rangkuman si pahit lidah dan si mata empat kelas v

1
SI PAHIT LIDAH DAN SI MATA EMPAT Alkisah, si Pahit Lidah dan si Mata Empat adalah dua jawara gagah berani yang menjadi legenda terkenal bagi masyarakat Banding Agung, Sumatera Selatan. Mereka amat disegani lawan- lawannya. Si Pahit Lidah maupun si Mata Empat, keduanya merasa paling hebat di antara keduanya. Akhirnya, karena ingin membuktikan siapa yang benar-benar lebih hebat di antara mereka berdua, mereka sepakat untuk bertemu dan mengukur kekuatan masing-masing. Caranya, satu di antara mereka harus tidur menelungkup di bawah rumpun bunga aren. Lalu, bunga aren di atas akan dipotong oleh lawan. Yang bisa menghindar dari bunga aren yang besar, lebat, dan berat itu, dialah yang akan disebut sebagai jawara sakti. Mereka kemudian menentukan hari yang tepat. Hari yang ditentukan tiba. Si Mata Empat mendapat giliran pertama telungkup. Kemudian, si Pahit Lidah memanjat pohon aren dan memotong bunganya. Tentu saja, mata di kepala si Mata Empat bisa melihat karena di belakang kepalanya ada dua mata lagi. Jadi, si Mata Empat bisa melihat bunga aren di atas jatuh meluncur ke bawah. Sehingga, dia bisa menghindar dengan mudah. Si Mata Empat pun selamat. Kini giliran si Pahit Lidah. Si Mata Empat mulai memanjat pohon aren dan si Pahit Lidah sudah menelungkupkan badannya di bawah rumpun pohon itu. Ketika bunga aren itu sudah dipotong, gugusan bunga itu meluncur deras ke bawah. Si Pahit Lidah tak bisa mengetahui hal itu. Badannya tetap berada persis di bawah luncuran itu. Karuan saja bunga itu menghujam tubuhnya jadi luluh. Ia pun tewas seketika. Si Mata Empat senang dan merasa puas. Ia bisa membuktikan, kalau dirinya lebih sakti dari si Pahit Lidah. Namun, rasa ingin tahunya muncul. Mengapa lawannya itu mendapat julukan si Pahit Lidah? Benarkah lidahnya memang pahit? Lalu, karena penasaran, ia masukkan jarinya ke mulut si Pahit Lidah yang sudah tewas itu. Setelah itu, dicicipnya jarinya sendiri yang sudah terkena liur si Pahit Lidah. Ternyata, rasanya pahit sekali dan rupanya itu adalah racun yang mematikan. Tewaslah si Mata Empat di tempat yang sama. Oleh para penduduk setempat, dua jawara itu dimakamkan di tepi Danau Ranau yang indah. Rangkuman: Si Pahit Lidah dan si Mata Empat adalah dua jawara gagah berani bagi masyarakat Banding Agung, Sumatera Selatan. Keduanya merasa paling hebat. Akhirnya mereka menguji kehebatannya dengan cara menghindari bunga aren yang jatuh dengan badan tertelungkup. Si Mata Empat berhasil menghindari bunga aren yang dipotong si Pahit Lidah karena di belakang kepalanya terdapat dua mata lagi, sedangkan si Pahit Lidah tewas seketika karena ia tidak bisa mengetahui bunga aren yang jatuh. Si Mata Empat merasa bangga. Kemudian dia penasaran tentang pahitnya lidah Si Pahit Lidah. Jarinya pun dimasukkan ke mulut si Pahit Lidah lalu ia cicipi. Ternyata rasanya memang pahit sekali dan rupanya itu racun yang sangat mematikan. Seketika itu juga si Mata Empat tewas. Oleh penduduk setempat, keduanya dimakamkan di tepi Danau Ranau yang indah. Nama : Kemala Ayu Aulia Chairunnisa Kelas : V (Lima) “Abdurrahman bin Auf” Sumber : Buku “Cerita Rakyat 33 Propinsi dari Aceh sampai Papua”

Upload: syaiful-bakhri

Post on 23-Jul-2015

5.312 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rangkuman si pahit lidah dan si mata empat kelas v

SI PAHIT LIDAH DAN SI MATA EMPAT

Alkisah, si Pahit Lidah dan si Mata Empat adalah dua jawara gagah berani yang menjadi legenda terkenal bagi masyarakat Banding Agung, Sumatera Selatan. Mereka amat disegani lawan-lawannya. Si Pahit Lidah maupun si Mata Empat, keduanya merasa paling hebat di antara keduanya. Akhirnya, karena ingin membuktikan siapa yang benar-benar lebih hebat di antara mereka berdua, mereka sepakat untuk bertemu dan mengukur kekuatan masing-masing. Caranya, satu di antara mereka harus tidur menelungkup di bawah rumpun bunga aren. Lalu, bunga aren di atas akan dipotong oleh lawan. Yang bisa menghindar dari bunga aren yang besar, lebat, dan berat itu, dialah yang akan disebut sebagai jawara sakti. Mereka kemudian menentukan hari yang tepat.

Hari yang ditentukan tiba. Si Mata Empat mendapat giliran pertama telungkup. Kemudian, si Pahit Lidah memanjat pohon aren dan memotong bunganya. Tentu saja, mata di kepala si Mata Empat bisa melihat karena di belakang kepalanya ada dua mata lagi. Jadi, si Mata Empat bisa melihat bunga aren di atas jatuh meluncur ke bawah. Sehingga, dia bisa menghindar dengan mudah. Si Mata Empat pun selamat.

Kini giliran si Pahit Lidah. Si Mata Empat mulai memanjat pohon aren dan si Pahit Lidah sudah menelungkupkan badannya di bawah rumpun pohon itu. Ketika bunga aren itu sudah dipotong, gugusan bunga itu meluncur deras ke bawah. Si Pahit Lidah tak bisa mengetahui hal itu. Badannya tetap berada persis di bawah luncuran itu. Karuan saja bunga itu menghujam tubuhnya jadi luluh. Ia pun tewas seketika.

Si Mata Empat senang dan merasa puas. Ia bisa membuktikan, kalau dirinya lebih sakti dari si Pahit Lidah. Namun, rasa ingin tahunya muncul. Mengapa lawannya itu mendapat julukan si Pahit Lidah? Benarkah lidahnya memang pahit? Lalu, karena penasaran, ia masukkan jarinya ke mulut si Pahit Lidah yang sudah tewas itu. Setelah itu, dicicipnya jarinya sendiri yang sudah terkena liur si Pahit Lidah. Ternyata, rasanya pahit sekali dan rupanya itu adalah racun yang mematikan. Tewaslah si Mata Empat di tempat yang sama.

Oleh para penduduk setempat, dua jawara itu dimakamkan di tepi Danau Ranau yang indah.

Rangkuman:

Si Pahit Lidah dan si Mata Empat adalah dua jawara gagah berani bagi masyarakat Banding Agung, Sumatera Selatan. Keduanya merasa paling hebat. Akhirnya mereka menguji kehebatannya dengan cara menghindari bunga aren yang jatuh dengan badan tertelungkup.

Si Mata Empat berhasil menghindari bunga aren yang dipotong si Pahit Lidah karena di belakang kepalanya terdapat dua mata lagi, sedangkan si Pahit Lidah tewas seketika karena ia tidak bisa mengetahui bunga aren yang jatuh.

Si Mata Empat merasa bangga. Kemudian dia penasaran tentang pahitnya lidah Si Pahit Lidah. Jarinya pun dimasukkan ke mulut si Pahit Lidah lalu ia cicipi. Ternyata rasanya memang pahit sekali dan rupanya itu racun yang sangat mematikan. Seketika itu juga si Mata Empat tewas.

Oleh penduduk setempat, keduanya dimakamkan di tepi Danau Ranau yang indah.

Nama : Kemala Ayu Aulia Chairunnisa

Kelas : V (Lima) “Abdurrahman bin Auf”

Sumber : Buku “Cerita Rakyat 33 Propinsi dari Aceh sampai Papua”