rau

24
Kasus Malpraktik Seorang Wanita dengan Suara Serak Pasca Operasi Disusun oleh: Ka Riri Ardiyan Lana Novira Ys. (030.10.156) Rosalina Hutapea (030.10.240)

Upload: bernad-nauli

Post on 18-Nov-2015

239 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

mlptk

TRANSCRIPT

Kasus Malpraktik

Seorang Wanita dengan Suara Serak Pasca Operasi

Disusun oleh:

Ka RiriArdiyan

Lana Novira Ys. (030.10.156)Rosalina Hutapea (030.10.240)Kepaniteraan KlinikRSPAU Dr. Esnawan Antariksa

Periode 7 Juli 2014 16 Agustus 2014PENDAHULUANSeni kedokteran adalah penerapan gabungan ilmu kedokteran, intuisi dan keputusan medis untuk menghasilkan diagnosis yang tepat. Dokter perlu memberikan penjelasan tentang penyakit pasien, rencana perawatan, dan proses pengobatannya. Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang dokter akan selalu terkait dengan bioetika maupun etika kedokteran, yang kemudian akan diatur dalam kode etik kedokteran.Namun kini, tidak sedikit dokter yang melanggar bioetika atau etikanya sebagai seorang dokter dalam menghadapi pasien, sehingga menyebabkan hal tersebut menjadi sorotan masyarakat dan menimbulkan persepsi dikalangan masyarakat bahwa semua dokter dapat melakukanny.

Dewasa ini, kita sering sekali mendengar kasus malpraktIk dalam kedokteran. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.

KRONOLOGISSuara Siti Chomsatun tiba-tiba hilang. Ia terdengar gagu dengan suara sayup-sayup terdengar. Saat melapor ke LBH Jakarta, perempuan 55 tahun itu meminta rumah sakit yang menangani tenggorokannya untuk bertanggung jawab.

"Awalnya saya operasi gondok. Kemudian sesak nafas. Dibuat lubang di tenggorokan (karena hidung tidak bisa). Setelahnya, saya tidak bisa bicara," kata Siti dengan suara yang kurang jelas saat mengadu di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jl Diponegoro 74, Jakarta Pusat.Menurut pengacara korban, Tommy Tobing, kejadian itu bermula Februari lalu. Saat itu, korban mendatangi sebuah rumah sakit di Kramat, Jakarta Pusat, dengan keluhan sesak nafas pasca operasi gondok. Di rumah sakit itu, ia ditangani dokter berinisial T."Tanpa memberitahukan penyakit pasien (sesak nafas) si dokter langsung merujuk ke RSCM," ucap Tomy.Lantaran tidak diberitahu penyakitnya, korban enggan ke RSCM. Siti Chomsatun memilih untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter spesialis THT yang pernah merawatnya di rumah sakit tersebut, dokter R."Tetapi tidak bisa menemui. Alasannya sudah pulang. Besoknya, minta bertemu tetapi tetap saja tidak bisa," imbuh pengacara publik ini.Lantaran tidak memperoleh perawatan maksimal, sesak nafas Siti Chomsatun makin buruk. Ia masuk ke derajat I dari IV--tingkat derajat sesak nafas terparah. Tubuhnya semakin lemas karena tidak bisa tidur atau makan. Pada tahapan ini, Dr F membuat lubang pengganti hidung di tenggorokan. "Lubang itu dipergunakan untuk bernafas," imbuh Tommy.Namun demikian, tindakan medis rumah sakit tidak membuat sesak nafas korban mereda. Bahkan makin parah hingga mendekati derajat IV. Melihat perkembangan yang tidak membaik, akhirnya Siti Chomsatun dipindah ke RSCM.Di rumah sakit pemerintah tersebut, ia langsung dioperasi karena telah masuk derajat IV, pingsan, dan kulit tangan membiru. Kondisi kritis tersebut lantaran perawat yang ikut membawa pasien ke RSCM tidak diberi riwayat medis pasien sehingga dokter jaga RSCM kesulitan mendiagnosa."Terdapat dugaan kuat tindakan malpraktik. Dokter T tidak menjelaskan penyakit yang diderita malah langsung merujuk ke rumah sakit lain. Suster yang mengantar ke RSCM tidak dibekali informasi medis memadai sehingga korban masuk derajat terburuk derajat IV," imbuh Tommy.Pun demikian, baik korban maupun pengacara belum berencana membawa rumah sakit itu ke meja hijau. Korban akan mengajukan kasus itu ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDI) untuk meminta pertanggungjawaban terlebih dahulu.TINJAUAN PUSTAKAI. Definisi Malpraktik Menurut Coughlins Dictionary Of Law, malpraktik bisa diakibatkan karena sikap kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanakan kewajiban professional, tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis. Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian atau kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter dikarenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah memberikan obat. Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang terjadi di beberapa rumah sakit. Blacks Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai professional misconduct or unreasonable lack of skillatau failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them. Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan (misalnya kasus BLBI), dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) adalah: medical malpractice involves the physicians failure to conform to the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.

II. Penyebab Terjadinya Malpraktik KedokteranBeberapa hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan melakukan tindakan malpraktik medik, yaitu apabila tidak melakukan tindakan medisi sesuai dengan :

Standar Profesi KedokteranDalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada dalam standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata, dan ketelitian umum.

Standar Prosedur Operasional (SOP) adalah suatu perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.

Informed ConsentSubstansi informed consent adalah memberikan informasi tentang metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap pasien, termasuk peluang kesembuhan dan resiko yang akan dialami oleh pasien.

Hubungan antara dokter dan pasien terjadi suatu kontrak (doktrinsocial-contract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar. Sikap profesionalisme adalah sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas (termasuk klien). Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu sesuai dengan tempat dan waktu, sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut dapat terwujud.Professional misconductyang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien,fraud, penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji/diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll. Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang penting lebih ke arahdeliberate violation(berkaitan dengan motivasi) ketimbang hanya berupaerror(berkaitan dengan informasi).

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitumalfeasance, misfeasancedan nonfeasance.Malfeasanceberarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawfulatauimproper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudahimproper).Misfeasanceberarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.Nonfeasanceadalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentukerror(mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkanerrortidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanyalatent erroryang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk. Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.III. Undang-Undang No 29 tahun 2004 Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijasah dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No 29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan proses registrasi tenaga dokter.

Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3 tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan tentang pelaksanaan praktik diatur agar dokter memberitahu apabila berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta mengendalikan mutu dan biaya.

Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta hak untuk menyetujui atau menolak tindakan medis.

Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin profesi. Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu.

Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi mereka yang berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan dokter tetapi bersikap atau bertindak seolah-olah dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Pidana lebih berat diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR dan/atau SIP

IV. Sistem Hukum Indonesia Yang mengatur malpraktek Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Secara yuridis kasus malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan dengan bersandar pada beberapa dasar hukum yaitu: KUHP, KUHPerdata, UU No 23 Tahun 1992, UU No 8 Tahun 1999, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU Nomor 44 Tahun 2009, Peraturan Menteri Kesehatan No 585/Menkes/Per/IX/1989, Peraturan Menteri Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan Menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008.

Undang-Undang yang bersangkutan, antara lain : UU No 23 Tahun 1992, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU No 44 Tahun 2009. Serta UUPK memberikan dasar bagi pasien untuk mengajukan upaya hukum.

Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia tetapi berkaitan dengan malpraktek medis antara lain: Peraturan Menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, Peraturan Menteri Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan No: 585/Men.Kes/Per/IX/1989Tentang Persetujuan Tindakan Medik.

Dari pengaturan tersebut yang sudah tidak berlaku lagi yakni, UU No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang sudah diganti dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).

Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.

V. UU RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4

Hak konsumen adalah:

a. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 5

Kewajiban konsumen adalah:

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

PEMBAHASANPada kasus ini pasal yang digotong yakni pelanggaran UU No. 36/2009 tetang Kesehatan UU No. 29/2004 tentang praktik kedokteran UU No 44/2009 tentang Rumah Sakit.Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang KesehatanPasal 8

Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.Berdasarkan Kasus

Pada kasus di atas, tanpa memberitahukan penyakit pasien (sesak nafas) si dokter langsung merujuk ke RSCM dan tidak memberitahukan alasan dokter merujuk pasien ke RSCM.

Dokter ahli yang diharapkan pasien untuk berkonsultasi tentang penyakitnya tidak mau memberikan menemui pasien dengan alasan sibuk.

UU Praktik Kedokteran No 29 Tahun 2004Pasal 51

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :

a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien

b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia

d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya

e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Berdasarkan Kasus Sesuai dengan dengan kasus di atas tindakan dokter pertama untuk melakukan rujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap lantaran ketidakmampuan dokter dalam memangani pasien, namun disayangkan dokter tidak menjelaskan tentang penyakit pasien dan alasan pasien dirujuk ke rumah sakit lain. Pada kasus ini dokter kedua sudah benar dengann melakukan tindakan melubangi tenggorokan pasien untuk mengatasi kesulitan pasien dalam bernapas yang dianggap sudah dalam berbahaya.Pasal 53Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban :

a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;

b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan

d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.Berdasarkan Kasus Suster yang mengantar ke RSCM tidak dibekali informasi medis memadai sehingga korban masuk derajat terburuk yang seharusnya memberikan informasi tentang kesehatan pasien kepada pihak medis di rumah sakit rujukan sesuai pasal 53 UU praktik kedokteran.Pasal 52

Pasien dalam menrima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak :

A. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagai mana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3

B. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain

C. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis

D. menolak tindakan medis

E. mendapatkan isi rekam medis Berdasarkan Kasus Pada kasus ini pasien belum medapatkan hak sepenuhnya sebagai pasien karena penolakan dokter ahli untuk dimintakan pendapatnya.KUHP pasal 360

(1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.

(2) Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya tiga ratus rupiah

Berdasarkan Kasus

Tracheostomy yang dilakukan pada pasien dapat dianggap sebagai luka berat karena keadaan pasien menjadi bertambah buruk dan mengganggu aktivitas keseharian pasien. Tapi pada kasus ini perlu diteliti tentang SOP yang digunakan dokter dalam melakukan tracheostomy.

KESIMPULAN Dengan semakin banyaknya kasus malpraktik, dapat dikatakan bahwa kualitas dunia kesehatan masih belum cukup baik, bahkan perkembangan hukum yang berkaitan dengan dunia kesehatanpun masih belum cukup untuk memenuhi harapan. Namun, aturan-aturan yang ada dan fasilitas yang disediakan untuk dunia kesehatan tidak dapat disalahkan hanya karena semakin banyaknya kasus malpraktik. Kita sebagai orang yang menggunakan aturan dan fasilitaas itulah yang harus lebih meningkatkan SDM.Sesuai dengan kode etik profesi dan sumpah jabatan sebagai seorang tenaga kesehatan harus dapat mempertanggungjawabkan kejadian yang telah terjadi. Apa lagi bila masalah kesehatan itu memang memerlukan rujukan. Setiap etugas kesehatan harus memperhatikan hal sederhana dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Tetapi juga, seorang pasien harus mau jujur secara terbuka saat menyampaikan masalah kesehatannya kepada petugas kesehatan. Kita harus bias membedakan malpraktik dan resiko medis serta kelalaian petugas kesehatan dan harus lebih mengerti hukum kesehatan agar tidak hanya asal mengajukan tuntutan kepada pengadilan mengenai masalah malpraktik.

DAFTAR PUSTAKA1. http://www.depdagri.go.id/produk-hukum/2009/10/28/undang-undang-no-44-tahun-20092. http://dokter-medis.blogspot.com/2009/07/uu-praktik-kedokteran-no-29-tahun-2004.html3. http://www.promkes.depkes.go.id/download/standar%20PKRS.PDF