaka sebagai pusat misi menggiatkan

karyanya di sana. Pada tahun 1514, Capitão Rui de Brito Pantalim

yaitu penguasa di Malaka, memerintahkan sebuah armada bersama

Frei António Taveiro, OP kembali lagi ke Timor. Pada dasarnya pusat

misi berada di Solor, karena Solor merupakan markas besar Portugis

di wilayah Insulinda. Frei Baltazar Dias, SJ merupakan pimpinan misi

yang berada di Malaka dan sekaligus sebagai Vikaris Jendral.

Page 39: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

19

b. Fase Pewartaan Awal: Masa Emas

Dengan bula Pro Excelenti Praeminentia, pada tanggal 04

Februari 1558, Paus Paulus IV mendirikan diosis Malaka, pulau Timor

termasuk bawahan yuridisnya. Paus mengangkat seorang Dominikan,

Frei Jorge de Santa Luzia, OP menjadi uskupnya. Dan untuk

memperkuat karya misi di Timor dan Solor, maka pada tahun 1562,

uskup Malaka mengutus Frei António da Cruz, OP (selaku superior),

Frei Simão das Chagas, OP, dan Br. FranÇisco Aleixo, OP dan

seorang yang tidak disebutkan namanya (Gusmão, 1997: 67)

Sejak kedatangan mereka dan berkat kerja sama serta sikap

keberanian iman mereka, dimulailah suatu periode yang mulia dan

pantas dipuji. Karya misioner mereka berhasil dengan sangat

gemilang. Larantuka dan Solor menjadi pusat penyebaran agama

Katolik dan berhasil menarik banyak orang penduduk asli yang

berasal dari berbagai pulau, di antaranya dari pulau Timor (Lourdes,

2001: 1).

Tahun 1577, para imam Dominikan membuat laporan sangat

positif ke Malaka dengan menyebut “telah dipermandikan 50.000

orang” di pulau Timor, Solor, dan Ende. Atas laporan ini, Uskup

Malaka Dom João Ribeiro Gaio meminta Kardinal Alberto dan

Provinsial Dominikan Pastor Jerónimo Corsea OP di Lisboa

menambah barisan misionaris di Timor, Solor, dan Ende. Walau ada

rintangan seperti para misionaris mendapat “tekanan” dari pihak

Page 40: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

20

penguasa Portugis, namun karya misi semakin meluas karena para

misionaris tidak lagi melibatkan diri pada hal-hal duniawi melainkan

hanya pada karya mewartakan Injil. Darah para misionaris dan sakit

hatinya umat telah menyuburkan karya pewartaan keselamatan di

kawasan itu (Neonbasu, 2006: 10)

Pada tahun 1581, terjadi pemberontakan oleh penduduk asli

Timor terhadap orang-orang Portugis di Solor dan Timor. Pada tahun

1598 situasi mulai berubah. Orang-orang Portugis mendapat serangan

dari VOC Belanda. Akibat serangan tersebut banyak orang Katolik

menjadi martir dan semua bangunan gereja dimusnahkan. Pada tahun

1636, Solor ditinggalkan oleh orang-orang Portugis. Pada tahun 1641

Malaka jatuh ke tangan Belanda. Uskup Larantuka terpaksa pindah ke

Kupang di pulau Timor. Namun penempatan Uskup Malaka di

Kupang tidak bertahan lama. Pada tahun 1682 pemerintahan Portugis

pindah ke Lifau yang merupakan ibu kota pertama di Ambeno

(Teixeira, 1962: 16).

Tercatat bahwa pada tahun 1701 kekuasaan sipil dipisahkan dari

kekuasaan gerejani. Pemisahan ini merupakan berkat bagi karya-karya

misi dan para misionaris. Sebelum pemisahan, seorang misionaris

bukan saja sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin

militer dan politik, sebab ia harus mengabdi pemerintah demi

kedaulatan negara. Dengan terpisahnya kedua kekuasaan, para

misionaris bebas untuk melaksanakan karya misinya dan bebas dari

Page 41: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

21

tugas-tugas duniawi, sehingga mereka dapat memusatkan seluruh

perhatian mereka pada kegiatan pewartaan.

Pada tahun 1734 bulan Oktober, Portugis memerintahkan untuk

membangun sebuah gedung seminari di Oecusse untuk mendidik

penduduk setempat demi karya misi. Pada tahun 1741 didirikan lagi

sebuah seminari di Manatuto. Tahun 1770-an, karya misi di Timor

Leste terbagi menjadi dua. Pertama, kelompok utara meliputi Oecusse,

Batugedé, Maubara, Dili, Lacló, Manatuto, Laleia, dan Baucau.

Kedua, kelompok selatan meliputi Suai, Bubususo, Barique,

Viqueque, Luca, dan Lospalos.

Tanggal 19 Februari 1749, seorang misionaris Timor Frei

Gerardo de Santo José diangkat menjadi Uskup. Uskup ini datang ke

Timor. Ia menetap di Lifau (ibu kota pertama di Ambeno) dan

mendirikan sebuah katedral. Tahun 1762, Uskup Gerardo wafat di

Lifau (Neonbasu, 2006: 11).

Pada tahun 1780 sebuah manuskrip mencatat bahwa di Pulau

Timor telah didirikan 50 gedung gereja (belum termasuk kapel).

Usaha penyebaran Injil berjalan terus. Tahun 1843 terjadi revolusi

liberal di Portugal. Revolusi ini membawa bencana bagi kegiatan misi.

Semua biarawan diusir keluar dari daerah-daerah misi oleh para

penguasa Portugis di antaranya pulau Timor dan Solor (Lourdes,

2001: 4-5).

Page 42: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

22

Pada tahun 1874, diosis Malaka yang juga membawahi Timor

diambil alih oleh diosis Goa. Portugis yang terdesak di berbagai

tempat akhirnya memusatkan kekuasaannya di Timor. Lifau dijadikan

pangkalan mereka (1556 – 1769). Upaya Belanda untuk menguasai

Timor terus digalakkan, walaupun mereka terus mengalami kegagalan.

Pada akhirnya Portugis dan Belanda mengadakan tawar-menawar

lewat perundingan damai.

Belanda dan Portugis melakukan perundingan tahun 1851 dan

sepakat untuk melakukan pertukaran wilayah. Pihak Portugis

menyerahkan Solor dan Flores ke Belanda. Sebaliknya Belanda

menyerahkan Maubara ke Portugis dan tambahan uang sebesar 80.000

florins.

Melihat gelagat Belanda untuk mendesak misi Katolik dengan

gerakan Protestan, maka pihak Portugal meminta tinjauan kembali

terhadap kesepakatan yang sudah dicapai. Perundingan selanjutnya

tepatnya tanggal 06 Desember 1854 menegaskan bahwa Belanda

memberikan perlindungan terhadap misi Katolik di daerah

kekuasaannya. Namun Belanda berkeberatan karena Portugis tidak

menjamin kebebasan karya Protestan di wilayahnya. Maka kedua

belah pihak mencari jalan keluar lainnya yaitu dengan membagi

wilayah. Wilayah barat disebut sebagai “tanah Belanda” (Timor-

Holandes), dan wilayah timur disebut sebagai “tanah Portugis”

(Timor-Portugués).

Page 43: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

23

Supaya karya misi di Timor tidak terus berlarut dalam status

ketidakpastian, maka tahun 1874, Paus Pius IX mengadakan

kesepakatan dengan raja Portugal yakni Dom Luis I untuk

membaharui karya misioner di Timor. Melalui bula Universiis Orbis

Eclesiis (15 Juni 1874), Sri Paus menetapkan status yuridis diosis

Macau untuk mengambil alih wilayah Timor, selain menangani pula

wilayah kepulauan Hainan dan Heung-Shan. Serentak dengan itu,

Paus mengangkat Frei Dr. Manuel Bernardo de Sousa Enes sebagai

uskup Macau (Gusmão, 1997: 68).

c. Fase Menyiangi dengan Cucuran Air Mata dan Darah

Karya misi di Nusantara, di samping tidak disukai oleh Belanda,

juga mendapat tantangan dari umat Islam. Kaum Muslim masuk wilayah

Nusantara sekitar abad XII (1292). Beberapa Raja dan Sultan menganut

sekaligus menjadi pemimpin agama Islam. Mereka juga memiliki

kepentingan untuk melindungi hegemoninya (Gusmão, 1997: 69).

Misi Katolik pada mulanya dan seterusnya menyebar di Maluku

(1511 – 1666), Timor (1512 – 1556), Solor – Flores (1512 – 1560), Bali

(1535 – 1536), Sulawesi (1563 – 1668), dan Jawa (1569 – 1599).

Pertikaian yang timbul dalam penyebaran agama pada dasarnya

tidak terlepas dari kepentingan dan keserakahan dagang. Agama

ditunggangi oleh politik ekonomi pada masa itu. Mulai tahun 1581, kaum

Muslim melakukan penyerbuan ke daerah misi di Solor. Dalam pertikaian

Page 44: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

24

tersebut Frei António Pestana dan Frei Simão das Montanhas dibunuh.

Pada tahun 1590, Frei FranÇisco Calossa (dari Goa) dibunuh atas

persekongkolan Islam dengan beberapa orang pribumi. Hal demikian

menimpa juga Frei João Tavares dan dua (2) orang calon misionaris

lainnya, dibantai di Lamakera (Lamaqueiros). Misisonaris yang lolos dari

malapetaka tersebut di antaranya Frei Diego da AssunÇão dan Frei Lucas

Belchior de Antas. Mereka kembali ke Malaka dengan membawa berita

duka. Selain pertumpahan darah, Gereja juga menderita kehancuran fisik.

Pemanfaatan (eksploitasi) masyarakat untuk kepentingan para

penguasa Portugis, rupanya menjadi biang keladi perpecahan antara

Gereja dan penguasa Portugis. Banyak penduduk pribumi menderita

akibat kekejaman dan ketamakan para penguasa untuk memaksakan kerja

rodi. Para penguasa ingin menguras tenaga dan harta kaum pribumi

sebanyak mungkin. Di samping itu, banyak kaum pribumi tergusur dari

“tanah pusaka” yang dihuninya terun-temurun. Dengan hal ini, maka tidak

mengherankan jika terjadi pemberontakan dari kaum pribumi.

Pemberontakan yang paling dramatis dilancarkan oleh raja Manufahi,

Dom Bonaventura, yang dikenal dengan sebutan guerra de Manufahi atau

funu-Manufahi ini berlangsung dari tahun 1911 hingga 1913. Penguasa

Portugis secara beringas memadamkan pemberontakan tersebut. Sejak itu

nampaknya pemberontakan kaum pribumi mulai memudar.

Gereja dituding sebagai penyebab timbulnya berbagai

pemberontakan. Sebab Gereja menunjukkan ketidaksenangannya atas

Page 45: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

25

tindakan penguasa kolonial yang menindas hak-hak azasi rakyat kecil

yang miskin dan lemah. Hal ini menyebabkan keretakan antara Gereja

dengan penguasa. Keretakan ini dimulai antara uskup Dom Manuel

dengan Gubernur FranÇisco de Mello de Castro. Sang uskup dianggap

terlalu “lantang” dan menantang kekuasaan penguasa. Ketika terjadi

suksesi (pergantian) kepemimpinan dari Gubernur FranÇisco de Mello de

Castro ke Gubernur baru António Albuquerque, perbedaan itu makin

tajam. Akhirnya di tahun 1722 Frei Manuel Rodrigues dan Frei Manuel

Vieira dihukum mati di tiang gantungan. Keduanya dituding sebagai

dalang dari pemberontakan. Sejalan dengan itu, beberapa gedung gereja

juga dihancurkan, misalnya di Aileu.

Tahun 1731, Padre Manuel de Pilar (Dili) dan Padre Bartolomeu

Perreira (Batugedé) mendukung pemberontakan rakyat melawan

Gubernur António Albuquerque. Dukungan para misionaris ini

menghasilkan pula pemberontakan di Manatuto (1787).

Sebagai balasannya, penguasa Portugis menangkap Padre FranÇisco

da Cunha, Vikaris Jendral di Timor. Selanjutnya semua karya misi di

Timor dibekukan sama sekali. Sepanjang tahun 1788 – 1819, karya misi di

Timor sudah kehabisan nafas.

Sejalan dengan peristiwa ini, di Portugal juga terjadi revolusi (1832)

untuk mengubah monarki menjadi liberal. Revolusi ini dibarengi dengan

gerakan anti klerikal, yang menyebabkan banyak kaum rohaniwan/pastor

disingkirkan.

Page 46: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

26

Semenjak tahun 1811, di Timor hanya ada tiga (3) misionaris (bukan

orang Portugis), yaitu Frei Mestre di Manatuto, Frei Tomas dan Frei

Gregorio Barreto di Dili. Dan pada tahun 1820, seorang Dominikan

dikirim ke Dili yaitu Padre ViÇente Vieira, OP. Namun ia tidak banyak

berbuat di Timor.

Kehidupan iman Gereja nampaknya diguncang oleh prahara yang

menimpanya, tapi toh iman tetap hidup di dalam sanubari kaum miskin

dan tertindas. Dan Gereja dikenang sebagai simbol yang ikut menanggung

duka derita, senasib sepenanggungan dengan penderitaaan kaum lemah

dan tertindas itu.

d. Fase Pembaharuan Karya Misi di Timor Leste

Pada tahun 1874, atas persetujuan Paus di Roma, Timor menjadi

bagian dari yuridiksi Keuskupan Macau. Uskup Macau sangat menaruh

perhatian pada karya misi di pulau Timor. Maka, pada tahun berikutnya

yaitu tahun 1875, Pastor António Joaquim de Medeiros ditugaskan untuk

melakukan kunjungan ke tempat-tempat kegiatan misi di pulau Timor.

Selanjutnya pada tahun 1877 Uskup Macau mengangkat Pastor

Medeiros menjadi Vikaris Jenderal dan pemimpin karya misioner. Ia

ditugaskan bekerja di pulau Timor bersama dengan tujuh imam Portugis.

Kendati berjumlah sedikit, para misionaris itu langsung bekerja dan

mewartakan kabar keselamatan di tengah umat di seluruh pelosok pulau

Timor.

Page 47: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

27

Pastor António Joaquim de Medeiros menyusun kebijaksanaan

pastoral pada awal kegiatan misinya itu sebagai berikut. Pastor FranÇisco

Xavier de Melo ditempatkan di Oecusse dan menjalankan tugas-tugas di

Noemuti. Pastor José António ditugaskan di Batugedé, salah satu daerah

yang sekarang terletak di perbatasan Timor Leste dengan Nusa Tenggara

Timur (Indonesia). Sedangkan yang bertugas di Dili adalah Pastor Carlos

Pereira. Di Manatuto ditempatkan Pastor Manuel Maris, yang wilayah

kerjanya meliputi kerajaan-kerajaan Laclo, Laleia, Vemasse, dan Cairui.

Pastor Sebastião Maria menempati wilayah kerja yang paling luas

dan sukar, yaitu Lacluta, Dilor, Bariki, Viqueque, Luka, Babilitu, Dolik,

Alas, dan Babususu. Pada tahun 1878 ia bekerja keras guna meningkatkan

mutu hidup manusia Timor dengan mendirikan sekolah-sekolah dan

membuat pendidikan menjadi suatu landasan bagi karya evangelisasi yang

akan dilaksanakannya. Ia membangun gedung-gedung sekolah sesuai

dengan kebutuhan saat itu dan kemampuan misionaris untuk

menanganinya (Lourdes, 2001: 5).

Selain sekolah-sekolah yang sudah ada di Dili, ia membuka pula

beberapa sekolah di Manatuto, LiquiÇa, dan Bazar-tete. Sedangkan

Lahane dijadikan sebagai pusat misi dan rumah kediaman Vikaris

Jenderal. Kecuali itu, di sanapun dibangun dua buah gedung, satu untuk

kediaman misionaris dan satu lagi untuk asrama para siswa. Perlu dicatat

bahwa yang ditampung di sekolah-sekolah pada saat itu adalah anak-anak

Page 48: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

28

raja (liurai oan sira) dan anak-anak para pemuka masyarakat yang

diharapkan menjadi pemimpin-pemimpin rakyat pulau Timor.

e. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1900-1945

Pada tahun 1900 pulau Timor dibagi menjadi dua vikariat. Bagian

utara berpusat di Lahane di bawah tanggungjawab para imam-imam Projo.

Sedangkan bagian selatan diserahkan kepada imam-imam Jesuit yang

waktu itu menjalankan karya misinya di pulau Timor.

Karya misi di pulau Timor berjalan terus. Pada tahun 1920 Pastor

José da Costa Nunes diangkat menjadi Uskup Macau dan Timor. Sejak

pengangkatannya, kegiatan misi di pulau Timor mulai masuk pada fase

yang baru, khususnya usaha intensifikasi pewartaan Injil. Gereja setelah

tahun 1910 mengalami hambatan akibat perubahan politik di Portugal saat

itu. Monarki digulingkan oleh gerakan republik, Portugal menjadi negara

republik.

Situasi politik menguntungkan bagi karya misi di pulau Timor.

Perkembangan karya misi tidak mengalami banyak hambatan dari pihak

pemerintah Portugis. Pada tahun 1936 didirikan gedung seminari

keuskupan pertama di Soibada oleh Pastor Jaime GarÇia Goulart, yang

waktu itu adalah pemimpin misi di Timor. Seminari baru ini dipimpin oleh

Pastor Januario Coelho dari tahun 1937 sampai dengan meletusnya Perang

Dunia Kedua pada tahun 1942 (Lourdes, 2001: 6-7).

Page 49: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

29

Tepat pada 4 September 1940 diumumkan Bula Solemnibus

Conventionibus dari Paus Pius XII tentang berdirinya Dioses Dili, atas

persetujuan Vatikan dan Pemerintah Portugal. Pastor Jaime GarÇia

Goulart diangkat sebagai Administrator Apostolik pertama pada tanggal

18 Januari 1941. Kemudian, 12 Oktober 1945, ia menjadi Uskup Dioses

Dili (Neonbasu, 2006: 11)

f. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1946 – 1983

Selama berabad-abad lamanya Portugis menjajah dan menyedot

seluruh kekayaan tanah jajahannya (termasuk Timor) demi kepentingan

negaranya dan mengabaikan kesejahteraan rakyat. Bangsa Portugis ingin

membangun keagungannya sebagai herois do mar (pahlawan penjelajah

samudera). Setelah Perang Dunia II (pasca 1945) di mana orientasi

bangsa-bangsa mulai menunjukkan kebangkitan dan kemerdekaan, bangsa

Portugis masih nekad menjajah. Daerah-daerah yang dijajahnya meliputi

Afrika (São Tomé e Prince; Cabo Verde; Guine Bissau; Angola dan

Mozambique); Asia (Macau di Cina dan Goa di India); dan Oceania

(jazirah timur pulau Timor). Dengan melihat gelagat bangsa Portugis ini,

maka pada tanggal 14 Desember 1960 Portugal mendapat isolasi dari

dunia internasional (PBB) dengan mengeluarkan aturan dalam rangka

dekolonisasi wilayah yang belum memiliki otonomi; termasuk Timor-

Portugis yang hanya dilihat sebagai daerah di bawah kuasa administratif

Portugis (Gusmão, 1997: 76).

Page 50: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

30

Kawasan Afrika melakukan pemberontakan (dengan inspirasi dari

Konferensi Asia-Afrika Bandung, 1955) terhadap kekuasaan Portugal.

Gerakan mereka relatif berhasil karena mendapat dukungan dari negara

tetangganya yang menjadikan wilayahnya sebagai basis perlawanan

terhadap Portugal.

Para perwira dan serdadu yang berperang di belahan Afrika sudah

memustahilkan adanya kemenangan Portugal. Namun kekerasan hati

diktator António de Oliveira Salazar dan Perdana Menteri Marcelo

Caitano tidak bergeming. Bahkan sebaliknya para perwira yang dianggap

membangkang langsung dipecat, misalnya, Wakil Kepala Staf Militer

Jenderal António Spinola (sebelumnya adalah Gubernur Jenderal di Guine

Bissau) dan temannya Jendral Françisco da Costa Gomes dipecat, segera

setelah mengedarkan buku Portugal e o Futuro (Portugal dan Masa

Depan).

Namun kedua perwira yang sangat populer ini diam-diam

membentuk gerakan rahasia (clandestina). Perlahan-lahan, akhirnya

mereka berhasil membentuk gerakan militer MFA (Movimentos das

Forças Armadas). Merekalah yang meletuskan Revolução dos Cravos

(Revolusi Bunga) 25 April 1974. Dengan demikian periode sebuah tirani

politik Portugal berakhir. Pemerintah baru di bawah Presiden António

Spinola segera merombak sistem partai tunggal (Gusmão, 2003: 76).

Spinola sendiri juga mengumumkan penentuan nasib sendiri bagi Timor

melalui UU No.7/1974, tanggal 27 Juli. Ini dapat dikatakan bahwa dengan

Page 51: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

31

meletusnya Revolusi Bunga merupakan titik awal bagi terciptanya

kebebasan berpolitik di semua wilayah Portugal dan wilayah jajahannya.

Keadaan ini menimbulkan chaos politik di Timor. Kelompok

intelektual yang tidak terlalu banyak jumlah dan kualitasnya mulai

memperkenalkan ideologinya untuk mengantar masa depan Timor

Portugis itu. Dalam peristiwa ini muncul tiga partai besar yang

mendominasi Timor dengan kekhususan ideologinya, di antaranya; UDT

(União Democrática de Timór) yang didirikan 11 Mei 1974 yang

dipimpin oleh Ir. Mário Viegas Carrascalão dan Agusto Mouzinho

(Sekjen); ASDT (Associação Social Democrática Timorense) yang

didirikan 17 Mei 1974 dengan ketuanya Françisco Xavier do Amaral dan

Nicolau Lobato (wakil). José Fernando Osório Soares (kakak kandung

mantan Gubernur Abilio José Osório Soares) menjadi Sekjen; 27 Mei

didirikan AITI (Associação para a Integração de Timor a Indonesia) yang

kemudian menjadi APODETI (Associação Popular Democrática de

Timor) yang dipimpin oleh Arnaldo dos Reis Araujo dan José Fernando

Osório Soares sebagai sekjen. Gerakan mereka bertujuan untuk

berintegrasi dengan Indonesia dengan status sebagai “daerah otonomi”

berdasarkan hukum Internasional. Konsep ini ternyata kandas dan tidak

pernah dibahas lagi ketika mereka mengajukan petisi di Jakarta. Jadi,

konsep integrasi sendiri gagal diwujudkan. Dengan adanya perbedaan

ideologi di antara ketiga partai besar ini, terjadi pertikaian yang akhirnya

meledakkan perang habis-habisan. Teror, pembunuhan massal (massacre),

Page 52: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

32

penculikan dan penghancuran menjadi cerita sehari-hari. Timor Loro-Sa’e

menjadi ‘neraka dunia’ bagi penduduknya. Maka proyek dekolonisasi

yang menjadi gagasan penguasa baru di Portugal itu berantakan.

Kegagalan ini merupakan catatan hitam dalam lembaran sejarah supremasi

Portugal selama ini (Rocha, 1987: 13).

Pada tanggal 07 Desember 1975, Indonesia mengambil alih

kekuasaan atas wilayah Timor, ternyata kisah sedih itu tidak berlalu.

Brutalitas dan eksploitasi wilayah yang dilakukan atas nama keamanan

dan ketektraman harus meminta banyak tumbal. Air mata dan darah terus

membasahi tanah Timor. Sejak itu, lembaran-lembaran sejarah diisi

dengan ratap tangis dan kertak gigi, dendam dan kebencian (Aditjondro,

1994a: 65).

Gereja sebagai bagian dari masyarakat Timor Leste memang ikut

merasa dalam nafas kecemasan, ketakutan, dan kehancuran yang mulai

menghadang. Dalam hal ini Gereja tidak hanya mengalami kehancuran

fisik melainkan juga kehancuran hati. Nada-nada penderitaan itu

diungkapkan baik secara halus maupun keras dalam membela

kemanusiaan dan keadilan, khususnya bagi kaum miskin yang

dipinggirkan.

Secara materi cukup banyak gedung Gereja yang dihancurkan.

Biara-biara dikosongkan. Dan Seminário de Nossa Senhora de Fátima di

Dare sebagai “jantung diosis” dihancurkan menjadi puing-puing oleh

tembakan dari laut Dili. Dalam pertikaian antara ABRI dan Fretelin

Page 53: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

33

sekitar 7-13 Desember 1975, gedung Seminari Dare yang dihuni oleh para

calon pastor dibom. Kerusakan fasilitasnya diperkirakan mencapai 75%.

Setelah tahun 1975, Gereja mengalami penderitaan karena

tindakan desakralisasi terhadap simbol-simbol religius, misalnya, patung

Bunda Maria di Comoro, Januari 1987; Seminari Lahane, 27 Februari

1987; Bobonaro, 15 September 1991; pencemaran Tabernakel di Kapela

Lolotoi, 23 Oktober 1991 maupun upaya memojokkan hirarki dan petugas

pastoral lainnya. Salah satu yang menimbulkan deformasi terhadap rasa

religius rakyat ketika terjadi pencemaran simbol religius yang dilakukan

oleh dua orang oknum ABRI di Remixio (Juni 1995) dan isu Sanusi di

Maliana (September 1995). Kedua peristiwa ini merupakan puncak yang

menghasilkan ledakan kemarahan penduduk Timor Leste yang

menimbulkan tragedi September 1995. Kerusakan simbol religius itu

didiamkan bertahun-tahun dan mendapat kesempatan untuk dicetuskan

dalam ‘pembalasan dendam’. Uskup Belo yang kemudian menangani

masalah itu menyatakan perasaan duka yang mendalam dari korban tanpa

dosa dari pihak Islam. Uskup menganggap bahwa ‘balas dendam’ tersebut

tidak kristiani dan tidak manusiawi. Beliau turun sendiri ke jalanan untuk

‘memadamkan kerusuhan tersebut (Gusmão, 1997: 78).

Secara ekonomis harus dikatakan bahwa Gereja bangkrut karena

cadangan finansialnya hangus. Keuangan yang dimiliki Gereja dalam

bentuk escudo secara otomatis tidak berlaku lagi ketika pemerintah

Indonesia memberlakukan mata uang rupiah. Gereja harus membangun

Page 54: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

34

semuanya dari nol mutlak. Pendek kata, Gereja jatuh dalam kemiskinan

bersama umatnya yang juga diterpa oleh kesulitan dan tantangan yang

sama.

Mgr. José Joaquim Ribeiro dan Pe. Martinho da Costa Lopes

(Vikjen dan Sekretaris) bahu membahu menguatkan para pastor dan umat

yang terkena badai kehidupan. Sejumlah imam Diosesan seperti Dom José

Joaquim Ribeiro (Uskup), Pe. Martinho da Costa Lopes (kemudian

menjadi Uskup, alm.), Pe. José Martins (alm.), Pe. Agustinho Belo, Pe.

Alberto Ricardo, Pe. António de Brito, Pe. Aureo Gusmão, Pe. José Maria

de Seje Barbosa, Pe. Deomitrio Barros, Pe. Domingos da Cunha, Pe. José

Calisto Alves Guterres (alm.), Pe. José António da Costa, Pe. Mario Belo,

Pe. Rafael dos Santos, Pe. Santana Raquel Pereira, juga sejumlah

biarawan Salesian seperti Pe. Afonso Maria Nacher, SDB., Pe. Eligio

Locatelli, SDB., Pe. João de Deus Pires, SDB., Pe. Manuel Morais de

Carvalho Magalhaes, Pe. Luis de Pretto, Diakon Balthazar, SDB.,

Br. Carlos Gamba, Br. José Cusi dan Br. Lobato, mereka semua masih

setia mendampingi umatnya baik di kota maupun di pedalaman dan hutan-

hutan tempat pengungsian. Banyak biarawati dan sejumlah pastor yang

mengungsi ke Australia. Mereka yang mengungsi ke arah Atambua ketika

terjadi golpe UDT, yaitu Pe. José António da Costa (kini wakil Uskup

Dili). Pe. Apolinario A. Guterres, Pe. Santana Roque, Pe. José Maria de

Seje Barbosa dan Fr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB (yang kemudian

menjadi Uskup Dili dari tahun 1983 – 2000). Sejumlah seminaris lari

Page 55: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

35

tercerai berai. Pelayanan dan kehidupan Gereja seakan-akan berhenti

tanpa harapan akan masa depan. Barangkali tidak berlebihan jika banyak

orang merasakan kekosongan Gereja sebagai pertanda berakhirnya zaman

(Gusmão, 1997: 78).

Dom José Joaquim Ribeiro yang menjabat sebagai Uskup kala itu

sudah mengingatkan tanggung jawab moral dan politik kepada para

pemimpin rakyat Timor Leste dan juga Portugal. Tanggung jawab itu

diungkapkannya dengan menulis sebuah surat pastoral. Sang Uskup

bersama segenap dewan imam sehati seperasaan dalam mendorong

kesadaran umatnya akan tanggung jawab pada pilihan bebas. Melalui

Sang Uskup Dom José Joaquim Ribeiro, Gereja ingin mengungkapkan

sikap dan pendiriannya sebagaimana dikutip oleh Gusmão (1997: 80)

dengan mengatakan bahwa:

Gereja tidak mempunyai partai; hanya memiliki Injil untuk diwartakan kepada semua orang dan pada semua tempat serta terbuka kepada kemajemukan pilihan, manusiawi dan kristiani dan secara sah dari anggota-anggotanya. Politik Gereja adalah menggugah kesadaran anggota-anggotanya akan kebenaran pembebasan yang mendesak dari pesan Injil Kristus dan (menghayati) hidup dalam kepenuhan, dari hari ke hari, (mengikuti) hukum Allah, Sabda Bahagia dan ideal dari hidup Kristus dan Kristus yang tersalib. Dengan cara inilah Gereja menunjukkan jalan kepada promosi dan jalan pembebasan....yang harus dibuka meskipun menghadapi keterbatasan dan kelemahan manusiawi (carta pastoral, edição 25 Janeiro 1975, p. 5). Dengan menganalisa surat pastoral sang Uskup, dapat dikatakan

bahwa sang Uskup secara terbuka menunjukkan sikap ketidaksetujuannya

dengan kecenderungan gerakan dan pengaruh sosialisme dan komunisme.

Dari sisi lain, sang Uskup meminta agar penguasa kolonial menciptakan

Page 56: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

36

suatu iklim yang kondusif bagi pilihan bebas rakyat tanpa manipulasi dan

distorsi ideologis atau bisa disebut sebagai komunisme (Tomodok, 1994:

172). Namun, Dom José pada titik tertentu mencapai batas manusiawinya

untuk menanggung duka dan kecemasan hatinya. Maka, ia akhirnya

mengundurkan diri dan menyepi dalam doa di Portugal demi Timor

Oriental yang dicintainya, karena tidak sanggup melihat penderitaan

umatnya! “The most crucial change occurred when Ribeiro, totally

distraught by the killings in Dili, requested retirement in 1977” (Taylor,

1990: 153).

Yang kemudian menggantikan Uskup Ribeiro adalah Mgr.

Martinho da Costa Lopes. Dom Martinho masih atau tetap mengikuti garis

kebijakan pendahulunya untuk memperjuangkan penyelesaian secara

terhormat bagi tanah kelahirannya.

Sejak awal Dom Martinho pesimis mengenai penentuan nasib

sendiri. Alasannya, secara mental rakyat belum siap dan tidak bisa secara

sadar menentukan pilihannya. Hal ini terlihat dalam pernyataannya yang

dikutip oleh Tomodok (1994: 62) dengan mengatakan bahwa:

Kemerdekaan melalui perjuangan seperti di Angola, Mozambique dan Guine Bissau itu adalah kekerasan...itu bukan yang saya maksudkan dan saya inginkan. Rakyat menginginkan perjuangan tanpa kekerasan. Jadi nampaknya ingin menganut cara Mahatma Gandhi di India. Tapi di sini belum ada pelopornya...kemerdekaan yang saya inginkan adalah kemerdekaan yang baik dengan dasar Liberdade na Ordum Justiça e Paz, aman, jujur, dan tenteram. Hal ini dikemukakannya, mengingat bahwa:

Ada tendensi bahwa Angkatan Bersenjata (Movimentos das Forças Armadas) akan berusaha menguasai Portugal guna

Page 57: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

37

menjadikannya negara sosialis komunis ala Kuba atau Polandia. Dan apa yang terjadi di Portugal niscaya mempengaruhi Timor Oriental (Tomodok, 1994: 172-173). Para politisi tidak menghiraukan desakan moral dari pihak Gereja

(baik Uskup Ribeiro dan Uskup Martinho). Namun mereka lebih

mengecerkan dagangan ideologinya dengan promosi ‘pembebasan’

melalui segala cara. Ketiga partai politik (UDT, APODETI, FRETELIN)

saling menggertak dan menerkam penuh nafsu. Secara politis praktis,

Gereja gagal mempengaruhi situasi politik Timor Leste (Gusmão, 1997:

81).

Walaupun demikian, sesudah ABRI memasuki wilayah Timor

Leste, pihak Gereja masih memiliki harapan untuk mencapai solusi yang

memadai di bidang kemanusiaan. Namun agaknya impian dan harapan

Uskup Martinho mulai memudar ketika beliau masih menyaksikan

umatnya tetap terpenjara dalam kehidupan dan membisikkan nada-nada

keluhan atas ketidakramahan nasibnya dalam malam-malam panjang yang

menakutkan. Dom Martinho sebagaimana dikutip oleh Gusmão (1997: 82)

mengisahkan bahwa:

Ketika saya berkeliling dari kota ke kota di daerah-daerah pedalaman, saya menemui hanya para janda dan anak-anak yatim. Kampung mereka diliputi ketakutan yang mencekam. Dari pintu ke pintu mereka keluar untuk menyambut saya dengan tangisan dan cucuran air mata...kecemasan sejarah di Timor saat ini ratusan manusia menjadi korban demi pembangunan. Beberapa langkah dialogis yang diambil oleh sang Uskup tidak

mendapat sambutan yang menggembirakan. Sang Uskup merasa terpojok

dan terpinggirkan. Dan akhirnya ia mengambil langkah ‘perlawanan’. Dan

Page 58: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

38

ini tentu tidak menyenangkan bagi pihak pemerintah, khususnya ABRI.

Para Uskup Indonesia (MAWI) berusaha menjembatani Uskup Martinho

dengan pemerintah/ABRI. Dengan demikian Uskup Martinho diundang

dalam sidang tahunan dan kemudian bertemu dengan presiden Soeharto

(19 Sepember 1981). Bulan Mei 1983, Dom Martinho secara mendadak

dipanggil kembali ke Vatikan. Sejak itu, beliau tidak pernah kembali lagi

ke Timor Leste sampai terdengar kabar dari Portugal bahwa sang Uskup

telah menghembuskan nafasnya yang terakhir (11 Februari 1983). Boleh

dikatakan bahwa Dom Martinho (imam pribumi pertama) merupakan

legenda yang tetap hidup di hati banyak umat Katolik. Maka kabar duka

itu ditanggapi dengan tangisan pilu kaum miskin di tanah kelahirannya

(Gusmão, 1997: 82).

g. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1983 – 1996

Paus Yohanes Paulus II mengangkat Pe. Carlos Filipe Ximenes

Belo, SDB (15 April 1988) untuk memangku jabatan sebagai Uskup Dili.

Uskup Belo menerima tahbisan dari Dubes Vatikan untuk Indonesia,

Mgr. Françesco Canalini dengan gelar Tituler Lorium. Namun

sebelumnya, sang Uskup telah menjalankan tugasnya sebagai

Administrator Apostolik sejak ia menggantikan Dom Martinho (12 Mei

1983).

Jika dilihat dari karier, uskup Belo yang muda belia ini tergolong

spektakuler. Hanya dalam jangka waktu 2 tahun 9 bulan imamatnya

Page 59: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

39

(Carlos Filipe ditahbiskan menjadi imam di Portugal oleh Dom José

Policarpo, Uskup Pembantu Patriark Lisabon, tanggal 26 Juli 1980), ia

sudah diorbitkan ke tangga teratas hirarki Gereja. Dalam menjalankan

tugasnya sebagai Uskup pada waktu itu, ia menghadapi banyak tantangan.

Pertama, Dom Carlos “kalah” dalam pemahaman konteks pastoral

maupun pengalaman. Bahkan ketika itu, Belo kalah pamor dengan Mgr.

Martinho dalam hal keberaniannya. Banyak orang yang meragukan

keberanian anak muda yang terkesan innocent dan saleh ini. Kedua,

sementara itu, ia dihadapkan pada kompleksitas permasalahan Timor

Leste yang tidak ada juntrungannya. Situasi Timor Leste memang

kelihatan semrawut dan tanpa visi yang jelas. Ketiga, bagaimana ia

mampu menyatukan kembali mereka yang tercerai-berai dan tercabik

dalam arena politik, ideologi, ekonomi, sosial, dan budaya? Keempat, ia

juga dihadapkan pada tuntutan agar menggabungkan diosis Dili dengan

KWI (MAWI). Sebab dalam anggapan kebanyakan orang, penggabungan

ini bisa mengintegrasikan Gereja ke dalam wilayah Indonesia. Sebab

selama ini Gereja Timor Leste sebagai Gereja oposisi lokal yang menjadi

kekuatan dalam politik Indonesia di Timor Leste.

Dengan melihat berbagai tantangan ini, Dom Carlos sungguh-

sungguh terpenjara dalam penderitaan batin yang mendalam. Hal ini

terlihat dalam pernyataannya ketika ia ditetapkan sebagai Uskup, ia

mengatakan: “saya takut menjadi Uskup” (Hidup, edisi 24-31 Juli 1988:

10).

Page 60: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

40

Tantangan demi tantangan, penolakan, kesusahan dan keresahan

hati, doa dan karya telah membawa anak muda ini kepada kematangan.

Ketika menghadapi tragedi Craras (Viqueque) sang Uskup mengalami

suatu iluminatio; suatu perubahan sikap moral untuk tampil secara berani

dan tabah dalam membela kaum miskin yang tak bersuara. Craras

dikenangnya sebagai aldeias das mulheres (kampung para janda) telah

mengubah Uskup Belo yang pada awalnya dianggap sekedar seorang

pembina rohani yang saleh dan pemalu itu menjadi sosok yang berwajah

lain, suatu perubahan jatidiri yang memukau banyak orang (Gusmão,

1997: 83).

Pada tahun 1989, dunia terhentak dengan Mgr. Belo mengirimkan

suratnya kepada Sekjen PBB, Javier Peres de Cuelar untuk meminta

referendum bocor. Dengan keberanian sang Uskup ini, reaksipun datang

seperti badai menerpa. Para pendukung kemerdekaan Timor Leste tentu

bersorak kemana-mana memuji keberanian Uskup muda ini. Namun

sebaliknya pendukung integrasi kalang kabut mengkritik Mgr. Belo. Ia

dicap tidak nasionalis, berkepala dua, tidak loyal, bahkan dianggap bloon.

Namun Uskup Belo menanggapinya dengan menjawab: “waktu itu saya

merasa bahwa keadaan di sini (Timor Leste) makin memburuk. Suatu saat

kita harus mengambil sikap keras bila cara lunak tidak dihiraukan.”

(Gusmão, 1997: 84).

Tanggal 12 November 1991, terjadi guncangan gempa tragedi

Santa Cruz. Dan Uskup Belo menjadi titik pusat perhatian. Sang Uskup

Page 61: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

41

melihat hal itu sebagai kekejaman (barbaridades) yang tidak

berperikemanusiaan. Dalam situasi ini, posisi Gereja dipojokkan. Tidak

hanya kerusuhan itu berawal dari Gereja, melainkan juga karena sang

Uskup sendiri dituding sebagai tokoh penting (dalang) di balik gerakan

ini. Hal ini membuat hati sang Uskup remuk redam. Peristiwa yang mirip

terjadi di Garina (Liquiça) yang juga menjadi sorotan internasional. Kedua

peristiwa ini ‘menyeret’ Uskup Belo bersama para imamnya untuk secara

aktif dan kritis membela umat mereka di bumi Timor Loro Sa’e.

September tahun 1995, ketika terjadi kerusuhan agama di Maliana,

Dili, dan Viqueque, sekali lagi Uskup Belo menghadapi problem yang

kian memanas. Di sini justru Uskup mendapat protes yang meluas dari

kalangan Islam, termasuk demonstrasi besar-besaran anti Belo menyusul

pernyataan untuk menjadikan Timor Leste sebagai daerah khusus Katolik.

Seorang pemuka Islam secara terang-terangan mengatakan bahwa Uskup

Belo merupakan duri dalam daging yang harus disingkirkan. Apalagi

waktu itu pun muncul issue dan berita bahwa Uskup Belo dinominasikan

sebagai calon pemenang Hadiah Nobel Perdamaian. Berita ini segera

ditanggapi bahwa hadiah Nobel merupakan bagian dari “Konspirasi anti

Islam dan R.I.”!

Mengingat itu, maka dalam pertemuan dengan Uskup-uskup Asia

di Manila 15 Januari 1995, Paus Yohanes Paulus II memberi pesan penuh

solidaritas kepada Uskup Belo, dengan mengatakan: “....Anda masih

muda, karena itu teruslah berjuang demi keadilan dan perdamaian.

Page 62: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

42

Walaupun jalan untuk itu sangat panjang dan melelahkan serta penuh

derita....” (Hidup, edisi 5 Maret 1995: 13). Solidaritas seperti itu

merupakan refleksi dari pengalaman panjang menghadapi gejolak dunia,

khususnya perhatian Paus terhadap masalah Timor Leste. Setelah

mendapat laporan dari Dom Martinho dan Uskup Belo sendiri, Paus

mengaku meluangkan waktu untuk mendoakan Timor Leste. Dalam

kunjungannya ke Taçi Tolu, Dili (12 Oktober 1989), pada saat Misa

Agung, dalam kotbahnya beliau antara lain mengatakan:

Sudah bertahun-tahun lamanya hingga sekarang kalian mengalami kehancuran serta kematian akibat suatu konflik; kalian telah mengetahui apa artinya menjadi korban kebencian dan pertempuran. Banyak orang yang tidak bersalah telah meninggal. Sementara yang lain menjadi mangsa dari tindakan pembalasan dendam. Sudah terlampau lama kalian menderita karena kurangnya stabilitas yang membuat masa depan kalian tidak pasti. (Spektrum, edisi 1990: 66). Dari kotbah Paus tersebut dapat dikatakan bahwa pernyataan Paus

sungguh merupakan suatu perhatian yang mendalam akan masalah yang

sedang terjadi di Timor Leste.

Tetapi lebih dari itu, keterlibatan mendalam Uskup Belo dengan

pengalaman sesamanya yang miskin dan tertindas telah membawanya

pada suatu pertobatan yang sejati dalam diri Uskup muda ini. Pertobatan

bukan dalam arti peralihan dari perbuatan tercela kepada kebaikan,

melainkan suatu iluminatio, dengan pertaruhan jiwa dan raga, hati dan

perasaan, cinta dan pengorbanannya. Peristiwa demi peristiwa, tantangan

demi tantangan, kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan telah

Page 63: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

43

mematangkan dalam dirinya suatu ‘spiritualitas kependekaran’ (Gusmão,

1997: 85).

Melihat kiprahnya itu, maka pada tanggal 10 Desember 1995 ia

memperoleh John Humprey Award di Montreal, Canada. Penghargaan ini

setiap tahun diberikan oleh komisi PBB untuk perjuangan HAM dan

Demokrasi. Sekjen PBB, Buotros Buotros Ghali mengatakan bahwa

Uskup Belo telah tampil sebagai ‘advocat’ perdamaian dan pejuang hak

azasi manusia di Timor Leste.

Dari Itali, Uskup Belo menerima Oscar Romero Award atas sikap

kenabiannya yang berusaha mempertanggungjawabkan pilihan

religiositasnya dalam rangka membela kaum miskin dan pinggiran.

Penghargaan ini sekaligus merupakan penegasan bahwa sikap dan

tindakan Uskup Belo terdukung oleh suatu spiritualitas kenabian.

Sikap kenabian inilah yang akhirnya menghantar sang Uskup

menerima penghargaan bergengsi Internasional: Hadiah Nobel

Perdamaian. Uskup Belo adalah tokoh perdamaian dunia tahun 1996.

Dengan Nobel ini hendak dikatakan bahwa Uskup Belo dan Gereja

Katolik merupakan simbol dari suara dari orang-orang yang terlupakan.

Gereja mempertaruhkan keyakinan dan panggilannya untuk melibatkan

diri dalam suka-duka umat Katolik. Pihak Vatikan menganggap Uskup

Belo merupakan; “gembala yang sangat dekat dengan domba-dombanya’.

Hal ini memang terlihat dalam kesemarakan dan antusias umatnya ketika

menyambut sang Uskup sekembalinya dari Oslo (24 Desember 1996).

Page 64: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

44

Uskup Belo diyakini sebagai penyambung lidah bagi umatnya “...yang

menjerit ke surga demi keadilan” (Kel 3: 15).

Sejak menerima Nobel, Uskup Belo menjadi tokoh dunia melalui

suatu penobatan agung di balai kota Oslo (termasuk juga diterima sebagai

tamu agung di Aachen dan Helmut Kohl di Bonn). Meskipun di Indonesia

Uskup Belo merasa diri sebagai “anak tiri dari Republik ini” (Gusmão,

1997: 86).

h. Menanti Fajar Merekah

1). Masa Pertumbuhan Melonjak (1975-1985-1995)

Lonjakkan sampai tahun 1995 (baca statistik) dapat dikatakan

membawa masa depan yang menggembirakan. Dari jumlah penduduk

sebanyak 860.488 jiwa, 85,07 % beragama Katolik. Sementara calon

Baptis (katekumen) mencapai 25.993 orang (3,02 %). Perkembangan

pertama dalam segi kuantitas memang memberikan janji pada masa

depan yang penuh kecerahan. Perkembangan kedua menyangkut

dengan fenomen pluri-religius (Gusmão, 1997: 86).

Untuk memudahkan pemantauan reksa pastoralnya maka

dibentuk empat zona. Pertama, zona timur yang meliputi Manatuto,

Soibada, Baucau, Laga, Viqueque, Ossu, Uato-lari dan Lospalos.

Vikariat ini dipimpin oleh Pe. Mariano Soares. Kedua, zona tengah

yang meliputi Ermera, Letefoho, Aileu, Ainaro, Maubisse, Same,

Alas, dan Turiscai dengan pimpinannya Pe. Domingos Alves da Costa.

Page 65: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

45

Ketiga, zona barat dengan wilayahnya Maliana, Bobonaro, Balibo,

Oecussi, Suai, Fohorem, yang dipimpin oleh Pe. Françisco Tavares.

Zona keempat yang berada di Dili menjangkau Becora, Balide,

Motael, Comoro, Vila Verde, Dare, dan Liquiça. Wilayah ini

dikoordinir oleh Pe. José Alvaro N.S.M. Monteiro.

Para pastor yang melayani umat sebanyak 89 orang yang

terdiri dari 36 dari Projo; 9 Yesuit; 19 Salesian; 14 SVD; 4 Fransiskan;

6 Claretian, dan 1 Carmelit. Juga 32 biarawan. Sedangkan biarawati

yang berkarya di Timor Leste berasal dari Salesian (FMM: 21),

SCMM (8); Canossian (FdCC: 52); CIJ (30); SSpS (15); KYM dari

Pematang Siantar (5); Ursulin (OSU:9); Hermas Carmelitas (Hcarm:

34); PRR (28); Carolus Borromeus (CB: 6); FCJM dari Sumatera (9);

Maryknoll Sisters (4); Dominicanes del Rosario (OP: 4); Fransiskanes

Pringsewu/Lampung (Fr Pr: 12); OSF (3), Ordinis Carmeliarum

Discalcaetorum (OCD: 11), dan Instituto Secular Maun Alin iha

Cristo (ISMAIK: 17). Selain dari calon pastor/biarawan dari Timor

Leste, maka Keuskupan Dili memiliki lebih dari 50 calon Projo

(Malang, Kupang, dan Flores) serta hampir 100 orang seminaris di

Balide, Dili.

Karya pastoral meliputi pengembangan katekese umat,

pendidikan, kesehatan, dan panti asuhan. Khusus bidang pendidikan 8

TK dengan murid mencapai 647 anak; SD 212 dengan 17.528 murid;

SLTP, SMU, SMK sebanyak 46 buah dengan 9.069 murid selain dari

Page 66: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

46

1 STM dan 1 SPP. Pendidikan Tinggi yang dikelola oleh Keuskupan

adalah IPI yang berafiliasi dengan Malang menampung 305

mahasiswa. Di bidang kesehatan terdapat 10 poliklinik dan 1 Rumah

Sakit Katolik di Suai (Gusmão, 1997: 88).

2). Pemekaran Diosis Baucau

Melihat perkembangan yang makin membengkak ini, maka

sejak Desember 1996, Vatikan membuka lagi sebuah diosis baru di

Baucau. Diosis ini dipimpin oleh Mgr. Basilio do Nasçimento, Pr. Ia

menerima tahbisan dari Paus Yohanes Paulus II di Basilika Santo

Petrus, tanggal 6 Januari 1997. Jelas bahwa tahun 1996 merupakan

lembaran baru yang memuat berbagai harapan dalam koridor Gereja

Katolik di Timor Leste.

Pemekaran diosis baru di Baucau ini segera saja mendapat

sorotan politis dari berbagai pihak yang berkepentingan. Sejumlah

pihak segera menghembuskan anggapan bahwa upaya ini merupakan

cara ‘mengemposi peran Uskup Belo’. Ketika sebuah majalah di Italia

mencoba menjelaskan kondisi Timor Leste dengan memakai

istilah “Integrasi ke dalam Indonesia”, sejumlah pejabat langsung

menjadikannya sebagai komoditi politik. Mgr. Pietro Sambi hanya

menekankan bahwa komentar jurnalistik sama sekali tidak memiliki

nilai yuridis. Masalah politik Timor Leste bukan urusan Vatikan

melainkan PBB dan komunitas Internasional.

Page 67: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

47

Gereja sendiri menganggap bahwa hal ini merupakan ‘tahun

rahmat Tuhan sudah datang’. Mengutip Yohanes Pembaptis, Uskup

Belo mengungkapkan kegembiraan spiritualnya yang mendalam, “Ia

harus makin besar, Aku makin kecil” (Yoh. 3: 30).

Keuskupan Baucau membawahi paroki-paroki wilayah Timur:

Manatuto, Soibada, Baucau, Laga, Venilale, Ossu, Viqueque,

Watulari, dan Lospalos. Imam-imam yang berkarya di sana berasal

dari Salesian, SVD, Ordo Carmel, dan Projo sendiri. Biarawatinya

meliputi: Canossiana, OSU, FMA, ADM, FCJM, SCMM, SSpS, CIJ,

KYM, dan Frater Projo. Kekuatan tenaga pastoral ini didukung oleh

banyak katekis, zeladores, dan beberapa kelompok kategorial

(Gusmão, 1997: 90). Dari Baucau Gereja menantikan merekahnya

fajar pengharapan (Loro Sae).

Penduduk Menurut Agama per Kabupaten

Diperinci per Kabupaten Tahun 1980

No Kabupaten Islam Katolik Kristen Hindu Budha Lain-lain Jumlah

01 Covalima 83 23.112 15 0 0 2.435 25.645

02 Bobonaro 170 56.664 170 5 1 4.970 61.980

03 Manufahi 289 23.919 504 2 1 2.073 26.788

04 Ainaro 151 41.739 35 2 0 2.283 44.210

05 Viqueque 103 34.174 1.274 14 0 19.010 54.625

06 Lautem 447 21.740 2.458 78 0 13.376 38.099

07 Baucau 145 57.678 228 1 1 16.774 74.827

08 Manatuto 114 17.310 153 6 0 6.859 24.442

09 Aileu 106 12.215 328 1 0 2.512 15.162

Page 68: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

48

10 Dili 1.820 51.472 4.495 205 25 8.572 67.039

11 Ermera 65 40.757 328 0 0 14.931 56.081

12 Liquiça 162 28.745 7 2 0 426 29.342

13 Ambeno 22 38.919 42 2 0 125 37.110

JUMLAH 3.677 446.444 10.487 318 28 94.396 555.350

% 0.66 80.39 1.89 0.06 0.01 16.99 100.00

Sumber: Kantor Statistik Propinsi Timor-Timur (Hasil Sensus Penduduk 1980)

Tempat/Rumah Ibadah Sejak Tahun 1982 – 1994

Katolik Protestan Islam Hindu Budha No Tahun

Gereja Kapela Gereja R.Ibadah Masjid Mushola Pura vihara

01 1982 25 24 12 60 6 18 1 1

02 1983 - - - - - - - -

03 1984 28 30 18 91 6 24 2 5

04 1985 38 119 19 72 6 23 3 7

05 1986 41 132 19 70 6 23 3 8

06 1987 41 132 19 70 6 23 3 8

07 1988 44 178 19 80 6 24 3 8

08 1989 46 197 30 82 7 37 9 6

09 1990 46 300 41 68 9 33 9 7

10 1991 50 331 43 65 9 32 10 2

11 1992 52 374 32 119 12 40 12 2

12 1993 54 374 32 119 11 40 12 2

13 1994 59 442 37 92 11 34 14 2

Sumber: Timor-Timur dalam Angka Tahun 1994

Penduduk Menurut Agama di Timor-Timur

Diperinci per Kabupaten Tahun 1990

No Kabupaten Islam Katolik Kristen Hindu Budha Lain-lain Jumlah

01 Covalima 857 43.420 251 687 0 95 45.310

02 Ainaro 547 41.522 286 107 4 909 43.375

03 Manufahi 710 33.306 191 63 5 0 34.275

04 Viqueque 572 55.561 512 76 6 552 57.279

05 Lautem 1.063 46.244 945 53 25 60 48.390

06 Baucau 3.517 81.111 1.090 188 116 653 86.675

Page 69: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

49

07 Manatuto 517 30.693 221 99 5 0 31.805

08 Dili 16.334 92.030 11.607 1.928 604 802 123.305

09 Aileu 258 21.548 2.236 116 2 497 24.657

10 Liquiça 554 38.465 1.225 41 14 3.946 44.245

11 Ermera 959 70.397 602 166 42 5.404 77.570

12 Bobonaro 676 74.213 749 359 10 5.685 81.692

13 Ambeno 522 47.622 745 78 8 4 48.979

JUMLAH 27.086 676.402 20.660 3.961 341 18.607 747.557

% 3,62 90,48 2,76 0,53 0,12 2,49 100.00

Sumber: Kantor Statistik Propinsi Timor-Timur (Hasil Sensus Penduduk 1990)

Penduduk Menurut Agama per Kabupaten Tahun 1994

No. Kabupaten Katolik Kristen

Protestan

Islam Hindu Budha Lain-lain Jumlah

01 Covalima 48.265 279 859 765 - 106 50.366

02 Ainaro 43.513 300 573 112 4 953 45.455

03 Manufahi 36.024 207 763 68 5 - 37.672

04 Viqueque 56.120 517 578 77 8 558 57.888

05 Lautem 49.883 1.019 1.147 57 27 65 52.198

06 Baucau 84.772 1.139 3.678 198 121 682 90.587

07 Manatuto 33.679 240 562 108 5 - 34.595

08 Dili 12.750 14.220 20.012 2.382 740 983 151.067

09 Aileu 20.302 2.626 303 138 2 584 28.959

10 Liquiça 44.006 1.402 634 317 18 4.515 50.621

11 Ermera 78.202 889 1.065 184 47 8.003 86.170

12 Bobonaro 81.077 814 739 382 11 6.211 89.248

13 Ambeno 52.048 24.250 570 85 9 4 53.529

JUMLAH 745.652 24.250 31.579 4.589 994 20.663 827.727

% 90,08 2,93 3,82 0,55 0,12 2,50 100,00

Sumber: Kantor Statistik Propinsi Timor-Timur (Hasil Sensus Penduduk 1990)

Page 70: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

50

2. Gambaran Gereja Timor Leste di Era Pascareferendum

Luas wilayah Timor Leste 15.007 km² terdiri dari Pulau Atauro,

Jaco, Oecusse-Ambeno, dan sebagian Pulau Timor dengan jumlah penduduk

800.000 jiwa di antaranya beragama Katolik Roma 90 %, Islam 4 %,

Protestan 3 %, Hindu 0,5 %, dan lain-lain (Buddha, agama asli) 2,5 %. Di

Timor Leste tercatat 17 ordo/kongregasi berkarya. Terdiri dari lima

ordo/kongregasi imam dan biarawan, dan 12 ordo/kongregasi biarawati.

Seluruhnya sekitar 150 orang. Sebanyak dua pertiganya adalah biarawati

(Neonbasu, 2006: 9).

Karya misi di Timor Leste mengalami kemajuan sangat pesat

sesudah 1950. Mgr. Jaime GarÇia Goulart melayani pada tahun 1940-1958,

kemudian Mgr José Joaquim Ribeiro pada tahun 1958-1976. Penggantinya,

Mgr Martinho da Costa Lopez (1977-1983), Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo

(1983-2000), dan kini Mgr Alberto Ricardo da Silva sebagai Uskup Dili dan

Mgr Basilio do NasÇimento sebagai Uskup Baucau.

Dalam perjalanannya, Gereja Katolik selalu berupaya untuk tidak

terpancing dan ikut terlibat dalam urusan politik. Gereja selalu merefleksi diri

sebagai pelayan masyarakat dan umat yang tergabung di dalamnya. Gereja

Katolik selalu berpihak pada kepentingan manusia yang paling konkret. Pada

masa-masa pendudukan Indonesia, Gereja Katolik memegang peranan kunci,

dengan perkasa ia tampil mewartakan kebenaran dan keselamatan kepada

siapa pun.

Page 71: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

51

Gereja Katolik telah menjadi saksi kebenaran, terlebih dalam masa-

masa sulit. Misalnya, ketika relasi dengan pihak pemerintah yang mulai

longgar pada tahun 1970-an dan saat menghadapi masa pilihan untuk berdiri

sendiri terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gereja Katolik tiada hentinya tampil ke depan umum menjadi saksi

kebenaran. Ketika terjadi kerusuhan di Dili 1991 yang menelan banyak

korban akibat tindakan brutal militer Indonesia, Gereja Katolik hadir

memberikan bantuan yang terkadang diartikan secara salah oleh militer

Indonesia dan pemerintahan sipil (Neonbasu, 2006: 11).

B. Permasalahan atau Tantangan yang Dihadapi Gereja Timor Leste di Era

Pascareferendum

Bangsa Timor Leste di era pascareferendum menghadapi perubahan di

berbagai macam bidang; sosial, politik, pembangunan, ekonomi, keagamaan,

dan lain-lain. Perubahan ini mengharuskan masyarakat setempat untuk

beradaptasi dengan cara hidup yang baru dan pola berpikir yang baru. Di

samping kenyataan bahwa perubahan ini membawa banyak kemajuan

(kecanggihan sarana telekomunikasi, perdagangan, model pakaian,

pendidikan, dll.), juga ada beberapa efek negatifnya seperti merosotnya moral

masyarakat setempat, kaum muda yang kehilangan gairah intelektualnya dan

sering memilih jalan kehancuran, misalnya depresi, free-sex dan seks yang

permisif (misalnya “asgor = aspal goreng” = “sarkem”), agresivitas (brutal),

kejahatan, dan kekerasan lainnya.

Page 72: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

52

Dalam dunia pendidikan, Gereja Timor Leste dan penguasa

pemerintah Timor Leste (PM Mari’e Alkatiri) saling mengadu pendapat

mengenai pendidikan Agama yang tidak dituangkan dalam kurikulum

pendidikan. Namun, pada akhirnya terjadi kesepakatan setelah Gereja yang

dipimpin oleh Pe. Domingos da Silva Soares, Pr melakukan aksi “demo”

menentang pemerintahan Mari’e Alkatiri, yang berlangsung dari 18 April

hingga 07 Mei 2005 (Hidup, edisi 29 Mei 2005: 30-31).

Dalam dunia politik, bangsa Timor Leste dalam perjalanan sejarahnya

tidak terlepas dari politik. Sejak penjajahan Portugis, semasa bergabung

dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga referendum,

penyelesaian masalah Timor Leste selalu bernuansa politik. Dalam kasus

pemecatan 600 personil Tentara Nasional Timor Leste (FDTL = ForÇa

Defesa da Timor Leste), solusinya juga bernuansa politik, walaupun pokok

permasalahannya adalah adanya unsur diskriminasi dan rasialisme yang

terkandung di dalamnya (Kompas, edisi 29 April 2006: 9).

Dalam segi ekonomi, situasi pascareferendum “memaksa” masyarakat

setempat untuk terus bekerja tanpa kenal lelah. Dengan kondisi seperti ini,

tentu waktu untuk berkumpul bersama keluarga, berkomunikasi sangatlah

terbatas. Karena setiap orang atau anggota keluarga sibuk untuk mencari uang,

karena mau atau tidak mau setiap keluarga harus memulihkan sistem

perekonomian keluarganya sendiri. Hal ini disebabkan saat jajak pendapat,

mayoritas penduduk Timor Leste kehilangan harta bendanya (rumah, tanah

Page 73: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

53

leluhur yang diwariskan turun-temurun), sehingga masyarakat Timor Leste

harus memulainya lagi dari bawah.

Di antara begitu banyak permasalahan yang ada di atas, penulis

membatasi permasalahan ini menjadi lima (5) yakni; masalah kaum muda,

masalah pendidikan, masalah politik, bahaya sekularisme dan materialisme,

dan masalah penghayatan hidup beriman umat. Kelima masalah ini menurut

penulis bersifat krusial. Berikut akan diulas mengenai kelima masalah

tersebut.

1. Masalah Kaum Muda

Dalam Conferençia Naçional dos Bispos do Brazil (CNBB)

sebagaimana dikutip oleh Gusmão, antara lain dikatakan: “A juventude é a

idade do broto, do desabrochar, da ruptura e da independençia. a

juventude é sonhador, impaçiente e imediatista. identifica-se, geralmente,

com o novo, com a mudança-força de transformação na sociedade.”

(Gusmão, 1997: 202)

Pernyataan ini dapat diartikan atau diterjemahkan demikian, bahwa

kaum muda (juventude) merupakan masa (idade) untuk bersemi,

memekar, melepaskan diri dan merayakan kemerdekaan citra dirinya.

Mereka merenda mimpi dan menenun harapan sehingga tercipta busana

baru. Kaum muda merupakan simbol atau lambang dari perubahan

(transformasi) sekaligus reformasi dari masyarakatnya.

Page 74: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

54

Dari segi atau dimensi religius, kaum muda selalu memberikan

pengharapan untuk menuju milenium ketiga. Hal ini ditekankan oleh Paus

Yohanes II dengan mengatakan: “Queridos Jovens, que sois os discipulos

de Jesus do Terçeiro Milenio: que os caminhos da vossa juventude se

cruzem com Cristo, o verdadeiro heroi, humilde e sabio, o profeta da

verdade do amor; o companheiro e o amigo dos jovens.” (Gusmão, 2003:

202)

Artinya, pada kaum muda,..., kita bisa mengenal setiap insan, yang

dengan sadar atau tidak, mendekati Kristus penyelamat manusia dan

mengajukan pertanyaan moral. Bagi Sri Paus, kaum muda memang selalu

memberikan pengharapan untuk menyeberangi milenium ketiga. Sebab

kaum muda merupakan foto model klasik untuk manusia yang mencari

kebenaran. Kaum muda merupakan makhluk yang selalu “bertanya dan

mempertanyakan” segala sesuatu. Di dalam dirinya ada suatu kerinduan

untuk menemukan jawaban tentang dirinya, lingkungan hidupnya dan di

atas segalanya itu adalah Tuhannya.

Jika dipandang dari sudut realitas dunia, kaum muda memiliki

daya tarik (concupisciençia) untuk melangkah ke masa depan. Sedangkan

dari sudut pandang religiositas, kaum muda menampilkan atau

menunjukkan daya tahan dalam kerinduannya atau harapannya untuk

mencari dan menemukan kebenaran dan kemerdekaan sejatinya.

Pada tingkat psikologis kaum muda Timor Leste terkena

kecenderungan hilangnya “kecerdasan emosional” (emotional

Page 75: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

55

intelligence). Kecerdasan emosional ini mencakup kesadaran diri dan

pengendalian diri, semangat, ketekunan, motivasi, empati dan daya pikat

sosial seseorang. Kecerdasan emosional tidak sama dengan kepintaran

(IQ) seseorang. Memang ada hubungan tapi tidak sama (Gusmão, 2003:

210).

Menurut Mangunwijaya sebagaimana dikutip oleh Gusmão (2003:

211) dikatakan bahwa:

Hancurnya kecerdasan emosional terkait dengan sistem pendidikan dan pengajaran Indonesia yang rusak. Kaum muda Timor Leste (dan Indonesia) pada umumnya merupakan korban dari sistem pendidikan dan pengajaran Indonesia yang buruk. Dalam hal ini kaum muda Timor Leste lebih menderita, karena disertai oleh situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan psikologis yang hancur. Jadi, pendidikan Indonesia telah merusakkan jiwa kaum muda Timor Leste. Hal ini dapat dikatakan bahwa, pendidikan selama ini tidak

berhasil dalam pencapaian “alfabetisasi” (alfabetização), yang berarti

pencapaian keseimbangan antara budi (rasionalitas) dan hati

(emosionalitas). Padahal, pendidikan seharusnya membawa manusia

sampai pada kemanusiaan atau kemerdekaannya yang sejati.

Sumber masalah dari gagalnya alfabetisasi adalah bahwa sistem

pendidikan selama ini cenderung hanya mengejar jumlah siswa dan

murid-murid yang membludak (kuantitas) tetapi mengabaikan atau

melupakan kualitas (mutu), dan akibatnya, muncullah klasifikasi atau

kategori kaum muda dalam tiga (3) kelompok. Di antaranya; pertama,

mayoritas pelajar (mahasiswa) Timor Leste yang mendapat kesempatan

mengenyam pendidikan di Jawa-Bali tetapi sedikit sekali menampakkan

Page 76: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

56

kreatifitas (ethos) ilmiah. Kedua, kaum muda yang bersekolah/kuliah

sambil bekerja untuk menunjang hidupnya dan pendidikannya. Ketiga,

kaum muda yang tidak sanggup kuliah lantaran tidak punya motivasi dan

tidak memiliki tunjangan dana (Gusmão, 2003: 211)

Dewasa ini, kita bisa mengatakan bahwa kaum muda Timor Leste

kehilangan orientasi, karena pendidikan yang ditawarkan “negara baru”

ini belum menampakkan wajahnya. Masa depan mereka begitu suram.

Maka dibutuhkan suatu langkah strategis dalam merancang pendidikan

yang lebih humanis.

Kehidupan keagamaan yang ditanamkan oleh para orang tua sejak

dini pada kaum muda merupakan langkah awal yang sangat menentukan

dalam perjalanan kehidupan kaum muda selanjutnya. Namun hal ini akan

menjadi masalah, jika nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan merupakan

kewajiban belaka, dan hanya merupakan rutinitas bukan merupakan

kebutuhan bagi perkembangan pribadi kaum muda secara integral, maka

nilai-nilai ini akan hilang ketika kaum muda berada dalam suatu lingkup

yang jauh dari orang tua. Hal ini terlihat jelas pada kaum muda yang

berada di perantauan. Ketika mengadakan kegiatan-kegiatan yang

bernuansa religius seperti retret, rekoleksi, Misa Natalan dan Paskahan

bersama, dll., jumlah kaum muda yang berpartisipasi sangatlah sedikit.

Dari 320-an jumlah kaum muda yang berada di wilayah Yogyakarta, yang

mengambil bagian dalam kegiatan religius seperti yang telah disebutkan di

atas, hanyalah 15-25 orang. Hal ini menandakan bahwa bagi kaum muda

Page 77: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

57

kegiatan religius ini hanyalah bersifat penghalang bagi perkembangan

kehidupan mereka, karena terlalu banyak menyita waktu untuk melakukan

kegiatan lain.

2. Masalah Pendidikan

Gereja memberikan perhatian sangat besar terhadap pendidikan.

Alasannya antara lain, pendidikan mempunyai makna penting di dalam

kehidupan manusia dengan segala dimensinya, baik keagamaan,

kebudayaan, kemasyarakatan, politik, dan ekonomi. Melalui dan berkat

pendidikan, manusia tidak hanya mampu menerima dan meneruskan ilmu

pengetahuan dan teknologi dari generasi sebelumnya, tetapi manusia juga

mampu merekayasa dan menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi

baru yang dibutuhkan bagi pengembangan dirinya di masa depan.

Begitu juga, pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari tugas

Gereja untuk mewartakan penyelamatan Allah Bapa kepada semua

manusia dan memulihkannya di dalam Kristus. Tugas Gereja itu diterima

dari Pendidik Ilahinya, Kristus, menjelang kepergian-Nya dari dunia,

dengan pesan, “Pergilah, dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan

baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan ajarlah

mereka melakukan segala sesuatu yang telah Ku-perintahkan kepadamu.”

(Mat. 28: 19-20).

Makna pendidikan yang mahapenting di dalam kehidupan

manusia dan pengaruhnya yang makin besar terhadap kemajuan sosial

Page 78: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

58

dewasa ini dipertimbangkan dengan cermat oleh Konsili Suci (GE art. 8).

Memang benar pendidikan kaum muda, malah sejenis pendidikan lanjutan

juga bagi orang dewasa, menjadi lebih mudah dan mendesak dalam

keadaan dewasa ini. Maklum, manusia menjadi lebih sadar akan

manfaatnya sendiri dan akan tugasnya. Karena itu, mereka ingin makin

berperan serta secara aktif dalam kehidupan sosial, terutama dalam

kehidupan ekonomi dan politik.

Kesadaran sosial politik merupakan buah pendidikan yang dewasa

ini sangat banyak digeluti oleh kaum muda Timor Leste. Jumlah sarjana di

masa Indonesia ini melonjak setiap tahun. Sementara pendidikan di

bawahnya pun menghasilkan banyak tamatan. Kuantitas kaum terdidik

sesudah masa integrasi dapat dikatakan fantastis. Pendidikan dewasa ini

telah menciptakan suatu fajar budi, suatu era pencerahan bagi mentalitas

orang Timor Leste.

Namun dalam segi kualitas boleh dikatakan bahwa kaum muda

Timor Leste tertinggal jauh dalam persaingan. Hal ini menyebabkan

berkembangnya sikap apatis dan frustrasi, kehilangan orientasi pendidikan

dan tak ada cita-cita mendasar serta pandangan masa depan yang

mencemaskan. Pendidikan dilihat sebagai proses yang merepotkan saja.

Karena itu sikap mencari enaknya saja muncul dalam bentuk budaya

contek, kemerosotan disiplin, kekeringan etos ilmiah, termasuk

kemandulan wibawa guru (Gusmão, 2003: 116). Dalam kaca mata

generasi pendahulu selalu muncul sindiran dan “kebanggaan” (moral)

Page 79: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

59

bahwa mereka lebih baik dari generasi sekarang ini. Generasi terdidik

dewasa ini dianggap sebagai generasi yang kempot dan “la vale” (tidak

laku).

Di era pascareferendum, begitu banyak lembaga pendidikan

didirikan, dengan maksud untuk menampung para peserta didik yang

putus sekolah dan kuliah akibat jajak pendapat pada tahun 1999. Di satu

sisi, ini merupakan suatu perkembangan yang baik, di sisi lain perlu

dipertimbangkan pula tenaga pengajar atau pendidik yang dibutuhkan oleh

lembaga pendidikan. Alasannya, pertama, di dalam dunia (masyarakat

Timor Leste khususnya) yang mengalami proses sekularisasi dibutuhkan

contoh manusia yang utuh, lahir dan batin. Untuk memenuhi kebutuhan

itu diperlukan contoh perilaku pendidik khususnya awam Katolik. Kedua,

belum semua awam yang terjun di dalam karya pendidikan memandang

karya pendidikan sebagai karya kerasulan.

Masyarakat Timor Leste hidup dalam suasana multikultural. Hal

ini nampak jelas dalam bahasa daerah. Untuk itu, sistem pendidikan

sekarang harus mempertimbangkan juga pendidikan multikultural

(Dawam, 2003: 64-65). Pendidikan multikultural memandang bahwa

manusia memiliki beberapa dimensi yang harus diakomodir dan

dikembangkan secara keseluruhan. Orientasi dari pendidikan multikultural

ini adalah untuk “memanusiakan kemanusiaan manusia”. Kemanusiaan

manusia pada dasarnya adalah pengakuan pluralitas, heterogenitas, dan

keragaman manusia itu sendiri. Keragaman ini bisa berupa ideologi,

Page 80: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

60

agama, pola pikir, kebutuhan, keinginan, tingkat ekonomi, strata sosial,

suku, etnis, ras, budaya, nilai-nilai tradisi-tradisi, dan sebagainya.

3. Masalah Politik

Gereja merupakan sebuah realitas sosial; dia adalah modus

existendi, suatu gaya ungkapan iman Katolik dalam masyarakat.

Sedangkan iman lebih merupakan jantung dan nafas Gereja; dia adalah

modus essendi, hakikat yang harus dijaga kemurniannya. Orang beriman

Katolik harus memilih untuk berada dan hidup dalam Gereja. Tetapi iman

Katolik dan hidup menggereja senantiasa mengalami perkembangan

sesuai dengan tuntutan zaman (Gusmão, 2003: 260).

Sebagai realitas sosial, Gereja berada dalam perubahan masyarakat

yang menganutnya. Memang Gereja harus menyampaikan nilai-nilai Injil

seperti iman, harapan, dan cinta kasih, tetapi nilai-nilai itu didengar dan

dihayati oleh suatu masyarakat dengan aneka ragam permasalahannya.

Maka, menjadi persoalan, apakah Gereja harus asal bicara tentang iman,

harapan, dan cinta kasih, sementara masyarakat sedang bingung mencari

Tuhan, putus asa, dan hidup dalam dendam membara? Atau kita dapat

bertanya lebih tegas lagi, bagaimana Gereja menjawab permasalahan

manusia, kalau Gereja hanya berdiam diri dan bersikap netral?

Sejarah Gereja Timor Leste menunjukkan bahwa Gereja tidak

pernah lelah untuk terus mengumandangkan nilai-nilai Injil. Pada zaman

kolonial, Gereja mengalami konflik demi konflik dengan pemerintah.

Page 81: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

61

Alasan paling utama adalah bahwa pemerintah Portugal menjalankan

kekuasaannya dengan penuh kekerasan. Kaum pribumi mengalami banyak

penderitaan dan kehancuran.

Gereja menanggapi situasi itu dengan himbauan, kritik, saran,

rekomendasi, sejumlah aksi konkret. Bahkan sejumlah pemberontakan

kaum pribumi melawan penjajah mendapat dukungan dari pastor-pastor.

Contohnya, dalam sebuah aksi di Aileu tahun 1722 Frei Manuel

Rodrigues dan Frei Manuel Vieira dihukum mati karena dianggap

memihak sejumlah perlawanan terhadap pemerintah Portugal. Begitu pula

Pe. Manuel de Pilar (Dili) dan Pe. Bartolomeu Perreira (Batugedé) turut

memberi peluang kepada umatnya bagi pemberontakan di wilayah itu

(1731) dan Manatuto (1787). Akibatnya Vikaris Jendral, Pe. FranÇisco da

Cunha dijadikan “tumbal” dan dihukum selama satu tahun untuk

kemudian diusir dari Timor. Dari tahun 1788 hingga 1819 semua karya

misi di Timor Leste nyaris padam karena dihambat oleh pemerintah

penjajah. Namun, pada tahun 1875 tampillah sosok Pe. António Joaquim

Medeiros yang berusaha memperbaiki hubungan pemerintah dan Gereja.

Demikian halnya pada zaman pendudukan Jepang, dua orang

pastor yaitu Pe. Norberto de Oliveira Barros dan Pe. António Manuel

Pires dibunuh lalu dibakar di Ainaro. Mereka dibunuh karena diduga dan

dituduh menghasut rakyat untuk melawan Jepang. Mereka berpihak pada

rakyat kecil dan miskin yang ditindas dan dijajah di kampung-kampung

dan desa-desa.

Page 82: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

62

Selain tragedi-tragedi itu, Gereja Timor Leste demi kesadaran

panggilannya, merintis usaha kesehatan dan pendidikan pribumi bagi

masyarakat Timor Leste. Gereja mendirikan sejumlah colegio (Soibada,

Dare, Ossu, Maliana, Fatumaca, Fuiloro, dsb.). Ini bertujuan untuk

“membebaskan kaum pribumi untuk menemukan jati dirinya” (Gusmão,

2003: 234 – 236).

Ketika mulai perjuangan untuk menentukan nasib sendiri, Gereja

Katolik Timor Leste ikut berperan aktif. Ini dapat dilihat dengan

tampilnya sosok seperti Dom José Joaquim Ribeiro dan Dom Martinho

Lopes. Keduanya (termasuk beberapa pastor) banyak mengalami

penderitaan batin akibat sikap brutal dari Fretelin, tetapi juga tindakan

sewenang-wenang aparat keamanan (Tentara Nasional Indonesia)

terhadap rakyat Timor Leste. Nasib yang sama menimpa pula Dom Carlos

Filipe Ximenes Belo (sang Uskup peraih Nobel Perdamaian) sampai tahun

1996. Kemudian Dom Carlos mengangkat temannya Dom Basilio do

Nascimento menjadi uskup Baucau, agaknya Gereja harus terus bergumul

dalam duka dan nestapa.

Di era pascareferendum, sikap brutal dari Fretelin terus

dilancarkan. Gereja Katolik Timor Leste terus berpegang pada

panggilannya yaitu mewartakan keadilan, kebenaran, perdamaian, cinta

kasih melalui kritik, himbauan, kotbah, saran dan rekomendasi. Namun,

kaum penguasa Fretelin menganggap ini adalah usaha Gereja untuk

menggagalkan dan menggulingkan pemerintahan Fretelin. Bahkan

Page 83: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

63

sejumlah pastor diancam untuk dibunuh jika para pastor terus

mengumandangkan nilai-nilai Injil; keadilan, kebenaran, perdamaian, dll.

(fenomen ini berdasarkan hasil wawancara penulis dengan seorang pastor

yakni Pe. Domingos da Silva Soares, Pr yang diancam akan dibunuh oleh

penguasa Fretelin, yang sementara menikmati masa “cuti”nya dari tugas

kegembalaannya di Indonesia, pada tanggal 05 Juni 2006).

Dengan pengalaman-pengalaman ini, rasanya cukup bukti bahwa

Gereja Katolik Timor Leste bukanlah lingkungan yang mengumpulkan

dogma abstrak dan melulu mengajarkan hal-hal Ilahi. Memang ini adalah

unsur esensial dan konstitutif. Namun sejarah memberi catatan penting

bahwa pengalaman suka dan duka dari fakta ekonomik, politik, sosial dan

proses historis merupakan ajang bagi perjuangan Gereja. Jadi, pada Gereja

ada ajaran yang harus dipelajari tetapi juga pilihan yang harus diambil dan

dialami.

4. Bahaya Sekularisme, dan Materialisme

a. Kontradiksi-kontradiksi Hidup di Timor Leste

Memandang fenomen-fenomen yang sedang berkembang di

Timor Leste di era pascareferendum, orang bisa terperangah dengan

perkembangan yang sedang terjadi. Di satu sisi, orang bisa

mengagumi modernitas yang sedang berlangsung, di sisi yang lain

modernitas itu membawa dampak negatif bagi perkembangan iman

umat Timor Leste.

Page 84: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

64

Dampak negatif ini ditandai dengan degradasi kehidupan

rohani (hilangnya tradisi-tradisi dan nilai-nilai Injili: cinta kasih,

perdamaian, ketentraman, dll.) masyarakat Timor Leste yang nota

bene adalah masyarakat agamis atau religius. Tidak dipungkiri bahwa

masyarakat Timor Leste yang hidup di era pascareferendum ini, telah

diseret ke dalam suatu masyarakat yang materialistis dan sekularistis.

Mengapa materialistis dan sekularistis menjadi “budaya baru” bagi

masyarakat Timor Leste? Jawabannya jelas, karena pada saat

referendum mayoritas masyarakat Timor Leste mengalami kehancuran

di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Maka dengan keadaan

seperti ini, memaksa masyarakat Timor Leste untuk selalu berusaha

memenuhi segala kebutuhannya sendiri. Dengan keadaan demikian,

waktu untuk mengadakan kegiatan rohani (Misa, dan Ibadat Sabda)

sangatlah jarang dilaksanakan bersama keluarga.

Maka tidak mengherankan jika saat ini masyarakat Timor

Leste “saling bersaing” untuk mendapatkan apa yang diinginkannya,

meskipun dalam persaingan tersebut harus memakan korban.

Persaingan ini bukan hanya terjadi di kalangan atas (para pejabat

negara/pemerintah) namun meluas hingga ke kalangan masyarakat

kecil. Di satu pihak, orang bisa menemukan simbol-simbol kekayaan,

kemewahan, dan kemajuan, yang menjamur secara mencolok di jalan-

jalan (Mercy, BMW, Porsche, Ford, Toyota Land Crusier, Jaguar, dll.)

yang dikendarai oleh ‘orang-orang kalangan atas’ yang nota bene pada

Page 85: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

65

zaman dulu berada di ‘titik kejayaan’. Di pihak lain ditemukan dengan

mudah juga sekian banyak orang yang hidup dalam kemiskinan

absolut (yang kehilangan harta bendanya akibat referendum), dan tak

tahu besok makan atau tidak, bekerja keras untuk menyambung hidup,

tidur di tenda-tenda pengungsian, yang tak tahu sampai kapan akan

memperoleh kembali tempat tinggal mereka, untuk berkumpul

bersama anggota keluarga.

Orang bisa merasakan nuansa religius lewat tanda-tanda

formal keagamaan yang terpampang di jalan-jalan, KTP, SIM, dan

Paspor. Dan lebih hebat lagi, kemarahan akan tersulut cepat jika “jasa”

dalam memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste tidak

diperhitungkan oleh pihak lain atau ada konflik sosial ulah para

begundal politik dan gila hormat-kuasa, rasa senasib dan

sepenanggungan tanpa sikap kritis menggelegak seperti lahar yang

muncrat dari gunung berapi, sehingga hidup manusia dibinasakan

dengan tingkat kebiadaban yang tak terbayangkan oleh siapa pun.

Anehnya, kebiadaban tersebut bukan kejahatan atas hukum dan

kemanusiaan. Itulah gambaran perilaku keagamaan di Timor Leste di

era pascareferendum! Namun, wajah lain bangsa Timor Leste sungguh

tidak agamis. Kejahatan terjadi secara terang-terangan di depan mata

mulai dari pencurian, penodongan, perampokan, pembunuhan,

perkosaan, sampai yang tersamar dalam bentuk komisi, uang rokok,

uang pelicin, salam tempel, dan lain-lain, yang tumbuh dan

Page 86: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

66

berkembang subur dalam masyarakat. KKN dan kekerasan menjadi

budaya baru yang hidup berdampingan dengan agama. Mengapa ini

semua bisa terjadi? Bagaimana fenomen-fenomen yang kontradiktif

ini bisa dipahami?

Dapat dikatakan bahwa materialisme atau gaya hidup

materialistis, yang diungkapkan dalam sikap sebagai pembeli buta

(konsumeristis) dan pengguna-penikmat pasif (hedonistis) sedang

bertumbuh subur di masyarakat Timor Leste. Kita bisa bertanya:

Apakah hal tersebut hanya sebuah isu atau sebenarnya persoalan riil

yang sedang mewabah dalam masyarakat Timor Leste? Apa yang

menjadi intisari pemikiran yang berada di balik kata-kata

materialistis, konsumeristis, dan hedonistis? Apa hubungan

materialistis, konsumeristis, dan hedonistis dengan materialisme dan

sekularisme? Mengapa Gereja Timor Leste perlu mewaspadai

ancaman/bahaya materialisme dan sekularisme? Secara konkret apa

pengaruhnya terhadap perilaku dan relasi antarpribadi, umat beriman,

dan masyarakat secara keseluruhan? Dan bagaimana ancaman tersebut

harus disikapi?

Satu hal yang pasti bahwa dunia saat ini telah menjadi

sebuah kampung kecil. Bangsa Timor Leste adalah bagian dari warga

dunia, warga dunia yang juga sedang dalam krisis identitas diri

(Valentinus, 2004: 81), dan masyarakat Timor Leste berada

sedemikian strategis dalam lintas percaturan dunia. Interaksi

Page 87: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

67

antarmanusia, antarkebudayaan, antarbangsa dan antarnegara telah

sedemikian intens sehingga tingkah laku, pola hidup, cara berpikir,

cara bergaul saling tercampur dan saling mempengaruhi. Bisa

dikatakan bahwa manusia Timor Leste sekarang menghidupi budaya

campursari. Budaya campursari ini menjadi mungkin karena didukung

oleh perkembangan mahacepat ilmu pengetahuan dan teknologi,

khususnya teknologi komunikasi yang super canggih, efektif, dan

cepat. Hampir tidak ada ruang yang tidak terjangkau dan terpengaruh

oleh media komunikasi, mulai dari yang tradisional, seperti radio,

televisi, hingga yang canggih dan super modern semacam telepon,

faximil, dan internet. Dengan sendirinya, pertemuan budaya semacam

ini membawa perubahan dan krisis dalam budaya lokal-tradisional

yang relatif tidak siap dan kurang memiliki resistensi atas pengaruh

dari luar. Karena itu tidak mengherankan bila materialisme dan

sekularisme tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Timor Leste,

yang nota bene adalah negara yang agamis/religius. Kalau demikian,

bisa dipertanyakan sejauh mana identitas ke-religius-an masih layak

disandang oleh masyarakat Timor Leste?

Berhadapan dengan situasi genting demikian ini, apakah

Gereja Timor Leste tetap diam dan pasif? Secara hakiki, Gereja lahir

dan dipanggil untuk menjadi tanda dan sarana kasih yang

menghidupkan, tanda dan sarana yang menghargai dan menjunjung

tinggi martabat dan citra diri setiap makhluk. Maka, Gereja Timor

Page 88: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

68

Leste hendaknya melebarkan sayap-sayapnya dari sekedar berputar-

putar di sekitar altar dan di sekitar kepentingannya sendiri kepada

kepentingan masyarakat luas.

b. Sekilas tentang Materialisme dan Sekularisme

1) Sekularisme

Istilah sekularisme berasal dari kata sifat saeculus yang

berarti duniawi, keduniaan, dan kata benda saeculum yang berarti

zaman atau dunia. Sekularisasi merupakan gejala sosial yang

kompleks. Dengan adanya perkembangan di bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi, sekularisasi menjadi suatu proses

penemuan jati diri dunia. Sekularisasi melibatkan pergeseran

manusia kepada dunia ini, di sini, dan sekarang. Maka mentalitas

zaman sekuler tidak lagi mengagung-agungkan tradisi, tidak

mudah tertarik kepada kebenaran-kebenaran spekulatif atau

tujuan-tujuan akhir hidup. Proses yang mengubah secara mendasar

pola berpikir, pola hidup manusia zaman ini. Manusia di zaman

sekuler yang cenderung bertumpu pada dunia di sini dan sekarang,

membuat pola berpikir mereka yang praktis dan pragmatis. Maka

tidak heran bila hal-hal yang bercorak rohani atau iman dengan

segala macam tradisi dan kepercayaan akan hidup di akhir zaman

sulit diterima oleh mereka.

Page 89: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

69

Sebagai sebuah ideologi atau “agama baru”, sekularisme

dengan sendirinya memiliki prinsip dan sarana perwujudan ke-

ada-annya, struktur dan tatanan hidup dan sistem nilai tersendiri

yang bersifat baku, absolut, dan sempurna. Layaknya sebuah

agama dan, atau sebuah ideologi, sekularisme melihat agama-

agama atau ideologi-ideologi sebelumnya tidak mengungkapkan

kebenaran secara sempurna. Akibatnya, agama dan ideologi

sebelumnya haruslah dilenyapkan dan diganti dengan agama dan

ideologi yang lebih baik, lebih benar, dan lebih sempurna.

Kepercayaan akan Allah dan supranatural menjadi sumber

dan dasar dari kebohongan-kebohongan, manipulasi dan dominasi

politis-religius manusia, dan kelompok atas manusia dan

kelompok lainnya, dan agama melegalisasikan, membenarkan

serta melanggengkan ketidakadilan semacam itu. Karena itu, jika

ingin hidup bebas dan merdeka, hidup baik dan adil, senang dan

bahagia, manusia harus menggunakan daya kekuatan dan

kemampuannya semaksimal mungkin dan memutus hubungan

dengan realitas lain di luar dunianya. Manusia harus

membebaskan diri dari ide tentang Allah dan dunia supranatural

yang adalah semu dan rekaan manusia semata.

Ketika relasi manusia dengan Allah dihapus, prinsip-

prinsip yang mendasari alam semesta dan manusia, pengetahuan

dan pencarian makna hidup, moralitas dan nilai-nilai sosial-

Page 90: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

70

kemanusiaan diasalkan dan didasarkan pada kodrat manusia dan

lingkup duniawi semata. Segala prinsip hidup, makna dan nilai

pengetahuan, kriteria nilai moral, tata sosial kemasyarakatan, dan

tujuan hidup manusia mendapat makna dan nilai yang baru sama

sekali. Tata dunia yang berpusat pada hal material semata dan

penghapusan realitas spiritual adalah konsekuensi lebih lanjut dari

pemutusan hubungan manusia dengan Allah. Hidup sesungguhnya

berada di dunia dan saat ini.

Maka tidak heran bila proses sekularisasi berdampak

positif dan negatif terhadap perkembangan hidup beriman.

Dimensi positifnya yakni bahwa dunia otonom namun tetap

berkorelasi dengan sang Pencipta. Proses tersebut membantu

manusia untuk menemukan otonomi hal-hal duniawi yang

mempunyai hukum-hukum serta nilai-nilainya sendiri, yang

sedikit demi sedikit harus dikenal, dimanfaatkan dan makin diatur

oleh manusia sebagaimana dikehendaki Allah Sang Pencipta.

Namun dimensi negatifnya yakni bila otonomi hal-hal duniawi itu

diartikan seolah-olah ciptaan tidak tergantung dari Allah dan

manusia dapat menggunakan sedemikian rupa, sehingga tidak lagi

menghubungkan dengan Sang Pencipta. Paham demikian biasa

disebut dengan sekularisme atau suatu ideologi tertutup yang

memutlakkan otonomi hal-hal duniawi tanpa keterbukaan kepada

Yang Ilahi. Pengaruh ini yang membuat manusia mengagung-

Page 91: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

71

agungkan materi (materialisme, dan konsumerisme), juga

kenikmatan (hedonisme).

2) Materialisme

Dalam Kamus Filsafat (1996: 593) istilah materialisme

(Inggris: materialism) diartikan sebagai ajaran yang menekankan

keunggulan faktor-faktor material atas yang spiritual dalam

metafisika, teori nilai, fisiologi, epistemologi atau penjelasan

historis, atau lebih singkat dapat dikatakan bahwa materialisme

adalah paham yang hanya mengagung-agungkan materi.

Kebahagiaan hakiki hanya terdapat pada materi.

Menurut Epikurus dan epikurisme sebagaimana dikutip

oleh Valentinus (2004: 90-93), setiap makhluk hidup secara

instingtif, menginginkan kesenangan dan menghindari rasa sakit

dan penderitaan. Sejak awal hidupnya, manusia berusaha

memperoleh dan menikmati kesenangan sebagai kebaikan yang

tertinggi dan menghindari penderitaan sejauh mungkin dari

hidupnya dan menganggap penderitaan sebagai tidak alamiah.

Setiap orang lapar ingin makan, orang sakit ingin sembuh, orang

letih ingin istirahat, orang miskin ingin kaya, dan lain sebagainya.

Kesenangan yang dicari bukanlah kesenangan sesaat, seperti

kesenangan orang lapar sedang makan, melainkan seperti keadaan

sesudah makan; sebuah kesenangan yang bersifat stabil, tenang,

Page 92: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

72

dan berlangsung lama. Pola hidup yang dilakoni dan tujuan hidup

yang dikejar sungguh-sungguh bercirikan materislis-hedonistic, a

temporal. Demikianlah ajaran Epikurus oleh para pengikutnya

dipraktekkan dalam kehidupan nyata baik sebagai komuniter dan

pribadi dan menjadi sebuah agama antagonistik dan cara hidup

alternatif dalam arus pemikiran dan pola hidup masyarakat Yunani

yang cenderung rasional-mistik-religius.

Doktrin materialisme praktis ini terus berkembang di abad-

abad kemudian menjadi sebuah paham baru di samping agama

Kristen. Salah satu aliran materialisme praktis yang muncul pada

zaman itu adalah libertinisme.

Libertinisme berpendapat bahwa, pembuktian atas

eksistensi Tuhan adalah hal yang mustahil dan paham ini juga

menolak ajaran moral tradisional klasik, terutama moral Kristiani.

Sebaliknya, pedoman atau penuntun tingkah laku hidup manusia

adalah kesenangan semata. Sebab, pada dasarnya setiap orang

berusaha untuk mengejar kesenangan dan mempertahankannya.

Karena itu, ajaran moral yang berusaha menghindari, merelatifkan,

membuang jauh atau malah mematikan kesenangan yang tidak

sesuai dengan arah dasar dan tujuan hidup mansuia dan tidak

kodrati. Jadi, menurut mereka, setiap manusia harus bebas

bertindak dan berperilaku seturut pedoman (kesenangan) yang ada

Page 93: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

73

dalam dirinya (moral subjektif) tanpa harus diganggu gugat atau

terbebani rasa bersalah oleh agama dan moral objektif tertentu.

Timor Leste, di era pascareferendum, semua syarat untuk

warta kesenangan tersebut sudah tersedia dalam media komunikasi

yang serba canggih dan semua masyarakat Timor Leste sedang

menikmati kesenangan tersebut tanpa kecuali dan tanpa gangguan.

Peran agama semakin merosot dan disempitkan pada urusan

pribadi bahkan dihilangkan. Kemerosotan tersebut terjadi karena

agama dianggap sebagai bagian dari masa lampau, tradisional,

penghalang kemajuan dan kebebasan dan penyebab pertumpahan

darah yang tiada habis-habisnya. Agama sedang dianaktirikan dan

menanggung peran tertuduh dalam sejarah peradaban modern dan

agama harus menyerahkan fungsi salvifik dan profetisnya dalam

zaman modern (pascareferendum) ini kepada pihak lain.

Sekarang sampai pada pertanyaan: seberapa besar

pengaruh dan bahaya materialisme dan sekularisme bagi hidup

beriman masyarakat Timor Leste? Bukankah masyarakat Timor

Leste termasuk masyarakat dengan semangat dan tradisi religius

yang tinggi? Materialisme dan sekularisme lebih bersifat wacana,

mengapa Gereja Timor Leste harus menanggapinya dengan

serius? Lonceng peringatan atas ancaman sekularisme dan

materialisme haruslah dibunyikan. Ancaman materialisme dan

sekularisme semestinya disikapi dengan serius dan sebagai paham

Page 94: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

74

yang tidak bisa dipandang remeh atau diabaikan. Sebab, perilaku

hidup manusia bukan didasarkan pada insting semata seperti

halnya binatang, melainkan lebih didasarkan atas, dipengaruhi

oleh, dan diputuskan menurut akal budi dan alam pemikiran yang

dianutnya. Jadi, materialisme dan sekularisme harus disikapi oleh

Gereja Timor Leste, karena sebenarnya “agama baru” ini sudah

bertumbuh dan sedang berkembang di Timor Leste baik secara

teoritis maupun dalam praksis hidup beriman.

Manusia (Timor Leste) dan kemanusiaannya sedang

berada dalam bahaya. Warta materialisme dan sekularisme

sedemikian kuat mempengaruhi pikiran dan perilaku setiap orang

Timor Leste. Dengan mengusung kecenderungan instingtif akan

kesenangan, dan didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi

super canggih, materialisme-sekularisme tampil sebagai “agama

baru” yang memberi banyak harapan akan realisasi surga dunia,

hidup tanpa derita, kasih tak berkesudahan, damai sejahtera

sepanjang masa, dan kebebasan tanpa batas. Namun, surga dunia

itu tetap tidak tercapai. Perang berlangsung di mana-mana, di

seluruh kota Timor Leste, kekerasan terus meningkat,

ketidakadilan dan penderitaan yang ditimbulkannya terjadi seolah-

olah tak berkesudahan. Damai dan keadilan, kasih dan

persaudaraan yang dulunya diagung-agungkan dan dijunjung

tinggi oleh masyarakat Timor Leste ternyata hanya sebuah utopia?

Page 95: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

75

Apakah manusia Timor Leste mulai menyadari

keadaannya yang ditindas, dibodohkan, dimanipulasi, dibatasi,

dibinatangkan? Tampaknya kesadaran ini tak akan terwujud bila

Gereja Timor Leste tidak berperan kembali. Inilah kesempatan

bagi Gereja Timor Leste untuk berperan kembali. Dengan

menunjuk kemustahilan surga dunia, Gereja Timor Leste dapat

memainkan fungsi kritis kenabiannya atas perilaku kebinatangan

yang merendahkan martabat manusia berakal budi dan bercitra

ilahi dan memaksimalkan fungsi salvivik-nya untuk mengarahkan

manusia Timor Leste secara humanis akan tujuan hidupnya yang

ilahi. Singkat kata, agama harus kembali kepada intisarinya, yaitu

menjadi sarana yang mengantar manusia Timor Leste kepada

Allah dan hal ini menjadi semakin penting dalam rangka

mengimbangi pengaruh materialisme dan sekularisme.

5. Penghayatan Hidup Beriman Umat

Masyarakat Timor Leste sebelum bergabung dengan Indonesia

masih menganut kepercayaan animis, memiliki keyakinan yang kuat pada

roh-roh yang disimbolkan dengan batu, air, pohon-pohon besar, binatang,

sumur. Terhadap simbol-simbol tersebut yang dianggap dan diyakini

mempunyai roh, sekali setahun para tuan adat mempersembahkan upacara

korban berupa hewan seperti kambing, ayam, dan babi. Semua korban itu

dipersembahkan pada saat atau bertepatan dengan penanaman, panenan,

Page 96: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

76

atau bila ada orang yang sakit. Dengan persembahan tersebut, tuan adat

atas nama orang yang memohon bantuan dari roh-roh menyampaikan

permintaan harapan dan permohonan kepada yang mahatahu agar

mengasihani dan memberkati mereka (Lourdes, 2001: 15).

Masyarakat Timor Leste selain percaya kepada roh-roh seperti

yang dilambangkan di atas, mereka juga memiliki kepercayaan kepada

kekuatan-kekuatan ajaib yang biasa disebut dengan istilah lulik, biru, dan

rai nain.

Lulik memiliki arti barang kudus dan sakral. Benda-benda yang

dianggap lulik adalah peninggalan dari nenek moyang seperti tempat sirih

dan pinang, keris, tongkat, emas dan perak yang tersimpan lama sebagai

kekayaan suku, dan lain sebagainya. Benda-benda itu harus dijaga,

dihormati dan diberi sesaji oleh seluruh anggota keluarga. Sebab ada suatu

kepercayaan bahwa lulik membawa pengaruh buruk bagi kehidupan

ekonomi, sosial, pertanian, dan kesehatan bagi penduduk bila tidak

dijalankan sesuai dengan kaidahnya yang telah disebutkan di atas.

Biru adalah benda-benda khusus yang diperoleh orang-orang

tertentu setelah yang bersangkutan mengalami mimpi. Biru dipercayai

memiliki kekuatan ajaib yang realistis, misalnya bisa membuktikan

kebenarannya di dalam perang. Orang yang memilikinya akan terlindung

dari marabahaya dan diakui sebagai asu wain yang berarti pahlawan yang

tak terkalahkan dan tertandingi. Dan kekuatan ini tidak diketahui dan

menjadi rahasia orang yang bersangkutan. Masyarakat Timor Leste yang

Page 97: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

77

memiliki kepercayaan animis, percaya bahwa kekuatan biru yang ada

pada seseorang adalah kekuatan ajaib yang diberikan oleh Nai Maromak,

yakni Tuhan yang Mahaesa untuk membela diri dan membela kebenaran

serta menjaga keselamatan rakyat seluruhnya.

Rai Nain yang artinya penguasa tanah yang baik. Rai Nain

biasanya menampilkan diri dalam wujud binatang liar seperti ular, belut,

buaya, babi hutan, kucing hitam, dan sebagainya. Masyarakat percaya

bahwa binatang-binatang liar tersebut memiliki kekuatan ajaib, oleh sebab

itu harus dihormati. Jika tidak, maka manusia akan kena kutukan dan

hukuman dalam bentuk bencana pada kebun dan ternak, serta segala

macam penyakit dalam masyarakat yang bersangkutan (Martins, 1985: 14-

16).

Kepercayaan-kepercayaan tersebut di atas cukup berpengaruh bagi

kehidupan keagamaan dan sosial masyarakat, terutama pada masa lampau.

Walaupun berkurang, pengaruhnya tetap ada dalam penghayatan

kepercayaan masyarakat setempat yang akhirnya berdampak pada

penghayatan iman umat yang lebih bersifat sinkretis.

Pada masa Timor Leste diintegrasikan dengan Indonesia, boleh

dikatakan bahwa Timor Leste dikenal dengan mayoritas beragama

Katolik. Tetapi jika melihat statistik menunjukkan bahwa penduduk yang

animis masih lebih banyak dibanding dengan sebelum berintegrasi dengan

Indonesia.

Page 98: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

78

STATISTIK AGAMA PENDUDUK TIMOR LESTE SESUDAH INTEGRASI (1984)

Kabupaten Penduduk Katolik Protestan Islam Hindu Budha Animis

Bobonaro 70.293 67.266 652 128 740 - 1.457

Kovalima 27.320 24.655 452 180 250 - 1.783

Manufahi 28.711 27.175 1.056 419 50 2 9

Ainaro 45.612 43.642 528 24 60 1 9

Viqueque 58.530 34.097 6.118 44 100 - 137

Lautem 40.486 28.437 4.571 2.450 250 - 18

Baucau 72.051 57.423 2.318 35 600 152 171

Manatuto 25.853 25.663 48 120 50 7 50

Aileu 16.066 12.964 2.898 6.880 75 - 9

Dili 92.244 55.723 7.984 824 2.000 2.091 17.866

Ermera 59.230 43.411 1.582 193 80 27 396

Liquiça 34.568 14.171 876 75 62 13 186

Ambeno 40.252 39.508 496 51 230 - 181

Jumlah 708.192 474.135 29.579 11.423 4.547 2.293 18.932

Sumber: Lourdes (2001: 19)

Jika dilihat dari sejarah Timor Leste, ada beberapa tahap yang

dilalui oleh masyarakat Katolik Timor Leste. Pertama, tahap penjajahan

Portugis tahun 1512 – 1975. Selanjutnya adalah tahap pergolakan, yaitu

ketika Portugis memberikan kesempatan kepada masyarakat Timor Leste

untuk menentukan nasibnya sendiri. Tahap berikut adalah perang saudara

yang disusul oleh tahap integrasi dengan Indonesia. Dari tahap yang satu

ke tahap yang lain diwarnai dengan corak pengalaman yang khusus.

Pengalaman-pengalaman ini menimbulkan masalah-masalah tertentu.

Pada masa penjajahan Portugis, rakyat mengalami kebodohan,

kemiskinan, dan tidak ada kemajuan di bidang teknologi. Ketika

berintegrasi dengan Indonesia, rakyat Timor Leste mengalami

Page 99: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

79

peperangan, kekerasan dan penghancuran. Walaupun ada kemajuan di

bidang tertentu bila dibandingkan dengan masa penjajahan Portugis.

Kemajuan ini membawa perubahan yang cukup besar bagi kehidupan

sosial masyarakat yang heterogen. Dalam menghadapi situasi seperti ini,

rakyat mengalami tantangan di berbagai bidang di antaranya kehidupan

sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan juga keagamaan.

Penindasan, penjajahan, peperangan, dan tekanan hampir

merupakan makanan sehari-hari bagi rakyat Timor Leste. Apalagi pada

saat penentuan nasib sendiri. Referendum merupakan angin segar bagi

seluruh rakyat Timor Leste. Betapa tidak, rakyat Timor Leste yang ¼

abad dijajah oleh Portugis, hidup dalam kemiskinan, dan kebodohan. Juga

24 tahun bersama Indonesia mengalami situasi kelam, kini muncul

harapan baru akan kebebasan dan kemerdekaan akhirnya terwujud. tapi

sayangnya, kemerdekaan yang diperoleh harus dibayar dengan harga yang

mahal dengan memakan banyak korban.

Di era pascareferendum, hampir setiap hari, terdengar di media

elektronik (radio, televisi) dan terlihat di media masa (majalah, koran)

berita tentang pembunuhan, penodongan senjata antarsuku, perselisihan

antardaerah dan antarinstansi pemerintahan. Hal ini berdampak pada

kehidupan keagamaan. Masyarakat Timor Leste yang dikenal dengan

bangsa yang agamis/religius kini hanyalah slogan semata. Nilai-nilai

keagamaan dan tradisi-tradisi Gereja yang sejak dulu dijunjung tinggi dan

dipuja-puja, kini telah hilang tertelan oleh rasa kebencian, egoisme,

Page 100: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

80

dendam, dll. Hal ini menandakan bahwa agama belum menjadi milik

umat. Agama hanyalah candu bagi umat ketika berada dalam situasi yang

tertekan, berada dalam kesulitan, penderitaan, dan penindasan.

Singkatnya, orang membutuhkan agama jika berada dalam situasi yang

kelam.

Dan yang lebih heboh lagi, apakah tindakan-tindakan seperti

pembunuhan, penodongan senjata, perselisihan antarsuku/etnis,

antarinstansi pemerintahan dan antardaerah menandakan tindakan orang

beriman? Memang agama dibutuhkan oleh setiap orang untuk

menunjukkan identitas religius seseorang dan sebagai media untuk

melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Tetapi apakah hanya sampai

kepada ritual semata? Tentu saja tidak. Orang membutuhkan sesuatu

kekuatan untuk membuat ritual-ritual itu menjadi hidup dan berakar dalam

pribadi setiap orang yakni dengan iman. Dengan iman orang akan

menghormati hidup, menghargai setiap pribadi sebagai citra Allah. Sebab

pada dasarnya iman adalah tanggapan manusia akan kasih Allah. Kasih

Allah terwujud dalam keadilan, kebenaran, hidup dalam kebebasan

sebagai anak-anak Allah. Itulah kemerdekaan sejati.

Page 101: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

81

BAB III

MODEL-MODEL GEREJA TIMOR LESTE

DAN GEREJA YANG DICITA-CITAKAN GEREJA TIMOR LESTE

Dalam bab II telah diulas mengenai gambaran umum Gereja Timor

Leste dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste

dewasa ini (pascareferendum). Secara sekilas kita memperoleh data mengenai

model-model Gereja Timor Leste melalui sejarah perkembangan Gereja

Timor Leste. Dalam bab III ini penulis akan mengulas secara khusus

mengenai model-model Gereja Timor Leste dan Gereja yang dicita-citakan

Gereja Timor Leste. Pembahasan tema ini berangkat dari refleksi atas

pemaparan tema bab II. Pada bab III ini penulis akan membagi pembahasan

tema ini menjadi dua bagian. Pada bagian pertama penulis akan memaparkan

model-model Gereja, yang terdiri dari dua sub bagian yakni; model-model

Gereja menurut pandangan Avery Dulles, yang terbagi dalam beberapa sub-

sub bagian yakni; Gereja sebagai institusi, Gereja sebagai sakramen

keselamatan, Gereja sebagai persekutuan mistik, Gereja sebagai pewarta, dan

Gereja sebagai pelayan. Sub bagian kedua membahas tentang model-model

Gereja di Timor Leste, yang terdiri dari tiga sub bagian, di antaranya: Gereja

kaum miskin, Gereja sebagai pejuang keadilan dan perdamaian, dan Gereja

sebagai pelopor rekonsiliasi. Bagian kedua menampilkan Gereja yang dicita-

citakan Gereja Timor Leste, yang terbagi dalam enam sub bagian, di

antaranya: Gereja yang fungsional: dalam dan demi Kristus, Gereja yang

terpusat pada Kristus, Gereja yang secara hakiki terarah ke dunia (dari, oleh

Page 102: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

82

dan untuk umat), Gereja yang terbuka untuk dialog, Gereja yang mandiri, dan

Gereja yang anti kekerasan.

Model-model Gereja Timor Leste dan model-model Gereja yang

dicita-citakan Gereja Timor Leste adalah tema yang akan diulas secara detail

dalam bab III ini. Yang menjadi tolok ukur dari bab ini, yakni mengetahui

lebih jauh mengenai sejarah perkembangan Gereja Timor Leste dan model-

model Gereja Timor Leste (dari abad XIV hingga referendum), mengetahui

Gereja macam apakah yang dicita-citakan Gereja Timor Leste dewasa ini,

sehingga pada bab berikutnya (bab IV) kita dapat menemukan dan mengkaji

evangelisasi macam apakah yang hendak dilaksanakan guna mewujudkan

Gereja yang dicita-citakan Gereja di Timor Leste, dan menjawab tantangan

yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste di era pascareferendum.

A. Model-model Gereja

1. Model-model Gereja menurut Pandangan Avery Dulles

a. Gereja sebagai Institusi

Menurut Dulles (1987: 35), Gereja di dalam eklesiologi

yang berpusat pada institusi ini, kekuasaan dan tugas Gereja dibagi

dalam tiga unsur: mengajar, menguduskan, dan memimpin.

Pembagian kekuasaan ini mengarah kepada perbedaan lebih tajam

antara Gereja yang mengajar dengan Gereja yang diajar, antara

Gereja yang menguduskan dengan Gereja yang dikuduskan, antara

Page 103: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

83

Gereja yang memimpin dengan Gereja yang dipimpin. Dalam

segala hal, Gereja sebagai institusi adalah pemberi jasa.

Dulles menambahkan, bahwa dalam tiap-tiap fungsinya

itu, Gereja mempunyai analogi dengan dunia sekular, biarpun

sedikit berbeda. Dilihat dari segi fungsinya sebagai pengajar,

Gereja menyerupai sebuah sekolah di mana guru-guru sebagai

pengajar suci menyampaikan ajaran Kristus. Karena uskup-uskup

dianggap memiliki suatu ‘kharisma kebenaran’ yang khusus

(istilah dari St. Ireneus, tetapi artinya sudah berubah sejak

masanya), maka ditegaskan bahwa orang-orang beriman

sesungguhnya diwajibkan untuk mempercayai apa yang diajarkan

oleh para uskup.

Sedangkan Butler sebagaimana dikutip oleh Afra

Siauwarjaya (1987a: 16) mengatakan bahwa Gereja secara hakiki

merupakan suatu masyarakat konkret yang mempunyai suatu

konstitusi, seperangkat peraturan, lembaga kepemimpinan dan

sejumlah anggota yang menerima peraturan-peraturan itu sebagai

pengikat bagi mereka.

Eklesiologi Gereja ini memandang Gereja sebagai

“masyarakat sempurna” yang terbedakan dan mengatasi

masyarakat lain. Pemahaman mengenai Gereja sebagai masyarakat

mengandung kecenderungan untuk menekankan struktur

kepemimpinan sebagai unsur yang menentukan dalam masyarakat

Page 104: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

84

itu. “Sempurna” di sini dalam arti bahwa struktur kepemimpinan

Gereja yang kelihatan khususnya yang berhubungan dengan hak,

wewenang, dan kekuasaan para pejabatnya tidak bisa dilebihi. Arus

faham Gereja demikian disebut dengan institusionalisme.

Institusionalisme berarti suatu sistem di mana unsur-unsur

institusional mendapat tekanan yang berlebihan, dan dipandang

sebagai sesuatu yang primer. Unsur-unsur institusional meliputi

pejabat-pejabat yang bertanggung-jawab, prosedur yang disetujui

pemimpin, rumus-rumus iman yang diterima secara resmi, bentuk

ibadat publik yang resmi.

Ciri lain dari eklesiologi yang institusionalistis adalah

sangat menekankan keyakinan akan tindakan Kristus yang

mengadakan jabatan-jabatan dan sakramen-sakramen. Demikian

pun halnya dogma Gereja dikatakan merupakan bagian dari

perbendaharaan iman yang asli, yang sudah lengkap pada zaman

rasul. Padahal sulit bagi teolog untuk membuktikannya. Tugas

teologi yang paling luhur adalah menunjukkan bagaimana suatu

ajaran yang ditetapkan oleh Gereja tergantung pada sumber-sumber

pewahyuan.

Adapun kekuatan dari model Gereja secara institusional ini

adalah memberi perasaan yang kuat kepada orang Katolik akan

identitas kolektif mereka, sehingga mereka mempunyai loyalitas

institusional yang tinggi. Gereja mempunyai sasaran yang jelas

Page 105: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

85

untuk kegiatan misioner dan tidak banyak mengenal perselisihan

dalam dirinya sendiri.

Di samping itu ada juga kelemahannya, di antaranya:

pertama, model Gereja sebagai institusi sangat lemah dasarnya

dalam Kitab Suci dan tradisi Gereja Awal. Kitab Suci tidak

melukiskan Gereja sebagai suatu masyarakat yang sangat erat

bersatu. Kedua, model Gereja ini sangat menekankan beberapa

keutamaan seperti ketaatan, sehingga keutamaan-keutamaan yang

lain diabaikan. Klerikalisme cenderung menyebabkan kaum awam

menjadi pasif dan menjadikan kerasulan mereka seakan-akan

tempelan pada kerasulan hirarki. Yuridisme cenderung melebih-

lebihkan peranan kewibawaan manusiawi. Banyak orang Katolik

secara berlebih-lebihan memenuhi kewajiban-kewajiban Gereja

tanpa memperhatikan pelaksanaan hukum cinta kasih. Mereka

berusaha tetap taat kepada paus dan uskup namun kurang

memperhatikan Allah, Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Ketiga,

model Gereja ini menimbulkan hambatan bagi suatu teologi yang

kreatif. Model ini secara eksklusif mengikat teologi untuk

membela posisi ajaran yang resmi. Dengan demikian mengurangi

cara berpikir yang kritis dari para teolog. Keempat,

institusionalisme yang berlebihan menimbulkan banyak masalah

teologi yang serius. Misalnya, para teolog diminta untuk

menemukan dalam Kitab Suci dan tradisi para rasul tentang

Page 106: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

86

berbagai hal yang hampir tidak dapat ditemukan, seperti bentuk

episkopat kepemimpinan Gereja, ketujuh sakramen, dogma-dogma

modern seperti Maria dikandung tak bernoda, dan Maria diangkat

ke surga. Kelima, model Gereja ini berpandangan bahwa di luar

Gereja tidak ada keselamatan, tidak memberi peluang bagi orang

yang bukan Katolik. Hal ini menyebabkan adanya kemandulan

dalam bidang ekumene, karena tidak mampu menjelaskan vitalitas

rohani Gereja-gereja bukan rohani. Ini menandakan bahwa Gereja

Katolik kurang menghargai unsur-unsur karismatik. Keenam,

model Gereja semacam ini (institusional) dipandang ketinggalan

zaman untuk masa dialog, ekumenis, dan perhatian terhadap agama

lain (Afra Siauwarjaya, 1987a: 18-19).

b. Gereja sebagai Persekutuan Mistik

Menurut Afra Siauwarjaya (1987a: 20), kata “Persekutuan

Mistik” merupakan terjemahan dari kata Mystical Communion.

Kata communion pada umumnya dipergunakan untuk

menunjukkan suatu persekutuan hidup yang mendalam. Dalam

bahasa Kitab Suci istilah persekutuan dipergunakan untuk

menerjemahkan kata koinonia. Dasar dari persekutuan itu adalah

Allah yang memanggil manusia masuk ke dalam persekutuan

dengan-Nya melalui Yesus Kristus dalam Roh-Nya. Persekutuan

itu dilaksanakan dalam persaudaraan dengan saling mengasihi dan

Page 107: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

87

saling melayani dengan sehati, sejiwa (Yoh 13:34-35; Kis 2:42;

Kis 4:32-35). Sedangkan kata mistik menunjukkan sifat ilahi

yang penuh misteri. Sifat tersebut menjadi ciri dari persekutuan

itu yang membedakan persekutuan tersebut dengan persekutuan

lainnya (Afra Siauwarjaya, 1987a: 20).

Gereja sebagai persekutuan terbedakan dari persekutuan

sosiologis. Persekutuan dalam arti sosiologis melulu bersifat

horisontal, hubungan erat antarmanusia. Kekhususan Gereja

sebagai persekutuan adalah dimensi vertikal yakni berhubungan

dengan hidup ilahi yang diwahyukan dalam Kristus dan disalurkan

kepada manusia oleh Roh-Nya. Faham Gereja sebagai persekutuan

ini selaras dengan lambang alkitabiah, di antaranya dua yang

menonjol yakni Tubuh Kristus dan Umat Allah.

Gereja sebagai Tubuh Kristus lebih diartikan sebagai

organis daripada sosiologis. Gereja dipandang secara analogis

sebagai tubuh manusia yang dilengkapi dengan pelbagai organ,

dijiwai dengan prinsip kehidupan, sehingga dapat berkembang

membaharui diri dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan yang

berubah-ubah. Tubuh Kristus mempunyai prinsip kehidupan ilahi

yakni Roh Kristus (Rm 12:4-5, 1Kor 12:12). Gambaran Gereja

sebagai Tubuh Kristus tidak hanya dijumpai dalam pandangan

Paulus, tetapi juga dalam teologi Agustinus.

Page 108: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

88

Yang menjadi tekanan pandangan Agustinus tentang Gereja

sebagai Tubuh Kristus terletak pada persekutuan Mistik yang tidak

kelihatan yang menghimpun mereka semua yang dihidupkan

melalui rahmat Kristus. Yang termasuk Gereja adalah baik mereka

yang berada di dunia maupun mereka yang di surga. Kristus

sebagai kepala bersatu dengan semua anggota-Nya. Tubuh itu pada

dasarnya tidak kelihatan karena mencakup para malaikat di surga

dan jiwa-jiwa di api penyucian. Tubuh itu tidak berciri

kemasyarakatan karena merangkum semua orang yang dijiwai oleh

Roh Allah.

Thomas Aquinas sebagaimana dikutip oleh Afra

Siauwarjaya (1987a: 22) berpendapat bahwa pada hakikatnya

Gereja adalah persekutuan dengan Allah yang mengilahikan

manusia melalui diri Yesus Kristus sebagai kepalanya. Persekutuan

secara tidak sempurna dalam hidup di dunia dan secara sempurna

di surga. Gereja dipandang secara teologi yang berarti

mengutamakan relasi manusia dengan Allah lebih daripada secara

institusional. Pandangan Agustinus tentang Gereja dieruskan oleh

Thomas Aquinas, tetapi Thomas mulai memberi perhatian aspek

kemasyarakatan, aspek kelihatan dari Gereja. Kemanusiaan Kristus

dan sakramen-sakramen dipandang sebagai sarana untuk

menyalurkan rahmat Allah. Semua upaya lahiriah rahmat

(sakramen, Kitab Suci, hukum, dsb.) bersifat sekunder, sebagai

Page 109: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

89

sarana yang menyiapkan manusia untuk bersatu secara batiniah

dengan Allah oleh rahmat.

c. Gereja sebagai Sakramen Keselamatan

Dalam dua model yang diuraikan terdahulu tampak bahwa

ada ketegangan antara Gereja sebagai institusi dan Gereja sebagai

persekutuan mistik. Model institusional nampaknya menyangkal

adanya keselamatan bagi mereka yang tidak termasuk anggota

dalam suatu organisasi, sedangkan model persekutuan tetap

menganggapnya sebagai persoalan, apakah memang perlu orang

sungguh diundang untuk masuk ke dalam suatu organisasi. Untuk

memadukan kedua aspek dari kedua model Gereja tersebut yakni

aspek lahiriah (institusional) dengan aspek rohaniah (Gereja

mistik) menjadi satu sintesis yang agak masuk akal, banyak teolog

Katolik mempergunakan faham Gereja sebagai Sakramen. Para

teolog itu antara lain Henri De Lubac, Karl Rahner, M. Scheeben,

Otto Sammelroth.

Henri de Lubac memberi argumentasi bahwa yang ilahi dan

manusiawi dari Gereja tidak dapat dipisahkan. Pandangan

mengenai hidup rahmat yang terlalu spiritual dan individual akan

mengarahkan pemahaman tentang Gereja institusional melulu dari

segi sekular dan sosiologis. Ia juga mengatakan bahwa Kristus

adalah sakramen Allah, maka Gereja merupakan sakramen Kristus

Page 110: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

90

bagi kita. Gereja bagi kita adalah sakramen Kristus karena gereja

menghadirkan Kristus di dalamnya. Semua sakramen di dalam

Gereja terutama sakramen Ekaristi secara hakiki adalah sakramen

Gereja. Gereja bukan melanjutkan karya-Nya tetapi merupakan

kelanjutan-Nya sendiri. Sakramen-sakramen tersebut secara

intrinsik bersifat sosial dan efektif karena bersumber dan berakar

pada Gereja.

Tema mengenai Gereja sebagai sakramen dasar terlihat

pada beberapa pasal penting dari dokumen Konsili Vatikan II.

Lumen Gentium art. 1 mengatakan bahwa : “Gereja itu dalam

Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan

mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia.” Ini

menandakan bahwa Gereja merupakan tanda dan sarana

pewahyuan dan kesatuan tersebut. Sedangkan dalam Konstitusi

Liturgi Sacrosanctum Concilium (SC 10-41) memandang liturgi

sebagai puncak dari semua kegiatan Gereja dan sekaligus menjadi

sumber yang memancarkan seluruh kekuatan Gereja.

Gereja disebut “sakramen, yaitu tanda dan sarana persatuan

mesra umat manusia dengan Allah, dan kesatuan seluruh umat

manusia” (LG 1). Gereja diperkenalkan sebagai sakramen

keselamatan, tetapi hendaknya dipahami secara fundamental atau

mendasar bahwa keselamatan adalah universal, artinya merembes

ke seluruh sejarah hidup manusia. Gereja menjadi universal apabila

Page 111: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

91

merayakan keselamatan tersebut bagi semua manusia, ditandai oleh

cinta kasih Bapa melalui Putera-Nya dengan kekuatan Roh Kudus.

Dengan demikian kenyataan yang dinamai duniawi dan sekular

menjadi jalan untuk rahmat keselamatan.

Perspektif tersebut merupakan sifat teologis dari kewajiban

kaum kristiani yang berjuang untuk membangun suatu dunia yang

lebih adil dan penuh dengan persaudaraan. Gereja tidak perlu

mendekati pemerintah, tetapi perlu mendekati kelompok-kelompok

yang membuka jalan bagi ilmu pengetahuan, teknik, kuasa politik

di lingkungan sipil. Dengan partisipasi ini Gereja membuka diri

bagi dunia. Gereja sendiri telah memperbaharui struktur-

strukturnya, menyesuaikan diri dengan mentalitas modern, banyak

lembaga yang dimiliki disekularisasikan, liturgi disederhanakan,

dan menyesuaikan diri dengan zaman (Jacobs, 1987: 16). Tetapi

selama Gereja masih tertutup bagi kehidupan manusia yang

konkret, maka semua perubahan itu tidak ada maknanya.

Gereja menjadi sakramen sejauh Gereja menandakan secara

kelihatan rahmat penyelamatan Kristus bagi seluruh umat manusia,

segala usia, segala suku dan segala kondisi. Gereja mampu

menunjukkan diri sebagai tanda bilamana anggota-anggotanya

dipersatukan satu sama lain dan bersatu dengan Allah dalam cinta

kasih serta dalam kebersamaan itu mereka mengakui iman mereka

Page 112: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

92

dan merayakan apa yang telah dikerjakan Allah bagi mereka dalam

Kristus.

d. Gereja sebagai Pewarta

Gereja sebagai sakramen keselamatan seperti yang telah

dibahas di atas menggunakan istilah teknis sakramen sebagai

simbolisasi rahmat yang dapat dilihat dan dirasakan. Model

eklesiologi ini lebih menekankan realitas kehadiran rahmat Kristus

di dunia ini, dan Gereja dilihat sebagai model sakramen dari

realitas tersebut (Dulles, 1987: 73).

Sedangkan model Gereja sebagai pewarta berbeda dengan

model Gereja sebagai sakramen keselamatan. Model Gereja

sebagai pewarta lebih mengutamakan Sabda, sedangkan sakramen

dinomorduakan. Menurut model Gereja ini Gereja dikumpulkan

dan dibentuk oleh Sabda Allah, maka misi Gereja adalah

mewartakan apa yang sudah didengarnya, diimaninya, dan yang

sudah diserahkan kepadanya untuk diwartakan. Model eklesiologi

ini memiliki banyak kesamaan dengan pengertian komunitarian

tentang Gereja sebagai umat Allah, seperti yang telah dibahas

dalam model Gereja sebagai persekutuan mistik. Namun ada

perbedaan karena model Gereja ini lebih mengutamakan iman dan

pewartaan daripada hubungan-hubungan interpersonal dan

persekutuan mistik.

Page 113: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

93

Model Gereja sebagai pewarta ini memiliki sifat kerigmatis

sebab ia melihat Gereja sebagai pewarta yang telah menerima satu

kabar Suci dan memiliki tugas untuk mewartakannya. Gereja

diibaratkan sebagai utusan seorang raja yang datang ke tempat

umum untuk memaklumkan sebuah dekrit raja.

Secara radikal model eklesiologi ini dipusatkan pada

Kristus dan Kitab Suci sebagai saksi utama tentang Yesus Kristus.

Karena itu tugas pokok Gereja adalah mewartakan Kristus.

Pandangan mengenai eklesiologi ini dengan baik sekali

dirumuskan oleh McBrien sebagaimana dikutip oleh Dulles (1987:

73) adalah sebagai berikut:

Misi Gereja adalah mewartakan Sabda Allah ke seluruh dunia. Gereja tidak perlu menganggap diri bila orang tidak menerimanya sebagai Sabda Allah, namun Gereja harus mewartakan Sabda itu dengan jujur dan tekun. Semua yang lain bersifat sekunder belaka. Menurut hakikatnya Gereja merupakan satu komunitas kerigmatis yang melalui Sabda yang diwartakannya tetap mengenangkan perbuatan-perbuatan Allah yang mengagumkan dalam sejarah masa lalu, teristimewa perbuatan-perbuatan-Nya yang berkuasa dalam diri Yesus Kristus. Komunitas itu terbentuk di mana saja daya kekuatan Roh Kudus berhembus, di mana saja Sabda Allah diwartakan dan diterima dalam keteguhan iman. Maka Gereja itu merupakan peristiwa, suatu tempat pertemuan dengan Allah.

Maksud dari pernyataan tersebut di atas adalah bahwa

Sabda Allah bukanlah suatu kenyataan yang statis di dalam Gereja

melainkan suatu peristiwa yang berlangsung. Peristiwa yang setiap

kali Allah menyapa umat-Nya dan sapaan itu ditanggapi dengan

iman. Dengan demikian jelaskah bahwa Gereja itu dibentuk secara

Page 114: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

94

aktual oleh sabda yang didengar dan diwartakan dengan setia.

Gereja adalah himpunan umat yang dikumpulkan oleh Sabda dan

Sabda itu tiada henti-hentinya mengajak umat untuk bertobat dan

memperbaharui diri.

Menurut Afra Siauwarjaya, model Gereja sebagai pewarta

ini memiliki suatu ciri khas yang berbeda dengan ketiga model

Gereja sebelumnya. Ciri khas itu adalah adanya perbedaan,

distingsi tajam antara bentuk duniawi Gereja dan Kerajaan Allah

yang dipandang sebagai realitas eskatologis, yang dirindukan

Gereja. Hans Kung sebagaimana dikutip oleh Afra Siauwarjaya

menandaskan bahwa Gereja bukanlah Kerajaan Allah, Gereja tidak

membentuk atau meluaskan Kerajaan Allah di dunia atau bekerja

untuk merealisasikan Kerajaan Allah. Hans Kung juga

menandaskan bahwa Gereja mengharapkan Kerajaan Allah, Gereja

memberikan kesaksian tentang Kerajaan Allah dan

mewartakannya. Oleh karena itu Gereja bukanlah pembawa atau

pengemban Kerajaan Allah yang akan datang dan hadir, melainkan

suara-Nya, pewarta-Nya, bentara-Nya. Hanya Allah sendiri

membawa kerajaan-Nya. Gereja ditunjuk untuk melayani Kerajaan

itu (Afra Siauwarjaya, 1987a: 36).

Page 115: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

95

e. Gereja sebagai Pelayan

Dari model-model Gereja yang telah disebutkan di atas di

antaranya Gereja sebagai institusi, Gereja mengajar, menyucikan

dan memimpin dengan kuasa Kristus. Dalam model Gereja sebagai

persekutuan mistik, Gereja dipandang sebagai Umat Allah atau

Tubuh Kristus yang tumbuh menuju kesempurnaan Kerajaan

Allah. Dalam model Gereja sebagai sakramen keselamatan, Gereja

dipahami sebagai manifestasi kelihatan dari rahmat Kristus dalam

masyarakat manusia.

Dalam model-model tersebut Gereja dilihat sebagai subyek

yang aktif dalam dunia, di mana dunia sebagai medan karya dan

pengaruh Gereja. Gereja sebagai hasil karya langsung Allah dan

berdiri sebagai penengah antara manusia dan Allah. Allah datang

ke dunia melalui Gereja dan (dunia) manusia datang ke Allah

seolah-olah melalui Gereja.

Sedangkan model Gereja sebagai pelayan, menurut Afra

Siauwarjaya (1987a: 41), menempatkan Gereja pada posisi

melayani masyarakat. Model ini muncul pada masa dunia

mengalami perkembangan yang amat pesat. Di mana dunia

semakin jauh dan lebih aktif tanpa tergantung pada Gereja.

Berbagai macam ilmu berkembang dan melepaskan diri dari

kontrol Gereja. Begitu pun dalam bidang kehidupan lain. Bidang

industri dan pemerintahan berjalan menurut mekanismenya sendiri

Page 116: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

96

tanpa mengharapkan bantuan atau pertolongan dari Gereja. Namun

demikian, Gereja tiada henti-hentinya terus berjuang dan tidak

kehilangan semangatnya. Gereja tetap mengingatkan dan

menunjukkan bahwa dunia telah jatuh ke dalam kesulitan yang

serius dengan mencari perkembangan tanpa campur tangan Gereja

ataupu aturan Gereja. Oleh karena itu, ensiklik-ensiklik para Paus

sebelum Yohanes XXIII bernada menyesali, memperingatkan atau

malah mengutuk perkembangan modern.

Paus Yohanes XXIII memberi sumbangan inspirasi yang

amat besar dalam Konsili Vatikan II yang telah membawa

perubahan dalam Gereja. Gaudium et Spes atau Konstitusi Pastoral

tentang Gereja dalam Dunia Modern merupakan pandangan terbaru

dalam Konsili Vatikan II. Dalam konstitusi tersebut ditampilkan

suatu pemahaman tentang hubungan Gereja dan dunia dalam

zaman sekarang. Otonomi dunia dari kebudayaan manusiawi,

khususnya ilmu pengetahuan diakui secara penuh oleh Gereja (GS.

art. 59). Konsili menegaskan bahwa Gereja harus memperhatikan

pandangan dunia dan mau belajar dari dunia. Dan akhirnya, konsili

juga menandaskan bahwa Gereja juga harus melibatkan diri

sebagai bagian dari keseluruhan keluarga manusia, membagikan

pandangannya bagi manusia. Sama seperti Kristus datang ke dunia

untuk melayani bukan untuk dilayani, begitu juga Gereja dipanggil

untuk melanjutkan tugas misionernya Yesus Kristus yakni mencari

Page 117: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

97

dan melayani dunia dengan memelihara persaudaraan dengan

semua orang (GS. art. 3).

Gereja sebagai pelayan dikembangkan menurut gambaran

Kristus sebagai hamba. Kardinal Chusing dalam bukunya The

Servant Church sebagaimana dikutip oleh Afra Siauwarjaya

(1987a: 42), mengemukakan bahwa Yesus datang ke dunia tidak

hanya memaklumkan kedatangan Kerajaan Allah, tetapi juga

memberikan diri-Nya sebagai realisasi dari Kerajaan Allah, Ia

datang untuk melayani, bukan untuk dilayani. Ia datang untuk

menyembuhkan, untuk mendamaikan, untuk membalut luka-luka.

Yesus dalam arti khusus disamakan dengan orang Samaria yang

baik hati. Ialah yang menyertai kita dalam kebutuhan dan

kesusahan kita. Ia mengulurkan tangan untuk kepentingan-

kepentingan kita. Ia sungguh-sungguh mati supaya kita dapat

hidup, dan ia melayani kita supaya kita disembuhkan. Gereja

sebagai pelayan sebagai perwujudan dalam usaha melaksanakan

apa yang sudah dilakukan oleh Yesus Kristus, harus menjadi tubuh

Kristus, menjadi hamba yang menderita. Dengan demikian, Gereja

tidak hanya memaklumkan datangnya Kerajaan Allah melalui

pewartaan dan pemakluman, melainkan terlebih-lebih melalui

“kerja” dalam pelayanan perdamaian, dalam membalut luka-luka,

dalam pelayanan penderitaan, dalam penyembuhan. Seperti Tuhan

telah menjadi “manusia bagi yang lain”, demikian pula Gereja

Page 118: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

98

haruslah semakin menjadi “persekutuan bagi yang lain”, demikian

ditandaskan oleh Kardinal Chusing.

Berdasarkan pemahaman di atas, maka berikut akan

diuraikan model-model Gereja dalam konteks Gereja Timor Leste.

Dan model-model Gereja yang akan diuraikan berikut merupakan

hasil analisa dan refleksi penulis berdasarkan sejarah

perkembangan Gereja Timor Leste sebagaimana yang telah dikaji

dalam bab II bagian A, sub bagian 1 dalam penulisan ini.

2. Model-model Gereja Timor Leste

a. Gereja Kaum Miskin

Gereja bukan saja Gereja untuk kaum miskin, tetapi Gereja

sendiri adalah Gereja kaum miskin (Putranto, 2005: 53). Gereja

kaum miskin bukan sekedar suatu model. Yang menjadi persoalan

di sini adalah: apakah kehadiran kaum miskin yang begitu nyata

sudah masuk dalam cakrawala pemikiran kita mengenai apa itu

Gereja, atau kehadiran mereka masih jauh dari cakrawala

eklesiologi kita. Bila kita berpikir tentang Gereja, apakah kaum

miskin itu masih kita sebut dengan “pelaku ketiga”, ataukah sudah

kita sebut sebagai pelaku utama? Apakah kita sudah

mengembangkan pengertian Gereja yang tumbuh dari situasi

miskin dan tertindas, dan bentuk hidup menggereja yang muncul

dari situasi tersebut? Atau dengan kata lain kita dapat bertanya:

Page 119: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

99

apakah arti Gereja dan hidup menggereja di tengah kancah

kemiskinan itu?

Gereja Timor Leste, dalam perjalanan sejarahnya telah

menampilkan diri sebagai “yang miskin” dalam seluruh karya

pewartaan dan pelayanannya. Dalam pembahasan terdahulu (bab II

bagian A) mengenai sejarah perkembangan Gereja Timor Leste,

telah diperlihatkan bagaimana peranan Gereja Timor Leste melalui

para misionaris dan para gembala umatnya, telah mengambil

bagian dalam kehidupan kemiskinan Yesus sebagai Pewarta Kabar

Gembira bagi orang-orang miskin.

Kalau Gereja mau menjadi sakramen keselamatan bagi

masyarakat luas, maka ia harus lebih solider dengan orang-orang

miskin, yang merupakan mayoritas dalam masyarakat Timor Leste.

Sikap solider ini telah ditunjukkan Gereja Timor Leste dalam

perjalanan karya perwartaannya. Dengan ini, Gereja Timor Leste

telah membangun suatu dialog dengan kaum miskin sebagai

partner. Dialog yang dilaksanakan akan menjadi suatu dialog

kehidupan yang wajar. Hal ini sesuai dengan pernyataan uskup-

uskup Asia sebagaimana dikutip oleh Putranto (2005: 58), yang

mengatakan bahwa:

Dialog kehidupan ini mencakup pengalaman dan pemahaman yang tulus terhadap kemiskinan ini, terhadap fakta bahwa begitu banyak rakyat kita dilucuti dan ditindas. Ini menuntut semata-mata bukan bekerja ‘bagi’ mereka (dalam arti paternalistik), melainkan bekerja ‘bersama’ mereka dan belajar dari mereka (karena kita harus belajar

Page 120: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

100

banyak dari mereka) tentang apa yang mereka butuhkan dan dambakan, sejauh mereka mampu mengungkapkannya. Sesudah itu baru bersama mereka kita berjuang agar dambaan-dambaan mereka dipenuhi, dengan mengubah struktur-struktur dan situasi yang melestarikan kekurangan dan ketidakberdayaan mereka. Dari kutipan di atas tersirat bahwa kaum miskinlah pelaku

utama perubahan dan perbaikan nasib mereka. Kaum miskin

bukanlah obyek dari karya amal Gereja, betapapun baiknya. Ini

berarti Gereja harus menjadi sesama bagi saudara-saudara

sebangsanya yang miskin.

Sudah 27 tahun berlalu, tepatnya pada tanggal 11

September 1962, Paus Yohanes XXIII sebagaimana dikutip oleh

Putranto (2005: 59), dalam suatu amanatnya berkata: “Di hadapan

negara-negara yang sedang berkembang, Gereja menampilkan diri

sebagaimana adanya dan ingin menjadi Gereja semua orang,

khususnya orang-orang miskin”. Kemudian, dalam dokumen-

dokumen Konsili Vatikan II terungkap pula tentang Gereja kaum

miskin itu. Contohnya, dalam Lumen Gentium artikel 88, dikatakan

bahwa:

Sebagaimana Kristus melaksanakan karya penebusan dalam kemiskinan dan penganiayaan, begitu pula Gereja dipanggil untuk mengikuti jalan yang sama bila ingin menyampaikan buah-buah keselamatan kepada orang-orang. Kristus Yesus yang berada dalam wujud Allah menghampakan diri, mengambil wujud hamba (Flp 2: 6-7) dan demi kita Ia menjadi miskin walaupun Ia sebenarnya kaya (2 Kor 8:9), demikianlah Gereja.

Page 121: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

101

Begitupun, dalam suatu pertemuan, uskup-uskup Asia

pernah menandaskan bahwa: “Kemiskinan Kristiani bukanlah

hanya suatu keprihatinan akan kaum miskin. Tidak cukuplah

menjadi Gereja bagi kaum miskin. Gereja dalam arti sesungguhnya

harus menjadi Gereja miskin.”

Dalam pernyataan-pernyataan tersebut di atas tersirat suatu

imperatif untuk mengadakan pembaharuan hidup menggereja “dari

dalam” situasi kemiskinan dan penindasan, dan ini menjadi wajah

Gereja Asia.

Gereja Timor Leste sebagai bagian dari Gereja Asia, bukan

saja mengadakan pembaharuan hidup menggereja dari dalam

situasi kemiskinan dan penindasan, namun sudah dan sedang

berada dalam Gereja kaum miskin. Gereja kaum miskin dalam

konteks Timor Leste, adalah Gereja yang berjalan bersama

umatnya yang mengalami kemiskinan dalam wujud penindasan,

kekerasan, yang menjadi korban ketidakadilan, orang-orang yang

haknya dirampas dan martabatnya sebagai citra Allah diinjak-injak,

dan bentuk-bentuk penindasan lain yang menyebabkan

pemiskinan. Selain miskin secara materi, masyarakat Timor Leste

juga “dimiskinkan” secara psikologis, di mana masyarakat merasa

“tidak nyaman” dalam rumahnya sendiri.

Dalam keadaan seperti ini, sudah sepantasnya Gereja Timor

Leste hadir sebagai “sesama”, dan bersama-sama mengadakan

Page 122: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

102

dialog kehidupan yang sungguh. Ini menandakan bahwa Gereja

Timor Leste benar-benar mendengarkan seruan rakyatnya yang

miskin karena ditindas dan dirampas haknya untuk hidup

selayaknya, dan dalam ketentraman, walaupun itu harus

membutuhkan perjalanan yang panjang dan melelahkan. Tapi

Gereja Timor Leste tetap berjuang bersama dengan umatnya,

dengan satu keyakinan bahwa Allah melalui Putra-Nya senantiasa

menyertai perjuangan dalam mencapai situasi shallom.

b. Gereja sebagai Pejuang Keadilan dan Perdamaian

Keadilan dan perdamaian dalam kebenaran, bahkan

cintakasih dan kebebasan merupakan tema sentral dalam Kitab

Suci, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru.

Segenap umat manusia di dunia, baik miskin atau kaya, besar atau

kecil, tua atau muda, dari segala jenjang usia dan status, tentunya

menginginkan kedamaian, ketentraman, ingin dihargai, ingin

dicintai dan dikasihi. Sebab demikianlah yang diinginkan oleh

Allah. Namun ketika manusia tidak mengindahkannya, maka

mustahillah semua itu dapat tercapai.

Hal ini juga ditandaskan dalam ensiklik Pacem in Terris

tentang Perdamaian di Dunia art. 1, yang berbunyi:

Perdamaian di dunia di sepanjang zaman begitu didambakan dan diusahakan oleh umat manusia. Akan tetapi perdamaian itu tak akan pernah tercapai, tak akan pernah terjamin, kalau

Page 123: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

103

tata-dunia yang ditetapkan oleh Allah tidak dipatuhi dengan seksama. Artinya, jika orang hanya menginginkan perdamaian dan

nilai-nilai Injili yang lain seperti persaudaraan, ketentraman, cinta

kasih, keadilan, dll., tetapi tidak pernah menaati apa yang sudah

ditetapkan oleh Allah bahwa harus dilaksanakan, maka perdamaian

itu hanyalah sebuah slogan dan semboyan hidup semata.

Gereja Timor Leste dalam sejarah pewartaannya di setiap

periode, selalu bergulat untuk memperjuangkan perdamaian dan

keadilan tersebut, walaupun harus dengan berbagai macam konflik

ketika berhadapan dengan pemerintah atau penguasa. Pada

dasarnya Gereja tidak memihak kepada satu kelompok, tetapi

ketika perdamaian dan keadilan dilecehkan melalui berbagai

macam penindasan (fisik maupun psikis) terhadap seluruh

masyarakat Timor Leste, maka Gereja memiliki wewenang yang

diberikan oleh Allah, untuk berani berbicara atau menyuarakan

keadilan dan perdamaian tersebut. Ini menandakan bahwa Gereja

Timor Leste berpihak pada Allah Sang sumber keadilan dan

perdamaian, bukan berpihak kepada suatu kelompok tertentu.

Hal ini sesuai dengan anjuran apostolis dalam ensiklik

Pacem in Terris art. 167, yang berbunyi:

Kami, yang kendati tidak layak, mewakili Dia yang oleh nabi diwartakan sebagai “Raja Damai”, memandang sebagai kewajiban: membaktikan segala pemikiran dan usaha serta daya-kemampuan kami untuk memajukan kesejahteraan umum segenap umat manusia. Namun damai tinggal istilah

Page 124: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

104

yang hampa, selama belum bertumpu pada tata-tertib......yang didasarkan pada kebenaran, dibangun atas keadilan, dipelihara dan dijiwai oleh cintakasih, dan diselenggarakan dalam naungan kebebasan . Artinya, Gereja yang mewakili Yesus Kristus sebagai Raja

Damai memiliki kewajiban untuk mewartakan damai tersebut demi

kesejahteraan umum segenap umat manusia. Namun damai yang

sesungguhnya adalah bahwa jika seluruh umat manusia tidak hanya

memahami kata damai sebagai slogan atau istilah semata, tetapi

menjadikan damai itu hidup dalam setiap pribadi. Dan damai

terjadi jika semua umat manusia menjalankannya sesuai dengan

tata-tertib yang dikehendaki oleh Allah. Tata-tertib yang dimaksud

adalah bahwa damai itu didasarkan pada kebenaran, yang dibangun

di atas keadilan, kedamaian yang dipelihara dan dijiwai oleh

cintakasih, dan tentu damai akan terwujud jika orang

melaksanakannya dalam kebebasan tanpa unsur paksaan dari dalam

diri sendiri dan pihak lain.

Gereja Timor Leste, sebagai yang diutus oleh Yesus Kristus

sang Raja Damai, tiada hentinya menyerukan keadilan dan

perdamaian tersebut melalui himbauan, saran, homili, dan dalam

karya-karya pewartaan lainnya. Ini terlihat jelas dalam himbauan,

kritik, dan saran yang disampaikan oleh sosok Dom Carlos Filipe

Ximenes Belo, SDB (Tukan dan Sousa, dalam Keadilan dan

Perdamaian, Komisi Keadilan dan Perdamaian Diosis Dili, 1997).

Sosok Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB adalah penyambung

Page 125: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

105

lidah segenap umat Timor Leste yang martabatnya sebagai citra

Allah dirampas dan diinjak-injak. Dialah suara dari kaum tak

bersuara. Ini menandakan bahwa Gereja Timor Leste adalah Gereja

yang selalu teguh dan tegar dalam memperjuangkan keadilan dan

perdamaian bagi umat Timor Leste. Kiranya John Humprey Award

(10 Desember 1995), penghargaan yang diberikan oleh komisi

PBB untuk perjuangan HAM dan Demokrasi, yang diwakili oleh

sekjen PBB, Boutros Boutros Ghali, Hadiah Nobel Perdamaian,

penghargaan paling bergengsi Internasional yang diterima oleh

Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB sebagai bukti nyata bahwa

Gereja Timor Leste berani mempertaruhkan keyakinan dan

panggilannya untuk menyuarakan keadilan dan perdamaian.

c. Gereja sebagai Pelopor Rekonsiliasi

Berbicara mengenai Timor Leste, hampir tidak mungkin

orang melupakan dan tidak melibatkan suatu pembicaraan serius

mengenai Gereja Katolik. Secara sederhana orang bisa memakai

tolok ukur kuantitas (jumlah) pemeluk agamanya untuk

menunjukkan katolisitas sebagai identitas keagamaan masyarakat

Timor Leste. Dan yang paling menghebohkan ketika Gereja Timor

Leste harus berkecimpung dan bercengkerama dengan dunia

politik. Ketika terjadi krisis dan konflik dalam pergolakan politik,

rakyat dapat dipastikan akan berlindung pada Gereja Katolik yang

Page 126: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

106

difigurkan oleh para Uskup dan para Pastor. Kehadiran Dom José

Joaquim Ribeiro, Mgr. Martinho da Costa Lopes, Mgr. Carlos

Filipe Ximenes Belo, SDB, dan para imam yang lain, boleh

dikatakan memberikan semacam legitimasi simbolis pada event-

event tersebut. Kehadiran simbolis mereka yang ditunjukkan

melalui surat gembala, wawancara dan aktifitas-aktifitas sosial

lainnya kiranya telah menunjukkan bahwa di dalam pribadi mereka

telah terjadi suatu pengakuan.

Sebaliknya bila Gereja Timor Leste menyuarakan sesuatu

yang tidak senada dan searah dengan pemerintah, maka Gereja

segera saja dituding dan dianggap sebagai otoritas politik

tandingan berhadapan dengan pemerintah. Maka tidak

mengherankan jika Gereja mendapat kecaman dari pemerintah,

dengan gencar diguncang oleh badai dan gelombang. Kita dapat

belajar dari pengalaman perjalanan sejarah Gereja Timor Leste.

Bangsa Timor Leste memang sarat dengan konflik, baik itu

konflik antara Gereja dengan pemerintah, konflik antarsuku,

konflik antarinstansi pemerintah dan konflik antaraagama. Konflik

yang terjadi antara Gereja dengan pemerintah berlangsung ketika

Gereja Timor Leste berani dan gigih memperjuangkan keadilan

dan kebenaran, terutama harkat dan martabat manusia diinjak-injak

dan dirampas, ketika kedamaian, ketenangan dan kesejahteraan

rakyat kecil tidak diperhitungkan oleh pihak pemerintah. Hal ini

Page 127: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

107

terlihat jelas pada sosok Dom Joaquim José Ribeiro (1969-1977)

mengingatkan akan tanggung jawab moral dan politik kepada

pemimpin rakyat Timor Leste dan juga pihak Portugal. Himbauan

akan tanggung jawab itu diungkapkannya dengan menulis sebuah

surat pastoral yang di dalamnya berisi tentang keterlibatan Gereja

dan sikap Gereja menghadapi kecendrungan pengaruh sosialisme

dan komunisme, dan mengharapkan agar pihak pemerintah

berusaha menciptakan suatu iklim yang kondusif bagi rakyat kecil

untuk hidup dalam ketenangan dan kedamaian dalam kebebasan

sebagai citra Allah.

Hal senada juga dialami oleh penerus Dom Joaquim yaitu

Dom Martinho. Dengan gigih Dom Martinho (1977-1983)

berusaha mengambil beberapa langkah dialogis untuk

menjembatani rakyat kecil yang menjadi korban pembangunan

dengan pihak penguasa dalam hal ini ABRI, namun usaha sang

Uskup tidak mendapat tanggapan yang serius dan

menggembirakan. Sang Uskup merasa terpinggirkan, hingga

akhirnya ia mengambil sikap perlawanan. Dan sikap ini tentu tidak

menyenangkan bagi pihak penguasa terutama ABRI. Para Uskup

Indonesia (MAWI) berusaha menjembatani Dom Martinho dengan

pemerintah/ABRI. Maka Mgr. Martinho diundang dalam sidang

tahunan dan kemudian bertemu dengan presiden Soeharto pada

tanggal 19 November 1981. Tetapi kemudian secara mendadak

Page 128: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

108

Dom Martinho dipanggil ke Vatikan. Sejak saat itu, Dom Martinho

tidak kembali lagi Timor hingga terdengar kabar dari Portugal

bahwa Sang Uskup menghembuskan nafas terakhirnya pada

tanggal 11 Februari 1991.

Setelah Dom Martinho kembali ke Vatikan, secara otomatis

yang menjalankan tugas sebagai Administrator Apostolik adalah

Pe. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB sejak 12 Mei 1983 hingga 14

April 1988. Tepatnya pada tanggal 15 April Paus Yohanes Paulus

II mengangkatnya untuk memangku jabatan Uskup Dili yang

kemudian menerima tahbisan oleh Dubes Vatikan untuk Indonesia,

Mgr. Francesco Canalini dengan gelar Tituler Lorium.

Semasa menjabat sebagai Uskup, Dom Carlos mengalami

hal yang serupa dengan kedua generasi pendahulunya. Konflik

demi konflik, tantangan demi tantangan dihadapinya dengan tegar.

Dom Carlos sangat menghayati panggilannya sebagai seorang

gembala.

Dalam konteks Timor Leste kesaksian Mgr. Belo

merupakan suatu upaya yang terus menerus mempromosikan

rekonsiliasi. Kehadiran sosok seorang Mgr. Belo menjadi

mediator; sang Uskup memperlihatkan kepekaan hatinya.

Rekonsiliasi diterjemahkannya sebagai suatu kebebasan yang sejati

di mana manusia dihormati dan dihargai martabatnya sebagai citra

Allah. Kesadaran ini diungkapkannya melalui majalah (MATRA,

Page 129: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

109

edisi Agustus 1992: 15) sebagaimana dikutip oleh Gusmão (1997:

139) bahwa: “Para pemimpin dan rakyat takut memperjuangkan

kebebasan...wakil-wakil rakyat yang mestinya bersuara

kelihatannya diam saja...Tapi mungkin kekeliruan kita, mereka

yang takut bersuara harus terpilih sebagai wakil rakyat.” Dengan

kesadaran inilah maka Mgr. Belo harus bicara atas nama kebebasan

dan kemerdekaan manusia yang sejati. Dalam buku Voice of the

Voiceless (editor Peter Tukan dan Frans Sihol Siagian, 1997),

terlihat jelas bahwa Mgr. Belo adalah penyambung lidah,

pemersatu, dan mediator rekonsiliasi bagi kedua belah pihak yang

sedang berada dalam konflik, baik antara Gereja dengan

pemerintah, antarsuku, antaragama dan antarbudaya. Dengan

demikian, jelaslah bahwa Gereja sungguh-sungguh merupakan

pelopor rekonsiliasi dalam berbagai konflik yang dihadapi oleh

masyarakat Timor Leste pada umumnya.

B. Gereja yang Dicita-citakan Gereja Timor Leste

Pada bagian pertama telah diulas mengenai model-model Gereja

menurut pandangan Avery Dulles. Di dalamnya kita sudah melihat

kelemahan dan kekuatan dari masing-masing model. Dengan kekuatan dan

kelemahan itu, perlulah secara kritis kita berusaha untuk memanfaatkan

kekuatan-kekuatan itu dengan keuntungan sebesar-besarnya dan sejauh

mungkin mengatasi kelemahan yang ada.

Page 130: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

110

Model bermaksud melukiskan realitas-realitas tertentu, dan tidak mau

memberikan gambaran yang lengkap-utuh. Model, di satu pihak

memperlihatkan realitas, di lain pihak menyembunyikan realitas. Model

semacam perumpamaan, lambang. Model tidak bermaksud untuk

menampilkan suatu realitas yang ideal utuh, tetapi menolong orang untuk

melihat realitas yang ada. Yang ditampilkan bukanlah segala-galanya (Afra

Siauwarjaya, 1987b: 11-12).

Masyarakat Timor Leste, dewasa ini berada di dalam proses menjadi

lebih Katolik. Ini sepadan dengan semboyan yang telah berlangsung berabad-

abad (berdasarkan rahmat Tuhan) Gereja selalu memperbaharui dan

memperkembangkan diri (ecclesia semper reformanda). Ini berarti Gereja

Timor Leste juga sebagai persekutuan umat secara terus-menerus memahami,

menghayati, dan mewujudkan imannya di dalam kenyataan dan permasalahan

hidup sehari-hari (Heryatno, 2002: 3)

Setelah Dulles merefleksikan mengenai model-model Gereja dalam

buku Models of the Church yang ditulisnya pada tahun 1974, enam tahun

kemudian tepatnya pada tahun 1980, ia menghaluskan gagasan mengenai

model-model Gereja tersebut dengan image Gereja sebagai komunitas murid-

murid Yesus. Dengan memberi gambaran Gereja sebagai komunitas murid-

murid Yesus, Dulles tidak bermaksud untuk membuang model-model Gereja

yang lain. Melanjutkan gagasan Dulles tentang Gereja sebagai komunitas

murid-murid Kristus, Afra Siauwarjaya dalam bukunya Membangun Gereja

Indonesia II mempertahankan dan menegaskan bahwa Gereja sebagai misteri

Page 131: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

111

tidak dapat direduksikan menjadi satu konsep atau image saja. Dengan image

Gereja sebagai komunitas murid-murid Kristus, Dulles (1987: 7) mau

menegaskan bahwa Gereja adalah komunitas yang dipanggil oleh Yesus

Kristus. Gereja ada karena Yesus dan dalam Yesus. Dulles sebagaimana

dikutip oleh Afra Siauwarjaya, merefleksikan “komunitas murid-murid

Kristus”, khususnya dalam konteks United State of America (USA). Kiranya

apa yang dialami oleh masyarakat USA, dialami juga oleh Gereja Timor Leste

dewasa ini. Pembahasan mengenai Gereja Timor Leste yang dicita-citakan

berikut ini mencoba untuk menemukan visi mengenai Gereja Timor Leste

yang mau dibangun, agar nanti (bab IV) dapat menempatkan re-evangelisasi

sebagai salah satu jalan dalam rangka mewujudkan Gereja yang dicita-citakan

Gereja Timor Leste.

Pembahasan mengenai Gereja yang dicita-citakan Gereja di Timor

Leste ini bertumpu pada buku Membangun Gereja Indonesia II yang ditulis

oleh Afra Siauwarjaya sebagai sumber utama. Mengenai model-model Gereja

yang mau dibangun oleh Gereja Indonesia, Afra Siauwarjaya

merefleksikannya berdasarkan hasil dari sidang-sidang Konferensi Wali

Gereja Indonesia (KWI) yang berturut-turut tahun 1970 : Pedoman Kerja

Umat Katolik Indonesia; tahun 1974: Partisipasi Gereja Indonesia dalam

Repelita II; tahun 1978: Panggilan Gereja dalam Masyarakat Indonesia; tahun

1979: Meningkatkan Partisipasi Gereja dalam Hidup Kebudayaan,

Kenegaraan, dan Kemasyarakatan; tahun 1981: Gereja dan Negara; tahun

1983: Pemekaran Diri Awam; tahun 1984: 450 Tahun Gereja Katolik di

Page 132: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

112

Indonesia; dan tahun 1985: Umat Katolik Indonesia dalam Masyarakat

Pancasila, yang kesemuanya membicarakan tentang panggilan Gereja dalam

masyarakat Indonesia. Ia memberi kesimpulan bahwa sidang-sidang KWI

tersebut sangat jelas menandaskan bahwa visi mengenai Gereja Indonesia

yang dicita-citakan adalah Gereja yang memasyarakat, Gereja yang terarah ke

dunia. Gereja disadarkan akan tanggung jawabnya untuk mewujudkan

imannya dalam segala dimensi hidupnya dan berani memerangi segala bentuk

penyelewengan dan ketidakadilan dengan perjuangan yang gigih. Dengan

demikian iman diharapkan semakin merasuki seluruh kehidupan manusia.

Sedangkan pembahasan mengenai Gereja yang mau dibangun atau

dicita-citakan Gereja Timor Leste di sini, selain bertumpu pada beberapa

kesimpulan yang disampaikan oleh Afra Siauwarjaya di atas, penulis juga

merefleksikannya berdasarkan surat kegembalaan Uskup Dom Carlos Filipe

Ximenes Belo, SDB, dalam rangka memperingati lima puluh tahun Diosis

Dili. Di samping itu penulis juga menafsirkan situasi riil Gereja yang saat ini

sedang berada dalam tahap pencarian model-model Gereja yang mau

dibangun, yang sesuai dengan konteks Gereja Timor Leste, di antaranya visi

Gereja Timor Leste yang lebih memasyarakat, Gereja yang terarah ke dunia

(umat). Gereja Timor Leste disadarkan akan tugasnya sebagai pewarta, yang

memaklumkan atau mewartakan Kerajaan Allah sebagaimana yang telah

dilaksanakan oleh Sang Pewarta Sejati yakni Yesus Kristus, dalam

menghadapi segala bentuk penyelewengan dan ketidakadilan yang terjadi,

dengan perjuangan yang gigih. Gereja Timor Leste juga disadarkan akan rasa

Page 133: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

113

tanggung jawabnya dalam mewujudkan imannya dalam segala dimensi

kehidupan manusia. Membantu semua umat agar imannya semakin merasuk

dalam segala segi kehidupan manusia, sehingga nilai-nilai Injil seperti;

keadilan, perdamaian, cinta kasih, damai sejahtera, dsb., dapat terwujud dalam

kehidupan bersama sebagai komunitas murid-murid Kristus yang sejati.

Berdasarkan uraian di atas, maka berikut akan diketengahkan

mengenai Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste di era

pascareferendum berdasarkan pemikiran Afra Siauwarjaya.

1. Gereja Fungsional: dalam Kristus, demi Kristus

Sejalan dengan pemikiran Afra Siauwarjaya mengenai visi Gereja

Indonesia yang terarah kepada dunia, visi mengenai Gereja Timor Leste

yang terarah ke dunia dalam masyarakat Timor Leste, adalah sangat sesuai

dengan sikap Konsili Vatikan II terhadap dunia dewasa ini. Untuk lebih

memahami dan memperjelas keterarahan Gereja Timor Leste ke dunia

berikut ini akan diuraikan dengan berpedoman pada dua dokumen pokok

Konsili Vatikan II yakni Lumen Gentium (LG), konstitusi dogmatis

tentang Gereja, dan Gaudium et Spes (GS), konstitusi pastoral tentang

Gereja dalam dunia modern atau dewasa ini.

Kedua dokumen ini sangat erat kaitannya satu sama lain dan saling

melengkapi. Gaudium et Spes berbicara mengenai “Gereja yang sama,

sekarang ditinjau, sejauh ia berada di dunia ini, dan hidup serta bekerja

sama dengannya” (GS 40). Dan Lumen Gentium berbicara mengenai

Page 134: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

114

Gereja berpangkal pada dirinya sendiri dengan maksud untuk memahami

Gereja dengan perkara-perkara internnya. Kedua dokumen ini saling

melengkapi dan kedua-duanya perlu diperhatikan dalam pemahaman dan

pembentukan Gereja. Jika tidak, maka pandangan mengenai Gereja tidak

akan lengkap. Misalnya, jika Gereja dipandang dari sudut dokumen

Lumen Gentium saja, maka pembahasan mengenai diri Gereja dengan

perkara-perkara internnya, akan mengarahkan pemahaman dan

pembentukan Gereja yang terhenti pada diri sendiri.

Berdasarkan kedua dokumen pokok Konsili Vatikan II tersebut,

maka di sini akan digambarkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor

Leste yakni Gereja yang fungsional. Yang dimaksud dengan Gereja

fungsional adalah Gereja yang menjadi tanda dan sarana kehadiran Yesus

Kristus yang terus-menerus melangsungkan karya penyelamatan-Nya bagi

dunia (umat). Gereja di dalam menjalankan tugas perutusan Kristus,

Gereja bertindak sebagai sakramen yakni tanda dan sarana kesatuan mesra

umat manusia dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia (LG 1).

Dalam kesatuan itu Gereja “bagi semua orang dan tiap-tiap orang menjadi

sakramen yang kelihatan dari kesatuan yang menyelamatkan” (LG 9).

Dari uraian tersebut menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan

Gereja fungsional adalah Gereja sebagai sakramen. Yang dimaksud

dengan “sakramen” di sini tidak diartikan secara kultis, melainkan secara

luas sebagaimana yang dilukiskan di atas. Seluruh pemahaman diri Gereja

Page 135: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

115

dan usaha membangun Gereja seyogyanya dilihat dari sudut pandang atau

perspektif fungsional (sakramental) tersebut.

Dapat dikatakan bahwa Gereja Timor Leste baru berarti, kalau

Gereja menjalankan fungsinya. Gereja bukanlah tujuan, melainkan

sebagai tanda dan sarana. Gereja tidak berarti dan tidak berguna, jika

Gereja tidak berfungsi menjadi tanda dan sarana karya keselamatan Allah

bagi semua orang. Dan pandangan mengenai Gereja fungsional ini

mencakup beberapa hal berikut: pertama, Gereja terpusat pada Yesus

Kristus. Kedua, Gereja secara hakiki terarah ke dunia (umat). Ketiga,

Gereja sebagai pewarta. Keempat, Gereja yang terbuka untuk dialog.

Kelima, Gereja yang mandiri dan keenam, Gereja yang anti kekerasan.

Dalam pandangan seperti itulah seluruh hidup Gereja Timor Leste

termasuk kepemimpinannya bersifat fungsional.

2. Gereja Terpusat pada Yesus Kristus

Allah telah melaksanakan rencana keselamatan bagi seluruh umat

manusia melalui Yesus Kristus. Dan dalam keseluruhan hidup Yesus

Kristus, Allah juga menyatakan Diri kepada manusia, “Barang siapa

melihat Aku, melihat Bapa “ (Yoh 14:9). Kristus juga bersabda, “Akulah

jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6). Kristus adalah jalan, karena

Dialah pengantara antara manusia dengan Allah. Ia membawa manusia

kepada Allah. Kristus adalah kebenaran, karena melalui Dia telah

diperlihatkan Allah yang adalah kebenaran itu sendiri. Sebagai kebenaran,

Page 136: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

116

Kristus menjadi tanda dari Allah. Dan Kristus adalah hidup, karena di

dalam Yesus Kristus manusia berjumpa dengan Allah. Kristus disebut

sakramen dari Allah, karena di dalam Dia rencana penyelamatan Allah

bagi umat manusia terwujud.

Gereja merupakan ungkapan iman kepada Allah melalui dan

dalam Kristus. Gereja adalah sakramen di dalam Kristus. Tanpa Kristus

Gereja tidak berarti apa-apa. Maka sudah selayaknya bahwa dari semula

seluruh perhatian diarahkan kepada Kristus (Jacobs, 1970: 110).

Gereja berfungsi sebagai sakramen Kristus. Ini berarti bahwa

seluruh hidup Gereja terarah kepada Kristus. Namun untuk memahami hal

ini kita berpegang pada Kristus sebagaimana terdapat dalam Injil yang

dimengerti dan dihayati oleh Gereja sepanjang masa.

Pusat pemakluman Yesus Kristus adalah Kerajan Allah. Kerajaan

Allah mengandung arti bahwa Allah yang meraja. Datanglah Kerajaan

Allah adalah kabar gembira bagi seluruh umat manusia. “Waktunya telah

genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada

Injil” (Mrk 1:15). Banawiratma (1984: 34) sebagaimana dikutip oleh Afra

Siauwarjaya dengan tegas mengatakan bahwa “Bagi Yesus hanya satu

yang menentukan yaitu bahwa kehendak Allah diketahui dan

dilaksanakan”.

Kerajaan Allah yang dimaklumkan Yesus dilaksanakan-Nya

dalam perkataan dan perbuatan (bdk. Luk 24: 29). Hubungan antara

perkataan dan perbuatan Yesus dalam pemakluman tidak dapat

Page 137: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

117

dipisahkan. Keduanya sangat erat kaitannya. Hal ini diungkapkan

dalam Injil Lukas 7: 22 di mana Yesus memberi jawaban kepada utusan

Yohanes yang belum memahami siapa sesungguhnya Yesus itu dengan

berkata:

Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan dengar: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik Kerajaan Allah mempunyai ciri eskatologis, menuju

pemenuhannya pada akhir zaman. Pemberitaan Kerajaan Allah tanpa

perbuatan adalah kosong, dan tindakan perwujudan Kerajaan Allah tanpa

pemberitaan akan kehilangan makna.

Demi Kerajaan Allah yang diperjuangkan-Nya, Yesus harus

berhadapan dengan kuasa dosa yang menghambat datangnya Kerajaan

Allah. Datangnya Kerajaan Allah berpautan erat dengan pertobatan.

Pertobatan yang dituntut adalah keberanian melepaskan kepentingan diri

dan mengarahkan seluruh hidup kepada Allah baik secara pribadi maupun

secara struktural. Pertobatan bukanlah soal batiniah, bukanlah persoalan

perseorangan melulu, melainkan menyangkut hidup sosial dan perwujudan

konkretnya menyangkut keselamatan orang lain.

Gereja bukanlah tujuan. “Tujuannya adalah Kerajaan Allah” (LG

9B), Kerajaan seperti yang diberitakan dan diperjuangkan Yesus melalui

perkataan dan perbuatan dengan menanggung konsekuensinya. Kerajaan

Allah terarah ke masa depan, karena itu menuntut pertobatan manusia

Page 138: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

118

secara terus-menerus memperbaharui diri dan meningkatkan kesetiaan

kepada Allah dalam Kristus.

Gereja itu ada, dibicarakan, direfleksikan, dan dibangun bukan

untuk dirinya sendiri, juga bukan untuk mencari diri sendiri, melainkan

dalam kesatuan dengan Kristus dan demi Kristus. Tujuan ini ditandaskan

lagi oleh para uskup tahun 1985: “Pentingnya Gereja semata-mata karena

hubungannya dengan Kristus” (Sinode para uskup 1985: 14). Dengan kata

lain bahwa Gereja dilihat sebagai fungsional. Gereja dipandang dalam

kesatuannya dengan Kristus dan demi Kristus. Gereja yang berpusat pada

Yesus Kristus.

3. Gereja Secara Hakiki Terarah ke Dunia

Dalam kesatuannya dengan Kristus, hidup Gereja secara hakiki

terarah ke dunia. Gaudium et Spes, konstitusi pastoral mengenai Gereja

dalam dunia dewasa ini, dalam Konsili Vatikan II, bermaksud hendak

“menjelaskan kepada semua orang bagaimana Gereja memahami

kehadiran dan usahanya di dalam dunia dewasa ini” (GS 2). Untuk

memahami ini, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan

dunia, dan apa hubungan Gereja dengan dunia.

Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes artikel 2, mengatakan

dunia sebagai:

Dunia manusia atau seluruh umat manusia beserta semua ihwal di antaranya manusia hidup; dunia, pentas sejarah umat manusia dan upayanya yang ditandai dengan kekalahan dan kemenangan; dunia, yang menuntut kepercayaan Kristen diciptakan dan

Page 139: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

119

dipelihara karena cinta kasih Pencipta, yang memandang berada dalam perbudakan dosa, tetapi yang dimerdekakan oleh Kristus, yang disalibkan dan bangkit, dan mematahkan kekuasaan yang jahat, agar diubah menurut rencana Allah dan datang kepada penyempurnaan. Maksud dari pernyataan Konsili Vatikan II dalam dokumen

tersebut, yang dimaksud dengan dunia sebagaimana dijelaskan Jacobs

(1983: 16), yang dikutip oleh Afra Siauwarjaya adalah sejauh dunia dilihat

sebagai “dunia manusia” atau seluruh umat manusia; ditinjau dari sudut

kosmologisnya, dunia merupakan alam semesta sebagai tempat tinggal

manusia; ditinjau dari sudut historisnya, sebagai pentas berlangsungnya

sejarah umat manusia; dan dari sudut pandang Kristiani, sebagai dunia

yang diciptakan Allah dan ditebus oleh Kristus serta menuju ke

kesempurnaan.

Gereja ada dalam dunia dan dunia berada dalam Gereja. Ini

merupakan pandangan dari sudut realita manusiawi. Dunia ada dalam

Gereja sejauh Gereja dilihat sebagai perhimpunan umat manusia. Dan

Gereja ada dalam dunia sejauh umat manusia itu adalah orang-orang

beriman yang menyerahkan dirinya kepada Allah melalui Yesus Kristus

dalam Roh Kudus mewujudkan imannya melalui tindakan memajukan

kehidupan bersama.

“Hubungan antara Gereja dan dunia” adalah pertama-tama

hubungan antara dua pola dalam kehidupan orang beriman sendiri sesuai

dengan paham Gereja yang fungsional (sakramental). Hal ini ditegaskan

oleh Jacobs (1986: 18) yang mengatakan bahwa: “Manusia disebut

Page 140: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

120

“dunia” sejauh ia sebagai subyek otonom berhadapan dengan Allah. Ia

disebut “Gereja” sejauh hubungannya dengan Allah terungkap dalam

bentuk yang khusus, yang lazim disebut ‘agama’ (sakramen)”. Jadi, yang

hendak diselamatkan oleh Allah melalui Yesus Kristus adalah dunia,

sebagai subyek otonom. Kalau dunia menjawab tawaran keselamatan dari

Allah dalam iman dan mengungkapkan dalam iman, maka dunia menjadi

Gereja. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa Gereja mengartikulasikan

iman dunia. Keselamatan berarti manusia hidup dalam relasi dengan Allah

yang memanggilnya.

Tujuan Gereja bukanlah dirinya, melainkan demi iman. Iman baru

menjadi nyata jika dilaksanakan dalam tindakan atau tugas hidup sehari-

hari. Dalam Gereja, relasi dengan Kristus diungkapkan secara eksplisit,

karena itu Gereja disebut ungkapan iman, komunikasi iman. Sedangkan

relasi dengan Kristus, dalam kehidupan sehari-hari tidak kelihatan, tetapi

terlaksana di mana manusia mampu menjawab tantangan-tantangan

hidupnya sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, relasi dengan Yesus

Kristus menjadi kenyataan yang sungguh-sungguh (bdk. Jacobs – Kieser

1980: III/27-28). Dengan demikian yang dimaksud dengan tujuan Gereja

demi iman yang terarah ke dunia adalah Gereja yang sungguh-sungguh

menunjang, mengembangkan, dan melaksanakan relasi umat dengan

Kristus dalam situasi nyata. Dengan demikian Gereja berfungsi sebagai

tanda sekaligus sarana keselamatan Allah yang sudah ada di dunia.

Page 141: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

121

Sebagaimana Kristus demi Kerajaan Allah terlibat dan solider

dengan kaum miskin dan tertindas, demikian juga keterarahan Gereja ke

dunia teristimewa tertuju kepada kaum miskin dan tertindas. Sinode para

Uskup tahun 1971 dengan tegas mengatakan bahwa Gereja mempunyai

tugas untuk mewartakan atau memberitakan dan mewujudkan “kabar

gembira bagi kaum miskin, kebebasan bagi orang-orang tertindas dan

sukacita kepada orang yang berdukacita” (Sinode para Uskup 1971: 10).

Hal ini semakin mendesak karena tuntutan situasi krisis dunia atau

masyarakat, seperti hilangnya rasa: persaudaraan, cinta kasih, kedamaian,

dan nilai-nilai Injil lainnya, yang mengakibatkan dunia semakin terjerat

hidupnya dalam “suatu jaringan penjajahan, penindasan, peperangan, dan

kesewenang-wenangan yang mencekik kebebasan dan mencegah bagian

terbesar umat manusia untuk ikut serta dalam pembangunan dan turut

menikmati suatu dunia yang lebih adil dan lebih bersaudara” (Sinode para

Uskup 1971: 9). Namun terlebih-lebih karena kebobrokan batin manusia

yang menentang rencana Penciptanya.

Untuk menjalankan keterarahan Gereja ke dunia berhadapan

dengan situasi krisis seperti tersebut di atas, maka ada baiknya Gereja pun

dapat belajar dan menimba pelajaran dari teologi-teologi pembebasan di

Amerika Latin, sehingga dengan demikian Gereja (di Timor Leste)

mampu menemukan visinya dalam mewartakan kabar gembira bagi dunia

atau masyarakatnya, yakni tindakan konkret untuk menolong orang keluar

dari keadaan mereka yang miskin (moral, spiritual, dan intelektual) dan

Page 142: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

122

tertindas, menuju situasi persaudaraan manusiawi. Dalam usaha untuk

menolong mereka yang miskin dan tertindas, teologi pembebasan

merupakan “fungsi refleksi-kristis terhadap praksis pembebasan“ .

Menghadapi berbagai krisis yang saat ini terjadi di Gereja Timor

Leste, seperti hilangnya rasa persaudaraan, keadilan, cinta kasih, dan nilai-

nilai Injil lainnya, sangatlah mendesak bahwa Gereja mengambil sikap

untuk meningkatkan kesetiaannya kepada Kristus. Gereja tidak bisa

berdiam diri lagi atau mengambil sikap apatis terhadap perkembangan

zaman ini seperti sikap Gereja di masa silam.

4. Gereja sebagai Pewarta

Dalam model-model Gereja yang telah diungkapkan (bagian B

dalam bab ini), secara implisit telah disinggung mengenai peranan Gereja

sebagai pewarta Injil atau Kabar Gembira. Ini dapat dilihat pada model

Gereja sebagai institusi di mana memiliki tiga unsur pokok, di antaranya

adalah mengajar, menguduskan dan memimpin. Di dalam unsur mengajar,

Gereja telah mengambil bagian dalam tugas pewartaan atau pemakluman

Injil atau Kabar baik. Tipe eklesiologi ini (pewarta) mempunyai titik temu

dengan faham Gereja sebagai persekutuan. Keduanya memandang Gereja

sebagai Umat Allah. Namun model Gereja sebagai pewarta lebih

menekankan iman dan pewartaan, sedangkan model Gereja sebagai

persekutuan lebih mementingkan hubungan antarpribadi dan persekutuan

mistik.

Page 143: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

123

Pembahasan ini akan mengulas lebih jauh tentang model Gereja

sebagai pewarta sesuai dengan situasi konkret saat ini. Bagaimana Gereja

Timor Leste bisa menempatkan dirinya dalam menghadapi berbagai

permasalahan yang terjadi.

Mengingat situasi krisis yang akhir-akhir ini terjadi di Gereja

Timor Leste, seperti terjadinya gap dalam tubuh tentara nasional Timor

Leste “FDTL = ForÇa Defesa da Timor Leste” (Kompas, 29 April 2006:

9) yang membawa dampak negatif yang besar, yakni adanya peperangan

antarsuku atau etnis yang berlangsung dalam jangka waktu yang agak

panjang. Dan dalam penyelesaiannya atau mencari solusinya melibatkan

militer dari luar negeri seperti Selandia Baru, Malaysia, Australia,

Portugal sebagai penengah dalam penyelesaian masalah tersebut. Juga,

adanya larangan dari pemerintah (pemerintahan Marie Alkatiri) untuk

memuat Pendidikan Agama dalam Kurikulum Pendidikan (Hidup, edisi 29

Mei 2005: 30-31). Gereja tidak hanya diam, tetapi Gereja diajak untuk

terbuka dan ambil bagian dalam perkembangan zaman.

Menghadapi situasi krisis seperti tersebut di atas, Gereja Timor

Leste tetap menempatkan diri sebagai pewarta, yang lahir dari Yesus dan

para rasul. Gereja Timor Leste diajak untuk terus-menerus mewartakan

Kabar baik kepada semua orang, terlebih kepada kaum miskin (moral,

spiritual, dan intelektual), dan yang tertindas, yang mengalami

ketidakadilan. Hal ini ditegaskan oleh Paus Paulus VI dalam ensiklik

Evangelii Nuntiandi art. 14 yang mengatakan bahwa:

Page 144: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

124

Gereja mempunyai kesadaran yang hidup mengenai kenyataan bahwa kata-kata Sang Penebus, “Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah”, (Luk 4: 43) berlaku juga sebenarnya untuk Gereja. Gereja dengan senang hati akan menambahkannya bersama-sama Santo Paulus: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Kor 9: 16). Ini merupakan suatu tugas dan perutusan, yang semakin lebih mendesak karena perubahan-perubahan yang meluas dan mendalam di dalam masyarakat zaman sekarang ini. Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja ada untuk mewartakan Injil, yakni untuk berkotbah dan mengajar, menjadi saluran kurnia rahmat, untuk mendamaikan para pendosa dengan Allah dan untuk mengabadikan kurban Kristus di dalam Misa, yang merupakan kenangan akan kematian dan kebangkitan-Nya yang mulia.

Maksud dari ensiklik tersebut adalah Gereja menyadari tugasnya

yang diberikan oleh Yesus juga para rasul seperti Santo Paulus, yakni

mewartakan Injil. Gereja juga sadar akan keberadaannya yakni

mewartakan Injil. Bahkan dikatakan bahwa tugas mewartakan Injil adalah

perutusan hakiki dari Gereja.

Tugas mewartakan Injil adalah rahmat dan panggilan yang khas

bagi Gereja. Gereja ada untuk mewartakan Injil sebagaimana Yesus dan

para rasul telah melaksanakannya, dengan jalan berkotbah, mengajar,

menjadi saluran kurnia rahmat, untuk mendamaikan para pendosa dengan

Allah, dan untuk mengabadikan kurban Kristus di dalam Misa, yang

merupakan kenangan akan kematian dan kebangkitan-Nya yang mulia.

Gereja dalam menjalankan tugas perutusannya berpangkal pada perintah

Yesus yakni “...pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (lih.

Mat 28:19)

Page 145: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

125

5. Gereja yang Terbuka untuk Dialog

Cara baru menggereja dalam konteks Gereja Timor Leste adalah

hidup misioner dengan semangat dialogal, dan menurut logika inkarnasi.

Tugas utama Gereja Timor Leste dalam menghadapi berbagai

permasalahan yang ada dewasa ini adalah tetap pewartaan (kerygma).

Cara, bagaimana pewartaan itu dijalankan adalah dengan jalan dialog (EA

29). Dalam surat gembala Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB (4

September 1990) dengan tegas mengatakan bahwa:

Masyarakat Timor Leste sedang berubah untuk menjadi suatu masyarakat yang sifatnya semakin heterogen jika ditinjau dari segi etnografi, kultural, dan religius. Orang Timor Leste tidak lagi hidup dalam keterasingan. Dengan kehadiran masyarakat dari berbagai daerah, orang Katolik harus menunjukkan sikap terbuka dan kesediaan untuk berdialog, untuk bekerja sama dengan semua pihak untuk membangkitkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai moral sesuai dengan jiwa Konsili Vatikan II” (Tukan dan Sousa, 1997: 246)

Maksud dari pernyataan tersebut di atas adalah bahwa Gereja

Timor Leste di era pascareferendum ini bukan lagi hidup dalam

keterasingan. Tak dapat dipungkiri bahwa Gereja Timor Leste dewasa ini

sungguh-sungguh hidup dalam situasi yang sifatnya heterogen, ditinjau

dari segi etnografi, kebudayaan, dan religius. Maka, dialog dalam konteks

Gereja Timor Leste adalah keterbukaan untuk dialog dengan kebudayaan-

kebudayaan dari berbagai daerah di Timor Leste. Sebab, masyarakat

Timor Leste hidup dalam suasana miltikultural. Dengan dialog

antarkebudayaan diharapkan terciptanya sikap terbuka dan kesediaan

untuk menerima perbedaan kebudayaan yang ada. Di samping itu,

Page 146: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

126

Gereja Timor Leste sendiri di dalamnya ada kaum religius (pastor,

biarawan/biarawati) yang berasal dari diosis-diosis lain, yang berasal

dari berbagai ordo serta kongregasi. Maka, dibutuhkan sikap untuk

berdialog, dengan hati yang terbuka mau menerima, adanya kerendahan

hati, saling percaya dari antara kaum religius, sehingga mampu bekerja

sama dalam menjalankan karya penyelamatan bagi masyarakat yang

membutuhkannya.

6. Gereja yang Mandiri

Berbicara mengenai Gereja yang mandiri atau matang dalam

bangsa Timor Leste yang multikultural, ini berarti pertama; berbicara

tentang upaya-upaya untuk menemukan, merumuskan, atau membangun

identitas Gereja sendiri. Yang dimaksud dengan Gereja yang memiliki

identitas di sini adalah paguyuban kristiani yang percaya akan nilai-nilai

luhur yang diperjuangkannya bagaikan “daya komando” yang

mendorongnya untuk maju terus. Secara negatif, bila Gereja tidak

memiliki identitas diri, sudah barang tentu ia tidak memiliki masa depan

juga. Oleh karena itu, sejalan dengan SAGKI tahun 2000 yang lalu,

kiranya perlu digalakkan terus upaya untuk membangun dasar-dasar

paguyuban yang kokoh. Dasar-dasar untuk membangun paguyuban yang

kokoh ini menurut Sudhiarsa (2004: 235) ada tiga (3), di antaranya; (1)

pengalaman yang mendalam akan Allah. Gereja tidak lain selain suatu

persekutuan atau paguyuban (communio) kaum beriman. Gereja, baik

Page 147: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

127

dalam tingkat lokal maupun universal, adalah pertama-tama “a

communion of communities” (EA art. 25), di mana kaum awam, biarawan-

biarawati dan klerus saling mengakui dan saling menerima sebagai

saudara-saudari satu sama lain dengan citarasa persaudaraan sejati. Nilai-

nilai yang penting dalam paguyuban (koinonia) ini adalah; pengalaman

communio dengan Allah dan dengan umat manusia (EA 24). Citarasa ini

terutama nyata dalam Ekaristi. (2) pelayanan yang partisipatif. Semua

pelayanan dalam Gereja pada hakekatnya merupakan partisipasi dan

kolaborasi dalam bangunan “Tubuh Kristus”. Ini mengandung arti bahwa

tugas Gereja-mengajar, menguduskan, dan melayani – bersifat partisipatif

dan kolaboratif (EA 25). Pemahaman ini membawa suatu konsekuensi

yang besar, yakni suatu pembaharuan dalam struktur dan disiplin Gereja.

Dalam hal ini Gereja Timor Leste memiliki keunikan pelayanan, yakni

menjamin dan memajukan persatuan Gereja (LG 22). Selanjutnya,

pendekatan “satu arah” yakni dari Gereja (Timor Leste) ke umat diganti

dengan “saling belajar dan mengajar, saling memberikan semangat dan

koreksi antara Gereja dengan konteks permasalahan yang dihadapi oleh

umat (Gereja). (3) Gereja yang berakar dalam kebudayaan setempat.

Gereja Timor Leste adalah Gereja inkulturatif. Inkulturasi adalah bagian

inti dari penziarahan Gereja dalam sejarah, karena iman kristiani tidak

dapat dibatasi dalam batas-batas pengertian dan ungkapan satu

kebudayaan saja (EA 20).

Page 148: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

128

Kedua, mencari alternatif baru dalam cara hidup Gereja di tengah

masyarakat. Maksudnya perlu dibangun suatu eklesiologi yang mampu

menjawabi pluralitas (kebudayaan, agama, etnis, suku, ras) dan mobilitas

masyarakat Timor Leste dewasa ini dan merajutnya dalam keutuhan

negara – bangsa Timor Leste. Maksudnya, perlu terus memajukan Gereja

yang terlibat dan mengubah wajah Timor Leste sedemikian rupa, sehingga

masyarakat Timor Leste ini sungguh-sungguh mengungkapkan religiositas

warganya.

Secara misiologis, tidak bisa ditawar lagi upaya membangun dan

memantapkan kembali visi misioner dan komitmen bersama serta etos

misioner yang memadai dalam menjawabi tanda-tanda zaman. Karena itu,

Amanat Apostolik Ecclesia in Asia ini perlu dibaca dari perspektif Bapa

Suci yang inginkan mendorong kepada Gereja lokal yakni Gereja Timor

Leste sebagai kawanan kecil untuk tetap maju menuju tahap kematangan,

dan kemandiriannya.

7. Gereja yang Anti Kekerasan (Nonviolence)

Bagaimana orang Kristen, baik secara individu maupun sebagai

persekutuan umat, harus bersikap terhadap perlakuan pihak lain yang

jahat, tidak adil dan sewenang-wenang? Hal ini merupakan persoalan dan

pergumulan iman yang banyak dijumpai dalam praktek kehidupan sehari-

hari. Hal ini disebabkan karena sebagai pengikut Kristus, orang kristen

menerima amanat dari Tuhan Yesus untuk melaksanakan Hukum Kasih.

Page 149: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

129

Dan ini berarti, sebagai terapannya, orang Kristen dituntut untuk sedapat

mungkin mewujudkan pengampunan, pengorbanan, dan penyangkalan diri

sendiri, demi keselamatan dan kesejahteraan pihak lain. Bahkan lebih jauh

lagi, Tuhan Yesus mengamanatkan kepada pengikut-Nya agar tidak

menerapkan prinsip pembalasan, yaitu “mata ganti mata, gigi ganti gigi”,

melainkan “janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat

kepadamu” dan “siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga pipi

kirimu” (Mat 5: 38-39). Singkatnya, “kasihilah musuhmu, dan berdoalah

bagi mereka yang menganiayamu” (Mat 5: 44).

Melihat dan mengamati keadaan yang terjadi akhir-akhir ini di

Timor Leste, seperti perang saudara/perang antaretnis (Loro-sae dan Loro-

monu), perang antarinstansi pemerintahan (Polisi Timor Leste dan Tentara

Nasional Timor Leste) yang membawa banyak korban, ini memang suatu

keprihatinan yang mendalam. Gereja Timor Leste sebagai pengemban

amanat “damai” dari Sang Raja Damai yakni Yesus Kristus, mau tidak

mau harus mengambil langkah rekonsiliatif. Tentu ini merupakan suatu

tugas yang berat bagi Gereja Timor Leste, mengingat banyak umat yang

saat ini telah hilang kepercayaan terhadap Gereja. Langkah rekonsiliatif

ini dapat dijalankan melalui kotbah-kotbah, surat gembala, himbauan, dll.

Bertindak secara rekonsiliatif dan penuh belas kasih merupakan

tuntutan dari rasa kemanusiaan yang mendalam (Darminta, 1993: 55).

Rasa kemanusiaan yang mendalam inilah yang mempertemukan semua

orang pada kasih yang penuh kelembutan hati. Untuk bertindak seperti itu,

Page 150: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

130

diperlukan bahwa setiap orang atau sekurang-kurangnya kita yang

beriman berani kembali hadir pada inti serta pusat, yang menyatukan umat

manusia. Dengan kata lain membangun hati yang damai, hening dan jernih

lewat doa dan hadir pada Allah merupakan kondisi yang perlu, agar kita

tidak terjebak pada perangkap tindak kekerasan. Bertindak tanpa

kekerasan itulah yang sepantasnya kita wujudkan dalam kehidupan kita.

Dengan bercermin pada Kitab Suci akan sikap Yesus terhadap

tindak kekerasan (Mat 26: 47-56), Gereja Timor Leste mampu

menjalankan “misi perdamaian”nya yang diamanatkan oleh Yesus sebagai

Raja Damai Sejati. Untuk menjalankan misi penyelamatan Allah terhadap

dunia dan umat manusia, maka Yesus harus menjalankan jalan

kesengsaraan, penderitaan dan maut. Dia harus mengorbankan Diri-Nya

sendiri, demi kesejahteraan dan keselamatan manusia. Dia seakan-akan

mentolerir dan membiarkan saja tindakan kesewenang-wenangan dan

ketidakadilan yang dikenakan terhadap-Nya. Tindakan kekerasan tidak

dibalas-Nya dengan kekerasan, melainkan kelembutan dan pengampunan.

Maka, Gereja Timor Leste sebagai pengemban tugas atau misi

penyelamatan Allah sebagaimana diamanatkan oleh Yesus, maka mau

tidak mau Gereja Timor Leste harus mengambil sikap seperti Yesus.

Sikap Yesus inilah yang menjadi model dan teladan sikap dan perilaku

dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi di dalam kehidupan,

terlebih tindak kekerasan. Intinya, Gereja yang anti kekerasan

(nonviolence).

Page 151: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

131

BAB IV

RE-EVANGELISASI SEBAGAI SALAH SATU JALAN

MEWUJUDKAN GEREJA YANG DICITA-CITAKAN SERTA USAHA

MENANGGAPI TANTANGAN YANG DIHADAPI GEREJA

TIMOR LESTE DEWASA INI

Pada bab II telah disinggung mengenai permasalahan atau tantangan

yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste di era pascareferendum, di antaranya;

masalah kaum muda, masalah pendidikan, masalah politik, bahaya sekularisme

dan materialisme, serta penghayatan hidup beriman umat. Sedangkan pada bab III

telah diuraikan mengenai Gereja yang dicita-citakan yakni Gereja fungsional:

dalam Kristus dan demi Kristus, Gereja yang terpusat pada Yesus Kristus, Gereja

secara hakiki terarah ke dunia, Gereja yang terbuka untuk dialog, Gereja yang

mandiri dan Gereja yang anti kekerasan.

Dalam permasalahan atau tantangan yang dihadapi oleh Gereja Timor

Leste secara sekilas telah disinggung mengenai kaum muda yang kehilangan akan

makna hidup religius ketika berada di perantauan. Pendidikan yang harus

dijalankan dengan lebih bervisi spiritual sehingga mampu memperkembangkan

pribadi manusia menjadi lebih humanis. Situasi politik yang mempengaruhi

perkembangan kehidupan beriman umat serta menyeret Gereja Timor Leste untuk

terlibat ketika kesejahteraan dan ketentraman rakyat terusik. Sekularisme dan

materialisme yang merupakan agama baru bagi masyarakat Timor Leste di era

pascareferendum.

Sedangkan dalam Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste

muncul berbagai harapan dan tuntutan yang mau tidak mau Gereja Timor Leste

Page 152: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

132

harus menanggapinya dengan serius. Untuk itu, pada bab IV ini penulis mencoba

menawarkan re-evangelisasi sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan Gereja

yang dicita-citakan serta menanggapi tantangan yang dihadapi oleh Gereja Timor

Leste dewasa ini, dan katekese sebagai bagian integral dari re-evangelisasi.

Penulis berharap sumbangan pemikiran seperti ini bisa memberikan wawasan baru

bagi Gereja Timor Leste untuk berani mencoba sesuatu yang baru.

Berikut akan diulas mengenai re-evangelisasi sebagai salah satu jalan

dalam mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Timor Leste serta menanggapi

tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste dewasa ini yang menjadi pokok

pembahasan seluruh isi skripsi ini. Pembahasan akan dibagi dalam lima (5) bagian

di antaranya: pertama, beberapa definisi mengenai evangelisasi. Kedua, beberapa

pandangan mengenai re-evangelisasi. Ketiga, unsur-unsur re-evangelisasi yang

terdiri dari lima (6) sub bagian di antaranya: subyek dari re-evangelisasi, tujuan

re-evangelisasi, tantangan-tantangan re-evangelisasi, syarat-syarat re-evangelisasi,

dan upaya-upaya re-evangelisasi, dan makna re-evangelisasi bagi Gereja Timor

Leste. Keempat, re-evangelisasi sebagai salah satu jalan mewujudkan Gereja yang

dicita-citakan Gereja Timor Leste. Kelima, re-evangelisasi sebagai salah satu jalan

menanggapi permasalahan atau tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste

dewasa ini.

A. Beberapa Definisi Evangelisasi

Dalam Kamus Teologi (1996: 76), istilah evangelisasi (=evangelium)

diartikan sebagai pewartaan Kabar Gembira (Injil) mengenai Yesus Kristus

Page 153: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

133

(Mrk 1: 1) kepada semua bangsa (Mat 28: 19-20; Rm 10:12-18) dan

kebudayaan. Melalui kuasa Roh Kudus (Kis 1: 8), Injil diwartakan baik

kepada orang-orang Kristiani maupun orang-orang bukan Kristiani.

Menurut Suharyo, Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang (1993:

19), istilah evangelisasi mulai banyak dipakai dalam literatur Katolik sejak

pertengahan abad ini, antara lain karena pengaruh-pengaruh teolog Protestan

seperti Karl Barth. Para teolog pastoral dan para pendidik yakin, bahwa gejala

de-kristenisasi harus dihadapi dengan pewartaan yang mendasar dan

meyakinkan mengenai keselamatan dalam Yesus Kristus. Para misiolog pada

masa itu berpikir bahwa inisiasi ke dalam iman dibedakan dalam tiga tahap:

pra-evangelisasi, yang adalah berusaha menumbuhkan minat terhadap

masalah-masalah hidup dan iman sebagai persiapan untuk mendengarkan

warta Kristiani; evangelisasi, yang adalah pewartaan iman Kristiani yang

mendasar; katekese, pengajaran mengenai pokok-pokok iman.

Dalam Konsili Vatikan II istilah evangelisasi banyak dipakai. Vatikan

I, yang mencerminkan mentalitas abad ke-19, hanya satu kali menggunakan

kata injil ( = evangelium) dan tidak satu katapun mengenai “evangelisasi”.

Konsili Vatikan II menggunakan kata injil sebanyak 157 kali. “Mewartakan

injil” sebanyak 18 kali dan evangelisasi sebanyak 31 kali. Yang dimaksudkan

dengan evangelisasi biasanya adalah pemakluman pewartaan Kristiani yang

paling dasar kepada orang-orang yang belum percaya kepada Kristus

(Suharyo, 1993: 12).

Page 154: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

134

Sejalan dengan semangat Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI (1963-

1979) lebih memberi tekanan kepada evangelisasi. Dengan lebih memberi

orientasi yang lebih jelas kepada perutusan Gereja, Paus Paulus VI memilih

tema “Evangelisasi Dalam Dunia Modern” dalam sinode para Uskup tahun

1974. Atas dasar bahan-bahan yang dihasilkan sinode itu, pada tahun 1975 ia

menulis amanat apostolis Evangelii Nuntiandi. Dalam dokumen itu termuat

paham yang sangat kaya:

Evangelisasi adalah rahmat panggilan khas Gereja, merupakan jati dirinya yang paling dasar. Gereja ada untuk mewartakan Injil, artinya untuk memaklumkan dan mengajar, menjadi saluran anugerah rahmat, untuk mendamaikan orang-orang berdosa dengan Allah untuk melanggengkan kurban Kristus dalam Ekaristi, yang adalah kenangan akan wafat dan kebangkitan-Nya yang mulia (EN. art. 14)

Secara tersirat dokumen ini mengisyaratkan bahwa jati diri

sesungguhnya dari Gereja adalah mewartakan Injil. Panggilan untuk

mewartakan Injil bagi Gereja adalah suatu rahmat yang mulia. Gereja juga

berkewajiban untuk menyalurkan rahmat tersebut kepada semua umat.

Rahmat ini dapat diperoleh dari pengenangan akan kurban Kristus dalam

Ekaristi. Selain itu, Gereja juga dapat mewartakan Injil dengan memaklumkan

dan mengajar, terlebih mendamaikan semua orang yang berdosa dengan

Allah, sehingga keselamatan yang telah dijanjikan oleh Allah dapat terwujud.

Menurut Prior (1992: 47), evangelisasi dimengerti sebagai upaya

untuk “memberitakan Injil Allah” (Mrk 1: 15), merupakan pertemuan antara

tawaran Injil dan situasi aktual serta menyangkut hubungan tata masyarakat

Page 155: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

135

Injil dengan sosio-ekonomi (orang kecil), dengan dunia sosio-budaya dan

sosio-keagamaan (agama mayoritas).

Pewartaan Injil bermaksud membaharui dunia dengan segala

pertentangan yang menantang dan segala daya kemampuan yang siap

dikembangkan. Evangelisasi berhasil bila dunia lebih manusiawi, menjadi

manusia lebih merdeka dan berkembang senada dengan kehendak Allah dan

selaras dengan alam ciptaannya.

B. Beberapa Pandangan mengenai Re-evangelisasi

Apa jadinya kalau orang berjalan dan jatuh dalam rutinitas tanpa

melihat sesuatu yang selalu baru dalam hidup ini? Barangkali orang akan

menjadi bosan, jenuh, tertekan, dan lemas serta tidak berdaya. Kerapkali

orang membutuhkan kebaruan untuk keluar dari kebuntuan dan kemandegan.

Untuk menemukan kebaruan itu orang harus berani berkonfrontasi dengan

kenyataan, situasi, dan kondisi yang aktual. Di situlah kebaruan muncul. Di

situlah kegembiraan dan kebahagiaan ditemukan.

Dalam mewartakan Sabda Allah pun orang butuh kebaruan,

khususnya dalam metode penyampaiannya. Mengapa? Karena perubahan

masyarakat dan zaman begitu cepat seolah tidak terbendung lagi. Orang

membutuhkan cara-cara baru untuk menyampaikan pesan Sabda Allah dalam

dunia yang ditandai oleh berbagai kemajuan ilmu dan teknologi. Kebaruan

dalam cara itu semakin dibutuhkan orang-orang zaman modern ini. Inilah

kiranya arah re-evangelisasi.

Page 156: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

136

Pada awal masa kepausannya, Yohanes Paulus II hadir dalam

Konferensi Uskup Amerika Latin di Puebla (Januari 1979). Tema konferensi

itu adalah “Evangelisasi Kini dan Masa Depan Di Amerika Latin”. Puebla

menerima pandangan Paus Paulus VI dan menekankan bahwa melalui

evangelisasi Gereja ingin “memberikan sumbangan dalam usaha membangun

masyarakat yang baru yang lebih bersaudara dan adil.”

Dalam pembukaan konferensi itu, Paus Yohanes Paulus II banyak

mengutip Evangelii Nuntiandi, beliau tidak menerima reduksi sosiologis. Dari

lain pihak sangat menekankan, bahwa salah satu segi evangelisasi Gereja yang

tidak dapat ditinggalkan menyangkut “usaha-usaha demi keadilan dan

pengembangan kemanusiaan”. Pada bulan Maret 1979, Paus Yohanes Paulus

II mengirimkan surat dukungan untuk kesimpulan-kesimpulan yang

dihasilkan oleh konferensi Puebla. Sejak saat itu ia tampil sebagai Paus yang

tidak mengenal lelah untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia (Suharyo, 1993:

14).

Pada tanggal 19 Maret 1983, untuk pertama kalinya Yohanes Paulus II

berbicara mengenai evangelisasi baru (= re-evangelisasi) ketika ia berbicara di

hadapan para Uskup Amerika Latin di Port-an-Prince, Haiti, tahun 1982 saat

akan diadakan Konferensi Uskup Amerika Latin, bertepatan dengan 500 tahun

evangelisasi benua Amerika: Peringatan hendaknya ditandai dengan

komitmen Gereja dengan evangelisasi baru (re-evangelisasi) bagi belahan

bumi ini, “baru dalam semangat, cara dan wujudnya.”

Page 157: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

137

Tema evangelisasi baru dikembangkan secara lebih luas lagi dalam

dua dokumen kepausan yang keluar pada tahun 1990. Dalam surat kepada

biarawan-biarawati Latin Amerika, tertanggal 29 Juni, dikatakan bahwa

evangelisasi baru harus memperdalam iman orang-orang Kristiani,

mengembangkan kebudayaan baru yang terbuka bagi pesan Injil dan

mendorong transformasi sosial di benua itu. Selanjutnya pada akhir tahun

1990 dikeluarkan ensiklik Redemptoris Missio. Dibedakan secara lebih jelas

keadaan yang menuntut reksa pastoral dan yang menuntut evangelisasi (RM

art. 33). Situasi yang menuntut evangelisasi juga dua. Yang pertama, daerah-

daerah di mana Kristus dan Injil belum dikenal menuntut evangelisasi

pertama. Selanjutnya daerah-daerah yang orang-orang Kristianinya sudah

kehilangan rasa iman dan tidak menganggap diri lagi warga Gereja,

dibutuhkan re-evangelisasi. Ada kesan, evangelisasi baru menurut ensiklik ini

disamakan dengan re-evangelisasi wilayah-wilayah yang pernah disebut

Kristen. Namun anggapan ini tampaknya tidak terlalu kaku. (Suharyo, 1993:

15-16).

Dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi Paus Paulus VI menulis:

“.....Gereja mempunyai kesadaran untuk hidup mengenai kenyataan bahwa kata-kata Sang Penebus, “Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah” (Luk 4: 43), berlaku juga sebenarnya untuk Gereja..... Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja ada untuk mewartakan Injil...”

Lebih lanjut Paus juga mengatakan: “Bagi Gereja mewartakan

(evangelisasi) berarti membawa Kabar Baik kepada segala tingkat

Page 158: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

138

kemanusiaan, dan melalui pengaruh Injil mengubah umat manusia dari dalam

dan membuatnya menjadi baru” (EN. art 18).

Dari apa yang ditulis oleh Paus di atas, penulis dapat menyimpulkan

bahwa re-evangelisasi (=evangelisasi baru) bukan hanya sekedar mewartakan

kembali Injil kepada orang-orang kristiani, tetapi terutama berarti usaha agar

dalam menghadapi tantangan-tantangan zaman sekarang karya pewartaan

dapat membantu dan membimbing umat untuk menjalankan hidup yang

sungguh bersifat injili.

Menurut Adisusanto (1995: 69) kebaruan evangelisasi terletak

terutama dalam usaha pewartaan untuk membantu umat agar mereka dapat

merealisasikan nilai-nilai injil dalam kehidupan nyata sehari-hari dalam

konteks tantangan-tantangan zaman sekarang.

Maksud dari pernyataan Adisusanto di atas berarti bahwa evangelisasi

baru (=re-evangelisasi) merupakan upaya menjadi sekaligus pewarta dan saksi

Kabar Baik Kerajaan Allah di tengah-tengah keluarga, komunitas,

masyarakatnya dalam menghadapi situasi tantangan-tantangan zaman.

Tindakan tersebut diharapkan menghasilkan pembaharuan hidup, bukan hanya

hidup orang kristiani yang bersangkutan, tetapi juga hidup masyarakat di

sekitarnya (lih. Why 21: 5; 2Kor 5:17; Gal 6:15; Ef 4: 23-24; Kol 3: 9-10).

Sedangkan Suharyo (1993: 19) mengatakan bahwa re-evangelisasi

tidak membatasi diri pada penerusan ajaran atau mencari pemeluk agama

Kristen sebanyak-banyaknya, melainkan menyampaikan kabar gembira (=

Page 159: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

139

injil) keselamatan kepada semua manusia yang utuh, yang mempunyai sejarah

hidup yang berbeda-beda.

Dengan demikian tujuan dari re-evangelisasi dapat dikatakan atau

dirumuskan demikian: “membangun komunitas Kristiani, yang dijiwai oleh

sabda Allah, dalam konteksnya yang beragam, sehingga komunitas itu hadir

memberikan kesaksian yang hidup akan Kristus yang menyelamatkan”.

Menurut Darmawijaya (1993: 100) re-evangelisasi (evangelisasi baru)

harus memperdalam iman orang kristen sendiri, menciptakan budaya baru

yang terbuka bagi amanat Injil, dan memajukan pembaharuan sosial.

Mencanangkan evangelisasi baru (=re-evangelisasi) berarti

mencanangkan suatu gerakan. Gerakan itu diawali dengan penyadaran bahwa

manusia memiliki bekal untuk menghadapi situasi dan kondisi kehidupan

masa kini. Bekal itu adalah perjuangan leluhur kita dalam iman. Namun

demikian situasi dan kondisi masyarakat zaman ini memang lain. Maka

menjadi penting sekali usaha mencari jembatan bagaimana bekal yang

diwariskan oleh leluhur dalam iman ini bisa menjadi kekuatan baru bagi

kehidupan di zaman yang baru? Usaha seperti itu merupakan perutusan bagi

setiap orang yang mau hidup serius dengan imannya.

Apa artinya hidup serius dengan imannya? Menurut Darmawijaya

(1993: 102-103) hidup serius dengan imannya berarti; pertama, orang itu mau

menjadi saksi rencana kasih Allah bagi manusia termasuk dirinya. Kedua,

orang itu mau mewartakan rencana dan kasih Allah tersebut dalam situasi dan

kondisi yang berubah-ubah. Ketiga, orang itu mau menghadapi kenyataan

Page 160: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

140

hidup sekarang bukan hanya sebagai ancaman bagi rencana dan kasih,

melainkan juga sebagai jalan memetik buah-buah kasih tersebut.

Dengan demikian pewartaan iman tidak perlu dipisahkan dari

pembangunan seluruh kehidupan manusia yang nyata ini. Kemerdekaan

manusia memungkinkan dia untuk memilih jalan mengembangkan hidup

secara bertanggung-jawab. Dalam hubungan ini evangelisasi lalu harus

dilaksanakan bersama pembangunan manusia secara utuh. Re-evangelisasi

lalu baru bisa dilihat sebagai rencana pastoral seluruh Gereja untuk

melibatkan diri dalam kepentingan umat manusia di manapun. Dalam era

globalisasi ini kepentingan manusia di manapun juga mendapat perhatian

dalam penginjilan tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa re-evangelisasi

diperlukan untuk daerah-daerah yang memiliki akar-akar Kristen lama,

kadang Gereja lebih muda juga, tetapi kehilangan makna iman dalam

kehidupan; atau mereka tidak lagi memandang diri mereka sebagai anggota

Gereja. Dalam situasi seperti ini diperlukan “evangelisasi yang baru”, atau

suatu “proses penginjilan kembali” (re-evangelisasi).

Bila dikatakan bahwa re-evangelisasi berarti usaha pewartaan agar

umat menghayati hidup injili dalam konteks masyarakatnya yang menghadapi

tantangan-tantangan zaman, maka kiranya baik kalau kita membicarakan re-

evangelisasi dalam konteks masyarakat di Asia, di mana Timor Leste menjadi

salah satu bagiannya, yang sedang menghadapi tantangan-tantangan yang

Page 161: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

141

tidak sedikit (bahaya sekularisme dan konsumerisme, masalah pendidikan,

masalah kaum muda serta masalah politik).

Umat kristiani di Asia khususnya Timor Leste mewartakan Injil

sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada Allah Bapa yang telah memberkati

mereka dalam Kristus dan mengirimkan Roh Kudus ke dalam hati mereka,

sehingga mereka boleh menikmati kehidupan Allah sendiri. Pewartaan Injil

juga dijalankan karena umat kristiani percaya bahwa Yesus Kristus, yang

telah mengutus mereka ke seluruh dunia untuk menjadikan semua bangsa

murid-murid-Nya. Di samping itu, umat kristiani mewartakan Injil karena

melalui permandian mereka telah dipersatukan dengan Gereja, yang bersifat

misioner. Akhirnya, umat kristiani mewartakan Injil, karena Injil merupakan

ragi untuk pembebasan dan perubahan dalam masyarakat (Adisusanto, 1995:

70).

Seruan Sri Paus Yohanes Paulus II tentang Evangelisasi Baru yang

dicetuskan bertepatan dengan 500 tahun Gereja Amerika Latin, yakni dalam

amanat pada pertemuan uskup-uskup Amerika Latin di Haiti, pada bulan

Maret 1983, rupanya menjadi inspirasi bagi penulis untuk mencoba

menawarkan re-evangelisasi sebagai salah satu jalan yang dapat digunakan

oleh Gereja Timor Leste dalam menghadapi berbagai tantangan dalam

menjalankan karya pewartaannya di era pascareferendum.

Page 162: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

142

C. Unsur-unsur Pokok Re-evangelisasi

Menurut Hardawiryana (1995: 99-102) maksud dan relevansi dari re-

evangelisasi (=evangelisasi baru) sebagai misi Gereja untuk zaman sekarang

tampak dari unsur-unsur pokok re-evangelisasi, yang dapat disarikan dari

dokumen-dokumen Gereja, di antaranya: subyek re-evangelisasi, tujuan re-

evangelisasi, tantangan-tantangan terhadap re-evangelisasi, syarat-syarat re-

evangelisasi, re-evangelisasi harus merangkul pihak-pihak lain dan upaya-

upaya re-evangelisasi.

1. Subyek Re-evangelisasi

a. Dalam ensiklik Redemptoris Missio sebagaimana dirumuskan oleh

Hardawiryana dikatakan bahwa pelaku pewartaan Injil secara baru

dengan semangat baru ialah Gereja (RM. art. 16). Komunitas-

komunitas kristiani basis juga menjadi pusat-pusat re-evangelisasi

(RM art. 17), begitu juga keluarga sebagai Gereja-rumah (RM art. 18).

b. Dalam anjuran apostolik Christifideles Laici, 30 Desember 1988,

Paus Yohanes Paulus II menekankan tanggungjawab khas kaum

awam: diuraikan bagaimana iman kristiani merupakan satu-satunya

jawaban yang bulat terhadap masalah-masalah dan harapan-harapan

yang ada di setiap hati manusia; di mana kaum awam ikut ambil

bagian dalam misi kenabian Kristus, dan mereka harus menjadikan

hidup mereka sehari-hari sebagai kesaksian yang meyakinkan akan

Injil (Bdk. Pernyataan Sidang Pleno FABC IV di Tokyo, September

Page 163: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

143

1986). Dua tahun sesudah di kawasan FABC (1988) relevansi kaum

awam dijadikan pokok bahasan pastoral yang luas mendalam seperti

yang tertera dalam anjuran apostolik Christifideles Laici.

2. Tujuan Re-evangelisasi

a. Dalam surat yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II kepada para

religius Amerika Latin tertanggal 29 Juni 1990 dengan jelas

diperlihatkan tujuan dari re-evangelisasi yakni menunjang proses

interiorisasi iman pada umat kristiani, mengembangkan kebudayaan

baru yang terbuka bagi pesan Injil dan mendorong transformasi sosial.

Demikian juga dalam kotbahnya di Santo Domingo tertanggal 12

Oktober 1984, beliau menyatakan bahwa re-evangelisasi diidamkan

membuahkan harapan akan masa depan yang ditandai dengan

terwujudnya kebudayaan kasih.

b. Maka re-evangelisasi harus ditujukan kepada seluruh masyarakat

dengan seluruh kebudayaan aktual, supaya iman dapat mengakar,

tumbuh, menjelma dalam kenyataan hidup sehari-hari (CT art. 53).

Dalam kenyataan kongkret sekarang ini, re-evangelisasi diharapkan

menegakkan kebenaran, keadilan dan mutu kehidupan susila yang

tinggi. Karena itu re-evangelisasi harus menanggapi soal ketimpangan

sosial yang mendasar dengan membongkar akar-akar sistem politik

dan ekonomi yang tidak adil (bdk. CA art. 55, RM 51).

Page 164: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

144

3. Tantangan-tantangan terhadap Re-evangelisasi

Re-evangelisasi harus melayani tantangan sekularisme dan ateisme

praktis (bdk. CL art. 34), gaya hidup modern dan mewah, konsumerisme,

hedonisme, dampak media massa yang sudah menjadi kebudayaan baru;

juga menanggapi ketidak-bebasan beragama, dan kemiskinan yang

merendahkan martabat manusia. Untuk itu, re-evangelisasi ditantang

untuk menumbuhkan benih-benih sabda yang terdapat di berbagai macam

keadaan, yang kadang saling bertentangan (bdk. RM art. 2, 38).

4. Syarat-syarat Re-evangelisasi

a. Re-evangelisasi mengundang pertemuan pribadi dengan Kristus

sampai menyentuh hati dan mendarah-daging. Pengalaman iman itu

akan melandasi kesaksian hidup, yang mencakup komitmen terhadap

keadilan, perdamaian, hak-hak asasi dan kemajuan manusia, serta

membuahkan kegembiraan dan melimpahkan keselamatan (bdk. RM

art. 42).

b. Re-evangelisasi tidak boleh sekedar mengulang semangat dan cara-

cara misi yang lama melulu, mengingat makin pesat, meluas dan

mendalamnya perkembangan masyarakat. Oleh karena itu

persyaratannya adalah kesesuaian mutu dan cara-cara dengan aspirasi-

aspirasi dan sensibilitas manusia masa kini.

c. Re-evangelisasi dituntut memahami mentalitas dan sikap-sikap yang

sekarang merajalela seperti keinginan meninggalkan tradisi-tradisi

Page 165: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

145

yang sudah usang, dorongan kuat ke arah kebebasan yang bersifat

negatif, membacanya dalam terang Injil, dan mengambil unsur-unsur

yang baik di dalamnya untuk terus dimekarkan (bdk. CT art. 44).

“Bahasa” (dalam arti luas) baru masyarakat menuntut kesanggupan

para saksi Injil, meng-“alih-bahasakan” amanat-hikmah Sabda Tuhan

ke dalam corak ekspresi modern.

d. Supaya re-evangelisasi sungguh bermakna, maka harus mencakup

komitmen yang tulus dan partisipasi dinamis-kreatif dalam usaha demi

masyarakat yang lebih sejahtera, damai dan adil yang ditandai dengan

kebudayaan cintakasih (bdk. CA art. 55, RM art. 51).

5. Upaya-upaya Re-evangelisasi

a. Re-evangelisasi harus memanfaatkan Ajaran Sosial Gereja berdasarkan

paham tentang manusia, martabat serta panggilannya menurut wahyu

ilahi (bdk. CA art. 54, SRS art. 41), dan mendasari pengembangan

manusia yang otentik: pewartaan yang konkret tentang Kristus, Gereja

dan manusia, merupakan sumbangan utama Gereja untuk menanggapi

soal-soal pembangunan yang mendesak (bdk. RM art. 58).

b. Re-evangelisasi harus menggunakan media komunikasi massa untuk

menegakkan keadilan, kebenaran dan mutu kehidupan susila yang

tinggi. Bahasa yang baru, teknik-teknik baru dan psikologi yang baru

merupakan usaha pengintegrasian pesan kristiani dalam kebudayaan

baru hasil media massa (Spektrum 21:1, 1993: 50-76).

Page 166: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

146

D. Makna Re-evangelisasi bagi Gereja Timor Leste

Selama 24 tahun terakhir ini evangelisasi baru atau re-evangelisasi

sudah menjadi istilah yang lazim dipakai. Yang menjadi persoalan di sini

adalah: manakah yang “baru” dalam evangelisasi baru? Apa sebenarnya arti

re-evangelisasi sekarang hendak didekati dengan mengevaluasi: sebenarnya

masih perlukah kata evangelisasi dibubuhi kata sifat baru atau re (=kembali,

Latin)?

Evangelisasi adalah pewartaan Yesus Kristus Penyelamat umat

manusia tentang kedatangan merajanya Allah yang mempribadi dalam diri

Putra Allah sendiri. Pribadi serta sabda atau amanat-Nya tidak membiarkan

orang bersikap netral, tetapi mengundang pilihan yang tegas-jelas, pro atau

kontra (Mat 13:3; Luk 11:23).

Sebelum Yesus, Yohanes Pembaptis juga sudah menyerukan

pertobatan untuk memperoleh pengampunan dosa (bdk Mrk 1:4), Yesus hanya

meneruskan seruan pendahulu-Nya: “Waktunya telah genap: Kerajaan Allah

sudah dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1:14-15). Mateus

merangkum seluruh isi pewartaan Yesus dengan seruan penuh makna:

“Bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah dekat” (Mat 3:2).

Tuntutan untuk menjadi murid Yesus pun tidak tanggung-tanggung:

menyangkal diri, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Dia (Luk 9:23)).

Injil tidak sekedar untuk didengar, tetapi menuntut suatu pertobatan hati

(metanoia) dan ini sudah pasti berarti pembaharuan radikal-integral.

Page 167: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

147

Injil ialah “kekuatan Allah yang menyelamatkan tiap orang yang

percaya...” (Rm 1:16). Dengan demikian menurut Hardawiryana (1995: 104)

pengertian evangelisasi sendiri sudah mencakup transisi dari “manusia lama”

yakni manusia yang dalam situasi konkretnya berada dalam pengaruh dan

penguasaan dosa, kepada ciptaan baru, manusia baru, yakni manusia yang

menyatu dengan Yesus Kristus yang bangkit mulia, dan dalam segalanya

mengikuti bimbingan Roh yang dicurahkan atas dirinya (bdk. Rm 8:1-17).

Keselamatan itupun sepenuhnya adalah rahmat Allah. Disposisi manusia

untuk menerima rahmat itu pun adalah rahmat Allah.

Jika menurut Paus Yohanes Paulus II kebaharuan evangelisasi terletak

pada “baru dalam semangat, cara dan wujudnya”, bukankah semangat, cara

dan wujud pewartaan itu sudah tercakup dalam paham atau pengertian

evangelisasi, yang tentu terarah kepada situasi dan kondisi manusia itu sendiri

yang konkret? Bukankah situasi dan kondisi manusia yang konkret itulah yang

menjadi cara dan wujud pewartaan manakah yang harus dipilih? Bukankah

evangelisasi juga meminta agar pewarta menyatu dengan Kristus yang

diwartakannya, dijiwai oleh semangat-Nya, tetapi sekaligus juga menyatu

dengan rakyat dalam “kegembiraan dan harapan, penderitaan maupun

kegelisahan”? (bdk. GS art. 1).

Akan tetapi dalam kenyataannya evangelisasi tidak mencapai

sasarannya yakni transformasi manusia dan masyarakat dalam segala segi

kehidupannya, karena persyaratan tadi tidak dipenuhi. Manakah sebab-

musababnya? Bila di Timor Leste evangelisasi menurun dan bahkan

Page 168: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

148

kehilangan kekuatan Injil untuk menyelamatkan, di manakah letak biangnya?

Apakah pada para pewarta Injil? Pada pendengar pewartaan? Pada cara Injil

diwartakan? Pada proses yang diharapkan untuk tumbuh dan berkembang

dalam diri umat yang menerima pewartaan, tetapi terhalang oleh sesuatu?

(bdk. parabel tentang benih yang ditabur, Mat 13:3-23). Apakah sekularisasi-

sekularisme dapat dipersalahkan begitu saja? Tidakkah Gereja sendiri harus

mawas diri dan bertobat, karena alam pikirannya terbelenggu oleh Tradisi dan

“bahasanya” (dalam arti luas) yang tetap “sakral-gerejawi”, serba “melayang”

dan “ketinggalan”? Dalam perspektif pembaharuan berkat kekuatan Injil itu,

bagaimana de facto Gereja Timor Leste memaknai re-evangelisasi?

Re-evangelisasi dalam konteks Gereja Timor Leste bukan sekedar

pewartaan kembali tentang karya penyelamatan Allah atau merajanya Allah

yang mempribadi dalam Putra-Nya, tetapi re-evangelisasi dimaknai sebagai

re-vitalisasi yang berarti menghidupkan kembali iman yang sudah mulai pudar

karena berbagai tantangan yang dihadapi oleh semua umat. Jika kita

memperhatikan unsur-unsur re-evangelisasi sebagaimana yang telah diuraikan

di atas, maka salah satu subyek pembaharu dari re-vitalitasasi adalah Gereja

sendiri. Bagaimana mungkin iman umat akan hidup jika subyek dari re-

vitalisasi sendiri masih terbelenggu dalam alam pemikiran yang “sakral-

gerejawi” yang serba “melayang” dan “ketinggalan”? Maka sudah saatnya

Gereja Timor Leste harus bangkit dan meninggalkan alam pemikirannya itu.

Gereja Timor Leste harus memiliki suatu semangat baru sebagai tanggapan

iman yang berpangkal pada hati orang. Dan tidak ada jalan lain dan yang lebih

Page 169: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

149

baik untuk merumuskan semangat baru itu daripada melihat pada evangelisasi

yang pertama (Jacobs, 1994: 6).

Ketika para rasul dan murid-murid mulai mewartakan Injil, situasi

Gereja pertama jauh berbeda dengan situasi Gereja (Timor Leste) sekarang.

Gereja pertama tidak punya banyak dukungan institusi, tidak memiliki proyek

pastoral, dan bahkan tidak memiliki tradisi ajaran yang jelas. Mereka meraba

dan merangkak untuk menemukan jalan di dunia yang serba bermusuhan

dengan mereka. Kesulitan dan sikap sinis yang mereka hadapi jauh lebih besar

daripada kesulitan Gereja sekarang.

Namun mereka tidak takut atau ragu-ragu untuk pergi menjelajah

segala jalan kekaisaran Roma, menghadapi siapa saja yang mau

mendengarkan mereka. Dan kekuatan mereka tidak lain daripada iman akan

Tuhan yang mulia, yang berjanji akan menyertai mereka ke mana saja mereka

pergi. Kehadiran Tuhan di tengah-tengah mereka tidak hanya memberikan

keberanian dan kekuatan kepada mereka tetapi juga moral yang tinggi dan

semangat iman yang meyakinkan. Mereka amat sangat sadar akan kelemahan

mereka sendiri, termasuk kelemahan dalam mengikuti jejak Kristus. Tetapi

mereka yakin bahwa kasih Tuhan lebih besar daripada hati manusia, dan

bahwa “penderitaan zaman sekarang tidak dapat dibandingkan dengan

kemuliaan yang akan dinyatakan kepada mereka” (Rm 8:18). Mereka hidup

dalam antusiasme dan eskatologis. Dan mereka merasa gembira, bila oleh

penderitaan dan penganiayaan mereka boleh menyerupai Yesus yang diimani

sebagai Kristus dan Tuhan. Mereka tidak takut dengan manusia, mereka hanya

Page 170: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

150

takut kepada Dia, “yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh

mereka” (Mat 10:28). Mereka hidup dan berjuang dalam kesadaran bahwa

“baik maut maupun hidup, baik yang sekarang maupun yang akan datang baik

yang di atas maupun yang di bawah, tidak akan dapat memisahkan kita dari

kasih Allah yang ada di dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Rm 8:38-39).

Gereja Timor Leste bukanlah kelompok minoritas atau kelompok tikus

seperti Gereja pertama. Tetapi kesulitan yang dihadapi oleh Gereja Timor

Leste tidak jauh berbeda dengan kesulitan yang dihadapi oleh Gereja pertama,

walaupun situasinya berbeda. Dengan demikian, Gereja Timor Leste harus

kembali lagi kepada semangat Gereja pertama. Mencari kekuatan iman di luar

iman itu sendiri tidak mungkin. Gereja hanya mempunyai satu kekuatan saja,

yaitu imannya sendiri (Jacobs, 1991: 6). Itu berlaku untuk Gereja dahulu, juga

tetap berlaku untuk Gereja sekarang. Re-vitalisasi berarti menghidupkan

kembali iman yang sesungguhnya, dan iman yang baru.

E. Re-evangelisasi Sebagai Salah Satu Jalan dalam Mewujudkan Gereja

yang Dicita-citakan Gereja Timor Leste

Dalam bab III bagian B telah disinggung mengenai Gereja yang dicita-

citakan Gereja Timor Leste, yang di dalamnya mengandung harapan-harapan

dalam menjawab situasi umat saat ini. Gereja yang dicita-citakan Gereja

Timor Leste yang dirumuskan tidak bermaksud untuk meninggalkan model-

model Gereja yang telah ada, tetapi justru melengkapi. Maka, yang menjadi

pertanyaan sekarang adalah: jalan apa yang mau ditempuh oleh Gereja Timor

Page 171: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

151

Leste dalam mewujudkan Gereja yang dicita-citakan, agar tidak hanya

menjadi rumusan semata, tetapi benar-benar menjadi suatu perwujudan yang

konkret dalam menjawab situasi umat saat ini? Salah satunya dengan jalan re-

evangelisasi. Re-evangelisasi bukan berarti Gereja Timor Leste dalam

melaksanakan tugas pewartaannya mengulang kembali apa yang sudah ada,

tetapi lebih pada re-vitalisasi, yang berarti menghidupkan kembali dan

membuat Gereja Timor Leste lebih berarti dan lebih berfungsi.

Re-vitalisasi nampak dalam sikap Gereja Timor Leste yang berani

mendobrak rasa “aman-mapan” yang introvert dalam mengembangkan iman.

Gereja Timor Leste harus selalu memperbaharui dan memperkembangkan diri

(ecclesia semper reformanda). Ini mengandung arti bahwa Gereja Timor

Leste sebagai persekutuan umat terus-menerus memahami, menghayati, dan

mewujudkan imannya di dalam kenyataan dan permasalahan hidup sehari-

hari.

Maka syarat-syarat yang harus ditempuh untuk mewujudkan Gereja

yang dicita-citakan Gereja Timor Leste dengan re-evangelisasi dapat

dirumuskan sebagai berikut:

a. Mengundang pertemuan pribadi dengan Kristus sampai menyentuh hati

dan mendarah-daging. Pengalaman iman seperti ini akan melandasi

kesaksian hidup yang mencakup komitmen terhadap keadilan,

perdamaian, hak-hak asasi dan kemajuan manusia, serta membuahkan

kegembiraan dan keselamatan, bukan pembunuhan, penodongan senjata,

penindasan, pelecehan terhadap martabat manusia, dan lain sebagainya.

Page 172: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

152

b. Re-evangelisasi diharapkan menunjang proses interiorisasi iman pada

umat kristiani (Timor Leste), mengembangkan kebudayaan baru yang

terbuka bagi pesan Injil dan mendorong transformasi sosial sesuai dengan

yang diharapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam suratnya yang

ditujukan kepada para religius di Amerika Latin, 29 Juni 1990.

c. Re-evangelisasi harus ditujukan kepada seluruh masyarakat (Timor Leste)

di dalam kebudayaannya yang aktual, supaya iman dapat mengakar,

tumbuh, menjelma dalam kenyataan hidup sehari-hari. Dalam kenyataan

di Timor Leste sekarang ini, re-evangelisasi diharapkan menegakkan

keadilan, kebenaran, dan mutu kehidupan susila yang tinggi.

d. Supaya re-evangelisasi lebih bermakna dalam konteks Gereja Timor

Leste, maka diharapkan Gereja Timor Leste memiliki sikap solider

terhadap kaum miskin. Gereja Timor Leste harus berani untuk “berdialog”

dengan kehidupan kaum miskin. Mengambil bagian dan menderita

bersama kaum miskin. Dengan demikian Gereja yang dicita-citakan

Gereja Timor Leste bukanlah sebuah rumusan strategi dalam menanggapi

situasi saat ini, tetapi diharapkan Gereja Timor Leste lebih bersifat

fungsional dalam menyampaikan kabar penyelamatan Allah kepada

seluruh umat di Timor Leste.

Page 173: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

153

F. Re-evangelisasi sebagai Usaha Menanggapi Tantangan yang Dihadapi

Gereja Timor Leste Dewasa Ini

Dalam bab II bagian B telah diperlihatkan mengenai permasalahan

atau tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste, di

antaranya: masalah kaum muda, masalah pendidikan, masalah politik, bahaya

sekularisme dan materialisme, serta penghayatan hidup beriman umat yang

masih dangkal.

Kebaharuan re-evangelisasi di Timor Leste secara khas terletak pada

jelasnya langkah Gereja Timor Leste untuk mengambil sikap berani

mendobrak rasa “aman-mapan” yang introvert dalam mengembangkan iman;

pada jelasnya gerak berintegrasi penuh dalam masyarakat dan mengenakan

pada dirinya tantangan-tantangan aktual yang dihadapi; pada iman yang betul-

betul berinkarnasi dalam pembangunan manusia dan masyarakat yang

seutuhnya; dalam keprihatinan sekitar situasi kaum muda; dalam dedikasi

pendidikan; dan dalam partisipasi prinsipiil kristiani dalam kehidupan politik.

1. Kaum muda

Fenomen kaum muda merupakan sebuah titik khas dalam

perjalanan hidup manusia. Terjadinya sebuah tahap memekarnya berbagai

macam dimensi kehidupan. Kaum muda adalah suatu fase di mana firdaus

kanak-kanak mulai mundur sambil menjemput alam kedewasaan di gerbang

kemudian. Dalam arti ini maka manusia muda sungguh-sungguh tersentak

oleh kesadaran diri untuk menemukan jatidirinya.

Page 174: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

154

Pada prinsipnya, bagaimanapun juga kaum muda harus dilihat

sebagai “pribadi yang sedang berada pada taraf tertentu dalam

perkembangan hidup seorang manusia, dengan kualitas dan ciri tertentu

yang khas, dengan hak dan peranan serta kewajiban tertentu dengan potensi

dan kebutuhan tertentu pula” (Tanglidintin, 1984: 6).

Tetapi bagaimana kita memandang mereka dalam kenyataannya?

Sebagai bahan acuan untuk memahami jatidiri dari kaum muda, maka

berikut kita akan melihat cetusan hati muda-mudi Jakarta sebagaimana

dikutip oleh Tanglidintin (1984: 6), yang berbunyi:

Memang kami sebagai kaum muda penuh dengan emosi dan semangat meluap yang mudah disulut oleh siapapun. Oleh karena itu perlulah kami diberikan bimbingan penuh pengertian dari generasi sekarang. Yang kami harapkan dari orang tua, sekolah, dan Gereja, agar tercapai kedewasaan pribadi kami ialah: hendaknya kami diberikan kepercayaan yang sesungguhnya dalam berbuat di antara masyarakat banyak; hendaknya pula kami diberi kesempatan untuk bekerjasama setaraf dengan generasi pendahulu kami, dan perlakukan kami sebagai sahabat sederajat dalam ide dan gagasan. Dengan rendah hati paturlah kami sampaikan di sini bahwa kami kurang diberi kebebasan untuk bergerak leluasa; mengapa segalanya hanya ditentukan oleh orang tua dan Gereja saja?, apakah kami tidak dapat merencanakan dan menentukan masa depan kami? Gambaran di atas bukan saja dialami oleh kaum muda di Jakarta,

tetapi dialami juga oleh kaum muda di Timor Leste pada umumnya. Pada

kenyataannya, kaum muda Timor Leste dibina dan dididik dalam

keterikatan pada aturan-aturan adat dan norma yang dikehendaki dan

dipandang oleh orang tua dan Gereja sebagai acuan dalam perkembangan

hidup kaum muda. Kaum muda dididik dan dibentuk oleh orang tua, Gereja

dan sekolah dalam situasi “tertekan” artinya kaum muda tidak diberi

Page 175: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

155

kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Bahkan dalam pandangan

para orang tua bahwa anak yang berbakti adalah anak yang mendengarkan

dan melaksanakan apa yang diinginkan dan dikehendaki oleh orang tua. Jika

tidak mendengarkan dan melaksanakannya, maka anak dikatakan durhaka

atau tidak berbakti.

Karena itu, suatu ketika mereka berada dalam lingkungan yang

lepas dari pantauan orang tua (tempat perantauan), mereka akan mengambil

sikap dan berperilaku yang bertolak belakang dengan aturan-aturan adat dan

norma yang telah diperolehnya. Mengapa ini terjadi? Pada dasarnya,

kebebasan merupakan kondisi utama bagi manusia untuk menghayati apa

yang telah diperolehnya dalam pengajaran dan pendidikan. Kebebasan

membawa manusia mem”batin”kan, meng”akar”kan, membuat hidup apa

yang diperolehnya di dalam perilaku hidup sehari-hari. Namun sebaliknya,

pengajaran, pendidikan, dan segala sesuatu yang diperoleh dengan secara

“paksa”, dalam situasi tertekan, maka akibatnya nilai-nilai, aturan-aturan

adat dan norma-norma yang diperoleh tidak membatin dan berakar sampai

pada transformasi diri yang lebih baik.

Demikian juga dalam hal keagamaan. Kaum muda yang di dalam

keluarganya ditanamkan nilai-nilai keagamaan (cinta kasih, kebenaran,

keadilan, dll.) secara paksa dan hanya sampai pada ritual, sebagai tradisi

yang harus dilakukan dalam ketidak-bebasan, maka nilai-nilai keagamaan

itu akan luntur, pudar dan bahkan hilang. Padahal yang diharapkan adalah

Page 176: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

156

nilai-nilai keagamaan itu mengakar dan menjadi pilihan serta kebutuhan

hidup manusia menuju kebahagiaan sejati yakni hidup bersama Allah.

Melihat kenyataan seperti ini, jalan apa yang ditempuh oleh Gereja

Timor Leste guna menghidupkan kembali nilai-nilai keagamaan kaum muda

yang mulai pudar, dan mengajak kaum muda untuk menemukan jatidirinya

yang telah hilang? Sekaranglah saatnya Gereja Timor Leste mulai

memikirkan dan mengambil langkah pembinaan yang serius bagi kaum

muda dengan memperhatikan kedua unsur ini: pertama, Gereja hendaknya

benar-benar mengenali dan memahami potensi yang ada di dalam diri kaum

muda, identitas sesungguhnya dari kaum muda, mencari tahu dan berusaha

untuk memahami situasi dan kebutuhan dari kaum muda, sehingga

pembinaan yang akan dilaksanakan tepat sasaran. Kedua: bekerjasama

dengan kaum awam (pembina yang berjiwa muda) yang memiliki potensi

dan keprihatinan akan perkembangan jati diri kaum muda yang dibina.

a). Mengenali dan Memahami Potensi dan Identitas Kaum Muda

Tanglidintin (1984: 6-11) dalam bukunya Pembinaan Generasi

Muda, Visi dan Latihan, merumuskan mengenai potensi dan identitas

kaum muda sebagai berikut:

1). Potensi Kaum Muda

• Kaum muda dapat memikirkan kemungkinan-kemungkinan

secara abstrak dan hipotesis. Ini berbeda dengan pola berpikir

anak. Kaum muda dapat memandang dirinya dan permasalahan

Page 177: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

157

atau persoalan dari berbagai segi. Berbeda dengan kaum tua

yang pada umumnya senang mengenang masa silam (past-

oriented), kaum muda memiliki pandangan jauh ke depan dan

sarat dengan cita-cita masa depan (future orientation).

• Kemampuan-kemampuan tersebut di atas membuat kaum muda

memiliki sikap yang terbuka terhadap perkembangan terlebih

kepada pembaharuan, yang dianggap mereka dapat dengan cepat

merealisasikan masa depan yang didambakan mereka walaupun

masa depan yang didambakan itu tepat atau tidak. Oleh sebab

itu, kaum muda disebut sebagai “generasi pembaharu” sebab

sering bentrok dengan kaum tua karena cenderung mapan dan

biasanya tetap mempertahankan nilai-nilai dan tradisi-tradisi

yang lama.

• Karena kaum muda tidak terikat pada nilai-nilai dan tradisi-

tradisi beku masa lalu, dan belum mapan dalam suatu

kepentingan, maka kaum muda merupakan hati nurani rakyat

banyak.

• Kaum muda memiliki ciri dinamik, penuh semangat yang

meluap dan penuh dengan emosi sesuai dengan yang dirumuskan

mereka sendiri. Jiwa kaum muda adalah jiwa yang penuh dengan

gelora dan gairah hidup. Jiwa kaum muda adalah jiwa dalam

taufan dan nafsu. Oleh karena itu mereka senang bertualang dan

Page 178: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

158

bereksperimen dalam usaha mencari dan menemukan nilai-nilai

baru, mereka tidak mau didikte dalam hal ini.

Keempat ciri potensial ini dan ciri potensial yang lainnya,

dapat menjadikan kaum muda menjadi penggerak proses

jalannya perkembangan/sejarah, apabila mereka sendiri

menyadari hal itu. Tetapi sebaliknya, bisa menjadikan mereka

mainan (toy), ibarat bensin yang mudah disulut oleh siapapun

apabila semua potensi itu tidak disadari oleh mereka. Dalam hal

yang terakhir ini, yang terjadi dengan kaum muda bukannya

pembinaan melainkan pembinasaan.

2). Identitas Kaum Muda

“...tentu saja kami ingin bebas, lepas. Kami tidak ingin

menjadi produk orang tua untuk terus menerus menuruti yang

dikehendakinya...”. Inilah sepenggal cetusan hati dan tanggapan

seorang pemuda dalam diskusi panel di Gelanggang Remaja

Bulungan sebagaimana dikutip oleh Tanglidintin (1984: 7-8).

Tidak ingin menjadi produk orang tua mencerminkan ciri

utama perkembangan kaum muda yakni sedang menemukan

identitasnya. Mereka mulai menyadari dan karena itu menolak

segala upaya orang lain (orang tua) untuk membentuk mereka.

Mereka mau mencari dan menemukan identitasnya sendiri, tetapi

bukan berarti mereka tidak mau menerima campur tangan dari

Page 179: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

159

pihak luar. Ini nampak dari pernyataan dan pengakuan mereka

bahwa mereka memerlukan suatu bimbingan yang penuh

pengertian dari generasi yang lebih tua, tetapi bimbingan yang

memperlakukan mereka sebagai sahabat yang sederajat dalam ide

dan gagasan. Kaum muda ingin dihargai sebagai seorang pribadi

yang sedang mempribadi dalam proses mencari identitas dirinya.

Dalam proses pencarian jatidirinya, mereka mencari dan

menemukan tokoh-tokoh atau figur-figur, ide-ide, cita-cita yang

dapat menjadi tokoh atau figur identifikasi. Maka proses ini akan

diawali dengan proses meniru tokoh identifikasi itu yang lambat

laun akan membentuk sikap, perspektif dan perilakunya sendiri (di

sini keteladanan pembina dan tokoh Yesus). Mereka tidak sekedar

mengikuti dan menyelaraskan diri dengan adat dan aturan-aturan

atau norma, tetapi mereka mulai mampu melihat segala sesuatu

dengan skala nilai yang berbeda. Bahkan mereka memiliki

kecenderungan menjadi conformist dengan cara memberontak dan

melawan situasi yang mapan untuk mengubah masyarakatnya, baik

dalam tata hidup sosial dan tata hidup moral dan keagamaan

umumnya.

Kemudian, apa yag dimaksudkan dengan ‘bebas, lepas’

oleh kaum muda? Tentu yang mereka maksudkan tidak lain

daripada ketidakterikatan norma-norma dan adat atau tradisi yang

dianggap telah mapan, mereka mendambakan kebebasan untuk

Page 180: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

160

menentukan sikap dan tindakannya (terlepas dari soal apakah

mereka sudah mampu untuk itu!) dan masa depannya. Singkatnya,

mereka ingin mendapat peng-aku-an (dorongan ego menjadi

dorongan yang lebih kuat dari kaum muda). Dan karena itu mereka

membutuhkan kesempatan untuk menyatakan diri, membuktikan

diri bisa berbuat sesuatu (realisasi diri). Mereka tidak ingin

semuanya ditentukan begitu saja oleh orang tua (orang dewasa

umumnya) dan gereja saja!

Pertanyaannya sekarang adalah: pembinaan macam apa dan

pembina seperti apakah yang hendak membina kaum muda untuk

menemukan kembali identitas atau jatidiri mereka yang otentik?

b). Pembinaan dan Pembina yang Diinginkan Kaum Muda

Pembinaan yang dimaksudkan di sini adalah yang memiliki ciri

utama sebagai bimbingan pastoral (Tanglidintin, 1984: 12-13). Ini berarti

bahwa pembinaan merupakan perwujudan nyata dari keprihatinan Gereja

akan kaum muda untuk memekarkan kembali dan menghidupkan kembali

jatidiri dan potensi mereka, guna menjadi pribadi atau manusia kristiani.

Pemekaran atau re-vitalisasi jatidiri kaum muda ini mencakup dua dimensi

yakni dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Dimensi vertikal

menyangkut hubungan Yang Ilahi, Tuhan dan dimensi horisontal

menyangkut hubungan dengan sesama dan alam pada umumnya.

Meskipun ini merupakan bagian integral dari pendidikan manusia yang

Page 181: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

161

menyeluruh, pembinaan yang dimasud di sini bukan pendidikan formal,

dan karena itu ia harus dibedakan dari pendidikan formal.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu diperhatikan

dua bahaya besar yang harus dihindari dalam pembinaan, yakni: pertama,

penggiringan kaum muda. Hal ini terjadi bila kaum muda, kepada mereka

disediakan berbagai fasilitas siap pakai, janji status sosial tertentu

misalnya jabatan dalam masyarakat/negara, dan lain-lain. Ini berarti

mereka berdiam diri dan mengikuti keinginan dari pembina yakni pemberi

fasilitas. Dengan demikian tidak ada tantangan dan pergumulan dengan

kesulitan hidup mereka sendiri. Maka yang terjadi adalah penggiringan

kaum muda ke salah satu kubu kekuatan sosial-politik. Kedua, peremehan

kaum muda. Ini terjadi bila kaum muda selalu dianggap sebagai “anak

kemarin”, “anak ingusan” yang belum tahu apa-apa dan karena itu mereka

perlu ‘diajari’, sebagai tabung kosong yang harus diisi. Mereka tidak

diberi kepercayaan, peranan dan tanggungjawab, untuk mencari tahu dan

mengalami, untuk belajar dari kesalahan. Atau bisa dikatakan bahwa

mereka diberi peranan tetapi peranan sebagai pembantu dan pelaksana

semata-mata, bukan pelaku sekaligus pelaksana.

Oleh karena itu, untuk menghindari dan mencegah kedua bahaya

tersebut, pembinaan macam apa yang hendak dilakukan oleh Gereja? Dan

paham serta sikap dasar apakah yang harus dibentuk mengenai pembinaan

tersebut? Yang hendak dilakukan adalah pembinaan yang memiliki sikap

dan paham dasar sebagai berikut:

Page 182: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

162

1). Pembinaan sebagai Pelayanan

Membina kaum muda pertama-tama harus dilihat dan

dihayati sebagi pelayanan, yang berarti suatu keprihatinan aktif yang

menyata dalam tindakan yang menyadarkan dan membebaskan,

memekarkan potensi dan iman kristiani, menjawab/menanggapi

kebutuhan mereka, memampukan mereka bertanggungjawab serta

berperan sosial-aktif.

Dengan demikian pembinaan kaum muda seharusnya

bertolak dan berpusat pada diri mereka sendiri, bukan atas

kepentingan institusi-institusi tertentu termasuk Gereja. Gereja

melayani kaum muda melalui pembinaan dengan maksud agar pada

gilirannya kaum muda pun bisa melayani perkembangan Gereja tetapi

bukan berarti dengan pretensi do ut des, yang berarti memberi agar

diberi.

2). Pembinaan sebagai Pendampingan

Memahami pembinaan sebagai pendampingan, mencegah

kita untuk menggiring dan menjinakkan kaum muda, yang berakibat

memandulkan potensi mereka. Maka pembinaan memungkinkan kaum

muda sebagai subyek dan pusat pembinaan. Artinya, mereka dapat

memutuskan dan menentukan sendiri, tidak cenderung untuk didikte

dan dibentuk. Pembina adalah seorang pendamping, dia tidak

menentukan sesuatu yang harus diikuti kaum muda. Dia mendampingi

Page 183: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

163

kaum muda dalam menelusuri kehidupan dan tantangan yang

dihadapi, sambil memberi kesaksian tentang kehadiran dan

kedekatannya dengan Allah sebagai Pendamping Utama.

Dengan belajar dari kisah Emaus (Luk 24: 13-35), seorang

pendamping berjalan seiring dengan kaum muda menggumuli masalah

mereka dengan: bertanya dan mendengarkan pernuh perhatian dan

kesabaran, menjelaskan membuka pikiran mereka pada saat yang

tepat, dan akhirnya mempertemukan mereka dengan Pribadi Kristus

sendiri.

Pendamping tidak berpretensi tahu masalah dan kebutuhan

kaum muda, melainkan menolong mereka menyadari dan merumuskan

masalah mereka sendiri. Pendamping tidak menyuarakan kepentingan

mereka, melainkan memberi kesempatan dan memampukan mereka

menyuarakan diri sendiri. Pendamping juga tidak mengajari resep-

resep tingkah laku yang distandarkan, melainkan menumbuhkan sikap

kritis-selektif untuk akhirnya mengambil sikap dan tindakan sendiri.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa, pembina adalah seorang

sahabat bagi kaum muda yang didampinginya. Pendamping yang

memiliki spiritualitas atau semangat: mengalami kehadiran,

kedekatan, perhatian, sapaan, dan pendampingan Kristus sendiri lewat

masa-masa sulit hidup kaum muda.

Page 184: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

164

2. Pendidikan

Gereja memberikan atensi yang amat besar terhadap pendidikan

terlebih dalam hal pendidikan Katolik Hal ini terlihat jelas dalam Deklarasi

Pendidikan Kristen, salah satu hasil Konsili Vatikan II, Gravissimum

Educationis, yang menegaskan dua tujuan dasar dari pendidikan yakni

memperkembangkan pribadi manusia dan memperjuangkan kesejahteraan

umum (bdk. art. 1). Kedua tujuan dasar tersebut tidak terpisahkan tetapi

saling terkait secara erat. Perkembangan manusia secara utuh tidak akan

terwujud bila dipisahkan dari upaya untuk mewujudnyatakan kesejahteraan

umum. Menurut istilah sekarang tujuan pendidikan adalah demi

pembentukan masyarakat yang berkeadaban layaknya masyarakat madani

atau civil society (Heryatno, 2005: 3).

Tujuan senada juga sudah lama diperjuangkan oleh tokoh-tokoh

pendidikan Kristiani di Indonesia di antaranya Romo van Lith dan Romo

Driyarkara. Kedua tokoh ini, sebagaimana dikutip oleh Heryatno (2005: 3)

menegaskan bahwa tujuan dari pendidikan Kristen adalah

memperkembangkan humanisme kristiani. Romo van Lith menegaskan

bahwa kecuali memperkembangkan martabat hidup seseorang, pendidikan

juga harus membantu para peserta didik untuk menjadi pelaku-pelaku

perubahan sosial. Ini adalah perumusan tujuan dari pendidikan yang dilihat

secara sekilas. Dan bagaimana pelaksanaan pendidikan Kristiani di Timor

Leste? Apakah pendidikan Kristiani di Timor Leste juga memiliki tujuan

yang sama seperti yang telah dirumuskan di atas?

Page 185: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

165

Pendidikan Agama (kristiani) yang selama ini dilaksanakan di

Timor Leste, boleh dikatakan bahwa masih jauh dari tujuan yang diharapkan

oleh Gravissimum Educationis. Alasannya, pertama: pendidikan yang

dilaksanakan dengan menggunakan “gaya bank” (bdk. Friere: Pendidikan

Kaum Tertindas), artinya pendidik bertindak sebagai guru yang mentransfer

ilmu atau pengetahuan kepada para murid. Gaya pendidikan ini memandang

peserta didik sebagai obyek semata. Kedua, mayoritas kaum awam yang

terjun ke bidang pendidikan yang menyandang gelar sebagai guru, belum

memahami dan menghayati profesinya sebagai panggilan, bahkan sebagai

“kerja sambilan” dan yang penting dengan profesi sebagai guru dapat

mengisi waktu luang dan bisa memenuhi kebutuhan ekonomi yang

bersangkutan. Ketiga, belum adanya rumusan visi dan misi sekolah yang

jelas tentang pendidikan kristiani di lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Bahkan pendidikan Agama merupakan “pelajaran tambahan” di samping

pelajaran-pelajaran lain yang dianggap lebih penting.

Akibatnya, kualitas pendidikan kurang diperhatikan bahkan

dilalaikan, dengan mengejar kuantitas pendidikan. Memang untuk saat ini

jumlah kaum pelajar di Timor Leste cukup membanggakan,tetapi dalam hal

kualitas, para peserta didik di Timor Leste tertinggal jauh dalam persaingan.

Ini dapat dilihat dan ditandai dengan adanya sikap apatis dan frustrasi,

kehilangan arah orientasi pendidikan dan tak ada cita-cita atau masa depan

yang jelas dan cukup mencemaskan. Pendidikan dilihat sebagai proses yang

merepotkan saja, karena itu sikap mencari enaknya sendiri timbul dalam

Page 186: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

166

bentuk budaya contek, kemerosotan disiplin, kekeringan etos ilmiah,

termasuk juga kemandulan wibawa guru (Gusmão, 1997: 116).

Di era pascaferendum, banyak lembaga pendidikan didirikan,

dengan maksud untuk menampung para peserta didik yang putus sekolah

akibat jajak pendapat tahun 1999. Di satu sisi, ini merupakan suatu

perkembangan yang baik, di sisi lain patut dipertimbangkan juga tenaga

pengajar atau pendidik yang dibutuhkan oleh lembaga pendidikan.

Alasannya, pertama: di dalam dunia (masyarakat Timor Leste khususnya)

yang sedang mengalami proses sekularisasi dibutuhkan contoh manusia

yang utuh, lahir dan batin. Untuk memenuhi kebutuhan itu, diperlukan

contoh perilaku pendidikan khususnya awam Katolik. Kedua, belum semua

awam yang terjun di dalam karya pendidikan memandang karya pendidikan

sebagai karya kerasulan.

Sekarang timbul pertanyaan: bagaimana caranya pendidikan

khususnya pendidikan iman kristiani dapat merasuki pribadi peserta didik

dan dapat memperkembangkan pribadi peserta didik secara utuh dan

otentik? Tugas Gereja Timor Leste sekarang adalah, bagaimana caranya

menghidupkan kembali serta menata kembali sistem pendidikan dalam hal

ini pendidikan iman kristiani. Sebagai bahan refleksi, ada baiknya kita

melihat dan menyadari betul apa sebenarnya hakikat dari pendidikan iman

Kristiani? Dan apa sebenarnya tujuan dari pendidikan iman kristiani?

Spiritualitas pendidik seperti apakah yang hendak dikembangkan dan

dimiliki oleh pendidik dalam kegiatan mendidik?

Page 187: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

167

Menurut Heryatno (2005: 4-5) dalam manuskripnya yang berjudul

Hakikat Pendidikan Agama Katolik dijelaskan bahwa hakikat dari PAK

adalah pendidikan yang memiliki visi spiritual, maksudnya adalah hal-hal

yang berkaitan erat dengan inti hidup/pusat hidup manusia. Dengan

demikian pendidikan yang bervisi spiritual berarti pendidikan yang secara

terus-menerus memperkembangkan jatidiri, kedalaman hidup dan inti hidup

seseorang. Maka, pendidikan bukan sekedar mengejar prestasi akademis

tetapi juga memperkembangkan nilai-nilai injili seperti kejujuran,

kebijaksanaan, kepekaan, dan hati nurani. Dengan kata lain, di dalam

pendidikan yang ditekankan bukan hanya pengetahuan/wawasan tetapi lebih

pada keutamaan; belajar bukan untuk sekolah tetapi belajar untuk hidup

(non scholae sed vitae). Elemen dasar dari pendidikan adalah perkembangan

dan perwujudan diri yang terus-menerus. Pada dasarnya perkembangan jati

diri seseorang berlangsung seumur hidup. Maka pendidikan seharusnya

pendidikan seumur hidup (long life education), dan pembentukan yang

berlanjutan (on going formation) from the womb and the tomb. Mengapa

ketiga sikap dasar ini perlu ditekankan? Karena, pertama: sesuai dengan

sifat dasar manusia yang terus berkembang dan tidak ingin sepat tua. Kedua,

manusia tidak pernah selesai. Dan ketiga, dunia terus bekembang dan

berubah seiring dengan perkembangan zaman.

Mangunwijaya (1994) sebagaimana dikutip oleh Heryatno, pada

awal pelaksanaan kurikulum PAK 2004 menegaskan bahwa hakikat dari

PAK adalah bukan pengajaran agama, melainkan komunikasi iman. Ia

Page 188: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

168

membedakan antara hubungan beragama atau punya agama dengan beriman.

Agama berhubungan dengan ritus, hukum, kebiasaan, lambang-lambang

dari luar, segi-segi sosiologis. Sedangkan iman menyentuh hal-hal

kedalaman, menentukan sikap dasar, membuat orang beramal, bersikap

belaskasih, mendorong orang untuk rindu dekat kepada Tuhan. Sebagai

komunikasi iman, maka PAK memiliki sifatnya yang praktis, artinya

berawal dari pengalaman penghayatan iman dan menuju pada penghayatan

iman baru yang lebih baik. PAK dapat dikatakan sebagai komunikasi

penghayatan atau pengalaman iman yang tentu akan saling memperkaya dan

meneguhkan para peserta didik. Kemudian bagaimana peranan seorang

pendidik, dan spiritualitas macam apakah yang seharusnya dimiliki oleh

pendidik dalam mendidik?

Berkat sakramen baptis, kita semua diberi rahmat dan diangkat

menjadi anak-anak Allah, sekaligus diundang untuk turut ambil bagian di

dalam tugas pengutusan Yesus Kristus. Panggilan Tuhan dapat ditanggapi

oleh manusia dengan berbagai macam bentuk pelayanan kemuridan. Bagi

seorang pendidik, profesi kehidupan sebagai Guru Agama Katolik dihayati

sebagai anugerah atau panggilan-Nya unuk secara lebih utuh menjadi

murid-murid-Nya dan untuk mengaktualisasikan seluruh potensi yang ada

pada diri kita demi perkembangan diri kita juga peserta didik yang

dipercayakan-Nya kepada kita.

Hidup Yesus menjadi arah dasar dalam pelayanan sebagai

pendidik. Oleh karena dipanggil dan diutus oleh Yesus sendiri, maka

Page 189: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

169

seluruh hidup pelayanan seorang pendidik iman kristiani mencerminkan

hidup Yesus yang penuh dengan cinta. Panggilan seorang pendidik iman

kristiani adalah mendekatkan Yesus yang ia cintai dan imani. Dengan

demikian ia menjadi saksi dan pewarta cinta kasih-Nya yang tanpa syarat.

Hal ini membutuhkan suatu relasi yang intim antara pendidik dan Yesus

sebagai Pendidik Utama dan sejati.

3. Politik

Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (tanpa tahun: 525),

istilah politik berasal dari kata benda yang berarti hal-hal yang berkenaan

dengan tata negara; urusan yang mencakup siasat dalam pemerintahan

negara; cara bertindak; taktik. Dengan demikian, urusan politik adalah

urusan kenegaraan dan pemerintah, bukan urusan Gereja.

Sejak tahun 1965 Konsili Vatikan II memuji praktek-praktek

pemerintahan yang memungkinkan sebanyak mungkin warga negara ikut

serta secara sungguh bebas dalam soal-soal kenegaraan meskipun istilah

demokrasi tidak dipakai (GS art. 31). Juga di dalam SRS, Paus Yohanes

Paulus II dengan amanatnya memberi perhatian amat besar dalam dunia,

terlebih menyangkut kesejahteraan umum. Maka ketika menghadapi situasi

di mana kesejahteraan rakyat terusik dan tidak diperhitungkan oleh pihak

yang memiliki wewenang dan tanggung jawab yang sesungguhnya, maka

Gereja harus memilih jalan dengan memberi himbauan, saran dan kritik

yang memperkembangkan. Hendaknya Gereja Timor Leste membuka diri

Page 190: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

170

untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mengusahakan dan

mengembangkan pembangunan manusia Timor Leste, dan mengusahakan

kesejahteraan umum. Inilah

Hal senada ditekankan dalam dokumen Konsili Vatikan II,

Gaudium et Spes art. 26, yang mengatakan bahwa:

Karena saling ketergantungan itu semakin meningkat dan lambat- laun meluas ke seluruh dunia, maka kesejateraan umum sekarang ini juga semakin bersifat universal, dan oleh karena itu mencakup hak-hak maupun kewajiban-kewajiban, yang menyangkut seluruh umat manusia. Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum adalah keseluruhan kondisi-kondisi hidup seluruh kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi kelompok-kelompok lain yang wajar, bahkan kesejahteraan umum keluarga manusia. Artinya, kesejahteraan umum bukan sekedar memenuhi kebutuhan

materil; sandang, pangan, dan papan. Tetapi lebih pada usaha untuk

mencapai kesempurnaan. Dan itu bukan dilakukan oleh sekelompok orang

saja, tetapi melibatkan banyak orang, bahkan semua orang.

Mengapa keadaan di Timor Leste dalam sejarah

perkembangannya, seakan-akan Gereja terlibat dalam dunia politik. Pada

dasarnya dunia politik adalah urusan kenegaraan atau pemerintah. Gereja

tidak terlibat dalam dunia politik dengan maksud mengambil alih kekuasaan

yang dimiliki oleh pemerintah. Alasan utama mengapa terlibat dalam urusan

politik adalah selama praktek politik yang dilaksanakan oleh pemerintah

menyimpang dari kewenangan dan tujuan kewenangan negara.

Page 191: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

171

Asal mula kewenangan negara dengan jelas ditekankan dalam

ensiklik Paus Yohanes XXIII, Pacem in Terris (Perdamaian Dunia) art. 46-

52. Salah satu artikelnya mengatakan bahwa:

Masyarakat manusia tidak mungkin serba teratur atau sejahtera tanpa kehadiran mereka, yang dengan kewenangan yang sah menurut hukum menjaga kelestarian lembaga-lembaganya, dan menjalankan apa pun yang perlu untuk secara aktif mendukung kepentingan-kepentingan para warganya. Para pejabat menerima kewenangan mereka dari Allah, sebab menurut S. Paulus “tiada kekuasaan yang bukan dari Allah” (Rm 13: 1-6). ...........Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, dan masyarakat tidak mungkin “bersatu tanpa ada penguasa yang secara aktif menunjukkan arah maupun kesatuan tujuan. Oleh karena itu tiap masyarakat yang beradab harus mempunyai kewenangan untuk memerintahkan, dan kewenangan itu seperti masyarakat sendiri bersumber pada kodrat sendiri, maka Penciptanya Allah sendiri. Secara tersirat ensiklik ini menunjukkan asal mula kewenangan

dari negara yakni berasal dari Allah. Dan kewenangan itu diharapkan agar

digunakan menjaga kelestarian lembaganya sekaligus secara aktif

mendukung kepentingan-kepentingan para warganya.

Selain itu, ada tujuan dari kewenangan negara (PT art. 53-61),

yang harus diperhatikan oleh lembaga kenegaraan. Salah satu artikelnya

mengatakan bahwa:

Orang-orang, sebagai perorangan maupun anggota kelompok-kelompok penengah, diharapkan memberi sumbangan yang khas bagi kesejahteraan umum. Konsekuensi utamanya: harus menyelaraskan kepentingan-kepentingan mereka sendiri dengan kebutuhan-kebutuhan sesama, dan menyumbangkan yang ada pada mereka dan jasa-jasa untuk mereka menurut petunjuk para penguasa,-tentu saja dengan syarat bahw keadilan tetap ditegakkan dan para penguasa bertindak dalam batas-batas kewenangan mereka dengan cara yang dari sudut moral tidak bercela, tetapi juga mempertimbangkan secermat mungkin untuk menjamin atau memajukan kesejahteraan negara dan umum.

Page 192: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

172

Salah satu tujuan dari kewenangan seperti yang tertera dalam isi

ensiklik PT adalah bahwa setiap orang maupun kelompok yang bertindak

sebagai penengah, hendaknya memberi sumbangan yang khas (sesuai

dengan kategori kelompoknya) demi kesejahteraan umum. Dan ini

mengandung konsekuensi bahwa pihak penengah harus menyelaraskan

kepentingannya sesuai dengan kepentingan umum atau sesamanya, bukan

kepentingannya sendiri. Dengan demikian kesejahteraan umum bukanlah

slogan semata tetapi menjadi nyata.

4. Bahaya Sekularisme dan Materialisme

Manusia dan kemanusiaan Timor Leste, di era pascareferendum

sedang berada dalam bahaya. Materialisme dan sekularisme menjadi

sedemikian kuat mempengaruhi pikiran dan perilaku hidup setiap orang.

Dengan mengusung kecenderungan instingtif akan kesenangan, dan

didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi,

bahkan dalih keterpurukan yang dialami saat referendum, materialisme dan

sekularisme menjadi “agama baru” yang memberi banyak harapan akan

realisasi surga dunia, hidup tanpa derita, kasih tak berkesudahan, damai

sejahtera yang tidak berkesudahan. Tetapi di mana-mana, surga dunia itu

tetap tidak tercapai. Perang berlangsung di mana-mana, setiap malam warga

harus pergi ke tempat-tempat pengungsian bahkan mengungsi merupakan

makanan sehari-hari bagi warga, kekerasan terus meningkat. Damai dan

keadilan, kasih dan persaudaraan ternyata hanya sebuah utopia?

Page 193: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

173

Apakah manusia Timor Leste mulai menyadari keadaannya yang

ditindas, diperbudak, dibodohkan, dimanipulasi oleh sekularisme dan

materialisme? Nampaknya kesadaran itu tidak akan terwujud jika Gereja

Timor Leste hanya duduk diam dan berpangku tangan. Inilah kesempatan

bagi agama untuk berperan kembali. Dengan menunjukkan kemustahilan

surga dunia, agama dapat memainkan peranan penting dan fungsi

kenabiannya secara kritis atas perilaku kebinatangan yang merendahklan

martabat manusia berakal budi dan bercitra ilahi dan memaksimalkan fungsi

kenabiannya untuk mengarahkan manusia secara humanis akan tujuan

hidupnya yang ilahi. Singkat kata, agama harus kembali kepada intisarinya,

yakni menghantar manusia kepada Allah dan hal ini menjadi semakin

penting dalam rangka mengimbangi pengaruh materialisme dan

sekularisme.

5. Penghayatan Hidup Beriman Umat

Dengan menengok sejarah perkembangan Gereja Katolik di Timor

Leste, kita melihat ada beberapa tahap yang dilalui. Tahap pertama, tahap

penjajahan Portugis tahun 1512-1975. Selanjutnya tahap pergolakan ketika

pemerintah Portugis memberikan opsi kepada rakyat menentukan nasibnya

sendiri. Disusul tahap perang saudara dan integrasi dengan Indonesia. Dari

tahap yang satu ke tahap yang berikutnya memiliki nuansa yang berbeda-

beda. Dan ini mempengaruhi penghayatan hidup beriman umat.

Page 194: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

174

Dengan melihat statistik agama Katolik Timor Leste sebelum

integrasi menunjukkan bahwa banyak masyarakat Timor Leste yang

menganut kepercayaan animis. Tetapi setelah berintegrasi dengan Indonesia

ada perkembangan bahwa penganut kepercayaan animis nampaknya mulai

berkurang. Masyarakat Timor Leste dikenal dengan mayoritas beragama

Katolik (lihat tabel statistik).

Penggerak paroki selain pastor paroki, ada juga penggerak paroki

yang lain, di antaranya katekis numerados yang bekerja secara full time

(penuh waktu), katekis sekarela. Dari segi kuantitas, memang para

penggerak Gereja sangatlah cukup, tetapi dari segi kualitas, model

penggerak seperti ini belum memenuhi syarat untuk benar-benar

menggerakkan umat.

Untuk itu, demi perkembangan Gereja Timor Leste, Gereja mulai

sekarang memikirkan untuk menyediakan wadah pendampingan bagi para

penggerak Gereja. Mengapa bukan istilah pembinaan yang dipakai? Karena

pendampingan mengikuti kaidah pendidikan andragogi. Sebab para

penggerak Gereja adalah pribadi-pribadi yang telah memiliki banyak

pengalaman dalam membina dan menggerakkan umat, maka unsur

pengalaman tidak boleh diremehkan oleh pendamping. Pendampingan yang

diberikan hendaknya membangkitkan kembali dan menghidupkan kembali

semangat (roh) yang menggerakkan mereka untuk menyediakan waktu, rela

berkorban demi memperkembangkan iman umat. Gereja juga mengadakan

Page 195: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

175

kerjasama dengan para awam yang berkompeten di bidang kaderisasi,

sehingga hal ini dapat terwujud.

G. Katekese sebagai Bagian Integral dari Re-evangelisasi

Pada dasarnya katekese dan evangelisasi memiliki suatu hubungan

yang sangat erat. Evangelisasi atau lebih tepatnya pewartaan awal

pertama-tama dialamatkan kepada orang-orang yang tidak percaya dan

mereka yang hidup dalam ketidakpedulian religius, yang mempunyai

fungsi untuk mewartakan Injil dan menyerukan pertobatan.

Sedangkan katekese adalah memajukan dan mematangkan

pertobatan awal, mendidik orang yang bertobat dalam iman dan

menggabungkannya dalam komunitas kristiani. Dengan demikian kedua

bentuk pelayanan ini merupakan hubungan yang saling melengkapi (KWI,

2000: 49).

Berdasarkan pemahaman tersebut di atas, maka penulis memilih

katekese sebagai bagian integral dari re-evangelisasi. Alasan mengapa

penulis menempatkan katekese sebagai bagian integral dari re-evangelisasi

adalah, pertama: penulis adalah seorang mahasiswi yang dibentuk dan

dididik sebagai seorang katekis yang profesional, maka katekese

merupakan bagian yang tak terpisahkan dari karya pelayanan yang

ditekuni oleh penulis. Kedua, evangelisasi dan katekese merupakan dua

bentuk pelayanan yang memiliki hubungan sangat erat dan terkait satu

Page 196: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

176

sama lain. Ketiga, katekese dan evangelisasi selalu berjalan sesuai dengan

perkembangan zaman.

Berikut penulis menawarkan salah satu contoh persiapan katekese

bagi kaum muda sebagai realisasi dari re-vitalisasi bagi iman kaum muda

di Paroki Nossa Senhora do Carmo Letefoho, Dili – Timor Leste.

H. Contoh Persiapan Katekese

Tema : Beriman Tidak Cukup Tanpa Perbuatan

Tujuan : Bersama-sama pendamping, peserta diajak untuk

menyadari bahwa dalam mengasihi sesama tidak

cukup hanya dengan perkataan saja, tetapi

mempraktekkannya dalam perbuatan, sehingga

dapat mewujudkannya dengan membantu sesama

yang kesulitan.

Peserta : Kaum Muda Paroki N.S. de Fatima Letefoho

Tempat : Aula Paroki

Hari / Tanggal : Kamis, 02 Desember 2007

Waktu : 11.00 – 12.30 wib

Metode : - Sharing Kelompok

- Refleksi Pribadi

- Informasi

Model : Shared Christian Praxis

Sarana : - Teks Kitab Suci

Page 197: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

177

- Teks lagu “Bagaikan Rumah Hidupmu” MB

no. 217

- Teks lagu “Mengasihi”

- Tape dan kaset instrumen

Sumber Bahan : - Mat 7: 21, 24-27

- LBI. 1981. Tafsir Injil Matius. Yogyakarta:

Kanisius. hh. 67.

- Stefan Leks. 2003. Tafsir Injil Lukas.

Yogyakarta: Kanisius. hh. 189-196.

- Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris,

OFM. 2000. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru.

Yoyakarta: Kanisius. hh.148-150 .

- Wartaya, Y, SJ. 2004. Gema Suara Ilahi.

Yogyakarta: Pustaka Nusatama. hh. 89.

PEMIKIRAN DASAR

Dewasa ini banyak sekali orang yang munafik, termasuk orang kristiani

dan juga kaum muda seluruhnya. Dalam praktek kehidupan ada pemisahan antara

iman, doa, dan perilaku sehari-hari. Kaum muda khususnya dan semua orang

kristiani setiap hari membaca Kitab Suci malahan ada yang sampai hafal setiap

ayat Kitab Suci, pergi ke Gereja setiap hari (mengikuti misa harian), berdoa terus-

menerus, memuji Tuhan dengan nyanyian-nyanyian, belajar tentang moral setiap

hari dan perwujudan-perwujudannya dalam hidup sosial. Namun semua itu tidak

Page 198: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

178

sampai diwujudnyatakan dalam tindakan kecil hidup kita sehari-hari. Dalam hidup

konkrit tidak ada kasih yang nampak bagi sesama. Kita kurang peduli dengan

kesulitan yang dialami oleh teman-teman kita. Malah menjadi pemarah,

mengucilkan teman yang sedang dalam masalah, tukang gosip, memfitnah, suka

berbohong, dll. Memang lebih gampang memperlihatkan kehidupan beragama

dengan menyebut nama Tuhan daripada melakukan kehendak-Nya dalam

perbuatan cinta kasih.

Injil Matius 7: 21, 24-27, menegaskan bahwa bukan seruan-seruan yang

lantang menyebut nama Allah yang dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga, tetapi

tindakan untuk melakukan kehendak Allah dalam hidup sehari-hari yang dapat

masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Mengasihi tidak cukup hanya dengan perkataan

saja tetapi dapat dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, terutama dalam membantu

teman yang sedang dalam kesulitan. Hendaknya menjadi orang yang bijaksana

dalam mengasihi yaitu mendengar sabda Tuhan dan juga melaksanakannya

dengan mewujudkan kasih pada sesama. Karena kasih yang menjadi dasar, kasih

yang kuat tidak mudah jatuh dalam cobaan sedangkan apabila kasihnya lemah

mudah diterpa cobaan dan tidak bisa menghadapinya.

Dari pertemuan ini, kita berharap semakin menyadari bahwa dalam hidup

beriman terlebih dalam mengasihi sesama tidak cukup hanya dengan perkataan

saja, tetapi juga dituntut dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari

dengan memberikan kasih kepada teman-teman berupa memberi bantuan pada

teman yang kesusahan, tidak mencemooh dan mengucilkan teman yang sedang

dalam masalah, tidak membicarakan teman yang lain, dll. Kita dapat memandang

Page 199: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

179

teman kita itu dengan kasih yang tulus, sebab wajah Yesus tercermin dari wajah

teman kita yang sedang dalam masalah itu.

PENGEMBANGAN LANGKAH-LANGKAH

1. Pembukaan

a. Pengantar

Rekan-rekan yang terkasih, terimakasih atas kesediaan untuk

berkumpul bersama di tempat ini. Kita berkumpul di sini untuk dapat saling

mendengarkan dan berbagi pengalaman dengan sesama kita, khususnya

pengalaman kita mengenai kehidupan beriman kita. Kita diajak untuk

melihat kembali perjalanan hidup beriman kita yang hanya perkataan saja

atau kita sudah mampu mewujudnyatakan dalam perbuatan kita. Dengan

mempraktekkan sabda Tuhan dalam perbuatan kita, dengan membantu

sesama kita yang sedang dalam kesulitan. Kita mempunyai dasar kasih

yang kuat, sehingga tidak mudah diterpa cobaan seperti rumah yang

dibangun di atas dasar batu. Seperti dalam lagu pembukaan:

“Bagaikan Rumah Hidupmu”

Bagaikan rumah kokoh dan megah

Dilanda hujan, banjir serta angin

Namun tak roboh dan tak berubah

Karena batu jadi dasarnya Reff.

Dirikan rumahmu atas dasar batu, pijakan hidupmu atas sabda Tuhan

Walaupun langit dan bumi lenyap, tetapi Tuhan adalah kekal

Page 200: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

180

Bagaikan rumah luas dan rawan

Dilanda hujan, banjir serta angin

Tetapi roboh dan berantakan karena pasir jadi dasarnya Reff.

b. Doa Pembukaan:

Bapa kami yang ada di surga, terima kasih atas kesempatan yang

boleh kami rasakan untuk berkumpul bersama di tempat ini. Bantulah kami

untuk dapat saling berbagi pengalaman kami mengenai perjalanan hidup

beriman kami. Bimbinglah kami untuk selalu dapat mewujudnyatakan

perkataan-perkataan iman kami dalam perbuatan kasih kepada sesama,

terlebih teman-teman yang sedang dalam kesulitan atau masalah. Semoga

kami dapat menanggapi sesama kami yang membutuhkan bantuan dari

kami. Bukalah hati dan pikiran kami untuk menggali bersama dan

merefleksikan apakah hidup beriman kami hanya sebatas perkataan saja

atau kami sudah mampu mewujudkannya dalam perbuatan kasih kepada

sesama, walau itu belum seberapa. Kami mohon bimbinglah kami dan

berkenanlah memberkati segala usaha yang kami lakukan dalam

pendalaman iman ini. Demi Kristus, Tuhan dan pengantara kami. Amin.

2. Langkah I & II: Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual dan Refleksi

Kritis atas Sharing Pengalaman Hidup Faktual

a. Membagikan teks cerita “Tindakan Cinta” kepada peserta dan peserta

diberi kesempatan untuk membaca dan mempelajari sendiri terlebih dahulu.

Isi cerita “Tindakan Cinta” adalah sebagai berikut:

Page 201: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

181

TINDAKAN CINTA

Ada dua orang petani yang bersaudara. Mereka bekerja di sawah

milik keluarga mereka sendiri. Yang lebih muda berkeluarga dan memiliki

sepuluh orang anak. Kakaknya hidup sendiri dan tidak berkeluarga. Mereka

tetap mengerjakan sawah bersama-sama karena memang itu perkerjaan

mereka. Suatu hari ayah mereka meninggal dan sebelum meninggal sang

ayah berpesan supaya sawah mereka jangan dijual, tetapi tetap dikerjakan

bersama dan hasil panen dibagi rata dengan adil. Maka, merekapun

melakukan apa yang diamanatkan oleh orang tua mereka. Pada waktu

panen hasilnya mereka bagi dua sama banyaknya.

Suatu malam sang kakak berpikir: “Kasihan adik saya, anaknya

ada sepuluh dengan istrinya, berarti ada dua belas mulut yang harus diberi

makan. Sungguh berat tanggungan adik saya. Pembagian ini sungguh-

sungguh tidak adil. Saya harus berbuat sesuatu”. Maka, diam-diam ia

menggotong satu karung hasil panen dan memasukkannya ke dalam gudang

adiknya.

Sebaliknya, sang adik juga merenung: “Kasihan kakak saya, dia

hidup sendiri dan tidak ada yang memberinya makan di hari tuanya nanti.

Mestinya dia mendapat bagian yang lebih banyak dari pada saya supaya

sebagian hasil panen dapat dijual dan uangnya dapat ditabung untuk hari

tuanya. Aku harus berbuat sesuatu”. Maka, dia juga diam-diam

menggotong satu karung hasil panen dan memasukkannya ke dalam gudang

kakaknya.

Page 202: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

182

Suatu saat mereka memeriksa isi gudangnya masing-masing dan

menjadi heran. Mengapa hasil panen yang disimpan tetap saja jumlahnya

walaupun satu karung sudah dimasukkan ke dalam gudang saudaranya.

Suatu malam ketika mereka mengulang kembali proses

pemindahan karung ke gudang saudaranya, mereka bertemu di tengah jalan

dan heran mengapa saudaranya membawa satu karung hasil panen dan mau

dibawa ke mana di tengah malam begini? Akhirnya, mereka menjadi sadar

apa yang telah terjadi selama ini, yaitu masing-masing telah mengeluarkan

satu karung dan juga kemasukan satu karung hasil panen. Mereka

berrangkulan karena mensyukuri cinta kasih pihak lain terhadap dirinya

masing-masing. (Wartaya, 2004. Gema Suara Ilahi. Yogyakarta: Pustaka

Nusantara. hh. 89)

b. Penceritaan kembali isi cerita: pendamping mengambil intisari cerita

“Tindakan Cinta”. Intisari cerita tersebut adalah:

Ada dua orang petani kakak-beradik yang bekerja pada sawah

milik keluarga mereka secara bersama-sama. Suatu hari sang ayah

meninggal dan berpesan supaya sawah jangan dijual, tetapi dikerjakan

bersama-sama dan hasilnya dibagi rata dan adil. Pada waktu panen,

hasilnya dibagi dua sama banyaknya. Suatu malam kakaknya berpikir kalau

adiknya yang mempunyai anak sepuluh tentu tidak akan cukup dengan hasil

yang dibagi dua sedangkan ia hidup sendiri. Maka pada suatu malam ia

menggotong satu karung berasnya untuk ditaruh dalam gudang adiknya.

Adiknya juga berpikir kakaknya yang hidup seorang diri tentu

Page 203: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

183

membutuhkan biaya pada hari tuanya karena tidak ada yang membiayai.

Maka sang adikpun membawa satu karung berasnya untuk ditaruh di

gudang kakaknya supaya bisa dijual oleh kakaknya. Namun mereka heran

isi gudang tetap saja sama jumlahnya. Ketika suatu malam saat mengangkut

hsil panen masing-masing mereka bertemu di tengah jalan dan mereka

mengerti dan sadar yang terjadi selama ini, mereka pun saling berpelukan.

Pengungkapan pengalaman: peserta diajak untuk mendalami cerita tersebut

dengan tuntunan pertanyaan: (masuk dalam kelompok kecil)

1). Apa yang dilakukan kedua orang bersaudara itu dalam mewujudkan

kasih kepada masing-masing ? Mengapa mereka melakukan itu ?

2).Ceritakanlah pengalaman teman-teman dalam mewujudkan kasih pada

sesama ? Mengapa ?

c. Rangkuman :

Setelah kita membaca kembali cerita tadi, kedua orang kakak beradik

itu saling memberikan hasil panennya pada kakak maupun pada adiknya.

Mereka saling mengungkapkan kasih sayang mereka dengan tindakan

mereka itu, tanpa mengungkapkannya dengan kata-kata. Mereka

mewujudkan cinta mereka dengan perbuatan saling mengasihi, memberikan

hasil panen mereka tanpa ada yang meminta. Kasih memang tidak hanya

memerlukan kata-kata, tetapi yang terpenting di sini adalah tindakan nyata

dari kasih itu sendiri.

Kita memang mempunyai banyak cara dalam mewujudkan kasih pada

sesama, terutama pada teman-teman kita yang ada di sekitar kita. Salah satu

Page 204: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

184

caranya kita mau membantu teman yang sedang dalam kesulitan, namun

bantuan yang kita berikan kadang hanya berupa perkataan saja belum kita

wujudkan dalam perbuatan kita. Tanpa sadar kita masih menggosipkan

teman-teman kita yang sedang dalam masalah, tidak hanya itu kita juga

suka mencemoohnya bahkan mengucilkannya. Kita melakukan itu sebab

kita merasa diri kita yang paling benar karena kita merasa sering pergi ke

gereja setiap hari, mengikuti misa harian, berdoa terus-menerus, sering

membaca dan belajar Kitab Suci, dll. Dengan begitu kita hanya

mendengarkan sabda Tuhan, tidak mempraktekkannya dalam hidup kita.

Kita masih sebatas perkataan saja belum sampai pada perbuatan.

2. Langkah III: Mengusahakan Supaya Tradisi dan Visi Kristiani Lebih

Terjangkau

a. Salah satu peserta dimohon untuk membacakan perikope langsung dari

Kitab Suci, Injil Matius 7:21.24-27, dan yang lain menyimak dari teks

yang sudah dibagikan.

BACAAN KITAB SUCI (Mat 7: 21, 24-27)

21Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! Akan

masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak

Bapa-Ku yang di sorga. 24 “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku

ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang

mendirikan rumahnya di atas batu. 25 Kemudian turunlah hujan dan

Page 205: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

185

datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak

rubuh sebab didirikan di atas batu. 26 Tetapi setiap orang yang mendengar

perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang bodoh,

yang mendirikan rumahnya di atas pasir. 27 Kemudian turunlah hujan dan

datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah

itu dan hebatlah kerusakkannya.”

b. Peserta diberi waktu sebentar untuk hening sejenak sambil secara pribadi

merenungkan dan menanggapi pembacaan dari Kitab Suci dengan bantuan

pertanyaan sebagai berikut:

1). Ayat-ayat mana yang menunjukkan bahwa beriman tidak cukup tanpa

perbuatan ?

2) Apa artinya bagi kita masing-masing (relevansi) ?

c. Peserta diajak untuk mencari sendiri dan menemukan pesan inti perikope

tersebut.

d. Pendamping memberikan interpretasi atau tafsir bacaan Kitab Suci dari

Injil Matius 7: 21,24-27 dan menghubungkan dengan tanggapan peserta

dalam hubungan dengan tema dan tujuan:

Ayat 21, 24 : “Melakukan kehendak BapaKu”’ menggambarkan

bahwa tidak ditegaskan kontras antara berseru dn melakukan saja, tetapi

terutama antara dua tipe iman. Orang yang melakukan kehendak Bapa yang

di surga, beriman benar. Kehendak Bapa bukan kehendak tiran, melainkan

lehendak seorang bapa yang selalu mengusahakan kebaikan anak-anaknya.

Page 206: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

186

Maka, melakukan kehendak Bapa bukan melayani bapa sebagai budak,

melainkan menunjukkan kasih kepadaNya, membahagiakanNya.

Begitupun dalam kehidupan kita, kita dapat mewujudkan kasih kita

kepada sesama di kampus yang sedang berada dalam kesulitan, mengasihi

sesama tentu bukan hanya lewat perkataan saja, tapi harus kita wujudkan

kasih itu dengan membantu teman yang sedang dalam kesulitan keuangan

dengan meminjamkannya di saat kita sedang ada, dan teman yang sedang

menghadapi masalah, dengan tidak mencemooh dan mengucilkannya..

Ayat 26: “dan melakukannya”. Perkataan Yesus tidak cukup hanya

didengar saja, tapi harus dilakukan. Padahal banyak orang karena

mendengarkan Sabda Yesus secara intensif, sudah merasa menjadi murid

Yesus. Jadi, mendengar selalu harus dilengkapi dengan melakukan. Injil

bicara tentang mendengar (bukan mempelajari) Sabda Yesus dan

mempraktekkannya dengan nyata. Sebab pada suatu ketika akan datang

cobaan berat serupa dengan banjir. Orang yang tidak melakukan Sabda

Tuhan serupa dengan rumah tanpa fondasi, pasti akan rubuh.

3. Langkah IV: Interpretasi/Tafsir Dialektis Antara Tradisi dan Visi

Kristiani dengan Tradisi dan Visi Peserta

Dalam pembicaraan tadi kita sudah menemukan pesan-pesan dari Injil

yang harus dilakukan oleh kita sebagai murid-murid Yesus. Sebagai orang

beriman, mencintai, mengasihi tidak hanya dengan perkataan, tetapi

mewujudkannya dalam tindakan konkret. Benar juga bahwa beriman bukan

Page 207: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

187

hanya menyebut dan menyerukan nama Tuhan, tetapi melakukan kehendak-

Nya, walaupun kadang sangatlah sulit karena keterbatasan kita sebagai

manusia.

Sebagai bahan refleksi kita untuk semakin menghayati Sabda Allah

yang baru saja kita dengar, kita mencoba merenungkan pertanyaan berikut:

Perwujudan kasih yang konkret macam apa dalam membantu teman

yang sedang dalam kesulitan yang menunjukkan bahwa beriman tidak

cukup tanpa perbuatan ?

Sebagai bahan refleksi dalam langkah ini pendamping memberikan

rangkuman sebagai berikut:

Injil mengajak kita untuk dapat mewujudkan kasih kita kepada

sesama kita. Mewujudkan kasih pada sesama, khususnya pada teman

dengan membantu teman tidak hanya dengan perkataan-perkataan saja,

tetapi kita wujudkan dalam tindakan konkret kita. Kita tidak hanya

membantu teman dengan memberinya nasehat dari ayat-ayat Kitab Suci

saja, membantunya dalam doa saja, atau yang lainnya. Tetapi kita juga

membantu teman kita dengan tindakan kita, misalnya dengan memberi

dukungan, perhatian dengan kasih di saat teman kita itu sedang dalam

masalah, kita juga tidak mencemoohnya, menggosipkannya, bahkan

mengucilkannya. Kita dapat melakukan seperti yang Yesus perbuat pada

orang-orang berdosa yaitu merangkulnya. Kitapun dapat berbuat demikian,

yaitu merangkul teman kita yang sedang dalam masalah.

Page 208: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

188

4. Langkah V: Keterlibatan Baru Demi Terwujudnya Kerajaan Allah di

Dunia Ini

a. Pengantar

Rekan-rekan yang terkasih, dari awal tadi kita sudah berproses bersama

menggali pengalaman kita melalui cerita “Tindakan Cinta” yang

menyadarkan kita untuk mengasihi sesama tidak hanya melalui kata-kata

tetapi lebih kita dapat berbuat sesuatu pada sesama kita itu sebagai wujud

dari kasih kita. Karena mengasihi tidak hanya dalam perkataan saja, tetapi

juga dengan perbuatan. Seperti yang sudah ditegaskan oleh Injil sendiri

bahwa mengasihi yang benar berarti mendengarkan sabda Tuhan dan

mempraktekkannya dalam hal yang nyata, menjadi dasar yang kuat bagi

kita. Maka, kitapun diajak untuk dapat mengasihi dengan benar yaitu

mendengarkan sabda Tuhan dan mempraktekkannya dengan membantu

teman yang sedang dalam kesulitan, merangkul teman yang sedang dalam

masalah dengan tidak menggosipkannya, mencemoohnya, bahkan

mengucilkannya. Dengan kasih kita mempunyai dasar yang kuat, sehingga

dalam menghadapi gelombang kehidupan tidak akan goyah dan dapat terus

bertahan.

b. Mengajak peserta untuk memikirkan niat-niat dalam bentuk

keterlibatannya yang baru secara pribadi dengan pertanyaan berikut:

Niat apa yang hendak saya bangun untuk dapat mewujudkan

kasih pada sesama tidak hanya dengan perkataan tetapi lebih

melalui perbuatan?

Page 209: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

189

c. Kemudian niat-niat itu ditulis dalam selembar kertas kecil, lalu

dibicarakan dalam kelompok kecil.

5. Penutup

a. Setelah menentukan niat yang akan dilakukan, masih dalam keadaan

hening, kesempatan doa umat spontan bisa untuk mengungkapkan niat

diawali oleh pendamping.

b. Usai doa umat, seluruh doa umat tersebut disatukan dengan doa yang

diajarkan oleh Yesus sendiri: “Bapa Kami”.

c. Seluruh doa dan rangkaian pendalaman iman ditutup dengan doa:

Allah Bapa kami mengucap syukur atas pengalaman yang dapat

kami timba dari sesama kami maupun dari sabda-Mu sendiri. Bantulah

kami untuk dapat mengasihi tidak hanya dengan perkataan saja tetapi juga

dapat kami wujudkan dalam perbuatan kami. Bantulah kami untuk dapat

mewujudkannya dalam membantu teman kami yang sedang dalam

kesulitan. Seperti sabda-Mu sendiri bahwa dalam melakukan kehendak

Bapa dengan menunjukkan kasih pada sesama berarti juga menunjukkan

kasih dan membahagiakan-Mu. Sebab kasih menjadi dasar dalam hidup

kami. Mengasihi dengan baik adalah yang mendengar serta melaksanakan

sabda-Mu untuk mengasihi, sehingga kasih dalam diri kami menjadi kokoh

sekuat batu. Kami ingin membantu teman yang sedang dalam kesusahan,

tidak mencemooh teman yang sedang dalam masalah, dan tidak juga

mengucilkannya, bantulah kami untuk dapat mewujudkannya. Dan semoga

Page 210: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

190

Engkau merestui niat-niat kami ini untuk lebih mengasihi-Mu. Sebab

Engkaulah Tuhan dan pengantara kami. Amin.

d. Lagu penutup: “Mengasihi”

Mengasihi, mengasihi lebih sungguh 2x

Tuhan lebih dulu mengasihi kepadaku

Mengasihi, mengasihi lebih sungguh.

Page 211: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

191

BAB V

P E N U T U P

A. KESIMPULAN

Gereja Katolik pada dasarnya adalah jaringan komunitas-

komunitas yang disatukan oleh pengalaman akan Allah yang ditafsirkan

lewat peristiwa Yesus dari Nazareth baik dalam situasi historis, maupun

dalam dimensi simbolik doktrinernya. Pengalaman dasar ini disambut,

diolah, dan ditafsirkan oleh generasi yang satu sesudah generasi yang lain

dalam konteks perjalanan menyejarah, maka dari itu Gereja pada dasarnya

juga boleh diistilahkan sebagai ”tradisi iman yang hidup”, dari umat yang

bergulat dengan peristiwa Yesus dan mencari maknanya bagi hidupnya.

Gereja Timor Leste sebagai Gereja lokal yang merupakan

pengejawantahan dari Gereja semesta dalam perjalanan sejarahnya, selalu

berusaha untuk tampil sebagai pejuang yang ditandai dengan gugurnya

beberapa martir (seperti Pe. Dewanto, SJ, Pe. Karim, SJ) demi

mempertahankan keadilan dan kebenaran bagi rakyat kecil.

Dalam konteks Gereja Timor Leste di era pascareferandum ada

lima masalah yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dalam melaksanakan

karya pewartaannya, yaitu masalah kaum muda, pendidikan, politik,

bahaya sekularisme dan materialisme, dan masalah penghayatan beriman

umat. Kelima masalah ini mendapat perhatian serius dari Gereja Timor

Leste. Masalah kaum muda terjadi akibat nilai-nilai keagamaan yang

Page 212: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

192

ditanamkan oleh orang tua secara paksa, maka nilai-nilai itu tidak berakar

dan hilang begitu saja ketika jauh di perantauan. Masalah pendidikan

terjadi akibat tidak jelasnya visi dan misi pendidikan yang selama ini

dijalankan oleh lembaga pendidikan dalam pembentukan pribadi peserta

didik secara integral. Masalah politik terjadi karena pemerintah tidak

menjalankan wewenangnya dengan baik, sehingga kesejahteraan umum

yang diharapkan tidak tercapai. Bahaya sekularisme dan materialisme

yang menjadi agama baru bagi umat Timor Leste. Dan penghayatan

beriman umat yang memisahkan antara agama dan iman, akibatnya iman

umat mulai pudar dengan ditandai oleh berbagai konflik seperti

pembunuhan, penodongan senjata, konflik yang berkepanjangan

antarinstansi pemerintah, dan antarsuku.

Berhadapan dengan kelima masalah tersebut di atas, Gereja Timor

mencari bentuk evangelisasi yang baru dalam rangka menjalankan karya

pewartaannya. Dengan bercermin pada perjalanan sejarah perkembangan

Gereja Timor Leste, dapat dijadikan sebagai bahan refleksi dalam mencari

dan menentukan Gereja yang hendak dibangun dalam rangka menanggapi

permasalahan atau tantangan tersebut di atas.

Jalan untuk mewujudkannya yaitu dengan re-evangelisasi. Re-

evangelisasi dalam konteks Gereja Timor Leste memiliki makna re-

vitalisasi yakni menghidupkan kembali iman umat yang kini mulai pudar

bahkan hilang. Dan subyek pertama dari re-vitalisasi adalah Gereja Timor

Leste sendiri. Artinya, Gereja Timor Leste pertama-tama harus

Page 213: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

193

menghidupkan kembali imannya terlebih dahulu dengan bercermin

kembali pada iman Gereja Perdana. Dengan demikian iman umat akan

hidup kembali dengan sendirinya dalam seluruh karya pewartaan Gereja.

Katekese dan evangelisasi merupakan dua bentuk pelayanan yang

memiliki hubungan yang sangat erat, dan selalu berjalan sesuai dengan

perkembangan zaman. Dalam kerangka re-vitalisasi iman umat, maka

katekese dapat menjadi bagian yang integral dari re-evangelisasi dan

mewujudkan re-evangelisasi. Melalui katekese, umat diantar untuk berani

melihat realitas hidupnya, merefleksikan realitas hidupnya berdasarkan

Sabda Allah dan kemudian terlibat secara nyata dalam mewujudkan

Kerajaan Allah.

B. SARAN

Apa yang disajikan dalam skripsi ini, lebih merupakan suatu

sumbangan pemikiran penulis berdasarkan studi pustaka dan penafsiran

pribadi penulis akan situasi riil yang akhir-akhir ini terjadi di Timor Leste,

terlebih situasi iman umat yang mulai pudar di era pascareferendum. Ada

beberapa saran yang penulis bisa berikan berkaitan dengan re-evangelisasi

menghadapi tantangan Gereja di Timor Leste dewasa ini.

1. Hendaknya Gereja Timor Leste mulai melebarkan sayapnya untuk

tidak sekedar berputar-putar di sekitar altar. Tetapi mencari suatu

bentuk evangelisasi secara baru yang memiliki semangat, cara serta

Page 214: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

194

metode yang baru dalam menanggapi situasi iman umat yang saat ini

mulai pudar.

2. Dalam menghadapi berbagai tantangan yang saat ini terjadi seperti

masalah kaum muda, pendidikan, politik, bahaya sekularisme dan

materialisme, serta penghayatan hidup beriman umat yang mengalami

degradasi, Gereja Timor Leste dituntut untuk menghidupkan kembali

imannya terlebih dahulu dengan bercermin pada iman Gereja Perdana.

Menghidupkan kembali (re-vitalisasi) semangat dan spiritualitas dari

masing-masing kategori permasalahan tersebut di atas adalah hal

pokok yang hendak diperhatikan oleh Gereja Timor Leste dalam

menjalankan karya pewartaannya di era pascareferendum.

3. Re-evangelisasi dapat menjadi salah satu jalan untuk merealisasikan

dan mewujudkan Gereja yang yang lebih kontekstual, dan sebagai

salah satu jalan untuk menanggapi tantangan yang dihadapi Gereja

Timor Leste dewasa ini.

Page 215: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

195

DAFTAR PUSTAKA

Adisusanto, F.X. (1995). “Evangelisasi Baru di Asia”. Dalam Katekese Umat dan

Evangelisasi Baru. Yogyakarta: Kanisius Aditjondro, George J. (1994a). In The Shadow of Mount Ramelau. Leiden _______________. (1994b). Dari Memo ke Tutuala: Suatu Kaleidoskop

Permasalahan Lingkungan Hidup di Timor Timur. Salatiga: UKSW Afra Siauwarjaya. (1987a). Membangun Gereja Indonesia I: Model-model Gereja

dan Katekese Umat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius ______________. (1987b). Membangun Gereja Indonesia II: Katekese Umat

dalam Pembangunan Gereja Indonesia. Yogyakarta: Kanisius Banawiratma, J.B. (1984). Pewahyuan dan Tindakan Penyelamatan Allah

Tritunggal dalam Yesus Kristus. Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma, Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Program Studi Teologi (naskah)

Belo, Carlos Filipe Ximenes. Uskup. (1988). “Belo: “Saya Takut menjadi

Uskup”. Mingguan Hidup, no. 30/31, edisi 24-31 Juli, hh. 10 ______________. (1995, edisi 5 Maret). Pertemuan Uskup-uskup di Manila, 15

Maret 1995. Mingguan Hidup, no. 10 Tahun XLII, hh. 13 Bispo de Dili e Seu Conselho Presbiteral. (1975, 25 Janeiro). Perante Uma Nova

Situação: Carta Pastoral. p. 5 Boff, Leonardo. (1982). Igreja: Carisma e Poder: Ensaios de Eclesiologia

Militante. Petropolis: Editora Vozes Ltda Darmawijaya, ST. (1993a). Evangelisasi Baru (Membaharui Masyarakat dalam

Injil). Rohani, edisi September, hh. 340-348 Darmawijaya, ST. (1993b). Membaharui Masyarakat dalam Injil (Evangelisasi

Baru. Serba-serbi LBI No. 3-4/XIII/1993 Darminta, J. (1993). Mengubah Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: Kanisius Dawam, Ainurrofiq. (2003). “Emoh Sekolah”: Menolak “Komersialisasi

Pendidikan” dan “Kanibalisasi Intelektual”, Menuju Pendidikan Multikultural. Sirsaeba Alfsana (ed.). Jakarta: Inspeal Ahimsakarya Press

Page 216: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

196

Dulles, Avery. (1987). Model-model Gereja. George Kirchberger (Penerjemah). Ende: Nusa Indah

Eminyan, Maurice. (2001). Teologi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius Gusmão, Martinho G. da Silva. (1997). Menantikan Loro-sae: Refleksi

Peziarahan Gereja bersama Masyarakat Timor Timur. Malang: Study Group Fraters Timor Timur

____________. (2003). Timor Lorosae: Perjalanan menuju Dekolonisasi Hati-

Diri. Malang: Dioma Hadiwiyata, A.S. (ed.). (1993). Evangelisasi Baru dan Kerasulan Kitab Suci.

Yogyakarta: Kanisius Hardawiryana, R. (1975). Evangelisasi Dunia Ketiga: Beberapa Masalah Pokok

dalam Sinode 1974. Yogyakarta: Kanisius _____________. (1992). Ensiklik “Redemptoris Missio” (7 Desember 1990):

Relevansinya bagi Gereja Indonesia. Spektrum No 1 Tahun XX, 1992. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI

______________. (1995). Evangelisasi Baru di Indonesia Menanggapi Tantangan

Zaman dalam Perspektif Masa Depan. Dalam Katekese Umat dan Evangelisasi Baru. Yogyakarta: Kanisius

Heryatno Wono Wulung, FX. (2005). Hakikat Dasar Pendidikan Agama Kristiani

(PAK). Diktat Mata Kuliah Pengantar Pendidikan Agama Katolik untuk Mahasiswa Semester II, Fakultas Ilmu Pendidikan Agama, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Hidup. (2005, 29 Mei). Akhirnya Pendidikan Agama Masuk Kurikulum. hh. 30-31 Jacobs, Tom. (1970). Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” mengenai Gereja:

Terjemahan, Introduksi, Komentar I. Yogyakarta: Kanisius Jacobs, Tom & B. Kieser. (1980). Kerja dan Iman. Yogyakarta: IKIP Sanata

Dharma, Jurusan filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Program Studi Teologi (naskah)

Jacobs, Tom. (1983). Gereja Mengambil Sikap Terhadap Dunia. Yogyakarta:

IKIP Sanata Dharma, Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Program Studi Teologi (naskah)

___________. (1986). “Gereja dan Dunia”. J.B. Banawiratma (ed.). Dalam Gereja

dan Masyarakat. Yogyakarta: Kanisius

Page 217: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

197

Jacobs, Tom. (1987). Gereja Menurut Vatikan II. Yogyakarta: Kanisius Jacobs, Tom. (1994, Januari). Anggur Baru dalam Kantong Baru. Rohani. hh 1-8 Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Gita Media Press Kongregasi Umum Imam, Petunjuk Umum untuk Katekese. (2000, Juli). Dalam

Kerjasama dengan Komisi Kateketik KWI. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI

Konsili Vatikan II. (1962). Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral tentang Gereja

Dalam Dunia Modern. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II. R. Hardawiryana (Penerjemah). Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI & Obor

_______________. (1965). Sacrosanctum Concilium. Konstitusi tentang Liturgi

Suci. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II. R. Hardawiryana (Penerjemah). Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI & Obor

_______________. (1991). Gravissimum Educationis. Ajaran dan Pedoman

Gereja tentang Pendidikan Katolik. Jakarta: Kerja Sama Konferensi Waligereja Indonesia Majelis Nasional Pendidikan Katolik & Grasindo

_______________. (1993). Lumen Gentium. Konstitusi Dogmatis tentang Gereja.

Dalam Dokumen Konsili Vatikan II. R. Hardawiryana (Penerjemah). Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI & Obor

Kompas. (2006, 29 April). Kerusuhan Melanda Dili: Ratusan Mantan Tentara Timor Leste Mengamuk. hh. 9

KWI. (1996). Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius Lorens Bagus. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.hh.

593 Lourdes, Maria de (2001). Kelompok Gerejani Basis: Upaya Menumbuhkan

Gereja dari Bawah. Dili: Yayasan Hak & Sahe Institute for Liberation Martins, J. (1985). Kunci Pembangunan Manusia Timorense: Ubi Populus Ibi

Lex. Manuskrip Neonbasu, Gregor. (1992). Keadilan dan Perdamaian di Dioses Dili, Timor

Timur: dalam Terang Ajaran Resmi Gereja. Dili: Komisi Komunikasi Sosial Dioses Dili Timor Timur

Page 218: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

198

Neonbasu, Gregor. (2006, edisi 9 Juli). Gereja Katolik di Timor Leste. Hidup hh. 10-11

O’Collins, Gerald & Edward G. Ferrugia. (1996). Kamus Teologi. Yogyakarta:

Kanisius Paulus IV, Paus. (1975). Evangelii Nuntiandi, ensiklik (surat edaran) tentang

Karya Pewartaan Injil pada Zaman Modern. Dalam Dokumen Resmi Gereja tentang Katekese. J. Hadiwikarta (Penerjemah). Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI

Putranto, C. (1987). “Gereja Kaum Miskin dalam Konsili Vatikan II dan

Dokumen Federasi Konferensi Uskup-uskup Asia”. J.B. Banawiratma (ed.). Dalam Kemiskinan dan Pembebasan. Yogyakarta: Kanisius

__________. (1998). Pewarta Kerajaan Allah: sebuah Pengantar Ekklesiologi.

Seri Puskat No. 357-360 __________. (2002). “Gereja Kaum Miskin dan Konsili Vatikan II”. Dalam

Katekese Umat. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI Prior, John Manfred. (1993). Unsur Kebaruan dalam Evangelisasi Baru. Dalam

Evangelisasi Baru dan Kerasulan Kitab Suci. A.S. Hadiwiyata (ed.). Yogyakarta: Kanisius & Lembaga Biblika Indonesia

Rocha, Nuno. (1987). Timor Timur 27 Provincia da Indonesia. Lisboa: Nova

Nordica Siagian, Frans Sihol & Peter Tukan. (ed.). (1997). Voice of The Voiceless (Suara

dari Kaum Tak Bersuara). Jakarta: Obor Sudhiarsa, Raymundus. (2004). Membangun Gereja Misioner dalam Terang

“Ecclesia In Asia”. Dalam Membangun Gereja dari Konteks: Esai-esai Kontekstualisasi dalam Rangka 25 Tahun Bakti Mengajar. Armada Riyanto (ed.). Malang: Dioma & Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana – Malang

Suharyo, I. (1993). “Evangelisasi Baru dan Kerasulan Kitab Suci”. A.S.

Hadiwiyata. (ed.). Dalam Evangelisasi Baru dan Kerasulan Kitab Suci. Yogyakarta: Kanisius

Sinode Para Uskup. (1971). Keadilan di Dalam Dunia. Marcel Beding

(Penerjemah). Ende: Nusa Indah Sinode Para Uskup. (1985). Sinode Luar Biasa Para Uskup Tahun 1985. Marcel

Beding (Penerjemah). Jakarta: Obor

Page 219: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …

199

Tanglidintin, Philip. (1984). Pembinaan Generasi Muda: Visi dan Latihan. Jakarta: Obor

Taylor, John G. (1990). Indonesian’s Forgotten War: The Hidden History of East

Timor. Australia: Pluto Press Teixeira, Manuel. (1962). Macau e Sua Diocese: Missões de Timor. Singapura:

Tipografia da Missão do Padroado Tomodok, E.M. (1994). Hari-hari Akhir Timor Portugis. Jakarta: Sinar Harapan Tukan, Peter & Domingos de Sousa. (1997). Demi Keadilan dan Perdamaian:

Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB., Uskup Dioses Dili – Timor Timur. Bona Beding (ed.). Dili: Komisi Keadilan dan Perdamaian Dioses Dili Sekretariat & Keadilan dan Perdamaian KWI

Valentinus. (2004). Di Bawah Bayang-bayang Ancaman Materialisme dan

Sekularisme. Armada Riyanto. (ed.). Dalam Membangun Gereja dari Konteks: Esai-esai Kontekstualisasi dalam Rangka 25 Tahun Bakti Mengajar. Malang: Dioma

Yohanes Paulus II, Paus. (1990). Kotbah dalam Misa Agung 12 Oktober 1989 di

Taçi Tolu, Dili Timor Timur. Spektrum No 1,2,3 dan 4, Tahun XVIII. hh. 66

Yohanes XXIII, Paus. (1963). Pacem in Terris, Ensiklik tentang Usaha Mencapai

Perdamaian Semesta dalam Kebenaran, Keadilan, Cintakasih dan Kebebasan. (1999). Dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891 – 1991: dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus. R. Hardawiryana (Penerjemah). Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI